novel dan khotbah

1
Novel dan Khotbah Oleh EKA KURNIAWAN SEPERTI pertunjukan yang buruk, khotbah yang tak menarik (baik cara menyampaikan maupun isinya) sudah pasti membuat orang mengantuk. Bukan cuma itu, kadang-kadang bisa bikin geram dan memunculkan keinginan untuk menyumpal mulut pengkhot- bahnya dengan daun seledri, seperti dilakukan orang-orang Galia kepada Assurancetourix di komik Asterix. Itu juga berlaku pada khotbah, tentang apa pun di novel-novel yang kita baca. Apa boleh buat. Sebagian besar penulis novel ditakdirkan untuk berkhotbah. Mereka menulis karena merasa ada yang ingin disampaikannya kepada khalayak ramai. Beberapa bahkan merasa ingin menyelamatkan dunia, setidaknya berharap mengubah dunia. Beberapa ingin sesama manusia terbebas dari jurang neraka; yang lain berharap umat manusia hidup lebih bahagia. Di novel-novel religius, tentu akan bertebaran khotbah tentang pentingnya mencintai Tuhan, mengikuti perintah- Nya, dan bahwa berbuat dosa itu hanya bikin kamu celaka. Di novel-novel politik, kita diajak menghujat pemerintah dan penguasa yang lalim dan didorong membela orang-orang lemah. Penulis konon menjadi suara bagi yang tidak bersuara, sedikit terjangkit wabah heroisme ala Batman dari Kota Gotham. Penulis-penulis yang sekaligus aktivis barangkali akan menulis novel-novel penuh khotbah dengan tema-tema yang bisa ditemukan di proposal- proposal lembaga swadaya masyarakat. Kita bisa menemukan banyak khotbah bertebaran di beragam genre novel. Bahkan, di novel seperti Moby Dick, yang dianggap sebagai novel terbesar yang pernah dihasilkan Amerika, jika bukan salah satu yang terbaik di dunia, ada satu bab berjudul ”The Sermon” . Ya, seperti judul babnya, tentu saja isinya juga khotbah yang diberikan seorang pendeta kepada segerombolan pelaut pemburu paus. Untungnya, khotbah Father Mapple (begitulah nama tokoh pendeta tersebut) berbicara tentang Jonah yang dimakan hidup- hidup oleh paus raksasa dan apa makna peristiwa tersebut. Bab khotbah itu jadi semacam jendela kecil untuk melihat kisah novel ini secara keseluruhan. Dalam kesusastraan Indonesia, saya rasa mengenai hal ini kita tak akan pernah melupakan novel Sutan Takdir Alisjahbana Grotta Azzura. Kurang lebih isinya penuh dengan khotbah gagasan mengenai politik dan kebudayaan, bahkan seks, yang diutarakan melalui percakapan tokoh-tokohnya. A. Teeuw bahkan merasa perlu berkomentar mengenai novel tersebut sebagai ”terlalu dikuasai perfilsafatan kebudayaan” . Saya rasa bukan sifat kebanyakan orang untuk senang dikhotbahi, meskipun tampaknya banyak yang gemar ber- khotbah. Senang memberi kuliah, tak gemar dikuliahi. Saya punya contoh lain yang menarik: novel-novel silat Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Siapa pun penggemar cerita- cerita silat gubahannya, dalam benak kita pasti terbentuk dua hal yang selalu muncul dalam karya-karyanya. Yang pertama, tentu kisah-kisah petualangan para pendekar dengan selipan bumbu romantis yang mengasyikkan. Yang kedua, saya sering tak tahan dan kerap melewatkannya, bagian petatah-petitih penuh nasihat tentang moral, tentang kebaikan melawan kejahatan. Ya, itu bagian khotbahnya, yang bisa berhalaman-halaman, diselipkan kadang-kadang di antara pertarungan dua pendekar yang seru. Bahkan, penulis cerita silat seperti Kho Ping Hoo pun seperti tak bisa menahan diri untuk tidak berkhotbah secara blak-blakan. Apakah salah berkhotbah melalui novel? Tentu saja tak ada yang melarang- nya. Sebagaimana tak ada yang merumuskan bahwa itu salah atau benar. Kenyataannya, sekali lagi, penulis menuliskan sesuatu tentu dengan asumsi ada yang ingin disampaikan kepada orang lain. Setiap penulis memiliki pendapat tentang apa yang sebaiknya dan apa yang tidak sebaiknya. Langsung atau tak langsung, novel merupakan sarana untuk berkhotbah. Bisa juga kita sebut sebagai propaganda. Mengenai persoalan ini, George Orwell dalam esai ”Why I Write” pernah menulis mengenai empat motif utama kenapa seseorang menulis, salah satunya motif ”tujuan politis”. ”Hasrat untuk mendorong dunia menuju satu tujuan tertentu, untuk mengubah gagasan orang lain mengenai jenis masyarakat yang seharusnya mereka perjuangkan,” tulisnya. Orwell yakin tak ada satu pun