onkologi modul 3

46
LAPORAN KELOMPOK SISTEM ONKOLOGI Modul II BENJOLAN DI LEHEROLEH : KELOMPOK A-1 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2008 1

Upload: dila-aldila

Post on 31-Dec-2015

150 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

benjolan

TRANSCRIPT

Page 1: Onkologi Modul 3

LAPORAN KELOMPOK

SISTEM ONKOLOGI

Modul II

“BENJOLAN DI LEHER”

OLEH :

KELOMPOK A-1

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2008

1

Page 2: Onkologi Modul 3

NAMA ANGGOTA KELOMPOK

ASWAN C111 06

MUHAMMAD ADRI ALIFANSYAH C111 07

AMEL KURNIA EKA SARI C111 07 015

RAFIKAH C111 07 047

ASVINA ANIS C111 07 071

AFDALIAH C111 07 114

SUKMAWATI C111 07 130

DWI SETIA NINGRUM C111 07 147

JORIANTO MUNTARI C111 07 163

SYUKRI LA RANTI C111 07 180

MEILIANA LAY C111 07 198

JERNI C111 07 214

RAHMAWATI C111 07 250

WISNU ADRYANTO C111 07 268

FARHAN HAFIZ C111 07 343

2

Page 3: Onkologi Modul 3

1. Skenario

Benjolan di leher

Seorang laki-laki 40 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan benjolan pada leher

bagian lateral, yang dirasakannya sejak 4 bulan yang lalu. Benjolan ini mula-mula

kecil, yang kemudian membesar dengan cepat. Benjolan teraba keras tetapi tidak

nyeri. Penderita mengeluh sakit kepala.

2. Kata Kunci

Pasien: Laki – laki 40 tahun

KU: Benjolan pada lateral leher, teraba keras, membesar progresif, tidak nyeri

Onset: 4 bulan lalu

Gejala Lain: Sakit kepala

3. Pertanyaan

1. Bagaimana anatomi yang terkait dengan keluhan pasien di atas?

2. Bagaimana patomekanisme timbulnya gejala?

3. Apa saja anamnesis dan pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan untuk menegakkan

diagnosis?

4. Apa saja penyakit yang bisa menimbulkan benjolan pada leher?

4. Jawaban

1. Anatomi yang berkaitan dengan kasus

Pasien pada kasus mengalami benjolan pada lehernya. Sumber benjolan ini bisa berasal

dari jaringan otot, lemak, kulit, tulang, maupun kelenjar tiroid, paratiroid dan kelenjar

getah bening. Namun karena keterbatasan info sulit untuk menentukan struktur yang

menjadi sumber benjolan pada kasus ini. Namun secara garis besar, jika suatu benjolan

timbul pada daerah leher, maka organ yang bisa dicurigai mengalami gangguan adalah:

3

Page 4: Onkologi Modul 3

a. Kelenjar getah bening (KGB)

Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh kita

memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya didaerah submandibular

(bagian bawah rahang bawah; sub: bawah;mandibula:rahang bawah), ketiak atau lipat paha yang

teraba normal pada orang sehat.

Sistema Lympathica Colli Facialis

Gugusan superficialis berjalan mengikuti vena superficialis dan gugusan profunda

berjalan mengikuti arteria atau seringkali mengikuti vena profunda.

Gugusan superficialis membentuk suatu lingkaran pada perbatasan leher dan kepala yang

dinamakan lingkaran pericervicalis atau cervical Collar, meliputi l.n.occipitalis, l.n.mastoideus

(l.n.retro auricularis), l.n.preauricularis (l.n.parotideus superficialis), l.n.parotideus profundus,

l.n.submandibularis dan l.n.submentalis.

L.n.occipitalis terletak pada serabut-serabut cranialis m.trapezius, ditembusi oleh v.occipitalis,

kira-kira 2,5 cm di sebelah infero-lateralis inion. Menerima aliran lymphe dari bagian belakang

kepala dan mengirimkannya kepada lymphonodi cervicales profundi dengan melewati bagian

profunda m.sternocleidomastoideus.

L.n.pre-auricularis terletak pada glandula parotis sepanjang vena temporalis superficialis dan

vena facialis transversa. Menerima pembuluh afferen dan kepala (scalp), auricula, palpebra dan

pipi. Dan mengirim pembuluh afferen menuju ke l.n.cervicalis superficialis.

L.n.submentalis berada di antara kedua venter anterior m.digasticus, pada permukaan inferior

dari m.mylohyoideus, membawa lymphe dari lidah bagian tengah (juga apex lingua) dan dari

labium inferius.

L.n.submandibularis biasanya dikelompokkan pada gugusan superficialis, meskipun membawa

drainage dari lidah dan glandula submandibulare. Lymphonodus ini terletak pada vena facialis di

sebelah caudal dari mandibula, dimana vena ini menerima v.retromandibularis. pembuluh efferen

membawa aliran lymphe menuju ke l.n.cervicalis profundus pars cranialis.

Masih ada lymphonodus lainnya, yaitu l.n.facialis yang merupakan perluasan ke cranialis dari

l.n.submandibularis dengan mengikuti vena facialis, berada pada facies.

4

Page 5: Onkologi Modul 3

L.n.cervicalis anterior berada sepanjang v.jugularis anterior, menerima lymphe dari bagian

tengah (linea mediana) leher dan mengalirkan lymphenya menuju ke l.n.cervicalis profundus;

gugusan ini dapat dianggap menerima afferen dari l.n.submentalis.

L.n.cervicalis superficialis berada sepanjang v.jugularis externa. Menerima aliran lymphe dari

kulit pada angulus mandibulae, regio parotis bagian caudal dan telinga, dan membawa aliran

lymphenya menuju ke l.n.cervicalis profundus. Semua lymphonodi akan memberi aliran

lymphenya kepada l.n.cervicalis profundus. Diantara gugusan superficial dan gugusan profunda

terdapat gugusan intermedis, yang terdiri atas :

L.n.infrahyoideus yang berada pada membrana thyreo-hyoidea, menerima afferen yang

berjalan bersama-sama dengan a.laryngea superior dan berasal dari larynx di bagian cranialis

plica vocalis.

L.n.prelaryngealis yang berada pada ligamentum cricothyreoideum, menerima lymphe dari

larynx di bagian cranialis plica vocalis, berada pada vasa thyreoidea superior.

