obstruksi saluran cerna pada neonatus

Upload: muhammad-dendy-mulia-rahman

Post on 16-Oct-2015

189 views

Category:

Documents


53 download

DESCRIPTION

obstruksi

TRANSCRIPT

PENANGANAN OBSTRUKSI SALURAN CERNA PADA NEONATUS

PENANGANAN OBSTRUKSI SALURAN CERNA

PADA NEONATUS

PENDAHULUAN

Obstruksi saluran cerna merupakan penyebab terbanyak kasus-kasus darurat neonatus. Obstruksi intestinal dapat terjadi pada setiap bagian usus di distal gaster, dimana sumbatannya dapat total maupun parsial. Obstruksi total biasanya diakibatkan oleh karena atresia atau pun vovulus sedangkan obstruksi parsial disebabkan oleh karena malrotasi tanpa vovulus, pankreas anulare, stenosis, duplikasi intestinal maupun oleh karena desakan ekstrinsik ke lumen usus (Lister, 1990)

Penampilan klinis obstruksi saluran cerna sangat bervariasi dalam intensitas maupun waktunya tergantung pada letak serta derajat obstruksi. Tanda-tanda umum yang biasa dijumpai adalah muntah, distensi abdomen, kegagalan evakuasi mekonium, iritabilitas serta letargi.

Riwayat abortus, infeksi maternal, diabetes melitus, pemakaian obat-obatan selama kehamilan, toksemia, perdarahan plasenta, polihidramnion, prematuristas dan partus lama harus meninggalkan kecurigaan untuk terjadinya obstruksi saluran cerna. Neonatus dengan muntah hijau, kegagalan evakuasi mekonium dalam 24 jam yang disertai distensi abdomen harus dicurigai adanya obstruksi intestinal sampai terbukti bukan (Cywes, 1995; Lister, 1990; Taylor,1994)

Untuk dapat menangani obstruksi saluran cerna pada neonatus secara benar, harus diingat hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah yang dihadapi benar-benar kasus obstruksi

2. Obstruksi mekanis atau obstruksi fungsional

3. Obstruksi total atau parsial

4. Obstruksi simpel atau strangulasi

5. Letak ketinggian obstruksi

6. Serjauh mana gangguan sistemik telah terjadi

7. Sejauh mana gangguan lokal telah terjadi (Holdsworth, 19995; Tyrrel, 1991).

Obstruksi saluran cerna pada neonatus, memerlukan penanganan segera sehingga diagnosis harus cepat, tepat dan segera dilakukan resusitasi, monitoring ketat, evaluasi yang adekwat serta segera ditentukan apakah tindakan bedah perlu dilakukan. Untuk menentukan tindakan pembedahan, mungkin diperlukan pemeriksaan fisik yang diulang-ulang untuk menentukan apakah yang dihadapi bukan obstruksi fungsional. Apabila tindakan-tindakan di atas terlambat dilakukan, maka akan terjadi gangguan respirasi akibat distensi abdomen, dapat terjadi aspirasi akibat muntah-muntah, asidosis metabolik, gangren perforasi dan sepsis. Masukan cairan yang terbatas, muntah-muntah dan kehilangan cairan ke rongga ketiga akan menyebabkan terjadinya dehidrasi yang akan menyebabkan syok dehidrasi (Niedringhaus, 1983).

Untuk dapat lebih memahami obstruksi intestinal pada neonatus maka berikut akan dibicarakan patofisiologi, serta penanganan macam-macam penyebab terjadinya obstruksi saluran cerna.

PATOFISIOLOGI

Efek obstruksi saluran cerna pada neonatus akan cepat mempengaruhi keadaan umum penderita apabila tidak segera ditangani. Pada saat diagnosis ditegakkan, kebanyakan penderita telah mengalami gangguan sistematik yang memerlukan tindakan segera sebelum dilakukan koreksi terhadap penyebab terjadinya obstruksi.

Efek patologis akibat obstruksi saluran cerna, khususnya berhubungan dengan kehilangan cairan dan elektrolit baik pada obstruksi simpel maupun obstruksi strangulasi.

Obstruksi mekanis, total maupun parsial akan menyebabkan distensi usus di proksimal sumbatan akibat adanya stasis cairan dan udara. Distensi abdomen yang terjadi akan mengganggu gerakan pernafasan akibat desakan pada diafragma sehingga dapat terjadi asidosis respirasi. Di samping itu, terjadinya muntah akibat obstruksi saluran cerna dapat mengakibatkan terjadinya aspirasi yang amat berbahaya (Cywes, 1995; Holdsworth, 1995; Taylor, 1994; Tryrrel; 1991).

Adanya muntah-muntah, masukan cairan yang terbatas serta pengaliran cairan ke rongga ketiga akan menyebabkan terjadinya kekurangan cairan tubuh yang dapat mengakibatkan terjadinya syok dehidrasi (Niendringhaus, 1983).

Bila terjadinya obstruksi, usus akan meningkatkan daya dorong serta memperpanjang waktu kontraksinya sampai terjadinya distensi yang akan menghambat kemampuan usus untuk berkontraksi.

Pada obstruksi dimana terjadi statis cairan, bakteri usus akan mengalami proliferasi. Translokasi bakteri maupun toksin melewati dinding usus akan menyebabkan terjadinya eksudat peritoneal yang akan menyebabkan terjadinya peritonitis.

Proses strangulasi terjadi bila satu segmen usus terjebak sehingga membentuk closed loop yang terjadi misalnya pada volvulus.

Yang terjadi mula-mula adalah obstruksi parsial, akan tetapi oleh karena cairan terus masuk maka akan terjadi distensi yang akan menyebabkan terjadinya obstruksi total dengan udem pada usus dan mesenterium.

Bila proses ini terus berlajut maka sirkulasi arteri lama-lama akan terganggu yang akan mengakibatkan terjadinya iskemia dan infark dan berakhir dengan perforasi serta peritonitis.

