onkologi modul 3
DESCRIPTION
benjolanTRANSCRIPT
LAPORAN KELOMPOK
SISTEM ONKOLOGI
Modul II
“BENJOLAN DI LEHER”
OLEH :
KELOMPOK A-1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
1
NAMA ANGGOTA KELOMPOK
ASWAN C111 06
MUHAMMAD ADRI ALIFANSYAH C111 07
AMEL KURNIA EKA SARI C111 07 015
RAFIKAH C111 07 047
ASVINA ANIS C111 07 071
AFDALIAH C111 07 114
SUKMAWATI C111 07 130
DWI SETIA NINGRUM C111 07 147
JORIANTO MUNTARI C111 07 163
SYUKRI LA RANTI C111 07 180
MEILIANA LAY C111 07 198
JERNI C111 07 214
RAHMAWATI C111 07 250
WISNU ADRYANTO C111 07 268
FARHAN HAFIZ C111 07 343
2
1. Skenario
Benjolan di leher
Seorang laki-laki 40 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan benjolan pada leher
bagian lateral, yang dirasakannya sejak 4 bulan yang lalu. Benjolan ini mula-mula
kecil, yang kemudian membesar dengan cepat. Benjolan teraba keras tetapi tidak
nyeri. Penderita mengeluh sakit kepala.
2. Kata Kunci
Pasien: Laki – laki 40 tahun
KU: Benjolan pada lateral leher, teraba keras, membesar progresif, tidak nyeri
Onset: 4 bulan lalu
Gejala Lain: Sakit kepala
3. Pertanyaan
1. Bagaimana anatomi yang terkait dengan keluhan pasien di atas?
2. Bagaimana patomekanisme timbulnya gejala?
3. Apa saja anamnesis dan pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis?
4. Apa saja penyakit yang bisa menimbulkan benjolan pada leher?
4. Jawaban
1. Anatomi yang berkaitan dengan kasus
Pasien pada kasus mengalami benjolan pada lehernya. Sumber benjolan ini bisa berasal
dari jaringan otot, lemak, kulit, tulang, maupun kelenjar tiroid, paratiroid dan kelenjar
getah bening. Namun karena keterbatasan info sulit untuk menentukan struktur yang
menjadi sumber benjolan pada kasus ini. Namun secara garis besar, jika suatu benjolan
timbul pada daerah leher, maka organ yang bisa dicurigai mengalami gangguan adalah:
3
a. Kelenjar getah bening (KGB)
Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh kita
memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya didaerah submandibular
(bagian bawah rahang bawah; sub: bawah;mandibula:rahang bawah), ketiak atau lipat paha yang
teraba normal pada orang sehat.
Sistema Lympathica Colli Facialis
Gugusan superficialis berjalan mengikuti vena superficialis dan gugusan profunda
berjalan mengikuti arteria atau seringkali mengikuti vena profunda.
Gugusan superficialis membentuk suatu lingkaran pada perbatasan leher dan kepala yang
dinamakan lingkaran pericervicalis atau cervical Collar, meliputi l.n.occipitalis, l.n.mastoideus
(l.n.retro auricularis), l.n.preauricularis (l.n.parotideus superficialis), l.n.parotideus profundus,
l.n.submandibularis dan l.n.submentalis.
L.n.occipitalis terletak pada serabut-serabut cranialis m.trapezius, ditembusi oleh v.occipitalis,
kira-kira 2,5 cm di sebelah infero-lateralis inion. Menerima aliran lymphe dari bagian belakang
kepala dan mengirimkannya kepada lymphonodi cervicales profundi dengan melewati bagian
profunda m.sternocleidomastoideus.
L.n.pre-auricularis terletak pada glandula parotis sepanjang vena temporalis superficialis dan
vena facialis transversa. Menerima pembuluh afferen dan kepala (scalp), auricula, palpebra dan
pipi. Dan mengirim pembuluh afferen menuju ke l.n.cervicalis superficialis.
L.n.submentalis berada di antara kedua venter anterior m.digasticus, pada permukaan inferior
dari m.mylohyoideus, membawa lymphe dari lidah bagian tengah (juga apex lingua) dan dari
labium inferius.
L.n.submandibularis biasanya dikelompokkan pada gugusan superficialis, meskipun membawa
drainage dari lidah dan glandula submandibulare. Lymphonodus ini terletak pada vena facialis di
sebelah caudal dari mandibula, dimana vena ini menerima v.retromandibularis. pembuluh efferen
membawa aliran lymphe menuju ke l.n.cervicalis profundus pars cranialis.
Masih ada lymphonodus lainnya, yaitu l.n.facialis yang merupakan perluasan ke cranialis dari
l.n.submandibularis dengan mengikuti vena facialis, berada pada facies.
4
L.n.cervicalis anterior berada sepanjang v.jugularis anterior, menerima lymphe dari bagian
tengah (linea mediana) leher dan mengalirkan lymphenya menuju ke l.n.cervicalis profundus;
gugusan ini dapat dianggap menerima afferen dari l.n.submentalis.
L.n.cervicalis superficialis berada sepanjang v.jugularis externa. Menerima aliran lymphe dari
kulit pada angulus mandibulae, regio parotis bagian caudal dan telinga, dan membawa aliran
lymphenya menuju ke l.n.cervicalis profundus. Semua lymphonodi akan memberi aliran
lymphenya kepada l.n.cervicalis profundus. Diantara gugusan superficial dan gugusan profunda
terdapat gugusan intermedis, yang terdiri atas :
L.n.infrahyoideus yang berada pada membrana thyreo-hyoidea, menerima afferen yang
berjalan bersama-sama dengan a.laryngea superior dan berasal dari larynx di bagian cranialis
plica vocalis.
L.n.prelaryngealis yang berada pada ligamentum cricothyreoideum, menerima lymphe dari
larynx di bagian cranialis plica vocalis, berada pada vasa thyreoidea superior.
L.n.paratrachealis yang berada pada celah di antara trachea dan oesophagus, menerima
lymphe dari glandula thyreoidea dan struktur di sekitarnya, pembuluh efferennya mengikuti
vasa thyreoidea inferior menuju ke l.n.cervicalis profundus (dan l.n.mediastinalis superior).
