nikah siri politisi dan birokrasianitanet.staff.ipb.ac.id/wp-content/plugins/as-pdf... · nikah...

3
Just an Ordinary Teacher | Nikah Siri Politisi dan Birokrasi Copyright Ali Mutasowifin [email protected] http://alimu.staff.ipb.ac.id/2011/06/13/nikah-siri-politisi-dan-birokrasi/ Nikah Siri Politisi dan Birokrasi Di tengah-tengah heboh kasus “pemberian” uang 120 ribu dollar Singapura dari (saat itu) Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar, mencuat pula pertanyaan tentang kepantasan dan urgensi pertemuan serta makan malam di restoran antara seorang sekretaris jenderal sebuah lembaga tinggi negara yang notabene adalah pegawai negeri sipil dengan bendahara umum sebuah partai politik. Apalagi, diberitakan bahwa pertemuan keduanya bukan hanya sekali, bahkan disebutkan Janedjri M. Gaffar sampai hafal denah rumah M. Nazaruddin. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga mengungkapkan bahwa Janedjri M. Gaffar juga pernah berjumpa berdua dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Pertemuan-pertemuan di luar kantor antara pejabat birokrasi dengan petinggi partai politik semacam itu adalah contoh yang menggambarkan perbedaan praktik birokrasi di negara maju dengan yang lazim berlaku di negara berkembang. Menurut studi Profesor Fred Warren Riggs, ahli Comparative Public Administration, pada negara maju berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiap persoalan diselesaikan di dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan peraturan yang berlaku. Sedangkan praktik di negara berkembang didominasi oleh bureaucratic click dan patron-client relationship, di mana penyelesaian persoalan dilakukan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang seringkali tidak bercirikan legal-formalistik. Sejak Reformasi digulirkan, beragam aturan hukum memang telah dibuat untuk menjaga dan memastikan netralitas pegawai negeri sipil, agar korps abdi negara ini terbebas dari pengaruh dan tarik-menarik partai politik sebagaimana praktik yang lazim berlaku pada masa-masa terdahulu. Hal ini misalnya dituangkan pada UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang diperkuat dengan PP No. 5/1999 yang tegas-tegas melarang pegawai negeri sipil menjadi anggota atau pengurus partai politik. UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum juga melarang korps abdi negara menjadi pelaksana kegiatan kampanye dan/atau juru kampanye. Akan tetapi, besarnya jumlah pegawai negeri sipil (PNS) ditambah dengan kewenangan besar yang dimilikinya membuat partai-partai politik seolah tidak pernah jera berikhtiar untuk menarik PNS mendekat ke kelompoknya masing-masing. Para pegawai negeri ini, terutama yang memiliki jabatan tinggi serta kewenangan besar, diharapkan dapat memberikan keuntungan-keuntungan page 1 / 3

Upload: others

Post on 04-Dec-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Nikah Siri Politisi dan Birokrasianitanet.staff.ipb.ac.id/wp-content/plugins/as-pdf... · Nikah Siri Politisi dan Birokrasi Di tengah-tengah heboh kasus “pemberian” uang 120 ribu

Just an Ordinary Teacher | Nikah Siri Politisi dan BirokrasiCopyright Ali Mutasowifin [email protected]://alimu.staff.ipb.ac.id/2011/06/13/nikah-siri-politisi-dan-birokrasi/