Kebocoran material-material yang terinfeksi, baik melalui perforasi maupun translokasi ke dalam sirkulasi darah akan mengakibatkan terjadinya endotoksemia yang ditandai dengan demam dan takikardi. Proses ini kemudian akan mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi sel sebagai akibat kerusakan mitikondria, gagal ginjal, gagal hepar serta terjadinya DIC (Lister, 1990; Holdsworth, 1995; Tyrrel, 1991)

DIC sendiri merupakan komplikasi dari syok yang ditandai dengan adanya koagulasi pada kapiler serta adanya perdarahan. Ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya DIC yaitu: aktifitas faktor XII, kerusakan endotel serta kerusakan membran platelet, yang kesemuanya diakibatkan oleh kerana adanya endotoksin (Collins, 1983).

DIAGNOSIS

Diagnosis obstruksi saluran cerna pada neonatus ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, radiologis maupun pemeriksaan laboratorium.

Gambaran klinis obstruksi saluran cerna meliputi muntah, distensi abdomen, kegagalan evakuasi mekonium dan adanya rasa nyeri. Berat ringannya gejala di atas tergantung pada penyebab obstruksi, letrak ketinggian obstruksi, obstruksi total atau parsial, ada tidaknya strangulasi serta adanya gangguan sistematik yang telah terjadi.

Pada obstruksi tinggi, rasa sakit akan segera diikuti dengan muntah hijau kecuali bila sumbatannya terletak di sebelah proksimal ampulla vateri. Distensi perut sangat minimal dan terbatas di daerah epigastrium atah malah kadang-kadang tidak dijumpai. Banyaknya cairan yang dimuntahkan akan menyebabkan terjadinya dehidrasi yang berat.

Pada obstruksi tengah dimana sumbatan terletak mulai dari pertengahan duodenum sampai pertengahan kolon transversum, manifestasi klinisnya akan menampilkan sebagai obstruksi rendah dimana akan terjadi distensi abdomen yang menyeluruh dan kadang-kadang dapat terlihat kontour usus. Muntah yang terjadi tidak akan sehebat seperti pada obstruksi tinggi dan volume muntahan akan lebih sedikit. Gejala di atas akan disertai dengan rasa nyeri yang pada neonatus akan diepresikan sebagi cramping pain.

Obstruksi rendah terjadi bila sumbatan mulai dari pertangahan kolon universum kedistal. Distensi abdomen yang hebat disertai dengan muntah merupakan tanda yang khas untuk obstruksi ini. Untuk menentukan apakah telah terjadi proses strangulasi maka harus diingat adanya 3 proses yang mengakibatkan terjadinya nekrosis usus yaitu: adanya tekanan local, terbentuknya closed loop dimana dilatasi usus akan mengganggu vaskularisasi atau adanya oklusi vasa darah mesenterium.

Bilamana usus telah mengalami iskemia maka akan muncul tanda-tanda rangsangan peritoneal misalnya tenderness dan nyeri tekanan. Perubahan intensitas dan kwalitas rasa nyeri yang disertai tanda-tanda endotoksemia menandakan telah terjadi kebocoran cairan terkontaminasi yang masuk ke dalam rongga abdomen.

Demam, takikardi, kekakuan dinding perut dan lekositosis harus meningkatkan kecurigaan telah terrjadinya infark usus (Cywes, 1995; Lister, 1990; Redo, 1976; Tyrrel, 1991)

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Gambaran radiologis tergantung dari letak ketinggian serta lama terjadinya obstruksi. Pada obstruksi setinggi gastric outlet akan terlihat gambaran single bubble sedangkan bila obstruksi setinggi duedenum akan tampak gambaran double bubble.

Distensi abdomen, gambaran hering bone, adanya air fluid level menunjukkan adanya obstruksi tengah maupun rendah.

Bila terjadi perforasi usus maka akan terlihat adanya udara bebas intraperitoneal baik sebagai gambaran udara bebas subdiafragma, football sign, mustache sign, maupun gmbaran segitiga terbalik di bawah kulit pada foto polos abdomen posisi terlentang dengan sinar horizontal.

Peritonitis yang terjadi ditandai dengan adanya distensi abdomen, penebalan dinding usus, pengkabutan intra abdomen serta hilangnya garis lemak preperitoneal.

Gambaran radiologis yang lebih rinci akan dibicarakan pada masing-masing kasus berikut.

LABORATORIUM

Pada obstruksi awal, pemeriksaan laboratorium biasanya normal sedangkan bila telah terlambat maka akan terjadi hemokonsentrasi, lekositosis serta gangguan elektrolit. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan untuk mengetahui status asam basa neonatus sehingga koreksi dapat cepat dan tepat dilakukan sebelum dilakukan tindakan pembedahan.

TERAPI

Untuk dapat menangani kasus-kasus obstruksi saluran cerna pada neonatus secara baik maka harus diingat beberapa prinsip bedah yang harus dilakukan:

Resusitasi cairan, elektrolit, asam basa, temperatur, hemoglobin dan albumin

Diagnosis ditegakkan seawal mungkin

Tentukan jenis, ketinggian, kausa obstruksi serta adanya komplikasi-komplikasi

Kontaminasi peritoneal harus dicegah

Hilangkan penyebab obstruksi

Kontinuitas usus dikembalikan

Penanganan obstruksi saluran cerna pada neonatus meliputi 2 macam tindakan yaitu tindakan inisial dan tindakan pembedahan.

Setelah diagnosis ditegakkan maka harus segera dilakukan resusitasi baik resusitasi cairan, elektrolit, asam basa, hemoglobin, temperatur maupun albumin. Resusitasi caioran yang benar merupakan kunci keberhasilan di dalam menangani kasus-kasus obstruksi ini. Taylor (1994) menekankan pentingnya tiga stabilisasi di dalam menangani kasus-kasus obstruksi saluran cerna neonatus yaitu: stabilisasi temperatur, balans cairan dan elektrolit serta stabilisasi asam basa.