L.n.paratrachealis yang berada pada celah di antara trachea dan oesophagus, menerima

lymphe dari glandula thyreoidea dan struktur di sekitarnya, pembuluh efferennya mengikuti

vasa thyreoidea inferior menuju ke l.n.cervicalis profundus (dan l.n.mediastinalis superior).

L.n.cervicalis profundus terletak di sebelah profunda m.sternocleidomastoideus sepanjang

carotid sheath. Terdiri atas banyak lymphonodus, berada pada vena jugularis interna, mulai dari

basis cranii sampai di sebelah cranialis clavicula dan dibagi oleh venter inferior m.omohyoideus

menjadi gugusan superior dan gugusan infeior.

Gugsan superior atau l.n.cervicalis profundus pars superiro tereltak di sebelah cranialis cartilago

thyreoidea, menerima afferen dari cavum cranii, regio pterygoidea, l.n.parotideus dan

l.n.submandibularis, radix linguae, pars cranio-lateralis glandula thyreoidea, larynx dan pharynx

bagian caudal. Mengirimkan efferennya menuju ke l.n.cervicalis profundus pars inferior.

Terdapat perluasan dari l.n.cervicalis profundus pars superior yang menuju ke arah medial dan

membentuk l.n.retropaharyngealis (berada di dalam spatium retropharyngeum), menerima

lymphe dari nasopharynx, tuba auditoria dan dari vertebra cervicalis, mengirimkan lymphenya

menuju kepada l.n.cervicalis profundus pars superior dengan mengikuti vena pharyngealis.

L.n.cervicalis profundus pars superior dan juga dari l.n.cervicalis superficialis, pars caudalis

5

Page 6: Onkologi Modul 3

glandula thyreoidea, larynx bagian cudal, trachea pars cervicalis dan oesophagus. Pembuluh-

pembuluh efferen membentuk sebuah pembuluh besar (jugular trunk) dan bermuara ke dalam

ductus thoracicus (dibagian kiri) serta ductus lymphaticus dexter (bagian kanan).

Pada tempat persilangan antara m.digastricus dan vena jugularis interna trdapat

l.n.juguladigastricus.

Gugusan lymphonodus yang terletak di sebelah cranialis venter inferior m.omhyoideus pada saat

otot ini menyilang v.jugularis interna membentuk l.n.jugulo-omohyoideus.

Gambar 1: Gambar Kelenjar Getah Bening Pada Daerah Leher

6

Page 7: Onkologi Modul 3

Gambar 2: Mekanisme Kerja Saluran Limfe Gambar 3: Histologi LimfeNodus

Limfatikus

Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan

merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah bening

yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB

akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya.

Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen

(mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang

menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih

banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. Pembesaran

kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari

KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit,atau karena datangnya sel-sel

peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi

(masuknya) sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher disease)

Dengan mengetahui lokasi pembesaran KGB maka kita dapat mengerahkan kepada lokasi

kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.

7

Page 8: Onkologi Modul 3

b. Faring

Nasopharynx

Merupakan bagian yang paling luas dari cavum pharyngis. Terletak di belakang cavum

nasi dan cranialis dari palatum molle (palatum molle dapat dianggap membentuk lantai

nasopharynx). Ruangan ini dapat dipisahkan sama sekali dari oropharynx dengan mengangkat

palatum molle ke arah dinding posterior pharynx. kE arah anterior berhubungan dengan cavum

nasi dengan melalui choanae. Bagian ini semata-mata dilalui oleh udara respirasi. Pada setiap

dinding lateral nasopharynx terdapat muara dari tuba auditiva (tuba pharyngotympanica).

Lubang ini terletak ssetinggi concha nasalis inferior dan dibatasi di sebelah postero-superior oleh

torus tubarius, yaitu suatu penonjolan yang disebabkan oleh pars medialis dari tuba auditiva. Di

sebelah dorsal dari tonjolan ini terdapat recessus pharyngeus (rosenmuelleri) yang berjalan

vertikal. Pada ostium pharyngeum tubae auditivae terbentuk labium anterius dan labium

posterior, dan labium posterius melanjutkan diri ke caudal pada plica salpingopharyngealis, yaitu

suatu plica yang dibentuk oleh membrana mucosa yang membungkus m.salpingo pharyngeus.

Di bagian cranialis dinding posterior nasopharynx terdapat tonsilla pharyngea, yang

bertumbuh sampai usia anak 6 tahun, lalu mengalami retrogresi. Bilamana terjadi hypetrophi

maka nasopharynx dapat tertutup dan memberi gangguan respirasi. Di sebelah dorsal tuba

auditiva terdapat kumpulan jaringan lymphoid yang membentuk tonsilla tubaria. Pembesaran

dari tonsilla ini dapat menekan tuba auditiva dan menghalangi aliran udara yang menuju

ketelinga bagian tengah. Pembesaran dari tonsilla pharyngea dan tonsilla tubaria akan

membentuk adenoid.

Oropharynx

Terletak di sebelah dorsal cavum oris, di sebelah caudal dari palatum molle dan di sebelah

cranialis aditus laryngis. Mempunyai hubungan dengan cavum oris melalui isthmus

oropharyngeum (= isthmus faucium).

Batas lateral isthmus faucium dibentuk oleh arcus palatoglossus, yang melekat dari palatum

molle menuju ke sisi lidah (kira-kira di bagian posterior pertengahan lidah). Di sebelah

posteriornya lagi terdapat arcus palatopharyngeus yang berasal dari tepi posterior palatum molle

menuju ke caudo-dorsal mencapai dinding lateral pharynx. Arcus palatopharyngeus, arcus

8

Page 9: Onkologi Modul 3

palatopharyngeus dan bagian posterior sisi lingua membentuk fossa tonsillaris yang ditempati

oleh tonsilla palatina.

Laryngopharynx

Bagian ini berada di sebelah dorsal larynx. Ke arah cranialis berhubungan dengan

oropharynx (hubngan bebas) dan ke arah caudalis melanjutkan diri menjadi oesophagus. Aditus

laryngis terletak pada dinding anterior laryngopharynx. Facies posterior dari cartilago

arytaenoidea dan cartilago cricoidea membentuk dinding anterior laryngopharynx.

Vascularisasi, innervasi dan lymphonodus

Dinding pharynx mendapat suplai darah dari a.pharyngea ascendens (sebagai cabang dari

a.carotis externa), a.palatina ascendens (cabang dari a.facialis) dan a.palatina major (cabang dari

a.maxillaris). Pembuluh vena membentuk plexus pharyngeus pada dinding posterior dan dinding

lateral pharynx dan memberi aliran darahnya kepada v.jugularis interna.