Nikah Siri Politisi dan Birokrasi

Di tengah-tengah heboh kasus “pemberian” uang 120 ribu dollar Singapura dari(saat itu) Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin kepada SekretarisJenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar, mencuat pula pertanyaan tentangkepantasan dan urgensi pertemuan serta makan malam di restoran antara seorangsekretaris jenderal sebuah lembaga tinggi negara yang notabene adalah pegawainegeri sipil dengan bendahara umum sebuah partai politik. Apalagi, diberitakanbahwa pertemuan keduanya bukan hanya sekali, bahkan disebutkan Janedjri M.Gaffar sampai hafal denah rumah M. Nazaruddin. Ketua Mahkamah KonstitusiMahfud MD juga mengungkapkan bahwa Janedjri M. Gaffar juga pernah berjumpaberdua dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Pertemuan-pertemuan di luar kantor antara pejabat birokrasi dengan petinggipartai politik semacam itu adalah contoh yang menggambarkan perbedaan praktikbirokrasi di negara maju dengan yang lazim berlaku di negara berkembang.Menurut studi Profesor Fred Warren Riggs, ahli Comparative Public Administration,pada negara maju berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiappersoalan diselesaikan di dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan peraturanyang berlaku. Sedangkan praktik di negara berkembang didominasi oleh bureaucratic click dan patron-client relationship, di mana penyelesaian persoalandilakukan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang seringkali tidakbercirikan legal-formalistik.

Sejak Reformasi digulirkan, beragam aturan hukum memang telah dibuat untukmenjaga dan memastikan netralitas pegawai negeri sipil, agar korps abdi negara initerbebas dari pengaruh dan tarik-menarik partai politik sebagaimana praktik yanglazim berlaku pada masa-masa terdahulu. Hal ini misalnya dituangkan pada UU No.43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang diperkuat dengan PP No. 5/1999yang tegas-tegas melarang pegawai negeri sipil menjadi anggota atau penguruspartai politik. UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum juga melarang korps abdinegara menjadi pelaksana kegiatan kampanye dan/atau juru kampanye.

Akan tetapi, besarnya jumlah pegawai negeri sipil (PNS) ditambah dengankewenangan besar yang dimilikinya membuat partai-partai politik seolah tidakpernah jera berikhtiar untuk menarik PNS mendekat ke kelompoknyamasing-masing. Para pegawai negeri ini, terutama yang memiliki jabatan tinggiserta kewenangan besar, diharapkan dapat memberikan keuntungan-keuntungan

page 1 / 3

Page 2: Nikah Siri Politisi dan Birokrasianitanet.staff.ipb.ac.id/wp-content/plugins/as-pdf... · Nikah Siri Politisi dan Birokrasi Di tengah-tengah heboh kasus “pemberian” uang 120 ribu

Just an Ordinary Teacher | Nikah Siri Politisi dan BirokrasiCopyright Ali Mutasowifin [email protected]://alimu.staff.ipb.ac.id/2011/06/13/nikah-siri-politisi-dan-birokrasi/

melalui kewenangan yang dimilikinya kepada partai politik yang berhasil meraihsimpatinya. Apabila pada masa Orde Baru kooptasi terhadap birokrasi dicerminkanoleh pengistimewaan Golongan Karya sebagai penguasa, pada masa OrdeReformasi ini ditandai dengan multikooptasi oleh beragam partai politik. Di sisi lain,kondisi tersebut mendorong tak sedikit kalangan birokrasi yang berusaha menjalinhubungan dan mencari cantolan politik kepada partai politik atau politisi yangmemiliki pengaruh dan kuasa, baik untuk kepentingan lembaga maupun karierpribadinya.

Di sinilah kemudian terjalin simbiosis mutualisme antara partai politik atau politisidengan pejabat birokrasi. Di satu sisi partai politik diuntungkan dengan privilegeyang diberikan oleh jajaran birokrasi yang menjadi simpatisannya, dan sebagaiimbalannya para birokrat tersebut akan mendapatkan dukungan bagi peningkatankarier dan perlindungan politik dari partai politik tersebut. Apalagi bila sang birokratini memiliki keinginan menjadi menteri atau jabatan-jabatan lainnya yangmemerlukan sokongan partai politik untuk merengkuhnya. Hubungan kedua pihakpun seringkali berkembang sehingga tidak melulu bersangkutan dengan masalahpolitik, sebagaimana tercermin pada kasus yang saat ini tengah membelitSekretaris Kemenpora Wafid Muharam. Wafid juga mengakui telah beberapa kalibertemu Nazaruddin membahas anggaran pembangunan wisma atlet SEA GAMES diPalembang.

