nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-qur’ane-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1696/1/skripsi...

116
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT AN-NUR AYAT 58, 59, 60 DAN 61 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: SITI AMINAH NIM 11112113 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017

Upload: others

Post on 03-Nov-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

    DALAM AL-QUR’AN

    SURAT AN-NUR AYAT 58, 59, 60 DAN 61

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Pendidikan

    Oleh:

    SITI AMINAH

    NIM 11112113

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

    2017

  • i

    NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

    DALAM AL-QUR’AN

    SURAT AN-NUR AYAT 58, 59, 60 DAN 61

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Pendidikan

    Oleh:

    SITI AMINAH

    NIM 11112113

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

    2017

  • v

    MOTTO

    Artinya:” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan

    yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap

    (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak

    menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzab 21)

  • PERSEMBAHAN

    Yang utama dari segalanya. Sembah sujud serta syukur kepada Allah

    SWT. taburan cinta dan kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan,

    membekaliku dengan ilmu, serta memperkenalkanku dengan cinta, atas karunia

    serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

    Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang-orang yang telah

    membantu mewujudkan mimpiku:

    1. Kedua orangtuaku, Bapak Ahmad Yani dan Ibu Mahmudah yang tiada

    pernah hentinya selama ini memberiku semangat, doa, dorongan,

    nasehat, dan kasih syang serta pengorbanan yang tak tergantikan

    hingga aku selalu kuat menjalani rintangan yang ada di depanku.

    2. Suamiku, Dwi Susanto yang selalu memberiku motivasi, arahan dan

    nasihatnya.

    3. Putraku tersayang, Muhammad Danish Akmal yang telah memberiku

    tawa kebahagiaan sehingga timbullah motivasi yang sangat luar biasa

    untuk mengarungi perjalanan hidupku dan mewujudkan mimpiku.

    4. Kedua mertuaku, Bapak Koderi dan Ibu Sariyah yang senantiasa

    memberikan motivasi dan doanya.

    5. Keluarga besarku yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu untuk

    dorongan, nasihat dan seluruh bantuannya.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Assalamu’alaikum Wr. Wb.

    Bismillahirrahmaanirrahiim, segala puji dan syukur senantiasa penulis

    haturkan kepada Allah SWT. atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya

    sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan baik. Sholawat

    serta salam senantiasa tercurahkan baginda Rasulullah Muhammad SAW,

    keluarga, sahabat, serta para pengikut setianya.

    Selesainya penulisan skripsi ini bukanlah semata-mata jerih payah penulis

    sendiri, melainkan jasa baik dari orang-orang hebat yang diberikan kepada

    penulis. Untuk itu dengan memohon arah dan bimbingan, penulis sampaikan

    ucapan terimakasih, kepada:

    1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam

    Negeri (IAIN) Salatiga.

    2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan FTIK Institut Agama Islam Negeri

    (IAIN) Salatiga.

    3. Ibu Siti Rukhayati, M.Pd. selaku Ketua Jurusan PAI Institut Agama Islam

    Negeri (IAIN) Salatiga.

    4. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd. selaku Dosen pembimbing yang dengan

    penuh kesabaran telah meluangkan waktunya untuk memberikan

    pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

  • viii

    5. Bapak dan Ibu Dosen FTIK IAIN Salatiga yang telah mendidik penulis

    sehingga berakhirnya penyusunan skripsi ini.

    6. Guru-guru yang memberikan pengetahuannya kepada saya, semoga Allah

    SWT. membalasnya dengan menempatkan kalian ditempat yang layak dan

    dibalas dengan penuh kasih sayang-Nya.

    7. Teman-teman PAI D yang mengajak untuk sesegera mungkin

    menyelesaikan program SI ini.

    8. Teman-teman seperjuangan PAI D khususnya dan IAIN Salatiga pada

    umumnya,

    Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan balasan

    apapun. Hanya untaian kata terima kasih yang bisa penulis sampaikan,

    semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua

    pihak yang telah membantu penulis.

    Dalam penulisan skripsi ini apabila banyak kekeliruan, kekuranga

    dan kesalahan, itu semua karena keterbatasan kemampuan penulis, untuk

    itu pula kritik dan saran yang konstruktif akan penulis terima dengan

    senang hati.

  • x

    ABSTRAK

    Aminah, Siti. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an Surat an-Nur

    Ayat 58-61. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan

    Pendidikan Agama Islam.Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

    Pembimbing: Dra. UrifatunAnis, M.Pd.I

    Kata kunci : Nilai, Pendidikan, Akhlak, al-Qur’an

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Bagaimana nilai-nilai

    pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61? (2)

    Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat

    an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 dalam kehidupan sehari-hari?

    Penelitian ini merupakan penelitian literatur atau naskah dengan

    mengambil naskah surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61. Metode yang digunakan

    adalah analisis maudhu’i dan analisis deduksi, dengan pendekatan kualitatif dan

    juga menggunakan strategi penelitian fenomenologi.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) nilai-nilai pendidikan akhlak

    yang terkandung dalam Q.S. an-Nur ayat 58 dan 59 terdapat nilai pendidikan

    akhlak tentang etika meminta izin memasuki kamar orang tua. Pada ayat 60

    terdapat nilai pendidikan akhlak tentang hukum menanggalkan pakaian bagi

    perempuan tua. Pada ayat 61 terdapat nilai pendidikan akhlak tentang kemudahan

    bagi orang sakit; dan (2) implementasi nilai yang diajarkan dalam kehidupan

    sehari-hari antara lain: etika meminta izin, diberikan penjelasan mengenai tiga

    waktu yang tidak diperbolehkan untuk masuk kamar orang lain. Hukum

    berpakaian bagi perempuan tua, memberi keringanan kepada ibu, nenek, atau

    saudara yang masuk dalam kategori tersebut untuk tidak memakai pakaian seketat

    perempuan muda dikhawatirkan akan mempersulit keadaan mereka. Kemudahan

    makan minum bagi orang sakit, membolehkan mereka untuk makan dirumah kita

    para kerabatnya tanpa membeda-bedakan kondisi yang sedang dialaminya.

  • xi

    DAFTAR ISI

    SAMPUL

    LEMBAR BERLOGO

    JUDUL ...................................................................................................................... i

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ ii

    PENGESAHAN KELULUSAN .............................................................................. iii

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................... iv

    MOTTO .................................................................................................................... v

    PERSEMBAHAN .................................................................................................... vi

    KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii

    ABSTRAK ................................................................................................................ x

    DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1

    B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4

    C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4

    D. Penegasan Istilah ........................................................................................... 4

    E. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8

  • xii

    F. Metode Penelitian.......................................................................................... 9

    G. Sistematika Penulisan Skripsi ...................................................................... 13

    BAB II KAJIAN PUSTAKA

    A. Pengertian Nilai ............................................................................................ 15

    B. Pengertian Pendidikan Akhlak ..................................................................... 16

    C. Tujuan Pendidikan Akhlak ........................................................................... 19

    D. Ruang Lingkup Pendididkan Akhlak ........................................................... 20

    E. Materi Pendidikan Akhlak ........................................................................... 35

    BAB III DESKRIPSI SURAT DAN TAFSIR AL-QUR’AN SURAT AN-NUR

    AYAT 58, 59, 60 DAN 61

    A. Surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61............................................................. 41

    B. Pandangan Mufassir dan Penafsiran Tentang al-Qur’an Surat an-Nur ayat

    58, 59, 60 dan 61 .......................................................................................... 51

    BAB IV PEMBAHASAN

    A. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat

    58, 59 60 dan 61 ............................................................................................. 69

    B. Implementasi al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 dalam

    kehidupan sehari-hari ..................................................................................... 82

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan .................................................................................................... 87

  • xiii

    B. Saran-Saran .................................................................................................... 90

    C. Penutup ........................................................................................................... 91

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 92

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Al-Qur’an adalah sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan

    utama. Menurut keyakinan umat Islam yang diakui kebenarannya oleh

    penelitian ilmiah, al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman

    (wahyu) Allah, sama benar yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada

    Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun

    2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah. Tujuannya,

    untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan

    kehidupannya untuk mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di

    akhirat (Ali, 2008: 93).

    Al-Qur’an yang merupakan sumber agama ini mengandung

    beberapa prinsip dalam hidup untuk memeperoleh kebahagiaan di dunia dan

    akhirat, termasuk ajaran tentang kehidupan manusia. Karena itu manusia

    dapat mengetahui siapa dirinya, darimana ia berasal, di mana ia berada dan

    ke mana ia akan pergi. Dengan demikian manusia akan tahu bagaimana ia

    harus bertindak dalam hidupnya.

    Jika dikaji sejarah turunnya wahyu yang kini dihimpun dengan baik

    dalam al-Qur’an, dapatlah disimpulkan bahwa al-Qur’an yang turun sedikit

    demi sedikit itu isinya antara lain adalah (1) Petujuk mengenai akidah yang

    diyakini oleh manusia. (2) Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang

  • 2

    harus diikuti oleh manusia dalam berhubungan dengan Allah dan dengan

    sesama insan demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat kelak.

    (3) Petunjuk tentang akhlak, mengenai yang baik dan buruk yang harus

    diindahkan oleh manusia dalam kehidupan, baik kehidupan individual

    maupun kehuidupan sosial. (4) Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau

    (Ali, 2008: 97).

    Akan tetapi dari ke empat isi al-Qur’an tersebut penulis hanya akan

    membahas poin yang ketiga yaitu petunjuk tentang akhlak mengenai akhlak

    yang baik dan yang buruk dalam kehidupan individual maupun sosial.

    Karena dalam mengembangkan akhlak pada seseorang tentunya tidak

    terlepas dari proses pendidikan, baik pendidikan keluarga maupun sekolah.

    Sering pendidikan akhlak dianggap remeh bagi sebagian orang tua yang

    akhirnaya mengakibatkan perilaku menyimpang bagi si anak, dan juga akan

    mengakibatkan hubungan sosial kemasyarakatan yang kurang etis.

    Pendidikan akhlak sangatlah penting dalam mewujudkan pribadi yang

    mulia. Pendidikan ini akan sangat berarti jika kita mulai dari diri sendiri dan

    keluarga terutama kepada anak-anak kita kelak.