buku yang benar-benar bebas dari bias politis. Gagasan bahwa seni seharusnya terpisah dari politik merupakan sikap politis sendiri. Dengan kata lain, tak ada buku yang tidak bersifat khotbah/ propaganda. Bahkan, mencoba untuk tidak berkhotbah/berpropaganda merupakan strategi berkhotbah dan berpropaganda tersendiri. Pokok soalnya, bagaimana membuat khotbah ini tak menggiring orang untuk malah menguap dan tertidur, tentu saja. Membuat orang ingin menyum- palkan seledri ke mulut pengkhotbah (atau ke mulut penulis) barangkali jauh lebih baik daripada membuatnya tertidur. Sebab, kemarahan seperti itu paling tidak membuktikan bahwa dia mendengar khotbahnya dan mungkin terganggu. Jika saya tak salah, penulis revolusioner Tiongkok Lu Hsun mengatakan bahwa propaganda yang baik adalah propa- ganda yang tak terlihat seperti propa- ganda. Berkhotbah tanpa orang sadar sedang dikhotbahi. Dan mengenai propaganda dalam sastra, menurut dia, sastra menjadi alat propaganda yang paling baik justru ketika ia tampil sebagai sastra. Dengan asumsi seperti itu, tentu saja karya-karya yang hebat (maupun yang tidak hebat) selalu tengah berkhotbah kepada kita. Beberapa di antaranya barangkali sukses merasuki kepala kita tanpa disadari. Saya ingat pernah keluar dari sekolah (dan kemudian dikeluarkan), selain karena rasa bosan kepada sekolah, juga karena terpengaruh novel seperti Balada Si Roy dan novel-novel Dr Karl May. Dalam hal ini, bukankah mereka berhasil mengkhotbahkan kepada saya hebatnya menjadi petualang, tentang hidup mengembara dan kebebasan, tanpa harus penuh petatah-petitih nasihat dan provokasi? Knut Hamsun lebih hebat lagi. Dia menulis novel tentang penulis yang gagal. Dan ketika membacanya, saya malah ingin menjadi penulis dan mati-matian menjadi penulis sampai hari ini. Atau bisa jadi dia gagal total. Mungkin melalui novel itu, Lapar, dia ingin memengaruhi kita agar ”sebaiknya kalian tak usah menjadi penulis. Sudah susah, juga bisa kela- paran”. Nyatanya malah bikin orang ingin menjadi penulis. Sekali lagi, khotbah atau propaganda tidak melulu menyangkut aspek moral atau politik secara langsung. Hidup terlalu luas jika kita menyempitkannya hanya pada hal-hal semacam itu. Lihat, misalnya, novel-novel Jane Austin barangkali jauh lebih berhasil membentuk pikiran umat manusia tentang bagaimana membangun hubungan lelaki-perempuan daripada khotbah para penasihat pernikahan. Juga novel-novel Stephen King atau Anne Rice barangkali membuat orang takut pada hal gaib dan menjadi lebih religius daripada yang bisa dilakukan para guru mengaji. Siapa tahu? Membaca novel pada akhirnya sama seperti masuk ke ruangan dan siap mendengarkan khotbah. Ada yang menarik dan ada yang bikin kita lelap. Menulis novel ujung-ujungnya sama seperti kita naik ke mimbar dan bersiap menyampaikan khotbah, hanya mediumnya berbeda. Menulis novel, sebagaimana berkhotbah, tak melulu soal apa yang ingin kita sampaikan, apakah gagasan kita besar atau kecil. Di luar itu, kita juga berhadapan dengan persoalan apakah gagasan kita bisa tersampaikan dengan baik. Setelah itu, persoalan berikutnya, apakah gagasan kita bisa diterima atau tidak. Saya memikirkan hal ini tak lama setelah menonton film Senyap (dan jauh sebelumnya film Jagal) karya Joshua Oppenheimer. Di negeri yang selama puluhan tahun hidup dalam gempuran propaganda pemerintah mengenai banyak hal dan terus berlangsung, seni (sebagaimana film dan novel) bisa melakukan hal ini: mempertanyakan apa yang lama kita anggap benar. Melakukan kontrapropaganda. Diam- diam maupun terang-terangan. Senyap maupun riuh. Novel (juga seni secara umum) dan khotbah saya rasa membuktikan bahwa peradaban kita masih berjalan baik. Bahwa kita, manusia, masih terus berbagi gagasan satu sama lain. Bahwa suara umum dan mayoritas tak selalu benar dan kita membutuhkan suara-suara kecil yang lain dan berbeda. Tak peduli kadang-kadang itu membuat kita menguap dan lain kali membuat kita ingin menyumpalkan seledri ke mulut pengkhotbahnya. (*) Penulis fiksi, ekakurniawan.com

Upload: eka-kurniawan

Post on 07-Feb-2016

33 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

"Novel dan Khotbah", esai oleh Eka Kurniawan. Diterbitkan di Jawa Pos, 11 Januari 2015.

