negara antara ada dan tiada

367

Upload: others

Post on 27-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 2: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Page 3: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak CiptaPasal 21. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau

memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangipembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72:1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulandan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahundan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima Miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaanatau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana denganpidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADAReformasi Hukum Ketatanegaraan

Denny Indrayana

Jakarta, Juni 2008

Page 5: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADAReformasi Hukum Ketatanegaraan© 2008 Denny Indrayana

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesiaoleh Penerbit Buku Kompas, Juni 2008PT Kompas Media NusantaraJl. Palmerah Selatan 26-28Jakarta 10270e-mail: [email protected]

KMN 27008029Editor: Al. Soni BL de RosariPerancang Sampul: A.N. RahmawantaIlustrasi Sam pul: Jitet Koestana

Hak cipta dilindungi oleh undang-undangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagianatau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

xiv+354 hlm.; 14 cm x 21 cmISBN: 978-979-709-368-6

Isi di luar tanggung jawab Percetakan Grafika Mardi Yuana, Bogor

Page 6: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar—Satjipto Rahardjo ......................................... viiSekapur Sirih—Indonesia Antara Ada dan Tiada .................... x

BAB 1 MENCARI KONSTITUSI1. Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945

Menyempurnakan Konstitusi, Memberantas Korupsi ..... 32. Kompleksitas Peraturan Daerah Bernuansa Syariat

Perspektif Hukum Tata Negara ......................................... 503. Urgensi Komisi Konstitusi ................................................... 734. MPR Aborsi Komisi Konstitusi ............................................. 795. Bom Waktu Konstitusi ......................................................... 846. Reformasi Konstitusi dan Bom Bunuh Diri ........................ 917. Reformasi Konstitusi dan Potensi Disintegrasi ................. 988. Antara Harapan dan Kenyataan Pergulatan di MPR

* Surat Terbuka untuk Seluruh Anggota MPR ................. 1049. Hasil Sidang Tahunan MPR

Konstitusi Transisi 2002 ....................................................... 11110. Tolak Kembali ke UUD 1945 .............................................. 11811. Urgensi Amandemen Kelima ............................................. 123

Page 7: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

vi

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

BAB 2 MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS1. Kepala Daerah Perseorangan ............................................ 1312. Menolak Pilkada Ulang Sulsel ............................................ 1363. Partai Politik Lokal di Aceh ................................................. 1404. Pilkada, ”Neither Meat, Nor Fish” ..................................... 1445. Putusan Pilkada Depok Batal Demi Hukum ..................... 1506. Pemilu 2004 dan Reformasi Hukum .................................. 1547. Tolak Perhitungan Ulang Suara Pilpres ............................. 1608. Payung Hukum Penundaan Pemilu ................................... 1669. Mengantisipasi Blunder Pencoblosan ................................ 17210. Inflasi Parpol, Inflasi Pemilu ................................................ 17711. Bom Waktu Pemilu 2009 .................................................... 183

BAB 3 MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI1. Mendesain Presiden yang Efektif

Bukan ”Presiden Sial” Atawa ”Presiden Sialan” ............. 1912. ”No More” Dekrit ................................................................ 2323. Cak Nur dan Calon Presiden ............................................... 2394. Menguji Kesehatan Capres ................................................. 2455. Kabinet Pas-terbatas .......................................................... 2516. Konstitusionalitas Pencabutan Mandat Presiden ............ 256

BAB 4 MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL1. Komisi Negara Independen

Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan ............... 2632. DPD antara (ti)Ada dan Tiada ........................................... 2983. Satu Tahun Usia Mahkamah Konstitusi ............................. 3114. Ancaman Tirani DPR ............................................................ 3165. Memahami ”Memorandum of Misunderstanding”......... 3226. Stop Politisasi BBM ............................................................... 3267. Reinkarnasi Hukum Tanpa Keadilan .................................. 332

Indeks ........................................................................................... 339Sumber Naskah ........................................................................... 349Catatan dari Sahabat: ................................................................ 351

Page 8: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

vii

SAYA mengenal Denny Indrayana sebagai seorangintelektual muda yang sangat energik dan kritis dalam

pemikirannya. Pada kesempatan ini ia menulis buku disekitar masalah kenegaraan-ketatanegaraan yang memangmerupakan sub-disiplin ilmu hukum yang menjadi pi-lihannya. Bidang hukum tata negara di Indonesia me-rupakan bagian dari hukum yang berubah dengan sangatcepat. Maka ada seloroh di kalangan komunitas akademi,bahwa mereka yang mengambil program doktor di bidangtata negara harus cepat menyelesaikannya kalau tidak ingintertinggal oleh perubahan-perubahan dalam bidang hukumitu yang sangat cepat, dan disertasinya menjadi barang basi.

Negara-negara yang sering disebut sebagai NegaraSedang Berkembang, Indonesia termasuk di dalamnya,memang mengalami gejolak yang tidak jarang menyebabkanambruknya negara yang baru berdiri tersebut. India misal-

KATA PENGANTARSatjipto Rahardjo

Page 9: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

viii

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

nya pecah menjadi India dan Pakistan, sedangkan Pakistanpecah lagi menjadi Pakistan dan Bangladesh. Keambrukanseperti itu mengisyaratkan tentang betapa tidak mudahsebuah negara baru dibangun dan dipertahankan.

Judul Negara, Antara Ada dan Tiada yang dipakai untukbuku ini, yang tentunya dimaksud untuk menggambarkannegara Indonesia, cukup menggigit karena menampilkansindrom negara baru tersebut. Dalam bukunya yang relatifbaru, yaitu ”State Building – Governance and World Order inthe Twenty-First Century” (2005), Francis Fukuyama jugamenulis tentang betapa gawatnya keadaan negara-negarayang lemah bagi terciptanya suatu dunia yang damai.Negara-negara berkembang biasanya berada dalam posisigawat seperti itu yang disebabkan oleh kegagalannya untukmembangun sebuah negara yang mampu menjalankanfungsi, kapabilitas serta legitimitas pemerintahannya. KalauDenny Indrayana berbicara tentang ”Negara, Antara Adadan Tiada”, maka Fukuyama bicara tentang ”The missingdimensions of stateness”.

Topik-topik yang ditulis dalam buku ini menggam-barkan ”situasi rawan” yang dikatakan oleh Fukuyamadalam bukunya itu. Buku ini merupakan kumpulan artikelyang ditulis secara ilmiah populer yang memaparkan ber-bagai masalah yang dihadapi oleh negara Indonesia sejakdidirikan lebih dari 60 tahun yang lalu. Masalah-masalahyang ditulis mulai dari amandemen UUD 1945, ”bomwaktu” konstitusi, peraturan daerah bernuansa syariat,kualitas (anggota-anggota) DPR, reformasi konstitusi sebagaibom bunuh diri, istana, dan lain-lain lagi.

Penulisan secara populer memang memberikan kebe-basan kepada penulisnya untuk menggunakan idiom-idiom

Page 10: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

ix

KATA PENGANTAR

yang merakyat. Indonesianis Daniel S. Lev pernah menuliskepada saya, bahwa tidak mudah bagi orang-orang kampusuntuk menulis secara ilmiah populer. Denny Indrayana telahmenulis dalam genre penulisan yang demikian itu. Mudah-mudahan tulisan ilmiah populer ini dapat beredar dalampasar yang lebih luas daripada pakar akademis saja.

Semarang, April 2008

Page 11: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

x

KETATANEGARAAN Indonesia dalam pencarian.Proses mencari itu menghadirkan berbagai sistem yang

terkadang tak jelas, neither meat nor fish. Buku kumpulanartikel yang pernah terbit di Harian Kompas ini mencobamerekam upaya pencarian bentuk sistem bernegara tersebut.

Proses pencarian utama terkait dengan norma dasarbernegara: konstitusi. Pencarian konstitusi yang demokratisadalah proses tanpa henti, dan memang tidak boleh berhenti.Konstitusi adalah dokumen yang sunatullah--nya terushidup (living). Meskipun demikian kehidupan dan tumbuhkembangnya konstitusi saja tidaklah cukup, aturan dasarbernegara tersebut juga harus efektif (working). PerubahanUUD 1945 di tahun 1999 – 2002 adalah salah satu upayamenjadikan konstitusi kita sejalan dengan semangat refor-masi menuju demokrasi. Ada capaian perbaikan di dalamhasil amandemen, namun tentu saja tidak ada hasil kreasi

SEKAPUR SIRIH

INDONESIA ANTARA ADADAN TIADA

Page 12: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

xi

SEKAPUR SIRIH

manusia yang sempurna. Yang paling problematik adalahproses perubahan yang sangat elitis dan meninggalkanrakyat. Gagallah upaya menghadirkan konstitusi rakyat(people constitution).

Kompromi-kompromi dalam rumusan perubahan UUD1945 pada akhirnya memunculkan turunan sistem bernegarayang juga tidak jelas. Pada level bab pemerintahan daerah,sempat timbul persoalan, apakah pemilihan kepala daerahitu adalah rezim pemda atau rezim pemilu. Meski dalamkekinian dilema klasifikasi pilkada itu sudah relatif hilang –dengan semakin tegasnya rezim kepemiluan pilkada – tetapsaja ada masa di mana pilkada pernah dipaksakan masukdalam bab pemerintahan daerah.

Itu problematika di level daerah. Di level pusat, pem-bagian antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agungsebagai lembaga kekuasaan kehakiman tidak jarang meng-hadirkan wilayah tak bertuan. Pada cabang kekuasaanlegislatif, sistem parlemen kita diperdebatkan antara bika-meral atau trikameral. Pada cabang eksekutif, masih saja adayang meragukan sistem presidensial benar-benar hadir ditanah air. Selanjutnya, di luar tiga cabang kekuasaantersebut, problem juga muncul dengan menjamurnya komisi-komisi negara, baik yang bersifat independen (independentagencies) maupun yang masih di bawah kontrol eksekutif(executive agencies).

Ketidakjelasan eksistensi dan fungsi beberapa lembaganegara di atas tentu saja harus dijawab dengan perbaikannorma dasar. Maka upaya untuk melanjutkan proses refor-masi konstitusi, melalui Perubahan Kelima, adalah pilihanyang perlu didukung. Karena, tidak semua persoalan

Page 13: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

xii

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

ketatanegaraan dapat diselesaikan hanya dengan perbaikanpada level undang-undang ataupun peraturan di bawahnya.

Kelanjutan reformasi konstitusi, selain memang meru-pakan sunatullah – karena di dalam setiap konstitusi wajibterkandung semangat pembaharuan yang abadi – adalahjawaban pula untuk menghadirkan sistem bernegara yanglebih jelas. Tetapi, bukan berarti persoalan tata negarabangsa ini semuanya berada dalam tataran rule of law, sebabtidak sedikit pula yang berada dalam ranah rule of ethics.Letak masalahnya bukan pada aturan, tetapi pada perilakumenyimpang elite politik.

Konstitusi hasil perubahan sudah lebih baik, tetapipraktik pelaksanaanya dibajak kepentingan politik jual-beli yang menggadaikan kepentingan utama rakyat; Pilkadaadalah proses pemilihan pemimpin yang seharusnya lebihdemokratis, tetapi dibajak praktik money politics; bangunansistem kekuasaan kehakiman kita – dengan trisula Mah-kamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial –sewajibnya lebih berwibawa, namun dihancurkan olehpraktik haram mafia peradilan. Maka di samping doronganuntuk menegaskan sistem bernegara, yang jauh lebih pentingadalah membenahi perilaku politik elite yang korup.

Buku yang merupakan kumpulan tulisan tentu sajamempunyai keterbatasan untuk menjawab kompleksitasmasalah ketatanegaraan kita. Apalagi dia ditulis untukmenjawab masalah aktual, yang sudah menjadi bagiansejarah pada saat buku ini diterbitkan. Kumpulan tulisanjuga mempunyai keterbatasan untuk menghadirkan ja-waban teoritik menyeluruh, dan karenanya pada beberapa

Page 14: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

xiii

SEKAPUR SIRIH

bagian buku ini memunculkan kembali makalah yangpernah dipresentasikan di beberapa seminar. Tidak kalahmengganggu—harus diakui—adalah berulangnya gagasandalam beberapa tulisan yang berbeda.

Di tengah kekurangan nyata karya demikian, maka sayawajib berterima kasih kepada Penerbit Buku Kompas yangtetap membantu penerbitan buku ini. Dalam persiapanpenerbitan ini tentu saja terima kasih harus disampaikankepada Aloysius Soni serta Pak De Denny. Pasti terima kasihpula kepada Begawan Hukum Prof. Satjipto Rahardjo yangtelah meluangkan waktu dan tenaganya menggoreskan katapengantar bagi buku ini.

Terakhir, tetapi terpenting, hatiku bertekuk mengucapsyukur atas sokongan Bunda Os serta kedua malaikathidupku Varis dan Varras. Untuk merekalah buku inikuhaturkan. Semoga Indonesia ke depan selalu ada, sertatidak pernah menuju tiada.

Kepada Dia, alhamdulillah.

Yogyakarta, 23 April 2008

Denny Indrayana

Page 15: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

BAB 1

MENCARI KONSTITUSI

Page 16: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 17: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

3

LIMA Tahun telah berlalu sejak amandemen keempatdisahkan pada bulan Agustus 2002. Masa lima tahun

adalah waktu yang tepat untuk melakukan refleksi reformasikonstitusi. Indonesia pascaperubahan Pertama hingga Ke-empat UUD 1945 adalah masa pembuktian: apakah refor-masi konstitusi dapat menghasilkan Indonesia yang lebihbaik? UUD 1945 yang telah diubah empat kali, masing-masing di tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002; sebenarnya telahmenghasilkan konstitusi baru. Sistem ketatanegaraan yangtercipta juga berubah banyak dibandingkan dengan di masaUUD 1945 sebelum amandemen.2

REFLEKSI LIMA TAHUNAMANDEMEN UUD 1945

MENYEMPURNAKAN KONSTITUSI,MEMBERANTAS KORUPSI1

1 Tulisan ini—dengan perbaikan—merupakan gabungan dari ide-ide yangsudah pernah ditulis dan dipresentasikan oleh penulis dalam berbagaikesempatan seminar.2 Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999 – 2002: AnEvaluation of Constitution Making in Transition (Disertasi di University ofMelbourne, 2005) telah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul”Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran”, Mizan, 2007.

Page 18: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

4

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Salah satu ujian keberhasilan penerapan UUD 1945 hasilamandemen adalah: apakah UUD 1945 berhasil men-ciptakan sistem pemisahan kekuasaan yang menghasilkanchecks and balances yang efektif? Sebab keberhasilan itulahyang dapat menjadi ukuran bahwa konstitusi berhasilmelaksanakan tugas konstitusionalitasnya, yaitu: mencegahmerajalelanya kekuasaan di tangan satu cabang kekuasaan.

Pemaparan singkat ini akan menguraikan dua hal utama:(1) hasil amandemen UUD 1945 harus terus disempurnakanuntuk menciptakan separation of powers dan checks andbalances yang lebih efektif; (2) penyempurnaan itu akanmendorong sistem bernegara yang lebih anti korupsi. Perludijelaskan bahwa maksud dari penyempurnaan konstitusidalam pemaparan ini tidak semata konstitusi dalam artisempit, tetapi adalah UUD 1945 dan turunannya sebagaiaturan kehidupan ketatanegaraan. Karenanya, penyem-purnaan tidak selalu ada pada tingkat UUD, namun jugapada aturan undang-undang yang menginterpretasikan danmenjalankan garis-garis besar UUD 1945 ke dalam praktikkehidupan bernegara.

Sekilas Amandemen UUD 1945UUD 1945 ”asli” adalah maha karya para founding

parents yang tentu saja mempunyai nilai sejarah tak ter-hingga, utamanya sebagai konstitusi fondasi kemerdekaan.Namun, secara substansi, jujur harus dikatakan: UUD 1945asli adalah konstitusi yang relatif koruptif; konstitusi tanpakonstitusionalisme. Konstitusi yang tidak memenuhi syaratkonstitusionalisme, karena cenderung tidak mempunyaibenteng memadai untuk menahan hasrat korup penguasanegara. Sewajibnya, konstitusi memiliki dua unsur utama:

Page 19: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

5

MENCARI KONSTITUSI

prinsip saling-kontrol-saling-imbang antar-organ konstitusi(constitutional organ); dan perlindungan hak asasi manusia.3

Tanpa keduanya, suatu dokumen tidak sah disebut kons-titusi.4 Faktanya, UUD 1945 pra amandemen masih miskin dikedua syarat dasar konstitusi tersebut.

Berangkat dari kesadaran bahwa, masalah utama negarahukum Indonesia adalah UUD 1945 yang bersifat otori-tarian, maka salah satu agenda utama pascasoeharto adalahreformasi konstitusi. Hasilnya, proses Perubahan Pertamahingga Keempat UUD 1945, di tahun 1999 – 2002, sebe-narnya tidak terlalu disiplin menganut metode amandemenkonstitusi yang demokratis. Mengacu pengklasifikasianSaunders, misalnya, proses amandemen tidak secara tegasmelakukan tahapan-tahapan agenda setting, developmentdesign dan approval.5 Tidak ada satu konsep awal ke manaamandemen UUD 1945 akan diarahkan. Jikalaupun ada,konsep reformasi konstitusi baru ditemukan belakangansecara kebetulan (by accident) dan bukan karena peren-canaan (by design). Jakob Tobing, Ketua Panitia Ad Hoc IMPR, yang mempersiapkan rancangan Perubahan Kedua,Ketiga dan Keempat mengakui bahwa konsep amandemenditemukan

… by coincidence. Each member of the Committee(PAH 1) had different goals. But after three years of intensenegotiation and working together … we had finally

3 S.E. Finer, Vernon Bogdanor and Bernard Rudden (eds), ’Comparingconstitutions’ (1995) 1.4 Giovanni Sartori, ’Comparative Constitutional Engineering: An Inquiryinto Structures, Incentives and Outcomes’ (2nd Ed, 1997) 195.5 Cheryl Saunders, ’Women and Constitution Making’ (makalah dalam theInternational Conference on ”Women Peace Building and ConstitutionMaking”, Columbo, Sri Lanka, 2–6 May 2002) 5—13.

Page 20: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

6

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

achieved the common goals that we had been fighting fortogether.6

Proses pelibatan masyarakatpun relatif tidak terprogramdengan baik. Dalam Perubahan Kedua dan Keempat,memang sempat ada program penyerapan aspirasi masya-rakat, namun program serupa sepi dilakukan ketika penyu-sunan Perubahan Pertama dan Ketiga. Dibandingkandengan proses partisipasi masyarakat di reformasi konstitusiyang dilakukan Afrika Selatan, contohnya, reformasi UUD1945 relatif masih minimalis.7

Meski dengan proses yang problematik, PerubahanPertama hingga Keempat UUD 1945 relatif memperbaikistruktur dan fungsi lembaga-lembaga negara serta perlin-dungan hak asasi manusia (HAM). Khusus mengenaiperlindungan HAM, Perubahan Kedua memberikan jami-nan yang jauh lebih komprehensif dibandingkan denganaturan sebelum amandemen. Dalam naskah asli UUD 1945proteksi HAM, meski ada, amat minimalis dan kompromis,sebagai hasil perdebatan yang hangat antara kubu Soe-karno-Soepomo melawan Hatta-Yamin. Tidak sedikit bah-kan yang berpendapat, perlindungan HAM di dalam UUD1945 asli amat lemah, nyaris tiada.8 Ambillah contoh Pasal 28

6 Van Zorge Report, ’Most People Didn’t Realize What Was Happening UntilIt Was Too Late’ (2002) <http://www.vanzorgereport.com/report/popup/index.cfm?fa=ShowReport&pk_rpt_id=462&CFID=315606&CFTOKEN=71680888>diakses pada 3 Oktober 2003.7 Denny Indrayana, ’Proses Reformasi Konstitusi Transisi (PengalamanIndonesia dan Perbandingannya dengan Afrika Selatan dan Thailand)’dalam Kajian (7:2:2002) 94—96.8 Bivitri Susanti, ’Constitution and Human Rights Provisions in Indonesia:An Unfinished Task in the Transitional Process’ (Paper presented at theConference on ”Constitution and Human Rights in a Global Age: An AsiaPacific History”, Canberra, 30 November-3 December 2001) 3.

Page 21: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

7

MENCARI KONSTITUSI

UUD 1945, yang mengatur bahwa kebebasan berpendapatdan berserikat disyaratkan diatur dalam undang-undang.Faktanya, hingga Orde Baru runtuh, undang-undang di-maksud tidak pernah direalisasikan eksistensinya. Kele-mahan aturan di dalam konstitusi itulah yang menjadi salahsatu faktor maraknya pelanggaran HAM di masa Orde Baru.Pascaamandemen UUD 1945, Tim Lindsey memuji perlin-dungan HAM yang menurutnya impresif dan jauh lebihlengkap dibandingkan banyak negara maju.9 Meskipunpolemik tentang asas non-retroaktif dalam pasal 28 (I)menyebabkan beberapa kalangan masih mengkritik aturanpascaamandemen HAM tersebut.10

Selanjutnya mengenai relasi dan fungsi lembaga-lem-baga negara dapat dibagi terutama di bidang eksekutif,legislatif, dan yudikatif. Di bidang eksekutif, pascaaman-demen sistem presidensial lebih ditegaskan melalui pemi-lihan presiden langsung dan makin sulitnya sistem pemak-zulan presiden. Sayangnya sistem direct presidential electiontidak membuka peluang bagi majunya calon presidenindependen. Calon presiden hanya bisa dinominasikan olehpartai politik.

Pada lembaga legislatif, fungsi kontrol DPR dikuatkanterhadap presiden. Struktur lembaga legislatif juga diubahdari awalnya relatif unikameral (dengan dominasi kewe-nangan ada di tangan lembaga tertinggi MPR) menjadibikameral. Meskipun DPD sebagai upper house mempunyai

9 Tim Lindsey, ’Indonesian Constitutional Law Reform: Muddling TowardsDemocracy’ dalam Singapore Journal of International & Comparative Law(6:2002) 254.10 Lebih jauh tentang diskusi asas non-retroaktif, Ross Clarke, ’Bali Bomb:Retrospectivity and Legal Implications’ Australian Journal of Asian Law(5:2003) 2—32.

Page 22: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

8

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kewenangan konstitusional yang amat terbatas. Sehinggayang tercipta adalah bikameral yang lemah (weak bica-meralism atau soft bicameralism).

Reformasi konstitusi juga melakukan restrukturisasi dilembaga yudikatif. Dua lembaga baru dilahirkan: Mah-kamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kemandirian ke-kuasaan kehakiman diakui. Mahkamah Agung tetap diberi-kan kewenangan untuk menyelesaikan kasus-kasus kon-vensional (perdata, pidana, dan sejenisnya). MahkamahKonstitusi berwenang untuk melakukan constitutionalreview atas undang-undang, menyelesaikan sengketa kewe-nangan antar lembaga negara, memutuskan sengketa hasilpemilihan umum, membubarkan partai politik dan mem-berikan pendapat hukum dalam proses pemakzulan presidendan/atau wakil presiden. Sedangkan Komisi Yudisial mem-punyai dua kewenangan konstitusional: mengusulkan calonhakim agung untuk kemudian diseleksi oleh DPR dandiangkat oleh Presiden; serta menjaga dan menegakkankehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Di luar lembaga-lembaga konvensional di bidang ekse-kutif, legislatif dan yudikatif; hasil amandemen menguatkanposisi Badan Pemeriksa Keuangan dan menghadirkan –meski malu-malu, karena ditulis dengan ’huruf kecil’ –Komisi Pemilihan Umum. Sebelumnya, masalah pemilutidak diatur sama sekali dalam konstitusi. Pengaturan pemilumenegaskan komitmen negara hukum yang juga ditegaskanpascapemilu UUD 1945.

Meski sudah lebih baik dibandingkan dengan konstitusisebelum diubah, UUD 1945 sebaiknya terus dilakukanupaya perbaikan. Perbaikan di tingkat perlindungan HAMdilakukan dengan membatasi harga mati ketentuan

Page 23: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

9

MENCARI KONSTITUSI

retroaktif yang seakan diatur menurut Pasal 28I. Selanjutnya,untuk menjamin aturan konstitusi hanya menjadi pepesankosong, maka perlu ada jaminan agar perlindungan HAM itudapat dituntut untuk dilaksanakan. Salah satunya denganmemberikan kewenangan constitutional complaint kepadaMahkamah Konstitusi. Sebagai catatan, kewenangan konsti-tusionalitas demikian menguatkan komitmen perlindunganHAM di Jerman. Mahkamah Konstitusi Jerman menjadilembaga tempat bertumpu warga negara yang merasa hak-hak dasarnya diabaikan oleh elite-penguasa negara.

Dari beberapa penekanan hasil amandemen UUD 1945di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum,aturan konstitusi pascaamandemen lebih menguatkan kon-sep negara hukum Indonesia. Kesimpulan ini didasarkanpada persandingan antara hasil amandemen dengan kriterianegara hukum berdasarkan doktrin. Hans Kelsen, misalnya,dalam kaitan negara hukum yang juga merupakan negarademokratis, mengargumentasikan empat syarat rechtsstaat,yaitu negara yang (1) kehidupannya sejalan dengan konsti-tusi dan undang-undang, yang proses pembuatannya dila-kukan oleh parlemen. Anggota-anggota parlemen itu sendiridipilih langsung oleh rakyat; (2) mengatur mekanismepertanggungjawaban bagi atas setiap kebijakan dan tin-dakan kenegaraan yang dilakukan oleh elite negara; (3)menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan (4)melindungi hak-hak asasi manusia.11

Kriteria dalam bahasa yang lain, namun tetap samasecara substansi, diargumenkan oleh Saunders dan Le Roy.Keduanya menyatakan bahwa rule of law mempunyai tiga

11 Hans Kelsen, Pure Theory of Law (1967) 313.

Page 24: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

10

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

prinsip utama, yaitu: (1) pemerintahan harus berjalanberdasarkan hukum yang sudah ada sebelumnya; (2) aturanhukum inilah yang harus dilaksanakan dan berlaku; dan (3)perselisihan atas aturan tersebut harus diselesaikan melaluimekanisme yang demokratis.12

Berdasarkan paparan di atas, sekali lagi, dapat ditarikkesimpulan bahwa, hasil amandemen UUD 1945 lebihmemberikan dasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnyanegara hukum Indonesia. Meski demikian, tentu, jaminankonstitusional yang lebih baik itu saja tidaklah cukup.Banyak tantangan dan hambatan untuk menerapkan ja-minan konstitusi tersebut ke dalam tindak nyata kehidupanbernegara. Dalam konteks itulah, salah satu hambatan utamaterwujudnya negara hukum Indonesia yang sebenarnyaadalah: praktik korupsi yang masih menggila, utamanyakorupsi di dunia peradilan itu sendiri. Paparan ini padagilirannya akan menyoal masalah korupsi sebagai pembajakcita reformasi konstitusi.

Sebelum menyajikan problematika korupsi, pemaparanberikut mengargumentasikan bahwa aturan main bernegaratetap harus disempurnakan untuk memperkokoh cita negarahukum yang demokratis.

Penyempurnaan Lembaga Eksekutif13

Di bidang eksekutif, selain masalah perlu diadopsinyacalon independen dalam pemilihan presiden, sebaiknyadibangun sistem politik yang menguatkan sistem presidensial

12 Cheryl Saunders and Katy Le Roy, ’Perspective on the Rule of Law’ dalamThe Rule of Law (2003) 5.13 Lihat: Denny Indrayana, Presiden, Parlemen dan Kabinet, Gatra, 23Oktober 2004 dan Denny Indrayana, Memaksimalkan Koalisi, Member-dayakan Oposisi, Republika, 28 Juli 2004.

Page 25: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

11

MENCARI KONSTITUSI

yang efektif. Dalam konteks demikian perlu dicatat peringat-an dari Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart dalam”Presidentialism and Democracy in Latin America”. Menurutmereka, ketidakstabilan pemerintahan akan terjadi bilasistem presidensial dipadukan dengan sistem multi-partaiyang cenderung melahirkan presiden sial (minority pre-sident) dan pemerintahan terbelah (divided government).Yaitu, presiden yang hanya mendapatkan dukungan mino-ritas di parlemen. Hadirnya presiden minoritas dan peme-rintahan terbelah, ditambah minimnya kekuasaan konsti-tusional, menyebabkan banyak sistem presidensial di nega-ra-negara Amerika Latin gagal menghadirkan demokrasiyang stabil.14

Karenanya, untuk memperkuat sistem presidensial perludidesain terwujudnya sistem dua partai, yang mempunyaikemungkinan lebih besar untuk melahirkan presidensialyang efektif (effective presidential). Sistem pemerintahanyang didominasi dua partailah, ditambah sistem salingkontrol antara eksekutif dan legislatif, yang menyelamatkanwajah-sejarah presidensial Amerika Serikat.15

Sementara sistem yang didominasi dua partai belumterbentuk, maka koalisi antar partai menjadi tidak ter-hindarkan. Mengacu pada klasifikasi Arendt Lijphart,koalisi pemerintahan dapat dibagi tiga: koalisi pas-terbatas(minimal winning coalition), koalisi kekecilan (Y) dan koalisi

14 Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Demo-cracy in Latin America (1990).15 Sartori (1997). Meski menurut Sartori, dalam rentang waktu sejak 1950-ansistem presidensial Amerika Serikat juga didominasi oleh fenomenapresiden sial dan pemerintahan terbelah. Di kurun waktu 1968 hingga1992, Partai Republik selalu menduduki Gedung Putih kecuali masa 4tahun di bawah Presiden Jimmy Carter. Sebaliknya, Partai Demokrat selalumendominasi komposisi kursi di Kongres.

Page 26: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

12

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kebesaran (oversized coalition). Untuk menciptakan pre-sidensial efektif yang perlu diciptakan adalah koalisi pas-terbatas.16

Koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang mendapatkandukungan mayoritas sederhana di parlemen. Jumlah partaiyang berkoalisi dibatasi hanya untuk mencapai dukunganmayoritas sederhana, tidak lebih. Koalisi kekecilan adalahkoalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas seder-hana di parlemen, sebagaimana pernah terjadi dalam kurunwaktu terakhir pemerintahan Presiden Abdurrahman Wa-hid. Sebaliknya, koalisi kebesaran adalah potret pemerin-tahan Presiden Wahid di masa awal berkuasa, juga peme-rintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini, yangnyaris mengikutsertakan semua partai ke dalam kabinetnya.

Pengalaman Presiden Wahid menunjukkan bahwa koa-lisi pemerintahan yang kekecilan – setelah ia ditinggalkanoleh koalisi ”Poros Tengah” – telah menjadikannya presidenyang sial, dan akhirnya dimakzulkan. Sebaliknya, koalisikebesaran telah menghasilkan pemerintahan yang terlalugemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menujupemerintahan yang efektif, selain mendorong sistem kepar-taian yang didominasi dua partai, bentuk aliansi politik kedepan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.

Penyempurnaan Lembaga LegislatifSalah satu reformasi di bidang legislatif yang paling

mengemuka adalah reformasi relasi struktural dan fung-sional antara DPD dan DPR. DPD telah lahir, namun belumsepenuhnya hadir. Keberadaannya hampir sama dengan

16 Arendt Lijphart, Pattern of Democracy (1999).

Page 27: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

13

MENCARI KONSTITUSI

ketiadaannya. Maknanya, DPD bisa dianggap antara ’ada’dan ’tiada’. DPD ’ada’ – salah satunya – karena legitimasinyayang relatif kuat. Para anggotanya dipilih langsung melaluisistem pemilu distrik berwakil banyak. Namun, DPD juga’tiada’. Karena, kuatnya legitimasi hasil pemilu itu tidakberjalan seiring dengan kewenangannya yang cenderungminimalis, terlebih bila dikomparasikan dengan kewe-nangan DPR.

Sebagai anak kecil berumur lima tahun, lahir padaAgustus 2001, setelah MPR menyetujui Perubahan KetigaUUD 1945, DPD adalah ibarat balita lemah yang menderita”busung lapar”. Perutnya yang buncit adalah wujud ting-ginya harapan rakyat pemilih, namun kekurangan vitamin-kewenangan menyebabkan si mungil DPD menjadi tergoleklemah, tak bertenaga, tak berdaya serta bernafas senin –kamis. Ke depan, tanpa adanya rekayasa hukum (legalengineering) dan inovasi politik (political innovation) yangcerdas dan serius, DPD akan cenderung menjadi institusimati tiada arti.

