oleh: muh. syuhada subir

17
86 Wahyu dan Peran Nabi Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd Oleh: Muh. Syuhada Subir Abstrak Al-Qur`an merupakan sumber utama ajaran Islam yang didalamnya termuat ajaran dan petunjuk tentang akidah, hukum, ibadah, dan akhlak. Selaku sumber utama ajaran Islam al-Qur`an banyak yang menjadikannya objek kajian, baik oleh kalangan ulama dan intelektual muslim sendiri maupun intelektual non muslim atau para orientalis. Dari kajian-kajian tersebut memunculkan persepsi dan perspektif yang beragam. Diantara kajian tersebut adalah kajian tentang takstualitas al-Qur`an, seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd seorang intelektual muslim, yang fokus kajiannya tentang konsep teks dengan pendekatan kritik sastra dan hermeneutika. Terkait hal tersebut, makalah pendek ini mencoba menyajikan tentang pandangan Nasr Hamid Abu Zayd tentang konsep wahyu dan peran Nabi, dimana konsep wahyu merupakan salah satu kerangka pemikiran Abu Zayd dalam kajiannya tentang tekstualitas al-Qur`an. Kata Kunci : Al-Qur`an, Wahyu, Risalah, Nasr Hamid Abu Zayd Pendahuluan Dalam kajian keislaman, terdapat tiga bidang kajian yang perlu dibedakan, yang pertama, teks original islam yakni al-Qur`an dan hadits dari nabi, kedua, pemikiran islam yang dipandang sebagai bentuk interpretasi dari kajian teks original islam yang dapat ditemukan dalam empat disiplin pokokwacana islam yakni hukum, teologi, filsafat dan tasawuf, dan yang ketiga, perwujudan praktek sosio-politik islam dalam masyarakat muslim dengan latar belakang sosio-historis yang berbeda-beda. Kajian atas teks original islam khususnya al-Qur`an, memunculkan kajian tentang tekstualitas al-Qur`an yang dikenal secara implisit dalam kajian al- Qur`an klasik dan secara eksplisit dalam pemikiran islam modern. Dan beberapa ulama telah menghentikan penggunaan istilah teks ketika mengkaji dan merujuk pada al-Qur`an. Namun berbeda dengan Nashr Hamid Abu Zayd salah satu intelektual muslim modern-kontemporer yang masih menggunakan istilah teks dalam kajiannya terhadap al-Qur`an, yang salah satu karyanya mendapat tanggapan yang cukup kontroversial dari banyak kalangan adalah Mafhum al- Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an. Diantara argumen yang muncul atas karyanya

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Oleh: Muh. Syuhada Subir

86

Wahyu dan Peran Nabi Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd

Oleh: Muh. Syuhada Subir

Abstrak

Al-Qur`an merupakan sumber utama ajaran Islam yang didalamnya

termuat ajaran dan petunjuk tentang akidah, hukum, ibadah, dan akhlak. Selaku

sumber utama ajaran Islam al-Qur`an banyak yang menjadikannya objek kajian,

baik oleh kalangan ulama dan intelektual muslim sendiri maupun intelektual non

muslim atau para orientalis. Dari kajian-kajian tersebut memunculkan persepsi

dan perspektif yang beragam. Diantara kajian tersebut adalah kajian tentang

takstualitas al-Qur`an, seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd seorang

intelektual muslim, yang fokus kajiannya tentang konsep teks dengan pendekatan

kritik sastra dan hermeneutika. Terkait hal tersebut, makalah pendek ini mencoba

menyajikan tentang pandangan Nasr Hamid Abu Zayd tentang konsep wahyu dan

peran Nabi, dimana konsep wahyu merupakan salah satu kerangka pemikiran Abu

Zayd dalam kajiannya tentang tekstualitas al-Qur`an.

Kata Kunci : Al-Qur`an, Wahyu, Risalah, Nasr Hamid Abu Zayd

Pendahuluan

Dalam kajian keislaman, terdapat tiga bidang kajian yang perlu

dibedakan, yang pertama, teks original islam yakni al-Qur`an dan hadits dari nabi,

kedua, pemikiran islam yang dipandang sebagai bentuk interpretasi dari kajian

teks original islam yang dapat ditemukan dalam empat disiplin pokokwacana

islam yakni hukum, teologi, filsafat dan tasawuf, dan yang ketiga, perwujudan

praktek sosio-politik islam dalam masyarakat muslim dengan latar belakang

sosio-historis yang berbeda-beda.

Kajian atas teks original islam khususnya al-Qur`an, memunculkan

kajian tentang tekstualitas al-Qur`an yang dikenal secara implisit dalam kajian al-

Qur`an klasik dan secara eksplisit dalam pemikiran islam modern. Dan beberapa

ulama telah menghentikan penggunaan istilah teks ketika mengkaji dan merujuk

pada al-Qur`an. Namun berbeda dengan Nashr Hamid Abu Zayd salah satu

intelektual muslim modern-kontemporer yang masih menggunakan istilah teks

dalam kajiannya terhadap al-Qur`an, yang salah satu karyanya mendapat

tanggapan yang cukup kontroversial dari banyak kalangan adalah Mafhum al-

Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an. Diantara argumen yang muncul atas karyanya

Page 2: Oleh: Muh. Syuhada Subir

87

yang kontroversial tersebut adalah : “Dari keseluruhan sejarah islam, tidak

seorangpun yang menggunakan kata „teks‟ ketika merujuk pada al-Qur`an selain

apa yang digunakan sendiri oleh Tuhan. Tidak seorangpun ulama yang

menghubungkan al-Qur`an dengan teks, semoga Tuhan memaafkan ini. Karena

hanya inilah yang dilakukan oleh orientalis Eropa (bukan islam atau arab) dalam

berhubungan dengan al-Qur`an”.1

Wahyu, risalah dan peran Rasul, merupakan topik pembahasan Nasr

Hamid Abu Zayd dalam bukunya Mafhum al-Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an.