Innervasi motoris untuk otot-otot pharynx diperoleh dari plexus pharyngeus terkecuali

m.stylopharyngeus yang mendapatkan innervasi dari r.muscularis n.glossopharyngeus. kelenjar

pharyngealis (terutama pada nasopharynx) mendapatkan serabut secretomotoris dari

r.pharyngealis yang dikeluarkan oleh ganglion pterygopalatinum.

Innervasi sensibel untuk membrana mucosa diperoleh dari plexus pharyngeus.

2. Patomekanisme timbulnya gejala

Nyeri kepala adalah perasaan sakit atau nyeri, termasuk rasa tidak nyaman yang

menyerang daerah tengkorak (kepala) mulai dari kening kearah atas dan belakang kepala. dan

daerah wajah.

IHS tahun 1988 menyatakan bahwa nyeri pada wajah termasuk juga dalam sakit kepala.

Dalam buku2 teks dan jurnal banyak memakai klasifikasi 1962, dan klasifikasi terbaru adalah

INS 1988 yang akan dipakai dalam ICD-WHO ke-X ada beberapa terminologi yang harus

dibedakan seperti : Pusing = vertigo, ringan kepala= like headedness, pening = dizziness, rasa

ingin pingsan = faintness, kepala berdenyut tujuh keliling dan sebagainya.

9

Page 10: Onkologi Modul 3

Definisi menurut IASP (International assosiation for the study of pain):

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi

atau telah terjadi atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan

Mekanisme nyeri :

Nociseptor yang diterima reseptor di kulit, pembuluh darah, visera, muskulusskeletal,dan lain-

lain, jalannya sebagai berikut : reseptor-- korteks. Dari sini baru thalamus medulla spinalis

syaraf tepi ada reaksi emosi – psikis motorik tanpa ada modulasi, sedangkan dalam

perjalanan hanya kesan sensorik.

Batasan sekarang : nyeri adalah pengalaman subjektif, sangat pribadi dipengaruhi oleh

pendidikan, budaya, makna situasi dan kognitif ( menurut Bonica,Melzack).

Ada beberapa teori mengenai mekanisme nyeri kepala :

- Teori Melzack & Wall (1985) : “ Teori gerbang nyeri “ bahwa : Nyeri diteruskan dari perifer

melalui saraf kecil A delta dan C rasa raba, mekanik dan termal melalui A delta A beta dan C

( serabut besar, kecepatan hantar serabut besar lebih tinggi dari serabut kecil ).

Disubstamtia Gelatinosa (SG) ada sel-sel gerbang yang dapat bekerja menutup dan membuka sel

T (targaet). Serabut besar aktif merangsang sel gerbang di SG, sel gerbang aktif dan sel T

tertutup, maka nyeri tidak dirasa. Serabut kecil aktif, sel SG tidak aktif, dan sel T terbuka maka

nyeri dirasa. Bila dirangsang bersama-sama, misal antara rasa raba, mekanik,vibrasi,dll dengan

rangsang nyeri maka nyeri tidak dirasa (seperti pada teknik tens, DCS, koyo-koyo, dll.)

Didapatkan kontrol desenden ke medulla spinalis dari pusat2 supra spinal (emosi,pikiran, dll).

- Konsep II: “Central Biasing mekanism”

Diduga ada daerah batang otak jadi ”CBM” yang menyebarkan impuls nyeri keberbagai tempat

diotak dan dapat menimbulkan inhibisi ke medulla spinalis. Ternyata formatioreticularis peri-

acuaductus dan peri-ventriculer kaya akan reseptor-reseptor morpin dan serotonin.

- Konsep III ; Pembangkit pola

Bila nyeri khronik telah membuat pola (gambar diotak), yang dapat dicetuskan oleh input

sensorik lain.

Mekanisme Terjadinya Timbulnya Benjolan Pada Leher

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher, seperti

trauma, infeksi, hormon, neoplasma dan kelainan herediter. Faktor-faktor ini bekerja dengan

10

Page 11: Onkologi Modul 3

caranya masing-masing dalam menimbulkan benjolan. Hal yang perlu ditekankan adalah tidak

selamanya benjolan yang ada pada leher timbul karena kelainan yang ada pada leher. Tidak

jarang kelainan itu justru berasal dari kelainan sistemik seperti limpoma dan TBC.

Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat mengalami benjolan entah itu kelenjar

tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur jaringan lain

seperti lemak, otot dan tulang.

Infeksi dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher melalui beberapa cara yang di

antaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang terserang

secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja imunitas tubuh yang

bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.

Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai

mekanisme infeksi. Hanya saja trauma yang tidak disertai infeksi sekunder pada umumnya tidak

menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.

Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka

otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama

mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi dan mengeluarkan mediator radang berupa

histamin, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator

radang ini terutama histamin akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan

permeabilitas venula serta pelebaran intraendothelialjunction. Hal ini mengakibatkan cairan yang

ada dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada daerah

yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran kelenjar limfe

karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan tubuh seperti

makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agen infeksius sedangkan agen

infeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh terutama eritrisot agar bisa

mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan pembesaran kelenjar

limfe karena bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun menyaring sel tubuh yang

mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidak menyebar ke organ tubuh lain.

Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel

limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi displasia dan

metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi sel tidak lagi sempurna.

Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis molekuler seperti peningkatan laju

11

Page 12: Onkologi Modul 3

pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini berakibat pada

proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan pada jaringan.

Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar tiroid-adenoma

tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe-limfoma maupun akibat dari metastase

kanker dari organ di luar leher.

Pada kasus dikatakan bahwa pasien mengalami benjolan pada leher yang mengalami

pembesaran secara progresif namun tidak nyeri pada penekanan. Namun pasien juga mengalami

gejala sakit kepala. Sulit untuk menentukan mekanisme pasti timbulnya gejala pada pasien ini

tanpa informasi lain mengenai penyakit terdahulu pasien, lokalisasi benjolan dan nyeri kepala

serta sejumlah pemeriksaan fisik untuk membedakan asal dan organ yang mengalami benjolan.