Di beberapa negara. Sampai akhir 1990-an, tiga dariempat parlemen di dunia adalah unikameral.17 Di masa lalu,penolakan terhadap parlemen bikameral – salah satunya –berdasar pada argumen terkenal dari Abbe Sieyes yangmenegaskan, If the second chamber agrees with the first it isunnecessary: if it disagrees it is pernicious.

Namun, kecenderungan beberapa dekade terakhir, par-lemen bikameral lebih banyak menarik minat negara-negarayang baru merdeka.18 Dalam catatan Ball dan Peters, keba-

17 Rod Hague, Martin Harrop dan Shaun Breslin, Comparative Governmentand Politics: An Introduction (1998).18 Ibid.

Page 28: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

14

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

nyakan parlemen modern menerapkan sistem dua kamar;dengan pengecualian New Zealand yang justru berubah keunikameral dengan membubarkan Majelis Tingginya ditahun 1950, diikuti Denmark di tahun 1954, Swedia di tahun1970,19 dan Iceland di tahun 1991.20

Yang menarik, di tahun 1996, dari 36 negara yangdiobservasi oleh Arendt Lijphart berkait dengan pola-polademokrasi, hanya 13 negara yang unikameral, sisanya – 23negara – menerapkan parlemen bikameral.21 Kemenanganstatistik parlemen bikameral tersebut semakin menguatkanposisinya berhadapan dengan parlemen unikameral.

Berdasarkan perbandingan kekuatan antara kedua ka-marnya, Giovanni Sartori membagi sistem parlemen bika-meral menjadi tiga jenis yaitu: (1) sistem bikameral yanglemah (asymmetric bicameralism atau weak bicameralismatau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satukamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya; (2) sistembikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strongbicameralism), yaitu apabila kekuatan antara dua kamarnyanyaris sama kuat; dan (3) perfect bicameralism yaitu apabilakekuatan di antara kedua kamarnya betul-betul seimbang. 22

Weak bicameralism sebaiknya dihindari karena akanmenghilangkan tujuan bikameral itu sendiri, yaitu sifatsaling kontrol di antara kedua kamarnya. Artinya, dominasisalah satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanyamenjadi bentuk lain dari sistem parlemen satu kamar

19 Alan R. Ball and B. Guy Peters, Modern Politics and Government (2000)190.20 Lijphart, 202.21 Ibid.22 Sartori, 184.

Page 29: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

15

MENCARI KONSTITUSI

(unicameral). Di sisi lain, perfect bicameralism bukan pulapilihan ideal, karena kekuasaan yang terlalu seimbangantara Majelis Rendah dan Majelis Tinggi memang seakan-akan melancarkan fungsi kontrol antara kamar di parlemen,namun sebenarnya juga berpotensi menyebabkan kebun-tuan tugas-tugas parlemen. Yang menjadi pilihan, karena-nya, adalah terwujudnya sistem strong bicameralism.

Ketiga macam bikameral tersebut adalah berdasarkantingkatan kekuatannya. Di samping itu, Giovanni Sartorijuga membedakan bikameral menjadi tiga jenis berdasarkankomposisi atau struktur keanggotaan di antara keduakamarnya, yaitu: (1) bikameral yang unsurnya sama (similarbicameralism); (2) bikameral yang unsurnya agak berbeda(likely bicameralism) dan (3) bikameral yang unsurnyasangat berbeda (differentiated bicameralism).

Sama halnya dengan pembagian berdasarkan perban-dingan kekuatan di atas, parlemen bikameral dengan unsuryang terlalu sama di antara kedua kamarnya akan berubahwujud menjadi unicameral. Sebaliknya juga, apabila terlaluberbeda akan menyebabkan kebuntuan proses kerja par-lemen karena terlalu heterogennya aspirasi dari unsur-unsuryang ada. Karenanya harus dicari adonan perpaduan yangmenghasilkan likely bicameralism.

Mengacu kepada jenis-jenis bikameral yang diajukanoleh Giovanni Sartori itu, maka bikameral ideal sebaiknyamengarah kepada perpaduan antara strong bicameralismdengan likely bicameralism. Kongres di Amerika Serikatadalah contoh nyata dari perpaduan ideal tersebut karenaHouse of Representatives-nya berbagi kewenangan dansaling kontrol dengan Senate untuk melaksanakan fungsiparlemen tetapi tidak sampai saling menjegal. Unsur-unsur

Page 30: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

16

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kongresnyapun terjaga dengan memadukan antara sistemkepartaian di House of Representatives dan representasinegara bagian di Senate.

Salah satu ciri negara yang mempunyai parlemen bika-meral yang kuat adalah ketika kedua kamarnya mempunyaihak untuk saling memveto dalam proses legislasi, sebagai-mana tersistem di Australia, Belgia, Italia, dan AmerikaSerikat.23 Contoh-contoh negara itu menunjukkan sistemparlemen bikameral yang kuat dapat berpadu selaras dengansistem pemerintahan parlementer maupun presidensial.

Sistem parlemen Indonesia. Para ahli berbeda pendapattentang parlemen Indonesia pascaamandemen UUD 1945.Ada yang berargumen bahwa parlemen Indonesia adalahbikameral yang lemah (weak bicameralism), namun ada pulayang menyatakan Indonesia bukanlah parlemen bikameral,melainkan trikameral. Saldi Isra misalnya berpandanganbahwa dengan adanya kewenangan yang masih dimilikiMPR, di samping kewenangan konstitusional yang dimilikiDPR dan DPD, maka sebenarnya Indonesia menganut sistemparlemen tiga kamar.24

Yang jelas pilihan sistem parlemen Indonesia, pasca-perubahan Ketiga UUD 1945, kembali meneguhkan pola”bukan-bukan” sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistemyang ’daging’ bukan, ’ikan’ juga bukan; neither meat, norfish. Misalnya, sebelum amandemen UUD 1945 kita me-nganut sistem pemerintahan yang bukan parlementer, tetapibukan pula presidensial. Sri Soemantri menyebutnya sebagai

23 Ibid 185.24 Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat: Sistem Trikameral diTengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi vol. 1: No. 1,Juli 2004, 129 – 132.

Page 31: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

17

MENCARI KONSTITUSI

sistem pemerintahan kuasi presidensial. Contoh lain, sistempemilihan anggota DPR kita diaku menggunakan metodeproporsional terbuka, namun pada praktiknya setengahtertutup; atau sistem proporsional bukan terbuka, tetapibukan pula tertutup. Konsep bukan-bukan itu pula yangkita hasilkan pada sistem parlemen sekarang, bukan unika-meral, tetapi bukan pula bikameral, tetapi cenderung trika-meral. Lebih tepatnya, sistem trikameral yang terbentuklebih didominasi kekuatan DPR.25

Hasil sistem parlemen bikameral ’bukan-bukan’ Indo-nesia adalah produk tarik menarik antara dua kutub di MPRketika melakukan amandemen UUD 1945. Satu kutubbersemangat untuk membentuk sistem strong bicameralism,sedangkan kubu yang lain sama sekali menolak pem-bentukan sistem bikameral, alias berkehendak terus mem-pertahankan sistem unikameral.

Bagi kubu strong bicameralism, model unikameral yangmenempatkan MPR sebagai lembaga parlemen yang supermenimbulkan pemusatan kekuasaan yang anti demokrasi,dan merupakan salah satu pendorong utama bagi hadirnyaMPR yang mudah direkayasa Presiden Soeharto guna me-langgengkan kekuasaannya. Sebaliknya, bagi kelompokantiparlemen bikameral, konsep tersebut akan mendorongIndonesia menuju bentuk negara federal, salah satu konseptabu yang wajib dihindari.26

Meskipun, mengapa sistem federal ditolak, sama sekalitidak pernah diperdebatkan secara tuntas. Satu-satunya

25 Ibid 116 – 139.26 Konsep ketatanegaraan lain yang dianggap tabu adalah sistem pemerin-tahan parlementer dan dasar negara selain Pancasila.

Page 32: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

18

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

alasan yang muncul adalah alasan negara kesatuan adalahamanat para founding parents yang mendirikan negara-bangsa Indonesia. Suatu alasan yang sebenarnya amat dapatdiperdebatkan. Alasan lain adalah: konsep negara federaltelah gagal dilaksanakan di tahun 1949 – 1950 karenamerupakan upaya Belanda untuk memecah belah Indonesia.Argumen terakhir ini menunjukkan, tertolaknya negarafederal dan terpilihnya negara kesatuan adalah lebih meru-pakan wujud perlawanan romantis terhadap Belanda, sertabukanlah refleksi dari pemikiran mendalam bahwa negarafederal senyatanya lebih buruk daripada negara kesatuan.

Kompromi di antara kedua kubu di MPR 1999–2004itulah yang akhirnya melahirkan sistem bukan unikameral,tetapi bukan pula bikameral: neither meat nor fish. Kalau-pun DPD pada akhirnya disetujui oleh kubu penolakbikameral, yang salah satunya dipelopori oleh Fraksi PDIPerjuangan, itu karena kewenangan dan keberadaan DPDpada ujungnya sengaja dikompromikan dan didesain antaraada dan tiada.27

DPD anak bawang DPR. Dengan mengenyampingkankehadiran MPR, relasi DPR dan DPD adalah ibarat hu-bungan majelis rendah (lower house) dan majelis tinggi(upper house) dalam sistem parlemen dua kamar, di manaDPD merupakan majelis tinggi. Majelis rendah dibahasakanberbeda seperti House of Commons (Inggris); House ofRepresentatives (Amerika Serikat) dan Bundestag (Jerman).Di sisi lain, majelis tinggi disebut House of Lords (Inggris),Senate (Amerika Serikat), Bundesrat (Jerman) dan House ofCouncillors (Jepang).

27 Indrayana, Indonesian Constitutional Reform…, 187 – 188.

Page 33: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

19

MENCARI KONSTITUSI

Menurut Sartori, dalam bikameral yang jauh tidakseimbang (weak bicameralism) yang posisinya lebih lemahadalah selalu majelis tinggi, dan belum pernah terjadisebaliknya.28 Lebih kuatnya lower house di antaranya adalahkarena ada anggota upper house yang tidak dipilih lang-sung. Meskipun hal itu tidak terjadi dalam kasus di Jepang,di mana upper house-nya yang dipilih langsung. Di negerimatahari terbit itu, tetap saja kewenangan legislasi majelistinggi tetap lebih lemah, karena dapat diveto oleh majelisrendahnya.29 Meski demikian, posisi majelis tinggi di Jepangtersebut masih lebih lumayan dibandingkan nasib majelistinggi di Indonesia. Di sini, DPD meski juga sudah dipilihlangsung tetapi tetap saja berposisi jauh lebih rendah dariDPR, dan lebih jauh dari itu, tidak punya kewenanganlegislasi sekuat House of Councillors di Jepang.

Dibandingkan dengan DPR, kewenangan DPD amatminimalis, baik dari sisi institusional maupun personal. Disisi institusional DPR adalah pemegang mandat legislasibersama-sama dengan Presiden; mempunyai fungsi penga-wasan; dan mempunyai fungsi budgeting. Di sisi lain, DPDhanya merupakan ”lembaga pemberi pertimbangan agung”kepada DPR ke dalam ketiga fungsi institusional DPRtersebut. Lebih jauh, berbeda dengan DPR yang diproteksikeberadaannya dari kemungkinan dibubarkan oleh Pre-siden,30 maka DPD tidak mempunyai proteksi konstitusionaldemikian.31

28 Sartori, 183 – 184.29 Ibid.30 Pasal 7C UUD 1945.31 Denny Indrayana, Ancaman Tirani DPR, Kompas 2 September 2002.

Page 34: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

20

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Tidak hanya rentan secara institusional, DPD juga lemahsecara personal. Bila anggota-anggota DPR dilindungidengan hak imunitas di dalam konstitusi, maka anggota DPDtidak mempunyai garansi konstitusi demikian. Hak imunitasbagi anggota DPD baru hadir dalam UU Susunan danKedudukan DPR, DPD dan DPRD. Lebih jauh, hak-hak lainyang dimiliki anggota DPR semuanya dijamin dalam UUD1945, sedangkan hak-hak anggota DPD hanya diatur dalamUU Susduk. Perbedaan hierarki peraturan tersebut secaranyata menggambarkan inferiornya DPD di hadapan DPR.

Kekerdilan kewenangan DPD di hadapan DPR meng-hilangkan salah satu fungsi kehadiran DPD, sebagai fungsiinternal kontrol parlemen. Sebagaimana dikatakan Sartori –di awal tulisan ini – two eyes are better than one eye. Artinyadua kamar seharusnya mempunyai fungsi saling kontrolsaling imbang (checks and balances). Dominannya DPRmenjadikannya sebagai lembaga yang hanya dapat di-kontrol oleh kekuatan eksternal, misalnya presiden danMahkamah Konstitusi. Sedangkan kontrol internalnya ha-nya muncul dari diri internal DPR sendiri, yaitu melaluidinamika politik fraksi-fraksi DPR. Sedangkan kontrolinternal parlemen dengan hadirnya DPD, nyaris tidak adagunanya.

Sistem Parlemen ke Depan. Kejelasan sistem parlemenIndonesia ke depan harus lebih tegas. Pemilihan anggotaDPD yang secara langsung melalui sistem distrik harusdisinkronkan dengan kewenangannya yang lebih kuat.Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat kepada DPD,dalam hal-hal yang berkaitan dengan daerah, sebaiknyaditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi, jika ke depanada amandemen atas UU Pemerintahan Daerah, maka DPD

Page 35: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

21

MENCARI KONSTITUSI

tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turutmempunyai hak suara untuk menentukan lolos tidaknyaRUU perubahan tersebut.

Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukanpenguatan struktural, terutama berhubungan dengan pro-teksi institusional dan personal DPD. Proteksi institusionaladalah dengan menegaskan bahwa, sebagaimana DPR tidakdapat dibubarkan oleh Presiden, maka demikian pula DPD.Sedangkan proteksi personal adalah dengan mengangkathak imunitas DPD yang saat ini ada dari tingkat UU ketingkat konstitusi. Peningkatan status hukum serupa perlujuga dilakukan atas hak-hak DPD yang lain.

Artinya, sistem parlemen Indonesia ke depan sebaiknyamengarah kepada sistem parlemen bikameral yang kuat,meski jangan juga sampai ke arah parlemen bikameral yangsama kuat (perfect bicameralism). Masih adanya kelompokpolitik yang antipati dengan sistem federal – dan selalumengaitkannya dengan sistem parlemen bikameral – meru-pakan kernyataan sosiologis bangsa Indonesia, yang tidakfair untuk diabaikan begitu saja keberadaannya. Maksud-nya, menjadi tidak bijak untuk menghadirkan sistembikameral yang sama kuat ke dalam sistem berbangsaIndonesia. Terlebih, perfect bicameralism juga berpotensimengarah kepada kebuntuan proses politik.32 Salah satucontoh krisis politik pernah dialami Australia di tahun 1975.Penolakan Senate atas rancangan APBN yang diusulkanpemerintahan Partai Buruh, memaksa Governor GeneralAustralia memberhentikan pemerintah.33

32 Sartori, 188.33 Ball dan Peters, 193.

Page 36: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

22

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Berkait dengan hubungan antara sistem negara federaldengan parlemen bikameral, penelitian yang dilakukanLijphart di tahun 1996 menunjukkan bahwa dari 27 negarakesatuan demokratis yang diteliti masing-masing 13 merupa-kan parlemen unikameral, 13 bikameral dan 1 adalah sistemone-and-a-half parlemen. Sedang dari 9 negara federal yangdemokratis, semuanya menerapkan sistem parlemen bika-meral.34 Dari angka-angka tersebut tetap dapat disimpulkanbahwa: sistem parlemen bikameral tidak selalu berkaitdengan negara federal, namun bukti bahwa semua negarafederal pasti bikameral tetap merupakan fakta yang takterbantahkan.

Lebih jelas tentang hubungan antara unikameral-bika-meral dengan kesatuan federal, penelitian Lijphart menya-takan: ketika derajat federalisme dan desentralisasi me-ningkat, biasanya perubahan dari sistem unikameral kebikameral terjadi; dan selanjutnya derajat kekuatan sistemparlemen bikameral juga meninggi.35

Tetapi, itu bukan berarti negara kesatuan sebagaimanaIndonesia tidak dapat membentuk sistem bikameral yangkuat, karena tetap saja ada perkecualian. Negara-negarakesatuan yang berpenduduk besar – sebagaimana halnyaIndonesia – seperti Perancis, Kolombia dan Italia tetapmenerapkan sistem parlemen bikameral yang kuat, terlepasketiganya adalah negara kesatuan yang sentralistis.36

Langkah untuk melakukan amandemen lanjutan atasUUD 1945 untuk mewujudkan parlemen bikameral yangkuat, adalah salah satu agenda hukum-politik yang harus

34 Lijphart, 203.35 Ibid 214.36 Ibid 215.

Page 37: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

23

MENCARI KONSTITUSI

terus diadvokasi dan didesakkan. Namun, perubahan kons-titusi tentu bukan pekerjaan mudah. Banyak prosedur danpersyaratan konstitusional yang sulit untuk dilewati, terlebihdengan jumlah anggota DPD yang kurang dari sepertigaanggota MPR. Dengan komposisi demikian, penguatan DPDmelalui reformasi konstitusi adalah langkah penting namunkurang strategis dan relatif akan memakan waktu yang lama.

Dengan demikian, upaya-upaya revitalisasi DPD melaluipenciptaan terobosan-terobosan hukum tidak tertulis (kon-vensi) menjadi alternatif solusi yang juga wajib diseriusi.Dalam konteks ini, kebijakan untuk menciptakan konvensipidato presiden di hadapan DPD – selain di hadapan DPR –pada bulan Agustus, adalah upaya yang patut diapresiasi.Ke depan, langkah-langkah inovasi demikian harus lebihsering dilakukan terutama atas isu-isu kenegaraan yanglebih populis, tidak semata elitis, sebagaimana terkesan dariperebutan pidato presiden antara DPR dengan DPD, yangsenyatanya lebih kental bernuansa seremonial ketimbangmasalah kehidupan nyata masyarakat kawula alit.

Penyempurnaan Lembaga YudikatifMasalah yudikatif berkait erat dengan pola relasi Mah-

kamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.Seharusnya hubungan ketiganya saling menunjang untukterciptanya kekuasaan yudikatif yang merdeka dan ber-wibawa.

Putusan MK Tentang UU KY. Ada apa dengan Mah-kamah Konstitusi? Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, yangmenguji Undang-undang Komisi Yudisial (UU KY) sangatproblematik dan mengejutkan. Ia adalah lonceng kematianbagi reformasi peradilan, bagi agenda penting memberantas

Page 38: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

24

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

praktik haram mafia peradilan. Sejak putusan itu dikeluar-kan, praktik judicial corruption cenderung akan semakinmarak.

Tiga puluh satu hakim agung, sebagai pemohon pe-ngujian, bersama para kuasa hukumnya, OC Kaligis, JuanFelix Tampubolon dan Indriyanto Seno Adji sudah pastitersenyum lebar karena nyaris seluruh permohonan merekadikabulkan oleh MK. Bahkan untuk fungsi pengawasan,MK memutuskan ”segala ketentuan UU KY yang me-nyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangandengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukummengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastianhukum (rechtsonzekerheid).” Inilah putusan di mana untukkesekian kalinya MK menggunakan dalih ketidakpastianhukum atau kepastian hukum untuk membatalkan suatuperaturan perundangan. Sayangnya penerapan dalih itutidak jarang bertabrakan dengan prinsip kemanfaatanhukum dan keadilan hukum.

Inilah putusan kontroversial MK yang lain, setelahsebelumnya menyatakan korupsi tidak dapat dijerat denganperbuatan melawan hukum materiil – suatu putusan yangbertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.Dalam putusan UU Korupsi tersebut, MK membatalkanketentuan perbuatan melawan hukum materiil dalam pen-jelasan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Korupsi karenatidak sesuai dengan kepastian hukum yang diatur dalamPasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembatalan konsep melawanhukum materiil tersebut – yang merujuk pada hukum tidaktertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecer-matan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu normakeadilan – memangkas semangat progresivitas yang amat

Page 39: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

25

MENCARI KONSTITUSI

bermanfaat untuk melawan korupsi sebagai kejahatan luarbiasa dengan cara luar biasa pula.

Seakan melengkapi kontroversi, putusan atas UU KYsangat bertolak belakang dengan agenda memberantaspraktik korupsi peradilan (judicial corruption). Anehnya,tidak ada satu dissenting opinion-pun yang diberikan dalamputusan UU KY yang sangat strategis tersebut. Ada apadengan hakim konstitusi? ”Masuk anginkah” mereka? Tuli-san singkat ini mencoba melihat putusan tersebut secarakorektif – mengkritik argumen yang ada di dalam putusan;serta secara preventif – mengantisipasi bagaimana sebaiknyarevisi UU KY dilakukan.

Putusan UU KY kental terkontaminasi conflict of interest.Perilaku hakim konstitusi diputuskan bukan obyek pe-ngawasan KY. Alasannya, sistematika pembahasan di dalamkonstitusi adalah MA, KY baru MK. Alasan demikiansebenarnya tidak sesuai dengan fakta yang terungkap dipersidangan. The second founding parents yang meru-muskan perubahan UUD 1945 mengungkapkan bahwasusunan demikian bukan berarti hakim konstitusi tidakdiawasi oleh KY. Susunan itu terjadi by accident karenaproses pembahasan perubahan UUD 1945 memang tidaksistematis, dan sewaktu pembahasan MK belumlah ter-bentuk. Sehingga yang lebih banyak didiskusikan adalahpengawasan terhadap MA dan jajaran peradilan lainnya.Namun, itu sama sekali bukan berarti hakim konstitusi tidakdapat diawasi oleh KY.

Alasan lain dalam putusan bahwa perilaku hakimkonstitusi tidak termasuk obyek pengawasan KY karena MKharus independen sewaktu memutus sengketa kewenanganantar lembaga negara – yang mungkin melibatkan KY

Page 40: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

26

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

sebagai pihak – tidak pula tepat benar. Karena justrukewenangan MK untuk memutus sengketa kewenanganyang melibatkan KY, dan kewenangan KY untuk mengawasihakim konstitusi adalah bentuk checks and balances.Kewenangan KY demikian seharusnya dianggap tidakdapat mempengaruhi independensi hakim konstitusi. Seba-gaimana sangat sering disampaikan oleh Ketua MK bahwamereka akan tetap independen, untuk menilai undang-undang yang dibuat Presiden dan DPR, meskipun 6 oranghakim konstitusi diusulkan oleh Presiden dan DPR.

Karenanya, sulit untuk menafikan bahwa putusanmengeluarkan hakim konstitusi dari obyek pengawasan KYtidaklah terkontaminasi benturan hakim konstitusi yangagaknya sangat enggan perilakunya diawasi. Potensi ben-turan kepentingan ini sebenarnya sudah tercium sedari awal,dan karenanya MK diingatkan untuk tidak memutuskanpermohonan sepanjang yang menyangkut MK sendiri.Terlebih ada asas hukum yang mengatakan hakim tidakboleh memeriksa perkara yang terkait dengan dirinyasendiri. Sayangnya, MK mengabaikan peringatan tersebutdan akhirnya terjebak pada logika tiran bahwa perilakuhakim konstitusi hanya boleh diawasi oleh mereka sendiri.

Makin sulit lagi dimengerti kenapa masalah hakimkonstitusi tidak diawasi KY ini dapat disepakati secarabulat. Padahal tidak sedikit hakim konstitusi – tidakterkecuali Jimly Asshiddiqie – sendiri yang menuliskan bukubahwa hakim konstitusi sebaiknya menjadi obyek pe-ngawasan KY. Jimly dalam banyak kesempatan juga me-nyambut baik dimasukkannya pengawasan hakim kons-titusi ke dalam UU KY, dan menuliskan bahwa sebaiknyaperan Majelis Kehormatan Hakim MK digantikan oleh KY.

Page 41: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

27

MENCARI KONSTITUSI

Menilik pendapat-pendapat yang terdokumentasikan dalambuku dan banyak makalah tersebut, menjadi aneh kalautidak satupun hakim konstitusi akhirnya menyampaikanbeda pendapat dalam putusan UU KY ini, khususnya yangberkait dengan putusan bahwa perilaku hakim konstitusitidak diawasi oleh KY. Padahal adalah syarat utamakonstitusi untuk menciptakan kontrol kepada setiap organkonstitusi. Membiarkan hakim konstitusi tanpa pengawasaneksternal berpotensi melanggar semangat dasar konsti-tusionalisme itu sendiri, sesuatu yang harusnya dijaga MKsebagai guardian of the constitution.

Putusan UU KY juga menolak relasi KY-MA-MK sebagaihubungan yang saling-kontrol-saling-imbang. AlasannyaKY hanya lembaga penunjang, lebih inferior dibandingkanMA dan MK yang merupakan lembaga utama kekuasaankehakiman. Argumentasi demikian adalah interpretasi yangdebatable dan sama sekali tidak mempunyai dasar yangcukup di dalam UUD 1945 sendiri. Yang pasti, ketigalembaga secara tegas diatur dalam bab yang sama tentangkekuasaan kehakiman. Semestinya, dengan kewenangankonstitusional untuk ”menjaga dan menegakkan kehor-matan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, tidaklahbisa diargumentasikan KY hanya organ penunjang, dan MAserta MK berposisi lebih utama. Argumentasi organ penun-jang dan organ utama jelas mengasumsikan sifat hirarkisantara KY dan MA-MK, dengan KY berposisi lebih inferior.Padahal untuk melaksanakan pengawasan preventif dankorektif atas perilaku hakim, KY sewajibnya berfungsisejajar dengan lembaga yang akan di awasinya. Adalahmimpi untuk mengargumentasikan, suatu lembaga yanglebih inferior dapat mengawasi lembaga yang lebih superior.

Page 42: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

28

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Checks and balances yang dikatakan MK hanya terbagidi antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif,adalah pola pikir ala Montesquieu yang klasik dan keting-galan zaman. Kompleksitas ketatanegaraan modern sudahtidak cukup lagi mendasarkan pemisahan kekuasaan kepa-da tiga cabang tersebut. Bruce Ackerman (2000) menulisartikel berjudul The New Separation of Powers dalam TheHarvard Law Review bahwa di Amerika Serikat ada sistempemisahan kekuasaan baru yang melingkupi Presiden, DPR,Senat, MA dan Komisi-komisi independen (independentagencies). Dicontohkan Ackerman bahwa salah satu komisiindependen adalah Federal Reserve Bank, yang juga mem-punyai kewenangan saling kontrol dan saling imbangdengan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif danyudikatif.

Jadi, kalaupun benar logika dan argumen MK, bahwaKY adalah state auxiliary agency, maka sebagai lembagaindependen bukanlah tidak mungkin jikalau konstitusimemberikan sistem saling-kontrol dan saling-imbang antaraMA dan KY. Justru, perkembangan kehidupan ketata-negaraan modern menunjukkan trend terbangunnya sistemkontrol yang melibatkan komisi-komisi negara independen.Di Afrika Selatan dan Thailand, sebagai contoh, kehadiranKomnas HAM, Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pem-berantasan Korupsi, diakui secara tegas di dalam konstitusi-nya, dan diberikan kewenangan untuk melakukan checksand balances di bidangnya masing-masing. Lembaga-lem-baga independen itu diakui sebagai constitutional organ.

Berkait dengan argumen bukan checks and balancestersebut, MK juga mengatakan yang diawasi oleh KY adalahperilaku hakim secara personal dan bukan institusional.

Page 43: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

29

MENCARI KONSTITUSI

Pendapat demikian seakan tepat, tetapi menjadi aneh ketikaditerapkan dalam kewenangan KY yang ikut serta dalamrekrutmen calon hakim agung. Kewenangan itu senyatanyamenunjukkan KY mempunyai fungsi checks and balancesdengan institusi MA dan tidak dengan para hakim agungsecara perorangan.

Putusan MK memang betul ketika mengatakan ada yangharus diperbaiki dalam pelaksanaan pengawasan yangdilakukan oleh KY. Tetapi itu bukan berarti hanya normaperundangan dalam UU KY yang keliru, dan lalu di-putuskan bertentangan dengan UUD 1945. Kalau benarargumen MK bahwa terjadi tumpang tindih antara aturanpengawasan yang ada di dalam UU Mahkamah Agung (UUMA), UU Kekuasaan Kehakiman (UU KK) dan UU KY,maka seharusnya yang diperbaiki adalah UU MA dan UUKK. Karena, dalam hal pengawasan hakim, UU KY harusdianggap lex specialis, aturan yang lebih khusus, yangmengenyampingkan aturan UU MA dan UU KK yang lebihumum. Apalagi UU KY yang lebih baru harus dianggapmemenuhi asas lex posteriori derogat legi priori. Aturan yanglebih baru mengenyampingkan aturan yang lebih lama.

MK mungkin dapat berdalih bahwa yang dimintakanpengujian konstitutionalitasnya adalah UU KY, karenanyatidaklah dapat membatalkan UU lain yang tidak sedangdiuji konstitusionalitasnya. Tetapi, alasan demikian tidakkonsisten dengan seringnya MK mengeluarkan putusan ultrapetita. Artinya, kalau memutuskan diluar yang diminta olehPemohon tidak jarang dilakukan MK, adalah wajar pulajika UU terkait yang menimbulkan tumpang tindih dibidang pengawasan juga dinyatakan bertentangan denganUUD. Atau kalau dirasa melanggar aturan hukum acara jika

Page 44: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

30

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

membatalkan UU yang tidak sedang direview, maka MKsewajibnya tidak menyatakan pasal-pasal pengawasandalam UU KY bertentangan dengan UUD. Pun, kalaumemutuskan segala pasal pengawasan KY dicabut, kenapaMK tidak memutuskan semua UU KY bertentangan denganUUD 1945, karena sebenarnya MK telah menghilangkan rohurgensi esksistensi KY.

Dengan memilih membatalkan fungsi pengawasan UUKY, MK sangat tidak sensitif dengan merajalelanya praktikmafia peradilan yang sedikit banyak dilakukan oleh hakim.Inilah kemenangan besar para hakim – khususnya parahakim agung – yang dalam beberapa waktu ke depan akankembali leluasa melakukan praktik mafia peradilan tanpakhawatir akan ada rekomendasi sanksi dari KY. ImbauanMK, agar DPR dan Presiden segera merevisi aturan penga-wasan yang mereka batalkan, bukanlah solusi yang tepat,apalagi cepat. Imbauan itu bahkan terkesan melempar bolapanas ke DPR dan Presiden. Padahal, merumuskan revisiundang-undang bukanlah pekerjaan mudah dan mungkinakan memakan waktu yang lama. Yang dalam rentangwaktu tersebut, hakim-hakim akan berpesta pora tanpapengawasan ’siapapun’.

MK membatalkan segala pasal pengawasan denganalasan atruannya tidak jelas (kabur) dan menimbulkanketidakpastian hukum. Pertanyaannya, apakah ketidak-jelasan tersebut sedemikian parah sehingga semua fungsipengawasan dalam UU KY wajib dinyatakan bertentangandengan konstitusi? Mengapa pilihannya bukanlah mem-biarkan pasal-pasal pengawasan itu dengan menekankanKY mengatur hal-hal yang belum jelas diperbaiki melaluiamandemen UU KY, dengan memulainya lewat Peraturan

Page 45: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

31

MENCARI KONSTITUSI

KY. Bukankah dengan demikian, fungsi pengawasan KYmasih dapat dilakukan, suatu fungsi yang teramat pentinguntuk memerangi praktik mafia peradilan yang marak dinegeri ini.

Lagi pula apa ukuran tidak jelas serta menimbulkanketidakpastian hukum? Dua ukuran itu bisa jadi sangatlonggar, jika diterapkan kepada UU di tanah air, amatmungkin semua UU wajib dinyatakan bertentangan denganUUD 1945. Karena amat wajar jika ada argumen bahwasetiap UU di tanah air tidak jelas, dan karenanya berten-tangan dengan prinsip kepastian hukum.

Dengan membatalkan segala pasal pengawasan dalamUU KY tentu saja MK telah membuat senyum lebar semuapelaku korupsi peradilan. Mulai putusan itu dibacakanhingga disahkannya revisi UU KY, KY tidak lagi bisamengawasi perilaku hakim. Suatu fungsi konstitusional yangdijamin oleh konstitusi. Itulah Ironisnya, MK sebagai pe-ngawal konstitusi, justru telah menghapus pasal-pasalpengawasan KY yang sebenarnya justru diberikan olehkonstitusi.