TRANSCRIPT

Page 1: Novel Dan Khotbah

4

Mari kita

cari orang

kaya yang

mau

mendanai

perpustakaan

untuk

menyimpan

buku-buku

koleksi para

tokoh negeri

ini. Di sana

nanti

orang bisa

menemukan

buku-buku

koleksi

Pramudya

Ananta Toer,

Rendra,

Usmar

Ismail,

Chairil

Anwar,

Mochtar

Lubis, dan

lain-lain.’’

RUANG PUTIH Jawa Pos Minggu 11 Januari 2015

Oleh WAYAN JENGKI SUNARTA

BETAPA fananya dunia. Kejayaan dan popularitas masa muda sirna begitu saja ditelan deru kehidupan dan usia yang makin tua. Gemuruh tepuk tangan mendadak menghilang dari panggung. Penonton pulang ke rumah, asyik dengan fantasi masing-masing. Kesepian merambat di atas panggung. Dan seorang aktor tua merenungi nasibnya, bergulat dengan rasa sepi yang menggigit batin.

Begitulah. Dalam lakon ”Nyanyian Angsa” karya Anton Chekov, Vasili (aktor tua berusia 68 tahun) telah mengalami takdirnya di atas panggung. Bagai barang rongsokan, Vasili kesepian dan terbuang. Hanya ada Nikita, sang juru bisik yang setia menemani keluh kesah tak berkesudahan Vasili.

Malam itu, seusai pertunjukan, karena mabuk berat, Vasili terkunci di ruang rias. Lampu-lampu panggung telah lama padam. Botol-botol minuman keras berserakan di lantai. Vasili mendadak terbangun dan mengutuki dirinya yang telah tua dan sakit-sakitan. Tak ada lagi penggemar; tak ada lagi penonton yang bersimpati kepadanya. Bahkan, tak ada seorang pun teman yang mau membangunkan dan mengajaknya pulang. Vasili frustrasi dan kesepian.

Dialog Vasili dan Nikita dalam ”Nyanyian Angsa” adalah renungan perihal jalan kesenian dan kesenimanan. Apa yang diharapkan orang-orang dari menikmati kesenian atau menonton pementasan teater? Di tengah tekanan kehidupan yang menuntut percepatan dan sikap pragmatisme, kesenian menjadi sekadar hiburan pelepas lelah. Kesenian kehilangan ruang renungnya. Kehilangan ruang berbagi. Seniman-seniman muda tampil dengan jemawa. Seniman-seniman tua makin terasing dan kesepian. Seperti kehidupan, kesenian adalah dunia yang fana.

Begitulah. Sebagai pembuka lembaran tahun 2015, ”Nyanyian Angsa” dipentaskan di rumah aktor dan sutradara teater kawakan Abu Bakar, Jl Sakura, Den-pasar, 1-2 Januari lalu. Lakon legendaris itu di mainkan Didon Kajeng (Vasili) dan AA Ayu Ngurah Adryanti Wedaningrat alias Gek Weda (Nikita), disutradarai Abu Bakar yang kini menginjak usia 71 tahun.

Didon Kajeng adalah salah seorang aktor andal dari Bali. Selain aktor, dia pembaca puisi mumpuni sejak 1990-an dan ahli merangkai bunga. Meski kondisi kesehatannya tak bagus, kehilangan penglihatan (nyaris buta) lantaran suatu penyakit tertentu, Didon berusaha tampil prima memerankan Vasili. Keterbatasan fisik tak mengurangi semangat Didon bermain teater.

Namun, cukup banyak kesulitan yang dialami Didon saat berlatih, menghafal naskah, dan menampilkan diri di panggung. Di latihan, karena tak mampu membaca teks, Didon menghafal naskah melalui rekaman suara. Di panggung, Didon memanfaatkan gestur dan bloking yang terbatas. Gek Weda, pemain berbakat asuhan Abu Bakar, mampu merespons dan mengeksplorasi permainan Didon sehingga

pementasan berjalan dalam kewajaran.Pada pementasan malam kedua, hampir terjadi

kecelakaan panggung. Didon mengocok botol bir yang kosong di dalam gelas sehingga gelas pecah. Pada adegan Didon membuka sepatu, beling-beling yang berserakan nyaris mengenai kakinya. Syukurlah, salah seorang penonton berinisiatif dan bergerak cepat memungut serakan beling itu tanpa mengganggu pementasan dan konsentrasi pemain.