Dan buku Mafhum al-Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an, merupakan respon

intelektual Abu Zayd terhadap interpretasi pragmatis dan ideologis atas al-Qur`an

yang ia jumpai selama melakukan kajian atas pemikiran mu‟tazilah, wacana sufi

dan wacaana religio-politik sejak tahun 1950-an. Dia meyakini bahwa dengan

mendefinisikan “hakikat Objektif” teks, interpretasi ideologis dapat direduksi

sebesar mungkin. Menurutnya teks haruslah dilihat sebagai sebuah teks linguistik

historis yang muncul dalam lingkungan kultural dan historis tertentu, dan teks

haruslah dikaji dan diinterpretasikan secara “objektif” dengan menerapkan

metodologi dan dan teori “ilmiah” yang dikembangkan dalam studi-studi tekstual

dan linguistik.2

Konsep Wahyu

Wahyu secara semantik berarti isyarat yang cepat (termasuk bisikan di

dalam hati dan ilham), surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada

orang lain untuk diketahui. Di dalam al-Qur`an kata wahyu digunakan dalam

beberapa pengertian, seperti : isyarat (Q.S. Maryam/9 : 11), pemberitahuan secara

rahasia (Q.S. Al-An‟am/6 : 112), perundingan yang jahat dan bersifat rahasia

1Muhammed Abu Musa, al-Tashwir al-Bayani: Dirosah Tahliliyah li al-Masail al-Bayani

(figures of speech: an Analitical Study of Aspect of Rhetoric), Edisi 2 Kairo, 1980, dalam Dede

Iswadi, Jaja Rahman, Ali Mursyid,Nasr Hamid Abu Zayd; al-Qur`an, Hermeneutik dan

Kekuasaan; Kontroversi dan penggugatan Hermeneutika al-Qur`an, (Bandung : RqiS, 2003), cet.

I, h. 86 2Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjaan Kritis al-Qur`an; Teori Hermeneutika Nasr Hamid

Abu Zayd, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 20

Page 3: Oleh: Muh. Syuhada Subir

88

(Q.S. Al-An‟am/6 : 121), ilham yang diberikan kepada binatang (Q.S. An-Nahl/16

: 68), dan ilham yang diberikan kepada manusia (Q.S. Al-Qashash/28 : 7)3.

Adapun secara terminologis, wahyu adalah pengetahuan yang didapat

seseorang didalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari

Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa

perantara.4Pengertian sepereti ini dapat dilihat dalam firman Allah Q.S. Al-

Syuura/42 : 51 yang artinya :

“Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah berbicara

kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau daribelakang tabir

atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya

dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha

Tinggi lagi Maha Bijaksana”.5

Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa prosespewahyuanal-Qur`an

memiliki tiga cara, yaitu pertama, pewahyuan (menurunkan wahyu) dalam

pengertian bahasanya yang asli yaitu isyarat yang cepat. Sebagai contoh wahyu

yang diterima oleh Nabi Ibrahim mengenai penyembelihan putranya (Nabi)

Ismail.Kedua, memperdengarkan suara dari belakang tirai/hijab, seperti Allah

memanggil Nabi Musa dari belakang sebuah pohon dan ia mendengar panggilan

itu. dan ketiga, dengan perantaraan malaikat yang membawa wahyu (Jibril), yang

merupakan bentuk wahyu yang paling tinggi.6

Dalam pandangan Abu Zayd, wahyu adalah proses komunikasi yang

mengandung unsur-unsur pengirim dan penerima yang keduanya terkait dalam

satu taraf eksistensi dengan media yang bisa dipahami oleh kedua belah pihak.

Dan pembicaan mengenai wahyu dalam al-Qur`an membawa kita pada bidang

3M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan `Ulum al-Qur`an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008),

h. 48. Menurut Ayatullah Murtadha Muthahhari sehubungan dengan bagaimana kata wahyu

digunakan, dan untuk kesempatan apa kata itu digunakan, menunjukkan bahwa Al-Qur‟an

menunjukkan wahyu bukan hanya untuk manusia saja,akan tetapi wahyu juga untuk tiap-tiap

sesuatu atau semua makhluk hidup.Lebih lanjut ia mengatakan bahwa wahyu dan petunjuk ada

tingkatan-tingkatannyasesuai dengan beragamnya tingkat evolusi tiap-tiap sesuatu yang berbeda-

beda.Dan wahyu yang derajatnya paling tinggi adalah wahyu yang diberikan kepada para nabi,

yang menjadi kebutuhan manusia akan petunjuk Tuhan,dengan petunjuk Tuhan inilah manusia

dapat melangkah menuju suatu tujuan.https://teosophy.wordpress.com/2012/11/12/wahyu-dan-kenabian/, 15 Maret 2017

4M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 48

5Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Jakarta : PT. Tehazed, 2009), h. 701

6M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 49, bandingkan pula dengan Manna‟ Khalil

al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, edisi terj. dari Mabahits fi „Ulum al-Qur`an, (Bogor : PT.