    Para filsuf salaf sangat menyadari pentingnya pendidikan budi

    pekerti anak, karena itu mereka benar-benar serius dalam mendidik anak

    mereka agar anak-anak mereka dapat memiliki budi pekerti yang luhur.

    Perhatian yang besar terhadap pendidikan ini disebabkan karena dengannya

    menghasilkan hati yang terbuka dan hati yang terbuka menghasilkan

    kebiasaan yang baik, dan kebiasaan yang baik menghasilkan perangai yang

  • 3

    terpuji, dan perangai yang terpuji menghasilkan amal saleh, dan amal saleh

    menghasilkan ridha Allah Swt., dan ridha Allah Swt. menghasilkan

    kemuliaan yang abadi (Hafizh, 1997: 179).

    Islam sangat mementingkan pendidikan yang benar dan berkualitas,

    individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan

    kehidupan sosial yang bermoral. Akhlak menjadi sesuatu yang sangat

    penting dan berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara

    (Munir, 2008: 115)

    Memiliki akhlak mulia yang akan tertanam pada diri dimulai pada

    pendidikan dalam keluarga, karena keluarga merupakan tempat anak

    membuka matanya untuk yang pertama kali. Pengaruhnya dalam pendidikan

    ini akan memainkan peranan yang sangat besar dalam memberikan

    pengarahan dan membentuk pribadi anak. Sejauh mana nilai-nilai

    pendidikan itu diberikan oleh keluarga kepada anak sejauh itulah anak

    terbentuk, tumbuh, berkembang, serta menghadapi masyarakat dengan

    segala permasalahannya. Jika pendidikan tersebut dapat terlaksana dengan

    baik, maka akhlak terhadap masyarakat beserta lingkungannya juga akan

    terealisasi dengan baik.

    Mengingat masalah pendidikan akhlak yang sangat penting itu,

    khususnya pendidikan akhlak dalam keluarga, maka mendorong penulis

    melakukan penelitian dengan mengambil judul “NILAI-NILAI

    PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT AN-NUR

    AYAT 58, 59, 60 DAN 61”.

  • 4

    B. Rumusan Masalah

    Mengacu dari uraian di atas, maka selanjutnya penulis merumuskan

    pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Hal tersebut antara

    lain:

    1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat

    an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61?

    2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan

    dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 dalam kehidupan sehari-

    hari?

    C. Tujuan Penelitian

    Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka

    dapat ditetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:

    1. Untuk memperoleh deskripsi tentang nilai-nilai pendidikan akhlak

    yang diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58,59, 60 dan 61.

    2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang

    diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 dalam kehidupan

    sehari-hari?

    D. Penegasan Istilah

    Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan terhadap judul

    penelitian ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang

    terdapat dalam judul ini antara lain:

  • 5

    1. Nilai

    Muhammad Ibrahim Khazim berpendapat bahwa nilai (value)

    adalah ukuran, tingkatan, atau standar yang kita tujukan untuk

    perilaku kita, apakah perilaku itu kita sukai atau benci. Sehingga nilai

    juga dapat diartikan sebagai kumpulan dari ukuran-ukuran, orientasi,

    dan teladan luhur, yang selaras dengan akidah yang diyakini seseorang

    dan tidak bertentangan dengan perilaku masyarakat, dimana ukuran-

    ukuran itu menjadi moral bagi seseorang yang tercermin dalam

    perilaku, aktivitas, usaha dan pengalaman-pengalamannya.

    Sebagaimana yang terlihat pada komitmen seseorang terhadap nilai-

    nilai itu dalam perilakunya terhadap manusia dari satu sisi dan

    terhadap Tuhan dari sisi lain (Murshafi, 2009: 95).

    Jadi nilai dapat diartikan sebagai sifat-sifat atau hal-hal yang

    penting atau berguna bagi kemanusiaan.

    2. Pendidikan

    Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan pribadi

    seseorang, kebutuhan yang tidak dapat diganti dengan yang lain.

    Karena pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu untuk

    mengembangkan kualitas, potensi dan bakat diri. Pendidikan

    membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari

    kebodohan menjadi kepintaran, dari kurang paham menjadi paham,

    intinya adalah pendidikan membentuk jasmani dan rohani menjadi

    paripurna (Rahmaniyah, 2010: 1).

  • 6

    Sedangkan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan

    Nasional, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk

    mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

    didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

    kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

    kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

    masyarakat, bangsa dan negara (UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan

    Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, 2006: 72)

    Jadi, yang dimaksud dengan pendidikan adalah bimbingan atau

    pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik kepada si

    terdidik dalam perkembangan jasmaniah dan rohaniah kearah

    kedewasaan dan seterusnya kearah terbentuknya kepribadian muslim

    (Rahmaniyah, 2010: 53).

    3. Akhlak

    Kata “akhlaq” (bahasa Arab) merupakan bentuk jamak dari kata

    “khuluq”, yang berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan. Persoalan

    akhlak tersebut dikaji sedemikian rupa oleh ulama, sehingga timbul

    ilmu akhlak, yaitu ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk,

    antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan

    manusia lahir dan batin (Muhaimin, 2003: 306)

    Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga

    pribadi yang berakhlak baik nantiya akan menjadi bagian dari

  • 7

    masyarakat yang baik pula. Akhlak dalam Islam juga memiliki nilai

    yang dapat diterapkan pada kondisi apa pun (Syafri, 2014: 68).

    Akhlak pada dasarnya mengajarkan bagaimana seseorang

    seharusnya berhubungan dengan Tuhan Allah (حبل من هللا)

    penciptanya, sekaligus bagaimana seseorang harus berhubungan

    dengan sesama manusia (حبل من الناس). Inti ajaran akhlak adalah niat

    kuat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dengan ridha Allah

    ta’ala.

    4. al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59,60 dan 61

    Surat an-Nur (cahaya) adalah surat ke dua puluh empat setelah

    surat al-Mu’minun dalam susunan al-Qur’an, yang terdiri dari 64 ayat,

    termasuk dalam golongan surat Madaniyah. Adapun ayat 58

    menjelaskan tentang akhlak dalam keluarga yakni sopan santun dalam

    rumah tangga. Pendidikan akhlak yang diberikan kepada anak-anak

    yang belum memasuki usia baligh, dan para pelayan yang berada di

    rumah.

    Sedang ayat 59 juga menjelaskan tentang akhlak yang diberikan

    kepada anak-anak khususnya mereka yang telah mencapai usia baligh

    dan sopan santun ketika mereka ingin menemui orang tuanya di kamar.

    Ayat 60 menjelaskan tentang wanita yang telah memasuki usia

    lanjut yang telah berhenti/tidak lagi haid dan juga tidak memiliki

    hasrat untuk menikah. Ayat ini merupakan pengecualian dari ayat 31

    surah ini yakni “dan janganlah mereka menampakkan hiasan mereka

  • 8

    kecuali yang nampak darinya”, karena dalam surah ini mengharuskan

    wanita-wanita untuk tidak menampakkan aurat mereka. Maka dalam

    ayat ini tidak memberatkan kepada wanita untuk menutup seluruh

    auratnya, yang penting baginya di masa sekarang ini adalah menjaga

    sikap hidup, sikap diri dan jiwa supaya tetap terhormat dan menjadi

    contoh dan teladan yang baik bagi anak cucunya dalam rumah tangga

    dan orang lain.

    Ayat 61 menjelaskan tentang hubungan kekeluargaan orang

    yang beriman dan soal makan dan minum dalam keluarga itu.

    E. Manfaat Penelitian

    1. Manfaat teoritis

    a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu pada umumnya dan

    pendidikan akhlak pada khususnya, terutama mengenai nilai-nilai

    pendidikan akhlak dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60

    dan 61.

    b. Penelitian ini ada relevansinya dengan Ilmu Agama Islam

    khususnya Program Studi Pendidikan Agama Islam, sehingga hasil

    pembahasannya berguna menambah literatur atau bacaan tentang

    nilai-nilai pendidikan akhlak dalan al-Qur’an surat an-Nur ayat 58,

    59, 60 dan 61.

    c. Penelitian ini semoga dapat memberi kontribusi positif bagi kaum

    hawa khususnya penulis untuk mengetahui dan mendalami serta

  • 9

    mengamalkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam

    al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61.

    2. Manfaat praktis

    Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan

    berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan

    sebagai berikut:

    a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi

    bagi para orang tua atau pendidik untuk mensosialisasikan

    pendidikan akhlak di dalam keluarga dan juga di masyarakat sesuai

    dengan aturan ajaran Islam.

    b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan

    khususnya bagi para orang tua atau pendidik dalam mendidik

    anaknya tentang beretika dalam keluarga dan juga dengan orang

    lain di masyarakat serta dapat menerapkannya dalam kehidupan

    sehari-hari.

    c. Dengan skripsi ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi

    pembaca umumnya dan khususnya penulis sendiri. Amin.

    F. Metode Penelitian

    Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa tehnik untuk

    sampai pada tujuan penelitian. Tehnik tersebut meliputi:

    1. Jenis penelitian

    jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library

    research). Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan literatur

  • 10

    (kepustakaan) dari penelitian sebelumnya (Saraswati, 2011: 23).

    karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka. Dimana

    data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berbagai

    tulisan yang temanya sama dengan judul yang penulis angkat.

    Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah:

    a. Sumber data primer.

    Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan penelitian,

    yaitu al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60, dan 61 beserta

    tafsirnya menurut ulama’ diantaranya Tafsir al-Misbah karya Prof.

    Dr. Quraish Shihab, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir karya

    Muhammad Nasib ar-Rifa’i dan Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad

    Mustafa Al-Maraghi.

    b. Sumber data sekunder.