Akhirnya, pilihan membatalkan semua pasal penga-wasan dalam UU KY adalah pilihan yang masih debatablesecara ilmu hukum konstitusi. Justru yang sudah pasti,pilihan itu menumbuhsuburkan praktik mafia peradilan.Suatu pilihan yang bertentangan dengan moralitas-konsti-tusionalitas (constitutional morality), yang bermakna setiapkonstitusi harus diartikan sesuai landasan moralitas. Sewa-jibnyalah setiap pilihan interpretasi hukum tidak bolehmenabrak fondasi moralitas anti mafia peradilan. Ironisnya,pilihan hukum yang dijatuhkan MK nyata-nyata makinmenumbuhsuburkan praktik korupsi peradilan. Lilin Mah-

Page 46: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

32

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kamah Konstitusi yang sempat menerangi kelam peradilanagaknya berangsur padam dan mulai tergantikan mun-culnya bebayang hitam Mahkamah Mafia Peradilan.

Dalam beberapa sisi putusan MK untuk merevisi UU KYmemang idealnya dapat menjadi pintu perbaikan masalahpengawasan hakim. Sayangnya, bola panas yang dilem-parkan putusan MK itu tidak akan mudah dilaksanakandalam kehidupan nyata politik Indonesia yang koruptif.Benny K. Harman dalam diskusi mengkritisi putusan MK inidengan lugas mengatakan bahwa 80 persen anggota KomisiIII DPR RI tidak pro reformasi dan karenanya sulit meng-harapkan revisi UU KY akan menghasilkan fungsu pe-ngawasan yang ideal.

Terlebih, putusan MK yang membatalkan segala fungsipengawasan KY amat mungkin menimbulkan interpretasibahwa fungsi pengawasan KY cenderung unconstitutional.Kalaupun akan diatur dengan lebih detail, amat mungkinputusan MK justru akan membatasi fungsi pengawasan KY.Padahal seharusnya, otoritas pengawasan perilaku hakimyang diawasi KY dikuatkan, bukan justru dilemahkandengan pembatasan-pembatasan.

Seharusnya revisi UU KY memang mengartikan secarategas bahwa KY berfungsi kuat di bidang administrasiperadilan untuk menjatuhkan sanksi, promosi dan mutasihakim. Pengawasan KY hanya di bidang non-justitial. Tidakdapat KY menjatuhkan sanksi semata dengan menilaiputusan. Karena KY bukanlah lembaga pengadilan. Putusanpengadilan hanya dapat dinilai dan dinyatakan benar atausalah oleh pengadilan yang lebih tinggi, bukan oleh KY.

Penguatan fungsi KY berarti MA hanya akan mengurusmasalah peradilan, dan tidak lagi masalah administrasi

Page 47: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

33

MENCARI KONSTITUSI

peradilan yang menjadi kewenangan KY. Inilah sistem duaatap peradilan, yang dulu atapnya ada di MA dan diDepartemen Kehakiman. Nantinya salah satu atapnya ada diKY, di samping tetap salah satunya ada di MA. Model duaatap yang demikian tidak akan menjadi bentuk intervensidengan landasan berpikir KY juga merupakan bagiankekuasaan kehakiman (yudikatif), berbeda dengan sistemdua atap sebelumnya di mana campur tangannya Depar-temen Kehakiman adalah lembaga eksekutif yang amatmungkin merusak kemandirian lembaga peradilan.

Ada apa dengan hakim konstitusi? Mengapa mengeluar-kan keputusan yang membuat para koruptor dan penikmatmafia peradilan tersenyum lebar? Saya harap, yang terjadihanyalah perbedaan sudut pandang hukum, bukan karenaadanya faktor mulai tergerusnya idealisme dan sifat kenega-rawanan para hakim. Karena jika yang terjadi adalahpengaruh-pengaruh non-hukum, maka sirnalah harapanMK untuk tetap menjadi lilin di tengah gulitanya duniaperadilan kita. Jikalau putusan UU KY terkontaminasipraktik menyimpang maka lilin MK telah pula padam danmeleleh, berbaur dengan mafioso peradilan.

Mudah-mudahan hakim konstitusi tidak sedang mela-kukan blunder yang menyebabkan segera terdengarnyateriakan rakyat yang meniru teriakan Dick the Butcher—tokoh yang dikreasikan William Shakespeare dalam HenryIV: Lets kill all the lawyers.

Korupsi Pembajak Transisi DemokrasiMeski dengan konstitusi yang lebih baik dibandingkan

sebelum amandemen UUD 1945, Indonesia pascaperubahankonstitusi tetap menghadapi krisis multidimensi, dan

Page 48: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

34

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

perjalanan terjal menuju negara yang demokratis. Tentu saja,keberadaan konstitusi memang bukan jaminan lahirnyanegara demokratis. Bogdanor secara tegas mengatakan,”Constitutions are not, of course, confined to democraticstates”.37 Demikian pula dengan hadirnya konstitusi yanglebih baik pascaamandemen UUD 1945, bukanlah berartitugas konstitusionalitas telah selesai. Banyak faktor yangmasih bisa mengganjal. Salah satunya adalah praktikkorupsi. Artinya, memang

… hasil amandemen UUD 1945 lebih memberikandasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnya negarahukum Indonesia. Meski demikian…jaminan konsti-tusional yang lebih baik itu saja tidaklah cukup. Banyaktantangan dan hambatan untuk menerapkan jaminankonstitusi tersebut ke dalam tindak nyata kehidupanbernegara. Dalam konteks itulah, salah satu hambatanutama terwujudnya negara hukum Indonesia yang sebe-narnya adalah: praktik korupsi yang masih menggila,utamanya korupsi di dunia peradilan itu sendiri.38

Yang paling berbahaya adalah korupsi di sektor publik,atau yang dilakukan pejabat negara, baik eksekutif, legislatifmaupun yudikatif. Hal tersebut bukan berarti bahwa korup-si oleh kelompok pengusaha menjadi tidak berbahaya.Tetapi, dalam praktiknya, korupsi publik mempunyai dayarusak yang lebih tinggi karena pelakunya mempunyai

37 Vernon Bogdanor (ed), Constitutions in Democratic Politics (1988) 3.38 Denny Indrayana, Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: TransisiMenuju Demokrasi vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Juli2004, 101-115.

Page 49: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

35

MENCARI KONSTITUSI

kekuasaan resmi di pemerintahan, parlemen dan pengadilan.Korupsi private yang berbahaya karenanya adalah: korupsiyang berkarakter relasi kolusi antara penguasa (publik)dengan pengusaha (private).

DeCoste menamakan korupsi oleh pejabat publik inisebagai ’political corruption’39 yang diartikannya sebagai,”the debasement of the foundations or origins of a politicalcommunity.”40 Lebih jauh DeCoste berpendapat bahwakorupsi private ’hanya’ menyentuh ’personal morality’ se-dangkan korupsi publik menyangkut ’political morality’.41

Scheppele mengatakan political corruption terjadi jika yangdirugikan adalah kepentingan masyarakat luas. Sedangkanpersonal corruption terjadi jika yang dilakukan adalahtransaksi pribadi dan yang menderita kerugian juga hanyaorang-perorang.42 DeCoste, karenanya, menyimpulkan bah-wa korupsi pejabat publik lebih sistemik dan lebih merusak.Dalam bahasanya:

… it is quite proper to characterize political corrup-tion, but not private corruption, as ”a systemic concept,”since ”political corruption violates and undermines thenorms of the system of public order,” and not just thedictates of some, generally contestable, view of personalmorality.43

39 F.C. De Coste, ’Political Corruption, Judicial Selection, and the Rule ofLaw’, dalam Alberta Law Review (2000:38) 655—657.40 Ibid 656.41 Ibid 655—656.42 Kim Lane Scheppele, ’The Inevitable Corruption of Transition’ dalamConnecticut Jounral of International Law (14:1999) 511.43 DeCoste, 657.

Page 50: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

36

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Mengenai pentingnya memberantas korupsi untuk men-dorong demokrasi didalilkan oleh Philip B. Heyman, ”Onecritical relationship between corruption and democracy isthus that corruption can deeply undermine support fordemocracy in any fragile democracy.”44

Menyempurnakan Konstitusi, MemberantasKorupsi

Berkait dengan masalah nyata korupsi tersebut, jikalaupenerapan hasil amandemen dianggap bermasalah, per-soalannya tidak melulu pada substansi amandemen itusendiri: tidak semata pada rule of law tetapi lebih pada rule ofethics. Karenanya, paralel dengan reformasi konstitusilanjutan, yang tidak kalah penting adalah merombak polapikir koruptif para penyelenggara negara. Reformasi kons-titusi adalah upaya menguatkan rule of law; sedangkanperombakan pola pikir diperlukan untuk mendorong rule ofethics yang lebih anti korupsi. Untuk mendorong perbaikanintegritas pejabat negara tersebut, reformasi konstitusi harusditindaklanjuti dengan reformasi birokrasi dan reformasiperadilan.

Khusus untuk reformasi dunia peradilan, gerakan hu-kum progresif harus diberi tempat yang lebih besar untukmencegah peradilan yang berwibawa terus dibajak olehpraktik haram mafia peradilan.45 Mafia peradilan merambahsemua lini sistem hukum kita, dari hulu hingga ke hilir. Dari

44 Philip B. Heymann, ’Democracy and Corruption’ dalam FordhamInternational Law Journal (20:1996) 327.45 Lebih jauh tentang problem akut mafia peradilan lihat: Denny Indra-yana, Teror Mafia Peradilan, Tempo 16 Oktober 2005; Denny Indrayana,Ketua Mahkamah Tidak Agung, Media Indonesia 3 Mei 2006; DennyIndrayana, Mahkamah Tidak Agung, Kompas 11 Oktober 2005; DennyIndrayana, Urgensi Reshuffle Hakim Agung, Kompas 7 Januari 2006.

Page 51: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

37

MENCARI KONSTITUSI

proses penyelidikan hingga proses Peninjauan Kembali diMahkamah Agung. Proses peradilan yang singkat, cepat,berbiaya murah relatif hanya menjadi mimpi. Kemung-kinannya, hanya proses di Mahkamah Konstitusi yang masihrelatif steril dari praktik curang yang memperjualbelikankeadilan tersebut. Terungkapnya praktik jual-beli perkarayang dilakukan oleh Harini—advokat Probosutedjo—denganbeberapa orang pegawai MA, yang diduga melibatkan pulamajelis hakim yang memeriksa perkara itu (Bagir Manan,Parman Suparman dan Usman Karim), hanyalah puncakgunung es; praktik serupa telah, masih dan kemungkinanakan terus terjadi.

Sebagai benteng terakhir proses hukum, MA adalah salahsatu lembaga yang paling bertanggungjawab dengan terusmaraknya praktik mafia peradilan. Hal itu bukan berartiyang melakukan judicial corruption hanyalah para hakimagung. Mafia peradilan adalah lingkaran setan yang meli-batkan semua aparat penegak hukum: hakim, jaksa, polisi,advokat, panitera, dan pegawai peradilan. Namun, sean-dainya para hakim tidak bisa dibeli, maka praktik mafiaperadilan tidak akan pernah tumbuh subur. Lebih jauh,seandainya para hakim agung adalah the nine of solomon—julukan bagi sembilan hakim agung Amerika Serikat—makapraktik peradilan yang terjadi di tingkat bawah akan sia-sia,dan pada akhirnya akan berkurang dengan sendirinya.Karenanya, pada tataran strategi, dengan pentingnya perandan fungsi MA, maka adalah sangat strategis untuk member-sihkan institusi MA dari hakim-hakim yang korup.

Sayangnya, sampai detik inipun MA kita masih belumberhasil mencuci diri dari praktik kotor mafia peradilan.Indikasi sederhananya adalah: masih sangat tertutupnya

Page 52: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

38

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

MA. Padahal korupsi peradilan akan dengan mudah terjadijika suatu institusi memonopoli kewenangan yang besar, tapiminus transparansi. Cobalah akses situs MA, tidak adainformasi cerdas yang tersedia di sana. Cobalah pula untukmeminta putusan MA, maka tingkat kecepatan mendapat-kannya akan sangat tergantung dengan seberapa besar Andamemberikan uang pelicinnya. Hal ini sangat berbeda dengansitus MK yang informatif. Putusan MK-pun langsung diberi-kan kepada para pihak begitu putusan selesai dibacakan,dan khalayak ramai segera bisa mengakses putusan itu lewatsitus MK.

Untuk memutus rangkaian korupsi peradilan di MA itu,sistem transparan jelas harus diterapkan dan hakim agungyang berkualitas serta berintegritas jelas diperlukan. Sistemtransparan bisa dimulai dengan menerapkan manajamenperadilan yang berbasis teknologi informasi (electroniccourt). Dengan sistem e-court semua proses peradilan akandikomputerisasi. Misalnya penentuan majelis hakim akanotomatis ditentukan komputer, sehingga peluang untukmemesan majelis hakim, yang kabarnya bisa dilakukan,tidak mungkin terjadi.

Sedangkan pengadaan hakim agung yang antisuap bisadipercepat dengan ”mengocok ulang” hakim agung. Adadua langkah strategis yang bisa dilakukan untuk meng-akselerasi regenerasi hakim agung: persuasif dan represif.Langkah persuasif adalah dengan menawarkan pensiun dinidengan kompensasi yang tinggi bagi para hakim agung.Sistem golden shake hands ini akan menawarkan para hakimagung untuk mengundurkan diri (pensiun) lebih awal secarasukarela, sebagai stimulan diberikan uang ganti rugi denganjumlah yang sangat besar.

Page 53: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

39

MENCARI KONSTITUSI

Jika cara persuasif tidak memperoleh respon yangmemadai, maka langkah penggantian dilakukan denganpenegakan hukum yang represif. Dalam hal ini, KY, KPKdan PPATK dapat saling bekerjasama untuk melacak parahakim agung yang bersih serta hakim agung penikmat mafiaperadilan. Bagi para hakim agung bersih harus diberikanapresiasi sekaligus proteksi. Sistem proteksi misalnya denganpembatasan hubungan yang tegas dengan para pihak yangberperkara; kesempatan untuk hanya memiliki satu nomorrekening bank dan satu saluran telepon yang keduanyadapat selalu diakses oleh KY, KPK dan PPATK. Sebaliknyauntuk para hakim agung kotor maka penegakan hukumyang tegas harus dilaksanakan. Untuk menimbulkan efekjera, hakim-hakim agung tersebut harus diberhentikandengan tidak hormat dan dihukum pidana seberat-beratnya.

Usulan percepatan regenerasi hakim agung ini pasti akandianggap bertentangan dengan prinsip kemandirian ke-kuasaan kehakiman. Argumen demikian cenderung me-nyesatkan. Kemandirian kekuasaan kehakiman bukanlahprinsip yang berdiri sendiri di ruang hampa. Independensitersebut harus berjalan beriringan dengan integritas-mora-litas hakim yang tidak tercela. Maknanya, kemandiriankekuasaan kehakiman adalah prinsip yang mandul ditengah praktik mafia peradilan, di ”negeri kampung ma-ling”. Sebagai perbandingan, konstitusi Amerika Serikatmenegaskan hakim-hakim sangat independen, kecuali me-reka melanggar prinsip good behaviour yang menyebabkanmereka dapat di-impeach dan dipidana. Atau dalam Un-dang-undang MA, hakim agung dapat dipecat antara lainkarena dipidana 5 tahun atau lebih, melakukan perbuatantercela atau melanggar sumpah jabatan.

Page 54: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

40

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Pada konteks inilah amat relevan untuk mendorongdikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Perpu demikianselain mendeklarasikan negara dalam darurat korupsi, jugapenting untuk menambah darah juang memberantas ko-rupsi, terutama korupsi peradilan.46 Perpu Anti Korupsi jugalebih tepat dibandingkan Inpres Percepatan PemberantasanKorupsi yang justru dapat diartikan lemahnya komitmenpemberantasan korupsi pemerintahan Susilo BambangYudhoyono.

Selanjutnya, agenda penyempurnaan reformasi kons-titusi tentu perlu didorong karena hasil amandemen UUD1945 tidaklah sempurna. Secara legal drafting masih adaaturan yang tumpang tindih dan repetisi, misalnya padamasalah perlindungan HAM. Lebih substantif, masih diper-lukan perubahan lanjutan untuk menegaskan terwujudnyademokrasi konstitusional di Indonesia. Contohnya, di bidangeksekutif, pemilihan presiden langsung sebaiknya membukapeluang adanya calon independen, merubah dominasi partaipolitik yang saat ini memonopoli pencalonan presiden. Dibidang legislatif, kewenangan DPD sebaiknya dikuatkanagar fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat dilak-sanakan dengan lebih efektif. Di bidang yudikatif, pene-gasan fungsi kontrol Komisi Yudisial harus ditingkatkan,serta direkonseptualisasi untuk tidak hanya mengawasihakim, namun juga seluruh profesi penegak hukum yanglain. Masih di bidang yudikatif, sebagaimana sudah dipa-parkan di atas, MK sebaiknya diberikan kewenangan baru

46 Denny Indrayana, Negara dalam Darurat Korupsi, Kompas 23 November2004.

Page 55: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

41

MENCARI KONSTITUSI

untuk memeriksa permohonan constitutional complaint.Kewenangan demikian penting untuk menjamin aturanHAM di dalam konstitusi tidak hanya menjadi aturankosong, tanpa perlindungan konkrit kepada semua warganegara.

Problematika Tendang Pilih Korupsi. Tebang pilih pem-berantasan korupsi wajib ada. Tanpa tebang pilih, tanahIndonesia akan menjadi penjara terbesar di dunia. Itukarena, korupsi sudah dilakukan dari Sabang sampaiMerauke; dari pejabat teratas hingga pejabat terendah; disemua lini kehidupan bernegara; dari hulu hingga ke hilir.Maka, wajib hukumnya melakukan strategi tebang pilihpemberantasan korupsi. Sesuai konsep aslinya, tebang pilihditerapkan di dunia kehutanan, untuk hanya menebangpohon besar, tetapi dilarang memangkas pohon yang masihkecil. Artinya, dalam pemberantasan korupsi, yang harusmenjadi prioritas strategi penebangan adalah koruptorkakap (big fishes) dan bukan koruptor kelas teri. Maka, yangtidak boleh ada bukanlah ”tebang pilih”, tetapi ”tendangpilih”. Yaitu pemberantasan korupsi yang hanya kerasmenendang koruptor alit, tetapi luput menendang koruptorelite.

Susilo Bambang Yudhoyono mungkin betul ketika me-ngatakan dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus bahwabudaya takut korupsi sudah mulai lahir. Patut diakui bahwadi bawah kepemimpinan Yudhoyono, izin pemeriksaan parakepala daerah dan anggota parlemen yang diduga terlibatkasus korupsi lebih banyak dikeluarkan. Sejalan dengan ituKPK, Timtastipikor, Kejaksaan dan Kepolisian mengungkapbeberapa kasus korupsi. Kerja keras beberapa aparatpenegak hukum itu sudah sewajarnya menimbulkan

Page 56: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

42

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

keraguan untuk korupsi. Sayangnya, keraguan itu belummenghinggapi elite penguasa dan pengusaha.

Bersamaan dengan keraguan untuk korupsi, publikmasih meragukan tidak terjadinya tendang pilih pem-berantasan korupsi. Masih dirasakan adanya diskriminasipemberantasan korupsi. Empat wilayah yang sulit secaraserius disentuh adalah: Istana, Cendana, Senjata dan Pe-ngusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini;Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjataadalah korupsi di dunia pemegang senjata; dan PengusahaNaga adalah ring satu pengusaha.

Pada Istana, ring satu kekuasaan masa kini, pem-berantasan korupsi hanya sayup-sayup terdengar, kemudianmenghilang. Janji presiden untuk membersihkan rumahnyasendiri dari praktik korupsi tidak jelas kabarnya hinggakini. Timtastipikor yang mencoba masuk ke lingkaran Istana,menghadapi tembok maha tebal. Presiden pernah secaralugas menjanjikan akan membuat Instruksi Presiden yangmengatur etika penguasa yang juga pengusaha. Secara tepatsekali, Presiden mengatakan bahwa potensi benturan ke-pentingan akan sangat tinggi terjadi dalam diri seorangpenguasa yang juga saudagar. Sayangnya, janji pembuatanInpres yang diucapkan di akhir tahun 2005 itu, tidak lagiterdengar kabar-beritanya hingga nyaris berakhirnya tahun2006 ini.

Istana sebagai benteng pertahanan koruptor jelas meng-giurkan. Tidak mengherankan, di balik rindangnya beringinkekuasaan berlindung orang-orang yang diduga melakukantindak pidana korupsi. Itulah sebabnya, tidak ada satupunpejabat penting partai politik yang dapat dijerat kasuskorupsi. Padahal di tahun 2005 Transparansi Internasional

Page 57: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

43

MENCARI KONSTITUSI

menobatkan partai politik dan DPR sebagai lembagaterkorup nomor wahid. Namun, faktanya, makin tinggi posisipolitik seseorang, makin besar daya tawarnya untuk tidaktersentuh upaya pemberantasan korupsi. Karenanya, sulitmemproses seorang menteri, para anggota DPR untuk men-jadi tersangka korupsi, meskipun indikasi keterlibatanmereka menjadi calo proyek pemilu ataupun calo proyekbencana cukup gamblang terkuak.

Pada level menteri, teriakan Daan Dimara bahwa WapresJusuf Kalla melindungi Hamid Awaluddin dalam dugaankorupsi di KPU sudah tidak lagi terdengar kabar beritanya.Padahal pernyataan tersebut teramat serius untuk hanyadibiarkan hilang ditiup angin lalu. Daan wajib meneruskandan membuktikan tuduhannya, dan jika terbukti Kalla danHamid harus mendapatkan ganjaran setimpal yang mahaberat. Pada sudut lain korupsi di parlemen, alasan kesalahanprosedur untuk kesekian kalinya kembali dijadikan senjatapamungkas oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie—seorangtokoh Partai Golkar—dan Ketua DPR Agung Laksono—yang juga pimpinan Partai Golkar—untuk menutup dugaanpraktik percaloan di Senayan.

Seharusnya, baik dugaan korupsi di KPU maupundugaan korupsi di Senayan terus diproses hingga tuntastanpa intervensi dan negosiasi politik setitik nilapun.Namun, itulah sulit-rumitnya memproses dugaan korupsi dilingkaran Istana. Semua yang mempunyai kekuasaan nomorsatu di eksekutif, legislatif dan yudikatif, akan mempunyaitiket untouchable karena senyatanya bargaining politiksudah mengkontaminasi upaya pemberantasan korupsi.

Setali tiga uang dengan Cendana. Ring satu kekuasaanmasa lalu, sulit untuk ditembus. Maraknya dugaan korupsi

Page 58: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

44

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

keluarga Cendana hilang bak di telan bumi. Meskipun tentuperlu dicatat terpenjaranya Probosutedjo dan Bob Hasansebagai satu contoh upaya korupsi yang berhasil menggelitikelite Orde Baru. Namun, secara mayoritas, dugaan korupsi diCendana tetap tidak terkuak. Kasihan sekali mantan Pre-siden Soeharto yang terus terpenjara dengan dugaan korupsi,tanpa ada keputusan apakah beliau bersalah atau tidak.Bahkan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Pe-nuntutan oleh kejaksaan, tetap tidak mengungkap tuntasdugaan korupsi yang dilakukan sang Jenderal Besar.

Masih berkait dengan Jenderal, kasus dugaan korupsi dilingkungan Senjata mustahil menyentuh Jenderal yangmasih hidup. Kecuali sudah almarhum – itupun hanyasetingkat Brigader Jenderal Koesmayadi. Kasus pidanabiasanya selalu mengorbankan level ’Kopral’ bukan ’Jen-deral’. Apalagi jika kasus korupsi berkait dengan duauntouchable area. Skandal Tank Scorpio, yang sudah ditulismedia massa Inggris, dan disinyalir melibatkan lingkaranCendana dan Senjata, hingga kini tidak jelas juntrungannya.Bahkan KPK yang kinerjanya patut diapresiasi, tidak pulatuntas mengungkapkan dugaan korupsi Scorpio yang me-mang sengatannya bisa fatal mematikan.

Wilayah untouchable keempat adalah Pengusaha Naga.Faktanya, pengusaha besar dalam dan luar negeri nyaristidak tersentuh upaya pemberantasan korupsi. Dugaankorupsi yang disinyalir dilakukan perusahaan maha raksasaFreeport, hingga kini tidak pernah terungkap. Satu diantaranya menyiarkan bau suap tak sedap uang keamananyang diberikan Freeport. Kasus itu sempat muncul sesaat,kemudian seperti biasa, masuk peti es, hilang-dingin-membeku tanpa kejelasan. Lebih sulit lagi jikalau Pe-

Page 59: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

45

MENCARI KONSTITUSI

ngusaha Naga mempunyai akses tol kepada Istana, Cendanadan Senjata. Hampir dipastikan pengusaha demikian akanmenjadi super-power dan dengan mudah membangun ru-mahnya dengan dinding harta (artha graha).

Akhirnya, untuk memulai penyempurnaan reformasikonstitusi, yang perlu dilakukan di tahap awal adalahmenyiapkan mekanisme amandemen yang lebih baik. Haltersebut diperlukan paling tidak karena dua hal: pertama,mekanisme amandemen lebih demokratis dan partisipatifwajib untuk lahirnya konstitusi rakyat; kedua, mekanismeyang lebih baik diperlukan untuk menghasilkan aman-demen yang lebih berkualitas. Mekanisme perubahan terse-but dirancang untuk menegaskan konstitusi adalah thesupreme law of the land, sehingga cara perubahannya haruslebih terhormat. Rigitas amandemen konstitusi menjadipenting, untuk menjamin agenda perubahan hukum dasartersebut tidak menjadi ajang coba-coba kepentingan politikyang justru dapat membahayakan keberlangsungan Indo-nesia sebagai bangsa. Apatah lagi, agenda amandemen UUDselalu memancing terbukanya perdebatan dasar negaraIndonesia, yang selalu menghadirkan suhu panas di tanahair. 47

Untuk mekanisme amandemen perlu diadopsi beberapakonsep pintu perubahan. Pertama, ide perubahan harusdiusulkan oleh sepertiga anggota MPR, yang rumusannya

47 Masalah dasar negara selalu menimbulkan polemik kenegaraan, se-hingga harus disikapi dengan lebih bijak. Misalnya, kompleksitas perdabernuansa syariat Islam yang akhir-akhir ini kembali mencuat dalamperdebatan elite politik. Lihat : Denny Indrayana, Syariat Islam No SyariatIslam Yes, Gatra 5 Juli 2006.

Page 60: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

46

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

dibuat khusus oleh Komisi Konstitusi, terdiri dari para ahliketatanegaraan. Kedua, usulan perubahan itu sebelumdisetujui oleh MPR – dengan syarat kuorum tertentu –terlebih dahulu dilakukan pengujian konstitusionalitasnyaoleh Mahkamah Konstitusi. Model pengujian konstitusio-nalitas demikian penting untuk menghindari kontaminasikonstitusi oleh kepentingan politik jangka pendek. Sebagaiperbandingan Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan telahmendapatkan mandat melakukan pengujian konstitusio-nalitas tersebut ketika di bawah Nelson Mandela negaratersebut melakukan reformasi konstitusinya. Akhirnya, yangtidak kalah penting adalah: khusus untuk dasar negara,bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem peme-rintahan kata akhir perubahan konstitusi harus dikem-balikan kepada rakyat melalui mekanisme referendumnasional.

Tentu dengan demikian, ke depan formal amandemenakan semakin sulit terjadi dalam sejarah konstitusionalismeIndonesia. Namun, perlu diingat bahwa amandemen dapatjuga terjadi melalui konvensi dan interpretasi konstitusi(constitutional interpretation). Dan, tentu saja, kembali perludigarisbawahi perbaikan dokumen konstitusi tidak akanada artinya tanpa didukung integritas-moralitas yang men-dukung hadirnya pemerintahan yang zero tolerance tocorruption.

Page 61: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

47

MENCARI KONSTITUSI

DAFTAR PUSTAKA

Alan R. Ball and B. Guy Peters, Modern Politics and Government (2000).

Arend Lijphart, Patterns of Democracy (1999).

Bivitri Susanti, ’Constitution and Human Rights Provisions in Indonesia: AnUnfinished Task in the Transitional Process’ (Paper presented at theConference on ”Constitution and Human Rights in a Global Age: AnAsia Pacific History”, Canberra, 30 November-3 December 2001).

Bruce Ackerman, The New Separation of Powers, The Harvard Law Reviewvol. 113 (2000).

Cheryl Saunders and Katy Le Roy, ’Perspective on the Rule of Law’ dalamThe Rule of Law (2003).

Cheryl Saunders, ’Women and Constitution Making’ (makalah dalam theInternational Conference on ”Women Peace Building andConstitution Making”, Columbo, Sri Lanka, 2–6 May 2002).

David Lovell, The Sausage Makers? The Parliamentarians as Legislators,Parliamentary Reasearch Service (1994).

David Schoenbrod, Separation of Powers and the Powers That be: TheConstitutional Purposes of the Delegation Doctrine, The AmericanUniversity Law Review vol. 36 (1987).

Denny Indrayana, Urgensi Reshuffle Hakim Agung, Kompas 7 Januari 2006.

Denny Indrayana, ’Proses Reformasi Konstitusi Transisi (PengalamanIndonesia dan Perbandingannya dengan Afrika Selatan danThailand)’ dalam Kajian (7:2:2002).

Denny Indrayana, Ancaman Tirani DPR, Kompas 2 September 2002.

Denny Indrayana, Bikameral yang Ideal, BERNAS 22 November 2001.

Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999 – 2002: AnEvaluation of Constitution Making in Transition.

Denny Indrayana, Inflasi Komisi, Inflasi Rekomendasi, Media Indonesia 28September 2005.

Denny Indrayana, Ketua Mahkamah Tidak Agung, Media Indonesia 3 Mei2006

Denny Indrayana, KY dan MA Sekutu atau Seteru, Media Indonesia.

Denny Indrayana, Mahkamah Tidak Agung, Kompas 11 Oktober 2005

Denny Indrayana, Memaksimalkan Koalisi, Memberdayakan Oposisi,Republika, 28 Juli 2004.

Page 62: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

48

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Denny Indrayana, Merevitalisasi Komisi Negara di Negeri KampungMaling, Kompas 30 April 2005.

Denny Indrayana, Negara dalam Darurat Korupsi, Kompas 23 November2004.

Denny Indrayana, Negara Hukum Indonesia Pascasoeharto: Transisi MenujuDemokrasi vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Juli 2004.

Denny Indrayana, Presiden, Parlemen dan Kabinet, Gatra, 23 Oktober 2004.

Denny Indrayana, Syariat Islam No Syariat Islam Yes, Gatra 5 Juli 2006.

Denny Indrayana, Teror Mafia Peradilan, Tempo 16 Oktober 2005

F.C. De Coste, ’Political Corruption, Judicial Selection, and the Rule of Law’,dalam Alberta Law Review (2000:38).

Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa KewenanganAntarlembaga Negara (2005).

Gabiele Ganz, Understanding Public Law, (1994).

Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering (1997).

Greer Hogan, Constitutional and Comparative Law, (1990).

Hanna Fenichel Pitkin, The Concept of Representation, (1997).

Hans Kelsen, Pure Theory of Law (1967).

Inflasi Komisi Inflasi APBN, Kompas 30 April 2005.

Janedri M. Gaffar et al, Dewan Perwakilan Daerah: Dalam Sistem Ketata-negaraan Republik Indonesia (2003).

Jeffrey Goldworthy, The Sovereignty of Parliament, (1999).

Jessica Korn, The Power of Separation, (1996).

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah PerubahanKeempat UUD Tahun 1945, makalah dalam Seminar PembangunanHukum Nasional VIII, Denpasar 14 – 18 Juli 2003.

John J. Hurt, Louis XVI and the Parlements, (2002).

K.C. Wheare, Legislatures, (1968).

Kim Lane Scheppele, ’The Inevitable Corruption of Transition’ dalamConnecticut Jounral of International Law (14:1999).

Michael R. Asimow, Administrative Law (2002).

Nur Hidayati, Menggenjot Kinerja Butuh Komitmen Kuat, Kompas 30 April2005.