Pustaka Litera AntarNusa, 2009), cet. XIII, h. 44-47

Page 4: Oleh: Muh. Syuhada Subir

89

yang agak rumit, dimana proses komunikasi/wahyu antara dua belah pihak tidak

berlangsung dalam tingkat eksistensi yang sama. Meskipun demikian, konsep

seperti ini-konsep komunikasi antara tingkat-tingkat eksistensi yang berbeda-

masih merupakan konsep yang lumrah dalam peradaban Arab sebelum

islam.7Terkait dengan proses komunikasi wahyu, baik dalam taraf vertikal (Allah-

Jibril) maupun dalam taraf horizontal (Jibril-Muhammad) medium bahasa yang

digunakan adalah bahasa Arab. Namun ada yang membedakan antara kedua taraf

tersebut, yaitu menjadikan “ilham” ke taraf komunikasi bahasa, atau menjadikan

formulasi bahasa wahyu merupakan tugas Jibril disatu sisi, dan menjadikannya

sebagai tugas Muhammad disisi yang lain.8

Sebelum al-Qur`an diwahyukan, konsep wahyu telah ada dalam budaya

masyarakat Arab saat itu. Konsep wahyu pada waktu itu terkait dengan puisi dan

ramalan yang dianggap datang dari dunia jin yang disampaikan kepada penyair

dan peramal melalui proses pewahyuan (wahy, tanzil). Diman penyair dan

peramal pada saat itu merupakan sumber-sumber kebenaran, karena mendapatkan

informasi dari jin yang mampu mendengar atau mencari informasi dari langit. Hal

ini, menurut Abu Zayd merupakan basis kultural fenomena wahyu keagamaan.

Karena keyakinan ini, pemikiran Arab juga akrab dengan konsep malaikat

(malaikah) yang berkomunikasi dengan seorang nabi.9 Bila dilogikakan dengan

logika budaya, maka syair dan ralamalan (penyair dan peramal) bukan lagi

kebenaran, karena jin tidak lagi mencuri informasi dari langit. Dengan demikian,

teks al-Qur`an menyatakan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran,

demikian juga halnya dengan Muhammad, karena al-Qur`an diwahyukan sendiri

oleh Allah (bukan dengan cara dicuri) kepada nabi Muhammad melalui malaikat

jibril.10

Sehubungan dengan fenomena syair (puisi) dan ramalan (kihanah)dengan

jin yang telah ada dalam pemikiran orang Arab, serta segala apa yang terkait

dengan fenomena tersebut, seperti keyakinan orang Arab terhadap kemungkinan

7Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an, (Kairo : Al-Hai‟ah

Al-Mishriyyah, 1993), h. 38 8Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 46

9Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 38

10Moch. Nur Ichwan, Studi Al-Qur`an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi

Tafsir, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002), h. 156

Page 5: Oleh: Muh. Syuhada Subir

90

terjadinya hubungan komunikasai antara manusia dengan jin, adalah basis kultural

bagi fenomena wahyu agama itu sendiri. Andaikata kita menggambarkan

peradaban Arabpra islam tidak memeiliki persepsi-persepsi tersebut, niscaya

pemahaman tentang fenomena wahyu menjadi sesuatu yang mustahilterjadi dari

sudut pandang budaya. Bagaimana mungkin orang Arab dapat menerima

pemikiran tentang turunnya malaikat dari langit kepada seorang manusia,

kecualipersepsi ini berakar dalam pembentukan mental dan intelektualnya. Semua

ini menegaskan bahwa fenomena wahyu-al-Qur`an-bukanlah fenomena yang

terpisah dari realitas atau fenomena yang mempersentasikan adanya loncatan

realitas. Bagi orang Arab yang mengetahui bahwa jin berbicara pada penyair dan

membisikkan puisinya, dan mengetahui ramalan-ramalan dukun bersumber dari

jin, tidaklah sulit bagi mereka untuk membenarkan adanya Malaikat yang turun

membawa “Kalam” kepada manusia. Oleh karena itu tidak ditemukan orang-

orang Arab yang hidup pada saat al-Qur`an diturunkan mengingkari fenomena

wahyu. Dan pengingkaran yang mereka lakukan dimungkinkan mengarah pada

muatan wahyu atau pada pribadi yang menerima wahyu.11

Merujuk pada persepsi terjadinya hubungan komunikasi antara manusia

dengan jin serta alam semesta ini tidak terbentuk dari dunia yang terpisah-pisah

akan tetapi saling berhubungan, dan kemungkinan terjadinya hubungan

komunikasi antara manusia dengan beberapa bagian duniaini, Abu Zayd

berpendapat bahwa kedudukan antara nabi dan peramal adalah sama. Yang

membedakannya adalah bahwa hubungan komunikasi nabi dengan alam tertinggi

merupakan hubungan yang didasarkan pada fitrah dan penciptaaan yang landasan

pemilihannya berdasarkan “seleksi” Ilahiyah, sedangkan tukang ramaldalam

berhubungan dengan dunia lain membutuhkan alat dan sarana pembantu yang

dapat membebaskannya-secara parsial-dari hambatan-hambatan alam

materi.12

Selain itu dalam persepsi Arab bahwa kenabian dan perdukunan kedua-

duanya menerima wahyu, hanya saja eksistensi tingkat komunikasinya yang

11

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 38 12

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 42

Page 6: Oleh: Muh. Syuhada Subir

91

berbeda. Dalam konteks kenabian, nabi berhubungan dengan malaikat, sedangkan

dalam konteks perdukunan, dukun atau peramal berhubungan dengan syaitan.13

Wahyu al-Qur`an

Pembahasan tentang al-Qur`an tidak dapat dilepaskan dari konsep wahyu

dalam budaya arab pra islam dan pada saat islam muncul. Sebagaimana yang

diyakini oleh umat islam bahwa al-Qur`an merupakan teks yang diwahyukan oleh

Allah kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, dengan menggunakan

bahasa arab14

,dan mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman

bagi penyelesain berbagai problem kehidupan. Fazlurrahman mengungkapkan

bahwa terdapat delapan tema pokok yang terkandung didalam al-Qur`an, yaitu (1)

