optimalisasi guru sebagai pendidik dan motivator

Upload: fasehah-hj-ibrahim-fbi

Post on 08-Jul-2015

198 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Optimalisasi Guru sebagai Pendidik dan Motivator Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh panutan bagi anak didiknya. Untuk menjadi seorang pendidik, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin (Mulyasa, 2005). Mendidik berarti mentransfer nilai-nilai kepada peserta didik. Dengan keteladanan sikap dan tingkah laku gurunya, diharapkan akan tumbuh sikap mental yang baik kepada peserta didik (Sardiman,2007). Motivasi adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri seseorang yang menimbulkan keinginan untuk melakukan sesuatu, dan bila dia tidak suka melakukan sesuatu tersebut maka akan berusaha meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Peranan guru sebagai motivator sangat penting dalam pembelajaran karena menyangkut esensi mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, dan juga menyangkut performance dalam arti personalisasi dan sosialisasi diri (Sardiman,2007). Guru sebagai pendidik merupakan posisi yang sangat dekat dengan anak-anak dan remaja, tetapi pada pelaksanaan pembelajaran seorang guru sering melupakan peran ini. Orientasi dan penghargaan masyarakat terhadap nilai akademik berimbas kepada pembelajaran yang cenderung hanya berfokus pada transfer ilmu pengetahuan dan melupakan tujuan pendidikan sebagai pembentuk karakter dan sikap mental peserta didik. Selain itu, beban materi pembelajaran dan keterbatasan waktu pembelajaran juga dianggap sebagai penyebab untuk melupakan peran guru sebagai pendidik tersebut. Bukti bahwa para guru cenderung mengutamakan transfer ilmu pengetahuan adalah pemberian motivasi yang dilakukan guru kepada peserta didik lebih banyak berupa motivasi untuk mengajak anak didik tertarik dan termotivasi mengikuti pelajaran atau motivasi untuk belajar. Tujuan akhir dari motivasi ini adalah peserta didik menguasai materi yang dipelajari. Memang motivasi seperti ini yang selalu diajarkan kepada guru dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Selain itu dalam beberapa literatur tentang motivasi dalam pembelajaran cenderung hanya motivasi belajar yang dibicarakan, sehingga guru hanya mengenal motivasi belajar. Akibatnya, selama ini guru lebih banyak hanya sebagai motivator untuk menciptakan pembelajaran yang baik. Dengan empat kompetensi yang dimiliki, seorang guru tidak hanya bisa sebagai motivator belajar saja, tetapi lebih luas lagi dapat menjadi motivator dalam membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Bahkan seorang guru mampu sebagai motivator dalam membentuk pribadi yang sukses, yang pada akhirnya membentuk The Critical Mass. Para guru bisa menjadi motivator-motivator yang potensial karena mereka lebih mengenal bagaimana karakter peserta didik sehingga guru dapat memberikan motivasi yang tepat dan berkesinambungan. Pribadi guru juga merupakan sosok yang dekat dengan peserta didik sehingga anak didik memiliki lebih banyak kesempatan mengamati dan berinteraksi langsung dengan model atau teladan mereka. Pemberian motivasi untuk membentuk karakter peserta didik (character building) seperti kesadaran diri, semangat kerja dan fokus pada tujuan/cita-cita akan sangat menguntungkan bagi guru sendiri. Setiap guru yang menjadi motivator dalam pembelajaran tidak hanya menghasilkan peserta didik yang termotivasi untuk mempelajari suatu mata pelajaran atau materi tertentu, tetapi lebih menyeluruh pada semua hal yang perlu dipelajari oleh peserta didik. Hal ini dapat terjadi karena dengan dengan kesadaran dan semangat baru peserta didik, mereka dengan kesadaran sendiri melakukan belajar dengan sungguh-sungguh.

Di awal tahun 2009 ini tepatnya pada akhir bulan Januari lalu beberapa guru di Kabupaten Purworejo yang lulus sertifikasi angkatan 2008 telah di wisuda. Sertifikasi ini bisa dikatakan sebagai angin segar bagi para guru untuk meningkatkan kesejahteraannya. Terlepas dari niat baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan profesi guru, para guru yang telah lulus sertifikasi dianggap telah memiliki profesionalisme seorang guru dan diharapkan mampu untuk semakin meningkatkan kompetensinya sebagai seorang guru. Menilik dari para guru yang telah lulus sertifikasi sebelumnya, dengan gaji tambahan yang telah mereka terima ada satu konsekuensi yang harus dilaksanakan yaitu beban mengajar 24 jam pelajaran dalam satu minggu. Hal ini nantinya juga akan menjadi kewajiban bagi para guru yang telah di wisuda januari kemaren. Akibatnya, para guru menjadi kebingungan untuk menjalankan kewajiban 24 jam mereka karena hampir semua sekolah kekurangan jam untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Tak heran jika para guru sendiri akhirnya juga saling berebut jam untuk menunjukkan profesionalisme mereka. Profesionalisme guru dalam mengajar (pembelajaran) tentunya tidak hanya dilihat dari kuantitas pembelajaran yang dilaksanakan, tetapi tentunya juga kualitas pembelajaran yang dilaksanakan. Apakah seorang guru selalu menggunakan metode ceramah dalam setiap pembelajarannya ataukah mampu memberikan pembelajaran dengan metode yang bervariasi, tentunya juga perlu mendapat perhatian. Dalam pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai agen pembelajaran. Keempat kompetensi itu adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Pertama, Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Ketiga, kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Keempat, kompetensi

