ngo sebagai media dalam proses resolusi konflik
TRANSCRIPT
NGO Sebagai Media dalam Proses Resolusi Konflik
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu/kelompok) yang memiliki
atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik terjadi apabila salah satu pihak
tersebut bersikeras mempertahankan tujuan-tujuan yang berbeda/bertentangan itu (incompatible
goals).1 Sementara Kauppi mendefinisikan konflik sebagai disagreement, the opposition or clash
unit. Dalam Hubungan Internasional, konflik dapat terjadi antar negara, national/ethical
communities, atau suku bangsa.2
Viotti dan Kauppi menyebutkan, terdapat dua aktor yang memiliki peran dominan dalam
politik kontemporer global. Aktor utama yang peranannya sulit untuk dihindari adalah negara.
Negara akan tetap menjadi aktor yang penting dalam menjamin kepentingan warganya jika telah
menyangkut kedaulatan dan interaksi antara aktor-aktor lain. Peranan NGO juga tidak lupa
disebut Kauppi memiliki arti penting dalam mengakhiri konflik yang sedang berlangsung.
Mediasi yang dilakukan oleh NGO terkadang diakui efektif, karena NGO dianggap sebagai
pihak ketiga atau pihak netral yang diharapkan dapat membantu mengakomodasi kepentingan-
kepentingan dari pihak-pihak yang bertikai.3
Dunia semakin berkembang dari waktu ke waktu, semakin banyak pula penyimpangan
yang terjadi dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat. Atas penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi, akhirnya muncullah organisasi-oraganisasi yang peka terhadap masalah-masalah
yang terjadi di masyarakat. Organisasi tersebut dikenal dengan istilah Non-Governmental
Organization (NGO). Istilah “non-governmental organization” digunakan sejak berdirinya PBB
pada tahun 1945, tepatnya pada pada Piagam PBB Pasal 71 Bab 10 tentang peranan konsultatif
non-governmental organization. Awalnya istilah ini digunakan untuk membedakan antara hak
partisipatif badan-badan pemerintah (intergovernmental agencies) dan organisasi-organisasi
swasta international (international private organizations).
1 Simon Fisher, et al. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council Indonesia. 2001. Hal 42 Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi. International Relations and World Politics, Security, Economy, Identity. London: Practice Inc. 1997. Hal 3453 Ibid., Hal 345
Sejak awal tahun 1990an, seiring dengan gelombang demokratisasi di berbagai penjuru
dunia, masyarakat internasional menyaksikan pertumbuhan organisasi non pemerintahan (NGO)
yang memberikan respon terhadap berbagai tantangan yang dihadapi oleh manusia, tidak hanya
pada tingkat lokal, nasional, tetapi juga global. Pada tingkat global tersebut NGO sebagai salah
satu segmen kunci masyarakat sipil telah memainkan peran dalam menghadapi pertemuan-
pertemuan badan internasional dengan mengajukan perumusan sejumlah agenda kebijakan
global. Seperti dalam perlindungan lingkungan hidup, hak asasi manusia , menentang
perdagangan bebas, dan sebagainya. Pada tingkat nasional dan lokal, organisasi-organisasi ini
telah memainkan berbagai peran kunci dalam memperluas demokrasi, perlindungan hak asasi
dan pembangunan sosial.
NGO dianggap mampu membangun format pemberdayaan sosial, dengan penuh
kesadaran memperkuat mitra, lembaga, dan pemerintahan lokal, karena merekalah yang mampu
menyusup ke dalam jiwa sosio-kultural masyarakat. NGO dalam keberadaannya sebagai salah
satu aktor dalam kehidupan internasional memberikan kontribusi yang besar atas peranannya di
dalam hubungan antar individu atau kelompok di berbagai negara di dunia. NGO oleh dunia
internasional menjadi suatu wadah interaksi diantara individu atau kelompok tersebut untuk
dapat menyalurkan pendapat-pendapat ataupun menciptakan hubungan yang lebih terorganisir
dan luas. Fungsi NGO lebih memposisikan dirinya di tengah-tengah pergulatan global dalam
mewujudkan ‘kepentingan’ para aktor yang terlibat, dengan caranya sendiri berdasar pada
landasan tujuan terbentukannya.