L.n.cervicalis profundus terletak di sebelah profunda m.sternocleidomastoideus sepanjang
carotid sheath. Terdiri atas banyak lymphonodus, berada pada vena jugularis interna, mulai dari
basis cranii sampai di sebelah cranialis clavicula dan dibagi oleh venter inferior m.omohyoideus
menjadi gugusan superior dan gugusan infeior.
Gugsan superior atau l.n.cervicalis profundus pars superiro tereltak di sebelah cranialis cartilago
thyreoidea, menerima afferen dari cavum cranii, regio pterygoidea, l.n.parotideus dan
l.n.submandibularis, radix linguae, pars cranio-lateralis glandula thyreoidea, larynx dan pharynx
bagian caudal. Mengirimkan efferennya menuju ke l.n.cervicalis profundus pars inferior.
Terdapat perluasan dari l.n.cervicalis profundus pars superior yang menuju ke arah medial dan
membentuk l.n.retropaharyngealis (berada di dalam spatium retropharyngeum), menerima
lymphe dari nasopharynx, tuba auditoria dan dari vertebra cervicalis, mengirimkan lymphenya
menuju kepada l.n.cervicalis profundus pars superior dengan mengikuti vena pharyngealis.
L.n.cervicalis profundus pars superior dan juga dari l.n.cervicalis superficialis, pars caudalis
5
glandula thyreoidea, larynx bagian cudal, trachea pars cervicalis dan oesophagus. Pembuluh-
pembuluh efferen membentuk sebuah pembuluh besar (jugular trunk) dan bermuara ke dalam
ductus thoracicus (dibagian kiri) serta ductus lymphaticus dexter (bagian kanan).
Pada tempat persilangan antara m.digastricus dan vena jugularis interna trdapat
l.n.juguladigastricus.
Gugusan lymphonodus yang terletak di sebelah cranialis venter inferior m.omhyoideus pada saat
otot ini menyilang v.jugularis interna membentuk l.n.jugulo-omohyoideus.
Gambar 1: Gambar Kelenjar Getah Bening Pada Daerah Leher
6
Gambar 2: Mekanisme Kerja Saluran Limfe Gambar 3: Histologi LimfeNodus
Limfatikus
Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan
merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah bening
yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB
akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya.
Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen
(mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang
menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih
banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran
kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari
KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel
peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi
(masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher disease)
Dengan mengetahui lokasi pembesaran KGB maka kita dapat mengerahkan kepada lokasi
kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.
7
b. Faring
Nasopharynx
Merupakan bagian yang paling luas dari cavum pharyngis. Terletak di belakang cavum
nasi dan cranialis dari palatum molle (palatum molle dapat dianggap membentuk lantai
nasopharynx). Ruangan ini dapat dipisahkan sama sekali dari oropharynx dengan mengangkat
palatum molle ke arah dinding posterior pharynx. kE arah anterior berhubungan dengan cavum
nasi dengan melalui choanae. Bagian ini semata-mata dilalui oleh udara respirasi. Pada setiap
dinding lateral nasopharynx terdapat muara dari tuba auditiva (tuba pharyngotympanica).
Lubang ini terletak ssetinggi concha nasalis inferior dan dibatasi di sebelah postero-superior oleh
torus tubarius, yaitu suatu penonjolan yang disebabkan oleh pars medialis dari tuba auditiva. Di
sebelah dorsal dari tonjolan ini terdapat recessus pharyngeus (rosenmuelleri) yang berjalan
vertikal. Pada ostium pharyngeum tubae auditivae terbentuk labium anterius dan labium
posterior, dan labium posterius melanjutkan diri ke caudal pada plica salpingopharyngealis, yaitu
suatu plica yang dibentuk oleh membrana mucosa yang membungkus m.salpingo pharyngeus.
Di bagian cranialis dinding posterior nasopharynx terdapat tonsilla pharyngea, yang
bertumbuh sampai usia anak 6 tahun, lalu mengalami retrogresi. Bilamana terjadi hypetrophi
maka nasopharynx dapat tertutup dan memberi gangguan respirasi. Di sebelah dorsal tuba
auditiva terdapat kumpulan jaringan lymphoid yang membentuk tonsilla tubaria. Pembesaran
dari tonsilla ini dapat menekan tuba auditiva dan menghalangi aliran udara yang menuju
ketelinga bagian tengah. Pembesaran dari tonsilla pharyngea dan tonsilla tubaria akan
membentuk adenoid.
Oropharynx
Terletak di sebelah dorsal cavum oris, di sebelah caudal dari palatum molle dan di sebelah
cranialis aditus laryngis. Mempunyai hubungan dengan cavum oris melalui isthmus
oropharyngeum (= isthmus faucium).
Batas lateral isthmus faucium dibentuk oleh arcus palatoglossus, yang melekat dari palatum
molle menuju ke sisi lidah (kira-kira di bagian posterior pertengahan lidah). Di sebelah
posteriornya lagi terdapat arcus palatopharyngeus yang berasal dari tepi posterior palatum molle
menuju ke caudo-dorsal mencapai dinding lateral pharynx. Arcus palatopharyngeus, arcus
8
palatopharyngeus dan bagian posterior sisi lingua membentuk fossa tonsillaris yang ditempati
oleh tonsilla palatina.
Laryngopharynx
Bagian ini berada di sebelah dorsal larynx. Ke arah cranialis berhubungan dengan
oropharynx (hubngan bebas) dan ke arah caudalis melanjutkan diri menjadi oesophagus. Aditus
laryngis terletak pada dinding anterior laryngopharynx. Facies posterior dari cartilago
arytaenoidea dan cartilago cricoidea membentuk dinding anterior laryngopharynx.
Vascularisasi, innervasi dan lymphonodus
Dinding pharynx mendapat suplai darah dari a.pharyngea ascendens (sebagai cabang dari
a.carotis externa), a.palatina ascendens (cabang dari a.facialis) dan a.palatina major (cabang dari
a.maxillaris). Pembuluh vena membentuk plexus pharyngeus pada dinding posterior dan dinding
lateral pharynx dan memberi aliran darahnya kepada v.jugularis interna.
