oleh : helmi arisandi nim :...

143
KONSEPMEDIASI PENAL UNTUK RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ( PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF ) SKRIPSI Skripsi ini ditujukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/ 1437 H

Upload: vuongthien

Post on 28-Apr-2019

226 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

KONSEPMEDIASI PENAL UNTUK RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

( PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF )

SKRIPSI

Skripsi ini ditujukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy)

Oleh :

HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016 M/ 1437 H

Page 2: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal
Page 3: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal
Page 4: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal
Page 5: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

ii

Transliterasi dan Singkatan

A. Transliterasi

1. Konsonan:

f = ف z = ز b = ب

q = ق s = س t = ت

k = ك sy = ش s = ث

l = ل sh = ص j = ج

m = م d = ض h = ح

ط kh = خ = th ن = n

w = و zh = ظ d = د

h = ه ‘ = ع z = ذ

y = ي gh = غ r = ر

Hamzah ( ء ) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa

diberi tanda apa pun, sedang jika terletak di tengah atau akhir kata

ditulis dengan tanda: ( ‘ ). Ada pun alif ( ا ) selalu ditulis menurut

vokalnya, kecuali alif dengan maddat (panjang) dan alif maqsûrat

ditulis (â).

2. Vokal dan Diftong:

Vokal atau bunyi (a), (i) dan (u) ditulis dengan ketentuan sebagai

berikut:

Pendek panjang

fathat a â

kasrat i î

dammat u û

Diftong yang sering dijumpai dalam transliterasi ialah (ay) dan (aw),

misalnya, ghayb dan lawh.

3. Kata sandang (al) ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika terletak pada

permulaan kalimat , awal nama diri, tempat dan judul buku.

Page 6: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

iii

4. Ta”marbûthat ( ة ) pada umumnya ditulis dengan (t), kecuali akhir

nama diri dan tempat ditulis dengan (h).

5. Kata atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata atau kalimat

arab yang belum sama sekali menjadi bagian dari perbendaharaan

bahasa Indonesia.

Adapun kata-kata dan kalimat-kalimat yang sudah menjadi bagian dari

bahasa Indonesia, atau sudah terlalu sering ditulis dalam tulisan bahasa

Indonesia, tidak ditulis menurut cara transliterasi di atas, kecuali jika

merupakan bagian dari teks yang harus ditransliterasi secara utuh.

B. Singkatan

AS = ‘Alayh al-Salam ( علیھ السال م )

H. = tahun Hijrah

h. = halaman

M. = tahun Masehi

Q. = al-Quran

S: = Sûrat ( سورة ), bagian dari al-Quran

SWT. = Subhânah wa ta’âlâ ( سبحا نھ و تعا لي )

SAW. = Shallâ Allah ‘alayh wa sallam

T. pn. = Tanpa penerbit

T. tp. = Tanpa tempat penerbit

t.t = tanpa tahun penerbit

w. = tahun wafat

H.R. = Hadist Riwayat

r.a. = radiya Allâh ‘anh

C. Daftar istilah Arab disusun menurut urutan abjad latin, tidak menurut

urutan huruf hijâiyat (aksara Arab). Dua istilah atau lebih, yang berasal

dari satu akar kata, tidak mesti ditulis berurutan menurut tashrif-nya,

misalnya kata nâsikh dan mansûkh. Kata nâsikh ditempatkan pada urutan

huruf (N) sedang kata mansûkh ditempatkan pada urutan huruf (M). Daftar

istilah Arab ini ditempatkan pada bagian akhir buku ini.

Page 7: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

iv

ABSTRAK

Helmi Arisandi. 1111043200034. Konsep Mediasi Penal Untuk Restorative

Justice Dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Perspektif Hukum Pidana Islam

Dan Hukum Positif). Konsentrasi Perbandingan Hukum Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016, iv + 118 + 5

Lampiran.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis

normatif yang terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan

pendekatan komperatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Data primer diperoleh dari

undang-undang, peraturan mahkamah agung, serta surat kepala kepolisian. Dan data

skunder diperoleh dari buku-buku hukum yang ditulis oleh para ahli hukum yang

berkaitan dengan objek penelitian.

Dalam perkembangan hukum pidana dikenal Keadilan Restoratif yaitu

keadilan yang berorientasi pada pemulihan keadaan semula (restorasi) dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak lain yang terkait. Pada

umumnya penyelesaian suatu perkara pidana menggunakan mekanisme peradilan

formal (sistem peradilan pidana) memakan waktu yang sangat lama karana dalam

suatu tindak pidana tidak hanya murni pidana, tetapi ada unsur perdata sehingga yang

harus diperhatikan adalah kepentingan hak-hak korban. Salah satu bentuk Keadilan

Restoratif adalah dengan menggunakan mekanisme mediasi. Melalui proses mediasi

penal diperoleh puncak keadilan tertinggi karna terjadinya kesepakatan antara para

pihak yang terlibat. Selain itu, melalui mediasi penal mempunyai implikasi bersifat

positif bahwa secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara cepat, sederhana,

dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih sedikit.

Islam ternyata jauh lebih dahulu telah mengenal konsep yang mirip seperti

Restoratif Justice sebelum cara berfikir hukum pidana modern. Islam telah

mengedepankan hak-hak korban tindak pidana dalam bentuk diat. Dalam hukum

Islam masalah kejahatan menyangkut jiwa manusia selain menyangkut masalah

publik juga mengandung adanya masalah perdata. Adanya unsur keperdataan

membawa konsekuensi bahwa pengenaan hukumannya diserahkan kepada ahli waris

(keluarga korban), dengan demikian keluarga korban dapat memilih bentuk hukuman

apakah dengan Qishash ataukah Diat.

Kata kunci: Restorative Justice, Mediasi Penal, Hukum Islam

Pembimbing: Dr. H. Nahrowi, S.H.,M.H dan Indra Rahmatullah, SH.I.,M.H

Page 8: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT sang kreator Alam Semesta, yang telah

memperlihatkan kepada kita Dien al-Haq dan telah menurunkan kitab al-Quran yang

menjelaskan dan mensyariatkan hukum-hukum kepada kita. Serta atas rahmat dan

ridho-Nya lah penulis dapat penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan

tepat pada waktunya.

Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada ke haribaan baginda Nabi

besar Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Mudah-mudahan kita termasuk ke dalam golongan pengikutnya yang mendapatkan

syafaat di yaumil mahsyar kelak. Aamiin.

Penulis berasa berhutang sekali kepada semua pihak yang selama ini yang telah

membantu baik secara langsung maupun dorongan moral yang tak ternilai harganya

dengan sesuatu apapun dan sampai kapan pun. Semoga suatu saat nanti penulis dapat

membalasnya dengan sesuatu yang pantas. Sehingga rasa terima kasih penulis

sampaikan pada:

1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak (Abah) Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., sebagai Ketua Program Studi

Perbandingan Madzhab dan Hukum, dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, M.A,

sebagai Sekertaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum;

3. Bapak Dr. H. Nahrowi, S.H,.M.H dan Bapak Indra Rahmatullah, SH.I.,M.H

selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya selama penulis

menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan

hati, dan nasihat-nasihat berharga yang telah bapak berikan;

Page 9: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

vi

4. Bapak Drs. Noryamin Aini, MA selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah

meluangkan waktunya selama penyusunan Proposal Skripsi. Terimakasih atas

bimbingan, kesabaran, serta nasihat-nasihat yang membangkitkan semangat

dalam diri ini;

5. Pimpinan beserta seluruh staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan

fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk mengadakan studi

perpustakaan;

6. Keluargaku tercinta, terkhusus untuk kedua orang tua serta guru di dalam hidup

saya Bapak Edi Rosadi dan Ibu Mayaroh yang tak pernah putus dan hentinya

untuk mendoakan saya dalam menjalankan hidup di dunia sampai saat ini.

kakakku, Yasin Andriyansyah, SE dan Adiku Anisa Rohayni. Terima kasih

untuk doa yang selalu kalian selipkan didalam sholat untuk saya, kasih sayang

dan dukungan dari kalian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan kepada kalian;

7. Terimakasih untuk wanita yang bernama Ita Sudiyanti sebagai teman berkeluh-

kesah, terimakasih engkau telah memberikakku semangat, doa, pengorbanan,

serta masukan-masukan kepada penulis.

8. Seluruh sahabat-sahabat KKN MENTARI yang tak bisa penulis sebutkan satu

persatu namun tak mengurangi rasa ta’zim saya sebagai penulis. Terima kasih

atas ilmu, masukan, dan pengalaman yang kalian berikan, semoga dapat

bermanfaat bagi penulis dalam mengukir masa depan kelak;

9. Sahabat-sahabat terbaikku dikelas Perbandingan Hukum Choirul Ardinata,

Bambang Utomo, Ibnu Mubaidillah, Adnan Chaidar, Abdul Aziz, Bayu

Baskoro, M. Iqbal Farhan, Farah, Imah dan sahabat-sahabatku di Prodi

Perbandingan Madzhab dan Hukum angkatan 2011, khususnya Keluarga Besar

PH 11. Dan terima kasih juga saya sampaikan buat saudara Ahmad Izzul Fuad,

Fahri Kenzi, Abib Bahrul, Ardi Widjaya, serta keluarga besar KNZT (Kawasaki

Ninja Zona Tangerang) yang telah membagi waktunya untuk membimbing

Page 10: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

vii

penulis dalam menyelesaikan skripsi. Semoga Allah senantiasa melindungimu

dimana pun kamu berada;

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian

skripsi ini, penulis panjatkan beribu-ribu terima kasih dan semoga Allah SWT

membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan.

Robbana laa tuzigh quluubana ba’da idz/hadaitanaa wahab/lana min/ladunka

rahmatan innaka antaal-wahhaab. Aamiin.

Jakarta, 14 Juli 2016.

Penulis

Page 11: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i

TRANSLITERASI DAN SINGKATAN……………………………………... ii

ABSTRAK ........................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ......................................................................................... v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii

BAB I : PENDAHULUAN............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................... 9

C. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 12

E. Review Studi Terdahulu .............................................................. 13

F. Metode Penelitian........................................................................ 15

G. Sistematika Penulisan ................................................................. 20

BAB II : MEDIASI PENAL SEBAGAI SISTEM PENERAPAN KEADILAN

DALAM HUKUM POSITIF MAUPUN PRAKTIK PERADILAN

MEDIASI PENAL ......................................................................... 22

A. Pengertian Mediasi Penal ........................................................... 22

Page 12: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

ix

B. Bentuk-bentuk Mediasi Penal ..................................................... 29

C. Restorative Justice ...................................................................... 31

D. Pengertian Restorative Justice .................................................... 31

E. Nilai Dasar Restorative Justice ................................................... 35

F. Bentuk-bentuk Restorative Justice .............................................. 40

G. Tujuan Restorative Justice .......................................................... 44

H. Tori Tentang Keadilan ................................................................ 45

BAB III : EKSIS TENSI MEDIASI PENAL DI BEBERAPA NEGARA

......................................................................................................... 53

A. Mediasi Penal Menurut Peraturan Perundang-undangan ............ 53

B. Mediasi Penal di Belanda ............................................................ 59

C. Mediasi Penal di Austria ............................................................. 64

D. Mediasi penal di Belgia ............................................................... 66

E. Mediasi Penal di Indonesia ......................................................... 68

F. Praktik Mediasi di Kepolisian ..................................................... 70

G. Praktik Mediasi di Kejaksaan ..................................................... 77

H. Praktik Mediasi di Pengadilan .................................................... 82

Page 13: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

x

BAB IV : KONSEP MEDIASI PENAL SEBAGAI SARANA UNTUK

RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA

PIDANA ............................................................................................ 86

A. Nilai-nilai Mediasi Penal dalam Pembaharuan Hukum Pidana .. 86

B. Analisis Konsep Restorative Justice dalam Hukum Islam dan Hukum

Positif .......................................................................................... 99

BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 116

A. Kesimpulan ................................................................................. 116

B. Saran ............................................................................................ 118

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 119

Page 14: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam hukum pidana di Indonesia masih sering kita dapati fakta bahwa

keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata mahal, berkepanjangan,

melelahkan, dan tidak meyelesaikan masalah, serta yang lebih parah lagi adalah

di dalamnya penuh dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.1

Ketidak/puasan terhadap mekanisme pemidanaan yang ada karena

dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan dan tujuan yang ingin dicapai yaitu

mencegah dan mengulangi kejahatan. Memicu sejumlah pemikiran untuk

melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan

dengan penanganan tindak pidana yang terjadi. Oleh karena itu banyak alternatif

perubahan yang ditawarkan, salah satunya paham Abolisionis.

Paham Abolisonis menganggap sistem peradilan pidana mengandung

masalah atau cacat struktural sehingga secara relatif harus diubah dasar-dasar

struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai

yang melandasi paham Abolisionis tersebut masih masuk akal untuk mencari

1 R. Budi Wicaksono, Community Policing dan Restorative justice sebagai

paradigma Baru dalam Resolusi Konflik, Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Kriminologi Program Pasca Sarjana Universitas Indonesi, Depok, 2008,

h.47.

Page 15: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

2

alternatif sanksi yang lebih layak dan efectif dari pada lembaga seperti penjara.2

Paham Abolisionis meminta adanya penghapusan hukuman mati hingga

reformasi terhadap sistem pemenjaraan digantikan jenis hukuman lainnya.3

Dalam perkembangan, paham Abolisionis menawarkan Keadilan

Restoratif sebagai suatu wacana baru dalam menjawab ketidak puasan terhadap

hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku.4 Jim Consendine seorang

pelopor keadilan Restoratif, berpendapat “konsep keadilan Retrebutive dan

Restetutif yang berlandasan hukuman, balas dendam terhadap pelaku,

pengasingan, dan perusakan harus digantikan oleh keadilan Restoratif yang

berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat,

pemaafan, dan pengampunan.5

Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan

Restorative, merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun

1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan

yang dipakai pada sistem peradilan pidana yang konvensional, pendekatan ini

2 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensionalisme,

dan Abolisionalisme, (Bandung: Bina Cipta,1996) h. 101.

3 Syaiful Bahri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Total

Media, 2009) h. 89.

4 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk

Agung 2011) h. 3.

5 Jim Consedine, Restorative Justice: Healing The Effect of Crime (Lyttelton:

Ploughshares Publication, 1955), Dalam I Made Agus Mahendra Iswara, “Mediasi

Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana

Adat Bali”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,

2013, h.2.

Page 16: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

3

menitik beratkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan

masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.6 Keadilan Restoratif

(Restorative Justice) di Indonesia diartikan sebagai:7

“Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang

melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain

yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama

mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan

implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada

keadaan semula.”

Penanganan perkara pidana secara umum berbeda dengan pendekatan

Keadilan Restoratif, dimana penanganan perkara pidana secara umum makna

dari tindak pidana pada dasarnya menyerang terhadap individu, masyarakat dan

hubungan kemasyarakatan, akan tetapi dalam pendekatan Keadilan Restoratif,

korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana

dalam Sistem Peradilan Pidana yang sekarang ada. Menurut Stephenson, Giller,

dan Brown ada 4 (empat) bentuk Keadilan Restoratif, yang mempunyai tujuan

yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan

kepentingan pelaku, korban, dan komunitas. Ke empat bentuk Keadilan

6 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (studi tentang

Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan

Hukum Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, juni 2009, h.

1. (Selanjutnya disebut Eva Achjani Zulfa 2)

7 Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung

Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Indonesia, Menteri Hukum dan Ham

Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Pada Tanggal 22 Desember

2009.

Page 17: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

4

Restoratif adalah:8 (1) Mediasi Penal (Victum-Offender Mediation), (2)

Restorative Conference, (3) Family Conferencing, dan (4) Community Panel

Meetings.

Pada umumnya di Indonesia kita mengenal Mediasi sebagai bentuk

pilihan penyelesaian sengketa (Alternatif Dispute Resolution) dalam bidang

hukum perdata, namun dalam perkembangannya di Indonesia mediasi dapat

dipergunakan dalam menyelesaikan perkara-perkara pidana, yang lebih dikenal

dengan Mediasi Penal. Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi

Penal adalah “penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan

mediator yang netral, dihadiri korban dan pelaku beserta orang tua dan

perwakilan masyarakat, dengan tujuan pemulihan bagi korban, pelaku, dan

lingkungan masyarakat.9

Dalam Hukum Positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan

di luar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dimungkinkan

pelaksanaanya. Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesia,

walaupun tidak ada landasan hukum formalnya perkara pidana sering

diselesaikan di luar proses pengadilan melalui direksi aparat penegak hukum,

mekanisme perdamaian, Lembaga Adat dan sebagainya.

8 Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Pratice in Youth

Justice, (Portland: Willian Publishing, 2007) , h. 163-166.

9 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative

Justice di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie-Publishing, 2011), h. 86.

Page 18: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

5

Konsekuensi makin diterapkan eksistensi Mediasi Penal sebagai salah

satu alternatif penyelesaian perkara di bidang hukum pidana melalui Restitusi

dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan

perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.10

Menggunakan sarana Penal maksudnya adalah kebijakan penal dengan

menggunakan sanksi pidana (termasuk bidang politik hukum pidana) dimana

sarana pidana menjadi alat utama dalam upaya melakukan pencegahan atau

penanggulangan kejahatan.11

Apabila diperhatikan penegakan hukum pidana baik didasarkan pada teori

pemidanaan dan tujuan pemidanaan serta sistem penegakan hukum pidana

melalui SPP penjatuhan pidana lebih banyak ditunjukan untuk kepentingan

pelaku, dengan kata lain, tujuan pemidanaan hanya dimaksudkan untuk

mengubah perilaku dari pelaku kejahatan, agar tidak mengulangi lagi

perbuatannya, sedangkan kepentingan korban kurang diperhatikan. Untuk itu

suatu mekanisme penyelesaian perkara pidana yang memperhatikan kepentingan

korban dan pelaku dapat dijadikan suatu alternatif penyelesaian perkara pidana

yang lebih mendekati pada rasa keadilan khususnya pada pihak yang secara

10 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar

Pengadilan, (Semarang: Pustaka Megister, 2008), h. 4-5.

11

Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: CV

Lubuk Agung, 2011), h. 29.

Page 19: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

6

langsung menjadi korban baik korban langsung (Primary Victim) maupun

keluarga atau masyarakat sekitar (Secondary Victims). 12

Terlebih dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia kepentingan korban

telah diwakili oleh Jakasa Penuntut Umum yang belum tentu Jaksa Penuntut

Umum benar-benar mewakili kepentingan korban apalagi masyarakat. Hal ini

disebabkan oleh sifat Hukum Pidana itu sendiri yang kita kenal sebagai bagian

dari Hukum Publik (Algemene Belagen) dengan bentuk dan sifat ini, peran

individu dalam penegakan hukum hanya bertumpu pada negara sebagai yang

terutama bagi penentu dan pemberi rasa keadilan. Seiring perkembangan upaya

penangulangan kejahatan yang makin komplek banyak sifat dan bentuknya,

kaedah-kaedah pidana tidak lagi dominan sifat publiknya, melaikan cenderung

relatif keranah privat.

Dalam hal ini, tentu upaya-upaya pencarian keadilan tidak dapat lagi

hanya bertumpu pada Negara semata-mata, melaikan berupaya mencari suatu

cara/mekanisme yang melibatkan kepentingan korban, pelaku dan masyarakat

dalam konsep keadilan Restoratif (Restorative Justice), dimana pelaku ditemukan

dengan korban untuk saling mengkomunikasikan kepentingan masing-masing

yang hasilnya berupa perdamaian para pihak.

Upaya yang dapat dilakukan penyelesaiannya sengketa (Pidana) melalui

perdamaian/mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian perkara

12

Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan, (Bandung: Rajawali Prees, 2009), h. 20.

Page 20: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

7

ditengah masyarakat melalui jalur diluar pengadilan (yang biasa dikenal dengan

istilah ADR atau “Alternatif Dispute Resolution”, ada pula yang menyebutnya

“Apropriate Dispute Resulution”.13

ADR pada umumnya digunakan

dilingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Walaupun

pada umumnya penyelesaian sengketa diluar pengadilan hanya ada dalam

sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di

luar pengadilan melalui berbagai direksi aparat penegak hukum atau melalui

mekanisme musyawarah/perdamaian atau mediasi.

Dalam masyarakat, mediasi bukanlah suatu hal yang baru, ketidak baruan

mediasi dibuktikan dengan adanya musyawarah. Budaya Indonesia yang penuh

kompromi dan koperatif muncul dimana saja dalam berbagai lapisan masyarakat.

Masyarakat lebih menyukai penyelesaian sengketa dengan membawanya ke

lembaga adat yang ada untuk diselesaikan dengan damai. Penyelesaian konflik

diluar sistem peradilan pidana (Penyelesaian melalui Non Penal) oleh masyarakat

dirasakan efektif dan efesien, cepat dan sederhana. Mekanisme penyelesaian, atas

inisiatif para pihak (korban dan pelaku), selanjutnya mengajukan masalahnya

kepada kepala desa/adat, bahwa kearifan budaya lokal menjadi pilihan untuk

menyelesaikan konflik. Misalnya pelaku menyatakan bersalah dan meminta maaf

13

Barda Nawawi, Makalah “Aspek kebijakan Mediasi Penal dalam

Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan” yang disajikan dalam Seminar Nasional

“Pertanggung Jawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance”,

Program Doctor Ilmu Hukum UNDIP, di Inter Continental Hotel, Jakarta 27 Maret

2007.