    Yaitu sumber data yang mengandung dan melengkapi sumber-

    sumber data primer. Sumber data sekunder diambil dengan cara

    mencari, menganalisis buku-buku, internet dan informasi lainnya

    yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

    2. Pendekatan penelitian

    Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

    Menurut Emzir (2010: 28), pendekatan kualitatif merupakan salah

    satu pendekatan yang secara primer menggunakan paradigma

    pengetahuan berdasarkan pandangan konstruktivist (seperti makna

    jamak dari pengalaman individual, yaitu makna yang secara sosial

  • 11

    dan historis dibangun dengan maksud mengembangkan suatu teori

    atau pola). Pendekatan ini juga menggunakan strategi penelitian

    fenomenologis. Fenomenologi bisa diartikan sebagai pengalaman

    subyektif atau studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari

    seseorang. Fenomenologi kadang-kadang digunakan sebagai

    perspektif filosofi dan juga digunakan sebagai pendidikan penelitian

    kualitatif (Meleong, 2008: 15).

    Pendekatan ini penulis gunakan untuk menganalisis nilai-nilai

    yang ada dalam surat an-Nur ayat 58-61 yang mampu menghasilkan

    sebuah konsep pemikiran yang integral dengan konteks yang terjadi

    waktu itu.

    3. Tehnik pengumpulan data

    Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini, penulis

    menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu teknik

    pengumpulan data yang ditujukan kepada subyek penelitian.

    Dokumen dapat berupa catatan pribadi, surat pribadi, buku harian,

    lapran kerja, notulen rapat, catatan kasus, rekaman kaset, rekaman

    video dan lain sebagainya (Sukandarrumidi, 2004: 100-101).

    Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara

    membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku tafsir al-Qur’an dan

    hadist serta buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan.

  • 12

    Kemudian hasil dari data itu dianalisis untuk mendapatkan

    kandungan makna al-Qur’an surat an-Nur tentang nilai-nilai

    pendidikan akhlak.

    4. Metode analisis.

    a. Analisis Mawdhu’i

    Analisis Mawdhu’i atau tafsir al-mawdhu’i menurut istilah

    adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menghimpun ayat-

    ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti

    sama-sama membicarakan satu topik dan menyusunnya

    berdasarkan kronologi dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut

    (Budihardjo, 2012: 50).

    Metode ini penulis gunakan untuk membahas ayat al-

    Qur’an an-Nur ayat 58-61 dan berupaya menghimpun ayat-ayat al-

    Qur’an yang lain dari berbagai surat yang berkaitan dengan tema

    yang dibahas, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

    b. Analisis deduksi.

    Metode deduksi, yaitu suatu proses berfikir dari pengetahuan

    yang bersifat umum dan berangkat dari pengetahuan tersebut

    ditarik suatu pengetahuan yang khusus (Hadi, 1981: 36).

    Metode ini penulis gunakan untuk mencari fakta-fakta yang

    bersifat umum, kemudian akan ditarik kesimpulan agar bisa lebih

    memahami permasalahan yang ada.

  • 13

    G. Sistematika Penulisan Skripsi

    Sistematika penulisan skripsi merupakan penjabaran tentang hal-hal

    yang akan ditulis dan disusun secara sistematis, sehingga menghasilkan

    kerangka skripsi yang sistematis dan mudah dipahami. Sistematika yang

    akan ditulis oleh penulis akan dijelaskan sebagai berikut:

    Pada halaman pembuka mencakup halaman judul, halaman nota

    pembimbing, halaman pengesahan, halaman pernyataan keaslian tulisan,

    halaman motto, halaman persembahan, , kata pengantar, abstrak dan daftar

    isi.

    Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar

    belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah,

    manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

    Bab II Landasan Teori. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai

    pengertian pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup

    pendidikan akhlak, dan materi pendidikan akhlak.

    Bab III Deskripsi Ayat. Pada bab ini akan diuraikan tentang sebab-

    sebab turunnya al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60, dan 61 dan

    dilanjutkan dengan tafsir surat an-Nur ayat 5 8, 59, 60, dan 61 menurut

    beberapa mufassirin.

    Bab IV Analisis. Menganalisis nilai-nilai pendidikan akhlak yang

    terkandung dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60, dan 61

    dilanjutkan pembahasan mengenai implementasinya dalam kehidupan

    sehari-hari.

  • 14

    Bab V Penutup, Simpulan dan Saran. Bab penutup yang memuat

    kesimpulan penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat

    penutup yang sekiranya dianggap penting dan daftar pustaka.

  • 15

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    Sebelum mengkaji lebih jauh tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang

    terkandung dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61, penulis lebih

    dahulu akan menjelaskan mengenai pendidikan akhlak. Pada kajian tentang nilai-

    nilai pendidikan akhlak mencakup: pengertian nilai, pengertian pendidikan

    akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, materi

    pendidikan akhlak.

    A. Pengertian Nilai

    Nilai menurut Rokearch dan Bank adalah suatu tipe kepercayaan yang

    dalam seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai

    suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan (Thoha, 1996: 60). Sementara

    menurut Thoha (1996: 62) nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu

    yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Dan menurut Khazim, nilai

    diartikan sebagai kumpulan dari ukuran-ukuran, orientasi, dan teladan luhur,

    yang selaras dengan akidah yang diyakini seseorang dan tidak bertentangan

    dengan perilaku masyarakat (Murshafi: 2009: 95).

    Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu

    sudut pandang yang bersifat abstrak, tentang baik buruknya suatu hal sebagai

    bentuk kesadaran yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam

    kehidupan sehari-hari. Dengan demikian menunjukkan bahwa nilai bersifat

    subyektif, artinya nilai menurut masyarakat satu belum tentu dapat diterapkan

  • 16

    untuk masyarakat lainnya. Sebagai contoh, segenggam garam lebih berarti

    bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari pada segenggam emas. Karena

    garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan. Sedangkan

    segenggam emas lebih berarti bagi orang kota. Adanya perbedaan tersebut

    dikarenakan dari segi manfaat suatu objek/hal. Nilai sesuatu akan selalu

    berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.

    B. Pengertian Pendidikan Akhlak

    Pendidikan merupakan suatu usaha atau proses yang ditujukan untuk

    membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan

    perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Pendidikan pada

    intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya secara

    fungsional di tengah-tengah kehidupan manusia (Nata, 2013: 338). Menurut

    al-Ghazali pendidikan adalah suatu ibadah dan sarana untuk menyebarluaskan

    keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media mendekatakan umat

    manusia kepada Allah „Azza wa Jalla (Sulaiman, 1986: 11).

    Pendidikan ialah tindakan yang sadar tujuan untuk memelihara dan

    mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya insani) menuju

    kesempuranaan insani (insan kamil). Pendidikan adalah proses kegiatan yang

    dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, seirama dengan

    perkembangan anak (Achmadi, 1987: 5).

    Maka pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam

    kehidupan, tanpa pendidikan akan sangat sulit bagi manusia untuk dapat

    hidup maju dan berkembang. Dengan pendidikan akan terbentuk generasi

  • 17

    bangsa yang tinggi dan berkualitas, sehingga tidak mudah dibodohi oleh

    negara-negara lain melalui pendidikan dan pengetahuan yang mereka miliki.

    Akan tetapi pendidikan akan lebih sempurna jika dilengkapi dengan akhlak

    yang mulia, karena akhlak merupakan kunci dari kejayaan dan kehancuran

    suatu bangsa.

    Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah

    suatu usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai kesempurnaan insani/insan

    kamil yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan proses

    kegiatan secara bertahap dan berkesinambungan.

    Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-Akhlaaq.

    Bentuk jamak dari kata aI-Khuluq yang berarti budi pekerti, tabiat atau watak

    (Halim, 2000: 8). Dalam buku Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji oleh M.

    Nipan Abdul Halim (2000: 9), pengertian akhlak secara terminologis menurut

    beberapa tokoh diantaranya:

    1. Prof. Dr. Ahmad Amin:

    “Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, apabila kehendak itu

    membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu disebut akhlak”.

    2. Ibnu Maskawih:

    “Akhlak ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk

    melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih

    dahulu) ”.

  • 18

    3. Imam al-Ghazali:

    “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul

    perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan

    akalnya terlebih dahulu ”.

    Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak ialah

    perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukan secara

    berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai

    pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain. Dengan

    demikian apabila suatu perbuatan baik dilakukan sekali atau dua kali saja

    maka perbuatan-perbuatan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai

    akhlak, melainkan hanya sebatas perbuatan baik atau mulia. Karena bisa saja

    orang tersebut melakukan perbuatan baik karena ada bujukan dari orang lain

    atau motivasi-motivasi dari luar.

    Menurut Saltut yang dikutip oleh Syafri (2014: 65), mengatakan

    bahwa pendidikan akhlak merupakan sebuah proses mendidik, memelihara,

    membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan

    berfikir yang baik. Pendidikan akhlak menekankan pada sikap, tabiat dan

    perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus dimiliki dan

    dijadikan kebiasaan anak didik dalam kehidupan sehari-hari (Munawar, 2005:

    8).

    Pendidikan akhlak atau pendidikan akhlak mulia dapat diartikan

    sebagai proses internalisasi nilai-nilai akhlak mulia ke dalam diri peserta

    didik, sehingga nilai-nilai tersebut tertanam kuat dalam pola pikir, ucapan

  • 19

    perbuatan, serta interaksinya dengan Tuhan, manusia dan lingkungan alam

    jagad raya (Nata, 2013: 209).

    Dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak ialah suatu usaha sadar

    yang dilakukan secara berkesinambungan dalam membina sikap manusia agar

    terbentuk karakter yang taat dan berakhlakul karimah. Pendidikan akhlak ini

    berkaitan dengan perubahan perilaku. Maka dalam pendekatannya harus

    dengan cara pemberian contoh, latihan dan pembiasaan dalam kehidupan

    sehari-hari, mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga hingga ke

    lingkungan yang lebih luas, sehingga pelaksanaan akhlak tersebut terasa

    ringan untuk dilakukan dan terciptalah kehidupan yang aman dan tenteram.

    C. Tujuan Pendidikan Akhlak

    Pendidikan akhlak merupakan upaya untuk melahirkan manusia

    berkepribadian Muslim yang mudah untuk melaksanakan ketentuan hukum

    dan ketentuan syariat yang diperintahkan. Atau dengan kata lain tujuan

    pembinaan dan pendidikan akhlak yaitu untuk membentuk karakter Muslim

    yang taat dan berakhlakul karimah (Syafri, 2014: 104).