Innervasi motoris untuk otot-otot pharynx diperoleh dari plexus pharyngeus terkecuali
m.stylopharyngeus yang mendapatkan innervasi dari r.muscularis n.glossopharyngeus. kelenjar
pharyngealis (terutama pada nasopharynx) mendapatkan serabut secretomotoris dari
r.pharyngealis yang dikeluarkan oleh ganglion pterygopalatinum.
Innervasi sensibel untuk membrana mucosa diperoleh dari plexus pharyngeus.
2. Patomekanisme timbulnya gejala
Nyeri kepala adalah perasaan sakit atau nyeri, termasuk rasa tidak nyaman yang
menyerang daerah tengkorak (kepala) mulai dari kening kearah atas dan belakang kepala. dan
daerah wajah.
IHS tahun 1988 menyatakan bahwa nyeri pada wajah termasuk juga dalam sakit kepala.
Dalam buku2 teks dan jurnal banyak memakai klasifikasi 1962, dan klasifikasi terbaru adalah
INS 1988 yang akan dipakai dalam ICD-WHO ke-X ada beberapa terminologi yang harus
dibedakan seperti : Pusing = vertigo, ringan kepala= like headedness, pening = dizziness, rasa
ingin pingsan = faintness, kepala berdenyut tujuh keliling dan sebagainya.
9
Definisi menurut IASP (International assosiation for the study of pain):
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi
atau telah terjadi atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan
Mekanisme nyeri :
Nociseptor yang diterima reseptor di kulit, pembuluh darah, visera, muskulusskeletal,dan lain-
lain, jalannya sebagai berikut : reseptor-- korteks. Dari sini baru thalamus medulla spinalis
syaraf tepi ada reaksi emosi – psikis motorik tanpa ada modulasi, sedangkan dalam
perjalanan hanya kesan sensorik.
Batasan sekarang : nyeri adalah pengalaman subjektif, sangat pribadi dipengaruhi oleh
pendidikan, budaya, makna situasi dan kognitif ( menurut Bonica,Melzack).
Ada beberapa teori mengenai mekanisme nyeri kepala :
- Teori Melzack & Wall (1985) : “ Teori gerbang nyeri “ bahwa : Nyeri diteruskan dari perifer
melalui saraf kecil A delta dan C rasa raba, mekanik dan termal melalui A delta A beta dan C
( serabut besar, kecepatan hantar serabut besar lebih tinggi dari serabut kecil ).
Disubstamtia Gelatinosa (SG) ada sel-sel gerbang yang dapat bekerja menutup dan membuka sel
T (targaet). Serabut besar aktif merangsang sel gerbang di SG, sel gerbang aktif dan sel T
tertutup, maka nyeri tidak dirasa. Serabut kecil aktif, sel SG tidak aktif, dan sel T terbuka maka
nyeri dirasa. Bila dirangsang bersama-sama, misal antara rasa raba, mekanik,vibrasi,dll dengan
rangsang nyeri maka nyeri tidak dirasa (seperti pada teknik tens, DCS, koyo-koyo, dll.)
Didapatkan kontrol desenden ke medulla spinalis dari pusat2 supra spinal (emosi,pikiran, dll).
- Konsep II: “Central Biasing mekanism”
Diduga ada daerah batang otak jadi ”CBM” yang menyebarkan impuls nyeri keberbagai tempat
diotak dan dapat menimbulkan inhibisi ke medulla spinalis. Ternyata formatioreticularis peri-
acuaductus dan peri-ventriculer kaya akan reseptor-reseptor morpin dan serotonin.
- Konsep III ; Pembangkit pola
Bila nyeri khronik telah membuat pola (gambar diotak), yang dapat dicetuskan oleh input
sensorik lain.
Mekanisme Terjadinya Timbulnya Benjolan Pada Leher
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher, seperti
trauma, infeksi, hormon, neoplasma dan kelainan herediter. Faktor-faktor ini bekerja dengan
10
caranya masing-masing dalam menimbulkan benjolan. Hal yang perlu ditekankan adalah tidak
selamanya benjolan yang ada pada leher timbul karena kelainan yang ada pada leher. Tidak
jarang kelainan itu justru berasal dari kelainan sistemik seperti limpoma dan TBC.
Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat mengalami benjolan entah itu kelenjar
tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur jaringan lain
seperti lemak, otot dan tulang.
Infeksi dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher melalui beberapa cara yang di
antaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang terserang
secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja imunitas tubuh yang
bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.
Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai
mekanisme infeksi. Hanya saja trauma yang tidak disertai infeksi sekunder pada umumnya tidak
menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.
Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka
otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama
mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi dan mengeluarkan mediator radang berupa
histamin, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator
radang ini terutama histamin akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan
permeabilitas venula serta pelebaran intraendothelialjunction. Hal ini mengakibatkan cairan yang
ada dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada daerah
yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran kelenjar limfe
karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan tubuh seperti
makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agen infeksius sedangkan agen
infeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh terutama eritrisot agar bisa
mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan pembesaran kelenjar
limfe karena bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun menyaring sel tubuh yang
mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidak menyebar ke organ tubuh lain.
Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel
limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi displasia dan
metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi sel tidak lagi sempurna.
Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis molekuler seperti peningkatan laju
11
pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini berakibat pada
proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan pada jaringan.
Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar tiroid-adenoma
tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe-limfoma maupun akibat dari metastase
kanker dari organ di luar leher.
Pada kasus dikatakan bahwa pasien mengalami benjolan pada leher yang mengalami
pembesaran secara progresif namun tidak nyeri pada penekanan. Namun pasien juga mengalami
gejala sakit kepala. Sulit untuk menentukan mekanisme pasti timbulnya gejala pada pasien ini
tanpa informasi lain mengenai penyakit terdahulu pasien, lokalisasi benjolan dan nyeri kepala
serta sejumlah pemeriksaan fisik untuk membedakan asal dan organ yang mengalami benjolan.