Pemasangan naso gastric tube akan membantu dekompresi, mencegah muntah serta menghindari terjadinya aspirasi.

Dekompresi pada kasus obstruksi bawah dapat dilakukan dengan pemasangan rectal tube. Untuk menentukan jumlah produksi urin serta membantu penghitungan balans cairan dapat dipasang kateter douer, dimana rehidrasi akan tercapai apabila produksi urin mencapai 1-2 cc/kgbb/jam.

Pertimbangan penting untuk segera melakukan pembedahan adalah adanya strangulasi serta adanya tanda-tanda iritasi peritoneal. Jenis tindakan bedah yang dilakukan tentukan oleh penyebab obstruksinya.

Distensi usus yang hebat dapat diatasi dengan striping retrograd sehingga dapat menghindari terjadinya kontaminasi intraperitonial, akan tetapi pada neonatus biasanya dapat diatasi denagan striping antegrad yang lebih mudah melakukanya.

Pada daerah obsruksi diteliti apakah ada tanda-tanda iskemia, dinilai keadaan viabilitas usus, ada tidaknya pulsasi mesenterium serta daerah-daerah yang hiperemis. Untuk menilai keadaan ini perlu diberikan waktu paling sedikit 10 menit.

Bila viabilitas usus meragukan maka reseksi hanya dilakukan pada neokrasis usus yang pendek sedangkan apabila nekrosis melibatkan usus yang panjang maka lebih baik dilakukan eksteriorisasi serta pembuatan stoma ( Palmieri, Kimuar, Soper, Mitras 1993)

KASUS-KASUS

I. GASTER

Obstruksi gatric outlet pada neonatus diakibatkan oleh karena beberapa kelainan antara lain obstruksi intrinsik antrum dan pylorus di samping stenosis pilorus hipertrofik. Obstruksi intrinsik dapat berupa : aplasia, atresia dan membran diafragma. Penyebab-penyebab lainnya adalah berupa duplikasi serta pankreas aberant.

Umumnya gejala-gejala akan muncul pada minggu pertama kehidupan dengan muntah isi gaster, distensi abdomen bagian atas dengan gelombang peristaltic gaster. Riwayat kehamilan dengan polihidramnion, berat badan lahir yang rendah serta gangguan tumbuh kembang akan memperkuat diagnosis penyakit ini. Adanya alkalosis serta distres respirasi menunjukkan adanya kegawatan pada penderita tersebut.

Pemeriksaan radiologis akan memperlihatkan adanya udara pada gaster yang mengalami dilatasi.

Pada stenosis pilorus hipertrofik, gejala-gejala klinis akan muncul pada minggu ketiga sampai minggu keenam. Muntah merupakan tanda-tanda terpenting, mula-mula sebagai muntah regurgitasi akan tetapi kemudian menjadi muntah proyektil yang berupa mucus atau milk. Warna muntahan tidak hijau, tetapi kadang-kadang berwarna merah dimana hal ini diakibatkan oleh karena adanya gastritis ataupun esofagitis. Apabila telah terjadi ulserasi gaster maka akan terjadi hematemesis masif.

Gagal tumbuh yang diakibatkan oleh karena masukan makanan yang tidak adekwat, obstipasi akibat masukan cairan yang kurang, serta keadaan neonatus yang selalu kehausan akan memperkuat diagnosis kelainan ini.

Pada pemeriksaan fisik akan menunjukkan adanya kontur dan peristaltic gaster yang terlihat pada abdomen atas serta adanya tumor pada epigastrium.

Pemeriksaan barium meal akan menunjukkan adanya string sign, shoulder sign, railroad track sing, umrella sign maupun tit sign. Sedangkan pada pemeriksaan ultrasonografi akan memperlihatkan ketebalan yang terjadi bilamana tidak segera ditangani antara lain: dehidrasi, malnutrisi hupokalemi, hipoalbuminemia serta alkalosis (Cambell, 1986; Lister, 1990; Tam, 1994).

Untuk menangani kelainan ini kecuali dipasang nasogastric tube dan lavase, harus dilakukan juga koreksi terhadap keadaan dehidrasi, alkalosis, hipokalemi, hiopoalbumin serta transfusi bila telah terjadi anemia.

Tindakan bedah untuk atresia dan aplasia dapat dilakukan eksisi dan end to end gastroduodenostomi, sedangkan untuk membran diafragma dapat dikerjakan operasi Heineke Mikulicz Piloroplasti, gastroduodenostami maupun gastrojejunostomi (Tam, 1994; Cook, 1990)

Penanganan stenosis pilorus hipertrofik meliputi tiga macam tindakan yaitu : tindakan bedah pemberian obat-obatan serta dilatasi. Tindakan bedah yang sampai saat ini dikerjakan masih adalah piloromiatomi Fredet Ramsted, dimana hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa serosa dan lapisan otot harus dibuka melintasi daerah pilorikum, kemudian insisi diperdalam secara tumpul sampai tampak mukosa yang akan menyembul lewat insisi tadi.

Tindakan non bedah yang dilakukan pada stenosis ini antara lain dengan diet, lavase lambung, pemberian obat antipasmodik, skopolamin 0,1 mg 6 kali sehari 15 menit sebelum makan serta feeding meningkat dengan interval 3 jam. Kerugian dari tindakan ini adalah hasil yang tidak memuaskan serta waktu perawatan yang lama.

Dilatasi pilorus dengan balon kontrol gastroskopik dilaporkan efektifitasnya sama dengan piloromiotomi (Benson, 1986; Cook, 1990)

II. INTESTIUM TENUE

Lister (1990), membagi obstruksi intestinal menjadi obstruksi mekanis dan obstruksi fungsional, sedangkan obstruksi mekanis terdiri dari obstruksi ekstraluminal dan obstruksi intraluminal.