3. Anamnesis dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis

Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Jika ditemukan pasien dengan keluhan seperti yang terdapat pada kasus maka beberapa

hal yang perlu dilakukan pada pasien untuk mengarahkan diagnosis adalah sebagai berikut:

12

Anamnesis

Lokasi Benjolan

Gejala Tambahan Lainnya Seperti Mual, Muntah, Sesak Nafas, Sulit

Menelan, Epistaksis

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Riwayat Keluarga

Pemfis

Menentukan Lokasi dan Asal Benjolan:

Kulit, Otot, Lemak, Kelenjar

Menentukan Ada Tidaknya Benjolan yang Lain

Memeriksa ada Tidaknya Kelainan Fisik Lain: Defisit Neurologis dll

Penunjang

Radiologi:Esofagografi,CT-ScanUSGLabBakteriologiTumor Marker: Kalsitonon-Tiroglobulin, IgA anti EBV-VCABiopsiFNAB

Page 13: Onkologi Modul 3

Sedangkan alur diagnosisnya adalah sebagai berikut:

4. Diferensial Diagnosis

I. Karsinoma Nasofaring

Defenisi

Diperkirakan kira-kira 80%-90% keganasan nasopharynx adalah berkembang dari sel

epithelium.Terdapat 3 jenis carcinoma nasopharynx berdasarkan gambaran

histopatologisnya.Menurut WHO,ia dibahagikan kepada:

-WHO type 1,atau squamous karsinoma sel

-WHO type 2,atau non-keratin carcinoma

-WHO type 3,atau undifferentiated karsinoma

Epidemiologi

Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan tertinggi didaerah leher dari bidang ilmu

penyakit THT . Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat

13

BENJOLAN DI LEHERNEOPLA

SMA

terapi : tergantung stadium dan riwayat penyakit

pemeriksaan :pem fisis → palpasi, endoskopi, laringoskopiradiologiCT scan

gejala klinis inflamasi → demam dsb

Anamnesis → riwayat penyakit sejak kecil Terapi :

antibiotic spectrum luas → observasi 2-4 mgg

tidak pulih → Pem. foto toraks, PPD Tuberculin Skin test → suspek TBC

ANOMALI KONGENITA

L

INFEKSI / INFLAMASI

Anamnesis → faktor resiko

Page 14: Onkologi Modul 3

predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit

mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak

khas.Angka kematiannya cukup tinggi.Di Indonesia penyakit ini termasuk dalam sepuluh besar

keganasan dari seluruh tubuh.Banyak menyerang pada usia 40-60 tahun, perbandingannya antara

laki-laki dan perempuan 2,5-1.

Etiologi

Faktor Pencetus karsinoma nasofaring ada berbagai macam, antara lain :

Genetik : HLA-A2, HLA-B.sin

Virus : Epstein Barr

DNA pada epitel sel tumor

Antibodi anti EBV

Lingkungan (paparan bahan-bahan karsinogenik) ;

Nitrosamin

Asap kayu bakar

Herbal tea

Higiene buruk

Ventilasi buruk

Ikan asin, kebiasaan mengkonsumsi ikan asin jangka panjang merupakan mediator utama

yang bisa mengaktifkan virus Epstein-Barr.Diduga ikan asin ini mengandung hasil

metabolisme protein yang disebut dengan nitrosmin. Begitu pula dengan makanan yang

diawetkan.

Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup. Misalnya kebiasaan membakar didalam

rumah, memasak dengan kayu bakar dan ventilasi rumah juga tidak mencukupi.

Kontak dengan zat karsinogen, misalnya pekerja pabrik bahan-bahan kimia.

Ras dan keturunan. Kanker nasofaring paling sering ditemukan pada ras mongoloid atau

keturunan cina. Serta lebih sering dialami laki-laki daripada perempuan dengan

perbandingan 2,18 :1.Hampir 60% ditemukan pada kisaran usia 25-60 tahun.

Radang kronis nasofaring yang sering mengganggu proses pembersih secara alami

sehingga bisa memicu virus yang dapat menyebabkan kanker.

Histopatologi

Karsinoma nasofaring adalah tumor asal epidermoid.

14

Page 15: Onkologi Modul 3

Kriteria WHO:

Tipe 1 : Keratinizing squamous cell carcinoma.

(karsinoma sel squamous berkeratin)

Tipe 2a: Non-Keratinizing squamous cell carcinoma.

(karsinoma sel squamousa tidak berkeratin )

Tipe 2b: Undifferentiated carcinoma.

(karsinoma tidak berdifferensiasi)

Patogenesis

Virus Epstein-Barr adalah berkaitan rapat dengan karsinoma nasopharynx.Titer antibodi

(imunnoglobulin A) terhadap virus ini akan meningkat bagi setiap penderita karsinoma

nasopharynx.Maka ia di gunakan sebagai tumor maker.untuk menilai keberkesanan

terapi.Menurut pemerhatian bahawa 80% penderita nasopharynx carsinoma menunjukkan

adanya produk BCL2.Produk ini menyebabkan terjadinya penghalangan proses apoptosis.Ini

menyebabkan perkembangan kanser tersebut.Menurut pemerhatian,memakan ikan asin dan

bahan kimia tertentu dapat memicu terjadinya kanser nasopharynx karsinoma tersebut.

Stadium tumor

T :Tumor pada nasofaring

Tis :Tumor insitu

T1 :Tumor terbatas pada satu tempat /sisi atau tumor tak tampak (hanya dengan

biopsy.

T2 : Tumor mengenai dua tempat

T3 :Ekstensi tumor kecavum nasi dan orofaring

T4 :Tumor invasi dasar tengkorak dan nervi cranialis.

N :Metastasis pada kelenjar limfe

NO :Tidak ada metastase kelenjar limfe

N1 :Tunggal,ipsilateral,Ǿ ≤ 3 cm

N2a :Tunggal ipsilateral,Ǿ ≤ 3-6 cm.

N2b :Multipel ipsilateral,Ǿ ≤ 6 cm.

N2c :Bilateral,Ǿ ≤ 6 cm.

15

Page 16: Onkologi Modul 3

N3 :Metastase pada nodus Ǿ ≤ cm

M :Metastasis

M0 :Tidak ada metastasis

M1 :Ada metastasis jauh

Gejala klinik

Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat

predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit

mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak khas.

Adapun tanda ataupun gejala yang timbul tergantung dimana perluasan tumor.