Ketika berbicara mengenai signifikansi pertumbuhan NGO, maka hal pertama yang harus
dilakukan adalah mencari tahu dimana NGO menempatkan dirinya diantara konteks organisasi-
organisasi social lainnya. Dalam masyarakat modern, dikenal ada tiga tipe orgnanisasi social
yang mempunya tujuan yang berbeda-beda. Tipe-tipe organisasi social tersebut, diantaranya :4
- Tipe pertama, yaitu organisasi sosial yang tujuan utamanya adalah untuk melindungi
keamanan dan membuat regulasi dalam beraktivitas dan bermasyarakat.
- Tipe kedua, yaitu oganisasi sosial yang tujuan utamanya adalah untuk mencari mata
pencaharian bagi kehidupan dan menghimpun kekayaan.
4 Bob S. Hadiwinata (2003). The Policies of NGOs in Indonesia. London : RoutledgeCurzon. Hal 2.
- Tipe ketiga, adalah organisasi sosial yang tujuan utamanya adalah untuk mencapai
kepentingan pribadi dan kepedulian social. Dan NGO masuk dalam kategori ketiga ini.
Sebagai organisasi tipe ketiga, NGO tidak tergantung pada kontrol politik dari para elite
dan tidak bertujuan untuk membagi-bagikan profit pada mereka yang menjalankan sebuh NGO.
Bagi NGO yang beroperasi di lebih dari satu negara, maka NGO tersebut harus mempunyai
kepastian untuk tetap dapat berlaku mandiri dalam menentukan kebijakan dan strategi yang
dijalankan. Berikut adalah faktor-faktor yang menentukan kekuatan dan keefektifan dari NGO :5
1. NGO mempunyai kemampuan dalam mendesain sebuah agenda , untuk mewujudkan visi
menjadi sebuah aksi.
2. NGO mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan dikarenakan oleh komitmen dan
ketekunan mereka, mulai dari staf anggota hinga pada pemmpin.
3. NGO mempunyai kemampuan utuk bersikap fleksible dalam meningkatkan hubungan
dengan pemerintah dan target operasi.
Dalam bukunya, Thomas Carrol, mendefinisikan NGO dengan cara mengklasifikasikan
konsep NGO ke dalam kelompok-kelompok yang lebih spesifik. Seperti grassroots support
organizations (GPOs), yaitu organisasi yang bersifat kewarganegaraan, yang membantu
menguhubungakan masyarakat dengan pemerintah. Lalu kemudian ada membership support
organizations (MGOs), hal paling utama dalam MGOs adalah keanggotaan, berbeda dengan
GPOs yang tidak memiliki keangotaan. Kemudian ada primary grassroots organizations
(PGOs), yaitu kumpulan terkecil dari invidu atau rumah tangga yang tergabung dalam kegiatan
pembangunan. GPOs dan MGOs dapat dibedakan dengan PGOs melalui lingkup, tingkat
kompleksitas dan fungsi.6
NGO juga dapat didefinisikan sebagai organisasi yang menyediakan advokasi kepada
masyarakat miskin dan tidak berhak untuk bersuara. Mereka juga mengadvokasi perubahan-
perubahan social yang terjadi di masyarakat. Mereka memberikan pelayanan sosial, memberikan
inovasi, dan fleksibel. Dengan orientasi yang mereka miliki, mereka melayani hingga di
5 Ibid., Hal 36 Thomas Carrol (1992). Intermediary NGOs:The Supporting Link in Grassroot Development. West Hartford, Connecticut: Kumarian Press. Hal-11
beberapa negara sebagai sebuah asosiasi moral. Di masyarakat dengan pemerintahan yang
bersifat otoriter, mereka membantu membuat insitusi yang membantu masyarakat agar dapat
bekerja, bermain, beribadah bersama-sama dan agar masyarakat dapat menjadi bagian dari
masyarakat sipil yang kuat.7
Usaha NGO meliputi berbagai isu seperti hak asasi manusia, hak kaum minoritas,
pengutaraan demokrasi, pengajuan kedamaian dan anti kekerasan, bantuan bagi anak-anak dunia,
hak pekerja, isu-isu lingkungan, isu-isu kesehatan, teknologi, dan bahkan isu-isu kebudayaan.