Keadaan ini tentu saja menimbulkan implikasi yang tidak remeh bagi pelaksanaantata kelola pemerintahan yang baik. Dalam penentuan pemenang projek-projekyang diselenggarakan pemerintah, misalnya, pejabat yang berwenang tersebutakan cenderung memberikan kemudahan dan keistimewaan kepadaperusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan partai politik yang berhubunganakrab dengannya. Praktik semacam ini berpotensi merugikan negara karenahilangnya peluang memperoleh hasil terbaik melalui kompetisi yang jujur dan adildalam penentuan pemenang lelang pengerjaan projek yang didanai oleh pajak yangdibayarkan oleh rakyat.

Kondisi semacam ini juga dapat membangkitkan demotivasi dan demoralisasi dijajaran birokrasi. Para birokrat yang melihat dan menyadari bahwa hanya merekayang memiliki kedekatan dengan partai politik yang berpeluang lebih besar untukmaju dan memperoleh promosi, akan juga mulai mencari akses dan cantolan kepartai-partai politik pilihannya. Dalam konteks inilah, meskipun tidak mudah untukmembuktikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilihan pejabat eselon tinggidi sebuah kementerian juga ditentukan oleh kesamaan “visi” dengan sang menteri.

page 2 / 3

Page 3: Nikah Siri Politisi dan Birokrasianitanet.staff.ipb.ac.id/wp-content/plugins/as-pdf... · Nikah Siri Politisi dan Birokrasi Di tengah-tengah heboh kasus “pemberian” uang 120 ribu

Just an Ordinary Teacher | Nikah Siri Politisi dan BirokrasiCopyright Ali Mutasowifin [email protected]://alimu.staff.ipb.ac.id/2011/06/13/nikah-siri-politisi-dan-birokrasi/

Praktik tidak sehat semacam ini diyakini juga telah mewabah ke tingkatan satuankerja lainnya. Karena posisi strategisnya dalam perekrutan konstituen baru,misalnya, acap menjadi perbincangan bagaimana partai-partai politik gigih berebutbirokrasi kampus-kampus perguruan tinggi. Akibatnya, pimpinan sebuah perguruantinggi yang baru terpilih biasanya akan memboyong orang-orang yang “sealiran”untuk mengisi jajaran kabinetnya, meskipun itu berarti harus mengorbankanmereka yang sesungguhnya lebih mumpuni namun memiliki “mazhab” yangberseberangan.

Praktik-praktik pragmatisme-transaksional semacam ini jelas merusak netralitasserta mengancam independensi birokrasi, karena kecemerlangan karier akan lebihditentukan oleh kedekatan dan akses kepada patron politik daripada kompetensidan prestasi yang dimiliki. Kohesivitas korps pun menjadi terganggu karena setiappegawai akan berusaha mencari patron politiknya masing-masing. Masyarakat padaakhirnya juga merugi karena harus membayar pajak untuk membiayai birokrasiyang hanya sibuk mencari muka dan cantolan politik daripada melayani masyarakatdengan sepenuh hati.

Guna mewujudkan independensi serta membentengi birokrasi dari godaan dantekanan politisi, barangkali kita perlu meniru apa yang telah lama diterapkan padabirokrasi Jerman. Dalam menjalankan tugas administrasi pemerintahan, birokrasiJerman tidak harus selalu tunduk dan taat kepada pemerintah yang sedangberkuasa. Menurut UU Pusat tentang Pegawai Negeri Federal, 14 Juli 1953 denganperubahan terakhir 27 Desember 2004 pasal 56.1 dan 56.2, pegawai negeri Jermansecara pribadi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan tugas kedinasannya.Untuk itu, sang pegawai negeri berhak dan bahkan berkewajiban menyanggah (remonstrasi) jika perintah atasannya dinilai melanggar peraturan yang berlaku.Apatah lagi hanya perintah politisi yang mengajak kolusi dan korupsi!

This article has also been published here.

page 3 / 3