sosial merupakan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik dan masyarakat sekitar. Dalam kenyataan yang ada profesionalisme guru baru sebatas dilihat dari kuantitas pembelajaran atau banyaknya jam mengajar, padahal dalam pelaksanaan sertifikasi itu sendiri keempat kompetensi tadi merupakan tolok ukur lolos tidaknya seorang guru dalam proses sertifikasi. Dari keempat kompetensi tersebut baru kompetensi pedagogik (sebatas pelaksanaan pembelajaran) yang disorot sebagai tolok ukur peningkatan profesionalisme guru. Yang menjadi pertanyaan, apakah cukup itu saja tuntutan profesionalisme seorang guru? Apakah guru dengan tingkat profesionalisme demikian mampu mewujudkan pendidikan nasional kita yang sekarang ini semakin menyedot anggaran negara? Apakah profesionalisme guru sekarang ini telah sebanding dengan pajak yang ditarik dari masyarakat, biaya dari rakyat yang telah terjerat pula dengan himpitan kebutuhan hidup? Apakah profesionalisme guru mampu membawa kemajuan bangsa dan rakyat Indonesia? Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2008 lalu, Presiden RI telah mengingatkan dua tujuan kembar pelaksanaan pendidikan kita. Pertama, mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi agar manusia Indonesia menjadi manusia yang berkemampuan dan unggul. Kedua, membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul, bangsa yang memiliki semangat dan etos kerja, bukan bangsa pemalas, bukan bangsa yang mudah menyerah. Inti dari kedua tujuan pelaksanaan pendidikan tersebut adalah bagaimana para pelaku pendidikan mampu untuk memberikan pengetahuan dan juga membentuk karakter (character building) peserta didiknya. Dari kedua tujuan tersebut tentunya tidak cukup jika hanya dengan dengan bermodalkan satu kompetensi yaitu pedagogik saja, tetapi keempat kompetensi guru harus bisa dijalankan sebagai satu kesatuan. Profesi guru tidak sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Profesi guru tidak juga hanya sebatas bertugas sebagai pengajar, tetapi masih ada tugas-tugas lain seperti sebagai pendidik, sebagai model dan teladan, sebagai motivator, inisiator, innovator dll. Agar pendidikan kita mampu membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul, mempunyai semangat dan etos kerja, membangun karakter peserta didik maka diperlukan guru yang memiliki keempat kompetensi tadi. Seorang guru dituntut profesional untuk mampu menjalankan tugasnya mendidik siswa-siswinya dan menjadi teladan untuk membentuk karakter yang unggul, mencintai bangsa mereka sendiri. Guru harus mampu membimbing peserta didiknya agar berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing, yang semua itu dibutuhkan kepedulian guru kepada peserta didiknya. Tentang kepedulian kepada peserta didik ini, pernah disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab Purworejo dalam kegiatan pemberdayaan MGMP MIPA SMA Kab Purworejo beberapa waktu lalu. Pada kesempatan tersebut disampaikan bahwa kompetensi sosial guru diwujudkan dengan kepeduliaan guru kepada peserta didik. Kepeduliaan kepada peserta didik, termasuk dalam membimbing, memotivasi peserta didik merupakan tugas guru yang memerlukan kerja hati para guru. Dalam kesempatan itu pula Beliau juga sempat mengajak kepada para guru yang hadir untuk mengajar dengan hati. Untuk mengukur profesionalisme guru dalam keempat kompetensinya memanglah tidak mudah. Tidak heran jika pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan profesionalisme guru pun baru sebatas melakukan pengawasan akan jam pelajaran yang dilakukan oleh guru yang bersangkutan. Tetapi jika kita benar-benar memiliki kesadaran akan konsekuensi rizki yang kita dapatkan, kesadaran akan pentingnya keberhasilan tujuan pendidikan nasional kita, akan nasib bangsa kita, nasib generasi yang akan datang tentunya kita akan dengan kesadaran sendiri meningkatkan profesionalisme dalam keempat kompetensi tadi. Kunci adanya kesadaran tadi adalah ketika para guru mau menggunakan hati dalam menyikapi sertifikasi, dengan menunjukkan profesionalismenya yang tidak sebatas profesionalisme yang sedang dituntutkan saja (jam mengajar).

Merancang pembelajaran yang menarik merupakan salah satu contoh wujud profesionalisme yang dalam melakukannya memerlukan hati para guru agar peserta didik mampu merasakan sisi kemanusiaan dalam pembelajaran tersebut. Demikian pula membimbing dan memotivasi peserta didik tidak akan dapat dilakukan dengan baik tanpa menggunakan hati. Menjadi pribadi yang arif, guru yang berkepribadian mantap, stabil , berwibawa dan berakhlak mulia yang mampu dijadikan teladan bagi peserta didik juga harus bermodalkan hati. Menjadi profesional baik sebagai guru ataupun profesi yang lain adalah ketika kita melakukan dengan sepenuh hati. Meningkatkan kemampuan diri diperlukan motivasi dalam diri yaitu kesadaran dari hati. Meningkatkan profesionalisme tidak lain adalah meningkatkan kemampuan diri agar selalu maju dan berkembang, dan semua itu dimulai dari kesadaran hati kita. Mari kita belajar menjadi profesional dengan menggunakan hati kita

Artikel: PEMBINAAN PROFESIONAL MELALUI SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURUJudul: PEMBINAAN PROFESIONAL MELALUI SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION. Nama & E-mail (Penulis): Trimo, S.Pd.,MPd. Saya Dosen di IKIP PGRI Semarang Topik: Profesionalisme Guru Tanggal: 8 Juli 2008 PEMBINAAN PROFESIONAL MELALUI SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU A. Pendahuluan Secara konseptual pengakuan terhadap keberadaan profesi guru mengandung arti recognition, endorsement, acceptance, trust, dan confidence yang diberikan oleh masyarakat kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan. Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui

kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek "guru" dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional. Tidak mengherankan apabila Kepala Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Siskandar menyatakan bahwa penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut kualitas guru memadai sehingga perlu meng-upgrade kemampuan guru supaya pelaksanaan kurikulum sesuai dengan harapan. Data Balitbang Depdiknas (tahun 2001) saja menunjukkan, dari 1.054.859 guru SD negeri ternyata hanya 42,4 persen yang layak mengajar. Berarti, sebagian besar (57,6 persennya) tidak layak mengajar (Depdiknas go.id.com). Sampai-sampai Sapari (Kompas, 16/8/2002) berani menyimpulkan, rendahnya kualitas guru SD/MI menyebabkan pemahaman mereka terhadap inovasi pendidikan sepotongsepotong, bahkan ada yang sama sekali tidak memahami secara substansial apa yang dikembangkan pemerintah. Data tersebut semakin memperkuat data-data sebelumnya yang menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia kita pada tahun 2002 menempati angka 110 dari 173 negara, daya saing kita 47 dari 48 negara, performance system pendidikan kita berada pada nomor 38 dari 39 negara, penguasaan matematika siswa SLTP pada urutan 34 dan penguasaaan IPA pada urutan ke-32 dari 38 negara (Sucipto, 2003:2). Secara mikro, permasalahan peningkatan mutu pendidikan merupakan conditio sine qua non dan mendesak untuk dipikirkan oleh stakeholder pendidikan. Secara aplikatif, diperlukan peningkatan profesionalisme guru karena guru merupakan pelaksana lapangan yang menjadi ujung tombak. Berbagai upaya pemberdayaan dapat dilakukan di antaranya dengan pembinaan profesionalisme guru melalui supervisi pengajaran. Melalui supervisi pengajaran, seorang kepala sekolah dapat memberi bimbingan, motivasi, dan arahan agar guru dapat meningkatkan profesionalismenya. B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam pembinaan profesional melalui supervisi pengajaran sebagai upaya peningkatan profesionalisme guru? C. Pembahasan 1. Konsep Mutu Pendidikan Proses pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di dalam sekoalh itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child's Scholl, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni: 1) keefektifan kepemimpinan kepala sekolah, 2) partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf, 3) proses belajar-mengajar yang efektif, 4) pengembangan staf yang terpogram,

5) kurikulum yang relevan, 6) memiliki visi dan misi yang jelas, 7) iklim sekolah yang kondusif, 8) penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan, 9) komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan 10) keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik. Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002:12). Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya. Berdasarkan konsep mutu pendidikan maka dpaat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Selama tahun 2002 dunia pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri. Fenomena yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki sifat yang sama, yakni menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih jauh, perubahan yang "berbasis" itu umumnya dari atas ke bawah: dari pusat ke daerah, dari pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah, dari pemerintah ke masyarakat, dari sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah lain yang populer dan memiliki nuansa yang sama dengan "berbasis" adalah pemberdayaan (empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas (bottom up), dan sejenisnya. Apa itu artinya? Simak saja label-label perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam dunia pendidikan nasional (kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen berbasis sekolah (school based management), peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum), pengajaran/pelatihan berbasis kompetensi (competence based teaching/training), pendidikan berbasis luas (broad based education), pendidikan