Apabila perluasannya ke arah atas, penderita akan merasakan diplopia

Apabila perluasannya ke arah lateral, Sebelumnya penderita merasakan adanya lendir

dibelakang hidung terus menerus yang tidak bisa dikeluarkan, rasa penuh ditelinga, telinga

berdenging/gembrebeg (tinnitus), otalgia, adanya radang pada telinga tengah ( conge”an ) sampai

dengan terjadinya robekan gendang telingan tanpa sebab yang jelas, dan tidak sembuh dengan

pengobatan serta terjadi berulang-ulang. Hal ini Karena adanya tumor pada daerah tenggorok

bagian atas ( nasofaring ) menutupi saluran yang menuju keliang telinga tengah (oklusib Tuba

eustachi ).

Bila tumor sudah membesar (stadium lanjut), maka ia dapat meluas kerongga hidung

bagian belakang ( koana ) dengan keluhan adanya hidung tersumbat ataupun mimisan bercampur

dengan ingus dalam jumlah yang bervariasi .Keluhan pada tenggorok

merupakan gangguan bicara,bernafas dan menelan dapat dijumpai bila tumor sudah membesar

karena mendesak kerongga tenggorok.

Sementara keluhan penglihatan dobel, karena tumor sudah meluas kedasar tengkorak

sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf-syaraf otot penggerak bola mata, dan mata

menjadi juling yakni nervus okulomotorius dan abdusen. Adanya gejala neurology pada syaraf

cranial seperti nyeri kepala dan nyeri disekitar wajah juga sering dijumpai pada penderita kanker

tenggorok akibat dari penekanan tumor pada syaraf disekitar kepala yakni nervus trigeminus,

glossofaringeus, vagus, assesorius .

16

Page 17: Onkologi Modul 3

Stadium lanjut, karsinomanya mengalami metastasis ke kelenjar getah bening

bermanifestasi sebagai benjolan yang teraba keras umumnya pada rantai kelenjar limfe jugularis

profunda superior

Penatalaksanaan

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan

megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat

berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,

vaksin dan anti virus.

Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi

masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Berbagai macam kombinasi

dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan cis – platinum sebagai inti.

Pemberian adjuvant kemoterapi cis – platinum, bleomycin, dan 5 –fluorouracil sedang

dikembangkan di bagaian THT FKUI dengan hasil sementara cukup memuaskan. Demikian pula

telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis platinum,

meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kehidupan yang cukup

baik.

Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari

sebelum diberikan radiasi yang bersifat *radio sensitizer* memperlihatkan hasil yang memberi

harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasopharing.

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadapa benjolan dileher yang

tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi

dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan

serologik.

Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering

timbul komplikasi yang berat akibat operasi.

Perawatan paliatif

Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa

kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak

banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah,

membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa

17

Page 18: Onkologi Modul 3

asam sehingga merangsang keluarnya aar liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut

karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,

kehilangan nafsu makan dan kadang kadang muntah dan rasa mual.

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor

tetap ada atau kambuh kembali. Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti

ketulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang

dapat diberikan selain pengobatan simptomatis untuk meningkatan kualitas hidup.

Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didaerah dengan resiko

tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara masak makanan untuk mencegah

akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup

yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dahn berbagai hal yang berkaitan

dengan kemungkinan kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan

IgA anti EA secara massal yang akan mendatangkan manfaat dalam menemukan karsinoma

nasopharing secara dini

II. Karsinoma Tiroid

Etiologi

Etiologi pasti dari Karsinoma Tiroid ini belum dapat dipastikan, karena secara umum

penyebab dari kanker itu sendiri sampai sekarang belum diketahui pasti.

Namun terdapat beberapa factor factor resiko yang dapat menyebabkan karsinoma tiroid,

yang antara lain ialah :

Riwayat Radiasi

Riwayat keluarga

Nodul soliter

Anak – anak

Laki laki dewasa

Nodul tiroid timbul relatif cepat dan tidak sakit

Struma pada anak anak

18

Page 19: Onkologi Modul 3

Struma pada wanita >45 tahun

Umur < 25 tahun : 50% ganas

Umur < 15 tahun : 75% ganas.

Epidemiologi

Karsinoma tiroid agak jarang didapat , yaitu sekitar 3 – 5% dari semua tumor malignant.

Insidennya lebih tinggi dinegara dengan struma endemik, terutama jenis tidak berdeferensiasi.

Karsinoma tiroid didapat pada segala usia dengan puncak pada usia muda (7 – 20 tahun) dan usia

setengah baya (40 – 60 tahun). Insiden pada pria adalah sekitar 3/100.000/tahun dan wanita

8/100.000/tahun. Kurang lebih 25% terjadi pada struma nodusa. Karsinoma aganya timbal

diantara nodul bukan didalamnya.

80 % ádalah jenis papiller

Patogenesis

Difrensiasi

Sel Normal Sel Kanker

Onkogen

Radiasi

Protoonkogen

Proses : Inisiasi

Promosi

Progresi

Pada keadaan awal dimana sel sel tiroid dalam keadaan normal Namun setelah ada paparan

dengan bahan bahan karsinogenik seperti terlihat pada bagan yakni radiasi maka sel normal

tersebut dapat berubah menjadi sel kanker, dimana sel kanker juga melalui beberapa tahap, yakni

Inisiasi, yakni dimana terjadi amplifikasi dari DNA Namun Belum menimbulkan ekspresi gen,

sehingga pada tahapo ini dapat dikatakan bahwa jumlah dari gen gen meningkat Namun belum

19

Page 20: Onkologi Modul 3

menimbulkan efek kepada sel itu sendiri, Namun pada proses promosi dimana pada tahap ini

terpapar lagi oleh bahan bahan karsinogenik dapat serupa dengan bahan pada saat tahap inisisai

Namun dapat pula berbeda, pada tahap ini terjadi ekspresi gen dimana sel sel telah menjadi sel

abnormal Namun pada tahap ini sel sel tersebut bersifat reversible dengan kata lain apabila pada

tahap ini kita dapat mengobati dengan komplit maka sel tersebut dapat kembali menjadi sel

normal kembali Namun apabila tidak komplit maka dapat menjadi sel kanker, dan selanjutnya

pada tahap progresi maka terjadi perubahan serta perbanyakan sel secara cepat dan tidak

terkendali lagi.

Dan perubahan dari sel normal menjadi sel kanker perlu digarisbawahi juga bahwa disini

terjadi perubahan dari protoonkogen menjadi onkogen, dan terjadi inaktivasi dari supresor

sehingga tidak ada lagi penghambat bagi sel tersebut untuk terus memperbanyak diri, maka

jadilah sel normal tersebut menjadi sel ganas.