3. Anamnesis dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Jika ditemukan pasien dengan keluhan seperti yang terdapat pada kasus maka beberapa
hal yang perlu dilakukan pada pasien untuk mengarahkan diagnosis adalah sebagai berikut:
12
Anamnesis
Lokasi Benjolan
Gejala Tambahan Lainnya Seperti Mual, Muntah, Sesak Nafas, Sulit
Menelan, Epistaksis
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Riwayat Keluarga
Pemfis
Menentukan Lokasi dan Asal Benjolan:
Kulit, Otot, Lemak, Kelenjar
Menentukan Ada Tidaknya Benjolan yang Lain
Memeriksa ada Tidaknya Kelainan Fisik Lain: Defisit Neurologis dll
Penunjang
Radiologi:Esofagografi,CT-ScanUSGLabBakteriologiTumor Marker: Kalsitonon-Tiroglobulin, IgA anti EBV-VCABiopsiFNAB
Sedangkan alur diagnosisnya adalah sebagai berikut:
4. Diferensial Diagnosis
I. Karsinoma Nasofaring
Defenisi
Diperkirakan kira-kira 80%-90% keganasan nasopharynx adalah berkembang dari sel
epithelium.Terdapat 3 jenis carcinoma nasopharynx berdasarkan gambaran
histopatologisnya.Menurut WHO,ia dibahagikan kepada:
-WHO type 1,atau squamous karsinoma sel
-WHO type 2,atau non-keratin carcinoma
-WHO type 3,atau undifferentiated karsinoma
Epidemiologi
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan tertinggi didaerah leher dari bidang ilmu
penyakit THT . Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat
13
BENJOLAN DI LEHERNEOPLA
SMA
terapi : tergantung stadium dan riwayat penyakit
pemeriksaan :pem fisis → palpasi, endoskopi, laringoskopiradiologiCT scan
gejala klinis inflamasi → demam dsb
Anamnesis → riwayat penyakit sejak kecil Terapi :
antibiotic spectrum luas → observasi 2-4 mgg
tidak pulih → Pem. foto toraks, PPD Tuberculin Skin test → suspek TBC
ANOMALI KONGENITA
L
INFEKSI / INFLAMASI
Anamnesis → faktor resiko
predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak
khas.Angka kematiannya cukup tinggi.Di Indonesia penyakit ini termasuk dalam sepuluh besar
keganasan dari seluruh tubuh.Banyak menyerang pada usia 40-60 tahun, perbandingannya antara
laki-laki dan perempuan 2,5-1.
Etiologi
Faktor Pencetus karsinoma nasofaring ada berbagai macam, antara lain :
Genetik : HLA-A2, HLA-B.sin
Virus : Epstein Barr
DNA pada epitel sel tumor
Antibodi anti EBV
Lingkungan (paparan bahan-bahan karsinogenik) ;
Nitrosamin
Asap kayu bakar
Herbal tea
Higiene buruk
Ventilasi buruk
Ikan asin, kebiasaan mengkonsumsi ikan asin jangka panjang merupakan mediator utama
yang bisa mengaktifkan virus Epstein-Barr.Diduga ikan asin ini mengandung hasil
metabolisme protein yang disebut dengan nitrosmin. Begitu pula dengan makanan yang
diawetkan.
Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup. Misalnya kebiasaan membakar didalam
rumah, memasak dengan kayu bakar dan ventilasi rumah juga tidak mencukupi.
Kontak dengan zat karsinogen, misalnya pekerja pabrik bahan-bahan kimia.
Ras dan keturunan. Kanker nasofaring paling sering ditemukan pada ras mongoloid atau
keturunan cina. Serta lebih sering dialami laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2,18 :1.Hampir 60% ditemukan pada kisaran usia 25-60 tahun.
Radang kronis nasofaring yang sering mengganggu proses pembersih secara alami
sehingga bisa memicu virus yang dapat menyebabkan kanker.
Histopatologi
Karsinoma nasofaring adalah tumor asal epidermoid.
14
Kriteria WHO:
Tipe 1 : Keratinizing squamous cell carcinoma.
(karsinoma sel squamous berkeratin)
Tipe 2a: Non-Keratinizing squamous cell carcinoma.
(karsinoma sel squamousa tidak berkeratin )
Tipe 2b: Undifferentiated carcinoma.
(karsinoma tidak berdifferensiasi)
Patogenesis
Virus Epstein-Barr adalah berkaitan rapat dengan karsinoma nasopharynx.Titer antibodi
(imunnoglobulin A) terhadap virus ini akan meningkat bagi setiap penderita karsinoma
nasopharynx.Maka ia di gunakan sebagai tumor maker.untuk menilai keberkesanan
terapi.Menurut pemerhatian bahawa 80% penderita nasopharynx carsinoma menunjukkan
adanya produk BCL2.Produk ini menyebabkan terjadinya penghalangan proses apoptosis.Ini
menyebabkan perkembangan kanser tersebut.Menurut pemerhatian,memakan ikan asin dan
bahan kimia tertentu dapat memicu terjadinya kanser nasopharynx karsinoma tersebut.
Stadium tumor
T :Tumor pada nasofaring
Tis :Tumor insitu
T1 :Tumor terbatas pada satu tempat /sisi atau tumor tak tampak (hanya dengan
biopsy.
T2 : Tumor mengenai dua tempat
T3 :Ekstensi tumor kecavum nasi dan orofaring
T4 :Tumor invasi dasar tengkorak dan nervi cranialis.
N :Metastasis pada kelenjar limfe
NO :Tidak ada metastase kelenjar limfe
N1 :Tunggal,ipsilateral,Ǿ ≤ 3 cm
N2a :Tunggal ipsilateral,Ǿ ≤ 3-6 cm.
N2b :Multipel ipsilateral,Ǿ ≤ 6 cm.
N2c :Bilateral,Ǿ ≤ 6 cm.
15
N3 :Metastase pada nodus Ǿ ≤ cm
M :Metastasis
M0 :Tidak ada metastasis
M1 :Ada metastasis jauh
Gejala klinik
Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat
predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak khas.
Adapun tanda ataupun gejala yang timbul tergantung dimana perluasan tumor.