Tuhan; (2) manusia sebagai individu; (3) manusia sebagai anggota masyarakat;

(4) alam semesta; (5) kenabian dan wahyu; (6) eskatologi; (7)setan dan kejahatan;

dan (8) lahirnya masyarakat muslim.15

Lebih lanjut Rahman menyatakan bahwa

spirit dasar al-Qur`an adalah spirit moral yang sangat menekankan monoteisme

(tauhid),keadilan sosial dan ekonomi.16

M. Quraish Shihab lebih rinci menyebutkan tujuan diturunkanya al-

Qur`an adalah :

1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik

serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan

seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep

teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia;

2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat

manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam

pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan;

13

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 44 14

Al-Qur`an diturunkan secara keseluruhan dalam bentuk wahyu yag ketiga sebagaimana

yang tersurat dalam Q.S. Al-Syuuraa/42 : 51.Dengan demikian al-Qur`an tidak mengandung

wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa al-Qur`an adalah bentuk wahyu yang paling tinggi.

Dalam Q.S. Asy-Syu‟araa/26 : 192-196 yang artinya : “dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-

benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke

dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang

memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-

benar (tersebut) dalam Kitab-Kitab orang yang dahulu”. Lihat M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 50

15Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an, (Bandung: Pustaka, 1983)

16Fazlur Rahman,Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 31-50

Page 7: Oleh: Muh. Syuhada Subir

92

3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antarsuku atau

bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehiduapan dunia dan akhirat,

natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan kebenaran,

kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme,

kesatuan sosial, politik, dan ekonomi, dan kesemuanya dibawah satu keesaan,

yaitu keesaan Allah Swt;

4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan

bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan;

5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spritual, kebodohan, penyakit, dan

penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang

sosial, ekonomi, politik, dan juga agama;

6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang,

dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan

masyarakat manusia;

7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan

falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang

menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran;

8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu

peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan Nur Ilahi.

Abu Zayd menganggap bahwa fenomena wahyu keagamaan (wahyu,

tanzil) sebagai bagian dari budaya tempat ia muncul.17

Dan dia memandang

bahwa proses pewahyuan didalam sinaran teori model komunikasi Roman

Jakobson, dimanaproses pewahyuan merupakan proses penyampaian pesan,192.

dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, perkataan

Allah (kalam Allah) adalah pesan (al-risalah).Lebih jelasnya sebagaimana apa

yang dikutip Moch. Nur Ichwan dari The Textualityof The Koranbahwa proses

pewahyuan tidak lain adalah sebuah tindak komunikasi (act of communication)

yang secara natural terdiri dari pembicara, yaitu Allah, seorang penerima, yakni

Nabi Muhammad, sebuah kode komunikasi, yakni bahasa Arab, dan sebuah canel,

17

Moch. Nur Ichwan, Studi Al-Qur`an Kontemporer................. h. 155

Page 8: Oleh: Muh. Syuhada Subir

93

yakni Ruh Suci (Jibril). Dan bila divisualisasikan akan nampak sebagai berikut

ini:18

Adapun model komunikasi Roman Jakobson adalah sebagai berikut19

:

Dari pandangan Abu Zayd dalam diagram proses pewahyuan diatas

menunjukkan bahwa Abu Zayd tidak mendiskusikan faktor pembicara atau

pengirim (Allah), karena menurutnya kajian ini bersifat teologis yang akan

menghantarkan pada pandangan mitologis.Akan tetapi dia lebih fokus pada teks

al-Qur`an yang sampai pada Muhammad dan kita umatnya. Lebih lanjut Abu

Zayd berargumen bahwa kata-kata literal (mantuq) al-Qur`an, merupakan teks

keagamaan yang bersifat ilahiyah, akan tetapi ia menjadi sebuah

“konsep”(mafhum) yang bersifat relativ dan bisa berubahmenjaditeks manusiawi

bila dilihat dari persektif manusia. Dengan demikian teks yang diwahyukan dan

dibaca oleh nabi, akan tertransformasi dari sebuah teks Ilahi (nashsh ilahi)

18

Moch. Nur Ichwan, Meretas.................69-70 19

Moch. Nur Ichwan, Meretas................. 110

Allah sebagai

Pembicara

Pengirim

Konteks

Al-Qur`an

sebagai Pesan

Jibril

sebagai Canel

Bhs. Arab

sebagai Kode

Muhammad

sebagai Penerima

Context

Message

Contact

Code

Adresser

Adressee

Page 9: Oleh: Muh. Syuhada Subir

94

menjadi sebuah konsep (mafhum) atau teks manusiawi (nashsh insani), karena ia

secara langsung berubah dari wahyu (tanzil) menjadi interpretasi (ta`wil).20

Kemudian Abu Zaid menyatakan bahwa realitas adalah dasar, sehingga dari

realitas terbentuklah teks (al-Qur`an) dan dari bahasa dan budaya terbentuklah

konsepsi-konsepsi (mafahim), dan ditengah pergerakannya dengan iteraksi

manusia terebentuklah makna (dalalah).