berbasis masyarakat (community based education), evaluasi berbasis kelas (classroom based evaluation), evaluasi berbasis siswa (student based evaluation) dikenal juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan berbasis lokal (local based educational management), pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat (community based educational financing), belajar berbasis internet (internet based learning), dan entah apa lagi. Fullan & Stiegerbauer (1991: 33) dalam "The New Meaning of Educational Change" mencatat bahwa setiap tahun guru berurusan dengan sekitar 200.000 jenis urusan dengan karakteristik yang berbeda dan itu merupakan sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak guru mengalami stres dan jenuh (burnout). Supriadi (2002:17) mengatakan: "orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan". Sejak awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya. Langkah percepatan dapat saja dilakukan, tetapi dengan risiko kegagalan yang besar akibat inovasi itu kurang dihayati secara penuh oleh pelaksananya. Saya menilai bahwa banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang melanggar prinsip-prinsip tersebut, di samping secara konseptual "cacat sejak lahir", serba tergesa-gesa, serbainstan, targetnya tidak realistik, didasari asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan, dan secara implisit dimuati obsesi demi menanamkan "aset politik" di masa depan. 2. Profesionalisme Guru Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi. Dewasa ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi -red- dan seperempat jam untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang tidak diberi kesempatan untuk

mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya. Banyak kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur ketika yang dihadapi ternyata masih anakanak dan kalah dalam pengalaman. Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit ringkasan materi. Dapat dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum, jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin. Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita masih harus "Khusnudhon" bahwa dirumah mereka berlangganan koran harian yang siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang lebih banyak dibaca adalah berita-berita kriminal yang menempati peringkat pertama pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut disesalkan. Sarana dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Peta dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap alatalat praktek di laboratorium hanya tersimpan rapi alamari tidak pernah dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing sekolah tidaklah sama. Tingkat kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa. Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar akan lebih banyak tercurah untuk siswa. Penataran dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakuakan, guru tidak akan mampu mengembangkan diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya.

Kecenderungan ini ditambah dengan tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait terhadap profesi guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap guru-guru yang berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses belajar mengajar. Guru harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas, dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan, tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden sekalipun. Mutlak dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan, mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya. Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang belajar sendiri daripada berkelompok. Cara belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi lihat hasil yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan agar yang diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang sudah ditentukan. Guru juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan guru dalam mendidik siswanya. Pemerintah juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan meningkatkan profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional. Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni: a. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya. b. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. c. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.

d. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa. e. Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98). Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi: 1. Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi. 2. Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik. 3. Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi. 4. Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan. 5. Menguasai landasan-landasan pendidikan. 6. Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar. 7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran. 8. Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling. 9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. 10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5). 3. Supervisi Pengajaran Secara umum tujuan supervisi pengajaran adalah: (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar-mengajar, (2) mengendalikan penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan, (3) menjamin agar kegiatan sekolalah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga segala sesuatunya berjalan lancar dan diperoleh hasil yang optimal, (4) menilai keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya, dan (5) memberikan bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kekilafan serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah

sehingga dapat dicegah kesalahan dan penyimpangan yang lebih jauh (Suprihatin, 1989:305). Tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tetapi juga mengembangkan potensi kualitas guru (Sahertian, 2000:19). Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20). Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan. a. Perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terusmenerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum. b. Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya. Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran. Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni:

a. Supervsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru SD. Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru SD dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk Rencana Pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru. b. Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja. Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi: 1) Bidang Akademik, mencakup kegiatan: (1) menyusun program tahunan dan semester, (2) mengatur jadwal pelajaran, (3) mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran, (4) menentukan norma kenaikan kelas, (5) menentukan norma penilaian, (6) mengatur pelaksanaan evaluasi belajar, (7) meningkatkan perbaikan mengajar, (8) mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan (9) mengatur disiplin dan tata tertib kelas. 2) Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan: (1) mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru, (2) mengelola layanan bimbingan dan konseling, (3) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan (4) mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler. 3) Bidang Personalia, mencakup kegiatan: (1) mengatur pembagian tugas guru, (2) mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru, (3) mengatur program kesejahteraan guru, (4) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan (5) mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru. 4) Bidang Keuangan, mencakup kegiatan: (1) menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah, (2) mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah, (3) mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan (4) mempertanggungjawab-kan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5) Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:

(1) penyediaan dan seleksi buku pegangan guru, (2) layanan perpustakaan dan laboratorium, (3) penggunaan alat peraga, (4) kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah, (5) keindahan dan kebersihan kelas, dan (6) perbaikan kelengkapan kelas. 6) Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan: (1) kerjasama sekolah dengan orangtua siswa, (2) kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah, (3) kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan (4) kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar (Depdiknas 1997). Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya: a. Penggunaan program semester b. Penggunaan rencana pembelajaran c. Penyusunan rencana harian d. Program dan pelaksanaan evaluasi e. Kumpulan soal f. Buku pekerjaan siswa g. Buku daftar nilai h. Buku analisis hasil evaluasi i. Buku program perbaikan dan pengayaan j. Buku program Bimbingan dan Konseling k. Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler D. KESIMPULAN Kebijakan pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan yakni guru melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana strategis. Keterlibatan seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah, masyarakat, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan dan realisasi program pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan. Implementasi kemampuan professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.

Salah satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran. Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat. Implementasi kemampuan professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran yang dimiliki, baik sebagai informator, organisator, motivator, director, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator sehingga diharapkan mampu mengembangkan kompetensinya. Mewujudkan kondisi ideal di mana kemampuan professional guru dapat diimplementasikan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut lantaran aktualisasi kemampuan guru tergantung pada berbagai komponen system pendidikan yang saling berkolaborasi. Oleh karena itu, keterkaitan berbagai komponen pendidikan sangat menentukan implementasi kemampuan guru agar mampu mengelola pembelajaran yang efektif, selaras dengan paradigma pembelajaran yang direkomendasiklan Unesco, "belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be)".

Pengenalan Sistem pendidikan di Malaysia telah mengalami banyak perubahan selaras dengan kemajuan ekonomi, sosial dan politik. Pelbagai dasar dan program seperti KBSR, KBSM, Falsafah Pendidikan Negara dan sebagainya telah diperkenalkan oleh kerajaan bagi meningkatkan mutu pendidikan negara. Sesuatu perubahan yang dilaksanakan di sekolah perlulah dirancang dengan rapi supaya ia boleh diterima dan mendatangkan hasil yang positif. Ia seharusnya melibatkan semua warga sekolah dan masyarakat sekitar. Sejauhmana sesuatu perubahan itu berjaya dan berkesan bergantung kepada pelbagai faktor. Mengikut Fullan (1982), Pengetua adalah orang yang paling penting dalam membuat perubahan di sekolah. Pengetua boleh dianggap sebagai goal-setter, advocator, initiator, communicator, suporter, coordinator, coach, evaluator, manager, information provider dan role model dalam melaksanakan perubahan di sekolah. Terdapat pelbagai gelaran yang diberikan kepada Pengetua dalam membuat perubahan di sekolah. Hall dan Hord (Huseein, 1993 : 53) mengatakan Pengetua sebagai pemudah cara perubahan yang mengandungi tingkah laku yang dinamik dan produktif. Pengetua jenis ini menganggap peranan mereka ialah memberi sokongan dan bimbingan kepada guru-guru. Ada