Penyebab-penyebab obstruksi mekanis ekstraluminal antara lain: atresia, vovulus, bands dan hernia sedangkan obstruksi intraluminal dapat disebabkan oleh karena mekonium pulg, milk inspissation dan mekonium ileus.

Obstruksi fungsional yang banyak dijumpai pada neonatus antara lain disebabkan oleh karena: penyakit Hirschprung, infeksi, NEC, gangguan metabolisme dan prematuritas.

A. DUODENUM

1. Atresia dan Stenosis

Pada kelainan atresia didapatkan obstruksi total yang dapat tunggal maupun ganda yang penyebabnya diperkirakan oleh karena kegagalan rekanalisasi lumen usus maupun oleh karena cedera vaskuler pada satu segmen usus.

Cywes, et al (1995) mendapatkan atresia pada kasus-kasusnya: duedenum (45%), jejunum (25%), colon (5%) dan multiple (15%).

Obstruksi duodenum dapat terjadi di setiap bagian duedenum, akan tetapi yang terbanyak adalah di dekat ampula vateri. Macam-macamnya adalah: bagian proksimal dan bagian distal saling menempel, proksimal dan distal dihubungkan dengan jaringan fibrous, proksiamal dan distal dijumpai celah, proksimal dan distal dibatasi diafragma, stenosis, dan windsock web

Adapun tipe obstruksi duodenum yang dihadapi, akan memberikan akibat yang sama ialah bahwa duodenum di sebelah proksimal sumbatan serta gaster akan mengalami dilatasi dan hipertrofi sedangkan usus di bagian distal sumbatan akan kolaps (Menardi, 1994; Smith, 1986).

Insidens obstruksi duedenum, adanya muntah berwrna hijau, kembung di sekitar epigatrium, peristaltic gaster yang kadang-kadang terlihat dehidrasi, kehilangan berat badan dan gangguan elektrolit akan memperkuat diagnosis kelainan ini. Serta kadang-kadang disertai dengan sindrom down.

Pada atresia duodeni, pemeriksaan radiology akan menunjukkan gambaran double bubble dengan gambaran air-fluid level pada gaster sedangkan pada stenosis duodeni kecuali dijumpai gambaran seperti di atas juga akan terlihat beberapa gelembung udara di sebelah distal duodenum.

Pada kelainan-kelainan di duodenum, pembedahan hanya dikerjakan apabila telah dilakukan resusitasi yang adekwat termasuk: koreksi cairan dan elektrolit dan asam basa dan temperatur. Untuk mendapatkan lapangan pandangan yang luas maka kolon ascendens dan fleksura hepatica dimobilisasi. Beberapa tahun yang lalu, standar pembedahan yang dikerjakan untuk menangani atresia dan stenosis duodeni adalah duodenojejunostomi end to side atau side to side isoperistaltik retrokolika. Tindakan gastrojejunostomi sebaliknya dihindari mengingat bahaya-bahaya terjadinya peptikum.

Saat ini teknik operasi yang dipergunakan adalah diamond shaped duodenojejunostomi atau think Weizman Brenan.

Bila obstruksinya disebabkan oleh karena adanya membran diafragma, sebagai pengganti prosedur by pass dapat dilakukan dengan eksisi membran yang dikombinasikan dengan duodenoplasti. Pada beberapa tahun terakhir ada yang menyarankan melakukan tapering duodenum yang dilatasi baik dengan eksisi maupun plaksi, akan tetapi tehnik ini akan mempunyai banyak komplikasi.

Pembuatan gastrostomi yang diikuti pembedahan ini masih dalam perdebatan hanya saja bila dibandingkan dengan pemakaian NTG, gastrostomi mempunyai lebih banyak Keuntungan-keuntungan yaitu kecuali kalibernya lebih besar sehingga fungsi dekompresinya lebih baik juga bila dipergunakan untuk feeding akan lebih mudah.

Pemasangan tube transanastomotik yang dimasukkan sampai jejunum proksimal yang dipertimbangkan dengan menggunakan material-material yang lentur misalnya Vigon jejunal feeding tube.

Perawatan pasca operasi yang penting adalah pengosongan isi gaster secara kontinyu, pemberian ciran intravena, bayi ditidurkan miring ke kanan atau tengkurap serta pemberian antibiotik (Irving, 1990; Menardi 1994; Schnaufer, 1986)

2. Malrotasi

Pada minggu ke 6 sampai ke 8 kehamilan bagian tengah traktus gastrointestinal, mulai dari pertengahan duodenum sampai pertengahan kolon transversum yang divaskularisasi arteria mesenterika superior akan tumbuh lebih cepat apabila dibandingkan pertumbuhan coelum sehingga akan menyebabkan keluarnya bagian ini menuju rongga ekstracoelum. Pada minggu ke 9-12 rongga coelum telah berkembang cukup luas sehingga pada minggu-minggu ini mid gut akan kembali masuk ke dalam coelum, dengan mengadakan gerakan rotsi hingga 270 derajat. Apabila terjadi gangguan di dalam gerakan ini maka akan mengakibatkan terjadinya beberapa bentuk kelainan rotasi yang pada garis besarnya dibagi menjadi : Non rotasi, Rotasi inkomplit, Reserved rotation (rotasi balik) serta gangguan fiksasi mesenterium (Smith, 1986; Redo, 1976).

Pada non rotasi, usus halus akan mengisi rongga abdomen bagian kanan dan usus besar akan mengisi rongga abdomen sebelah kiri. Kelainan ini sering disertai dengan omfalokel, hernia Bochdalek atau gastroskisis.