Pandangan diatas menghantarkan Abu Zayd sampai pada kesimpulan

bahwa al-Qur`an merupakan “produk budaya” (al-Muntaj al-Tsaqafi), yaitu

bahwa teks muncul dalam sebuah struktur budaya Arab, dan “ditulis”berpijak

pada aturan-aturan buday tersebut, yang didalamnya bahasa merupakan sistem

pemaknaannya yang sentral.

Konsep wahyu yang diusung oleh Abu Zayd daitas menyelisihi konsep

wahyu yang diyakini oleh mayoritas umat islam yang berpendapat bahwa al-

Qur`an adalah kalam Allah yang Azali dan qadim yang eksis bersama zat-Nya

berada diluar alam nyata, bukan makhluk, dan tidak memerlukan tempat21

. Serta

proses pewahyuannya dengan cara inzal, yaitu proses perwujudan al-Qur`an

(idzhar al-Qur`an), dengan cara Allah mengajarkan kepada malaikat Jibril,

kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad.22

Serta menyelisihi

makna yang terkandung dalam Q.S. al-Haaqqah/69 : 43-47 yang menjelaskan

bahwa al-Qur`an sepenuhnya berasal dari Tuhan dan tidak sedikitpun ada campur

tangan Nabi Muhammad saw. Bahkan Allah mengancam Nabi Muhammad

apabila mengada-ada di dalam al-Qur`an, serta terpelihara keasliannya dari segala

perubahan,penyimpangan, pengurangan maupun penambahan, seperti yangtelah

Allah SWT janjikan23

.

Yusuf Qardhawi menjelaskan terkait dengan proses turunnya al-Qur`an

kepada Nabi Muhammad, bahwa al-Qur‟an sebelumnya sudah tertera

dalamUmmu al-Kitab atau Lauh Mahfudz atau Kitab Maknun di manaperan

20

Moch. Nur Ichwan, Meretas................. 70-73 21

Nasaruddin Umar, Ulumul Qur`an; Mengungkap Makna-makna Tersembunyi al-Qur`an,

(Jakarta : al-Ghazali Center, 2008), h. 67 22

Nasaruddin Umar, Ulumul Qur`an................. 81 23

M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 50-51, Adapun Firman Allah yang artiny :

“Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam, seandainya Dia (Muhammad)

Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada

tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya, Maka sekali-kali

tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu”.

Page 10: Oleh: Muh. Syuhada Subir

95

malaikat Jibril hanya mentransfernya sedangkan NabiMuhammad SAW hanya

membacanya dan menghafalnyahingga tidak akan lupa, kemudian

menyampaikannya kepadakepada manusia seperti yang telah diturunkan.24

Terlepas dari itu semua, kajian Abu Zayd atas al-Qur`an dan ilmu-

ilmunya mengandung sesuatu yang baru. Pertama : tercermin dalam usahanya

untuk melihat kembali konsep wahyu dengan menelaah syarat-syarat

kemungkinannya, yaitu menelaah syarat-syarat historis dan pengetahuan yang

menjadikan fenomena wahyu sebagai sesuatu yang mungkin dan masuk akal.

Yang secara khusus disebutkannya tentang tersebarkannya gejala tukang ramal

(al-kihanah) dikalangan masyarakat jahiliyah. Sebagaimana dimaklumi, antara

tukang ramal dan kenabian ada bentuk keseruapaan, karena keduanya berpijak

pada wahyu, termasuk apa yang dimaksud oleh wahyu dengan kemungkinan

komunikasi-informatif antara manusia dengan dunia lain, atau antara manusia

dengan eksistensi-eksistensi lain. Kedua, dalam menganalisis tingkatan-tingkatan

teks dari segi caranya dalam memproduksi makna, dan dalam menyingkap

mekanisme-mekanisme keterbentukan dan peneguhannya, khususnya mekanisme

perbedaannya dengan teks-teks yang serupa dengannya, seperti syair dan

perdukunan. Dan mekanisme-mekanisme yang dengannya dapat melahirkan

keistimewaan dan identitasnya, dan dengan perantaranya menjalankan otoritas dan

mengungguli wacana-wacana yang lain. Ketiga, dalam menganalisis tipe-tipe

penggunaan atau fungsi al-Qur`an, serta bagaimana perubahannya dari sebuah alat

bagi proyek kebudaan yang tujuannya mengubah realitas menjadi sekedar mushaf

atau alat hiasan menjadi sesuatu yang sakral dalam dirinya sendiri, dan

menyebabkan terjadinya choosifikasi (pemburukan,tasyii‟) dengan memisahkan

teks dari realitas yang telah memproduksinya dan dari kebudayaan yang

dengannya teks itu terbentuk dan berinteraksi, serta partisipasinya dalam

merekontruksi dan membentuknya kembali.25

Risalah dan Peran Rasul

24

Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a al-Qur‟an al-Adzim, (Kairo: Dar al-

Syuruq,Cet.III, 2000), h. 19 25

Ali Harb, Naqd al-Nash, edisi terj. Kritik Nalar al-Qur`an, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h.