    Sebagaimana akhlak yang dicontohkan pada Nabi kita Muhammad

    SAW. yang mana dari situlah ditujukan agar kita dapat mengikuti dan

    mencontoh akhlak-akhlak mulia dan senantiasa berada dalam kebenaran serta

    berjalan di jalan yang lurus. Perintah untuk menjadikan beliau suri tauladan

    bagi kita adalah firman Allah SWT. QS. al-Ahzab [33]: 21:

  • 20

    “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik

    bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

    (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (al-Qur‟an dan

    Terjemahannya, 2012: 421).

    Berdasarkan penjelasan ayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah

    SAW. merupakan figur utama sebagai manusia utusan Allah SWT. yang patut

    dijadikan panutan dalam menjalani kehidupan di dunia dan mencapai

    kehidupan di akhirat. Maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan akhlak

    adalah agar terbinanya akhlak terpuji dan mulia sebagaimana dicontohkan

    Rasulullah SAW. selain itu pendidikan akhlak memiliki tujuan agar manusia

    berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus. Inilah

    yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

    D. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

    Menurut Ilyas (2007: 5), di dalam bukunya Kuliah Akhlak membagi

    akhlak menjadi lima, yaitu: Akhlak terhadap Allah SWT, Akhlak terhadap

    Rasulullah SAW, Akhlak Pribadi, Akhlak dalam Keluarga, Akhlak

    bermasyarakat, dan Akhlak bernegara. Sementara menurut Shihab (1996:

    261) di dalam bukunya Wawasan al-Qur’an membagi akhlak menjadi tiga,

    yaitu: Akhlak terhadap Allah SWT., Akhlak terhadap Manusia dan Akhlak

    terhadap Lingkungan. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:

  • 21

    1. Akhlak Terhadap Allah SWT

    Titik tolak akhlak terhadap Allah SWT. adalah pengakuan dan

    keasadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah SWT. (Shihab, 1996:

    261). Akhlak kepada Allah SWT. (hablumminallah) dapat diartikan

    sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia

    sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Khalik.

    Hubungan hamba dengan Allah bersifat vertikal (atas-bawah)

    hamba berada “di bawah”, sementara Allah SWT. berada “di atas”. Atas

    dan bawah ini bukan pemahaman secara hakiki, akan tetapi lebih ke

    makna majazi. Dalam arti hamba yang menyembah dan Allah SWT.

    yang disembah. Hamba yang beribadah dan Allah SWT. yang diibadahi.

    Hamba memiliki sejumlah kewajiban kepada Tuhannya, sementara Allah

    SWT. tidak memiliki kewajiban apa pun kepada hamba-Nya. Allah

    SWT. memiliki sejumlah hak atas hamba, sementara hamba tidak punya

    hak apa pun atas-Nya (Salamulloh, 2008: 3). Dalam berakhlak kepada

    Allah SWT. manusia mempunyai banyak cara, menurut Tatapangarsa

    (1991: 20) beberapa akhlak yang harus dimiliki seorang hamba kepada

    Allah SWT. diantaranya adalah:

    a. Beriman Kepada Allah SWT.

    Artinya mengakui, mempercayai atau meyakini bahwa Allah

    SWT. itu ada, dan bersifat dengan segala sifat yang baik dan maha

    suci dari segala sifat yang buruk.

  • 22

    b. Beribadah Kepada Allah SWT

    Beribadah yaitu memenuhi apa yang menjadi hak Allah SWT.

    yang direalisasikan dengan mengamalkan segala perintah Allah

    SWT. dan menjauhi segala larangan-Nya, yang dikerjakan dengan

    tulus ikhlas, semata-mata hanya karena Allah SWT.

    c. Tidak Mempersekutukan Allah SWT

    Mempersekutukan maksudnya mempertuhan sesuatu yang

    bukan Tuhan, sehingga selain Tuhan yang satu (Allah) dianggap ada

    lagi Tuhan yang lain. Perbuatan demikian dinamakan syirik, dan

    orang yang melakukannya dinamakan musyrik.

    Beberapa akhlak yang dipaparkan diatas merupakan akhlak

    yang harus dimiliki oleh manusia kepada Tuhannya. Karena akhlak

    terhadap Allah SWT. merupakan sikap atau perbuatan manusia yang

    seharusnya dilakukan sebagai makhluk kepada Sang Khalik.

    2. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

    Akhlak terhadap sesama manusia dapat dirinci lagi sebagai

    berikut:

    a. Akhlak Terhadap Rasulullah SAW

    Rasulullah SAW. adalah Nabi dan Rasul terakhir, dan

    kewajiban bagi setiap manusia untuk beriman kepadanya. Iman tidak

    cukup dengan hanya sekedar meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan

    dengan perbuatan atau amal yang sudah dijelaskan di dalam al-

  • 23

    Qur‟an dan hadits tentang bagaimana bersikap terhadap Rasulullah

    SAW. itulah yang dinamakan akhlak terhadap Rasulullah SAW.

    Beberapa akhlak yang perlu kita tunjukkan kepada Rasulullah SAW.

    dalam buku Akhlak Hubungan Horisontal oleh M. Alaika

    Salamulloh (2008: 36) adalah sebagai berikut:

    1) Mengimani dan Menjalankan Ajaran Rasulullah SAW

    Sebagai umat Islam, tentu kita wajib beriman kepada

    Rasulullah SAW. beserta risalah yang dibawanya. Makna

    mengimani ajaran Rasulullah SAW. adalah menjalankan

    ajarannya, mentaati perintahnya, dan berhukum dengan

    ketetapannya.

    Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Hasyr 59: 7:

    ... ....

    “Dan apa yang didatangkan (diperintahkan) Rasul (Ku) kepada

    kalian, maka taatilah; dan apa yang dilarang, maka jauhilah...”

    (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 547).

    Dengan demikian, maka semua perintah Rasulullah SAW.

    wajib kita taati dan semua larangannya wajib kita jauhi.

    2) Mencintai Rasulullah SAW

    Wajib dan harus diutamakan melebihi kecintaan kita kepada

    sesama makhluk. Bukti cinta kepada Rasulullah SAW. tidak

    cukup dengan hanya membaca shalawat, tetapi juga harus

    diwujudkan dengan tindakan konkret, diantaranya adalah

  • 24

    menjalankan ajaran Rasulullah SAW., rindu untuk bertemu

    dengan Rasulullah SAW., serta memperbanyak shalawat dan

    pujian kepada Rasulullah SAW.

    3) Meneladani Akhlak Rasulullah SAW

    Karena sikap dan ketaatan beliau pada ajaran yang

    terkandung dalam al-Qur‟an menjadi bagian yang tak terpisahkan

    pada setiap suasana kehidupannya, sehingga patutlah jika

    seharusnya kita sebagai umatnya meneladani akhlak beliau.

    Akhlak kepada Rasulullah SAW. merupakan wujud

    kecintaan dan ketaatan kita sebagai umatnya kepada sang

    pemimpin yaitu Rasulullah SAW. dengan mentaati, menjalankan

    perintahnya serta mengikuti jejak beliau, manusia akan dijamin

    kesejahteraannya di dunia dan di akhirat.

    b. Akhlak Terhadap Orang Tua

    Allah memerintahkan kepada kita supaya senantiasa berbuat

    baik kepada kedua orang tua. Mereka berdua telah banyak berjasa

    kepada kita. Mulai sebelum lahir hingga kita dewasa, tak pernah

    sedetik pun kasih sayang mereka terlewatkan dari kita. Allah SWT.

    berfirman dalam QS. al-Isra‟ 17 ayat 23:

  • 25

    “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah

    selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah

    seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia

    lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau

    mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah

    engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya

    perkataan yang baik” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 285).

    Dalam buku Akhlak Horisontal karya M. Alaika Salamulloh

    (2008: 68), terdapat beberapa tuntunan akhlak yang perlu dipahami

    oleh setiap anak dalam berinteraksi dengan orang tuanya.

    Diantaranya adalah sebagai berikut:

    1) Mencukupi Kebutuhan Orang Tua

    Dengan tegas Allah memerintahkan kepada kita bahwa

    setiap harta yang kita peroleh wajib dinafkahkan kepada orang-

    orang yang berada di bawah tanggungan kita, termasuk kepada

    orang tua. Bahkan orang tua menduduki peringkat pertama dalam

    penerimaan nafkah ini. Allah SWT. berfirman dalam QS. al-

    Baqarah [2] ayat 215:

    “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang

    harus mereka infakkan. Katakanlah, , “harta apa saja yang kamu

    infakkan. Hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua,

    kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang

    yang sedang dalam perjalanan’. Dan kebaikan apa saja yang

    kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha

    Mengetahui.”(al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 34).

  • 26

    Akhlak ini berlaku pada anak yang sudah mandiri dan

    memiliki penghasilan sendiri. Bahkan kalau sang anak sudah

    menikah dan memiliki anak cucu, kewajiban tersebut tidaklah

    putus. Hendaklah ia tetap menyisihkan sebagian penghasilannya

    untuk mencukupi kebutuhan sang orang tua.

    2) Patuh Menjalankan Perintah Orang Tua

    Sebagaimana firman Allah SWT. QS. Luqman 31: 15:

    “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku

    dengan sesuatu yang engkau tudak mempunyai ilmu tentang itu,

    maka janganlah engaku menaati keduanya, dan pergaulilah

    keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang

    kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat

    kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang

    telah kamu kerjakan” (al-Qur‟an, 2012: 413).

    Berdasarkan penjelasan di atas taat dan patuh terhadap

    perintah orang tua sepanjang perintah orang tua mengandung usur

    kebaikan, wajib hukumnya bagi sang anak mematuhinya. Akan

    tetapi, bila perintah tersebut menjurus kepada kemaksiatan, maka

    anak tidak wajib taat.

    3) Mendoakan Orang Tua

    Allah SWT. berfirman dalam surat al-Isra‟ [17] ayat 24:

  • 27

    “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh

    kasih sayang dan ucapkanlah, “wahai Tuhanku! sayangilah

    keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada

    waktu kecil” (al-Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 285).