Rotasi inkomplit merupakan bentuk klasik malrotasi dimana cecum terletak pada linea medina atau pada kwadran kanan atas dan biasanya akan didapatkan bands yang berjalan dari posterolateral dinding abdomen kanan menuju ke arah cecum atau kolon ascendens yang dapat menekan duodenum. Pada kelainan ini didapatkan basis mensenterium yang sempit, usus halus, cecum serta kolon ascendens digunakan pada satu pedikel sehingga mengalami vovulus.

Reversed rotation atau rotasi terbalik terjadi karena rotasi midgut yang searah dengan arah jarum jam. Disini dijumpai kelainan-kelainan dimana duodenum dan jejunum terletak di depan arteria mesenterika superior dan kolon transversum terletak di belakang mensenterika superior sehingga dapat terjadi obstruksi pada pertengahan kolon transversum akibat jepitan arteria tersebut. (Smith, 1986).

Gangguan fiksasi mesenterium kolon kanan atau kiri dan duodenum akan menyebabkan terjadinya hernia mesokolika, sedangkan kegagalan fiksasi cecum, ileum terminale dan kolon ascendens bagian proksimal akan mengakibatkan terjadinya CECAL VOVULUS. Kegagalan fiksasi kolon ancendens kolon ascendens serta usus halus menggelantung pada tangkai mesenterium dan akan didapatkan bands yang berjalan dari usus ke dinding pelvis.

Berdasarkan pada gangguan rotasi dan fiksasi tersebut di atas Schey (1993) mengamati ada beberapa tempat dimana cecum dapat berada yaitu pada kwadran kanan atas, kwadran kiri atas, di bawah xyphoid dan di pelvis. Dari 53 kasus malrotasi yang ditangani dua diantaranya dioperasi karena CECAL VOVULUS.

Manifestasi klinis malrotasi menyangkut 3 masalah yaitu: obstruksi duodenum, hernia interna dan vovulus baik midgut maupun cecal.

Obstruksi duodenum dapat disebabkan oleh karena adanya bands yang menjepit bagian ke 2-3 duodenum, sehingga manifestasinya adalah sebagai obstruksi tinggi dengan bayi yang tiba-tiba muntah hijau serta distensi di sekitar epigastrium.

Apabila terjadi strangulasi, misalnya pada vovulus, maka bayi akan kesakitan, pucat, nafas yang cepat, dehidrasi dan dapat terjadi perdarahan intralumen yang ditandai dengan adanya melena maupun hematemesis.

Pemeriksaan radiologis menunjukkan gambaran double bubble dengan beberapa gelembung udara di sebelah distalnya. Pemeriksaan barium meal akan memberikan gambaran yang lebih spesifik dimana akan terlihat spiral appearance dan cork screw appearance, sedangkan pemeriksaan barium enema akan menunjukkan letak cecum dan letak kolon yang abnormal.

Penanganan penderita malrotasi tergantung pada ada tidaknya obstruksi serta viabilitas makan dilakukan kompres saline hangat kemudian dievaluasi warna serta gerakan peristaltiknya (Raffensperger, 1990; Redo, 1978).

Raffensperger (1990) menerangkan prosedur second look dengan cara memasukkan kembali usus yang meragukan ke dalam rongga abdomen dan dinding perut hanya kulitnya saja yang ditutup kembali, diberikan antibiotika, dextran berat molekul rendah dan setelah 18 sampai 24 jam rongga perut dibuka kembali.

Palmieri, kimura, soper dan mitras (1993) menerangkan cara baru untuk menangani adanya iskemia usus yang panjang dengan cara eksteriorisasi dan membuat double barreled stoma dan setelah 12 jam dilakukan evaluasi dengan Doppler.

Tindakan pembedahan harus segera dilaksanakan apabila diagnosis serta persiapan operasi telah disiapkan. Setelah rongga abdomen dibuka maka harus ditentukan jenis kelainan rotasinya yang ditandai dengan adanya bands peritoneal, adanya fiksasi duodenum dan jejunum pada cecum atau kolon kanan, letak cecum serta letak duodenum. Seluruh usus dikeluarkan dan vovulus dikoreksi dengan memutar ke arah kebalikan arah jarum jam dan bands dipotong. Semua perlekatan yang abnormal dibebaskan dan kemudian dilakukan lisis ligamentum Treitz, sehingga sekarang diagnosis terletak vertical di sebelah kiri abdomen. Seluruh viscera kemudian dimasukkan kerongga abdomen, dilakukan fiksasi dan stablilitas mesenterium (Brennom dan Bill cit. Smith 1986).

Redo (1978) menganjurkan untuk tidak usah melakukan appendektomi, hanya saja orang tua penderita diterangkan bahwa posisi appendik anaknya tidak pada tempat yang normal, sedangkan Kluth dan Lambrecht (1994) menyatakan tidak usah melakukan appendektomi apabila keadaan umum tidak baik serta didapatkan tanda-tanda radang pada daerah cecum serta adanya tanda-tanda patologis yang lain.

Kluth dan Lambrecht (1994) menyatakan bahwa walaupun prosedur Ladds masih banyak yang menggunakan untuk menangani kelainan rotasi dengan vovulus, akan tetapi saat ini telah banyak yang menggantikannya dengan prosedur TOTAL KOREKSI dimana disini dilakukan fiksasi serta stabilisasi duodenum dan kolon untuk mencegah terjadinya rekurensi. Stauffer dan Herrmann (1980) telah melakukan operasi kembali pada 10% kasus malrotasi akibat vovulus yang rekuren serta obstruksi.