Philip B. Heymann, ’Democracy and Corruption’ dalam Fordham Inter-national Law Journal (20:1996).

Page 63: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

49

MENCARI KONSTITUSI

Rod Hague, Martin Harrop dan Shaun Breslin, Comparative Governmentand Politics: An Introduction (1998).

Ross Clarke, ’Bali Bomb: Retrospectivity and Legal Implications’ AustralianJournal of Asian Law (5:2003).

S.E. Finer, Vernon Bogdanor and Bernard Rudden (eds), ’Comparingconstitutions’ (1995).

Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat: Sistem Trikameral diTengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi vol. 1:No. 1, Juli 2004.

Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Democracyin Latin America (1990).

Susan D. Baer, The Public Trust Doctrine – A Tool to Make FederalAdministrative Agencies Increase Protection of Public Law and ItsResources, Boston College Environmental Affairs Law Review vol. 15(1988).

Tim Lindsey, ’Indonesian Constitutional Law Reform: Muddling TowardsDemocracy’ dalam Singapore Journal of International & ComparativeLaw (6:2002).

Transparency International, ’Corrupt political elites and unscrupulousinvestors kill sustainable growth in its tracks’ (28 Agustus 2002).

Van Zorge Report, ’Most People Didn’t Realize What Was Happening UntilIt Was Too Late’ (2002) <http://www.vanzorgereport.com/report/popup/index.cfm?fa=ShowReport&pk_rpt_ id=462&CFID=315606&CFTOKEN=71680888> diakses pada 3 Oktober 2003.

Vernon Bogdanor (ed), Constitutions in Democratic Politics (1988).

William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (2000).

William F. Funk dan Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples &Explanations (2001).

Woodrow Wilson, Congressional Government (1960).

Page 64: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

50

PERATURAN Daerah (Perda) yang substansinyamengadopsi syariat Islam2 mulai marak lagi diper-

debatkan—serta dibuat—bersamaan dengan diterapkannyaide otonomi daerah yang lebih luas pasca pemerintahanotoriter-sentralistis Soeharto.3 Runtuhnya rezim yang korup

KOMPLEKSITAS PERATURANDAERAH BERNUANSA SYARIAT

PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA1

1 Butir-butir pemikiran ini disampaikan dalam Seminar ”Kebijakan Publikdan Partisipasi Masyarakat di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Perda-perda Berdimensi Agama”, diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Ke-islaman dan Kemasyarakatan (LK3), Banjarmasin, 1 Oktober 2005.2 Yang dimaksud dengan Perda syariat Islam dalam tulisan ini adalah syariatdalam arti sempit-ritual yang mencakup antara lain aturan tentang:berbusana secara islami, membaca Al Quran, pengelolaan zakat, ra-madhan, perjudian, maksiat, zakat dan Jumat khusyu. Syariat Islam yanglebih luas seharusnya mencakup fikih sosial sejenis perlindungan HAM,pelestarian lingkungan hidup dan sejenisnya.3 Daerah-daerah yang menginisiasi penerapan syariat Islam antara laintersebar di Jawa (Pamekasan, Madura, Gresik, Malang, Banten, Garut,Tasikmalaya, Indramayu, Cianjur, Kediri); Sumatera (Aceh, Padang); Sula-wesi di (Maros, Sinjai, Gowa, Janeponto, Bulukumba); Nusa TenggaraBarat; Kalimantan (Banjarmasin, Banjar, Amuntai, Pontianak).

Page 65: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

51

MENCARI KONSTITUSI

tersebut membuka ruang improvisasi dan inovasi politik bagimunculnya kembali keberagaman politik dan hukum, yangsebelumnya relatif diharamkan oleh rezim Orde Baru.Tulisan singkat ini mencoba menguraikan kompleksitaspermasalahan hukum yang ada berkait dengan eksistensiperda bernuansa syariat Islam tersebut, khususnya dariperspektif hukum tata negara.

Di lihat dari fase legislasi ketatanegaraan, maraknyaperda syariat Islam adalah fase atau tahapan ketiga upayaformalisasi syariat Islam. Lebih detail uraian tentang ketigafase tersebut adalah sebagai berikut:

Tiga Fase Syariat IslamFase pertama adalah fase konstitusionalisasi syariat

Islam. Fase ini terjadi dalam tiga kali proses pembuatankonstitusi di tahun 1945, 1956-1959 dan 1999-2002 dimanamasalah relasi Islam dan negara selalu menjadi perdebatanyang tak kunjung selesai. Dalam bahasa Zuhairi Misrawiperdebatan terjadi antara konsep ”Negara Syariat” versus”Negara Sekuler”.4

Di tahun 1945, konstitusionalisasi syariat Islam meng-hasilkan Piagam Jakarta yang terkenal dengan tujuh kata-nya, ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

4 Zuhairi Misrawi, Negara Syariat atawa Negara Sekuler?, http://islam-lib.com/id/index.php?page= article&id=148 diakses 29 September 2005.Negara Syariat sendiri sering pula dibahasakan sebagai ”Negara Islam”.Meski, pengertian negara Islam tentu saja mempunyai banyak wajah.Lebih jauh tentang Negara Islam silahkan baca, misalnya: Abdul WahabKhallaf, Politik Hukum Islam (2005); H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam danTata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (1993); Imam Al-Mawardi,Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam (2000);Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin, Sejarah danRealitas Empirik (1996).

Page 66: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

52

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

pemeluknya”. Tujuh kata Piagam Jakarta ini yang awalnyamerupakan bagian dari Pembukaan UUD, akhirnya di-hilangkan dengan prakarsa dari Mohammad Hatta. Di tahun1956–1959, upaya untuk kembali menjadikan Islam sebagaidasar negara dan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta kedalam konstitusi yang dibuat konstituante kembali tidaktercapai setelah Presiden Soekarno mengintervensinyadengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Akhirnya,di tahun 1999-2002, upaya untuk kembali memasukkantujuh kata Piagam Jakarta tertolak karena kurangnyadukungan politik di MPR, maupun dukungan real-sosiologisdari masyarakat.5

Namun tertolaknya syariat Islam di tingkat konstitusi itubaru resmi dilakukan setelah pembahasan konstitusi men-capai titik akhir, setelah empat tahun proses reformasikonstitusi dilakukan. Di dalam rentang empat tahun refor-masi konstitusi tersebut, pada akhirnya hanya bab tentangagama yang tidak berubah, bab lama dalam UUD 1945 yangasli sudah berubah ataupun bertambah dengan bab-babbaru. Sebagai satu-satunya bab yang tidak berubah, babagama semakin menegaskan krusialnya isu relasi agama dannegara dalam sejarah perjalanan konstitusionalisme Indo-nesia.6

Yang jelas, meski akhirnya masih tertolak, ketiga pe-ngalaman konstitusionalisasi syariat Islam di atas belummerupakan ujung perjalanan syariat Islam di tanah air. Diakhir masa Sidang Tahunan MPR 2002, dikala sudah ada

5 Lihat: Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: AnEvaluation of Constitution-Making in Transition (2005) disertasi, belumditerbitkan.6 Ibid 250.

Page 67: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

53

MENCARI KONSTITUSI

kejelasan bahwa tujuh kata Piagam Jakarta tidak akandiadopsi menjadi bagian dari perubahan Pasal 29 UUD1945, maka maraknya interupsi dari para pendukungnyamenyiratkan bahwa perjuangan memasukkan syariat Islamke dalam konstitusi akan terus dilakukan. Di antara parapendukung tersebut adalah Najib Ahjad (Partai BulanBintang) dan Syafriansyah (Partai Persatuan Pembangunan)yang keduanya secara tegas mengatakan bahwa mereka (danpartainya) tidak akan pernah menyerah dan akan terusmengupayakan masuknya syariat Islam ke dalam konstitusiIndonesia.7

Fase Kedua adalah formalisasi syariat Islam ditingkatUndang-undang, terutama dengan lahirnya Undang-un-dang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang padaprinsipnya tidak sedikit mengadopsi nilai-nilai hukumIslam. ”Undang-undangisasi” syariat Islam semakin marakdi akhir tahun 1980-an dan di era 1990-an. Di masa kinikabarnya ada sekitar 28 RUU bernuansa syariat Islam yangsedang dan akan dibahas di DPR.8

Di antara undang-undang yang telah berlaku sekarangyang bernuansa ajaran hukum Islam adalah Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyeleng-garaan Haji; Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentangPengelolaan Zakat. Di samping itu ada pula Undang-undang yang tidak secara khusus bertema syariat Islam,tetapi sebenarnya membuka pintu bagi diterapkannya

7 Risalah Sidang Paripurna MPR ke-6 (Lanjutan), Sidang Tahunan MPRtahun 2002, 10 Agustus 2002, hal. 743 – 744.8 Menyoal Syariat Agama di Indonesia, http://www.narwastupemba-ruan.com/index2.php?option=content&do_pdf= 1&id=67 diakses 29 Sep-tember 2005.

Page 68: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

54

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

syariat Islam; misalnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1992jo. 10 tahun 1999 jo. 23 tahun 1999 tentang Sistem Perbankanyang membuka pintu bagi lahirnya bank-bank syariah,karena mengakui adanya sistem bagi hasil di sampingpembagian keuntungan dalam bentuk ’bunga’. Yang jugasempat memicu perdebatan hangat adalah lahirnya Undang-undang tentang Sistem pendidikan Nasional yang memicudemonstrasi pro-kontra dari kelompok muslim maupun non-muslim.

Sebagai pamungkas dari ”Undang-undangisasi” syariatIslam adalah ditetapkannya Undang-undang Nomor 44tahun 1999 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Acehdan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang OtonomiKhusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam. Pasal 4 ayat (1) Undang-undangNomor 4 tahun 1999 mengatur, ”Penyelenggaraan kehi-dupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentukpelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam ber-masyarakat”. Inilah aturan hukum sekaligus pintu pertamadan utama bagi secara resmi diberlakukannya syariat Islamdi salah satu provinsi di bumi pertiwi: Serambi Mekah Aceh.Selanjutnya, sebagai kelanjutan penerapan syariat Islamtersebut di Aceh, Undang-undang 18 tahun 2001 membentukperadilan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Nyaris bersamaan dengan lahirnya Undang-undangNomor 44 tahun 1999, hadirlah fase ketiga yaitu pengadop-sian syariat Islam ke dalam Peraturan Daerah (Perda).”Perdaisasi” syariat Islam ini menjamur setelah prosesreformasi bergulir sejak tahun 1999 dan semakin marakakhir-akhir ini. Secara legal-formal pintu perdaisasi syariatIslam itu terbuka lebih lebar ketika konsep desentralisasi

Page 69: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

55

MENCARI KONSTITUSI

diakui dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Interpretasiotonomi yang luas berdasarkan undang-undang tersebutdiartikan beragam oleh daerah, salah satunya adalah denganmereinkarnasi identitas-identitas lokal yang dirasa pernahdiberangus oleh praktik sentralisasi Orde Baru.

Pembuatan perda-perda bernuansa syariat Islam adalahsalah satu contoh penerapan argumentasi reinkarnasi iden-titas lokal tersebut. Beberapa kelompok di Sulawesi Selatan,misalnya, Sekretaris Majelis Syuro KPPSI (Komite PersiapanPenegakan Syariat Islam), H.M. Siradjuddin, dalam sebuahmakalahnya mengungkapkan bahwa: berdasarkan datasejarah, orang Sulsel pernah berada dalam pemerintahan(kerajaan) Islam. Ia menyebutkan bahwa nenek moyangorang Sulsel yang berada di kerajaan Gowa, Tallo, Bugis, danLuwu mulai melaksanakan Syariat Islam pada paruh per-tama abad ke-17 dan mencapai stabilitas sekitar tahun 1800hingga 1880 M. Ketika itu, orang Bugis, Makassar danMandar memproklamirkan diri bahwa: ”bukan orang Bugis,Makassar atau Mandar kalau bukan Islam”. Dalam periodeitu pula kebudayaan dan kepribadian Islam melekat dalamhati nurani, perilaku dan interaksi sosial.9

Serupa dengan alasan di Sulsel, di Kalimantan Selatan,penelitian LK3 menunjukkan bahwa argumentasi Islamsebagai identitas lokal masyarakat Banjar juga digunakansebagai salah satu alasan formalisasi syariat Islam. Identitaslokal demikian, memang, secara historis dapat ditelusuri darimulai berdirinya Kerajaan Islam Banjar, lahirnya UU SultanAdam yang merefleksikan bentuk awal formalisasi Islamdengan kerajaan Banjar. Figur ulama terkenal Syeikh

9 Geliat Pelaksanaan Syariat Islam di Daerah, SAKSI, 19 April 2005.

Page 70: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

56

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Muhammad Arsyad al-Banjari yang mampu menjadikanwilayah Banjar sebagai pusat kajian Islam di Kalimantanmenguatkan identitas Islam dan Banjar tersebut. Ungkapanidentitas lokal itu dibahasakan dengan: ”Banjar itu Islam”,”Martapura kota serambi Mekkah”, dan ”Amuntai kotabertakwa”.10

Di luar perjuangan formalisasi syariat Islam di tingkatkonstitusi, undang-undang dan perda bentuk hukum lainyang digunakan, meskipun lebih sedikit jumlahnya, adalahformalisasi di tingkat peraturan perundangan lain, misalnya:Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Per-wakafan Tanah Milik; Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian; InstruksiPresiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi HukumIslam; serta Surat Keputusan ataupun Edaran Bupati, sepertiSurat Edaran Bupati tentang Pemakaian Jilbab bagi PNS dilingkungan Pemerintah Kabupaten Banjar; dan aturanterbaru tentang pewajiban jilbab dan busana islami (bagiorang Islam) dan anjuran memakainya (untuk non-Islam)yang diberlakukan lewat Instruksi Walikota Padang Nomor451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret 2005. Sebe-lumnya Bupati Pamekasan, Drs H. Dwiatmo Hadianto MSc.,secara resmi mencanangkan pemberlakuan Syariat Islam diseluruh wilayahnya, pada tanggal 4 Nopember 2002. Iamenuangkan pemberlakuan Syariat Islam itu dalam SuratEdaran yang berisi konsep Gerakan Pembangunan Masya-rakat Islami (Gerbang Salam) di Masjid Agung Asy-Shuhadadi Jalan Diponegoro, Pamekasan.11

10 Summary Riset, Peta Problem Perda-Perda Berdimensi Agama SebagaiBentuk Kebijakan Publik Di Kalimantan Selatn, LK3, 2005, hal. 2.11 Geliat Pelaksanaan Syariat Islam di Daerah, above n 10.

Page 71: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

57

MENCARI KONSTITUSI

Ketiga fase formalisasi syariat Islam di atas menunjukkanadanya perubahan wilayah hukum perjuangan syariat Islamdari semula diperjuangkan di tingkat konstitusi menjadikemudian diperjuangkan di tingkat peraturan di bawahUUD, khususnya pada level undang-undang dan perda.Artinya, perjuangan tidak lagi dilakukan dari jantung-pusataturan hukum, tetapi menyebar melalui aturan-aturan lokaldan lebih rendah. Inilah strategi formalisasi syariat Islamyang menurut sebagian kelompok adalah adaptasi strategiMao Zedong: desa mengepung kota.12

Ambiguitas Dasar Hukum Perda Syariat IslamKhusus untuk dasar hukum perda yang berkait dengan

syariat Islam dapat dilacak ke tingkat UUD 1945 dan/atau ketingkat Undang-undang, yang keduanya – ternyata –mempunyai pola pikir landasan hukum yang berbeda,bahkan bertolak belakang. Ada ambiguitas interpretasihukum syariat Islam di lihat dari level konstitusi biladihadapkan dengan interpretasi pada tingkat Undang-undang.

Pada tingkat konstitusi, interpretasi secara historis seha-rusnya mengartikan bahwa syariat Islam tertutup untukdiaplikasikan di tanah air. Sejarah tertolaknya tujuh kataPiagam Jakarta, yang merupakan pintu masuk syariat Islamdi Indonesia, menunjukkan bahwa nilai konstitusi kita tidakmembuka ruang lebar bagi penerapan syariat Islam. Lebihjauh, berkait dengan interpretasi konstitusi mengenai perlin-dungan HAM, juga dapat berarti bahwa pemaksaan bagipemahaman arti, serta pelaksanaan, satu interpretasi syariat

12 Ibid.

Page 72: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

58

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Islam adalah pelanggaran HAM dari suatu kelompok pe-mahaman keislaman kepada kelompok pemahaman Islamlainnya. Hal ini karena perbedaan ’species pemahaman’syariat Islam yang cukup kaya di kalangan pemeluk agamaIslam sendiri. Apalagi, bagi Indonesia yang pluralitaskeagamaannya cukup tinggi, pelaksanaan syariat Islamdapat membawa ekses pelanggaran HAM bagi kelompokminoritas yang non-muslim.

Namun perlu digarisbawahi, interpretasi historis-konsti-tusional yang tidak berpihak kepada penerapan syariatIslam itu bukan berarti bahwa UUD 1945 tidak mengandungnilai-nilai yang Islami. Ahmad Sukardja menyimpulkanbahwa, dengan membandingkan materi UUD 1945 denganPiagam Madinah, ”Piagam Madinah mengandung pokok-pokok pikiran yang modern, dan UUD 1945 dilihat darinaskah dan isinya adalah Islami”.13 Karenanya, Sidik Tonobahkan dengan optimis berargumen bahwa, ”Peluang berla-kunya hukum Islam secara yuridis konstitusional padadasarnya sangat terbuka dan sangat mungkin”. Lebih jauhSidik mengatakan saat ini kemungkinan penerapan syariatIslam semakin tinggi.14

Selanjutnya setelah interpretasi syariat Islam di tingkatkonstitusi, pada tingkat Undang-undang, hadirnya undang-undang yang mengadopsi nilai-nilai hukum Islam – sebagai-mana dicontohkan di atas – dan akhirnya dipamungkasidengan hadirnya Undang-undang Nomor 44 tahun 1999

13 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945:Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakatyang Majemuk (1995) hal 178.14 Sidik Tono, Penerapan Hukum Islam di Indonesia: Peluang Konstitusionaldan Implementasinya dalam Sistem Hukum Positif Indonesia, UNISIA No.48/XXVI/II/2003, hal. 198.

Page 73: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

59

MENCARI KONSTITUSI

yang mengesahkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh,membuktikan bahwa syariat Islam dapat, dan diizinkan,hadir dalam hukum nasional Indonesia. Meski perlu dicatat,untuk pelaksanaan syariat Islam pada tingkat Undang-undang secara eksplisit baru dinyatakan secara tegas berlakudi Aceh – dan tidak – atau belum – berlaku di daerah lain. Ituartinya, secara eksplisit, syariat Islam yang berdasarkan levelhukum Undang-undang baru eksis dan berlaku secaraterbatas di Aceh.

Apakah keberlakuan syariat Islam terbatas di lokal Acehitu bertentangan dengan konstitusi? Secara politis tidak,karena seluruh kekuatan politik relatif mendukung berla-kunya Undang-undang Nomor 44 tahun 1999. BahkanUndang-undang itu ditetapkan di era pemerintahan Mega-wati Soekarnoputri, yang partainya, PDI Perjuangan adalahsalah satu kekuatan politik yang paling alergi denganpemikiran tentang syariat Islam.15 Namun, secara yuridis,perdebatan panjang dan rumit bisa muncul menyangkutkonstitusionalitas Undang-undang Nomor 44 tahun 1999tersebut. Dalam hal ini, yang bisa menilai konstitusionalitasundang-undang tersebut adalah Mahkamah Konstitusi mela-lui proses constitutional review. Yang jelas, jika mengacu padainterpretasi historis adalah mungkin jika kelak ada putusanMahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945.

Perbedaan Posisi Hukum Qanun dengan PerdaDilihat dari tingkat konsistensi sistem hukum, perda di

Aceh, atau yang diistilahkan Qanun relatif lebih aman

15 Lihat Denny Indrayana above n 6, hal. 121.

Page 74: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

60

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

posisinya dibandingkan dengan perda-perda syariat Islam diprovinsi atau kabupaten yang lain. Hal itu disebabkankeberadaan Qanun jelas mempunyai payung hukum denganadanya Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 dan Nomor18 tahun 2001. Dari sisi teori hukum, kedua undang-undangtersebut adalah lex specialis yaitu aturan hukum khususyang mengecualikan Aceh dari Undang-undang Peme-rintahan Daerah Nomor 22 tahun 1999 yang kemudiandiubah dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.

Berbeda dengan Qanun, perda-perda tentang syariatIslam di daerah lain sebenarnya relatif bertabrakan dengankedua undang-undang tentang pemerintahan daerah terse-but. Karena menurut keduanya, masalah agama harusnyatidak dapat diatur oleh pemerintah daerah dan menjadidomain kekuasaan legislatif nasional. Pasal 7 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mengatur:

Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalamseluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalambidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, per-adilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenanganbidang lain.

Meskipun, penjelasan dari pasal tersebut tetap membukapeluang bagi hadirnya perda tentang syariat Islam, karenaberbunyi:

… khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannyadapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagaiupaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam me-numbuhkembangkan kehidupan beragama.

Page 75: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

61

MENCARI KONSTITUSI

Tidak mengherankan jikalau kelonggaran yang dibukaoleh penjelasan Pasal 7 Undang-undang Nomor 22 tahun1999 tersebut melahirkan semangat formalisasi syariat Islamyang marak ke bentuk perda-perda di banyak daerah.

Kelonggaran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999tersebut sebenarnya coba diubah dengan Pasal 10 ayat (3)Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 yang mengatur,urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusatmeliputi (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan;(d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama.Pada bagian penjelasan, dikatakan:

Yang dimaksud dengan urusan agama, misalnyamenetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secaranasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaansuatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyeleng-garaan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagiantertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasio-nal, tidak diserahkan kepada daerah.

Namun, kelanjutan penjelasan tersebut kembali me-nyatakan secara sama persis dengan bagian penjelasan pasal7 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, bahwa:

Khusus dibidang keagamaan sebagian kegiatannyadapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagaiupaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam me-numbuhkembangkan kehidupan beragama.

Penjelasan yang demikian tentunya akan tetap membukapeluang interpretasi bahwa dalam rangka menumbuhkem-bangkan kehidupan beragama, daerah dapat saja menetap-

Page 76: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

62

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kan perda-perda yang berwarna syariat Islam. Apalagi, dibeberapa daerah, perda syariat Islam itu dibuat sedemikianrupa untuk tidak terjerat ketentuan larangan mengaturmasalah ”agama” yang menjadi domain legislasi pemerintahpusat. Hasil penelitian LK3 misalnya menyatakan bahwa:perda-perda berdimensi syariat Islam di Kalimantan Selatanmenyiasati pagar-pagar yang dibuat Undang-undang Peme-rintahan Daerah dengan merubah cara penerapan syariatIslam menjadi produk hukum yang ”lebih berorientasi teknispengaturan ketertiban umum” daripada ”substansi syariatIslam itu sendiri”. Oleh karenanya, yang menjadi isi dariperda-perda syariat Islam di Kalsel lebih berorientasi pada”pengaturan tertib sosial peribadatan umat Islam semata,bukannya menyangkut aturan kewajiban beribadat yangmenjadi substansi agama”.16 Terbukti penyiasatan demikiantidak menyebabkan perda-perda tersebut dibatalkan ke-beradaannya oleh pemerintah pusat.

Pengujian Interpretasi PerdaSebenarnya, baik Undang-undang Nomor 22 tahun 1999

maupun Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sama-samamemberikan prosedur pembatalan perda, yaitu dalam halperda yang bersangkutan dianggap bertentangan denganaturan hukum yang lebih tinggi.

Pasal 114 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999mengatur bahwa:

Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerahdan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan

16 Summary Riset, above n 11, hal. 5.

Page 77: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

63

MENCARI KONSTITUSI

kepentingan umum atau peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-un-dangan lainnya.

Bentuk pembatalan oleh pemerintah inilah yang menurutJimly Asshidiqie diistilahkan sebagai pengujian oleh ekse-kutif (executive review), sebagai bentuk pengujian yangberbeda dengan judicial review yang dilakukan oleh lem-baga yudikatif, maupun legislative review yang merupakanperubahan perundangan melalui proses di lembaga legis-latif.17 Meski, terdapat permasalahan serius berkait denganproses pembatalan Perda oleh eksekutif tersebut, karenaUUD 1945 telah secara tegas memberikan kewenanganpengujian peraturan perundangan di bawah undang-un-dang kepada Mahkamah Agung.18 Sehingga, sebenarnyadapat diargumentasikan bahwa pengaturan pembatalanperda oleh eksekutif tersebut bertentangan dengan kons-titusi. Artinya, jika ada pihak-pihak yang mengajukanpengujian konstitusionalitas pembatalan perda menurutUndang-undang 22 tahun 1999 (ataupun sekarang Undang-undang Nomor 32 tahun 2004), saya berpendapat Mah-kamah Konstitusi seharusnya mengabulkan permohonandemikian.

Meski, patut dicatat pula bahwa executive review yangberkait dengan pembatalan suatu perda tersebut menurutUndang-undang Nomor 22 tahun 1999 maupun Nomor 32tahun 2004 dapat diajukan upaya hukum keberatan kehadapan Mahkamah Agung, yang berarti proses pengu-

17 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di BerbagaiNegara (Cetakan Kedua, Mei 2005) 73 – 75.18 Lihat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Page 78: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

64

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

jiannya tetap menunjukkan prinsip supremasi hukum mela-lui konsep judial review oleh MA atas executive reviewpemerintah. Namun, aturan keberatan terhadap MahkamahAgung tersebut, menurut saya tetap tidak menanggalkanargumentasi bahwa aturan pembatalan perda oleh eksekutiftelah melanggar konstitusi. Yang jelas, pembatalan perdaoleh eksekutif (pemerintah pusat) ini menunjukkan ber-einkarnasinya warna pola pikir sentralistis, dimana pusatkembali menjadi pengontrol aturan-aturan yang lahir didaerah.

Terlebih lagi, prosedur pembatalan perda yang serupakembali diadopsi berdasarkan Pasal 145 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa:

Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yangbertentangan dengan kepentingan umum dan/atau per-aturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapatdibatalkan oleh Pemerintah.

Sekali lagi, pembatalan oleh pemerintah – dalam bentukPeratuan Presiden – dapat dilawan dengan mengajukankeberatan ke hadapan Meja Hijau Mahkamah Agung. 19

Namun, berbeda dengan Undang-undang Nomor 22 tahun1999, di dalam Pasal 145 ayat (7) Undang-undang 32 tahun2004 ada penegasan bahwa:

Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan PeraturanPresiden untuk membatalkan Perda sebagaimana di-

19 Untuk dapat diuji di hadapan Mahkamah Agung, suatu aturan dibawahUndang-undang harus dimintakan pengujian paling lambat 180 hari sejakditetapkan (Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2004).

Page 79: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

65

MENCARI KONSTITUSI

maksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakanberlaku.

Dengan penegasan tersebut, maka dapat diargumen-tasikan bahwa dengan tidak pernah adanya pembatalanperda-perda yang berkait dengan syariat Islam oleh peme-rintah pusat selama ini – padahal setiap perda disampaikankepada pemerintah 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan – makadapat disimpulkan bahwa praktik ketatanegaraan Indonesiaterkini mengartikan bahwa: perda-perda syariat Islam di-maksud tidaklah bertentangan dengan Undang-undang,khususnya Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah,lebih khusus lagi aturan yang mengatakan bahwa masalah”agama” bukanlah yurisdiksi daerah.

Sulit dilacak apa alasan yang melatarbelakangi sikappemerintah yang relatif longgar dengan penerapan perda-perda berkait dengan syariat Islam tersebut. Yang jelas sikappemerintah yang demikian, tentu akan memicu semakinmaraknya pembuatan perda-perda berbau syariat Islam.Diamnya pemerintah pusat akan diartikan sebagai ”restu”bagi daerah-daerah yang getol untuk melakukan formalisasisyariat islam untuk terus melanjutkan usahanya. Sayasendiri memperkirakan, maraknya perdaisasi syariat Islamitu pada saatnya akan mencapai titik jenuh, dan akhirnyamuncul lagi arus balik untuk ”melawan” perda-perdasyariat Islam.

Koruptif, Elitis dan Minimalis PartisipasiArus balik tersebut akan hadir paling tidak disebabkan

tiga alasan berkait perda-perda tersebut yang cenderungmengalihkan tindak korupsi yang sebenarnya tengah dila-

Page 80: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

66

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kukan penguasa daerah; proses pembuatannya sebenarnyatidak jarang dilakukan justru demi kepentingan politiksesaat elite daerah; dan minimalnya partisipasi masyarakatdalam proses pembuatan perda dimaksud.

Berkait pengalihan masalah korupsi, laporan yangdibuat Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Acehmendalilkan bahwa korupsi tetaplah marak dan terusberlanjut meskipun Aceh sudah menerapkan syariat Islam –dan telah pula dirundung berbagai bencana, baik peranghingga tragedi tsunami.20

Sehubungan dengan kepentingan politik sesaat pe-nguasa, penelitian LK3 mengindikasikan bahwa perdaberkait syariat Islam biasanya dibuat di saat awal maupun diujung masa jabatan seorang kepala daerah.21 Itu artinya adaindikasi, perda-perda demikian hanya digunakan sebagaikomoditas dan jualan politik untuk menarik dukunganmasyarakat. Sebagaimana dikuatkan oleh temuan LK3bahwa ada dua kecenderungan yang terekam berkait denganperdaisasi syariat Islam, yakni: (1) syariat Islam dijadikanalat untuk meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakatterhadap Pemda dan DPRD; dan (2) syariat Islam menjadisarana bagi investasi politik para bupati/walikota, danpartai politik dalam menghadapi PILKADA 2005.22 Masya-rakat sendiri sebenarnya lebih memilih mendukung pene-rapan syariat islam melalui jalur pendidikan, bukan melaluijalur politik semacam legalisasi syaritas Islam melalui perda.23

Perda yang bernuansa syariat Islam menjadi komoditas

20 Zalsufran, Miswar Fuady, dan Firdaus D. Nyak Idin, Korupsi di TengahKonflik Aceh, SoRAK, 15 juli 2005.21 Summary Riset, above n 11, hal. 4.22 Ibid 3 – 4.23 Ibid 3.

Page 81: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

67

MENCARI KONSTITUSI

politik bukanlah monopoli perpolitikan lokal. Demikianpula halnya di tingkat politik nasional. Perjuangan untukmenegakkan syariat Islam dan dan memasukkan tujuh kataPiagam Jakarta selalu kembali marak di masa-masa kam-panye pemilu. Namun, begitu masa kampanye terlewati, paraelite politik yang menjual simbol-simbol Islam tersebut akansegera lupa dan tidak jarang justru menjadi penikmatkorupsi politik, yang tentu saja justru bertolak belakangdengan ajaran Islam.

Lebih jauh, setelah ada kecenderungan mengalihkanpraktik korupsi dan elitis, tidak mengherankan jikalauperda tersebut cenderung dibuat dengan partisipasi yangeksklusif dan pasif. Artinya, keterlibatan warga sangatlahsedikit, dan kalaupun terlibat, rakyat hanya diposisikansebagai obyek, bukan subyek yang aktif mendiskusikanrancangan perda tersebut. Ambil contoh dengan perdaberbusana muslim (jilbab), ada kesan yang ditangkap olehMusdah Muliah bahwa perda tersebut dibuat tanpa ber-dialog cukup dengan perempuan yang justru menjadi obyekpengaturan perda tersebut.24 Berkait dengan pembuatanperda, otonomi dan pelibatan perempuan, Musdah ber-argumen:

… apapun Perda yang akan dikembangkan di setiapwilayah, sertakanlah perempuan untuk berbicara, se-hingga partisipasi mereka terakomodasi dalam Perda-perda tersebut. Karena menurut saya esensi dari otonomidaerah adalah bagaimana melibatkan partisipasi masya-

24 Wawancara dengan Dr. Musdah Mulia, MA, Saya Keberatan Kalau Jilbabdipaksakan, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=176 diak-ses 29 September 2005.