Teater RumahanHal yang menarik, pementasan itu berkonsep ”teater

rumahan”. Halaman rumah, ruangan, dan beranda yang tak terlalu luas disulap menjadi panggung. Berbagai macam perabotan dan hiasan rumah dipakai sebagai properti pementasan. Sebelumnya di rumah tersebut pernah ditampilkan pementasan ”Kereta Kencana” karya Eugene Ionesco pada 2012 dan ”Malam Jahanam” karya Motinggo Busye pada 2013. Karena keterbatasan ruang untuk menampung jumlah penonton, setiap pementasan ditampilkan dua kali.

Konsep ”teater rumahan” ini diterapkan Abu Bakar untuk menyiasati dana sewa gedung pertunjukan yang mahal. Selain itu, untuk membangun suasana kekeluargaan dan keakraban antara pemain dan penonton. Diharapkan, orang-orang yang baru kali pertama menyaksikan pertunjukan teater menjadi tidak berjarak dengan panggung dan perlahan mencintai teater.

Selama ini banyak insan teater di Indonesia yang masih memimpikan panggung mewah, festival atau perlombaan bergengsi, jumlah penonton yang membeludak, dihadiri pejabat, atau tata lampu kemilau. Tapi, mereka lupa, Teguh Karya, sutradara Teater Populer, pernah berujar, ”Jika tidak ada pemain, ciptakan pemain; tak ada panggung, bikin panggung.”

Kesulitan tampil di panggung proscenium karena persoalan dana bisa diatasi dengan memanfaatkan halaman rumah sebagai tempat pementasan alternatif yang mengasyikkan. Begitu pula kostum, tata lampu, dan tata musik, bisa diciptakan dengan kreativitas masing-masing. Artinya, insan teater tidak perlu manja atau memanjakan diri dengan fasilitas yang serbamewah.

Konsep ”teater rumahan” merupakan tawaran yang menarik bagi dunia teater untuk mengimbangi ”teater proscenium” yang mewah dan penuh aturan. Saya membayangkan betapa semaraknya kehidupan berteater jika para sutradara teater menampilkan pementasan teater di rumah masing-masing atau di rumah koleganya. Jika tak punya rumah, tempat kos, rumah kontrakan, gang-gang sempit, tanah tegalan, atau balai desa bisa menjadi panggung teater yang mengasyikkan.

Bukankah pakar ekonomi E.F. Schumacher pernah berujar bahwa ”kecil itu indah”. Hal-hal kecil akan menjadi besar di kemudian hari. Begitu pula pementasan teater yang digarap secara kecil-kecilan (bukan asal-asalan), akan tetap diperhitungkan khalayak pencinta teater. (*)

Penulis seni dan budaya, menetap di Bali

Nyanyian Angsa dan Teater Rumahan

Novel dan KhotbahOleh EKA KURNIAWAN

SEPERTI pertunjukan yang buruk, khotbah yang tak menarik (baik cara menyampaikan maupun isinya) sudah pasti membuat orang mengantuk. Bukan cuma itu, kadang-kadang bisa bikin geram dan memunculkan keinginan untuk menyumpal mulut pengkhot-bahnya dengan daun seledri, seperti dilakukan orang-orang Galia kepada Assurancetourix di komik Asterix.

Itu juga berlaku pada khotbah, tentang apa pun di novel-novel yang kita baca. Apa boleh buat. Sebagian besar penulis novel ditakdirkan untuk berkhotbah. Mereka menulis karena merasa ada yang ingin disampaikannya kepada khalayak ramai. Beberapa bahkan merasa ingin menyelamatkan dunia, setidaknya berharap mengubah dunia. Beberapa ingin sesama manusia terbebas dari jurang neraka; yang lain berharap umat manusia hidup lebih bahagia.

Di novel-novel religius, tentu akan bertebaran khotbah tentang pentingnya mencintai Tuhan, mengikuti perintah-Nya, dan bahwa berbuat dosa itu hanya bikin kamu celaka. Di novel-novel politik, kita diajak menghujat pemerintah dan penguasa yang lalim dan didorong membela orang-orang lemah. Penulis konon menjadi suara bagi yang tidak bersuara, sedikit terjangkit wabah heroisme ala Batman dari Kota Gotham. Penulis-penulis yang sekaligus aktivis barangkali akan menulis novel-novel penuh khotbah dengan tema-tema yang bisa ditemukan di proposal-proposal lembaga swadaya masyarakat. Kita bisa menemukan banyak khotbah bertebaran di beragam genre novel.