Page 21: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

8

kemudian dibebankan untuk memberi santunan atau membayar ganti rugi kepada

korban, kemudian korban/keluarganya memberi maaf.14

Islam ternyata jauh lebih dahulu telah mengenal konsep yang mirip

seperti Restorative Justice yang dinamakan dengan Diat sebelum cara berfikir

hukum pidana modern. Dalam hukum Islam, pemberian maaf justru berada

dalam rangkaian penyelesaian perkara pidana berupa kejahatan terhadap jiwa

manusia. Hal ini dikarenakan masalah kejahatan terhadap jiwa manusia selain

menyangkut masalah publik juga mengandung adanya masalah perdata. Adanya

unsur keperdataan ini membawa konsekuensi bahwa pengenaan hukumannya

diserahkan kepada ahli waris (keluarga korban). Dengan demikian kejahatan

terhadap jiwa manusia, keluarga korban dapat memilih bentuk hukuman apakah

dengan Qishash ataukah Diat, yakni mengganti kerugian kepada keluarga korban

atau family memaafkan dengan tidak menuntut balas terhadap pelaku tindak

pidana. 15

Jadi mediasi penal ini bukan menutup perkara pidana tetapi untuk

menunjukan kepada hakim pelaku itu bertanggung jawab. Dengan kebaikan itu

diharapkan fakta tadi dapat dijadikan dasar untuk hal-hal yang meringankan

14

Surya Jaya, “Keadilan Restoratif tuntutan dan kebutuhan dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Ikahi

tanggal 25 April 2012 di Jakarta, dalam Rios Rahmanto, Mediasi Penal Sebagai

Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013, h.6

15

Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara

dan Departemen Agama RI, 1998), h, 227.

Page 22: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

9

hukuman pada pelaku. Oleh karena itu ada titik temu kemiripan antara Hukum

Islam dengan Hukum Pidana modern disatu sisi Mediasi Penal penyelesaian

perkara pidana yang bermuatan perdata dengan kasus hukum Diat dalam Islam.

Ini adalah sesuatu yang menarik ketika kemudian dua hal yang bisa disinergikan

untuk kemudian dianalisis. Penulis mencoba untuk mengangkat tema ini dalam

penulisan skripsi dengan judul “Konsep Mediasi Penal untuk Restorative Justice

Dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum

Positif)”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan utama yang akan diteliti

dalam penelitian adalah mengenai konsep mediasi penal untuk mencapai nilai

keadilan dalam penyelesaian perkara pidana. Untuk mengidentifikasi ruang

lingkup penelitian, maka dalam penelitian ini akan di Indentifikasi oleh

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana Restorative Justice dapat diterapkan dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia untuk mencapai keadilan ?

2. Bagaimana mekanisme untuk penyelesaian sengketa perdata dalam kasus

pidana dengan menggunaka mediasi penal ?

3. Apakah penyelesaian ganti kerugian melalui Mediasi Penal bisa dijadikan

pertimbangan keringanan hukuman oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana

yang menyebabkan kematian dan cacat fisik ?

Page 23: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

10

4. Apakah batasan-batasan yang bisa menjadi acuan untuk memberikan keadilan

pada penyelesaian kasus pidana yang bermuatan perdata?

5. Kasus-kasus pidana seperti apakah yang tepat untuk diselesaikan melalui

mediasi penal ?

6. Bagaimanakah kedudukan Mediasi Penal sebagai sistem penerapan keadilan

dalam hukum pidana Indonesia ?

7. Bagaimanakah praktik Mediasi Penal sebagai alat untuk mencapai keadilan?

8. Apakah Model Restorative Justice itu dikenal dalam hukum Pidana Islam jika

itu ada seperti apa praktiknya didalam Islam ?

9. Bagaimanakah pengaturan Restorative Justice dalam Islam ?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

a. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang akan dibahas akan sangat

luas apabila dipaparkan keseluruhan didalam penelitian ini. Maka dari itu penulis

membatasi Konsep Mediasi Penal pada pembahasan masalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini mengkaji mengenai keseimbangan bagi pelaku dan korban

dengan menggunakan konsep Mediasi Penal sebagai sarana untuk

Restorative Justice dalam penyelesaian perkara pidana yang bermuatan

unsur perdata melalui jalur Non-Litigasi atau penyelesaian diluar pengadilan.

Page 24: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

11

2. Mediasi Penal adalah penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah

dengan bantuan mediator yang netral, dihadiri korban dan pelaku dengan

tujuan pemulihan bagi korban, pelaku, dan lingkungan masyarakat.

3. Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan

pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara

bersama-sama mencari penyelesaian. Implikasinya adalah menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula.

4. Perkara pidana yang diselesaikan melalui Mediasi Penal adalah kasus-kasus

pidana yang berdampak kematian, cacat fisik serta meyebabkan kerugian

tidak hanya murni pidana, tetapi juga ada unsur perdata sehingga yang harus

diperhatikan adalah kepentingan hak-hak korban baik korban langsung

maupun keluarga korban.

Berdasarkan pembatasan masalah yang ada, pembahasan yang akan

dilakukan dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :

b. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perspektif Restorative Justice menurut Hukum Pidana Islam dan

Hukum Positif ?

2. Apa konsep dan alasan dapat diterapkannya Mediasi Penal sebagai sarana

untuk menerapkan nilai-nilai Restorative Justice ?

Page 25: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan :

a. Untuk memperjelas perbedaan Restorative Justice dalam Hukum Pidana

Islam dan Hukum Positif.

b. Untuk memperjelas konsep dan alasan dapat di terapkannya Mediasi Penal

sebagai sarana untuk menerapkan nilai-nilai Restorative justice dalam

tindak pidana yang bermuatan unsur perdata.

2. Manfaat penelitian yaitu sebagai berikut :

Hasil penelitian ini besar harapan penulis untuk dapat memberikan manfaat

sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

1) Bermanfaat untuk pengetahuan dibidang ilmu hukum khusunya

tentang Konsep Mediasi Penal sebagai alternatif dalam penyelesaian

perkara pidana, sehingga peradilan pidana konvensional bukan lagi

satu-satunya sarana dalam menyelesaikan perkara pidana. Dengan kata

lain mediasi penal ini bagi para pihak yang terlibat dalam perkara

pidana akan mempunyai pilihan lain dalam menyelesaikan perkaranya.

2) Menambah pengetahuan penulis serta dunia akademis khususnya

tentang konsep mediasi penal sebagai sarana untuk mencapai Keadilan

dalam penegakan hukum pidana.

Page 26: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

13

b. Manfaat Praktis :

1) Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.

2) Memberikan masukan kepada para aparat penegak hukum dalam

menangani masalah pidana terutama pada korban dari tindak pidana.

3) Sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam persiapan ini, penulis melakukan studi pendahuluan. ada beberapa

hasil penelitian atau hasil studi terdahulu yang berkaitan erat dengan tema yang

akan saya tulis untuk dijadikan penelitian. Saya melakukan studi pendahuluan

berdasarkan penelusuran awal, ada beberapa literatur dan beberapa hasil

penelitian terdahulu dalam bentuk skripsi atau laporan penelitian yang membahas

tema yang berkaitan dengan tema yang akan penulis tulis. Paling tidak ada

beberapa judul atau beberapa hasil studi terdahulu yang relevan untuk kemudian

dikomentari pada review studi terdahulu disini.

1) Skiripsi karya Rani Putri Larasati, Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014

yang berjudul “Analisa Kasus Putusan (perkara nomor

225/PID.B/2010/PN-BKL) Dalam Prespektif Restorative Justice”.

Skripsi ini membahas lebih kepada penerapan dan alasan apa sajakah

Restorative Justice system dapat di terapkan pada tindak pidana

ringan menurut Hukum Positif dan Hukum Islam.

Page 27: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

14

2) Skripsi karya Fandi Machfuz, Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2010

yang berjudul “Pidana Ganti Rugi Pada Kecelakaan Kendaraan

Bermotor yang Mengakibatkan Tewasnya Korban (suatu tinjauan

Hukum Positif dan Hukum Islam)”. Skripsi ini membahas bagaimana

konsep ganti kerugian dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif.

3) Skripsi karya Khusnul Hotimah, Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2013

yang berjudul “Alasan Pemaaf atas Hukum Pembunuhan kajian

Hukum Islam dan Hukum Positif”. Skripsi ini membahas pandangan

Hukum Islam terhadap alasan pemaafan dalam tindak pidana

pembunuhan serta analisis Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap

putusan MA Nomor. 1445 K/PID/2011 Tentang alasan pemaafan atas

tindak pidana pembunuhan.

Dari ketiga skripsi yang telah penulis baca, terdapat perbedaan dari judul

dan isi dalam skripsi yang akan penulis tulis. Penulis akan membahas mengenai

perlindungan hak-hak korban, sistem ganti kerugian, keseimbangan antara pelaku

dan korban dalam mekanisme penyelesaian melalui konsep mediasi penal untuk

Restorative Justice dalam penyelesaian perkara pidana yang bermuatan unsur

perdata Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana.

Page 28: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

15

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang berasal

dari studi dokumentasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada pada

skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian dan sifat penelitian

Penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada

penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah

penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data

sekunder belaka.16

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai

peraturan perundang-undangan pada konsep mediasi penal untuk Restorative

Justice khususnya dalam penyelesaian perkara pidana melalui jalur non-

litigasi. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskripitif yaitu tipe

penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala

atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang

sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.

16

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif ( suatu

tinjauan singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 14.

Page 29: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

16

2. Pendekatan Masalah

Dalam kaitannya yuridis normatif, akan digunakan beberapa pendekatan,

yaitu:17

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu

pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang

berkaitan dengan konsep mediasi penal untuk Restorative Justice dalam

penyelesaian perkara pidana, diantaranya :

- Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian RI.

- Undang-undang Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

- Undang-undang Nomor. 35 Tahun 2006 Tentang Kejaksaan RI.

- Undang-undang Nomor. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah

pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, dalam hal ini salah satu

bentuk dari keadilan Restoratif yaitu dengan mengunakan konsep

Mediasi Penal. Menurut Barda Nawawi Arif, alasan dipergunakan

17

Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif,

(Malang: Bayumedia Publising, 2007), h.300.

Page 30: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

17

mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana yang bermuatan unsur

perdata adalah karena ide dari mediasi penal berkaitan dengan

perlindungan hak-hak korban, ide harmonisasi, dan ide Restorative

Justice.

Dalam menggunakan pendekatan konseptual yang perlu

dipahami adalah kemanfaatan hukum dan keadilan hukum, karena

prinsip yang terpenting dalam mediasi penal yaitu adanya pengakuan

kesalahan pelaku dan pemberian maaf oleh pihak yang dirugikan

(korban) akibat tindak pidana yang bermuatan unsur perdata untuk

mencapai penyelesaian berupa win-win solution.

c. Pendekatan Komparatif (comparative Approach)

Pendekatan Komparatif (comparative Approach) adalah

pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan peraturan hukum

dan undang-undang pada Negara Belanda, Malaysia, dan Arab Saudi.

Kegunaan dalam pendekatan ini adalah untuk memperoleh

persamaan dan perbedaan di antara undang-undang tersebut. Hal ini

untuk menjawab mengenai isu hukum antara ketentuan undang-

undang dengan filosofi yang melahirkan undang-undang.18

18

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: kencana, 2011) h.95

Page 31: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

18

3. Sumber Data

Pada penelitian ini, penulis mencari dan mengumpulkan data yang

diperlukan untuk menyelesaikan pokok-pokok permasalahan pada penelitian

ini. Data yang digunakan hanya data sekunder. Data skunder merupakan data

yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan (library research).

Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-

data kepustakaan yang tersaji dalam literatur untuk menyelesaikan

permasalahan yang dibahas.

Pada penelitian kepustakaan, data yang dipergunakan adalah bahan-

bahan pustaka yang terdiri dari dua macam bahan hukum, yaitu sebagai

berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat19

,

yaitu:

1) Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

2) Undang-undang Nomor. 35 Tahun 2006 tentang Kejaksaan RI.

3) Undang-undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

4) Undang-undang Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan.

19

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2006) h. 52.

Page 32: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

19

6) Surat Kepala Kepolisian Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SDOPS

tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution

(ADR).

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer,20

yaitu:

1) Berbagai hasil penelitian mengenai Mediasi Penal dan

Restorative Justice.

2) Berbagai buku yang membahas mengenai Mediasi Penal,

Restorative Justice, dan buku tentang perundang-undangan.

3) Yurisprudensi MA.

4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi dokumentasi yakni upaya untuk memperoleh data dari

penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dan

sumber lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data-data yang

terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode

tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada

dengan berdasarkan pendekatan yuridis normatif.

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2006) h.53.

Page 33: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

20

5. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan

sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan

Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah penjabaran

dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk memberikan

gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

(review) kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan

yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas skripsi ini.

BAB II MEDIASI PENAL SEBAGAI SISTEM PENERAPAN KEADILAN

DALAM HUKUM POSITIF MAUPUN PRAKTIK PERADILAN

Pada bab ini dijelaskan tentang Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non-

Litigasi, dan menelusuri mekanisme Penyelesaian Sengketa Non-litigasi.

Adapun yang akan diuraikan adalah, (a) Mediasi Penal, (b) Keadilan

Restoratif, (c) Teori Tentang Keadilan.

Page 34: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

21

BAB III EKSISTENSI MEDIASI PENAL DI BERBAGAI NEGARA

Pada bab ini dijelaskan tentang Mediasi dalam Perundang-undangan,

Praktik Mediasi Penal di beberapa Negara serta Praktik Mediasi Penal

ditingkat Penyidikan, Penuntutan dan Praktik di Pengadilan.

BAB IV KONSEP MEDIASI PENAL SEBAGAI SARANA UNTUK

RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA

PIDANA

Pada bab ini akan dijelaskan tentang nilai-nilai Mediasi Penal dalam

Perspektif pembaharuan Hukum Pidana, serta Analisis konsep Restorative

Justice dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran.

Page 35: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

22

BAB II

MEDIASI PENAL SEBAGAI SISTEM PENERAPAN KEADILAN

DALAM HUKUM POSITIF MAUPUN PRAKTIK PERADILAN

A. Mediasi Penal

1. Pengertian Mediasi

Pada umumnya masyarakat apabila bermasalah dengan hukum pasti

mempergunakan upaya litigasi (menggunakan pengadilan) dalam menyelesaikan

suatu perkara baik perdata maupun pidana. Namun dalam realitanya di

masyarakat, penyelesaian dengan menggunakan jalur pengadilan tidaklah

menguntungkan sebab memerlukan biaya yang besar, waktu yang lama,

mempertajam konflik dengan pihak lawan (bersifat win lose solution).

Penyelesaian suatu perkara dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dengan

model litigasi (pengadilan) dan jalur non litigasi (di luar pengadilan). Pendekatan

yang kedua ini (non litigasi) bersifat win-win solution.

Dalam literatur hukum penggunaan mekanisme penyelesaian yang

bersifat win-win solution disebut dengan penyelesaian Sengketa Alternatif

(Alternative Dispute Resolution (ADR). Menurut ketentuan pasal 1 butir (10)

undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan penyelesaian

sengketa Alternatif, yang dimaksud dengan ADR adalah “lembaga penyelesaian

sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni

penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, Negosiasi, Mediasi,

22

Page 36: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

23

Konsiliasi, atau Penilaian para Ahli”. Jadi dapat disimpulkan bahwa bentuk-

bentuk Alternative Dispute Resolution adalah Konsultasi, Negosiasi, Mediasi,

atau Penilaian para Ahli. Dalam pembahasan tulisan ini hanya dibahas mengenai

definisi dari mediasi.

a) Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang

berarti berada di tengah, makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan

pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan

menyelesaikan sengketa antara para pihak. Berada di tengah juga bermakna

mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam

menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak

yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan

kepercayaan diri para pihak yang bersengketa.21

b) Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

penyelesaian Sengketa Alternatif tidak memberikan pengertian tentang

mediasi namun, pengertian mediasi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 6

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 yang

memberikan pengertian mediasi sebagai penyelesaian sengketa melalui

proses perundingan para pihak yang dibantu oleh mediator.

21

I Made Widnyana, Alternative Penyelesaian Sengketa, (ADR), (Jakarta :

Indonesia Businis Law Centre (IBLC), 2007), h.2.

Page 37: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

24

Lourence Boulle, membagi mediasi menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu :22

1) Sattlement Mediation (Compromise Mediation), model ini bertujuan

mempertemukan posisi tawar para pihak sampai ke suatu titik yang dapat

mereka sepakati.

2) Facilitative Mediation (Interest-Based, Problem-Solving, dan Rational

Analitic Mediation), model ini paling sering dipergunakan dalam praktik

mediasi, fokus pendekatan terletak pada pencapaian kesepakatan yang

memuaskan sesuai kebutuhan semua pihak.

3) Transformative Mediation (Therapeutic dan Reconciliation mediation),

model ini meyakini bahwa para pihak yang terlibat mempunyai kemampuan

untuk berubah melalui proses mediasi, di sini para pihak terlibat langsung

untuk menentukan proses mediasi yang diinginkan.

4) Evaluation Mediation (Advissory, Managerial, dan Normative Mediation),

model ini terkait dengan pencapaian kesepakatan berdasarkan hak hukum

(legal Right) yang dimiliki oleh para pihak.

22

Laurence Boulle, Mediation Principles, Process and practice, (New York :

Prince Hall, 1996), h.44-45.

Page 38: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

25

2. Pengertian Mediasi Penal

Menurut Ms. Toulemonde (menteri kehakiman perancis) Mediasi Penal

(penal mediation) adalah “sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan

kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan

korban.23

Sedangkan Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi

Penal adalah “penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan

mediator yang netral, dihadiri korban dan pelaku beserta orang tua dan

perwakilan masyarakat, dengan tujuan pemulihan bagi korban, pelaku, dan

lingkungan masyarakat.24

Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoritis dan

praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi dengan

pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari

terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun

variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban

bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas peradilan

sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan

23 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar

Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban

Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Govermance, 27 Maret 2007, h. 1

24

DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative

Justice di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie-Publishing, 2011), h. 86.

Page 39: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

26

peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.25

Adapun ide dan

prinsip dari Mediasi Penal, adalah :26

1) Penanganan Konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung) : tugas

mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan

mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan

pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal, konflik

itulah yang dituju oleh proses mediasi.

2) Berorientasi pada Proses (Process Orientation/prozessorientierung) :

Mediasi Penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari pada hasil, yaitu

menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan

konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.

3) Proses Informal (Informal Proceeding/Informalitat) : Mediasi Penal

merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari

prosedur hukum yang ketat.

4) Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous

Participation-Parteiautonomie/Subjectivierung) : para pihak (pelaku dan

korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih

25 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar

Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban

Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Govermance, 27 Maret 2007, h.2

26

Stefanie Trankle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in

Victim-Offender Media-tion –a Microsociological Study of a Paradoxial Procedure

Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France,

http://www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_e.html.

Page 40: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

27

sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan

untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

Dalam hukum pidana proses penyelesaian perkara di luar proses

pengadilan melalui Mediasi Penal berbeda dengan proses penyelesaian sengketa

di luar proses pengadilan melalui mediasi. Dalam hukum perdata mediasi

biasanya dipergunakan berkaitan dengan masalah uang, sedangkan dalam hukum

pidana yang dipermasalahkan lebih banyak pada kebebasan dan kehidupan

seseorang. Terhadap pihak-pihak yang terlibat, Mediasi perdata biasanya para

pihak yang secara langsung bersengketa atau pihak kedua yang berkepentingan,

sedangkan dalam Mediasi hukum pidana para pihak yang terlibat lebih kompleks

tidak hanya pelaku, korban, tetapi jaksa penuntut umum, serta masyarakat luas.27

Peradilan pidana sesungguhnya bukan merupakan institusi yang paling

baik dalam menyelesaikan konflik antara korban dan pelaku. Dalam realitanya

peradilan pidana memiliki standar keadilan tersendiri terkait dengan pelaku

kejahatan yang sama sekali tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan

korban. Penyelesaian konflik dengan peradilan pidana merusak hubungan

kekeluargaan antara korban dan pelaku. Hubungan yang awalnya damai, tentram,

harmonis dan bersifat kekeluargaan hancur dengan kehadiran sistem Peradilan

27

Mahrus Ali, Menggugat Dominasi Hukum Negara Berdasarkan Perkara

Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura, (Yogyakarta: Rangkang

Indonesia, 2009), h.133.

Page 41: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

28

Pidana.28

Karena kelemahan dari peradilan pidana dalam menyelesaikan perkara

pidana maka dapat direkomendasikan penyelesaian mekanisme Mediasi Penal

(Penal Mediation), karena memiliki kelebihan yang tidak ditemukan dalam

peradilan pidana, Adapun kelebihan dari Mediasi Penal, adalah sebagai berikut :

a) Mediasi Penal membantu mengurangi perasaan balas dendam terhadap

korban, lebih fleksibel karena prosedurnya lebih sederhana, hemat biaya,

prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan proses melalui peradilan

pidana.

b) Mengurangi beban penumpukan perkara dalam pengadilan dan mengurangi

waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu perkara dengan

mempergunakan Mediasi Penal.

c) Mediasi Penal memberikan kesempatan kepada korban dan pelaku bertemu

untuk membahas kejahatan yang telah merugikan kehidupannya,

mengungkapkan perhatian dan perasaannya serta meminta adanya restitusi.

d) Mediasi Penal menciptakan kembali hubungan yang harmonis antara

korban dan pelaku. Kondisi ini tidak ditemukan di dalam penyelesaian

perkara dengan peradilan pidana. Pemberian maaf korban kepada pelaku

akan mengurangi rasa bersalah pelaku dan menciptakan rekonsiliasi antara

keduanya.