    Ayat di atas menjadi dalil yang kuat mengenai kewajiban

    anak untuk mendoakan orang tuanya. Di antara doa yang

    dipanjatkan adalah semoga Allah menyayangi kepada keduanya

    sebagaimana mereka menyayanginya pada waktu kecil.

    Mendoakan orang tua adalah kewajiban seorang anak, baik ketika

    ia masih hidup atau sudah meninggal dunia. Rasulullah SAW.

    bersabda:

    ٍْ َصَدقٍَح َجاِزٍََح اَْوِعْهٍى ٍْ ثَََلثٍَح اَِّلا ِي هُُّ اَِّلا ِي ًَ ُُّْ َع َْقَطََع َع اذا ياخ اتٍ آدو ا

    ِّ اَْو َونٍَد َصانٍِح ََْدُع نَُّ ُْتَفَُع تِ ( ١٣٦١يسهى )صحُح َُ

    “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya,

    kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat

    dan anak shalih yang mendoakannya”(HR. Muslim: 1631).

    Sesungguhnya kewajiban anak untuk berbakti kepada orang

    tua tidak akan pernah putus meski keduanya telah meninggal

    dunia, seorang anak tetap wajib berbakti kepada mereka salah

    satunya dengan cara mendo‟akan keduanya.

    c. Akhlak Terhadap Diri Sendiri

    Setiap muslim meyakini bahwa nasib hidupnya di akhirat

    ditentukan oleh perilakunya selama di dunia. Dengan mengerjakan

  • 28

    kebaikan, berarti ia telah menanam benih yang baik. Jika ia lebih

    senang menceburkan dirinya ke dalam kubangan maksiat maka ia

    telah menanam benih yang buruk dan akan menanggung akibatnya.

    Akhlak terhadap diri sendiri diantaranya adalah memelihara diri baik

    lahir (jasmani) maupun batin (rohani) (Salamulloh, 2008: 263).

    Adapun penjelasannya sebagai berikut:

    1) Dari Sisi Batin (Rohani)

    Orang muslim meyakini bahwa sesuatu yang dapat

    membersihkan jiwanya adalah iman dan amal saleh, sedangkan

    yang dapat mengotori dan merusaknya adalah kemaksiatan dan

    kekafiran. Karena itulah orang muslim dianjurkan untuk terus-

    menerus menjaga dan membersihkan dirinya, menghiasinya

    dengan akhlak yang baik, dan menyapunya dari segala kotoran

    dan dosa. Adapun beberapa akhlak pribadi menurut Ilyas (2007:

    81), adalah:

    a) Shidiq

    Shidiq (ash-sidqu) artinya benar atau jujur, lawan dari

    dusta atau bohong (al-kazib). Seorang muslim dituntut selalu

    berada dalam keadaan benar lahir batin; benar hati, benar

    perkataan, dan benar perbuatan. Antara hati dan perkataan

    harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan

    perbuatan.

  • 29

    b) Amanah

    Amanah artinya dipercaya, seakar dengan kata iman.

    Karena sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman.

    Amanah dalam pengartian yang luas mencakup banyak hal,

    antara lain: menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan

    orang lain, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas

    yang diberikan kepadanya dan lain-lain sebagainya. Tugas-

    tugas yang dipikulkan Allah SWT. kepada umat manusia

    disebut sebagai amanah. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.

    al-Ahzab [33] ayat 72, yaitu:

    “Sesungguhnya Kami mengemukakan amanah kepada langit,

    bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk

    memikul amanah itu dan mereka khawatir akan

    mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia.

    Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (al-

    Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 428).

    c) Istiqamah

    Secara etimologis, istiqamah berasal dari kata istiqāma-

    yastaqīmu-istiqāmah, yang berarti tegak lurus. Dalam

    terminologi Akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam

    mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun

    menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah

  • 30

    supaya beristiqamah dinyatakan dalam firman Allah SWT. QS.

    Hud [11] ayat 112:

    “Maka beristiqamahlah kamu pada jalan yang benar,

    sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang

    telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui

    batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu

    kerjakan” (al-Qur‟an dan Terjemahanya 2012: 235).

    2) Dari Sisi Lahir (Jasmani)

    Islam mengajarkan kita untuk selalu menjaga kesehatan.

    Sebab kesehatan adalah karunia dari Allah SWT. Dengan

    menjaga kesehatan ragawi, berarti kita telah berakhlak mulia

    kepada diri sendiri. Salah satu bentuk berakhlak baik terhadap

    jasmani adalah tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang

    dilarang Allah SWT. karena setiap yang dilarang oleh Allah

    SWT. pasti di dalamnya terkandung madarat.

    Sebagai contoh, khamar. Dengan tegas Allah SWT.

    melarang setiap muslim meminum khamar. Sebab, meminum

    khamar dapat memberikan dampak yang sangat buruk kepada

    kesehatan manusia, baik terhadap pikiran maupun fisiknya.

    Dengan meminum khamar jaringan dan metabolisme tubuh

    menjadi terusik sehingga kekebalan tubuh akan menurun.

    Karenanya orang yang minum khamar sangat mudah terserang

    penyakit.

  • 31

    d. Akhlak Terhadap Karib Kerabat

    Kerabat adalah orang-orang yang mempunyai pertalian

    keluarga dengan kita, baik melalui jalur hubungan darah ataupun

    perkawinan. Kita harus menjaga hubungan kekerabatan tersebut

    supaya tetap terjalin kuat dan tidak terputus. Sebab, apabila tali

    kekerabatan kita terputus, maka tatanan keluarga kita akan

    berantakan (Salamulloh, 2008: 26).

    Islam telah menggariskan beberapa tata cara (akhlak) dalam menjaga

    ikatan kekerabatan ini. Diantaranya adalah:

    1) Bersilaturahmi

    Menyambung tali silaturahmi tidak hanya ditujukan

    kepada mereka yang sudah menjadi keluarga dan sahabat kita.

    Tetapi yang lebih hakiki adalah apabila kita mampu

    menyambung tali silaturrahmi dengan orang yang telah

    memutuskan tali kekerabatan dengan kita. Salah satu keutamaan

    dalam menyambung tali silaturrahmi yaitu lapang rezeki dan

    panjang umur. Rasulullah SAW. bersabda:

    ٍْ ٍِ ِشهَاٍب َع ٍِ اْت جَ َع ٍْ قُسا ٍُ َسْعٍد َع ٍُ ْت ثََُا ِزْشِدَ دا ٍُ َسِعٍُد حا ُْثَحُ ْت ثََُا قُتَ َحدا

    ٌا انُا ٍِ َيانٍِك أَ ٍِّ َصهًا للاُ أَََِس ْت ٍْ ثِ ِّ َوَسهاَى قَاَل َي ُْ َع للاُ أََحةا أَ َعهَ ٌْ ََُىسِّ

    ٍْ َُْسأَ نَُّ فِ ِّ َوََ ٍْ ِزْشقِ ِّ فِ ُْ ُّ َعهَ ًَ ِِ فَْهَُِصْم َزِح )١٦٠٣٣يسُد أحًد (. أَثَِس

    “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah

    menceritakan kepada kami Risydin bin Sa’id dari Qurrah dari

    Ibnu Syihab dari Anas bin Malik, Nabi Shallallahu’alaihi

    wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengehendaki risqinya

    diluaskan Allah, dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah

    tali silaturahmi” (Musnad Ahmad 13096).

  • 32

    Dilapangkan rizki dapat dipahami secara obyektif. Karena

    salah satu modal untuk mendapatkan rezeki adalah hubungan

    baik dengan sesama manusia. Logikanya seseorang yang tidak

    mampu membina hubungan baik dengan karib kerabatnya

    sendiri, bagaimana bisa dipercaya dapat berhubungan baik

    dengan masyarakat yang lebih luas. Sedangkan panjang umur

    bisa dalam pengertian sebenarnya yaitu ditambah umurnya dari

    yang sudah ditentukan; atau umur yang mendapat taufiq dari

    Allah sehingga berkah dan bermanfaat bagi umat manusia

    2) Berbuat Baik Kepada Kerabat

    Di dalam Islam, berbuat baik dan membantu kerabat sama

    halnya dengan berjuang di jalan Allah. Memerhatikan kaum

    kerabat hendaknya lebih dikedepankan daripada orang lain.

    Dengan kata lain, apabila kaum kerabat dalam kondisi lemah

    dan kekurangan, maka jadikanlah mereka sebagai golongan

    pertama yang harus kita bantu. Sebab, mereka masih memiliki

    hubungan dekat dengan kita.

    3) Berlaku Adil

    Berlaku adil disini artinya apabila mereka berbuat salah,

    maka kita harus berani menindaknya sesuai dengan hukum yang

    berlaku. Tidaklah dibenarkan apabila kaum kerabat kita bela

    mati-matian, padahal sudah jelas bahwa mereka berada di pihak

    yang salah.

  • 33

    Akhlak mulia terhadap kerabat juga sangat penting diterapkan

    dalam kehidupan, karena kerabat merupakan orang-orang yang

    sangat dekat dengan kita, orang yang kita minta bantuan dalam

    berbagai masalah. Dan merekalah yang mengetahui lebih dalam

    tentang seluk beluk kehidupan kita.

    e. Akhlak Terhadap Tetangga

    Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat

    dengan kita adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan paling

    dahulu memberikan bantuan jika kita membutuhkannya.

    Beberapa akhlak yang perlu ditanamkan dalam bertetangga ialah:

    1) Menjaga hubungan baik dengan tetangga. Minimal hubungan

    baik dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak

    menganggu atau menyusahkan mereka.

    2) Saling mengunjungi.

    3) Saling menolong dalam keadaan senang maupun susah.

    4) Menghindari permusuhan.

    3. Akhlak Terhadap Lingkungan

    Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu

    yang ada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun

    benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan al-

    Qur‟an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai

    khalifah. Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan

    mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar,

  • 34

    karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk

    mencapai tujuan penciptanya (Nata, 2013: 129).

    Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa

    semuanya diciptakan oleh Allah SWT, dan menjadi milik-Nya.

    keyakinan ini mengantarkan seorang Muslim untuk menyadari bahwa

    semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar

    dan baik (Nata, 2013: 130). Menyayangi makhluk hidup adalah sebuah

    sikap mencontoh akhlak Allah SWT. dan meneladani sifat-sifat-Nya

    yang agung, yaitu bahwa Dia adalah Maha Pengasih dan Maha

    Penyayang terhadap semua makhluk-Nya. karunia-Nya merata dan

    meliputi seluruh mkahluk-Nya dari sejak lahir sampai mati. Bahkan kasih

    sayang-Nya meliputi semua yang ada, baik hewan, tumbuh-tumbuhan

    maupun benda-benda mati, sebagaimana meliputi manusia (Az-Zuhaili,

    2004: 135). Allah SWT. berfirman dalam QS. al-A‟raf 7: 156:

    “Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia Ini dan di akhirat;

    Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah

    berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku

    kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku

    tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang

    menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat

    kami" (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 171).

  • 35

    Dengan tidak menyakiti, merusak dan menganggu lingkungan

    sekitar berarti kita telah menjaga amanah dari Allah SWT. dan juga

    merupakan wujud syukur kita kepada Pencipta alam semesta terhadap

    apa yang telah dianugerahkan kepada kita. Jadi, sikap-sikap dan perilaku

    yang telah dimiliki seseorang harus diupayakan secara bertahap dan

    berkesiambungan, sehingga terwujud pribadi yang berkarakter dengan

    kepribadian yang utuh dan mulia di tengah-tengah kehidupan

    masyarakat.

    E. Materi Pendidikan Akhlak

    Secara garis besar, akhlak dibagi dalam dua kategori, yaitu akhlak

    mahmudah dan akhlak madzmumah. Yang dimaksud dengan akhlak

    mahmudah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang baik (terpuji),

    sedangkan akhlak madzmumah adalah segala macam sikap dan tingkah laku

    yang buruk (Supadie, 2012: 224). Adapun beberapa akhlak terpuji (akhlaqul

    mahmudah) dan akhlak tercela (akhlaqul madzmumah) menurut Tatapangarsa

    (1991: 147)

    1. Akhlak Terpuji (Akhlaqul Mahmudah)

    Akhlaqul mahmudah ialah akhlak yang baik, yang berupa semua

    akhlak yang baik-baik yang harus dianut dan dimiliki oleh setiap orang.

    Beberapa contoh akhlak terpuji ialah:

    a. Benar/jujur

    Artinya sesuainya sesuatu dengan kenyataannya yang

    sesungguhnya. Kebenaran atau kejujuran adalah sendi yang terpenting

  • 36

    bagi berdiri tegaknya masyarakat. Tanpa kebenaran akan hancurlah

    masyarakat, sebab hanya dengan kebenaran maka dapat tercipta

    adanya saling pengertian satu sama lain dalam masyarakat, dan tanpa

    adanya saling pengertian tidak mungkin terjadi tolong menolong.

    Selain itu Allah SWT. menyukai orang-orang yang menepati janjinya,

    sebagaimana firman-Nya dalam QS. Maryam [19] ayat 54:

    “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma’il

    (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang

    yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi” (al-

    Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 310).

    b. Ikhlas

    Dari segi bahasa ikhlas berarti murni atau bersih, tidak ada

    campuran. Dari segi istilah ikhlas berarti beramal semata-mata

    mengharap ridha Allah SWT. firman Allah dalam QS. al-Bayyinah

    [98] ayat 5:

    ...

    “Dan tiadalah mereka diperintahkan kecuali supaya menghambakan

    diri kepada Allah secara ikhlas dengan mentaati agama-Nya yang

    lurus...”(al-Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 599).

    c. Qana‟ah

    Arti qana‟ah menerima dengan rela apa yang ada atau merasa

    cukup dengan apa yang dimiliki. Jelasnya qana‟ah itu bersangkutan

  • 37

    dengan sikap hati (sikap mental) dalam menghadapi apa yang kita

    miliki atau dalam menghadapi apa yang menimpa kita. Tetapi kita

    tetap bekerja sebagaimana mestinya dengan tetap bertawakkal kepada

    Allah SWT.

    d. Sabar

    Orang yang sabar adalah orang yang tetap tegar dalam

    menjalankan segala kewajiban yang Allah SWT. bebankan kepada

    dirinya dalam keadaan bagaimanapun, kapan pun dan dimana pun;

    dan tetap tegar dalam menghadapi musibah seberat apa pun. Allah

    SWT. berfirman dalam QS. Ali-„Imran [3] ayat 168:

    “Jika kamu bersabar dan bertakwa maka sesungguhnya yang

    demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan”( al-Qur‟an dan

    Terjemahannya 2012: 75).

    2. Akhlak Tercela (Akhlaqul Madzmumah)

    Akhlaqul madzmumah adalah akhlak yang buruk dan tercela.

    Akhlak ini harus dihindarkan dari seseorang, karena perilaku tercela akan

    mengakibatkan keburukan bagi yang melakukannya serta akan

    merugikan orang lain. Beberapa contoh akhlak madzmumah:

    a. Dusta atau Bohong

    Adalah pernyataan tentang sesuatu hal yang tidak sesuai

    dengan keadaan yang sesungguhnya, dan ini tidak saja menyangkut

    perkataan tetapi juga perbuatan. Dalam pandangan agama, dusta

  • 38

    adalah suatu hal yang sangat tercela. Ia merupakan pokok dan induk

    dari bermacam-macam akhlak yang buruk, yang tidak saja

    merugikan masyarakat pada umumnya tetapi juga merugikan orang

    yang berdusta itu sendiri. Rasulullah SAW. bersabda:

    ٌا انْ سٍُ (نُاازفُُجْىَزََْهِد إنًَ ا...َوإَااُكْى َواْنَكِرَب ََْهِدي إِنًَ اْنفُُجْىِز َواِ

    ) ١٩٣١انتسيرٌ

    Sunan Tirmidzi 1894: “....Dan hendaklah kalian menjauhi sikap

    dusta, karena kedustaan itu akan membawa pada kekejian,

    sedangkan kekejian akan membawa kepada neraka” (Sunan

    Tirmidzi 1894).

    b. Dengki

    Dengki itu ialah sikap tidak senang atas kenikmatan yang

    diperoleh orang lain, dan berusaha untuk menghilangkan kenikmatan

    itu dari orang lain tersebut, baik dengan maksud supaya kenikmatan

    itu berpindah ke tangan sendiri atau tidak. Tetapi harap diketahui,

    bahwa tidak semua dengki itu mesti buruk. Ada pula bentuk-bentuk

    dengki tertentu yang baik. Rasulullah SAW. bersabda:

    ُ َياًَّل ٍِ َزُجٌم آتَاُِ للاا ُْ ِّ َوَسهاَى ََّل َحَسَد إَّلا فٍِ اْثَُتَ ُْ ُ َعهَ ِ َصهًا للاا فَهَُى قاََل َزُسُم للاا

    ُِْم َوآََاَء ُُّْ آََاَء انها ُْفُِق ِي ِْم َُ ِّ آََاَء انهُا ٌَ فَهَُى ََقُىُو تِ ُ اْنقُْسآ انُاهَاِز َوَزُجٌم آتَاُِ للاا

    ) ١٩٨٣سٍُ انتسيرٌ (َوآََاَء انَُهَاز

    “Rasulullah SAW. bersabda: tidak diperbolehkan hasad kecuali

    pada dua hal; seorang laki-laki yang diberikan karunia oleh Allah

    berupa harta sehingga ia menginfakkannya di sepanjang malam dan

    siang, dan seseorang yang diberi karunia berupa al-Qur’an hingga

    ia shalat dengannya di pertengahan malam dan siang”(Sunan

    Tirmidzi 1859).

  • 39

    Dalam hadis di atas menyebutkan bahwa ada dua bentuk kedengkian

    yang dihalalkan, yaitu:

    1) Dengki kepada orang yang kaya, yang kekayaannya

    dipergunakan untuk amal-amal kebaikan, siang dan malam.

    2) Dengki (iri hati) kepada orang yang alim tentang al-Qur‟an,

    yang ilmu-ilmunya tentang al-Qur‟an ini diamalkan dan

    dijadikan sebagai pedoman hidupnya siang dan malam.

    c. Bakhil

    Bakhil artinya kikir. Orang yang kikir ialah orang yang snagat

    hemat dengan apa yang menjadi miliknya, tetapi hematnya demikian

    bersangatan sehingga sangat berat dan sukar baginya mengurangi

    sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk diberikan kepada orang

    lain. Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Lail [92] ayat 8-11:

    “Dan adapun orang yang kikirdan merasa dirinya cukup (tidak

    perlu pertolongan orang lain), serta mendustakan (pahala) yang

    terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju

    kesukaran (kesengsaraan). Dan hartanya tidak bermanfaat baginya

    apabila dia telah binasa”(al-Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 596).

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam

    akhlak yang harus diajarkan kepada manusia, yaitu akhlak terpuji (akhlak

    mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak madzmumah). Akhlak terpuji

    diantaranya adalah jujur, ikhlas, qana‟ah, dan sabar. Sedangkan akhlak tercela

    diantaranya adalah dusta atau bohong, dengki, dan bakhil. Akhlak terpuji

  • 40

    diajarkan agar manusia selalu melakukan perbuatan mulia sesuai yang

    diperintahkan oleh Allah SWT. dalam al-Qur‟an dan Hadits-Nya. Sedangkan

    akhlak tercela diajarkan agar manusia menghindari perilaku tersebut, dan

    tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya pendidikan

    akhlak ini sangat penting diajarkan kepada umat manusia agar tercipta pribadi

    yang mulia dan berakhlakul karimah. Serta tercipta kehidupan yang aman dan

    tenteram.

  • 41

    BAB III

    DESKRIPSI SURAT DAN TAFSIR AL-QUR’AN SURAT AN-NUR AYAT

    58, 59, 60 DAN 61

    A. Surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61.

    1. Redaksi Ayat dan Terjemahan

    “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki

    dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang belum balig (dewasa)

    diantara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan),

    yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu meninggalkan pakaian (luar)mu di

    tengah hari dan setelah salat isya. (itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu.

    Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga

    waktu) itu, mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas

    sebagian yang lain. Demikian Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu.

    Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (al-Qur‟an dan

    Terjemahannya, 2012: 358).