3. Pankreas anulare

Keadaan ini disebabkan oleh karena gangguan fusi pada pembentukan jaringan pankreas yang mengelilingi duodenum sehingga menyebabkan baik obstruksi komplit maupun obstruksi parsial akibat jepirtan pada bagian Kedua duodenum. Pankrease anulare seringkali dimasukkan sebagai penyebab ekstrinsik obstruksi duodenum, anak tetapi Irving (1990) menyatakan bahwa hal ini tidak benar sama sekali oleh karena lumen duodenum di dalam leher pankreas anulare tidak hanya ditekan oleh jaringan pankreas akan tetapi pada penampang melintang ternyata menunjukkan semuanya menyempit. Elliot dan Kliman (cit. Irving,1990) menerangkan bahwa pankreas anulare merupakan tanda gangguan perkembangan duodenum dan bukan merupakan lesi obstruksi.

Manifestasi klinisnya adalah sebagai obstruksi tinggi dengan muntah hijau serta distensi abdomen di sekitar epigastrium.

Tindakan bedah pada pankreas anulare adalah duodenoduodenostomi. Pemotongan jaringan pankreas harus dihindari oleh karena kemungkinan didapatkan atresia duodeni, sebagian jaringan pankreas berada intramural serta dapat mengakibatkan terjadinya pankreatitis (Schnaufer, 1986).

4. Duplikasi intestinalDuplikasi saluran pencernaan yang berbentuk sferis maupun tubeler dapat terjadi mulai dari lidah sampai anus dan duplikasi abdominal yang paling banyak dijumpai adalah pada jejunum, ileum terminale serta pada daerah ileocecal (Lister, 1990)

Kelainan ini melekat pada satu segmen traktus gastrointertinalis dan biasanya di sepanjang tepi mesenterial yang dibatasi oleh mukosa dan lapisan otot polos. Duplikasi dapat berhubungan dengan traktus gatrointertinalis bagian proksimal, distal atau keduanya, akan tetapi dapat juga tertutup dan sama sekali tidak berhubungan dengan traktus gastrointertinalis.

Manifestasi klinis kelainan ini adalah berhubungan dengan adanya obstruksi, rasa nyeri, distensi abdomen adanya perdarahan. Obstruksi yang terjadi dapat disebabkan oleh karena kompresi maupun oleh karena vovulus, sedangkan perdarahan yang terjadi diakibatkan oleh karena adanya mukosa gater ektopik serta kerusakan mukosa (Lister, 1990; Nayar, 1994).

Koreksi bedah terhadap kelainan ini tergantung pada lokasi serta tipe duplikasi. Biasanya dilakukan reseksi dan primer anastomosis, akan tetapi pada duplikasi kistik yang melekat pada duodenum dan lambung dapat dilakukan eksisi saja tanpa merusak organ induknya duplikasi yang terletak di ileum dapat dilakukan stripping dengan metode WRENN.

B. JEJUNUM dan ILEUM

1. Atresia dan StenosisGangguan aliran darah pada satu segmen usus yang terjadi intra uterin merupakan salah satu penyebab terjadinya atresia intestinal yang akan memberikan beberapa bentuk atresia berupa mambran diafragma, fibrous band, apple-peel maupun atresia multipel.

Penampilan klinis atresia jejunum hampir sama dengan atresia duodenum dimana akan dijumpai muntah hijau beberapa jam setelah minum serta kembung di daerah epigastrum. Pemeriksaan foto polos abdomen akan menunjukkan paling tidak didapatkan tiga gelembung udara.

Atresia ileum secara klinis akan menampilkan sebagai obstruksi rendah sehingga akan dijumpai distensi abdomen yang menyeluruh yang diikuti muntah setelah 24 jam. foto polos abdomen akan menunjukkan tanda-tanda obstruksi rendah dengan gelembung udara memenuhi seluruh rongga perut dengan multiple airfluid level, sedangkan foto barium enema akan menunjukkan gambaran mikrokolon (Cywes et al. 1994: Lister, 1990).

Tindakan bedah untuk menangani kelainan ini adalah reseksi dan end to end anastomosis, side to side anastomosis ataupun end to side anastomosis.

Yang masih menjadi masalah sampai saat ini adalah berapa panjang ujung proksimal dsan ujung distal yang harus direseksi sehingga didapatkan hasil anastomosis yang baik.

Kizilcan et al (1991) mengatasi perbedaan kaliber ujung proksimal dan distal dengan melakukan striping seromuskuler serta plikasi mukosa.

Untuk menentukan panjang reseksi Hamdy et al (1986) telah melakukan pemeriksaan histokimia ujung proksimal maupun ujung distal yang buntu, dimana pada ujung proksimal maupun distal tidak dijumpai adanya aktifitas acetylcholin esterase, tidak didapatkan ganglion maupun saraf cholinergik sedangkan otot-ototnya diganti dengan jaringan fibrous. Pemotongan 4 cm ujung proksimal telah didapatkan adanya ganglion dan otot-otot cukup tebal dengan aktifitas acetylcholin esterase yang baik. hal yang sama didapatkan pada pemotongan ujung distal sepanjang 2 cm.

Untuk mengatasi perbedaan kaliber ujung proksimal dan ujung distal telah banyak diperkenalkan tehnik-tehniknya termasuk tapering plasti, plikasi maupun enterostomi.

Bila perbedaan kaliber antara ujung praksimal dan distal terlalu besar sebaliknya dilakukan terlebih dahulu enterostomi baik Bishop-Koop, Santuli maupun Mikulicz.

2. Mekonium Ileus

Kelainan ini diakibatkan oleh karena gangguan fungsi eksorin kelenjar pankreas dan terjadi pada 5%-10% neonatus dengan kistik fibrosis. Adanya gangguan fungsi eksokrin akan menyebabkan mekonium menjadi kental, lengket yang akan terkumpul di ileum terminale dan dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi.

Diagnosis dapat ditegakkan kecuali secara klinis akan menampilkan sebagai obstruksi rendah, pemeriksaan Sweat test akan menunjukkan kenaikan konsentrasi natrium dan chlorida dan biasanya lebih dari 60 mEq/liter. Pemeriksaan rambut dan kuku akan menunjukkan kenaikan yang sama.

