nilai-nilai religius dalam tradisi upacara adat

122
NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT TETAKEN GUNUNG LIMA (Studi Kasus di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan) SKRIPSI DEVI YANTIKA EKA SAPUTRI NIM: 210314334 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO JUNI 2018

Upload: others

Post on 26-Nov-2021

26 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

TETAKEN GUNUNG LIMA

(Studi Kasus di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan)

SKRIPSI

DEVI YANTIKA EKA SAPUTRI

NIM: 210314334

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

JUNI 2018

Page 2: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

ii

NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

TETAKEN GUNUNG LIMA

(Studi Kasus di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana

Pendidikan Agama Islam

DEVI YANTIKA EKA SAPUTRI

NIM: 210314334

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

JUNI 2018

Page 3: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

iii

Page 4: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

iv

Page 5: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

v

ABSTRAK

Saputri, Devi Yantika Eka. 2018. Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Adat

Tetaken Gunung Lima ( Studi Khasus di Desa Mantren Kecamatan

Kebonagung Kabupaten Pacitan).Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Ponorogo. Pembimbing Muh. Widda Djuhan, S.Ag., M.Si

Kata Kunci: Nilai-nilai Pendidikan Islam, Upacara Adat Tetaken Gunung Lima Bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam dengan ciri khas

daerah masing-masing dan nilai-nilai yang di percayai oleh masyarakat. Budaya

tercipta dari kegiatan sehari-hari. Tradisi merupakan adat kebiasaan turun-temurun dari

nenek moyang yang masih dijalankan hingga sampai saat ini. Dalam ajaran Islam,

kegiatan kehidupan manusia dalam bentuk akal budi yang diturunkan Allah Swt.

Kepada Rasulullah Saw. Menjadi petunjuk pembimbing dan menjadi nilai-nilai

universal kemanusiaan. Seperti dalam nilai-nilai pendidika Islam dalam upacara adat

Tetaken Gunung Lima yang merupakan tradisi yang dijalankan di Desa Mantren

Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan untuk mengenang Kyai Tunggul sebagai

orang pertama babat alas dan pertama menyebarkan Agama Islam.

Tujuan penelitian ini adalaht: (1)untuk mendiskripsikan latar belakang

upacara adat Tetaken (2)untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan tradisi upacara

adat Tetaken Gunung Lima di Desa Mantren. Kecamatan Kebonagung, Kabupaten

Pacitan Dan (3) untuk mendiskripsikan nilai-nilai Pendidikan Islam dalam tradisi

upacara adat Tetaken Gunung Lima di Desa Mantren. Kecamatan Kebonagung,

Kabupaten Pacitan.

Peneliti ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Adapun teknik analisis datanya menggunakan tiga tahap, yaitu tahap reduksi data,

display dan pengambilan kesimpulan.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) Latar belakang tradisi

upacara adat Tetaken Gunung Lima yakni berawal Ki Tunggul Wulung yang dianggap

sebagai penyebar agama Islam di Pacitan setelah bertapa di Gunung Lima dan juga

orang pertama babat alas di sekitar Gunung Lima.(2) Proses pelaksanaan tradisi

upacara adat Tetaken Gunung Lima dibagi menjadi dua yaitu a) proses awal dengan

tahapan: sebo, cantrik, semedi dan thontongan. b) proses pelaksanaan yakni:

pelaksanaan awal: hasil bumi dan peserta, pelaksanaan inti: mandhap, siraman,

padhadaran, kirab, srah-srahan, ujuban, doa, legen. Pelaksanaan Penutup: hiburan

menandakan berakhirnya acara.3)Nilai-nilai religius dalam upacara adat Tetaken

Gunung Lima, yaitu berupa sedekah bumi atas bentuk rasa syukur kepada Allah Swt.

karena telah memberikan rezeki yang melimpah kepada masyarakat sekitar Gunung

Lima dan juga hubungan kepada alam dalam bentuk melestarikan dan menjaga

keadaan alam, agar selalu terjaga. Sehingga penghasilan bumi semakin melimbah di

Desa Mantren.

Page 6: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan suku Jawa, baik itu yang masih bersifat tradisional

maupun yang sudah modern berbagai upacara tradisional masih memegang

peranan yang amat penting dalam mewujudkan kondisi untuk menciptakan rasa

aman serta ikut memberi pegangan dalam menentukan sikap, tingkah laku dan

pola pikir masyarakat.

Masyarakat Indonesia, khususnya suku Jawa masih percaya akan

adanya berbagai makhluk halus seperti jin, hantu, syetan dan sebagainya.

Mereka masih mempercayai adanya berbagai kekuatan yang berasal dari benda-

benda yang dikeramatkan sperti keris, pusaka dan lainnya.1 Menurut

kepercayaan masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan

sukses-sukses, kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, tetapi

sebaliknya bisa pula menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan

kematian.2

Salah satu yang mencirikan masyarakat Jawa yaitu melestarikan budaya

warisan nenek moyangnya. Salah satu budaya leluhur tersebut, yaitu upacara

adat yang dilaksanakan secara turun temurun. Namun sesuai budaya modern

mulai menjangkiti masyarakat Jawa, satu per satu upacara adat tersebut seperti

1 Ach. Nadif dan M.Fadlun, Tradisi Keislaman (Surabaya: Al-Miftah, 2010), 36. 2 Sumardi Ramon, Sosiologi dan Antropologi (Surabaya: Sinar Wijaya, 1985), 133.

Page 7: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

2

ditelan zaman. Meskipun masih terdapat beberapa upacara adat yang hingga

sekarang dilestarikan oleh sebagian masyarakat.3

Upacara adat di Jawa berhubungan dengan tiga hal, yaitu berhubungan

dengan kehidupan manusia, berhubungan dengan alam, serta berhubungan

dengan agama dan kepercayaan, bahwa masyarakat Jawa sangat mendambakan

hubungan dinamis antara manusia dengan alam dan Tuhan.4 Upacara adat yang

masih tetap diperhatikan sampai sekarang oleh kalangan penduduknya,

misalnya resik desa, labuhan, selametan weton.

Dalam agama Islam tidak dikenalkan istilah upacara bersih desa, namun

Islam tidak melarang berbagai macam adat istiadat dan kebudayaan masyarakat

setempat asal tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan tidak menjadikan

orang yang syirik bagi orang yang melakukannya. Namun harus menjadikan

upacara adat semacam ini untuk mengingat dan bersyukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas karunia yang telah diberikan.5

Di Jawa, bulan Muharram disebut juga dengan bulan Suro. Bulan Suro

bagi orang Jawa adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah yang terkenal

dengan kesakralannya. Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan

diadakan pesta kembang api, slametan, tidak tidur semalaman/ lek-lekan. Akan

tetapi, lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh setiap tanggal

1 Suro atau 1 Muharram, masyarakat Jawa biasanya menyambutnya dengan

3 Sri Wintala Achmad, Etika Jawa: Pedoman Luhur dan Prinsip Hidup Orang Jawa

(Yogyakarta: Araska, 2018), 190. 4 Sri Wintala, Filsafat Jawa: Menguak Filosofi, Ajaran, dan Laku Hidup Leluhur Jawa

(Yogyakarta: Araska, 2017), 57. 5 Nadif, Tradisi Keislaman, 256.

Page 8: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

3

berbagai ritual bahwasannya mereka anggap bulan Suro itu adalah bulannya

umat Islam.

Masyarakat Jawa masih berpegang teguh dengan ajaran nenek moyang

mereka. Salah satu ajaran yang masih dilakukan sampai saat ini adalah

menjalankan tradisi pada bulan Suro. Daerah-daerah di Pulau Jawa dalam

menyambut bulan Suro selalu mengadakan berbagai ritual, salah satunya adalah

di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan. Kebudayaan

masyarakaat dalam menyambut bulan Suro di desa Mantren yang masih terjaga

hingga saat ini dinamakan upacara adat Tetaken Gunung Lima. Upacara adat

Tetaken merupakan sebuah wujud kebudayaan lokal hasil karya manusia yang

berlatar belakang sastra lisan mengenai ceritarakyat, Ki Tunggul Wulung, Ki

Brayut, dan Ki Tiyoso. Upacara adat Tetaken merupakan cerminan budaya

masyarakat di sekitar Gunung Lima. Gunung Lima merupakan salah satu objek

unggulan dan menjadi simbolik dari Kabupaten Pacitan, Gunung Lima terletak

kurang lebih 15 km dari alun-alun kota Pacitan ke arah timur tepatnya di Desa

Mantren Kecamatan Kebonagung. Gunung Lima selain menyimpan panorama

yang indah juga menawarkan potensi budaya lewat upacara adat Tetaken

sebagai salah salah satu warisan sejarah masyarakat lokal.

Upacara Tetaken ini adalah salah satu bentuk upacara tradisional,

dimana masyarakat sekitar Gunung Lima masih menganggap nilai magis,

sehingga diwujudkan dalam bentuk upacara ritual. Upacara adat Tetaken ini di

laksanakan pada tanggal 15 Muharram atau Suro. Tetaken merupakan tradisi

masyarakat sekitar Gunung Lima, yang masih terpelihara hingga saat ini.

Page 9: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

4

Tetaken berasal dari kata Sansekerta yang berarti Teteki. Artinya pertapan. Di

mana tradisi ini sangat kental yang masih menggunakan ritual. Tradisi adalah

sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat

pendukungnya. Bahwa menurut Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Jalaluddin

bahwa “Tradisi merupakan unsur sosil dan budaya yang telah mengakar dalam

kehidupan masyarakat dan sulit untuk diubah.6

Upacara adat ini merupakan warisan dari nenek moyang mereka.

Mereka hidup akrab dengan alam itu karena melalui kepercayaan masyarakat

sekitar Gunung Lima yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Karena alam

merupakan kekuatan yang menguasai dan menentukan kehidupan mereka. Hal

tersebut terbukti, meski teknologi semakin maju, namun mereka tidak dapat

menghindarkan diri dari kekuatan alam. Mereka menganggap alam mampu

memberikan kekuatan dan ketenangan pribadi seperti pada sekitar tempat

mereka tinggal yaitu di lereng Gunung Lima.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “ Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi

Upacara Adat Tetaken Gunung Lima Pacitan (Studi Kasus di Desa

Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan).”

B. Fokus Penelitian

Mengingat luasnya masalah tentang cakupan pembahasan

permasalahan, waktu penelitian, dan biaya penelitian. Maka penelitian ini

6 Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 187-188.

Page 10: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

5

difokuskan pada nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi upacara adat Tetaken

Gunung Lima di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas, maka

yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan

Islam dalam tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima. Berkaitan dengan

fokus tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:

1. Bagaimana latar belakang dilaksanakan tradisi upacara adat Tetaken

Gunung Lima?

2. Bagaimana proses pelaksanaan tradisi upacara adat Tetaken Gunung

Lima di Desa Mantren. Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan?

3. Bagaimana nilai-nilai Pendidikan Islam dalam tradisi upacara adat

Tetaken Gunung Lima di Desa Mantren Kecamatan Kebonagung,

Kabupaten Pacitan ?

D. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai.

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti

dalam peneliti ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang dilaksanakan tradisi upacara adat Tetaken

Gunung Lima?

2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan tradisi upacara adat Tetaken Gunung

Lima.

Page 11: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

6

3. Untuk mengetahui nilai-nilai Pendidikan Islam dalam tradisi upacara adat

Tetaken Gunung Lima bagi masyarakat.

E. Manfaat Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

baik teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis

Kajian ini dapat dijadikan salah satu khasanah ilmu pengetahuan

yang ada hubungannya dengan nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi

upacara adat Tetaken Gunung Lima.

2. Secara Praktis

a. Bagi Masyarakat

Melalui kegiatan penelitian ini diharapkan digunakan salah satu masukan

dan kerangka acuan yang sangat berharga bagi para pengambil keputusan,

terutama dalam penggelolaan dan pelestarian tradisi yaitu upacara adat

Tetaken.

b. Bagi Perguruan Tinggi

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (IPTEK).

c. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan dan informasi bagi peneliti mengenai nilai

pendidikan Islam dalam upacara adat Tetaken Gunung Lima di Desa

Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacita

F. Sistematika Pembahasan

Page 12: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

7

Sistematika bertujuan untuk mempermudah para pembaca dalam

menelaah isi kandungan yang ada di dalamnya. Dalam penulisan laporan nanti

terdiri dari enam batang tubuh, adapun sistematika pembahasnnya adalah

sebagai berikut:

Bab Pertama Pendahuluan:berfungsi untuk memberi gambaran secara

global permasalahan yang dibahas, yaitu terdiri dari: latar belakang masalah,

fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

sistematika pembahasan.

Bab Kedua Telaah Terdahulu dan Kajian Teori: berfungsi untuk

mengetengahkan kerangka awal teori yang digunakan sebagai landasan

melakukan penelitian yang terdiri dari tradisi upacara adat Tetaken Gunung

Lima, pelaksanaan tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima, nilai-nilai

pendidikan Islam dalam tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima.

Bab Ketiga Metode Penelitian: bab ini merupakan unsur terpenting

dalam sebuah penelitian, karena dengan berpatokan pada metode penelitian

yang sudah tervalidasi oleh standar penelitian, maka arah penulisan akan

sistematis

Bab Keempat Deskripsi Data: meliputi gambaran umum lokasi

penelitian dan deskripsi data, ditulis untuk melanjutkan judul penelitian,

dimana peneliti mengambil judul di tempat tersebut.

Bab kelima Analisis Data: yang berisi tentang gagasan-gagasan

peneliti terkait dengan pola-pola, kategori-kategori, posisi temuan terhadap

Page 13: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

8

temuan-temuan sebelumnya, serta penafsiran dan penjelasan dari temuan yang

diungkap dari lapangan.

Bab Keenam Penutup: berisi tentang kesimpulan dan saran yang

berfungsi mempermudah para pembaca dalam mengambil intisari dari laporan

penelitian.

Page 14: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

9

BAB II

TELAAH HASIL PENELITIAN TERDAHULU DAN

KAJIAN TEORI

A. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian sebelumnya oleh Selviana Muktining Sukma (210311052)

yang menyelesaikan skripsinya pada Tahun 2015 dengan penelitian berjudul “Tradisi

Grebeg Maulid Nabi Muhammad Saw Dalam Persepektif Persepektif Pendidikan

Islam di Kota Madiun”

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk kegiatan tradisi grebeg

maulid nabi Muhammad Saw dimulai dengan ziarah kubur, tahlil, doa bersama dan

selametan, kirab arak-arakan dari pemberian tumpeng beserta udhek-udhek kepada

fakir miskin, dan diakhiri dengan perebutan gunung.

Nilai-nilai grebeg maulidan nabi Muhammad Saw dalam persepektif

pendidikan Islam, yaitu Hablum minannas (hubungan kepada sesama manusia) yang

dapat terlihat dari hubungan silaturahmi antara masyarakat kota Madiun, Hablum

minallah (Hubungan kepada Allah Swt) yang merupakan ungkapan rasa syukur akan

berkah yang yang diberikan baik umat Islam secara umum dan kepada masyarakat Kota

Madiun secara khusus serta bentuk cinta kaum muslimin kepada nabinya yakni nabi

Muhammad Saw dan yang terakhir hubungan dengan kepada alam dalam bentuk

melestarikan dan menjaga keadaan alam di Kota Madiun.

Page 15: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

10

Penelitian terdahulu selanjutnya oleh Dewi Mutik Al-Khoiriyah (210311097)

yang menyelesaikan skripsinya Tahun 2015 dengan penelitian berjudul “ Nilai-nilai

Kedermawanan Dan Relevansinya Dengan Tujuan Pendidikan Islam, Tradisi

Perayaan Ledhung Suro”

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kedermawanan dalam

tradisi perayaan Ledhung Suro Kabupaten Magetan diwujudkan dengan: Saling

berbagi kepada orang lain dalam berbagai kesempatan, Saling member atau sedekah

baik berupa harta, jiwa, tenaga, ilmu, dan pikiran. Saling membantu dan menolong

antar sesama. Ramah tamah, dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk

mendapatkan haknya.

Nilai-nilai kedermawanana dalam tradisi perayaan Ledhung Suro Kabupaten

Magetan mempunyai relevansi dengan tujuan pendidikan Islam yaitu peningkatan

keaqwaan kepada Allah SWT dan pembentukan ahlakul karimah, terutama ketaqwaan

dalam kehidupan sosial.

Peneliti terdahulu selanjutnya oleh Haris Rahmat Ahmadi (210311037) yang

menyelesaikan skripsinya Tahun 2015 dengan penelitian berjudul “ Nilai-nilai

Kepedulian Sosial Dalam Tradisi Bersih Desa Di Dusun Ngrawan Desa Dolopo

Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun”

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Proses kegiatan bersih desa

di Dusun Ngrawan dimulai dengan kegiatan sholat sunah di masjid, setelah itu

sholawatan gembrungan kemudian ritual di makam, pagi harinya menyembelih

kambing kendit di perempatan dan penguburan kepala di perempatan dan keempat

Page 16: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

11

kakinya di pojok-pojok Dusun Ngrawan, yang terakhir selamatan di masjid. 2) Nilai-

nilai kepedulian sosial dalam tradisi bersih desa sangat terlihat dari beberapa kegiatan

masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ini, terlihat dari masyarakat yang antusias

dari kegiatan gotong-royongnya, hal ini akan menciptakan kekompakan, kerukunan

dan mempererat tali silaturahim dalam krgiatan-kegiatan masyarakat yang lain.

Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian tersebut di atas, maka dalam skripsi

ini penulis akan membahas hal yang berbeda baik itu dalam hal subyek penelitian

maupun obyek penelitian yaitu pembahasan mengenai nilai-nilai tradisi upacara adat

Tetaken Gunung Lima. Penelitian di atas yang dijadikan obyek lingkungan. Dalam

peneliti ini juga menggunakan obyek lingkungan namun dilihat dari segi nilai-nilai

pendidikan Islam.

B. Kajian Teori

1. Definisi Nilai

Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu digunakan, dicita-citakan dan

dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu,

sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah

(nilai estetika), baik (nilai moral atau etis), religius (nilai agama).7

Nilai melambangkan harapan-harapan bagi manusia dalam masyarakat.

Masyarakat biasanya diukur berdasarkan kesadaran terhadap apa yang pernah dialami

7 Elly M. Setiadi, et al, Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2006), 31.

Page 17: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

12

seseorang, terutama pada waktu merasakan kejadian yang dianggap baik ataupun

buruk, benar atau salah, baik oleh dirinya sendiri maupun menurut anggapan

masyarakat. Nilai itu sendir, biasanya datang dari keyakinan. Jadi konsep nilai dapat

juga dikatakan sebagai kumpulan perasaan mengenai apa yang diinginkan atau yang

tidak diharapkan, mengenai apa yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan.

Menurut Alvin L. Bertrand, bahwa nilai-nilai adalah ciri sistem sebagai suatu

keseluruhan, dan bukan merupakan sekedar salah satu bagian komponennya belaka.

Robin William menyebutkan kualitas dari nilai-nilai yakni sebagai berikut:

a. Nilai-nilai itu mempunyai sebuah elemen konsepsi yang

telah mendalam dibandingkan hanya sekedar sensasi,

emosi atau kebutuhan. Dalam pengertian ini, nilai dapat

dianggap sebagai abstraksi yang ditarik dari pengalaman-

pengalaman seseorang.8

b. Nilai itu menyangkut atau penuh dengan semacam

pengertian yang memiliki suatu aspek emosi.

c. Nilai ini bukanlah merupakan tujuan konkret dari pada

tindakan, tetapi ia tetap mempunyai hubungan dengan

tujuan.

8 Abdulsyani, Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 51-52.

Page 18: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

13

d. Nilai-nilai tersebut merupakan unsur penting dan sama

sekali tak dapat diremehkan bagi orang bersangkutan.9

2. Pendidikan Islam

Istilah pendidikan Islam terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan Islam. Oleh

sebab itu, untuk mengetahui makna istilah tersebut, perlu diketahui lebih dahulu

definisi pendidikan menurut para pakar pendidikan.10

Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik

terhadap perkembangan jasmani dan ruhani terdidik menuju terbentuknya kepribadian

yang utama. Dalam sistem pendidikan nasional, istilah pendidikan diartikan sebagai

usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, atau

latihan bagi perannya di masa yang akan datang.

Jadi, pendidikan merupakan aktivitas yang disengaja untuk mencapai tujuan

tertentu dan melibatkan berbagai faktor yang saling berkaitan antara satu dan yang

lainnya, sehingga membentuk suatu sistem yang saling mempengaruhi.11

Dalam konteks Islam, istilah pendidikan mengacu kepada makna dan asal kata

yang membentuk pendidikan itu sendiri dalam hubungannya dengan ajaran Islam.