28

Jack B. Weinstein, Same Benefit and Risks of Privatization of Justice Though

ADR, Artikel pada Ohio State Journal on Dispute Resolution , 1996, h.292.

Page 42: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

29

3. Bentuk-Bentuk Mediasi Penal

Berdasarkan komparasi implementasi mediasi penal dari beberapa Negara

tersebut, Barda Nawawi selanjutnya mengelompokkan Mediasi Penal menjadi 6

(enam) model atau bentuk, yaitu sebagai berikut :29

1) Informal Mediation, model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana

(Criminal Justice Personnel) dalam tugas formalnya, yaitu :

a. JPU mengundang para pihak untuk penyelesaian informal dengan tujuan

untuk tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan.

b. Pekerjaan sosial atau pejabat pengawas (Probation Officer) yang

berpendapat bahwa kontak dengan korban akan mempunyai pengaruh

besar bagi pelaku tindak pidana.

c. Pejabat polisi menghimbau perselisihan keluarga yang mungkin dapat

menenangkan situasi tanpa membuat penuntutan pidana.

d. Hakim dapat juga memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan dan

melepaskan kasusnya.

2) Traditional Village or Tribal Moots, menurut model ini, seluruh masyarakat

bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. Model ini

ada di beberapa Negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan atau

pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas.

29 Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara Pidana KDRT

(Kekerasan Dalam Rumah Tngga), (Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia,

2010), h. 171-173.

Page 43: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

30

Model ini mendahului hukum barat dan telah menginspirasi bagi kebanyakan

program-program mediasi modern, program Mediasi modern sering

mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal

moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern

dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

3) Victim-offender mediation, model ini melibatkan berbagai pihak yang

bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari

model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator

independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan

proses, baik pada tahap pembiasan penuntutan, tahap kebijaksanaan polisi,

tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan

untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang khusus untuk anak, ada

yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misalnya pengutilan, perampokan,

dan tindak kekerasan), dan ada yang terutama di tunjukan pada pelaku anak,

pelaku pemula, namun ada juga delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.

4) Reparation negotiation programmes, Model ini semata-mata untuk

menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh

pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di

pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para

pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materil. Dalam

model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja yang dengan

demikian dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.

Page 44: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

31

5) Community panel or courts, Model ini merupakan program untuk

membelokan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur

masyarakat yang lebih fleksibel, informal dan sering melibatkan unsur

Mediasi atau Negosiasi. Pejabat lokal dapat mempunyai lembaga/badan

tersendiri untuk Mediasi.

6) Family and community group conperences, Model ini telah dikembangkan

di Australia dan New Zaeland, yang melibatkan partisipasi masyarakat

dalam sistem Peradilan Pidana. Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku

tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya,

pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim) dan para pendukung korban.

Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang

komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga

si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.

B. Restorative Justice

2. Pengertian Restorative Justice

Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan refresif

sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana, telah melahirkan

keadilan Retrebutif (Retrebutif Justice), yang berorientasi pada pembalasan

berupa pemidanaan dan pemenjaraan. Dalam perkembangannya timbul wancana

orientasi pemidanaan yang mendudukan korban sebagai bagian penting dalam

tujuan pemidanaan. Maka ditawarkanlah suatu Sistem penyelesaian perkara

Page 45: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

32

pidana yang berorientasi menguntungkan segala pihak yaitu Keadilan Restoratif.

Dalam konsep Restorative Justice terkandung konsep Rehabilitasi, Rekonsiliasi,

Restitusi, Reparasi, dan Kompensasi dalam menyelesaikan suatu perkara

pidana.30

Di beberapa Negara maju keadilan Restoratif bukan sekedar wacana oleh

para akademisi hukum pidana maupun kriminologi. Di Amerika Utara, Australia,

dan beberapa Negara di Eropa keadilan Restoratif telah diterapkan dalam tahap

proses peradilan pidana yang konvensional, mulai dari tahap penyidikan,

penuntutan, ajudikasi, dan tahap eksekusi.31

Adapun yang dimaksud dengan

Restorative Justice akan dijelaskan dalam definisi sebagai berikut :

1) Tony F. Marshall,32

“Restorative Justice is a process whereby all the parties

with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how

to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”

30

Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk

Agung 2011) h.64

31

Eriyantouw Wahid, Keadilan Restorative Justice dan Peradilan Konvensional

Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2009) h.1

32

Tony Marshall, Restorative Justice on Trial in Britain. “in Restorative Justice

on Trial: Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International Research

Perspectives, edited by H. Messmer and H.U. Otto. Dordrecht, (Boston: Kluwer

Academic Publishers, 1992, sebagaimana ditulis dalam buku John Braithwaite,

Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford University Press,

2002). h. 11. Terjemahan bebas dari penulis yaitu : “Restorative Justice adalah Suatu Proses dimana semua pihak yang berhubungan

dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan bagaimana

menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan”.

Page 46: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

33

2) G Bazemore and Mark Umbreit, “Restorative Justice ia about restoring

victims, restoring offenders, and restoring communities”.33

3) Basic Principles PBB, Restorative Justice adalah pendekatan yang dapat

dipakai dalam Sistem Peradilan Pidana yang Rasional.34

4) Eva Anchjani Zulfa, Restorative Justice adalah sebuah konsep pemikiran

yang merenspon pengembangan Sistem Peradilan Pidana dengan menitik

beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa

tersisih dengan mekanisme yang bekerja pada Sistem Peradilan Pidana yang

ada pada saat ini.35

5) www.restorativejustice.org, Restorative Justice adalah konsep yang

sistematis atas tindak penyimpangan yang ditekankan pada pemulihan atas

kerugian yang dialami korban dan/atau masyarakat sebagai akibat dari

perbuatan kriminal.36

33

Banzemore, G and Mark Umbreit, Balanced and Restorative Justice: Program

Summary: Balanced and Restorative Project, (Washington: US Departement of Justice,

Office of Juvenile and Delinquency Prevention, 1994), sebagaimana ditulis dalam buku

John Braithwaite Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford

University Press, 2002). h. 11. Terjemahan bebas dari penulis yaitu :

“Restorative Justice adalah tentang memulihkan korban, memulihkan pelaku, dan

memulihkan masyarakat”.

34

Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk

Agung 2011) h.64

35

Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk

Agung 2011) h.65

36

http://arsip.batampos.co.id/13-12-2014/manfaatkan-restorative-justice-dalam-

penegakan-hukum-di-batam/ diakses pada tanggal 1 Maret 2016.

Page 47: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

34

6) Braitwaite, Restorative Justice adalah “reintegrative shaming of the offender

with an empashis on moralizing social control”. Dalam pengertian ini

Braitwaite lebih menekankan pada cara untuk mencapai tujuan control sosial

dilihat dari sudut pandang moral.37

Dari beberapa definisi-definisi yang disampaikan diatas maka dapat kita

mengetahui karakteristik dari Restorative Justice. Muladi secara rinci

menyetakan beberapa karakteristik dari Restorative Justice, yaitu :38

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan

diakui sebagai konflik.

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah, pertanggung jawaban dan

kewajiban pada masa depan.

3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rokonsiliasi dan restorasi

sebagai tujuan utama.

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar

hasil.

6. Sarana perhatian pada perbaikan kerugian sosial.

7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses Restorative.

37

Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara Pidana KDRT

(Kekerasan Dalam Rumah Tngga), (Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010),

h.122

38

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Badan Penerbit

Universitas Diponogoro, 1995) h.127-129

Page 48: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

35

8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun

penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban, pelaku tindak pidana didorong

untuk bertanggung jawab.

9. Pertanggung jawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemohonan

terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik.

10. Stigma dapat dihapus melalui tindakan Restorative.

3. Nilai Dasar Restorative Justice

Banyaknya kasus hukum yang tidak diselesaikan atau selesai dengan

akhir yang kurang memuaskan membuat hukum semakin tidak dipercaya

masyarakat sebagai alat mencari keadilan. Oleh Satjipto Rahardjo hal

sebagaimana dijelaskan diatas dikarenakan bentuk krisis sosial yang menimpa

aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum

kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini kurang disadari, dalam

hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia.39

Kondisi hukum yang

semakin terpuruk ini pada akhirnya tidak mendapat tempat di hati masyarakat

karena sama sekali tidak memberikan jawaban atas kebutuhan hukum yang

berkeadilan.

39

Satjipto Rahardjo dalam Umar Sholehudin, Hukum & Keadilan Masyarakat

Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, (Malang : Setara Press, 2011), h.3.

Page 49: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

36

Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami multi krisis yang salah

satunya adalah krisis dalam penegakan hukum (law enforcement).40

Pada saat ini,

Kecendrungan kegiatan hukum dalam masyarakat ditandai dengan meningkatnya

penggunaan sumber-sumber hukum dan penyelesaian masalah-masalah dengan

hukum.41

Ironisnya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat berbanding

terbalik dengan proses penyelesaian masalah hukum. Dalam praktiknya, hukum

tidak selamanya berposisi sebagai penyeimbang kepentingan masyarakat karena

hukum cenderung mengakomodasi kepentingan elit tertentu.42

Indikasi ketika dalam penegakan hukum semata-mata mengutamakan

aspek kepastian hukum (reschtssicherheit) dengan mengabaikan keadilan

(gerechttigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit) bagi masyarakat.

Adapun keadilan telah berubah seiring perkembangan abad nasionalisme modern

yang mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia

tentang arti dan makna keadilan didalam irama gerak hukum dalam masyarakat.43

Hukum atau peraturan perundang-undangan dalam implementasinya harus adil,

tetapi yang terjadi adalah ketidak adilan. Padahal hukum terkait dengan keadilan,

40

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Penerbit

Buku Kompas) h, 169.

41

Ronny Hanitijo, Politik, Kekuasaan dan Hukum, (Semarang : Universitas

Diponogoro, 1998) h,45.

42

Umbu Lily Pekuali, Memposisikan Hukum Sebagai Penyeimbang

Kepentingan Masyarakat, Jurnal Pro Justitia, Vol.26 (4) Oktober 2008, h.359-370.

43

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan

Hukum, (Bandung : Bandar Maju,2001),h.30

Page 50: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

37

namun dalam praktik di kalangan aperatur penegak hukum belum sepenuhnya

menyadari hal tersebut.44

Jim Consedine seorang pelopor keadilan Restorative, berpendapat

“Konsep Keadilan Retributive dan Restitutif yang berlandaskan hukuman, balas

dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan perusakan harus digantikan oleh

keadilan Restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi

dalam masyarakat, pemaafan dan pengampunan.45

Ditambahkan oleh Mudzakir

yang memandang hukum pidana dan sistem peradilan pidana saat ini tidak

memberikan keadilan bagi masyarakat karena keadilan yang ditegakan masih

bersifat pembalasan (Retrebutif). Konsep keadilan dalam kebijakan pidana pada

masa depan harus bergeser dari keadilan Retrebutif menuju keadilan restoratif.46

Braithwaite mengemukakan beberapa nilai dasar yang merupakan ciri

khas Restorative Justice yang membedakannya dengan teori pemidanaan lainnya.

Nilai-nilai dasar tersebut oleh Braithwaite dikelompokan menjadi 3 (tiga)

kelompok :47

44

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, (Bandung :

Nuansa dan Nusamedia, 2004),h.239

45

Jim Consedine, Restorative Justice : Healing the Effect of Crime, (Lytttelton :

Ploughshares Publications, 1955),h.11.

46 Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana,

Disertasi dalam memperoleh Gelar Doctor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana

Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, h.180.

47

Andrew Von Hirsch et all, Restorative Justice and Criminal Justice

:Competing or Reconcilable Paradigms ?, (Oregon : Hart Publishing,2003) h.9-11.

Page 51: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

38

1) Nilai-nilai yang terkait dengan penerapan keadilan Restoratif dalam

peraktek yang disebut sebagai fundamental Procedural Safeguard

yang terdiri atas :

a. Non Domination, Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana dengan

mempergunakan Restorative Justice diharapkan semua pihak dalam

posisi yang sama dan sederajat. Disini dominasi salah satu pihak akan

mempengaruhi suatu putusan yang dihasilkan sehingga akan merusak

tujuan dari pada penyelesaian dengan menggunakan pendekatan ini.

Dalam model pendekatan ini diharapkan keputusan diambil secara

bersama-sama oleh semua pihak yang terlibat.

b. Empowerment, Adanya keharusan pemberdayaan (protection) terhadap

pihak yang tidak dalam posisi yang menguntungkan. Pemberdayaan ini

bukan maksud pilih kasih namun sebagai upaya membangun keberanian

untuk mengutarakan pemikiran, pandangan dan kehendak sehingga

kebutuhan pelaku, korban atau masyarakat dapat didengar dan

diperhatikan dalam pengambilan keputusan.

c. Honouring Legally Specipic upper limits on saction, Ketika para pihak

sudah mengambil keputusan untuk menyelesaikan suatu persoalan

dengan menggunakan konsep ini, maka mereka harus menerima segala

keputusan yang dihasilkan oleh model penyelesaian tersebut.

Dalam Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk

Agung 2011) h.92-95.

Page 52: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

39

d. Respectful Listening, dalam menyelesaikan perkara ini para pihak harus

memiliki rasa saling menghormati dan berempati antara para pihak.

e. Equal Concern for All Stakeholders, Harus adanya perhatian kepada

semua stakeholder, dalam upaya penyelesaian model ini tidak hanya

difokuskan kepada salah satu stakeholder.

f. Accountability, Appealability, Accountability dalam arti Restorative

Justice adalah keleluasaan untuk memilih mekanisme penyelesaian yang

berdasarkan atas pilihan semua pihak.

g. Respect for the Fundamental Human Right, Dalam menyelesaikan

perkara pidana harus mengacu pada instrument hak asasi manusia.

Nilai-nilai hak asasi manusia harus diakomondasikan kedalam tujuan

pemidanaan dan dalam merancang suatu model pemidanaan.

2) Nilai yang terkait dalam kemampuan untuk melupakan kejadian pada

masa lalu.

Melupakan dan bukan menghapuskan atau membiarkan saja tanpa suatu

penyelesaian. Kemauan untuk melupakan kejadian pada masa lalu bukan

merupakan alasan untuk menelantarkan atau mencegah proses penyelesaian

yang sedang berlangsung. Diterimanya suatu kesepakatan mengandung arti

dengan suatu tugas membawa dan menyebarkan nilai baru dan mengubah

paradigma masyarakat sekitar terhadap tindak pidana yang terjadi.

Permasalahan yang terjadi adalah seringnya benturan terjadi dimasyarakat

sehingga proses realisasi program menjadi terhambat, utamanya terkait

Page 53: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

40

dengan nilai-nilai local/setempat yang dianut masyarakat justru

menghambat program perbaikan dan Restoratif. Dalam kondisi yang

demikian, kesepakatan yang telah dicapai harus dievaluasi kembali.

3) Nilai yang terkandung dalam keadilan Restoratif adalah mencegah

ketidak adilan, maaf memaafkan, dan rasa terimakasih.

Berbeda dengan pandangan sebelumnya, keadilan Restoratif pada dasarnya

merupakan suatu konsep yang berkembang. Banyak sarjana yang kemudian

mengembangkan lebih lanjut konsep ini secara terus menerus. Termasuk

didalamnya pengembangan terhadap ide-ide potensial serta resiko-resiko

negatif bila konsep ini akan dijalankan.

4. Bentuk-bentuk Restorative Justice

Restorative Justice merupakan konsep yang harus diaplikasikan melalui

proses yang nyata. Proses Restorative Justice dapat dilakukan dalam beberapa

mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada bahkan ada yang

mengkombinasikan suatu mekanisme dengan mekanisme yang lainnya. Menurut

Stephenson, Giller, dan Brown membagi bentuk keadilan Restoratif menjadi 4

(empat) bentuk, yaitu :48

1) Victim Offender Mediation (Mediasi Penal)

Bentuk pendekatan Restorative Justice yang membentuk suatu forum yang

mendorong pertemuan antara para pihak yaitu korban, pelaku, dan pihak

48

Martin Stephenson, Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Practice in Youth

Justice, (Potland : Willan Publishing, 2007), h.163-166.

Page 54: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

41

ketiga (mediator) yang netral dan imprasial, yang membantu para pihak untuk

berkomunikasi satu sama lainnya dengan harapan mencapai sebuah

kesepakatan. Dalam pertemuan tersebut, korban dapat menggambarkan

pengalamannya berkaitan dengan tindak pidana yang dialaminya dan efek

yang ditimbulkannya. Pelaku menjelaskan perbuatan pidana apa dan latar

belakang mengapa si pelaku melakukan hal tersebut. Sedangkan mediator

bertugas memberikan berbagai masukan bagi tercapainya penyelesaian terbaik

yang mungkin dilakukan. Mediasi dapat dilakukan secara langsung atau

secara tidak langsung (Shuttle Mediation).

2) Restorative Comperence (Comperencing)

Bentuk penyelesaian dengan model ini merupakan aplikasi keadilan Restoratif

yang dikembangkan oleh suku maori (Selandia Baru), akan tetapi

pelaksanaanya banyak Negara-negara yang mempergunakan aplikasi ini.

Dalam bentuk Conferencing, penyelesaian tidak hanya melibatkan pelaku dan

korban langsung saja (Primary Victim) namun juga melibatkan korban tidak

langsung (Seconary Victim), seperti keluarga, kawan dekat korban serta

kerabat dari pelaku.

3) Family Group Conference (FGC)

Model ini merupakan pengembangan dari model Conferencing, model ini

dipergunakan dalam penanganan tindak pidana yang pelakunya anak. Fokus

penyelesaian model ini ialah upaya pemberian pelajaran atau pendidikan bagi

pelaku atas apa yang telah dilakukannya. Dimana kedua belah pihak (korban

Page 55: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

42

dan pelaku) membuat sebuah Action Plan yang berasal dari informasi dari

korban, pelaku, dan kalangan professional. Hal ini dilakukan dengan tujuan

pencegahan agar suatu kesalahan tidak terulang lagi.

4) Community Panels Meetings

Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban, dan orang

tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan kesalahan.

Daly dan Immarigeon, menambah bentuk-bentuk keadilan Restoratif yang

berkembang didunia, terutama di Amerika Serikat dan Canada, adapun

bentuknya adalah :49

1. Hak Tahanan dan Alternatif selain penjara

Diperlakukannya suatu alternatif pemidanaan selain penjara guna

menjamin hak seseorang untuk dapat berkumpul dalam masyarakat, guna

mencegah meledaknya populasi penjara apabila semua perkara

diselesaikan dengan pemidanaan penjara.

2. Pilihan Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian dengan upaya informal (alternatif penyelesaian sengketa)

yang difokuskan pada upaya negosiasi antara para pihak, dengan juga

melibatkan peran masyarakat serta mengurangi ketergantungan akan

peran para professional hukum.

49

Kathleen Daly dan Russ Immarigeon, The Past, Present, and Future of

Restorative Justice : Some Critical Reflection, dalam Contemporary Justice Review, 1

(I), 1998, h.24-26.

Page 56: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

43

3. Advokasi

Keadilan Restoratif ini melakukan advokasi untuk korban tindakan

kriminal karena mereka kurang bisa bersuara dalam proses peradilan

pidana.

4. Justice Circles

Model penerapan keadilan Restoratif dalam aplikasi ini, hampir sama

dengan Conferencing, yaitu dalam menyelesaikan perkara pidana

melibatkan para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga

korban dan pelaku, termasuk didalamnya ikutnya aparat penegakan

hukum. Titik perbedaanya ialah setiap anggota masyarakat yang merasa

berkepentingan dengan perkara tersebut dapat datang dan ikut

berpartisipasi, Circles dalam hal ini diartikan sebagai pihak-pihak yang

berkepentingan dengan tindak pidana secara meluas. Dalam model

penyelesaian ini para pihak duduk dalam sebuah lingkaran. Penerapan ini

diadopsi dari praktek yang ada di kanada.

Selain bentuk-bentuk aplikasi Restorative Justice diatas, ada juga bentuk

aplikasi dalam bentuk Revarative Board (membahas perencanaan program-

program yang tepat tentang keadilan Restoratif yang juga melibatkan pelaku dan

Page 57: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

44

korban).50

Victim Assistance (pendampingan korban), Restitution (ganti rugi),

dan Community Service (layanan masyarakat).

5. Tujuan Restorative Justice

Proses Restorative Justice mempunyai Tujuan sebagai berikut :51

“Process goal include the following :

1). Victim who agree to be involved in the procces can do safely and come out it

sa tisfied;

2). Offender understand how their action has effected the victim and other

people, assume responsibility for the consequences of their action and

commit to making reparation;

50

Muladi dalam Eva Achjani Zulva, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi

Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek

Penegakan Hukum Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doctor Ilmu Hukum,

Juni 2009, h.9.

51

United Nation, Basic Principles on the use of restorative justice programmes

in criminal matters, ECOSOC Res 2000/14. U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add2 at 35 (2000).

(www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%25

20criminal% diakses pada tanggal 14 Januari 2016, Terjemahan bebas dari penulis yaitu :

“Proses tujuan meliputi :

1. Korban setuju untuk terlibat dalam proses yang dapat dilakukan dengan aman dan

menghasilkan kepuasan;

2. Pelanggar memahami bahwa perbuatan mereka telah mempengaruhi korban dan

orang lain, untuk kemudian bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan

mereka dan berkomitmen untuk membuat perbaikan/reparasi;

3. Langkah-langkah fleksibel yang disepakati oleh para pihak yang menekankan untuk

memperbaiki kerusakan dilakukan dan, sedapat mungkin, juga mencegah

pelanggaran;

4. Pelanggar membuat komitmen mereka untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan

dan berusaha untuk mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan perilaku mereka, dan

5. Korban dan pelaku baik memahami dinamika yang mengarah ke insiden tertentu,

memperoleh hasil akhir reintegrasi/kembali bergabung kedalam masyarakat.