Gambaran Klinik

Pada karsinoma tiroid ini terdapat beberapa tipe, dan masing masing tipe tersebut juga

berbeda gambaran kliniknya, adapula pembagiannya ialah :

a. Epitelial

Adenokarsinoma papiller

Adenokarsinoma folikuler

Undifferentiated karsinoma/anaplastia

Small cell karsinoma

Giant ceel karsinoma

Spindle cell karsinoma

Karsinoma meduller

Squamos cell karsinoma

b. Non Epitelial

Limphoma

Sarcoma

Metastasis tumor

Malignant teratoma

Unclassified tumor

20

Page 21: Onkologi Modul 3

c. Well Differentiated

Type papiller

Type folikuler

Type meduller

d. Undifferentiated

Type anaplastik

Pemeriksaan Tambahan

Untuk pemeriksaan tambahan guna dapat mendiagnosis karsinoma tiroid kita dapat

lakukan sesuai dengan type karsinoma itu sendiri, yang antara lain :

1. Adenokarsinoma Papiller

Tumor biasanya dapar diraba dengan mudah dan umunya dapat pula dilihat. Yang khas

untuk tumor tiroid ialah tumor ikut dengan gerakan menelan.

Ultrasonografi dapat dilakukan untuk membedakan nodul kistik atau padat dan

menentukan volume tumor.

Pemeriksaan Roentgen berguna untuk melihat dorongan dan tekanan pada trakea serta

kalsifikasi didalam jaringan tiroid.

Foto thorax dibuat untuk melihat kemungkinan penyebaran kemediastinum bagaian atas

atau keparu.

Pemeriksaan sidik radioaktif tiroid dilakukan dengan yodium 131. Berdasarkan

banyaknya yodium yang ditangkap oleh nodul tiroid dikenal nodul dingin, yaitu nodul yang

menangkap yodium lebih sedikit dibandingkan sel kelenjar normal, atau tidak menangkat sama

sekali. Nodul hangat menangkap yodium radioaktif sama banyak dengan kelenjar normal, dan

nodul panas menangkap yodium radioaktif lebih banyak. Karsinoma papiller biasanya kurang

menangkap yodium atau sama sekali tidak menagkap.

Biopsi insisi dianjurkanpada karsinoma tiroid yang masih layak bedah. Biopsi aspirasi

jarum halus dapat dilakukan tetapi ketepatan diagnosis tergantung kepada kejelian ahli patologi

atau sitologi.

21

Page 22: Onkologi Modul 3

2. Adenokarsinpoma Meduler

Jika dicurigai Adenokarsinoma meduler maka dilakukan pemeriksaan kadar kalsitonin

dalam darah sebelum atau sesudah suntikan pentagastrin atau kalsium.

3. Adenokarsinoma Anaplstik

Pada anamnesis ditemukan struma yang telah diderita cukup lama dan kemudian

membesar dengan cepat. Bila disertai suara parau harus dicurigai Adenikarsinoma Anaplastik.

Pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen torax dan seluruh tulang tubuh dilakukan

untuk mencari metastasis keorgan tersebut.

Penatalaksanaan

Untuk penataksanaan karsinoma tiroid dilakukan sesuai dengan masing masing tipe

karsinoma tiroid :

1. Adenokarsinoma Papiller

Pada struma nodul tunggal sebainya tidak dilakukan enukleasi, sebab bila hasil

pemeriksaan patologi ternyata ganas maka sel tumor sudah tercecer dan pembedahan berikutnya

menjadi tidak sempurna lagi. Harus diingat bahwa sebagian struma nodul tunggal adalah ganas,

dan juga nodul yang terba tunggal adalah tunggal mungkin merupakan bagian struma

multinodusa. Nodul soliter jinak jarang terdapat pada anak, pria (semua umur), dan wanit

dibawah 40 tahun. Bila ditemukan struma nodul tunggal pada golongan tersebut harus dianggap

suatu keganasan dan dilakukan istmolobektomi. Pada pemeriksaan histopatologi, sekitar 10%

menunjukkan keganasan dan biasanya jenis adenokarsinoma papiller.

Bila ditemukan pembesaran kelenjar limfe leher, kemungkinan besar telah terjadi

penyebaran melalui saluran limfe didalam kelenjar sehingga perlu dilakukan tiroidektomi total

dan diseksi kelenjar leher pada sisi yang sama.

Diseksi leher merupakan pengeluaran semua kelenjar limfe leher. Bila tidak ada

penyusupan struktur diluar kelenjar getah bening, diseksi dapat dibatasi pada kelenjar getah

bening saja, artinya m. Sternocleidomastyoideus, n. Accesorius dan v. Jugularis interna tidak

turut diangkat./ Bedah diseksi leher yang dimodifikasi ini menguntungkan, karena pengangkatan

m. Sternocleidomastoideus dan atrofi m trapezius mengakibatkan gangguan kosmetik yang

mencolok sekali. Atrofi m. Trapezius disebabkan karena putusnya n. Accesorius pada

pengeluaran m sternocleidomastoideus.

22

Page 23: Onkologi Modul 3

Penyulit tiroidektomi terpenting adalah gangguan n laryngeus inferior (n. Recurrens) dan

hipoparatiroid. Pada setiap tiroidektomi n recurrens harus dipisahkan untuk mencegah cedera.

Pengobatan dengan radioaktif tidak memberi hasil karena adenokarsinoma papiller pada

umumnya tidak menyerap yodium. Pascatiroidektomi total ternyata yodium dapat ditangkap oleh

sel anak sebar tumor papiller tertentu sehingga pemberian pada keadaan itu yodium radioaktif

bermanfaat. Radiasi ekstern dapat diberikan bila tidak terdapat fasilitas radiasi intern. Metastasis

ditanggulangi secara ablasio radioaktif.

2. Adenokarsinoma Folikuler

Pembedahan untuk adenokarsinoma folikuler adalah tiroidektomi total. Karena sel

karsinoma ini menangkap yodium, maka radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan. Bila masih

tersisa ataupun terdapat metastasis, maka dilakukan pemberian yodium radioaktif ini.

Radiasi ekstern untuk metastasis ternyata memberi hasil yang cukup baik.

3. Adenokarsinima Meduler

Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total. Pemberian radioterapi tidak

memuaskan. Pemberian yodium radioaktif juga tidak akan berhasil karena tumor ini berasal dari

sel C sehingga tidak menangkap dan menyerap yodium.

