oleh : helmi arisandi nim :...
TRANSCRIPT
KONSEPMEDIASI PENAL UNTUK RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
( PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF )
SKRIPSI
Skripsi ini ditujukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy)
Oleh :
HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/ 1437 H
ii
Transliterasi dan Singkatan
A. Transliterasi
1. Konsonan:
f = ف z = ز b = ب
q = ق s = س t = ت
k = ك sy = ش s = ث
l = ل sh = ص j = ج
m = م d = ض h = ح
ط kh = خ = th ن = n
w = و zh = ظ d = د
h = ه ‘ = ع z = ذ
y = ي gh = غ r = ر
Hamzah ( ء ) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa
diberi tanda apa pun, sedang jika terletak di tengah atau akhir kata
ditulis dengan tanda: ( ‘ ). Ada pun alif ( ا ) selalu ditulis menurut
vokalnya, kecuali alif dengan maddat (panjang) dan alif maqsûrat
ditulis (â).
2. Vokal dan Diftong:
Vokal atau bunyi (a), (i) dan (u) ditulis dengan ketentuan sebagai
berikut:
Pendek panjang
fathat a â
kasrat i î
dammat u û
Diftong yang sering dijumpai dalam transliterasi ialah (ay) dan (aw),
misalnya, ghayb dan lawh.
3. Kata sandang (al) ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika terletak pada
permulaan kalimat , awal nama diri, tempat dan judul buku.
iii
4. Ta”marbûthat ( ة ) pada umumnya ditulis dengan (t), kecuali akhir
nama diri dan tempat ditulis dengan (h).
5. Kata atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata atau kalimat
arab yang belum sama sekali menjadi bagian dari perbendaharaan
bahasa Indonesia.
Adapun kata-kata dan kalimat-kalimat yang sudah menjadi bagian dari
bahasa Indonesia, atau sudah terlalu sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak ditulis menurut cara transliterasi di atas, kecuali jika
merupakan bagian dari teks yang harus ditransliterasi secara utuh.
B. Singkatan
AS = ‘Alayh al-Salam ( علیھ السال م )
H. = tahun Hijrah
h. = halaman
M. = tahun Masehi
Q. = al-Quran
S: = Sûrat ( سورة ), bagian dari al-Quran
SWT. = Subhânah wa ta’âlâ ( سبحا نھ و تعا لي )
SAW. = Shallâ Allah ‘alayh wa sallam
T. pn. = Tanpa penerbit
T. tp. = Tanpa tempat penerbit
t.t = tanpa tahun penerbit
w. = tahun wafat
H.R. = Hadist Riwayat
r.a. = radiya Allâh ‘anh
C. Daftar istilah Arab disusun menurut urutan abjad latin, tidak menurut
urutan huruf hijâiyat (aksara Arab). Dua istilah atau lebih, yang berasal
dari satu akar kata, tidak mesti ditulis berurutan menurut tashrif-nya,
misalnya kata nâsikh dan mansûkh. Kata nâsikh ditempatkan pada urutan
huruf (N) sedang kata mansûkh ditempatkan pada urutan huruf (M). Daftar
istilah Arab ini ditempatkan pada bagian akhir buku ini.
iv
ABSTRAK
Helmi Arisandi. 1111043200034. Konsep Mediasi Penal Untuk Restorative
Justice Dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Perspektif Hukum Pidana Islam
Dan Hukum Positif). Konsentrasi Perbandingan Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016, iv + 118 + 5
Lampiran.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis
normatif yang terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan
pendekatan komperatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Data primer diperoleh dari
undang-undang, peraturan mahkamah agung, serta surat kepala kepolisian. Dan data
skunder diperoleh dari buku-buku hukum yang ditulis oleh para ahli hukum yang
berkaitan dengan objek penelitian.
Dalam perkembangan hukum pidana dikenal Keadilan Restoratif yaitu
keadilan yang berorientasi pada pemulihan keadaan semula (restorasi) dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak lain yang terkait. Pada
umumnya penyelesaian suatu perkara pidana menggunakan mekanisme peradilan
formal (sistem peradilan pidana) memakan waktu yang sangat lama karana dalam
suatu tindak pidana tidak hanya murni pidana, tetapi ada unsur perdata sehingga yang
harus diperhatikan adalah kepentingan hak-hak korban. Salah satu bentuk Keadilan
Restoratif adalah dengan menggunakan mekanisme mediasi. Melalui proses mediasi
penal diperoleh puncak keadilan tertinggi karna terjadinya kesepakatan antara para
pihak yang terlibat. Selain itu, melalui mediasi penal mempunyai implikasi bersifat
positif bahwa secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara cepat, sederhana,
dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih sedikit.
Islam ternyata jauh lebih dahulu telah mengenal konsep yang mirip seperti
Restoratif Justice sebelum cara berfikir hukum pidana modern. Islam telah
mengedepankan hak-hak korban tindak pidana dalam bentuk diat. Dalam hukum
Islam masalah kejahatan menyangkut jiwa manusia selain menyangkut masalah
publik juga mengandung adanya masalah perdata. Adanya unsur keperdataan
membawa konsekuensi bahwa pengenaan hukumannya diserahkan kepada ahli waris
(keluarga korban), dengan demikian keluarga korban dapat memilih bentuk hukuman
apakah dengan Qishash ataukah Diat.
Kata kunci: Restorative Justice, Mediasi Penal, Hukum Islam
Pembimbing: Dr. H. Nahrowi, S.H.,M.H dan Indra Rahmatullah, SH.I.,M.H
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT sang kreator Alam Semesta, yang telah
memperlihatkan kepada kita Dien al-Haq dan telah menurunkan kitab al-Quran yang
menjelaskan dan mensyariatkan hukum-hukum kepada kita. Serta atas rahmat dan
ridho-Nya lah penulis dapat penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada ke haribaan baginda Nabi
besar Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Mudah-mudahan kita termasuk ke dalam golongan pengikutnya yang mendapatkan
syafaat di yaumil mahsyar kelak. Aamiin.
Penulis berasa berhutang sekali kepada semua pihak yang selama ini yang telah
membantu baik secara langsung maupun dorongan moral yang tak ternilai harganya
dengan sesuatu apapun dan sampai kapan pun. Semoga suatu saat nanti penulis dapat
membalasnya dengan sesuatu yang pantas. Sehingga rasa terima kasih penulis
sampaikan pada:
1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak (Abah) Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., sebagai Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum, dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, M.A,
sebagai Sekertaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum;
3. Bapak Dr. H. Nahrowi, S.H,.M.H dan Bapak Indra Rahmatullah, SH.I.,M.H
selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya selama penulis
menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan
hati, dan nasihat-nasihat berharga yang telah bapak berikan;
vi
4. Bapak Drs. Noryamin Aini, MA selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
meluangkan waktunya selama penyusunan Proposal Skripsi. Terimakasih atas
bimbingan, kesabaran, serta nasihat-nasihat yang membangkitkan semangat
dalam diri ini;
5. Pimpinan beserta seluruh staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk mengadakan studi
perpustakaan;
6. Keluargaku tercinta, terkhusus untuk kedua orang tua serta guru di dalam hidup
saya Bapak Edi Rosadi dan Ibu Mayaroh yang tak pernah putus dan hentinya
untuk mendoakan saya dalam menjalankan hidup di dunia sampai saat ini.
kakakku, Yasin Andriyansyah, SE dan Adiku Anisa Rohayni. Terima kasih
untuk doa yang selalu kalian selipkan didalam sholat untuk saya, kasih sayang
dan dukungan dari kalian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan kepada kalian;
7. Terimakasih untuk wanita yang bernama Ita Sudiyanti sebagai teman berkeluh-
kesah, terimakasih engkau telah memberikakku semangat, doa, pengorbanan,
serta masukan-masukan kepada penulis.
8. Seluruh sahabat-sahabat KKN MENTARI yang tak bisa penulis sebutkan satu
persatu namun tak mengurangi rasa ta’zim saya sebagai penulis. Terima kasih
atas ilmu, masukan, dan pengalaman yang kalian berikan, semoga dapat
bermanfaat bagi penulis dalam mengukir masa depan kelak;
9. Sahabat-sahabat terbaikku dikelas Perbandingan Hukum Choirul Ardinata,
Bambang Utomo, Ibnu Mubaidillah, Adnan Chaidar, Abdul Aziz, Bayu
Baskoro, M. Iqbal Farhan, Farah, Imah dan sahabat-sahabatku di Prodi
Perbandingan Madzhab dan Hukum angkatan 2011, khususnya Keluarga Besar
PH 11. Dan terima kasih juga saya sampaikan buat saudara Ahmad Izzul Fuad,
Fahri Kenzi, Abib Bahrul, Ardi Widjaya, serta keluarga besar KNZT (Kawasaki
Ninja Zona Tangerang) yang telah membagi waktunya untuk membimbing
vii
penulis dalam menyelesaikan skripsi. Semoga Allah senantiasa melindungimu
dimana pun kamu berada;
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini, penulis panjatkan beribu-ribu terima kasih dan semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan.
Robbana laa tuzigh quluubana ba’da idz/hadaitanaa wahab/lana min/ladunka
rahmatan innaka antaal-wahhaab. Aamiin.
Jakarta, 14 Juli 2016.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i
TRANSLITERASI DAN SINGKATAN……………………………………... ii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I : PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 9
C. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 12
E. Review Studi Terdahulu .............................................................. 13
F. Metode Penelitian........................................................................ 15
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 20
BAB II : MEDIASI PENAL SEBAGAI SISTEM PENERAPAN KEADILAN
DALAM HUKUM POSITIF MAUPUN PRAKTIK PERADILAN
MEDIASI PENAL ......................................................................... 22
A. Pengertian Mediasi Penal ........................................................... 22
ix
B. Bentuk-bentuk Mediasi Penal ..................................................... 29
C. Restorative Justice ...................................................................... 31
D. Pengertian Restorative Justice .................................................... 31
E. Nilai Dasar Restorative Justice ................................................... 35
F. Bentuk-bentuk Restorative Justice .............................................. 40
G. Tujuan Restorative Justice .......................................................... 44
H. Tori Tentang Keadilan ................................................................ 45
BAB III : EKSIS TENSI MEDIASI PENAL DI BEBERAPA NEGARA
......................................................................................................... 53
A. Mediasi Penal Menurut Peraturan Perundang-undangan ............ 53
B. Mediasi Penal di Belanda ............................................................ 59
C. Mediasi Penal di Austria ............................................................. 64
D. Mediasi penal di Belgia ............................................................... 66
E. Mediasi Penal di Indonesia ......................................................... 68
F. Praktik Mediasi di Kepolisian ..................................................... 70
G. Praktik Mediasi di Kejaksaan ..................................................... 77
H. Praktik Mediasi di Pengadilan .................................................... 82
x
BAB IV : KONSEP MEDIASI PENAL SEBAGAI SARANA UNTUK
RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA
PIDANA ............................................................................................ 86
A. Nilai-nilai Mediasi Penal dalam Pembaharuan Hukum Pidana .. 86
B. Analisis Konsep Restorative Justice dalam Hukum Islam dan Hukum
Positif .......................................................................................... 99
BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 116
A. Kesimpulan ................................................................................. 116
B. Saran ............................................................................................ 118
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 119
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum pidana di Indonesia masih sering kita dapati fakta bahwa
keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata mahal, berkepanjangan,
melelahkan, dan tidak meyelesaikan masalah, serta yang lebih parah lagi adalah
di dalamnya penuh dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.1
Ketidak/puasan terhadap mekanisme pemidanaan yang ada karena
dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan dan tujuan yang ingin dicapai yaitu
mencegah dan mengulangi kejahatan. Memicu sejumlah pemikiran untuk
melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan penanganan tindak pidana yang terjadi. Oleh karena itu banyak alternatif
perubahan yang ditawarkan, salah satunya paham Abolisionis.
Paham Abolisonis menganggap sistem peradilan pidana mengandung
masalah atau cacat struktural sehingga secara relatif harus diubah dasar-dasar
struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai
yang melandasi paham Abolisionis tersebut masih masuk akal untuk mencari
1 R. Budi Wicaksono, Community Policing dan Restorative justice sebagai
paradigma Baru dalam Resolusi Konflik, Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Kriminologi Program Pasca Sarjana Universitas Indonesi, Depok, 2008,
h.47.
2
alternatif sanksi yang lebih layak dan efectif dari pada lembaga seperti penjara.2
Paham Abolisionis meminta adanya penghapusan hukuman mati hingga
reformasi terhadap sistem pemenjaraan digantikan jenis hukuman lainnya.3
Dalam perkembangan, paham Abolisionis menawarkan Keadilan
Restoratif sebagai suatu wacana baru dalam menjawab ketidak puasan terhadap
hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku.4 Jim Consendine seorang
pelopor keadilan Restoratif, berpendapat “konsep keadilan Retrebutive dan
Restetutif yang berlandasan hukuman, balas dendam terhadap pelaku,
pengasingan, dan perusakan harus digantikan oleh keadilan Restoratif yang
berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat,
pemaafan, dan pengampunan.5
Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan
Restorative, merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun
1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan
yang dipakai pada sistem peradilan pidana yang konvensional, pendekatan ini
2 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensionalisme,
dan Abolisionalisme, (Bandung: Bina Cipta,1996) h. 101.
3 Syaiful Bahri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Total
Media, 2009) h. 89.
4 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk
Agung 2011) h. 3.
5 Jim Consedine, Restorative Justice: Healing The Effect of Crime (Lyttelton:
Ploughshares Publication, 1955), Dalam I Made Agus Mahendra Iswara, “Mediasi
Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Adat Bali”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2013, h.2.
3
menitik beratkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan
masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.6 Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) di Indonesia diartikan sebagai:7
“Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang
melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain
yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama
mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan
implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula.”
Penanganan perkara pidana secara umum berbeda dengan pendekatan
Keadilan Restoratif, dimana penanganan perkara pidana secara umum makna
dari tindak pidana pada dasarnya menyerang terhadap individu, masyarakat dan
hubungan kemasyarakatan, akan tetapi dalam pendekatan Keadilan Restoratif,
korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana
dalam Sistem Peradilan Pidana yang sekarang ada. Menurut Stephenson, Giller,
dan Brown ada 4 (empat) bentuk Keadilan Restoratif, yang mempunyai tujuan
yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan
kepentingan pelaku, korban, dan komunitas. Ke empat bentuk Keadilan
6 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (studi tentang
Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan
Hukum Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, juni 2009, h.
1. (Selanjutnya disebut Eva Achjani Zulfa 2)
7 Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Indonesia, Menteri Hukum dan Ham
Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Pada Tanggal 22 Desember
2009.
4
Restoratif adalah:8 (1) Mediasi Penal (Victum-Offender Mediation), (2)
Restorative Conference, (3) Family Conferencing, dan (4) Community Panel
Meetings.
Pada umumnya di Indonesia kita mengenal Mediasi sebagai bentuk
pilihan penyelesaian sengketa (Alternatif Dispute Resolution) dalam bidang
hukum perdata, namun dalam perkembangannya di Indonesia mediasi dapat
dipergunakan dalam menyelesaikan perkara-perkara pidana, yang lebih dikenal
dengan Mediasi Penal. Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi
Penal adalah “penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan
mediator yang netral, dihadiri korban dan pelaku beserta orang tua dan
perwakilan masyarakat, dengan tujuan pemulihan bagi korban, pelaku, dan
lingkungan masyarakat.9
Dalam Hukum Positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan
di luar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dimungkinkan
pelaksanaanya. Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesia,
walaupun tidak ada landasan hukum formalnya perkara pidana sering
diselesaikan di luar proses pengadilan melalui direksi aparat penegak hukum,
mekanisme perdamaian, Lembaga Adat dan sebagainya.
8 Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Pratice in Youth
Justice, (Portland: Willian Publishing, 2007) , h. 163-166.
9 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie-Publishing, 2011), h. 86.
5
Konsekuensi makin diterapkan eksistensi Mediasi Penal sebagai salah
satu alternatif penyelesaian perkara di bidang hukum pidana melalui Restitusi
dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan
perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.10
Menggunakan sarana Penal maksudnya adalah kebijakan penal dengan
menggunakan sanksi pidana (termasuk bidang politik hukum pidana) dimana
sarana pidana menjadi alat utama dalam upaya melakukan pencegahan atau
penanggulangan kejahatan.11
Apabila diperhatikan penegakan hukum pidana baik didasarkan pada teori
pemidanaan dan tujuan pemidanaan serta sistem penegakan hukum pidana
melalui SPP penjatuhan pidana lebih banyak ditunjukan untuk kepentingan
pelaku, dengan kata lain, tujuan pemidanaan hanya dimaksudkan untuk
mengubah perilaku dari pelaku kejahatan, agar tidak mengulangi lagi
perbuatannya, sedangkan kepentingan korban kurang diperhatikan. Untuk itu
suatu mekanisme penyelesaian perkara pidana yang memperhatikan kepentingan
korban dan pelaku dapat dijadikan suatu alternatif penyelesaian perkara pidana
yang lebih mendekati pada rasa keadilan khususnya pada pihak yang secara
10 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar
Pengadilan, (Semarang: Pustaka Megister, 2008), h. 4-5.
11
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: CV
Lubuk Agung, 2011), h. 29.
6
langsung menjadi korban baik korban langsung (Primary Victim) maupun
keluarga atau masyarakat sekitar (Secondary Victims). 12
Terlebih dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia kepentingan korban
telah diwakili oleh Jakasa Penuntut Umum yang belum tentu Jaksa Penuntut
Umum benar-benar mewakili kepentingan korban apalagi masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh sifat Hukum Pidana itu sendiri yang kita kenal sebagai bagian
dari Hukum Publik (Algemene Belagen) dengan bentuk dan sifat ini, peran
individu dalam penegakan hukum hanya bertumpu pada negara sebagai yang
terutama bagi penentu dan pemberi rasa keadilan. Seiring perkembangan upaya
penangulangan kejahatan yang makin komplek banyak sifat dan bentuknya,
kaedah-kaedah pidana tidak lagi dominan sifat publiknya, melaikan cenderung
relatif keranah privat.
Dalam hal ini, tentu upaya-upaya pencarian keadilan tidak dapat lagi
hanya bertumpu pada Negara semata-mata, melaikan berupaya mencari suatu
cara/mekanisme yang melibatkan kepentingan korban, pelaku dan masyarakat
dalam konsep keadilan Restoratif (Restorative Justice), dimana pelaku ditemukan
dengan korban untuk saling mengkomunikasikan kepentingan masing-masing
yang hasilnya berupa perdamaian para pihak.
Upaya yang dapat dilakukan penyelesaiannya sengketa (Pidana) melalui
perdamaian/mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian perkara
12
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, (Bandung: Rajawali Prees, 2009), h. 20.
7
ditengah masyarakat melalui jalur diluar pengadilan (yang biasa dikenal dengan
istilah ADR atau “Alternatif Dispute Resolution”, ada pula yang menyebutnya
“Apropriate Dispute Resulution”.13
ADR pada umumnya digunakan
dilingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Walaupun
pada umumnya penyelesaian sengketa diluar pengadilan hanya ada dalam
sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di
luar pengadilan melalui berbagai direksi aparat penegak hukum atau melalui
mekanisme musyawarah/perdamaian atau mediasi.
Dalam masyarakat, mediasi bukanlah suatu hal yang baru, ketidak baruan
mediasi dibuktikan dengan adanya musyawarah. Budaya Indonesia yang penuh
kompromi dan koperatif muncul dimana saja dalam berbagai lapisan masyarakat.
Masyarakat lebih menyukai penyelesaian sengketa dengan membawanya ke
lembaga adat yang ada untuk diselesaikan dengan damai. Penyelesaian konflik
diluar sistem peradilan pidana (Penyelesaian melalui Non Penal) oleh masyarakat
dirasakan efektif dan efesien, cepat dan sederhana. Mekanisme penyelesaian, atas
inisiatif para pihak (korban dan pelaku), selanjutnya mengajukan masalahnya
kepada kepala desa/adat, bahwa kearifan budaya lokal menjadi pilihan untuk
menyelesaikan konflik. Misalnya pelaku menyatakan bersalah dan meminta maaf
13
Barda Nawawi, Makalah “Aspek kebijakan Mediasi Penal dalam
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan” yang disajikan dalam Seminar Nasional
“Pertanggung Jawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance”,
Program Doctor Ilmu Hukum UNDIP, di Inter Continental Hotel, Jakarta 27 Maret
2007.
