oleh: muh. syuhada subir
TRANSCRIPT
86
Wahyu dan Peran Nabi Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd
Oleh: Muh. Syuhada Subir
Abstrak
Al-Qur`an merupakan sumber utama ajaran Islam yang didalamnya
termuat ajaran dan petunjuk tentang akidah, hukum, ibadah, dan akhlak. Selaku
sumber utama ajaran Islam al-Qur`an banyak yang menjadikannya objek kajian,
baik oleh kalangan ulama dan intelektual muslim sendiri maupun intelektual non
muslim atau para orientalis. Dari kajian-kajian tersebut memunculkan persepsi
dan perspektif yang beragam. Diantara kajian tersebut adalah kajian tentang
takstualitas al-Qur`an, seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd seorang
intelektual muslim, yang fokus kajiannya tentang konsep teks dengan pendekatan
kritik sastra dan hermeneutika. Terkait hal tersebut, makalah pendek ini mencoba
menyajikan tentang pandangan Nasr Hamid Abu Zayd tentang konsep wahyu dan
peran Nabi, dimana konsep wahyu merupakan salah satu kerangka pemikiran Abu
Zayd dalam kajiannya tentang tekstualitas al-Qur`an.
Kata Kunci : Al-Qur`an, Wahyu, Risalah, Nasr Hamid Abu Zayd
Pendahuluan
Dalam kajian keislaman, terdapat tiga bidang kajian yang perlu
dibedakan, yang pertama, teks original islam yakni al-Qur`an dan hadits dari nabi,
kedua, pemikiran islam yang dipandang sebagai bentuk interpretasi dari kajian
teks original islam yang dapat ditemukan dalam empat disiplin pokokwacana
islam yakni hukum, teologi, filsafat dan tasawuf, dan yang ketiga, perwujudan
praktek sosio-politik islam dalam masyarakat muslim dengan latar belakang
sosio-historis yang berbeda-beda.
Kajian atas teks original islam khususnya al-Qur`an, memunculkan
kajian tentang tekstualitas al-Qur`an yang dikenal secara implisit dalam kajian al-
Qur`an klasik dan secara eksplisit dalam pemikiran islam modern. Dan beberapa
ulama telah menghentikan penggunaan istilah teks ketika mengkaji dan merujuk
pada al-Qur`an. Namun berbeda dengan Nashr Hamid Abu Zayd salah satu
intelektual muslim modern-kontemporer yang masih menggunakan istilah teks
dalam kajiannya terhadap al-Qur`an, yang salah satu karyanya mendapat
tanggapan yang cukup kontroversial dari banyak kalangan adalah Mafhum al-
Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an. Diantara argumen yang muncul atas karyanya
87
yang kontroversial tersebut adalah : “Dari keseluruhan sejarah islam, tidak
seorangpun yang menggunakan kata „teks‟ ketika merujuk pada al-Qur`an selain
apa yang digunakan sendiri oleh Tuhan. Tidak seorangpun ulama yang
menghubungkan al-Qur`an dengan teks, semoga Tuhan memaafkan ini. Karena
hanya inilah yang dilakukan oleh orientalis Eropa (bukan islam atau arab) dalam
berhubungan dengan al-Qur`an”.1
Wahyu, risalah dan peran Rasul, merupakan topik pembahasan Nasr
Hamid Abu Zayd dalam bukunya Mafhum al-Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an.
Dan buku Mafhum al-Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an, merupakan respon
intelektual Abu Zayd terhadap interpretasi pragmatis dan ideologis atas al-Qur`an
yang ia jumpai selama melakukan kajian atas pemikiran mu‟tazilah, wacana sufi
dan wacaana religio-politik sejak tahun 1950-an. Dia meyakini bahwa dengan
mendefinisikan “hakikat Objektif” teks, interpretasi ideologis dapat direduksi
sebesar mungkin. Menurutnya teks haruslah dilihat sebagai sebuah teks linguistik
historis yang muncul dalam lingkungan kultural dan historis tertentu, dan teks
haruslah dikaji dan diinterpretasikan secara “objektif” dengan menerapkan
metodologi dan dan teori “ilmiah” yang dikembangkan dalam studi-studi tekstual
dan linguistik.2
Konsep Wahyu
Wahyu secara semantik berarti isyarat yang cepat (termasuk bisikan di
dalam hati dan ilham), surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada
orang lain untuk diketahui. Di dalam al-Qur`an kata wahyu digunakan dalam
beberapa pengertian, seperti : isyarat (Q.S. Maryam/9 : 11), pemberitahuan secara
rahasia (Q.S. Al-An‟am/6 : 112), perundingan yang jahat dan bersifat rahasia
1Muhammed Abu Musa, al-Tashwir al-Bayani: Dirosah Tahliliyah li al-Masail al-Bayani
(figures of speech: an Analitical Study of Aspect of Rhetoric), Edisi 2 Kairo, 1980, dalam Dede
Iswadi, Jaja Rahman, Ali Mursyid,Nasr Hamid Abu Zayd; al-Qur`an, Hermeneutik dan
Kekuasaan; Kontroversi dan penggugatan Hermeneutika al-Qur`an, (Bandung : RqiS, 2003), cet.