juga yang mengatakan Pengetua sebagai penjaga perubahan yang mempunyai tingkah laku yang pasif dan reaktif. Pengetua sebagai pemudah cara perubahan dikatakan mempunyai tiga gaya tingkah laku iaitu sebagai responder, pengurus dan perintis. Gaya responder ialah gaya memberi peluang kepada staf untuk memimpin misalnya mereka diberi peluang mengemukakan pendapat sebelum keputusan dibuat. Gaya pengurus pula ialah tingkah laku yang responsif terhadap situasi atau orang di mana pengurus atau Pengetua memulakan tindakan dengan menyokong dan menyediakan kemudahan. Biasanya mereka hanya melibatkan diri berdasarkan apa yang telah ditetapkan sahaja. Perintis pula ialah gaya Pengetua yang mempunyai wawasan, dasar dan matlamat yang jelas. Gaya ini melibatkan Pengetua percaya apa yang dilakukannya adalah yang terbaik untuk pelajarnya. Pengetua dikatakan tegas, mempunyai pengharapan yang tinggi dan menjelaskan kepada guru bagaimana matlamat boleh dicapai. Ia juga tidak menerima sesuatu program itu tanpa melihat kesesuaiannya dengan keperluan sekolah. Sesuatu program akan dibincangkan bersama staf dan keputusan yang dibuat adalah berdasarkan kepada matlamat sekolah. (Rutherford, 1984). Beberapa kajian yang dijalankan mendapati Pengetua gaya perintis adalah lebih berjaya dalam melaksanakan perubahan berbanding Pengetua yang mengamalkan gaya responder atau pengurus. Misalnya kajian oleh Hord dan Hall (Huseein, 1993 : 56). Kajian oleh Rutherford (1984) pula mendapati Pengetua yang mengamalkan gaya pemula lebih berjaya melaksanakan perubahan berbanding dengan Pengetua yang mengamalkan gaya responder atau pengurus. Perbandingan ini dibuat berdasarkan enam dimensi tingkah laku iaitu penetapan wawasan dan matlamat sekolah, menstruktur sekolah sebagai tempat bekerja, mengurus perubahan bekerjasama dan menurunkan kuasa, membuat keputusan membimbing dan memberi sokongan dan menstruktur semula peranan kepimpinan mereka. Berdasarkan kepada dapatan-dapatan kajian di atas jelas bahawa Pengetua perlu memainkan pelbagai peranan dari mula hinggalah ke akhir program perubahan tersebut. Melalui kepimpinan yang dinamik dan proaktif, sesuatu perubahan, pembaharuan dan inovasi dapat dilaksanakan secara berkesan. Definisi dan Konsep Terdapat pelbagai istilah yang berkait rapat dengan perubahan (change). Mengikut Jaafar Muhamad (1999 : 463), dalam keadaan biasa perubahan diperkenalkan adalah hasil daripada pengubahsuaian kelakuan yang lepas untuk menyesuaikannya dengan situasi baru. Mengikut Carzo dan Yanouzas (Jaafar, 1999 : 464), "Perubahan ialah satu pola penukaran kelakuan atau situasi yang stabil kepada pola perlakuan dan status stabil yang lain." Perubahan yang berlaku dalam sesebuah organisasi seperti sekolah haruslah melibatkan ciri-ciri yang berterusan (Kaizen), berlaku secara beransur-ansur serta menyeluruh ke arah yang lebih baik atau penambahbaikan. Perubahan juga dikaitkan dengan memperkenalkan sesuatu tingkahlaku baru atau amalan-amalan baru yang diharap akan dapat memperbaiki amalan atau keadaaan yang sedia ada di sekolah. Oleh itu perubahan tidak dapat dipisahkan daripada konsep "transfomasi", "inovasi" dan penambahbaikan. Mengikut James A. F Stoner dan Charles Winkel (1989 : 439), agen perubahan sebagai individu yang bertanggungjawab memegang peranan kepimpinan dan mengurus proses perubahan terhadap sistem klien (individu, kumpulan atau organisasi). Agen perubahan ini boleh terdiri dari anggota di dalam atau di luar organisasi. Walau bagaimanapun agen dari luar tidak

berkepentingan dipercayai lebih mudah diterima berbanding agen dari dalam organisasi berkenaan. Rusinah Sirun (1999 : 254) pula menyatakan agen perubahan sebagai: "Change agents are individuals group that take responsibility for changing the existing pattern of behavior of a person or social system". Mengikut Shahril (2000), Pengetua sebagai agen perubahan bermaksud orang atau individu yang pertama atau utama yang membuat modifikasi dalam organisasi sekolah. Justeru itu sebagai agen perubahan, Pengetua haruslah membuat penyesuaian serta perubahan dalam bidang tertentu agar ia sesuai dengan perubahan persekitaran supaya sekolah sebagai sebuah institusi sosial dapat terus hidup dan berfungsi. Persoalannya mampukah Pengetua yang dibebani dengan tugas sebagai pentadbir, pemimpin pengajaran dapat melaksanakan perubahan secara berkesan? Mengapakah Sekolah Memerlukan Perubahan Perubahan tidak dapat dielakkan dalam sesebuah organisasi termasuk sekolah. Ini kerana persekitaran yang turut berubah. Oleh itu jika kita hendak terus hidup dan berfungsi kita tidak boleh lari dari melakukan perubahan. Keadaan ini seperti memetik kata-kata Charles Handy (Hussein, 1993 : 223), "If you put a frog in water and slowly heat it, the frog will eventually let itself be boiled to death. We to, wiil not survive if we dont respond to the radical way in which the world is changing". Perubahan dalam bentuk sesebuah organisasi berlaku disebabkan oleh desakan luaran dan dorongan dalaman. Mengikut Stoner J.A.F (1989), desakan luaran yang mendesak kepada perubahan ialah kenaikan kos, kekurangan sumber, kemajuan teknologi, permintaan dari luar (pengguna) dan kekurangan peruntukan kewangan dari kerajaan. Keadaan ini menyebabkan sesebuah organisasi itu terpaksa mengubah struktur, matlamat dan kaedah-kaedah operasinya. Manakala desakan dalaman pula terdiri dari strategi baru, teknologi, sikap dan tingkah laku. Walau bagaimanapun kedua-dua penggerak luaran dan dalaman ini saling berkait. Mengikut Jaafar Muhammad (1999 : 464), terdapat beberapa objektif perubahan dilakukan dalam sesebuah organisasi termasuk sekolah. Antara objektif tersebut ialah : Meningkatkan motivasi iaitu perubahan sebagai alat untuk menarik dan meningkatkan minat kerja di kalangan kakitangan dan pelajar. Meningkatkan daya pengeluaran perubahan sebagai cara untuk meningkatkan daya pengeluaran dari segi kualiti dan kuantiti. Contoh di sekolah ialah meningkatkan penghasilan kerja guru dan pencapaian pelajar melalui pelbagai pendekatan. Mengurangkan konflik dalam sesebuah organisasi yang terdiri dari bahagian dan unit. Perbezaan dari segi tugas, kebolehan, kepentingan, latar belakang, ekonomi, sosial, politik dan teknologi, matlamat individu dengan organisasi juga akan mewujudkan konflik. Dalam keadaan seperti ini perubahan perlu dilakukan untuk mengurangkan konflik. Sebagai Pengetua yang bijak, ia harus menggunakan kesempatan dari konflik yang wujud untuk mengukuhkan lagi kepimpinan.