8
kemudian dibebankan untuk memberi santunan atau membayar ganti rugi kepada
korban, kemudian korban/keluarganya memberi maaf.14
Islam ternyata jauh lebih dahulu telah mengenal konsep yang mirip
seperti Restorative Justice yang dinamakan dengan Diat sebelum cara berfikir
hukum pidana modern. Dalam hukum Islam, pemberian maaf justru berada
dalam rangkaian penyelesaian perkara pidana berupa kejahatan terhadap jiwa
manusia. Hal ini dikarenakan masalah kejahatan terhadap jiwa manusia selain
menyangkut masalah publik juga mengandung adanya masalah perdata. Adanya
unsur keperdataan ini membawa konsekuensi bahwa pengenaan hukumannya
diserahkan kepada ahli waris (keluarga korban). Dengan demikian kejahatan
terhadap jiwa manusia, keluarga korban dapat memilih bentuk hukuman apakah
dengan Qishash ataukah Diat, yakni mengganti kerugian kepada keluarga korban
atau family memaafkan dengan tidak menuntut balas terhadap pelaku tindak
pidana. 15
Jadi mediasi penal ini bukan menutup perkara pidana tetapi untuk
menunjukan kepada hakim pelaku itu bertanggung jawab. Dengan kebaikan itu
diharapkan fakta tadi dapat dijadikan dasar untuk hal-hal yang meringankan
14
Surya Jaya, “Keadilan Restoratif tuntutan dan kebutuhan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Ikahi
tanggal 25 April 2012 di Jakarta, dalam Rios Rahmanto, Mediasi Penal Sebagai
Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013, h.6
15
Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara
dan Departemen Agama RI, 1998), h, 227.
9
hukuman pada pelaku. Oleh karena itu ada titik temu kemiripan antara Hukum
Islam dengan Hukum Pidana modern disatu sisi Mediasi Penal penyelesaian
perkara pidana yang bermuatan perdata dengan kasus hukum Diat dalam Islam.
Ini adalah sesuatu yang menarik ketika kemudian dua hal yang bisa disinergikan
untuk kemudian dianalisis. Penulis mencoba untuk mengangkat tema ini dalam
penulisan skripsi dengan judul “Konsep Mediasi Penal untuk Restorative Justice
Dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan utama yang akan diteliti
dalam penelitian adalah mengenai konsep mediasi penal untuk mencapai nilai
keadilan dalam penyelesaian perkara pidana. Untuk mengidentifikasi ruang
lingkup penelitian, maka dalam penelitian ini akan di Indentifikasi oleh
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana Restorative Justice dapat diterapkan dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia untuk mencapai keadilan ?
2. Bagaimana mekanisme untuk penyelesaian sengketa perdata dalam kasus
pidana dengan menggunaka mediasi penal ?
3. Apakah penyelesaian ganti kerugian melalui Mediasi Penal bisa dijadikan
pertimbangan keringanan hukuman oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana
yang menyebabkan kematian dan cacat fisik ?
10
4. Apakah batasan-batasan yang bisa menjadi acuan untuk memberikan keadilan
pada penyelesaian kasus pidana yang bermuatan perdata?
5. Kasus-kasus pidana seperti apakah yang tepat untuk diselesaikan melalui
mediasi penal ?
6. Bagaimanakah kedudukan Mediasi Penal sebagai sistem penerapan keadilan
dalam hukum pidana Indonesia ?
7. Bagaimanakah praktik Mediasi Penal sebagai alat untuk mencapai keadilan?
8. Apakah Model Restorative Justice itu dikenal dalam hukum Pidana Islam jika
itu ada seperti apa praktiknya didalam Islam ?
9. Bagaimanakah pengaturan Restorative Justice dalam Islam ?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
a. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang akan dibahas akan sangat
luas apabila dipaparkan keseluruhan didalam penelitian ini. Maka dari itu penulis
membatasi Konsep Mediasi Penal pada pembahasan masalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini mengkaji mengenai keseimbangan bagi pelaku dan korban
dengan menggunakan konsep Mediasi Penal sebagai sarana untuk
Restorative Justice dalam penyelesaian perkara pidana yang bermuatan
unsur perdata melalui jalur Non-Litigasi atau penyelesaian diluar pengadilan.
11
2. Mediasi Penal adalah penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah
dengan bantuan mediator yang netral, dihadiri korban dan pelaku dengan
tujuan pemulihan bagi korban, pelaku, dan lingkungan masyarakat.
3. Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan
pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara
bersama-sama mencari penyelesaian. Implikasinya adalah menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula.
4. Perkara pidana yang diselesaikan melalui Mediasi Penal adalah kasus-kasus
pidana yang berdampak kematian, cacat fisik serta meyebabkan kerugian
tidak hanya murni pidana, tetapi juga ada unsur perdata sehingga yang harus
diperhatikan adalah kepentingan hak-hak korban baik korban langsung
maupun keluarga korban.
Berdasarkan pembatasan masalah yang ada, pembahasan yang akan
dilakukan dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perspektif Restorative Justice menurut Hukum Pidana Islam dan
Hukum Positif ?
2. Apa konsep dan alasan dapat diterapkannya Mediasi Penal sebagai sarana
untuk menerapkan nilai-nilai Restorative Justice ?
12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan :
a. Untuk memperjelas perbedaan Restorative Justice dalam Hukum Pidana
Islam dan Hukum Positif.
b. Untuk memperjelas konsep dan alasan dapat di terapkannya Mediasi Penal
sebagai sarana untuk menerapkan nilai-nilai Restorative justice dalam
tindak pidana yang bermuatan unsur perdata.
2. Manfaat penelitian yaitu sebagai berikut :
Hasil penelitian ini besar harapan penulis untuk dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
1) Bermanfaat untuk pengetahuan dibidang ilmu hukum khusunya
tentang Konsep Mediasi Penal sebagai alternatif dalam penyelesaian
perkara pidana, sehingga peradilan pidana konvensional bukan lagi
satu-satunya sarana dalam menyelesaikan perkara pidana. Dengan kata
lain mediasi penal ini bagi para pihak yang terlibat dalam perkara
pidana akan mempunyai pilihan lain dalam menyelesaikan perkaranya.
2) Menambah pengetahuan penulis serta dunia akademis khususnya
tentang konsep mediasi penal sebagai sarana untuk mencapai Keadilan
dalam penegakan hukum pidana.
13
b. Manfaat Praktis :
1) Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.
2) Memberikan masukan kepada para aparat penegak hukum dalam
menangani masalah pidana terutama pada korban dari tindak pidana.
3) Sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam persiapan ini, penulis melakukan studi pendahuluan. ada beberapa
hasil penelitian atau hasil studi terdahulu yang berkaitan erat dengan tema yang
akan saya tulis untuk dijadikan penelitian. Saya melakukan studi pendahuluan
berdasarkan penelusuran awal, ada beberapa literatur dan beberapa hasil
penelitian terdahulu dalam bentuk skripsi atau laporan penelitian yang membahas
tema yang berkaitan dengan tema yang akan penulis tulis. Paling tidak ada
beberapa judul atau beberapa hasil studi terdahulu yang relevan untuk kemudian
dikomentari pada review studi terdahulu disini.
1) Skiripsi karya Rani Putri Larasati, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014
yang berjudul “Analisa Kasus Putusan (perkara nomor
225/PID.B/2010/PN-BKL) Dalam Prespektif Restorative Justice”.
Skripsi ini membahas lebih kepada penerapan dan alasan apa sajakah
Restorative Justice system dapat di terapkan pada tindak pidana
ringan menurut Hukum Positif dan Hukum Islam.
14
2) Skripsi karya Fandi Machfuz, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2010
yang berjudul “Pidana Ganti Rugi Pada Kecelakaan Kendaraan
Bermotor yang Mengakibatkan Tewasnya Korban (suatu tinjauan
Hukum Positif dan Hukum Islam)”. Skripsi ini membahas bagaimana
konsep ganti kerugian dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif.
3) Skripsi karya Khusnul Hotimah, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2013
yang berjudul “Alasan Pemaaf atas Hukum Pembunuhan kajian
Hukum Islam dan Hukum Positif”. Skripsi ini membahas pandangan
Hukum Islam terhadap alasan pemaafan dalam tindak pidana
pembunuhan serta analisis Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap
putusan MA Nomor. 1445 K/PID/2011 Tentang alasan pemaafan atas
tindak pidana pembunuhan.
Dari ketiga skripsi yang telah penulis baca, terdapat perbedaan dari judul
dan isi dalam skripsi yang akan penulis tulis. Penulis akan membahas mengenai
perlindungan hak-hak korban, sistem ganti kerugian, keseimbangan antara pelaku
dan korban dalam mekanisme penyelesaian melalui konsep mediasi penal untuk
Restorative Justice dalam penyelesaian perkara pidana yang bermuatan unsur
perdata Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana.
15
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang berasal
dari studi dokumentasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada pada
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian dan sifat penelitian
Penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada
penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.16
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai
peraturan perundang-undangan pada konsep mediasi penal untuk Restorative
Justice khususnya dalam penyelesaian perkara pidana melalui jalur non-
litigasi. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskripitif yaitu tipe
penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala
atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang
sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.
16
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif ( suatu
tinjauan singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 14.
16
2. Pendekatan Masalah
Dalam kaitannya yuridis normatif, akan digunakan beberapa pendekatan,
yaitu:17
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu
pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang
berkaitan dengan konsep mediasi penal untuk Restorative Justice dalam
penyelesaian perkara pidana, diantaranya :
- Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian RI.
- Undang-undang Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- Undang-undang Nomor. 35 Tahun 2006 Tentang Kejaksaan RI.
- Undang-undang Nomor. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah
pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, dalam hal ini salah satu
bentuk dari keadilan Restoratif yaitu dengan mengunakan konsep
Mediasi Penal. Menurut Barda Nawawi Arif, alasan dipergunakan
17
Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif,
(Malang: Bayumedia Publising, 2007), h.300.
17
mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana yang bermuatan unsur
perdata adalah karena ide dari mediasi penal berkaitan dengan
perlindungan hak-hak korban, ide harmonisasi, dan ide Restorative
Justice.
Dalam menggunakan pendekatan konseptual yang perlu
dipahami adalah kemanfaatan hukum dan keadilan hukum, karena
prinsip yang terpenting dalam mediasi penal yaitu adanya pengakuan
kesalahan pelaku dan pemberian maaf oleh pihak yang dirugikan
(korban) akibat tindak pidana yang bermuatan unsur perdata untuk
mencapai penyelesaian berupa win-win solution.
c. Pendekatan Komparatif (comparative Approach)
Pendekatan Komparatif (comparative Approach) adalah
pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan peraturan hukum
dan undang-undang pada Negara Belanda, Malaysia, dan Arab Saudi.
Kegunaan dalam pendekatan ini adalah untuk memperoleh
persamaan dan perbedaan di antara undang-undang tersebut. Hal ini
untuk menjawab mengenai isu hukum antara ketentuan undang-
undang dengan filosofi yang melahirkan undang-undang.18
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: kencana, 2011) h.95
18
3. Sumber Data
Pada penelitian ini, penulis mencari dan mengumpulkan data yang
diperlukan untuk menyelesaikan pokok-pokok permasalahan pada penelitian
ini. Data yang digunakan hanya data sekunder. Data skunder merupakan data
yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-
data kepustakaan yang tersaji dalam literatur untuk menyelesaikan
permasalahan yang dibahas.
Pada penelitian kepustakaan, data yang dipergunakan adalah bahan-
bahan pustaka yang terdiri dari dua macam bahan hukum, yaitu sebagai
berikut:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat19
,
yaitu:
1) Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
2) Undang-undang Nomor. 35 Tahun 2006 tentang Kejaksaan RI.
3) Undang-undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
4) Undang-undang Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2006) h. 52.
19
6) Surat Kepala Kepolisian Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SDOPS
tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution
(ADR).
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer,20
yaitu:
1) Berbagai hasil penelitian mengenai Mediasi Penal dan
Restorative Justice.
2) Berbagai buku yang membahas mengenai Mediasi Penal,
Restorative Justice, dan buku tentang perundang-undangan.
3) Yurisprudensi MA.
4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumentasi yakni upaya untuk memperoleh data dari
penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dan
sumber lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
Metode yang digunakan dalam menganalisis data-data yang
terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode
tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada
dengan berdasarkan pendekatan yuridis normatif.
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2006) h.53.
20
5. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah penjabaran
dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk memberikan
gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
(review) kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan
yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas skripsi ini.
BAB II MEDIASI PENAL SEBAGAI SISTEM PENERAPAN KEADILAN
DALAM HUKUM POSITIF MAUPUN PRAKTIK PERADILAN
Pada bab ini dijelaskan tentang Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non-
Litigasi, dan menelusuri mekanisme Penyelesaian Sengketa Non-litigasi.
Adapun yang akan diuraikan adalah, (a) Mediasi Penal, (b) Keadilan
Restoratif, (c) Teori Tentang Keadilan.
21
BAB III EKSISTENSI MEDIASI PENAL DI BERBAGAI NEGARA
Pada bab ini dijelaskan tentang Mediasi dalam Perundang-undangan,
Praktik Mediasi Penal di beberapa Negara serta Praktik Mediasi Penal
ditingkat Penyidikan, Penuntutan dan Praktik di Pengadilan.
BAB IV KONSEP MEDIASI PENAL SEBAGAI SARANA UNTUK
RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA
PIDANA
Pada bab ini akan dijelaskan tentang nilai-nilai Mediasi Penal dalam
Perspektif pembaharuan Hukum Pidana, serta Analisis konsep Restorative
Justice dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran.
22
BAB II
MEDIASI PENAL SEBAGAI SISTEM PENERAPAN KEADILAN
DALAM HUKUM POSITIF MAUPUN PRAKTIK PERADILAN
A. Mediasi Penal
1. Pengertian Mediasi
Pada umumnya masyarakat apabila bermasalah dengan hukum pasti
mempergunakan upaya litigasi (menggunakan pengadilan) dalam menyelesaikan
suatu perkara baik perdata maupun pidana. Namun dalam realitanya di
masyarakat, penyelesaian dengan menggunakan jalur pengadilan tidaklah
menguntungkan sebab memerlukan biaya yang besar, waktu yang lama,
mempertajam konflik dengan pihak lawan (bersifat win lose solution).
Penyelesaian suatu perkara dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dengan
model litigasi (pengadilan) dan jalur non litigasi (di luar pengadilan). Pendekatan
yang kedua ini (non litigasi) bersifat win-win solution.
Dalam literatur hukum penggunaan mekanisme penyelesaian yang
bersifat win-win solution disebut dengan penyelesaian Sengketa Alternatif
(Alternative Dispute Resolution (ADR). Menurut ketentuan pasal 1 butir (10)
undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan penyelesaian
sengketa Alternatif, yang dimaksud dengan ADR adalah “lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, Negosiasi, Mediasi,
22
23
Konsiliasi, atau Penilaian para Ahli”. Jadi dapat disimpulkan bahwa bentuk-
bentuk Alternative Dispute Resolution adalah Konsultasi, Negosiasi, Mediasi,
atau Penilaian para Ahli. Dalam pembahasan tulisan ini hanya dibahas mengenai
definisi dari mediasi.
a) Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang
berarti berada di tengah, makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan
pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak. Berada di tengah juga bermakna
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak
yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan
kepercayaan diri para pihak yang bersengketa.21
b) Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
penyelesaian Sengketa Alternatif tidak memberikan pengertian tentang
mediasi namun, pengertian mediasi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 6
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 yang
memberikan pengertian mediasi sebagai penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan para pihak yang dibantu oleh mediator.
21
I Made Widnyana, Alternative Penyelesaian Sengketa, (ADR), (Jakarta :
Indonesia Businis Law Centre (IBLC), 2007), h.2.
24
Lourence Boulle, membagi mediasi menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu :22
1) Sattlement Mediation (Compromise Mediation), model ini bertujuan
mempertemukan posisi tawar para pihak sampai ke suatu titik yang dapat
mereka sepakati.
2) Facilitative Mediation (Interest-Based, Problem-Solving, dan Rational
Analitic Mediation), model ini paling sering dipergunakan dalam praktik
mediasi, fokus pendekatan terletak pada pencapaian kesepakatan yang
memuaskan sesuai kebutuhan semua pihak.
3) Transformative Mediation (Therapeutic dan Reconciliation mediation),
model ini meyakini bahwa para pihak yang terlibat mempunyai kemampuan
untuk berubah melalui proses mediasi, di sini para pihak terlibat langsung
untuk menentukan proses mediasi yang diinginkan.
4) Evaluation Mediation (Advissory, Managerial, dan Normative Mediation),
model ini terkait dengan pencapaian kesepakatan berdasarkan hak hukum
(legal Right) yang dimiliki oleh para pihak.
22
Laurence Boulle, Mediation Principles, Process and practice, (New York :
Prince Hall, 1996), h.44-45.
25
2. Pengertian Mediasi Penal
Menurut Ms. Toulemonde (menteri kehakiman perancis) Mediasi Penal
(penal mediation) adalah “sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan
kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan
korban.23
Sedangkan Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi
Penal adalah “penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan
mediator yang netral, dihadiri korban dan pelaku beserta orang tua dan
perwakilan masyarakat, dengan tujuan pemulihan bagi korban, pelaku, dan
lingkungan masyarakat.24
Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoritis dan
praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi dengan
pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari
terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun
variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban
bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan
23 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban
Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Govermance, 27 Maret 2007, h. 1
24
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie-Publishing, 2011), h. 86.
26
peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.25
Adapun ide dan
prinsip dari Mediasi Penal, adalah :26
1) Penanganan Konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung) : tugas
mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan
mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan
pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal, konflik
itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2) Berorientasi pada Proses (Process Orientation/prozessorientierung) :
Mediasi Penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari pada hasil, yaitu
menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan
konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.
3) Proses Informal (Informal Proceeding/Informalitat) : Mediasi Penal
merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari
prosedur hukum yang ketat.
4) Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous
Participation-Parteiautonomie/Subjectivierung) : para pihak (pelaku dan
korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih
25 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban
Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Govermance, 27 Maret 2007, h.2
26
Stefanie Trankle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in
Victim-Offender Media-tion –a Microsociological Study of a Paradoxial Procedure
Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France,
http://www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_e.html.
27
sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan
untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
Dalam hukum pidana proses penyelesaian perkara di luar proses
pengadilan melalui Mediasi Penal berbeda dengan proses penyelesaian sengketa
di luar proses pengadilan melalui mediasi. Dalam hukum perdata mediasi
biasanya dipergunakan berkaitan dengan masalah uang, sedangkan dalam hukum
pidana yang dipermasalahkan lebih banyak pada kebebasan dan kehidupan
seseorang. Terhadap pihak-pihak yang terlibat, Mediasi perdata biasanya para
pihak yang secara langsung bersengketa atau pihak kedua yang berkepentingan,
sedangkan dalam Mediasi hukum pidana para pihak yang terlibat lebih kompleks
tidak hanya pelaku, korban, tetapi jaksa penuntut umum, serta masyarakat luas.27
Peradilan pidana sesungguhnya bukan merupakan institusi yang paling
baik dalam menyelesaikan konflik antara korban dan pelaku. Dalam realitanya
peradilan pidana memiliki standar keadilan tersendiri terkait dengan pelaku
kejahatan yang sama sekali tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan
korban. Penyelesaian konflik dengan peradilan pidana merusak hubungan
kekeluargaan antara korban dan pelaku. Hubungan yang awalnya damai, tentram,
harmonis dan bersifat kekeluargaan hancur dengan kehadiran sistem Peradilan
27
Mahrus Ali, Menggugat Dominasi Hukum Negara Berdasarkan Perkara
Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura, (Yogyakarta: Rangkang
Indonesia, 2009), h.133.
28
Pidana.28
Karena kelemahan dari peradilan pidana dalam menyelesaikan perkara
pidana maka dapat direkomendasikan penyelesaian mekanisme Mediasi Penal
(Penal Mediation), karena memiliki kelebihan yang tidak ditemukan dalam
peradilan pidana, Adapun kelebihan dari Mediasi Penal, adalah sebagai berikut :
a) Mediasi Penal membantu mengurangi perasaan balas dendam terhadap
korban, lebih fleksibel karena prosedurnya lebih sederhana, hemat biaya,
prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan proses melalui peradilan
pidana.
b) Mengurangi beban penumpukan perkara dalam pengadilan dan mengurangi
waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu perkara dengan
mempergunakan Mediasi Penal.
c) Mediasi Penal memberikan kesempatan kepada korban dan pelaku bertemu
untuk membahas kejahatan yang telah merugikan kehidupannya,
mengungkapkan perhatian dan perasaannya serta meminta adanya restitusi.
d) Mediasi Penal menciptakan kembali hubungan yang harmonis antara
korban dan pelaku. Kondisi ini tidak ditemukan di dalam penyelesaian
perkara dengan peradilan pidana. Pemberian maaf korban kepada pelaku
akan mengurangi rasa bersalah pelaku dan menciptakan rekonsiliasi antara
keduanya.
28
Jack B. Weinstein, Same Benefit and Risks of Privatization of Justice Though
ADR, Artikel pada Ohio State Journal on Dispute Resolution , 1996, h.292.