I, h. 86 2Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjaan Kritis al-Qur`an; Teori Hermeneutika Nasr Hamid
Abu Zayd, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 20
88
(Q.S. Al-An‟am/6 : 121), ilham yang diberikan kepada binatang (Q.S. An-Nahl/16
: 68), dan ilham yang diberikan kepada manusia (Q.S. Al-Qashash/28 : 7)3.
Adapun secara terminologis, wahyu adalah pengetahuan yang didapat
seseorang didalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari
Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa
perantara.4Pengertian sepereti ini dapat dilihat dalam firman Allah Q.S. Al-
Syuura/42 : 51 yang artinya :
“Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah berbicara
kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau daribelakang tabir
atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana”.5
Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa prosespewahyuanal-Qur`an
memiliki tiga cara, yaitu pertama, pewahyuan (menurunkan wahyu) dalam
pengertian bahasanya yang asli yaitu isyarat yang cepat. Sebagai contoh wahyu
yang diterima oleh Nabi Ibrahim mengenai penyembelihan putranya (Nabi)
Ismail.Kedua, memperdengarkan suara dari belakang tirai/hijab, seperti Allah
memanggil Nabi Musa dari belakang sebuah pohon dan ia mendengar panggilan
itu. dan ketiga, dengan perantaraan malaikat yang membawa wahyu (Jibril), yang
merupakan bentuk wahyu yang paling tinggi.6
Dalam pandangan Abu Zayd, wahyu adalah proses komunikasi yang
mengandung unsur-unsur pengirim dan penerima yang keduanya terkait dalam
satu taraf eksistensi dengan media yang bisa dipahami oleh kedua belah pihak.
Dan pembicaan mengenai wahyu dalam al-Qur`an membawa kita pada bidang
3M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan `Ulum al-Qur`an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008),
h. 48. Menurut Ayatullah Murtadha Muthahhari sehubungan dengan bagaimana kata wahyu
digunakan, dan untuk kesempatan apa kata itu digunakan, menunjukkan bahwa Al-Qur‟an
menunjukkan wahyu bukan hanya untuk manusia saja,akan tetapi wahyu juga untuk tiap-tiap
sesuatu atau semua makhluk hidup.Lebih lanjut ia mengatakan bahwa wahyu dan petunjuk ada
tingkatan-tingkatannyasesuai dengan beragamnya tingkat evolusi tiap-tiap sesuatu yang berbeda-
beda.Dan wahyu yang derajatnya paling tinggi adalah wahyu yang diberikan kepada para nabi,
yang menjadi kebutuhan manusia akan petunjuk Tuhan,dengan petunjuk Tuhan inilah manusia
dapat melangkah menuju suatu tujuan.https://teosophy.wordpress.com/2012/11/12/wahyu-dan-kenabian/, 15 Maret 2017
4M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 48
5Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Jakarta : PT. Tehazed, 2009), h. 701
6M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 49, bandingkan pula dengan Manna‟ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, edisi terj. dari Mabahits fi „Ulum al-Qur`an, (Bogor : PT.
Pustaka Litera AntarNusa, 2009), cet. XIII, h. 44-47
89
yang agak rumit, dimana proses komunikasi/wahyu antara dua belah pihak tidak
berlangsung dalam tingkat eksistensi yang sama. Meskipun demikian, konsep
seperti ini-konsep komunikasi antara tingkat-tingkat eksistensi yang berbeda-
masih merupakan konsep yang lumrah dalam peradaban Arab sebelum
islam.7Terkait dengan proses komunikasi wahyu, baik dalam taraf vertikal (Allah-
Jibril) maupun dalam taraf horizontal (Jibril-Muhammad) medium bahasa yang
digunakan adalah bahasa Arab. Namun ada yang membedakan antara kedua taraf
tersebut, yaitu menjadikan “ilham” ke taraf komunikasi bahasa, atau menjadikan
formulasi bahasa wahyu merupakan tugas Jibril disatu sisi, dan menjadikannya
sebagai tugas Muhammad disisi yang lain.8
Sebelum al-Qur`an diwahyukan, konsep wahyu telah ada dalam budaya
masyarakat Arab saat itu. Konsep wahyu pada waktu itu terkait dengan puisi dan
ramalan yang dianggap datang dari dunia jin yang disampaikan kepada penyair
dan peramal melalui proses pewahyuan (wahy, tanzil). Diman penyair dan
peramal pada saat itu merupakan sumber-sumber kebenaran, karena mendapatkan
informasi dari jin yang mampu mendengar atau mencari informasi dari langit. Hal
ini, menurut Abu Zayd merupakan basis kultural fenomena wahyu keagamaan.