9 Abdulsyani, Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan, 52. 10 Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial (Jogjakarta:

Ar-Ruzz Media, 2012), 18. 11 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 21.

Page 19: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

14

Maka pada konteks ini, perlu juga dikaji hakikat pendidikan Islam yang didasarkan

pada sejumlah istilah yang umum dikenal dan digunakan para ahli pendidikan Islam.

Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu al-

tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Setiap istilah tersebut mempunyai makna yang

berbeda karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya. Walaupum dalam hal-hal

tertentu istilah-istilah tersebut juga mempunyai kesamaan makna.

Dalam Al-Qur’an memang tidak ditemukan secara khusus istilah al-tarbiyah,

tetapi ada istilah yang senada dengan al-tarbiyah, yaitu ar-rabb, rubbayani, ribbiyun,

rabbani. Selain itu, dalam sebuah Hadist Nabi digunakan istilah rabbani. Semua fonem

tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.

Apabila al-tarbiyah diidentikkan dengan ar-rabb, para ahli memberikan

pengertian yang beragam. Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-

Qurthubi memberikan arti ar-rabb dengan pemilik, Tuan, Yang Maha Memperbaiki,

Yang Maha Pengatur, Yang Maha Menambah, dan Yang Maha Menunaikan.

Pengertian ini merupakan interpretasi dari kata ar-rabb dalam surah Al-Fatihah, dan

yang merupakan nama dan nama-nama Allah dalam Asmaul Husna.

Selanjutnya menurut Fahrurazzi bahwa ar-rabb merupakan fonem yang seakar

dengan al-tarbiyah yang mempunyai makna al-tanmiyah (pertumbuhan dan

perkembangan). Menurutnya, kata rabbayani tidak hanya mencakup pengajaran yang

bersifat ucapan, tetapi juga meliputi pengajaran sikap dan tingkah laku. Sementara

Sayyid Quthb menafsirkan kata rabbayani sebagai pemelihara anak serta

menumbuhkan kematangan sikap mentalnya.

Page 20: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

15

Selanjutnya, istilah rabbaniyyin disebut dalam Al-Qur’an.

12

Artinya: Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu

mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetapi mempelajarinya. (QS Ali Imran

[3]: 79).

Bahwasannya arti al-tarbiyaah (sebagai padanan dari rabbani), adalah proses

transformasi ilmu pengetahuan. Proses rabbani bermula dari proses pengenalan,

hapalan, dan ingatan yang belum menjangkau proses pemahaman dan penalaran.

Selain konsep tarbiyah, sering pula digunakan konsep ta’lim untuk pendidikan

Islam. Secara etimologi ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses

transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, ta’lim cenderung dipahami sebagai proses

bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas anak didik.

Kecenderungan semacam ini, pada batas-batas tertentu telah menimbulkan keberatan

pakar pendidikan untuk memasukkan ta’lim ke dalam pengertian pendidikan.

12 Al-Qur’an, 3: 79.

Page 21: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

16

Sesungguhnya, bila dicermati pemaknaan dari masing-masing istilah, baik al-

tarbiyah, al-ta’lim, maupun al-ta’dib, semuanya merujuk kepada Allah. Tarbiyah yang

ditengarai sebagai kata bentukan dari kata rabb atau rabba mengacu kepada Allah

sebagai Rabb al-alamin. Sementara ta’lim yang berasal dari kata allama, juga merujuk

kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Alim. Selanjutnya, kata ta’dib seperti ta’dibi,

memperjelas bahwa sumber utama pendidikan adalah Allah. Rasul sendiri menegaskan

bahwa beliau didikan oleh Allah sehingga pendidikan yang beliau peroleh adalah

sebaik-baik pendidikan. Oleh karenanya Rasulullah Saw merupakan pendidik utama

yang harus dijadikan teladan.

Berdasarkan atas pengertian al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib di atas, para

ahli pendidikan Islam juga mencoba memformulasikan hakikat pendidikan Islam, dan

seperti pemaknaan istilah pendidikan, formulasi hakikat pendidikan Islam ini juga

berbeda satu sama lain. Inilah beberapa diantara formulasi tersebut.13

Hasan Langgulung berpendapat bahwa pendidikan dapat ditinjau dari dua segi,

yaitu dari segi masyarakat dan segi individu. Dari segi masyarakat, pendidikan berarti

pewaris kebudayaan dan generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat

tetap berkelanjutan. Sementari dari segi individu, pendidikan berarti pengembang

potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dari situ dapat ditarik kesimpulan

bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai pewarisan kebudayaan sekaligus

pengembangan potensi-potensi.

13 Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-

Ruzz Media, 2012), 29-32.

Page 22: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

17

Omar Mohammad at-Toumy al-Syaibany memandang pendidikan sebagai

proses membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam individu dan

kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan.14

Sementara itu, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, pendidikan didefinisikan sebagai “usaha sadar dan terancana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, negara.” 15

3. Dasar Pendidikan Islam

Dasar adalah tempat untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan

arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk bersirinya

sesuatu. Setiap negara mempunyai dasar pendidikan masing-masing. Oleh karena itu

sistem pendidikan setiap bangsa ini berbeda karena mereka mempunyai falsafah hidup

yang berbeda.

Dasar pendidikan Islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat Islam

dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup, suatu negara, sebab sistem pendidikan

Islam dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa batas waktu tertentu.16

Dasar pendidikan Islam diantaranya:

14 Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, 18. 15 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), 32. 16 Ibid., 187.

Page 23: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

18

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an dijadikan sumber pertama dan utama dalam pendidikan Islam,

karena nilai absolut didalamnya yang datang dari Tuhan. Umat Islam sebagai umat

yang dianugerahkan Tuhan suatu kitab Al-Qur’an yang lengkap dengan segala

petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan yang bersifat universal. Diamati

secara mendalam, prosentase akan ajaran-ajaran yang berkenaan dengan keimanan

tidak banyak porsinya dibandingkan dengan prosentase akan ajaran tentang amal

perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa amal perbuatan itulah yang banyak

dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia hubungannya dengan Tuhan,

dirinya sendiri, sesama manusia, alam sekitarnya dengan makhluk lainnya masuk

dalam ligkungan amal saleh (syariah), namun bukan berarti menafsirkan urgensi

keimanan dalam Islam. Seperti firman Allah, sebagai berikut17:

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dan

telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang

Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar

kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-Alaq 96:1-5)

17 Al-Qur’an, 96:1-5.

Page 24: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

19

Ayat di atas dapat dipaham bahwa (seolah-olah) Tuhan berkata, hendaklah

manusia meyakini akan adanya Tuhan menciptakan manusia (dari segumpal darah).

Untuk memperkukuh keyakinan dan memeliharanya agar tidak luntur, hendaklah

melaksanakan pendidikan dan pengajaran.18

b. As-Sunnah

As-Sunnah menurut bahasa adalah tradisi yang biasa dilakukan atau jalan yang

dilalui (al-Thoriqoh al-Masluhah) baik yang terpuji maupun yang tercela. As-Sunnah

adalah sesuatu yang dinukilkan kepada nabi, berupa perkataan, perbuatan, taqrir. Amal

yang dikerjakan oleh Rasul dalam proses perubahan sikap sehari-hari menjadi sumber

pendidikan Islam, karena Allah telah menjadikan teladan bagi umatnya. Sunnah juga

berisi aqidah dan syariah. Sunnah berisi petunjuk untuk kemaslahatan hidup manusia

dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim

yang bertaqwa. Oleh karena itu Rasul sebagai guru dan pendidik bagi kaum muslim.19

c. Ijtihad

Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran oleh fuqaha’ Islam untuk menetapkan

suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan

18 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1990), 751. 19 Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 39.

Page 25: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

20

syarat-syarat tertentu. Ijtihad dapat dilakukan dengan ijma’, qiyas, istihsan, mashalih

murshalah dan lain-lain.

Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran Islam yang

terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja.

Sejak diturunkan ajaran Islam kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, Islam

telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan

kondisi sosial yang tumbuh berkembang. Untuk melengkapi dan merealisir ajaran

Islam itu memang sangat dibutuhkan ijtihad, sebab globalisasi dari al-Qur’an dan as-

Sunnah saja belum menjamin tujuan pendidikan Islam akan tercapai.20

4. Tujuan Pendidikan Islam

Membincangkan tujuan pendidikan Islam, sesungguhnya kita tidak bisa lepas

diskusi tentang tujuan hidup manusia. Sebab, tujuan pendidikan yang paling ideal

seharusnya bermuara pada pembentukan manusia yang ideal. Sementara sosok

manusia yang ideal tentulah manusia yang tujuan hidupnya selaras dengan tujuan

penciptanya.

Menurut Ahmad Janan Asifuddin, setidaknya ada empat tujuan hidup manusia.

a. Tujuan pertama adalah untuk beribadah kepada Allah

b. Tujuan kedua, untuk menjadi khalifah Allah di Bumi

20 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 198-199.

Page 26: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

21

c. Tujuan Hidup manusia muslim yang ketiga , untuk

mendapatkan ridha Allah

d. Tujuan keempat, untuk meraih kebahagiaan hidup di

dunia dan akhirat.21

5. Nilai-nilai Pendidikan Islam

Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti dilihat dari segi normatif,

yaitu baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil, diridai dan dikutuk oleh Allah

SWT. Pendidikan Islam bertujuan pokok pada pembinan akhlak mulia, maka sistem

moral islami yang ditumbuh kembangkan dalam proses kependidikan adalah norma

yang berorientasi kepada nilai-nilai Islami. Ciri-ciri Islam yang sempurna:

a. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup muslim.

b. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa

ditegakkan.

c. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem

kehidupan pada dasarnya.22

Adapun nilai-nilai pendidikan Islam pada dasarnya berlandaskan pada nilai-

nilai Islam yang meliputi semua aspek kehidupan. Baik itu mengatur tentang hubungan

manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Dan pendidikan ini bertugas

21 Ibid., 27. 22 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 127-128.

Page 27: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

22

untuk mempertahankan, menanamkan dan mengembangkan kelangsungan berfungsi

nilai-nilai Islam tersebut.

Adapun nilai-nilai Islam apabila ditinjau dari sumbernya, maka dapat

digolongkan dua macam, yaitu:

1). Nilai Ilahi

Nilai ilahi adalah nilai yang dititahkan Tuhan melalui para Rasulnya, yang

berbentuk taqwa, iman, adil, yang diabadikan dalam wahyu ilahi. Nilai ini merupakan

sumber yang pertama dan utama bagi para penganutnya yang bersifat statis dan

kebenarannya mutlak pada ilahi, tugas manusia adalah menginterprestasikan nilai-

nilai. Dengan interpretasi manusia mampu menghadapi ajaran agama yang dianut.

2). Nilai Insani

Nilai insani ini adalah nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup

dan berkembang dari peradapan manusia. Nilai ini bersifat dinamis dan keberlakuan

serta kebenarannya relative yang dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai insani

kemudian melembaga menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan

mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.23

Adapun beberapa nilai-nilai pendidikan Islam diantaranya:

a). Nilai Akhlak

23 Sarisno, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai,” Edukasi, 5 (Januari, 2018), 1.

Page 28: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

23

Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab (akhlaqun), jamak dan (Kholaqo,

yakhluqu, kholaqon), yang secara etimologi berasal dari kata “budi pekerti, tabiat,

perangai, adat kebiasaan, perilaku, dan sopan santun.”

Jadi akhlak bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun

peradaban manusia, dan mengobati penyakit sosial dari jiwa dan mental, jadi tujuan

akhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Artinya adalah

bahwa akhlak Islam mengarahkan manusia pada jalan menuju fase kemanusiaan yang

tinggi untuk mencapai kematangan peradaban yang bersumber pada ketentuan ilahi.24

Menurut Abdullah Dirros, bahwa akhlak adalah suatu kekuatan dalam

kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi nembawa

kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam akhlak yang baik) atau pihak

yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).

Sedangkan menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan manusia dapat

dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat:

(1) Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang-ulang kali dalam bentuk yang

sama, sehingga menjadi kebiasaan.

(2) Perbuatan-perbuatan itu dilakukan

karena dorongan emosi-emosi jiwanya,

bukan karena adanya tekanan-tekanan

yang datang dari luar seperti paksaan

24 Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013)

125.

Page 29: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

24

dari orang lain sehingga menimbulkan

kekuatan, atau bujukan dengan

harapan-harapan yang indah-indah dan

lain sebagainya.

Ada istilah lain yang lazim digunakan di samping kata akhlak ialah yang

disebut etika. Perkataan itu berasal dari kata Yunani “Ethos” yang berarti adat

kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat, etika adalah merupakan bagian dari padanya,

dimana para ahli memberikan takrif dalam redaksi yang berbeda-beda.25

b). Nilai syari’ah

Kata syari’ah adalah bentuk masdar dimana ia merupakan bentuk asal kata kerja

yang tidak mengandung pengertian waktu atau zaman dan di dalam pengertian syari’at

tersebut. Bentuk madi dari syari’at adalah syara’.

Sedangkan pengertian syari’at dalam istilah ialah yang sering dipakai

dikalangan para ahli hukum islam ialah: “Hukum-hukum yang yang diciptakan oleh

Allah SWT untuk segala hamba-Nya agar mereka itu mengamalkannya untuk

kebahagiaan dunia akhirat, baik hukum-hukum itu bertalian dengan perbuatan, aqidah

dan akhlak.

25Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009)

182-183.

Page 30: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

25

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya syari’at

itu adalah kumpulan ordonansi yang diwajibkan Tuhan, berupa aturan-aturan ,

perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.26

Tujuan Alah SWT mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara

kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerugian atau kerusakan, baik di

dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui perintah dan

larangan, yang pelaksaannya tergantung kepada pemahaman sumber hukum yang

utama, Al-Qur’an dan Hadist.

Tujuan syariat Islam perlu diketahui oleh mujtahid dalam rangka

mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab

persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasus-kasusnya tidak diatur secara

eksplisit oleh Al-Qur’an dan Hadist. Lebih dari itu, tujuan hukum perlu diketahui

dalam rangka mengetahui apakah suatu khasus masih dapat diterapkan berdasarkan

satu ketentuan hukum karena adanya perubahan struktur sosial hukum tersebut dapat

diterapkan. Untuk dapat menangkap tujuan hukum yang terdapat dalam sumber

hukum, maka diperlukan sebuah ketrampilan yang dalam ilmu fikih disebut dengan

Maqashid Asy-Syari’ah. Dengan demikian, pengetahuan Maqashid Asy-syari’ah

menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.27

Dari pernyataan di atas bahwasannya, masyarakat sekitar Gunung Lima tidak

sama sekali melenceng dari ajaran islam atau dari aturan-aturan/ ketentuan-ketentuan

26 Zuhairi, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 43-44. 27 Erwin , Materi Pendidikan Agama Islam , 281.

Page 31: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

26

yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Masyarakat sekitar Gunung Lima tetap

menjaga apa yang telah di larang oleh Allah. Karena masyarakat Gunung Lima

sebagian banyak mengetahui ajaran-ajaran yang telah ditetatapkan Allah SWT.

Walaupun dengan di adakan Upacara Adat Tetaken namun masyarakat tidak

melupakan syari’at sebagai orang Islam.

c) Nilai Ibadah

Yang dimaksud dengan “ibadah” dalam pembahasan ini adalah ibadah secara

universal atau ibadah dalam arti luas, bukan ibadah dalam arti khusus yang merupakan

bagian dari syariah.

Kata “ibadah” adalah bahasa Arab, artinya pengabdian, penyembahan,

ketaatan, merendahkan diri atau berdo’a. Secara istilah ibadah berarti perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan dirinya

kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah. Orang yang melakukan ibadah disebut

‘abid (subjek) dan yang disembah disebut ma’bud (objek). Semua orang diharapkan

Allah sebagai subjek, karena manusia tersebut harus mengabdi kepada Allah SWT.28

d).Kepedulian Sosial

Kepedulian sosial adalah minat atau keterkaitan kita untuk membuat

lingkungan kita yang berpengaruh besar dalam menentukan tingkat kepedulian sosial

kita. Hidup di dunia ini diciptakan dua jalan. Pertama hidup senang tetapi tidak banyak

bernilai. Yang kedua hidup susah tetapi bernilai. Jalan hidup susah mendaki lagi sukar

28 Ibid., 257.

Page 32: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

27

itulah sebenarnya jalan yang harus ditempuh oleh manusia, itulah jalan benar, itulah

jalan yang bernilai.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain.

Maka sebagai wujud kepedulian sosial kepada masyarakat, dia harus menampakkan

pengabdian dirinya kepada masyarakat. Bentuk pengabdian diri ini dapat berupa ikut

berpartisipasi dalam aktivitas di masyarakat. Dalam hal ini termasuk juga menjaga

nama baik suatu warga.

Kepedulian sosial merupakan suatu rangkaian ibadah, hal ini telah dicontohkan

oleh Rasulullah Saw, dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh tabroni dan Anas bin

Malik yang artinya: “ Budi pekerti yang luhur adalah termasuk amalan ahli surga”.

Selanjutnya kepedulian sosial yang menjadi ibadah itu tidak lepas dari budi

pekerti yang luhur atau baik sesuai dengan norma-norma agama, adat istiadat serta

norma-norma yang diatur oleh peraturan pemerintah. Dalam konteks ini kita harus peka

dan proaktif untuk mewujudkan rasa solidaritas kita dengan membantu saudara-

saudara kita yang tertimpa musiba. Kepedulian kita terhadap masyarakat dalam bidang

pendidikan denan memberikan pengajaran-pengajaran yang bisa bermanfaat bagi

masyarakat luas secara umum dan bagi anak atau keluarga kita pada khususnya.29

e). Rezeki

Rezeki merupakan karunia dan suatu jaminan yang Allah janjikan bagi semua

makhluk, sehingga hewan yang melata yang berada pada suatu lobang batu pun akan

29 Haris Rahma Ahmadi, Nilai-nilai Kepedulian Sosial Dalam Tradisi Bersih Desa Di Dusun

Ngrawan Desa Dolopo Kecamatan Dolopo (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2015), 20-21.

Page 33: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

28

memperoleh bagian rezeki sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan bagi makhluk

tersebut. Sehingga menjadi suatu hikmah bagi makhluk lainnya, khususnya manusia

yang dikaruniai akal, untuk dapat berfikir dan merasa yakin dengan jaminan rezeki

baginya.

Rezeki merupakan sesuatu yang menjadi rahasia Allah terhadap makhluk-

makhluknya. Sehingga antara satu makhluk dengan makhluk lainnya akan memperoleh

bagian atau kadar rezeki yang berbeda-beda, sesuai dengan rahasia dan hikmah yang

Allah tetapkan bagi makhluknya. Sesuai yang Allah berikan dan sesuatu yang tahan

merupakan rezeki yang sesuai dan terbaik bagi setiap makhluknya.

Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan rezeki (penghasilan) sebagai

penunjang kehidupannya. Untuk memperoleh rezeki tersebut, manusia harus berusaha

dengan bekerja sesuai kemampuan yang dimiliki masing-masing, maka bekerja

merupakan suatu kewajiban dan merupakan sunnatullah (hukum yang berlaku di alam)

yang harus ditempuh oleh seluruh makhluk, khususnya bagi manusia. Ketika manusia

menghendaki menjadi orang berilmu, maka tidak bisa hanya dengan duduk berpangku

tangan tanpa mengikuti hukum sebab akibat yang berlaku di alam dunia ini. Ketika

manusia menginginkan makanan dan minuman dengan tanpa berusaha, maka hal

tersebut merupakan sesuatu yang mustahil terjadi. Karena manusia harus menunjukkan

tangan untuk mengambil dan memakan makanan tersebut, sehingga terpenuhi apa yang

diinginkannya.30

30 Achmad Kurniawan Pasmadi, Konsep Rezeki Dalam Pandangan Para Pedagang Pasar

(Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009), 1-2.

Page 34: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

29

f). Sedekah

Kata sedekah berasal dari bahasa Arab, ash-shadaqah. Secara bahasa bermakna

sesuatu yang dijadikan sedekah. Kata ini diambil dari huruf sha-da-qa. Kata shadaqoh

sendiri diambil dari asal kata ash-shidq “benar”, karena ia menunjukkan kebenaran

ibadah untuk Allah. Menur Al-Jurjani, sedekah adalah pemberian yang diberikan untuk

mengharap pahala Allah. Sementara Ar-Raghib al-Insfahani mengatakan, “ Sedekah

adalah harta yang dikeluarkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti

zakat. Bedanya sedekah untuk mendekatkan diri kepada Aklah Swt, seperti zakat.