Bahkan, di novel seperti Moby Dick, yang dianggap sebagai novel terbesar yang pernah dihasilkan Amerika, jika bukan salah satu yang terbaik di dunia, ada satu bab berjudul ”The Sermon”. Ya, seperti judul babnya, tentu saja isinya juga khotbah yang diberikan seorang pendeta kepada segerombolan pelaut pemburu paus. Untungnya, khotbah Father Mapple (begitulah nama tokoh pendeta tersebut) berbicara tentang Jonah yang dimakan hidup-hidup oleh paus raksasa dan apa makna peristiwa tersebut. Bab khotbah itu jadi semacam jendela kecil untuk melihat kisah novel ini secara keseluruhan.

Dalam kesusastraan Indonesia, saya rasa mengenai hal ini kita tak akan pernah melupakan novel Sutan Takdir Alisjahbana Grotta Azzura. Kurang lebih isinya penuh dengan khotbah gagasan mengenai politik dan kebudayaan, bahkan seks, yang diutarakan melalui percakapan tokoh-tokohnya. A. Teeuw bahkan merasa perlu berkomentar mengenai novel tersebut sebagai ”terlalu dikuasai perfilsafatan kebudayaan”. Saya rasa bukan sifat kebanyakan orang untuk senang dikhotbahi, meskipun tampaknya banyak yang gemar ber-khotbah. Senang memberi kuliah, tak gemar dikuliahi.

Saya punya contoh lain yang menarik: novel-novel silat Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Siapa pun penggemar cerita-cerita silat gubahannya, dalam benak

kita pasti terbentuk dua hal yang selalu muncul dalam karya-karyanya. Yang pertama, tentu kisah-kisah petualangan para pendekar dengan selipan bumbu romantis yang mengasyikkan.

Yang kedua, saya sering tak tahan dan kerap melewatkannya, bagian petatah-petitih penuh nasihat tentang moral, tentang kebaikan melawan kejahatan. Ya, itu bagian khotbahnya, yang bisa berhalaman-halaman, diselipkan kadang-kadang di antara pertarungan dua pendekar yang seru. Bahkan, penulis cerita silat seperti Kho Ping Hoo pun seperti tak bisa menahan diri untuk tidak berkhotbah secara blak-blakan.

Apakah salah berkhotbah melalui novel? Tentu saja tak ada yang melarang-nya. Sebagaimana tak ada yang merumuskan bahwa itu salah atau benar. Kenyataannya, sekali lagi, penulis menuliskan sesuatu tentu dengan asumsi ada yang ingin disampaikan kepada orang lain. Setiap penulis memiliki pendapat tentang apa yang sebaiknya dan apa yang tidak sebaiknya. Langsung atau tak langsung, novel merupakan sa rana untuk berkhotbah. Bisa juga kita sebut sebagai propaganda.

Mengenai persoalan ini, George Orwell dalam esai ”Why I Write” pernah menulis mengenai empat motif utama kenapa seseorang menulis, salah satunya motif ”tujuan politis”. ”Hasrat untuk mendorong dunia menuju satu tujuan tertentu, untuk mengubah gagasan orang lain mengenai jenis masyarakat yang se harusnya mereka perjuangkan,” tulisnya.

Orwell yakin tak ada satu pun buku yang benar-benar bebas dari bias politis. Gagasan bahwa seni seharusnya terpisah dari politik merupakan sikap politis sendiri. Dengan kata lain, tak ada buku yang tidak bersifat khotbah/propaganda. Bahkan, mencoba untuk tidak ber khotbah/berpropaganda merupakan strategi berkhotbah dan berpropaganda tersendiri.

Pokok soalnya, bagaimana membuat khotbah ini tak menggiring orang untuk malah menguap dan tertidur, tentu saja. Membuat orang ingin menyum-palkan seledri ke mulut pengkhotbah (atau ke mulut penulis) barangkali jauh lebih baik daripada membuatnya tertidur. Sebab, kemarahan seperti itu paling tidak membuktikan bahwa dia mendengar khotbahnya dan mungkin terganggu.

Jika saya tak salah, penulis revolusioner Tiongkok Lu Hsun mengatakan bahwa propaganda yang baik adalah propa-ganda yang tak terlihat seperti propa-ganda. Berkhotbah tanpa orang sadar sedang dikhotbahi. Dan mengenai pro paganda dalam sastra, menurut dia, sastra menjadi alat propaganda yang paling baik justru ketika ia tampil sebagai sastra.

Dengan asumsi seperti itu, tentu saja karya-karya yang hebat (maupun yang tidak hebat) selalu tengah berkhotbah kepada kita. Beberapa di antaranya barangkali sukses merasuki kepala kita tanpa disadari. Saya ingat pernah keluar dari sekolah (dan kemudian dikeluarkan), selain karena rasa bosan kepada sekolah,

juga karena terpengaruh novel seperti Balada Si Roy dan novel-novel Dr Karl May. Dalam hal ini, bukankah mereka berhasil mengkhotbahkan kepada saya hebatnya menjadi petualang, tentang hidup mengembara dan kebebasan, tanpa harus penuh petatah-petitih nasihat dan provokasi?