Page 58: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

45

3). Flexible measures are agreed upon by the parties which emphasize repairing

the harm done and, wherever possible, also address the reasons for the

offence;

4). Offenders live up to their commitment to repair the harm done and attempt to

address the factors that led to their beha vior; and

5). The victim and the offender both understand the dynamic that led to the

specific incident, gain a sense of closure and are reintegrated into the

community.

C. Teori Tentang Keadilan

Kata “keadilan” yang dalam bahasa Inggris adalah “justice” berasal dari

bahasa latin “iustitia” memiliki sejarah pemikiran panjang. Satjipto Raharjdo

telah mencatat beberapa rumusan atau pengertian keadilan yang disampaikan

oleh banyak pemikir keadilan di antaranya;52

1. Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar

dari peraturan negara dan aturan aturan ini merupakan ukuran tentang apa

yang hak (Aristoteles);

2. Keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang

berhak mendapat apa yang merupakan bagiannya (Keadilan Justitian);

3. Roscou Pond melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa

diberikannya kepada masyarakat;

52

E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tujuan Hukum

Kodrat dan Antinomi nilai), (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2007), h. 98-99.

Page 59: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

46

4. Keadilan, suatu tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya usaha

untuk mencari kebenaran bisa berkembang dengan subur. Keadilan saya

karenanya adalah, keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan

demokrasi-keadilan toleransi (Hans Kelsen)

Ragam pengertian keadilan yang demikian merupakan konsekuensi dari

substansi teori keadilan yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir tersebut

diatas. Tiap pemikir mempunyai substansi (Teori) keadilan yang pasti berbeda-

beda. Berikut merupakan teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa pemikir

mengenai keadilan.

1) Keadilan menurut Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas

Persoalan keadilan menjadi hal yang utama dalam pembahasan hokum

kodrat pada masa yunani kuno, dengan peletak hukum kodrat Aristoteles.

Aristoteles merupakan murid dari Plato, pada dasarnya mengikuti pemikiran

Plato ketika Aristoteles memulai mempersoalkan tentang keadilan dan kaitannya

dengan Hukum Positif. Namun yang membedakan diantara mereka, bahwa Plato

dalam mendekati problem keadilan dengan sudut pandang yang bersumber dari

inspirasi, sementara Aristoteles mendekati dengan sudut pandang rasional.

Kaitan antara keduanya adalah, bahwa keduanya sama-sama berupaya

membangun konsep dengan nilai keutamaan (Concept of Virtue), yang bertujuan

untuk mengarahkan manusia kepada suatu kecondongan, yang pada dasarnya

telah menjadi problem utama dalam pemikiran Hukum Kodrat pada masa itu,

Page 60: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

47

tentang arah yang baik atau arah yang buruk, berdasarkan nilai keadilan atau

tiadanya keadilan.

Selanjutnya menurut Sumaryono mengemukakan “Dalil, hidup manusia

harus sesuai dengan alam”, merupakan pemikiran yang diterima saat itu, dan oleh

sebab itu, dalam pandangan manusia, seluruh pemikiran manusia harus

didasarkan pada kodratnya tadi, sehingga manusia dapat memandang tentang hal

yang benar dan keliru. Untuk melaksanakan peran kodrati manusia tadi, setiap

manusia harusnya mendasarkan tindakannya sesuai dengan gagasan keadilan,

sehingga manusia dapat memahami dan melakukan hal-hal yang bertentangan

dengan alam tempat manusia hidup.53

Plato berusaha untuk mendapatkan konsepnya mengenal keadilan dari

ilham; sementara Aristoteles mengembangkannya dari analisa ilmiah atas

prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang model-model masyarakat politik

dan undang-undang yang telah ada. Doktrin-doktrin Aristoteles tidak hanya

meletakan dasar-dasar bagi teori hukum, tetapi juga kepada filsafat barat pada

umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat hukum adalah formulasinya

terhadap masalah keadilan, yang membedakan antara :

Keadilan “distributif” dengan keadilan “koersif” atau “remedial” yang

merupakan bagian dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok

53

E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas

Aquinas, (Penerbit: Yogyakarta, Karnisius, 2002), h. 92; yang dikutip kembali oleh Inge

Dwisvimiar, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum,; jurnal dinamika hukum,

Vol 11, No. 3 Seftember 2011, h. 526.

Page 61: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

48

persoalan. Kontribusi pertama keadilan distributif berlaku dalam hukum

publik,54

mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai

dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang sama terhadap

kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini

menitik beratkan pada kenyataan fundamental, dan selalu benar, meskipun

dikesampingkan oleh hasrat filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran

pendirian politiknya, sehingga cita-cita keadilan secara teoritis tidak dapat

memiliki isi tertentu sekaligus sah.

Keadilan tersebut untuk hukum positif untuk menjelaskan siapa-siapa

yang sederajat dalam hukum, diperlukan prinsip-prinsip etika tertentu. Sementara

kontribusi kedua keadilan “korektif” , pada dasarnya merupakan ukuran teknis

dan prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur relasi-

relasi, hukum harus ditemukan standar yang umum untuk memperbaiki

pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku, dan objek-objek tersebut harus

diukur melalui satu ukuran yang objektif. Hukuman harus memperbaiki

kejahatan, ganti rugi harus memulihkan keuntungan yang tidak sah.

54

E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas

Aquinas, (Penerbit: Yogyakarta, Karnisius, 2002), h. 92; yang dikutip kembali oleh Inge

Dwisvimiar, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum,; jurnal dinamika hukum,

Vol 11, No. 3 Seftember 2011, h. 527.

Page 62: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

49

Kontribusi ketiga adalah pembedaan antara keadilan menurut hukum dan

keadilan menurut alam. Keadilan pertama mendapat kekuasaannya dari apa yang

ditetapkan sebagai hukum, apakah adil atau; keadilan kedua, mendapatkan

kekuasaannya dari apa yang menjadi sifat dasar manusia. Kontribusi keempat

adalah definisi hukum, yakni sebagai seperangkat aturan yang tidak hanya

mengikat masyarakat tetapi juga hakim.55

Thomas Aquinas, yang dikenal sebagai penerus tradisi filsafat ala

Aristoteles dan juga kaum stoa. Thomas membedakan tiga macam hukum yaitu

Hukum Abadi (lex eternal), Hukum Kodrat (lex naturalis), Hukum Manusia dan

Hukum Positif (lexhumana). Hukum abadi adalah kebijakan atau rencana abadi

tuhan berkaitan dengan pencarian alam semesta atau dunia dengan segala isinya.

Hokum Kodrat adalah perwujudan kebijakan atau rencana abadi tadi dalam

kodrat manusia. Hukum manusia adalah ketentuan tertentu dari akal budi

manusia demi kepentingan bersama yang dibuat oleh orang yang perduli

terhadap komunitas dan diberlakukan merata bagi semua orang.

Selanjutnya hukum ini harus memenuhi syarat formal dan material

tertentu. Secara formal hukum manusia harus adil dan dimaksudkan untuk

kesejahtraan manusia. Secara materil, Pertama, hukum manusia sah kalau begitu

saja mengungkapkan hukum kodrat, kedua, hukum manusia sah kalau merupakan

kesimpulan logis dari hukum kodrat, ketiga, hukum manusia sah kalau memberi

55

Tegus Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu

Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, cet 1,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h.145.

Page 63: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

50

keterangan dalam hal yang memang harus diatur, tetapi dari segi hukum kodrat

masih tetap terbuka kepada pengaturan mana yang mau dipilih.56

2) Keadilan menurut Jhon Rawls

Jhon Rawl berpendapat bahwa keadilan hanya dapat ditegakan

apabila negara melaksanakan asas keadilan, berupa setiap orang hendaknya

memiliki hak yang sama untuk mendapat kebebasan dasar (basic liberties);

dan perbedaan sosial serta ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa

sehingga memberi manfaat yang besar bagi mereka yang berkedudukan

paling tidak beruntung, dan bertalian dengan jabatan serta kedudukan yang

terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesepakatan yang layak.

John Rawls memunculkan suatu ide dalam bukunya A Teory of

Justice mengatakan57

. “Tujuan saya adalah untuk menyajikan sebuah konsep

keadilan yang menggeneralisasi dan mengangkat teori kontrak sosial yang

diungkapkan oleh, katakanlah, Locke, Rousseau, dan Kant ketingkat abtraksi

yang lebih tinggi. Untuk melakukan hal ini kita tidak akan menganggap

kontrak sebagai satu-satunya cara untuk memahami masyarakat tertentu atau

untuk membangun pemerintahan tertentu. Namun, gagasan yang

menandainya adalah prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat

56

E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas

Aquinas, (Penerbit: Yogyakarta, Karnisius, 2002), h. 92; yang dikutip kembali oleh Inge

Dwisvimiar, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum,; jurnal dinamika hukum,

Vol 11, No. 3 Seftember 2011, h. 527.

57

John Rawls, A Teory of Justice (Resived Edition), (USA: Harvard University

Press, 1971), h.10.

Page 64: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

51

merupakan tujuan dasar dari kesepakatan. Hal itu adalah prinsip yang akan

diterima orang-orang yang bebas dan rasional untuk mengejar kepentingan

mereka dalam posisi asli ketika mendefinisikan kerangka dasar asosiasi

mereka. Prinsip-prinsip ini akan mengatur semua lebih lanjut, mereka

menentukan jenis kerja sama sosial yang bisa dimasuki dan bentuk-bentuk

pemerintah yang bisa di dirikan. Cara pandang terhadap prinsip keadilan ini

akan saya sebut keadilan fairness.”

Unsur-unsur formal dari keadilan sesuai dengan pembagian aliran

keadilan menurut Kelsen dan Rawls yang pada dasarnya terdiri atas :58

1. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk

memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur

hak),

2. Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat

kepada setiap individu (unsur manfaat).

Dengan unsur nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur

hak dan manfaat. Ditambahkan bahwa dalam diskurusus hukum, perihal realisasi

hukum itu terwujud lahiriyah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikat

moralnya. Jadi bisa di katakan bahwa keadilan pada hakikatnya harus

memberikan manfaat dan memiliki kedudukan serta hak yang sama dihadapan

hukum kepada setiap individu tanpa terkecuali didalam hukum. Melihat dari

58

E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tujuan Hukum

Kodrat dan Antinomi nilai), (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2007), h.100.

Page 65: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

52

uraian mengenai terminologi keadilan di atas jelaslah bahwa untuk dapat melihat

adanya gambaran keadilan terdapat ukuran tersendiri yang dapat mengukurnya.

Page 66: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

53

BAB III

EKSISTENSI MEDIASI PENAL DI BEBERAPA NEGARA

1. Mediasi Penal menurut peraturan Perundang-undangan

Mediasi penal dalam dimensi hukum Negara (ius konstitutum) sejatinya

memang belum banyak dikenal dan masih menyisahkan kontroversi, diantara

pihak-pihak yang sepakat dan tidak sepakat untuk diterapkan. Persoalan

esensialnya mengarah pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait

dengan domain superioritas Negara dengan superioritas masyarakat kearifan

lokal. Selain dimensi diatas, implikasi lain sebenarnya eksistensi mediasi penal

dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”.

Dikatakan demikian, disatu sisi oleh karena mediasi penal dalam

ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana, tetapi

dalam tataran dibawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui direksi

penegak hukum dan sifatnya persial.59

Namun menurut Barda Nawawi meskipun

perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan,

namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana

diluar pengadilan yaitu:60

59

Lilik Mulyadi, Mediasi Penal, Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

(Bandung: P.T. Alumni, 2015), h.24.

60

Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara diluar Pengadilan ,

(Semarang: Pustaka Megister, 2008),h.44.

53

Page 67: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

54

a. Pasal 82 KUHP yang berbunyi :

1. Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam

denda saja, menjadi hapus, kalau dengan sukarela

dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah

dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai atas kuasa

pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan

umum dalam waktu yang ditetapkan olehnya.

2. Jika disamping denda ditentukan perampasan, maka

barang yag dikenal perampasan harus diserahkan pula,

atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat

tersebut dalam ayat 1.

3. Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan,

pemberatan itu tetap berlaku sekalipun kewenangan

menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan

lebih dulu telah hapus berdasarkan ayat 1 dan ayat 2

pasal ini.

4. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi

orang yang belum cukup umur yang pada saat

melakukan perbuatan belum berumur 16 tahun.

Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau

“pembayaran denda damai”, atau Schikking sebagai suatu cara penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan (Afdoening Buiten Process).61

Berdasarkan materi Pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) tersebut diketahui bahwa penyelesaian di luar sidang pengadilan hanya

berlaku untuk pelanggaran tertentu yaitu pelanggaran yang semata-mata diancam

61

Sehari-hari Schikking diterjemahkan dengan denda koreksi, denda damai,

denda ganti. Schikking ini tidak berlaku jika tindak pidana tersebut dianggap kejahatan

lihat Leden Marpung, Tindak Pidana Penyelundupan Masalah Dan Pemecahannya,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991),h.21.

Page 68: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

55

dengan hukuman denda dan tidak terhadap pelanggaran yang diancam dengan

hukuman selain denda adapun syarat-syaratnya adalah:62

a) Jenis tindak pidana adalah pelanggaran.

b) Pelanggaran atas tindak pidana ini oleh Undang-undang diancam

dengan sanksi denda.

c) Berlaku berkenan membayar denda maksimum dengan sukarela.

d) Jika penuntutan telah dimulai biaya-biaya perkara yang berkaitan

dengan pelaksanaan penuntutan dibebankan kepada pelaku.

e) Ancaman pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu jika

dirumuskan dalam aturan undang-undang dapat dilaksanakan oleh

penuntut umum atau dapat dikonversi kedalam sejumlah uang dengan

taksiran yang ditentukan oleh undang-undang.

f) Pelaksanaan penyelesaian perkara pidana melalui lembaga ini dapat

diperhitungkan sebagai pemberatan bila terjadi pengulangan atau

recidive.

Penyelesaian di luar sidang pengadilan merupakan suatu cara

pengguguran hak menuntut terhadap pelanggaran yaitu dengan cara membayar

hukuman denda yang tertinggi sebagai mana diancam terhadap pelanggaran itu.

Pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut memanglah

bukan mediasi penal seperti yang telah diuraikan diatas, hal mana juga

62

Eva Achjani Zulva, Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringanan,

dan Pemberat Pidana, (Bogor: Ghalia, 2010),h.37.

Page 69: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

56

diungkapkan oleh Barda Nawawi jika Pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) tersebut belum menggambarkan secara tegas adanya

kemungkinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban

(terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang

merupakan “sarana pengalihan/diversi” (means of diversion)” untuk

dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun pasal 82 KUHP

merupakan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya

ganti rugi/ kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar

denda maksimum yang diancamkan.63

b. Dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Anak

yang selanjutnya disebut (UUSPA) merupakan satu-satunya Undang-undang

yang secara tegas mengatur ketentuan mediasi penal melalui konsep Diversi.

Istilah sistem peradilan anak digunakan secara tegas dalam Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Anak yang selanjutnya disebut

(UUSPA) dimana pada Undang-undang sebelumnya hanya digunakan Undang-

undang tentang Peradilan Anak. Dalam menangani anak yang bermasalah dengan

Hukum (ABH) dalam UUSPA ini secara tegas menggunakan pendekatan

keadilan restoratif.64

Melalui konsep Restorative Justice, setiap tujuan

63

Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara diluar Pengadilan ,

(Semarang: Pustaka Megister, 2008),h.44.

64 Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan: “Sistem Peradilan

Pidana Anak Wajib menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif”

Page 70: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

57

pemidanaan terhadap anak akan lebih mengedepankan pemulihan kerugian yang

dialami oleh korban maupun pelaku dibandingkan menjatuhkan pidana penjara

bagi pelaku anak.

Pada umumnya proses Restorative Justice dapat dilakukan melalui direksi

kepolisian atau diversi.65

Munculnya ide diversi bermula pada suatu pemikiran

tentang pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil

tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah

pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan

atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses peradilan pidana atau

mengembalikan/menyerahkan kepada orang tua, masyarakat dan bentuk-bentuk

kegiatan pelayanan sosial lainnya.

Melalui diversi, maka tidak setiap perkara pidana yang pelakunya adalah

anak secara otomatis langsung masuk dalam sistem peradilan pidana. Harus

diupayakan suatu penyelesaian konflik melalui forum yang disebut sebagai

mediasi penal. Beberapa pasal mengatur tentang mediasi penal sebagai upaya

mewujudkan Diversi seperti pasal 6 menyatakan Diversi bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b. Menyelesaikan perkara Anak diluar proses peradilan;

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

65

Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tentang Rancangan Undang-

undang Pengadilan Anak, (Jakarta: BPHN, 2009),h. 15.

Page 71: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

58

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Pasal 8

(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan

melibatkan Anak dan orang tua/ walinya, korban dan/

orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan

pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan

keadilan restoratif.

Oleh karena Diversi dalam UUSPA wajib diterapkan dalam tigkatan

pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntut umum, dan di pengadilan maka

mediasi penal pada hakekatnya juga diterapkan pula dalam tiapan tahapan

pemeriksaan dalam peradilan anak.

Dikaji ditataran regulasi dibawah undang-undang yang bersifat persial

dan terbatas sifatnya, mediasi penal diatur dalam surat Kapolri No. Pol

B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan

Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) serta peraturan kepala

kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman

Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri.

Pada dasarnya, peraturan tersebut mengatur tentang penanganan kasus

pidana melalui ADR dengan sifat materi kerugian kecil, disepakati para pihak,

dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat, dilakukan harus menghormati

norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan dan apabila dicapai melalui

ADR pelakunya tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.

Page 72: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

59

Dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan

Kepastian Hukum kepada Debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau

tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya

berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Inpres ini ditunjukan

kepada beberapa Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan, antara lain Menteri

Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI dan Ketua Badan

Penyehatan Perbankan Nasional. Pada Dictum pertama angka 4 Inpres Nomor 8

Tahun 2002 disebutkan bahwa:

“dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana

dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan

Debitur dari aspek pidana yang terkait langsung

dengan program penyelesaian kewajiban pemegang

saham, yang masih dalam tahap penyelidikan,

penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak

hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses

penghentian penanganan aspek pidananya, yang

pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.” 66

2. Praktik Mediasi Penal Di Beberapa Negara

A. MEDIASI PENAL DI BELANDA

Ketentuan Pasal 74 Sr Belanda tentang afdoening buiten process atau

mediasi penal telah mengalami perkembangan baik dalam rumusan, kualifikasi

tindak pidana maupun proses penerapannya. Dalam ketentuan Pasal 74 Sr

ditentukan bahwa penuntut umum sebelum memulai persidangan dapat

66

Lilik Mulyadi, Mediasi Penal, Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

(Bandung: P.T. Alumni, 2015), h.25.

Page 73: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

60

menetapkan sama atau lebih persyaratan yang dirumuskan dalam Pasal 82 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP Indonesia

(terutama disebutkan dalam bentuk pembayaran sejumlah uang tertentu) untuk

mencegah atau mengakhiri diteruskannya penuntutan pidana karena suatu

kejahatan. Adapun persyaratan atas kualifikasi tindak pidananya adalah

pelanggaran atau kejahatan yang diancam dengan pidana penjara maksimum 6

tahun. Dalam hal tindak pidana ringan, polisi pun diberikan kewenangan untuk

menjalankan mekanisme ini (Pasal 74c Sr). Mekanisme ini dikenal sebagai

transaktie. 67

)

Pada dasarnya, perkembangan kualifikasi tindak pidana ini mengalami

sejarah yang panjang dan beberapa kali perubahan. Perubahan pertama terjadi

dengan diberlakukannya Staatblad No. 833 tertanggal 5 Juni 1921 tentang

penyederhanaan cara penyidangan mengenai perkara-perkara pidana yang

sifatnya ringan. Kemudian, perubahan yang kedua terdapat dalam Staatblad No.

308 tertanggal 29 Juni 1925, bahwa ketentuan dalam pelaksaan Pasal 74 tentang

batalnya hak jasa melakukan penuntutan tidak hanya berkaitan dengan tindak

pidana yang diancam dengan denda saja tetapi juga tindak pidana itu diancam

dengan pidana kurungan. Namun, dalam hal ini posisi penuntut umum terhadap

permohonan penyelesaian di luar sidang menjadi berbeda.

67

Eva Achjani Zulva, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,

Makalah, Jakarta, 2011. h. 6-8

Page 74: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

61

Menurut Simons:

Dalam hal ancaman

Pidana adalah denda

Penuntut umum tidak diperkenankan menolak bila

dengan sukarela pelaku mau membayarkan denda

maksimum dan melaksanakan persyaratan

sebagaimana ditentukan dalam aturan perundang-

undangan.

Dalam hal ancaman

Pidana adalah denda

Dan atau kurungan

a) Penuntut umum memiliki hak untuk

mengabulkan atau menolak.

b) Bila ia mengabulkan maka ia akan menentukan

syarat dibayarkannya sejumlah uang tertentu

sebagai pengganti kurungan yang besarnya

minimum 50 sen dan setinggi-tingginya sama

dengan jumlah denda maksimum.

c) Penuntut umum juga berwenang menentukan

jangka waktu pelaksanaannya dan tempat

dimana “transaktie” tersebut dilaksanakan.

d) Adapun bila sampai jangka waktu yang

ditentukan belum dapat dilunasi, hal ini hanya

dapat diperpanjang satu kali saja sesuai dengan

jangka waktu yang pertama

Page 75: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

62

Simons juga menegaskan bahwa bila terjadi pengulangan atas tindak

pidana yang diselesaikan diluar pengadilan ini, berarti:

a) Terhadap tindak pidana yang baru dapat diperberat ancaman

pidananya (menjadi dasar recidive); dan

b) Terhadap tindak pidana yang pertama dapat dilakukan penuntutan,

sehingga penyelesaian dengan cara “transaktie” tersebut tidak

diperhitungkan sebagai ne bis in indem.