Bedanya, sedekah untuk kategori sunnah, zakat untuk yang wajib.”31 Menurut

terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan infak, termasuk juga hukun dan

ketentuan-ketentuannya.32

Secara umum, shadaqah memiliki pengertian memberikan harta di jalan Allah

Swt, baik harta tersebut diberikan kepada keluarga yang miskin maupun kepada yang

lainnya. Makna shadaqah memang sering dikonotasikan dengan memberikan harta

untuk kepentingan tertentu di jalan Allah Swt. Begitu pun di dalam Al-Qur’an, banyak

yang menjelaskan mengenai shadaqah dengan harta. Diantaranya dalah firman Allah

Swt. Berikut:

31 Hasan Hammam, Dahsyatnya Terapi Sedekah (Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007), 11. 32 M. Suhadi, Dahsyatnya Sedekah Tahajud Dhuha & Santuni Anak Yatim (Surakarta: Ziyad

Visi Media, 2012), 12

Page 35: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

30

...

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan

(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si

penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan

Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.”(Qs. Al-Baqarah:264)

Rasulullah Saw. menjelaskan di dalam haditsnya mengenai shadaqah dalam arti

yang sangat luas. Hadits yang telah disebutkan sebelumnya merupakan sebuah jawaban

yang diberikan oleh Rasulullah Swt. kepada para sahabatnya yang tidak mampu secara

maksimal bershadaqah dengan harta. Berikut ini macam-macam shadaqah yang

dijelaskan oleh Rasulullah Saw:

(1). Membaca Tasbih, Tahlil dan Tahmid: Rasulullah Saw menjelaskan setiap

tasbih, tahlil dan tahmid adalah shadaqah. Oleh karena itu, para sahabat diminta oleh

Rasululullah Saw, untuk memperbanyak membaca tasbih, tahlil dan tahmid atau dzikir

lainnya sebagai bentuk lain dari shadaqah. Sebab, perbuatan tersebut bernilai ibadah

bagi Allah Swt.

Page 36: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

31

(2). Amar Ma’ruf Nahi Munkar juga merupakan shadaqah, sebab untuk

mewujudkan diperlukan tenaga, pikiran, waktu, dan perasaan. Dan, semua itu terhitung

dalam shadaqah.

(3). Berlomba-lomba dalam Amalan Sehari-hari.33

6.Kebudayaan dan Tradisi

Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal

kebudayaan. Juga dalam kehidupan sehari-hari, orang tak mungkin tidak berurusan

dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang melihat, mempergunakan dan bahkan

kadang-kadang merusak kebudayaan.

Kata “Kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhi yang merupakan

jamak kata “buddhi” yang berarti budi yang artinya akal. Kebudayaan diartikan sebagai

hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.34

Kebudayaan= cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris) = tsaqafah

(bahasa Arab) berasal dari perkataan latin “Colore” yang artinya mengolah,

mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari segi arti ini berkembanglah arti

culture sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagama, hukum, adat istiadat, serta lain-

33 Muhammad Habibillah, Raih Berkah Harta Dengan Sedekah & Silaturahmi: Cara Hidup

Kaya Harta & Kaya Hati (Jakarta: Sabil, 2013), 39-44. 34 Suryono, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 187.

Page 37: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

32

lain kenyataan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota

masyarakat.35

Definisi kebudayaan menurut beberapa para ahli diantaranya sebagai berikut:

a. E.B Tylor bahwa kebudayaan adalah kompleks nyang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat

dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan

yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat

b. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merupakan

kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta

masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan

kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang

diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar

kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan

masyarakat.36

Sedangkan tradisi menurut Parsudi Suparlan merupakan unsur sosial budaya

yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Secara garis

besarnya tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut pranata.

Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan konflik

yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi,

35 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 50. 36 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali

Pers, 2012.)150-151

Page 38: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

33

dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang

bersangkutan.37

Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks dan

dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai

pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat dipertahankan

sejauh di dalam diri mereka terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tradisi yang

tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan

martabatnya. Tradisi dapat dijadikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan

tradisi ini memiliki beberapa syarat, yakni: tidak bertentangan dengan ketentuan nash

pokok, baik Al-Qur’an dan Sunnah, tradisi yang tidak bertentangan dengan akal sehat

dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan

kemunduran.38

Dalam arti sempit tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan yang

diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu. Tradisi juga mengalami peubahan.

Tradisi lahir disaat tertentu ketika ketika orang-orang menetapkan fragmen tertentu

dari wawasan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi berubah ketika orang memberikan

perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fregmen yang lain.

Tradisi lahir melalui dua cara. Cara pertama, muncul dari bawah melalui

mekanisme kemunculan secara sepontan dan tak akan diharapkan serta melibatkan

37 Jalaludin, Psikologi Agama, 224. 38 Muhammad Muntahibun , Ilmu Pendidikan Islam , 44-45

Page 39: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

34

rakyat banyak. Perubahan tradisi juga disebabkan banyak tradisi dan bentrokan antara

tradisi yang satu dengan saingannya.39

7.Upacara Adat Tetaken

Upacara adat merupakan salah satu bentuk realisasi wujud kebudayaan yang

berupa suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat atau

sering disebut supaistem sosial. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia

yang saling berinteraksi dari waktu ke waktu berdasarkan adat tata kelakuan.40

Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara kelahiran,

upacara perkawinan, upacara religi, upacara kematian, upacara sedekah bumi, upacara

bersaji.41

Keyakinan masyarakat sekitar Gunung Lima yang masih menganggap memiliki

nilai magis diwujudkan dengan bentuk upacara atau ritual di daerah tersebut. Namanya

adalah upacara adat Tetaken. Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 15

Muharram/Suro di pelataran Gunung Lima.

Upacara berbentuk ritual ini sudah turun temurun dilaksanakan masyarakat di

lereng Gunung Lima, tempatnya berada di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung,

Kabupaten Pacitan. Ritual upacara Tetaken ini merupakan upacara bersih desa atau

sedekah bumi. Model dari ritual ini adalah ketika sang juru kunci Gunung Lima, Somo

Naryo turun gunung. Bersamaan anak buahnya yang berjumlah 16 anak buahnya, yang

39 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media, 2004), 72 40 Sri Endahwati,” Upacara Adat Jolenan di Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo,”

Eduksi, 5 (Januari, 2018), 65. 41 Koentjaranungrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI-PRESS, 2014), 67.

Page 40: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

35

sekaligus sebagai muridnya dan akan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Tetaken

adalah tradisi khas masyarakat sekitar Gunung Lima yang masih dipelihara dengan

baik hingga sekarang. Bagi masyarakat Pacitan, Gunung Lima adalah simbol kekuatan

dan nilai spiritual, sehingga ritual tetaken menjadi budaya yang unik dam bernuansa

spiritual juga.

Tetaken berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “teteki” atau maknanya

adalah pertapaan. Tidak heran dalam pelaksanaan upacara ini suasananya sangat

religius yang kental namun sederhana menandai ritual ini. Sejarah diadakan upacara

ini bermula dari kisah Kyai Tunggul Wulung dan Mbah Brayut mengembara.

Tujuannya adalah menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Namun, dalam perjalanan

keduanya berpisah, Mbah Brayat memilih tinggal di Sidomulyo, sedangkan Kyai

Tunggul Wulung memilih lokasi di puncak Gunung Lima yang tempatnya di Desa

Mantren. Kyai Tunggul Wulung merupakan orang yang pertama kali babat alas di

kawasan Gunung Lima dan di situlah Kyai Tunggul Wulung juga menyebarkan agama

Islam agar masyarakat Desa Mantren tidak ada yang menyembah selain Allah Swt.

Page 41: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

36

BAB II

TELAAH HASIL PENELITIAN TERDAHULU DAN

KAJIAN TEORI

C. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian sebelumnya oleh Selviana Muktining Sukma

(210311052) yang menyelesaikan skripsinya pada Tahun 2015 dengan

penelitian berjudul “Tradisi Grebeg Maulid Nabi Muhammad Saw Dalam

Persepektif Persepektif Pendidikan Islam di Kota Madiun”

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk kegiatan tradisi

grebeg maulid nabi Muhammad Saw dimulai dengan ziarah kubur, tahlil, doa

bersama dan selametan, kirab arak-arakan dari pemberian tumpeng beserta

udhek-udhek kepada fakir miskin, dan diakhiri dengan perebutan gunung.

Nilai-nilai grebeg maulidan nabi Muhammad Saw dalam persepektif

pendidikan Islam, yaitu Hablum minannas (hubungan kepada sesama manusia)

Page 42: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

37

yang dapat terlihat dari hubungan silaturahmi antara masyarakat kota Madiun,

Hablum minallah (Hubungan kepada Allah Swt) yang merupakan ungkapan

rasa syukur akan berkah yang yang diberikan baik umat Islam secara umum dan

kepada masyarakat Kota Madiun secara khusus serta bentuk cinta kaum

muslimin kepada nabinya yakni nabi Muhammad Saw dan yang terakhir

hubungan dengan kepada alam dalam bentuk melestarikan dan menjaga

keadaan alam di Kota Madiun.

Penelitian terdahulu selanjutnya oleh Dewi Mutik Al-Khoiriyah

(210311097) yang menyelesaikan skripsinya Tahun 2015 dengan penelitian

berjudul “ Nilai-nilai Kedermawanan Dan Relevansinya Dengan Tujuan

Pendidikan Islam, Tradisi Perayaan Ledhung Suro”

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai

kedermawanan dalam tradisi perayaan Ledhung Suro Kabupaten Magetan

diwujudkan dengan: Saling berbagi kepada orang lain dalam berbagai

kesempatan, Saling member atau sedekah baik berupa harta, jiwa, tenaga, ilmu,

dan pikiran. Saling membantu dan menolong antar sesama. Ramah tamah, dan

memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mendapatkan haknya.

Nilai-nilai kedermawanana dalam tradisi perayaan Ledhung Suro

Kabupaten Magetan mempunyai relevansi dengan tujuan pendidikan Islam

yaitu peningkatan keaqwaan kepada Allah SWT dan pembentukan ahlakul

karimah, terutama ketaqwaan dalam kehidupan sosial.

Peneliti terdahulu selanjutnya oleh Haris Rahmat Ahmadi

(210311037) yang menyelesaikan skripsinya Tahun 2015 dengan penelitian

Page 43: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

38

berjudul “ Nilai-nilai Kepedulian Sosial Dalam Tradisi Bersih Desa Di

Dusun Ngrawan Desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun”

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Proses kegiatan

bersih desa di Dusun Ngrawan dimulai dengan kegiatan sholat sunah di masjid,

setelah itu sholawatan gembrungan kemudian ritual di makam, pagi harinya

menyembelih kambing kendit di perempatan dan penguburan kepala di

perempatan dan keempat kakinya di pojok-pojok Dusun Ngrawan, yang

terakhir selamatan di masjid. 2) Nilai-nilai kepedulian sosial dalam tradisi

bersih desa sangat terlihat dari beberapa kegiatan masyarakat dalam

melaksanakan kegiatan ini, terlihat dari masyarakat yang antusias dari kegiatan

gotong-royongnya, hal ini akan menciptakan kekompakan, kerukunan dan

mempererat tali silaturahim dalam krgiatan-kegiatan masyarakat yang lain.

Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian tersebut di atas, maka dalam

skripsi ini penulis akan membahas hal yang berbeda baik itu dalam hal subyek

penelitian maupun obyek penelitian yaitu pembahasan mengenai nilai-nilai

tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima. Penelitian di atas yang dijadikan

obyek lingkungan. Dalam peneliti ini juga menggunakan obyek lingkungan

namun dilihat dari segi nilai-nilai pendidikan Islam.

D. Kajian Teori

6. Definisi Nilai

Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu digunakan, dicita-citakan

dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat.

Karena itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga

Page 44: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

39

(nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis), religius

(nilai agama).42

Nilai melambangkan harapan-harapan bagi manusia dalam

masyarakat. Masyarakat biasanya diukur berdasarkan kesadaran terhadap

apa yang pernah dialami seseorang, terutama pada waktu merasakan

kejadian yang dianggap baik ataupun buruk, benar atau salah, baik oleh

dirinya sendiri maupun menurut anggapan masyarakat. Nilai itu sendir,

biasanya datang dari keyakinan. Jadi konsep nilai dapat juga dikatakan

sebagai kumpulan perasaan mengenai apa yang diinginkan atau yang tidak

diharapkan, mengenai apa yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan.

Menurut Alvin L. Bertrand, bahwa nilai-nilai adalah ciri sistem

sebagai suatu keseluruhan, dan bukan merupakan sekedar salah satu bagian

komponennya belaka.

Robin William menyebutkan kualitas dari nilai-nilai yakni sebagai

berikut:

e. Nilai-nilai itu mempunyai sebuah elemen konsepsi yang telah mendalam

dibandingkan hanya sekedar sensasi, emosi atau kebutuhan. Dalam

pengertian ini, nilai dapat dianggap sebagai abstraksi yang ditarik dari

pengalaman-pengalaman seseorang.43

f. Nilai itu menyangkut atau penuh dengan semacam pengertian yang

memiliki suatu aspek emosi.

42 Elly M. Setiadi, et al, Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2006), 31.

43 Abdulsyani, Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 51-52.

Page 45: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

40

g. Nilai ini bukanlah merupakan tujuan konkret dari pada tindakan, tetapi ia

tetap mempunyai hubungan dengan tujuan.

h. Nilai-nilai tersebut merupakan unsur penting dan sama sekali tak dapat

diremehkan bagi orang bersangkutan.44

7. Pendidikan Islam

Istilah pendidikan Islam terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan

Islam. Oleh sebab itu, untuk mengetahui makna istilah tersebut, perlu

diketahui lebih dahulu definisi pendidikan menurut para pakar pendidikan.45

Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh

pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani terdidik menuju

terbentuknya kepribadian yang utama. Dalam sistem pendidikan nasional,

istilah pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta

didik melalui bimbingan, pengajaran, atau latihan bagi perannya di masa

yang akan datang.

Jadi, pendidikan merupakan aktivitas yang disengaja untuk mencapai

tujuan tertentu dan melibatkan berbagai faktor yang saling berkaitan antara

satu dan yang lainnya, sehingga membentuk suatu sistem yang saling

mempengaruhi.46

Dalam konteks Islam, istilah pendidikan mengacu kepada makna dan

asal kata yang membentuk pendidikan itu sendiri dalam hubungannya

44 Abdulsyani, Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan, 52. 45 Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial (Jogjakarta:

Ar-Ruzz Media, 2012), 18. 46 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 21.

Page 46: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

41

dengan ajaran Islam. Maka pada konteks ini, perlu juga dikaji hakikat

pendidikan Islam yang didasarkan pada sejumlah istilah yang umum dikenal

dan digunakan para ahli pendidikan Islam.

Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu

al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Setiap istilah tersebut mempunyai

makna yang berbeda karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya.

Walaupum dalam hal-hal tertentu istilah-istilah tersebut juga mempunyai

kesamaan makna.

Dalam Al-Qur’an memang tidak ditemukan secara khusus istilah al-

tarbiyah, tetapi ada istilah yang senada dengan al-tarbiyah, yaitu ar-rabb,

rubbayani, ribbiyun, rabbani. Selain itu, dalam sebuah Hadist Nabi

digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi

makna yang berbeda-beda.

Apabila al-tarbiyah diidentikkan dengan ar-rabb, para ahli

memberikan pengertian yang beragam. Ibnu Abdillah Muhammad bin

Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi memberikan arti ar-rabb dengan pemilik,

Tuan, Yang Maha Memperbaiki, Yang Maha Pengatur, Yang Maha

Menambah, dan Yang Maha Menunaikan. Pengertian ini merupakan

interpretasi dari kata ar-rabb dalam surah Al-Fatihah, dan yang merupakan

nama dan nama-nama Allah dalam Asmaul Husna.

Selanjutnya menurut Fahrurazzi bahwa ar-rabb merupakan fonem

yang seakar dengan al-tarbiyah yang mempunyai makna al-tanmiyah

(pertumbuhan dan perkembangan). Menurutnya, kata rabbayani tidak hanya

Page 47: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

42

mencakup pengajaran yang bersifat ucapan, tetapi juga meliputi pengajaran

sikap dan tingkah laku. Sementara Sayyid Quthb menafsirkan kata

rabbayani sebagai pemelihara anak serta menumbuhkan kematangan sikap

mentalnya.

Selanjutnya, istilah rabbaniyyin disebut dalam Al-Qur’an.

47

Artinya: Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu

selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetapi mempelajarinya. (QS Ali

Imran [3]: 79).

Bahwasannya arti al-tarbiyaah (sebagai padanan dari rabbani),

adalah proses transformasi ilmu pengetahuan. Proses rabbani bermula dari

proses pengenalan, hapalan, dan ingatan yang belum menjangkau proses

pemahaman dan penalaran.

Selain konsep tarbiyah, sering pula digunakan konsep ta’lim untuk

pendidikan Islam. Secara etimologi ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu

semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini, ta’lim

cenderung dipahami sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada

aspek peningkatan intelektualitas anak didik. Kecenderungan semacam ini,

47 Al-Qur’an, 3: 79.

Page 48: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

43

pada batas-batas tertentu telah menimbulkan keberatan pakar pendidikan

untuk memasukkan ta’lim ke dalam pengertian pendidikan.

Sesungguhnya, bila dicermati pemaknaan dari masing-masing

istilah, baik al-tarbiyah, al-ta’lim, maupun al-ta’dib, semuanya merujuk

kepada Allah. Tarbiyah yang ditengarai sebagai kata bentukan dari kata

rabb atau rabba mengacu kepada Allah sebagai Rabb al-alamin. Sementara

ta’lim yang berasal dari kata allama, juga merujuk kepada Allah sebagai

Dzat Yang Maha Alim. Selanjutnya, kata ta’dib seperti ta’dibi, memperjelas

bahwa sumber utama pendidikan adalah Allah. Rasul sendiri menegaskan

bahwa beliau didikan oleh Allah sehingga pendidikan yang beliau peroleh

adalah sebaik-baik pendidikan. Oleh karenanya Rasulullah Saw merupakan

pendidik utama yang harus dijadikan teladan.

Berdasarkan atas pengertian al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib di

atas, para ahli pendidikan Islam juga mencoba memformulasikan hakikat

pendidikan Islam, dan seperti pemaknaan istilah pendidikan, formulasi

hakikat pendidikan Islam ini juga berbeda satu sama lain. Inilah beberapa

diantara formulasi tersebut.48

Hasan Langgulung berpendapat bahwa pendidikan dapat ditinjau dari

dua segi, yaitu dari segi masyarakat dan segi individu. Dari segi masyarakat,

pendidikan berarti pewaris kebudayaan dan generasi tua kepada generasi

muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Sementari dari segi

individu, pendidikan berarti pengembang potensi-potensi yang terpendam

48 Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-

Ruzz Media, 2012), 29-32.

Page 49: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

44

dan tersembunyi. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan dapat

diartikan sebagai pewarisan kebudayaan sekaligus pengembangan potensi-

potensi.

Omar Mohammad at-Toumy al-Syaibany memandang pendidikan

sebagai proses membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki

dalam individu dan kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan

kehidupan.49

Sementara itu, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan didefinisikan sebagai “usaha sadar

dan terancana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa, negara.” 50

8. Dasar Pendidikan Islam

Dasar adalah tempat untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah

memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai

landasan untuk bersirinya sesuatu. Setiap negara mempunyai dasar

pendidikan masing-masing. Oleh karena itu sistem pendidikan setiap bangsa

ini berbeda karena mereka mempunyai falsafah hidup yang berbeda.

Dasar pendidikan Islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup

umat Islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup, suatu negara, sebab

49 Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, 18. 50 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), 32.