Page 82: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

68

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

rakat sebanyak mungkin. Dan ketika kita berbicaramasyarakat, jangan lupa bahwa separuh di antaranyaadalah perempuan.25

Bagi Musdah tidak dilibatkannya aspirasi perempuanmisalnya tercermin dari perda kemaksiatan yang hanyamencakup pengertian judi, perzinahan, prostitusi. Dalamdefinisi itu tidak disebutkan kategori perkosaan sebagaibentuk kemaksiatan. Padahal, menurut Musdah, perkosaanterhadap wanita sangat rentan, dan banyak terjadi, dankarenanya seharusnya merupakan salah satu pengertianpenting yang wajib dimasukkan ke dalam arti kemaksiatan.26

AKHIRNYA, menyikapi maraknya perda syariat Islam, disamping kita ”menunggu” hadirnya hukum alam berupaarus balik yang saya yakini akan hadir sebagai perlawanan;tetap harus ada pihak-pihak yang terus mencermati danmengadvokasi perda-perda syariat Islam dimaksud. Pene-litian-penelitian kritis atas perda syariat Islam, sebagaimanayang dilakukan LK3, sebaiknya terus dilakukan sebagaisalah satu kontrol masyarakat agar perda-perda bernuansasyariat Islam tidak semakin menonjol sisi-sisi negatifnyasemata.

Secara yuridis-ketatanegaraan harus ada upaya siste-matis dan terencana untuk, misalnya, menguji konsti-tusionalitas Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 yangsecara resmi menerapkan syariat Islam di Aceh apakahbertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Lebih jauh, di

25 Ibid.26 Ibid.

Page 83: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

69

MENCARI KONSTITUSI

tingkat Perda, sebaiknya paling tidak dilakukan dualangkah hukum sekaligus: pertama, mendorong legislativereview, agar aturan pembatalan perda yang sekarang”diambil alih” oleh pemerintah pusat dikembalikan menjadikewenangan Mahkamah Agung; kedua, melakukan consti-tutional review atas aturan pembatalan perda dalam Un-dang-undang Nomor 32 tahun 2004 tersebut yang berten-tangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Secara sosiologis-yuridis, harus terus disosialisasikanbahwa syariat Islam tidak hanya sempit menyangkut simbol-simbol ritual sejenis jilbab, membaca Al Quran dan perdaRamadhan. Tetapi sebenarnya harus mencakup aturan-aturan tentang antikorupsi, perlindungan HAM, pelestarianlingkungan dan masalah-masalah lebih konkrit-substantifdalam kehidupan bermasyarakat kekinian. Dalam konteksmemerangi korupsi, syariat Islam yang harusnya didorongadalah sejenis ide Syamsul Anwar dalam pidato pengukuhanguru besarnya yang mencoba mengupas bagaimana prinsipgood governance dapat dijalankan dari perspektif syariahdengan pendekatan ilmu usul fikih.27

Pendekatan lebih substantif demikian dalam bahasaSahal Mahfudh, aturan hukum islam sebaiknya tidakterjebak hanya berkutat di masalah fikih ritual, tetapi lebihluas wajib pula menyentuh kepada masalah fikih sosial.28

Senada dengan ide revitalisasi fikih sosial tersebut KH DidinHafidhuddin berpesan untuk kita tidak terhanyut pada

27 Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam Penyeleng-garaan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syariahdengan Pendekatan Ilmu Usul Fikih, Pidato Pengukuhan Guru Besar IlmuUsul Fikih, 26 September 2005.28 Lihat: KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (1994).

Page 84: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

70

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

pandangan sempit syariat Islam yang ujungnya hanyapotong tangan dan rajam saja. Didin menegaskan ”…sesungguhnya ada hal lain yang lebih substansial, misalnyabagaimana mewujudkan ekonomi yang berkeadilan, eko-nomi kerakyatan, pemerintah yang jujur dan bersih. Itusebenarnya adalah isu-isu Syariat Islam”.29

Selanjutnya, sebagai salah satu kesimpulan inti dalampaparan ini, saya berargumen, meski secara de jure syariatIslam relatif bertentangan dengan semangat hukum tertulis(UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah), namun secara de facto syariatIslam sudah – dan akan terus – menjadi bagian dari hukumpositif Indonesia melalui aturan-aturan hukum yang ada dibawah konstitusi. Penyerapan nilai-nilai hukum Islam ituakan semakin luas dan makin mudah menjadi aturan hukumnasional apabila noma-norma fikih sosial yang kemudiandikedepankan dibandingkan fikih ritual. Apalagi kalaukemudian istilah yang digunakan bukanlah formalisasi”syariat Islam”, yang merupakan terminologi tabu dalampolitik-hukum Indonesia.30

Dalam konteks lebih menerapkan ”politik garam” danbukan ”politik gincu” itulah maka, untuk menutup paparansingkat ini, ada baiknya dikutip argumen cerdas dari AhmadSukardja ketika membandingkan UUD 1945 dan PiagamMadinah. Ahmad menegaskan:

29 Geliat Pelaksanaan Syariat Islam di Daerah, above n 10.30 A. Qodry Azizy, Hukum Nasional: Eklektisime Hukum Islam dan HukumUmum (2004) hal. 303 – 310.31 Ahmad Sukardja, above n 14, hal. 179.

Page 85: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

71

MENCARI KONSTITUSI

Berpikiran dan bersikap realistis serta menekankanaspek yang Islami dalam penerimaan dan pelaksanaanUUD 1945, merupakan pikiran yang tepat dan perluditanamkan serta dikembangkan. Sebaliknya, formalisme,dalam arti paham bahwa segala peraturan harus berlabelIslam, tidak perlu dikembangkan.31

Semoga uraian singkat ini ada manfaatnya, wallaahua’lam bisshowaab. ***.

DAFTAR PUSTAKA

A. Qodry Azizy, Hukum Nasional: Eklektisime Hukum Islam dan HukumUmum (2004).

Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam (2005)

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar1945:Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalamMasyarakat yang Majemuk (1995).

Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review,Overview Report, World Bank (June 2003).

Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: AnEvaluation of Constitution-Making in Transition (2005) disertasi,belum diterbitkan.

Geliat Pelaksanaan Syariat Islam di Daerah, SAKSI, 19 April 2005.

H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah danPemikiran (1993)

Iip Dzulkifli Yahya, Syariat Islam versus ’Sareat’ Sunda, Pikiran Rakyat, 14Juni 2002.

Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam TakaranIslam (2000)

Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di BerbagaiNegara (Cetakan Kedua, Mei 2005).

KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (1994).

Page 86: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

72

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Menyoal Syariat Agama di Indonesia, http://www.narwastupemba-ruan.com/index2.php?option= content&do_pdf=1&id=67 diakses 29September 2005.

Novriantoni, Kasus Jilbab Padang dan ’Fasisme Kaum Moralis’, http://islamlib.com.id/index.php ?page=article&id=827 diakses 29September 2005.

Risalah Sidang Paripurna MPR ke-6 (Lanjutan), Sidang Tahunan MPRtahun 2002, 10 Agustus 2002.

Sidik Tono, Penerapan Hukum Islam di Indonesia: Peluang Konstitusionaldan Implementasinya dalam Sistem Hukum Positif Indonesia, UNISIANo. 48/XXVI/II/2003.

Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam PenyelenggaraanBirokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syariah denganPendekatan Ilmu Usul Fikih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu UsulFikih, 26 September 2005.

Summary Riset, Peta Problem Perda-Perda Berdimensi Agama SebagaiBentuk Kebijakan Publik Di Kalimantan Selatn, LK3, 2005.

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin, Sejarah danRealitas Empirik (1996).

Wawancara dengan Dr. Musdah Mulia, MA, Saya Keberatan Kalau Jilbabdipaksakan, http://islamlib.com/id/ index.php?page=article&id=176diakses 29 September 2005.

Yusnani, Transfigurasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, UNISIANo. 48/XXVI/II/2003, 142 – 155.

Zalsufran, Miswar Fuady, dan Firdaus D. Nyak Idin, Korupsi di TengahKonflik Aceh, SoRAK, 15 juli 2005.

Zuhairi Misrawi, Negara Syariat atawa Negara Sekuler?, http://islamlib.com/id/index.php?page =article&id=148 diakses 29 September 2005.

Page 87: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

73

SETELAH melalui perjuangan panjang, kesepakatanperlunya reformasi konstitusi seharusnya sudah tidak

menjadi masalah lagi. Namun, kini kita harus berpikir seriusbagaimana agar proses reformasi konstitusi itu dapat dila-kukan secara tepat sehingga menghasilkan konstitusi barumenuju Indonesia baru yang demokratis.

Sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini, di negara-negara berkembang lainnya, reformasi konstitusi terjadiseiring proses transisi dari pemerintahan otoriter ke peme-rintahan yang diharapkan demokratis. Konstitusi baru,dalam proses transisi itu, adalah perjanjian sosial baru antaranegara dengan rakyatnya. Karena itu, amat penting untukmelakukan reformasi konstitusi secara benar. Bagi sebagianahli hukum tata negara, keberhasilan reformasi konstitusidipersyaratkan untuk suksesnya proses reformasi kese-luruhan. Sebaliknya, kegagalan reformasi konstitusi

URGENSI KOMISI KONSTITUSI

Page 88: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

74

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

dijadikan indikator awal kegagalan proses reformasi total.Dalam konteks itulah urgensi Komisi Konstitusi yangprofesional, independen, dan nonpartisan.

Pentingnya melembagakan proses reformasi konstitusi diluar institusi politik konvensional didasarkan beberapaalasan. Reformasi konstitusi yang terjadi sejalan denganpergolakan politik akibat transisi dari pemerintahan otoriter,sarat benturan kepentingan politik antara kelompok statusquo, yang masih membawa dan mempertahankan semangatotoriter, dengan kelompok reformis yang berusaha menuju kenegara demokratis (Guillermo O’Donnel dkk. Editor: 1986).

Dalam peta politik demikian, reformasi konstitusi yangtidak dilepaskan dari konflik politik, dengan menyerah-kannya semata-mata kepada lembaga perwakilan rakyatseperti MPR, akan cenderung terkontaminasi dengan viruskompromi politik jangka pendek yang biasanya menjadisolusi pragmatis dari konflik politik transisi. Ini terlihat jelasdalam penyusunan amandemen pertama dan kedua, mau-pun Ketetapan-ketetapan MPR terbaru, yang kental dengankompromi antara kubu reformis dan status quo. Masuknyaasas nonretroaktif dalam amandemen kedua, atau tetapbertahannya TNI dan Polri di lembaga perwakilan rakyat,adalah beberapa contoh dari kompromi politik jangkapendek yang mengkontaminasi proses reformasi konstitusikita.

Oleh karena itu, akan lebih baik bila proses reformasikonstitusi diserahkan pada lembaga profesional yang inde-penden dan nonpartisan sebagaimana Komisi Konstitusi.Sehubungan dengan kriteria independen dan nonpartisan,maka Komisi Konstitusi wajib steril dari partai politik.Keikutsertaan partai politik dalam perubahan konstitusi,

Page 89: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

75

MENCARI KONSTITUSI

terutama di masa-masa transisi dan pergulatan politik itu,akan menyebabkan hasil reformasi konstitusi tidak mak-simal.

SECARA sederhana, larangan aktifnya partai politikdalam Komisi Konstitusi dapat didasarkan pada filosofieksisnya konstitusi yang amat bertolak belakang denganpartai politik. Filosofi konstitusi adalah untuk membatasipenguasa dan kekuasaan negara. Sebaliknya, filosofi partaipolitik adalah untuk merebut dan menguasai sebanyakmungkin posisi penguasa dan kekuasaan negara. Karenafilosofi yang amat berbeda itu, maka proses reformasikonstitusi harus dipisahkan dari partai politik agar tidakmenimbulkan conflict of interest.

Amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPRmembuktikan, benturan kepentingan itu berpotensi menjadiperubahan konstitusi yang tambal-sulam dan tidak ber-orientasi kepentingan jangka panjang. Ketidaksempurnaanitu disebabkan karena, dalam konteks perubahan UUD yangkomprehensif, MPR sendiri sebenarnya adalah obyek refor-masi konstitusi yang seharusnya diatur kembali kewenangan-nya. Misalnya, ide-ide segar tentang pemilihan presiden secaralangsung, jelas akan meminimalisir kekuasaan MPR yangselama ini dapat mempolitisasi pemilihan presiden, sepertiterbukti pada terpilihnya Abdurrahman Wahid menjadipresiden dengan mengalahkan Megawati Soekarnoputri sela-ku pemenang pemilu. Karena itu, ide pemilihan presidensecara langsung menjadi isu yang relatif ditolak MPR.

Di sisi lain, perbaikan sistem saling kontrol, yang jugamenjadi isu sentral perubahan konstitusi amat mungkin

Page 90: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

76

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

berbenturan dengan hasrat politik parlemen yang tetap inginmelanggengkan kekuasaan MPR atau DPR yang saat iniberdaya tawar amat kuat bila berhadapan dengan presiden.Hal itu, lagi-lagi terbukti dengan perubahan amandemenpertama dan kedua UUD 1945 yang pada dasarnya adalahperubahan reaktif guna mempertinggi posisi lembaga legis-latif berhadapan dengan eksekutif.

Urgensi Komisi Konstitusi juga dapat ditinjau daripengalaman Filipina yang di bawah Corazon Aquino mem-bentuk Constitutional Commission, Thailand yang membuatConstitutional Drafting Assembly dan Afrika Selatan mem-bentuk Constitution Assembly, yang menunjukkan bahwapenyerahan perubahan konstitusi kepada lembaga semacamKomisi Konstitusi, akan lebih menjamin suksesnya reformasikonstitusi.

Reformasi konstitusi oleh lembaga khusus itulah yangmenjadi salah satu penentu keberhasilan Thailand melahir-kan konstitusi baru yang akhirnya disebut The PeopleConstitution. Sebutan itu begitu melekat karena hasil refor-masi konstitusi yang dipelopori Constitutional DraftingAssembly amat berbeda dengan lima belas konstitusi Thai-land sebelumnya yang begitu elitis dan amat dipengaruhikekuatan militer.

Dalam reformasi konstitusi baru itu, ConstitutionalDrafting Assembly, beranggotakan 76 orang perwakilanprovinsi dan 23 orang dari berbagai perguruan tinggi diThailand, khusus mempersiapkan rancangan konstitusi danmenyebarluaskannya kepada rakyat Thailand. Sosialisasidilakukan secara amat terbuka dengan memperbanyakpublic hearing yang diselenggarakan oleh cabang-cabang

Page 91: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

77

MENCARI KONSTITUSI

Constitutional Drafting Assembly di daerah-daerah untukmenyaring sebanyak mungkin aspirasi rakyat Thailand.

Melalui proses reformasi konstitusi di ConstitutionalDrafting Assembly itulah, akhirnya tahun 1997, The PeopleConstitution disahkan parlemen Thailand dan dianggapsukses mengakhiri krisis konstitusi yang sudah berlangsunglebih dari 65 tahun sejak berlakunya konstitusi pertamaThailand (1932) hingga konstitusinya yang ke lima belas(1997).

BERDASARKAN argumentasi-argumentasi urgensi Ko-misi Konstitusi itu, maka pidato Presiden Megawati di DPR(16/08/ 2001), yang menggulirkan ide pentingnya dibentukKomisi Konstitusi untuk membuat perubahan konstitusiyang komprehensif, konseptual, dan karenanya lebih ideal,harus didukung semua pihak, termasuk MPR, yang mem-punyai kewenangan konstitusional untuk mengubah UUD.

Oleh karena itu, dalam Sidang Tahunan MPR mendatangsebaiknya proses amandemen dimulai dengan lebih dulumembentuk Komisi Konstitusi Indonesia. PembentukanKomisi itu dapat dilakukan melalui Ketetapan MPR yangjuga mengatur mekanisme pemilihan anggota Komisi Konsti-tusi yang dipilih langsung dari perwakilan daerah danpakar-pakar ilmu hukum, politik, ekonomi, dan sosialbudaya dari berbagai perguruan tinggi dan kelompokintelektual lain di tengah masyarakat.

Hasil kerja Komisi Konstitusi diserahkan ke MPR untukdisahkan. Dalam pengesahan hasil kerja itu, ada tigakemungkinan yang dapat dipertimbangkan.

Page 92: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

78

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Pertama, MPR langsung mengesahkannya dengan per-timbangan bahwa Komisi Konstitusi telah menyusun ran-cangan itu melalui persetujuan masyarakat luas.

Kedua, MPR berhak mengubah draft UUD KomisiKonstitusi. Cara kedua itu berpotensi mementahkan kembalihasil kerja Komisi Konstitusi menjadi kertas kerja yang tidakberguna. Karena itu, sebagai jalan tengah dapat diadopsialternatif pengesahan ketiga yaitu: rancangan konstitusiyang dianggap bermasalah oleh MPR, pengambilan kepu-tusannya dilemparkan kembali kepada rakyat melaluireferendum. Artinya, Pasal 37 UUD 1945 yang mengaturperubahan UUD 1945 harus diubah lebih dulu.

Page 93: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

79

SETELAH reformasi mati balita karena tidak tuntasnyaagenda-agenda reformasi semacam pemberantasan ko-

rupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); reinkarnasi semangatreformasi itu melalui Perubahan UUD 1945 pun terancammengalami ”pengguguran janin” karena diaborsinya idecerdas Komisi Konstitusi (KK) oleh MPR. Sebagai suatu ide,wacana KK sudah diusung sejak tahun 2000. Tetapi, karenaresistensi di dalam MPR sendiri, maka KK tidak pernahterwujud. Bahkan, setelah lebih dari dua tahun, ide KK itupun cenderung mengalami penolakan dan gagal ditelurkandi dalam Sidang Tahunan (ST) MPR 2002 ini. Hal itu terekamjelas dalam sikap dan pandangan fraksi-fraksi MPR diKomisi A yang membahas masalah perubahan UUD 1945.

Meskipun ada fraksi-fraksi yang mendukung eksisnyaKK, tetapi sebagian besar di antaranya tetap memper-masalahkan keberadaannya. Secara umum pandangan-

MPR ABORSI KOMISI KONSTITUSI

Page 94: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

80

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

pandangan fraksi di MPR tersebut dapat dibagi dalam tigakelompok. Pertama, kelompok yang menolak tegas KKdengan berbagai alasan, misalnya, karena menganggap hasilperubahan sudah cukup memadai dan KK justru akanmenghambat proses reformasi konstitusi. Kedua, kubu yangmenerima KK, tetapi dengan konsep kompromi di banyakhal, seperti mandatnya yang dibatasi hanya sebagai editoratau tim kerja harmonisasi, sikronisasi, dan integrasi per-ubahan pertama hingga rencana perubahan keempat. Kom-promi lain yang juga penting adalah komposisi keanggotaanKK sebagai editor ini masih melibatkan kelompok dari MPRatau partai politik. Ketiga, adalah ide KK yang lebihgenuine, yaitu komisi ad hoc yang independen dan fungsinyaadalah melakukan tugas-tugas constitution making di masatransisi dari pemerintahan otoriter. Tugas-tugas itu tidakhanya menyangkut penulisan rancangan konstitusi, tetapijuga sosialisasi dan konsultasi publik yang menyeluruh.

Polarisasi yang masih teramat kental dan tajam ke dalamtiga kelompok tersebut di antara fraksi-fraksi di MPR,disertai dengan argumentasi-argumentasinya sendiri, me-nyebabkan wacana populis Komisi Konstitusi yang inde-penden menjadi gugur sebelum dilahirkan.

Apakah KK menjadi trouble maker sebagaimana di-usung oleh kelompok penolaknya atau sebenarnya adalahproblem solver sebagaimana dinyatakan oleh kelompokpendukungnya, memang tergantung dari pemahaman atasmakhluk atau konsep semacam apakah KK itu.

Kelompok yang menolaknya dan menganggap bahwaKK adalah pembuat masalah tentu saja berpandangan,terlalu berlebihan ketika menganggap perubahan sudahsempurna dan mencukupi. Padahal, secara proses dan

Page 95: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

81

MENCARI KONSTITUSI

subtansi, reformasi konstitusi oleh MPR masih jauh darimemadai. Meskipun, secara fair harus diberikan apresiasiterhadap beberapa substansi konstitusi hasil perubahanseperti pemilihan presiden langsung (presidential directelection), namun beberapa kelemahan mendasar guna ter-ciptanya konstitusi yang menjamin kehidupan bernegarayang demokratis masih lahir di dalam proses perubahanpertama hingga rencana perubahan keempat.

Misalnya, sistem checks and balances masih cacat karenakonsep bikameral yang coba diciptakan melalui lahirnyaDewan Perwakilan Daerah (DPD) masih setengah hati. Halitu tercermin terang-benderang melalui minimnya fungsi dankewenangan DPD itu sendiri, terutama bila dibandingkandengan DPR.

Dari sudut proses banyak kelemahan perubahan, salahsatunya yang paling utama adalah masalah elitisasi prosesreformasi konstitusi yang menyebabkan legitimasi konstitusihasil perubahan oleh MPR menjadi sangat minimal. BadanPekerja (BP) MPR yang hanya menerima 127 surat masukandari kelompok masyarakat menunjukkan secara tegas bahwaMPR telah gagal melakukan tugas sosialisasi dan konsultasiserta pelibatan masyarakat ke dalam proses constitutionmaking.

Hasil hanya 127 surat dari lebih dari 200 juta pendudukIndonesia, jelaslah teramat jauh bila dibandingkan denganprestasi Afrika Selatan yang menerima lebih dari 2 jutamasukan dari lebih dari 24 juta penduduknya. Kesim-pulannya, alasan menolak KK karena cukup memadainyahasil perubahan adalah argumentasi yang mengada-ada.

Selanjutnya, konsep KK yang kompromistis melaluikewenangan yang terbatas hanya pada fungsi editing dan

Page 96: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

82

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

keanggotaan yang masih mencakup anggota MPR dan partaipolitik, jelas pula tidak memahami semangat reformasikonstitusi yang seharusnya substansial secara isi dan par-tisipatoris secara proses. Fungsi terbatas sinkronisasi jelasakan mengebiri partisipasi publik karena menarik per-debatan substansi konstitusi hanya kepada masalah teknispenyelarasan. Adapun keanggotaan yang masih melibatkanMPR dan partai politik hanya memindahkan ranah masalahyang telah kronis dan akut di MPR ke Komisi Konstitusi.

Terlebih lagi, partai politik dan konstitusi adalah dua halyang tidak sejalan, Keduanya bagaikan air dan minyak yangtak mungkin bisa bersatu. Hal itu disebabkan, konstitusibertugas utama membatasi kekuasaan lembaga-lembaganegara, sedangkan partai politik justru bernafsu merebutsebanyak mungkin posisi dan kekuasaan negara. Karenaitulah di Filipina, anggota partai politik yang menjadianggota Constitutional Commission diizinkan, dengan syaratyang bersangkutan tidak boleh ikut pemilu pertama setelahkonstitusi hasil kerja Constitutional Commission disahkan.

Ide KK yang lebih genuine adalah komisi yang men-dorong terus ide reformasi konstitusi yang sekarang telahberlangsung. Termasuk memberikan desakan agar per-ubahan keempat dituntaskan. Tetapi, pada saat yang samajuga mengkritisi bahwa seluruh hasil perubahan harusdiperbarui oleh KK yang independen dan profesional.

Ide KK inilah yang menjadi senjata utama constitutionmaking di masa transisi. Pengalaman Thailand dan Filipinajelas menunjukkan bahwa konsep KK yang independensangat ideal untuk meminimalisasi politisasi substansi

Page 97: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

83

MENCARI KONSTITUSI

konstitusi. Keahlian anggota komisi konstitusi jelas diper-lukan untuk mengisi konsep-konsep teknis bernegara yangdemokratis. Dari keahlian itu pula akan lahir legitimasidalam wujudnya yang murni guna kesuksesan pembuatankonstitusi. Dengan bahasa lain, dalam realitasnya keahlianpara pakar hukum, politik, dan ekonomi itulah yang justrulebih melahirkan legitimasi tersendiri dibandingkan denganklaim-klaim ”wakil rakyat” yang sering diteriakkan anggotaMPR, padahal pada kenyataannya hanya lip service.

Sayangnya, melihat perkembangan di MPR yang masihanti-KK, maka dapatlah disimpulkan bahwa MPR masihbelum memahami konsep KK yang asli itu. Bahkan, lebihparah dari itu, MPR justru berperan besar menggagalkanupaya kelahiran reformasi konstitusi melalui KK. Boro-boromenjadi dokter penyelamat kelahiran KK, MPR sebaliknyauntuk kesekian kalinya di dalam sidang tahunannya, telahmengaborsi Komisi Konstitusi.

Page 98: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

84

BERBAHAYA! Itulah kata yang tepat untuk meng-gambarkan Perubahan Ketiga UUD 1945 yang di-

hasilkan Sidang Tahunan (ST) MPR 2001. Bagaimana tidak?Perubahan ketiga itu adalah ibarat bom-bom waktu yangdibuat MPR dengan detonator yang seakan dirancang untukmenjadi ledakan krisis konstitusi (constitutional crisis)dalam ST MPR 2002 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004.Bom waktu itu lahir dari kekuranghati-hatian anggota MPRmelakukan amandemen ketiga UUD 1945 yang sangatparsial.

Bom waktu pertama ada, karena perubahan ketiga UUD1945 memberi amanat pembuatan dan pengaturan lebihlanjut kepada empat belas undang-undang. Empat di anta-ranya adalah undang-undang yang amat berkait dengansukses atau tidaknya Pemilu 2004, yaitu undang-undangtentang syarat-syarat menjadi presiden dan wakil presiden;

BOM WAKTU KONSTITUSI

Page 99: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

85

MENCARI KONSTITUSI

tentang pemilihan presiden dan wakil presiden; tentangsusunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD);dan tentang Pemilihan Umum.

Dengan perhitungan politik bahwa hingga kini per-ubahan pasal-pasal krusial UUD 1945 masih belum terjadi,maka tugas untuk membuat undang-undang itu hampirmenjadi mission impossible. Karena itu berarti merancangundang-undang kenegaraan di tengah sistem politik keta-tanegaraan yang masih belum jelas. Kejelasan sistem keta-tanegaraan itu mungkin baru akan terjadi setelah ST MPR2002 yang berarti, menyisakan waktu kurang dari dua tahununtuk menyelesaikan seluruh undang-undang yang sangatpenting itu. Padahal, dalam ketergesaan waktu itu per-tarungan kepentingan antara partai-partai politik akanberpotensi besar menjadi batu sandungan bagi lahirnyaundang-undang yang ideal.

Kalaupun bom waktu pertama itu dapat dijinakkan,maka bom waktu kedua yang jauh lebih kompleks dan sulitpenjinakannya akan segera menghadang. Bom waktu keduaini adalah konsekuensi dari ditundanya pasal-pasal krusialdan disahkannya pasal-pasal secara parsial yang menye-babkan UUD 1945 setelah amandemen ketiga menjadikonstitusi yang cacat dan tidak lengkap.

Coba perhatikan; perubahan ketiga UUD 1945 telahmelahirkan DPD yang eksistensinya diakui berdasarkanPasal 22C UUD 1945. Padahal, perubahan itu menciptakaninkonsistensi konstitusi karena tidak didukung Pasal 2 UUD1945 tentang komposisi MPR yang belum menyebut-nyebutkeberadaan DPD. Hal ini disebabkan Pasal 2 UUD 1945adalah salah satu pasal krusial yang ditunda perubahannya.

Page 100: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

86

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Demikian pula dengan ketidaksepakatan tentang pe-milihan presiden dan wakil presiden di putaran kedua,menyebabkan Pasal 6A perubahan ketiga UUD 1945 hanyamengandung Ayat 1, 2, 3 dan 5; tanpa Ayat 4, juga termasuksalah satu ayat krusial yang belum disepakati antaraalternatif pemilihan putaran kedua presiden dan wakilpresiden diserahkan kepada MPR atau dikembalikan ke-pada rakyat.

PEMICU-pemicu ledakan bom waktu itu merupakanhasil perubahan ketiga yang amat tergesa-gesa dan gegabah.Agaknya para anggota MPR mengasumsikan, pasal-pasalyang krusial pasti dapat disetujui perubahannya dalam STMPR 2002. Mereka khilaf memprediksi; kalau di ST MPR2001 saja pasal-pasal krusial itu tidak dapat disetujui, tidakada jaminan sama sekali dalam ST MPR 2002 pun tidak akanterjadi deadlock. Kemungkinan jalan buntu itu tetap besar,meski pada akhirnya diambil keputusan dengan carapemungutan suara (voting). Karena itu, berarti perubahanUUD 1945 harus mengacu kepada ketentuan Pasal 37 yangmensyaratkan 2/3 dari seluruh anggota MPR harus hadir, dan2/3 dari yang hadir itu menyetujui perubahan UUD.

Mengacu kepada pengalaman mangkirnya sebagianbesar anggota di dalam ST MPR 2001, maka ketentuanmenghadirkan 2/3 dari seluruh anggota MPR saja belumtentu dapat dipenuhi. Seandainya persyaratan jumlah ke-hadiran itu terpenuhi, maka persyaratan 2/3 dari yang hadirmenyetujui perubahan UUD adalah syarat lain yang akanmenjadi batu sandungan perubahan keempat UUD 1945 diST MPR 2002. Pengalaman politik menunjukkan, voting

Page 101: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

87

MENCARI KONSTITUSI

MPR yang mutlak menghasilkan kemenangan lebih dari 2/3hanyalah pada saat Sidang Istimewa MPR 2001 yangmemberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid. Selebih-nya, MPR hasil Pemilu 1999 lebih banyak mencatat prosespengambilan keputusan secara voting dengan kemenangantipis atau kurang dari 2/3.

Padahal, apabila perubahan keempat UUD 1945 tidakterjadi, maka konstitusi kita akan berubah wujud menjadibom waktu yang segera meledak. Sebab, berarti yang berlakuadalah UUD 1945 dengan perubahan pertama, kedua, danketiga. Dengan demikian, akan terjadi anomali-anomalikonstitusi yang amat kompleks. Misalnya, keberadaan DPDberdasarkan Pasal 22C UUD 1945, sebagaimana diuraikandi atas, akan segera menjadi masalah karena tidak konsistendan tidak mempunyai dasar hukum menurut Pasal 2 UUD1945.

Lebih berbahaya lagi dengan ketentuan Pasal 6A yanghanya menggantung sampai pada ketentuan putaran per-tama pemilihan presiden dan wakil presiden langsung,dengan syarat meraih suara di atas 50 persen dan sedikitnya20 persen di setiap provinsi yang tersebar di lebih darisetengah provinsi di Indonesia. Apabila ketentuan ituterpenuhi pada Pemilu 2004 maka tidak akan timbulmasalah. Tetapi syarat yang disebutkan dalam Pasal 6A Ayat(3) UUD 1945 itu adalah syarat yang sangat berat dancenderung tidak akan terpenuhi.

Padahal, dengan prediksi perubahan keempat UUD 1945di ST MPR 2001 gagal terjadi, maka tidak ada jalan keluaryang disediakan konstitusi bila putaran pertama pemilihanpresiden dan wakil presiden tidak menghasilkan pemenang.Artinya, akan terjadi kekosongan kursi kepresidenan dengan

Page 102: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

88

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

alasan amat konstitusional. Akibatnya, mudah dibayangkanakan segera terjadi krisis konstitusi yang amat serius danakan mengganggu kelangsungan kehidupan berbangsa danbernegara karena meledaknya bom waktu dalam Pemilu2004 akibat gegabahnya perubahan ketiga UUD 1945.

KARENA nasi sudah menjadi bubur, maka kini kitahanya dapat melakukan langkah-langkah antisipasi agarbom-bom konstitusi itu tidak meledak. Untuk bom yangpertama, otoritas pembuatan peraturan harus bekerja kerasuntuk menghasilkan undang-undang yang menjamin terlak-sananya Pemilu 2004 dengan jujur, adil, lancar, dan damai.Kerja keras itu patut kita tuntut karena otoritas legislasiadalah DPR sendiri, yang semuanya merupakan anggotaDPR yang memberi amanat pembuatan undang-undangdimaksud.

Yang lebih sulit untuk dilaksanakan adalah antisipasimeledaknya bom waktu kedua. Ada beberapa alternatif carapenyelesaian yang dapat dilakukan. Pertama, dengan men-desak agar MPR akhirnya menyepakati perubahan keempatuntuk semua pasal-pasal yang krusial di dalam ST 2002.Tetapi, sebagaimana diuraikan di atas, cara ini relatifmustahil terjadi.

Kedua, melakukan perubahan atas sebagian pasal yangkrusial saja terutama yang berpotensi menjadi pemiculedakan bom waktu seperti pasal-pasal yang menyangkutsusunan dan kedudukan MPR, eksistensi DPD dan utusangolongan serta pemilihan presiden dan wakil presiden diputaran kedua. Namun, cara ini pun mengandung kele-mahan mendasar karena akan menghasilkan kembali

Page 103: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

89

MENCARI KONSTITUSI

perubahan yang parsial dan masih menyisakan tugas aman-demen UUD 1945 yang seharusnya sudah selesai di dalam STMPR 2002.