Knut Hamsun lebih hebat lagi. Dia menulis novel tentang penulis yang gagal. Dan ketika membacanya, saya malah ingin menjadi penulis dan mati-matian menjadi penulis sampai hari ini. Atau bisa jadi dia gagal total. Mungkin melalui novel itu, Lapar, dia ingin memengaruhi kita agar ”sebaiknya kalian tak usah menjadi penulis. Sudah susah, juga bisa kela-paran”. Nyatanya malah bikin orang ingin menjadi penulis.

Sekali lagi, khotbah atau propaganda tidak melulu menyangkut aspek moral atau politik secara langsung. Hidup terlalu luas jika kita menyempitkannya hanya pada hal-hal semacam itu. Lihat, misalnya, novel-novel Jane Austin barangkali jauh lebih berhasil membentuk pikiran umat manusia tentang bagaimana membangun hubungan lelaki-perempuan daripada khotbah para penasihat pernikahan. Juga novel-novel Stephen King atau Anne Rice barangkali membuat orang takut pada hal gaib dan menjadi lebih religius daripada yang bisa dilakukan para guru mengaji. Siapa tahu?

Membaca novel pada akhirnya sama seperti masuk ke ruangan dan siap mendengarkan khotbah. Ada yang menarik dan ada yang bikin kita lelap. Menulis novel ujung-ujungnya sama seperti kita naik ke mimbar dan bersiap menyampaikan khotbah, hanya mediumnya berbeda. Menulis novel, sebagaimana berkhotbah, tak melulu soal apa yang ingin kita sampaikan, apakah gagasan kita besar atau kecil. Di luar itu, kita juga berhadapan dengan persoalan apakah gagasan kita bisa tersampaikan dengan baik. Setelah itu, persoalan berikutnya, apakah gagasan kita bisa diterima atau tidak.

Saya memikirkan hal ini tak lama setelah menonton film Senyap (dan jauh sebelumnya film Jagal) karya Joshua Oppenheimer. Di negeri yang selama puluhan tahun hidup dalam gempuran propaganda pemerintah mengenai banyak hal dan terus berlangsung, seni (sebagaimana film dan novel) bisa melakukan hal ini: mempertanyakan apa yang lama kita anggap benar. Melakukan kontrapropaganda. Diam-diam maupun terang-terangan. Senyap maupun riuh.

Novel (juga seni secara umum) dan khotbah saya rasa membuktikan bahwa peradaban kita masih berjalan baik. Bahwa kita, manusia, masih terus berbagi gagasan satu sama lain. Bahwa suara umum dan mayoritas tak selalu benar dan kita membutuhkan suara-suara kecil yang lain dan berbeda. Tak peduli kadang-kadang itu membuat kita menguap dan lain kali membuat kita ingin menyumpalkan seledri ke mulut pengkhotbahnya. (*)

Penulis fiksi, ekakurniawan.com

Oleh A.S. LAKSANA

KAMI baru bertemu lagi beberapa tahun ke mudian setelah pertemuan terakhir di klub kami yang bubar begitu saja. Rizadini, teman saya dalam klub diskusi buku ber-tahun-tahun lalu dan penerjemah buku Gabriel Garcia Marquez Klandestin di Chile, memanggil saya melalui media sosial Twitter dan mengajak bertemu. Dengan senang hati, saya menyambut aj akannya dan kami bertemu suatu siang di sebuah tempat makan. Hari itu dia me nyampaikan gagasan:

’’Mari kita cari orang kaya yang mau mendanai perpustakaan untuk menyimpan buku-buku koleksi para tokoh negeri ini. Di sana nanti orang bisa menemukan buku-buku koleksi Pramudya Ananta Toer, Rendra, Usmar Ismail, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, dan lain-lain.’’

Dia menyukai buku dan sering mempunyai gagasan menarik tentang buku karena dia sangat menyukainya. Saya menanggapi, ’’Ayo!’’. Namun, hingga sekarang, saya ma sih berpikir apakah akan ada orang ka ya yang mau membiayai perpustakaan semacam itu. Pada waktu dia menyampaikan gagasannya, saya segera teringat kabar yang beberapa waktu sebelumnya, sudah agak lama, saya terima dari kawan baik saya yang lain, seorang penjual buku loak di sekitar Lebak Bulus bahwa sekian kontainer buku dari perpustakaan pribadi Adam Malik dijual kiloan.