317

Page 11: Oleh: Muh. Syuhada Subir

96

Al-Qur`an merupakan sumber utama ajaran Islam, didalamnya termuat

ajaran dan petunjuk tentang aqidah, hukum, ibadah, dan akhlak, atau dengan kata

lain al-Qur`an mengandung petunjuk tentang jalan kehidupan manusia kepada

kebahagiaan dan kesejahteraan, hal ini dapat di lihat dalam Q.S. al-Isra`/17 : 9 dan

Q.S. al-Nahl/16 : 89.26

Dan al-Qur`an juga mensifati dirinya sebagai pesan

(risalah) yang melambangkan hubungan komunikatif antara pengirim (al-mursil,

Allah) dengan penerima pertama (Nabi, al-mustaqbil al-awwal). Ketika Allah

mewahyukan al-Qur`an kepada Nabi, Dia (Allah) telah memilihkan sistem bahasa

yang berkaitan langsung dengan penerima pertamanya.27

Risalah yang terdapat dalam proses komunikasi/wahyu, baik risalah

verbal ataupun risalah non verbal, adalah risalah khusus bagi penerima pertama,

meski demikian risalah tersebut dituntut untuk disampaikan dan diumumkan

kepada manusia. Risalah tersebut bersifat bahasa dan perkataan, sebagaimana

dalam konteks al-Qur`an. Dan dalam penyampaian lafadz risalah tersebut jangan

sampai terdapat penyimpangan, perubahan, dan kekeliruan28

. Sebagai penerima

pertama tidak hanya sekedar menerima dan mengetahui isi dan kandungan risalah,

akan tetapi memiliki tugas dan kewajiban untuk mentransfer risalah dan

menyampaikannya kepada manusia. Hal inilah menjadikan “seorang Nabi”

sebagai “seorang Rasul”29

.Teks (nashsh) sebagai pesan berarti yang

menjadisasarannya adalah seluruh manusia, dimana manusia memiliki sistem atau

pola bahasa yang sama dengan teks (nashsh), dan tidak terpisahkan dari

peradaban dimana bahasa sebagai sentralnya. Oleh karena itu, dalam hal ini

konsep tanzil harus dipahami dalam konteks “penurunan” pesan kepada manusia

melalui perantara Malaikat (Jibril) dan Muhammad selaku manusia. Hal tersebut

dapat divisualisasikan sebagai berikut30

:

26

M. Quraish Shihab dkk., Sejarah ............... h. 56 27

Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Jaman Klasik Hingga Jaman Modern, Edisi Terj.

Tafsir al-Qur`an al-Karim baina al-Qudama wa al-Muhadditsin, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h.

230 28

Hal tersebut sesuai dengan Q.S. al-Haaqqah/69 : 44 yang artinya “seandainya Dia

(Muhammad) Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami, dan Q.S. Al-Tuur/52 : 33 yang

artinya “ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". sebenarnya mereka

tidak beriman”. 29

Lihat Q.S. al-Maidah/5 : 67, Q.S. al-An‟am/6 : 19, Q.S. Ibrahim/14 : 82, Q.S. Ali Imran/3

: 20, dan Q.S. al-Anbiya/21 : 106 30

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 55-57

Page 12: Oleh: Muh. Syuhada Subir

97

Muhammad selaku penerima teks pertama dan sekaligus penyampainya,

merupakan bagian dari realitas dan masyarakat. Beliau tumbuh sebagai anak

yatim di Mekkah, dan dididik dalam lingkungan suku Bani Sa‟ad sebagaimana

anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Beliau berdagang sebagaimana

orang-orang Mekkah berdagang, melakukan perjalanan bersama mereka, dan

berbaur dalam kehidupan dan suka duka mereka. Hal ini menunjukkan bahwa

Muhammad yang dipilih oleh Allah selaku penerima risalah adalah manusia

seperti manusia biasa dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan

dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan

dan kedudukan istimewa disisi-Nya, atau dengan kata lain, yang sama dengan

manusia lain adalah basyariyahnya bukan pada insaniyahnya, Sebagaimana dalam

firman Allah Q.S. al-Kahfi/18 : 110 yang potongan ayatnya menyebutkan

“basyarun mitslukum” bukan “insanun mislukum”.31

Kondisi demikian ingin

menjelaskan bahwa pandangan dan konsep tentang kenabian yang melepeaskan

diri dari lingkungan masyarakat dan realitas. Karena pandangan demikian

bertentangan dengan gelar yang disandangkan kapadanya yang dikenal dengan

“al-amin”, dimana gelar ini dapat diberikan kepada seseorang dari hasil

interaksinya dengan masyarakat dan melibatkan diri dalam berbagai permasalahan

yang dihadapi oleh masyarakat tersebut, sehingga mereka dapat memberikan

31

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Bandung : Mizan, 1998), cet. VIII, h. 53

Allah

Malaikat Muhamma

d

Manusia

Page 13: Oleh: Muh. Syuhada Subir

98

penilaian terhadapnya dalam etikanya bergaul dengan orang lain dalam realitas

sehari-hari.32

Dalam hal pemilihan Allah terhadap Muhammad sebagai Nabi dan Rasul

penerima dan penyampai risalah keapada seluruh manusia33

, ada ulama yang

meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu sehubungan dengan beliau bukanlah

suatu kebetulan. Seperti bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi‟ul

Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah

(hamba Allah), ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya yang

bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana),

sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa` (yang

sempurna dan sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa‟diyah

(yang lapang dada dan mujur). Semuanya mengisyaratkan akan keistimewaan

Nabi Muhammad saw. dan makna nama-nama tersebut menunjukkan hubungan

yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad saw.34

Merujuk pada ayat pertama yang turun dalam proses awal komunikasi,

yaitu 5 ayat pertama dalam surat al-„Alaq, merupakan jawaban terhadap keresahan

dan kebimbangan serta pertanyaa-pertanyaannya atas sikap dan prilaku

masyarakat dimana beliau tinggal, dan mendorongnya untuk menyepi dan

beribadah didalam gua Hira. Situasi komunikasi pertama ini merupakan situasi

yang kompleks, karena beliau bukanlah orang yang dapat membaca. Dalam

kondisi demikian, tiba-tiba didatangi oleh malaikat (Jibril) disaat beliau sedang

merenung dan menyerunya untuk membaca. Respon pertama Muhammad adalah

penolakan, “aku bukanlah orang yang pandai membaca”, hal ini berulang sampai

tiga kali, kemudian Muhammad akhirnya menyerah dan berkata “ Ma aqra` (apa

yang harus aku baca) ?”.35

Namun pertanyaan tersebut tidak dijawab karena Allah

32

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 59-60 33

Dalam hal Muhammad selaku Nabi dan Rasul penyampai risalahuntuk seluruh manusia,

terdapat sebagian orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad saw. hanya

bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di

Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia. Pendapat ini bertolak belakang

dengan pernyataan al-Qur`an yang tersurat dalamQ.S. al-A‟raf/7 : 158 yang artinya “Katakanlah:

"Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, ......................", lihat M.

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an ................. h. 48 34

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an ................. h. 43 35

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 65-66

Page 14: Oleh: Muh. Syuhada Subir

99

menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut

Bismi Rabbika, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.36

Lebih lanjut Abu Zayd menjelaskan maksud Iqra‟ bismi rabbika yang

merupakan perintah pertama dari teks yang ditujukan kepada Muhammad sebagai

jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Kata Rabb menjelaskan tentang Zat yang

mendidik, kemudian dihubungkan dengan kata ganti orang kedua (ka)-kata ganti

yang menunjuk kepada Muhammad-mengisyaratkan adanya makna pendidikan

dengan segala kedekatan yang terdapat dalam kata tersebut. Makna ini dikuatkan

oleh pembicaraan mengenai “pengajaran” pada ayat berikutnya. Agar kata

“Rabbika” tidak hanya sekedar pendidik biasa maka dalam teks tersebut

ditambahkan kata “Alladzi khalaq” (yang menciptakan). Dengan demikian

perasaan Muhammad bahwa Tuhannya itulah yang mencipta, mengangkat nilai

dan pentingnya dia, serta mengobati perasaan keyatiman dan kemiskinan yang

muncul dalam lubuk hatinya. Dan pengulangan kata kerja “khalaq” menunjukkan

bahwa Muhammad tidak menjauhkan diri dari realitas dan masyarakatnya, serta

menyingkapkan kepada Muhammad pertanyaan-pertanyaannya mengenai

manusia. Kemudian Abu Zayd menjelaskan bahwa makna dari kalimat „Allama bi

al-qalam (mengajarkan manusia dengan pena) dalam teks, tidak lain hanyalah

kiasan pengajaran manusia terhadap realitas, karena pengajaran sebenarnya adalah

pengajaran dengan lisan dimana pena hampir tidak digunakan, akan tetapi Tuhan

Muhammad mengajari manusia dengan pena, serta mengajari manusia dengan apa

yang belum diketahuinya.37

Para ulama berpendapat bahwa surat al-„Alaq merupakan surat yang

pertama kali diturunkan dalam hubungannya dengan “an-nubuwah” (kenabian),

dan surat al-muddatstsir adalah surat yang pertama diturunkan dalam

hubungannya dengan “ar-Risalah” (kerasulan). Pandangan terkait dengan kedua

hal diatas tersirat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim berikut :

ثم ناديت فلم أر ،فلم أر أحدا

36

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an ................. h. 5 37 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 67

Page 15: Oleh: Muh. Syuhada Subir

100

، فرفعت رأسي فإذا هو علي العرش في الهواء،أحدا، ثم نوديت

Menurut pandangan Abu Zayd, kata kerja yang bermakna perintah yang

muncul berulang kali dalam teks surat al-Muddatstsir dengan menggunakan huruf

fa` seperti dalam kata fa anzir, fa kabbir, dan fa thahhir, maksudnya adalah

bahwa teks yang sebelumnya (surat al-„Alaq) tidak menugaskan Muhammad

kecuali membaca. Sedangkan dalam teks surat kedua (al-Muddatstsir)