Perbedaan antara ketentuan staadblad tahun 1921 dan tahun 1925 adalah

terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam staatblad 1921,

ketentuan ini tidak berlaku bagi anak-anak dibawah umur, sementara dalam

staatblad 1925 bagi anak-anak yang belum mencapai umur 18 tahun, ketentuan

jumlah denda yang tertinggi adalah sebesar 90 rupiah.

Pada tahun 1983, ketentuan lembaga penyelesaian perkara diluar

pengadilan ini memperoleh perubahan melalui Wetvermogenssanties Belanda

(undang-undang tentang sanksi terhadap harta benda) yang mulai berlaku tanggal

1 Mei 1983. Adapun perubahan yang terjadi adalah :

1) Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk pelanggaran saja melainkan

juga bagi kejahatan-kejahatan yang ancaman pidananya maksimal

adalah penjara paling lama 6 tahun.

2) Karena hal ini merupakan hak tersangka, penuntut umum harus

menawarkan penyelesaian melalui mekanisme ini sebelum

mengajukan tuntutan ke Pengadilan. Dalma hal ini bila tawaran itu

Page 76: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

63

tidak dilaksanakan oleh penuntut umum, tersangka dapat

mengajukannya kepada penuntut umum.

Mengenai syarat lainnya tetap mengacu kepada ketentuan yang ada dalam

Pasal 74a Sr. beberapa catatan yang dibuat Remmelink berkaitan dengan

perkembangan kualifikasi tindak pidana yang juga mencangkup kejahatan

adalah:68

a. Bahwa dari memori penjelasan KUHP (MvT) dapat terungkap bahwa aturan

transaksi terutama ditunjukan untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana

ringan yang banyak terjadi. Akan tetapi, batasan ini berdasarkan

perkembangannya harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Dalam

tindak pidana seperti pencurian (Pasal 362), pencurian dengan pemberatan

(Pasal 363), pencurian ringan (Pasal 364), atau penggelapan (Pasal 372

KUHP) kiranya menurut materi kehakiman Belanda dapat diselesaikan

melalui mekanisme ini.

b. Keuntungan dari perluasan demikian bagi terdakwa adalah terhindarnya ia

dari suatu pengalaman yang mungkin sangat menyakitkan, yaitu proses

pemeriksaan di muka umum di hadapan saksi saksi, saksi ahli, pengacara dan

hakim. Sebaliknya, bagi penuntut umum hal tersebut akan merupakan

penghematan waktu yang sangat penting sehingga kekuasaan kehakiman

dapat memberikan perhatian pada masalah-masalah yang lebih penting.

68

Eva Achjani Zulva, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,

Makalah, Jakarta, 2011. h. 9-12.

Page 77: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

64

Adapun kekhawatiran adanya penyalahgunaan kewenangan ini ditanggapi

oleh Menteri Kehakiman Belanda dengan meyakinkan bahwa adanya publikasi

terhadap pedoman-pedoman umum tentang pelaksanaan kebijakan transaksi,

membuka kesempatan akan adanya keterbukaan atas informasi maupun

pemantauan masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Sehingga

diharapkan bahwa penegak hukum khususnya penuntut umum tidak

sembarangan dalam menggunakan kewenangannya terhadap lembaga ini, hanya

akan menggunakannya secara sangat berhati-hati dan dengan memerhatikan

prinsip kemampuan terpidana (untuk membayar jumlah denda atau pidana lain

yang dijatuhkan/draagkrachtbeginsel). Dalam hal ini, tersangka harus secara

bebas dan mandiri dapat mempertimbangkan baik-buruknya pilihan

menggunakan lembaga ini atau tidak dan tidak boleh dilakukannya tekanan

kepada mereka. Pertimbangan terakhir ini muncul pula dalam putusan

Mahkamah (untuk perlindungan) Hak Asasi Eropa tanggal 27 Februari 1980.

B. MEDIASI PENAL DI AUSTRIA

Pasal 90g KUHAP Austria menyatakan bahwa:

the Public Prosectur can divert a penal case from the

courts if the suspect is willing to acknowledge the deed

and prepared to deal with its causes, if the suspect is

prepared to undertake restitution for the possible

consequences of the deed in a suitable manner, in

particular by providing compensation for damage caused

or otherwise contributing to reparation for the

consequences of the deed, and if the suspect consents to

undertake any necessary obligations which indicate a

Page 78: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

65

willingness to refrain in future from the type of behavior

which had led to the deed.

Berdasarkan ketentuan pasal ini, penuntut umum dapat mengalihkan

perkara pidana dari pengadilan apabila :

1. Terdakwa mau mengakui perbuatannya;

2. Terdakwa siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerugian

yang timbul; atau

3. Terdakwa siap memberikan kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat

dari perbuatannya; dan

4. Terdakwa setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang

menunjukan kemauannya untuk tidak mengulangi tindak pidananya.

Awal mediasi penal ditunjukan bagi perkara tindak pidana anak saja,

tetapi dalam perkembangannya mediasi penal juga dimungkinkan bagi orang

dewasa. Dalam undang-undang ini ditentukan kualifikasi tindak pidana yang

dapat digunakannya mediasi penal dalam penyelesaiannya yaitu ancaman pidana

penjara tidak lebih dari 5 tahun untuk dewasa dan 10 tahun untuk anak-anak.

Meskipun demikian, dalam perkara-perkara tertentu seperti dapat juga digunakan

untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence). Namun,

mediasi penal sebagai bentuk diversi tidak dimungkinkan diterapkannya, apabila

ada korban mati seperti dalam kasus manslaughter.69

69

Lilik Mulyadi, Mediasi Penal, Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

(Bandung: P.T. Alumni, 2015), h.70-71.

Page 79: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

66

C. MEDIASI PENAL DI BELGIA

Tujuan diberlakukannya “penal mediation” di Belgia utamanya adalah

untuk memberikan kemungkianan diberikannya ganti-rugi materiil dan tanggung

jawab moral kepada korban yang ditimbulkan karena adanya suatu tindak pidana.

Bagi pelaku, mediasi juga dapat dilakukan dengan tujuan agar ia melakukan

suatu terapi/ rehabilitasi atau melakukan kerja sosial (community service) sebagai

bentuk tanggung jawabnya.70

Hal ini diatur dalam the act on penal mediation yang diberlakukan pada

tahun 1994 bahwa pada saat diberlakukan disertai dengan pedomannya (the

guideline on penal mediation). Berdasarkan ketentuan ini, penuntut umum diberi

kebebasan yang lebih luas untuk memprioritaskan kepentingan korban. Apabila

pelaku tindak pidana berjanji untuk memberi kompensasi kepada korban,

kasusnya dapat diteruskan ke penuntutan.

Pada mulanya kewenangan penuntut umum untuk tidak meneruskan

penuntutan karena adanya pembayaran kompensasi hanya untuk delik yang

diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya ketentuan baru ini,

dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana maksimum 2 tahun

penjara. Ketentuan hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code of

Criminal Procedure 1994.

70 Eva Achjani Zulva, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,

Makalah, Jakarta, 2011. h.13.

Page 80: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

67

- Dalam The Juvenile Penal Code 1923, lembaga restitusi digunakan sebagai

bentuk sanksi yang berdiri sendiri (an independent sanction) atau sanksi

yang diakumulasikan dengan jenis sanksi lainnya (combination with further

orders) atau sebagai sarana diversi. Dalam perkembangannya, lembaga ini

digunakan oleh petugas bagi penanganan perkara pidana yang dilakukan

oleh orang dewasa, yang dalam tahun 1953 dipakai sebagai syarat khusus

dalam penjatuhan pidana bersyarat (probation). Sementara, pada tahun 1975

dipakai sebagai sarana diversi bagi jaksa dan hakim [§ 153(a) StPO]. i baru

pada tahun 1990, OVA (offender-victim arrangement) dimasukan ke dalam

hukum pidana anak secara umum (§ 10 I Nr. 7 JGG), dan dinyatakan sebagai

“ a means of diversion” (§ 45 II S. 2 JGG). Pada 12 Januari 1994,

ditambahkan Pasal 46a ke dalam StGB (KUHP). Pasal ini menetapkan,

apabila pelaku memberi ganti rugi/ kompensasi kepada korban secara penuh

atau sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras

untuk memberi ganti rugi, pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat

dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya dapat diberikan

apabila deliknya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau

360 unit denda harian.

- Penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi ini

dikenal dengan istilah Tater-Opfer-Ausgleich (TOA). Apabila TOA telah

dilakukan, penuntutan dihentikan (s. 153b stop/Stafro-

zessordenung/KUHAP).

Page 81: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

68

D. MEDIASI PENAL DI INDONESIA

Di Indonesia, paradigma yang ditawarkan oleh keadilan restoratif sebagai

paradigma yang mewadahi mekanisme mediasi penal di Indonesia, dalam

praktiknya bukan merupakan hal baru. Praktik penyelesaian sengketa non

adversary atau di luar proses peradilan pidana, dalam kenyataanya sudah

diterapkan masyarakat sebagai cerminan dari lembaga musyawarah mufakat

yang menjadi bagian dari filosofis bangsa Indonesia. Realita menunjukan bahwa

penyelesaian suatu konflik di dalam masyarakat Indonesia, meskipun merupakan

suatu pelanggaran perundang-undangan pidana, tidak selalu berakhir di

pengadilan. Kasus-kasus ringan seperti kenakalan anak, pencurian ringan, bahkan

sampai pada penganiayaan dan perkosaan ternyata juga dapat diselesaikan

melalui lembaga musyawarah ini dengan atau tanpa melibatkan petugas terkait.

Salah satu bentuk dari konsep Restorative Justice adalah dengan

melakukan Mediasi Penal sebagai upaya menghadirkan peranan korban untuk

berpartisipasi dalam penyelesaian perkara pidana bersama-sama pelaku tindak

pidana sebagai pihak yang dirugikan, apalagi praktik dalam masyarakat untuk

menyelesaikan perkara pidana yang bermuatan perdata dengan Mediasi Penal

marak terjadi. Contoh:

- kasus kecelakaan dengan korban dua orang tewas dan lainnya mengalami luka

ringan yang melibatkan Rasyid Amrullah Rajasa (22), putra bungsu dari

Hatarajasa, kelalaian yang dialami terdakwa menyebabkan terjadinya kecelakaan.

Terdakwa telah terbukti melakukan kesalahan atas pasal primer atau subsider.

Page 82: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

69

Dalam sidang dengan agenda vonis, Suharjono kembali mengatakan, pihaknya

menggunakan teori pemidanaan Restorative Justice dalam memutuskan vonis

terhadap Rasyid.

Teori tersebut, dikatakan hakim, adalah perspektif hukum yang ikut

memasukan pertanggung jawaban terdakwa kepada korbannya sebagai bahan

pertimbangan. Tindakan keluarga dengan memberikan santunan maupun

pembiayaan perawatan dan penggantian kendaraan yang rusak sebagai bentuk

karakter pertanggung jawaban dan restitusi, rekonsiliasi, dan restorasi.71

- Kasus kecelakaan di Tol Jagorawi yang melibatkan Abdul Qodir Jaelani, putra

musisi Ahmad Dhani, yang menyebabkan enam orang korban meninggal dunia

dalam kecelakaan ini dan korban luka ada Sembilan orang. Dengan banyak

pertimbangan, majelis hakim memerintahkan agar agar terdakwa dikembalikan

ke orangtuanya. Sebelumnya JPU (Jaksa Penuntut Umum) 1 tahun penjara dan

masa percobaan 2 tahun penjara, namun majelis hakim merasa tidak sepaham

dengan dengan tuntutan JPU.

Penyelesaian secara Restorative Justice sudah terpenuhi antara keluarga

terdakwa dan korban terjalin. Keluarga korban juga tidak menginginkan kasus ini

dibawa keranah hukum.72

71

https://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/26/11124620/Akhir.Kisah.Kecelaka

an.Sang.Anak.Menteri diakses pada tanggal 30 Juni 2016.

https://simomot.com/2014/07/16/dul-divonis-bebas-atas-kasus-kecelakaan-maut-

di-tol-jagorawi diakses pada tanggal 30 Juni 2016

Page 83: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

70

3. Praktik Mediasi di Kepolisian

Lembaga kepolisian merupakan ujung tombak dalam penegakan hukum

karena sebagai garda terdepan yang secara langsung berhadapan dengan tindak

pidana dan pelakunya. Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu

fungsi pemerintah Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat.

Dalam bidang penegakan hukum fungsi kepolisian meliputi fungsi

penyelidikan dan penyidik, yang dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang

Kepolisian disebutkan dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara

Republik Indonesia berwenang untuk :

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa

tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

Page 84: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

71

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan

pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau

mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan

tindak pidana;

k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri

sipil untuk diserhkan kepada penuntut umum; dan

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan

penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat

sebagai berikut :

a) Tidak bertentangan dengan suatu atauran hukum;

b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan;

c) Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

e) Menghormati hak asasi manusia.

Sementara itu dalam Bab I tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, Pasal 1 angka 1

Page 85: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

72

dinyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau

pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan oleh KUHAP diartikan sebagai

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam

undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.

Adapun fungsi penyidikan dan wewenang penyidik didalam KUHAP

diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 11. Fungsi penyidikan berakhir dengan

dilimpahkannya berkas hasil penyelidikan, tersangka dan barang bukti kepada

lembaga kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Menurut Pasal 102 ayat (2) dan

(3) KUHAP suatu perkara pidana dapat dihentikan apabila tidak terdapat cukup

bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana dan dihentikan

demi hukum.73

Penerapan tugas penyidikan aparat kepolisian dalam perjalanannya

mengalami perkembangan dan pergeseran penanganan terhadap tindak pidana

yang terjadi masyarakat. Hal ini Nampak Seiring Surat Kepala Kepolisian

73

Pasal 102 ayat 2 dan 3 KUHAP yang berbunyi :

(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti

atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan

demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,

tersangka atau keluarganya.

(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana

dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera

disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.

Page 86: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

73

Republik Indonesia Nomor. Pol: B/302/XII/2009/Sdeops tgl.14 Desember 2009

tentang Penanganan Kasus melalui ADR, yaitu terhadap tindak pidana dengan

kerugian kecil dan disepakati oleh para pihak yang berperkara, melalui prinsip

musyawarah mufakat, serta menghormati norma hukum sosial/adat dan

berasaskan keadilan bagi para pihak. Menurut Teddy Lesmana Surat Kapolri ini

dapat dikaitkan sebagai aturan pertama yang secara tegas mengatur masalah

mediasi penal meskipun secara persial dan terbatas sifatnya.74

Mediasi muncul sebagai salah satu pemikiran Alternatif dalam

pemecahan masalah sistem peradilan pidana. Hal ini berawal dari wacana

Restorative Justice yang berupaya untuk mengakomodir kepentingan korban dan

pelaku tindak pidana, serta mencari solusi yang lebih baik untuk kedua belah

pihak, mengatasi berbagai persoalan sistem peradilan pidana yang lain.

Mediasi dipilih oleh pihak penyidik karena dengan melakukan proses

mediasi tidak hanya dicari sebuah kepastian hukum tetapi juga dipaparkan fakta-

fakta sehingga yang didapat adalah suatu kebenaran dan kemanfaatan serta apa

yang akan diputuskan untuk menyelesaikan masalah kedua belah pihak dapat

dibicarakan tanpa ada tekanan, meskipun mediasi dalam tindak pidana sering

dilakukan dan hal dianggap sebagai suatu penyimpangan. Namun kenyataanya

bahwa masyarakat menginginkan suatu pemecahan masalah yang cepat dan biaya

murah dengan hasil yang memuaskan kedua belah pihak.

74

CSA Teddy Lesmana, Mediasi Penal dalam Perspektif Pembaharuan Sistem

Peradilan Pidana, www.scribd.com/doc.95030344/mediasi-penal-perspektif-

pembaharuan-sistem-peradilan-pidana-Indonesia. Diakses pada tanggal 27 Januari 2016

Page 87: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

74

Penelitian terhadap penyelesaian pidana dengan menggunakan mediasi

yang diterapkan oleh penyidik pada kebanyakan diterapkan pada perkara pidana

yang terkait dalam lingkup keluarga seperti Kekerasan dalam Rumah Tangga

maupun perzinahan. Tetapi tidak terbatas pada perkara tersebut perkara lain

seperti penganiayaan, kekerasan yang dilakukan secara bersama bahkan penipuan

dapat diselesaikan dengan perdamaian. Tidak semua perkara pidana seperti yang

disebut diatas peran penyidik sebagai mediator tetapi adakalanya korban dan

pelaku maupun yang mewakili mereka yang mempunyai keinginan untuk

berdamai. Jika demikian halnya penyidik hanya memfasilitasi dengan

memberikan tempat dan waktu.75

Khusus untuk perkara kekerasan dalam rumah tangga berkecenderungan

pada penyelesaian secara damai juga diterapkan seperti terlihat dalam

penanganan perkara KDRT oleh penyidik polres Bukit Tinggi lebih

mengutamakan mediasi antara korban dan pelaku dan penyelesaian kasus secara

kekeluargaan dengan cara damai berdasarkan kewenangan diskrisioner

kepolisian, walaupun kasus-kasus tersebut bukan merupakan delik aduan.

Sedangkan terhadap kasus-kasus yang dilanjutkan proses hukumnya hal ini

dikarenakan tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk berdamai, sehingga

75

Rios Rahmanto, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,

2013, h.84.

Page 88: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

75

secara hukum kasus-kasus yang dilaporkan tersebut akan dilanjutkan ke

kejaksaan.76

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga didapatkan pada wilayah Hukum

Kepolisian Resort Depok yang menerangkan bahwa penggunaan mediasi kerap

dilakukan terhadap kejahatan yang terutama melibatkan masa seperti perkelahian

kelompok ataupun antar warga yang akhir-akhir ini sering terjadi termasuk di

wilayah Hukum Depok. Selain itu mediasi juga sering digunakan untuk perkara-

perkara yang dianggap ringan seperti pencurian dengan jumlah kerugian yang

kecil, penipuan atau penggelapan. Penggunaan mediasi terkadang masih

dipersepsikan oleh masyarakat secara negatif apalagi hukum acara pidana tidak

mengenal atau mengaturnya, tetapi dengan adanya SK Kapolri Nomor:

B/3022/XII/2009/SDEOPS tentang penggunaan mediasi dalam perkara tertentu

dan yang terbaru adalah STR Kapolda Metro Jaya Nomor;STR/2804/X/2012

tanggal 23 Oktober 2012 yang pada pokoknya agar terhadap tindak pidana yang

dianggap ringan agar diupayakan penyelesaiannya melalui apa yang disebut

Restorative Justice dengan menggunakan mediasi antara korban dan pelaku

76

Malkani, Artikel: Dilematis Pemeriksaan tersangka oleh Penyidik terhadap

Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Polres Bukit Tinggi, Program

Kerjasama Pasca Sarjana Universitas Andalas dengan Universitas Muhammadiyah

Sumatra Barat, 2012, h.13.

Page 89: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

76

termasuk tokoh masyarakat. Apabila tercapai maka si korban disarankan agar

mencabut perkaranya sehingga perkara dihentikan penyidikannya.77

Kondisi ini bukan terjadi di wilayah Polda Metro Jaya tetapi di wilayah

Polda Bali yang berupaya menerapkan Mediasi Penal berdasarkan Surat Kapolri

Bali Nomor: STR/909/X/2012 dimana dalam pertimbangannya tertulis “ Konsep

Restorative Justice tersebut tetap mengupayakan adanya mediasi untuk damai

diantara pelapor dan terlapor agar tidak terjadi complain dikemudian hari dan

menyarankan kepada pelapor untuk mencabut Laporan/ Pengaduan.”

Dalam mediasi ini pihak korban dapat meminta ganti rugi ataupun

permintaan maaf jika tindak pidananya seperti pencemaran nama baik atau fitnah

bahkan penggabungan keduannya. Setelah tercapai kata sepakat maka pihak

dibuatkan surat perjanjian damai lalu penyidik akan membawa hasil kesepakatan

damai tersebut ke forum bedah kasus yang terdiri dari sejumlah pejabat penyidik

untuk menentukan apakah perkara tersebut tetap dilanjutkan atau akan

dihentikan.

Selain itu fakta penyelesaian konflik etnis dengan metode ADR juga

pernah dilakukan oleh Polsek Tanjung Duren Jakarta dengan mengedepankan

teknik negosiasi dan mediasi. Sebagaimana diungkapkan penelitian mahasiswa

PTIK yang pada umumnya berkesimpulkan bahwa pendekatan informal (mediasi

77

Rios Rahmanto, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,

2013, h.85.

Page 90: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

77

antara pihak yang bertikai) cukup efektif dalam penyelesaian konflik yang

melanda bangsa Indonesia.78

4. Peraktek Mediasi di Kejaksaan

Dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, Pasal 1 angka 1 Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan

pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 1 dan 2

mendefinisikan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan

hakim. Penuntutan menurut undang-undang Kejaksaan RI adalah penuntutan

adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan

negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum

Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di

siding pengadilan.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan

Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan

kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian

hukum, ketertiban hukum, keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan

78

Farouk Muhammad, Reformasi POLRI dalam konteks pembangunan Sistem

Peradilan Pidana dalam Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum di Indonesia,

(Jakarta: Komisi Yudisial, cet kedua, 2010),h.301.