29
3. Bentuk-Bentuk Mediasi Penal
Berdasarkan komparasi implementasi mediasi penal dari beberapa Negara
tersebut, Barda Nawawi selanjutnya mengelompokkan Mediasi Penal menjadi 6
(enam) model atau bentuk, yaitu sebagai berikut :29
1) Informal Mediation, model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana
(Criminal Justice Personnel) dalam tugas formalnya, yaitu :
a. JPU mengundang para pihak untuk penyelesaian informal dengan tujuan
untuk tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan.
b. Pekerjaan sosial atau pejabat pengawas (Probation Officer) yang
berpendapat bahwa kontak dengan korban akan mempunyai pengaruh
besar bagi pelaku tindak pidana.
c. Pejabat polisi menghimbau perselisihan keluarga yang mungkin dapat
menenangkan situasi tanpa membuat penuntutan pidana.
d. Hakim dapat juga memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan dan
melepaskan kasusnya.
2) Traditional Village or Tribal Moots, menurut model ini, seluruh masyarakat
bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. Model ini
ada di beberapa Negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan atau
pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas.
29 Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara Pidana KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tngga), (Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia,
2010), h. 171-173.
30
Model ini mendahului hukum barat dan telah menginspirasi bagi kebanyakan
program-program mediasi modern, program Mediasi modern sering
mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal
moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern
dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.
3) Victim-offender mediation, model ini melibatkan berbagai pihak yang
bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari
model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator
independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan
proses, baik pada tahap pembiasan penuntutan, tahap kebijaksanaan polisi,
tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan
untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada
yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misalnya pengutilan, perampokan,
dan tindak kekerasan), dan ada yang terutama di tunjukan pada pelaku anak,
pelaku pemula, namun ada juga delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.
4) Reparation negotiation programmes, Model ini semata-mata untuk
menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh
pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di
pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para
pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materil. Dalam
model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja yang dengan
demikian dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.
31
5) Community panel or courts, Model ini merupakan program untuk
membelokan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur
masyarakat yang lebih fleksibel, informal dan sering melibatkan unsur
Mediasi atau Negosiasi. Pejabat lokal dapat mempunyai lembaga/badan
tersendiri untuk Mediasi.
6) Family and community group conperences, Model ini telah dikembangkan
di Australia dan New Zaeland, yang melibatkan partisipasi masyarakat
dalam sistem Peradilan Pidana. Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku
tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya,
pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim) dan para pendukung korban.
Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang
komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga
si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
B. Restorative Justice
2. Pengertian Restorative Justice
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan refresif
sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana, telah melahirkan
keadilan Retrebutif (Retrebutif Justice), yang berorientasi pada pembalasan
berupa pemidanaan dan pemenjaraan. Dalam perkembangannya timbul wancana
orientasi pemidanaan yang mendudukan korban sebagai bagian penting dalam
tujuan pemidanaan. Maka ditawarkanlah suatu Sistem penyelesaian perkara
32
pidana yang berorientasi menguntungkan segala pihak yaitu Keadilan Restoratif.
Dalam konsep Restorative Justice terkandung konsep Rehabilitasi, Rekonsiliasi,
Restitusi, Reparasi, dan Kompensasi dalam menyelesaikan suatu perkara
pidana.30
Di beberapa Negara maju keadilan Restoratif bukan sekedar wacana oleh
para akademisi hukum pidana maupun kriminologi. Di Amerika Utara, Australia,
dan beberapa Negara di Eropa keadilan Restoratif telah diterapkan dalam tahap
proses peradilan pidana yang konvensional, mulai dari tahap penyidikan,
penuntutan, ajudikasi, dan tahap eksekusi.31
Adapun yang dimaksud dengan
Restorative Justice akan dijelaskan dalam definisi sebagai berikut :
1) Tony F. Marshall,32
“Restorative Justice is a process whereby all the parties
with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how
to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”
30
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk
Agung 2011) h.64
31
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restorative Justice dan Peradilan Konvensional
Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2009) h.1
32
Tony Marshall, Restorative Justice on Trial in Britain. “in Restorative Justice
on Trial: Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International Research
Perspectives, edited by H. Messmer and H.U. Otto. Dordrecht, (Boston: Kluwer
Academic Publishers, 1992, sebagaimana ditulis dalam buku John Braithwaite,
Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford University Press,
2002). h. 11. Terjemahan bebas dari penulis yaitu : “Restorative Justice adalah Suatu Proses dimana semua pihak yang berhubungan
dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan bagaimana
menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan”.
33
2) G Bazemore and Mark Umbreit, “Restorative Justice ia about restoring
victims, restoring offenders, and restoring communities”.33
3) Basic Principles PBB, Restorative Justice adalah pendekatan yang dapat
dipakai dalam Sistem Peradilan Pidana yang Rasional.34
4) Eva Anchjani Zulfa, Restorative Justice adalah sebuah konsep pemikiran
yang merenspon pengembangan Sistem Peradilan Pidana dengan menitik
beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa
tersisih dengan mekanisme yang bekerja pada Sistem Peradilan Pidana yang
ada pada saat ini.35
5) www.restorativejustice.org, Restorative Justice adalah konsep yang
sistematis atas tindak penyimpangan yang ditekankan pada pemulihan atas
kerugian yang dialami korban dan/atau masyarakat sebagai akibat dari
perbuatan kriminal.36
33
Banzemore, G and Mark Umbreit, Balanced and Restorative Justice: Program
Summary: Balanced and Restorative Project, (Washington: US Departement of Justice,
Office of Juvenile and Delinquency Prevention, 1994), sebagaimana ditulis dalam buku
John Braithwaite Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford
University Press, 2002). h. 11. Terjemahan bebas dari penulis yaitu :
“Restorative Justice adalah tentang memulihkan korban, memulihkan pelaku, dan
memulihkan masyarakat”.
34
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk
Agung 2011) h.64
35
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk
Agung 2011) h.65
36
http://arsip.batampos.co.id/13-12-2014/manfaatkan-restorative-justice-dalam-
penegakan-hukum-di-batam/ diakses pada tanggal 1 Maret 2016.
34
6) Braitwaite, Restorative Justice adalah “reintegrative shaming of the offender
with an empashis on moralizing social control”. Dalam pengertian ini
Braitwaite lebih menekankan pada cara untuk mencapai tujuan control sosial
dilihat dari sudut pandang moral.37
Dari beberapa definisi-definisi yang disampaikan diatas maka dapat kita
mengetahui karakteristik dari Restorative Justice. Muladi secara rinci
menyetakan beberapa karakteristik dari Restorative Justice, yaitu :38
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan
diakui sebagai konflik.
2. Titik perhatian pada pemecahan masalah, pertanggung jawaban dan
kewajiban pada masa depan.
3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rokonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama.
5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar
hasil.
6. Sarana perhatian pada perbaikan kerugian sosial.
7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses Restorative.
37
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara Pidana KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tngga), (Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010),
h.122
38
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponogoro, 1995) h.127-129
35
8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun
penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban, pelaku tindak pidana didorong
untuk bertanggung jawab.
9. Pertanggung jawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemohonan
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik.
10. Stigma dapat dihapus melalui tindakan Restorative.
3. Nilai Dasar Restorative Justice
Banyaknya kasus hukum yang tidak diselesaikan atau selesai dengan
akhir yang kurang memuaskan membuat hukum semakin tidak dipercaya
masyarakat sebagai alat mencari keadilan. Oleh Satjipto Rahardjo hal
sebagaimana dijelaskan diatas dikarenakan bentuk krisis sosial yang menimpa
aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum
kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini kurang disadari, dalam
hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia.39
Kondisi hukum yang
semakin terpuruk ini pada akhirnya tidak mendapat tempat di hati masyarakat
karena sama sekali tidak memberikan jawaban atas kebutuhan hukum yang
berkeadilan.
39
Satjipto Rahardjo dalam Umar Sholehudin, Hukum & Keadilan Masyarakat
Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, (Malang : Setara Press, 2011), h.3.
36
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami multi krisis yang salah
satunya adalah krisis dalam penegakan hukum (law enforcement).40
Pada saat ini,
Kecendrungan kegiatan hukum dalam masyarakat ditandai dengan meningkatnya
penggunaan sumber-sumber hukum dan penyelesaian masalah-masalah dengan
hukum.41
Ironisnya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat berbanding
terbalik dengan proses penyelesaian masalah hukum. Dalam praktiknya, hukum
tidak selamanya berposisi sebagai penyeimbang kepentingan masyarakat karena
hukum cenderung mengakomodasi kepentingan elit tertentu.42
Indikasi ketika dalam penegakan hukum semata-mata mengutamakan
aspek kepastian hukum (reschtssicherheit) dengan mengabaikan keadilan
(gerechttigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit) bagi masyarakat.
Adapun keadilan telah berubah seiring perkembangan abad nasionalisme modern
yang mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia
tentang arti dan makna keadilan didalam irama gerak hukum dalam masyarakat.43
Hukum atau peraturan perundang-undangan dalam implementasinya harus adil,
tetapi yang terjadi adalah ketidak adilan. Padahal hukum terkait dengan keadilan,
40
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Penerbit
Buku Kompas) h, 169.
41
Ronny Hanitijo, Politik, Kekuasaan dan Hukum, (Semarang : Universitas
Diponogoro, 1998) h,45.
42
Umbu Lily Pekuali, Memposisikan Hukum Sebagai Penyeimbang
Kepentingan Masyarakat, Jurnal Pro Justitia, Vol.26 (4) Oktober 2008, h.359-370.
43
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum, (Bandung : Bandar Maju,2001),h.30
37
namun dalam praktik di kalangan aperatur penegak hukum belum sepenuhnya
menyadari hal tersebut.44
Jim Consedine seorang pelopor keadilan Restorative, berpendapat
“Konsep Keadilan Retributive dan Restitutif yang berlandaskan hukuman, balas
dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan perusakan harus digantikan oleh
keadilan Restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi
dalam masyarakat, pemaafan dan pengampunan.45
Ditambahkan oleh Mudzakir
yang memandang hukum pidana dan sistem peradilan pidana saat ini tidak
memberikan keadilan bagi masyarakat karena keadilan yang ditegakan masih
bersifat pembalasan (Retrebutif). Konsep keadilan dalam kebijakan pidana pada
masa depan harus bergeser dari keadilan Retrebutif menuju keadilan restoratif.46
Braithwaite mengemukakan beberapa nilai dasar yang merupakan ciri
khas Restorative Justice yang membedakannya dengan teori pemidanaan lainnya.
Nilai-nilai dasar tersebut oleh Braithwaite dikelompokan menjadi 3 (tiga)
kelompok :47
44
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, (Bandung :
Nuansa dan Nusamedia, 2004),h.239
45
Jim Consedine, Restorative Justice : Healing the Effect of Crime, (Lytttelton :
Ploughshares Publications, 1955),h.11.
46 Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana,
Disertasi dalam memperoleh Gelar Doctor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, h.180.
47
Andrew Von Hirsch et all, Restorative Justice and Criminal Justice
:Competing or Reconcilable Paradigms ?, (Oregon : Hart Publishing,2003) h.9-11.
38
1) Nilai-nilai yang terkait dengan penerapan keadilan Restoratif dalam
peraktek yang disebut sebagai fundamental Procedural Safeguard
yang terdiri atas :
a. Non Domination, Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana dengan
mempergunakan Restorative Justice diharapkan semua pihak dalam
posisi yang sama dan sederajat. Disini dominasi salah satu pihak akan
mempengaruhi suatu putusan yang dihasilkan sehingga akan merusak
tujuan dari pada penyelesaian dengan menggunakan pendekatan ini.
Dalam model pendekatan ini diharapkan keputusan diambil secara
bersama-sama oleh semua pihak yang terlibat.
b. Empowerment, Adanya keharusan pemberdayaan (protection) terhadap
pihak yang tidak dalam posisi yang menguntungkan. Pemberdayaan ini
bukan maksud pilih kasih namun sebagai upaya membangun keberanian
untuk mengutarakan pemikiran, pandangan dan kehendak sehingga
kebutuhan pelaku, korban atau masyarakat dapat didengar dan
diperhatikan dalam pengambilan keputusan.
c. Honouring Legally Specipic upper limits on saction, Ketika para pihak
sudah mengambil keputusan untuk menyelesaikan suatu persoalan
dengan menggunakan konsep ini, maka mereka harus menerima segala
keputusan yang dihasilkan oleh model penyelesaian tersebut.
Dalam Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk
Agung 2011) h.92-95.
39
d. Respectful Listening, dalam menyelesaikan perkara ini para pihak harus
memiliki rasa saling menghormati dan berempati antara para pihak.
e. Equal Concern for All Stakeholders, Harus adanya perhatian kepada
semua stakeholder, dalam upaya penyelesaian model ini tidak hanya
difokuskan kepada salah satu stakeholder.
f. Accountability, Appealability, Accountability dalam arti Restorative
Justice adalah keleluasaan untuk memilih mekanisme penyelesaian yang
berdasarkan atas pilihan semua pihak.
g. Respect for the Fundamental Human Right, Dalam menyelesaikan
perkara pidana harus mengacu pada instrument hak asasi manusia.
Nilai-nilai hak asasi manusia harus diakomondasikan kedalam tujuan
pemidanaan dan dalam merancang suatu model pemidanaan.
2) Nilai yang terkait dalam kemampuan untuk melupakan kejadian pada
masa lalu.
Melupakan dan bukan menghapuskan atau membiarkan saja tanpa suatu
penyelesaian. Kemauan untuk melupakan kejadian pada masa lalu bukan
merupakan alasan untuk menelantarkan atau mencegah proses penyelesaian
yang sedang berlangsung. Diterimanya suatu kesepakatan mengandung arti
dengan suatu tugas membawa dan menyebarkan nilai baru dan mengubah
paradigma masyarakat sekitar terhadap tindak pidana yang terjadi.
Permasalahan yang terjadi adalah seringnya benturan terjadi dimasyarakat
sehingga proses realisasi program menjadi terhambat, utamanya terkait
40
dengan nilai-nilai local/setempat yang dianut masyarakat justru
menghambat program perbaikan dan Restoratif. Dalam kondisi yang
demikian, kesepakatan yang telah dicapai harus dievaluasi kembali.
3) Nilai yang terkandung dalam keadilan Restoratif adalah mencegah
ketidak adilan, maaf memaafkan, dan rasa terimakasih.
Berbeda dengan pandangan sebelumnya, keadilan Restoratif pada dasarnya
merupakan suatu konsep yang berkembang. Banyak sarjana yang kemudian
mengembangkan lebih lanjut konsep ini secara terus menerus. Termasuk
didalamnya pengembangan terhadap ide-ide potensial serta resiko-resiko
negatif bila konsep ini akan dijalankan.
4. Bentuk-bentuk Restorative Justice
Restorative Justice merupakan konsep yang harus diaplikasikan melalui
proses yang nyata. Proses Restorative Justice dapat dilakukan dalam beberapa
mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada bahkan ada yang
mengkombinasikan suatu mekanisme dengan mekanisme yang lainnya. Menurut
Stephenson, Giller, dan Brown membagi bentuk keadilan Restoratif menjadi 4
(empat) bentuk, yaitu :48
1) Victim Offender Mediation (Mediasi Penal)
Bentuk pendekatan Restorative Justice yang membentuk suatu forum yang
mendorong pertemuan antara para pihak yaitu korban, pelaku, dan pihak
48
Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Practice in Youth
Justice, (Potland : Willan Publishing, 2007), h.163-166.
41
ketiga (mediator) yang netral dan imprasial, yang membantu para pihak untuk
berkomunikasi satu sama lainnya dengan harapan mencapai sebuah
kesepakatan. Dalam pertemuan tersebut, korban dapat menggambarkan
pengalamannya berkaitan dengan tindak pidana yang dialaminya dan efek
yang ditimbulkannya. Pelaku menjelaskan perbuatan pidana apa dan latar
belakang mengapa si pelaku melakukan hal tersebut. Sedangkan mediator
bertugas memberikan berbagai masukan bagi tercapainya penyelesaian terbaik
yang mungkin dilakukan. Mediasi dapat dilakukan secara langsung atau
secara tidak langsung (Shuttle Mediation).
2) Restorative Comperence (Comperencing)
Bentuk penyelesaian dengan model ini merupakan aplikasi keadilan Restoratif
yang dikembangkan oleh suku maori (Selandia Baru), akan tetapi
pelaksanaanya banyak Negara-negara yang mempergunakan aplikasi ini.
Dalam bentuk Conferencing, penyelesaian tidak hanya melibatkan pelaku dan
korban langsung saja (Primary Victim) namun juga melibatkan korban tidak
langsung (Seconary Victim), seperti keluarga, kawan dekat korban serta
kerabat dari pelaku.
3) Family Group Conference (FGC)
Model ini merupakan pengembangan dari model Conferencing, model ini
dipergunakan dalam penanganan tindak pidana yang pelakunya anak. Fokus
penyelesaian model ini ialah upaya pemberian pelajaran atau pendidikan bagi
pelaku atas apa yang telah dilakukannya. Dimana kedua belah pihak (korban
42
dan pelaku) membuat sebuah Action Plan yang berasal dari informasi dari
korban, pelaku, dan kalangan professional. Hal ini dilakukan dengan tujuan
pencegahan agar suatu kesalahan tidak terulang lagi.
4) Community Panels Meetings
Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban, dan orang
tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan kesalahan.
Daly dan Immarigeon, menambah bentuk-bentuk keadilan Restoratif yang
berkembang didunia, terutama di Amerika Serikat dan Canada, adapun
bentuknya adalah :49
1. Hak Tahanan dan Alternatif selain penjara
Diperlakukannya suatu alternatif pemidanaan selain penjara guna
menjamin hak seseorang untuk dapat berkumpul dalam masyarakat, guna
mencegah meledaknya populasi penjara apabila semua perkara
diselesaikan dengan pemidanaan penjara.
2. Pilihan Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian dengan upaya informal (alternatif penyelesaian sengketa)
yang difokuskan pada upaya negosiasi antara para pihak, dengan juga
melibatkan peran masyarakat serta mengurangi ketergantungan akan
peran para professional hukum.
49
Kathleen Daly dan Russ Immarigeon, The Past, Present, and Future of
Restorative Justice : Some Critical Reflection, dalam Contemporary Justice Review, 1
(I), 1998, h.24-26.
43
3. Advokasi
Keadilan Restoratif ini melakukan advokasi untuk korban tindakan
kriminal karena mereka kurang bisa bersuara dalam proses peradilan
pidana.
4. Justice Circles
Model penerapan keadilan Restoratif dalam aplikasi ini, hampir sama
dengan Conferencing, yaitu dalam menyelesaikan perkara pidana
melibatkan para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga
korban dan pelaku, termasuk didalamnya ikutnya aparat penegakan
hukum. Titik perbedaanya ialah setiap anggota masyarakat yang merasa
berkepentingan dengan perkara tersebut dapat datang dan ikut
berpartisipasi, Circles dalam hal ini diartikan sebagai pihak-pihak yang
berkepentingan dengan tindak pidana secara meluas. Dalam model
penyelesaian ini para pihak duduk dalam sebuah lingkaran. Penerapan ini
diadopsi dari praktek yang ada di kanada.
Selain bentuk-bentuk aplikasi Restorative Justice diatas, ada juga bentuk
aplikasi dalam bentuk Revarative Board (membahas perencanaan program-
program yang tepat tentang keadilan Restoratif yang juga melibatkan pelaku dan
44
korban).50
Victim Assistance (pendampingan korban), Restitution (ganti rugi),
dan Community Service (layanan masyarakat).
5. Tujuan Restorative Justice
Proses Restorative Justice mempunyai Tujuan sebagai berikut :51
“Process goal include the following :
1). Victim who agree to be involved in the procces can do safely and come out it
sa tisfied;
2). Offender understand how their action has effected the victim and other
people, assume responsibility for the consequences of their action and
commit to making reparation;
50
Muladi dalam Eva Achjani Zulva, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi
Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek
Penegakan Hukum Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doctor Ilmu Hukum,
Juni 2009, h.9.
51
United Nation, Basic Principles on the use of restorative justice programmes
in criminal matters, ECOSOC Res 2000/14. U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add2 at 35 (2000).
(www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%25
20criminal% diakses pada tanggal 14 Januari 2016, Terjemahan bebas dari penulis yaitu :
“Proses tujuan meliputi :
1. Korban setuju untuk terlibat dalam proses yang dapat dilakukan dengan aman dan
menghasilkan kepuasan;
2. Pelanggar memahami bahwa perbuatan mereka telah mempengaruhi korban dan
orang lain, untuk kemudian bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan
mereka dan berkomitmen untuk membuat perbaikan/reparasi;
3. Langkah-langkah fleksibel yang disepakati oleh para pihak yang menekankan untuk
memperbaiki kerusakan dilakukan dan, sedapat mungkin, juga mencegah
pelanggaran;
4. Pelanggar membuat komitmen mereka untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan
dan berusaha untuk mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan perilaku mereka, dan
5. Korban dan pelaku baik memahami dinamika yang mengarah ke insiden tertentu,
memperoleh hasil akhir reintegrasi/kembali bergabung kedalam masyarakat.