Karena keyakinan ini, pemikiran Arab juga akrab dengan konsep malaikat
(malaikah) yang berkomunikasi dengan seorang nabi.9 Bila dilogikakan dengan
logika budaya, maka syair dan ralamalan (penyair dan peramal) bukan lagi
kebenaran, karena jin tidak lagi mencuri informasi dari langit. Dengan demikian,
teks al-Qur`an menyatakan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran,
demikian juga halnya dengan Muhammad, karena al-Qur`an diwahyukan sendiri
oleh Allah (bukan dengan cara dicuri) kepada nabi Muhammad melalui malaikat
jibril.10
Sehubungan dengan fenomena syair (puisi) dan ramalan (kihanah)dengan
jin yang telah ada dalam pemikiran orang Arab, serta segala apa yang terkait
dengan fenomena tersebut, seperti keyakinan orang Arab terhadap kemungkinan
7Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an, (Kairo : Al-Hai‟ah
Al-Mishriyyah, 1993), h. 38 8Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 46
9Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 38
10Moch. Nur Ichwan, Studi Al-Qur`an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002), h. 156
90
terjadinya hubungan komunikasai antara manusia dengan jin, adalah basis kultural
bagi fenomena wahyu agama itu sendiri. Andaikata kita menggambarkan
peradaban Arabpra islam tidak memeiliki persepsi-persepsi tersebut, niscaya
pemahaman tentang fenomena wahyu menjadi sesuatu yang mustahilterjadi dari
sudut pandang budaya. Bagaimana mungkin orang Arab dapat menerima
pemikiran tentang turunnya malaikat dari langit kepada seorang manusia,
kecualipersepsi ini berakar dalam pembentukan mental dan intelektualnya. Semua
ini menegaskan bahwa fenomena wahyu-al-Qur`an-bukanlah fenomena yang
terpisah dari realitas atau fenomena yang mempersentasikan adanya loncatan
realitas. Bagi orang Arab yang mengetahui bahwa jin berbicara pada penyair dan
membisikkan puisinya, dan mengetahui ramalan-ramalan dukun bersumber dari
jin, tidaklah sulit bagi mereka untuk membenarkan adanya Malaikat yang turun
membawa “Kalam” kepada manusia. Oleh karena itu tidak ditemukan orang-
orang Arab yang hidup pada saat al-Qur`an diturunkan mengingkari fenomena
wahyu. Dan pengingkaran yang mereka lakukan dimungkinkan mengarah pada
muatan wahyu atau pada pribadi yang menerima wahyu.11
Merujuk pada persepsi terjadinya hubungan komunikasi antara manusia
dengan jin serta alam semesta ini tidak terbentuk dari dunia yang terpisah-pisah
akan tetapi saling berhubungan, dan kemungkinan terjadinya hubungan
komunikasi antara manusia dengan beberapa bagian duniaini, Abu Zayd
berpendapat bahwa kedudukan antara nabi dan peramal adalah sama. Yang
membedakannya adalah bahwa hubungan komunikasi nabi dengan alam tertinggi
merupakan hubungan yang didasarkan pada fitrah dan penciptaaan yang landasan
pemilihannya berdasarkan “seleksi” Ilahiyah, sedangkan tukang ramaldalam
berhubungan dengan dunia lain membutuhkan alat dan sarana pembantu yang
dapat membebaskannya-secara parsial-dari hambatan-hambatan alam
materi.12
Selain itu dalam persepsi Arab bahwa kenabian dan perdukunan kedua-
duanya menerima wahyu, hanya saja eksistensi tingkat komunikasinya yang
11
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 38 12
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 42
91
berbeda. Dalam konteks kenabian, nabi berhubungan dengan malaikat, sedangkan
dalam konteks perdukunan, dukun atau peramal berhubungan dengan syaitan.13
Wahyu al-Qur`an
Pembahasan tentang al-Qur`an tidak dapat dilepaskan dari konsep wahyu
dalam budaya arab pra islam dan pada saat islam muncul. Sebagaimana yang
diyakini oleh umat islam bahwa al-Qur`an merupakan teks yang diwahyukan oleh
Allah kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, dengan menggunakan
bahasa arab14
,dan mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman
bagi penyelesain berbagai problem kehidupan. Fazlurrahman mengungkapkan
bahwa terdapat delapan tema pokok yang terkandung didalam al-Qur`an, yaitu (1)
Tuhan; (2) manusia sebagai individu; (3) manusia sebagai anggota masyarakat;
(4) alam semesta; (5) kenabian dan wahyu; (6) eskatologi; (7)setan dan kejahatan;
dan (8) lahirnya masyarakat muslim.15
Lebih lanjut Rahman menyatakan bahwa
spirit dasar al-Qur`an adalah spirit moral yang sangat menekankan monoteisme
(tauhid),keadilan sosial dan ekonomi.16
M. Quraish Shihab lebih rinci menyebutkan tujuan diturunkanya al-
Qur`an adalah :
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik
serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan
seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep
teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia;
2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat
manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam
pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan;
13
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 44 14
Al-Qur`an diturunkan secara keseluruhan dalam bentuk wahyu yag ketiga sebagaimana
yang tersurat dalam Q.S. Al-Syuuraa/42 : 51.Dengan demikian al-Qur`an tidak mengandung
wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa al-Qur`an adalah bentuk wahyu yang paling tinggi.
