orasi kebudayaan-hsd

Upload: febce

Post on 09-Jan-2016

254 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

orasi kebudayaan

TRANSCRIPT

  • ORASI KEBUDAYAAN

    H.S. DILLON

    KEMISKINAN-KESENJANGAN:

    PERBUATANATAU

    PEMBIARAN?

    AKADEMI JAKARTACIPTA

  • ORASI KEBUDAYAAN

    H.S. DILLON

    KEMISKINAN-KESENJANGAN:

    PERBUATAN ATAU

    PEMBIARAN?

  • ii

    Assalamualaikum Wr.Wb,

    Peringatan Ulang Tahun ke 60 Konferensi Asia Afrika pada akhir April yang baru lalu telah berlangsung dengan sukses. Sekian banyak Ke-pala Negara atau setidaknya utusan resmi dari negara-negara Asia-Afrika datang untuk memperingati peristiwa historis ini. Barangkali tidaklah salah kalau di-katakan bahwa dalam sejarah hubungan internasional Konferensi AA ini adalah peristiwa yang terpenting sejak peresmian berdirinya PBB. Di samping merayakan hari kebangkitan Asia-Afrika ini, para tamu VIP itu juga da-tang untuk menghadiri konferensi AA yang membicara-kan berbagai tantangan yang kini dihadapi negara-negara di kedua benua ini.

    Setelah konferensi yang serius diadakan di Jakarta, maka para tamu yang terhormat inipun bersama-sama merayakan peringatan ulang tahun Konferensi AA di kota Bandung, yang memang telah siap sedia menunggu keda-tangan mereka. Di kota ini para tamu agung itu bukan saja diajak untuk mengingat dan merenungkan makna serta hasil dasa sila yang dihasilkan Konferensi AA, tetapi juga menghidupkan kembali suasana ketika negara-ne-gara Asia Afrika, yang sebagian besar baru saja mengecap kemerdekaan mengikat tali persahabatan. Maka mestikah diherankan kalau kota Bandung bukan saja terhanyut da-lam suasana yang membanggakan itu tetapi juga terlarut dalam aneka corak kegembiraan yang kreatif. Bukankah ketika kedatangan mereka pula jumlah pemain angklung yang tampil berhasil memecahkan rekor dunia?

    SAMBUTAN KETUA AKADEMI JAKARTA

  • iii

    Setelah dua hari dalam suasana gegap gempita Ban-dung akhirnya terbebas juga dari pesta internasional yang membanggakan ini. Tetapi seketika para tamu agung itu telah meninggalkan kota Bandung, Walikota pun harus mengurut dada. Dalam suasana kebanggaan ia menghadapi fakta betapa kebersihan kota dan keindahan taman bunga telah berantakan. Hal ini terjadi bukan karena keteledoran para tamu asing, tetapi akibat keasyikan dan enthusiasme penduduk Bandung dalam menikmati kemeriahan ulang ta-hun ke 60 Konferensi Asia Afrika ini . Tetapi bagaimanakah kemeriahan perasaan ini bisa ditahan? Bukankah pada hari-hari di akhir bulan April enam puluh tahun yang lalu Bandung telah mulai terkenal di seluruh dunia? Bukankah pula sejak itu nama Bandung abadi tercatat dalam sejarah dunia modern? Maka siapakah yang akan heran kalau ke-rusakan akan keindahan yang telah diusahakan dengan susah payah ini, harus dibayar penduduk Bandung dengan gotong-royong bersama Walikota? Maka ternyatalah beta-pa kebanggaan harus dibayar dengan keikhlasan kerja.

    Semua hal ini bukan saja dikisahkan oleh surat kabar dan majalah berita tetapi juga dipertontonkan oleh TV, yang kini jumlahnya entah telah berapa. Tetapi adakah berita yang mengisahkan betapa sekian banyak rencana harus ditunda akibat peristiwa di minggu terakhir di bu-lan April itu? Entah karena merasa terpaksa, entah karena ingin menjadi bagian dari suasana yang meriah ini, te-tapi yang jelas apa yang telah direncanakan itu harus me-nunggu. Maka bisalah dimaklumi juga kalau penundaan yang tidak masuk berita ini biasanya terjadi di Bandung dan Jakarta. Jadi tidak perlulah diherankan kalau salah

  • iv

    seorang yang harus menunda rencana itu ialah seorang ilmuwan yang malah dengan gegap gempita pernah me-nyampaikan pidato yang berjudul The Spirit of Bandung: Grandiose Nostalgia of Golden Opportunity dalam konferensi Asia-Africa Forum, The Spirit of Bandung (2005), Toward a Common Future.

    Tetapi apakah kejadian inisuatu kebetulan mung-kin- harus dianggap sebagai sebuah kesialan? Mungkin juga, tetapi ternyata tidak. Apalah artinya terlambat bebe-rapa hari atau satu dua minggu- jika ternyata apa yang diinginkan bisa didapatkan lebih baik?

    Maka kini baiklah saya berbicara terus terang saja dan tidak lagi sok bersastra-sastra. Begini ceritanya. Sebe-narnya Akademi Jakarta telah berniat juga mensponsori peringatan ulang tahun saudara Lali atau nama resminya Harbrinderjit Singh Dillon ( H.S. Dillon) pada akhir April yang lalu. Maka persiapan awalpun mulai dilakukan bah-kan draft pidato pun telah pula disiapkan, tetapi ternyata -sebagaimana beritaberita koran dan TV menyampai-kan-- peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika akan dilaksanakan dengan segala kemeriahan. Jadi apakah kita belagak pilon saja terhadap peristiwa yang membangga-kan itu? Maka putusan yang diambil ? Apalagi kalau bukan menjadikan hari ini sebagai pengganti hari yang telah di-hibahkan untuk Perayaan Ulang tahun Konferensi A.A.

    Hari inilah ia merayakan Ulang Tahun nya ke 70 dan hari ini pula Lali merasa leluasa menyampaikan pe-mikirannya tentang masalah kemiskinan. Tanpa dibebani oleh segala macam protokol atau bahkan jabatan resmi Dr.H.S.Dillon bisa menyampaikan pemikirannya tentang masalah yang sejak masa kuliah sampai umur yang telah se-matang sekarang masih terus saja membebani pemikiran-nya. Ketika masalah kemiskinan yang masih dialami ma-syarakat bangsa telah dibicarakan ia bukanlah sekadar seorang ilmuwan yang asyik memperhatikan sesuatu yang

  • vterhampar di sanaout theretetapi adalah seorang pelaku dalam usaha mengatasinya. Ia tampil dalam berbagai kapa-sitas, mulai sebagai peneliti, tenaga LSM sampai sebagai perumus kebijaksanaan pada tingkat tertinggi. Jabatan res-minya yang terakhir adalah utusan khusus Presiden R.I. untuk urusan Kemiskinan. Jadi sebelum Jokowi jadi Pre-siden, Lali boleh dikatakan orangnya Presiden.

    Tetapi sebelum ia tampil menyampaikan pemikiran, yang ditempa oleh ilmu dan pengalaman, perlu juga seke-darnya diketahui latar belakang kawan ini. Tetapi izinkan-lah saya lebih dulu menyampaikan kesan saya. Seketika kata pertama atau teguran pertama keluar dari mulutnya maka diwaktu itu juga kita tahu -atau setidaknya saya tahu- ia adalah anak Medan. Ketika ia telah mulai mene-gur saya maka saya bukan lagi tahu tentang hal ini, tetapi semakin yakin saja. Meskipun dalam waktu yang singkat, tetapi kunjungan beberapa kali, yang sempat saya lakukan ke kota Medan, dengan gamblang menyatakan hal ini.

    Kalau saja rencana semula pertemuan ia diadakan pada tanggal 23 April, 2015 maka berarti ketika itulah H.S. Dillon tepat berumur 70 tahun. Tetapi bagaimana seka-rang? Ya, tentu saja ia sudah lebih tua dua-tiga minggu dari 70 tahun. Meskipun telah cukup tua juga, tetapi ka-lau saja otobiografi saya dibolehkan ikut serta- ia selalu menegur saya dengan panggilan bang. Artinya ia meng-akui saya lebih tua. Ikhlas atau tidak ia harus panggil saya abang, karena ketuaan saya dua kali -saya lebih tua umur dan tidak kurang pentingnya saya lebih dulu se-lesai sekolah. Kebetulan kami bersekolah di universitas yang sama yaitu Cornell University, salah satu universitas yang masuk Ivy League, universitas elite di wilayah Timur Amerika Serikat, yang terletak di kota kecil, Ithaca, above Cayuga lake. Dillon menyelesaikan Ph.D.nya dalam Agri-cultural Economics pada tahun 1983 dengan major atau studi utama International Trade and Development.