45
3). Flexible measures are agreed upon by the parties which emphasize repairing
the harm done and, wherever possible, also address the reasons for the
offence;
4). Offenders live up to their commitment to repair the harm done and attempt to
address the factors that led to their beha vior; and
5). The victim and the offender both understand the dynamic that led to the
specific incident, gain a sense of closure and are reintegrated into the
community.
C. Teori Tentang Keadilan
Kata “keadilan” yang dalam bahasa Inggris adalah “justice” berasal dari
bahasa latin “iustitia” memiliki sejarah pemikiran panjang. Satjipto Raharjdo
telah mencatat beberapa rumusan atau pengertian keadilan yang disampaikan
oleh banyak pemikir keadilan di antaranya;52
1. Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar
dari peraturan negara dan aturan aturan ini merupakan ukuran tentang apa
yang hak (Aristoteles);
2. Keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang
berhak mendapat apa yang merupakan bagiannya (Keadilan Justitian);
3. Roscou Pond melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa
diberikannya kepada masyarakat;
52
E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tujuan Hukum
Kodrat dan Antinomi nilai), (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2007), h. 98-99.
46
4. Keadilan, suatu tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya usaha
untuk mencari kebenaran bisa berkembang dengan subur. Keadilan saya
karenanya adalah, keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan
demokrasi-keadilan toleransi (Hans Kelsen)
Ragam pengertian keadilan yang demikian merupakan konsekuensi dari
substansi teori keadilan yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir tersebut
diatas. Tiap pemikir mempunyai substansi (Teori) keadilan yang pasti berbeda-
beda. Berikut merupakan teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa pemikir
mengenai keadilan.
1) Keadilan menurut Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas
Persoalan keadilan menjadi hal yang utama dalam pembahasan hokum
kodrat pada masa yunani kuno, dengan peletak hukum kodrat Aristoteles.
Aristoteles merupakan murid dari Plato, pada dasarnya mengikuti pemikiran
Plato ketika Aristoteles memulai mempersoalkan tentang keadilan dan kaitannya
dengan Hukum Positif. Namun yang membedakan diantara mereka, bahwa Plato
dalam mendekati problem keadilan dengan sudut pandang yang bersumber dari
inspirasi, sementara Aristoteles mendekati dengan sudut pandang rasional.
Kaitan antara keduanya adalah, bahwa keduanya sama-sama berupaya
membangun konsep dengan nilai keutamaan (Concept of Virtue), yang bertujuan
untuk mengarahkan manusia kepada suatu kecondongan, yang pada dasarnya
telah menjadi problem utama dalam pemikiran Hukum Kodrat pada masa itu,
47
tentang arah yang baik atau arah yang buruk, berdasarkan nilai keadilan atau
tiadanya keadilan.
Selanjutnya menurut Sumaryono mengemukakan “Dalil, hidup manusia
harus sesuai dengan alam”, merupakan pemikiran yang diterima saat itu, dan oleh
sebab itu, dalam pandangan manusia, seluruh pemikiran manusia harus
didasarkan pada kodratnya tadi, sehingga manusia dapat memandang tentang hal
yang benar dan keliru. Untuk melaksanakan peran kodrati manusia tadi, setiap
manusia harusnya mendasarkan tindakannya sesuai dengan gagasan keadilan,
sehingga manusia dapat memahami dan melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan alam tempat manusia hidup.53
Plato berusaha untuk mendapatkan konsepnya mengenal keadilan dari
ilham; sementara Aristoteles mengembangkannya dari analisa ilmiah atas
prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang model-model masyarakat politik
dan undang-undang yang telah ada. Doktrin-doktrin Aristoteles tidak hanya
meletakan dasar-dasar bagi teori hukum, tetapi juga kepada filsafat barat pada
umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat hukum adalah formulasinya
terhadap masalah keadilan, yang membedakan antara :
Keadilan “distributif” dengan keadilan “koersif” atau “remedial” yang
merupakan bagian dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok
53
E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas, (Penerbit: Yogyakarta, Karnisius, 2002), h. 92; yang dikutip kembali oleh Inge
Dwisvimiar, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum,; jurnal dinamika hukum,
Vol 11, No. 3 Seftember 2011, h. 526.
48
persoalan. Kontribusi pertama keadilan distributif berlaku dalam hukum
publik,54
mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai
dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang sama terhadap
kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini
menitik beratkan pada kenyataan fundamental, dan selalu benar, meskipun
dikesampingkan oleh hasrat filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran
pendirian politiknya, sehingga cita-cita keadilan secara teoritis tidak dapat
memiliki isi tertentu sekaligus sah.
Keadilan tersebut untuk hukum positif untuk menjelaskan siapa-siapa
yang sederajat dalam hukum, diperlukan prinsip-prinsip etika tertentu. Sementara
kontribusi kedua keadilan “korektif” , pada dasarnya merupakan ukuran teknis
dan prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur relasi-
relasi, hukum harus ditemukan standar yang umum untuk memperbaiki
pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku, dan objek-objek tersebut harus
diukur melalui satu ukuran yang objektif. Hukuman harus memperbaiki
kejahatan, ganti rugi harus memulihkan keuntungan yang tidak sah.
54
E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas, (Penerbit: Yogyakarta, Karnisius, 2002), h. 92; yang dikutip kembali oleh Inge
Dwisvimiar, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum,; jurnal dinamika hukum,
Vol 11, No. 3 Seftember 2011, h. 527.
49
Kontribusi ketiga adalah pembedaan antara keadilan menurut hukum dan
keadilan menurut alam. Keadilan pertama mendapat kekuasaannya dari apa yang
ditetapkan sebagai hukum, apakah adil atau; keadilan kedua, mendapatkan
kekuasaannya dari apa yang menjadi sifat dasar manusia. Kontribusi keempat
adalah definisi hukum, yakni sebagai seperangkat aturan yang tidak hanya
mengikat masyarakat tetapi juga hakim.55
Thomas Aquinas, yang dikenal sebagai penerus tradisi filsafat ala
Aristoteles dan juga kaum stoa. Thomas membedakan tiga macam hukum yaitu
Hukum Abadi (lex eternal), Hukum Kodrat (lex naturalis), Hukum Manusia dan
Hukum Positif (lexhumana). Hukum abadi adalah kebijakan atau rencana abadi
tuhan berkaitan dengan pencarian alam semesta atau dunia dengan segala isinya.
Hokum Kodrat adalah perwujudan kebijakan atau rencana abadi tadi dalam
kodrat manusia. Hukum manusia adalah ketentuan tertentu dari akal budi
manusia demi kepentingan bersama yang dibuat oleh orang yang perduli
terhadap komunitas dan diberlakukan merata bagi semua orang.
Selanjutnya hukum ini harus memenuhi syarat formal dan material
tertentu. Secara formal hukum manusia harus adil dan dimaksudkan untuk
kesejahtraan manusia. Secara materil, Pertama, hukum manusia sah kalau begitu
saja mengungkapkan hukum kodrat, kedua, hukum manusia sah kalau merupakan
kesimpulan logis dari hukum kodrat, ketiga, hukum manusia sah kalau memberi
55
Tegus Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu
Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, cet 1,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h.145.
50
keterangan dalam hal yang memang harus diatur, tetapi dari segi hukum kodrat
masih tetap terbuka kepada pengaturan mana yang mau dipilih.56
2) Keadilan menurut Jhon Rawls
Jhon Rawl berpendapat bahwa keadilan hanya dapat ditegakan
apabila negara melaksanakan asas keadilan, berupa setiap orang hendaknya
memiliki hak yang sama untuk mendapat kebebasan dasar (basic liberties);
dan perbedaan sosial serta ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa
sehingga memberi manfaat yang besar bagi mereka yang berkedudukan
paling tidak beruntung, dan bertalian dengan jabatan serta kedudukan yang
terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesepakatan yang layak.
John Rawls memunculkan suatu ide dalam bukunya A Teory of
Justice mengatakan57
. “Tujuan saya adalah untuk menyajikan sebuah konsep
keadilan yang menggeneralisasi dan mengangkat teori kontrak sosial yang
diungkapkan oleh, katakanlah, Locke, Rousseau, dan Kant ketingkat abtraksi
yang lebih tinggi. Untuk melakukan hal ini kita tidak akan menganggap
kontrak sebagai satu-satunya cara untuk memahami masyarakat tertentu atau
untuk membangun pemerintahan tertentu. Namun, gagasan yang
menandainya adalah prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat
56
E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas, (Penerbit: Yogyakarta, Karnisius, 2002), h. 92; yang dikutip kembali oleh Inge
Dwisvimiar, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum,; jurnal dinamika hukum,
Vol 11, No. 3 Seftember 2011, h. 527.
57
John Rawls, A Teory of Justice (Resived Edition), (USA: Harvard University
Press, 1971), h.10.
51
merupakan tujuan dasar dari kesepakatan. Hal itu adalah prinsip yang akan
diterima orang-orang yang bebas dan rasional untuk mengejar kepentingan
mereka dalam posisi asli ketika mendefinisikan kerangka dasar asosiasi
mereka. Prinsip-prinsip ini akan mengatur semua lebih lanjut, mereka
menentukan jenis kerja sama sosial yang bisa dimasuki dan bentuk-bentuk
pemerintah yang bisa di dirikan. Cara pandang terhadap prinsip keadilan ini
akan saya sebut keadilan fairness.”
Unsur-unsur formal dari keadilan sesuai dengan pembagian aliran
keadilan menurut Kelsen dan Rawls yang pada dasarnya terdiri atas :58
1. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk
memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur
hak),
2. Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat
kepada setiap individu (unsur manfaat).
Dengan unsur nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur
hak dan manfaat. Ditambahkan bahwa dalam diskurusus hukum, perihal realisasi
hukum itu terwujud lahiriyah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikat
moralnya. Jadi bisa di katakan bahwa keadilan pada hakikatnya harus
memberikan manfaat dan memiliki kedudukan serta hak yang sama dihadapan
hukum kepada setiap individu tanpa terkecuali didalam hukum. Melihat dari
58
E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tujuan Hukum
Kodrat dan Antinomi nilai), (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2007), h.100.
52
uraian mengenai terminologi keadilan di atas jelaslah bahwa untuk dapat melihat
adanya gambaran keadilan terdapat ukuran tersendiri yang dapat mengukurnya.
53
BAB III
EKSISTENSI MEDIASI PENAL DI BEBERAPA NEGARA
1. Mediasi Penal menurut peraturan Perundang-undangan
Mediasi penal dalam dimensi hukum Negara (ius konstitutum) sejatinya
memang belum banyak dikenal dan masih menyisahkan kontroversi, diantara
pihak-pihak yang sepakat dan tidak sepakat untuk diterapkan. Persoalan
esensialnya mengarah pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait
dengan domain superioritas Negara dengan superioritas masyarakat kearifan
lokal. Selain dimensi diatas, implikasi lain sebenarnya eksistensi mediasi penal
dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”.
Dikatakan demikian, disatu sisi oleh karena mediasi penal dalam
ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana, tetapi
dalam tataran dibawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui direksi
penegak hukum dan sifatnya persial.59
Namun menurut Barda Nawawi meskipun
perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan,
namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana
diluar pengadilan yaitu:60
59
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal, Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
(Bandung: P.T. Alumni, 2015), h.24.
60
Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara diluar Pengadilan ,
(Semarang: Pustaka Megister, 2008),h.44.
53
54
a. Pasal 82 KUHP yang berbunyi :
1. Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam
denda saja, menjadi hapus, kalau dengan sukarela
dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai atas kuasa
pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan
umum dalam waktu yang ditetapkan olehnya.
2. Jika disamping denda ditentukan perampasan, maka
barang yag dikenal perampasan harus diserahkan pula,
atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat
tersebut dalam ayat 1.
3. Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan,
pemberatan itu tetap berlaku sekalipun kewenangan
menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan
lebih dulu telah hapus berdasarkan ayat 1 dan ayat 2
pasal ini.
4. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi
orang yang belum cukup umur yang pada saat
melakukan perbuatan belum berumur 16 tahun.
Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau
“pembayaran denda damai”, atau Schikking sebagai suatu cara penyelesaian
perkara pidana di luar pengadilan (Afdoening Buiten Process).61
Berdasarkan materi Pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) tersebut diketahui bahwa penyelesaian di luar sidang pengadilan hanya
berlaku untuk pelanggaran tertentu yaitu pelanggaran yang semata-mata diancam
61
Sehari-hari Schikking diterjemahkan dengan denda koreksi, denda damai,
denda ganti. Schikking ini tidak berlaku jika tindak pidana tersebut dianggap kejahatan
lihat Leden Marpung, Tindak Pidana Penyelundupan Masalah Dan Pemecahannya,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991),h.21.
55
dengan hukuman denda dan tidak terhadap pelanggaran yang diancam dengan
hukuman selain denda adapun syarat-syaratnya adalah:62
a) Jenis tindak pidana adalah pelanggaran.
b) Pelanggaran atas tindak pidana ini oleh Undang-undang diancam
dengan sanksi denda.
c) Berlaku berkenan membayar denda maksimum dengan sukarela.
d) Jika penuntutan telah dimulai biaya-biaya perkara yang berkaitan
dengan pelaksanaan penuntutan dibebankan kepada pelaku.
e) Ancaman pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu jika
dirumuskan dalam aturan undang-undang dapat dilaksanakan oleh
penuntut umum atau dapat dikonversi kedalam sejumlah uang dengan
taksiran yang ditentukan oleh undang-undang.
f) Pelaksanaan penyelesaian perkara pidana melalui lembaga ini dapat
diperhitungkan sebagai pemberatan bila terjadi pengulangan atau
recidive.
Penyelesaian di luar sidang pengadilan merupakan suatu cara
pengguguran hak menuntut terhadap pelanggaran yaitu dengan cara membayar
hukuman denda yang tertinggi sebagai mana diancam terhadap pelanggaran itu.
Pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut memanglah
bukan mediasi penal seperti yang telah diuraikan diatas, hal mana juga
62
Eva Achjani Zulva, Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringanan,
dan Pemberat Pidana, (Bogor: Ghalia, 2010),h.37.
56
diungkapkan oleh Barda Nawawi jika Pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) tersebut belum menggambarkan secara tegas adanya
kemungkinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban
(terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang
merupakan “sarana pengalihan/diversi” (means of diversion)” untuk
dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun pasal 82 KUHP
merupakan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya
ganti rugi/ kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar
denda maksimum yang diancamkan.63
b. Dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Anak
yang selanjutnya disebut (UUSPA) merupakan satu-satunya Undang-undang
yang secara tegas mengatur ketentuan mediasi penal melalui konsep Diversi.
Istilah sistem peradilan anak digunakan secara tegas dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Anak yang selanjutnya disebut
(UUSPA) dimana pada Undang-undang sebelumnya hanya digunakan Undang-
undang tentang Peradilan Anak. Dalam menangani anak yang bermasalah dengan
Hukum (ABH) dalam UUSPA ini secara tegas menggunakan pendekatan
keadilan restoratif.64
Melalui konsep Restorative Justice, setiap tujuan
63
Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara diluar Pengadilan ,
(Semarang: Pustaka Megister, 2008),h.44.
64 Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan: “Sistem Peradilan
Pidana Anak Wajib menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif”
57
pemidanaan terhadap anak akan lebih mengedepankan pemulihan kerugian yang
dialami oleh korban maupun pelaku dibandingkan menjatuhkan pidana penjara
bagi pelaku anak.
Pada umumnya proses Restorative Justice dapat dilakukan melalui direksi
kepolisian atau diversi.65
Munculnya ide diversi bermula pada suatu pemikiran
tentang pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil
tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah
pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan
atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses peradilan pidana atau
mengembalikan/menyerahkan kepada orang tua, masyarakat dan bentuk-bentuk
kegiatan pelayanan sosial lainnya.
Melalui diversi, maka tidak setiap perkara pidana yang pelakunya adalah
anak secara otomatis langsung masuk dalam sistem peradilan pidana. Harus
diupayakan suatu penyelesaian konflik melalui forum yang disebut sebagai
mediasi penal. Beberapa pasal mengatur tentang mediasi penal sebagai upaya
mewujudkan Diversi seperti pasal 6 menyatakan Diversi bertujuan:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. Menyelesaikan perkara Anak diluar proses peradilan;
c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
65
Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tentang Rancangan Undang-
undang Pengadilan Anak, (Jakarta: BPHN, 2009),h. 15.
58
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Pasal 8
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan Anak dan orang tua/ walinya, korban dan/
orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan
pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan
keadilan restoratif.
Oleh karena Diversi dalam UUSPA wajib diterapkan dalam tigkatan
pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntut umum, dan di pengadilan maka
mediasi penal pada hakekatnya juga diterapkan pula dalam tiapan tahapan
pemeriksaan dalam peradilan anak.
Dikaji ditataran regulasi dibawah undang-undang yang bersifat persial
dan terbatas sifatnya, mediasi penal diatur dalam surat Kapolri No. Pol
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan
Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) serta peraturan kepala
kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman
Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri.
Pada dasarnya, peraturan tersebut mengatur tentang penanganan kasus
pidana melalui ADR dengan sifat materi kerugian kecil, disepakati para pihak,
dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat, dilakukan harus menghormati
norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan dan apabila dicapai melalui
ADR pelakunya tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.
59
Dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan
Kepastian Hukum kepada Debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau
tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya
berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Inpres ini ditunjukan
kepada beberapa Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan, antara lain Menteri
Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI dan Ketua Badan
Penyehatan Perbankan Nasional. Pada Dictum pertama angka 4 Inpres Nomor 8
Tahun 2002 disebutkan bahwa:
“dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan
Debitur dari aspek pidana yang terkait langsung
dengan program penyelesaian kewajiban pemegang
saham, yang masih dalam tahap penyelidikan,
penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak
hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses
penghentian penanganan aspek pidananya, yang
pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” 66
2. Praktik Mediasi Penal Di Beberapa Negara
A. MEDIASI PENAL DI BELANDA
Ketentuan Pasal 74 Sr Belanda tentang afdoening buiten process atau
mediasi penal telah mengalami perkembangan baik dalam rumusan, kualifikasi
tindak pidana maupun proses penerapannya. Dalam ketentuan Pasal 74 Sr
ditentukan bahwa penuntut umum sebelum memulai persidangan dapat
66
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal, Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
(Bandung: P.T. Alumni, 2015), h.25.
60
menetapkan sama atau lebih persyaratan yang dirumuskan dalam Pasal 82 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP Indonesia
(terutama disebutkan dalam bentuk pembayaran sejumlah uang tertentu) untuk
mencegah atau mengakhiri diteruskannya penuntutan pidana karena suatu
kejahatan. Adapun persyaratan atas kualifikasi tindak pidananya adalah
pelanggaran atau kejahatan yang diancam dengan pidana penjara maksimum 6
tahun. Dalam hal tindak pidana ringan, polisi pun diberikan kewenangan untuk
menjalankan mekanisme ini (Pasal 74c Sr). Mekanisme ini dikenal sebagai
transaktie. 67
)
Pada dasarnya, perkembangan kualifikasi tindak pidana ini mengalami
sejarah yang panjang dan beberapa kali perubahan. Perubahan pertama terjadi
dengan diberlakukannya Staatblad No. 833 tertanggal 5 Juni 1921 tentang
penyederhanaan cara penyidangan mengenai perkara-perkara pidana yang
sifatnya ringan. Kemudian, perubahan yang kedua terdapat dalam Staatblad No.
308 tertanggal 29 Juni 1925, bahwa ketentuan dalam pelaksaan Pasal 74 tentang
batalnya hak jasa melakukan penuntutan tidak hanya berkaitan dengan tindak
pidana yang diancam dengan denda saja tetapi juga tindak pidana itu diancam
dengan pidana kurungan. Namun, dalam hal ini posisi penuntut umum terhadap
permohonan penyelesaian di luar sidang menjadi berbeda.
67
Eva Achjani Zulva, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,
Makalah, Jakarta, 2011. h. 6-8
61
Menurut Simons:
Dalam hal ancaman
Pidana adalah denda
Penuntut umum tidak diperkenankan menolak bila
dengan sukarela pelaku mau membayarkan denda
maksimum dan melaksanakan persyaratan
sebagaimana ditentukan dalam aturan perundang-
undangan.