Dalam Q.S. Asy-Syu‟araa/26 : 192-196 yang artinya : “dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-
benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-
benar (tersebut) dalam Kitab-Kitab orang yang dahulu”. Lihat M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 50
15Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an, (Bandung: Pustaka, 1983)
16Fazlur Rahman,Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 31-50
92
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antarsuku atau
bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehiduapan dunia dan akhirat,
natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan kebenaran,
kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme,
kesatuan sosial, politik, dan ekonomi, dan kesemuanya dibawah satu keesaan,
yaitu keesaan Allah Swt;
4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan;
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spritual, kebodohan, penyakit, dan
penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang
sosial, ekonomi, politik, dan juga agama;
6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang,
dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan
masyarakat manusia;
7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan
falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang
menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran;
8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan Nur Ilahi.
Abu Zayd menganggap bahwa fenomena wahyu keagamaan (wahyu,
tanzil) sebagai bagian dari budaya tempat ia muncul.17
Dan dia memandang
bahwa proses pewahyuan didalam sinaran teori model komunikasi Roman
Jakobson, dimanaproses pewahyuan merupakan proses penyampaian pesan,192.
dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, perkataan
Allah (kalam Allah) adalah pesan (al-risalah).Lebih jelasnya sebagaimana apa
yang dikutip Moch. Nur Ichwan dari The Textualityof The Koranbahwa proses
pewahyuan tidak lain adalah sebuah tindak komunikasi (act of communication)
yang secara natural terdiri dari pembicara, yaitu Allah, seorang penerima, yakni
Nabi Muhammad, sebuah kode komunikasi, yakni bahasa Arab, dan sebuah canel,
17
Moch. Nur Ichwan, Studi Al-Qur`an Kontemporer................. h. 155
93
yakni Ruh Suci (Jibril). Dan bila divisualisasikan akan nampak sebagai berikut
ini:18
Adapun model komunikasi Roman Jakobson adalah sebagai berikut19
:
Dari pandangan Abu Zayd dalam diagram proses pewahyuan diatas
menunjukkan bahwa Abu Zayd tidak mendiskusikan faktor pembicara atau
pengirim (Allah), karena menurutnya kajian ini bersifat teologis yang akan
menghantarkan pada pandangan mitologis.Akan tetapi dia lebih fokus pada teks
al-Qur`an yang sampai pada Muhammad dan kita umatnya. Lebih lanjut Abu
Zayd berargumen bahwa kata-kata literal (mantuq) al-Qur`an, merupakan teks
keagamaan yang bersifat ilahiyah, akan tetapi ia menjadi sebuah
“konsep”(mafhum) yang bersifat relativ dan bisa berubahmenjaditeks manusiawi
bila dilihat dari persektif manusia. Dengan demikian teks yang diwahyukan dan
dibaca oleh nabi, akan tertransformasi dari sebuah teks Ilahi (nashsh ilahi)
18
Moch. Nur Ichwan, Meretas.................69-70 19
Moch. Nur Ichwan, Meretas................. 110
Allah sebagai
Pembicara
Pengirim
Konteks
Al-Qur`an
sebagai Pesan
Jibril
sebagai Canel
Bhs. Arab
sebagai Kode
Muhammad
sebagai Penerima
Context
Message
Contact
Code
Adresser
Adressee
94
menjadi sebuah konsep (mafhum) atau teks manusiawi (nashsh insani), karena ia
secara langsung berubah dari wahyu (tanzil) menjadi interpretasi (ta`wil).20
Kemudian Abu Zaid menyatakan bahwa realitas adalah dasar, sehingga dari
realitas terbentuklah teks (al-Qur`an) dan dari bahasa dan budaya terbentuklah
konsepsi-konsepsi (mafahim), dan ditengah pergerakannya dengan iteraksi
manusia terebentuklah makna (dalalah).
Pandangan diatas menghantarkan Abu Zayd sampai pada kesimpulan
bahwa al-Qur`an merupakan “produk budaya” (al-Muntaj al-Tsaqafi), yaitu
bahwa teks muncul dalam sebuah struktur budaya Arab, dan “ditulis”berpijak
pada aturan-aturan buday tersebut, yang didalamnya bahasa merupakan sistem
pemaknaannya yang sentral.