Desakan Luaran

Beberapa tekanan luaran (external force) terhadap perubahan yang dikenalpasti ialah : kerajaan pusat, kementerian, kehendak masyarakat dan ibu bapa, perubahan teknologi, permintaan saham buruh dan perubahan ekonomi negara (Shahril, 2000).Sebagai sebuah negara yang mengamalkan sistem pendidikan berpusat, segala dasar dan undang-undang berkaitan dengan pendidikan telah ditentukan oleh kerajaan pusat dan Kementerian Pendidikan yang merupakan "stackholder". Salah satu tugas Pengetua di sekolah ialah memastikan segala dasar dan undangundang tersebut dipatuhi. Pengetua sebagai pemimpin seolah mempunyai kuasa yang terbatas. Ini bermakna Pengetua harus melaksanakan segala dasar-dasar baru yang diarahkan kepadanya oleh pihak atasan berdasarkan kebijaksanaannya, misalnya perlaksanakan KBSR, KBSM, Sekolah Bistari, Sekolah Berkesan dan sebagainya. Sekolah adalah institusi sosial yang menyediakan perkhidmtan pendidikan kepada klien yang terdiri daripada pelajar, masyarakat dan ibu bapa. Kepada klien, sudah tentu mereka mengharapkan sesuatu yang terbaik diberikan kepada anak-anak mereka. Oleh itu mereka dikatakan mempunyai kuasa secara tidak langsung untuk mendesak dan menggerak perubahan dilakukan di sekolah. Peranan badan-badan seperti Persatuan Ibu Bapa dan Guru amat penting dalam membantu dan memberi sokongan kepada Pengetua melaksanakan perubahan sekolah. Mengikut Wyant Et Al (Hussein, 1993 : 54), sekolah yang berjaya melaksanakan perubahan ialah yang dibiayai oleh badan-badan luar selain daripada penglibatan Pengetua sendiri. Dalam dunia moden, perkembangan teknologi begitu pantas bergerak. Di sekolah peranan teknologi amat penting. Kegagalan pihak sekolah berkembang selaras dengan kemajuan teknologi akan menghalang kepada kecemerlangan pendidikan. Penggunaan alatan moden di sekolah seperti komputer, mesin dan jentera serta teknik-teknik baru dalam pentadbiran, pengajaran dan pembelajaran akan membantu meningkatkan kecemerlangan sekolah. Perkembangan terkini dalam dunia pendidikan yang menekankan penggunaan multimedia seperti Sekolah Bistari mendesak supaya perubahan dilasanakan di sekolah. Untuk melaksanakan perubahan ini sudah tentu memerlukan Pengetua yang memiliki pengetahuan, kemahiran serta kuasa kepakaran (expertise power) yang tinggi (Al Ramaiah, 1999 : 8). Salah satu matlamat pendidikan negara ini ialah menyediakan pendidikan kepada rakyat agar dapat memenuhi keperluan tenaga buruh bagi membangunkan ekonomi negara dalam pelbagai sektor. Dalam konteks ini Pengetua harus peka dengan keperluan dan permintaan tenaga buruh negara. Semua tuntutan ini mendesak dan menghendaki Pengetua memikirkan semua hal-hal berkaitan dengan mata pelajaran dan pengaliran (streaming) pelajar disekolahnya sesuai dengan keperluan negara. Desakan Dalaman. Perubahan dalam organisasi sekolah juga berpunca dari situasi dalam organisasi sekolah itu sendiri. Antara beberapa sumber desakan dalaman ialah kepimpinan dalam organisasi, komunikasi, membuat keputusan dan strategi motivasi kurang berkesan. Di sekolah Pengetua sebagai pemimpin pentadbiran dan pengajaran. Sesuatu perubahan itu boleh berlaku akibat desakan dalaman iaitu dari Pengetua itu sendiri sebagai pemimpin. Untuk menjadi perintis perubahan, Pengetua haruslah seorang yang kreatif, inovatif, proaktif dan berwawasan. "To learn is to change, to change is to creat" (Handy C. 1989). Hanya Pengetua yang dinamik dan proaktif yang boleh melaksanakan perubahan dengan berkesan. Pengetua juga perlu melakukan perubahan untuk mewujudkan komunikasi yang berkesan. Salah satu sebab kepimpinan Pengetua kurang berkesan berpunca dari "miskomunikasi" iaitu banyak maklumat tidak sampai terus kepada guru, kakitangan bukan guru, pelajar dan masyarakat. Terdapat banyak sebab berlakunya ketidaksampaian maklumat tersebut. Oleh itu untuk menjadikan kepimpinan Pengetua lebih berkesan, satu perubahan komunikasi perlu dilakukan di

sekolah. Komunikasi perlu harus melibatkan pelbagai hala bukan dari atas ke bawah meja sahaja. Perubahan juga perlu dilakukan apabila wujudnya pelbagai masalah di kalangan anggota organisasi, misalnya masalah guru dan Kalangan pelajar seperti melanggar peraturan sekolah, tidak menghormati guru, mencuri, gengsterisme, mengugut, bergaduh semakin meningkat. Ini menunjukkan bahawa terdapat aspek-aspek tertentu berkaitan dengan disiplin perlu dikaji dan dibuat perubahan. Bentuk-bentuk Perubahan di Sekolah. Terdapat pelbagai bentuk perubahan yang boleh dilakukan dalam sesebuah organisasi sekolah. Biasanya perubahan di sekolah dikaitkan dengan konsep penambahbaikan iaitu satu bentuk perubahan yang terancang secara berterusan. Perubahan terancang bermaksud: That the change is acticipated, directed and made to accur.The and product of the succesful planed changed effort is the atainment of a predetermined objectives (Hussein, 1993 : 262) Pernyataan di atas bermaksud perubahan terancang bertujuan untuk mengubah keadaan yang kurang memuaskan pada masa kini. Keadaan kurang memuaskan itu wujud akibat amalan dan pengurusan bilik darjah secara yang tidak berkesan, masalah disiplin dan prestasi pelajar. Matlamat perubahan terancang di sekolah adalah untuk mendapatkan perseimbangan antara apa yang diharapkan (ideal) dengan apa yang tercapai (real). Secara umumnya perubahan terancang di sekolah memerlukan strategi dan pelan tindakan Antara strategi termasuklah pembangunan organisasi seperti meningkatkan keupayaan dan kebolehan ahli seperti guru-guru dan kakitangan bukan guru di sekolah. Mengikut Jaafar Muhamad (1999 : 487), seseorang pengurus yang peka dan bertanggungjawab akan membuat sesuatu untuk memelihara keutuhan organisasinya apabila berlaku tekanan untuk perubahan. Ia akan menilai dan memastikan bahawa setiap perubahan yang dilakukan adalah tepat dan sesuai dengan masalah yang dihadapi. Keadaan yang sama juga sepatutnya dilakukan oleh pengetua apabila melaksanakan perubahan di sekolah. Mengikut Harold J. Leavitt ( Stoner, 1989 : 446), sesebuah organissi boleh diubah dengan menukarkan tiga perkara iaitu struktur, teknologi dan manusia. Mengubah struktur organisasi melibatkan usaha-usaha menyusun semula sistem-sistem dalamannya seperti garisan-garisan komunikasi, hubungan pihak yang berkuasa, penyatuan mekanisma, darjah pemusatan dan merekabentuk semula tugas, aliran kerja atau hierarki pengurusannya. Perubahan ini perlu dilakukan apabila keadaan organisasi sudah tidak atau kurang berfungsi. Dalam konteks sekolah, Pengetua boleh memerlukan perubahan dengan mengadakan penyusunan struktur tugas guruguru dan kakitangannya mengikut keperluan dan kepakaran masing-masing selaras dengan matlamat organisasi. Untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja, faktor-faktor seperti minat, kepakaran, kemahiran guru perlu diambil kira dalam menstrukturkan tugas guru-guru. Kaedah pemancaran juga sering digunakan iaitu dengan mewujudkan beberapa pasukan atau jawatankuasa kecil supaya tugas dan aktiviti dapat dijalankan dengan licin. Apabila ada kakitangan yang kurang berkesan, Pengetua haruslah mengkaji kelemahan dan sebab-sebabnya bagi membolehkan penyusunan semula tugas dilakukan. Contohnya dalam pemilihan guru-guru untuk mengajar kelas dan dalam matapelajaran tertentu, pembentukan jawatankuasa kurikulum, disiplin dan sebagainya. Walau bagaimanapun dalam aspek tertentu kuasa Pengetua adalah terbatas, contohnya pemilihan guru di sekolah, pertukaran guru, kenaikan pangkat dan sebagainya. Mengubah teknologi organisasi bererti menukarkan kelengkapan, proses dan teknik penyelidikan dan kaedah pengeluarannya. Pendekatan bentuk ini telah diasaskan oleh Federick Taylor