Dalam hal ancaman
Pidana adalah denda
Dan atau kurungan
a) Penuntut umum memiliki hak untuk
mengabulkan atau menolak.
b) Bila ia mengabulkan maka ia akan menentukan
syarat dibayarkannya sejumlah uang tertentu
sebagai pengganti kurungan yang besarnya
minimum 50 sen dan setinggi-tingginya sama
dengan jumlah denda maksimum.
c) Penuntut umum juga berwenang menentukan
jangka waktu pelaksanaannya dan tempat
dimana “transaktie” tersebut dilaksanakan.
d) Adapun bila sampai jangka waktu yang
ditentukan belum dapat dilunasi, hal ini hanya
dapat diperpanjang satu kali saja sesuai dengan
jangka waktu yang pertama
62
Simons juga menegaskan bahwa bila terjadi pengulangan atas tindak
pidana yang diselesaikan diluar pengadilan ini, berarti:
a) Terhadap tindak pidana yang baru dapat diperberat ancaman
pidananya (menjadi dasar recidive); dan
b) Terhadap tindak pidana yang pertama dapat dilakukan penuntutan,
sehingga penyelesaian dengan cara “transaktie” tersebut tidak
diperhitungkan sebagai ne bis in indem.
Perbedaan antara ketentuan staadblad tahun 1921 dan tahun 1925 adalah
terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam staatblad 1921,
ketentuan ini tidak berlaku bagi anak-anak dibawah umur, sementara dalam
staatblad 1925 bagi anak-anak yang belum mencapai umur 18 tahun, ketentuan
jumlah denda yang tertinggi adalah sebesar 90 rupiah.
Pada tahun 1983, ketentuan lembaga penyelesaian perkara diluar
pengadilan ini memperoleh perubahan melalui Wetvermogenssanties Belanda
(undang-undang tentang sanksi terhadap harta benda) yang mulai berlaku tanggal
1 Mei 1983. Adapun perubahan yang terjadi adalah :
1) Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk pelanggaran saja melainkan
juga bagi kejahatan-kejahatan yang ancaman pidananya maksimal
adalah penjara paling lama 6 tahun.
2) Karena hal ini merupakan hak tersangka, penuntut umum harus
menawarkan penyelesaian melalui mekanisme ini sebelum
mengajukan tuntutan ke Pengadilan. Dalma hal ini bila tawaran itu
63
tidak dilaksanakan oleh penuntut umum, tersangka dapat
mengajukannya kepada penuntut umum.
Mengenai syarat lainnya tetap mengacu kepada ketentuan yang ada dalam
Pasal 74a Sr. beberapa catatan yang dibuat Remmelink berkaitan dengan
perkembangan kualifikasi tindak pidana yang juga mencangkup kejahatan
adalah:68
a. Bahwa dari memori penjelasan KUHP (MvT) dapat terungkap bahwa aturan
transaksi terutama ditunjukan untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana
ringan yang banyak terjadi. Akan tetapi, batasan ini berdasarkan
perkembangannya harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Dalam
tindak pidana seperti pencurian (Pasal 362), pencurian dengan pemberatan
(Pasal 363), pencurian ringan (Pasal 364), atau penggelapan (Pasal 372
KUHP) kiranya menurut materi kehakiman Belanda dapat diselesaikan
melalui mekanisme ini.
b. Keuntungan dari perluasan demikian bagi terdakwa adalah terhindarnya ia
dari suatu pengalaman yang mungkin sangat menyakitkan, yaitu proses
pemeriksaan di muka umum di hadapan saksi saksi, saksi ahli, pengacara dan
hakim. Sebaliknya, bagi penuntut umum hal tersebut akan merupakan
penghematan waktu yang sangat penting sehingga kekuasaan kehakiman
dapat memberikan perhatian pada masalah-masalah yang lebih penting.
68
Eva Achjani Zulva, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,
Makalah, Jakarta, 2011. h. 9-12.
64
Adapun kekhawatiran adanya penyalahgunaan kewenangan ini ditanggapi
oleh Menteri Kehakiman Belanda dengan meyakinkan bahwa adanya publikasi
terhadap pedoman-pedoman umum tentang pelaksanaan kebijakan transaksi,
membuka kesempatan akan adanya keterbukaan atas informasi maupun
pemantauan masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Sehingga
diharapkan bahwa penegak hukum khususnya penuntut umum tidak
sembarangan dalam menggunakan kewenangannya terhadap lembaga ini, hanya
akan menggunakannya secara sangat berhati-hati dan dengan memerhatikan
prinsip kemampuan terpidana (untuk membayar jumlah denda atau pidana lain
yang dijatuhkan/draagkrachtbeginsel). Dalam hal ini, tersangka harus secara
bebas dan mandiri dapat mempertimbangkan baik-buruknya pilihan
menggunakan lembaga ini atau tidak dan tidak boleh dilakukannya tekanan
kepada mereka. Pertimbangan terakhir ini muncul pula dalam putusan
Mahkamah (untuk perlindungan) Hak Asasi Eropa tanggal 27 Februari 1980.
B. MEDIASI PENAL DI AUSTRIA
Pasal 90g KUHAP Austria menyatakan bahwa:
the Public Prosectur can divert a penal case from the
courts if the suspect is willing to acknowledge the deed
and prepared to deal with its causes, if the suspect is
prepared to undertake restitution for the possible
consequences of the deed in a suitable manner, in
particular by providing compensation for damage caused
or otherwise contributing to reparation for the
consequences of the deed, and if the suspect consents to
undertake any necessary obligations which indicate a
65
willingness to refrain in future from the type of behavior
which had led to the deed.
Berdasarkan ketentuan pasal ini, penuntut umum dapat mengalihkan
perkara pidana dari pengadilan apabila :
1. Terdakwa mau mengakui perbuatannya;
2. Terdakwa siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerugian
yang timbul; atau
3. Terdakwa siap memberikan kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat
dari perbuatannya; dan
4. Terdakwa setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang
menunjukan kemauannya untuk tidak mengulangi tindak pidananya.
Awal mediasi penal ditunjukan bagi perkara tindak pidana anak saja,
tetapi dalam perkembangannya mediasi penal juga dimungkinkan bagi orang
dewasa. Dalam undang-undang ini ditentukan kualifikasi tindak pidana yang
dapat digunakannya mediasi penal dalam penyelesaiannya yaitu ancaman pidana
penjara tidak lebih dari 5 tahun untuk dewasa dan 10 tahun untuk anak-anak.
Meskipun demikian, dalam perkara-perkara tertentu seperti dapat juga digunakan
untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence). Namun,
mediasi penal sebagai bentuk diversi tidak dimungkinkan diterapkannya, apabila
ada korban mati seperti dalam kasus manslaughter.69
69
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal, Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
(Bandung: P.T. Alumni, 2015), h.70-71.
66
C. MEDIASI PENAL DI BELGIA
Tujuan diberlakukannya “penal mediation” di Belgia utamanya adalah
untuk memberikan kemungkianan diberikannya ganti-rugi materiil dan tanggung
jawab moral kepada korban yang ditimbulkan karena adanya suatu tindak pidana.
Bagi pelaku, mediasi juga dapat dilakukan dengan tujuan agar ia melakukan
suatu terapi/ rehabilitasi atau melakukan kerja sosial (community service) sebagai
bentuk tanggung jawabnya.70
Hal ini diatur dalam the act on penal mediation yang diberlakukan pada
tahun 1994 bahwa pada saat diberlakukan disertai dengan pedomannya (the
guideline on penal mediation). Berdasarkan ketentuan ini, penuntut umum diberi
kebebasan yang lebih luas untuk memprioritaskan kepentingan korban. Apabila
pelaku tindak pidana berjanji untuk memberi kompensasi kepada korban,
kasusnya dapat diteruskan ke penuntutan.
Pada mulanya kewenangan penuntut umum untuk tidak meneruskan
penuntutan karena adanya pembayaran kompensasi hanya untuk delik yang
diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya ketentuan baru ini,
dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana maksimum 2 tahun
penjara. Ketentuan hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code of
Criminal Procedure 1994.
70 Eva Achjani Zulva, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,
Makalah, Jakarta, 2011. h.13.
67
- Dalam The Juvenile Penal Code 1923, lembaga restitusi digunakan sebagai
bentuk sanksi yang berdiri sendiri (an independent sanction) atau sanksi
yang diakumulasikan dengan jenis sanksi lainnya (combination with further
orders) atau sebagai sarana diversi. Dalam perkembangannya, lembaga ini
digunakan oleh petugas bagi penanganan perkara pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa, yang dalam tahun 1953 dipakai sebagai syarat khusus
dalam penjatuhan pidana bersyarat (probation). Sementara, pada tahun 1975
dipakai sebagai sarana diversi bagi jaksa dan hakim [§ 153(a) StPO]. i baru
pada tahun 1990, OVA (offender-victim arrangement) dimasukan ke dalam
hukum pidana anak secara umum (§ 10 I Nr. 7 JGG), dan dinyatakan sebagai
“ a means of diversion” (§ 45 II S. 2 JGG). Pada 12 Januari 1994,
ditambahkan Pasal 46a ke dalam StGB (KUHP). Pasal ini menetapkan,
apabila pelaku memberi ganti rugi/ kompensasi kepada korban secara penuh
atau sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras
untuk memberi ganti rugi, pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat
dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya dapat diberikan
apabila deliknya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau
360 unit denda harian.
- Penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi ini
dikenal dengan istilah Tater-Opfer-Ausgleich (TOA). Apabila TOA telah
dilakukan, penuntutan dihentikan (s. 153b stop/Stafro-
zessordenung/KUHAP).
68
D. MEDIASI PENAL DI INDONESIA
Di Indonesia, paradigma yang ditawarkan oleh keadilan restoratif sebagai
paradigma yang mewadahi mekanisme mediasi penal di Indonesia, dalam
praktiknya bukan merupakan hal baru. Praktik penyelesaian sengketa non
adversary atau di luar proses peradilan pidana, dalam kenyataanya sudah
diterapkan masyarakat sebagai cerminan dari lembaga musyawarah mufakat
yang menjadi bagian dari filosofis bangsa Indonesia. Realita menunjukan bahwa
penyelesaian suatu konflik di dalam masyarakat Indonesia, meskipun merupakan
suatu pelanggaran perundang-undangan pidana, tidak selalu berakhir di
pengadilan. Kasus-kasus ringan seperti kenakalan anak, pencurian ringan, bahkan
sampai pada penganiayaan dan perkosaan ternyata juga dapat diselesaikan
melalui lembaga musyawarah ini dengan atau tanpa melibatkan petugas terkait.
Salah satu bentuk dari konsep Restorative Justice adalah dengan
melakukan Mediasi Penal sebagai upaya menghadirkan peranan korban untuk
berpartisipasi dalam penyelesaian perkara pidana bersama-sama pelaku tindak
pidana sebagai pihak yang dirugikan, apalagi praktik dalam masyarakat untuk
menyelesaikan perkara pidana yang bermuatan perdata dengan Mediasi Penal
marak terjadi. Contoh:
- kasus kecelakaan dengan korban dua orang tewas dan lainnya mengalami luka
ringan yang melibatkan Rasyid Amrullah Rajasa (22), putra bungsu dari
Hatarajasa, kelalaian yang dialami terdakwa menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Terdakwa telah terbukti melakukan kesalahan atas pasal primer atau subsider.
69
Dalam sidang dengan agenda vonis, Suharjono kembali mengatakan, pihaknya
menggunakan teori pemidanaan Restorative Justice dalam memutuskan vonis
terhadap Rasyid.
Teori tersebut, dikatakan hakim, adalah perspektif hukum yang ikut
memasukan pertanggung jawaban terdakwa kepada korbannya sebagai bahan
pertimbangan. Tindakan keluarga dengan memberikan santunan maupun
pembiayaan perawatan dan penggantian kendaraan yang rusak sebagai bentuk
karakter pertanggung jawaban dan restitusi, rekonsiliasi, dan restorasi.71
- Kasus kecelakaan di Tol Jagorawi yang melibatkan Abdul Qodir Jaelani, putra
musisi Ahmad Dhani, yang menyebabkan enam orang korban meninggal dunia
dalam kecelakaan ini dan korban luka ada Sembilan orang. Dengan banyak
pertimbangan, majelis hakim memerintahkan agar agar terdakwa dikembalikan
ke orangtuanya. Sebelumnya JPU (Jaksa Penuntut Umum) 1 tahun penjara dan
masa percobaan 2 tahun penjara, namun majelis hakim merasa tidak sepaham
dengan dengan tuntutan JPU.
Penyelesaian secara Restorative Justice sudah terpenuhi antara keluarga
terdakwa dan korban terjalin. Keluarga korban juga tidak menginginkan kasus ini
dibawa keranah hukum.72
71
https://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/26/11124620/Akhir.Kisah.Kecelaka
an.Sang.Anak.Menteri diakses pada tanggal 30 Juni 2016.
https://simomot.com/2014/07/16/dul-divonis-bebas-atas-kasus-kecelakaan-maut-
di-tol-jagorawi diakses pada tanggal 30 Juni 2016
70
3. Praktik Mediasi di Kepolisian
Lembaga kepolisian merupakan ujung tombak dalam penegakan hukum
karena sebagai garda terdepan yang secara langsung berhadapan dengan tindak
pidana dan pelakunya. Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintah Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Dalam bidang penegakan hukum fungsi kepolisian meliputi fungsi
penyelidikan dan penyidik, yang dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang
Kepolisian disebutkan dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
71
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil untuk diserhkan kepada penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat
sebagai berikut :
a) Tidak bertentangan dengan suatu atauran hukum;
b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
c) Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e) Menghormati hak asasi manusia.
Sementara itu dalam Bab I tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, Pasal 1 angka 1
72
dinyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan oleh KUHAP diartikan sebagai
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Adapun fungsi penyidikan dan wewenang penyidik didalam KUHAP
diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 11. Fungsi penyidikan berakhir dengan
dilimpahkannya berkas hasil penyelidikan, tersangka dan barang bukti kepada
lembaga kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Menurut Pasal 102 ayat (2) dan
(3) KUHAP suatu perkara pidana dapat dihentikan apabila tidak terdapat cukup
bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana dan dihentikan
demi hukum.73
Penerapan tugas penyidikan aparat kepolisian dalam perjalanannya
mengalami perkembangan dan pergeseran penanganan terhadap tindak pidana
yang terjadi masyarakat. Hal ini Nampak Seiring Surat Kepala Kepolisian
73
Pasal 102 ayat 2 dan 3 KUHAP yang berbunyi :
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan
demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera
disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
73
Republik Indonesia Nomor. Pol: B/302/XII/2009/Sdeops tgl.14 Desember 2009
tentang Penanganan Kasus melalui ADR, yaitu terhadap tindak pidana dengan
kerugian kecil dan disepakati oleh para pihak yang berperkara, melalui prinsip
musyawarah mufakat, serta menghormati norma hukum sosial/adat dan
berasaskan keadilan bagi para pihak. Menurut Teddy Lesmana Surat Kapolri ini
dapat dikaitkan sebagai aturan pertama yang secara tegas mengatur masalah
mediasi penal meskipun secara persial dan terbatas sifatnya.74
Mediasi muncul sebagai salah satu pemikiran Alternatif dalam
pemecahan masalah sistem peradilan pidana. Hal ini berawal dari wacana
Restorative Justice yang berupaya untuk mengakomodir kepentingan korban dan
pelaku tindak pidana, serta mencari solusi yang lebih baik untuk kedua belah
pihak, mengatasi berbagai persoalan sistem peradilan pidana yang lain.
Mediasi dipilih oleh pihak penyidik karena dengan melakukan proses
mediasi tidak hanya dicari sebuah kepastian hukum tetapi juga dipaparkan fakta-
fakta sehingga yang didapat adalah suatu kebenaran dan kemanfaatan serta apa
yang akan diputuskan untuk menyelesaikan masalah kedua belah pihak dapat
dibicarakan tanpa ada tekanan, meskipun mediasi dalam tindak pidana sering
dilakukan dan hal dianggap sebagai suatu penyimpangan. Namun kenyataanya
bahwa masyarakat menginginkan suatu pemecahan masalah yang cepat dan biaya
murah dengan hasil yang memuaskan kedua belah pihak.
74
CSA Teddy Lesmana, Mediasi Penal dalam Perspektif Pembaharuan Sistem
Peradilan Pidana, www.scribd.com/doc.95030344/mediasi-penal-perspektif-
pembaharuan-sistem-peradilan-pidana-Indonesia. Diakses pada tanggal 27 Januari 2016
74
Penelitian terhadap penyelesaian pidana dengan menggunakan mediasi
yang diterapkan oleh penyidik pada kebanyakan diterapkan pada perkara pidana
yang terkait dalam lingkup keluarga seperti Kekerasan dalam Rumah Tangga
maupun perzinahan. Tetapi tidak terbatas pada perkara tersebut perkara lain
seperti penganiayaan, kekerasan yang dilakukan secara bersama bahkan penipuan
dapat diselesaikan dengan perdamaian. Tidak semua perkara pidana seperti yang
disebut diatas peran penyidik sebagai mediator tetapi adakalanya korban dan
pelaku maupun yang mewakili mereka yang mempunyai keinginan untuk
berdamai. Jika demikian halnya penyidik hanya memfasilitasi dengan
memberikan tempat dan waktu.75
Khusus untuk perkara kekerasan dalam rumah tangga berkecenderungan
pada penyelesaian secara damai juga diterapkan seperti terlihat dalam
penanganan perkara KDRT oleh penyidik polres Bukit Tinggi lebih
mengutamakan mediasi antara korban dan pelaku dan penyelesaian kasus secara
kekeluargaan dengan cara damai berdasarkan kewenangan diskrisioner
kepolisian, walaupun kasus-kasus tersebut bukan merupakan delik aduan.
Sedangkan terhadap kasus-kasus yang dilanjutkan proses hukumnya hal ini
dikarenakan tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk berdamai, sehingga
75
Rios Rahmanto, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2013, h.84.
75
secara hukum kasus-kasus yang dilaporkan tersebut akan dilanjutkan ke
kejaksaan.76
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga didapatkan pada wilayah Hukum
Kepolisian Resort Depok yang menerangkan bahwa penggunaan mediasi kerap
dilakukan terhadap kejahatan yang terutama melibatkan masa seperti perkelahian
kelompok ataupun antar warga yang akhir-akhir ini sering terjadi termasuk di
wilayah Hukum Depok. Selain itu mediasi juga sering digunakan untuk perkara-
perkara yang dianggap ringan seperti pencurian dengan jumlah kerugian yang
kecil, penipuan atau penggelapan. Penggunaan mediasi terkadang masih
dipersepsikan oleh masyarakat secara negatif apalagi hukum acara pidana tidak
mengenal atau mengaturnya, tetapi dengan adanya SK Kapolri Nomor:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tentang penggunaan mediasi dalam perkara tertentu
dan yang terbaru adalah STR Kapolda Metro Jaya Nomor;STR/2804/X/2012
tanggal 23 Oktober 2012 yang pada pokoknya agar terhadap tindak pidana yang
dianggap ringan agar diupayakan penyelesaiannya melalui apa yang disebut
Restorative Justice dengan menggunakan mediasi antara korban dan pelaku
76
Malkani, Artikel: Dilematis Pemeriksaan tersangka oleh Penyidik terhadap
Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Polres Bukit Tinggi, Program
Kerjasama Pasca Sarjana Universitas Andalas dengan Universitas Muhammadiyah
Sumatra Barat, 2012, h.13.
76
termasuk tokoh masyarakat. Apabila tercapai maka si korban disarankan agar
mencabut perkaranya sehingga perkara dihentikan penyidikannya.77
Kondisi ini bukan terjadi di wilayah Polda Metro Jaya tetapi di wilayah
Polda Bali yang berupaya menerapkan Mediasi Penal berdasarkan Surat Kapolri
Bali Nomor: STR/909/X/2012 dimana dalam pertimbangannya tertulis “ Konsep
Restorative Justice tersebut tetap mengupayakan adanya mediasi untuk damai
diantara pelapor dan terlapor agar tidak terjadi complain dikemudian hari dan
menyarankan kepada pelapor untuk mencabut Laporan/ Pengaduan.”
Dalam mediasi ini pihak korban dapat meminta ganti rugi ataupun
permintaan maaf jika tindak pidananya seperti pencemaran nama baik atau fitnah
bahkan penggabungan keduannya. Setelah tercapai kata sepakat maka pihak
dibuatkan surat perjanjian damai lalu penyidik akan membawa hasil kesepakatan
damai tersebut ke forum bedah kasus yang terdiri dari sejumlah pejabat penyidik
untuk menentukan apakah perkara tersebut tetap dilanjutkan atau akan
dihentikan.
Selain itu fakta penyelesaian konflik etnis dengan metode ADR juga
pernah dilakukan oleh Polsek Tanjung Duren Jakarta dengan mengedepankan
teknik negosiasi dan mediasi. Sebagaimana diungkapkan penelitian mahasiswa
PTIK yang pada umumnya berkesimpulkan bahwa pendekatan informal (mediasi
77
Rios Rahmanto, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2013, h.85.
77
antara pihak yang bertikai) cukup efektif dalam penyelesaian konflik yang
melanda bangsa Indonesia.78
4. Peraktek Mediasi di Kejaksaan
Dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Pasal 1 angka 1 Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 1 dan 2
mendefinisikan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim. Penuntutan menurut undang-undang Kejaksaan RI adalah penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum
Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
siding pengadilan.