    “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah

    mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa

    meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu.

    Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (al-Qur‟an dan Terjemahannya,

    2012: 359).

  • 42

    “Dan para orang tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung)

    yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa meninggalkan

    pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan

    perhiasan; tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka.

    Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (al-Qur‟an dan

    Terjemahannya, 2012: 359).

    “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang,

    tidak bagi orang sakit, tidak pula bagi diri kalian sendiri, makan

    (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri atau di rumah bapak-

    bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-saudara kalian

    yang laki-laki, di rumah saudara kalian yang perempuan, di rumah

    saudara laki-laki bapak kalian, di rumah saudara bapak kalian yang

    perempuan, di rumah saudara laki-laki ibu kalian, di rumah saudara

  • 43

    perempuan ibu kalian, di rumah yang kalian miliki kuncinya atau di

    rumah kawan-kawan kalian, tidak ada halangan bagi kalian makan

    bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kalian memasuki

    (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam

    kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri,

    salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.

    Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagi kalian, agar kalian

    memahaminya” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 359).

    2. Tafsir Surat an-Nur Secara Umum

    Surah an-Nur terdiri atas enam puluh empat ayat, dan termasuk

    golongan surah Madaniyah. Dinamai “an-Nur” yang berarti “Cahaya”,

    diambil dari kata an-nur yang terdapat pada ayat 35. Dalam ayat ini, Allah

    menjelaskan tentang nur Illahi, petunjuk-petunjuk Allah itu merupakan

    cahaya yang terang benderang yang menerangi alam semesta. Surah ini

    sebagian besar isinya memuat petunjuk-petujuk Allah yang berhubungan

    dengan soal kemasyarakatan dan rumah tangga (Departemen Agama RI,

    2009: 559).

    Nama an-Nur telah dikenal sejak zaman Nabi saw. Diriwayatkan

    bahwa Nabi saw. berpesan: “Ajarkanlah Surah an-Nur kepada keluarga

    kamu.” Nama tersebut demikian, karena salah satu ayatnya berbicara

    dengan sangat indah dan mengesankan tentang nur, yakni cahaya petunjuk

    Illahi [ayat 35] (Shihab, 2012: 581).

    a. Pokok-Pokok Isinya:

    1) Keislaman

    Kesaksian lidah, anggota-anggota tubuh lainnya atas segala

    perbuatan manusia pada hari kiamat; hanya Allah yang menguasai

  • 44

    langit dan bumi, kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan agama

    Allah, iman merupakan dasar dari diterimanya amal ibadah.

    2) Hukum

    Hukum-hukum sekitar masalah zina, tuduhan berzina

    terhadap perempuan baik-baik, li‟an dan tata cara pergaulan di luar

    dan di dalam rumah tangga.

    3) Kisah

    Cerita tentang berita bohong terhadap Ummul Mukminin

    „Aisyah r.a. (Departemen Agama RI, 2009: 559)

    b. Tema Utama dan Tujuan Surah

    Uraian surah ini menyangkut pembinaan hidup bermasyarakat

    serta keharusan adanya hubungan yang bersih antara anggota

    masyarakat, lebih-lebih antara pria dan wanita. Ini dapat terlihat

    dengan jelas setelah memperhatikan persoalan-persoalan yang

    diangkat dalam surah ini.

    1) Sanksi hukum perzinaaan dan perlunya dipenuhi syarat

    pelaksannan sanksi itu.

    2) Sanksi hukum terhadap yang menuduh seorang yang berzina tanpa

    bukti.

    3) Petunjuk tentang cara memelihara akhlak dalam pergaulan.

    4) Dorongan untuk melaksanakan perkawinan bagi yang mampu.

    5) Uraian tentang syarat perolehan kekuasaan dan kemantapan hidup

    bermasyarakat.

  • 45

    6) Uraian tentang pendidikan anak dan tata cara pergaulan serta

    kehidupan rumah tangga.

    7) Uraian tentang kewajiban berpartisipasi dalam kegiatan positif

    serta penghormatan kepada Rasul saw.

    Tujuan utama surah ini adalah lahirnya masyarakat yang kuat,

    bersih, yang tercermin dalam pelaksanaan tuntunan surah ini. Dari

    sinilah surah ini dinamai Surah an-Nur, yakni cahaya yang menerangi

    segala aspek kehidupan yang kesemuanya bersumber dari Nur Ilahi

    yang menerangi seluruh alam.

    3. Asbabun Nuzul

    Kata asbab bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab. Kata

    nuzul yang berarti menurunkan sesuatu atau kejadian sesuatu. Sedangkan

    menurut Shihab (1984: 3) yang dikutip oleh Budihardjo (2012: 21) secara

    istilah, asbabun nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan

    turunnya ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan pandangan Al-Qur‟an

    tentang peristiwa yang terjadi.

    a. Asbabun nuzul QS. an-Nur ayat 58-60

    Disebutkan dalam Terjemah Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad

    Mustafa al-Maraghi (1993: 236), bahwa pada ayat 58-60 terdapat

    asbabun nuzul yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw. mengutus

    seorang khadam/anak dari kaum Ansar bernama Mudaj pada waktu

    tengah hari, kepada Umar ra. Ketika itu, Umar ra. sedang tidur, lalu

    khadam tersebut mengetuk pintu dan terus masuk, sehingga Umar ra.

    terjaga dari tidurnya dan duduk, tetapi sebagian dari auratnya tampak

  • 46

    oleh khadam. Maka Umar berkata: “Sungguh aku ingin jika Allah

    Ta‟ala melarang para bapak, anak dan khadam kita untuk masuk

    kepada kita pada saat seperti ini, kecuali dengan meminta izin.”

    Kemudian Umar dan khadam itu berangkat kepada Rasulullah saw.

    dan menemukan ayat ini telah diturunkan, maka dia tersungkur

    bersujud. Ini adalah salah satu persesuaian pendapat Umar ra. dengan

    wahyu.

    Suatu pendapat mengatakan, bahwa sebab turunnya ayat ini

    adalah apa yang diriwayatkan tentang seorang budak dewasa milik

    Asma‟ binti Mursyid masuk ke kamarnya pada waktu yang dia tidak

    suka jika budak itu masuk. Maka, Asma‟ mendatangi Rasulullah saw.

    seraya berkata, “Sesungguhnya para khadam dan budak kami masuk

    ke kamar kami pada keadaan yang kami tidak menyukainya.” Maka

    ayat ini turun.

    b. Asbabun nuzul QS. an-Nur ayat 61

    Dalam buku yang berjudul Asbabun Nuzul (latar belakang

    historis turunnya ayat-ayat al-qur’an) karya Qomarudin Shaleh dan

    Dahlan (1990: 360), menjelaskan bahwa pada ayat 61 terdapat

    asbabun nuzul yang menjelaskan bahwa dalam suatu riwayat

    dikemukakan bahwa orang-orang pada waktu itu apabila berkunjung

    ke rumah bapaknya, atau rumah saudaranya, rumah sudarinya, rumah

    pamannya, atau rumah saudara ibunya, biasa bersama-sama dengan

    orang buta, pincang atau sakit. Orang-orang yang diajaknya merasa

    keberatan dengan berkata: “mereka membawa kamu ke rumah orang

  • 47

    lain” (diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ma‟mar dari Ibnu Abi

    Najih yang bersumber dari Mujahid).

    Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika turun ayat 29

    dengan arti “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan

    harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan

    perniagaan yang berlaku, dengan suka sama suka di antara kamu.

    Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah

    Maha Penyayang kepadamu”, kaum Muslimin menghentikan makan

    di tempat orang lain, padahal mereka beranggapan bahwa menjamu

    makan itu adalah memanfaatkan harta yang paling utama

    (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Abbas).

    Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang-orang Madinah

    sejak sebelum Nabi SAW. diutus sebagai Rasul, tidak suka makan

    bersama-sama orang buta, orang skait atau orang pincang, karena

    orang buta tidak akan dapat melihat makanan yang enak, dan makanan

    orang sakit tidak cocok dengan makanan orang sehat, dan orang

    pincang tidak dapat berebut makanan (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir

    yang bersumber dari ad-Dlahaq).

    Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika al-Harts

    mengikuti Rasulullah SAW. berjihad, ia meminta Khalid bin Zaid

    untuk menjaga keluarganya. Akan tetapi Khalid merasa berkeberatan

    untuk makan di rumah Harts, karena ia sangat berhati-hati (takut

    melanggar hukum). Maka turunlah ayat 61 ini untuk membenarkan

  • 48

    makan yang disuguhkan kepadanya (diriwayatkan oleh at-Tsa‟labi di

    dalam tafsirnya yang bersumber dari Ibnu Abbas)

    Kemudian disebutkan juga dalam buku yang berjudul al-

    Qur’an dan Tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 639)

    menjelaskan bahwa pada ayat 61 terdapat asbabun nuzul yang

    menjelaskan bahwa diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talhah dari Ibnu

    „Abbas, bahwa setelah turun ayat 4 surah an-Nisa yang melarang

    memakan harta seorang muslim dengan cara yang batil, mereka

    merasa keberatan melakukan hal tersebut dan menghindarinya sedapat

    mungkin karena takut kalau tuan rumah walaupun menyatakan tidak

    keberatan, tetapi siapa tahu yang tersimpan dalam hati. Mungkin

    pernyataan tidak keberatan itu hanya semata-mata tenggang rasa atau

    karena segan menolak dengan terang-terangan. Maka akan terjadilah

    yang tersebut dalam ayat 4 surah an-Nisa itu bahwa mereka telah

    makan harta yang tidak halal. Apalagi bagi orang yang cacat dia lebih

    halus lagi perasaannya dan takut kalau tuan rumah jijik atau merasa

    tidak senang, karena orang yang cacat seperti buta mungkin saja di

    waktu makan bersama itu terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.