(Stoner, 1989 : 448), menerusi Teori Pengurusan Sainstifik di mana ia mengatakan perubahan teknologi yang canggih boleh meningkatkan produktiviti dan mendatangkan kesan positif kepada organisasi. Dalam konteks industri yang menekankan pengeluaran barangan perubahan teknologi amat penting. Di sekolah perubahan teknologi yang melibatkan pengurusan sekolah secara saintifik akan meningkatkan lagi keberkesanan perjalanan dan operasi kerja. Penggunaan alatan moden seperti mesin fotostat, komputer, audio visual, teknik dan model-model pengajaran dan pembelajaran moden akan memudahkan pengajaran guru dan pembelajaran murid. Pada masa yang sama teknologi moden ini dapat mewujudkan iklim pembelajaran lebih menarik, bermotivasi dan tidak membosankan. Satu bentuk perubahan lagi ialah perubahan manusia. Perubahan manusia bermaksud perubahan kepada subordinat dalam aspek kemahiran, jangkaan tanggapan dan kelakuan manusia. Kelakuan manusia adalah sukar diubah. Manusia secara keseluruhannya tidak menentang semua perubahan tetapi mereka akan menentang apa yang mereka anggap boleh menggugat kedudukan mereka. Terdapat pelbagai teknik untuk mengubah dan memandu individu dan kumpulan untuk bekerja lebih berkesan. Mengikut Stoner J. A. F (1989 : 454), antara teknik yang digunakan ialah latihan sensitiviti, tinjauan maklum balas, proses perundingan, membina pasukan dan perkembangan antara kumpulan. Dalam konteks sekolah, Pengetua boleh melakukan perubahan tingkahlaku, sikap, tanggapan dan pengharapan guru-guru dan kakitangan sama ada secara individu, kumpulan atau keseluruhan organisasi sekolah. Sebagai contoh Pengetua menukarkan atau mengeluarkan guru-guru yang sering menimbulkan masalah yang merumitkan seperti kesukaran mendapat guru ganti, lebih-lebih lagi jika ia melibatkan guru pakar dan berpengalaman. Dalam hal ini Pengetua haruslah menggunakan pendekatan yang fleksibel dan sesuai yang melibatkan kemahiran kemanusiaan yang tinggi. Ada juga bentuk perubahan yang dilaksanakan di sekolah secara jangka panjang. Biasanya pendekatan ini merujuk kepada usaha membangunkan organisasi secara menyeluruh dengan memfokus kepada sifat serta kualiti hubungan kerja mereka. Antara kaedah yang biasa digunakan ialah proses-proses penyelesaian masalah, membuat keputusan di sekolah melibatkan sama ada Pengetua memilih untuk menyelesaikan masalah secara sendiri atau secara bersama-sama, yakni melibatkan semua subordinatnya. Pengetua sebagai pemimpin sebaiknya melakukan perubahan melalui penglibatan dan perkongsian kuasa dengan subordinatnya bukan secara autoriti. Perubahan juga boleh melibatkan budaya sekolah. Ia meliputi perubahan pola-pola aktiviti, interaksi, norma, nilai sikap dan perasaan yang wujud di sekolah. Dalam proses perubahan budaya ini Pengetua haruslah mengenalpasti apa budaya yang tidak diperlukan dan apa budaya yang patut dikekalkan. Ini penting kerana jika tersalah pilih ia akan menimbulkan tentangan dan tidak diterima oleh guru-guru dan kakitangan sekolah. ( Jaafar Muhamad, 1999: 470 ) Teori Dan Model Perubahan Terdapat pelbagai teori dan model perubahan yang dikemukakan oleh ramai pengkaji. Teori dan model ini boleh dijadikan asas dan panduan kepada pemimpin organisasi termasuk Pengetua dalam melaksanakan sesuatu perubahan. Walau bagaimanapun penggunaan model-model tersebut adalah bergantung kepada keadaan sesebuah organisasi atau sekolah. Biasanya model ini berkait rapat dengan gaya pengurusan dan kepimpinan sesebuah sekolah dan cara Pengetua membuat keputusan. Teori Bidang Daya Penggerak

Teori ini dikemukakan oleh Kurt Lewin (1952). Mengikut teori ini sebarang tingkahlaku adalah akibat keseimbangan antara daya penggerak tolakan dan daya penggerak penghalang. Daya penggerak tolakan mendorong ke satu arah, manakala daya penggerak penghalang mendorong ke arah yang lain. Prestasi yang muncul merupakan penyesuaian bagi kedua-dua set daya penggerak itu. Peningkatan daya penggerak tolakan mungkin akan meningkatkan prestasi atau sebaliknya, iaitu berlaku peningkatan daya penggerak menghalang. Contohnya apabila Pengetua meminta guru-guru bertugas di luar kemampuan dengan andaian akan meningkatkan kualiti kerja. Tindakan ini mungkin boleh menyebabkan kebencian dan sikap memberontak yang boleh mengurangkan tahap kerajinan dan kreativiti seseorang guru. Mungkin melalui pendekatan yang betul dan terancang boleh mengubah kepercayaan dalaman, guru-guru akan sukarela melaksanakan perubahan dengan lebih efisyen. Lampiran 1 boleh menjelaskan Teori Bidang Daya Penggerak oleh Kurt Lewin. Teori ini menjelaskan perubahan organisasi boleh dipengaruhi oleh perubahan manusia, teknologi, perubahan struktur organisasi, proses dan keadaan. Proses perubahan dianggap sebagai satu sistem di mana jika salah satu faktor tersebut berubah, maka faktor lain juga turut berubah. Ia menjelaskan perubahan perlakuan berlaku hasil dari tiga peringkat perubahan iaitu : i. ii. iii. Peringkat pencarian. Perubahan baru. Pembentukan semula.