’’Sudah tidak ada yang merawatnya lagi, Bang,’’ katanya. ’’Saya ingin beli semua, tapi tidak ada modal.’’

Saya agak melodramatis soal perpusta-ka an. Desember tahun lalu, ketika mem-ba ca berita bahwa Perpustakaan Karta Pustaka Jogjakarta ditutup dengan alasan ’’visi-misinya menciptakan kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan de ngan Belanda telah tercapai’’, saya me-rasa sedih dan marah sekaligus dan ingin

ber teriak kuat-kuat: ’’Jangan tutup per-pustakaan itu!’’ Jumlah perpustakaan umum kita sedikit sekali dan Karta Pustaka yang didirikan pada 1968 sekarang sudah tidak ada lagi. Kalaupun benar visi-misinya sudah tercapai, saya pikir ia tetap perlu ada dengan ’’visi-misi’’ yang lain. Misalnya, menjadi tempat rekreasi orang-orang yang senang berekreasi di antara buku-buku.

Kita sangat kekurangan perpustakaan sebagai tempat rekreasi. Sebagai orang yang seumur hidup tinggal di negeri ini, yang sejak lahir memang jarang bertemu dengan gedung perpustakaan, saya tentu saja telah beradaptasi sepanjang hidup dan berdamai dengan keadaan. Ada perpustakaan saya senang, tidak ada tidak apa-apa.

Namun, tidak demikian halnya dengan Yusuf Arifin. Kami dahulu sekantor dan dia menyeberang ke Inggris setelah pem-bre delan 1994, bekerja sebagai wartawan BBC, dan tinggal di pinggiran London nyaris 20 tahun. Rumahnya dikepung perpustakaan. Di desanya ada gedung perpustakaan, di desa sebelah ada gedung perpustakaan, di dekat perempatan sana ada gedung perpustakaan, di belakang rumah temannya ada gedung perpustakaan. Ringkasnya, di balik gerumbul semak-semak atau di belakang lemari pakaian dia bisa menjumpai perpustakaan. Tahun lalu dia balik ke Jakarta dan menjadi pemimpin redaksi CNN Indonesia dan tidak ada perpustakaan yang bisa dia kunjungi sewaktu-waktu. Di toko buku dia kesulitan menemukan buku-buku yang dia minati. Kepadanya saya bilang, ’’Selamat menikmati!’’

Sekarang saya tidak perlu iri mendengar ceritanya tentang perpustakaan. Dia menikmati situasi yang sama dengan saya. Sudah bertahun-tahun saya tidak memasuki gedung perpustakaan dan tidak tahu di mana saja ada perpustakaan umum di Jakarta. Saya hanya tahu satu–dua dan sudah lama tidak pernah lagi mengun jungi tempat tersebut karena jalanan macet dan waktu yang terasa sempit.

Selain itu, dengan jaringan internet yang sudah lebih baik ketimbang sepuluh tahun lalu, saya merasa kebutuhan terhadap bu ku tercukupi. Selalu ada orang yang memberontak terhadap tatanan. Mereka tidak memedulikan undang-undang hak cipta dan memanjakan kita dengan menyediakan ratusan ribu, bahkan jutaan, buku yang bisa kita dapat secara gratis –dalam format e-book. Kita bisa mengunduh buku semau kita di situs-situs web mereka.

Pada awal-awal mengenal situs tersebut, setiap malam hingga dinihari saya ’’ber-belanja’’ ratusan judul buku dan dalam waktu beberapa minggu saja saya sudah mengoleksi ribuan buku. Hingga sekarang, saya masih sering ’’berbelanja’’ di situs-situs itu meskipun sudah ada lebih dari 9.000 judul buku di folder komputer saya dan baru sedikit yang saya baca.

Saya pernah iseng-iseng menghitung berapa buku yang bisa saya baca sampai hidup saya berakhir nanti. Misalkan, saya masih punya sisa umur 100 tahun lagi dan sebagai pemalas saya hanya bisa membaca satu judul sepekan, maka dalam seratus tahun itu, setelah dikurangi masa-masa tidak berdaya karena flu berat atau tidak enak badan, saya hanya akan bisa menyelesaikan paling banter 5.000 judul buku. Itu pun kalau sisa umur saya 100 tahun dan saya membaca secara ajek. Pa dahal, gairah membaca saya sama belaka kondisinya dengan iman seseorang –kadang naik, kadang turun. Tidak apa-apa, yang penting mengunduh.

Dengan perpustakaan umum yang sedikit jumlahnya dan tidak terlalu diperhatikan di negara ini, dengan akses terhadap buku yang semula sangat terbatas, dan dengan maaf sebesar-besarnya terhadap unsur pelanggaran di dalam kegiatan unduh-mengunduh itu, saya bersyukur bahwa internet telah memungkinkan saya mengoleksi karya para penulis yang saya sukai, nyaris lengkap, dan buku-buku dengan berbagai topik yang saya ingin baca.