Ketiga, dengan alasan pragmatis guna menghindariterjadinya deadlock, maka pertama-tama dalam ST 2002,MPR menyepakati dulu perubahan Pasal 37 UUD 1945 dariketentuan yang mensyaratkan perubahan UUD hanya dapatterjadi dengan absolute majority menjadi simple majority.Namun, alternatif solusi ini pun mengandung kelemahanmendasar. Antara lain adalah sifat pragmatisnya yangcenderung sangat mempolitisasi konstitusi demi terjadinyaperubahan keempat UUD 1945 dan bahaya yang mungkintimbul karena mudahnya perubahan menyebabkan konsep-konsep konstitusi yang populer tetapi belum tentu idealdapat menjadi hasil akhir perubahan keempat. Selain itu,secara riil politis cara ini mengandung kelemahan mendasarkarena sulitnya mengharapkan persetujuan simplifikasiperubahan UUD itu dari fraksi di MPR yang merasakonsepnya akan kalah bila penyederhanaan Pasal 37 UUD1945 itu terjadi.

Last but not least, alternatif keempat adalah menjadikanST MPR 2002 hanya sebagai pintu formalitas terjadinyareformasi konstitusi secara keseluruhan. Artinya, potensikonflik dan deadlock ST MPR 2002 dihindari denganmenciptakan Komisi Konstitusi yang independen, non-partisan, dan profesional sesegera mungkin. PembentukanKomisi Konstitusi itu dapat diprakarsai Badan Pekerja (BP)MPR yang berdasark an Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD1945. Komisi Konstitusi itu harus bekerja keras selama satutahun ini dan menyerahkan hasil akhir kerjanya kepada BP

Page 104: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

90

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

MPR, yang kemudian membawanya ke dalam ST MPR 2002untuk secara langsung disahkan.

Dalam kaitan itu, Komisi Konstitusi harus mawas diriuntuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilaku-kan MPR dalam perubahan pertama, kedua, dan ketiga UUD1945. Karena bila kesalahan yang sama tetap dilakukan,maka dapat dipastikan bom waktu konstitusi akan tetapmeledak di ST MPR 2002 dan akan lebih keras ledakannya,sehinga membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indo-nesia, pada Pemilu 2004.

Page 105: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

91

BOM Waktu Konstitusi. Itulah judul opini saya (Kompas,22/11/2001). Tulisan yang dibuat setelah disahkannya

Amandemen Ketiga UUD 1945 itu, memberi warning,reformasi konstitusi memasuki zona berbahaya yang penuh”bom waktu”. Saat ini detonator bom itu sudah aktif karenadipicu tuntutan Gerakan Nurani Parlemen, Forum KajianIlmiah Konstitusi, dan Persatuan Purnawirawan ABRI yangmendesak dihentikannya reformasi konstitusi. Padahal,Sidang Tahunan MPR 2002 akan diadakan dalam kurunwaktu kurang dari empat bulan lagi. Rentang waktu yangtipis untuk menjinakkan bom itu serta menyelesaikan tugasmahapenting: Reformasi Konstitusi.

Mengapa reformasi konstitusi sampai di ujung kritismematikan? Bisakah bom waktu itu dijinakkan sehinggakrisis konstitusi tidak terjadi?

REFORMASI KONSTITUSIDAN BOM BUNUH DIRI

Page 106: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

92

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Banyak cara untuk menjawabnya, salah satunya adalahdengan membandingkan proses reformasi konstitusi Indo-nesia dengan Afrika Selatan. Mengapa Afrika Selatan?Karena, ada beberapa persamaan-selain perbedaan-antarakeduanya.

Persamaannya, pertama, reformasi konstitusi merupakanagenda utama kedua negara yang bertransisi dari peme-rintahan otoriter. Indonesia dari rezim Orde Baru dan AfrikaSelatan dari rezim apartheid.

Kedua, transisi itu diawali pemilu yang demokratis ditahun 1999 di Indonesia dan di tahun 1994 di Afrika Selatan.

Ketiga, yang membedakannya dengan negara lain sepertiThailand dan Filipina, di Indonesia maupun Afrika Selatanreformasi konstitusi transisi itu dilakukan oleh parlemen. DiIndonesia oleh MPR dan di Afrika Selatan oleh bikameralnyayaitu Majelis Nasional (National Assembly) dan Senat.

Proses reformasi konstitusi di Afrika Selatan berjalanbaik dan menghasilkan kelahiran kembali Afrika Selatanyang demokratis. Hassen Ibrahim (2001) dalam The Makingof South African Constitution:

Some Influences mengatakan ”South Africa’s transfor-mation captures the imagination of the world. It was amodel of a peaceful alternative to a bloody revolution-amiracle of modern political history. At the heart of thistransformation lies the South African Constitution.”

BAGAIMANA hasil akhir di Indonesia? Di luar per-samaan-persamaan itu ada perbedaan-perbedaan yang amatmungkin memisahkan ujung jalan reformasi konstitusi dikedua negara.

Page 107: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

93

MENCARI KONSTITUSI

Perbedaan-perbedaan itu, pertama, sebelum reformasikonstitusi berjalan, Afrika Selatan menerapkan InterimConstitution (konstitusi sementara). Dalam lampiran keem-pat Interim Constitution itulah dicantumkan 34 prinsip-prinsip dasar yang harus dijadikan patokan penyusunankonstitusi baru.

Menurut Christina Murray (2001) dalam NegotiatingBeyond Deadlock: From the Constitutional Assembly to theCourt, ke-34 constitutional principles itu menyangkut konsepdasar konstitusi demokratis, seperti: kemandirian kekuasaankehakiman, perlindungan HAM dan sistem kontrol antar-lembaga negara.

Sedangkan MPR tidak mempunyai ”pegangan” dalammelakukan tugas reformasi konstitusinya. Kalaupun ada,maka patokan MPR amat longgar dan hanya mencakupkesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,sistem presidensial dan negara kesatuan.

Perbedaan kedua, meski lembaga yang melakukanperubahan di Afrika Selatan adalah juga parlemen, tetapimandat kepada parlemen amat tegas, yaitu, menghasilkankonstitusi baru bagi Afrika Selatan. Oleh karena itu, seluruhanggota parlemen juga menjadi anggota Majelis Konstitusi(Constitutional Assembly). Ketegasan mandat itu penting danmempengaruhi seriusnya proses reformasi konstitusi AfrikaSelatan. Dalam konteks keseriusan itulah, parlemen AfrikaSelatan patut disejajarkan dengan prestasi ConstitutionalCommission di Filipina ataupun Constitutional DraftingAssembly di Thailand yang tugasnya melulu menyiapkankonstitusi baru.

MPR, di sisi lain, mempunyai mandat konstitusionalberdasar Pasal 37 UUD 1945. Tetapi, banyaknya tugas MPR

Page 108: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

94

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

menyebabkan reformasi konstitusi hanya menjadi kerja”sambilan”. Sejarah merekam, MPR banyak terserap ener-ginya ke dalam pertarungan politik. Fokus pada pengang-katan Abdurrahman Wahid menjadi presiden, menyebabkanproses Amandemen Pertama di Sidang Umum MPR 1999kebablasan menjadi legislative heavy; Sidang Tahunan 2000yang mulai ditumbuhi upaya menggusur AbdurrahmanWahid, banyak tersita waktunya untuk memperdebatkanwadah pembagian kekuasaan antara presiden dan wakilpresiden. Akibatnya, Amandemen Kedua disalip di tikungandengan pasal HAM nonretroaktif yang disusupkan di tengahmalam gulita; Sidang Tahunan 2001 yang terjadi setelahhingar-bingar Sidang Istimewa MPR yang menggusur Ab-durrahman Wahid, meski melahirkan Amandemen Ketigadengan beberapa aturan yang menjanjikan, akhirnya jugatidak tuntas dengan ditundanya pasal-pasal krusial sepertikomposisi MPR dan pemilihan presiden langsung.

Perbedaan ketiga antara reformasi konstitusi Indonesiadan Afrika Selatan adalah: Afrika Selatan menyadari bahwamenugaskan parlemen adalah pilihan yang berbahaya bagireformasi konstitusi. Sebab, reformasi konstitusi oleh par-lemen adalah proses politik yang dilakukan oleh representasipartai-partai politik yang rentan penyusupan kepentinganpolitik sesaat. Oleh karena itu, dalam Interim Constitutiondibuat mekanisme, hasil akhir konstitusi ConstitutionalAssembly sebelum disahkan menjadi UUD harus men-dapatkan proses sertifikasi lebih dahulu dari MahkamahKonstitusi (Constitutional Court). Untuk memberikan ser-tifikasi itu, Constitutional Court memeriksa apakah konsti-tusi yang disiapkan Constitutional Assembly bertentanganatau tidak dengan constitutional principles yang ada dalam

Page 109: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

95

MENCARI KONSTITUSI

Interim Constitution. Hasilnya, setelah dua kali diajukanbarulah Constitutional Commission memberikan sertifika-sinya.

Di Indonesia, nihilnya mekanisme kontrol hukum atasproduk amandemen UUD oleh MPR menjelmakan hasilakhir proses politik tidak ditutup dengan manis olehsupremasi hukum sebagaimana di Afrika Selatan. Selain itu,kepentingan-kepentingan politik terbukti menodai aman-demen konstitusi, seperti asas non-retroaktif-yang di tung-gangi kepentingan partai yang banyak melakukan pelang-garan HAM masa lalu-sampai dengan ngototnya anggotaUtusan Golongan mempertahankan ”bayarannya” di MPR.

Selanjutnya, perbedaan keempat amat penting. Bilakonstitusi Afrika Selatan wajar mendapat gelar KonstitusiRakyat karena prosesnya yang populis, maka konstitusiIndonesia boleh jadi akan ditolak oleh masyarakatnyasendiri karena elitis. Bahwa proses reformasi konstitusiadalah pekerjaan elite memang niscaya. Tetapi upaya untukmensosialisasikan kepada rakyat, sebagai pemilik utama danpertama kontrak sosial bernama konstitusi, jelas tidak bolehdinafikan. Thomas Paine-dalam Constitutionalism Ancient &Modern oleh Charles Howard McIlwain (1966)-misalnya,dengan lugas mengatakan ”A constitution is not the act ofgovernment, but the people constituting a government.”

BERANGKAT akan arti penting self-belonging rakyatatas konstitusinya itulah maka Afrika Selatan menye-barluaskan rancangan UUD-nya melalui radio, televisi,buletin selain seminar-seminar. Hasilnya, diperkirakan 82persen penduduk di atas usia 18 tahun mendengarkan siaran

Page 110: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

96

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

radio konstitusi; Tiga puluh tujuh program tentang konstitusidi televisi mendapatkan sambutan hangat 34 persen pemirsa;Setiap dua minggu 160.000 buletin Constitutional Assemblydibagikan kepada khalayak ramai. Akhirnya, April 1996menjelang draf konstitusi selesai, survei independen me-nyimpulkan, kampanye reformasi konstitusi berhasil men-jaring 73 persen orang dewasa Afrika Selatan (ChristinaMurray: 2001). Bagaimana dengan Indonesia? Apakah 73persen atau sekitar 150 juta rakyat mengetahui rancangankonstitusi yang disiapkan MPR?

Last but not least Afrika Selatan diuntungkan dengankepemimpinan negarawan sekelas Presiden Nelson Mandela.Sedangkan Indonesia dibingungkan dengan pergantianpresiden yang melahirkan instabilitas politik. Presidenterakhir, Megawati Soekarnoputri, tidak jelas sinyal du-kungannya terhadap reformasi konstitusi. Sikap Amin Aryo-so di Gerakan Nurani Parlemen yang mendesak penghentianproses perubahan keempat dan pernyataan Sekjen PDIPerjuangan Soetjipto bahwa partai banteng tidak meng-hendaki perubahan UUD 1945, tidak memperoleh bantahanmemadai di tengah senyapnya belantara kebisuan Megawati.

Detak waktu bom konstitusi terus berdegup. Mimpi saya,akan terjadi keajaiban agar bom itu berhasil dijinakkandengan negosiasi yang elegan dan bermartabat tanpa me-ngurangi substansi konstitusi yang demokratis, sebagaimanaterjadi di Afrika Selatan. Tetapi, bila partai reformisnyaNelson Mandela, African National Congress, yang menguasailebih dari 62 persen Constitutional Assembly saja harusbekerja keras dan nyaris gagal merayu partai status quo-nyaFW de Klerk, National Party (Katharine Savage: 2001);Apakah reformasi konstitusi di Indonesia mungkin berhasil?

Page 111: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

97

MENCARI KONSTITUSI

Padahal jelas, PDI Perjuangan—selaku pemenang tidakmutlak Pemilu 1999 dengan suara kurang dari 35 persen—melangkah dengan penuh kegamangan.

Agaknya, ledakan bom waktu sudah lamat-lamat ter-dengar dan kian nyaring menjelang Sidang Tahunan 2002.Karena itu, antisipasi plan B, untuk membentuk KomisiKonstitusi yang profesional, independen, dan nonpartisanadalah alternatif bijak penjinak bom yang patut dilak-sanakan.

Jika tidak, kegagalan reformasi konstitusi potensial akandiingat zaman sebagai matinya balita reformasi dan lahirnyaIndonesia tanpa Indonesia akibat bom bunuh diri yangdiledakkan MPR.

Page 112: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

98

The discrepancies between the words agreed to in theconstitution and the political reality that emerges maypoint to potential serious conflicts. (Andrea Bonime-Blanc,Spain’s Transition to Democracy, 1987)

UPAYA reformasi konstitusi tidak selalu berujung negarademokrasi, tetapi bisa jadi justru terdisintegrasinya

negara.Kutipan dari Andrea Bonime-Blanc itu menegaskan hal

tersebut. Pembuatan konstitusi di masa transisi bisa berujungpada dua jalan. Pertama, pemerintahan yang stabil dandemokratis. Kedua, pemerintahan yang mengandung janinbom waktu konflik yang serius. Pada tingkat ekstremnya,konflik serius—yang tidak jarang bersimbah darah—seringmenuju jurang disintegrasi. Contoh, almarhum Yugoslavia.

REFORMASI KONSTITUSI DANPOTENSI DISINTEGRASI

Page 113: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

99

MENCARI KONSTITUSI

Kesalahan reformasi konstitusi, yang mendefinisikan konsepnegara republik berdasarkan kriteria etnis dan bukanwilayah, mengantar negara itu ke tengah konflik etnis palingberdarah, dan lahirnya Yugoslavia tanpa Yugoslavia (John S.Dryzek: 2002).

Dari sudut pandang itu, saya berargumentasi: ancamanterbesar disintegrasi yang membayangi proses transisi Indo-nesia bukan dari gerakan separatis, bukan dari teroris, tetapidari politisi oportunis. Sebab, oportunisme politik itulahyang mengontaminasi tiap upaya reformasi, termasuk refor-masi konstitusi. Akibatnya, hasil perubahan UUD 1945 daripertama hingga keempat menghasilkan konstitusi yangproblematik. Untuk konstitusi semacam itu, kritik berikut inihukumnya menjadi wajib karena taruhannya adalah Indo-nesia sebagai bangsa.

Kritik pertama, berkaitan dengan potensi disintegrasi,adalah gagalnya reformasi konstitusi pascarezim Orde Barumelahirkan konstitusi rakyat (people constitution). Padahal,masa transisi dari pemerintahan otoriter adalah kesempatanemas untuk mengolah atmosfer eforia politik yang tumbuh dihati rakyat menjadi dukungan nyata pembuatan konstitusi.Sejarah dunia mutakhir banyak mencatat bahwa keber-hasilan reformasi konstitusi justru dilakukan di masa-masakrisis.

Kegagalan melahirkan konstitusi rakyat mengakibatkanIndonesia kehilangan momentum untuk melahirkan Indo-nesia yang lebih menyatu padu. Kesempatan konstitusisebagai payung hukum yang menaungi seluruh anak bangsamenjadi hilang. Peluang untuk menjadikan reformasi konsti-tusi sebagai obat mujarab rekonsiliasi, untuk sehatnyaIndonesia dari penyakit saling mendendam akibat

Page 114: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

100

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

permusuhan politik yang ramai di masa pemerintahanotoriter, menjadi sirna.

Padahal, reformasi konstitusilah yang mengantar AfrikaSelatan dari koyak luka diskriminasi menjadi bangsa yangbermata hati antidiskriminasi. Presiden Nelson Mandela saatmenyambut kelahiran konstitusi baru Afrika Selatan denganbangga menyerukan: ”Konstitusi Afrika Selatan adalahpiagam kebangsaan yang mentransformasikan tanah air kitamenjadi satu padu, dimiliki secara utuh oleh seluruh anakbangsa-suatu tanah air yang dalam arti sesungguhnyaadalah milik kita semua, tidak peduli orang berkulit hitamataupun putih, tidak peduli laki- laki ataupun perempuan.”(Penelope Andrews dan Stephen Ellman: 2001).

Kedahsyatan khasiat konstitusi yang mengintegrasikananak bangsa dan menyembuhkan luka lama itulah yangtersia-sia lewat hilang sirnanya kehadiran konstitusi rakyatIndonesia pascaproses perubahan UUD 1945.

Kritik kedua, potensi disintegrasi semakin terbuka pan-jang lebar setelah substansi perubahan konstitusi jugamenegasi aspirasi rakyat provinsi. Indikasinya terlihat jelasdengan minimnya komposisi dan mandulnya fungsi DewanPerwakilan Daerah (DPD). DPD yang seharusnya dimak-simalkan untuk menyalurkan aspirasi regional justru diker-dilkan melalui rekayasa konstitusional. Padahal, tanpakewenangan memadai, amanat DPD untuk mengangkatharkat martabat daerah-daerah masih jauh panggang dariapi, ibarat asa tanpa realita.

Harapan rakyat atas DPD yang tanpa diiringi kenyataankuatnya otoritas DPD itulah yang menurut saya akanmemicu detonator bom waktu disintegrasi. Di sinilah ke-salahan berpikir politisi di MPR yang menilai DPD yang

Page 115: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

101

MENCARI KONSTITUSI

kuat akan lebih membawa mudarat daripada manfaat.Pendapat bahwa DPD tidak cocok dengan sistem negarakesatuan, karena dapat memicu disintegrasi, adalah argu-mentasi yang dapat diperdebatkan. Justru, saya berpen-dapat, memanipulasi kelahiran DPD yang seakan memper-juangkan kepentingan daerah, padahal tidak, adalah blun-der serius reformasi konstitusi yang bisa berbuah disintegrasiitu sendiri.

Sebab, dengan sedikit kekuasaan yang dimilikinya,rakyat yang telah bersusah payah memilih wakil daerahnyadalam Pemilu 2004 akan kecewa dengan kinerja DPD.Kekecewaan rakyat daerah itu yang akan mengental danmenjadi tumpukan bensin potensi disintegrasi. Dalam kon-teks inilah, politisi di Senayan lupa akan sejarah. PolitisiMPR kembali mengulangi kesalahan dengan masuk kedalam kubangan lumpur yang sama. Padahal, sejarahgerakan separatis di Aceh dan Papua jelas disebabkan, salahsatunya, buntunya aspirasi daerah menghadapi manipulasidan dominasi pusat.

PERBAIKAN dari kedua kelemahan itu seharusnyamasih bisa terbuka melalui dua serangkai institusi: KomisiKonstitusi (KK) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Seba-gaimana sejatinya, KK mempunyai fungsi asli untuk mem-buat konstitusi, sedangkan MK berfungsi inti sebagaipengawal konstitusi. Kedua fungsi itu seharusnya bisamereparasi potensi disintegrasi dalam konstitusi. Sayang,Sidang Tahunan MPR 2003 justru akan menjadi titik balikkehidupan kedua institusi itu.

Page 116: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

102

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

KK, yang seharusnya berfungsi untuk mengoreksi lahir-nya konstitusi elite menjadi konstitusi kawula alit, tidakmempunyai kewenangan melakukan proses pembahasanyang partisipatoris. Draf rancangan keputusan MPR tentangKomisi Konstitusi yang disiapkan Panitia Ad Hoc I BadanPekerja MPR hanya melahirkan tubuh tanpa roh KK. Secaraformal KK ada, tetapi secara substansial ia tiada. Nama yangdiberikan pun seharusnya bukan KK, cukup Panitia Peng-kajian Konstitusi-karena sejatinya itulah kewenangan uta-ma ”makhluk jadian” yang akan dilahirkan MPR dalamSidang Tahunan 2003-nya ini.

Padahal, KK yang genuine jelas harus diberi kewe-nangan untuk melakukan proses pembuatan konstitusi yangmelibatkan partisipasi publik seluas mungkin. Hanyamelalui keterlibatan rakyat yang sebenarnya itulah, bukanpura-pura dan semata sebagai kosmetik legitimasi, konstitusirakyat yang meminimalkan disintegrasi dapat diciptakan.KK versi MPR dikhawatirkan jauh dari idealita itu. Alih-alihmengantisipasi disintegrasi, KK akan melahirkan antipatimasyarakat yang menambah banyak bahan bakar dis-integrasi.

Nasib serupa menimpa MK, sang guardian of theconstitution. Tidak adanya kepentingan langsung partaipolitik menyebabkan MK juga antara ada dan tiada. Amanatkonstitusi yang mensyaratkan MK harus sudah terbentukpaling lambat 17 Agustus 2003 berpotensi tinggi dilanggar.Jika ada jenis pelecehan peradilan (contempt of court),pelecehan parlemen (contempt of parliament), maka ke-alpaan presiden dan parlemen yang mengabaikan amanatkonstitusi itu jelas merupakan pelecehan konstitusi (con-tempt of constitution). Sayang, sedemikian parah pelang-

Page 117: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

103

MENCARI KONSTITUSI

garan presiden dan parlemen terhadap konstitusi tersebut,saya tidak yakin akan menegur keras mereka dalam SidangTahunan MPR 2003 kali ini.

DENGAN kenyataan demikian, bahaya reformasi konsti-tusi yang berujung disintegrasi belumlah terselesaikan.Padahal, menjelang Pemilu 2004, bahaya itu jelas bertambahbesar. Potensi konflik yang hadir di setiap pemilu adalahbahan bakar lain dari disintegrasi. Inilah seharusnya yangdipikirkan MPR pada saat bersidang kali ini. Masih belumterlambat untuk mengubah kebijakan dan melahirkan duasejoli KK dan MK dalam arti yang sesungguhnya.

Meski saya terus terang ragu—dengan nafsu politikpemenangan Pemilu 2004—masihkah ada ruang untukmemikirkan bahaya disintegrasi tersebut. Terlebih, bagipolitisi di MPR, perubahan konstitusi lebih dilihat sebagaiprestasi daripada potensi disintegrasi.

Akhirnya, saya berharap, reformasi konstitusi yang gagaldan melahirkan almarhum Yugoslavia tidak terjadi diIndonesia. Saya berdoa, Indonesia ke depan tidak hanyademokratis, tetapi tetap eksis. Karena demokrasi di Indo-nesia, tanpa Indonesia, tiada bermakna.

Page 118: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

104

BAPAK-Ibu anggota MPR, alangkah sedihnya saatmendengar dan menyaksikan berita Sidang Tahunan

(ST) MPR yang berlangsung 1-10 November 2001 dibukadengan peristiwa baku hantam di antara para anggota.Pergulatan fisik itu semakin menguatkan niat lama sayauntuk menuliskan surat terbuka ini kepada Bapak-Ibu,karena peristiwa memalukan itu semakin menambah kera-guan dan menipiskan harapan saya akan hasil positif STMPR.

Wakil-wakil rakyat yang terhormat, meski secara pribadiselaku rakyat, saya merasa belum mempunyai wakil untukmenyuarakan aspirasi di gedung megah MPR. Secara formalada anggota MPR dari Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapisaya tetap merasa tidak memilih apalagi diwakili. Satu danlain hal karena saat mengikuti pemilihan umum saya hanya

ANTARA HARAPAN DANKENYATAAN PERGULATAN DI MPR

*SURAT TERBUKA UNTUK SELURUHANGGOTA MPR

Page 119: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

105

MENCARI KONSTITUSI

memilih gambar, bukan orang, dan lebih lagi anggota MPRyang mengaku mewakili Yogyakarta justru tinggal diJakarta. Bagaimana mungkin beliau secara mendalam me-ngerti persoalan-persoalan khusus di Yogyakarta?

Namun, sudahlah, secara formal, saya tidak bisa mena-fikan, Bapak-Ibu adalah anggota MPR terhormat. Terhormatyang saya maksud tentu bukan karena Bapak-Ibu berhakatas fasilitas-fasilitas yang menggiurkan dan menyebabkansaya heran dan berpikir ”lalu realitas rakyat mana yangmereka wakili, bila di masa krisis pengangguran, pe-ngungsian, kebakaran, kebanjiran, dan krisis-krisis rakyatlain, justru bergelimang mesin cuci dan giat berplesir untukstudi banding, atau sebaliknya, studi banding untuk ber-plesir?”

Maksud terhormat bagi saya adalah, secara konsti-tusional MPR diberi mandat yang luar biasa. UUD 1945menyatakan, MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedau-latan rakyat. Betapa mulia dan terhormat tugas itu. Apalagidalam konteks ketatanegaraan Indonesia, MPR saat inimempunyai kewenangan tidak terbatas. Apa pun yangdikatakan dan dihasilkan MPR, dapat menjadi sumberhukum yang wajib dipatuhi semua lembaga dan warganegara. MPR adalah lembaga suprakonstitusional. ArtinyaMPR, ironisnya, ada di atas konstitusi itu sendiri. Hal itutentu merupakan suatu konsep yang bertabrakan dengan idedemokrasi. Karena, dalam semangat demokrasi seharusnyaselalu ada sistem saling kontrol dan pertanggungjawabanpublik yang mengharamkan lembaga superior semacamMPR.

Melihat konsep paradoks di tubuh MPR itu-yang di satusisi merupakan pelaksana penuh kedaulatan rakyat dan di

Page 120: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

106

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

sisi lain merupakan lembaga superior-maka MPR jelasmerupakan target utama reformasi. Karena potensi pe-nyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga yang mengklaim dirisebagai pelaksana tunggal kedaulatan rakyat yang tidakterkontrol akan amat besar, apalagi dengan membawajargon-jargon legitimasi yang, sayangnya dalam kontekslegal-formal, konstitusional.

Oleh karena itu, menjadi amat menarik menunggu hasilST MPR yang kabarnya akan menghasilkan amandemensignifikan ketiga atas UUD 1945. Pertanyaannya, apakahMPR betul-betul dapat melaksanakan tugas kenegaraannyaguna melanjutkan dan memberi pagar konstitusi atas lajureformasi yang sudah mati suri, padahal MPR sendiri adalahobyek prioritas reformasi dan berpotensi tinggi melakukanpenyalahgunaan kekuasaan tak terbatasnya?

Pertanyaan itu, bagi saya, amat penting dijawab karenarancangan amandemen ketiga secara konsep—harus sayaakui—memberi harapan alternatif yang menjanjikan; antaralain: pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung,pembentukan sistem parlemen dua kamar (bikameral) yangmemformulasikan MPR terdiri dari DPR dan Dewan Per-wakilan Daerah (DPD), penyempurnaan sistem pember-hentian presiden melalui pemeriksaan hukum di lembagabaru bernama Mahkamah Konstitusi yang sekaligus ber-wenang menyelesaikan masalah-masalah sehubungandengan perbedaan interpretasi konstitusi dan penegasankemandirian kekuasaan kehakiman dengan terbentuknyakomisi judisial.

Meski demikian, pengalaman mengajarkan kepada sayauntuk tidak terlalu banyak berharap dan memprediksi akanada tiga kemungkinan skenario dalam perubahan ketiga

Page 121: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

107

MENCARI KONSTITUSI

UUD 1945 kali ini. Pertama, rancangan perubahan yangmenggairahkan itu akan betul-betul terwujud. Kedua,seluruh rancangan amandemen ketiga batal disahkan. Ke-tiga, rancangan amandemen itu hanya akan terpenuhi untukpasal-pasal yang tidak substansial dan penuh kompromipolitik yang meredusir konsep awal perubahan ketiga UUD1945 itu sendiri.

DENGAN segala hormat, kepada seluruh anggota Ma-jelis, saya memperkirakan—dan yakin—yang akan terjadiadalah kemungkinan ketiga, atau malah yang kedua, dantidak mungkin yang pertama. Mengapa? Karena pengalamanamandemen pertama dan kedua jelas menunjukkan, tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek di MPR akanjauh lebih dominan dan mewarnai perjalanan ST MPR 2001ini. Untuk amandemen yang berkaitan dengan kekuasaan diluar MPR saja, amandemen pertama dan kedua sudah gagalmensterilkan diri dari rekayasa untuk mempolitisasi konsti-tusi. Asas nonretroaktif yang secara diam-diam berhasildimasukkan ke dalam amandemen kedua pada detik-detikakhir, membuktikan pengkhianatan MPR terhadap upayapenegakan hak asasi manusia (HAM) yang merupakan salahsatu agenda utama reformasi.

Oleh karena itu, Bapak-Ibu anggota MPR yang terhormat,maafkan saya bila amat pesimistis dan skeptis melihatkemungkinan keberhasilan amandemen ketiga UUD 1945yang akan merombak diri MPR sendiri. Logikanya seder-hana, apakah mungkin MPR mau bunuh diri? Konsep-konsep yang dibangun dalam rancangan perubahan ketigasebenarnya jelas akan memberi tebusan dosa yang relatif

Page 122: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

108

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

seimbang atas kesalahan amandemen pertama dan keduayang amat legislative heavy. Karena roh dan semangat dariperubahan ketiga adalah melakukan reformasi di dalamtubuh MPR itu sendiri. Bagaimana tidak?

Bukankah dengan menyetujui amandemen ketiga berartiMPR seharusnya tidak lagi mempunyai kewenangan yangbesar untuk menentukan presiden dan wakil presiden dinegeri ini; MPR tidak lagi menjadi sarang petualang danpreman politik yang menjadi wakil rakyat tanpa melaluiproses pemilihan umum; MPR hanya akan menjadi jointsession karena yang akan banyak melakukan tugas-tugasparlemen adalah DPR dan DPRD; MPR tidak lagi bisa seenakperut memberhentikan presiden karena ada MahkamahKonstitusi yang akan menentukan apakah presiden bersalahdari kacamata hukum dan karenanya bisa diberhentikanMPR dan; pada prinsipnya MPR akan mati dan

bereinkarnasi menjadi lembaga baru yang hanya ber-fungsi manajerial, tetapi tidak mempunyai kekuasaan ekse-kutorial. Tentu saja hal-hal itu adalah perubahan dramatisyang sulit saya bayangkan akan dilakukan MPR secarasukarela.

Kecuali bila MPR, dengan segala kesadaran dan kebe-saran jiwanya berpikir jernih dan mengatakan kepadadirinya sendiri, sekaranglah saatnya bagi MPR untukmemberi fondasi kuat dan meniupkan semangat serta rohbaru ke dalam tubuh reformasi. Artinya, MPR sedikitmenahan nafsu dan kekuasaan institusionalnya dan me-matahkan idiom politik Lord Acton yang secara lugasmengatakan: power tends to corrupt and absolute powertends to corrupt absolutely.

Page 123: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

109

MENCARI KONSTITUSI

Sekali lagi, saya ragu, anggota MPR akan melangkah kearah yang benar itu. Nuansa kepentingan politik yangberdasar who gets what, when, and how akan tetap me-mainkan peranan penting dan berarti. Satu saja pasaltentang pemilihan presiden langsung gagal disepakati, makaseluruh bangunan konsep perubahan ketiga akan menjadikertas kerja tak berguna. Karena pasal itulah yang sebe-narnya akan menjadi pintu masuk terjadinya dekontruksidan rekonstruksi lembaga MPR itu sendiri. Bila di dalampemberitaan-pemberitaan terakhir disampaikan, telah ter-jadi kesepakatan presidential direct election di tahun 2004,saya berkeyakinan, kesepakatan hanya akan mencapaipemilihan langsung secara simbolik, karena MPR tetap akanmempertahankan dominasinya sebagai penentu akhir siapayang jadi presiden dan wakil presiden. Peristiwa pergulatanfisik terakhir antara anggota MPR yang dipicu isu kebera-daan Fraksi Utusan Daerah membuktikan, banyak potensikonflik tidak terselesaikan dengan baik dan elegan di MPR.