  • vi

    Sejak menyelesaikan sekolah ini maka berbagai pe-ran sosial politik telah dijalankannya dan malah sampai sekarangpun ia masih aktif. Dillon bukan saja seorang il-muwan, yang telah dipersenjatai dengan segudang ilmu dan pengetahuan, tetapi adalah pula seorang intellektual, yang selalu mempertanyakan keabsahan segala corak ke-timpangan sosial. Karena itu bisa pulalah dipahami ka-lau ia sering juga memainkan peranan sebagai seorang aktivis sosial -mencoba dan berusaha memperbaiki si-tuasi kemasyarakatan yang dianggapnya tidak semesti-nya demikian. Jika ketiga peranan ini saja belum cukup, Lali pun sering juga dipercaya sebagai eksekutif bahkan kadang-kala juga sebagai penesehat dalam urusan peme-rintahan dan bahkan hukum. Dalam keragaman peranan sosial inilah ia pernah menjabat Direktur Eksekutif Pu-sat Studi Kebijakan Pertanian, ketua Badan koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan sebagainya dan tentu saja yang terakhir Utusan Khusus Presiden untuk Urusan kemiskinan. Iapun pernah juga menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional dan bahkan sebelumnya ia adalah se-orang Komisioner dari Komisi Hak Azasi Manusia. De-ngan segala subjektivitas saya tentu saja saya tak mungkin lupa dengan kedudukannya sebagai Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola di Indonesia., UNDP. Saya tidak lupa karena entah apa sebabnya- saya sempat juga diundang untuk menyampaikan pemikiran pada tokoh-tokoh N.U. dan Muhammadyah. Akhirnya, maafkanlah kalau saya sempat juga merasa heran, karena ternyata selama dua tahun (2004-2006) ia adalah Ketua Majelis Wali Amanat, Institut Teknologi Bandung, ITB -padahal sejak muda ia sibuk belajar dan bergiat dalam masalah pertanian. Ia tamatan USU-Medan dan diasah di IPB-Bogor, tetapi yang pasti bukan ITB-Bandung. Tetapi memang harus disadari juga, ketika pengakuan akan kete-ladanan telah diakui berbagai kemungkinan pun telah ter-

  • vii

    buka lebar. Maka bisalah dimaklumi juga kalau ia pernah juga terpilih sebagai Wakil Presiden dari Masyarakat Eko-nomi Pertanian Asia, yang berpusat di Seoul ( 2003-2006).

    Dengan corak kegiatan dan pengakuan sosial seperti ini -dari pejabat resmi sampai aktivis LSM- maka mes-tikah diherankan kalau ia tidak bisa membebaskan diri dari keharusan menyampaikan pemikiran secara tertulis? Maka lagi-lagi keragaman peran tampak jelas pula. Ada kalanya ia menampilkan diri sebagai kolumnis mengata-kan sesuatu dengan gaya bahasa agak ringan dan dengan panjang tulisan yang terbatas pula. Peranan ini pernah di-mainkannya dalam surat kabar berbahasa Inggris, The Ja-karta Post dan bahasa Indonesia Kompas dan Media Indo-nesia. Ada kalanya ia tampil dengan artikel akademis dan bahkan buku yang lebih menunjukkan wilayah keahlian akademis. Di samping sekian banyak artikel dalam bahasa Inggris tentang masalah ekonomi pertanian dan kemis-kinan ia menerbitkan juga buku Pertanian Membangun Bangsa, diterbitkan oleh Sinar Pustaka.

    Ternyata telah panjang juga kisah yang telah saya sampaikan, padahal maksud hanya sekadar perkenalan singkat saja.

    Maka dengan mengucapkan SELAMAT ULANG TAHUN dan diiringi doa SEMOGA PANJANG UMUR dan SENANTIASA AKTIF demi meningkatkan kemak-muran rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa saya mempersilahkan saudara Dr. H.S. Dillon menyam-paikan pidato ulang tahunnya.

    Wassalamulaikum.

    Taufik AbdullahKetua AKADEMI JAKARTA

  • viii

  • ix

    RESUME ORASI

    HS DILLON merupakan salah satu tokoh nasio-nal yang sebagian besar perjalanan karier dan kiprahnya secara konsisten menyuarakan dan mendorong setiap rezim pemerintahan untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada rakyat miskin. Dalam pandangan se-orang HS Dillon di Negara Indonesia yang kaya raya ini tidak sepatutnya masih banyak terdapat rakyat miskin dan kesenjangan yang semakin meningkat. Untuk itu, dalam usianya yang menginjak 70 tahun, HS Dillon ingin mem-bangkitkan kembali semangat kepeloporan, kejuangan, dan pengabdian demi membangun Republik yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone-sia. Apalah artinya Merdeka manakala hampir separuh saudara kita masih berada dalam cengkeraman kemis-kinan? Apalah artinya Republik apabila yang dituai hanya-lah kesenjangan?

    Ada banyak aspek yang sangat menarik dan sangat perlu untuk disuarakan kembali dalam orasi budaya ini. Tiga paradoks pembangunan yang disampaikan pada bagian awal orasi sangatlah menggambarkan kondisi di Indonesia. Pertama, kemiskinan meningkat tajam di te-ngah masyarakat yang kaya. Kedua, di tengah-tengah ke-

  • xkayaan yang melimpah, kita mempunyai kesempatan yang semakin kecil untuk mewujudkan kepedulian. Ketiga, ke-butuhan tenaga kerja sangat besar, namun pengangguran terus meningkat. Ketiga paradoks pembangunan tersebut hadir di tengah masyarakat kita karena tipisnya (untuk ti-dak dikatakan tidak ada) nurani para konglomerat yang telah mengekstraksi kekayaan alam dan potensi ekonomi negeri tercinta ini, untuk berbagi dalam artian yang sebe-narnya.

    Sektor pertanian yang telah dibangun sejak awal Orde baru dengan susah payah dan menelan biaya yang sangat besar; hanya perlu satu dekade menuju ke ambang keterpurukan. Hal ini diindikasikan oleh penurunan jum-lah rumah tangga petani (yang berarti sektor pertanian sudah tidak menarik lagi), produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah, tingkat pendapatan yang masih jauh dari memadai untuk menjadi sejahtera, dan menyisakan gene-rasi tua untuk tetap bergelut di usaha pertanian. Potret buram sektor pertanian semakin diperburuk oleh feno-mena land grabbing oleh segelintir konglomerat.

    Mengapa pembangunan yang sudah dilakukan oleh berbagai rezim pemerintahan tak kuasa mengangkat har-kat hidup rakyat miskin? Karena kita telah terperangkap dalam paham pembangunan kolonialisme yang ekstraktif dan feodal. Sulitnya bangsa Indonesia melepas penga-ruh kolonialisme merupakan buah keberhasilan Hindia Belanda yang dalam kurun waktu yang sangat panjang mampu menciptakan strata masyarakat, yaitu rakyat je-lata, kaum pedagang/pengusaha, dan priyayi (pekerja pemerintahan). Penciptaan strata tersebut dimaksudkan agar rakyat jelata tetap dijadikan koeli yang melayani para pedagang/pengusaha dan kaum priyayi.

    Fakta bahwa paham kolonialisme telah sedemiki-an dalam merasuk ke individu anak bangsa, maka sejak awal kemerdekaan Indonesia Bung Karno tiada bosan-

  • xi

    nya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melaku-kan revolusi yang digelorakan dengan istilah Menjebol dan Membangun. Menurut Bung Karno, esensi revolusi adalah menghancurkan nilai-nilai, kebiasaan, dan prak-tek sistim kolonialisme dan imperialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya dan segala bentuk Lexploitation de lhomme par lhomme.

    Ada empat fakta besar yang mengindikasikan Indo-nesia tidak mampu menjadi negara besar dan berdaulat secara penuh. Pertama, selama satu dekade terakhir (2003-2013) nilai impor pangan kita melonjak 346%, yaitu dari sekitar 3,34 milyar US$ (2003) menjadi 14,9 milyar US$ (2013). Kondisi ini menjadikan kita saat ini mengha-dapi fenomena todongan pistol masalah pangan jilid 2 yang lebih kompleks. Kedua, pengurasan sumberdaya perdesaan semakin masif dilakukan dan ironisnya hanya setetes dua tetes saja yang kembali ke perdesaan. Ketiga, kesenjangan pendapatan dan penguasaan lahan semakin meningkat dan menggelisahkan, yang diindikasikan dari nilai indeks gini masing-masing sebesar 0,41 dan 0,72. Ke-empat, pembangunan Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini bias ke wilayah barat Indonesia. Hal ini diindikasi-kan dari kontribusi PDRB Pulau Jawa terhadap PDB na-sional yang masih sekitar 57,39%, sementara Pulau Suma-tera sekitar 23,16%.

    Carut marut pembangunan yang semakin menjauh dari masyarakat miskin dan semakin memperdalam ju-rang kesenjangan; utamanya disebabkan karena kita (sa-dar atau tidak sadar) telah terjebak dalam sociology of ignorance (pembiaran). Ada tiga sikap pembiaran yang umum dilakukan, yaitu acuh pada saat melihat kekeliruan atau kejahatan; acuh karena kita terlibat konspirasi ja-hat; dan acuh karena keilmuan kita telah terbeli. Dampak dari sikap pembiaran ini sungguh dahsyat mempenga-ruhi perilaku masyarakat yang semakin menjauh dari ada

  • xii

    ketimuran. Untuk itu, perlu disebarluaskan postulat baru mengenai keadilan. Postulat baru menekankan bahwa du-nia, masyarakat dan manusia secara inheren dimulai da-lam kesetaraan. Setiap manusia, meski berbeda-beda se-cara individual, namun secara esensial setara.

    Postulat baru mengenai keadilan menjadi landasan untuk melaksanakan paradigma pembangunan yang ber-keadilan (growth through equity). Esensi utama dari pem-bangunan yang berkeadilan adalah masyarakat miskin diupayakan untuk menerima manfaat yang lebih besar (dibandingkan dengan masyarakat kaya) dari adanya pem-bangunan dan investasi publik yang dilakukan oleh peme-rintah. Paradigma pembangunan yang berkeadilan akan semakin kokoh manakala didukung dengan paradigma people driven (berkerakyatan). Mazhab pembangunan ini mengutamakan kemanusiaan yang menganjurkan agar semua kebijakan yang disusun, kelembagaan yang diba-ngun, teknologi yang dirakit maupun diambil-alih, diten-tukan oleh komposisi kebutuhan dan kemampuan rakyat, kesemuanya bermuara pada pemulihan harkat dan marta-bat seluruh rakyat.