menugaskannya dengan sejumlah perbuatan yang menuntut pelaksanaan. Perintah

memberikan peringatan dan mengagungkan Tuhan merupakan poros pertama,

dimana perintah memberi peringatan dan mengagungkan Tuhan berarti

mengcilkan Tuhan-tuhan lainnya. sedangkan poros kedua adalah perintah

menyucikan pakaian “kebersihan formal” dan menjauhi perbuatan dosa

“kebersihan rohani”. Yang perlu diperhatikan di sini dalam perintah menjauhi

dosa diungkapkan dengan kata “fahjur” yang mengindikasikan bahwa perintah

menjauh disini adalah menjauhi apa yang dilakukan kaumnya, seperti adat istiadat

dan ibadah-ibadah dari satu sisi, dan disisi lain mengisyaratkan bahwa

Muhammad-sebelum diutus-tidaklah menjauhi kaumnya. Perintah menjauhi disini

mencerminkan awal mula pemisahan antara yang baru dengan yang lama, serta

sinergi dengan perintah memberi peringatan.39

Jadi konteks dari teks pertama mengungkapkan kerinduan-kerinduan dan

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri Muhammad, adapun

perintah memberi peringatan merupakan penghapusan akan rasa resah dan

bimbang atas apa yang diharapkan dari Tuhannya. Sedangkan perintah untuk

mengagungkan, menyucikan pakaian, dan menjauhi perbuatan dosa sebagai

persiapan Muhammad untuk menjalankan tugas-tugas yang disandarkan oleh teks

sehingga ia siap melaksanakan tugas-tugas mulia tersebut. Dan fase ketiga adalah

gerak (perkembangan) persesuain teks dengan ralitas, bersamaan dengan

dimulainya dakwah dan diumumkannya risalah (kerasulan).

38

Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Nisaburi, Mukhtashar Shahih Muslim, (Kuwait : Wizarah al-

Auqaf wa al-Syu`un al-Islamiyah, 1389 H), Juz I, h. 25 39

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash .................. h. 71-72

Page 16: Oleh: Muh. Syuhada Subir

101

Penutup

Abu Zayd selaku pemikir Arab-Islam mencoba untuk memberikan

perhatian terhadap apa yang terjadi dan dialami oleh masyarakat Arab khususnya

dan Islam pada umumnya. Dari fakta material memperlihatkan bahwa al-Qur`an

dibentuk dalam sebuah bahasa, namun bukan bahasa biasa karena dianggap

bahkan diyakini berasal dari Tuhan. Ini berarti wahyu al-Qur`an bagi umat

merupakan bahasa yang memiliki sifat otoritatif. Namun demikian, Abu Zayd

mencoba mengupas dan melakukan pembahasan terhadap wahyu al-Qur`an

dengan menggunakan metode kritik sastra dan hermeneutika. Dari upayanya

tersebut menunjukkan perspektif yang berbeda dengan perspektif yang telah ada

dan diyakini oleh mayoritas umat muslim. Menurutnya proses turunnya wahyu

sebagai proses komunikasi yang ditempatkan dalam konteks budaya bangsa Arab

pada saat itu, dan melalui dua tahapan yakni pertama, tahap tanzil, yakni proses

turunnya teks al-Qur‟an secara vertikal dari Allah kepada Jibril, dan kedua, tahap

ta`wil, yakni proses dimana Nabi Muhammad menyampaikan wahyu dengan

bahasanya yaitu bahasa Arab dan bahasa manusia. Dengan kata lain bahwa al-

Qur`an yang diwahyukan dan dibaca oleh nabi, akan tertransformasi dari sebuah

teks Ilahi (nashsh ilahi) menjadi sebuah konsep (mafhum) atau teks manusiawi

(nashsh insani).

Adapun posisi atau peran Nabi dalam hal ini, tidak hanya sekedar

menerima dan mengetahui isi dan kandungannya, akan tetapi juga bertugas untuk

mentransfer “risalah” dan menyampaikannya kepada manusia.

Page 17: Oleh: Muh. Syuhada Subir

102

Daftar Pustaka

Ali Harb, Naqd al-Nash, edisi terj. Kritik Nalar al-Qur`an, Yogyakarta: LkiS,

2003

Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, Jakarta : PT. Tehazed, 2009

Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Jaman Klasik Hingga Jaman Modern, Edisi

Terj. Tafsir al-Qur`an al-Karim baina al-Qudama wa al-Muhadditsin,

Jakarta: Qisthi Press, 2004

M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan `Ulum al-Qur`an, Jakarta : Pustaka Firdaus,

2008

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai

Persoalan Umat, Bandung : Mizan, 1998, cet. VIII

Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, edisi terj. dari Mabahits fi

„Ulum al-Qur`an, Bogor : PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2009, cet. XIII

Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjaan Kritis al-Qur`an; Teori Hermeneutika

Nasr Hamid Abu Zayd, Jakarta : Teraju, 2003

Moch. Nur Ichwan, Studi Al-Qur`an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai

Metodologi Tafsir, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002

Muhammed Abu Musa, al-Tashwir al-Bayani: Dirosah Tahliliyah li al-Masail al-

Bayani (figures of speech: an Analitical Study of Aspect of Rhetoric),

Edisi 2 Kairo, 1980, dalam Dede Iswadi, Jaja Rahman, Ali Mursyid,Nasr

Hamid Abu Zayd; al-Qur`an, Hermeneutik dan Kekuasaan; Kontroversi

dan penggugatan Hermeneutika al-Qur`an, Bandung : RqiS, 2003, cet. I

Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Nisaburi, Mukhtashar Shahih Muslim, Kuwait : Wizarah

al-Auqaf wa al-Syu`un al-Islamiyah, 1389 H, Juz I

Nasaruddin Umar, Ulumul Qur`an; Mengungkap Makna-makna Tersembunyi al-

Qur`an, Jakarta : al-Ghazali Center, 2008

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash; Dirosah fi „Ulum al-Qur`an, Kairo : Al-

Hai‟ah Al-Mishriyyah, 1993

Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a al-Qur‟an al-Adzim, Kairo: Dar al-

Syuruq,Cet.III, 2000

https://teosophy.wordpress.com/2012/11/12/wahyu-dan-kenabian/, 15 Maret 2017