Berdasarkan uraian itu saya memperkirakan, pergulatanfisik di pembukaan ST MPR sekaligus menandai terbukalebarnya pintu deadlock sekaligus tertutup rapatnya pintuharapan terjadinya amandemen ketiga UUD 1945. Dengandemikian, catatan kegagalan amandemen oleh MPR akanmakin panjang. Karena itu, desakan perlunya segera diben-tuk Komisi Konstitusi yang independen, profesional, dannonpartisan dalam ST MPR kali ini harus menjadi alternatifsolusi yang wajib diwujudkan.

Para wakil rakyat yang terhormat, ini adalah prediksisaya yang tentu saja bisa salah dan benar. Saya mendesakBapak-Ibu terhormat membuktikan bahwa perkiraan sayasalah. Kesalahan prediksi, sebenarnya saya harapkan karena

Page 124: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

110

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

berarti Bapak-Ibu dapat mematahkan idiom politik lain,Those to be reformed cannot reform themselves, the reformersshould come from the outsiders.

Sayang, ST MPR yang diawali dengan seremonial per-kelahian makin mempertebal keyakinan, reformasi tidakbisa digantungkan kepada target reformasi itu sendiri.Bayangkan, menurut Ketua MPR Amien Rais, perkelahianitu adalah contempt of parliament. Itu berarti, telah terjadisuatu pelecehan parlemen oleh anggota parlemen sendiri.Lalu, siapakah lagi yang akan menghormati atau mem-percayai MPR, bila MPR sudah melecehkan diri sendiridengan lebih memilih penyelesaian otot, bukan otak?

Akhirnya perjalanan ST MPR-lah yang akan mem-buktikan apakah prediksi saya salah atau benar. Selamatbersidang, jangan tidur apalagi berkelahi di dalam per-sidangan.

Page 125: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

111

KONSTITUSI Transisi! Itulah produk maksimal refor-masi konstitusi yang dihasilkan MPR melalui per-

ubahan pertama hingga rencana perubahan keempat UUD1945 Agustus 2002.

Apa pun hasil Sidang Tahunan (ST) MPR 2002, ada atautidak ada perubahan keempat UUD 1945, konstitusi yangdihasilkan harus ditegaskan sebagai konstitusi peralihan.Mengapa? Saya telah menjelaskan dalam Reformasi Pasca-Sidang Tahunan MPR 2002: Innalillahi wa Inna IlaihiRoji’un (Kompas, 3/7/2002), hasil reformasi konstitusi dalamST MPR 2002 hanya konstitusi kompromi atau konstitusiyang tidak demokratis dengan bayang-bayang krisis konsti-tusi karena ledakan bom waktu deadlock-nya PerubahanKeempat. Tulisan ini melanjutkan analisa gagalnya refor-masi konstitusi itu dan menawarkan konstitusi transisi

HASIL SIDANG TAHUNAN MPR

KONSTITUSI TRANSISI 2002

Page 126: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

112

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

sebagai titik pijak kelanjutan reformasi konstitusi denganargumentasi-argumentasi.

Jika tahapan pembuatan konstitusi dibagi tiga, yaitu:penyusunan agenda, pengembangan dan perancangan, sertapengesahan (Cheryl Saunders: 2002), maka reformasi konsti-tusi oleh MPR di tahun 1999-2002 tidak memenuhi syarat-syarat demokratisnya constitution making di semua tahapanitu.

Pengalaman Afrika Selatan, di tahapan agenda, settingmereka lebih dulu menyiapkan paradigma constitutionmaking yang terdiri: (1) kesepakatan membuat konstitusisementara sebagai masa peralihan dari rezim apartheid; (2)pemberian mandat kepada parlemen hasil Pemilu 1994sekaligus menjadi Majelis Konstitusi; (3) pembuatan 34prinsip-prinsip konstitusi yang menjadi acuan konstitusibaru. Constitutional principles itu mencakup hal-hal dasaruniversal seperti perlindungan HAM dan kemerdekaankekuasaan peradilan; (4) pembentukan Mahkamah Konsti-tusi yang berfungsi menyertifikasi rancangan konstitusi yangdisiapkan Constitutional Assembly. Caranya, ConstitutionalCourt mengecek apakah rancangan konstitusi MajelisKonstitusi bertentangan atau tidak dengan ke 34 consti-tutional principles; dan (5) mekanisme pengesahan konstitusisekaligus menyediakan alternatif guna menghindari dead-lock.

Thailand juga melakukan hal yang relatif serupa denganAfrika Selatan untuk mengawali reformasi konstitusinya.Pertama-tama mereka mengubah Pasal 211 Konstitusi tahun1996-nya yang mengatur mekanisme perubahan UUD.Perubahan Pasal 211 itulah yang mengawali proses reformasikonstitusi yang demokratis di Thailand dengan: (1)

Page 127: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

113

MENCARI KONSTITUSI

dibentuknya Constitutional Drafting Assembly (CDA) seba-gai lembaga independen yang berwenang merancang konsti-tusi baru; (2) mengatur keanggotaan CDA; (3) menetapkanmasa kerja CDA hanya 240 hari; dan (4) ditentukanmekanisme pengesahan dan antisipasi jika terjadi deadlockdi parlemen.

Artinya, langkah awal Afrika Selatan dan Thailanddalam melakukan reformasi konstitusi adalah membuatprosedur pembuatan konstitusi yang lebih demokratis. Inilahkelemahan mendasar reformasi konstitusi Indonesia yangmelakukan perubahan UUD 1945 bersandarkan ketentuanPasal 37. Suatu absurditas reformasi konstitusi, karenamenggantungkan proses perubahan pada pasal yang seha-rusnya menjadi bagian yang diubah.

Tidak mengherankan bila absurditas reformasi konstitusiberujung politisasi dan kompromisasi substansi konstitusioleh unsur-unsur parpol dan kelompok antireformasi di MPRyang berlangsung sejak perubahan pertama dan makinmengental menjelang perubahan keempat. Banyak hal sudahsaya jelaskan dalam tulisan terdahulu, mengapa politisasidan kompromisasi substansi konstitusi terjadi. Misalnya,karena nihilnya lembaga semacam Constitutional Court diAfrika Selatan yang dapat berperan besar untuk mencegahpolitisasi substansi konstitusi oleh parlemennya (ReformasiKonstitusi dan Bom Bunuh Diri MPR, Kompas, 23/4/2002).

TAHAPAN kedua, development and design, yang me-nyerahkan mandat reformasi konstitusi kepada MPR, akhir-nya menunjukkan absurditas lain dari proses constitutionmaking, karena MPR tidak dapat melepaskan diri dari

Page 128: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

114

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

benturan kepentingan politik sesaatnya. Terbukti dengan (1)penguatan kekuasaan parlemen yang berkorelasi denganberayunnya executive heavy menjadi legislative heavy diperubahan pertama; (2) kepentingan pelanggar HAM masalalu yang melahirkan ketentuan HAM non-retroaktif sertadeal elite politik yang memperpanjang eksistensi militer diparlemen hingga tahun 2009 (meski yang terakhir diaturdalam ketetapan MPR) di perubahan kedua; dan (3) gagal-nya penyempurnaan check and balances system dan refor-masi parlemen di perubahan ketiga.

Kegagalan MPR meminimalisasi nafsu sesat politik sesa-atnya, kian terang seiring dilakukan manuver-manuver”Gerakan Nurani Parlemen” untuk menggagalkan per-ubahan keempat dan menganulir lagi perubahan ketigadengan-salah satunya-perubahan Pasal 1 Ayat (2) yangmereka anggap kebablasan. Padahal, justru gerakan kelom-pok pimpinan Amin Aryoso itulah yang tidak bernurani.Sebab, pengembalian kedaulatan kepada rakyat dalamperubahan ketiga, dibanding sebelumnya yang diklaimsebagai monopoli MPR, sudah amat sesuai dengan keinginan”Gerakan Nurani Rakyat.”

Dalam tahap kedua, pengembangan dan perancangan,saya tegaskan, reformasi konstitusi kian tidak demokratiskarena amat elitis. Hal ini sudah berulang kali sayasampaikan. Tetapi karena amat penting, saya kutip per-nyataan Julius O Ihonvbere (2000), dalam tulisannya How toMake an Undemocratic Constitution: the Nigerian Exampleyang secara sinis mengatakan ”It is quite easy to make a reallybad constitution. All the state and its custodians need to do istreat the exercise as a private or secret process, consult no oneor allow only minimal consultation, and aim for legal

Page 129: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

115

MENCARI KONSTITUSI

recognition rather than building popular legitimacy aroundthe constitution. Once such a process is followed, it can beguaranteed that the content of the so-called constitution willbe undemocratic.”

Dibanding dengan Afrika Selatan yang memaksimalkanpublic participation melalui perdebatan konstitusi di 37program televisi, talk show di radio dengan delapan bahasa,160.000 jurnal dua mingguannya, Internet dan hot linetelepon dengan lima bahasa; yang ditindaklanjuti denganpenyebaran lima juta eksemplar draf pertama konstitusi dantujuh juta eksemplar rancangan kedua konstitusi dalamkeseluruhan 11 bahasa di Afrika Selatan; ditambah pe-nyediaan draf konstitusi dalam bentuk kaset rekaman danhuruf braile bagi warga negara yang tunanetra; ditambahsatu juta eksemplar format konstitusi dalam bentuk komikHAM yang disebar ke sekolah-sekolah; dan akhirnya ditutupdengan kampanye National Constitution Week sehinggaberujung pada proses reformasi konstitusi tersosialisasidengan baik pada 73 persen rakyat Afrika Selatan. Maka,upaya pelibatan masyarakat dalam constitution making diIndonesia tidak ada apa-apanya. Teramat jauh perbedaan-nya, ibarat bumi dan langit.

Sulit untuk mengetahui tingkat partisipasi publik dalamreformasi konstitusi di Indonesia. Karena jangankan pihaklain, MPR sendiri pun, saya yakin tidak mempunyai indi-kator yang jelas seberapa besar tingkat partisipasi rakyatdalam perubahan yang mereka lakukan. Sosialisasi MPRbiasanya hanya berupa semiloka di hotel-hotel, di sedikitkota besar. Segelintir masyarakat elite hanya dijadikanpartisipasi pasif, karena MPR sudah membawa rumusanyang mereka buat. Kalaupun ada masukan dari sedikit

Page 130: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

116

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

masyarakat elite, tingkat akseptasinya dalam rumusan akhirpun tidak jelas. Melalui sosialisasi minimalis dan elitis itulahMPR mengklaim, rumusannya sudah tersosialisasi dan diujisahih, terutama bila semiloka yang diadakan bekerja samadengan perguruan tinggi.

TAHAPAN ketiga, approval, juga menunjukkan tidakantisipatifnya proses reformasi konstitusi Indonesia sehinggamembuka peluang jalan buntu. Elite politik Indonesiamemang ”keledai yang suka masuk ke kubangan yangsama.” Buktinya, proses reformasi konstitusi 1999-2002 tidakbelajar dari kemungkinan buntunya pembuatan konstitusidalam Konstituante 1956-1959. Menggantungkan prosespengesahan konstitusi masa transisi, hanya pada satualternatif dalam Pasal 37 UUD 1945 saja adalah absurditaskesekian reformasi konstitusi.

Elite politik Afrika Selatan jelas lebih cerdas karenamengantisipasi kemungkinan deadlock dengan mencipta-kan mekanisme pintu berlapis pengesahan konstitusi. Penge-sahan konstitusi Afrika Selatan diatur dalam Pasal 73 InterimConstitution tentang ”Adoption of New Constitutional Text”sebagai berikut: (1) pengesahan dilakukan dengan pe-mungutan suara minimal 2/3 anggota ConstitutionalAssembly menyetujuinya; (2) apabila tidak berhasil makadilibatkan panel pakar hukum tata negara, yang memberimasukan guna voting kedua di Constitutional Assembly; (3)apabila masih gagal, rancangan konstitusi itu diserahkankepada rakyat untuk disahkan. Sebelumnya, ConstitutionalCourt harus memeriksa bahwa rancangan konstitusi itusesuai dengan ke-34 constitutional principles; (4) jika tidak

Page 131: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

117

MENCARI KONSTITUSI

disetujui minimal 60 persen rakyat, maka ConstitutionalAssembly baru hasil pemilu harus dibentuk untuk menge-sahkan konstitusi, dengan syarat minimal 60 persen setuju.

Dengan hanya bergantung pada satu pintu pengesahanPasal 37, proses reformasi konstitusi, terutama dalam ST MPR2002, tentu menjadi amat rentan dari politisasi dan kom-promisasi substansi konstitusi dengan alasan menghindarikebuntuan perubahan keempat.

DENGAN absurditas-absurditas constitution makingIndonesia oleh MPR yang gagal di tahap agenda settingkarena menggunakan prosedur perubahan berdasarkanPasal 37 UUD 1945, yang justru seharusnya diubah; yangmembuka peluang politisasi dan kompromisasi serta elitisasisubstansi konstitusi di tahap development and design olehMPR, yang justru sewajibnya menjadi target perubahan;sehingga akibatnya politisasi dan kompromisasi itulah yangmendominasi tahapan approval perubahan keempat yangakhirnya meminimalisasi potensi lahirnya konstitusi yangdemokratis dan memaksimalisasi munculnya konstitusi oto-riter ala UUD 1945 sebelum perubahan, maka:

Konstitusi yang dihasilkan MPR harus diperbaiki olehKomisi Konstitusi yang profesional, independen, dan non-partisan. Keberadaan Komisi itu diatur dalam perubahanPasal 37 UUD 1945 dalam ST MPR 2002, yang hanyamenghasilkan Konstitusi Transisi 2002.

Page 132: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

118

GERAKAN untuk kembali ke naskah asli UUD 1945kembali menguat. Kelompok yang dimotori banyak

pensiunan jenderal, Ridwan Saidi, Amin Aryoso dan lain-lain menganggap hasil perubahan adalah biang masalah,dan karenanya UUD 1945 sebelum perubahan harus diber-lakukan kembali. Mereka mengusulkan agar Presiden SusiloBambang Yudhoyono mengeluarkan dekrit kembali kenaskah asli UUD 1945, sebagaimana dulu Presiden Soekarnomengeluarkan dekrit serupa tanggal 5 Juli 1959.

Gerakan tersebut tentu saja harus dicegah, bahkan lebihjauh harus dilawan. Ide kembali ke naskah asli UUD 1945adalah pemikiran yang otoritarian. Karena konstitusi kemer-dekaan tersebut – dengan segala hormat kepada parafounding parents yang telah menyusunnya – merupakandokumen hukum yang jauh dari sempurna, antidemokrasi,minim perlindungan hak asasi manusia dan karenanya,

TOLAK KEMBALI KE UUD 1945

Page 133: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

119

MENCARI KONSTITUSI

dalam bahasa Mochtar Pabottingi adalah konstitusi tanpakonstitusionalisme. Tidak mengherankan jika Adnan Bu-yung Nasution secara tegas menyatakan kembali ke naskahasli UUD 1945 adalah pemikiran antidemokrasi.

Alasan yang dipaparkan untuk kembali ke UUD 1945pun adalah argumen yang ecek-ecek. Dipaparkan bahwaperubahan tersebut dilakukan dengan cara yang tidakbenar. Tanpa mencabut lebih dahulu keputusan presidenyang menguatkan dekrit 5 Juli 1959. Argumen demikiansangat aneh. Nyata-nyata bahwa metode perubahan UUD1945 sudahlah diatur dalam konstitusi itu sendiri, Pasal 37.Dalam pasal terakhir sebelum perubahan tersebut, me-kanisme amandemen hanya dipersyaratkan dilakukan olehMPR dengan kuorum kehadiran, serta kuorum persetujuandua-per tiga.

MPR meski dengan proses perubahan yang tidak ideal –misalnya minimnya pelibatan publik dalam proses aman-demen – tetap telah menjalankan prosedur formal perubahanUUD 1945 sesuai syarat-syarat Pasal 37 tersebut. Justru,mekanisme amandemen itu dilakukan dengan hati-hati,terbukti MPR terlebih dahulu mencabut ketetapannya ber-kait dengan referendum. Aturan meminta pendapat rakyatuntuk melakukan perubahan tersebut, memang sekilasterkesan demokratis. Tetapi senyatanya referendum yangdigagas pemerintahan otoriter Orde Baru, justru adalah caraOrba untuk mensakralkan UUD 1945. Persyaratan per-setujuan 90 persen dari rakyat untuk mengubah UUD 1945nyata-nyata adalah upaya memfosilkan konstitusi yangantikonstitusionalisme tersebut. Cara yang justrubertentangan dengan mekanisme yang diatur Pasal 37 UUD1945 itu sendiri.

Page 134: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

120

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Pengabadian konstitusi antidemokrasi itu wajar dila-kukan Orba, karena dari dokumen ”singkat dan supel”itulah Soeharto dan kroninya menyandarkan kekuasaanotoritariannya. Karenanya, langkah MPR yang mencabutketetapan referendum tersebut sudahlah tepat. Tetapi, itubukan berarti, MPR pun harus mencabut keputusan presidenyang menjadi dasar berlakunya lagi UUD 1945 pascadekrit 5Juli 1959. Berbeda dengan ketetapan referendum yangmemang merupakan hukum positif kala itu berkait denganmekanisme perubahan konstitusi, maka tidak ada aturanhukum manapun yang menyatakan amandemen UUD 1945harus diubah dengan mencabut lebih dahulu Keppres dekrit5 Juli 1959.

Argumen ecek-ecek lainnya dari kelompok yang inginmemfosilkan UUD 1945 adalah: hasil perubahan UUD 1945tidak sah pemberlakuannya karena belum diletakkan dalamberita dan lembaran negara. Pendapat demikian secara legal-formal sekilas terkesan seakan benar. Padahal justru sangatadministratif nihil substantif. Apalagi Pasal 3 ayat (3) UUNomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundangan secara tegas mengatur bahwa, ”PenempatanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidakmerupakan dasar pemberlakuannya.” Jelaslah LembaranNegara sama sekali tidak mempengaruhi keberlakun hasilamandemen UUD 1945. Perubahan Pertama ingá KeempatUUD 1945 langsung berlaku pada saat masing-masingditetapkan dalam Sidang Paripurna MPR di tahun 1999 –2002.

Apalagi faktanya, hasil perubahan UUD 1945 itu sudahdiimplementasikan dan senyatanya sudah diterima berbagai

Page 135: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

121

MENCARI KONSTITUSI

kalangan. Buktinya, pemilu 2004 dan pemerintahan kiniadalah hasil nyata dari perubahan konstitusi tersebut. Maka,tidak aneh jika muncul dugaan, bahwa gerakan kembali keUUD 1945 sebenarnya bentuk ”kudeta konstitusional”.Yaitu upaya makar dengan mempersoalkan legitimasikonstitusi. Dengan sasaran mendelegitimasi pemerintahanhasil pemilu 2004. Agenda politik praktis yang kotor tersebuttentu harus disikapi dengan kritis dan hati-hati. Meskipunadalah kebebasan mengeluarkan pendapat yang melekatpada setiap orang, namun apabila pendapat tersebut justrumengarah kepada krisis konstitusi, tentu harus dilawandengan pendapat yang lebih canggih dan cerdas.

Argumen paling menyesatkan dari kelompok antiaman-demen UUD 1945 adalah: krisis multidimensi yang sekarangmelanda bangsa adalah akibat dari perubahan UUD 1945.Segala bencana, musibah dan persoalan ditimpakan kam-bing hitamnya kepada hasil amandemen UUD 1945. Tentusaja, logika melompat tersebut tidak bertanggung jawab danmenyesatkan. Kondisi buruk apalagi bencana alam bukan-lah kesalahan hasil amandemen. Bahkan, rusaknya kondisibangsa masih merupakan kontribusi residu dari otorita-riannya Orde Baru. Persoalan kekinian tidak lain adalahwarisan pelaksanaan UUD 1945 asli yang antidemokrasi.

Perubahan UUD 1945 justru telah membawa hidupnyabenih demokrasi di negeri kampung maling ini. Kebebasanmengeluarkan pendapat, pemilu yang lebih demokratis,pilkada langsung, kebebasan pers adalah buah reformasikonstitusi. Perbaikan UUD 1945 melalui amandemen telahmenjadi fondasi dasar bagi embrio demokrasi. Memutarjarum jam dengan kembali ke UUD 1945 praamandemen

Page 136: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

122

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

berarti membunuh embrio demokrasi yang sedang tumbuhberkembang di rahim ibu pertiwi.

Meskipun harus diakui, hasil perubahan UUD 1945bukanlah dokumen yang ideal. Tetap saja ia merupakandokumen yang lebih baik dibandingkan naskah asli konsti-tusi 1945. Yang harus dilakukan, bukanlah kembali ke UUD1945 lama, tetapi meneruskan proses perubahan denganmenyusun amandemen selanjutnya. Contoh substansi aman-demen yang dapat didorong adalah, membuka pintu calonperseorangan dalam pemilihan presiden dan kepala daerah;menegaskan rezim pilkada sebagai rezim pemilu; me-nguatkan kewenangan DPD menuju bikameral yang efektif;menegaskan perlindungan HAM dengan memberikan oto-ritas memeriksa constitutional complaint kepada MahkamahKonstitusi.

Lebih jauh, yang tidak kalah penting adalah menjagaagar proses perubahan selanjutnya tidak lagi mengulangminimnya partisipasi publik dalam amandemen di tahun1999 – 2002. Jangan lagi terulang hilangnya kesempatanmembuat konstitusi rakyat (the people constitution) dalamproses perubahan konstitusi. Bagaimanapun ownershipharus ditingkatkan karena, konstitusi tanpa kepemilikanrakyat pasti tiada arti. Bagaimanapun konstitusi bukanlahdokumen elite semata, tetapi harus menjadi milik seluruhrakyat Indonesia.

Page 137: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

123

PERUBAHAN UUD 1945 kembali menjadi berita. Lang-kah agresif Dewan Perwakilan Daerah untuk men-

dorong perubahan lanjutan UUD 1945 mendapatkan tang-gapan pro dan kontra dari beberapa kalangan. Yang promerasa bahwa perubahan kelima diperlukan untuk me-nyempurnakan reformasi konstitusi. Perubahan Pertamahingga Keempat yang dilakukan MPR pada masa awalreformasi (1999 – 2002) dirasa belum memadai, salah satunyadalam mewujudkan bikameral yang efektif. Bagi yangkontra, terbagi pada dua kelompok. Kelompok pertama,sama sekali tidak mendorong Perubahan Kelima. Alih-alihberbicara amandemem kelima, kelompok romantis ini justruingin mengembalikan naskah asli UUD 1945 sebelumperubahan. Kelompok Kedua yang menolak perubahankelima, meskipun tidak menafikan sunatullah perubahankonstitusi, namun merasa saat ini bukanlah masa yang tepat.

URGENSI AMANDEMEN KELIMA

Page 138: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

124

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Tarik-menarik antara kubu pro dan kontra perubahankelima tersebut menarik untuk terus dicermati. Inilah salahsatu buah reformasi, ketika perbedaan pendapat tentangagenda konstitusi dapat diperdebatkan dengan terbukatanpa ada halangan yang berarti. Hal yang sama tidakmungkin terjadi di masa rezim otoriter Orde Baru. Alih-alihmemperbincangkan perubahan UUD 1945, Orba justrumemelopori gerakan memberhalakan konstiusi kemerdeka-an tersebut. UUD 1945 disakralkan dan dinisbatkan sebagaikonstitusi yang tidak akan diubah.

Beruntung di masa transisi dari pemerintahan otoriter,ketika Soeharto jatuh di tahun 1998, golden moment refor-masi konstitusi mulai terbuka. Sakralitas UUD 1945 akhir-nya dapat ditembus dan hadirlah Perubahan Pertama hinggaKeempat. Namun, hasil empat perubahan itu seharusnyabukan dilihat sebagai akhir dinamisasi konstitusi. Kemung-kinan perubahan lanjutan sebaiknya terus dibuka. Masihbanyak substansi konstitusi yang semestinya diadopsi seba-gai bagian lanjutan perubahan UUD 1945. Penguatan posisidan kewenangan DPD adalah salah satunya. Yang lainadalah pembukaan kesempatan calon perseorangan/inde-penden dalam pemilihan presiden; memperjelas posisi pe-milihan kepala daerah sebagai rezim pemilu, bukan rezimpemerintahan daerah; serta perlindungan HAM yang lebihtegas dengan memberikan kewenangan pemeriksaan consti-tutional complaint kepada Mahkamah Konstitusi.

Namun melakukan satu perubahan untuk kesemua isu diatas adalah langkah yang nyaris mustahil. Sebaiknyamemang dilakukan perubahan secara bertahap. Perubahansekaligus akan melibatkan berbagai kepentingan yangberbeda dan berpotensi menimbulkan pergesekan yang tidak

Page 139: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

125

MENCARI KONSTITUSI

perlu antarkelompok, yang seharusnya justru berkoalisiguna melakukan perubahan konstitusi.

Saat ini DPD tengah gencar-gencarnya mendekati fraksi-fraksi di MPR untuk menawarkan penguatan fungsi danperan DPD. Upaya tersebut sedikit banyak telah men-dapatkan hasil dengan tambahan dukungan dari beberapaorang di fraksi PKB dan PKS. Dukungan dari lebih banyakanggota MPR dibutuhkan karena syarat prosedural per-ubahan formal UUD 1945, menurut Pasal 37 ayat (1) UUD1945, adalah diusulkan sedikitnya 1/3 anggota MPR. Disamping itu, usulan perubahan sudah harus diajukan secaratertulis dengan minimal 2/3 kuorum kehadiran dan seku-rangnya ½ kuorum persetujuan anggota MPR.

Perjalanan DPD untuk mendapatkan dukungan 1/3anggota MPR masih jauh. Fraksi-fraksi konservatif terhadapagenda perubahan UUD 1945 masih bergeming. PDI Per-juangan dan Partai Golkar adalah dua gajah kekuatanpolitik yang masih antipati dengan agenda perubahankelima. Alasan ideologis menjadi alasan enggannya PDIPerjuangan untuk menyokong agenda penguatan DPD. Bagikelompok nasionalis, perubahan UUD 1945 selalu membukakemungkinan polemik lama, semacam potensi lahirnyanegara Islam, dan pengadopsian syariat Islam ke dalamkonstitusi.

Di kala Perubahan Pertama dan Keempat UUD 1945pun, PDI Perjuangan – bersama-sama dengan Fraksi TNI/Polri – adalah kekuatan politik yang sangat berhati-hati. PDIPerjuangan termasuk partai yang terakhir mendukungagenda reformasi konstitusi. Itu pun karena situasi kondisipolitik pascajatuhnya Orde Baru memang tidak membuka

Page 140: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

126

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

pilihan lain. Tuntutan amandemen UUD 1945 merupakanarus kuat yang terlalu sulit untuk dilawan.

Semua perlawanan dan resistensi atas perubahan UUD1945 biasanya terkait dengan kekhawatiran terbukanyakotak pandora; yaitu munculnya lagi perseteruan antaraideologi nasionalis Pancasila dengan ideologi agamis Islam;ketakutan munculnya lagi semangat memperjuangkan ne-gara islam, atau minimal semangat memperjuangkan pene-rapan syariat Islam, dengan mengadopsi Piagam Jakarta kedalam Pasal 29 UUD 1945 tentang agama.

Apapun, hambatan dan resistensi klasik tersebut seha-rusnya tidak mengurangi semangat untuk menegaskanperlunya penyempurnaan UUD 1945, pascaempat aman-demen sekalipun. Dalam konteks ini penguatan dan revi-talisasi aturan konstitusi bagi DPD amat penting untukdidukung, khususnya untuk menciptakan sistem bikameralyang efektif. Kala ini model parlemen Indonesia jauh darikejelasan. Disebut bikameral tidak tepat, karena keang-gotaan MPR bukan terdiri atas DPR dan DPD sebagaiinstitusi, namun hanya anggota-anggota DPD dan DPR.Bahkan Jimly Asshiddiqie menegaskan parlemen Indonesiamempunyai tiga kamar (trikameral): MPR, DPR dan DPD;dengan DPR mempunyai power yang jauh lebih besardibandingkan dua kamar yang lain (DPR heavy).

Supremasi DPR demikian tidak sehat. Semestinya untukmenghidupkan saling kontrol dan saling imbang di internalparlemen, maka selain dinamika partai di DPR harus terusdipelihara, maka kamar DPR sewajibnya bisa saling kontroldengan DPD. Prinsip checks and balances antarkamarparlemen itulah yang menguatkan urgensi bikameral. Jikasalah satu kamar terlalu dominan, maka kehadiran kamar

Page 141: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

127

MENCARI KONSTITUSI

lain yang hanya menjadi anak bawang – sebagaimanaotoritas DPD yang jauh di bawah DPR – menjadi kehilanganurgensi eksistensi.

Namun, DPD sendiri harus menyadari bahwa masa emasperubahan amandemen secara formal sudah mulai kehi-langan momentum. Maka, meskipun lobi-lobi politik me-mang tetap harus dilakukan, namun alternatif perubahankonstitusi lain juga patut dijajaki. Selain formal amandemen,maka constitutional interpretation dan convention adalahdua metode lain untuk mendinamisasikan kehidupan konsti-tusi. Interpretasi konstitusi di era sekarang telah secara relatifbaik dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; sedangkankonvensi kenegaraan dapat terus dimodifikasi untuk pe-nguatan tawar-menawar DPD, misalnya dengan ide cergasuntuk meminta pidato presiden di hadapan DPD, tidakhanya di hadapan DPR sebagaimana konvensi yang selamaini dilakukan.

Di samping upaya-upaya elite amandemen konstitusitersebut, DPD harus tetap menjejak di tanah dan terusmembangun dukungan populis di hadapan rakyat peme-gang daulat. Bagaimanapun konstitusi adalah aturan ber-negara yang wajib dipahami dan dimiliki secara sadar olehsebanyak mungkin masyarakat. Itulah konstitusi rakyat.Dengan demikian, jikalaupun DPD gagal mendorong aman-demen formal UUD 1945, DPD tetap mendapat dukunganpolitik dari publik, karena perjuangannya terlihat demirakyat, bukan semata demi penguatan kekuasaan semata.

Page 142: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 143: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

BAB 2

MENCARI PEMILUYANG DEMOKRATIS

Page 144: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 145: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

131

MAHKAMAH Konstitusi membuka pintu monopolipencalonan kepala daerah. Putusan MK, yang me-

mungkinkan perseorangan maju sebagai calon kepala dae-rah, patut diapresiasi.

Majunya calon perseorangan, selain calon dari partaipolitik, akan meningkatkan kompetisi pemilihan kepaladaerah. Kompetisi yang fair akan mendorong demokratisasi,termasuk dalam partai sendiri.

Monopoli partai politik (parpol) dalam perekrutan kepe-mimpinan nasional memang merisaukan. Monopoli iniberpotensi menggairahkan korupsi. Rumus sederhananya,korupsi adalah kewenangan yang monopolistik, tanpaketerbukaan (corruption is authority plus monopoly minustransparency). Salah satu penyebab maraknya politik uangdi banyak pilihan kepala daerah adalah monopoli pen-calonan kepala daerah oleh parpol. Padahal, kinerja parpol

KEPALA DAERAHPERSEORANGAN

Page 146: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

132

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

sendiri masih jauh dari semangat antikorupsi. Jajak pen-dapat Transparansi Internasional Indonesia menegaskan,parpol sebagai salah satu institusi paling korup di Tanah Air.

Semangat memperbesar kompetisi serta transparansiantikorupsi itulah pesan terobosan konstitusional terpentingdari putusan MK tentang calon kepala daerah perseorangan.Meski demikian, terobosan MK itu masih menyisakan masa-lah.

Calon presiden perseorangan?MK tetap memiliki keterbatasan. Meski berhasil mem-

buka kunci monopoli pencalonan kepala daerah oleh parpol,MK hanya dapat menguji konstitusionalitas undang-undangatas Undang-Undang Dasar. MK tidak dapat menyoalproblematika dalam konstitusi itu sendiri. Maka, monopolipencalonan presiden oleh parpol, yang diatur Pasal 6A Ayat(2) UUD 1945, tidak dapat ditembus MK, kecuali pasal itudiubah MPR. Maka, peluang calon presiden perseorangantetap tertutup. Meski demikian, dengan konsistensi logika,terbukanya calon perseorangan untuk kepala daerah dapatmenjadi amunisi tambahan untuk mendorong advokasipencalonan presiden perseorangan.