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian
hukum, ketertiban hukum, keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan
78
Farouk Muhammad, Reformasi POLRI dalam konteks pembangunan Sistem
Peradilan Pidana dalam Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Komisi Yudisial, cet kedua, 2010),h.301.
78
juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain
turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewibawaan
pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Adapun tugas dan wewenang jaksa, dalam proses peradilan pidana
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 Undang-undang Kejaksaan RI sebagai
berikut :
1) Dibidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawas, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaanya dikordinasikan dengan penyidik.
Sementara itu wewenang penuntut umum berdasarkan Pasal 14 KUHAP
adalah sebagai berikut:
79
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan, penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik;
c. Memberikan perpanjang penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara di persidangan yang disertai surat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada siding
yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang.
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pada tingkat penuntutan juga
didapati mediasi sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Inisiatif untuk
80
melakukan perdamaian biasanya datang dari pihak pelaku atau korban, tetapi
dapat juga dilakukan oleh jaksa dengan cara memanggil saksi dan korban dengan
pelaku atau keluarganya. Mediasi yang pernah dilakukan khususnya dalam
perkara ringan yang antara pelaku dan korban mempunyai hubungan
persaudaraan, seperti dalam kasus pencurian, penggelapan dan penipuan, maupun
kasus tindak pidana karena kealpaan.79
Disini jika para pihak menyetujui, maka diadakan perdamaian dengan
disaksikan oleh jaksa. Dalam mediasi ini pihak korban dapat meminta ganti
kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila terjadi kesepakatan dari pihak
korban dan pelau untuk mengganti kerugian, kesepakatannya tidak
menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan
sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat sebagai
pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan tetap ditangan
hakim.
Mediasi penal disini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena itu
belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan
hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal. Jika pelaku tetap di pidana
akan tetapi untuk pidananya diperingan. Penghentian penuntutan hanya mungkin
dalam hal tindak pidana yang bersifat delik aduan setelah berhasil mencapai kata
79
Rios Rahmanto, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2013, h.87.
81
sepakat lalu disertai pencabutan pengaduan oleh pihak yang melakukan
pengaduan.
Kenyataan seperti itu juga diungkapkan dari suatu penelitian yang
menerangkan dalam kasus tindak pidana yang masuk ke dalam kategori “delik
biasa”, seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian seperti dalam Pasal
359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain), serta dalam
tindak pidana terhadap harta benda seperti Pasal 372 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP tentang penggelapan dan Pasal
378 tentang penipuan yang biasanya antara korban dan pelaku sudah saling
mengenal, maka dapat dilakukan mediasi dimana korban dapat meminta ganti
kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah dilakukan
pembayaran ganti kerugian kepada korban.
Namun demikian meskipun telah dilakukan kesepakatan mengganti
kerugian kepada korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tetap
dilakukan, dengan alasan kejaksaan bekerja berdasarkan aturan normatifnya,
selama belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi penal dalam
penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah dilakukan
pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah satu alasan
pertimbangan Jaksa Penuntut untuk memperingan maksimum tuntutannya.80
80
Umi Rozah, Membangun Kontruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai
Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, MMH Jilid 39 No. 3 Juli 2010, h. 261.
82
5. Praktik Mediasi di Pengadilan
Pengadilan mempunyai fungsi yang paling strategis dalam proses
peradilan pidana, oleh karena itu melalui hakimlah keputusan pidana jatuh
kepada terdakwa jika terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya. Adapun dasar bekerjanya fungsi pengadilan dalam
proses peradilah pidana diatur di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 1981
tentang KUHAP.
Pengadilan dikatakan juga adalah “tempat kedudukan keadilan” (the seat
of justice) bahkan dikatakan sebagai jaminan terakhir dalam sistem pemerintahan
dibawah hukum (ruled by the law) terhadap tirani eksekutif maka muncullah
slogan yang biasa dikenal “pengadilan sebagai benteng terakhir bagi pencari
keadilan”.81
Dalam pengadilan ada proses mengadili yang dilakukan oleh hakim.
Pada prinsipnya berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 48 tahun 2009 Hakim
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan ini berlaku untuk perkara
pidana ketika perkara pidana yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum ke
Pengadilan maka Hakim harus menjatuhkan putusan.
81
Mardjono Reksodiputro, Komisi Yudisial: Wewenang dalam rangka
menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga Perilaku Hakim di
Indonesia (membentuk kembali peradilan Indonesia-suatu pengamatan yuridis sosial),
(Bunga Rampai Refleksi Satu tahun Komisi Yudisial RI: Cetakan ketiga 2010),h.39.
83
Praktik mediasi dalam perkara pidana memang tidak ada aturannya
menurut hukum acara pidana maupun upaya hakim untuk mewujudkan
perdamaian antara pelaku/terdakwa dengan korban biasa dilakukan oleh hakim
ketika memeriksa dan mengadili perkara pidana, meskipun terbatas pada saran.
Atau dalam hal ini Hakim tidak bertindak sebagai mediator. Tetapi adakalanya
Hakim aktif berupaya mendamaikan para pihak (terdakwa dan korban) sehingga
hakim bertindak sebagai mediator dalam upaya memutus perkara pidana.
Adapun dasar mediasi penal bagi Hakim dalam perkara pidana dapat
terlihat pada Pasal 4 dan 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang
berbunyi :
Pasal 4
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang.
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 5
(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Makna mengadili menurut hukum, menurut Bagir Manan meliputi
diantaranya harus diartikan luas melebihi pengertian hukum tertulis dan tidak
tertulis.82
Demikian pula Pasal 5 ayat (1) kata nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat secara teoritis sering dikaitkan dengan
82
Bagir Manan, “Hakim dan Pemidanaan”, (Jakarta: Varia Peradilan Nomor.
249 Bulan Agustus 2006),h.17.
84
konsep Living Law yaitu aturan, nilai, norma, atau hukum yang hidup dalam
masyarakat, dalam konteks ini perdamaian adalah sebagai nilai-nilai yang hidup
di masyarakat dalam menyelesaikan sengketa melalui musyawarah,
perundingan atau mediasi baik berupa adat istiadat maupun praktek yang biasa
terjadi dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat berupa perdamaian tersebut,
merupakan hukum yang hidup sebab ia menjelma perasaan hukum yang nyata
dari masyarakat. Menurut Hermien Koeswadji, hukum yang hidup dari suatu
masyarakat merupakan sistem dalam arti yang sebenarnya, yaitu hukum dalam
proses nyata dan aktual.83
Berdasarkan ketentuan diatas kiranya Pasal 5 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dapat dijadikan landasan bagi Hakim
bertindak aktif sebagai seorang mediator dalam mewujudkan perdamaian dalam
menangani perkara pidana dengan harapan terpenuhinya rasa keadilan bagi
pihak terdakwa dan pelaku serta keluarga besar juga dapat diterima oleh
masyarakat umumnya.
Praktek peradilan pidana di Indonesia sendiri sebetulnya pada tahun 1978
pernah mengakui perdamaian di luar pengadilan sebagai dasar pertimbangan
Hakim dalam memutuskan perkara. Dalam Putusan PN Jakarta Utara-Timur
No. 46/PID/78/UT/Wanita pada Juni 1978, Bismar Siregar sebagai Hakim
Ketua Sidang dalam kasus Ny. Ella Dado atau lebih populer dengan “kasus Ny.
83
Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan macam-macam Pidana dalam
Rangka Pembangunan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995),h. 138.
85
Elda”, menjadikan perdamaian sebagai pertimbangan untuk menyatakan bahwa
tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan, yang oleh
karenanya terdakwa lepas dari tuduhan dan segala tuntutan hukum.
86
BAB IV
KONSEP MEDIASI PENAL SEBAGAI SARANA UNTUK RESTORATIVE
JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
1. Nilai-nilai Mediasi Penal dalam pembaharuan Hukum Pidana
Eksistensi mediasi penal dapat dikaji dalam perspektif filosofis,
sosiologis, dan yuridis. Pada perspektif filosofis, eksistensi mediasi penal
mengandung asas diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win) dan bukan
berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost)
sebagai mana ingin dicapai oleh peradilan dengan pencapaian keadilan formal
melalui proses hukum litigatif (law enforcement process). Melalui proses mediasi
penal, diperoleh puncak keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan para
pihak yang terlibat dalam perkara pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan
korban.
Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan mencapai
solusi serta alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara tersebut. Implikasi
dari pencapaian ini, pihak pelaku dan korban dapat mengajukan kompensasi yang
ditawarkan, disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga solusi
yang dicapai bersifat “menang-menang” (win-win). Selain itu, melalui mediasi
penal ini akan mempunyai implikasi bersifat positif bahwa secara filosofis
dicapainya peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan karena
86
87
pihak yang terlibat relatif lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan
dengan komponen sistem peradilan pidana.84
Dikaji dalam perspektif sosiologis, aspek ini berorientasi pada masyarakat
Indonesia yang akar budaya masyarakatnya berorientasi pada nilai budaya
kekeluargaan, mengedepankan asas musyawarah mufakat untuk menyelesaikan
suatu sengketa dalam suatu sistem sosial. Tegasnya, aspek dan dimensi tersebut
diselesaikan melalui dimensi kearifan lokal hukum adat. Melalui sejarah hukum
dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan merupakan
pencerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah kearifan lokal hukum adat.
Aspek dan dimensi ini identik dengan theory receptie dari Snouck Hurgronje.85
Untuk jangka masa yang cukup lama hukum adat ini sebagai suatu norma
hukum, bersama-sama dengan norma sosial lainnya dan norma agama Hindu,
memainkan perananya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.86
Konsekuensi
84
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
(Peberbit P.T. Alumni, Bandung, 2015), h. 6.
85 Theory Receptie dari Snouck Hurgronje pada pokoknya menyebutkan
hukum yang hidup dan berlaku dikalngan rakyat Indonesia (Bumi Putra) adalah hukum
adat. Teori ini menanggapi teori Receptio in Complexu dari L.W.C Van den Berg dan
Solomon Keyzer yang pada pokoknya menyebutkan adat istiadat dan hukum sesuatu
golongan (hukum) masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh
golongan masyarakat itu. Kemudian teori ini ditentang oleh Hazairin dengan teori
Receptio a Contario yang menyebutkan hukum adat adalah suatu ketentuan yang
berbeda dan tidak serta merta dapat diberlakukan dengan hukum Islam sehinnga
keduanya harus tetap terpisah dan ketentuan hukum agama bersifat mutlak dan hukum
adat baru dapat diberlakukan kalau tidak bertentangan dengan hukum agama Islam.
86
H.R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,
(Penerbit PT Alumni, Bandung, 2007), h.21.
88
logis sebagai alat pengendalian sosial maka kearifan lokal hukum adat lahir,
tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem sosial.
Kearifan lokal hukum adat sebagai suatu model sosial dari Talcott
Parsons titik beratnya pada fungsi integrasi. H.R. Otje Salman lebih lanjut
menyebutkan hukum di arahkan untuk mengakomondasikan keseluruhan sistem
sosial kemasyarakatan. Fingsi ini meliputi sistem kaidah (sistem norma) yang
bertugas untuk mengoreksi perilaku yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang
bersangkutan. Jadi, kaidah-kaidah itu dalam integrasi sosial menuntut prilaku
tertentu yang mewujudkan peranan-peranan tertentu. Dengan demikian, kaidah-
kaidah ini merupakan kerangka orientasi perilaku manusia (anggota sistem
kemasyarakatan).87
Kearifan lokal hukum Adat, menurut pandangan Soepomo diartikan
sebagai “suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang
nyata dari rakyat, serta hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.” Temuan Soepomo
tersebut bertitik tolak dari konsepsi pemikiran Friedrich Carl von Savigny
dengan mazhab sejarah dan kebudayaannya dari van Vollenhoven. Oleh karena
itu, hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan
dengan perkembangannya masyarakatnya. Dalam bahasa Friedrich Carl von
Savigny, hal tersebut disebut volksgeist (jiwa bangsa). Volksgeist berbeda-beda
87
H.R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,
(Penerbit PT Alumni, Bandung, 2007), h.45.
89
menurut tempat dan zaman yang dinyatakan dalam bahasa adat-istiadat dan
organisasi sosial rakyat.88
Hampir identik dengan pendapat tersebut, penggagas sosiologi hukum
(sociology of law) Eugene Ehrlich mengatakan bahwa, “The centre of gravity of
legal development lies not in legislation nor in juristic science, nor in judicial
decision, but in society it self”. Eugene Ehrlich mengganti term voksgeist
Savigny dengan term yang khusus dan lebih rasional yaitu fakta-fakta hukum
(Rechtstaatsachen/fact of law) dan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living
law of the people).89
Dimensi kearifan lokal hukum adat yang berlandaskan alam poloran
kosmis, magis dan religius ini berkorelasi dengan aspek sosiologis dari cara
pandang dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam praktik sosial pada masyarakat
Indonesia, lembaga mediasi penal sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi
antara lain pada masyarakat Papua, Aceh, Bali, Sumatera Barat dan hukum adat
Lampung. Pada masyarakat Papua misalnya, dikenal “budaya bakar batu”, sebagai
simbol budaya lokal, yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau perkara,
termasuk perkara pidana, melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni sosial.
Dengan demikian, proses pidana terhadap pelaku tindak pidana oleh aparatur
88
L.B. Curzon, Jurisprudence, (Macdonald & Evans Ltd, Playmouth,
1979).h.155-156.
89
Eugene Ehrlich, Fundamental Principles of the Sociology of law, (New
York,1939).h. 21.
90
negara dipandang tidak diperlukan lagi, karena justru di nilai akan merusak
kembali harmoni sosial yang sudah tercapai.
Selain itu, pada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh diterapkan dan
dikenal untuk penyelesaian perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan
Gampong atau Peradilan Damai.90
Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun
2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat Khususnya Pasal 13 menentukan:
“penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat isitiadat diselesaikan
secara bertahap”, kemudian disebutkan pula, bahwa “aparat penegak hukum
memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan terlebih dahulu secara adat
atau nama lain”. Begitu pula di Bali, melalui desa Adat Pakraman di terapkan
adanya awing-awing, yang merupakan dimensi lain identik dengan penyelesaian
perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal. Misalnya, dalam Pasal (Pawos)
66 awing-awing desa pakraman tanah Aron Kabupaten Karangasem disebut
bahwa, “yang berwenang menyelesaikan perkara di desa adalah prajuru desa
90
Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, di Aceh
penjabarannya dibuat ketentuan perundang-undangan dalam bentuk Qanun yang
berhubungan dengan hukum adat seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
pembinaan kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Acehh Nomor 10 Tahun 2008
tentang Lembaga Adat. Kemudian, selain dibuat Qanun Aceh (Qanun Tingkat Provinsi)
terdapat juga Qanun-qanun tingkat kabupaten/kota antara lain di dalam Qanun Kabupaten
Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Di Aceh, pengadilan
Adat yang dikenal dengan istilah Pengadilan Gampong atau Pengadilan Damai juga di
implementasikan dalam keputusan bersama seperti di Kabupaten Aceh Tengah adanya
Keputusan Bersama antara Bupati, Ketua DPRK dan Ketua MAA Kabupaten Aceh
Tengah Nomor. 373 Tahun 2008, No. 320/DPRK/2008, No. Poll. B/810/2008 Res Aceh
Tengah dan No. 110/MAA/V/2008.
91
sebagai hakim peradilan desa adalah kelihan banjar, kalau yang berperkara berasal
dari satu banjar dan bendesa kalau yang berperkara semuanya berasal dari satu
desa” (sane wenang mawosin mekadi mutusang wicara ring desa inggih punika
prajuru desa sinaggeh kerta desa; ha. Kelihan banjar, pradene sang mewicara
sane petunggalan banjar; na. Bendesa, sang mewicara sami-sami ring
petunggalan desa adat).
Kemudian, di Nusa Tenggara Barat (Lombok), khususnya pada
masyarakat suku Sasak dikenal cara penyelesaian masalah (perkara) melalui
musyawarah (Begunden) untuk mencapai perdamaian. Dalam kotaragama, angka
49 huruf b tentang Kebidjaksanaan atau Kedermawanan Radja, ditentukan bahwa:
“ini tjara orang tjerdik pandai berbitjara.
Dalam membitjarakan suatu masalah oleh diantara warga desa
(Negara), dijika tidak ada pendahuluan nasihat mengakibatkan
tidak baik, akan tetapi bila masalah diselesaikan melalui
perdamaian, kedua belah fihak akan merasakan manfaatnja.
Tjara inilah yang dikehendaki/diterima baik oleh radja karena
memang tjara demikian itu menjadi ketentuan jang dinamakan
keadilan”.91
)
Berdasarkan ketentuan di atas, Suku Sasak dalam menyelesaikan
perselisihan, pertama-tama hendaklah didahului dengan memberikan peringatan
atau nasihat, dan jika peringatan tidak diindahkan, diselesaikan melalui
musyawarah untuk mencapai perdamaian. Musyawarah (Begundem)
dilaksanakan oleh lembaga adat yang disebut Krama Adat sesuai tingkat dan
91
Kotaragama Sumber Adat Sasak Daerah Lombok, dalam Lilik Mulyadi,
Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peberbit P.T. Alumni,
Bandung, 2015), h. 11.
92
kompetensinya. Untuk tingkat lingkungan atau Dusun (Gubuk) dilaksanakan olej
Krama Gubuk terdiri atas Kepala Lingkungan (Kelian) selaku ketua adat di
lingkungan, tokoh agama (kiai gubug) dan pemuka-pemika masyarakat.
Sedangkan di tingkat Desa dilaksanakan oleh Krama Desa yang terdiri atas
Kepala Desa selaku Kepala Adat, Juru Tulis, Penghulu Desa, Pemuka
Masyarakat dan para Kelian.
Disamping itu, banyaknya perkara pidana yang ditangani oleh aparat
penegak hukum membuat semakin banyaknya jumlah tahanan yang akan
mengisi lembaga permasyarakatan dimasing-masing wilayah. Apalagi jika kita
lihat, banyak lembaga pemasyarakatan yang sudah melebihi kapasitas untuk
menampung para Narapidana (Napi). Seperti di Kantor Wilayah (Kanwil) DKI
Jakarta pada bulan Maret 2016 terjadi Over Kapasitas (Over Load) sebanyak
230% di Lapas Kelas 1 Cipinang. Dari kapasitas penampungan yang hanya
menampung sekitar 880 orang ternyata di isi oleh Tahanan dan Napi yang
berjumlah hingga 2,906 orang.
Jika di Total terjadi Over Kapasitas (Over Load) sebesar 176% di seluruh
lembaga permasyarakatan Kanwil DKI Jakarta yang seharusnya di isi dengan
Kapasitas 5,891 orang. Ternyata berbanding terbalik dengan Tahanan dan Napi
yang berjumlah 16,235 orang. Begitu pula di seluruh Kantor Wilayah (Kanwil)
Banten pada bulan Maret 2016 terjadi Over Kapasitas (Over Load) sebanyak
42%, dari kapasitas yang menampung 4,764 orang. Ternyata berisikan Tahanan
dan Napi yang berjumlah sebanyak 6,761 orang.
93
Maka secara keseluruhan dari 33 Kantor Wilayah seluruh Indonesia pada
bulan Maret 2016, hampir rata-rata setiap lembaga permasyarakatannya
mengalami Over Kapasitas (Over Load) sebanyak 53% dari total kapasitas
119,706 seluruh Kanwil di wilayah indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya
Tahanan dan Napi yang secara keseluruhan berjumlah 183,445 orang sehingga
menyebabkan terjadinya Over Kapasitas pada setiap lembaga
permasyarakatannya.92
Oleh karena itu, dengan mediasi penal dapat memberikan
dampak yang baik bagi sistem peradilan pidana di Indonesia terutama untuk
mengurangi berkas-berkas yang amat banyak dan menumpuk di Pengadilan serta
mengurangi Over Kapasitas (Over Load) pada setiap lembaga permasyarakatan
di seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) di Indonesia.
Kemudian, dikaji dari perspektif yuridis, mediasi penal dalam dimensi
hukum negara (ius constitutum) sejatinya memang belum banyak dikenal dan
masih meyisakan kontroversi, diantara pihak-pihak yang sepakat dan tidak
sepakat untuk diterapkan. Persoalan esensialnya mengarah pada pilihan pola
penyelesaian sengketa pidana, terkait dengan domain superioritas negara dengan
superioritas masyarakat kearifan lokal. Selain dimensi di atas, implikasi lain
sebenarnya eksistensi mediasi penal dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”.
Dikatakan demikian, disatu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan
92
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly diakses pada tanggal
26 Maret 2016.
94
undang-undang93
) tidak dkenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi
dalam tataran dibawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskrisi
penegak hukum dan sifatnya persial.
Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan
oleh masyarakat Indonesia dan penyekesaian tersebut dilakukan diluar
pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat. Ada beberapa fakta dan
argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini kenapa kajian terhadap
konsepsi mediasi penal tersebut diasumsikan eksistensinya antara “ada” dan
“tiada”.
Pertama, dikaji ditataran regulasi di bawah undang-undang yang bersifat
parsial dan terbatas sifatnya maka mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No
Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan
Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri.
93
Dalam Pasal 82 KUHP ditentukan bahwa, “kewenangan menuntut
pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja menjadi hapus, kalau dengan
sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau
penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan
umum dan dalam waktu yang telah ditetapkan olehnya”. Ketentuan ini dikenal dengan
istilah “Afkoop” atau “afdoening boiten process” yaitu pembayaran denda damai yang
merupakan salah satu alasan penghapusan penuntutan. ketentuan ini belum
mendeskripsikan secara tegas penyelesaian perkara melalui mediasi antara pelaku
dengan korban, tetapi hanya karena telah membayar denda kepada negara.
95
Pada dasarnya, peraturan tersebut mengatur tentang penanganan kasus
pidana melalui ADR dengan sifat kerugian materi kecil, disepakati para pihak,
dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat, dilakukan harus menghormati
norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan dan apabila dicapai melalui
ADR pelakunya tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.
Kedua, dalam Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan
Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini ditunjukan
kepada beberapa Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan, antara lain Menteri
Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI dan Ketua Badan
Penyehatan Perbankan Nasional. Pada dictum pertama angka 4 Inpres No. 8
Tahun 2002 disebutkan bahwa:
“dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek
pidana yang terkait langsung dengan program penyelesaian
kewajiban pemegang saham, yang masih dalam tahap
penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi
penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses
penghentian penanganan aspek pidananya, yang
pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Ketiga, praktik mediasi penal walaupun normatif tidak diatur oleh
undang-undang (hukum positif) akan tetapi praktiknya terjadi pada masyarakat
Indonesia. Praktik mediasi penal misalnya telah dilakukan melalui Sidang Adat
terhadap Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan oleh Majelis Adat Dayak
Nasional (MADN) yang diberi nama Persidangan Dayak Maniring Tuntang
96
Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dengan Tamrin di Betang
Nagnderang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada hari Sabtu, tanggal 22
Januari 2011.
Keempat, dikaji dari perspektif Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
mediasi penal melalui eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya,
sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644
K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 bahwa dalam ratio dicidendi putusan
disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala
dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat), berarti yang
bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa
dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan
dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara
menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang selanjutnyan
disebut (KUHP) (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga
dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di
Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
Verklaard).
Konklusi dasar dari yurisprudensi tersebut mengakui eksistensi peradilan
adat dengan adanya mediasi penal antara pelaku dengan korban, kemudian
penjatuhan “sanksi adat” tersebut dilakukan sebagai suatu pemulihan
keseimbangan antara pelaku dengan masyarakat adatnya sehingga adanya
97
keseimbangan antara alam kosmis dan non kosmis menjadi kembali seperti sedia
kala.
Kelima, praktik peradilan tingkat pertama terhadap mediasi penal dalam
bentuk lain sebagaimana terlihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta-
Timur Nomor: 46/Pid/78/UT/WAN tanggal 17 Juni 1978 bahwa dalam perkara
Ny. Ellya Dado, lazim disingkat sebagai “Kasus Ny. Elda”, adanya penyelesaian
secara “Perdamaian” sehingga perbuatan diantara para pihak tidak merupakan
suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat di hukum lagi, dan oleh karenanya
melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. Dalam dimensi lain, ternyata
pada saat kini ratio decidendi putusan tersebut juga dipergunakan oleh
Mahkamah Agung RI dalam mengadili perkara pada tingkat Peninjauan Kembali
Nomor: 107 PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007.
Selain itu, sebagai perbandingan, mediasi penal di tingkat internasional
telah lama dikenal. Dalam beberapa konferensi misalnya kongres PBB ke-9
tahun 1995 khususnya yang berkorelasi dengan manajemen peradilan pidana
(dokumen A/CONF 169/6) disebutkan perlunya semua Negara
mempertimbangkan “privatizing some law enforcement and justice functions”
dan “alternative dispute resolution/ADR) berupa mediasi, konsiliasi, restetusi
dan kompensasi dalam sistem peradilan pidana.
Kemudian, dalam konferensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana
(International Penal Reform Conference) tahun 1999 dikemukakan bahwa salah
satu unsur kunci dari agenda baru pemmbaharuan hukum pidana (the key
98
elements of a new agenda for penal reform) adalah perlunya memperkaya sistem
peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dengan standar-
standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with
informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights
standards) yang mengidentifikasikan Sembilan strategi pengembangan dalam
melakukan pembaharuan hukum pidana melalui pengembangan restorative
justice, alternative dispute resolution, informal justice, alternatives to custody,
alternative ways of dealing with juveniles, dealing with violent crime, reducing
the prison population, the proper management of prisons dan the role of civil in
penal reform.
Begitu pula, dalam kongres PBB ke-10 tahun 2000 (dokumen A/CONF.
187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan
kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan
peradilan restorative (restorative justice). Kemudian, sebagai tindak lanjut
pertemuan internasional tersebut mendorong munculnya dokumen internasional
yang berkorelasi dengan peradilan restoratif dan mediasi dalam perkara pidana
berupa the recommendation of the Council of Eure 1999 No. R (99) 19 tentang
“Mediation in Penal Metters”, berikutnya the Eli Framework Decision 2001
tentang “the standing of Victim in Criminal Proceedings” dan The UN
Principles 2002 (Resolusi Ecosoc 2002/12) tentang “basic Principles on the Use
Restorative Justice Programmes in Criminal Matters”. Kemudian, mediasi
99
penal ini juga dikenal dalam beberapa undang-undang pada Negara Austria,
Jerman, Belgia, Prancis dan Polandia.94
Dari beberapa ketentuan diberbagai Negara dapat disebutkan bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui dimensi mediasi penal
dimungkinkan dalam perkara pidana dan diberikan kerangka hukum (mediation
within the framework of criminal law).
2. Analisis Konsep Restorative Justice dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Hukuman selalu dikaitkan dengan keadilan dan hak asasi manusia ini
adalah dua konsep yang dinyatakan secara tidak langsung baik secara abstrak
94
Pasal 90 huruf g KUHAP Austria menentukan Penuntut Umum dapat
mengalihkan perkara dari pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya
dan siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau
memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan setuju melakukan setiap kewajiban yang
diperlukan yang menunjukan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya dimasa
yang akan datang. Pada Negara Belgia mediasi penal diatur dalam the Act on Penal
Mediation dan the Guidelin on Penal Mediation. Kemudian pada Negara Prancis
Mediasi Penal diatur Pasal 41 Code of Criminal Procedure disebutkan bahwa
Penuntut Umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan
pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang memperbaiki
kerugian yang diderita korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu memperbaiki
(merehabilitasi) si pelaku. Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru
dilakukan, namun apabila behasil penuntutan dihentikan (s. 41 dan s.412 Code of
Criminal Procedure).
Pada Negara Jerman pada s. 153b stop/Strafprozessordnung apabila kasus pidana
antara pelaku dan korban melalui kompensasi (Tater-Opter-Ausgleich (TOA) telah
dilakukan maka penuntutan dihentikan dan di Polandia diatur dalam Pasal 23a Code of
Criminal Procedure dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tantang
“mediation proceedings in criminal matters”. dalam Lilik Mulyadi, Mediasi Penal
Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peberbit P.T. Alumni, Bandung, 2015), h.
16.
100
“al, haq”, yang merupakan salah satu tujuan tertinggi dari hukum.95
Uqubah
atau hukuman dalam islam adalah sanksi hukuman yang telah ditentukan untuk
kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah syarak (Allah SWT dan
rasul-nya). Pada Hukum Islam hukuman terbagi atas beberapa bagian,
diantaranya berdasarkan berat-ringannya hukuman. 96
Pertama, jarimah hudud;
kedua, jarimah qishash dan diat; serta yang ketiga, jarimah ta’zir.
a) Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan
menjadi hak Allah SWT. Atau segala bentuk tindak pidana yang telah ditentukan
bentuk, jumlah, dan ukuran hukuman semata-mata. Artinya tindak pidana hudud
ini bersifat terbatas, jenis hukumannya telah ditentukan, dan ukuran hukumannya
pun tidak memiliki batas terendah maupun tertinggi. Bentuk-bentuk jarimah yang
termasuk kedalam hudud menurut ulama fiqih adalah: jarimah zina, jarimah
qadzaf, jarimah syurbul khamar, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah al-
bagyu.
b) Jarimah Qishash dan diat adalah tindak pidana yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap jiwa atau anggota tubuh seseorang, yaitu membunuh atau
melukai seseorang. Jarimah qishash dan diat merupakan hukuman yang
merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak
95
Majid Kadduri, Teologi Keadilan Menurut Islam, (Risalah Gusti: Surabaya,
1999), h. 345.
96
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih
Jinayah), (Sinar Grafika: Jakarta, 2004), h. 17.
101
memiliki batas minimal atau maksimal. Perbedaan dengan hukuman had adalah
bahwa had merupakan hak Allah, sedangkah qishash dan diat adalah hak
manusia (hak individu). Maksud dari hak individu dalam hal ini bahwa hukuman
tersebut bisa dimaafkan oleh korban atau keluarganya yang akan dijelaskan pada
point selanjutnya. Tindak pidana yang termasuk kedalam tindak pidana qishash
dan diat adalah: Pembunuhan disengaja, Pembunuhan yang menyerupai
disengaja, Pembunuhan tersalah, Pelukaan disengaja, Pelukaan tersalah.
c) Jarimah Ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara,
melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuan maupun pelaksanaannya.
Dalam menentukan hukuman tersebut penguasa hanya menetapkan hukuman
secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman
untuk masing-masih jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan
hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Tujuan
diberikannya hak penentuan jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa
adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan mengatur kepentingan-
kepentingannya.97
Pentingnya pembagian Pidana menjadi Hudud, Qishash, Diat, dan Ta’zir
karena beberapa hal yaitu, pertama dari segi pengampunan hukuman. Pada
tindak pidana hudud tidak ada pengampunan secara mutlak, baik dari korban
maupun dari penguasa tertinggi (Kepala Negara). Karena itu, pengampunan yang
97
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih
Jinayah), (Sinar Grafika: Jakarta, 2004), h. 19-20.
102
diberikan oleh salah satu dari keduanya akan sia-sia dan tidak berpengaruh, baik
terhadap tindak pidana yang diperbuat maupun terhadap hukuman tersebut.
Adapun pada tindak pidana qishash, pengampunan bisa diberikan oleh korban,
dalam hal ini, pengampunan yang diberikan mempunyai pengaruh, Karena itu
korban bisa memaafkan hukuman qishash untuk diganti dengan hukuman diat
sebagaimana juga bisa membebaskan pelaku dari hukuman diat.
Mengenai tindak pidana qishash, kepala Negara (penguasa tertinggi) tidak
boleh memberikan pengampunan karena pengampunan dalam tindak pidana ini
hanya dimiliki oleh korban dan walinya. Akan tetapi jika korban tidak cakap
(masih dibawah umur atau gila) dan korban tidak memiliki wali, maka kepala
Negara yang menjadi walinya. Dalam pidana ta’zir, pihak penguasa memiliki hak
untuk mengampuni pelaku tindak pidana dan hukumannya sekaligus, dengan
syarat tidak mengganggu hak pribadi korban. Korban juga bisa memberikan
dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak-hak pribadinya. Seorang hakim
mempunyai kekuasaan yang luas dalam tindak pidana ta’zir dalam
mempertimbangkan keadaan-keadaan yang meringankan serta peringanan
hukuman.
Kedua, segi kekuasaan hakim dalam pidana hudud apabila tindak pidana
ini sudah dapat dibuktikan. Hakim sudah harus melaksanakan hukuman yang
telah ditentukan, tanpa mengurangi, menambah, mengganti atau menunda
pelaksanaannya. Artinya, kekuasaanya dalam tindak pidana hudud hanya terbatas
pada pengucapan (penetapan) putusan hukuman yang telah ditentukan. Begitu
103
pula dalam tindak pidana qishash, kekuasaan hakim hanya terbatas pada
penjatuhan putusan yang telah ditetapkan apabila perbuatan yang dituduhkan
kepada pelaku telah dibuktikan. Apabila mendapatkan maaf dari korban maka
hakim harus menjatuhkan hukuman diat kepada pelaku. Adapun pada tindak
pidana ta’zir, hakim diberikan kekuasaan yang luas untuk menentukan jenis dan
ukuran hukumannya.98
1) Berdasarkan niat pelaku jarimah dibagi atas jarimah yang disengaja dan
jarimah yang tidak disengaja. Jarimah yang disengaja, yaitu secara nyata
terpidana bermaksud untuk melakukan tindak pidana tersebut dan terpidana
mengetahui bahwa perbuatan itu tidak boleh (dilarang) dilakukan dan
pelakunya diancam dengan hukuman. Contohnya: berniat untuk membunuh
orang lain dengan segala sesuatu yang telah direncanakan. Sedangkan,
jarimah yang tidak disengaja, yaitu terpidana tidak mempunyai niat sama
sekali untuk melakukan tindak pidana tersebut. Contohnya: seseorang
berniat untuk berburu namun karena salah dunga orang tersebut menembak
orang lain yang dikiranya hewan buruan.
98
Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’I Al-Islamiy Muqaranah Bil Qannunil
Wad’iy, (Jilid ke I, Penertbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit: PT.
Charisma Ilmu), h. 101-102.
104
2) Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah terbagi atas:99
al-jarimah
ijabiyah dan al-jarimah salabiyah. Al-jarimah ijabiyah (tindak pidana yang
bersifat positif), yaitu melakukan suatu perbuatan yang dilarang, seperti:
perampokan, perzinaan, dan pemukulan. Al-jarimah al-salabiyah (tindak
pidana yang bersifat negatif), berupa sikap tidak mau melakukan suatu
perbuatan yang diperintahkan, seperti: keengganan sanksi untuk
mengemukakan kesaksiannya atau keengganan seseorang membayar zakat.
3) Ditinjau dari segi objeknya jarimah terbagi atas: tindak pidana perorangan
dan tindak pidana masyarakat. Tindak pidana perorangan, yaitu tindak
pidana yang pensyariatan hukumannya untuk menjamin kemaslahatan
pribadi, meskipun menyangkut hak pribadi namun didalamnya terkait
kepentingan umum, contohnya: pembunuhan, pemukulan, dan jarimah ta’zir
yang termasuk hak individu. Tindak pidana masyarakat, yaitu tindak pidana
yang pensyariatan hukumannya dimaksudkan untuk memelihara
kemaslahatan dan ketertiban masyarakat, baik menjadi korban dalam tindak
pidana adalah pribadi, masyarakat, maupun stabilitas masyarakat dan
keamanan mereka.
4) Ditinjau dari segi tabiatnya, jarimah terbagi atas: tindak pidana biasa dan
tindak pidana politik. Tindak pidana biasa, yaitu tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik.
99
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van
Hoeve, 1999), h. 809.
105
Tindak pidana politik, menurut Muhammad Abu Zahra yaitu jarimah yang
merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat
pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah ditentukan oleh
pemerintah.100
Hukum pidana konvensional dalam menghukum seseorang dengan apa
yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang selanjutnya
disebut (KUHP) dengan berdasarkan dua jenis hukuman yang terbagi atas
hukuman pokok dan hukuman pengganti yang telah dijelaskan merupakan
konsep dari Restorative Justice yang berlaku di zaman modern dengan
penggantian denda, ganti rugi, kerja sosial, serta rehabilitasi. Hukum Islam pun
memiliki jenis hukuman yang mirip dengan konsep Restorative Justice pada
zaman hukum pidana modern. Pertama, hukuman pokok (al-uqubah al-
asliyyah), yaitu hukuman yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti
hukuman qishash bagi tindak pidana pembunuhan dan hukuman potongan tangan
bagi tindak pidana pencurian.
Kedua, hukuman pengganti (al-uqubah al-badaliyyah), yaitu hukuman
yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat
dilaksanakan karena alasan yang syar’i, seperti hukuman qishash yang berganti
dengan hukuman diat, layaknya hukuman penjara dengan menggunakan
hukuman denda dalam hukum pidana konvensional. Ketiga, hukuman tambahan
100
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih
Jinayah), (Sinar Grafika: Jakarta, 2004), h. 27.
106
(al-uqubah al-tabaiyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa
memerluka keputusan tersendiri. Contohnya: larang menerima warisan bagi
pembunuh. Larang menerima warisan ini adalah konsekuensi atas penjatuhan
hukuman mati terhadap pembunuh.
Keempat, hukuman pelengkap (takmiliyyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim.
Contohnya: mengalungkan tangan pencuri yang telah di potong kelehernya,
hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkan putusan
hukuman tersebut. Konsep hukuman secara umum, tradisi hukum pidana
berkembang dalam praktek setiap masyarakat yang mengenal struktur kekuasaan.
Praktek memberikan hukuman kepada setiap pelanggaran yang bersifat publik
terdapat dalam setiap masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
kenyataan bahwa di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.101
Dari gambaran bentuk-bentuk pidana dalam Hukum Islam dapat
disimpulkan bahwa konsep pemidanaan dalam tradisi Hukum Islam meliputi atas
jiwa anggota badan, atas harta, dan kemerdekaan. Dari keempat konsep pidana
tersebut adalah merupakan sanksi yang bersifat hukuman. Namun sebagai sanksi
hukum, keempat jenis pidana di atas tidak murni bersifat pidana seperti yang
dipahami dalam konsep Hukum Pidana Modern. Dalam tradisi Hukum Islam
101
Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang
Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqih dan Relevansinya Bagi Upaya
Pembaharuan Hukum KUHP Nasional, (Bandung: Angkasa, 1996),h. 53.
107
mengenai sanksi hukuman, terdapat dua keunikan. Pertama, konsep sanksi
hukum mempunyai kaitan dengan sanksi agama. Kedua, konsep sanksi hukum
itu sendiri mempunyai dua sifat sekaligus yaitu dalam pidana dan perdata.
Contohnya: pada hukuman qishash disini hak korban dalam menuntut sangat di
kedepankan namun dalam menjalankan hukuman tersebut harus mementingkan
kepentingan hak pelaku selaku pribadi yang ingin di qishash.
Berbagai tradisi hukum yang dikembangkan oleh Islam, bersifat ringan
dari praktek sebelumnya. Karena itu, dalam study filsafat Hukum Islam dikenal
adanya prinsip taqli al-takalif (meringankan beban). Adanya prinsip ini
didasarkan pada maksud dari QS. Al-Baqarah ayat (286) yang berbunyi:102
اوسعهااالا هااكسبتااماالاا يكلفااللهان فسااإل ا ااكتسبتاامااوعلي
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupan. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatannya) yang
dikerjakan.”
Dalam persoalan qishash dan diat menjadi disederhanakan kepada
terpidana. Konsep diat (denda) dalam tradisi Islam adalah denda yang harus
dibayar oleh terpidana kepada korban atau keluarganya sebagaimana yang
dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah ayat (178) yang berbunyi:
102
Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang
Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqih dan Relevansinya Bagi Upaya
Pembaharuan Hukum KUHP Nasional, (Bandung: Angkasa, 1996), h. 129.
108
لىا اوالن ثى اابالعبدااوالعبداابالرااالراا يااأي هااالذيناآمنوااكتباعليكماالقصاصافاالقت
لكاا ابإحسان ااإليهااوأداء اابالمعروفاافات باع ااشيء ااأخيهاامناالهااعفياافمناا ابالن ثى ا اذ
امناربكماورحة ا لكااب عداااعتدى اافمناا تفيف أليماعذاب ااف لهااذ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita, maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.
(QS. Al- Baqarah: 178)103
Diat merupakan uqubah maliyah (hukuman yang bersifat harta), yang
diserahkan kepada korban apabila ia masih hidup, atau kepada wali
(keluarganya) apabila ia sudah meninggal, bukan kepada pemerintah. Dasar
hukum untuk wajibnya hukuman diat ini terdapat dalam Al-Quran QS. An-Nisaa’
ayat 92 Allah berfirman:
قوا اأنايصد اأهلهاإل ومناق تلامؤمنااخطأاف تحريرارق بة امؤمنة اودية امسلمة اإل
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah,
(hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman
103
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h. 149.