    Atas dasar dua paradigma tersebut ada 3 saran pemikiran besar yang ditujukan untuk pemerintahan Jokowi-JK. Pertama, pemerintah harus segera mereali-sasikan reforma agraria yang telah dijanjikan. Kedua, buatlah disain besar pembangunan ekonomi nasional se-cara jelas dan komprehensif. Ketiga, menggugah rasa na-sionalisme dan keutuhan nusantara dari Sabang hingga Merauke. l

  • 1Yth Excellencies, para cendekia, para pegiat, para pejabat dan para pengusaha. Ibu dan Bapak para undangan serta hadirinyang dimuliakan,Selamat sore.

    Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya.

    Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti merdeka

    berpikir dan berikhtiar (Tan Malaka, Naar de Republiek, 1925)

    Saya bersyukur ke-hadapan Illahi Rabbi karena telah diberikan kesempatan berdiri di hadapan majelis warga Bangsa Indonesia Merdeka yang dihimpun Akademi Jakarta yang sangat berilmu dan bernurani, untuk menyampai-kan beberapa pemikiran saya mengenai pembangunan dan keadaan Bangsa sekarang ini. Hal-hal yang akan saya

    KEMISKINAN-KESENJANGAN:

    PERBUATAN ATAU

    PEMBIARAN?

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    2

    sampaikan merupakan hasil bentukkan keluarga, sekolah, pendidikan, latihan, dan pengalaman sepanjang hidup saya. Sore hari ini, saya akan berikhtiar meyakinkan Sau-dara-saudara seBangsa dan seTanah Air untuk membang-kitkan kembali semangat kepeloporan, kejuangan, dan pengabdian menuju Republik yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Saya ingin mengawali uraian ini dengan sebuah per-tanyaan yang mengusik setiap menjelang HUT Prokla-masi Kemerdekaan: Apa artinya Merdeka bagi rakyat? Tanggal 17 bulan Agustus yang akan datang Indonesia juga akan mencapai usia 70 tahun. Seperti halnya yang ba-nyak dipikirkan orang, saya tak rela jika HUT Proklamasi Kemerdekaan tercatat sekedar sebagai rangkaian cerita peringatan lantas redup, menunggu persiapan peringatan tahun berikutnya. Bagi saya, di usia matang ini kita ber-sama harus merefleksikan kembali secara jernih perja-lanan mewujudkan tujuan perjuangan kemerdekaan, ter-utama terwujudnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tidak hanya sebagai pernyataan bangsa yang berhasil mematahkan belenggu penjajahan fisik dengan pengorbanan besar tetapi juga harus dibumikan sebagai tidak ada kemiskinan di Indonesia Merdeka. Apalah ar-tinya Merdeka manakala hampir separuh saudara kita masih berada dalam cengkeraman kemiskinan? Apakah kita memang sedang menuju Republik apabila sepanjang perjalanan yang kita tuai hanyalah kesenjangan?

    Bung Karno (1945) telah menyatakan dengan tegas bahwa Merdeka adalah political independence, politieke onafhankelijkheid. Kemerdekaan perlu kita rebut karena merupakan jembatan emas, untuk mengembalikan dan memperbaiki kehidupan rakyat yang lebih bermartabat dan berbudi luhur. Hakekat Indonesia Merdeka adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka seratus persen sehingga mampu berpikir dan bertindak menghadapi tan-

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    3

    tangan seberat apapun guna menghapus kemiskinan dan kesenjangan dari Nusantara.

    Bagi saya, cela tak hapus jika masih tersisa seorang sajapun suami yang terpaksa menjual ginjalnya demi me-nebus biaya pengobatan sang istri; siswa sekolah dasar yang menggantung diri karena tak mampu membeli buku tulis; anak perawan mengorbankan kehormatannya di negeri orang; dan petani lapar yang mengkais-kais sam-pah di Bantar Gebang. Hina rasanya bila kita hanya bisa menjadi penonton bisu pada saat orang Betawi terping-girkan dilanda arus deras pembangunan perumahan me-wah beserta pasar-pasar modern. Kekuatan uang men-jadikan kita hanya mampu terpaku melihat Suku Dayak menyabung nyawa mempertahankan sungai dari pen-cemaran tambang dan perkebunan; masyarakat Bali yang terancam tenggelam akibat investasi berkemas reklamasi; penduduk Banda Neira kekurangan gizi akibat pencurian ikan yang dimodali juragan; atau Suku Anak Dalam men-derita kelaparan di hutan yang telah beralih fungsi. Masih banyak lagi jeritan anak negeri yang diredam keserakahan dan pragmatisme sementara warga negara yang telah ke-hilangan rasa kemanusiaannya.

    Hadirin yang berbahagia,Saya ingin mengajak Ibu dan Bapak sekalian melihat, atau lebih tepatnya mendengarkan, apa yang dibisik-kan dan bukan sekedar apa yang diteriakkan data yang tersedia. Namun sebelumnya, saya ingin menyampaikan tiga paradoks dari enam paradoks pembangunan yang di-sampaikan Bob Goudzwaard dan Harry de Lange (1998). Pertama, kemiskinan meningkat tajam di tengah masya-rakat yang kaya. Bank Dunia (2013) mencatat sekitar 46% penduduk Indonesia saat ini masih hidup dalam kondisi miskin karena mereka hanya mampu berbelanja sebe-sar US$ 2 per orang per hari. Disisi lain, Majalah Forbes

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    4

    (2014) melaporkan total nilai 50 orang terkaya di Indo-nesia mencapai US$102 miliar; terlintas seketika, berapa sebenarnya dana yang diperlukan untuk menutup poverty gap, agar kemiskinan tidak tersisa?

    Kedua, di tengah-tengah kekayaan yang melimpah, kesempatan mewujudkan kepedulian semakin menciut. Menjelang akhir, tatkala menyadari bahwa pemerataan yang diharapkan dari paradigma Trilogi Pembangunan ti-dak kunjung terwujud, Presiden Suharto mencoba mena-gih tanggung-jawab kebangsaan dari para konglome rat-kroninya. Jelmaan The Big Five zaman penjajahan diminta membagi 15% sahamnya kepada lapisan karyawan mereka yang terendah. Ternyata himbauan Bapak Pembangunan menemukan hati yang sudah membeku. Malah, tatkala Pak Harto lengser akibat didesak krisis ekonomi yang dipicu keserakahan kroninya tadi, justeru mereka yang diselamatkan IMF/Bank Dunia; sementara hutang nya dialihkan keatas pundak rakyat, semakin melanggengkan kesenjangan. Konglomerat yang tumbuh-subur dalam pe-merintahan otoriter ternyata berhasil menguasai kembali pemerintahan (state re-capture) pasca-Reformasi yang mati suri.

    Ketiga, kebutuhan tenaga kerja sangat besar, namun pengangguran terus meningkat. Jumlah pengangguran terbuka 2014 mencapai 7,24 juta orang dan jumlah ter-sebut relatif tidak berubah selama kurun waktu empat ta-hun terakhir (BPS, 2015). Lantas apa makna dari pertum-buhan ekonomi selama dasa warsa 2004-2014 yang selalu tercatat di atas 5%/tahun? Kemana larinya nilai tambah ekonomi, sehingga kita tidak mampu menyediakan ke-sempatan kerja dan berusaha yang bermartabat? Siapakah yang diuntungkan dari pertumbuhan ini? Untuk siapakah sebenarnya pembangunan nasional?

    Ketiga paradoks pembangunan tersebut hadir di te-ngah masyarakat kita karena tipisnya nurani para kong-

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    5

    lomerat yang telah berhasil mengekstraksi kekayaan alam dan berburu rente melalui kolusi dengan penguasa, untuk berbagi dalam artian yang sebenarnya. Besarnya peran sektor properti, sektor finansial, serta pertambangan dan perkebunan besar dalam perekonomian seakan terpisah dari rakyat, karena pelaku dan peraih manfaatnya sangat terkonsentrasi. Memang, lembaga keuangan pro-pasar ADB secara jujur menemu-kenali bahwa tiga pendorong pertumbuhan yaitu globalisasi, kemajuan teknologi, dan reformasi pro-pasar justeru semakin memperlebar kesen-jangan.

    Tantangan terbesar kita adalah mentransformasi ekonomi nasional sehingga sektor yang dominan ada-lah pertanian bernilai-tambah tinggi, agro-industri yang mengolah produksi petani dan industri padat-karya lain-nya, serta jasa berbasiskan internet. Kesemuanya ini akan memicu penciptaan kesempatan kerja dan berusaha bernilai-tinggi, akan mengurangi kesenjangan struktural, dan juga kesenjangan pusat-daerah.

    Hadirin yang budiman,Sekarang mari kita simak potret besar sektor yang hingga kini masih dihuni oleh sekitar 50% penduduk miskin (BPS, 2014), padahal seharusnya ia yang menjadi landasan pembangunan bangsa. Hasil Sensus Pertanian 2013 meng-ungkap gejala yang menggelisahkan. Hanya dalam satu dasawarsa telah tergerus prestasi yang dibangun dengan susah-payah dan biaya yang sangat mahal pada awal Orde Baru. Indikasi rapuhnya sektor pertanian yang per-tama adalah menurunnya jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) sebanyak 5,096 juta RTUP selama pe-riode 2003-2013; sementara gini rasio kepemilikan lahan semakin meningkat. Oleh karena itu, penurunan jumlah rumah tangga pertanian tersebut patut diduga berkaitan dengan pelepasan lahan, khususnya oleh petani gurem.

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    6

    Inilah gejala kaum tani yang tergusur derita, sehingga ter-paksa menyewakan dirinya kepada bangsa asing yang be-lum mampu menghargai kemanusiaan.