Konsep wahyu yang diusung oleh Abu Zayd daitas menyelisihi konsep
wahyu yang diyakini oleh mayoritas umat islam yang berpendapat bahwa al-
Qur`an adalah kalam Allah yang Azali dan qadim yang eksis bersama zat-Nya
berada diluar alam nyata, bukan makhluk, dan tidak memerlukan tempat21
. Serta
proses pewahyuannya dengan cara inzal, yaitu proses perwujudan al-Qur`an
(idzhar al-Qur`an), dengan cara Allah mengajarkan kepada malaikat Jibril,
kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad.22
Serta menyelisihi
makna yang terkandung dalam Q.S. al-Haaqqah/69 : 43-47 yang menjelaskan
bahwa al-Qur`an sepenuhnya berasal dari Tuhan dan tidak sedikitpun ada campur
tangan Nabi Muhammad saw. Bahkan Allah mengancam Nabi Muhammad
apabila mengada-ada di dalam al-Qur`an, serta terpelihara keasliannya dari segala
perubahan,penyimpangan, pengurangan maupun penambahan, seperti yangtelah
Allah SWT janjikan23
.
Yusuf Qardhawi menjelaskan terkait dengan proses turunnya al-Qur`an
kepada Nabi Muhammad, bahwa al-Qur‟an sebelumnya sudah tertera
dalamUmmu al-Kitab atau Lauh Mahfudz atau Kitab Maknun di manaperan
20
Moch. Nur Ichwan, Meretas................. 70-73 21
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur`an; Mengungkap Makna-makna Tersembunyi al-Qur`an,
(Jakarta : al-Ghazali Center, 2008), h. 67 22
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur`an................. 81 23
M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 50-51, Adapun Firman Allah yang artiny :
“Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam, seandainya Dia (Muhammad)
Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada
tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya, Maka sekali-kali
tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu”.
95
malaikat Jibril hanya mentransfernya sedangkan NabiMuhammad SAW hanya
membacanya dan menghafalnyahingga tidak akan lupa, kemudian
menyampaikannya kepadakepada manusia seperti yang telah diturunkan.24
Terlepas dari itu semua, kajian Abu Zayd atas al-Qur`an dan ilmu-
ilmunya mengandung sesuatu yang baru. Pertama : tercermin dalam usahanya
untuk melihat kembali konsep wahyu dengan menelaah syarat-syarat
kemungkinannya, yaitu menelaah syarat-syarat historis dan pengetahuan yang
menjadikan fenomena wahyu sebagai sesuatu yang mungkin dan masuk akal.
Yang secara khusus disebutkannya tentang tersebarkannya gejala tukang ramal
(al-kihanah) dikalangan masyarakat jahiliyah. Sebagaimana dimaklumi, antara
tukang ramal dan kenabian ada bentuk keseruapaan, karena keduanya berpijak
pada wahyu, termasuk apa yang dimaksud oleh wahyu dengan kemungkinan
komunikasi-informatif antara manusia dengan dunia lain, atau antara manusia
dengan eksistensi-eksistensi lain. Kedua, dalam menganalisis tingkatan-tingkatan
teks dari segi caranya dalam memproduksi makna, dan dalam menyingkap
mekanisme-mekanisme keterbentukan dan peneguhannya, khususnya mekanisme
perbedaannya dengan teks-teks yang serupa dengannya, seperti syair dan
perdukunan. Dan mekanisme-mekanisme yang dengannya dapat melahirkan
keistimewaan dan identitasnya, dan dengan perantaranya menjalankan otoritas dan
mengungguli wacana-wacana yang lain. Ketiga, dalam menganalisis tipe-tipe
penggunaan atau fungsi al-Qur`an, serta bagaimana perubahannya dari sebuah alat
bagi proyek kebudaan yang tujuannya mengubah realitas menjadi sekedar mushaf
atau alat hiasan menjadi sesuatu yang sakral dalam dirinya sendiri, dan
menyebabkan terjadinya choosifikasi (pemburukan,tasyii‟) dengan memisahkan
teks dari realitas yang telah memproduksinya dan dari kebudayaan yang
dengannya teks itu terbentuk dan berinteraksi, serta partisipasinya dalam
merekontruksi dan membentuknya kembali.25
Risalah dan Peran Rasul
24
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a al-Qur‟an al-Adzim, (Kairo: Dar al-
Syuruq,Cet.III, 2000), h. 19 25
Ali Harb, Naqd al-Nash, edisi terj. Kritik Nalar al-Qur`an, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h.