Pemeriksaan foto polos abdomen akan menunjukkan distensi usus halus serta gambaran Soap Bubble Appearance, sedangkan pemeriksaan kontras enema akan terlihat gambaran mikrokolon disebabkan oleh karena mekonium tidak melewati usus besar. Gambaran kalsifikasi akan terlihat apabila terjadi perforasi intrauterine.

Penanganan mekonium ileus adalah bedah dan non bedah. Indikasi pembedahan antara lain apabila enema hiperosmolar gagal menghilangkan obstruksi, bila diagnosis meragukan dan bila dijumpai komplikasi misalnya vovulus, atresia, nekrosis, perforasi, peritonitis dan adanya psedokista.

Cairan-cairan yang dapat dipergunakan untuk enema antara lain saline, cairan pankreatin, polisorbate 80, Neonatus Acethyl Cysteine (Mucomist) serta hydrogen peroksida.

Noblet pada tahun 1969 menggunakan gastrofin, suatu cairan hiperosmolar radiopak yang larut dalam air dan merupakan campuran meglumine diatrizoate dengan 0,1 % Polisorbate 80 serta 37% organically bound iodine. Efek gastrografin adalah menarik cairan ke dalam lumen usus sehingga akan mengencerkan serta melunakkan mekonium.

Syarat-syarat untuk melakukan enema gastrografin adalah: tidak ada obstruksi yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang lain, tidak dijumpai adanya komplikasi, dikerjakan di dalam prosedur operasi, diberikan propilaksis antibiotik, diawasi oleh ahli bedah dan kontras enema dikontrol dengan fluoroskopi.

Tindakan bedah yang dikerjakan untuk menangani kelainan adalah:

Irigasi dengan membuat enterostomi di sebelah distal sumbatan, menggunakan material saline hangat, 2% neonatus-acetyl cysteine atau 50% diatrizoate.

Bila obstruksi tidak dapat dibebaskan secara tuntas atau bila usus mengalami luka maka dilakukan reseksi dan disambung end to end atau dibuat enterostomi bishop koop, santuli maupun mikulicz.

Perawatan pasca operasi, oral feeding dapat diberikan pregestimil, enzym pancreas misalnya Cotazym, Pankrease serta diberikan vitamin (Ein, 1994; Lloyd, 1986).

III. KOLON

1. Atresia dan Stenosis Kolon

Kelainan ini jarang dijumpai dengan insidens 1:5000 sampai 1:20.000 kelahiran hidup. Diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda-tanda obstruksi rendah, gambaran radiologis menunjukkan adanya dilatasi usus multiple dengan air fliud level, sedangkan pemeriksaan barium enema akan memperlihatkan adanya mikrokolon.

Untuk menangani kelainan ini harus dipertimbangkan ada tidaknya kelainan bawaan yang lain. Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah reseksi primer dan anastomosis maupun kolostomi dengan anastomisis tertunda.

Philippart (1986) membagi kelainan ini menjadi dua yaitu proksimal fleksura lienalis dan distal fleksura leinalis. Bila kelainannya terletak di sebelah proksimal fleksura maka tindakannya adalah reseksi primer dan anastomosis, sedang bila kelainannya terletak di distal fleksura tindakan bedah yang dikerjakan adalah enterostomi Mikulicz.

2. Meconium Plug Syndrom

Kelainan ini jarang dijumpai dan biasanya pada bayi prematur atau bayi-bayi dengan komplikasi maternal. Gajala klinis hanya dijumpai distensi abdomen tanpa disertai muntah barium enema akan terlihat barium yang membatasi daerah lusen di dalam kolon descendens.

Penangan kelainan ini cukup dengan melakukan irigasi NaCl (Cook, 1990)

PROGNOSIS

Diagnosis awal dilanjutkan dengan resustansi yang efektif serta pembedahan segera merupakan pilihan pokok untuk menangani kasus-kasus obstruksi saluran cerna pada neonatus. Mortalitas tindakan pembedahan pada obstruksi simpel adalah kurang dari 5% sedangkan bial telah terjadi satrangulasi akan naik menjadi 10%.

Pada operasi-operasi yang tertunda mortalitas akan menjadi lebih tinggi dimana bila lebih lama dari 36 jam maka mortalitasnya 25 %.

Lloyd (cit. Redo, 1976) melaporkan survival rate untuk perforasi viscera berturut-turut : gester 27%, duodenum 43%, usus halus 30% dan kolon 22%. Penyebab-penyebab kamatiannya adalah prematuritas, sepsis, komplikasi pulmonal, peritonitis, kalainan-kelaian penyerta, Sekunder obstruksi dan gagal ginjal.

KESIMPULAN

Penanganan obstruksi saluran cerna pada neonatus harus dilakukan secara cermat, cepat dan tepat. Diagnosis awal, tindakan inisial serta pembedahan segera akan mencegah terjadinya dehidrasi, gagal respirasi, gangguan sirkulasi perifer, perforasi viskus, asidosis, septikhemis maupun DIC.

SARAN

Untuk dapat lebih memahami hal ikhwal obstruksi saluran cerna pada neonatus, para AHLI BEDAH baik junior maupun senior dituntut untuk tidak mendasarkan segala sesuatunya hanya pada satu referensi saja.

KEPUSTAKAAN

Benson, C.D, 1986. Infantile hypertropic pyloric stenosis in Pediatric Surgery, fourth Ed. Year book medical publishers Inc, Chicago, London, pp 811-815.

Cambell, J.R. 1986. Other conditions of the stomach in Pediatric Surgery, fourth Ed. Year book medical publishers Inc, Chicago, London, pp 821-828.

Cook, R.C.M. 1990. gastric outlet in Neonatal Surgery, third Ed. Butter worth & Co London, pp 403-420.