    Pertanda kedua adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang hanya Rp 34,44 juta/orang/tahun, atau yang terendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Sebagai perbandingan, produk-tivitas tenaga kerja sektor pertanian kurang dari sepe-rempatnya sektor industri pengolahan dan kurang dari seperduapuluhnya sektor pertambangan dan penggalian. Ini bukti prima facie bahwa program yang dijuluki pem-bangunan pertanian belum mampu mendayagunakan anggaran belanja, kelembagaan dan iptek untuk memung-kinkan kaum tani mengakumulasi modal agar dapat naik kelas menuju kehidupan yang lebih bermartabat.

    Gejala ketiga adalah rendahnya pendapatan yang diperoleh petani. Selama kurun waktu 2011-2013, BPS mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) hanya sekitar 104. Ar-tinya, surplus pendapatan yang diperoleh petani sangat-lah kecil. Selain itu, upah riil buruh tani selama kurun waktu 2009-2013 secara konsisten juga mengalami penu-runan dari sekitar Rp 30,5 ribu per hari menjadi Rp 27,5 ribu per hari. Kondisi ini menunjukkan terjadinya penu-runan daya beli buruh-tani dan apabila terus terjadi pem-biaran maka mereka akan semakin terjerumus kedalam kemiskinan struktural. Terkesan kuat bahwa penguasa dan pengusaha membiarkan kaum tani semakin miskin agar armada buruh dan pembantu rumah-tangga murah terus tersedia untuk melayani kepentingan elit.

    Perkembangan keempat adalah semakin ditinggal-kannya usaha pertanian oleh generasi muda. Selama da-sawarsa 2003-2013, jumlah petani yang berusia 45 tahun ke atas semakin bertambah; sementara yang berusia 45 ta-hun ke bawah semakin menurun dan yang lebih mempri-hatinkan penurunan yang tertinggi terjadi pada kelompok

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    7

    usia 25-34 tahun. Sektor pertanian rakyat dimarjinalkan sehingga kaum tani bukannya bertransformasi menjadi bos-bos kecil tetapi tergusur menjadi tenaga kerja tidak berkeahlian di perkotaan.

    Potret suram sektor pertanian semakin memiris-kan apabila kita sandingkan dengan fakta yang disampai-kan Forest Watch Indonesia bahwa sampai dengan tahun 2013, sekitar 44 juta hektar atau 25% luas daratan Indo-nesia telah dibebani izin pengelolaan lahan dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam, perkebunan kelapa sawit, dan juga pertambangan. Fakta ini tidak terlalu memilukan apabila lahan tersebut dike-lola jutaan petani dan pengusaha kecil Indonesia; namun kenyataannya justru berkebalikan; karena izin-izin ter-sebut terkonsentrasi ditangan segelintir pengusaha. Kolu-si penguasa, baik pusat apalagi daerah, dalam pemberian kuasa penggunaan lahan kepada sementara pengusaha merupakan manifestasi fenomena land grabbing yang sa-ngat besar kontribusinya terhadap semakin kronisnya ke-miskinan dan kesenjangan diperdesaan.

    Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa kemiskinan dan kesenjangan ini bergeming padahal prestasi senan-tiasa digambarkan gemilang. Tujuh kali berganti rezim, beragam strategi dan rencana pembangunan diformula-sikan, trilyunan dikucurkan, ribuan pakar turun tangan mengatasi, namun tetap saja kemiskinan dan kesenjangan dengan leluasanya menggerogoti negeri karena akar ma-salahnya tidak mau dihadapi.

    Hadirin yang terhormat,Awalnya saya tidak mampu menjawab lugas pertanyaan mengapa, setelah berpuluh-puluh tahun Indonesia me-nyatakan kemerdekaannya, cita-cita para pendiri bangsa untuk mewujudkan rakyat yang makmur dan sejahtera belum juga terwujud. Setelah melakukan pencermatan se-

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    8

    panjang perjalanan karier saya, jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah sederhana, yaitu kita telah terperang-kap dalam paham pembangunan feodal dan kolonialis yang ekstraktif. Kita boleh berkilah bahwa setiap rezim pemerintahan mempunyai desain pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi saat itu; namun diakui atau-pun tidak, penerima manfaat terbesar tetaplah segelintir penguasa dan pengusaha yang berada di sekitar pusat kekuasaan.

    Sulitnya bangsa Indonesia meninggalkan perangai kolonialisme merupakan bukti keberhasilan Hindia Be-landa menciptakan strata masyarakat, yaitu rakyat jelata, kaum pedagang/pengusaha, dan priyayi (pekerja peme-rintahan). Penciptaan strata tersebut dimaksudkan agar rakyat jelata tetap dijadikan koeli yang melayani para pedagang/pengusaha dan kaum priyayi. Melalui pembe-daan strata masyarakat tersebut, pemerintah Hindia Be-landa berhasil mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, sebagaimana diindikasikan oleh besarnya ekspor komoditas perkebunan, seperti pala, cengkeh, karet, gula, dan lain sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi pemerintah Hindia Belanda yang tinggi ter-sebut dibangun diatas penderitaan rakyat, sebagaimana dicerminkan oleh kemiskinan yang kian menyebar dan kesenjangan sosial yang semakin meningkat. Kezaliman penguasa seperti inilah yang mendorong para pejuang an-gkat senjata merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

    Menyadari bahwa paham kolonialisme telah sedemikian merasuk kedalam sanubari individu anak bangsa, maka sejak awal kemerdekaan Indonesia Bung Karno tiada bosannya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menlancarkan revolusi yang digelorakan dengan is-tilah Menjebol-Membangun, Menjebol lagi-Membangun lagi. Menurut Bung Karno, esensi revolusi adalah meng-hancurkan nilai-nilai, kebiasaan, dan praktek sistem kolo-

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    9

    nialisme dan imperialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya dan segala bentuk Lexploitation de lhomme par lhomme. Oleh karena itu diperlukan pen-jebolan lembaga ekstraktif berulang sampai terbentuknya kelembagaan representatif yang menmperjuangkan ke-pentingan rakyat.

    Namun hingga menjelang tujuh dasawarsa setelah proklamasi kemerdekaan, ajakan mengobarkan revolusi mental tersebut masih belum berhasil menggetarkan nurani elit. Disadari atau tidak, pengaruh paham kolonial-isme masih menyelinap kedalam kebijakan pembangunan Indonesia hingga saat ini. Dalam kalimat lain, yang hendak saya katakan adalah bahwa kendati bentuk dan kadarnya berbeda, tetapi yang khususnya berkaitan dengan strata masyarakat, desain pembangunan kita masih berorientasi ekstraktif dan hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pengusaha. Mendapatkan rente dengan begitu mu-dah, tidak ada insentif bagi pengusaha untuk melakukan inovasi agar komoditas ditingkatkan menjadi produk. Se-hingga peningkatan nilai-tambahnya juga turut dinikmati rakyat. Ketergantungan kepada produksi dan ekspor ko-moditaslah yang mengakibatkan perekonomian nasional diombang-ambingkan perekonomian global.

    Hadirin yang berbahagia,Buah dari disain pembangunan yang masih ekstrak-tif dan feodalistis adalah kita tidak mampu menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara besar yang mandiri dan berdaulat seratus persen. Dalam kesempatan yang singkat ini, saya akan mengemukakan empat fakta besar yang me-narik. Pertama, selama satu dekade terakhir (2003-2013) nilai impor pangan kita melonjak 346%. Kondisi ini disi-nyalir berkaitan dengan penurunan luas lahan pertanian dari 31,2 juta ha menjadi 26 juta ha selama dasawarsa yang sama. Terkait dengan pangan, kita saat ini sedang meng-

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    10

    hadapi ancaman todongan pistol generasi kedua yang lebih rumit dibandingkan pada saat Proklamator mewan-ti-wanti pada peletakan batu pertama pembangunan kam-pus Fakultas Pertanian UI di Bogor. Mengapa? Karena da-hulu hanya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan yang sepenuhnya dapat diproduksi di dalam negeri. Namun saat ini, kita sudah terperangkap dalam ketergantungan pada pangan impor. Pada ahun 1971 impor gandum kita hanya 120 ribu ton sementara saat ini sudah hampir mencapai 7 juta ton dan menjadi pangan hingga kepelosok Negeri! Kedaulatan Bangsa tergadai: apakah ini hanya pembiaran atau memang tergolong perbuatan men-ciptakan negara een koelie onder de naties?

    Kedua, pengurasan sumberdaya perdesaan semakin masif dilakukan dan ironisnya hanya setetes dua tetes saja yang kembali ke perdesaan. Sebagai contoh, BRI -yang mulanya Bank Tani Nelayan- dengan tugasi utama mem-fasilitasi akumulasi modal pada usaha pertanian dan para nelayan, kini capaian laba bersihnya saat ini mencapai Rp 24,3 trilyun. Kendati laba tersebut sebagian diperoleh dari Simpanan Pedesaan, ternyata BRI lebih banyak membantu akumulasi modal diluar pertanian dan perdesaan. Kondisi asimetri ekonomi perdesaan seperti inilah --- dibenarkan ekonom arus-utama pragmatis yang mengagungkan laba, yang menjadikan kemiskinan sulit dihapuskan dan kesen-jangan bahkan semakin melebar.

    Ketiga, kesenjangan pendapatan dan penguasaan la-han semakin meningkat dan menggelisahkan, yang diindi-kasikan dari nilai indeks gini masing-masing sebesar 0,41 dan 0,72. Ketimpangan penguasaan lahan yang sedemiki-an tinggi adalah karena 11 juta ha perkebunan kelapa sa-wit dikuasai oleh korporasi, sementara perkebunan rak-yat hanya 20 persennya. Selain itu, areal hutan tanaman industri dan hak penguasaan hutan mencapai lebih dari 40 juta ha, sementara hutan rakyat kurang dari 1 juta ha.

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    11

    Kembali dada disesak pertanyaan: siapa sebenarnya pe-milik Negeri ini?