Apabila perluasannya ke arah atas, penderita akan merasakan diplopia
Apabila perluasannya ke arah lateral, Sebelumnya penderita merasakan adanya lendir
dibelakang hidung terus menerus yang tidak bisa dikeluarkan, rasa penuh ditelinga, telinga
berdenging/gembrebeg (tinnitus), otalgia, adanya radang pada telinga tengah ( conge”an ) sampai
dengan terjadinya robekan gendang telingan tanpa sebab yang jelas, dan tidak sembuh dengan
pengobatan serta terjadi berulang-ulang. Hal ini Karena adanya tumor pada daerah tenggorok
bagian atas ( nasofaring ) menutupi saluran yang menuju keliang telinga tengah (oklusib Tuba
eustachi ).
Bila tumor sudah membesar (stadium lanjut), maka ia dapat meluas kerongga hidung
bagian belakang ( koana ) dengan keluhan adanya hidung tersumbat ataupun mimisan bercampur
dengan ingus dalam jumlah yang bervariasi .Keluhan pada tenggorok
merupakan gangguan bicara,bernafas dan menelan dapat dijumpai bila tumor sudah membesar
karena mendesak kerongga tenggorok.
Sementara keluhan penglihatan dobel, karena tumor sudah meluas kedasar tengkorak
sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf-syaraf otot penggerak bola mata, dan mata
menjadi juling yakni nervus okulomotorius dan abdusen. Adanya gejala neurology pada syaraf
cranial seperti nyeri kepala dan nyeri disekitar wajah juga sering dijumpai pada penderita kanker
tenggorok akibat dari penekanan tumor pada syaraf disekitar kepala yakni nervus trigeminus,
glossofaringeus, vagus, assesorius .
16
Stadium lanjut, karsinomanya mengalami metastasis ke kelenjar getah bening
bermanifestasi sebagai benjolan yang teraba keras umumnya pada rantai kelenjar limfe jugularis
profunda superior
Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan anti virus.
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi
masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Berbagai macam kombinasi
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan cis – platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi cis – platinum, bleomycin, dan 5 –fluorouracil sedang
dikembangkan di bagaian THT FKUI dengan hasil sementara cukup memuaskan. Demikian pula
telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis platinum,
meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kehidupan yang cukup
baik.
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat *radio sensitizer* memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasopharing.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadapa benjolan dileher yang
tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi
dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan
serologik.
Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering
timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa
kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak
banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah,
membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa
17
asam sehingga merangsang keluarnya aar liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut
karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan dan kadang kadang muntah dan rasa mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor
tetap ada atau kambuh kembali. Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti
ketulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang
dapat diberikan selain pengobatan simptomatis untuk meningkatan kualitas hidup.
Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didaerah dengan resiko
tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara masak makanan untuk mencegah
akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup
yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dahn berbagai hal yang berkaitan
dengan kemungkinan kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan
IgA anti EA secara massal yang akan mendatangkan manfaat dalam menemukan karsinoma
nasopharing secara dini
II. Karsinoma Tiroid
Etiologi
Etiologi pasti dari Karsinoma Tiroid ini belum dapat dipastikan, karena secara umum
penyebab dari kanker itu sendiri sampai sekarang belum diketahui pasti.
Namun terdapat beberapa factor factor resiko yang dapat menyebabkan karsinoma tiroid,
yang antara lain ialah :
Riwayat Radiasi
Riwayat keluarga
Nodul soliter
Anak – anak
Laki laki dewasa
Nodul tiroid timbul relatif cepat dan tidak sakit
Struma pada anak anak
18
Struma pada wanita >45 tahun
Umur < 25 tahun : 50% ganas
Umur < 15 tahun : 75% ganas.
Epidemiologi
Karsinoma tiroid agak jarang didapat , yaitu sekitar 3 – 5% dari semua tumor malignant.
Insidennya lebih tinggi dinegara dengan struma endemik, terutama jenis tidak berdeferensiasi.
Karsinoma tiroid didapat pada segala usia dengan puncak pada usia muda (7 – 20 tahun) dan usia
setengah baya (40 – 60 tahun). Insiden pada pria adalah sekitar 3/100.000/tahun dan wanita
8/100.000/tahun. Kurang lebih 25% terjadi pada struma nodusa. Karsinoma aganya timbal
diantara nodul bukan didalamnya.
80 % ádalah jenis papiller
Patogenesis
Difrensiasi
Sel Normal Sel Kanker
Onkogen
Radiasi
Protoonkogen
Proses : Inisiasi
Promosi
Progresi
Pada keadaan awal dimana sel sel tiroid dalam keadaan normal Namun setelah ada paparan
dengan bahan bahan karsinogenik seperti terlihat pada bagan yakni radiasi maka sel normal
tersebut dapat berubah menjadi sel kanker, dimana sel kanker juga melalui beberapa tahap, yakni
Inisiasi, yakni dimana terjadi amplifikasi dari DNA Namun Belum menimbulkan ekspresi gen,
sehingga pada tahapo ini dapat dikatakan bahwa jumlah dari gen gen meningkat Namun belum
19
menimbulkan efek kepada sel itu sendiri, Namun pada proses promosi dimana pada tahap ini
terpapar lagi oleh bahan bahan karsinogenik dapat serupa dengan bahan pada saat tahap inisisai
Namun dapat pula berbeda, pada tahap ini terjadi ekspresi gen dimana sel sel telah menjadi sel
abnormal Namun pada tahap ini sel sel tersebut bersifat reversible dengan kata lain apabila pada
tahap ini kita dapat mengobati dengan komplit maka sel tersebut dapat kembali menjadi sel
normal kembali Namun apabila tidak komplit maka dapat menjadi sel kanker, dan selanjutnya
pada tahap progresi maka terjadi perubahan serta perbanyakan sel secara cepat dan tidak
terkendali lagi.
Dan perubahan dari sel normal menjadi sel kanker perlu digarisbawahi juga bahwa disini
terjadi perubahan dari protoonkogen menjadi onkogen, dan terjadi inaktivasi dari supresor
sehingga tidak ada lagi penghambat bagi sel tersebut untuk terus memperbanyak diri, maka
jadilah sel normal tersebut menjadi sel ganas.