Page 50: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

45

sistem pendidikan Islam dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja

tanpa batas waktu tertentu.51

Dasar pendidikan Islam diantaranya:

d. Al-Qur’an

Al-Qur’an dijadikan sumber pertama dan utama dalam pendidikan

Islam, karena nilai absolut didalamnya yang datang dari Tuhan. Umat

Islam sebagai umat yang dianugerahkan Tuhan suatu kitab Al-Qur’an

yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek

kehidupan dan yang bersifat universal. Diamati secara mendalam,

prosentase akan ajaran-ajaran yang berkenaan dengan keimanan tidak

banyak porsinya dibandingkan dengan prosentase akan ajaran tentang

amal perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa amal perbuatan itulah yang

banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia hubungannya

dengan Tuhan, dirinya sendiri, sesama manusia, alam sekitarnya dengan

makhluk lainnya masuk dalam ligkungan amal saleh (syariah), namun

bukan berarti menafsirkan urgensi keimanan dalam Islam. Seperti firman

Allah, sebagai berikut52:

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang

Menciptakan. Dan telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah,

51 Ibid., 187. 52 Al-Qur’an, 96:1-5.

Page 51: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

46

dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan

perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

(QS. Al-Alaq 96:1-5)

Ayat di atas dapat dipaham bahwa (seolah-olah) Tuhan berkata,

hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan menciptakan manusia

(dari segumpal darah). Untuk memperkukuh keyakinan dan

memeliharanya agar tidak luntur, hendaklah melaksanakan pendidikan

dan pengajaran.53

e. As-Sunnah

As-Sunnah menurut bahasa adalah tradisi yang biasa dilakukan

atau jalan yang dilalui (al-Thoriqoh al-Masluhah) baik yang terpuji

maupun yang tercela. As-Sunnah adalah sesuatu yang dinukilkan kepada

nabi, berupa perkataan, perbuatan, taqrir. Amal yang dikerjakan oleh

Rasul dalam proses perubahan sikap sehari-hari menjadi sumber

pendidikan Islam, karena Allah telah menjadikan teladan bagi umatnya.

Sunnah juga berisi aqidah dan syariah. Sunnah berisi petunjuk untuk

kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina

umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Oleh

karena itu Rasul sebagai guru dan pendidik bagi kaum muslim.54

f. Ijtihad

Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran oleh fuqaha’ Islam untuk

menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur’an

53 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1990), 751. 54 Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 39.

Page 52: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

47

dan as-Sunnah dengan syarat-syarat tertentu. Ijtihad dapat dilakukan

dengan ijma’, qiyas, istihsan, mashalih murshalah dan lain-lain.

Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran

Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, hanya berupa

prinsip-prinsip pokok saja. Sejak diturunkan ajaran Islam kepada Nabi

Muhammad SAW sampai sekarang, Islam telah tumbuh dan berkembang

melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial

yang tumbuh berkembang. Untuk melengkapi dan merealisir ajaran Islam

itu memang sangat dibutuhkan ijtihad, sebab globalisasi dari al-Qur’an

dan as-Sunnah saja belum menjamin tujuan pendidikan Islam akan

tercapai.55

9. Tujuan Pendidikan Islam

Membincangkan tujuan pendidikan Islam, sesungguhnya kita

tidak bisa lepas diskusi tentang tujuan hidup manusia. Sebab, tujuan

pendidikan yang paling ideal seharusnya bermuara pada pembentukan

manusia yang ideal. Sementara sosok manusia yang ideal tentulah manusia

yang tujuan hidupnya selaras dengan tujuan penciptanya.

Menurut Ahmad Janan Asifuddin, setidaknya ada empat tujuan hidup

manusia.

e. Tujuan pertama adalah untuk beribadah kepada Allah

f. Tujuan kedua, untuk menjadi khalifah Allah di Bumi

55 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 198-199.

Page 53: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

48

g. Tujuan Hidup manusia muslim yang ketiga , untuk mendapatkan ridha

Allah

h. Tujuan keempat, untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.56

10. Nilai-nilai Pendidikan Islam

Nilai-nilai dalam Islam mengandung dua kategori arti dilihat dari

segi normatif, yaitu baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil, diridai

dan dikutuk oleh Allah SWT. Pendidikan Islam bertujuan pokok pada

pembinan akhlak mulia, maka sistem moral islami yang ditumbuh

kembangkan dalam proses kependidikan adalah norma yang berorientasi

kepada nilai-nilai Islami. Ciri-ciri Islam yang sempurna:

d. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup muslim.

e. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan.

f. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan pada

dasarnya.57

Adapun nilai-nilai pendidikan Islam pada dasarnya berlandaskan

pada nilai-nilai Islam yang meliputi semua aspek kehidupan. Baik itu

mengatur tentang hubungan manusia, dan hubungan manusia dengan

lingkungannya. Dan pendidikan ini bertugas untuk mempertahankan,

menanamkan dan mengembangkan kelangsungan berfungsi nilai-nilai

Islam tersebut.

56 Ibid., 27. 57 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 127-128.

Page 54: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

49

Adapun nilai-nilai Islam apabila ditinjau dari sumbernya, maka

dapat digolongkan dua macam, yaitu:

1). Nilai Ilahi

Nilai ilahi adalah nilai yang dititahkan Tuhan melalui para

Rasulnya, yang berbentuk taqwa, iman, adil, yang diabadikan dalam

wahyu ilahi. Nilai ini merupakan sumber yang pertama dan utama bagi

para penganutnya yang bersifat statis dan kebenarannya mutlak pada

ilahi, tugas manusia adalah menginterprestasikan nilai-nilai. Dengan

interpretasi manusia mampu menghadapi ajaran agama yang dianut.

2). Nilai Insani

Nilai insani ini adalah nilai yang tumbuh atas kesepakatan

manusia serta hidup dan berkembang dari peradapan manusia. Nilai ini

bersifat dinamis dan keberlakuan serta kebenarannya relative yang dapat

dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai insani kemudian melembaga

menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat

anggota masyarakat yang mendukungnya.58

Adapun beberapa nilai-nilai pendidikan Islam diantaranya:

a). Nilai Akhlak

Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab (akhlaqun), jamak dan

(Kholaqo, yakhluqu, kholaqon), yang secara etimologi berasal dari

kata “budi pekerti, tabiat, perangai, adat kebiasaan, perilaku, dan

sopan santun.”

58 Sarisno, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai,” Edukasi, 5 (Januari, 2018), 1.

Page 55: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

50

Jadi akhlak bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong,

membangun peradaban manusia, dan mengobati penyakit sosial dari

jiwa dan mental, jadi tujuan akhlak yang baik untuk mendapatkan

kebahagiaan di dunia dan akhirat. Artinya adalah bahwa akhlak Islam

mengarahkan manusia pada jalan menuju fase kemanusiaan yang

tinggi untuk mencapai kematangan peradaban yang bersumber pada

ketentuan ilahi.59

Menurut Abdullah Dirros, bahwa akhlak adalah suatu kekuatan

dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana

berkombinasi nembawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang

benar (dalam akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal

akhlak yang jahat).

Sedangkan menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan

manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila

dipenuhi dua syarat:

(1) Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang-ulang kali dalam

bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.

(3) Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi-

emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang

datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga

menimbulkan kekuatan, atau bujukan dengan harapan-harapan

yang indah-indah dan lain sebagainya.

59 Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013)

125.

Page 56: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

51

Ada istilah lain yang lazim digunakan di samping kata

akhlak ialah yang disebut etika. Perkataan itu berasal dari kata

Yunani “Ethos” yang berarti adat kebiasaan. Dalam pelajaran

filsafat, etika adalah merupakan bagian dari padanya, dimana

para ahli memberikan takrif dalam redaksi yang berbeda-beda.60

b). Nilai syari’ah

Kata syari’ah adalah bentuk masdar dimana ia merupakan

bentuk asal kata kerja yang tidak mengandung pengertian waktu atau

zaman dan di dalam pengertian syari’at tersebut. Bentuk madi dari

syari’at adalah syara’.

Sedangkan pengertian syari’at dalam istilah ialah yang sering

dipakai dikalangan para ahli hukum islam ialah: “Hukum-hukum

yang yang diciptakan oleh Allah SWT untuk segala hamba-Nya agar

mereka itu mengamalkannya untuk kebahagiaan dunia akhirat, baik

hukum-hukum itu bertalian dengan perbuatan, aqidah dan akhlak.

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan

bahwasannya syari’at itu adalah kumpulan ordonansi yang

diwajibkan Tuhan, berupa aturan-aturan , perintah-perintah dan

larangan-larangan-Nya.61

Tujuan Alah SWT mensyariatkan hukumnya adalah untuk

memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari

60Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009)

182-183. 61 Zuhairi, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 43-44.

Page 57: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

52

kerugian atau kerusakan, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan

tersebut hendak dicapai melalui perintah dan larangan, yang

pelaksaannya tergantung kepada pemahaman sumber hukum yang

utama, Al-Qur’an dan Hadist.

Tujuan syariat Islam perlu diketahui oleh mujtahid dalam

rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara

umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang

kasus-kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur’an dan

Hadist. Lebih dari itu, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka

mengetahui apakah suatu khasus masih dapat diterapkan berdasarkan

satu ketentuan hukum karena adanya perubahan struktur sosial

hukum tersebut dapat diterapkan. Untuk dapat menangkap tujuan

hukum yang terdapat dalam sumber hukum, maka diperlukan sebuah

ketrampilan yang dalam ilmu fikih disebut dengan Maqashid Asy-

Syari’ah. Dengan demikian, pengetahuan Maqashid Asy-syari’ah

menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.62

Dari pernyataan di atas bahwasannya, masyarakat sekitar

Gunung Lima tidak sama sekali melenceng dari ajaran islam atau dari

aturan-aturan/ ketentuan-ketentuan yang telah diperintahkan oleh

Allah SWT. Masyarakat sekitar Gunung Lima tetap menjaga apa

yang telah di larang oleh Allah. Karena masyarakat Gunung Lima

sebagian banyak mengetahui ajaran-ajaran yang telah ditetatapkan

62 Erwin , Materi Pendidikan Agama Islam , 281.

Page 58: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

53

Allah SWT. Walaupun dengan di adakan Upacara Adat Tetaken

namun masyarakat tidak melupakan syari’at sebagai orang Islam.

d) Nilai Ibadah

Yang dimaksud dengan “ibadah” dalam pembahasan ini adalah

ibadah secara universal atau ibadah dalam arti luas, bukan ibadah

dalam arti khusus yang merupakan bagian dari syariah.

Kata “ibadah” adalah bahasa Arab, artinya pengabdian,

penyembahan, ketaatan, merendahkan diri atau berdo’a. Secara

istilah ibadah berarti perbuatan yang dilakukan oleh seseorang

sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan dirinya kepada

Allah sebagai Tuhan yang disembah. Orang yang melakukan ibadah

disebut ‘abid (subjek) dan yang disembah disebut ma’bud (objek).

Semua orang diharapkan Allah sebagai subjek, karena manusia

tersebut harus mengabdi kepada Allah SWT.63

d).Kepedulian Sosial

Kepedulian sosial adalah minat atau keterkaitan kita untuk

membuat lingkungan kita yang berpengaruh besar dalam

menentukan tingkat kepedulian sosial kita. Hidup di dunia ini

diciptakan dua jalan. Pertama hidup senang tetapi tidak banyak

bernilai. Yang kedua hidup susah tetapi bernilai. Jalan hidup susah

mendaki lagi sukar itulah sebenarnya jalan yang harus ditempuh oleh

manusia, itulah jalan benar, itulah jalan yang bernilai.

63 Ibid., 257.

Page 59: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

54

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri

tanpa orang lain. Maka sebagai wujud kepedulian sosial kepada

masyarakat, dia harus menampakkan pengabdian dirinya kepada

masyarakat. Bentuk pengabdian diri ini dapat berupa ikut

berpartisipasi dalam aktivitas di masyarakat. Dalam hal ini termasuk

juga menjaga nama baik suatu warga.

Kepedulian sosial merupakan suatu rangkaian ibadah, hal ini

telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, dalam sabdanya yang

diriwayatkan oleh tabroni dan Anas bin Malik yang artinya: “ Budi

pekerti yang luhur adalah termasuk amalan ahli surga”.

Selanjutnya kepedulian sosial yang menjadi ibadah itu tidak

lepas dari budi pekerti yang luhur atau baik sesuai dengan norma-

norma agama, adat istiadat serta norma-norma yang diatur oleh

peraturan pemerintah. Dalam konteks ini kita harus peka dan proaktif

untuk mewujudkan rasa solidaritas kita dengan membantu saudara-

saudara kita yang tertimpa musiba. Kepedulian kita terhadap

masyarakat dalam bidang pendidikan denan memberikan

pengajaran-pengajaran yang bisa bermanfaat bagi masyarakat luas

secara umum dan bagi anak atau keluarga kita pada khususnya.64

e). Rezeki

Rezeki merupakan karunia dan suatu jaminan yang Allah

janjikan bagi semua makhluk, sehingga hewan yang melata yang

64 Haris Rahma Ahmadi, Nilai-nilai Kepedulian Sosial Dalam Tradisi Bersih Desa Di Dusun

Ngrawan Desa Dolopo Kecamatan Dolopo (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2015), 20-21.

Page 60: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

55

berada pada suatu lobang batu pun akan memperoleh bagian rezeki

sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan bagi makhluk tersebut.

Sehingga menjadi suatu hikmah bagi makhluk lainnya, khususnya

manusia yang dikaruniai akal, untuk dapat berfikir dan merasa yakin

dengan jaminan rezeki baginya.

Rezeki merupakan sesuatu yang menjadi rahasia Allah

terhadap makhluk-makhluknya. Sehingga antara satu makhluk

dengan makhluk lainnya akan memperoleh bagian atau kadar rezeki

yang berbeda-beda, sesuai dengan rahasia dan hikmah yang Allah

tetapkan bagi makhluknya. Sesuai yang Allah berikan dan sesuatu

yang tahan merupakan rezeki yang sesuai dan terbaik bagi setiap

makhluknya.

Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan rezeki

(penghasilan) sebagai penunjang kehidupannya. Untuk memperoleh

rezeki tersebut, manusia harus berusaha dengan bekerja sesuai

kemampuan yang dimiliki masing-masing, maka bekerja merupakan

suatu kewajiban dan merupakan sunnatullah (hukum yang berlaku di

alam) yang harus ditempuh oleh seluruh makhluk, khususnya bagi

manusia. Ketika manusia menghendaki menjadi orang berilmu, maka

tidak bisa hanya dengan duduk berpangku tangan tanpa mengikuti

hukum sebab akibat yang berlaku di alam dunia ini. Ketika manusia

menginginkan makanan dan minuman dengan tanpa berusaha, maka

hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil terjadi. Karena

Page 61: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

56

manusia harus menunjukkan tangan untuk mengambil dan memakan

makanan tersebut, sehingga terpenuhi apa yang diinginkannya.65

f). Sedekah

Kata sedekah berasal dari bahasa Arab, ash-shadaqah. Secara

bahasa bermakna sesuatu yang dijadikan sedekah. Kata ini diambil

dari huruf sha-da-qa. Kata shadaqoh sendiri diambil dari asal kata

ash-shidq “benar”, karena ia menunjukkan kebenaran ibadah untuk

Allah. Menur Al-Jurjani, sedekah adalah pemberian yang diberikan

untuk mengharap pahala Allah. Sementara Ar-Raghib al-Insfahani

mengatakan, “ Sedekah adalah harta yang dikeluarkan manusia untuk

mendekatkan diri kepada Allah, seperti zakat. Bedanya sedekah

untuk mendekatkan diri kepada Aklah Swt, seperti zakat. Bedanya,

sedekah untuk kategori sunnah, zakat untuk yang wajib.”66 Menurut

terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan infak, termasuk

juga hukun dan ketentuan-ketentuannya.67

Secara umum, shadaqah memiliki pengertian memberikan

harta di jalan Allah Swt, baik harta tersebut diberikan kepada

keluarga yang miskin maupun kepada yang lainnya. Makna shadaqah

memang sering dikonotasikan dengan memberikan harta untuk

kepentingan tertentu di jalan Allah Swt. Begitu pun di dalam Al-

65 Achmad Kurniawan Pasmadi, Konsep Rezeki Dalam Pandangan Para Pedagang Pasar

(Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009), 1-2. 66 Hasan Hammam, Dahsyatnya Terapi Sedekah (Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007), 11. 67 M. Suhadi, Dahsyatnya Sedekah Tahajud Dhuha & Santuni Anak Yatim (Surakarta: Ziyad

Visi Media, 2012), 12

Page 62: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

57

Qur’an, banyak yang menjelaskan mengenai shadaqah dengan harta.

Diantaranya dalah firman Allah Swt. Berikut:

...

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan

menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan

hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah

dan hari kemudian.”(Qs. Al-Baqarah:264)

Rasulullah Saw. menjelaskan di dalam haditsnya mengenai

shadaqah dalam arti yang sangat luas. Hadits yang telah disebutkan

sebelumnya merupakan sebuah jawaban yang diberikan oleh

Rasulullah Swt. kepada para sahabatnya yang tidak mampu secara

maksimal bershadaqah dengan harta. Berikut ini macam-macam

shadaqah yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw:

(1). Membaca Tasbih, Tahlil dan Tahmid: Rasulullah Saw

menjelaskan setiap tasbih, tahlil dan tahmid adalah shadaqah.

Oleh karena itu, para sahabat diminta oleh Rasululullah Saw,

untuk memperbanyak membaca tasbih, tahlil dan tahmid atau

dzikir lainnya sebagai bentuk lain dari shadaqah. Sebab,

perbuatan tersebut bernilai ibadah bagi Allah Swt.

(2). Amar Ma’ruf Nahi Munkar juga merupakan shadaqah, sebab

untuk mewujudkan diperlukan tenaga, pikiran, waktu, dan

perasaan. Dan, semua itu terhitung dalam shadaqah.

Page 63: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

58

(3). Berlomba-lomba dalam Amalan Sehari-hari.68

6.Kebudayaan dan Tradisi

Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan

soal kebudayaan. Juga dalam kehidupan sehari-hari, orang tak mungkin

tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang melihat,

mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan.

Kata “Kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhi yang

merupakan jamak kata “buddhi” yang berarti budi yang artinya akal.

Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau

akal.69

Kebudayaan= cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris) =

tsaqafah (bahasa Arab) berasal dari perkataan latin “Colore” yang artinya

mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari segi arti

ini berkembanglah arti culture sebagai segala daya dan aktivitas manusia

untuk mengolah dan mengubah alam.

Kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang

meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagama, hukum, adat

istiadat, serta lain-lain kenyataan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan

manusia sebagai anggota masyarakat.70

Definisi kebudayaan menurut beberapa para ahli diantaranya sebagai

berikut:

68 Muhammad Habibillah, Raih Berkah Harta Dengan Sedekah & Silaturahmi: Cara Hidup

Kaya Harta & Kaya Hati (Jakarta: Sabil, 2013), 39-44. 69 Suryono, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 187. 70 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 50.

Page 64: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

59

c. E.B Tylor bahwa kebudayaan adalah kompleks nyang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain

kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan

oleh manusia sebagai anggota masyarakat

d. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merupakan kebudayaan

sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat

menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan

jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam

sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan

masyarakat.71

Sedangkan tradisi menurut Parsudi Suparlan merupakan unsur sosial

budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah.

Secara garis besarnya tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam

masyarakat disebut pranata. Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka

dan umum, kompetitif dan konflik yang menekankan legalitas, seperti

pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi, dan pasar, berbagai pranata

hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.72

Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang

multikompleks dan dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan

masyarakat sekaligus sebagai pengejawantahan nilai-nilai universal

manusia. Nilai-nilai tradisi dapat dipertahankan sejauh di dalam diri mereka

71 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali

Pers, 2012.)150-151 72 Jalaludin, Psikologi Agama, 224.

Page 65: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

60

terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi

mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan

martabatnya. Tradisi dapat dijadikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam.

Penerimaan tradisi ini memiliki beberapa syarat, yakni: tidak bertentangan

dengan ketentuan nash pokok, baik Al-Qur’an dan Sunnah, tradisi yang tidak

bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak

mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan kemunduran.73

Dalam arti sempit tradisi adalah kumpulan benda material dan

gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu. Tradisi juga

mengalami peubahan. Tradisi lahir disaat tertentu ketika ketika orang-orang

menetapkan fragmen tertentu dari wawasan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi

berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi

tertentu dan mengabaikan fregmen yang lain.