Semuanya ditujukan guna mencapai kesejahteraan, perdamaian dan keamanan dimana semua
masyarakat dapat menjalankan hak-hak dasarnya dengan layak.
Bagaimanapun, ada situasi dimana negara gagal untuk menjalankan tugas utamanya
untuk menyediakan keamanan bagi warga negara. Terbatasnya keuangan, kebobrokan birokrasi,
pemerintahan yang lemah, dan ketidakstabilan politik adalah faktor-faktor yang mengurangi
kapasitas negara untuk menyediakan keamanan bagi warga negaranya. Situasi ini memberikan
peluang bagi agen-agen di luar negara (NGO) untuk memainkan peranan penting dalam
mengeluarkan kemampuan untuk menghapus ancaman terhadap keamanan manusia (termasuk
kemiskinan, kelaparan, diskriminasi, kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM).
Institut Titian Perdamaian adalah sebuah lembaga berbentuk perkumpulan yang berdiri pada
tanggal 14 Mei 2003, atas prakarsa aktivis serta intelektual yang bergerak di bidang
pembangunan Perdamaian, hukum, keadilan, dan pembangunan budaya anti kekerasan. Embrio
dari lembaga ini adalah gerakan BakuBae Maluku.
BakuBae sendiri, selama 3,5 tahun melakukan inisiatif untuk kampanye perdamian, lobi-lobi
kepada kelompok pemerintah, TNI, dan Polri, serta menyelenggarakan serangkaian workshop
kritis untuk penghentian kekerasan di Maluku kepada kelompok masyarakat sipil seperti: pelaku
perang, pengungsi, dan korban konflik, perempuan dan anak, pemuda, mahasiswa, pengacara,
jurnalis, intelektual, pemuka agama, serta raja-raja.8
7 V.A. Hodgkinson and Sumariawalla ,R.D (1992). The Non Profit Sector and The New Global Community: Issues and Challenge . dalam V. A Hodkinson et al. (eds). The Non Profit Sector and The New Global Community: Voices From Many Nations. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Hal-4868 Institut Titian Perdamaian, http://www.direktori-perdamaian.org/ina/org_intdetail.php?cardno=87, diakses pada 1 April 2010.
Fokus program kegiatan yang dilakukan Institut Titian Perdamaian (ITP) selalu berdasarkan
pada nilai keadilan, demokrasi, persamaan, kesetaraan serta pertumbuhan pribadi dan sosial.
Atas dasar semua itu, dalam menjalankan fungsinya Institut Titian Perdamaian memfokuskan
kegiatannya pada enam bidang pengembangan, diantaranya adalah, pendidikan fasilitator dan
resolusi konflik, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, memfasilitasi resolusi beragam
konflik social dan konflik sumberdaya alam di berbagai daerah di Indonesia kampanye advokasi
untuk pembangunan perdamaian pada tingkat local, nasional, dan internasional, pemberdayaan
masyarakat, dan riset dan pengembangan untuk pencegahan konflik.9
Sementara, wilayah kerja dari Institut Titian Perdamaian adalah seluruh wilayah Indonesia,
namun konsentrasi kegiatan lebih difokuskan pada: Papua, Irianjaya Barat, Maluku, Maluku
Utara, Sulawesi tengah (Poso), Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara (Manado), Kalimantan Tengah
(Sampit), Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Kepulauan Riau,
Palembang, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
9 Lihat website resmi Institut Titian Perdamaian, http://www.titiandamai.org/, diakses pada 1 April 2010.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Carrol, Thomas (1992). Intermediary NGOs: The Supporting Link in Grassroot Development.
West Hartford, Connecticut: Kumarian Press.
Fisher, Simon. et al. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta:
The British Council Indonesia. 2001.
Hadiwinata, Bob S. (2003). The Policies of NGOs in Indonesia. London: RoutledgeCurzon.
Hodkinson, V.A. et al. (eds) (1992). The Non Profit Sector and The New Global Community:
Voices From Many Nations. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Viotti, Paul R. & Kauppi, Mark V. International Relations and World Politics, Security,
Economy, Identity. London: Practice Inc. 1997.
WEBSITE
http://www.direktori-perdamaian.org/ina/org_intdetail.php?cardno=87
http://www.titiandamai.org/