Peringkat pencairan melibatkan tindakan menjadikan keperluan bagi perubahan begitu ketara sehinggakan individu, kumpulan atau organisasi dapat melihat atau menerimanya dengan baik. Perubahan baru memerlukan seorang agen perubahan yang terlatih untuk memupuk nilai, sikap dan perilaku yang baru melalui peroses-proses pengenalpastian dan penjiwan. Para anggota organisasi mengenalpasti nilai, sikap dan perilaku yang di bawa oleh agen perubahan dan menjiwainya apabila mereka telah melihat keberkesanannya. Peringkat terakhir iaitu pembekuan semula bererti memantapkan pola perilaku yang baru itu dengan bantuan alat-alat sokongan, supaya ia menjadi norma yang baru. Model Perubahan Autokratik Model ini percaya bahawa pengurusan yang berkesan ialah melalui kuasa. Mereka percaya kejayaan melaksanakan perubahan dalam sekolah ialah dengan menggunakan kuasa yang ada pada Pengetua. Dalam hal in Pengetua tidak akan bertolak ansur dalam melaksanakan perubahan di sekolahnya. Subordinat terpaksa mengikut apa yang diarahkan dari masa ke semasa. Mereka percaya bahawa terdapat dua bentuk gaya perubahan iaitu gaya perubahan kawalan dan gaya panduan logik. Dalam konteks sekolah gaya perubahan kawalan, biasanya subordinat diberi autoriti untuk menjalankan perubahan di bahagian atau unit masing-masing yang difikirkan sesuai asalkan tindakan mereka selaras dengan komitmen mereka dan untuk kebaikan sekolah. Model Perkembangan dan Perubahan Terancang Salah satu model ialah Model Hubungan atau Linkage Model. Model ini menekankan betapa pentingnya teori pendidikan dan dapatan kajian atau penyelidikan sebagai sumber untuk melaksanakan reformasi sekolah. Pendekatan utama model ini adalah mengubah amalan yang wujud di sekolah yang didapati tidak produktif atau tidak berkesan bagi mencapai wawasan atau matlamat sekolah. Usaha yang dijalankan untuk memulihkan "The dyfunctions of the school organization" seperti masalah disiplin , prestasi peperiksaan , gaya kepimpinan, perhubungan manusia dalam sekolah dan kaedah pengajaran guru (Hussein, 1993 : 264 266)

Model ini terdiri dari tujuh peringkat proses iaitu: i. ii. iii. iv. v. vi. vii. Peringkat matlamat. Peringkat penilaian. Peringkat perancangan. Peringkat latihan staf. Peringkat percubaan. Peringkat tranformasi. Peringkat budaya baru.

Peringkat pertama ialah menetapkan matlamat dan arah tuju sekolah. Dalam merangka matlamat dan arah tuju, maklumat dapatan kajian dan bahan-bahan penulisan dirujuk. Pada masa yang sama segala pandangan dan pengalaman guru diambil kira. Peringkat kedua iaitu penilaian merujuk kepada segala amalan, dasar dan prosedur yang terdapat di sekolah dinilai nagi mendapatkan norma untuk dibuat perbandingan dalam melaksanakan strategi dan tindakan yang patut diambil. Peringkat perancangan pula ialah peringkat di mana sekolah membuat perancangan secara menyeluruh dari segi kaedah dan strategi perlaksanaannya. Pada peringkat ini mungkin berlaku pengubahsuaian atau penstrukturan sekolah seperti falsafah, misi sekolah, dasar dan prosedur, sistem dan proses pengajaran dan pembelajaran serta pembahagian tugas guru-guru. Seterusnya peringkat latihan staf di mana perkembangan staf dijalankan. Latihan ini bertujuan supaya mereka dapat memahami aspek-aspek pembaikan sekolah. Antara aktiviti yang boleh dijalankan ialah perbengkelan, seminar dan percambahan fikiran. Ia boleh dijalankan di peringkat sekolah. Peringkat percubaan pula memperlihatkan bagaimana guru mencuba amalan baru, penerapan nilai-nilai baru dan pembinaan keyakinan diri terhadap perubahan tersebut. Peringkat tranformasi pula dikatakan berlaku apabila amalan baru lebih berkesan mula diamalkan oleh semua guru secara menyeluruh dan pada masa yang sama proses pengubahsuaian terus berlaku terhadap mana-mana amalan dan strategi yang kurang berkesan. Peringkat terakhir ialah peringkat membina dan memperkukuhkan budaya baru sekolah yang lebih produktif. Model Loucks Horsley dan Herget (1985) Dalam model ini idea program untuk perubahan datang dari pihak luar dengan melibatkan persetujuan pihak bertanggungjawab dalam sistem pendidikan. Ini bertujuan bagi mendapatkan kebenaran, sokongan kewangan, moral dan staf dari pihak tersebut. (Huseein, 1993 : 289). Model ini menyarankan tujuh langkah atau tindakan yang perlu diambil oleh pihak sekolah dalam menambahbaikan sekolah tersebut. Langkah-langkah tersebut ialah: i. ii. iii. iv. v. vi. vii. Pembentukan projek penambahbaikan sekolah Penilaian dan penerapan matlamat Pengenalpastian kaedah penyelasaian yang ideal. Penyedian untuk perlaksaan. Perlaksaan program. Penelitian kemajuan dan masalah. Penyelengaraan dan institutionnalization.

Di peringkat ini pembentukan projek dan penambahbaikan sekolah, penentuan harus dibuat terhadap apakah hasilan yang hendak dicapai dan apakah peranan yang dimainkan oleh "initiator". Selepas itu baru Pengetua berunding dengan pihak yang berkaitan untuk mengemukakan idea program. Peringkat yang kedua iaitu penilaian dan penetapan matlamat pula memberi tumpuan kepada dari manakah proses penambahbaikan harus dimulakan. Model ini menyarankan agar perubahan dimulakan dari ketidakpuasan hati, iaitu masalah yang

dihadapi, jenis masalah, siapakah yang terlibat, apakah bukti dan sebabnya dan apakah matlamat jika masalah itu dapat diatasi. Pada peringkat ini barulah terbentuknya wawasan. Peringkat pengenalpastian kaedah penyelesaian pula melibatkan mengenalpasti sumber yang ada, menubuhkan kriteria kaedah penyelesaian, mencari dari mana sumber boleh diperolehi, membuat keputusan dan mengubahsuaikan kaedah itu kepada amalan-amalan di dalam bilik darjah. Dalam peringkat penyediaan (unfreezing) untuk perlaksanaan, kesedaran dibina, pelaksanaan dipilih, menilai amalan yang ada sekarang dan menetapkan pengharapan serta menentukan jangka masa perlaksanaannya. Peringkat yang seterusnya ialah peringkat perlaksanaan program (moving) iaitu mengadakan latihan staf dan sokongan serta pengawasan oleh Pengetua. Penilaian kemajuan dan masalah dilakukan selepas program itu dilaksanakan beberapa ketika. Sebarang masalah yang timbul perlu di atasi segera dan pengukuhan yang positif perlu diberikan kepada guru-guru. Peringkat terakhir ialah memastikan tindakan penyelesaian masalah tersebut menjadi norma dan amalan sekolah yang perlu diikuti secara berterusan (refreezing). Halangan dan Cabaran Yang Dihadapai Oleh Pengetua Dalam Melaksanakan Perubahan Setiap perubahan yang dilakukan tidak dapat lari dari menempuh pelbagai halangan dan cabaran. Walau bagaimanapun bagi seorang Pengetua yang berkesan ia harus boleh menjangka apakah halangan yang bakal dihadapainya sebelum sesuatu perubahan dilaksanakan. Padanya halangan bukan sebagai masalah tetapi ia adalah cabaran yang harus di atasinya. Antara sebabsebab berlakunya penentangan terhadap perubahan mengikut Shahril (2000) ialah: i. ii. iii. iv. v. Ketidaktentuan masa depan. Kehilagan kuasa individu. Penentangan oleh kumpulan tertentu. Ketidakpercayaan kepada pemimpin yang membuat perubahan. Terdapat kelemahan dalam apa sahaja perubahan dan pembaharuan yang bakal dilaksanakan.