109
serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya
(terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. (QS. An-Nisaa’: 92)
Menurut ayat ini, hukuman diat dikenakan kepada pelaku pembunuhan
karena kesalahan, namun disini kedudukannya sebagai hukuman poko. Adapun
penerapannya untuk pembunuhan sengaja merupakan hukuman pengganti yang
diperkuat oleh hadis Nabi. Dasar hukum dari hadis Nabi untuk wajibnya diat ini
adalah sebagai berikut:
Dari Abi Syuraih Al-Khuza’i ia berkata: telah bersabdah
Rasulullah saw: maka barang siapa yang salah seorang
anggota keluarganya menjadi korban pembunuhan setelah
ucapanku ini, keluarganya memiliki dua pilihan: adakalanya
memilih diat, atau memilih qishash (hukum bunuh). (hadis ini
dikeluarkan oleh Abu Daud dan Nasa’i).104
Upaya restoratif Hukum Islam dalam tindak pidana yang menyebabkan
kematian serta menderita cacat fisik adalah dengan melibatkan korban atau
dalam hal ini keluarga korban, pelaku, serta hakim sebagai representasi dari
masyarakat untuk proses mediasi dan eksekusi. Keluarga korban sebagai orang
yang terkena dampak secara langsung atas terjadinya suatu tindak pidana yang
menyebabkan kematian ataupun menyebabkan cacat fisik bagi korban yang tidak
meninggal, memiliki kewenangan untuk menentukan sanksi terhadap pelaku
berupa hukum potong tangan ataupun diat. Ataupun pemaafan tanpa diat
sekalipun. Pelaku dalam hal ini sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas
104
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h. 167.
110
kerugian yang telah ditimbulkan diharuskan memiliki kerelaan untuk
bertanggungjawab dengan memenuhi permintaan dari korban, hakim disini
sebagai repersentasi masyarakat dapat bertindak sebagai mediator dan pengawas
bahkan pelaksana eksekuusi jika dalam musyawarah tersebut korban
menginginkan dilaksanakan hukuman potong tangan.
Diat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok qishash yang
diharapkan mampu memulihkan kerugian yang dialami oleh keluarga korban
dengan terbunuhnya anggota keluarganya ataupun terjadinya cacat pada korban,
jika korban itu tidak meninggal. Konsep diat inilah yang kemudian menjadikan
Hukum Islam menjadi lebih dinamis dalam rangka memperoleh keadilan. Dalam
hukum konvensional konsep diat dalam Hukum Islam hampir sama dengan
restitusi atau denda. Restetusi adalah denda yang harus dibayarkan untuk
mengganti atas kerugian yang telah ditimbulkan.
Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat dan korban yang terasa tersisihkan dengan mekanisme yang
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Berjalannya proses
peradilan adalah untuk mencapai keadilan yang bukan hanya berhenti pada
pemberian sanksi pidana pada pelaku sebagai pembalasan atas kerusakan yang
dilakukan, akan tetapi proses peradilan mampu untuk memulihkan kerugian yang
dialami korban kepada posisi semula dimana kejahatan belum terjadi. Itulah yang
kemudian menjadi idaman masyarakat dunia saat ini yang merasa tidak puas
111
dengan sistem peradilan pidana yang ada karena tidak memberikan ruang bagi
korban untuk terlibat secara langsung dalam proses penyelesaian perkara
pidana.105
Konsep keadilan restoratif memiliki perbedaan mendasar dengan konsep
keadilan retrebutif yang menjiwai sistem peradilan pidana dimayoritas Negara.
Keadilan retrebutif memandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata atau
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana.
Fokus perhatian keadilan retrebutif yaitu kepada pelaku melalui pemberian
derita, dan kepada masyarakat melalui pemberian perlindungan dari kejahatan
berbeda dengan keadilan restoratif yang lebih menekankan kepada pemulihan
serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku, dan masyarakat terkait.
Konsep keadilan restoratif tidak akan terwujud tanpa adanya upaya
restoratif, upaya restoratif dapat dipahami sebagai upaya yang menggunakan
konsep keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu
kesepakatan dari antara para pihak yang terlibat. Kesepakatan ini merupakan
kesepakatan para pihak agar mencapai pemenuhan kebutuhan korban dan
masyarakat atas kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi. Hasil
kesepakatan tersebut dapat berbentuk sejumlah program seperti restitusi,
community service, rehabilitasi dan pidana alternatif lainnya.
105
Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan
Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri
Walisongo, 2012). h.71.
112
Berbeda dengan hukum pidana konvensional yang memandang tindak
pidana murni terlepas dari penyelesain yang bersifat perdata, Hukum Pidana
Islam memandang setiap tindak pidana didalamnya terdapat unsur keperdataan
antara korban dan pelaku yang mempengaruhi proses hukuman yang akan
diberikan kepada pelaku aturan ini lebih lanjut pada asas kepatrian hukum yang
senan tiasa berpijak pada asas aturan legalitas, aturan yang diundangkan dalam
hukum positif. Tidak jauh berbeda dengan Hukum Pidana Islam yang juga
berpijak pada asas legalitas yang aturannya berpatokan pada Al-Quran dan
Sunnah.106
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat pentingnya konsep keadilan
restoratif dalam sistem peradilan pidana konvensional maupun dalam hukum
pidana islam. Meskipun konsep keadilan restoratif saat ini hanya bisa digunakan
pada delik-delik pidana tertentu, akan tetapi pandangan hukum islam yang
memungkinkan adanya diversi dari kisas ke diat juga hukum potong tangan ke-
takzir diharapkan menjadi pijakan dalam penyelesaian perkara pidana untuk lebih
memperhatikan kepentingan korban dalam rangka pemulihan atas kerugian yang
diderita.
Diversi dalam keadilan restoratif melalui sistem peradilan pidana bisa
dilihat dalam tiga tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, dan purna-ajudikasi. Pada tahap
pra-ajudikasi pendekatan keadilan restoratif ditawarkan dalam fase awal proses
106
Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan
Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri
Walisongo, 2012). h.74.
113
peradilan pidana, kalau dalam peradilan pidana di Indonesia yaitu proses
peradilan pidana pada tahap kepolisian. Pada tahap ini, kepolisian bisa
menggunakan kewenangan diskresinya yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
melakukan diversi atau pengalihan proses pidana pada proses informal.
Diversi ini bisa berbentuk mediasi yang mempertemukan pihak pelaku
dan korban untuk bersama-sama menyelesaikan perkara pidana yang dihadapi,
sehingga perkara tidak perlu untuk dilanjutkan sampai ke kejaksaan. Saat ini
kewenangan diskresi kepolisian untuk melakukan diversi sangat jarang dilakukan
karena belum adanya payung hukum yang mengatur secara obyektif terkait
dengan kewenangan diskresi kepolisian untuk melakukan diversi sehingga proses
diversi yang dilakukan tidak berbenturan dengan asas kepastian hukum.
Tahap ajudikasi penerapan keadilan restoratif dapat berbentuk putusan
hakim yang mempertimbangkan aspek-aspek keadilan misalnya berupa
pembinaan terhadap pelaku tindak pidana sehingga pemidanaan tidak hanya
dipahami sebagai upaya untuk membalas suatu tindak pidana, akan tetapi sedapat
mungkin pemidanaan mampu untuk memulihkan kembali hubungan sosial yang
rusak akibat tindak pidana. Dalam hal ini dukungan legislasi dan kebijakan
pemerintah menjadi sangat penting dalam memberikan pembenaran kepada
hakim untuk melakukan diversi tanpa takut bertentangan dengan hukum.
Bila diversi didefinisikan sebagai pengalihan dari proses upaya pidana
kepada upaya lain sebelum persidangan, maka dalam hal ini diversi dimaknai
114
lebih luas, termasuk juga putusan hakim untuk mengalihkan jenis pemidanaan,
peringanan pidana atau penghapusan pidana. Melalui pendekatan restoratif
diversi tidak hanya dapat dilakukan oleh polisi tetapi juga oleh hakim di dalam
putusannya.
Sementara dalam tahap purna ajudikasi penerapan keadilan restoratif
yang digunakan bisa dalam bentuk pendampingan dari putusan yang dijatuhkan
oleh pengadilan. Pendampingan disini dapat berupa suatu program yang
mengupayakan pertemuan antara terpidana dan korban sehingga diharapkan
terpidana bisa menyadari kerusakan yang timbul atas perbuatan yang dia lakukan
dan korban dapat memberikan memaafan sehingga bagi terpidana tidak lagi
memiliki beban moral yang harapannya ketika kembali lagi ke masyarakat bisa
memulihkan hubungan sosial yang selama ini terstigma atas kejahatan yang
pernah pelaku lakukan.107
Tentunya masih jauh dari harapan jika melihat sistem peradilan pidana di
Indonesia pada saat ini, karena kurang memberikan tempat bagi korban dan
pelaku untuk melakukan musyawarah agar terjadinya suatu keadilan bagi pihak
pelaku dan korban dengan melakukan pendekatan keadilan restoratif. Dimana
salah satunya dengan menggunakan konsep mediasi penal untuk mencapai
mufakat dalam penyelesaian perkara pidana. Dengan mediasi penal dapat
107
Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan
Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri
Walisongo, 2012). h. 85.
115
memberikan dampak yang baik bagi sistem peradilan pidana terutama untuk
mengurangi berkas-berkas yang amat banyak dan menumpuk di Pengadilan serta
mengurangi Over Kapasitas (Over Load) pada setiap lembaga permasyarakatan
di seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) di Indonesia.
Berdasarkan analisis penulis perlu adanya suatu pembaharuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) dengan memasukan usur-unsur
keadilan restoratif dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Karena
didalam kasus pidana tidak hanya murni unsur pidana, tetapi ada unsur perdata
didalamnya sehingga yang harus diperhatikan adalah kepentingan hak-hak
korban. 108
Selain itu, melalui mediasi penal akan mempunyai implikasi bersifat
positif bahwa secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara cepat,
sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih sedikit
dibandingkan melalui proses peradilan dengan komponen Sistem Peradilan
Pidana.
108
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
(Peberbit P.T. Alumni, Bandung, 2015), h. 6.
116
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan dan uraian yang telah penulis kemukakan diatas, penulis
dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Restorative Justice menurut Hukum Islam, Hukum Islam memiliki jenis
hukuman yang mirip dengan konsep Restorative Justice pada hukum pidana
modern hal itu dapat dilihat dari.
Pertama, hukuman pokok (al-uqubah al-asliyyah), yaitu hukuman
yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukuman qishash bagi
tindak pidana pembunuhan dan hukuman potongan tangan bagi tindak
pidana pencurian.
Kedua, hukuman pengganti (al-uqubah al-badaliyyah), yaitu hukuman
yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat
dilaksanakan karena alasan yang syar’i, seperti hukuman qishash yang
berganti dengan hukuman diat, layaknya hukuman penjara dengan
menggunakan hukuman denda dalam hukum pidana konvensional.
Ketiga, hukuman tambahan (al-uqubah al-tabaiyyah), yaitu hukuman
yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerluka keputusan tersendiri.
Keempat, hukuman pelengkap (takmiliyyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim.
116
117
Dari keempat konsep pidana tersebut adalah merupakan sanksi yang
bersifat hukuman. Namun sebagai sanksi hukum, keempat jenis pidana di
atas tidak murni bersifat pidana seperti yang dipahami dalam konsep Hukum
Pidana Modern. Dalam tradisi Hukum Islam mengenai sanksi hukuman,
terdapat dua keunikan. Pertama, konsep sanksi hukum mempunyai kaitan
dengan sanksi agama. Kedua, konsep sanksi hukum itu sendiri mempunyai
dua sifat sekaligus yaitu dalam pidana dan perdata.
2. Konsep dan alasan diterapkannya mediasi penal sebagai sarana untuk
menerapkan nilai-nilai keadilan. dalam hukum Indonesia masih sering kita
dapati fakta bahwa keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata
mahal, berkepanjangan, melelahkan, dan tidak meyelesaikan masalah, serta
yang lebih parah lagi adalah di dalamnya penuh dengan praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme. Pada umumnya penyelesaian sengketa diluar
pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering
juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai direksi
aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian
atau mediasi.
Alasan dipergunakan mediasi penal dalam penyelesaian perkara
pidana yang bermuatan unsur perdata adalah karena ide dari mediasi penal
berkaitan dengan perlindungan hak-hak korban, ide harmonisasi, dan ide
Restorative Justice. melalui mediasi penal ini akan mempunyai implikasi
bersifat positif bahwa secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara
118
cepat, sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih
sedikit dibandingkan melalui proses peradilan dengan komponen sistem
peradilan pidana.
B. Saran
1. Melalui dimensi perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik maka
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia sudah waktunya apabila
penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal diatur secara
tegas dalam produk undang-undang, karena mediasi penal saat ini dilakukan
melalui diskresi penegak hukum sehingga untuk masa mendatang diperlukan
adanya pengaturan secara limitatif terhadap perkara-perkara yang dapat
dilakukan melalui mediasi penal sehingga tidak terjadi adanya
penyalahgunaan wewenang dari para pihak yang terlibat dalam Sistem
Peradilan Pidana.
2. Kepada lembaga Legislatif sebagai lembaga yang terkait dalam merevisi dan
membuat Undang-undang. Agar merevisi KUHP untuk memasukan Konsep
Mediasi Penal sebagai sarana untuk mencari keadilan, khususnya bagi
kepentingan korban dan pelaku. Dengan mediasi penal dapat memberikan
dampak yang baik untuk mengurangi berkas yang menumpuk di pengadilan
serta dengan mediasi penal dapat mengurangi jumlah over kapasitas pada
setiap lembaga permasyarakatan dimasing-masing kantor wilayah di
Indonesia.
119
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Ali, Mahrus, Menggugat Dominasi Hukum Negara Berdasarkan Perkara Carok
Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura, Yogyakarta: Rangkang
Indonesia, 2009.
Arifin, Zainal, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan
Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, Semarang: Institut Agama Islam
Negeri Walisongo, 2012.
Arief, Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan,
Semarang: Pustaka Megister, 2008.
Arief Mansur, Didik M, dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, Bandung: Rajawali Prees, 2009.
Asshidiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-
bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqih dan Relevansinya Bagi Upaya
Pembaharuan Hukum KUHP Nasional, Bandung: Angkasa, 1996.
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensionalisme, dan
Abolisionalisme, Bandung: Bina Cipta, 1996.
Audah, Abdul Qadir, At-Tasri Al-Jina’I Al-Islamiy Muqaranah Bil Qannunil Wad’iy,
Jilid ke I, Penertbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit: PT.
Charisma Ilmu.
Bahri, Syaiful, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Yogyakarta: Total Media,
2009.
Braithwaite, John, Restorative Justice & Responsive Regulation, New York: Oxford
University Press, 2002.
Boulle, Laurence, Mediation Principles, Process and practice, New York : Prince
Hall, 1996.
Consedine, Jim, Restorative Justice: Healing The Effect of Crime, Lyttelton:
Ploughshares Publication, 1955.
Curzon, L.B., Jurisprudence, Macdonald & Evans Ltd, Playmouth, 1979.
120
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve,
1999.
DS, Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice
di Pengadilan Anak Indonesia, Depok: Indie-Publishing, 2011.
Ehrlich, Eugene, Fundamental Principles of the Sociology of law, New York,1939. Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Bandung : Nuansa dan
Nusamedia, 2004.
Hanitijo, Ronny, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Semarang : Universitas
Diponogoro, 1998.
Ibrahim, Johnny, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publising, 2007.
Kadduri, Majid, Teologi Keadilan Menurut Islam, Risalah Gusti: Surabaya, 1999.
Koeswadji, Hermien Hadiati, Perkembangan macam-macam Pidana dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Mansyur, Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara Pidana KDRT (Kekerasan
Dalam Rumah Tngga), Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010.
Marpung, Leden, Tindak Pidana Penyelundupan Masalah Dan Pemecahannya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
M. Manulang, E. Fernando, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tujuan Hukum Kodrat
dan Antinomi nilai), Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2007.
Muhammad, Farouk, Reformasi POLRI dalam konteks pembangunan Sistem
Peradilan Pidana dalam Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum di
Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial, cet kedua, 2010.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih Jinayah),
Sinar Grafika: Jakarta, 2004.
“Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponogoro, 1995.
121
Mulyadi, Lilik, Mediasi Penal, Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung:
P.T. Alumni, 2015.
Prasetyo, Tegus dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, cet 1,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Rawls, John, A Teory of Justice (Resived Edition), USA: Harvard University Press,
1971.
Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Penerbit Buku
Kompas.
Reksodiputro, Mardjono, Komisi Yudisial: Wewenang dalam rangka menegakan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga Perilaku Hakim di
Indonesia (membentuk kembali peradilan Indonesia-suatu pengamatan yuridis
sosial), Bunga Rampai Refleksi Satu tahun Komisi Yudisial RI: Cetakan ketiga
2010.
Salman, H.R. Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Penerbit
PT Alumni, Bandung, 2007.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006.
Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan
singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Sholehudin, Umar, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi
Hukum, Malang : Setara Press, 2011.
Stephenson, Martin, Giller, Hendry dan Sally Brown, Effective Pratice in Youth
Justice, Portland: Willian Publishing, 2007.
Syah, Ismail Muhammad, et al, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara dan
Departemen Agama RI, 1998.
Wahid, Eriyantouw, Keadilan Restorative Justice dan Peradilan Konvensional
Dalam Hukum Pidana, Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2009.
Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung
2011. Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringanan, dan
Pemberat Pidana, Bogor: Ghalia, 2010.
122
MAKALAH :
Arif, Barda Nawawi, Makalah “Aspek kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian
Sengketa di luar Pengadilan” yang disajikan dalam Seminar Nasional
“Pertanggung Jawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate
Governance”, Program Doctor Ilmu Hukum UNDIP, di Inter Continental Hotel,
Jakarta 27 Maret 2007.
Jaya, Surya, “Keadilan Restoratif tuntutan dan kebutuhan dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Ikahi tanggal 25 April
2012 di Jakarta
Rozah, Umi, Membangun Kontruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Pidana, MMH Jilid 39 No. 3 Juli 2010
Weinstein, Jack B, Same Benefit and Risks of Privatization of Justice Though ADR,
Artikel pada Ohio State Journal on Dispute Resolution , 1996
Widnyana, I Made, Alternative Penyelesaian Sengketa, (ADR), (Jakarta : Indonesia Businis
Law Centre (IBLC), 2007)
Zulva, Eva Achjani, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,
Makalah, Jakarta, 2011.
TESIS/DISERTASI :
Agus Mahendra Iswara, I Made, “Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative
Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali”, Tesis, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013
Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana,
Disertasi dalam memperoleh Gelar Doctor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 2001
Rahmanto, Rios, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana,
Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2013
Wicaksono, R. Budi, community Policing dan Restorative justice sebagai paradigma
Baru dalam Resolusi Konflik, Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Kriminologi Program Pasca Sarjana Universitas Indonesi, Depok,
2008.
123
Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif di Indonesia (studi tentang Kemungkinan
Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum
Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, juni 2009.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik
Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Indonesia, Menteri Hukum dan Ham
Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Pada
Tanggal 22 Desember 2009.
Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tentang Rancangan Undang-undang
Pengadilan Anak, (Jakarta: BPHN, 2009)
UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
JURNAL:
Malkani, Artikel: Dilematis Pemeriksaan tersangka oleh Penyidik terhadap Tindak
Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Polres Bukit Tinggi, Program
Kerjasama Pasca Sarjana Universitas Andalas dengan Universitas
Muhammadiyah Sumatra Barat, 2012.
Manan, Bagir, “Hakim dan Pemidanaan”, Jakarta: Varia Peradilan Nomor. 249
Bulan Agustus 2006.
Pekuali, Umbu Lily, Memposisikan Hukum Sebagai Penyeimbang Kepentingan Masyarakat,
Jurnal Pro Justitia, Vol.26 (4) Oktober 2008.
Daly, Kathleen dan Russ Immarigeon, The Past, Present, and Future of Restorative
Justice : Some Critical Reflection, dalam Contemporary Justice Review, 1 (I),
1998.
Dwisvimiar, Inge, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum,; jurnal dinamika
hukum, Vol 11, No. 3 Seftember 2011.
124
INTERNET:
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly
Lesmana, CSA Teddy, Mediasi Penal dalam Perspektif Pembaharuan Sistem
Peradilan Pidana, www.scribd.com/doc.95030344/mediasi-penal-perspektif-
pembaharuan-sistem-peradilan-pidana-Indonesia.
Trankle, Stefanie, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-
Offender Media-tion –a Microsociological Study of a Paradoxial Procedure
Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France,
http://www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_e.html.
http://arsip.batampos.co.id/13-12-2014/manfaatkan-restorative-justice-dalam-penegakan-
hukum-di-batam/ diakses pada tanggal 1 Maret 2016.
United Nation, Basic Principles on the use of restorative justice programmes in criminal
matters, ECOSOC Res 2000/14. U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add2 at 35 (2000).
(www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%
2520criminal%
https://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/26/11124620/Akhir.Kisah.Kecelakaan.Sang.A
nak.Menteri
https://simomot.com/2014/07/16/dul-divonis-bebas-atas-kasus-kecelakaan-maut-di-tol-
jagorawi
LAMPIRAN