317
96
Al-Qur`an merupakan sumber utama ajaran Islam, didalamnya termuat
ajaran dan petunjuk tentang aqidah, hukum, ibadah, dan akhlak, atau dengan kata
lain al-Qur`an mengandung petunjuk tentang jalan kehidupan manusia kepada
kebahagiaan dan kesejahteraan, hal ini dapat di lihat dalam Q.S. al-Isra`/17 : 9 dan
Q.S. al-Nahl/16 : 89.26
Dan al-Qur`an juga mensifati dirinya sebagai pesan
(risalah) yang melambangkan hubungan komunikatif antara pengirim (al-mursil,
Allah) dengan penerima pertama (Nabi, al-mustaqbil al-awwal). Ketika Allah
mewahyukan al-Qur`an kepada Nabi, Dia (Allah) telah memilihkan sistem bahasa
yang berkaitan langsung dengan penerima pertamanya.27
Risalah yang terdapat dalam proses komunikasi/wahyu, baik risalah
verbal ataupun risalah non verbal, adalah risalah khusus bagi penerima pertama,
meski demikian risalah tersebut dituntut untuk disampaikan dan diumumkan
kepada manusia. Risalah tersebut bersifat bahasa dan perkataan, sebagaimana
dalam konteks al-Qur`an. Dan dalam penyampaian lafadz risalah tersebut jangan
sampai terdapat penyimpangan, perubahan, dan kekeliruan28
. Sebagai penerima
pertama tidak hanya sekedar menerima dan mengetahui isi dan kandungan risalah,
akan tetapi memiliki tugas dan kewajiban untuk mentransfer risalah dan
menyampaikannya kepada manusia. Hal inilah menjadikan “seorang Nabi”
sebagai “seorang Rasul”29
.Teks (nashsh) sebagai pesan berarti yang
menjadisasarannya adalah seluruh manusia, dimana manusia memiliki sistem atau
pola bahasa yang sama dengan teks (nashsh), dan tidak terpisahkan dari
peradaban dimana bahasa sebagai sentralnya. Oleh karena itu, dalam hal ini
konsep tanzil harus dipahami dalam konteks “penurunan” pesan kepada manusia
melalui perantara Malaikat (Jibril) dan Muhammad selaku manusia. Hal tersebut
dapat divisualisasikan sebagai berikut30
:
26
M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 56 27
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Jaman Klasik Hingga Jaman Modern, Edisi Terj.
Tafsir al-Qur`an al-Karim baina al-Qudama wa al-Muhadditsin, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h.
230 28
Hal tersebut sesuai dengan Q.S. al-Haaqqah/69 : 44 yang artinya “seandainya Dia
(Muhammad) Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami, dan Q.S. Al-Tuur/52 : 33 yang
artinya “ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". sebenarnya mereka
tidak beriman”. 29
Lihat Q.S. al-Maidah/5 : 67, Q.S. al-An‟am/6 : 19, Q.S. Ibrahim/14 : 82, Q.S. Ali Imran/3
: 20, dan Q.S. al-Anbiya/21 : 106 30
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 55-57
97
Muhammad selaku penerima teks pertama dan sekaligus penyampainya,
merupakan bagian dari realitas dan masyarakat. Beliau tumbuh sebagai anak
yatim di Mekkah, dan dididik dalam lingkungan suku Bani Sa‟ad sebagaimana
anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Beliau berdagang sebagaimana
orang-orang Mekkah berdagang, melakukan perjalanan bersama mereka, dan
berbaur dalam kehidupan dan suka duka mereka. Hal ini menunjukkan bahwa
Muhammad yang dipilih oleh Allah selaku penerima risalah adalah manusia
seperti manusia biasa dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan
dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan
dan kedudukan istimewa disisi-Nya, atau dengan kata lain, yang sama dengan
manusia lain adalah basyariyahnya bukan pada insaniyahnya, Sebagaimana dalam
firman Allah Q.S. al-Kahfi/18 : 110 yang potongan ayatnya menyebutkan
“basyarun mitslukum” bukan “insanun mislukum”.31
Kondisi demikian ingin
menjelaskan bahwa pandangan dan konsep tentang kenabian yang melepeaskan
diri dari lingkungan masyarakat dan realitas. Karena pandangan demikian
bertentangan dengan gelar yang disandangkan kapadanya yang dikenal dengan
“al-amin”, dimana gelar ini dapat diberikan kepada seseorang dari hasil
interaksinya dengan masyarakat dan melibatkan diri dalam berbagai permasalahan
yang dihadapi oleh masyarakat tersebut, sehingga mereka dapat memberikan
31
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung : Mizan, 1998), cet. VIII, h. 53
Allah
Malaikat Muhamma
d
Manusia
98
penilaian terhadapnya dalam etikanya bergaul dengan orang lain dalam realitas
sehari-hari.32
Dalam hal pemilihan Allah terhadap Muhammad sebagai Nabi dan Rasul
penerima dan penyampai risalah keapada seluruh manusia33
, ada ulama yang
meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu sehubungan dengan beliau bukanlah
suatu kebetulan. Seperti bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi‟ul
Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah
(hamba Allah), ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya yang
bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana),
sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa` (yang
sempurna dan sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa‟diyah
(yang lapang dada dan mujur). Semuanya mengisyaratkan akan keistimewaan
Nabi Muhammad saw. dan makna nama-nama tersebut menunjukkan hubungan
yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad saw.34
Merujuk pada ayat pertama yang turun dalam proses awal komunikasi,
yaitu 5 ayat pertama dalam surat al-„Alaq, merupakan jawaban terhadap keresahan
dan kebimbangan serta pertanyaa-pertanyaannya atas sikap dan prilaku
masyarakat dimana beliau tinggal, dan mendorongnya untuk menyepi dan