Mengikut Jaafar Muhamad (1999 : 43), faktor-faktor yang menghalang perubahan dilaksanakan dalam sesebuah organisasi termasuk sekolah ialah: i. ii. iii. iv. v. vi. vii. Pengurangan kuasa dan tanggungjawab. Menambahkan beban kerja. Kehilangan sumber ekonomi. Ketidakselesaan. Kekurangan sumber kewangan. Tidak yakin dengan kejayaan. Faktor Agama, sosio eonomi dan politik.

Pengurangan kuasa dan tanggungjawab berlaku apabila pekerja yang terlibat dengan perubahan merasa takut kehilangan kuasa dan tangggungjawab mereka akan berkurangan dalam organisasi. Mereka menggangap dengan pengurangan kuasa tersebut akan menjejaskan kepentingan, kedudukan dan keselesaan mereka dalam organisasi berkenaan. Setiap perubahan yang dilaksanakan sukar diterima jika ia melibatkan penambahan beban kerja terhadap kakitangan. Misalnya pertukaran mata pelajaran dan kelas yang diajar serta penambahan waktu mengajar dan aktiviti kelas tambahan agak kurang digemari oleh guru. Ada juga pekerja yang menentang perubahan kerana mereka sendiri tidak dijelaskan tentang matlamat dan sebab-sebab perubahan dilakukan. Pada mereka apa akan berlaku pada masa hadapan masih belum jelas (Stoner, 1989).

Wujudnya perasaan tidak percaya terhadap pemimpin atau Pengetua yang membuat perubahan juga boleh menjadi penghalang kepada perubahan. Ketidakpercayaan ini mungkin berpunca dari kelemahan pemimpin Pengetua itu sendiri yang tidak yakin samada perubahan itu boleh membawa kejayaan atau kegagalan. Pengalaman kegagalan masa lalu akan mempengaruhi anggapan mereka bahawa kegagalan yang sama akan berulang lagi. Oleh itu kekurangan sokongan dan komitmen daripada kakitangan terhadap perubahan akan berlaku (Nona A. Prestine, 1991). Satu halangan yang peting kepada sebarang perubahan ialah kekurangan sumber. Mengikut Nona A. Prestine (1991), satu faktor yang menghalang dalam perubahan ialah kekurangan stabiliti. Kekurangan stabiliti meliputi kekurangan kepakaran atau maklumat penting dalam sesuatu perubahan dan kekurangan sumber kewangan. Masalah ini juga dihadapi di sekolah di mana selain dari menggunakan peruntukan yang diberikan oleh kerajaan, Pengetua juga terpaksa mencari sumber dari Persatuan Ibu Bapa dan Guru bagi menjayakan beberapa program sekolah seperti kelas tambahan dan sebagainya. Cadangan Untuk Mengurangkan Penentangan Terhadap Perubahan. Banyak pendapat dan cadangan yang diberikan untuk mengatasi atau mengurangkan halangan atau penentangan terhadap perubahan dalam sesebuah organisasi. Mengikut Jaafar Muhammad (1999 : 496) dan Stoner (1989), beberapa taktik yang boleh digunakan ialah: i. ii. iii. iv. v. vi. Pendidikan dan komunikasi. Penglibatan bersama. Kemudahan dan peralatan. Perundingan. Manipulasi. Penggunaan kuasa.

Komunikasi dan pendidikan bermaksud semua kakitangan haruslah diberi penerangan dan maklumat yang jelas tentang matlamat perubahan. Terdapat pelbagai cara untuk menyampaikan maklumat kepada kakitangan di sekolah, misalnya melalui memo, laporan, pekeliling dan mesyuarat. Semua kakitangan juga haruslah dilibatkan dalam perbincangan dan membuat sebarang keputusan mengenai perubahan. Pengetua haruslah bersifat terbuka dalam menerima pandangan dan idea daripada guru-gurunya. Guru-guru dan kakitangan haruslah diberi kursus dan latihan supaya mereka meningkatkan kefahaman terhadap sesuatu program yang hendak dilaksanakan. Satu lagi cara yang boleh digunakan ialah melalui taktik penglibatan. Sebarang keputusan yang hendak diambil haruslah melibatkan guru-guru dan kakitangan lain. Biasanya seseorang yang terlibat dalam proses memberi pandangan dan membuat keputusan tentang perubahan akan menyokong perubahan. Ini telah dibuktikan oleh kajian Coch dan French (1948) yang mendapati terdapat kolerasi yang rapat antara penglibatan dengan kejayaan perubahan yang diperkenalkan. Bagi mengurangkan halangan terhadap perubahan kemudahan dan peralatan perlulah disediakan. Peralatan baru yang disediakan juga haruslah mampu menunjukkan ia lebih baik daripada yang sedia ada. Kemudahan kaunseling dan latihan juga perlu dipertingkatkan untuk memupuk keyakinan diri di kalangan guru-guru dalam menghadapi perubahan. Pengetua juga haruslah memberi sokongan, galakan dan dorongan terhadap sebarang perubahan yang hendak dilakukan. Satu keadaan yang perlu diingat ialah perubahan perlulah dilaksanakan secara beransur-ansur bukannya sekali gus. Taktik lain yang boleh digunakan ialah manipulasi (Stoner, 1989). Ia bermaksud pengurus atau Pengetua boleh mengamalkan kaedah memutarbelitkan fakta supaya ia kelihatan menarik.

Sebagai contoh Pengetua boleh menonjolkan perubahan dan kejayaan-kejayaan yang dicapai dan menyembunyikan kelemahan hasil perubahan yang dilaksanakan. Tujuan manipulasi ialah untuk mendapat sokongan dari kakitangan. Cara manipulasi lain yang boleh digunakan ialah dengan memberi sogokan atau menjanjikan ganjaran yang baik kepada ketua kumpulan yang menghalang kepada perubahan. Dengan cara ini diharap ketua kumpulan akan berpihak kepada pihak pengurusan atau Pengetua dan cuba mempengaruhi ahli yang lan agar menerima perubahan. Taktik yang terakhir ialah dengan menggunakan kuasanya untuk mengugut dan mendesak secara asplisit dan implisit (Stoner, 1989), seperti pertukaran guru-guru, tidak menyokong kenaikan pangkat dan penilaian prestasi kepada guru-guru dan kakitangan yang enggan menerima perubahan. Walau bagaimanapun taktik ini merupakan taktik yang kurang berkesan kerana ia bersifat mengarah bukannya memimpin. Rumusan Daripada perbincangan di atas, jelaslah bahawa perubahan dalam sesebuah organisasi termasuk sekolah amat penting dilaksanakan. Tanpa perubahan sesebuah organisasi itu tidak akan mencapai kecemerlangan. Namun untuk melaksanakan perubahan bukanlah satu perkara yang mudah. Ia memerlukan pertimbangan dan penglibatan semua pihak supaya perubahan tersebut dapat dilaksanakan secara berkesan. Sebagai pemimpin sekolah dan agen perubahan, Pengetua harus memahami dan menganalisis apa perubahan yang hendak dilaksanakan, tujuan, matlamat, bagaimana, bila dan siapa yang akan melaksanakan perubahan tersebut. Pengetahuan mengenai asas teori dan model perubahan juga amat penting untuk dijadikan panduan. Ini penting supaya perubahan yang dilaksanakan itu boleh meningkatkan pencapaian organisasi dan pada masa yang sama ia boleh diterima oleh kakitangan tanpa menimbulkan pelbagai halangan.