4. Adenokarsinoma Anaplastik

Pembedahan biasanya sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga hanya dapat dilakukan

biopsi insisi untuk mengetahui jenis karsinoma. Satu satunya terapi yang bisa diberikan adalah

radiasi ekstern.

Prognosis

Untuk prognosis dari karsinoma tiroid ini, maka dapat dikatakan bahwa Adenokarsinoma

Papiller mempunyai prognosis yang bagus jika dibandingkan dengan tipe yang lainnya,

sedangkan untuk Adenokarsinoma Anaplastik mempunya prognosis yang buruk jika dibanding

denga tipe adenokarsinoma tiroid yang lainnya.

Dan untuk adenokarsinoma folikuler mempunyai prognosis bagus jika tipenya

mikroinvasif.

23

Page 24: Onkologi Modul 3

Komplikasi

Karena untuk adenokarsimona tiroid ini ditangani sebagian besar dengan tiroidektomi

total maka ada beberapa komplikasi dari tindakan tersebut, yang antara lain :

a. Durante Operasi

Perdarahan

Krisis tiroid

Cedera nervus, trakea dan esofagus

Pratiroid terangkat

b. Pasca operasi

Hematoma

Tracheomalacia

Hipokalsemia

Suara parau/ hilang

Tersedak

III. Limfoma Maligna

Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui,

tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya Epstein-Barr virus yang ditemukan pada limfoma

Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma pada kelompok penderita AIDS

pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini

disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan

limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke

sumsum tulang dan jaringan lain.

Limfoma dibedakan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang

terlibat. Penggolongan tersebut terdiri dari Limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin. Walaupun

tanda dan gejala limfoma saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma saling

menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma tetap berlainan. Dengan demikian adalah

suatu keharusan untuk menegakkan diagnosis secara tepat. Untuk tujuan ini, diambil sebuah

kelenjar limfe atau lebih untuk diperiksa secara mikroskopis. Limfoma dibedakan menurut jenis

24

Page 25: Onkologi Modul 3

sel yang mencolok yang terdapat pada kelenjar limfe. Umumnya, prognosis yang lebih baik

dihubungkan dengan distribusi nodular dimana terdapat limfosit yang menonjol. Untuk

mengenali asal neoplastik baik sebagai limfosit B ataupun sebagai limfosit T, dilakukan

pemeriksaan imunologis dan sitokimiawi.

Salah satu determinan utama dari pengobatan maupun prognosis adalah stadium klinik

penderita waktu diagnosis itu dibuat. Setelah diagnosis jaringan ditegakkan, harus dilakukan

penggolongan meurut stadiumnya. Ini biasanya berupa :

1. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada system limfatik (kelenjar limfe, hati dan

limpa)

2. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan diferensiasi dan hitung trombosit

3. Pemeriksaan kimiawi darah (fungsi ginjal dan hati; asam urat)

4. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hillus (pembesaran

kelenjar limfe bronkial)

5. CT Scan dada, abdomen dan pelvis

6. Limfangiogram bipedal untuk memeriksa adanya keterlibatan kelenjar retroperitoneal dan

iliaka.

7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang

Biopsi sumsum tulang bilateral merupakan indikasi bagi penderita yang disertai gejala

sistemik atau pada stadium III. Pada keadaan dimana sumsum tulang tidak terlibat, biasanya

dilakukan laparatomi dengan splenektomi dan biopsi hati untuk mendapatkan diagnosis akurat

pada penderita penyakit Hodgkin. Tindakan ini tidak rutin dilakukan pada penderita limfoma

non-hodgkin.

Limfoma Non-Hodgkin

Limfoma non hodgkin merupakan salah satu jenis limfoma maligna atau keganasan sel

limfoid. Keganasan ini dapat berasal dari sel limfosit B, Limfosit T atau berasal dari sel Natural

Killer. Limfoma Non Hodgkin yang berasal dari Limfosit B adalah yang paling sering (85 %)

sedangkan yang berasal dari Limfosit T dan NK berjumlah 15 %. Kemajuan ilmu pengetahuan

dalam bidang imunologi dan fisiologi limfosit, seperti membedakan limfosit dalam jenis sel B

atau sel T memberikan klasifikasi yang lebih pasti dari limfoma non Hodgkin. Secara garis besar

berdasarkan gradenya Limfoma Non Hodgkin dibedakan atas low-grade, intermediate–grade dan

high-grade.

25

Page 26: Onkologi Modul 3

Etiologi

Translokasi kromosom memegang peranan penting penyebab terjadinya limfoma

maligna.

Virus antara lain Epstein-Barr Virus (EBV), Human T-cell leukemia virus type 1

(HTLV-1), Hepatitis C virus (HCV) dan Kaposi sarcoma–associated herpesvirus

(KSHV).

Faktor lingkungan antara lain akibat zat kimia (pestisida, herbisida), kemoterapi dan

radiasi.

Inflamasi kronik seperti Sjögren syndrome dan Hashimoto thyroiditis

Infeksi Helycobacter pylori

Epidemiologi

Median umur penderita limfoma non hodgkin adalah usia > 50 tahun kecuali untuk jenis

Limfoma Non Hodgkin yang high-grade utamanya terjadi pada anak-anak dan usia dewasa

muda. Low-grade limfoma insidensnya dalam masyarakat sekitar 37 % dengan usia diantara 35-

64 tahun

Gejala klinik

Berdasarkan gradenya manifestasi klinik yang timbul pada penderita Limfoma ini antara

lain sebagai berikut :

Low-grade lymphomas

o Limfadenopati difus tanpa rasa sakit dan dapat menyerang satu atau seluruh

kelenjar limfe perifer

o Regresi spontan kelenjar limfe yang membesar

o Gejala konstitusional berupa demam (>38°C), penurunan berat badan,

berkeringat pada malam hari

o Apabila menginfiltrasi atau menginvasi sumsum tulang belakang akan

menyebabkan cytopenia.

o Lemah dan lesu

Intermediate-grade lymphomas & High-grade lymphomas

o Adenopathy

26

Page 27: Onkologi Modul 3

o Gejala konstitusional

o Lymphoblastic lymphoma, high-grade lymphoma, menunjukkan adanya massa

mediastinum anterior dan posterior

o Pasien dengan limfoma burkitt menunjukkan adanya massa abdomen yang besar

dan adanya gejala obstruksi dari saluran pencernaan

o Hidronefrosis obstruksi terjadi pada penderita limfoma burkitt akibat obstruksi

dari ureter

o Gejala-gejala lain pada saluran pencernaan, kulit, tulang, traktus urinarius, tiroid

dan susunan saraf pusat

Pemeriksaan tambahan

a. Fisik

Low-grade lymphomas

o Adenopathy perifeer

o Splenomegali

o Hepatomegali

Intermediate- and high-grade lymphomas

o Limphadenopathi

o Splenomegali

o Hepatomegali

o Massa abdomen yang besar.