Gambaran Klinik
Pada karsinoma tiroid ini terdapat beberapa tipe, dan masing masing tipe tersebut juga
berbeda gambaran kliniknya, adapula pembagiannya ialah :
a. Epitelial
Adenokarsinoma papiller
Adenokarsinoma folikuler
Undifferentiated karsinoma/anaplastia
Small cell karsinoma
Giant ceel karsinoma
Spindle cell karsinoma
Karsinoma meduller
Squamos cell karsinoma
b. Non Epitelial
Limphoma
Sarcoma
Metastasis tumor
Malignant teratoma
Unclassified tumor
20
c. Well Differentiated
Type papiller
Type folikuler
Type meduller
d. Undifferentiated
Type anaplastik
Pemeriksaan Tambahan
Untuk pemeriksaan tambahan guna dapat mendiagnosis karsinoma tiroid kita dapat
lakukan sesuai dengan type karsinoma itu sendiri, yang antara lain :
1. Adenokarsinoma Papiller
Tumor biasanya dapar diraba dengan mudah dan umunya dapat pula dilihat. Yang khas
untuk tumor tiroid ialah tumor ikut dengan gerakan menelan.
Ultrasonografi dapat dilakukan untuk membedakan nodul kistik atau padat dan
menentukan volume tumor.
Pemeriksaan Roentgen berguna untuk melihat dorongan dan tekanan pada trakea serta
kalsifikasi didalam jaringan tiroid.
Foto thorax dibuat untuk melihat kemungkinan penyebaran kemediastinum bagaian atas
atau keparu.
Pemeriksaan sidik radioaktif tiroid dilakukan dengan yodium 131. Berdasarkan
banyaknya yodium yang ditangkap oleh nodul tiroid dikenal nodul dingin, yaitu nodul yang
menangkap yodium lebih sedikit dibandingkan sel kelenjar normal, atau tidak menangkat sama
sekali. Nodul hangat menangkap yodium radioaktif sama banyak dengan kelenjar normal, dan
nodul panas menangkap yodium radioaktif lebih banyak. Karsinoma papiller biasanya kurang
menangkap yodium atau sama sekali tidak menagkap.
Biopsi insisi dianjurkanpada karsinoma tiroid yang masih layak bedah. Biopsi aspirasi
jarum halus dapat dilakukan tetapi ketepatan diagnosis tergantung kepada kejelian ahli patologi
atau sitologi.
21
2. Adenokarsinpoma Meduler
Jika dicurigai Adenokarsinoma meduler maka dilakukan pemeriksaan kadar kalsitonin
dalam darah sebelum atau sesudah suntikan pentagastrin atau kalsium.
3. Adenokarsinoma Anaplstik
Pada anamnesis ditemukan struma yang telah diderita cukup lama dan kemudian
membesar dengan cepat. Bila disertai suara parau harus dicurigai Adenikarsinoma Anaplastik.
Pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen torax dan seluruh tulang tubuh dilakukan
untuk mencari metastasis keorgan tersebut.
Penatalaksanaan
Untuk penataksanaan karsinoma tiroid dilakukan sesuai dengan masing masing tipe
karsinoma tiroid :
1. Adenokarsinoma Papiller
Pada struma nodul tunggal sebainya tidak dilakukan enukleasi, sebab bila hasil
pemeriksaan patologi ternyata ganas maka sel tumor sudah tercecer dan pembedahan berikutnya
menjadi tidak sempurna lagi. Harus diingat bahwa sebagian struma nodul tunggal adalah ganas,
dan juga nodul yang terba tunggal adalah tunggal mungkin merupakan bagian struma
multinodusa. Nodul soliter jinak jarang terdapat pada anak, pria (semua umur), dan wanit
dibawah 40 tahun. Bila ditemukan struma nodul tunggal pada golongan tersebut harus dianggap
suatu keganasan dan dilakukan istmolobektomi. Pada pemeriksaan histopatologi, sekitar 10%
menunjukkan keganasan dan biasanya jenis adenokarsinoma papiller.
Bila ditemukan pembesaran kelenjar limfe leher, kemungkinan besar telah terjadi
penyebaran melalui saluran limfe didalam kelenjar sehingga perlu dilakukan tiroidektomi total
dan diseksi kelenjar leher pada sisi yang sama.
Diseksi leher merupakan pengeluaran semua kelenjar limfe leher. Bila tidak ada
penyusupan struktur diluar kelenjar getah bening, diseksi dapat dibatasi pada kelenjar getah
bening saja, artinya m. Sternocleidomastyoideus, n. Accesorius dan v. Jugularis interna tidak
turut diangkat./ Bedah diseksi leher yang dimodifikasi ini menguntungkan, karena pengangkatan
m. Sternocleidomastoideus dan atrofi m trapezius mengakibatkan gangguan kosmetik yang
mencolok sekali. Atrofi m. Trapezius disebabkan karena putusnya n. Accesorius pada
pengeluaran m sternocleidomastoideus.
22
Penyulit tiroidektomi terpenting adalah gangguan n laryngeus inferior (n. Recurrens) dan
hipoparatiroid. Pada setiap tiroidektomi n recurrens harus dipisahkan untuk mencegah cedera.
Pengobatan dengan radioaktif tidak memberi hasil karena adenokarsinoma papiller pada
umumnya tidak menyerap yodium. Pascatiroidektomi total ternyata yodium dapat ditangkap oleh
sel anak sebar tumor papiller tertentu sehingga pemberian pada keadaan itu yodium radioaktif
bermanfaat. Radiasi ekstern dapat diberikan bila tidak terdapat fasilitas radiasi intern. Metastasis
ditanggulangi secara ablasio radioaktif.
2. Adenokarsinoma Folikuler
Pembedahan untuk adenokarsinoma folikuler adalah tiroidektomi total. Karena sel
karsinoma ini menangkap yodium, maka radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan. Bila masih
tersisa ataupun terdapat metastasis, maka dilakukan pemberian yodium radioaktif ini.
Radiasi ekstern untuk metastasis ternyata memberi hasil yang cukup baik.
3. Adenokarsinima Meduler
Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total. Pemberian radioterapi tidak
memuaskan. Pemberian yodium radioaktif juga tidak akan berhasil karena tumor ini berasal dari
sel C sehingga tidak menangkap dan menyerap yodium.