Tradisi lahir melalui dua cara. Cara pertama, muncul dari bawah

melalui mekanisme kemunculan secara sepontan dan tak akan diharapkan

serta melibatkan rakyat banyak. Perubahan tradisi juga disebabkan banyak

tradisi dan bentrokan antara tradisi yang satu dengan saingannya.74

7.Upacara Adat Tetaken

Upacara adat merupakan salah satu bentuk realisasi wujud

kebudayaan yang berupa suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari

manusia dalam masyarakat atau sering disebut supaistem sosial. Sistem

73 Muhammad Muntahibun , Ilmu Pendidikan Islam , 44-45 74 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media, 2004), 72

Page 66: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

61

sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi dari

waktu ke waktu berdasarkan adat tata kelakuan.75

Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara

kelahiran, upacara perkawinan, upacara religi, upacara kematian, upacara

sedekah bumi, upacara bersaji.76

Keyakinan masyarakat sekitar Gunung Lima yang masih menganggap

memiliki nilai magis diwujudkan dengan bentuk upacara atau ritual di daerah

tersebut. Namanya adalah upacara adat Tetaken. Upacara ini dilaksanakan

pada tanggal 15 Muharram/Suro di pelataran Gunung Lima.

Upacara berbentuk ritual ini sudah turun temurun dilaksanakan

masyarakat di lereng Gunung Lima, tempatnya berada di Desa Mantren,

Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan. Ritual upacara Tetaken ini

merupakan upacara bersih desa atau sedekah bumi. Model dari ritual ini

adalah ketika sang juru kunci Gunung Lima, Somo Naryo turun gunung.

Bersamaan anak buahnya yang berjumlah 16 anak buahnya, yang sekaligus

sebagai muridnya dan akan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Tetaken

adalah tradisi khas masyarakat sekitar Gunung Lima yang masih dipelihara

dengan baik hingga sekarang. Bagi masyarakat Pacitan, Gunung Lima

adalah simbol kekuatan dan nilai spiritual, sehingga ritual tetaken menjadi

budaya yang unik dam bernuansa spiritual juga.

75 Sri Endahwati,” Upacara Adat Jolenan di Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo,”

Eduksi, 5 (Januari, 2018), 65. 76 Koentjaranungrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI-PRESS, 2014), 67.

Page 67: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

62

Tetaken berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “teteki” atau

maknanya adalah pertapaan. Tidak heran dalam pelaksanaan upacara ini

suasananya sangat religius yang kental namun sederhana menandai ritual ini.

Sejarah diadakan upacara ini bermula dari kisah Kyai Tunggul Wulung dan

Mbah Brayut mengembara. Tujuannya adalah menyebarkan agama Islam di

Tanah Jawa. Namun, dalam perjalanan keduanya berpisah, Mbah Brayat

memilih tinggal di Sidomulyo, sedangkan Kyai Tunggul Wulung memilih

lokasi di puncak Gunung Lima yang tempatnya di Desa Mantren. Kyai

Tunggul Wulung merupakan orang yang pertama kali babat alas di kawasan

Gunung Lima dan di situlah Kyai Tunggul Wulung juga menyebarkan

agama Islam agar masyarakat Desa Mantren tidak ada yang menyembah

selain Allah Swt.

Page 68: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

63

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif, karena

dalam proses penelitian, peneliti mengharapkan mampu memperoleh data dari

orang-orang yang diamati baik tertulis maupun lisan. Sehingga penelitian ini

mampu mengungkapkan informasi tentang nilai-nilai pendidikan Islam dalam

tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima di Desa Mantren, Kecamatan

Kebonagung, Kabupaten Pacitan.

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat gambaran atau

lukisan secara sistemati, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat antara

fenomena yang diselidiki. Karena memang penelitian ini juga meneliti

kondisi sosial di masyarakat sekitar, maka penelitian sosial dapat diterapkan

dalam penlitian ini.

Penelitian sosial merupakan proses yang terencana dan sistematik

untuk menganalisis fakta atau fenomena sosial dalam masyarakat baik

sebagian maupun secara keseluruhannya dan membantu memecahkan

masalah mereka dengan keahlian seorang ilmuwan.77

2. Kehadiran Peneliti

77 Bambang Rustanto, Penelitian Kualitatif Pekerjaan Sosial (Bandung: PT. Remaja

Rosdakaya, 2015), 2.

Page 69: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

64

Kehadiran peneliti dalam penelitian ini sangatlah penting. Kehadiran

peneliti disini merupakan perencanaan, pelaksanaan, pengumpulan data,

analisi, penafsiran data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil

penelitiannya.78

Penelitian ini berlangsung dengan kehadiran di lapangan, pertama

menemui ketua panitia atau pelaksana kegiatan Tradisi upacara adat Tetaken,

kemudian dengan dilanjutkan untuk melakukan observasi dan wawancara

dengan beberapa tokoh dan masyarakat yang faham mengenai pelaksanaan

upacara adat tersebut.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung,

Kabupaten Pacitan. Alasan peneliti melakukan penelitian ini di Desa Mantren

dikarenakan di Desa Mantren merupakan bagian dari Kota Pacitan yang sudah

sangat maju tetapi ternyata masih ada tradisi upacara adat Tetaken Gunung

Lima yang dilakukan setiap tanggal 15 Muharram/Suro atas wujud rasa

syukur masyarakat yang tinggal di sekitar lereng gunung.

4. Sumber Data

Sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan

tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lainnya. Dengan

demikian sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan

sebagai sumber utama, sedangkan sumber data tertulis, foto dan statistik

78 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003),

112.

Page 70: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

65

adalah sumber tambahan.79 Pada penelitian ini yang nantinya menjadi sumber

data adalah informan yang jumlahnya tidak terbatas karena sifat penelitian ini

adalah kualitatif. Yang sekurang-kurangnya lima informan yaitu: kepala desa,

juru kunci, pelaksana, tokoh agama, dan pengunjung. Sedangkan sumber data

yang diperoleh dari hasil observasi lapangan, data tertulis, dan dokumentasi.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dapat digunakan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam pengumpulan data-data penelitian

ini melibatkan beberapa informan untuk memperoleh data tentang nilai-nilai

pendidikan Islam dalam tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima.

Peneliti dapat melaksanakan penelitian untuk mengumpulkan data

agar tidak terjadi kerancuan, maka tidak lepas dari metode di atas yaitu

penelitimenggunakan teknik:

a. Teknik Observasi

Observasi adalah sebagai aktifitas untuk memperhatikan sesuatu

dengan menggunakan alat indra, yaitu melalui penglihatan, penciuman,

pendengaran, peraba, dan pengecap.80

Alasan digunakan teknik observasi ini salah satunya adalah

pengamatan didasarkan pada pengalaman secara langsung. Selain itu

teknik ini memungkinkan peneliti untuk melihat dan mengamati sendiri,

kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada

keadaan yang sebenarnya.

79 Ibid., 112. 80 Sugiyono, Metode Penelitian uantitatif kualitatif dan R&D (Bandung:Alfabeta, 2007), 225.

Page 71: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

66

Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan

dengan pelaksanaan dan nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi upacara

adat Tetaken Gunung Lima di Desa Mantren.

b. Teknik Wawancara

Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara

menanyakan sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau

responden.81

Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang digunakan adalah

wawancara mendalam. Maksudnya adalah peneliti mengajukan beberapa

pertanyaan secara mendalam sehingga data-data dapat terkumpul

semaksimal mungkin.

Dalam penelitian ini, orang-orang yang akan dijadikan informan

adalah;

1). Juru Kunci Gunung Lima, untuk memperoleh informan mengenai

tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima di Desa Mantren,

Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan.

2). Bapak Kepala Desa Mantren, untuk mengetahui kenapa diadakan

tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima.

3). Ketua Pelaksana, untuk mengetahui persiapan apa saja yang harus

dipersiapkan dalam proses pelaksanaan upacara adat Tetaken

Gunung Lima

81 Afifuddin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2009), 131.

Page 72: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

67

3). Tokoh agama Desa Mantren, untuk mengetahui pandangan tradisi

menurut agama Islam.

4). Masyarakat Desa Mantren untuk memperoleh tanggapan mengenai

tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima.

c. Teknik Dokumentasi

Dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan

menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,

gambar maupun elektronik.82

Teknik dokumentasi yang akan dilakukan peneliti bertujuan untuk

mendapatkan data mengenai:

1). Latar belakang di adakannya tradisi upacara adat Tetaken Gunung

Lima.

2). Tujuan diadakannya tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima.

3). Manfaat diadakannya tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima.

11. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

dokumentasi.83

Teknik analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis deduktif,

keterangan-keterangan yang bersifat umum menjadi pengertian khusus yang

82 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2013), 221.

83 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif,Kuantitatif, dan R&D

(Bandung: Alfabeta, 2015), 335.

Page 73: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

68

terperinci, baik yang diperoleh dari lapangan maupun kepustakaan.

Sedangkan aktifitas dalam analisis data mengikuti konsep yang diberikan

Miles dan Huberman yang mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis

kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus

sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Adapun dalam analisis data meliputi

data reduction, data display, dan conclusion.84 Ketiga tahap ini dijelaskan

sebagai berikut:

a. Data Reduction (reduksi data), berarti merangkum, memilih hal-hal yang

pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya

dan membuang yang tidak perlu.

b. Data Display (penyajian data), setelah data direduksi, maka langkah

selanjutnya adalah mendisplayka data., maka data akan terorganisasikan,

tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah difahami.

c. Conclusion/verivication, yakni penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan dalam penelitian mengungkap temuan berupa hasil deskripsi

yang sebelumnya masih kurang jelas kemudian diteliti menjadi lebih jelas

dan diambil kesimpulan.85

12. Pengecekan Keabsahan Temuan

Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari

konsep kesahihan (validitas) dan keabsahan (reliabilitas).86 Derajat

kepercayaan keabsahan data (kredibilitas data) dapat dilakukan pengecekan

84 Ibid, 337. 85 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, 338. 86 Lexy Moelong, Metodologi Penenelitian Kualitatif, 171.

Page 74: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

69

dengan teknik pengamatan yang tekun dan trianggulasi. Ketekunan

pengmatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam

situasi yang sangat relevan persoalan atau isi yang sedang dicari. Dari ketiga

teknik pengecekan keabsahan data tersebut peneliti menggunakan teknik

triangulasi sebagai berikut:

a. Triangulasi

Adalah teknik pemeriksa keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data itu. Triangulasi dibedakan menjadi empat,

yaitu: sumber, metode, penyidik, dan teori.

Peneliti ini menggunakan teknik triangulasi dengan pemanfaatan

sumber dan penyidik. Teknik triangulasi dengan sumber, berarti

membandingkan data dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam

metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai peneliti dengan jalan:

1).Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2). Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi.

3). Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang penelitian

dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

Teknik triangulasi dengan penyidik, artinya dengan jalan

memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan

Page 75: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

70

pengecekan kembali derajat kepercayaan. Pemanfaatan pengamatan

lainnya membantu mengurangi kemelencengan dalam pengumpulan data.

13. Tahap-tahap Penelitian

Tahapan-tahapan penelitian dalam penelitian ini ada tiga tahapan

ditambah dengan tahapan terakhir dari penelitian yaitu tahapan penulisan

laporan hasil penelitian. Tahapan-tahapan tersebut adalah:

a. Tahap pra lapangan, yang meliputi penyusunan rancana penelitian,

memilih lapangan penelitian, pengurus perizinan, penjajakan awal di

lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan penelitian

dan yang menyangkut persoalan etika penelitian.

b. Tahap pekerja lapangan, yang meliputi; memahami latar belakang peneliti

dan persiapan diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil

mengumpulkan data.

c. Tahap analisis data, yang meliputi analisis lama dan setelah pengumpulan

data.

d. Tahapan penulisan laporan penelitian.

BAB IV

DESKRIPSI DATA

A. Deskripsi Data Umum

1. Asal Mula Desa Mantren

Page 76: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

71

Menurut cerita dari nenek moyang Desa Mantren dihuni sejak zaman

Kerajaan Islam Demak Bintoro. Disitu belum ada Desa, masih hutan rimba

padat. Hutan rimba tersebut disebut SOKO LIMA dikenal dengan Gunung

Lima, dan Goa Pertapan Soko Panca (Gunung Lima). Disitulah yang

menduduki pertama pertapan Gunung Lima yang merupakan Putra Raja

Kerajaan Majapahit selama bertahun-tahun.87

Pada suatu waktu datanglah saudara sepupu anak Kerajaan Majapahit

yang diikuti lima teman para Mantri Kerajaan tersebut. Adapun maksud

kedatangan saudaranya tersebut adalah mengajak pulang untuk membantu

mendirikan Kerajaan Islam di Demak Bintoro. Namun gagal, singkatnya

kakak tidak mau pulang dia berdo’a membantu kebatinan dengan memohon

Mantri satu untuk tinggal di Gunung Lima untuk memperluaskan wilayah

kerajaan Islam. Seorang mantri tersebut diberi nama Ki Ageng Bacuk. Ki

Ageng Bacuk sebagai cikal bakal Desa. Karena Ki Ageng menjabat sebagai

Mantri lingkungan yang disebut kemantren. Kemudian desa itu dinamakan

Desa Mantren. Kemudian daerah yang ditempati pertama dinamakan dusun

Krajan karena penciptanya dari Kerajaan. Kemudian berdirilah sebuah Desa

dan sebuah Dusun. Ki Ageng Bacuk hanya nama samaran di situ hanya

menjabat Demang membawahi 3 kepala Desa Kemantren. Demang Bacuk

kisah Babat Turmecuk purbakala Desa. Ki Demang menyusun 5 kamituwan

dan 5 dusun. Nama wilayah lingkungan tersebut adalah: 1) Dusun Krajan

yang berasal dari nama Kerajaan, 2) Dusun Juwono berasal dari hijau dan

87 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018

Page 77: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

72

wono, 3) Dusun Klagen disini tempat pohon kelapa dan air nira, 4) Dusun

Wates sebagai batasan dan 5) Dusun Kebak penuh penghasilan dan

kesadaran.88

2. Keadaan Geografis Desa Mantren

Desa Mantren terletak di Kecamatan Kebonagung, Kabupaten

Pacitan. Secara strategis Desa Mantren terletak di sebelah timur Kota

Pacitan jaraknya kurang lebih 15 km dari pusat kota Pacitan melewati Jalur

Lintas Selatan (JLS). Secara geografis merupakan dataran tinggi dengan

ketinggian ± 500 meter di atas permukaan laut dan sebagian besar

merupakan pegunungan.

Desa Mantren secara administratif berada di Kecamatan Kebonagung

dengan batas-batas wilayahnya adalah:89

a. Sebelah Barat : Desa Gawang

b. Sebelah Utara : Desa Gembuk

c. Sebelah Selatan : Desa Sidomulyo

d. Sebelah Timur : Desa Worawari

Pembagian wilayah desa secara administratif yaitu dari 5 dusun, 8

RT dan 20 RW. Kelima dusun tersebut adalah:

a. Dusun Krajan cetakan dari kerajaan

b. Dusun Juwono yang berasal dari Hijau dan wono (alias ijo, hutan)

c. Dusun Klagen disini tempat kelapa yang airnya legi (manis) dan

punya legen (nira)

88 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018 89 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018

Page 78: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

73

d. Dusun Wates sebagai batas (kuat dan menetas akan penghasilan

alamnya)

e. Dusun Kebak yang artinya penuh penghasilan dan kesadaran

Untuk mengetahui keadaan cuaca di suatu daerah di tentukan atas

dasar rata-rata cuaca pada suatu tempat dalam jangka panjang. Untuk

mengetahui hal tersebut diperlukan data tentang faktor yang membentuk

iklim yaitu suhu, angin, dan hujan. Berdasarkan perhitungan maka daerah

di Desa Mantren Kecamatan Kebonagung termasuk daerah yang bersuhu

sedang dengan curah hujan kurang. Dengan demikian Desa Mantren

Kecamatan Kebonagung tergolong beriklim tropis.90

3. Keadaan Demografis Desa Mantren

Desa Mantren hanya terdiri dari 5 dusun dengan jumlah penduduk

2006 Jiwa atau 432 KK.

Jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki 1101, perempuan

905 dan kepala keluarga 432. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Mantren

berdasarkan umur dengan perincian sebagai berikut: umur kurang 65

berjumlah 236, umur 61-65 berjumlah 92, 56-60 berjumlah 105, umur 51-

55 berjumlah 132, umur 46-50 berjumlah 129, 41-45 berjumlah 144, umur

36-40 berjumlah 148, umur 31-35 berjumlah 142, umur 26-30 berjumlah

156, umur 21-25 umur 146, umur 16-20 berjumlah 149, umur 11-15

berjumlah 154, umur 6-10 berjumlah 110 dan umur kurang 5 tahun

berjumlah 163 jadi jumlah semuanya 2006 jiwa.91

90 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 91 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018.

Page 79: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

74

4. Kondisi Pemerintahan Desa Mantren

Penjelasan kondisi Pemerintahan Desa Mantren diberikan, untuk

melihat gambaran ruang lingkup kerja yang mengemban tugas pelayanan

masyarakat. Desa Mantren Menganut sistem kelembagaan pemerintah Desa

dengan pola minimal, selengkapnya sebagai berikut:

Susunan Organisasi Tata Kerja Pemerintah Desa Mantren

Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan

Kepala Desa

Ismail

Sekretaris Desa

-

Ketua BPD

Aris Sunarso

Kaur Pemerintahan

Bambang H

Kaur Keuangan

Dwi Haryani

Kaur Pembangunan

Kaur Kesra

Pelaksana Teknis

-

Pelaksana Teknis

Pelaksana Teknis

Ketua LPMD

Sunaryo

Page 80: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

75

5. Keagamaan Desa Mantren

Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Mantren Kecamatan

Kebonagung Kabupaten Pacitan yakni Islam dengan prosentasi 100%.

B. Deskripsi Data Khusus

1. Latar Belakang Upacara Adat Tetaken Gunung Lima Di Desa Mantren

Page 81: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

76

Salah satu kebudayaan yang ada di Pacitan adalah upacara adat

Tetaken Gunung Lima di Desa Mantren. Masyarakat di Desa Mantren tidak

akan melakukan suatu adat apabila tidak ada yang melatar belakangi atau

keyakinan yang ada di sekitar kehidupan mereka. Upacara adat Tetaken

dilaksanakan karena berhubungan dengan keberadaan Gunung Lima di

Desa Mantren dan sejarah leluhur mereka yang babat alas untuk membuat

lahan sehingga jadilah Desa Mantren dan disinilah disebarkannya Agama

Islam di Pacitan.92

Gunung Lima adalah gunung yang mengayomi kota Pacitan. Banyak

masyarakat yang menganggap Gunung Lima adalah gunung yang berjejer

lima yaitu Gunung Gembuk, Gunung Pakis Cakar, Gunung Lanang,

Gunung Kukusan dan Gunung Lima di Desa Mantren. Padahal pada

kenyataannya Gunung Lima hanya terdapat satu puncak Gunung saja.

Namun Gunung Lima hanya sebagai isyarat bahwa “Lima” itu berarti

perintah Allah SWT dalam menjalankan ibadah shalat fardhu lima waktu.

Sejarahnya menurut Bapal Ismail dalam wawancara:

Zaman biyen iku, Sultan Agung Tindak Mekkah lan kundur mbeta

kundur bendera 2. Ingkang setunggal ditancapke wonten Mataram,

ingkang setunggal ditancepke wonten Pacitan, tempate ing Puncak

Gunung Lima. Benderane iku warnane ijo, ukurane 2,5 meter

ingkang tulisanipun ing tengahe bendera “inna a’toina kalkautsar”

ingkang artosipun “Sesunggunya kami telah berikan kepadamu

nikmat yang banyak maka maka dirikanlah shalat lima waktu”. Lan

ing pinggir e tulisane “Lhailahailallahmuhammadanrasulluloh.93

92 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 93 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 82: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

77

Dari hasil wawancara dengan kepala Desa Mantren Bapak Ismail

menceritakan bahwa sejarah keberadaan Gunung Lima diawali dengan

perjalanan Sultan Agung ke Mekkah yang kemudian kembali ke Jawa

dengan membawa dua bendera yang bertulisan “inna a’toina kalkautsar”

yang artinya “Sesunggunya kami telah berikan kepadamu nikmat yang

banyak maka dirikanlah shalat lima waktu”. Dimana satu bendera

ditancapkan di Mataram dan yang satunya di tancapkan di Pacitan yaitu di

Desa Mantren tempatnya di pucak Gunung Lima.94

Cerita dimulai saat kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan

yang menjadi Raja Majapahit adalah Brawijaya V, dimana Putra Brawijaya

V menikah dengan seorang putri Cina dan menurut kepercayaan

masyarakat Jawa, bila orang Jawa menikah dengan orang Cina maka orang

Jawa tersebut akan kalah dalam segala hal. Brawijaya V menyadari hal

tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga bila

hara-huru benar-benar terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah

Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk

bersemedi di Gunung Lima. Ki Tunggul Wulung berangkat ke Gunung

Lima setelah menerima arahan Brawijaya V, sesampai di Gunung Lima Ki

Tunggul Wulung bertemu dengan seseorang yang sakti.95

Disaat itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir

utara pulau Jawa, karena tidak ingin masuk Islam ketiga saudara Ki

Tunggul Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling, dan Ki Tiyoso.