Page 91: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

78

juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain

turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan

pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewibawaan

pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.

Adapun tugas dan wewenang jaksa, dalam proses peradilan pidana

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 Undang-undang Kejaksaan RI sebagai

berikut :

1) Dibidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan;

b. Melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawas, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaanya dikordinasikan dengan penyidik.

Sementara itu wewenang penuntut umum berdasarkan Pasal 14 KUHAP

adalah sebagai berikut:

Page 92: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

79

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik dari penyidik atau

penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan, penyidikan

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),

dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan

dari penyidik;

c. Memberikan perpanjang penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan

hari dan waktu perkara di persidangan yang disertai surat panggilan,

baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada siding

yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang.

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pada tingkat penuntutan juga

didapati mediasi sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Inisiatif untuk

Page 93: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

80

melakukan perdamaian biasanya datang dari pihak pelaku atau korban, tetapi

dapat juga dilakukan oleh jaksa dengan cara memanggil saksi dan korban dengan

pelaku atau keluarganya. Mediasi yang pernah dilakukan khususnya dalam

perkara ringan yang antara pelaku dan korban mempunyai hubungan

persaudaraan, seperti dalam kasus pencurian, penggelapan dan penipuan, maupun

kasus tindak pidana karena kealpaan.79

Disini jika para pihak menyetujui, maka diadakan perdamaian dengan

disaksikan oleh jaksa. Dalam mediasi ini pihak korban dapat meminta ganti

kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila terjadi kesepakatan dari pihak

korban dan pelau untuk mengganti kerugian, kesepakatannya tidak

menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan

sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat sebagai

pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan tetap ditangan

hakim.

Mediasi penal disini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena itu

belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan

hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal. Jika pelaku tetap di pidana

akan tetapi untuk pidananya diperingan. Penghentian penuntutan hanya mungkin

dalam hal tindak pidana yang bersifat delik aduan setelah berhasil mencapai kata

79

Rios Rahmanto, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Pidana, Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,

2013, h.87.

Page 94: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

81

sepakat lalu disertai pencabutan pengaduan oleh pihak yang melakukan

pengaduan.

Kenyataan seperti itu juga diungkapkan dari suatu penelitian yang

menerangkan dalam kasus tindak pidana yang masuk ke dalam kategori “delik

biasa”, seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian seperti dalam Pasal

359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain), serta dalam

tindak pidana terhadap harta benda seperti Pasal 372 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP tentang penggelapan dan Pasal

378 tentang penipuan yang biasanya antara korban dan pelaku sudah saling

mengenal, maka dapat dilakukan mediasi dimana korban dapat meminta ganti

kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah dilakukan

pembayaran ganti kerugian kepada korban.

Namun demikian meskipun telah dilakukan kesepakatan mengganti

kerugian kepada korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tetap

dilakukan, dengan alasan kejaksaan bekerja berdasarkan aturan normatifnya,

selama belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi penal dalam

penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah dilakukan

pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah satu alasan

pertimbangan Jaksa Penuntut untuk memperingan maksimum tuntutannya.80

80

Umi Rozah, Membangun Kontruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai

Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, MMH Jilid 39 No. 3 Juli 2010, h. 261.

Page 95: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

82

5. Praktik Mediasi di Pengadilan

Pengadilan mempunyai fungsi yang paling strategis dalam proses

peradilan pidana, oleh karena itu melalui hakimlah keputusan pidana jatuh

kepada terdakwa jika terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya. Adapun dasar bekerjanya fungsi pengadilan dalam

proses peradilah pidana diatur di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 1981

tentang KUHAP.

Pengadilan dikatakan juga adalah “tempat kedudukan keadilan” (the seat

of justice) bahkan dikatakan sebagai jaminan terakhir dalam sistem pemerintahan

dibawah hukum (ruled by the law) terhadap tirani eksekutif maka muncullah

slogan yang biasa dikenal “pengadilan sebagai benteng terakhir bagi pencari

keadilan”.81

Dalam pengadilan ada proses mengadili yang dilakukan oleh hakim.

Pada prinsipnya berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 48 tahun 2009 Hakim

dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan

wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan ini berlaku untuk perkara

pidana ketika perkara pidana yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum ke

Pengadilan maka Hakim harus menjatuhkan putusan.

81

Mardjono Reksodiputro, Komisi Yudisial: Wewenang dalam rangka

menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga Perilaku Hakim di

Indonesia (membentuk kembali peradilan Indonesia-suatu pengamatan yuridis sosial),

(Bunga Rampai Refleksi Satu tahun Komisi Yudisial RI: Cetakan ketiga 2010),h.39.

Page 96: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

83

Praktik mediasi dalam perkara pidana memang tidak ada aturannya

menurut hukum acara pidana maupun upaya hakim untuk mewujudkan

perdamaian antara pelaku/terdakwa dengan korban biasa dilakukan oleh hakim

ketika memeriksa dan mengadili perkara pidana, meskipun terbatas pada saran.

Atau dalam hal ini Hakim tidak bertindak sebagai mediator. Tetapi adakalanya

Hakim aktif berupaya mendamaikan para pihak (terdakwa dan korban) sehingga

hakim bertindak sebagai mediator dalam upaya memutus perkara pidana.

Adapun dasar mediasi penal bagi Hakim dalam perkara pidana dapat

terlihat pada Pasal 4 dan 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang

berbunyi :

Pasal 4

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan

tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan

berusaha mengatasi segala hambatan dan

rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang

sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 5

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Makna mengadili menurut hukum, menurut Bagir Manan meliputi

diantaranya harus diartikan luas melebihi pengertian hukum tertulis dan tidak

tertulis.82

Demikian pula Pasal 5 ayat (1) kata nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat secara teoritis sering dikaitkan dengan

82

Bagir Manan, “Hakim dan Pemidanaan”, (Jakarta: Varia Peradilan Nomor.

249 Bulan Agustus 2006),h.17.

Page 97: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

84

konsep Living Law yaitu aturan, nilai, norma, atau hukum yang hidup dalam

masyarakat, dalam konteks ini perdamaian adalah sebagai nilai-nilai yang hidup

di masyarakat dalam menyelesaikan sengketa melalui musyawarah,

perundingan atau mediasi baik berupa adat istiadat maupun praktek yang biasa

terjadi dalam masyarakat.

Nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat berupa perdamaian tersebut,

merupakan hukum yang hidup sebab ia menjelma perasaan hukum yang nyata

dari masyarakat. Menurut Hermien Koeswadji, hukum yang hidup dari suatu

masyarakat merupakan sistem dalam arti yang sebenarnya, yaitu hukum dalam

proses nyata dan aktual.83

Berdasarkan ketentuan diatas kiranya Pasal 5 ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dapat dijadikan landasan bagi Hakim

bertindak aktif sebagai seorang mediator dalam mewujudkan perdamaian dalam

menangani perkara pidana dengan harapan terpenuhinya rasa keadilan bagi

pihak terdakwa dan pelaku serta keluarga besar juga dapat diterima oleh

masyarakat umumnya.

Praktek peradilan pidana di Indonesia sendiri sebetulnya pada tahun 1978

pernah mengakui perdamaian di luar pengadilan sebagai dasar pertimbangan

Hakim dalam memutuskan perkara. Dalam Putusan PN Jakarta Utara-Timur

No. 46/PID/78/UT/Wanita pada Juni 1978, Bismar Siregar sebagai Hakim

Ketua Sidang dalam kasus Ny. Ella Dado atau lebih populer dengan “kasus Ny.

83

Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan macam-macam Pidana dalam

Rangka Pembangunan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995),h. 138.

Page 98: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

85

Elda”, menjadikan perdamaian sebagai pertimbangan untuk menyatakan bahwa

tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan, yang oleh

karenanya terdakwa lepas dari tuduhan dan segala tuntutan hukum.

Page 99: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

86

BAB IV

KONSEP MEDIASI PENAL SEBAGAI SARANA UNTUK RESTORATIVE

JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

1. Nilai-nilai Mediasi Penal dalam pembaharuan Hukum Pidana

Eksistensi mediasi penal dapat dikaji dalam perspektif filosofis,

sosiologis, dan yuridis. Pada perspektif filosofis, eksistensi mediasi penal

mengandung asas diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win) dan bukan

berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost)

sebagai mana ingin dicapai oleh peradilan dengan pencapaian keadilan formal

melalui proses hukum litigatif (law enforcement process). Melalui proses mediasi

penal, diperoleh puncak keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan para

pihak yang terlibat dalam perkara pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan

korban.

Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan mencapai

solusi serta alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara tersebut. Implikasi

dari pencapaian ini, pihak pelaku dan korban dapat mengajukan kompensasi yang

ditawarkan, disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga solusi

yang dicapai bersifat “menang-menang” (win-win). Selain itu, melalui mediasi

penal ini akan mempunyai implikasi bersifat positif bahwa secara filosofis

dicapainya peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan karena

86

Page 100: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

87

pihak yang terlibat relatif lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan

dengan komponen sistem peradilan pidana.84

Dikaji dalam perspektif sosiologis, aspek ini berorientasi pada masyarakat

Indonesia yang akar budaya masyarakatnya berorientasi pada nilai budaya

kekeluargaan, mengedepankan asas musyawarah mufakat untuk menyelesaikan

suatu sengketa dalam suatu sistem sosial. Tegasnya, aspek dan dimensi tersebut

diselesaikan melalui dimensi kearifan lokal hukum adat. Melalui sejarah hukum

dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan merupakan

pencerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah kearifan lokal hukum adat.

Aspek dan dimensi ini identik dengan theory receptie dari Snouck Hurgronje.85

Untuk jangka masa yang cukup lama hukum adat ini sebagai suatu norma

hukum, bersama-sama dengan norma sosial lainnya dan norma agama Hindu,

memainkan perananya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.86

Konsekuensi

84

Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

(Peberbit P.T. Alumni, Bandung, 2015), h. 6.

85 Theory Receptie dari Snouck Hurgronje pada pokoknya menyebutkan

hukum yang hidup dan berlaku dikalngan rakyat Indonesia (Bumi Putra) adalah hukum

adat. Teori ini menanggapi teori Receptio in Complexu dari L.W.C Van den Berg dan

Solomon Keyzer yang pada pokoknya menyebutkan adat istiadat dan hukum sesuatu

golongan (hukum) masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh

golongan masyarakat itu. Kemudian teori ini ditentang oleh Hazairin dengan teori

Receptio a Contario yang menyebutkan hukum adat adalah suatu ketentuan yang

berbeda dan tidak serta merta dapat diberlakukan dengan hukum Islam sehinnga

keduanya harus tetap terpisah dan ketentuan hukum agama bersifat mutlak dan hukum

adat baru dapat diberlakukan kalau tidak bertentangan dengan hukum agama Islam.

86

H.R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,

(Penerbit PT Alumni, Bandung, 2007), h.21.

Page 101: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

88

logis sebagai alat pengendalian sosial maka kearifan lokal hukum adat lahir,

tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem sosial.

Kearifan lokal hukum adat sebagai suatu model sosial dari Talcott

Parsons titik beratnya pada fungsi integrasi. H.R. Otje Salman lebih lanjut

menyebutkan hukum di arahkan untuk mengakomondasikan keseluruhan sistem

sosial kemasyarakatan. Fingsi ini meliputi sistem kaidah (sistem norma) yang

bertugas untuk mengoreksi perilaku yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang

bersangkutan. Jadi, kaidah-kaidah itu dalam integrasi sosial menuntut prilaku

tertentu yang mewujudkan peranan-peranan tertentu. Dengan demikian, kaidah-

kaidah ini merupakan kerangka orientasi perilaku manusia (anggota sistem

kemasyarakatan).87

Kearifan lokal hukum Adat, menurut pandangan Soepomo diartikan

sebagai “suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang

nyata dari rakyat, serta hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta

berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.” Temuan Soepomo

tersebut bertitik tolak dari konsepsi pemikiran Friedrich Carl von Savigny

dengan mazhab sejarah dan kebudayaannya dari van Vollenhoven. Oleh karena

itu, hukum adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan

dengan perkembangannya masyarakatnya. Dalam bahasa Friedrich Carl von

Savigny, hal tersebut disebut volksgeist (jiwa bangsa). Volksgeist berbeda-beda

87

H.R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,

(Penerbit PT Alumni, Bandung, 2007), h.45.

Page 102: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

89

menurut tempat dan zaman yang dinyatakan dalam bahasa adat-istiadat dan

organisasi sosial rakyat.88

Hampir identik dengan pendapat tersebut, penggagas sosiologi hukum

(sociology of law) Eugene Ehrlich mengatakan bahwa, “The centre of gravity of

legal development lies not in legislation nor in juristic science, nor in judicial

decision, but in society it self”. Eugene Ehrlich mengganti term voksgeist

Savigny dengan term yang khusus dan lebih rasional yaitu fakta-fakta hukum

(Rechtstaatsachen/fact of law) dan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living

law of the people).89

Dimensi kearifan lokal hukum adat yang berlandaskan alam poloran

kosmis, magis dan religius ini berkorelasi dengan aspek sosiologis dari cara

pandang dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam praktik sosial pada masyarakat

Indonesia, lembaga mediasi penal sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi

antara lain pada masyarakat Papua, Aceh, Bali, Sumatera Barat dan hukum adat

Lampung. Pada masyarakat Papua misalnya, dikenal “budaya bakar batu”, sebagai

simbol budaya lokal, yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau perkara,

termasuk perkara pidana, melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni sosial.

Dengan demikian, proses pidana terhadap pelaku tindak pidana oleh aparatur

88

L.B. Curzon, Jurisprudence, (Macdonald & Evans Ltd, Playmouth,

1979).h.155-156.

89

Eugene Ehrlich, Fundamental Principles of the Sociology of law, (New

York,1939).h. 21.

Page 103: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

90

negara dipandang tidak diperlukan lagi, karena justru di nilai akan merusak

kembali harmoni sosial yang sudah tercapai.

Selain itu, pada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh diterapkan dan

dikenal untuk penyelesaian perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan

Gampong atau Peradilan Damai.90

Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun

2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat

Istiadat Khususnya Pasal 13 menentukan:

“penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat isitiadat diselesaikan

secara bertahap”, kemudian disebutkan pula, bahwa “aparat penegak hukum

memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan terlebih dahulu secara adat

atau nama lain”. Begitu pula di Bali, melalui desa Adat Pakraman di terapkan

adanya awing-awing, yang merupakan dimensi lain identik dengan penyelesaian

perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal. Misalnya, dalam Pasal (Pawos)

66 awing-awing desa pakraman tanah Aron Kabupaten Karangasem disebut

bahwa, “yang berwenang menyelesaikan perkara di desa adalah prajuru desa

90

Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006, di Aceh

penjabarannya dibuat ketentuan perundang-undangan dalam bentuk Qanun yang

berhubungan dengan hukum adat seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang

pembinaan kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Acehh Nomor 10 Tahun 2008

tentang Lembaga Adat. Kemudian, selain dibuat Qanun Aceh (Qanun Tingkat Provinsi)

terdapat juga Qanun-qanun tingkat kabupaten/kota antara lain di dalam Qanun Kabupaten

Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Di Aceh, pengadilan

Adat yang dikenal dengan istilah Pengadilan Gampong atau Pengadilan Damai juga di

implementasikan dalam keputusan bersama seperti di Kabupaten Aceh Tengah adanya

Keputusan Bersama antara Bupati, Ketua DPRK dan Ketua MAA Kabupaten Aceh

Tengah Nomor. 373 Tahun 2008, No. 320/DPRK/2008, No. Poll. B/810/2008 Res Aceh

Tengah dan No. 110/MAA/V/2008.

Page 104: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

91

sebagai hakim peradilan desa adalah kelihan banjar, kalau yang berperkara berasal

dari satu banjar dan bendesa kalau yang berperkara semuanya berasal dari satu

desa” (sane wenang mawosin mekadi mutusang wicara ring desa inggih punika

prajuru desa sinaggeh kerta desa; ha. Kelihan banjar, pradene sang mewicara

sane petunggalan banjar; na. Bendesa, sang mewicara sami-sami ring

petunggalan desa adat).

Kemudian, di Nusa Tenggara Barat (Lombok), khususnya pada

masyarakat suku Sasak dikenal cara penyelesaian masalah (perkara) melalui

musyawarah (Begunden) untuk mencapai perdamaian. Dalam kotaragama, angka

49 huruf b tentang Kebidjaksanaan atau Kedermawanan Radja, ditentukan bahwa:

“ini tjara orang tjerdik pandai berbitjara.

Dalam membitjarakan suatu masalah oleh diantara warga desa

(Negara), dijika tidak ada pendahuluan nasihat mengakibatkan

tidak baik, akan tetapi bila masalah diselesaikan melalui

perdamaian, kedua belah fihak akan merasakan manfaatnja.

Tjara inilah yang dikehendaki/diterima baik oleh radja karena

memang tjara demikian itu menjadi ketentuan jang dinamakan

keadilan”.91

)

Berdasarkan ketentuan di atas, Suku Sasak dalam menyelesaikan

perselisihan, pertama-tama hendaklah didahului dengan memberikan peringatan

atau nasihat, dan jika peringatan tidak diindahkan, diselesaikan melalui

musyawarah untuk mencapai perdamaian. Musyawarah (Begundem)

dilaksanakan oleh lembaga adat yang disebut Krama Adat sesuai tingkat dan

91

Kotaragama Sumber Adat Sasak Daerah Lombok, dalam Lilik Mulyadi,

Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peberbit P.T. Alumni,

Bandung, 2015), h. 11.

Page 105: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

92

kompetensinya. Untuk tingkat lingkungan atau Dusun (Gubuk) dilaksanakan olej

Krama Gubuk terdiri atas Kepala Lingkungan (Kelian) selaku ketua adat di

lingkungan, tokoh agama (kiai gubug) dan pemuka-pemika masyarakat.

Sedangkan di tingkat Desa dilaksanakan oleh Krama Desa yang terdiri atas

Kepala Desa selaku Kepala Adat, Juru Tulis, Penghulu Desa, Pemuka

Masyarakat dan para Kelian.

Disamping itu, banyaknya perkara pidana yang ditangani oleh aparat

penegak hukum membuat semakin banyaknya jumlah tahanan yang akan

mengisi lembaga permasyarakatan dimasing-masing wilayah. Apalagi jika kita

lihat, banyak lembaga pemasyarakatan yang sudah melebihi kapasitas untuk

menampung para Narapidana (Napi). Seperti di Kantor Wilayah (Kanwil) DKI

Jakarta pada bulan Maret 2016 terjadi Over Kapasitas (Over Load) sebanyak

230% di Lapas Kelas 1 Cipinang. Dari kapasitas penampungan yang hanya

menampung sekitar 880 orang ternyata di isi oleh Tahanan dan Napi yang

berjumlah hingga 2,906 orang.

Jika di Total terjadi Over Kapasitas (Over Load) sebesar 176% di seluruh

lembaga permasyarakatan Kanwil DKI Jakarta yang seharusnya di isi dengan

Kapasitas 5,891 orang. Ternyata berbanding terbalik dengan Tahanan dan Napi

yang berjumlah 16,235 orang. Begitu pula di seluruh Kantor Wilayah (Kanwil)

Banten pada bulan Maret 2016 terjadi Over Kapasitas (Over Load) sebanyak

42%, dari kapasitas yang menampung 4,764 orang. Ternyata berisikan Tahanan

dan Napi yang berjumlah sebanyak 6,761 orang.

Page 106: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

93

Maka secara keseluruhan dari 33 Kantor Wilayah seluruh Indonesia pada

bulan Maret 2016, hampir rata-rata setiap lembaga permasyarakatannya

mengalami Over Kapasitas (Over Load) sebanyak 53% dari total kapasitas

119,706 seluruh Kanwil di wilayah indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya

Tahanan dan Napi yang secara keseluruhan berjumlah 183,445 orang sehingga

menyebabkan terjadinya Over Kapasitas pada setiap lembaga

permasyarakatannya.92

Oleh karena itu, dengan mediasi penal dapat memberikan

dampak yang baik bagi sistem peradilan pidana di Indonesia terutama untuk

mengurangi berkas-berkas yang amat banyak dan menumpuk di Pengadilan serta

mengurangi Over Kapasitas (Over Load) pada setiap lembaga permasyarakatan

di seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) di Indonesia.

Kemudian, dikaji dari perspektif yuridis, mediasi penal dalam dimensi

hukum negara (ius constitutum) sejatinya memang belum banyak dikenal dan

masih meyisakan kontroversi, diantara pihak-pihak yang sepakat dan tidak

sepakat untuk diterapkan. Persoalan esensialnya mengarah pada pilihan pola

penyelesaian sengketa pidana, terkait dengan domain superioritas negara dengan

superioritas masyarakat kearifan lokal. Selain dimensi di atas, implikasi lain

sebenarnya eksistensi mediasi penal dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”.

Dikatakan demikian, disatu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan

92

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly diakses pada tanggal

26 Maret 2016.

Page 107: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

94

undang-undang93

) tidak dkenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi

dalam tataran dibawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskrisi

penegak hukum dan sifatnya persial.

Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan

oleh masyarakat Indonesia dan penyekesaian tersebut dilakukan diluar

pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat. Ada beberapa fakta dan

argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini kenapa kajian terhadap

konsepsi mediasi penal tersebut diasumsikan eksistensinya antara “ada” dan

“tiada”.