    Keempat, pembangunan Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini bias ke Wilayah Barat Indonesia. Hal ini diindikasikan dari kontribusi PDRB Pulau Jawa terhadap PDB nasional yang masih sekitar 57,39%, sementara Pu-lau Sumatera sekitar 23,16%. Namun ironisnya, walaupun pembangunan bias ke Wilayah Barat Indonesia, jumlah penduduk miskin paling banyak justru berada di Jawa dan Sumatera yang mencapai 21,2 juta orang atau sekitar 76% dari total penduduk miskin Indonesia. Ini menandakan pemiskinan dan pelanggengan kesenjangan yang berlapis: spatial sekaligus struktural.

    Padahal, pada awal Orde Baru, upaya mengejar swasembada beras semata berhasil meningkatkan pen-dapatan petani kecil dan upah riil buruh tani. Ternyata peningkatan daya beli ini mampu memicu roda pereko-nomian pedesaan, menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang baru secara masif. Dunia belum pernah menyaksikan laju penurunan kemiskinan di pedesaan yang begitu cepat. Prestasi inilah yang mengantarkan Presiden Soeharto berbagi mimbar dengan Presiden Pe-rancis, Francois Mitterand, di Roma. Sayangnya, saat ini sistem penyuluhan pertanian sudah jauh menurun efek-tifitasnya di lapangan tidak ada lagi demonstration plot yang dapat meyakinkan petani bahwa bibit unggul yang baru dihasilkan Kementerian Pertanian akan meningkat-kan produktivitas dan pendapatan petani.

    Hadirin yang dimuliakan, Diam tidak selalu berarti emas. Diam pada saat melihat kekeliruan atau kezaliman berarti pembiaran; diam ka-rena kita terlibat konspirasi jahat berarti kejahatan; dan diam karena keilmuan kita terbeli berarti pengkhianatan. Ketiga makna diam tersebut tercakup dalam pengertian

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    12

    tentang sociology of ignorance yang sudah lama melanda negeri kita. Akibatnya sungguh menyesakkan dada ka-rena perilaku masyarakat kita jauh dari keluhuran budi yang diagungkan bangsa timur. Pembiaran yang terlalu lama terhadap perilaku korup telah meyakinkan semen-tara masyarakat bahwa perbuatan nista tersebut meru-pakan keniscayaan. Bahkan dengan piawainya, sebagian koruptor dapat menjelma sebagai pahlawan tatkala dikor-bankan oleh para sekutunya. Kita perlu tekankan disini bahwa korupsi adalah perbuatan yang paling jahat terha-dap rakyat corruption is stealing from the poor!

    Perlawanan masyarakat Gunung Kendeng terhadap pembangunan pabrik semen yang dikhawatirkan akan merusak sumber air merupakan contoh lain dari adanya pembiaran karena sebagian dari kita telah menggadaikan diri kepada korporasi. Harapan Sukinah terhadap pe-mimpin daerah dan pemimpin negara yang dia pilih un-tuk membantu menyelesaikan masalah ini ternyata mem-buahkan hasil yang mengecewakan. Bahkan Sukinah dan kawan-kawannya merasa telah dikhianati. Sangat pantas mereka pada akhirnya putus asa karena Pemerintah yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama ternyata tiada mau menghadapi korporasi besar.

    Kasus nenek Asyani merupakan contoh sirnanya sikap kesetiakawanan dan kebersamaan di dalam komu-nitas. Keberadaan masyarakat miskin di sekitar hutan seakan-akan sudah dianggap takdir yang harus diterima dan dijalani. Kalaupun benar nenek Asyani mengambil se-suatu yang bukan haknya secara legal, sangat diyakini hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan kehidupan yang ruang-geraknya semakin dipersempit oleh pemburu rente.

    Melihat ketiga contoh di atas, saya menawarkan postulat baru mengenai keadilan. Postulat baru mene-

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    13

    kankan bahwa dunia, masyarakat dan manusia secara in-heren dimulai dalam kesetaraan. Setiap manusia, meski berbeda-beda secara individual, namun secara esensial adalah setara. Dunia, relasi dan praktik sosial yang datang kemudianlah yang membuat manusia terbelah-belah da-lam partisi-partisi, hingga menghasilkan masyarakat yang timpang, relasi dominasi dan ketaksetaraan. Dalam pos-tulat baru, tugas politik dan ekonomi adalah merobohkan partisi-partisi sosial, ekonomi itu untuk mengembalikan lagi kesetaraan sebagai keadilan.

    Dengan jalan pikiran itu, anda barangkali akan me-nuduh saya tengah bermimpi. Namun demikian, menurut saya, dalam soal yang sepenting ini, kita memang mesti memulai dari posisi yang paling lugas dan jelas. There are many ways of being human, but each society makes a choice of the way it prefers or tolerates. Ada banyak cara untuk menjadi manusia, namun setiap masyarakat menyedia-kan pilihan-pilihan yang bisa diacu atau bisa diterima se-cara khas. Artinya, mengenai apa dan bagaimana wajah dan tingkat dignitas kita, dapat dideterminasi oleh kita sendiri. Kita yang mesti merencanakan dan mencanang-kan cita-cita dan kehendak terbaik yang mau kita bangun untuk masyarakat kita. Dalam kerangka itu, apa salahnya meletakkan postulat yang diujung untuk masalah yang pa-ling penting dalam kehidupan kita bersama.

    Hadirin sekalian,Secara etis, penanggulangan kemiskinan Indonesia su-dah sejak lama dijalankan dengan penghampiran keliru. Paradigma serta kebijakan yang tumbuh, setidaknya se-jak Orde Baru hingga kini, diselenggarakan dengan basis pembiaran terhadap orang miskin. Apa maksudnya? Apa pula buktinya?

    Kita ketahui bahwa Pemerintahan Suharto memulai Orde Baru dengan memberikan peran utama dalam pro-

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    14

    ses produksi kepada para pemilik modal. Struktur kelem-bagaan yang didominasi oleh militer dan para terpelajar, lebih memfokuskan pada stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Mereka meyakini bahwa keberhasilan pem-bangunan suatu bangsa, ditentukan oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonominya, hingga dari situ diharapkan menghasilkan Trickle Down Effect yang pada gilirannya akan dapat mensejahterakan dan membawa kemajuan bagi rakyat.

    Petumbuhan dan Trickle Down Effect mengandai-kan beberapa kondisi: Pertama, bahwa aktor ekonomi mesti dimulai dari mereka yang bermodal besar. Kedua, bahwa untuk terjadinya efek menetes, maka penggelem-bungan mesti terjadi terlebih dahulu di wilayah yang di-miliki oleh para pemilik modal besar itu. Ketiga, selama penggelembungan dilakukan, efek menetes tidak dapat terjadi, distribusi tidak dimungkinkan. Keempat, untuk mendapatkan manfaat pembangunan, orang miskin mesti menunggu hingga penggelembungan kekayaan ekonomi menghasilkan efek yang diharapkan. Ringkasnya, selama orang kaya belum bertambah kaya, selama itu pula orang miskin mesti tetap dibiarkan miskin. Pun, sekiranya orang kaya bertambah kaya, tidak dengan serta merta orang mis-kin berubah menjadi kaya. Cara pandang ini sedari awal berpijak pada asumsi yang keliru karena telah berpihak kepada kaum pemodal. Bahwa kemajuan orang miskin dan seluruh kehidupannya hanya dianggap sebagai aki-bat atau efek samping saja dari dunia orang kaya. Di sini, orang miskin dipandang semata-mata sebagai recipient atau penerima yang pasif. Dimensi kepasifan ini pula, yang pada ujungnya menjadi mekanisme penghalang bagi kemungkinan perubahan sosial yang lebih otentik, se-hingga dengan itu jurang kaya-miskin tetap dipertahan-kan. Sebuah teori pembangunan atau kebijakan nasional yang dimaksudkan untuk mewujukan keadilan sosial bagi

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    15

    seluruh rakyat sebaiknya tidak dimulai dengan bias ide-ologi dan identifikasi aktor serta prioritas yang keliru. Ini-lah yang pada bagian muka saya sebut sebagai kesalahan dalam postulat lama tentang keadilan itu.

    Malangnya, cara kita memandang orang miskin, hingga kini masih belum berubah banyak. Meski pranata politik kita telah banyak berubah dari era otoritarian, na-mun pandangan dan ideologi pembangunan kita, dalam hal yang prinsipil masih terus terbelenggu dalam para-digma pertumbuhan dan efek menetes, sehingga pada akhirnya terperangkap dalam postulat yang salah menge-nai pembangunan. Selama elit masih menganggap perlu-nya kehadiran rakyat sebagai permanent underclass, maka kemiskinan dan kesenjangan akan sangat sulit dihapus-kan di negeri yang kita cintai ini.

    Kita memang sudah tidak lagi mengerahkan mesin kekerasan untuk memompa justifikasi terhadap pem-bangunan. Dengan berkembangnya pengakuan terhadap hak asasi manusia, justifikasi politik keamanan terhadap pembangunan juga dilakukan secara lebih hati-hati un-tuk mencegah korban manusia, sebagaimana yang biasa terjadi di masa lalu. Selain itu, selama periode sepuluh tahun terakhir, memang ada slogan baru mengenai pem-bangunan dengan menekankan pada prioritas dan ide-ide: pro-growth, pro-job, propoor, pro-environment.

    Namun demikian, ungkapan pro-poor dan ideal equality di sini masih diposisikan sebagai sequences yang terlepas dan terpisah dari paradigma pembangunan se-cara keseluruhan. Pro-poor lebih merupakan keterangan yang ditempelkan pada paradigma pembangunan lama growth with equity, yang masih menekankan pertum-buhan yang bias para pemodal besar. Pembangunan tetap masih dioperasikan dalam asumsi pertumbuhan dengan efek menetes ke bawah. Kenyataan ini secara gamblang, juga kelihatan dari bagaimana setiap pemimpin, birokrat

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    16

    dan teknokrat kita jauh lebih banyak mengunjungi dan berunding dengan para investor besar dan konglomerat ketimbang mengadakan diskursus setara dengan UKM dan koperasi.