94 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 95 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018.

Page 83: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

78

Namun, mereka berempat bukan saudara kandung melainkan saudara

seperguruan. Ki Brayut, Ki Buwana Keling, dan Ki Tiyoso melarikan diri

ke daerah selatan sesuai dengan petunjuk gurunya.96

Berjalanlah selama 40 hari dan setelah mencapai tempat yang tinggi

lihatlah kearah bawah bila kalian melihat tempat yang datar, tempat itulah

yang dinamakan “ Alas Wengker Kidul”. Setelah sesampainya di Wengker

Kidul perjalanan mereka dibagi tiga yakni Ki Buwana Keling Lewat

sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah

hutan.97

Saat kemudian Majapahit benar-benar mengalami hara-huru besar

dan Ki Tunggul Wulung turun Gunung, namun beliau tidak bisa

memadamkan hara-huru tersebut kemudian Ki Tunggul Wulung

memutuskaan untuk mencari ketiga saudaranya dengan meminta petunjuk

dari sang guru namun sang guru dalam keadaan kritis dan dalam hembusan

nafas terakhirnya ia berpesan untuk me nggali makam dengan

tongkatnya.98

Setelah peristiwa tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga

saudaranya dan sampailah di tempat yang dinamakan Astono Genthong,

dari situ ia melihat gunung yang berjejer empat (tidak lima bila dilihat dari

Astono Genthong). Kemudian mempunyai firasat bila saudaranya berada

di gugusan gunung tersebut, namun sesampainya di gunung ia tidak

96 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 97 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 98 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018.

Page 84: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

79

menemukan saudaranya. Dari gugusan gunung yang berjumlah lima salah

satunya adalah tempat untuk bertapa.99

Ki Tunggul Wulung adalah orang pertama yang membuka lahan atau

babat alas di sekitar Gunung Lima.100Untuk mencapai pertapan harus

banyak melewati rintangan seperti tangga selain itu itu harus menembus

hutan lebat, tebing yang terjal dan batu belah (selo matangkep). Batu belah

tersebut dipercaya apabila pengunjung memiliki niatan yang jahat maka

tidak akan bisa melewatinya, sementara itu bagi yang berniatan baik untuk

berkunjung ke pertapaan walaupun berbadan besar maupun kecil bisa

melewatinya.101

2. Proses Pelaksanaan Tradisi Upacara Adat Tetaken Gunung Lima

a. Waktu

Pada zaman dahulu 40 hari 40 malam sebelum diadakan proses

pelaksanaan upacara adat Tetaken para murid harus melakukan semedi

di puncak Gunung Lima, demi untuk mendapatkan ilmu kesaktian.

Namun seiring dengan pekerkembangan zaman sejak tahun 2004 tidak

ada semedi selama 40 hari 40 malam karena orang pada zaman dahulu

dengan yang sekarang kekuatan daya tubuhnya sudah berbeda.

Sehingga juru kunci hanya menyarankan untuk bertapa selama 2 sampai

3 hari saja karena melihat dari pengalaman yang sebelumnya yakni ada

seorang pemuda yang ingin bertapa di puncak Gunung Lima selama 30

hari. Namun seseorang tersebut meninggal dunia karena diduga tidak

99 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 100 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 101 Lihat Transkrip Observasi nomor: 02/O/10-X/2018.

Page 85: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

80

kuat untuk melakukan puasa selama semedi berlangsung. Hal tersebut

senada dengan pernyataan Bapak Sunaryo, selaku juru kunci Gunung

Lima adalah sebagai berikut:

zaman dahulu sebelum diadakan proses pelaksanaan upacara

adat Tetaken, para murid harus bertapa selama 40 hari 40 malam.

Namun ada kejadian pertapa meninggal saat bersemedi karena

saat semedi harus tirakat yaitu puasa, tanpa makan dan minum

demi mendapatkan kesaktian. Sehingga mulai tahun 2004 saya

hanya membatasi seseorang yang ingin bertapa di puncak

Gunung Lima selama 2-3 hari saja, saya juga tidak memaksa,

kalau tidak kuat tidak meneruskan bertapa juga tidak apa-apa.

Demi keselamatan mereka.102

Setelah para murid selesai bertapa, para murid turun dari puncak

Gunung Lima yang di sambut oleh juru kunci, pejabat dan para

masyarakat yang melihat pelaksanaan upacara adat Tetaken di Desa

Mantren. Tepatnya pada bulan Muharram (Suro) yaitu tanggal 15

Muharram. Upacara adat Tetaken ini dilaksanakan pada bakda luhur

sekitar jam 13.00 WIB. Pada saat proses pelaksaan upacara tersebut para

peserta paraga iring-iringan menggunakan pakaian adat Jawa sedangkan

para murid dan Juru Kuncu berpakaian putih dan bersorban. Hal

tersebut senada dengan pernyataan Bapak Sunaryo, selaku Juru Kunci

Gunung Lima adalah sebagai berikut:

Upacara adat Tetaken dilaksanakan setiap tahun sekali. Upacara ini

dilaksanakan untuk menyambut sang murid setelah bertapa dan kembali ke

tengah-tengah masyarakat.Tepatnya tanggal 15 Muharram atau Suro

pelaksanaannya habis luhur jam satu. Para peserta upacara yang mendapat

bagian iring-iringan memakai pakaian adat Jawa, dan murid dengan juru

kunci memakai pakaian putih dengan menggunakan sorban.103

102 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 103 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 86: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

81

Hal ini senada dengan hasil wawancara dari Bapak Bambang

Hardiyanto selaku pelaksana upacara adat Tetaken yakni “Upacara adat

Tetaken dilaksanakan pada bulan Muharram/Suro tepatnya tanggal 15

Muharram/Suro yang bertempat di Lapangan Parkir Gunung lima Desa

Mantren Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan”.104

Hal ini senada dengan hasil wawancara Bapak Suyanto selaku

pengunjung yakni “ Setiap tanggal 15 Muharram di desa Mantren selalu

mengadakan upacara adat Tetaken yang sudah menjadi budaya di desa”.105

Pada zaman dahulu sebelum proses pelaksanaan upacara adat

Tetaken para murid melakukan semedi selama 40 hari 40 malam, mereka

harus tirakat yakni selama bertapa tidak diperbolehkan makan ataupu

minum. Namun ada kejadian seseorang meninggal yang bertapa di Gunung

Lima, sehingga sejak tahun 2004 juru kunci membatasi seseorang yang

ingin bertapa selama 2 sampai tiga hari. Setelah pertapa selesai, para murid

turun ke tengah-tengah masyarakat dengan disambut oleh juru kunci dan

para masyarakat sekitar yang melihat proses pelaksanaan pada tanggal 15

Muharram/sura, yang dilaksanakan pada bakda luhur sekitar jam 13.00

WIB.

b. Perencanaan

Pertama, membutuhkan murid yang akan melakukan semedi di

puncak Gunung Lima, pada zaman dahulu yang dibutuhkan 16 murid

pertapa. Namun sejak tahun 2004 hanya membutuhkan 6 murid, karena

104 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 105 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 87: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

82

di zaman sekarang sangat sulit mencari anak muda yang mau dijadikan

sebagai murid untuk bertapa, karena kebanyakan masih anak sekolah.

Hal ini senada dengan hasil wawancara dengan Bapak Sunaryo selaku

juru kunci” Pada zaman dulu murid yang dibutuhkan untuk bertapa ada

16 namun sejak tahun 2004 hanya membutuhkan 6 murid karena banyak

yang tidak minat mengikuti dan kebanyakan masih anak sekolah”.106

Kedua, persiapakan yang dibutuhkan oleh para pertapa yakni: a)

sebo berarti menghadap, dalam hal ini yang dilakukan oleh seorang

yang ingin mendaftar sebagai murid untuk menuntut ilmu. Dan juru

kunci memberikan pengarahan kepada calon murid memberikan urutan

dalam memberikan ilmu kanoragan yakni harus semedi di puncak

gunung dan juga harus berpuasa. b) Cantrik yakni apabila sudah

memenuhi pengarahan dari juru kunci, dan sudah mendapatkan ilmu

yang didapatkan melalui semedi harus digunakan untuk kebaikan, maka

sang murid ketika bersemedi tidak boleh memiliki niatan yang jelek. Itu

akan membahayakan dirinya sendiri. c) semedi dilakukan di pertapan

puncak Gunung Lima yaitu semacam goa. Disekitar pertapan Gunung

Lima banyak terdapat tanaman dan pepohonan yang dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. d) Thontongan adalah alat

komunikasi tradisional yang terbuat dari bambu yang dilubangi bagian

depan. Cara menyembunyikannya dengan cara memukul yang tidak

106 Lihat Transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 88: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

83

berongga. Ketika kentongan ini dibunyikan, maka pertanda upacara

adat Tetaken akan dimulai.107

Dalam mempersiapkan proses pelaksanaan upacara adat

Tetaken Gunung Lima membutuhkan banyak persiapan, yakni panitia

harus merapatkan dengan pemerintah desa atau lembaga Desa agar

dalam pelaksanaannya berjalan lancar dan sukses. Selain itu diperlukan

latihan-latihan yang ekstra. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak

Bambang Hardiyanto selaku pelaksana tradisi upacara adat Tetaken

sebagai berikut:

Untuk persiapan segala sesuatu tentang upacara adat Tetaken

diperlukan rapat koordinasi pemerintah desa dengan lembaga Desa

beserta masyarakat demi kelancaran dan kesuksesan Upacara Adat.

Selain itu diperlukan latihan-latihan seperti pada seni karawitan, seni

gamelan, seni suara, seni tari. Terkait dengan hal diatas diperlukan

penyelarasan antara gamelan dengan tarian dan suara penyanyi

(sinden). Selain itu para personil Upacara Adat Tetaken (paraga)

langkah kaki harus selarasa dengan gamelan. Kesimpulannya

dibutuhkan sekitar satu bulan untuk mempersiapkan segala sesuatu

untuk pelaksanaan Upacara Adat Tetaken.108

Sebelum hari inti proses pelaksanaan tradisi upacara adat

Tetaken, terlebih dahulu membersihkan lingkungan sekitar agar tamu-

tamu yang hadir untuk melihat upacara adat merasa nyaman. Ada

beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh para pegawai dan orang-

orang penting di Desa Mantren, diantaranya: mempersiapkan peralatan-

peralatan yang akan digunakan pada saat proses pelaksanaan upacara

adat berlangsung, penataan tempat, menata dekor, dan yang tidak lupa

107 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 108 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 89: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

84

yakni mempersiapkan makanan-makanan, dan satu hari sebelum

diadakan proses pelaksanaan tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima

semua orang yang terlibat untuk mengikuti ritual ini harus mengikuti

gladi bersih terlebih dahulu, agar bisa diketahui apa kekurangan yang

dibutuhkan dan mengetahui kesalahan supaya pada saat pelaksanaan

tidak ada yang melakukan kesalahan. Orang-orang yang terlibat dalam

upacara adat Tetaken ini diantaranya: anak pertapa, juru kunci, bapak

kepala desa, perangkat desa, dhomas, dan barisan warga. Hal ini sesuai

dengan wawancara kepada Bapak Bambang Hardiyanto selaku

pelaksana upacara adat Tetaken Gunung Lima sebagai berikut:

Sebelum hari pelaksanaan terlebih dahulu dilakukan kerja bakti

membersihkan lingkungan dan tempat yang akan dipergunakan untuk

kegiatan upacara adat Tetaken. Selain itu juga mempersiapkan

peralatan-peralatan yang akan digunakan dalam upacara adat Tetaken

(dekorasi tempat, penataan tempat, penataan peralatan untuk upacara ,

dll.) dan mempersiapkan segala sesuatu kebutuhan yang digunakan

pada waktu upacara seperti pembuatan makanan-makanan. Satu hari

sebelum pelaksanaan akan diadakan Gladhi Bersih kepada para

personil Upacara Adat Tetaken (paraga) yang akan bertugas

melakukan rangkaian upacara adat Tetaken.109

Hal ini senada dengan hasil wawancara dari Bapak Ismail selaku

Kepala Desa Mantren sebagai berikut:

Juru Kunci, pertapa, kepala desa Mantren, perangkat desa, masyarakat.

Mempersiapkan diri untuk gladi bersih, agar pelaksanaan upacara adat

Tetaken berjalan dengan baik. Sehingga tidak membuat malu Desa

Mantren, semua peserta juga harus bergotong royong untuk

mempersiapkan yang dibutuhkan ketika dilaksanakan ritual.110

109 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

110 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 90: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

85

Dalam mempersiapkan proses pelaksanaan upacara adat Tetaken

ini, tentu saja ada kendala-kendala yang dialami oleh panitia-panitia

pelaksana upacara adat Tetaken. Hal ini senada dengan hasil wawancara

dengan Bapak Bambang Hardiyanto selaku pelaksana upacara adat

Tetaken sebagai berikut:

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan upacara adat tetaken yaitu

masalah pendanaan yang terlalu minim dan peran serta pemerintah

daerah Kabupaten Pacitan masih pasif mengingat Gunung Lima

adalah ikon/lambang Kabupaten Pacitan. Selain itu medan/Jalan

menuju Gunung Lima masih sulit di lalui, badan jalan terlalu sempit.

Koordinasi antara masyarakat sekitar masih sedang sehingga tingkat

kerja sama masih terlalu darendah.111

Persiapan yang dibutuhkan oleh para pertapa yakni: sebo dimana

murid harus mendaftarkan diri kepada juru kunci, cantrik atau calon

murid siap menerima pengarahan dari juru kunci, semedi yakni yang

harus dilakukan murid untuk bertapa di puncak gunung lima,

thontongan adalah alat komunikasi yang terbuat dari bambu. Ketika

kentongan ini dibunyikan, maka proses pelaksanaan upacara akan

segera dimulai. Namun pelaksanaan upacara adat Tetaken juga harus

mempersiapkan segala sesuatu. Salah satunya adalah membersihkan

lapangan, mempersiapkan peralatan, menata dekorasi dan gladi bersih

yang dilakukan oleh peserta upacara adat.

c. Proses Pelaksanaan

1). Pelaksanaan awal

111 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 91: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

86

Syarat yang harus dipersiapkan yakni hasil bumi dan peserta

upacara yang berjalan menuju pelataran Gunung Lima. Rutan barisan

pengiring upacara adat Tetaken Gunung Lima sebagai berikut:

a). Barisan paling depan pembawa panji atau pusaka Tunggul Wulung

yaitu keris satu tombak dan Kantong Ontosukmo. Terdiri dari 4

orang peraga yang menggunakan pakaian adat Jawa.

b). Juru Kunci Gunung Lima yang menggunakan baju putih dan sorban.

c). Lurah dan istrinya memakai pakaian adat Jawa

d). Barisan kaur atau perangkat desa dan ketua RT Desa Mantren

e). Iring-iringan yang membawa sesajen untuk upacara

f). Barisan dhomas atau grup tari

g). Pembawa legen yaitu air nira kelapa yang diikuti dengan pembawa

hasil bumi Desa Mantren

h). Paraga Tayup. 112

2). Pelaksanaan Inti

Pelaksanaan inti merupakan prosesi dari upacara adat Tetaken,

yang mempunyai urutan sebagai berikut:

a). Mandhap

Mandhap dalam bahasa Indonesia berarti “turun”, prosesi ini adalah

turunnya orang-orang yang bertapa dari Gunung Lima setelah semedi

112 Hasil Transkrip Wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 92: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

87

selesai selama 40 hari 40 malam.113 Banyak murid pertapa yakni 6

orang. Dimana selama bersemedi Juru Kunci memberikan pengarahan

untuk berpuasa, supaya mereka mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari

Allah Swt. setelah semedi selesai para murid turun dari puncak gunung,

mereka disambut oleh Juru Kunci dan kepala Desa Mantren serta

masyarakat di sekitar Gunung Lima.114

b). Siraman

Siraman merupakan kegiatan yang dilakukan oleh juru kunci untuk

menyucikan para murid yang telah selesai melakukan pertapaan.

Meyucikan para murid dengan menggunakan air yang sudah ditaruh

diwadah dan juga sudah diberi do’a oleh sang Juru Kunci.115 Do’a

tersebut berisi tentang rasa syukur atas kelancaran kegiatan yang

dilakukan para murid dan semoga murid-murid menggunakan ilmunya

untuk kebaikan, bukan untuk digunakan sebagai kejahataan.116

c). Pendhadaran

Proses ini merupakan ujian bagi sang murid untuk membuktikan

kemampuannya setelah menempuh puasa selama 2 sampai 3 hari. Sang

murid meminum air yang diberikan oleh juru kunci. Dalam ujian ini

sang murid harus hafal ilmu yang telah didapatkan selama bertapa.117

113 Hasil Transkrip Wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 114 Hasil Transkrip Observasi nomor: 02/O/10-X/2018. 115 Hasil Transkrip Observasi nomor: 02/O/10-X/2018. 116 Hasil Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 117 Hasil Transkrip Observasi nomor: 02/O/10-X/2018.

Page 93: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

88

d). Kirab

Kirab adalah proses pembawaan sesaji oleh masyarakat ke tengah-

tengah pelataran Gunung Lima.118 Yang membawa sesaji biasanya para

gadis Desa Mantren. Sesaji di bawa ke juru kunci, juru kunci dari

Gunung Lima sekarang adalah Bapak Sunaryo. Sesaji dimasukkan ke

dalam gerabah isinya terdiri dari Gunung Lima, tumpeng, satu ekor

ayam panggang, satu ekor ayam bumbu ingkung,. Berbagai macam

jenang tolak sebagai tolak balak, hasil bumi Desa Mantren.119

e). Srah-srahan

Kepala desa dan perangkat desa serta masyarakat Mantren berkumpul

untuk menyerahkan hasil bumi sebagai ungkapan rasa bersyukur kepada

Allah Swt. yang telah memberikan hasil bumi yang melimpah kepada

masyarakat sekitar.120

f). Ujuban

Ujuban adalah pembacaan doa yang dilakukan oleh juru kunci, sebagai

bagian dari perayaan hasil-hasil bumi sebagai wujud shodakoh dalam

rangkaian upacara penyambutan para murid setelah semedi.

g). Doa

118 Hasil Transkrip Observasi nomor: 02/O/10-X/2018. 119 Hasil Transkrip Wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 120 Hasil Transkrip Observasi nomor: 02/O/10-X/2018.

Page 94: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

89

Memohon kepada Allah Swt. untuk kelancaran upacara adat Tetaken.

Rasa syukur atas kelimpahan rejeki yang diberikan kepada Desa

Mantren dan untuk itu masyarakat sekitar menjaga kelestarian

lingkungan. Dan juga meminta keselamatan agar seluruh masyarakat

Desa Mantren dan yang mengikuti proses pelaksanaan tradisi upacara

adat Tetaken Gunung Lima. Do’a yang dipanjatkan hanya kepada Allah

Swt. bukan diarahkan ke batu yang ada di gunung, walaupun

pelaksanaannya di pelataran Gunung Lima.121

h). Legen

Legen adalah air nira kelapa, dalam upacara ini legen disajikan untuk

para tamu dan undangan oleh masyarakat sekitar sebagai tanda

penghormatan kepada para undangan. Karena di sekitar Gunung Lima

terdapat banyak pohon kelapa.122

3). Tahap Penutupan

Setelah prosesi inti dari upacara adat Tetaken, acara selanjutnya

adalah hiburan rakyat. Hiburan rakyat yang dipertunjukkan adalah tari-

tarian khas Gunung Lima yang dinamakan Langen bekso Gunung Lima

dan tarian Kethek Ogleng. Tari-tarian tersebut dibawakan oleh beberapa

Ledek atau penari perempuan dan diiringi oleh alat musik tradisional

Jawa, yaitu gamelan slendro yang dimainkan oleh pengrawit. Selain alat

musik tradisional, penyanyi khas lagu-lagu Jawa (gendhing Jowo) juga

turut dalam acara ini yaitu Sinden. Lagu yang dibawakan oleh para

121 Hasil Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 122 Hasil Transkrip Observasi nomor: 02/O/10-X/2018.

Page 95: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

90

sinden yakni pepiling dimana dalam lagu tersebut mengingatkan bahwa

sudah memasuki waktu salat. Hiburan rakyat ini menandakan bahwa

upacara adat Tetaken selesai dilaksanakan.123

Proses pelaksanaan dapat dibagi menjadi tiga yakni yang pertama:

pelaksanaan awal dimana harus mempersiapkan hasil bumi dan juga

para peserta upacara yang akan berjalan menuju pelataran Gunung

Lima. Kedua: pelaksanaan inti dimana harus mengikuti runtutan yakni:

mandhap proses turunnya peserta pertapa, siraman merupakan kegiatan

yang dilakukan untuk menyucikan para murid, pedhaharan merupakan

proses ujian untuk membuktikan kemampuannya, kirab merupakan

proses pembawaan sesaji yang di bawa ke tengah-tengah pelataran

Gunung Lima, srah-srahan dimana bapak kepala Desa beserta

perangkat desa Mantren menyerahkan sesaji dari hasil bumi masyarakat

desa Mantren, ujuban merupakan proses mengucapkan jenis-jenis sesaji

yang dibacakan oleh juru kunci, doa ini dibacakan oleh sesepuh desa

setempat setelah juru kunci selesai membacakan niat untuk sesajen yang

dipersembahkan sebagai simbolis acara ritual, dan yang terakhir legen

atau nira merupakan salah satu hasil bumi di Desa Mantren. Ketiga:

pelaksanaan penutup dimana itu puncak hiburan yang menandakan

proses pelaksanaan upacara telah selesai.