Pertama, dikaji ditataran regulasi di bawah undang-undang yang bersifat

parsial dan terbatas sifatnya maka mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No

Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan

Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri.

93

Dalam Pasal 82 KUHP ditentukan bahwa, “kewenangan menuntut

pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja menjadi hapus, kalau dengan

sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau

penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan

umum dan dalam waktu yang telah ditetapkan olehnya”. Ketentuan ini dikenal dengan

istilah “Afkoop” atau “afdoening boiten process” yaitu pembayaran denda damai yang

merupakan salah satu alasan penghapusan penuntutan. ketentuan ini belum

mendeskripsikan secara tegas penyelesaian perkara melalui mediasi antara pelaku

dengan korban, tetapi hanya karena telah membayar denda kepada negara.

Page 108: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

95

Pada dasarnya, peraturan tersebut mengatur tentang penanganan kasus

pidana melalui ADR dengan sifat kerugian materi kecil, disepakati para pihak,

dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat, dilakukan harus menghormati

norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan dan apabila dicapai melalui

ADR pelakunya tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.

Kedua, dalam Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan

Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya

Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini ditunjukan

kepada beberapa Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan, antara lain Menteri

Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI dan Ketua Badan

Penyehatan Perbankan Nasional. Pada dictum pertama angka 4 Inpres No. 8

Tahun 2002 disebutkan bahwa:

“dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud

dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek

pidana yang terkait langsung dengan program penyelesaian

kewajiban pemegang saham, yang masih dalam tahap

penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi

penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses

penghentian penanganan aspek pidananya, yang

pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Ketiga, praktik mediasi penal walaupun normatif tidak diatur oleh

undang-undang (hukum positif) akan tetapi praktiknya terjadi pada masyarakat

Indonesia. Praktik mediasi penal misalnya telah dilakukan melalui Sidang Adat

terhadap Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan oleh Majelis Adat Dayak

Nasional (MADN) yang diberi nama Persidangan Dayak Maniring Tuntang

Page 109: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

96

Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dengan Tamrin di Betang

Nagnderang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada hari Sabtu, tanggal 22

Januari 2011.

Keempat, dikaji dari perspektif Yurisprudensi Mahkamah Agung RI

mediasi penal melalui eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya,

sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644

K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 bahwa dalam ratio dicidendi putusan

disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala

dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat), berarti yang

bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa

dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan

dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara

menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang selanjutnyan

disebut (KUHP) (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga

dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di

Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk

Verklaard).

Konklusi dasar dari yurisprudensi tersebut mengakui eksistensi peradilan

adat dengan adanya mediasi penal antara pelaku dengan korban, kemudian

penjatuhan “sanksi adat” tersebut dilakukan sebagai suatu pemulihan

keseimbangan antara pelaku dengan masyarakat adatnya sehingga adanya

Page 110: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

97

keseimbangan antara alam kosmis dan non kosmis menjadi kembali seperti sedia

kala.

Kelima, praktik peradilan tingkat pertama terhadap mediasi penal dalam

bentuk lain sebagaimana terlihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta-

Timur Nomor: 46/Pid/78/UT/WAN tanggal 17 Juni 1978 bahwa dalam perkara

Ny. Ellya Dado, lazim disingkat sebagai “Kasus Ny. Elda”, adanya penyelesaian

secara “Perdamaian” sehingga perbuatan diantara para pihak tidak merupakan

suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat di hukum lagi, dan oleh karenanya

melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. Dalam dimensi lain, ternyata

pada saat kini ratio decidendi putusan tersebut juga dipergunakan oleh

Mahkamah Agung RI dalam mengadili perkara pada tingkat Peninjauan Kembali

Nomor: 107 PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007.

Selain itu, sebagai perbandingan, mediasi penal di tingkat internasional

telah lama dikenal. Dalam beberapa konferensi misalnya kongres PBB ke-9

tahun 1995 khususnya yang berkorelasi dengan manajemen peradilan pidana

(dokumen A/CONF 169/6) disebutkan perlunya semua Negara

mempertimbangkan “privatizing some law enforcement and justice functions”

dan “alternative dispute resolution/ADR) berupa mediasi, konsiliasi, restetusi

dan kompensasi dalam sistem peradilan pidana.

Kemudian, dalam konferensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana

(International Penal Reform Conference) tahun 1999 dikemukakan bahwa salah

satu unsur kunci dari agenda baru pemmbaharuan hukum pidana (the key

Page 111: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

98

elements of a new agenda for penal reform) adalah perlunya memperkaya sistem

peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dengan standar-

standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with

informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights

standards) yang mengidentifikasikan Sembilan strategi pengembangan dalam

melakukan pembaharuan hukum pidana melalui pengembangan restorative

justice, alternative dispute resolution, informal justice, alternatives to custody,

alternative ways of dealing with juveniles, dealing with violent crime, reducing

the prison population, the proper management of prisons dan the role of civil in

penal reform.

Begitu pula, dalam kongres PBB ke-10 tahun 2000 (dokumen A/CONF.

187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan

kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan

peradilan restorative (restorative justice). Kemudian, sebagai tindak lanjut

pertemuan internasional tersebut mendorong munculnya dokumen internasional

yang berkorelasi dengan peradilan restoratif dan mediasi dalam perkara pidana

berupa the recommendation of the Council of Eure 1999 No. R (99) 19 tentang

“Mediation in Penal Metters”, berikutnya the Eli Framework Decision 2001

tentang “the standing of Victim in Criminal Proceedings” dan The UN

Principles 2002 (Resolusi Ecosoc 2002/12) tentang “basic Principles on the Use

Restorative Justice Programmes in Criminal Matters”. Kemudian, mediasi

Page 112: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

99

penal ini juga dikenal dalam beberapa undang-undang pada Negara Austria,

Jerman, Belgia, Prancis dan Polandia.94

Dari beberapa ketentuan diberbagai Negara dapat disebutkan bahwa

penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui dimensi mediasi penal

dimungkinkan dalam perkara pidana dan diberikan kerangka hukum (mediation

within the framework of criminal law).

2. Analisis Konsep Restorative Justice dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

Hukuman selalu dikaitkan dengan keadilan dan hak asasi manusia ini

adalah dua konsep yang dinyatakan secara tidak langsung baik secara abstrak

94

Pasal 90 huruf g KUHAP Austria menentukan Penuntut Umum dapat

mengalihkan perkara dari pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya

dan siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau

memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan setuju melakukan setiap kewajiban yang

diperlukan yang menunjukan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya dimasa

yang akan datang. Pada Negara Belgia mediasi penal diatur dalam the Act on Penal

Mediation dan the Guidelin on Penal Mediation. Kemudian pada Negara Prancis

Mediasi Penal diatur Pasal 41 Code of Criminal Procedure disebutkan bahwa

Penuntut Umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan

pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang memperbaiki

kerugian yang diderita korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu memperbaiki

(merehabilitasi) si pelaku. Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru

dilakukan, namun apabila behasil penuntutan dihentikan (s. 41 dan s.412 Code of

Criminal Procedure).

Pada Negara Jerman pada s. 153b stop/Strafprozessordnung apabila kasus pidana

antara pelaku dan korban melalui kompensasi (Tater-Opter-Ausgleich (TOA) telah

dilakukan maka penuntutan dihentikan dan di Polandia diatur dalam Pasal 23a Code of

Criminal Procedure dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tantang

“mediation proceedings in criminal matters”. dalam Lilik Mulyadi, Mediasi Penal

Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peberbit P.T. Alumni, Bandung, 2015), h.

16.

Page 113: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

100

“al, haq”, yang merupakan salah satu tujuan tertinggi dari hukum.95

Uqubah

atau hukuman dalam islam adalah sanksi hukuman yang telah ditentukan untuk

kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah syarak (Allah SWT dan

rasul-nya). Pada Hukum Islam hukuman terbagi atas beberapa bagian,

diantaranya berdasarkan berat-ringannya hukuman. 96

Pertama, jarimah hudud;

kedua, jarimah qishash dan diat; serta yang ketiga, jarimah ta’zir.

a) Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.

Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan

menjadi hak Allah SWT. Atau segala bentuk tindak pidana yang telah ditentukan

bentuk, jumlah, dan ukuran hukuman semata-mata. Artinya tindak pidana hudud

ini bersifat terbatas, jenis hukumannya telah ditentukan, dan ukuran hukumannya

pun tidak memiliki batas terendah maupun tertinggi. Bentuk-bentuk jarimah yang

termasuk kedalam hudud menurut ulama fiqih adalah: jarimah zina, jarimah

qadzaf, jarimah syurbul khamar, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah al-

bagyu.

b) Jarimah Qishash dan diat adalah tindak pidana yang berkaitan dengan

pelanggaran terhadap jiwa atau anggota tubuh seseorang, yaitu membunuh atau

melukai seseorang. Jarimah qishash dan diat merupakan hukuman yang

merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak

95

Majid Kadduri, Teologi Keadilan Menurut Islam, (Risalah Gusti: Surabaya,

1999), h. 345.

96

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih

Jinayah), (Sinar Grafika: Jakarta, 2004), h. 17.

Page 114: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

101

memiliki batas minimal atau maksimal. Perbedaan dengan hukuman had adalah

bahwa had merupakan hak Allah, sedangkah qishash dan diat adalah hak

manusia (hak individu). Maksud dari hak individu dalam hal ini bahwa hukuman

tersebut bisa dimaafkan oleh korban atau keluarganya yang akan dijelaskan pada

point selanjutnya. Tindak pidana yang termasuk kedalam tindak pidana qishash

dan diat adalah: Pembunuhan disengaja, Pembunuhan yang menyerupai

disengaja, Pembunuhan tersalah, Pelukaan disengaja, Pelukaan tersalah.

c) Jarimah Ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara,

melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuan maupun pelaksanaannya.

Dalam menentukan hukuman tersebut penguasa hanya menetapkan hukuman

secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman

untuk masing-masih jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan

hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Tujuan

diberikannya hak penentuan jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa

adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan mengatur kepentingan-

kepentingannya.97

Pentingnya pembagian Pidana menjadi Hudud, Qishash, Diat, dan Ta’zir

karena beberapa hal yaitu, pertama dari segi pengampunan hukuman. Pada

tindak pidana hudud tidak ada pengampunan secara mutlak, baik dari korban

maupun dari penguasa tertinggi (Kepala Negara). Karena itu, pengampunan yang

97

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih

Jinayah), (Sinar Grafika: Jakarta, 2004), h. 19-20.

Page 115: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

102

diberikan oleh salah satu dari keduanya akan sia-sia dan tidak berpengaruh, baik

terhadap tindak pidana yang diperbuat maupun terhadap hukuman tersebut.

Adapun pada tindak pidana qishash, pengampunan bisa diberikan oleh korban,

dalam hal ini, pengampunan yang diberikan mempunyai pengaruh, Karena itu

korban bisa memaafkan hukuman qishash untuk diganti dengan hukuman diat

sebagaimana juga bisa membebaskan pelaku dari hukuman diat.

Mengenai tindak pidana qishash, kepala Negara (penguasa tertinggi) tidak

boleh memberikan pengampunan karena pengampunan dalam tindak pidana ini

hanya dimiliki oleh korban dan walinya. Akan tetapi jika korban tidak cakap

(masih dibawah umur atau gila) dan korban tidak memiliki wali, maka kepala

Negara yang menjadi walinya. Dalam pidana ta’zir, pihak penguasa memiliki hak

untuk mengampuni pelaku tindak pidana dan hukumannya sekaligus, dengan

syarat tidak mengganggu hak pribadi korban. Korban juga bisa memberikan

dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak-hak pribadinya. Seorang hakim

mempunyai kekuasaan yang luas dalam tindak pidana ta’zir dalam

mempertimbangkan keadaan-keadaan yang meringankan serta peringanan

hukuman.

Kedua, segi kekuasaan hakim dalam pidana hudud apabila tindak pidana

ini sudah dapat dibuktikan. Hakim sudah harus melaksanakan hukuman yang

telah ditentukan, tanpa mengurangi, menambah, mengganti atau menunda

pelaksanaannya. Artinya, kekuasaanya dalam tindak pidana hudud hanya terbatas

pada pengucapan (penetapan) putusan hukuman yang telah ditentukan. Begitu

Page 116: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

103

pula dalam tindak pidana qishash, kekuasaan hakim hanya terbatas pada

penjatuhan putusan yang telah ditetapkan apabila perbuatan yang dituduhkan

kepada pelaku telah dibuktikan. Apabila mendapatkan maaf dari korban maka

hakim harus menjatuhkan hukuman diat kepada pelaku. Adapun pada tindak

pidana ta’zir, hakim diberikan kekuasaan yang luas untuk menentukan jenis dan

ukuran hukumannya.98

1) Berdasarkan niat pelaku jarimah dibagi atas jarimah yang disengaja dan

jarimah yang tidak disengaja. Jarimah yang disengaja, yaitu secara nyata

terpidana bermaksud untuk melakukan tindak pidana tersebut dan terpidana

mengetahui bahwa perbuatan itu tidak boleh (dilarang) dilakukan dan

pelakunya diancam dengan hukuman. Contohnya: berniat untuk membunuh

orang lain dengan segala sesuatu yang telah direncanakan. Sedangkan,

jarimah yang tidak disengaja, yaitu terpidana tidak mempunyai niat sama

sekali untuk melakukan tindak pidana tersebut. Contohnya: seseorang

berniat untuk berburu namun karena salah dunga orang tersebut menembak

orang lain yang dikiranya hewan buruan.

98

Abdul Qadir Audah, At-Tasri Al-Jina’I Al-Islamiy Muqaranah Bil Qannunil

Wad’iy, (Jilid ke I, Penertbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit: PT.

Charisma Ilmu), h. 101-102.

Page 117: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

104

2) Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah terbagi atas:99

al-jarimah

ijabiyah dan al-jarimah salabiyah. Al-jarimah ijabiyah (tindak pidana yang

bersifat positif), yaitu melakukan suatu perbuatan yang dilarang, seperti:

perampokan, perzinaan, dan pemukulan. Al-jarimah al-salabiyah (tindak

pidana yang bersifat negatif), berupa sikap tidak mau melakukan suatu

perbuatan yang diperintahkan, seperti: keengganan sanksi untuk

mengemukakan kesaksiannya atau keengganan seseorang membayar zakat.

3) Ditinjau dari segi objeknya jarimah terbagi atas: tindak pidana perorangan

dan tindak pidana masyarakat. Tindak pidana perorangan, yaitu tindak

pidana yang pensyariatan hukumannya untuk menjamin kemaslahatan

pribadi, meskipun menyangkut hak pribadi namun didalamnya terkait

kepentingan umum, contohnya: pembunuhan, pemukulan, dan jarimah ta’zir

yang termasuk hak individu. Tindak pidana masyarakat, yaitu tindak pidana

yang pensyariatan hukumannya dimaksudkan untuk memelihara

kemaslahatan dan ketertiban masyarakat, baik menjadi korban dalam tindak

pidana adalah pribadi, masyarakat, maupun stabilitas masyarakat dan

keamanan mereka.

4) Ditinjau dari segi tabiatnya, jarimah terbagi atas: tindak pidana biasa dan

tindak pidana politik. Tindak pidana biasa, yaitu tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik.

99

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van

Hoeve, 1999), h. 809.

Page 118: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

105

Tindak pidana politik, menurut Muhammad Abu Zahra yaitu jarimah yang

merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat

pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah ditentukan oleh

pemerintah.100

Hukum pidana konvensional dalam menghukum seseorang dengan apa

yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang selanjutnya

disebut (KUHP) dengan berdasarkan dua jenis hukuman yang terbagi atas

hukuman pokok dan hukuman pengganti yang telah dijelaskan merupakan

konsep dari Restorative Justice yang berlaku di zaman modern dengan

penggantian denda, ganti rugi, kerja sosial, serta rehabilitasi. Hukum Islam pun

memiliki jenis hukuman yang mirip dengan konsep Restorative Justice pada

zaman hukum pidana modern. Pertama, hukuman pokok (al-uqubah al-

asliyyah), yaitu hukuman yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti

hukuman qishash bagi tindak pidana pembunuhan dan hukuman potongan tangan

bagi tindak pidana pencurian.

Kedua, hukuman pengganti (al-uqubah al-badaliyyah), yaitu hukuman

yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat

dilaksanakan karena alasan yang syar’i, seperti hukuman qishash yang berganti

dengan hukuman diat, layaknya hukuman penjara dengan menggunakan

hukuman denda dalam hukum pidana konvensional. Ketiga, hukuman tambahan

100

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih

Jinayah), (Sinar Grafika: Jakarta, 2004), h. 27.

Page 119: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

106

(al-uqubah al-tabaiyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa

memerluka keputusan tersendiri. Contohnya: larang menerima warisan bagi

pembunuh. Larang menerima warisan ini adalah konsekuensi atas penjatuhan

hukuman mati terhadap pembunuh.

Keempat, hukuman pelengkap (takmiliyyah), yaitu hukuman yang

mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim.

Contohnya: mengalungkan tangan pencuri yang telah di potong kelehernya,

hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkan putusan

hukuman tersebut. Konsep hukuman secara umum, tradisi hukum pidana

berkembang dalam praktek setiap masyarakat yang mengenal struktur kekuasaan.

Praktek memberikan hukuman kepada setiap pelanggaran yang bersifat publik

terdapat dalam setiap masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari

kenyataan bahwa di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.101

Dari gambaran bentuk-bentuk pidana dalam Hukum Islam dapat

disimpulkan bahwa konsep pemidanaan dalam tradisi Hukum Islam meliputi atas

jiwa anggota badan, atas harta, dan kemerdekaan. Dari keempat konsep pidana

tersebut adalah merupakan sanksi yang bersifat hukuman. Namun sebagai sanksi

hukum, keempat jenis pidana di atas tidak murni bersifat pidana seperti yang

dipahami dalam konsep Hukum Pidana Modern. Dalam tradisi Hukum Islam

101

Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang

Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqih dan Relevansinya Bagi Upaya

Pembaharuan Hukum KUHP Nasional, (Bandung: Angkasa, 1996),h. 53.

Page 120: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

107

mengenai sanksi hukuman, terdapat dua keunikan. Pertama, konsep sanksi

hukum mempunyai kaitan dengan sanksi agama. Kedua, konsep sanksi hukum

itu sendiri mempunyai dua sifat sekaligus yaitu dalam pidana dan perdata.

Contohnya: pada hukuman qishash disini hak korban dalam menuntut sangat di

kedepankan namun dalam menjalankan hukuman tersebut harus mementingkan

kepentingan hak pelaku selaku pribadi yang ingin di qishash.

Berbagai tradisi hukum yang dikembangkan oleh Islam, bersifat ringan

dari praktek sebelumnya. Karena itu, dalam study filsafat Hukum Islam dikenal

adanya prinsip taqli al-takalif (meringankan beban). Adanya prinsip ini

didasarkan pada maksud dari QS. Al-Baqarah ayat (286) yang berbunyi:102

اوسعهااالا هااكسبتااماالاا يكلفااللهان فسااإل ا ااكتسبتاامااوعلي

“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai

dengan kesanggupan. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang

diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatannya) yang

dikerjakan.”

Dalam persoalan qishash dan diat menjadi disederhanakan kepada

terpidana. Konsep diat (denda) dalam tradisi Islam adalah denda yang harus

dibayar oleh terpidana kepada korban atau keluarganya sebagaimana yang

dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah ayat (178) yang berbunyi:

102

Jimly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang

Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqih dan Relevansinya Bagi Upaya

Pembaharuan Hukum KUHP Nasional, (Bandung: Angkasa, 1996), h. 129.

Page 121: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

108

لىا اوالن ثى اابالعبدااوالعبداابالرااالراا يااأي هااالذيناآمنوااكتباعليكماالقصاصافاالقت

لكاا ابإحسان ااإليهااوأداء اابالمعروفاافات باع ااشيء ااأخيهاامناالهااعفياافمناا ابالن ثى ا اذ

امناربكماورحة ا لكااب عداااعتدى اافمناا تفيف أليماعذاب ااف لهااذ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka

dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita

dengan wanita, maka barang siapa yang mendapat suatu

pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)

mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi

maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara

yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan

dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang

melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.

(QS. Al- Baqarah: 178)103

Diat merupakan uqubah maliyah (hukuman yang bersifat harta), yang

diserahkan kepada korban apabila ia masih hidup, atau kepada wali

(keluarganya) apabila ia sudah meninggal, bukan kepada pemerintah. Dasar

hukum untuk wajibnya hukuman diat ini terdapat dalam Al-Quran QS. An-Nisaa’

ayat 92 Allah berfirman:

قوا اأنايصد اأهلهاإل ومناق تلامؤمنااخطأاف تحريرارق بة امؤمنة اودية امسلمة اإل

“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah,

(hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman

103

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),

h. 149.