    Kelestarian postulat lama mengenai keadilan yang keliru ini, terus meresap hingga sekarang. Di masa kini, bekerjanya pandangan lama ini terlihat dari orientasi pembangunan yang menekankan proyek-proyek infra-struktur besar. Proyek-proyek infrastruktur besar memi-liki pisau bermata ganda: di satu sisi ia memang berpo-tensi memberikan keleluasan dan ruang mobilitas serta memperkuat denyut ekonomi. Namun di saat yang sama ia juga dengan mudah bisa menyingkirkan kaum miskin dari tanah, kebudayaan serta tradisi leluhurnya. Disinilah dapat dilihat bahwa kemiskinan-kesenjangan merupakan akibat perbuatan sekaligus pembiaran.

    Oleh karena itu, pembangunan ekonomi kita harus dimulai dari suatu postulat baru mengenai keadilan yakni: bahwa pada dasarnya setiap orang berhak atas kebaha-giaan dan kemaslahatan yang sama. Berbagai mekanisme sosial, ekonomi, politik, serta kebudayaan yang memben-tuk partisi-partisi sosial mesti dirobohkan. Pembangunan mesti dimulai untuk memenuhi apa yang hilang atau apa yang telah tercuri dari si miskin, bukan justru untuk mem-perbesar kekayaan si pencurinya.

    Dalam model pendekatan yang lama, mobilisasi sumber daya pembangunan dilakukan melalui mekanisme institution-led atau dimonopoli secara top-down oleh institusi-instusi representasif dan broker baik yang ber-asal dari negara maupun yang berasal dari sektor privat. Kita perlu membalik secara radikal logika lama tersebut dengan menekankan bahwa sumber daya pada dasarnya adalah milik rakyat. Oleh karena itu, mobilisasi dan peng-gunaan sumber daya sepenuhnya mesti menjadi tanggung jawab rakyat dan berbasis pada tipe-tipe kebutuhan rak-

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    17

    yat yang variatif. Dalam pandangan ini negara diposisikan sebagai fasilitator yang bekerja sebagai pendidik yang me-nolong rakyat untuk memahami persoalan-persoalannya sendiri dan menjawab dengan kemampuan dan caranya sendiri.

    Pendekatan ini memang mensyaratkan tumbuhnya partisipasi yang kokoh dan dewasa dalam demokrasi kita. Di sinilah, untuk menggerakkan diri dalam partisipasi, rakyat juga perlu mendidik dirinya. Di titik inilah, hadi-rin sekalian, demokrasi kita menemukan padanan dalam pranata sosialnya. Supaya rakyat mampu memobilisasi sumber daya secara benar, ia mesti ditopang dengan par-tisipasi yang otentik. Singkatnya, apabila kita menerima demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraa kepolitikan, maka sudah selayaknya kita mencari cara baru untuk me-nyelenggarakan pembangunan ekonomi kita. Bagaimana bentuk cara baru tersebut?

    Hadirin yang mulia,Upaya menemukan jawabannya, sebaiknya kita awali de-ngan menelusuri pernyataan Amartya Sen mengenai pe-nanggulangan kemiskinan. Amartya Sen menyatakan bahwa kemiskinan dapat teratasi jika pembangunan dilan-daskan pada memanusiakan manusia. Manusia tidak diang-gap sebagai obyek pembangunan, tetapi di setiap lapisan masyarakat, manusia adalah subyek dari pembangunan itu sendiri. Kunci dari semua aspek pembangunan manu-sia dan pengembangan ekonomi adalah pendidikan dasar, kesehatan, dan penyebarluasan peluang ekonomi. Ketiga hal itu dapat diraih melalui kebebasan nyata yang dapat di-nikmati rakyat. Peran pemerintah adalah mengkondisikan kebijakan sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung ke-bebasan itu, seperti adanya jaminan atas hak-hak sipil dan politik, kebebasan mengikuti diskusi publik, dan terlibat dalam pengawasan serta penyediaan fasilitas pendidikan

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    18

    dan kesehatan. Pengabaian terhadap penyediaan fasili-tas publik adalah bentuk tirani terhadap kebebasan yang mengerdilkan manusia dan dapat berujung pada minimnya produktivitas dan terjadinya proses pemiskinan.

    Pesan peraih Nobel ekonomi 1998 tersebut saya ter-jemahkan dalam frasa singkat, yaitu pembangunan yang berkeadilan sedari awal (growth through equity). Esensi utama dari pembangunan yang berkeadilan adalah ma-syarakat miskin diupayakan untuk menerima manfaat yang lebih besar (dibandingkan dengan masyarakat kaya) dari adanya pembangunan dan investasi publik yang di-lakukan oleh pemerintah. Benar, hal ini tidak mudah di-implementasikan, karena hingga saat ini fenomena yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia adalah penerima manfaat terbesar dari pembangunan infrastruktur dan in-vestasi publik adalah masyarakat kaya; sementara masya-rakat miskin tetap menjadi penonton glamour masyarakat kaya yang semakin kaya.

    Lantas model pembangunan yang seperti apa, yang dapat memberikan manfaat dan kesempatan yang lebih besar terhadap masyarakat miskin? Seperti mengangkat batang terendam maka pembangunan yang berkeadilan harus dilakukan agar pertumbuhan yang kita kejar tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang tetapi membawa kemaslahatan bagi setiap rakyat, betapapun tidak berday-anya dia, melalui people-driven development.

    Paradigma people driven tidak bermaksud menafikan pendekatan market driven maupun technology driven, ken-dati kedua pendekatan itu telah terasa semakin menjauhi tujuan utama dari pembangunan ekonomi itu sendiri, yaitu mewujudkan keadilan sosial. Mazhab pembangunan ini mengutamakan kemanusiaan yang menganjurkan agar semua kebijakan yang disusun, kelembagaan yang diba-ngun, teknologi yang dirakit maupun diambil-alih, diten-tukan oleh komposisi kebutuhan dan kemampuan rakyat

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    19

    yang berkembang secara dinamis, kesemuanya bermuara pada pemulihan harkat dan martabat seluruh rakyat. Pa-radigma ini berlandaskan pada sumberdaya yang dimiliki dan atau dikuasai rakyat banyak, baik sumberdaya alam, sumberdaya teknologi (indigenous technologies), kearifan lokal (local wisdom), budaya ekonomi lokal (local culture, social capital) dan menempatkan organisasi ekonomi rak-yat sebagai pelaku utama pembangunan.

    Pengembangan ekonomi kerakyatan dan jaringannya dilakukan dengan menghibridisasi budaya lokal dengan bu-daya korporasi modern dalam konteks kemitraan yang lebih membumi, yang saya namakan sebagai Private-Public-People Partnership (4P) yang merupakan pelurusan dari pola Public, Private, Partnership (PPP). Kerangka 4P yang saya usulkan menyediakan penguatan keberpihakan pada kebijakan yang representatif terhadap ketahanan usaha kerakyatan, dipadu-kan dengan penguasaan teknologi mutakhir perusahaan dengan jejaring lokal, regional, maupun global sehingga menjamin ke langgengan investasi dan usaha semua pihak. Kerangka 4P menyediakan platform untuk mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dan praktis antara masyarakat, swasta dan LSM, organisasi profesi, media dan akademisi, untuk merekonstruksi jenis pembangunan infrastruktur publik tertentu (Zhang dan Kumaraswamy, 2006). Keku-atan swasta, BUMN dan Koperasi diiikat dalam kesepakatan berlandaskan jiwa gotong royong untuk meningkatkan daya saing dalam proses penciptaan co-prosperity. Inti pengem-bangan konsep 4P ini adalah keadilan bersama semua pihak untuk mengambil manfaat dan keuntungan sumberdaya be-serta nilai ekonominya, yang sebenarnya telahpun dijalan-kan pada kemitraan PIR-BUN oleh perusahaan inti dengan corporate governance yang baik.

    Ada empat prasyarat utama untuk mengimple-mentasikan konsep 4P. Pertama, rencana pembangunan harus saling melengkapi dengan membangun suatu ke-

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    20

    utuhan strategi melalui koordinasi dan sinkronisasi antar rencana program yang praktis dan efektif. Kedua, ren-cana pembangunan lebih terfokus pada target sasaran yang sama sehingga komplementaritas pembangunan tersebut menciptakan kekuatan yang mampu memba-ngun kemandirian rakyat. Ketiga, diskursus setara an-tara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dari mulai tahap perencanaan, agar para pelaksana didaerah memi-liki sense of ownership terhadap rencana pembangunan tersebut. Hal ini harus disokong pula oleh kepemimpinan yang kuat di daerah sehingga solidaritas antar berbagai komponen bangsa semakin tergalang. Keempat, upaya untuk menggerakkan sektor riil dalam rangka mencipta-kan lapangan kerja dan ekonomi pedesaan harus berjalan dengan mengintegrasikan kebijakan ekonomi nasional se-cara utuh, seperti kebijakan moneter, fiskal dan non fiskal.

    Mengapa diawali oleh privat? Karena pengusaha baik yang menggunakan modalnya sendiri akan berikh-tiar keras agar kemitraan tersebut berhasil sehingga dia dapat memperoleh laba. Selanjutnya, apabila pemerin-tah pada berbagai tingkatan tidak diikut-sertakan, maka dikhawatirkan bahwa kebijakan dan peraturan yang di-hasilkan akan saling-silang. Sementara itu, hanya melalui diskursus setara dengan rakyat setempat sedari awal akan terwujud sustainability yang sesungguhnya yaitu masya-rakat yang mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang bermartabat secara mandiri.