3. Nilai-nilai Religius Dalam Tradisi Upacara Adat Tetaken Gunung

Lima

123 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018.

Page 96: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

91

Pelaksanaan tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima

diselenggarakan bentuk sedekah atas rasa syukur terhadapa Tuhan Yang

Maha Esa atas kelimpahan rejeki di Desa Mantren merupakan wujud

pelestarian budaya dari lereng Gunung Lima. Yang bermula dari yang babat

alas atau leluhur mereka yaitu Ki Tunggul Wulung.

Sesuai dengan pernyataan Bapak Bambang Hardiyanto selaku

pelaksana upacara adat Tetaken Gunung Lima adalah sebagai berikut:

Tujuan upacara adat Tetaken salah satunya mengembangkan dan

meningkatkan produk budaya lokal/kearifan lokal. Dan juga untuk

mensyukuri segala sesuatu yang telah di berikan oleh Allah SWT karena

dalam upacara adat Tetaken terdapat sedekah hasil bumi, pertanian,

peternakan.124

Seperti yang dipaparkan bapak Ismail selaku kepala Desa Mantren

yakni “Ya itu hidup di bawah Gunung Lima, Gunung Lima itu mbrekahi

sehingga harus tetap dilestarikan. Hasil ya dari Gunung Lima. Tetaken itu ya

bentuk rasa syukur karena Gusti Allah memberikan kelimpahan rejeki melalui

Gunung Lima, dan terimakasih kepada Ki Tunggul Wulung.125

Sementara Bapak Sunaryo selaku juru kunci Gunung Lima

mengutarakan pendapatnya “Tetaken itu bentuk rasa syukur kepada Gusti

Allah atas kelimpahan rejeki. Yang diberikan kepada masyarakat sekitar

Gunung Lima. Karena itu warga masyarakat terimakasih banyak kepada

Gusti Allah” .126

124 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 125 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 126 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 97: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

92

Tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima bertujuan untuk

mengenalkan tradisi yang ada di Desa Mantren kepada masyarakat luar

daerah dan juga atas karunia Allah SWT yang telah memberikan rezeki

masyarakat sekitar Gunung Lima dan untuk melestarikan budaya yang telah

diwariskan secara turun temurun. Di dalam pelaksanaan tradisi upacara adat

Tetaken Gunung Lima terselipkan manfaat yang dapat dirasakan oleh

pengunjung sekaligus masyarakat Desa Mantren seperti pemaparan Bapak

Suyanto, selaku pengunjung dalam pelaksanaan upacara adat berdasarkan

hasil wawancara “Manfaatnya bahwa desa mempunyai salah satu budaya

yang tidak dimiliki oleh desa lain dan masyarakat dapat menikmati suatu

budaya dan sekaligus sebagai hiburan karena dikemas dalam berbagai seni-

seni tradisional yang dimiliki oleh desa yang berupa julen”.127

Dengan berbagai hal-hal yang dapat dirasakan dan diperoleh dari

kegiatan dalam tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima, maka perlu terus

dilestarikan tradisi ini dan tetap menjadi aset milik Desa Mantren. Karena

menurut pengamatan yang dilakukan tradisi ini mempunyai tingkat antusias

yang tinggi dari para masyarakat untuk saling bergotong royong untuk

mempersiapkan segala sesuatu supaya pengunjung semakin meningkat dari

tahun ke tahun. Hal ini berdasarkan pemaparan Bapak Bambang

Hardiyanto, selaku pelaksana upacara adat Tetaken Gunung Lima

memaparkan pernyataan sebagai berikut:

Respon masyarakat dalam upacara adat Tetaken sangat tinggi, terbukti

sebelum pelaksanaan masyarakat desa Mantren bersatu padu

memberishkan lingkungan dan tempat yang akan digunakan untuk

127 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 98: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

93

Upacara Adat Tetaken. Pada hari pelaksanaan, masyarakat desa mantren

juga hadir untuk menyaksikan dan mengoreksi segala kekurangan yang

nanti menjadi aspirasi, kritik dan saran masyarakat. Dari hal diatas

menunjukkan bahwa tingkat kegotong royongan dan SDM masyarakat

sudah berkembang dan mampu untuk berfikit kritis.128

Dan juga respon dari masyarakat sendiri yang mengungkapkan:

Seperti hasi paparan bapak Suyanto, selaku masyarakat Desa

Mantren yakni “Sangat mendukung karena kalau dilihat secara makro

wujud persatuan semua warga sangat tinggi.”129

Adanya tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima, membuat

masyarakat Desa Mantren merasa senang karena dengan diadakannya

kegiatan tersebut, banyak orang yang akan berkunjung untuk

menyaksikan proses pelaksanaan tradisi upacara adat Tetaken Gunung

Lima. Sehingga dengan adanya upacara adat Tetaken ini dapat

mempersatukan warga masyarakat sekitar.

Selanjutnya berbicara mengenai adanya proses srah-srahan,

ujuban dan doa dalam pelaksanaan upacara adat Tetaken. Bahwasannya

sebagai manusia harus senantiasa bersyukur atas apa yang telah Allah

berikan kepada umatnya. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Ismail,

selaku kepala Desa Mantren yakni “Kepala Desa lan perangkat Desa lan

poro masyarakat Desa Mantren kumpul kanggo nyerahke hasil bumi seng

ono Desa mantren ugo wujud syukur marang Gusti Allah sing uwes

nglimpahake penghasilan masyarakat sekitar Gunung Lima.”130

128 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 129 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 130 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 99: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

94

Sraha-srahan ini menandakan pemberian hasil bumi atas rasa

syukur telah selesainya murid yang bertapa di Gunung Lima. Selain srah-

srahan juga terdapat ujuban dimana pembacaan doa yang dipimpin oleh

Juru Kunci, sebagian penyerahan hasil bumi sebagai sedekah tanpa

memandang apakah dia mampu atau tidak karena akhir dari tradisi ini

adalah makan bersama hasil bumi masyarakat Desa Mantren. Hal ini

berdasarkan pemaparan Bapak Ismail selaku Kepala Desa Mantren

sebagai berikut:

Ujuban iku pembacaan doa seng dipimpin juru kunci, sebagai simbol

nyerahake hasil bumi masyarakat“ sak derengipun nyuwun

pangapunten kulo aminangkani angaturaken punopo ingkang dados

hajat atau keniatanipun poro wargo Desa Mantren mriki. Nyuwun sewu

dumateng poro pinisepuh lan sesepuh dalah poro rawuh sami ingkang

satuhu kulo bekteni, awit punoponipun panjenenganipun Bopo Lurah

ngawontenaken sekul tumpeng ageng sekul ambeng ageng balak tulak,

soho ayam panggang sang panyuwunipun anyenyuwun dumateng Gusti

Ingkang Maha Agung, Gusti Ingkang Maha Mirah, inggih puniako

Allah Swt. Bilih ing wekdal dinten punika desa Mantren ngawontenaken

adat Tetaken kanthi alalentara sesajen kolo wau mugi-mugi Gusti Allah

Swt dumateng poro pinisepuh dalah poro rawuh sami kulo suwun

pangestunupun nggih...... awit punopo angedalaken memule ingkang

dipun syukur pikule Kyai Tunggul Wulung ingkang kawulo mudo taruno

sageto nglestarekno budoyo sageto lestari widodo saget kondang kaloko

sak indenge bawono mugi-mugi Gusti Allah Swt paring kabul dumateng

poro panisepuh dalah poro rawuh sami kakung sumawono putri kulo

angaturi andongaaken paring pinuju nggih........ Awit punopo

ngawontenaken sesaji tumpeng songo memule memetri ugo sakego

rampenipun wontenipun semoyo ontenipun woh-wohan, wontenipun

semoyo, wontenipun polo gumandul mboten sanes anjangkepi sesajen

wonten pengetan Tetaken ing Gunung Lima mugi-mugio dadoso sarono

Deso Mantren sageto nglestarekno Budoyo Agung puniko ngantos

kondang kaloko sandenge bawono mugo-mugp poro pinisepuh dalah

poro rawuh dipun ssuwun pandongonipun dumateng ingkang pinuju

nggih..... Bab punopo angedalaken jenang abang, jenang tulak, jenang

sengkolo, sakugo rampenipun mboten sanes nyengkalani poro wargo

anggepanipun ngolah Tetaken, anggepanipun deres sageto lestari,

widodo pinuju wiwit dinten puniko ngantos sak lami-laminipun, Mugi

Gusti Allah paring terkabul. Awit punopo angadelaken sesajen rupi-

rupi sesajen amengeti Tetaken ing tahun ngkang manggen wonten

dinten Seloso Legi, 13 Januari mugio paring barokah, wilujeng sak

laminipun kulo suwun pando’aaken paring pinuju nggih yang artinya “

Page 100: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

95

sebelumnya mohon maaf saya selaku wakil bapak kepada desa yang

punya hajat beserta warga Desa Mantren. Mohon maaf kepada para

sesepuh dan penonton semua yang saya hormati, kenapa bapak kepala

desa mengeluarkan nasi tumpeng dan ayam panggang untuk memohon

kepada Tuhan yang Maha Besar, maha Pemurah yaitu Allah Swt. di hari

ini di Desa Mantren mengadakan upacara adat Tetaken dengan sesajen

itu tadi, semoga Allah Swt. mengabulkan apa yang sudah menjadi niat

para warga dan mohon doa restunya. Dengan mengeluarkan sesajen

yang untuk ucapan terimakasih Ki Tunggul Wulung yang sudah

membangun pertapan dan semoga mampu menjadi contoh bagi bagi

generasi muda dan melestarikan budaya semoga tetap lestari dan

terkenal diseluruh dunia. Semoga Allah Swt. mengabulkan. Keada

sesepuh dan penonton baik laki-laki maupun perempuan saya meminta

untuk berdo’a kepada yang Maha Kuasa. Dengan mengeluarkan sesaji

tumpeng sembilan dan lain-lainnya berupa buah-buahan dan lain-lain

untuk melengkapi sesaji ini. Semoga menjadi sarana desa Mantren

untuk melestarikan budaya yang besar ini dan semoga para sesepuh dan

para tamu ikut mendo’akan kepada yang maha Kuasa. Dengan

mengeluarkan kue merah, kue tolak balak dan lain-lainnya tidak lain

untuk menolak gangguan para warga untuk melestarikan Tetaken dan

saat mengambil air nira kelapa dapat terus berlangsung hari ini untuk

memperingati Tetaken di tahun ini yang jatuh pada tanggal 13 Januari

semoga berkah selama-lamanya saya mohon doa kepada Allah Swt.

demikian dari saya”.131

Melihat cuplikan wawancara diatas, ritual keagamaan seperti

tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima yang ada di dalam masyarakat

Desa Mantren semua didasari ajaran agama Islam. Ritual keagamaan

pasti dan akan dilakukan oleh masyarakat karena mereka beranggapan

ritual agama tesebut merupakan bentuk rasa syukur dan doa yang

dipanjatkan kepada Allah Swt. atas semua yang terjadi pada kehidupan

masyarakat Desa Mantren.

Dari hasil pengamatan lapangan dan penjelasan di atas dapat kita

lihat bahwa nilai agama pada masyarakat Desa Mantren dan khususnya

pada upacara adat Tetaken semua didasari atas kepercayaan bahwa

131 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 101: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

96

sesuatu itu benar dan suci, yaitu mengenai keberadaan sumber daya alam

yang melimpah mereka hidup dibawah lereng Gunung Lima dan segala

yang bersangkutan mengenai sejarah leluhur Kyai Tunggul Wulung yang

membangun Desa Mantren.

BAB V

ANALISIS DATA

A. Analisis Latar Belakang Tradisi Upacara Adat Tetaken Gunung Lima di

Desa Mantren

Pada dasarnya upacara merupakan permohonan dalam pemujaan atau

pengabdian yang ditunjukkan kepada kekuasaan leluhur yang menguasai

Page 102: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

97

kehidupan manusia, sehingga keselamatan serta kesengsaraan manusia

tergantung pada pada kekuasaan itu. Upacara merupakan suatu adat atau

kebiasaan yang diadakan secara tepat menurut waktu dan tempat, pariwisata

atau keperluan tertentu. Sementara itu Koentjaraningrat memformulasikan

bahwa sistem upacara mengandung empat komponen, yaitu tempat upacara,

saat upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, serta orang yang melakukan

dan memimpin upacara. Semua yang berperan dari upacara tersebut sifatnya

sakral sehingga tidak boleh dihadapi dengan sembarangan, karena dapat

menimbulkan bahaya. Demikian dengan orang yang berhadapan dengan hal-hal

yang keramat harus mengindahkan berbagi macam larangan.132

Berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan

mengadakan kontak langsung dengan para leluhur, roh-roh, dewa-dewa dan

juga kepada Allah Swt. para penganut agama asli Indonesia percaya ada aturan

tetap, yang mengatasi segala kejadian di dunia yang dilakukan manusia. Salah

satunya tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima di Desa Mantren,

Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan.

Upacara adat Tetaken berawal dari cerita saat kerajaan Majapahit

mengalami kemunduran dan yang menjadi Raja Majapahit adalah Brawijaya V,

dimana Putra Brawijaya V menikah dengan seorang putri Cina dan menurut

kepercayaan masyarakat Jawa, bila orang Jawa menikah dengan orang Cina

maka orang Jawa tersebut akan kalah dalam segala hal. Brawijaya V menyadari

hal tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga bila

132 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1981), 56.

Page 103: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

98

hara-huru benar-benar terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah Ki

Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk bersemedi

di Gunung Lima. Ki Tunggul Wulung berangkat ke Gunung Lima setelah

menerima arahan Brawijaya V, sesampai di Gunung Lima Ki Tunggul Wulung

bertemu dengan seseorang yang sakti.133

Disaat itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir

utara pulau Jawa, karena tidak ingin masuk Islam ketiga saudara Ki Tunggul

Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling, dan Ki Tiyoso. Namun, mereka

berempat bukan saudara kandung melainkan saudara seperguruan. Ki Brayut,

Ki Buwana Keling, dan Ki Tiyoso melarikan diri ke daerah selatan sesuai

dengan petunjuk gurunya.134

Upacara adat Tetaken dilakukan masyarakat Desa Mantren untuk

mengenang Kyai Tunggul Wulang sebagai orang pertama membuka lahan di

Desa Mantren dan sekaligus menyebarkan agama Islam di wilayah Pacitan

dengan bentuk upacara menggunakan tokoh (pemeran) sebagai murid yang

bertapa di puncak Gunung. Upacara ini dilaksanakan setiap tahun dan juga

dalam bentuk rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah memberikan hasil bumi

yang melimpah kepada masyarakat sekitar.

B. Analisis Proses Pelaksanaan Tradisi Upacara Adat Tetaken Gunung Lima

1. Waktu

Pada zaman dahulu peserta pertapa harus bertapa selama 40 hari

empat puluh malam. Namun dengan adanya kejadian seorang pertapan

133 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018. 134 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018.

Page 104: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

99

meninggal, sejak tahun 2004 peserta diperbolehkan bertapa selama 2

sampai 3 hari. Setelah para murid menyelesaikan pertapaannya. Mereka

turun dari puncak gunung untuk kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat

dengan di sambut oleh juru kunci dan masyarakat sekitar yang mengikuti

proses pelaksanaan upacara adat Tetaken.135

Tradisi Upacara adat Tetaken di Desa Mantren dilaksanakan secara

rutin setiap tahun sekali perayaan. Tepatnya pada bulan Muharram (Suro)

yaitu tanggal 15 Muharram. Upacara adat Tetaken ini dilaksanakan pada

bakda luhur sekitar jam 13.00 WIB. Pada saat pelaksaan upacara tersebut

para peserta paraga iring-iringan menggunakan pakaian adat Jawa

sedangkan para murid dan Juru Kuncu berpakaian putih dan bersorban.136

2. Perencanaan

Pertama, Pada zaman dulu murid yang dibutuhkan untuk bertapa ada

16 namun sejak tahun 2004 hanya membutuhkan 6 murid karena banyak

yang tidak minat mengikuti dan kebanyakan masih anak sekolah.137

Kedua, persiapakan yang dibutuhkan oleh para pertapa yakni: a) sebo

berarti menghadap, dalam hal ini yang dilakukan oleh seorang yang ingin

135 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 136 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018. 137 Lihat Transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018.

Page 105: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

100

mendaftar sebagai murid untuk menuntut ilmu. Dan juru kunci memberikan

pengarahan kepada calon murid memberikan urutan dalam memberikan

ilmu kanoragan yakni harus semedi di puncak gunung dan juga harus

berpuasa. b) Cantrik yakni apabila sudah memenuhi pengarahan dari juru

kunci, dan sudah mendapatkan ilmu yang didapatkan melalui semedi harus

digunakan untuk kebaikan, maka sang murid ketika bersemedi tidak boleh

memiliki niatan yang jelek. Itu akan membahayakan dirinya sendiri. c)

semedi dilakukan di pertapan puncak Gunung Lima yaitu semacam goa.

Disekitar pertapan Gunung Lima banyak terdapat tanaman dan pepohonan

yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. d) Thontongan adalah

alat komunikasi tradisional yang terbuat dari bambu yang dilubangi bagian

depan. Cara menyembunyikannya dengan cara memukul yang tidak

berongga. Ketika kentongan ini dibunyikan, maka pertanda upacara adat

Tetaken akan dimulai.138

3. Proses Pelaksanaan

a). Pelaksanaan Awal

Syarat yang harus dipersiapkan yakni hasil bumi dan peserta upacara

yang berjalan menuju pelataran Gunung Lima yakni hasil bumi dan peserta.

Urutan barisan pengiring upacara adat Tetaken Gunung Lima sebagai

berikut:

138 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/10-X/2018.

Page 106: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

101

Barisan paling depan pembawa panji atau pusaka Tunggul Wulung

yaitu keris satu tombak dan Kontong Ontosukmo. Terdiri dari 4 orang peraga

yang menggunakan pakaian adat Jawa,Juru Kunci Gunung Lima yang

menggunakan baju putih dan sorban, Lurah dan istrinya memakai pakaian

adat Jawa, Barisan kaur atau perangkat desa dan ketua RT Desa Mantren,

Iring-iringan yang membawa sesajen untuk upacara, Barisan dhomas atau

grup tari, Pembawa legen yaitu air nira kelapa yang diikuti dengan pembawa

hasil bumi Desa Mantren dan Paraga Tayup.

Dimana pakaian yang digunakan pada proses pelaksanaan upacara

adat Tetaken yakni menggunakan pakaian adat Jawa. Karena budaya

moderen terus menggerus budaya tradisi, maka masyarakat Jawa mulai tidak

memperhatikan busana adat yang merupakan warisan leluhurnya, sehingga

masyarakat Jawa semakin lama semakin tidak mengenakan busana adat saat

acara resepsi pengantin, kenduri, atau jagongan. Busana adat Jawa hanya

sering digunakan oleh para pelaku upacara tradisi, seperti upacara adat

Tetaken.