Page 122: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

109

serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya

(terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)

bersedekah. (QS. An-Nisaa’: 92)

Menurut ayat ini, hukuman diat dikenakan kepada pelaku pembunuhan

karena kesalahan, namun disini kedudukannya sebagai hukuman poko. Adapun

penerapannya untuk pembunuhan sengaja merupakan hukuman pengganti yang

diperkuat oleh hadis Nabi. Dasar hukum dari hadis Nabi untuk wajibnya diat ini

adalah sebagai berikut:

Dari Abi Syuraih Al-Khuza’i ia berkata: telah bersabdah

Rasulullah saw: maka barang siapa yang salah seorang

anggota keluarganya menjadi korban pembunuhan setelah

ucapanku ini, keluarganya memiliki dua pilihan: adakalanya

memilih diat, atau memilih qishash (hukum bunuh). (hadis ini

dikeluarkan oleh Abu Daud dan Nasa’i).104

Upaya restoratif Hukum Islam dalam tindak pidana yang menyebabkan

kematian serta menderita cacat fisik adalah dengan melibatkan korban atau

dalam hal ini keluarga korban, pelaku, serta hakim sebagai representasi dari

masyarakat untuk proses mediasi dan eksekusi. Keluarga korban sebagai orang

yang terkena dampak secara langsung atas terjadinya suatu tindak pidana yang

menyebabkan kematian ataupun menyebabkan cacat fisik bagi korban yang tidak

meninggal, memiliki kewenangan untuk menentukan sanksi terhadap pelaku

berupa hukum potong tangan ataupun diat. Ataupun pemaafan tanpa diat

sekalipun. Pelaku dalam hal ini sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas

104

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),

h. 167.

Page 123: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

110

kerugian yang telah ditimbulkan diharuskan memiliki kerelaan untuk

bertanggungjawab dengan memenuhi permintaan dari korban, hakim disini

sebagai repersentasi masyarakat dapat bertindak sebagai mediator dan pengawas

bahkan pelaksana eksekuusi jika dalam musyawarah tersebut korban

menginginkan dilaksanakan hukuman potong tangan.

Diat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok qishash yang

diharapkan mampu memulihkan kerugian yang dialami oleh keluarga korban

dengan terbunuhnya anggota keluarganya ataupun terjadinya cacat pada korban,

jika korban itu tidak meninggal. Konsep diat inilah yang kemudian menjadikan

Hukum Islam menjadi lebih dinamis dalam rangka memperoleh keadilan. Dalam

hukum konvensional konsep diat dalam Hukum Islam hampir sama dengan

restitusi atau denda. Restetusi adalah denda yang harus dibayarkan untuk

mengganti atas kerugian yang telah ditimbulkan.

Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan

pelibatan masyarakat dan korban yang terasa tersisihkan dengan mekanisme yang

bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Berjalannya proses

peradilan adalah untuk mencapai keadilan yang bukan hanya berhenti pada

pemberian sanksi pidana pada pelaku sebagai pembalasan atas kerusakan yang

dilakukan, akan tetapi proses peradilan mampu untuk memulihkan kerugian yang

dialami korban kepada posisi semula dimana kejahatan belum terjadi. Itulah yang

kemudian menjadi idaman masyarakat dunia saat ini yang merasa tidak puas

Page 124: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

111

dengan sistem peradilan pidana yang ada karena tidak memberikan ruang bagi

korban untuk terlibat secara langsung dalam proses penyelesaian perkara

pidana.105

Konsep keadilan restoratif memiliki perbedaan mendasar dengan konsep

keadilan retrebutif yang menjiwai sistem peradilan pidana dimayoritas Negara.

Keadilan retrebutif memandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata atau

mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana.

Fokus perhatian keadilan retrebutif yaitu kepada pelaku melalui pemberian

derita, dan kepada masyarakat melalui pemberian perlindungan dari kejahatan

berbeda dengan keadilan restoratif yang lebih menekankan kepada pemulihan

serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku, dan masyarakat terkait.

Konsep keadilan restoratif tidak akan terwujud tanpa adanya upaya

restoratif, upaya restoratif dapat dipahami sebagai upaya yang menggunakan

konsep keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu

kesepakatan dari antara para pihak yang terlibat. Kesepakatan ini merupakan

kesepakatan para pihak agar mencapai pemenuhan kebutuhan korban dan

masyarakat atas kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi. Hasil

kesepakatan tersebut dapat berbentuk sejumlah program seperti restitusi,

community service, rehabilitasi dan pidana alternatif lainnya.

105

Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan

Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri

Walisongo, 2012). h.71.

Page 125: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

112

Berbeda dengan hukum pidana konvensional yang memandang tindak

pidana murni terlepas dari penyelesain yang bersifat perdata, Hukum Pidana

Islam memandang setiap tindak pidana didalamnya terdapat unsur keperdataan

antara korban dan pelaku yang mempengaruhi proses hukuman yang akan

diberikan kepada pelaku aturan ini lebih lanjut pada asas kepatrian hukum yang

senan tiasa berpijak pada asas aturan legalitas, aturan yang diundangkan dalam

hukum positif. Tidak jauh berbeda dengan Hukum Pidana Islam yang juga

berpijak pada asas legalitas yang aturannya berpatokan pada Al-Quran dan

Sunnah.106

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat pentingnya konsep keadilan

restoratif dalam sistem peradilan pidana konvensional maupun dalam hukum

pidana islam. Meskipun konsep keadilan restoratif saat ini hanya bisa digunakan

pada delik-delik pidana tertentu, akan tetapi pandangan hukum islam yang

memungkinkan adanya diversi dari kisas ke diat juga hukum potong tangan ke-

takzir diharapkan menjadi pijakan dalam penyelesaian perkara pidana untuk lebih

memperhatikan kepentingan korban dalam rangka pemulihan atas kerugian yang

diderita.

Diversi dalam keadilan restoratif melalui sistem peradilan pidana bisa

dilihat dalam tiga tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, dan purna-ajudikasi. Pada tahap

pra-ajudikasi pendekatan keadilan restoratif ditawarkan dalam fase awal proses

106

Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan

Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri

Walisongo, 2012). h.74.

Page 126: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

113

peradilan pidana, kalau dalam peradilan pidana di Indonesia yaitu proses

peradilan pidana pada tahap kepolisian. Pada tahap ini, kepolisian bisa

menggunakan kewenangan diskresinya yang diatur dalam Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk

melakukan diversi atau pengalihan proses pidana pada proses informal.

Diversi ini bisa berbentuk mediasi yang mempertemukan pihak pelaku

dan korban untuk bersama-sama menyelesaikan perkara pidana yang dihadapi,

sehingga perkara tidak perlu untuk dilanjutkan sampai ke kejaksaan. Saat ini

kewenangan diskresi kepolisian untuk melakukan diversi sangat jarang dilakukan

karena belum adanya payung hukum yang mengatur secara obyektif terkait

dengan kewenangan diskresi kepolisian untuk melakukan diversi sehingga proses

diversi yang dilakukan tidak berbenturan dengan asas kepastian hukum.

Tahap ajudikasi penerapan keadilan restoratif dapat berbentuk putusan

hakim yang mempertimbangkan aspek-aspek keadilan misalnya berupa

pembinaan terhadap pelaku tindak pidana sehingga pemidanaan tidak hanya

dipahami sebagai upaya untuk membalas suatu tindak pidana, akan tetapi sedapat

mungkin pemidanaan mampu untuk memulihkan kembali hubungan sosial yang

rusak akibat tindak pidana. Dalam hal ini dukungan legislasi dan kebijakan

pemerintah menjadi sangat penting dalam memberikan pembenaran kepada

hakim untuk melakukan diversi tanpa takut bertentangan dengan hukum.

Bila diversi didefinisikan sebagai pengalihan dari proses upaya pidana

kepada upaya lain sebelum persidangan, maka dalam hal ini diversi dimaknai

Page 127: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

114

lebih luas, termasuk juga putusan hakim untuk mengalihkan jenis pemidanaan,

peringanan pidana atau penghapusan pidana. Melalui pendekatan restoratif

diversi tidak hanya dapat dilakukan oleh polisi tetapi juga oleh hakim di dalam

putusannya.

Sementara dalam tahap purna ajudikasi penerapan keadilan restoratif

yang digunakan bisa dalam bentuk pendampingan dari putusan yang dijatuhkan

oleh pengadilan. Pendampingan disini dapat berupa suatu program yang

mengupayakan pertemuan antara terpidana dan korban sehingga diharapkan

terpidana bisa menyadari kerusakan yang timbul atas perbuatan yang dia lakukan

dan korban dapat memberikan memaafan sehingga bagi terpidana tidak lagi

memiliki beban moral yang harapannya ketika kembali lagi ke masyarakat bisa

memulihkan hubungan sosial yang selama ini terstigma atas kejahatan yang

pernah pelaku lakukan.107

Tentunya masih jauh dari harapan jika melihat sistem peradilan pidana di

Indonesia pada saat ini, karena kurang memberikan tempat bagi korban dan

pelaku untuk melakukan musyawarah agar terjadinya suatu keadilan bagi pihak

pelaku dan korban dengan melakukan pendekatan keadilan restoratif. Dimana

salah satunya dengan menggunakan konsep mediasi penal untuk mencapai

mufakat dalam penyelesaian perkara pidana. Dengan mediasi penal dapat

107

Zainal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan

Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri

Walisongo, 2012). h. 85.

Page 128: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

115

memberikan dampak yang baik bagi sistem peradilan pidana terutama untuk

mengurangi berkas-berkas yang amat banyak dan menumpuk di Pengadilan serta

mengurangi Over Kapasitas (Over Load) pada setiap lembaga permasyarakatan

di seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) di Indonesia.

Berdasarkan analisis penulis perlu adanya suatu pembaharuan Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) dengan memasukan usur-unsur

keadilan restoratif dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Karena

didalam kasus pidana tidak hanya murni unsur pidana, tetapi ada unsur perdata

didalamnya sehingga yang harus diperhatikan adalah kepentingan hak-hak

korban. 108

Selain itu, melalui mediasi penal akan mempunyai implikasi bersifat

positif bahwa secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara cepat,

sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih sedikit

dibandingkan melalui proses peradilan dengan komponen Sistem Peradilan

Pidana.

108

Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

(Peberbit P.T. Alumni, Bandung, 2015), h. 6.

Page 129: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

116

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan dan uraian yang telah penulis kemukakan diatas, penulis

dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Restorative Justice menurut Hukum Islam, Hukum Islam memiliki jenis

hukuman yang mirip dengan konsep Restorative Justice pada hukum pidana

modern hal itu dapat dilihat dari.

Pertama, hukuman pokok (al-uqubah al-asliyyah), yaitu hukuman

yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukuman qishash bagi

tindak pidana pembunuhan dan hukuman potongan tangan bagi tindak

pidana pencurian.

Kedua, hukuman pengganti (al-uqubah al-badaliyyah), yaitu hukuman

yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat

dilaksanakan karena alasan yang syar’i, seperti hukuman qishash yang

berganti dengan hukuman diat, layaknya hukuman penjara dengan

menggunakan hukuman denda dalam hukum pidana konvensional.

Ketiga, hukuman tambahan (al-uqubah al-tabaiyyah), yaitu hukuman

yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerluka keputusan tersendiri.

Keempat, hukuman pelengkap (takmiliyyah), yaitu hukuman yang

mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim.

116

Page 130: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

117

Dari keempat konsep pidana tersebut adalah merupakan sanksi yang

bersifat hukuman. Namun sebagai sanksi hukum, keempat jenis pidana di

atas tidak murni bersifat pidana seperti yang dipahami dalam konsep Hukum

Pidana Modern. Dalam tradisi Hukum Islam mengenai sanksi hukuman,

terdapat dua keunikan. Pertama, konsep sanksi hukum mempunyai kaitan

dengan sanksi agama. Kedua, konsep sanksi hukum itu sendiri mempunyai

dua sifat sekaligus yaitu dalam pidana dan perdata.

2. Konsep dan alasan diterapkannya mediasi penal sebagai sarana untuk

menerapkan nilai-nilai keadilan. dalam hukum Indonesia masih sering kita

dapati fakta bahwa keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata

mahal, berkepanjangan, melelahkan, dan tidak meyelesaikan masalah, serta

yang lebih parah lagi adalah di dalamnya penuh dengan praktik korupsi,

kolusi dan nepotisme. Pada umumnya penyelesaian sengketa diluar

pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering

juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai direksi

aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian

atau mediasi.

Alasan dipergunakan mediasi penal dalam penyelesaian perkara

pidana yang bermuatan unsur perdata adalah karena ide dari mediasi penal

berkaitan dengan perlindungan hak-hak korban, ide harmonisasi, dan ide

Restorative Justice. melalui mediasi penal ini akan mempunyai implikasi

bersifat positif bahwa secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara

Page 131: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

118

cepat, sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih

sedikit dibandingkan melalui proses peradilan dengan komponen sistem

peradilan pidana.

B. Saran

1. Melalui dimensi perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik maka

dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia sudah waktunya apabila

penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal diatur secara

tegas dalam produk undang-undang, karena mediasi penal saat ini dilakukan

melalui diskresi penegak hukum sehingga untuk masa mendatang diperlukan

adanya pengaturan secara limitatif terhadap perkara-perkara yang dapat

dilakukan melalui mediasi penal sehingga tidak terjadi adanya

penyalahgunaan wewenang dari para pihak yang terlibat dalam Sistem

Peradilan Pidana.

2. Kepada lembaga Legislatif sebagai lembaga yang terkait dalam merevisi dan

membuat Undang-undang. Agar merevisi KUHP untuk memasukan Konsep

Mediasi Penal sebagai sarana untuk mencari keadilan, khususnya bagi

kepentingan korban dan pelaku. Dengan mediasi penal dapat memberikan

dampak yang baik untuk mengurangi berkas yang menumpuk di pengadilan

serta dengan mediasi penal dapat mengurangi jumlah over kapasitas pada

setiap lembaga permasyarakatan dimasing-masing kantor wilayah di

Indonesia.

Page 132: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

119

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Ali, Mahrus, Menggugat Dominasi Hukum Negara Berdasarkan Perkara Carok

Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura, Yogyakarta: Rangkang

Indonesia, 2009.

Arifin, Zainal, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan

Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, Semarang: Institut Agama Islam

Negeri Walisongo, 2012.

Arief, Barda Nawawi, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan,

Semarang: Pustaka Megister, 2008.

Arief Mansur, Didik M, dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan, Bandung: Rajawali Prees, 2009.

Asshidiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi Tentang Bentuk-

bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqih dan Relevansinya Bagi Upaya

Pembaharuan Hukum KUHP Nasional, Bandung: Angkasa, 1996.

Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensionalisme, dan

Abolisionalisme, Bandung: Bina Cipta, 1996.

Audah, Abdul Qadir, At-Tasri Al-Jina’I Al-Islamiy Muqaranah Bil Qannunil Wad’iy,

Jilid ke I, Penertbit: Muassasah Ar-Risalah, Edisi Indonesia, Penerbit: PT.

Charisma Ilmu.

Bahri, Syaiful, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Yogyakarta: Total Media,

2009.

Braithwaite, John, Restorative Justice & Responsive Regulation, New York: Oxford

University Press, 2002.

Boulle, Laurence, Mediation Principles, Process and practice, New York : Prince

Hall, 1996.

Consedine, Jim, Restorative Justice: Healing The Effect of Crime, Lyttelton:

Ploughshares Publication, 1955.

Curzon, L.B., Jurisprudence, Macdonald & Evans Ltd, Playmouth, 1979.

Page 133: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

120

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve,

1999.

DS, Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice

di Pengadilan Anak Indonesia, Depok: Indie-Publishing, 2011.

Ehrlich, Eugene, Fundamental Principles of the Sociology of law, New York,1939. Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Bandung : Nuansa dan

Nusamedia, 2004.

Hanitijo, Ronny, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Semarang : Universitas

Diponogoro, 1998.

Ibrahim, Johnny, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publising, 2007.

Kadduri, Majid, Teologi Keadilan Menurut Islam, Risalah Gusti: Surabaya, 1999.

Koeswadji, Hermien Hadiati, Perkembangan macam-macam Pidana dalam Rangka

Pembangunan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Mansyur, Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara Pidana KDRT (Kekerasan

Dalam Rumah Tngga), Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010.

Marpung, Leden, Tindak Pidana Penyelundupan Masalah Dan Pemecahannya,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.

M. Manulang, E. Fernando, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tujuan Hukum Kodrat

dan Antinomi nilai), Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2007.

Muhammad, Farouk, Reformasi POLRI dalam konteks pembangunan Sistem

Peradilan Pidana dalam Bunga Rampai Potret Penegakan Hukum di

Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial, cet kedua, 2010.

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih Jinayah),

Sinar Grafika: Jakarta, 2004.

“Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang : Badan Penerbit Universitas

Diponogoro, 1995.

Page 134: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

121

Mulyadi, Lilik, Mediasi Penal, Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung:

P.T. Alumni, 2015.

Prasetyo, Tegus dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum

Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, cet 1,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

Rawls, John, A Teory of Justice (Resived Edition), USA: Harvard University Press,

1971.

Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Penerbit Buku

Kompas.

Reksodiputro, Mardjono, Komisi Yudisial: Wewenang dalam rangka menegakan

kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga Perilaku Hakim di

Indonesia (membentuk kembali peradilan Indonesia-suatu pengamatan yuridis

sosial), Bunga Rampai Refleksi Satu tahun Komisi Yudisial RI: Cetakan ketiga

2010.

Salman, H.R. Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Penerbit

PT Alumni, Bandung, 2007.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006.

Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan

singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Sholehudin, Umar, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi

Hukum, Malang : Setara Press, 2011.

Stephenson, Martin, Giller, Hendry dan Sally Brown, Effective Pratice in Youth

Justice, Portland: Willian Publishing, 2007.

Syah, Ismail Muhammad, et al, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara dan

Departemen Agama RI, 1998.

Wahid, Eriyantouw, Keadilan Restorative Justice dan Peradilan Konvensional

Dalam Hukum Pidana, Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2009.

Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung

2011. Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringanan, dan

Pemberat Pidana, Bogor: Ghalia, 2010.

Page 135: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

122

MAKALAH :

Arif, Barda Nawawi, Makalah “Aspek kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian

Sengketa di luar Pengadilan” yang disajikan dalam Seminar Nasional

“Pertanggung Jawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate

Governance”, Program Doctor Ilmu Hukum UNDIP, di Inter Continental Hotel,

Jakarta 27 Maret 2007.

Jaya, Surya, “Keadilan Restoratif tuntutan dan kebutuhan dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Ikahi tanggal 25 April

2012 di Jakarta

Rozah, Umi, Membangun Kontruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif

Penyelesaian Perkara Pidana, MMH Jilid 39 No. 3 Juli 2010

Weinstein, Jack B, Same Benefit and Risks of Privatization of Justice Though ADR,

Artikel pada Ohio State Journal on Dispute Resolution , 1996

Widnyana, I Made, Alternative Penyelesaian Sengketa, (ADR), (Jakarta : Indonesia Businis

Law Centre (IBLC), 2007)

Zulva, Eva Achjani, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana,

Makalah, Jakarta, 2011.

TESIS/DISERTASI :

Agus Mahendra Iswara, I Made, “Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative

Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali”, Tesis, Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013

Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana,

Disertasi dalam memperoleh Gelar Doctor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana

Universitas Indonesia, Jakarta, 2001

Rahmanto, Rios, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana,

Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,

2013

Wicaksono, R. Budi, community Policing dan Restorative justice sebagai paradigma

Baru dalam Resolusi Konflik, Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Kriminologi Program Pasca Sarjana Universitas Indonesi, Depok,

2008.

Page 136: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

123

Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif di Indonesia (studi tentang Kemungkinan

Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum

Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, juni 2009.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)

Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik

Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Indonesia, Menteri Hukum dan Ham

Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Pada

Tanggal 22 Desember 2009.

Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tentang Rancangan Undang-undang

Pengadilan Anak, (Jakarta: BPHN, 2009)

UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

JURNAL:

Malkani, Artikel: Dilematis Pemeriksaan tersangka oleh Penyidik terhadap Tindak

Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Polres Bukit Tinggi, Program

Kerjasama Pasca Sarjana Universitas Andalas dengan Universitas

Muhammadiyah Sumatra Barat, 2012.

Manan, Bagir, “Hakim dan Pemidanaan”, Jakarta: Varia Peradilan Nomor. 249

Bulan Agustus 2006.

Pekuali, Umbu Lily, Memposisikan Hukum Sebagai Penyeimbang Kepentingan Masyarakat,

Jurnal Pro Justitia, Vol.26 (4) Oktober 2008.

Daly, Kathleen dan Russ Immarigeon, The Past, Present, and Future of Restorative

Justice : Some Critical Reflection, dalam Contemporary Justice Review, 1 (I),

1998.

Dwisvimiar, Inge, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum,; jurnal dinamika

hukum, Vol 11, No. 3 Seftember 2011.

Page 137: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

124

INTERNET:

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly

Lesmana, CSA Teddy, Mediasi Penal dalam Perspektif Pembaharuan Sistem

Peradilan Pidana, www.scribd.com/doc.95030344/mediasi-penal-perspektif-

pembaharuan-sistem-peradilan-pidana-Indonesia.

Trankle, Stefanie, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-

Offender Media-tion –a Microsociological Study of a Paradoxial Procedure

Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France,

http://www.iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle_e.html.

http://arsip.batampos.co.id/13-12-2014/manfaatkan-restorative-justice-dalam-penegakan-

hukum-di-batam/ diakses pada tanggal 1 Maret 2016.

United Nation, Basic Principles on the use of restorative justice programmes in criminal

matters, ECOSOC Res 2000/14. U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add2 at 35 (2000).

(www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%

2520criminal%

https://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/26/11124620/Akhir.Kisah.Kecelakaan.Sang.A

nak.Menteri

https://simomot.com/2014/07/16/dul-divonis-bebas-atas-kasus-kecelakaan-maut-di-tol-

jagorawi

Page 138: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal

LAMPIRAN

Page 139: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal
Page 140: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal
Page 141: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal
Page 142: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal
Page 143: Oleh : HELMI ARISANDI NIM : 1111043200034repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42361/1/HELMI... · fasilitas dan referensi buku kepada penulis untuk ... E. Mediasi Penal