    Saudara-saudaraku yang saya hormati,Agar tidak dituduh bahwa kita hanya memuaskan diri membahas masalah normatif semata, saya akan menge-mukakan beberapa saran untuk membantu pemerintah menjabarkan postulat, paradigma maupun konsep yang baru saja kita telusuri. Tetapi, sebelum memulai menyam-paikan kebenaran kepada penguasa, atau, speaking truth

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    21

    to power, ada baiknya manakala kita ingat kembali we-jangan leluhur kita;

    Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa Hendaklah jadi kepala, buang perangai yang cela Hendaklah memegang amanat, buanglah khianatRaja Ali Haji, 1847; penggalan Gurindam XII, Pasal 11

    Agar dapat menjadikannya pegangan moral da-lam meningkatkan kadar pengabdian kita kepada Bangsa maupun menunaikan tanggung-jawab kita kepada Sang Khalik.

    Bagaimana pemerintah dapat memulai menapak kejalan yang benar? Pertama-tama, agar tidak terbilang khianat, para pemimpin, mulai dari yang tertinggi harus mampu melintasi segala kepentingan kelompok, keluarga, suku, maupun agama, dan menyatukan diri dengan ke-pentingan Bangsa. Mantapkan kelembagaan agar mindset birokrasi, termasuk pejabat di daerah, mengalami revolusi dan mulai mengutamakan kepentingan rakyat. Sudah saa-tnya merampingkan birokrasi, mulai dari pusat. Hukum korupsi didorong keserakahan sementara memberikan jaminan kehidupan yang layak kepada pegawai negeri yang tersisa setelah perampingan. Kelola BUMN melalui kendali corporate governance yang baik, bukan birokrasi otoriter seperti selama ini Kedua, tinggalkan keangkuhan penguasa; selenggarakan diskursus setara dengan rakyat agar dapat lebih menjiwai hambatan yang mereka rasakan, bukan yang kita perkirakan. Tuntut tanggung jawab yang lebih besar dari pejabat daerah, yang menghabiskan seki-tar 70 persen anggaran untuk dirinya sendiri. Laksanakan e-governance hingga ke unit pemerintahan yang paling rendah, sehingga kontribusi setiap PNS dapat terekam secara akurat. Ketiga, komunikasikanlah strategi pem-bangunan memanusiakan-manusia dengan bahasa rakyat,

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    22

    agar timbul rasa aman dari perlakuan semena-mena pe-nguasa maupun kelompok masyarakat, dan terpupuk ha-rapan untuk masa depan yang lebih baik. Bentangkan apa yang ingin dicapai hingga 2019 kendati perkembangan ekonomi global kurang menguntungkan, termasuk lang-kah-langkah positip yang telah ditempuh seperti pengu-rangan subidi BBM, dan temui-kenali prakarsa mana yang merupakan landasan untuk pembangunan pasca-2019, agar perubahan strategi pembangunan people-driven development menjadi lebih jelas. Keempat, dalam urutan yang tepat, upayakan agar rakyat sudah memiliki kemam-puan mendaya-gunakan segala infrastruktur yang kelak dibangun pemerintah. Kelima, jalankan strategi redis-tributif mulai dari kebijakan makro fiskal moneter, yang menyertakan setiap warga negara dalam meraih manfaat pembangunan (ekonomi inklusif ) hingga ke Reforma Agraria, yang memberikan akses lahan, saprodi, tekno-logi, kredit, penyuluhan, dan kepastian pasar, sehingga akumulasi kapital terjadi di tingkat keluar ga petani dan nelayan kecil

    Sedari awal saya berkeyakinan bahwa reforma agra-ria merupakan kebijakan utama yang dapat membantu menanggulangi kemiskinan secara lebih berarti sekaligus meletakkan landasan untuk melangkah maju mengurangi kesenjangan. Kedepan, alokasi lahan yang memadai ke-pada petani akan menurunkan kemiskinan secara berarti, meningkatkan produksi pangan dan berpotensi membe-baskan bangsa dari ketergantungan impor pangan-utama. Apakah ini hanyalah sekedar khayalan seorang pemimpi, atau memang feasible?

    Sebenarnya hal ini telah dibuktikan almarhum Ir Rahman Rangkuty, yang bersama puluhan alumni FP USU menjadi pionir pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat di Aek Nabara. Akan tetapi, seperti biasa, kita ku-rang menghargai karya anak Bangsa kita sendiri. Oleh ka-

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    23

    rena itu, kita terpaksa sepintas menelusuri keberhasilan Tiongkok menurunkan jumlah penduduk miskin melalui land right reform. Meninggalkan usaha pertanian kolektif yang kurang menghargai prestasi individual, melalui pola kontrak lahan individu, PDB sektor pertanian mening-kat sebesar 88,3% antara tahun 1978 dan 1989. Yang pa-ling penting, kebijakan reforma agraria tersebut berhasil menurunkan penduduk yang hidup di bawah garis kemis-kinan US$1,25 per hari dari sekitar 84% pada 1981 men-jadi 16% pada 2005.

    Di Taiwan reforma agraria dilaksanakan melalui pe-rencanaan yang matang, berkesinambungan, dan damai. Diawali dengan program pengurangan sewa tanah, mela-lui pelepasan tanah pertanian milik pemerintah, program tanah untuk petani penggarap, program penyeimbangan hak tanah, dan akhirnya konsolidasi tanah pertanian dan perkotaan.

    Hasilnya, jumlah tenaga kerja di bidang pertanian yang pada awal reforma agraria di atas 35% dari jumlah total tenaga kerja, satu dasawarsa lalu tinggal 8%, yang berarti bahwa transformasi struktural telah memung-kinkan 27 % petani naik-kelas. Memang, terbukti bahwa semua Negara Asia yang berhasil meraih teknologi tinggi tanpa kehilangan jati dirinya, telah mendahulukan mem-bangun landasan sektor pertanian dan perdesaan yang kokoh.

    Disinilah kita didesak untuk merefleksikan kem-bali local wisdom leluhur kita mengenai sequencing pembangunan yang baik. Di pedesaan Jawa, hanya kuli kenceng- yaitu yang akan mengajak tetangganya turut serta dalam memanen sehingga mendapat bawon, perlu didengar suaranya dalam musyawarah desa. Hal ini agak mirip dengan konsepsi awal demokrasi di Athena dimana hanya pemilik tanah yang boleh memilih. Bermodalkan aset, petani memiliki suara. Dengan suara, dia akan men-

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    24

    dapatkan akses. Dengan akses, dia dapat lebih baik meng-hasilkan pendapatan. Jelas terlihat bahwa bahwa urutan pembangunan yang berkelanjutan adalah Asset Voice Access Income.

    Selanjutnya, belajar dari negara-negara lain yang berhasil maupun yang gagal dalam melaksanakan reforma agraria, maka setidaknya ada lima prasyarat utama yang harus dipenuhi untuk mendukung implementasi di negeri kita. Pertama, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan penetapan landasan hukum yang kuat, transparan, dan operasional. Landasan hukum yang kuat sangat diperlukan untuk menghadapi pengaruh tuan tan-ah terhadap Pemerintah. Dengan dijaganya transparency, kita dapat meningkatkan genuine participation sehingga kita dapat bersama-sama memastikan accountability sis-tem yang dibangun. Kedua, penetapan kebijakan ekonomi makro dan penyediaan infrastruktur yang memadai untuk pengembangan usaha pertanian. Ketiga, pengalaman dan keterampilan individu/rumah tangga yang memperoleh pembagian lahan dalam melaksanakan usahatani sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan reforma agraria. Keempat, pemberian kompensasi yang memadai terhadap individu/rumah tangga yang terkena dampak pembatasan kepemilikan lahan, sehingga pe-ngurangan kepemilikan lahan tidak berdampak negatif terhadap kesejahteraan mereka. Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sudah membuktikan hal ini dan berhasil. Ke-lima, administrasi kepemilikan lahan harus dilaksanakan secara tertib dan akurat, sehingga sertifikat kepemilikan lahan dapat segera diproses dan dimiliki oleh masyarakat yang berhak.

    Lima prasyarat di atas tidaklah terlalu sulit untuk diterapkan pemerintah. Reforma agraria harus menjadi agenda utama pemerintahan karena memang sudah ter-lalu terlambat. Penundaan kembali pelaksanaan reforma

  • agraria akan semakin mempersulit pelaksanaan di la-pangan karena selain lahan yang tersisa hanyalah lahan kurang subur dan bermasalah; biaya yang diperlukan pun akan semakin mahal karena para tuan tanah akan semakin memperkuat hak kepemilikan lahannya. Untuk itu, perlu segera dibentuk Panitia Reforma Agraria untuk mewujud-kan reforma agraria yang benar-benar berpihak kepada rakyat miskin. Mulai dengan lahan yang dikuasai Negara, berikan kompensasi yang adil kepada pengusaha yang ter-kena dampak Reforma Agraria.

    Alangkah baiknya manakala pemerintah visioner benar mempergunakan momen Reforma Agraria untuk memindahkan pertanian bernilai-rendah, termasuk gula dan padi, keluar Jawa. Komposisi dan opportunity cost sumber-daya serta infrastruktur menuntut bahwa usaha di Pulau Jawa harus sekaligus padat karya, padat-modal, dan padat-teknologi, ditopang oleh sistem pengelolaan air yang sesuai. Tentunya hal ini harus dilakukan berta-hap, selaras dengan meningkatnya kemampuan manusia tani kita yang ditempa melalui pendidikan, pelatihan, dan pendampingan yang berkesinambungan.