beribadah didalam gua Hira. Situasi komunikasi pertama ini merupakan situasi
yang kompleks, karena beliau bukanlah orang yang dapat membaca. Dalam
kondisi demikian, tiba-tiba didatangi oleh malaikat (Jibril) disaat beliau sedang
merenung dan menyerunya untuk membaca. Respon pertama Muhammad adalah
penolakan, “aku bukanlah orang yang pandai membaca”, hal ini berulang sampai
tiga kali, kemudian Muhammad akhirnya menyerah dan berkata “ Ma aqra` (apa
yang harus aku baca) ?”.35
Namun pertanyaan tersebut tidak dijawab karena Allah
32
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 59-60 33
Dalam hal Muhammad selaku Nabi dan Rasul penyampai risalahuntuk seluruh manusia,
terdapat sebagian orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad saw. hanya
bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di
Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia. Pendapat ini bertolak belakang
dengan pernyataan al-Qur`an yang tersurat dalamQ.S. al-A‟raf/7 : 158 yang artinya “Katakanlah:
"Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, ......................", lihat M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an ................. h. 48 34
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an ................. h. 43 35
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 65-66
99
menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut
Bismi Rabbika, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.36
Lebih lanjut Abu Zayd menjelaskan maksud Iqra‟ bismi rabbika yang
merupakan perintah pertama dari teks yang ditujukan kepada Muhammad sebagai
jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Kata Rabb menjelaskan tentang Zat yang
mendidik, kemudian dihubungkan dengan kata ganti orang kedua (ka)-kata ganti
yang menunjuk kepada Muhammad-mengisyaratkan adanya makna pendidikan
dengan segala kedekatan yang terdapat dalam kata tersebut. Makna ini dikuatkan
oleh pembicaraan mengenai “pengajaran” pada ayat berikutnya. Agar kata
“Rabbika” tidak hanya sekedar pendidik biasa maka dalam teks tersebut
ditambahkan kata “Alladzi khalaq” (yang menciptakan). Dengan demikian
perasaan Muhammad bahwa Tuhannya itulah yang mencipta, mengangkat nilai
dan pentingnya dia, serta mengobati perasaan keyatiman dan kemiskinan yang
muncul dalam lubuk hatinya. Dan pengulangan kata kerja “khalaq” menunjukkan
bahwa Muhammad tidak menjauhkan diri dari realitas dan masyarakatnya, serta
menyingkapkan kepada Muhammad pertanyaan-pertanyaannya mengenai
manusia. Kemudian Abu Zayd menjelaskan bahwa makna dari kalimat „Allama bi
al-qalam (mengajarkan manusia dengan pena) dalam teks, tidak lain hanyalah
kiasan pengajaran manusia terhadap realitas, karena pengajaran sebenarnya adalah
pengajaran dengan lisan dimana pena hampir tidak digunakan, akan tetapi Tuhan
Muhammad mengajari manusia dengan pena, serta mengajari manusia dengan apa
yang belum diketahuinya.37
Para ulama berpendapat bahwa surat al-„Alaq merupakan surat yang
pertama kali diturunkan dalam hubungannya dengan “an-nubuwah” (kenabian),
dan surat al-muddatstsir adalah surat yang pertama diturunkan dalam
hubungannya dengan “ar-Risalah” (kerasulan). Pandangan terkait dengan kedua
hal diatas tersirat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim berikut :
ثم ناديت فلم أر ،فلم أر أحدا
36
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an ................. h. 5 37 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 67
100
، فرفعت رأسي فإذا هو علي العرش في الهواء،أحدا، ثم نوديت
Menurut pandangan Abu Zayd, kata kerja yang bermakna perintah yang
muncul berulang kali dalam teks surat al-Muddatstsir dengan menggunakan huruf
fa` seperti dalam kata fa anzir, fa kabbir, dan fa thahhir, maksudnya adalah
bahwa teks yang sebelumnya (surat al-„Alaq) tidak menugaskan Muhammad
kecuali membaca. Sedangkan dalam teks surat kedua (al-Muddatstsir)
menugaskannya dengan sejumlah perbuatan yang menuntut pelaksanaan. Perintah
memberikan peringatan dan mengagungkan Tuhan merupakan poros pertama,
dimana perintah memberi peringatan dan mengagungkan Tuhan berarti
mengcilkan Tuhan-tuhan lainnya. sedangkan poros kedua adalah perintah
menyucikan pakaian “kebersihan formal” dan menjauhi perbuatan dosa
“kebersihan rohani”. Yang perlu diperhatikan di sini dalam perintah menjauhi
dosa diungkapkan dengan kata “fahjur” yang mengindikasikan bahwa perintah
menjauh disini adalah menjauhi apa yang dilakukan kaumnya, seperti adat istiadat
dan ibadah-ibadah dari satu sisi, dan disisi lain mengisyaratkan bahwa
Muhammad-sebelum diutus-tidaklah menjauhi kaumnya. Perintah menjauhi disini
mencerminkan awal mula pemisahan antara yang baru dengan yang lama, serta
sinergi dengan perintah memberi peringatan.39
Jadi konteks dari teks pertama mengungkapkan kerinduan-kerinduan dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri Muhammad, adapun
perintah memberi peringatan merupakan penghapusan akan rasa resah dan
bimbang atas apa yang diharapkan dari Tuhannya. Sedangkan perintah untuk
mengagungkan, menyucikan pakaian, dan menjauhi perbuatan dosa sebagai
persiapan Muhammad untuk menjalankan tugas-tugas yang disandarkan oleh teks
sehingga ia siap melaksanakan tugas-tugas mulia tersebut. Dan fase ketiga adalah
gerak (perkembangan) persesuain teks dengan ralitas, bersamaan dengan
dimulainya dakwah dan diumumkannya risalah (kerasulan).