Meskipun busana adat masih sering dikenakan dalam upacara tradisi,

namun sebagian besar masyarakat Jawa tidak lagi mengenal makna

filosofisnya. Hal ini menunjukkan bahwa orang Jawa sudah mulai

kehilangan Jawanya, di mana memahami busana adat hanya sebatas

permukaannya saja, bukan melihat makna filosofis yang tersirat di

dalamnya.139

139 Sri Wantala Achmad, Eika Jawa, 163-164.

Page 107: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

102

Pada saat iring-iringan membawa sesaji untuk upacara. Masyarakat

Jawa yang masih setia dengan ajaran leluhurnya senantiasa melestarikan

adat atau tradisi. Melestarikan, artinya masyarakat Jawa tidak mengurangi

dan tidak menambahi adat yang semula dilakukan oleh leluhurnya.

Ketika serangkaian upacara berlangsung, terlihat pula serangkaian

sesaji (sesajen) yang disajikan di tengah-tengah pelaksanaan upacara.

Serangkaian sesaji tersebut terdiri dari tumpeng dan gudhangan yang diatur

sedemikian rupa, minuman, dan juga berbagai macam jenang. Pemahaman

di dalam lingkup masyarakat Jawa, bahwa sesaji bukan makanan setan,

namun sebagai ajaran filosofis yang disampaikan melalau simbol (lambang).

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa di dalam memberikan ajaran

filosofis pada generasinya tidak suka menggunakan kata-kata dengan

maksud yang jelas, melainkan simbol-simbol agar generasinya suka berpikir

dan mencari esensinya maknanya. Karena makna simbolis dari setiap macam

sesaji tidak dijelaskan oleh para leluhur atau orang tua kepada generasinya,

akibatnya generasi mengatakan bahwa sesaji sebagai makanan setan.140

b). Pelaksanaan Inti

Pertama, yakni mandhap dalam Bahasa Indonesia bearati turun,

prosesi ini adalah dimana turunnya orang-orang yang bertapa dari Gunung

Lima setelah semedi selesai selama 40 hari 40 malam. Mereka disambut oleh

Juru kunci, Kepala Desa seta masyarakat sekitar Gunung Lima.

140 Ibid, 133-135.

Page 108: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

103

Kedua, siraman merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Juru Kunci

untuk meyucikan para murid yang telah selesai melakukan semedi agar

membersihkan jiwa dan raganya. Cara menyucikan di dalam acara ini yakni

sang Juru Kunci menyiramkan air yang sudah di sediakan disebuah kendi,

dimana di dalamnya sudah dicampur dengan bunga. Dan sudah diberi do’a.

Do’a tersebut rasa terimakasih juru kunci Kepada Allah Swt. karena sudah

memberikan selamatan murid-murid yang bertapa, sehingga dapat kembali

ke tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, pendhaharan atau dapat disebut sebagai ujian bagi sang

murid dengan membuktikan kemampuannya setelah menempuh puasa

selama 40 hari 40 malam. Sang murid diberi air oleh Juru Kunci. Dan

selanjutnya murid siap untuk menggunakan ilmunya dengan baik.

Keempat, kirab merupakan proses pembawaan sesaji oleh

masyarakat ke tengah-tengah pelataran Gunung Lima. Yang membawa

sesaji biasanya para gadis dan kemudian sesaji tersebut di bawa ke Juru

Kunci. Dalam kirab ini yang perlu di bawa oleh peserta upacara yakni

tumpeng, ayam panggang, satu ekor ayam bumbu ingkung, berbagai macam

jenang atau kue sebagai tolak bala, yang dimaksud tolak bala disini yakni

dipercaya dapat mencegah mara bahaya.

Kelima, srah-srahan yakni Kepala Desa serta masyarakat

menyerahkan hasil bumi sebagai ungkapan rasa bersyukur kepada Allah

Swt. terhadap semua yang dilimpahkan kepada masyarakat Desa Mantren.

Page 109: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

104

Syukur, yakni sikap penuh rasa terimakasih atas nikmat dan karu nia

yang dianugerahkan Allah Swt. Syukur dapat terjadi dengan lisan, perbuatan

dan dengan hati. Bersyukur dengan hati adalah keinginan untuk selalu

berbuat kebaikan, bersyukur dengan lisan adalah melahirkan rasa terima

kasih melalui ucapan melalui pujian. Dan bersyukur dengan perbuatan

adalah mempergunakan nikmat Allah menurut aturan Allah Swt.141

Rasa syukur kepada Allah Swt, terhadapat apa yang yang

dilimpahkan kepada masyarakat Desa Mantren khususnya dalam pemberian

kecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan diberikan kesuburan

tanah pertanian di Desa Mantren. Nikmat tersebut merupakan anugerah dari

Yang Maha Kuasa dikarenakan makanan merupakan modal yang utama

untuk kehidupan.

Keenam, ujuban adalah pembacaan doa yang dilakukan atau dipandu

oleh Juru Kunci sebagian dari penyerahan hasil bumi sebagai bentuk sedekah

dalam rangka upacara penyambutan para murid setelah melakukan semedi

selama 40 hari 40 malam. Hasil bumi yang di serahkan diantaranya: ayam,

kelapa, padi, empon-empon.

Ketujuh, yakni do’a ini dilakukan setelah makanan dibagikan kepada

para tamu dan para pengunjung. Do’a ini dilakukan bentuk memohon kepada

Allah Swt. untuk kelancaran pelaksanaan upacara adat Tetaken. Dan juga

atas kelimpahan rezeki yang diberikan kepada masyarakat sekitar Gunung

Lima.

141 Selviana Muktining Sukma, Tradisi Grebeg Maulid Nabi Muhammad SAW Dalam

Persepektif Pendidikan Islam (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2015), 154.

Page 110: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

105

Kedelapan, legen atau nira merupakan hasil bumi yang sangat khas

di Desa mantren. Nira ini banyak dicari oleh orang-orang luar Pacitan. Legen

atau nira ini disajikan untuk para tamu undangan oleh masyarakat sekitar

sebagai tanda penghormatan.

c). Pelaksanaan Penutup

Setelah proses pelaksanaan inti dari upacara adat Tetaken, acara

selanjutnya adalah hiburan rakyat. Hiburan rakyat yang dipertunjukkan yakni

tari-tarian Gunung Lima yang dinamakan Langen Bekso Gunung Lima dan

kethek ogleng. Tarian tersebut merupakan ciri khas yang ada di Desa Mantren

dan masih terjaga hingga saat ini. Hiburan rakyat ini menandakan bahwa

proses pelaksanaan upacara adat Tetaken Gunung Lima selesai dilaksanakan.

C. Analisis Nilai-nilai Religius Dalam Tradisi Upacara Adat Tetaken Gunung

Lima

Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu digunakan, dicita-citakan dan

dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena

itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai

kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis), religius (nilai

agama).142

142 Elly M. Setiadi, et al, Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2006), 31.

Page 111: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

106

Nilai sendiri tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia karena nilai

terbentuk dan dimiliki setelah malalui proses yang lama, yaitu sebagai hasil

interaksi individu dengan lingkungannya. Atas dasar itulah manusia bertingkah

laku dan berbuat yang diarahkan untuk mencapai tujuan hidup sesuai dengan

keyakinan yang ada pada dirinya. Nilai akan muncul apabila manusia ini

mengadakan hubungan siosial atau dengan kata lain bermusyawarah. Nilai ini

yang melingkupi dalam tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima di Desa

Mantren pada dasarnya tidak lepas dari nilai-nilai pendidikan Islam dengan

tujuan untuk bentuk rasa syukur atas selesainya murid-murid bertapa di

pertapan Gunung Lima dan juga menyedekahkan sesuatu apabila mendapat

rezeki yang berlimpah.

Dari hasil penelitian di lapangan muncul nilai religius yang berkaitan

dengan nilai ibadah, kepedulian sosial, rezeki, sedekah diantaranya sebagai

berikut:

1. Nilai Ibadah

Yang dilatar belakangi oleh perjalanan Sultan Agung ke Mekkah

yang kemudian kembali ke Jawa dengan membawa dua bendera yang

bertulisan “ Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang

banyak maka dirikanlah shalat lima waktu”. Satu di tancapkan Di mataram

dan yang satunya lagi di Pacitan di Desa Mantren tempatnya di Puncak

Page 112: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

107

Gunung Lima.143 Maka dari itulah kita dianjurkan untuk melaksanakan salat

lima waktu.

Artinya:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan

dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)

keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar

(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang

kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabuut 29:45).144

Ayat di atas dapat dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan

membaca dan mempelajari dan juga melaksanakan ajaran-ajaran al-Qur’an,

maka Allah SWT memerintahkan pula agar kaum Muslimin mengerjakan

salat wajib, yaitu salat yang lima waktu. Salat itu hendaknya dikerjakan

dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya dan dikerjakan penuh dengan

kekhusyukan. Jika, salat itu dikerjakan sedemikian rupa, maka salat itu

dapat menghalangi dan mencegah orang yang mengerjakannya dari

perbuatan-perbuatan keji dan munkar.

Mengerjakan salat adalah sebagian perwujudan dari keyakinan yang

telah tertanam di dalam hati orang yang mengerjakannya dan menjadi bukti

bahwa ia telah merasakan bahwa dirinya sangat tergantung pada nikmat

Allah. Karena itu ia berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan perintah-

143 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018 dalam lampiran laporan hasil

penelitian. 144 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018 dalam lampiran laporan hasil

penelitian.

Page 113: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

108

perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya, sesuai dengan

do’anya kepada Allah dalam salatnya. Salat merupakan ibadat yang paling

utama dibandingkan dengan ibadat-ibadat yang lain.145

Jadi dapat disimpulkan bahwa kita sebagai umat Islam wajib

mendirikan shalat lima waktu untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang

mungkar dan keji. Karena salat juga sebagai bekal untuk menuju ke akhirat.

2. Kepedulian Sosial

Salah satu kepedulian sosial di dalam tradisi upacara adat Tetaken ini

yakni gotong royong, masyarakat sekitar Gunung Lima kerja bakti

membersihkan tempat yang akan di pergunakan untuk proses pelaksanaan

upacara, selain itu mempersiapkan peralatan-peralatan yang akan

digunakan dan gladi bersih satu hari sebelum prosesi upacara.146 Dalam

kehidupan sosial ini manusia hendaknya memegang nilai dari gotong

royong. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2.

...

Artinya:

“ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah:2).147

145 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid VII Juz 19-20-21,

285. 146 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018 dalam lampiran laporan hasil

penelitian. 147 Al-Qur’an, 5:2.

Page 114: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

109

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah mewajibkan kepada orang-

orang mukmin tolong-menolong sesama mereka dalam berbuat kebaikan

dan bertakwa. Untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka dilarang toling-

menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran serta memerintahkan

supaya tetap bertakwa kepada Allah agar dapat terhindar dari siksa-Nya

yang sangat berat.148

Gotong royong yang dilakukan masyarakat Desa Mantren

merupakan kegiatan yang sangat baik dan perlu dilaksanakan sebagai

kegiatan rutin. Gotong royong yang dilakukan merupakan contoh yang baik

bagi generasi muda Desa Mantren, dengan gotong royong suatu pekerjaan

akan cepat terselesaikan, karena dikerjakan bersama-sama. Dengan

kegiatan gotong royong, semua warga akan melakukan pekerjaannya

masing-masing sesuai tugas yang telah diberikan. Dengan kegiatan ini pula

masyarakat akan saling berinteraksi yang pada akhirnya menghilangkan

sikap keacuhan terhadap sesama dan lingkungan.

3. Rezeki

Hidup di sekitar Gunung Lima dapat memberikan berkah yang sangat

besar kepada masyarakat sekitar. Yang mana di Desa Mantren

mendapatkan hasil alam yang sangat baik karena Allah Swt telah

memberikan rezeki yang berlimpah kepada masyarakat sekitar melalui

148 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid II Juz 4-5-6, 385.

Page 115: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

110

Gunung Lima.149 Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan rezeki

(penghasilan) sebagai penunjang kehidupannya. Untuk memperoleh rezeki

tersebut, manusia harus berusaha dengan bekerja sesuai kemampuan yang

dimiliki masing-masing, maka bekerja merupakan suatu kewajiban dan

merupakan sunnatullah (hukum yang berlaku di alam) yang harus

ditempuh oleh seluruh makhluk, khususnya bagi manusia. Ketika manusia

menghendaki menjadi orang berilmu, maka tidak bisa hanya dengan duduk

berpangku tangan tanpa mengikuti hukum sebab akibat yang berlaku di

alam dunia ini. Ketika manusia menginginkan makanan dan minuman

dengan tanpa berusaha, maka hal tersebut merupakan sesuatu yang

mustahil terjadi. Karena manusia harus menunjukkan tangan untuk

mengambil dan memakan makanan tersebut, sehingga terpenuhi apa yang

diinginkannya.150

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka wajib bagi manusia untuk

berusaha, bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam usaha

tersebut, manusia hanya berkewajiban untuk berusaha serta menyerahkan

hasil usaha tersebut kepada Allah yang telah menetapkan qadar, bagian

rezeki bagi makhluk-Nya. Dengan itu manusia akan bersyukur menerima

bagian rezeki yang Allah tetapkan baginya.

4. Shadaqah

149 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018 dalam lampiran laporan hasil

penelitian. 150 Achmad Kurniawan Pasmadi, Konsep Rezeki Dalam Pandangan Para Pedagang Pasar ,

1-2.

Page 116: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

111

Kegiatan shadaqah ini dilakukan Juru Kunci dengan bentuk rasa

syukur dalam rangka penyambutan para murid selesai semedi di puncak

Gunung Lima.151 Rasulullah Saw. menjelaskan di dalam haditsnya

mengenai shadaqah dalam arti yang sangat luas. Hadits yang telah

disebutkan sebelumnya merupakan sebuah jawaban yang diberikan oleh

Rasulullah Swt. kepada para sahabatnya yang tidak mampu secara

maksimal bershadaqah dengan harta. Berikut ini macam-macam shadaqah

yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw:

a. Membaca Tasbih, Tahlil dan Tahmid: Rasulullah Saw menjelaskan

setiap tasbih, tahlil dan tahmid adalah shadaqah. Oleh karena itu, para

sahabat diminta oleh Rasululullah Saw, untuk memperbanyak membaca

tasbih, tahlil dan tahmid atau dzikir lainnya sebagai bentuk lain dari

shadaqah. Sebab, perbuatan tersebut bernilai ibadah bagi Allah Swt.

b. Amar Ma’ruf Nahi Munkar juga merupakan shadaqah, sebab untuk

mewujudkan diperlukan tenaga, pikiran, waktu, dan perasaan. Dan,

semua itu terhitung dalam shadaqah.

c. Berlomba-lomba dalam Amalan Sehari-hari.152

151 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/W/10-2/2018 dalam lampiran laporan hasil

penelitian. 152 Muhammad Habibillah, Raih Berkah Harta Dengan Sedekah & Silaturahmi: Cara Hidup

Kaya Harta & Kaya Hati (Jakarta: Sabil, 2013), 39-44.

Page 117: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

112

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

1. Latar belakang tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima yakni berawal

dari cerita yang berkembang di Desa Mantren cerita bermula ketika Kyai

Page 118: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

113

Tunggul Wulung bersama Mbah Brayut mengembara yang diperkirakan

mereka berasal dari Majapahit. Mereka melakukan pengabdian dan

penyebaran agama Islam di Pacitan setelah bertapa di Gunung Lima. Dan

juga sebagai orang pertama babat alas di sekitar Gunung Lima.

2. Proses pelaksanaan tradisi upacara adat Tetaken Gunung Lima dibagi

menjadi dua yaitu a) proses awal dengan tahapan: sebo, cantrik, semedi dan

thontongan. b) proses pelaksanaan yakni: pelaksanaan awal: hasil bumi dan

peserta, pelaksanaan inti: mandhap, siraman, padhadaran, kirab, srah-

srahan, ujuban, doa, legen. Pelaksanaan Penutup: hiburan menandakan

berakhirnya acara.

3. Nilai-nilai religius dalam upacara adat Tetaken Gunung Lima, yaitu sedekah

bumi atas bentuk rasa syukur kepada Allah Swt. karena telah memberikan

rezeki yang melimpah kepada masyarakat sekitar Gunung Lima dan juga

hubungan kepada alam dalam bentuk melestarikan dan menjaga keadaan

alam, agar selalu terjaga. Sehingga penghasilan bumi semakin melimbah di

Desa Mantren.

B. Saran

1. Bagi pemerintah Kota Pacitan, perlu memperhatikan upacara adat sebagai

warisan budaya, sehingga dapat mengembangkan menjadi situs budaya dan

wisata budaya sehingga dapat mempromosikan Desa Mantren menjadi

Page 119: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

114

wisata budaya yang dapat mengangkat perekonomian masyarakat Desa

Mantren.

2. Bagi masyarakat, penanaman nilai religius harus dipertahankan dan

diajarkan kepada generasi muda untuk ikut melestarikan warisan budaya

atau warisan leluhur.

3. Bagi Peneliti Berikutnya

Kepada peneliti berikutnya diharapkan agar lebih meneliti proses

pelaksanaan tradisi upacara Adat Tetaken ini tidak hanya untuk meneliti

nilai-nilai religius namun juga untuk lebih mengetahui nilai-nilai lain yang

terkandung dalam adat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. Sosiologi Skematik, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.

Abu Ahmadi. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.

Page 120: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

115

Ach. Nadif dan M.Fadlun. Tradisi Keislaman . Surabaya: Al-Miftah, 2010.

Achmad, Sri Wintala. Etika Jawa: Pedoman Luhur dan Prinsip Hidup Orang Jawa .

Yogyakarta: Araska, 2018.

Afifuddin. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung:CV. Pustaka Setia, 2009.

Ahmad, Haris Rahma. Nilai-nilai Kepedulian Sosial Dalam Tradisi Bersih Desa Di

Dusun Ngrawan Desa Dolopo Kecamatan Dolopo. Ponorogo: STAIN Ponorogo,

2015.

Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Tafsirnya . Yogyakarta: PT.

Dana Bhakti Wakaf, 1990.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid X Juz 28-29-

30.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid VII Juz 19-20-

2.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid II Juz 4-5-6.

Endahwati, Sri. Upacara Adat Jolenan di Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo.

Jurnal Eduksi 5. Januari, 2018.

Habibillah, Muhammad. Raih Berkah Harta Dengan Sedekah & Silaturahmi: Cara

Hidup Kaya Harta & Kaya Hati. Jakarta: Sabil, 2013.

Hammam, Hasan. Dahsyatnya Terapi Sedekah. Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007.

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Khozin. Khazanah Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.

Koentjaranungrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-PRESS, 2014.

M. Suhadi. Dahsyatnya Sedekah Tahajud Dhuha & Santuni Anak Yatim. Surakarta:

Ziyad Visi Media, 2012.

Mahmud. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2003.

Page 121: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

116

Nafis, Muhammad Muntahibun. Ilmu Pendidikan Islam.Yogyakarta: Teras, 2011.

Pasmadi, Achmad Kurniawan. Konsep Rezeki Dalam Pandangan Para Pedagang

Pasar. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009).

Prahara, Erwin Yudi. Materi Pendidikan Agama Islam. Ponorogo: STAIN Po PRESS,

2009.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2015.

Ramon, Sumardi. Sosiologi dan Antropologi . Surabaya: Sinar Wijaya, 1985.

Rustanto, Bambang. Penelitian Kualitatif Pekerjaan Sosial . Bandung: PT. Remaja

Rosdakaya, 2015.

Salim, Moh. Haitami dan Syamsul Kurniawan. Studi Ilmu Pendidikan Islam.

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Sarisno. Ilmu Pengetahuan dan Nilai. Jurnal Edukasi, 5. Januari, 2018.

Setiadi, Elly M, et al. Ilmu Sosial & Budaya Dasar . Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2006.

Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:

Rajawali Pers, 2012.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif,Kuantitatif, dan R&D

. Bandung: Alfabeta, 2015.

Sugiyono. Metode Penelitian uantitatif kualitatif dan R&D . Bandung:Alfabeta, 2007),

225.

Sukma, Selviana Muktining . Tradisi Grebeg Maulid Nabi Muhammad SAW Dalam

Persepektif Pendidikan Islam . Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2015.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2013.

Suryono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Sutrisno dan Muhyidin Albarobis. Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial.

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Wintala, Sri. Filsafat Jawa: Menguak Filosofi, Ajaran, dan Laku Hidup Leluhur Jawa

. Yogyakarta: Araska, 2017.

Page 122: NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM TRADISI UPACARA ADAT

117

Zuhairi. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.