Saya juga bersyukur internet memberikan banyak teman, melalui media sosial. Dalam waktu cepat, saya bisa mengum pulkan ribuan teman melalui Facebook. Itu hal yang tidak mungkin saya lakukan dalam kenyataan sehari-hari. Sekarang saya mem-punyai orang-orang yang berstatus ’’teman’’ di hampir semua provinsi negeri ini.

Beberapa orang mengeluhkan bahwa per gaulan di media sosial telah meng-interupsi dan juga menyabot pergaulan se hari-hari dengan orang-orang terdekat, de ngan teman-teman, dengan kerabat, juga dengan penumpang yang duduk di se belah kita. Berada di mana pun dan kapan pun, orang sibuk dengan smartphone di tangannya. Dunia menjadi sunyi senyap karena orang membeku di depan layar, tetapi sekaligus riuh. Anda tahu, pergaulan di media sosial sangat riuh. Setiap hari ada pembicaraan menarik. Setiap hari ada topik yang bisa digunjingkan. Setiap hari ada yang bisa dicaci maki.

Seorang suami menjadi jarang berbicara dengan istrinya. Seorang ayah menjadi kekurangan waktu untuk anak-anaknya, dan sebaliknya, anak-anak kekurangan waktu untuk orang tua mereka karena sebab yang sama. Dan seorang penulis kekurangan waktu khusyuk untuk menulis karena dorongan untuk ubyang-ubyung di internet melalui media sosial begitu tinggi.

Dalam urusan itu, saya merasa baik-baik saja. Hanya ada satu hal yang sangat terasa bagi saya: internet telah menjauhkan saya dari seseorang yang sudah menjadi teman baik sejak 1998, yakni penjual buku loak yang saya sebut di awal tulisan ini, pemuda Batak yang ramah dan selalu menawari kopi setiap saya mampir ke kiosnya. Bertahun-tahun saya setia mengunjungi kios dan rumahnya dan dia selalu menyimpankan untuk saya buku-buku yang dia pikir pasti saya sukai –agar tidak dibeli orang lain.

Dari kiosnya saya pernah membawa pulang buku satu rak, masih bagus-bagus,

dengan harga yang sangat murah. ’’Dapat dari pembantu di Pondok Indah, Bang,’’ katanya. ’’Majikannya pulang ke negaranya, tidak balik lagi. Ia meninggalkan koleksi bukunya kepada si pembantu. Pembantu itu menjualnya ke saya.’’

Dia tahu bagaimana mencari buku untuk mengisi kiosnya dan dia sering pula men-dapat buku-buku lelang dari Jakarta International School jika sekolah tersebut hendak memperbarui koleksi buku di perpustakaannya dan harus menyingkirkan buku-buku yang sudah lama. Beberapa buku di rak saya adalah lungsuran dari per pustakaan sekolah tersebut.

Saya masih lewat di depan kiosnya setiap hari, tetapi nyaris tidak pernah mampir lagi. Beberapa hari terakhir saya lihat kiosnya selalu tutup. Menurut kabar, lahan tempat dia menyewa kios harus dikosongkan karena di sana hendak dibangun apartemen. Dia berpindah ke tempat lain, masih di daerah sekitar tempat tinggal saya. Tetapi, saya belum pernah ke tempat barunya.

Internet benar-benar telah mencukupi kebutuhan saya akan buku bacaan yang saya inginkan –yang semula hanya tersedia dalam harga murah di kios buku loak itu. Saya masih tetap ke toko buku secara berkala, untuk mendapatkan buku-buku yang hanya ada di toko buku dan sebagai tempat rekreasi bagi anak-anak.

Bagaimanapun, saya pikir anak-anak perlu menikmati pemandangan buku-buku terpajang di rak dan mereka bisa memilih buku yang mereka sukai. Dan jika ada perpustakaan di dekat rumah, atau perpustakaan tempat menyimpan koleksi buku-buku para tokoh negeri ini, sebagaimana yang diangankan oleh Rizadini, saya akan senang sekali mengajak anak-anak berekreasi ke sana. Sampai sekarang saya masih memikirkan siapa kira-kira orang kaya yang bersedia mewu-judkan gagasan tersebut. (*)

Akun Twitter: @aslaksana

Para Pencinta Buku

NYARIS BUTA: Didon Kajeng yang berperan sebagai Vasili (kanan) dan Gek Weda yang memerankan Nikita tampil memukau dalam pentas lakon ”Nyanyian Angsa” di rumah sutradara Abu Bakar di Bali pada 1-2 Januari lalu.

WAYAN JENGKI SUNARTA FOR JAWA POS