o Massa testis

o Lesi pada kulit berupa lesi yang berhubungan dengan limfoma sel T kutaneus

(mycosis fungoides), anaplastic large cell lymphoma, dan angioimmunoblastic

lymphoma

o Foto dada menunjukkan massa mediastinum bulky, yang berhubungan dengan

primary mediastinal large B-cell lymphoma atau lymphoblastic lymphoma

b. Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin menunjukkan :

o Anemia akibat autoimun hemolysis, perdarahan dan akibat inflamasi kronik.

27

Page 28: Onkologi Modul 3

o Trombositopenia, leucopenia hingga pansitopenia akibat infiltrasi pada sumsum

tulang.

o Lymphositosis dan trombositosis

Peningkatan kadar Laktat Dehirogenase (LDH) dan gangguan fungsi hati

Peningkatan beta 2-mikroglobulin

Penatalaksanaan

Terapi pada limfoma milignat non hodkin diberikan berdasarkan staging :

a. Stage Ia, Ib, IIa : Radioterapi

b. Stage IIb dan seterusnya : Kemoterapi

Karena pada Limfoma Non Hodkin dibagi atas tipe low grade dan high grade maka terapinya

juga berdasarkan grade tersebut.

Low Grade

Regimen CVP

- Cyclopospamid

- Vincristin

- Prednison

Fludarabin

Rituximad

High Grade

Regimen CHOP

- Cyclopospamid

- Doxorubicin

- Vincristin

- Prednison

Regimen CHOP + Rituximad

Transplantasi stem sel autolog

Prognosis

Faktor prognosis buruk :

28

Page 29: Onkologi Modul 3

Usia > 60 tahun

Kadar Laktik Dehidrogenase meningkat

Stage III/IV

Tampilan klinis atau performance status jelek

Untuk limfoma high grade prognosisnya tergantung respon terhadap kemoterapi

IV. Limfoma Hodgkin

Definisi

Limfoma hodgkin adalah suatu penyakit keganasan yang melibatkan kelenjar getah

bening yang ditandai dengan adanya sel Ree Stenberg.

Etiologi

Penyebabnya belum diketahui, tetapi bukti menunjukkan adanya hubungan dengan virus

seperti virus Ebstein Barr. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan DNA virus ebstein

barr pada sel Reed Stenberg. Penyakit Hodgkin bia muncul pada berbagai usia, jarang ditemukan

pada usia dibawah 10 tahun, ditemukan pada usia 20-40 tahun, dan diatas 60 tahun.

Gejala Klinis

Penyakit Hodgkin biasanya ditemukan jika seseorang mengalami pembesaran kelenjar

getah bening yang tidak nyeri, paling sering di leher,tapi kadang-kadang penyebarannya

sistemik.

Walaupun biasanya tidak nyeri, pembesaran tersebut bisa menimbulkan nyeri dalam beberapa

jam setelah penderita meminum alkohol dalam jumlah yang banyak.

Gejala lainnya adalah symtom B yaitu demam, keringat malam, dan penurunan berat badan.

Beberapa penderita mengalami demam Pel- Ebstein dimana suhu tubuh meninggi selama

beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari

atau beberapa minggu.

Stadium Limfoma Hodgkin

29

Page 30: Onkologi Modul 3

Stadium Penebaran Penyakit

I Mengenai kelenjar getah bening pada satu bagian tubuh

II Mengenai dua atau lebih kelenjar getah bening pada sisi yang sama

III Mengenai kelenjar getah bening diatas dan dibawah diafragma

IV Mengenai kelenjar getah bening di bagian tubuh lainnya misalnya sum

sum tulang, paru paru, hati

Keempat stadium dikelompokkan lagi menjadi A (tidak adanya) atau B (adanya) salah satu atau

lebih dari gejala berikut :

1. Demam dengan suhu 37,8 C

2. Keringat malam

3. Penurunan berat badan

Diagnosis

Pada penyakit hodgkin kelenjar getah bening membesar dan tidak menimbulkan nyeri,

tanpa adanya infeksi, jika pembesaran ini berlangsung lebih ari 1 minggu maka dapat dicurigai

penyakit Hodgkin, terutama jika demam, berkeringat malam dan disertai penurunan berat badan.

Untuk mengetahui secara pasti penyakit Hodgkin dilakukan biopsi kelenjar getah bening yang

hasilnya positif jika ditemukan sel Reed Stenberg.

Pemeriksaan Penunjang

Untuk mengetahui stadium dari limfoma Hodgkindapat dilakukan pemeriksaan :

1. Rontgen dada

2. Limfangiogram

3. CT scann

4. Skenning galium

5. Laparatomi

Penatalaksanaan

Dua jenis pengobatan limfoma Hodgkin yang efektif adalah dengan radioterapi dan

kemoterapi. Terapi penyinaran menyembuhkan 90 % Hodgkin stadium I dan II. Pengobatan

dilakukan 4-5 minggu. Pengobatan ditujukan pada kelenjar getah bening yang terkena dan

30

Page 31: Onkologi Modul 3

sekitarnya. Untuk stadium III dengan gejala dilakukan radioterapi sedangkan yang tanpa gejala

dilakukan kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi. Pada stadium IV dilakukan kombinasi

dengan obat obat kemoterapi.

Prognosis

Stadium I lebih dari 90 %

Stadium II 90 %

Stadium III 80 %

Stadium IV 60-70 %

31

Page 32: Onkologi Modul 3

Daftar Pustaka

Aru Sudoyo dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi IV. Jakarta: IPD Press

Efiaty Arsyad dkk. 2007. Buku Ajar THT Edisi 6. Jakarta: UI Press

http://www.emedicine.medscape.com/oncology/ diakses pada pukul 7.30 22 December 2009

Theopilus B. dkk. 2008. Buku Ajar Anatomi Umum. Makassar: Bagian Anatomi FK Unhas

Wan Desen. 2008. Buku Ajar Onkologi. Jakarta: UI Press

32