4. Adenokarsinoma Anaplastik
Pembedahan biasanya sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga hanya dapat dilakukan
biopsi insisi untuk mengetahui jenis karsinoma. Satu satunya terapi yang bisa diberikan adalah
radiasi ekstern.
Prognosis
Untuk prognosis dari karsinoma tiroid ini, maka dapat dikatakan bahwa Adenokarsinoma
Papiller mempunyai prognosis yang bagus jika dibandingkan dengan tipe yang lainnya,
sedangkan untuk Adenokarsinoma Anaplastik mempunya prognosis yang buruk jika dibanding
denga tipe adenokarsinoma tiroid yang lainnya.
Dan untuk adenokarsinoma folikuler mempunyai prognosis bagus jika tipenya
mikroinvasif.
23
Komplikasi
Karena untuk adenokarsimona tiroid ini ditangani sebagian besar dengan tiroidektomi
total maka ada beberapa komplikasi dari tindakan tersebut, yang antara lain :
a. Durante Operasi
Perdarahan
Krisis tiroid
Cedera nervus, trakea dan esofagus
Pratiroid terangkat
b. Pasca operasi
Hematoma
Tracheomalacia
Hipokalsemia
Suara parau/ hilang
Tersedak
III. Limfoma Maligna
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui,
tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya Epstein-Barr virus yang ditemukan pada limfoma
Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma pada kelompok penderita AIDS
pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini
disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan
limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke
sumsum tulang dan jaringan lain.
Limfoma dibedakan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang
terlibat. Penggolongan tersebut terdiri dari Limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin. Walaupun
tanda dan gejala limfoma saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma saling
menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma tetap berlainan. Dengan demikian adalah
suatu keharusan untuk menegakkan diagnosis secara tepat. Untuk tujuan ini, diambil sebuah
kelenjar limfe atau lebih untuk diperiksa secara mikroskopis. Limfoma dibedakan menurut jenis
24
sel yang mencolok yang terdapat pada kelenjar limfe. Umumnya, prognosis yang lebih baik
dihubungkan dengan distribusi nodular dimana terdapat limfosit yang menonjol. Untuk
mengenali asal neoplastik baik sebagai limfosit B ataupun sebagai limfosit T, dilakukan
pemeriksaan imunologis dan sitokimiawi.
Salah satu determinan utama dari pengobatan maupun prognosis adalah stadium klinik
penderita waktu diagnosis itu dibuat. Setelah diagnosis jaringan ditegakkan, harus dilakukan
penggolongan meurut stadiumnya. Ini biasanya berupa :
1. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada system limfatik (kelenjar limfe, hati dan
limpa)
2. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan diferensiasi dan hitung trombosit
3. Pemeriksaan kimiawi darah (fungsi ginjal dan hati; asam urat)
4. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hillus (pembesaran
kelenjar limfe bronkial)
5. CT Scan dada, abdomen dan pelvis
6. Limfangiogram bipedal untuk memeriksa adanya keterlibatan kelenjar retroperitoneal dan
iliaka.
7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang
Biopsi sumsum tulang bilateral merupakan indikasi bagi penderita yang disertai gejala
sistemik atau pada stadium III. Pada keadaan dimana sumsum tulang tidak terlibat, biasanya
dilakukan laparatomi dengan splenektomi dan biopsi hati untuk mendapatkan diagnosis akurat
pada penderita penyakit Hodgkin. Tindakan ini tidak rutin dilakukan pada penderita limfoma
non-hodgkin.
Limfoma Non-Hodgkin
Limfoma non hodgkin merupakan salah satu jenis limfoma maligna atau keganasan sel
limfoid. Keganasan ini dapat berasal dari sel limfosit B, Limfosit T atau berasal dari sel Natural
Killer. Limfoma Non Hodgkin yang berasal dari Limfosit B adalah yang paling sering (85 %)
sedangkan yang berasal dari Limfosit T dan NK berjumlah 15 %. Kemajuan ilmu pengetahuan
dalam bidang imunologi dan fisiologi limfosit, seperti membedakan limfosit dalam jenis sel B
atau sel T memberikan klasifikasi yang lebih pasti dari limfoma non Hodgkin. Secara garis besar
berdasarkan gradenya Limfoma Non Hodgkin dibedakan atas low-grade, intermediate–grade dan
high-grade.
25
Etiologi
Translokasi kromosom memegang peranan penting penyebab terjadinya limfoma
maligna.
Virus antara lain Epstein-Barr Virus (EBV), Human T-cell leukemia virus type 1
(HTLV-1), Hepatitis C virus (HCV) dan Kaposi sarcoma–associated herpesvirus
(KSHV).
Faktor lingkungan antara lain akibat zat kimia (pestisida, herbisida), kemoterapi dan
radiasi.
Inflamasi kronik seperti Sjögren syndrome dan Hashimoto thyroiditis
Infeksi Helycobacter pylori
Epidemiologi
Median umur penderita limfoma non hodgkin adalah usia > 50 tahun kecuali untuk jenis
Limfoma Non Hodgkin yang high-grade utamanya terjadi pada anak-anak dan usia dewasa
muda. Low-grade limfoma insidensnya dalam masyarakat sekitar 37 % dengan usia diantara 35-
64 tahun
Gejala klinik
Berdasarkan gradenya manifestasi klinik yang timbul pada penderita Limfoma ini antara
lain sebagai berikut :
Low-grade lymphomas
o Limfadenopati difus tanpa rasa sakit dan dapat menyerang satu atau seluruh
kelenjar limfe perifer
o Regresi spontan kelenjar limfe yang membesar
o Gejala konstitusional berupa demam (>38°C), penurunan berat badan,
berkeringat pada malam hari
o Apabila menginfiltrasi atau menginvasi sumsum tulang belakang akan
menyebabkan cytopenia.