Collins, A.S. 1983. Disseminated intravasculair coagulation in Shock, Mosby company St. Louis, Missouri, pp 245-265.

Cywes, S., Millar,A.J.W. 1995. Neonatal insestinal obstruction in Surgery, Feb, pp 265-271

Cywes, S., Rode, H., Milar, A.J.W. 1994. Jejunoileal atresia and stenosis in Surgery of the new born, first Ed. Churchill Livingstone New York and Tokyo, pp 117-137.

Ein, S.H. 1994. Meconium ileus in Surgery of the new born, first Ed. Churchill Livingstone New York and Tokyo, pp 139-157.

Hamdy, M.H., Man, D.K., Bain, D. and Kirkland, I.S. 1986. changes in intestinal atresis and its implications on surgical management: A preliminary report, Journal of Pediatric Surgery, Vol 21 (1): 17-21.

Holdworht, P.J. 1995. Intestinal obstruction in Surgery, Vol 31 (11): 217-221.

Irving, I.M. 1990. duodenal atresia and stenosis: annular pancreas in Neonatal surgery third Ed. Butterworth & Co London, pp 424-441.

Kizilcan, F., Tanyel, F.C., Hiskonmez, A. and Buyukpamukcu, N. 1991 Modified plascation tehnique for the treatment of intestinal atresia, Pediatric Surgery International, Vol. 6, 6 (3): 233-234.

Kluth, D., Lambretch, W. 1994. Disorder of intestinal rotation in Surgery of the new born first Ed. Churchill Livingstone New York and Tokyo, pp 201-210.

Lister, J. 1990. Intestinal obstruction: General considerations in Neonatal Surgery third Ed. Butterworth & Co London, pp 421-423.

Lister, J. 1990. Malrotation and volvulus of the intestine in Neonatal Surgery third Ed. Butterworth & Co London, pp 453-473.

Lister, J. 1990. Duplication of the alimentary tract in in Neonatal Surgery third Ed. Butterworth & Co London, pp 474-484.

Lyoyd, D.A. 1986 Meconium Ileus in Pediatric Surgery fourth Ed. Year book medical publishers Inc, Chicago London, pp 849-858.

Menardi, G. 1994. Duodenal Atresia, stenosis and annular pancreas in Surgery of the new born first Ed. Churchill livingstone New York and tokyo, pp 107-115.

Irving, I. M. 1990. Duodenal atresia and stenosis: annular pancreas in Neonatal surgery third Ed. Butterworth & Co London, pp 424-441.

Kizilcan, F., Tanyel, F.C., Hiskonmez, A. and Buyukpamukcu, N. 1991 Modified plication technique for the treatment of intestinal atresia, Pediatric Surgery International, Vol. 6, 6 (3): 233-234.

Kluth, D., Lambretch, W. 1994. Disorder of intestinal rotation in Surgery of the new born first Ed. Churchill Livingstone New York and Tokyo, pp 201-210.

Lister, J. 1990. Intestinal obstruction: General considerations in Neonatal Surgery third Ed. Butterworth & Co London, pp 421-423.

Lister, J. 1990. Malrotation and volvulus of the intestine in Neonatal Surgery third Ed. Butterworth & Co London, pp 442-452.

Lister, J. 1990. Intestinal obstruction: General considerations in Neonatal Surgery third Ed. Butterworth & Co London, pp 453-473.

Lyoyd, D.A. 1986 Meconium Ileus in Pediatric Surgery fourth Ed. Year book medical publishers Inc, Chicago London, pp 849-858.

Menardi, G. 1994. Duodenal Atresia, stenosis and annular pancreas in Surgery of the new born first Ed. Churchill livingstone New York and tokyo, pp 107-115.

Nanyar, P.M, Freman, N.V. 1994. Gastrointestinal duplications in Surgery of the new born first Ed. Churchill livingstone New York and Tokyo, pp 255-266.

Palmieri, T., Kimura, K., Soper,R.T. and Mitros, F.A. 1993. Adalah staged surgical Approach o save ischemic bowel, Journal of Pediatric Surgery, Vol. 28, (6): 861-862.

Philippart, A.I. 1986 Atresia, stenosis and other obstructions of the colon in Pediatric Surgery fourth Ed. Year book medical publishers Inc. Chicago, London, pp 984-988.

Raffensperger, J.G. 1990 Malrotation in Swensons Pediatric Surgery fifth. Ed. Appleton & Lange Norwalk, Connecticut, pp 517-522.

Redo, S.F. 1978. Ladds procedure for correction of malrotation of midgut in Atlas of surgey in the first six month of live. Harper & Row publishers New York, London, pp 95-98.

Redo, S.F. 1976. Intestinal obstruction in principle of Surgey in the first six month of live. Harper & Row publishers new york, London, pp 103-133.

Schey, W.L., Donaldson, J.S., Sty, J.R. 1993. Malrotation of the vowel: Variable patterns with different surgical considerations, Journal of Pediatric Surgery, Vol. 28 (1): pp 96-101.

Schanaufer, L. 1986 Duodenal atresia, stenosis and annular pancreas in Pediatric Surgery, fourth Ed. Year book medical publishers Inc, Chicago, London, pp 829-837.

Smith, E.I. 1986. Malrotation of the intestine in Pediatric Surgery, fourth Ed. Year book medical publishers Inc, Chicago, London, pp 882-895.

Tam, P.K.H. 1994. Stomach and gastric outlet in Surgery of the new born first. Ed. Churchill Livingstone New York and Tokyo, pp 85-106.

Taylor, R. 1994. The general managemen of the surgical neonate in surgery of the new born first. Ed. Churchill Livingstone New York and Tokyo, pp 15-22.

Tyrrel, M, Wolfe, J.H.N. 1991. Intestinal obstruction in Surgery. Vol 13: 2164-2171.

PAGE 5