    Hadirin yang berbahagia dan dimuliakan,Khusus berkaitan dengan upaya penanggulangan kemis-kinan, pertama-tama harus ditetapkan satu lembaga yang bertanggung-jawab, agar tidak lagi terfragmentasi seperti selama ini. Kemudian disusun tahapan pembangunan yang dipastikan akan dapat lebih banyak dinikmati oleh masyarakat miskin, dengan antisipasi hijrahnya kemis-kinan ke perkotaaan.

    Oleh karena itu sebaiknya dimulai dengan menem-patkan manusia tani sebagai aktor utama dalam mem-perkokoh pembangunan ekonomi perdesaan. Dilanjutkan dengan pembangunan jaringan sosial dan infrastruktur fisik yang meluas, seperti memperbaiki dan meningkat-

  • ORASI KEBUDAYAAN: H.S. DILLON

    26

    kan sarana pendidikan dasar, mendirikan sekolah kejuru-an dan memberlakukan wajib belajar pendidikan mene-ngah dan atas, serta memberdayakan pelayanan keluarga berencana, program peningkatan pangan dan gizi, serta pelayanan kesehatan yang menjangkau dan terjangkau. Kesemua prakarsa ini perlu dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga membentuk tangga bagi rakyat miskin untuk keluar dari kenestapaan.

    Saran pemikiran yang terakhir yang saya anggap penting dan sangat menentukan keberadaan bangsa In-donesia di masa yang akan datang, yaitu menggugah rasa nasionalisme dan keutuhan Nusantara dari Sabang hingga Merauke. Sangat saya khawatirkan bahwa dalam dua hingga tiga dasawarsa kita akan semakin kehilangan jati diri sebagai bangsa, manakala kelas menengah konsumtif kita dengan sadar dan suka hati menjadi pasaran empuk berbagai komoditi, produk, jasa maupun ideologi dari ne-gara lain. Masalah daya saing mestinya bukanlah masalah yang rumit dan bahkan dapat dikatakan sangat mudah diatasi asalkan kita mampu merakit system insentif yang mendorong tebentuknya kelas menengah produktif yang berkomitmen untuk menghasilkan barang, produk, dan jasa yang berkelas dunia.

    Para sahabat yang bijaksana,Demikianlah pokok-pokok pikiran yang saya sampaikan dalam Forum Akademi Jakarta yang sangat terpelajar ini. Tentunya kita tidak ingin terus menikmati kemerdekaan hasil perjuangan dan pengorbanan generasi pendiri sema-ta, tetapi kitapun bertekad dicatat sejarah sebagai gene-rasi dengan kecerdasan kehidupan yang rela mewakafkan dirinya untuk mentransformasi pernyataan menjadi ke-nyataan Merdeka. Mampu melepaskan diri dari perang-kap perbuatan dan pembiaran kemiskinan agar keadilan sosial dapat dienyam oleh seluruh rakyat Indonesia.

  • KEMISKINAN-KESENJANGAN: PERBUATAN ATAU PEMBIARAN?

    27

    Apa pelajaran yang dapat kita petik dari uraian tadi? Ternyata perbuatan dan pembiaran kemiskinankesen-jangan merupakan buah keserakahan dan pragmatisme yang telah menyesatkan kita. Marilah kita, sebagai Bangsa yang tahu mensyukuri, bangkit memperbaharui tekad da-lam kesetaraan untuk mengerahkan segala dana dan daya memerangi kemiskinan-kesenjangan, menapak kembali ke jalan yang benar. Naar de Republik.

    Merdeka!

  • 28

    H.S. Dillon (HSD), anak Medan yang lahir dalam keluarga Sikh pada tanggal 23 April 1945 tetap setia pada komitmennya memper-juangkan hak rakyat kecil kendati menghadapi pelbagai tantangan tatkala menapakkan jejaknya memperjuangkan petani dan buruh-tani, menegakkan Hak Asasi Manusia, melawan korupsi, meningkatkan keberpihakan BUMN Perkebunan, menyusun strategi penanggulangan kemis-kinan, maupun mengadvokasi transformasi birokrasi per-guruan tinggi menjadi meritokrasi yang membumi.

    Passion atau keberpihakannya sejak usia muda ke-pada rakyat kecil mendorongnya memilih jurusan sosial-ekonomi pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dan dan di awal karirnya menerima tawaran men-jadi Sekretaris Rural Dynamics Study, Departemen Perta-nian yang mendalami dampak modernisasi atas kesejah-teraan warga perdesaan.

    Kepemimpinannya sudah mulai tumbuh dari Me dan, tatkala terpilih sebagai Ketua Senat FP-USU dan Ketua Ca-bang Mahasiswa Pancasila. Pada saat bersamaan HSD juga menjabat Danyon-IV Resimen Mahasiswa Bukit Barisan. Kepemimpinan ini muncul kembali tatkala menjadi Presi-dent AgEcon Graduate Students, Cornell University.

  • 29

    Jiwa kepeloporannya terlihat ketika turut mendi-rikan dan kemudian memimpin Asian Society of Agri-cultural Economists (Seoul). Ini merupakan kelanjutan dari diutusnya HSD untuk mewakili Indonesia di Inter-national Association of Agricultural Economists (Illi-nois), serta kepemimpinannya di Perhimpunan Ekonomi Pertanian. Kepeloporannya ini mencuat kembali tatkala sebagai anggota pimpinan KOMNASHAM, HSD meng-himpun perwakilan petani dari seluruh Tanah Air, untuk menggalang persatuan memperjuangkan haknya. Juga sewaktu turut mendirikan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, sebagai Executive Di-rector Partnership for Governance Reform in Indonesia, HSD berhasil meyakinkan NU dan Muhammadiyah untuk menggalang kekuatan bersama menggusur politik busuk. Untuk meraih tujuan yang sama HSD memfasilitasi kela-hiran dan langkah-langkah awal Komisi Pemberantasan Korupsi.

    Visinya yang jauh kedepan mendorongnya untuk mengajak sesama ekonom pertanian untuk mendirikan Centre For Agricultural Policy Studies (Jakarta) untuk dapat mewarnai penyusunan kebijakan pembangunan pertanian. Timbul lagi tatkala sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung mendorong transfor-

  • 30

    masi tata pemerintahan (governance) perguruan tinggi. Di Departemen Pertanian, sebagai Ketua Tim Restruk-turisasi BUMN Perkebunan, HSD mengkonsolidasikan 26 PTP menjadi 9 PTPN yang lebih berdaya-guna dan diarahkan untuk turut meningkatkan produktivitas para petani-pekebun disekitarnya. Tatkala diangkat Presiden RI sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, HSD menyusun strategi tangga keluar dari kemiskinan melalui diskursus setara dengan rakyat yang terpinggirkan.

    Kepakarannya diakui ketika menjadi anggota Con-sultative Committee Common Fund for Commodities (Amsterdam). Maupun sewaktu melaksanakan amanah Presiden RI selaku Ketua GNB untuk melakukan lobby di Roma guna memenangkan pencalonan Dr. Jacques Diouf dari Senegal sebagai Director General FAO. Juga pada saat diangkat sebagai anggota Dewan Ekonomi Nasional, dan sebagai anggota Komite Ekonomi Nasional lebih dari satu dasawarsa kemudian. Di arena internasional, HSD dipi-lih sebagai anggota International Policy Council for Food and Agricultural Trade (Washington, DC). Kepakaran-nya menjadi pertimbangan utama HSD dijadikan Utusan Khusus Presiden RI untuk Penanggulangan Kemiskinan. Hingga kini, HSD masih dipercayakan menjabat Co-chair, Advisory Board, The Nature Conservancy (Jakarta). l

  • Setelah 70 tahun merdeka dari penjajahan kolonial, kemiskinan masih membelenggu rakyat Indonesia dalam jumlah besar. Setiap langkah maju justeru menuai kesenjangan yang kian meningkat. Ini menjelaskan bahwa kita sudah salah memilih jalan. Kelembagaan ekstraktif warisan feodal kolonial belum berhasil dijebol, sehingga pola akumulasi kapital tetap tidak berpihak pada rak-yat kecil.

    Mengapa sampai demikian? Ternyata semangat persatuan mere-but kemerdekaan fisik telah tergusur keserakahan dan pragmatisme sementara penguasa dalam semua matra kehidupan Bangsa. Sociology of ignorance.

    Apa yang dibutuhkan agar dapat kembali ke jalan yang benar? Postulat baru: kesetaraan, Paradigma baru: People-driven Develop-ment, Kemitraan baru: Private-Public-People Partnership.

    Bagaimana pemerintah dapat memulainya? Agar tidak khianat, pemimpin harus mampu melintasi segala kepentingan kelompok, kelu-arga, suku, maupun agama, dan menyatukan diri dengan kepentingan Bangsa. Komunikasikan strategi dengan bahasa rakyat, agar timbul rasa aman dari perlakuan semena-mena penguasa maupun kelompok ma-syarakat sehingga terpupuk harapan untuk masa depan yang lebih baik. Jalankan strategi redistributif mulai dari kebijakan makro fiskal mone-ter, yang menyertakan setiap warga negara dalam meraih manfaat pem-bangunan (ekonomi inklusif ) hingga ke Reforma Agraria, yang membe-rikan lahan, saprodi, teknologi, kredit, penyuluhan, dan kepastian pasar, sehingga akumulasi kapital terjadi di tingkat ke-luarga petani dan nelayan kecil

    Orasi kebudayaan ini mengajak kita keluar dari perangkap kemapanan, me-lancarkan mujahaddat an nafs dan mem-perbaharui tekad melintasi segala sekat perbedaan untuk melanjutkan kembali perang memerdekakan rakyat. Orasi ini juga merupakan ajakan untuk bangkit merapatkan barisan menggusur perbuat-an-pembiaran kemiskinan-kesenjangan dan kembali menuju ke Republik.