38
Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Nisaburi, Mukhtashar Shahih Muslim, (Kuwait : Wizarah al-
Auqaf wa al-Syu`un al-Islamiyah, 1389 H), Juz I, h. 25 39
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 71-72
101
Penutup
Abu Zayd selaku pemikir Arab-Islam mencoba untuk memberikan
perhatian terhadap apa yang terjadi dan dialami oleh masyarakat Arab khususnya
dan Islam pada umumnya. Dari fakta material memperlihatkan bahwa al-Qur`an
dibentuk dalam sebuah bahasa, namun bukan bahasa biasa karena dianggap
bahkan diyakini berasal dari Tuhan. Ini berarti wahyu al-Qur`an bagi umat
merupakan bahasa yang memiliki sifat otoritatif. Namun demikian, Abu Zayd
mencoba mengupas dan melakukan pembahasan terhadap wahyu al-Qur`an
dengan menggunakan metode kritik sastra dan hermeneutika. Dari upayanya
tersebut menunjukkan perspektif yang berbeda dengan perspektif yang telah ada
dan diyakini oleh mayoritas umat muslim. Menurutnya proses turunnya wahyu
sebagai proses komunikasi yang ditempatkan dalam konteks budaya bangsa Arab
pada saat itu, dan melalui dua tahapan yakni pertama, tahap tanzil, yakni proses
turunnya teks al-Qur‟an secara vertikal dari Allah kepada Jibril, dan kedua, tahap
ta`wil, yakni proses dimana Nabi Muhammad menyampaikan wahyu dengan
bahasanya yaitu bahasa Arab dan bahasa manusia. Dengan kata lain bahwa al-
Qur`an yang diwahyukan dan dibaca oleh nabi, akan tertransformasi dari sebuah
teks Ilahi (nashsh ilahi) menjadi sebuah konsep (mafhum) atau teks manusiawi
(nashsh insani).
Adapun posisi atau peran Nabi dalam hal ini, tidak hanya sekedar
menerima dan mengetahui isi dan kandungannya, akan tetapi juga bertugas untuk
mentransfer “risalah” dan menyampaikannya kepada manusia.
102
Daftar Pustaka
Ali Harb, Naqd al-Nash, edisi terj. Kritik Nalar al-Qur`an, Yogyakarta: LkiS,
2003
Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, Jakarta : PT. Tehazed, 2009
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Jaman Klasik Hingga Jaman Modern, Edisi
Terj. Tafsir al-Qur`an al-Karim baina al-Qudama wa al-Muhadditsin,
Jakarta: Qisthi Press, 2004
M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan `Ulum al-Qur`an, Jakarta : Pustaka Firdaus,
2008
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung : Mizan, 1998, cet. VIII
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, edisi terj. dari Mabahits fi
„Ulum al-Qur`an, Bogor : PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2009, cet. XIII
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjaan Kritis al-Qur`an; Teori Hermeneutika
Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta : Teraju, 2003
Moch. Nur Ichwan, Studi Al-Qur`an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002
Muhammed Abu Musa, al-Tashwir al-Bayani: Dirosah Tahliliyah li al-Masail al-
Bayani (figures of speech: an Analitical Study of Aspect of Rhetoric),
Edisi 2 Kairo, 1980, dalam Dede Iswadi, Jaja Rahman, Ali Mursyid,Nasr
Hamid Abu Zayd; al-Qur`an, Hermeneutik dan Kekuasaan; Kontroversi
dan penggugatan Hermeneutika al-Qur`an, Bandung : RqiS, 2003, cet. I
Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Nisaburi, Mukhtashar Shahih Muslim, Kuwait : Wizarah
al-Auqaf wa al-Syu`un al-Islamiyah, 1389 H, Juz I
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur`an; Mengungkap Makna-makna Tersembunyi al-
Qur`an, Jakarta : al-Ghazali Center, 2008
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an, Kairo : Al-
Hai‟ah Al-Mishriyyah, 1993
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a al-Qur‟an al-Adzim, Kairo: Dar al-
Syuruq,Cet.III, 2000
https://teosophy.wordpress.com/2012/11/12/wahyu-dan-kenabian/, 15 Maret 2017