o Lemah dan lesu
Intermediate-grade lymphomas & High-grade lymphomas
o Adenopathy
26
o Gejala konstitusional
o Lymphoblastic lymphoma, high-grade lymphoma, menunjukkan adanya massa
mediastinum anterior dan posterior
o Pasien dengan limfoma burkitt menunjukkan adanya massa abdomen yang besar
dan adanya gejala obstruksi dari saluran pencernaan
o Hidronefrosis obstruksi terjadi pada penderita limfoma burkitt akibat obstruksi
dari ureter
o Gejala-gejala lain pada saluran pencernaan, kulit, tulang, traktus urinarius, tiroid
dan susunan saraf pusat
Pemeriksaan tambahan
a. Fisik
Low-grade lymphomas
o Adenopathy perifeer
o Splenomegali
o Hepatomegali
Intermediate- and high-grade lymphomas
o Limphadenopathi
o Splenomegali
o Hepatomegali
o Massa abdomen yang besar.
o Massa testis
o Lesi pada kulit berupa lesi yang berhubungan dengan limfoma sel T kutaneus
(mycosis fungoides), anaplastic large cell lymphoma, dan angioimmunoblastic
lymphoma
o Foto dada menunjukkan massa mediastinum bulky, yang berhubungan dengan
primary mediastinal large B-cell lymphoma atau lymphoblastic lymphoma
b. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin menunjukkan :
o Anemia akibat autoimun hemolysis, perdarahan dan akibat inflamasi kronik.
27
o Trombositopenia, leucopenia hingga pansitopenia akibat infiltrasi pada sumsum
tulang.
o Lymphositosis dan trombositosis
Peningkatan kadar Laktat Dehirogenase (LDH) dan gangguan fungsi hati
Peningkatan beta 2-mikroglobulin
Penatalaksanaan
Terapi pada limfoma milignat non hodkin diberikan berdasarkan staging :
a. Stage Ia, Ib, IIa : Radioterapi
b. Stage IIb dan seterusnya : Kemoterapi
Karena pada Limfoma Non Hodkin dibagi atas tipe low grade dan high grade maka terapinya
juga berdasarkan grade tersebut.
Low Grade
Regimen CVP
- Cyclopospamid
- Vincristin
- Prednison
Fludarabin
Rituximad
High Grade
Regimen CHOP
- Cyclopospamid
- Doxorubicin
- Vincristin
- Prednison
Regimen CHOP + Rituximad
Transplantasi stem sel autolog
Prognosis
Faktor prognosis buruk :
28
Usia > 60 tahun
Kadar Laktik Dehidrogenase meningkat
Stage III/IV
Tampilan klinis atau performance status jelek
Untuk limfoma high grade prognosisnya tergantung respon terhadap kemoterapi
IV. Limfoma Hodgkin
Definisi
Limfoma hodgkin adalah suatu penyakit keganasan yang melibatkan kelenjar getah
bening yang ditandai dengan adanya sel Ree Stenberg.
Etiologi
Penyebabnya belum diketahui, tetapi bukti menunjukkan adanya hubungan dengan virus
seperti virus Ebstein Barr. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan DNA virus ebstein
barr pada sel Reed Stenberg. Penyakit Hodgkin bia muncul pada berbagai usia, jarang ditemukan
pada usia dibawah 10 tahun, ditemukan pada usia 20-40 tahun, dan diatas 60 tahun.
Gejala Klinis
Penyakit Hodgkin biasanya ditemukan jika seseorang mengalami pembesaran kelenjar
getah bening yang tidak nyeri, paling sering di leher,tapi kadang-kadang penyebarannya
sistemik.
Walaupun biasanya tidak nyeri, pembesaran tersebut bisa menimbulkan nyeri dalam beberapa
jam setelah penderita meminum alkohol dalam jumlah yang banyak.
Gejala lainnya adalah symtom B yaitu demam, keringat malam, dan penurunan berat badan.
Beberapa penderita mengalami demam Pel- Ebstein dimana suhu tubuh meninggi selama
beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari
atau beberapa minggu.
Stadium Limfoma Hodgkin
29
Stadium Penebaran Penyakit
I Mengenai kelenjar getah bening pada satu bagian tubuh
II Mengenai dua atau lebih kelenjar getah bening pada sisi yang sama
III Mengenai kelenjar getah bening diatas dan dibawah diafragma
IV Mengenai kelenjar getah bening di bagian tubuh lainnya misalnya sum
sum tulang, paru paru, hati
Keempat stadium dikelompokkan lagi menjadi A (tidak adanya) atau B (adanya) salah satu atau
lebih dari gejala berikut :
1. Demam dengan suhu 37,8 C
2. Keringat malam
3. Penurunan berat badan
Diagnosis
Pada penyakit hodgkin kelenjar getah bening membesar dan tidak menimbulkan nyeri,
tanpa adanya infeksi, jika pembesaran ini berlangsung lebih ari 1 minggu maka dapat dicurigai
penyakit Hodgkin, terutama jika demam, berkeringat malam dan disertai penurunan berat badan.
Untuk mengetahui secara pasti penyakit Hodgkin dilakukan biopsi kelenjar getah bening yang
hasilnya positif jika ditemukan sel Reed Stenberg.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui stadium dari limfoma Hodgkindapat dilakukan pemeriksaan :
1. Rontgen dada
2. Limfangiogram
3. CT scann
4. Skenning galium
5. Laparatomi
Penatalaksanaan
Dua jenis pengobatan limfoma Hodgkin yang efektif adalah dengan radioterapi dan
kemoterapi. Terapi penyinaran menyembuhkan 90 % Hodgkin stadium I dan II. Pengobatan
dilakukan 4-5 minggu. Pengobatan ditujukan pada kelenjar getah bening yang terkena dan
30
sekitarnya. Untuk stadium III dengan gejala dilakukan radioterapi sedangkan yang tanpa gejala
dilakukan kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi. Pada stadium IV dilakukan kombinasi
dengan obat obat kemoterapi.
Prognosis
Stadium I lebih dari 90 %
Stadium II 90 %
Stadium III 80 %
Stadium IV 60-70 %
31
Daftar Pustaka
Aru Sudoyo dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi IV. Jakarta: IPD Press
Efiaty Arsyad dkk. 2007. Buku Ajar THT Edisi 6. Jakarta: UI Press
http://www.emedicine.medscape.com/oncology/ diakses pada pukul 7.30 22 December 2009
Theopilus B. dkk. 2008. Buku Ajar Anatomi Umum. Makassar: Bagian Anatomi FK Unhas
Wan Desen. 2008. Buku Ajar Onkologi. Jakarta: UI Press
32