    4. Munasabah Ayat dan Surat

    Munasabah berarti muqarabah atau kedekatan dan kemiripan. Hal

    ini tentunya bisa terjadi antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan

    tersebut dapat terjadi pada seluruh unsur-unsurnya dapat juga terjadi pada

    sebagian saja. Dengan demikian munasabah menurut istilah adalah adanya

    kecocokan, kepantasan dan keserasian antara ayat dengan ayat atau surat

  • 49

    dengan surat, atau Munasabah adalah kemiripan yang terdapat padahal-hal

    tertentu dalam al-Qur‟an baik pada surat maupun pada ayat-ayatnya yang

    menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lainnya (Budihardjo,

    2012: 39).

    a. Munasabah ayat

    Surah an-Nur ayat 58-61 memiliki munasabah (korelasi) dengan

    ayat sebelumnya dan sesudahnya. Dalam surah an-Nur ayat 57 Allah

    menegaskan kepada Nabi Muhammad bahwa orang-orang kafir itu

    tidak akan dapat menghindarkan diri dari siksa Allah bila Allah

    menghendaki kebinasaan mereka atau keruntuhan kekuasaan mereka.

    Oleh sebab itu janganlah terlalu memperhitungkan kekuatan mereka

    selama kaum Muslimin tetap memelihara kondisi mereka dengan ketiga

    syarat yang dikemukakan pada ayat 56. Mereka pasti menemui akibat

    dari kedurhakaan dan keingkaran mereka baik di dunia maupun di

    akhirat. Di akhirat mereka akan ditempatkan dalam neraka Jahanam dan

    itu seburuk-buruk tempat kembali (Departemen Agama RI, 2009: 633).

    Kemudian dilanjutkan ayat 58, 59 dan 60 yang menjelaskan

    tentang tata tertib dan sopan santun dalam rumah tangga agar kehidupan

    dalam rumah tangga itu benar-benar harmonis, aman dan tentetam

    (Departemen Agama RI, 2009: 636).

    Kemudian pada ayat 61 Allah menerangkan hukum makan di

    rumah sendiri dan di rumah kaum kerabat. Hal ini dibolehkan dalam

    Islam asal tuan rumah tidak merasa keberatan sedikit pun, walaupun

  • 50

    yang ikut makan bersama itu orang cacat seperti pincang atau sakit

    (Departemen Agama RI, 2009: 639).

    b. Munasabah surat

    1) Munasabah surat an-Nur dengan surat sebelumnya (al-Mu‟minun).

    Pada bagian permulaan Surah al-Mu‟minun disebutkan

    bahwa salah satu tanda orang-orang mukmin itu ialah orang-orang

    yang menjaga kelaminnya (kehormatannya), sedang permulaan

    Surah an-Nur menetapkan hukum bagi orang-orang yang tidak

    dapat menjaga kelaminnya, yaitu perempuan pezina, laki-laki

    pezina dan apa yang berhubungan dengannya. Seperti menuduh

    orang yang berbuat zina, kisah ifk (gosip), keharusan menutup mata

    terhadap hal-hal yang akan menyeret seseorang kepada perbuatan

    zina, dan menyuruh orang-orang yang tidak sanggup melakukan

    pernikahan agar menahan diri dan sebagainya.

    Pada surah al-Mu‟minun dijelaskan bahwa di balik

    penciptaan alam ini pasti ada hikmahnya, yaitu agar semua

    makhluk yang diciptakan itu melaksanakan perintah dan larangan-

    Nya, sedang surah an-Nur menyebutkan sejumlah perintah-perintah

    dan larangan-larangan itu (Departemen Agama RI, 2009: 559).

    2) Munasabah surat an-Nur dengan surat sesudahnya (al-Furqan)

    Surah an-Nur ditutup oleh Allah dengan keterangan bahwa

    Dia-lah yang memiliki langit dan bumi beserta segala isinya, dan

    Dia pulalah yang mengaturnya berdasarkan hikmah dan

    kemaslahatan yang dikehendaki-Nya. Dia pula yang membuat

  • 51

    perhitungan terhadap segala amal perbuatan hamba-Nya pada hari

    Kiamat. Maka dalam surah al-Furqan Allah memulainya dengan

    ketinggian-Nya baik zat, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dan

    memupuk kecintaan-Nya kepada hamba-Nya dengan menurunkan

    Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup bagi manusia.

    Pada akhir ayat ini Allah mewajibkan kepada kaum

    Muslimin mengikuti Rasul-Nya Muhammad serta mengancam

    dengan azab bagi mereka yang menentangnya. Maka permulaan

    Surah al-Furqan Allah menyebutkan bahwa kepada Nabi

    Muhammad diberikan Al-Qur‟an untuk membimbing umat

    manusia.

    Pada masing-masing surah itu digambarkan keadaan awan,

    turunnya hujan dan penghijauan bumi sebagai bukti bagi kekuasaan

    Allah.

    Dalam kedua surah ini Allah menjelaskan bahwa amal usaha

    orang-orang kafir pada hari Kiamat tidak diberi pahala barang

    sedikit pun, dan kedua surah itu menerangkna pula asal mula

    kejadian manusia (Departemen Agama RI, 2009: 649).

    B. Pandangan Mufassir dan Penafsiran tentang al-Qur’an Surat an-Nur

    ayat 58, 59, 60 dan 61

    Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu banyak cara

    untuk memahami serta mengetahui isi kandungan al-Qur‟an, kita bisa

    mempelajarinya melalui kitab-kitab karya para ulama ahli tafsir yang

    beraneka ragam. Di antaranya adalah ringkasan tafsir al-Misbah, tafsir al-

  • 52

    Maraghi dan ringkasan tafsir Ibnu Katsir yang akan penulis uraikan sebagai

    berikut:

    1. Penafsiran Ayat ke 58

    “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki

    dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang belum balig (dewasa)

    diantara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan),

    yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu meninggalkan pakaian (luar)mu di

    tengah hari dan setelah salat isya. (itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu.

    Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga

    waktu) itu, mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas

    sebagian yang lain. Demikian Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu.

    Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (al-Qur‟an dan

    Terjemahannya, 2012: 358).

    Dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2000: 394), Ayat

    ini menyatakan: Hai orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun

    perempuan hendaklah budak-budak yang kamu miliki baik laki-laki atau

    perempuan yang telah atau hampir balig, dan orang-orang yakni anak-

    anak yang telah mengetahui tentang aurat atau birahi walau yang belum

    balig di antara kamu hendaklah mereka semua, meminta izin kepada kamu

    setidak-tidaknya tiga kali yakni tiga waktu dalam satu hari, atau tiga izin

  • 53

    setiap waktu, sehingga jika tidak diberi izin setelah tiga kali dia harus

    kembali. Ini agar mereka tidak mengganggu privasi kamu dan mempergoki

    kamu dalam keadaan yang kamu enggan terlihat. Yang pertama dari

    ketiga waktu itu yaitu: sebelum solat subuh, karena ketika itu adalah waktu

    bangun tidur di mana pakaian sehari-hari belum dipakai. Yang kedua,

    ketika kamu meninggalkan pakaian kamu di tengah hari karena akan

    berbaring atau beristirahat dan yang ketiga, adalah sesudah shalat isya’

    sampai sepanjang malam karena ketika itu kamu telah bersiap tidur atau

    sedang tertidur. Itulah tiga saat yang biasa kamu mengganti pakaian

    dengan pakaian tidur atau santai dan yang dapat merupakan aurat bagi

    kamu sehingga menjadikan bagian tubuh kamu yang tidak pantas dilihat

    menjadi terlihat. Karena itu hendaklah mereka itu meminta izin kepada

    kamu sebelum menemui kamu. Tidak ada dosa atas kamu dan tidak pula

    atas mereka yakni para budak dan anak-anak itu untuk menemui kamu

    tanpa izin sesudahnya yakni selain dari tiga waktu itu, karena mereka

    selalu berkeliling melayani kebutuhan kamu sehingga, sebagian kamu atas

    sebagian yang lain yakni kamu saling butuh membutuhkan, sehingga jika

    setiap kali harus meminta dan memberi izin tentulah sangat merepotkan

    kamu. Demikianlah yakni seperti penjelasan yang demikian tinggi dan

    agung itulah Allah menjelaskan ayat-ayat dan tuntunan-tuntunan-Nya bagi

    kamu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang bermanfaat bagi hamba-

    hamba-Nya lagi Maha Bijaksana dalam ketentuan dan bimbingan-

    bimbingan-Nya.

  • 54

    Ayat ini merupakan salah satu ayat yang mengarahkan manusia

    pada norma sosial dalam lingkungan keluarga. Ia merupakan perintah

    untuk orang tua agar mendidik anak-anak dan bawahannya agar

    memperhatikan norma-norma pergaulan. Anak-anak selalu ingin dekat

    dengan orang tua atau kakak-kakaknya, hamba sahaya sering kali

    dibutuhkan untuk datang menyampaikan pesan dan layanan, sedangkan

    waktu-waktu yang disebutkan oleh ayat ini adalah waktu-waktu

    menyendiri, dan biasanya seseorang melepas pakaian sehari-hari yang

    digunakan untuk keperluan bertemu satu sama lain. Dan ayat ini menuntun

    agar orang-orang yang disebutkan di sini meminta izin terlebih dahulu

    sebelum masuk pada waktu-waktu tersebut. Dengan demikian, ada

    kesempatan untuk orang tua untuk menghindari terlihatnya oleh orang lain

    apa yang dianggap rahasia dan tidak pantas dilihat. Selain itu, ayat ini juga

    mengandung anjuran kepada anggota keluarga agar memakai pakaian yang

    pantas ketika bertemu satu sama lain, sehingga wibawa, kehormatan, dan

    etika mereka terus terpelihara.

    Dalam Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000:

    521), dalam ayat ini Allah Ta‟ala menyuruh kaum mukmin agar mereka

    memerintahkan kepada budak-budak yang mereka miliki dan anak-anak

    mereka yang belum balig dengan tiga kondisi. Pertama, sebelum shalat

    subuh (yaitu antara terbit fajar hingga munculnya matahari). Kedua,

    “ketika kamu meninggalkan pakaianmu di tengah hari”, karena pada saat

    tersebut biasanya manusia menanggalkan pakaiannya ketika bersama

  • 55

    keluarganya. Dan ketiga, “sesudah shalat isya”, karena pada saat itu waktu

    untuk tidur. “Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak

    pula atas mereka selain dari itu”.

    Dalam kitab Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi

    (1993: 236), ayat tersebut menjelaskan: wahai orang-ora