PersyaratanProblematika kedua terkait syarat dan rincian pen-

calonan kepala daerah perseorangan. Mandat konstitusionalMK hanya menguji konstitusionalitas undang-undang. MKbukan legislatif yang dapat menambah kata-kata ke dalamundang-undang. Maka, dengan membuka pintu calonkepala daerah perseorangan, ada rincian persyaratan calonperseorangan yang belum terselesaikan.

Page 147: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

133

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Untuk mengisi kekosongan hukum itu ada tiga pilihan.Pertama, legislative review, yaitu mengubah UU Nomor 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yangterkait dengan syarat calon kepala daerah perseorangan.Namun, cara ini mempunyai dua kelemahan, yaitu memakanwaktu lebih lama dan potensi tingginya resistansi parpol diDPR atas putusan MK.

Kedua, dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Cara ini terbilang moderat, terutama karenaproblem justifikasi hadirnya ”kegentingan yang memaksa”sebagai syarat tunggal konstitusional lahirnya perpu. MKpernah memutuskan kriteria kegentingan memaksa amattergantung dari subyektivitas presiden. Alternatif ini mung-kin paling cepat dari sisi waktu, tetapi berpotensi tertolakketika dimintakan persetujuan kepada DPR.

Ketiga, melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum(KPU), untuk mengatasi keterdesakan waktu dan mandatkonstitusional. MK sendiri (paragraf 3.15.22 pada putusan-nya) menyarankan KPU mengambil inisiatif itu, terutamauntuk menghindari kekosongan hukum. Dasar hukum bagiKPU termuat dalam Pasal 8 Ayat (3) Huruf a dan Huruf fjuncto Pasal 117 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penye-lenggara Pemilihan Umum yang memberi kewenangan bagiKPU untuk membuat pengaturan atau regulasi dalamrangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Secarateori, alternatif peraturan KPU ini sejalan dengan konsepkomisi sebagai lembaga negara independen, yang salah satuciri utamanya berwenang mengeluarkan aturan sendiriterkait dengan tugas dan kewenangan konstitusionalnya (selfregulatory body).

Page 148: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

134

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Apa pun baju hukum yang dipilih, substansi rinciancalon kepala daerah perseorangan dapat mengacu Pasal 68Ayat (1) UU Pemerintahan Aceh. Pasal itu mengatur, calonperseorangan didukung ”sekurang-kurangnya 3 persen darijumlah penduduk tersebar di sekurang-kurangnya 50 persendari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur dan 50 persen dari jumlah kecamatan untukpemilihan bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil walikota”. Sebagai perbandingan, dukungan dan populasijumlah penduduk itu pula yang menjadi dasar pencalonananggota Dewan Perwakilan Daerah, yang maju sebagaianggota parlemen dari unsur perseorangan.

Relasi eksekutif-legislatifMasalah lain yang akan dihadapi calon perseorangan

adalah efektivitas pemerintahan saat menjadi kepala daerah.Meski bukan dari unsur parpol, calon kepala daerahperseorangan tetap membutuhkan dukungan parpol jikaingin efektif melaksanakan program kerja pemerintahan.Maka, akomodasi dan kompromi politik akan menjadikeseharian relasi DPRD dengan kepala daerah perseorangan.Rakyat pemilih mungkin melihat kompromi ini sebagaibentuk pengkhianatan atas independensi dari kepala daerahperseorangan. Inilah dilema yang akan dihadapi kepaladaerah perseorangan terpilih: menjamin efektivitas peme-rintahan, tanpa kehilangan mandat independensi perse-orangan.

Karena itu, pada masa depan, makna independensi calonkepala daerah harus diredefinisi. Dari makna lawan tandingdari calon parpol menjadi kemandirian dari segala bentukintervensi yang berjarak dengan mandat kesejahteraan

Page 149: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

135

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

rakyat. Ini seiring upaya revolusioner demokratisasi parpol,definisi independensi tidak hanya monopoli calon per-seorangan, tetapi juga milik calon parpol. Bukankah calonperseorangan maupun parpol seharusnya sama-sama ber-kiprah untuk mewujudkan Indonesia lebih sejahtera?

Page 150: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

136

MAHKAMAH Agung kembali menunjukkan kinerjayang aneh bin ajaib. Tiga hakim agungnya keblinger

dalam memutuskan sengketa hasil pemilihan kepala daerahdi Sulawesi Selatan. Meski perlu dicatat, dua hakim agungmemberikan pendapat yang berbeda.

Putusan MA memerintahkan KPUD Sulsel mengulangpilkada di empat kabupaten, yakni Gowa, Bantaeng, Bone,dan Tana Toraja. Putusan demikian jelas harus ditolak, dandilakukan upaya hukum luar biasa: peninjauan kembali(PK) di MA.

Hilangkan kewenangan MAPutusan tersebut bukan saja melampaui kewenangan

MA, tetapi lebih jauh justru menghilangkan kewenanganeksklusif MA dalam memutuskan sengketa hasil pilkada.Pasal 106 Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU

MENOLAK PILKADAULANG SULSEL

Page 151: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

137

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Pemda) secara jelas memberikan kewenangan kepada MAuntuk menjadi forum previlegiatum, peradilan tingkatpertama dan terakhir. Artinya, hukum memberikan ke-wenangan terhormat kepada MA untuk menentukan suaraterbanyak pemenang pilkada, dalam hal terjadi sengketa.

MA dalam sengketa pilkada adalah wasit terakhirpenentu pemenang. Dengan memerintahkan pilkada ulang,MA tidak hanya melepaskan kewenangan wasit eksklusiftersebut, bahkan memperpanjang proses pilkada, yangsejatinya harus dibuat cepat dan singkat dengan peradilansatu tingkat pertama dan terakhir. Lebih jauh, bukan hanyaprinsip sengketa pemilu yang cepat dan singkat yangdinafikan MA, tetapi juga perpanjangan potensi konflikantarpemilih serta pemborosan biaya pilkada.

Apalagi pilkada ulang pada aras kabupaten jelas-jelastidak mempunyai dasar menurut UU Pemda. Yang diakuihanyalah penghitungan ulang, itu pun hanya pada tempatpemungutan suara (TPS) yang dianggap bermasalah, tidak disemua kabupaten. Terminologi ”pilkada ulang” yang digu-nakan putusan MA pun nyata-nyata menunjukkan lemah-nya pemahaman ketiga hakim agung atas konsep pilkada.Karena pilkada ulang berarti seluruh proses pilkada-bahkanpenetapan calon kepala daerah-juga harus diulang, sesuatuyang sewajibnya bukan maksud putusan MA tersebut.

PK sebagai solusi terbaikNasi sudah menjadi bubur, putusan MA yang amat keliru

sudah dikeluarkan. Saya berpendapat ada tiga upayahukum yang tersedia: melakukan pilkada ulang, sesuaiputusan MA; mengajukan sengketa kewenangan antar-lembaga negara antara MA dan KPUD Sulsel di hadapan

Page 152: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

138

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

meja merah Mahkamah Konstitusi (MK); dan melakukanupaya hukum luar biasa peninjauan kembali di MA.

Sebenarnya, tidak ada upaya hukum yang benar-benartepat karena sejatinya putusan MA seharusnya final andbinding. Tetapi karena MA sendiri memerintahkan pilkadaulang, berarti prinsip peradilan tingkat pertama dan terakhiritu telah dilanggar oleh MA sendiri, dengan tidak secara tegasmenentukan pemenang pilkada. Pertanyaan sederhananya:bukankah jika pilkada ulang dilaksanakan, tetap adapotensi pihak yang tidak puas akan mengajukan keberatanlagi ke MA? Lalu kapan selesainya proses pilkada jika logikakeblinger pilkada ulang dipatuhi?

Lebih jauh, alternatif pilkada ulang juga harus ditolakkarena akan membuka kotak pandora pilkada ulang dimayoritas pelaksanaan pilkada. Jika pilkada ulang di Sulseldipatuhi, maka ke depan, setiap ada sengketa pilkada, sayayakin pihak yang berkeberatan akan meminta pilkada ulangke MA. Akibatnya, proses pilkada akan terjebak pada prosestanpa akhir. Karena itu, kotak pandora pilkada ulang yangtelah dibuka lewat putusan MA tentang Pilkada Sulsel harussegera ditutup kembali.

Alternatif kedua, dengan mengajukan sengketa kewe-nangan antara MA dan KPUD Sulsel di MK, bukan pulapilihan yang tepat. Salah satunya karena berdasarkan UUMK dan Peraturan MK, MA tidak dapat menjadi pihakdalam sengketa kewenangan di MK. MA hanya bisa ber-sengketa dalam hal yang tidak berkait dengan persoalanyustisial. Maknanya, putusan MA tentang Pilkada Sulsel—yang jelas berkait dengan proses peradilan—seharusnyatidak boleh dijadikan obyek sengketa di hadapan MK.

Page 153: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

139

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Saya menolak putusan MA dibawa ke MK untuk diujikarena akan meletakkan posisi MA menjadi di bawah MK,suatu desain yang keliru dalam memaknai relasi antara MAdan MK yang seharusnya berbagi peran antara court ofjustice dan court of law, tanpa salah satu lebih superiordibandingkan yang lain.

Alternatif ketiga, dengan mengajukan upaya hukum luarbiasa PK, adalah alternatif yang paling less evil, paling kecilmudaratnya. Satu-satunya konsep yang berpotensi terlanggaradalah teori putusan MA yang seharusnya final dan mengikat.Namun, sebagaimana diuraikan di atas, justru dengan meme-rintahkan pilkada ulang, MA telah menabrak prinsip pu-tusannya menjadi penentu terakhir pemenang pilkada.

Karena itu, upaya PK harus dimaknai sebagai langkahpenyelamatan untuk mengembalikan kewenangan eksklusifMA sebagai wasit terakhir yang menentukan pemenangpilkada, dalam hal terjadi sengketa hasil. Apalagi, tentangpengajuan PK dalam sengketa pilkada telah ada yuris-prudensinya, yaitu dalam pemeriksaan Pilkada Depok.Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang bersifat final,diajukan upaya PK dan diterima oleh MA.

KPUD Sulsel harus segera mengajukan PK, dan MAsewajibnya segera mengeluarkan putusan yang final danmengikat, dengan menentukan pemenang Pilkada Sulsel.Gubernur Sulsel definitif harus segera ditetapkan.

MA berkesempatan dan mempunyai kewajiban konsti-tusional untuk mengeluarkan putusan peninjauan kembaliyang meminimalkan potensi konflik dan mempercepatberjalannya roda pemerintahan menuju kesejahteraan rak-yat Sulsel. Segera ajukan peninjauan kembali, tolak pilkadaulang di Sulsel.

Page 154: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

140

PARTAI politik lokal kembali menjadi diskusi hangatseiring dengan perundingan damai antara Indonesia dan

Gerakan Aceh Merdeka. Dari sisi hukum ketatanegaraan,apakah parpol lokal dapat hadir di Aceh?

Tidak tegasUUD 1945 mengatur kebebasan berserikat dan ber-

kumpul, ditetapkan dengan undang-undang. Berkaitandengan partai politik, kebebasan berserikat diatur dalam UUNomor 31 Tahun 2002.

Tentang parpol lokal, UU Parpol tidak secara tegasmelarangnya. Namun, bukan berarti UU Parpol mengizin-kan parpol lokal. Syarat terdaftarnya parpol di DepartemenHukum dan HAM, misalnya, adalah ”mempunyai kepengu-rusan sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah provinsi,50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada tiap provinsi

PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH

Page 155: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

141

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah kecamatanpada tiap kabupaten/kota bersangkutan”.

Kesimpulannya, keberadaan parpol lokal tidak sejalandengan UU Parpol, meski tidak pula dilarang secara tegas.

Ketidaktegasan sikap terhadap parpol lokal juga terlihatdalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagiPapua. Pasal 28 UU itu mengatur, penduduk Papua ”dapat”membentuk partai politik.

Dibaca sekilas, pasal itu seakan membuka pintu hadir-nya parpol lokal. Namun, bagi Laurence Sullivan dalamtulisan Local Political Parties, Pasal 28 adalah contohkesekian ”pasal kosong” dalam aturan perundangan kita.

Tidak tegasnya dukungan atas parpol lokal di Papuakian jelas jika UU itu dibandingkan dengan RUU-nya. Pasal25 RUU Otonomi Khusus Papua menegaskan, pendudukPapua berhak membentuk partai politik lokal; partai politiklokal dan partai politik nasional memiliki hak dan kewa-jiban sama, memperoleh perlakuan sama dari pemerintahprovinsi.

Urgensi parpol lokalParpol lokal adalah partai berbasis di daerah, untuk

kepentingan daerah, dan terlibat dalam proses politikdaerah. Kekuatan parpol lokal adalah kedekatan dengankonstituen. Karena itu, di AS, menurut Joe Garecht, parpollokal adalah backbone of the American political system.

Di Indonesia, pemikiran tentang perlunya parpol lokal didorong beberapa hal. Di ranah nasional, karena rendahnyacitra partai di mata publik, sedangkan secara lokal, karenadiadopsinya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung(pilkada).

Page 156: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

142

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerahmenegaskan, kepala dan wakil kepala daerah dipilih dalamsatu pasangan calon yang diajukan parpol atau gabunganparpol. Sebagian pihak berpikir, karena pilkada, seharusnyapeluang hidup parpol lokal lebih tinggi. Namun, pemikiranitu tidak didukung ketentuan UU Parpol, seperti diuraikan,lebih mengadopsi pengakuan parpol nasional, tidak lokal.

Di beberapa negaraPartai lokal yang ada di beberapa negara Eropa biasanya

berkaitan dengan upaya memerdekakan diri. Di Jerman,Bavarian-only party, the Christian Social Union, telahmemerintah wilayah Bavaria selama beberapa tahun, bah-kan telah bergabung dalam pemerintahan koalisi di tingkatnasional. Di Finlandia, parpol lokal dibentuk untuk mem-proteksi minoritas etnis Swedish. Di Spanyol, parpol lokalyang besar, Catalonia, the Basque lands, dan Galicia, jelasmenuntut kemerdekaan.

Berkaitan dengan parpol lokal yang menuntut kemer-dekaan, Pasal 4 Konstitusi Perancis menegaskan tiap parpolwajib menjunjung kedaulatan nasional. Karena itu, padatahun 1970-an Conseil d’Etat (pengadilan administratif)mendukung dibubarkannya partai yang hanya bertujuanmenuntut kemerdekaan. Di Kanada, Quebec—provinsi yangpenduduknya berbahasa Perancis—mempunyai parpol lokal,the Parti Quebecois, yang jelas mempunyai agenda memer-dekakan Quebec. The Parti Quebecois memenangi pemiludan membentuk pemerintahan di Quebec tahun 1976-1985dan 1994-2003.

Page 157: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

143

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Parpol lokal-kemerdekaanBerdasarkan pengalaman negara itu, secara umum parpol

lokal berdasarkan tujuannya dapat dikelompokkan menjadiparpol yang mengadvokasi hak-hak minoritas, menegaskanotonomi daerah dan memerdekakan diri.

Kembali ke masalah utama, dapat disimpulkan, parpollokal Aceh tidak didukung kehadirannya berdasarkan UUParpol. Meski demikian, bukan berarti parpol lokal tidakmungkin hadir. Secara konstitusi, tidak ada larangan parpollokal muncul. Berhubung dengan kebebasan berserikat danberkumpul dapat dibangun argumen, parpol lokal seha-rusnya dapat berdiri dan tiap aturan yang melarangpendirian parpol lokal di tingkat UU dapat diajukanconstitutional review ke Mahkamah Konstitusi.

Akhirnya, persoalan utama parpol lokal di Aceh bukanpada hambatan yuridis, tetapi politis, yaitu berkaitandengan tabrakan antara ide parpol lokal dan konsep negarakesatuan. Contoh empirik itu menunjukkan parpol lokallebih banyak dipraktikkan negara federal. Banyaknyaparpol lokal yang memperjuangkan kemerdekaan daerah-nya merupakan alasan utama mengapa parpol lokal di Acehmenjadi konsep yang sulit diterima.

Page 158: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

144

HANYA satu hal yang pasti dalam pemilihan kepaladaerah: mahal! Dalam hal-hal lainnya, konsep pilkada

serba tanggung dan tidak jelas: neither meat, nor fish.Ketidakjelasan itu terutama karena pilkada bukan konsepyang lahir dengan perencanaan yang matang (by design),tetapi lebih sebagai konsep kecelakaan (by accident). Pu-tusan terakhir dari Mahkamah Konstitusi tentang Pilkadamemperpanjang kecelakaan konsep pilkada itu, setelahsebelumnya kecelakaan dilakukan MPR dan DPR.

Kecelakaan Konstitusi oleh MPR. Semuanya berawaldari kecelakaan di tingkat UUD 1945. Ketidakjelasanpilkada adalah contoh nyata kelemahan proses perubahankonstitusi yang parsial dan tidak terarah. Risalah rapat-rapatPanitia Ad Hoc I MPR (1999-2000) membuktikan, ide pilkadadilakukan secara langsung sebenarnya sudah muncul.

PILKADA,”NEITHER MEAT, NOR FISH”

Page 159: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

145

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Namun, rumusan pilkada langsung tidak berhasil dise-pakati karena belum disetujuinya pemilihan presiden (pil-pres) langsung. Akhirnya, dalam Perubahan Kedua UUD1945—Bab Pemerintahan Daerah, Pasal 18 Ayat (4)—lahirlah satu rumusan kompromistis, kepala daerah akan”dipilih secara demokratis”. Artinya, peluang pilkada lang-sung tidak ditutup rapat, tetapi tidak juga dibuka lebar:neither meat, nor fish.

Akhirnya, setelah pilpres langsung disepakati dalamPerubahan Ketiga tahun 2001, dan dipertegas dalam Per-ubahan Keempat tahun 2002, rumusan kompromistis pil-kada itu tidak juga diperjelas. Ketidakjelasan itu terkaitdengan kesepakatan tidak tertulis di antara fraksi-fraksiMPR bahwa proses perubahan UUD 1945 selanjutnya tidakakan mengubah amandemen yang telah terjadi sebelumnya.

Artinya, Perubahan Kedua tentang Pilkada tidak akandiubah lagi dalam Perubahan Ketiga atau Keempat. MPRkhawatir: jika dibuka peluang untuk mengubah lagi, tidakhanya masalah pilkada, tetapi semua perubahan awal dapatdianulir oleh perubahan-perubahan sesudahnya.

Terlebih, konsep pilkada ”dipilih secara demokratis”tidak selalu berarti pemilu langsung oleh rakyat, namundapat melalui pemilihan oleh DPR Daerah. Karena itu,pilkada tetap ditempatkan dalam Bab Pemda, tidak ditarikke Bab Pemilu. Penempatan itu bukan karena kesadaranMPR, tetapi lebih karena pilkada sudah terlanjur by accidentdikompromikan akan ”dipilih secara demokratis”.

Legislasi balas dendam DPRKecelakaan di tingkat konstitusi itulah yang mem-

perbesar peluang aturan pilkada menjadi lahan proyek

Page 160: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

146

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

politik ketika diturunkan ke dalam regulasi yang lebihrendah. Berpegang pada aturan Pasal 22E Ayat (2) UUD1945, ketika menyusun aturan pilkada dalam UU No 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, DPR berar-gumen, pilkada bukanlah Pemilu. Karena itu, KomisiPemilihan Umum tidak berwenang menyelenggarakannya.

Namun, anehnya, DPR tetap memberikan tugas pelak-sanaan pilkada kepada KPU daerah yang secara strukturseharusnya di bawah KPU. Logika demikian jelas rancukarena mengatakan: pilkada bukan pemilu, tetapi dilak-sanakan oleh komisi pemilu daerah. Inilah kecelakaanregulasi oleh DPR, yang memperpanjang konsep pilkadayang tidak jelas: neither meat, nor fish.

Lebih jauh, tidak dilibatkannya KPU oleh DPR sebe-narnya bukan murni karena desain pilkada sebagai rezimpemda, tetapi lebih karena atmosfer kebencian DPR kepadaKPU. Unsur kebencian itu lahir karena banyaknya kepen-tingan partai politik yang tidak diakomodasi oleh kepu-tusan-keputusan KPU dalam pelaksanaan pemilu legislatifmaupun eksekutif di tahun 2004.

Kebencian itulah yang disalurkan melalui UU 32 Tahun2004 yang memotong kewenangan KPU sehingga hanyaterbatas pada pemilu di tingkat nasional, dan tidak di tingkatlokal. Tegasnya, UU 32 Tahun 2004 merupakan hasil politikbalas dendam DPR yang tidak berwenang mengubah kom-posisi keanggotaan KPU, tetapi berkesempatan menyunatkewenangan KPU melalui proses legislasi.

Putusan cari selamat MKKetidakjelasan konsep pilkada dan politik balas dendam

DPR kepada KPU itu sebenarnya berpeluang untuk dilurus-

Page 161: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

147

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

kan ketika UU 32 tahun 2004 diujimaterialkan di hadapanmeja merah MK. Sayang, alih-alih memperjelas, putusanMK-pun terjebak pada ketidakjelasan konsep pilkada.Putusan Nomor 72-73 tahun 2004 tentang Pilkada, yangmengabulkan sebagian tuntutan pemohon, tidak menye-lesaikan problematika paradigma pilkada. Putusan MK jugaterkena sindrom neither meat, nor fish.

Menyangkut persoalan apakah pilkada termasuk rezimpemda atau rezim pemilu, putusan MK hadir dengan bahasabersayap, ”Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategoripemilihan umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22EUUD 1945. Namun demikian pilkada langsung adalahpemilihan umum secara materiil untuk mengimplemen-tasikan Pasal 18 UUD 1945”. Bahasa pertimbangan hukumMK ini jelas mengundang multi interpretasi. Ini adalahpertimbangan hukum yang tidak tegas dan cari selamat.

Menyangkut pelaksanaan pilkada oleh KPU daerah-bukan KPU-MK juga memberikan putusan yang malu-malukucing. Pertimbangan hukum putusan MK menganjurkan,”pembuat undang- undang dapat dan memang sebaiknyapada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimanadimaksud Pasal 22E UUD 1945 sebagai penyelenggarapilkada langsung”.

Pada bagian lain MK mengatakan, ”dalam hal kewe-nangan yang berkait dengan masalah internal KPU denganKPU provinsi, dan kabupaten/kota tetap ada secara hierar-kis, sehingga KPU wajib melakukan tugas-tugas koordinasidan supervisi untuk lebih memberdayakan kinerja KPUprovinsi dan kabupaten/kota”.

Dua pertimbangan hukum MK itu sebenarnya memberiarahan, KPU seharusnya menjadi penyelenggara pilkada.

Page 162: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

148

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Sayang, MK mengambil sikap pasif dan melemparkan bolaapi pengambilan keputusan ke tangan pembuat undang-undang: Presiden dan DPR. Konsekuensinya, putusan cariselamat MK menjadi tidak bergigi: neither meat, nor fish.

Metode interpretasiPutusan MK yang serba tanggung itu tidak dapat diklasi-

fikasikan sebagai konservatif, juga masih jauh untuk dikate-gorikan progresif. Menurut Chester James Antieau, gurubesar Hukum Tata Negara dari Georgetown University,dalam buku Adjudicating Constitutional Issues (1985), adalima metode penginterpretasian konstitusi: (1) literal danlegalistik, (2) kaku dan dangkal, (3) progresif, (4) purposifatau berdasar maksud pembuat konstitusi, dan (5) liberal.Suatu keputusan pengujian konstitusi sebaiknya tegas me-ngambil salah satu paradigma metode interpretasi konstitusi,misalnya kaku-legalistik ataukah progresif-liberal. PutusanMK tentang Pilkada tidak tegas mengambil salah satuparadigma interpretasi itu, dan hanya menggabungkanpendekatan literal sekaligus progresif, suatu metode peng-gabungan interpretasi yang absurd dan memperpanjangketidakjelasan konsep pilkada.

Padahal, guna mengakhiri kecelakaan konsep pilkada,diperlukan MK yang berani tegas guna mengawal konstitusi.Menggunakan metode literal akan dicap ketinggalan zaman,sebagaimana menggunakan metode progresif akan dicapkebablasan. Namun, ketegasan sikap itu akan menghadir-kan MK yang lebih jelas jenis kelamin dan pendiriannya,bukan MK yang hanya ”cari selamat”.

Kalau putusan hukum MK pun sudah mulai kompro-mistis, seperti kebanyakan penyusunan perundangan oleh

Page 163: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

149

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

lembaga politik, MK akan terperosok pada penyakit bangsaini yang selalu ragu dalam mengambil keputusan danakhirnya memilih jalan tengah yang seakan aman, padahalmembahayakan.

Ke depan, konsep pilkada dan putusan MK harus tegasbersikap: either meat, or fish.

Page 164: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

150

HUKUM yang adil menumbuhkembangkan demokrasi.Sebaliknya, hukum yang korup menikam mati demo-

krasi. Di manakah posisi putusan Pengadilan Tinggi JawaBarat dalam Pilkada Depok? Apakah ia penjelmaan malaikatpeniup roh kehidupan atau malaikat pencabut maut demo-krasi?

Untuk menilai putusan itu, ada beberapa aturan hukumberkait pemilihan kepala daerah (pilkada), yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah (PP)Nomor 6 Tahun 2005, dan Peraturan Mahkamah Agung(Perma) Nomor 2 Tahun 2005.

Alasan mengada-adaBerdasar ketiga aturan itu, saya berpendapat, putusan PT

Jabar-yang mengabulkan permohonan keberatan pasangan

PUTUSAN PILKADA DEPOKBATAL DEMI HUKUM

Page 165: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

151

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Badrul Kamal (Pemohon Keberatan) dan membatalkan hasilpenghitungan suara yang ditetapkan KPU Depok-harusbatal demi hukum. Argumentasi saya:

Pertama, putusan itu cacat hukum secara formal danmaterial. Hukum formal adalah tata cara bagaimana seha-rusnya persidangan dilakukan, sedangkan hukum materialadalah aturan yang menjadi pegangan dalam menilaisubstansi keberatan pemohon.

Secara formal, putusan itu dikeluarkan melewati batasanwaktu sebagaimana diatur dalam ketiga aturan itu. Padaprinsipnya masing-masing aturan mengatakan, putusanharus dikeluarkan paling lambat 14 hari sejak permohonankeberatan didaftarkan.

Kenyataannya, penetapan KPUD tentang hasil peng-hitungan suara Pilkada Depok adalah Kamis (7/7/2005) danpermohonan keberatan Badrul Kamal terdaftar di pe-ngadilan hari Senin (11/7/2005). Karena ”hari” menurutPasal 1 Ayat (3) Perma No 2/2005 adalah ”hari kerja”, makaputusan PT Jabar seharusnya dikeluarkan paling lambat 29Juli 2005. Faktanya, putusan PT Jabar baru dikeluarkan 4Agustus 2005. Artinya, nyata-nyata ada keterlambatan empathari dari batas waktu yang diatur dalam peraturan perun-dangan. Keterlambatan itu jelas melanggar undang-undang.Karena itu, putusan PT Jabar harus batal demi hukum.

Alasan yang dikemukakan Ketua Majelis Hakim, keter-lambatan disebabkan jauhnya jarak antara PengadilanNegeri Cibinong-tempat pertama kali permohonan kebe-ratan didaftarkan—dan PT Jabar adalah alasan yang terlalumengada—ada. Kalaupun jarak Cibinong-Bandung jauh,keterlambatan putusan selama empat hari tetap tidak dapatditolerir. Apalagi senyatanya, permohonan itu sudah

Page 166: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

152

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

diterima PT Jabar pada 12 Juli 2005, selang satu hari sejakterdaftar di PN Cibinong.

Kalaupun waktu 14 hari dianggap tidak cukup, makaseharusnya berdasar hukum, PT Jabar harus mengeluarkanputusan paling lambat 29 Juli 2005. Keluarnya putusan ituwajib dilakukan meski pemeriksaan di pengadilan belumselesai seluruhnya. Apalagi waktu 14 hari seharusnyamencukupi.

Dalam sengketa hasil Pemilihan Presiden 2004, Mah-kamah Konstitusi yang memeriksa wilayah pemilihan diseluruh Indonesia saja mampu mengeluarkan putusan dalamrentang waktu 14 hari. Maka, menjadi amat tidak wajar jikaPT Jabar membutuhkan waktu lebih dari 14 hari untukmemeriksa daerah pemilihan yang hanya mencakup wilayahDepok.

Pembuktian janggalKedua, secara materiil, putusan PT Bandung penuh

dengan pembuktian yang janggal. Misalnya putusan suaraBadrul Kamal yang digembosi lebih dari 60.000 suara, hanyadidasarkan pada keterangan beberapa saksi dan pernyataantertulis dari kubu Badrul Kamal.

Bagaimana mungkin pernyataan beberapa orang bisamenjadi dasar hilangnya 60.000 suara Badrul? Pernyataanbeberapa saksi kubu Badrul jugalah yang mendasari pu-tusan bahwa suara pasangan Nurmahmudi telah dige-lembungkan lebih dari 26.000 suara.

Di media massa, Ketua Majelis Hakim percaya kete-rangan para saksi karena mereka telah disumpah. Per-nyataan yang terkesan lugu itu sebenarnya pisau bermatadua karena mengandung sifat tidak bertanggung jawab,

Page 167: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

153

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

khususnya bagi hakim yang seharusnya kritis mempertanya-kan kebenaran keterangan saksi, tidak begitu saja percayaatas saksi-saksi Badrul yang tentu bertujuan memenangkanpasangan yang mereka dukung.

Akhirnya putusan pengadilan tinggi menurut aturanhukum bersifat final, artinya tidak memungkinkan upayahukum lain. Tetapi karena waktu dikeluarkannya putusansudah terlambat alias kedaluwarsa, maka MA harus me-nyatakan putusan itu batal demi hukum. Putusan batal MAitu tidak menyangkut putusan PT Bandung karena MA tidakberwenang memeriksanya lagi. Pembatalan lebih sebagaifungsi pengawasan MA atas kinerja pengadilan-pengadilandi bawahnya, suatu fungsi yang diberikan oleh UU Mah-kamah Agung.

Majelis hakim kasus ini juga harus segera diperiksaKomisi Yudisial sebab putusan yang amburadul biasanyadisebabkan dua hal. Pertama, karena semata-mata ke-kurangcakapan sang hakim dalam memahami kasus hukumyang ditangani.

Kedua, karena persoalan integritas-moralitas sang hakimyang mudah ”tergoda”. Praktik mafia peradilan inilah yangselalu menyebabkan aparat penegak hukum berubah men-jadi malaikat maut pencabut roh keadilan.

Page 168: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

154

HUKUM 2004 eksistensinya antara (ti)ada dan tiada.Maraknya agenda Pemilu 2004 menyebabkan nasib

hukum yang sudah lama marjinal akan semakin terping-girkan. Hingga April 2004, jagat Indonesia akan lebihterfokus pada pemilu legislatif untuk memilih anggota DPRtingkat pusat dan daerah serta anggota DPD. Setelah itu,hingga Oktober 2004, pemilu presiden akan menyita per-hatian.

Panjangnya waktu pemilu akan menghentikan kehi-dupan sektor lain selain politik. Tidak hanya kehidupanhukum, bidang ekonomi juga akan menjadi agenda ”sam-bilan”. Tidak aneh jika di masa datang akan munculpemikiran untuk memperpendek rentang waktu pemilu.

Bagaimana nasib reformasi hukum setelah Pemilu 2004?Disertasi Moh Mahfud menyimpulkan, konfigurasi politik

PEMILU 2004DAN REFORMASI HUKUM

Page 169: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

155

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

akan mempengaruhi produk hukum. Konfigurasi politikyang demokratis akan menghasilkan produk hukum yangdemokratis, begitu sebaliknya. Sebagai faktor penentukonfigurasi politik di legislatif dan eksekutif, Pemilu 2004akan menentukan bagaimana wajah hukum pascatahun2004.

KITA boleh berharap terhadap pemilu legislatif, namunhasil Pemilu 2004 amat mungkin melahirkan kekecewaan.Tiga faktor hukum-politik berikut menyebabkan saya mem-beri prediksi pesimistis.

Pertama, rekayasa hukum (legal engineering) meng-hasilkan perundang-undangan pemilu yang relatif melang-gengkan kekuatan antireformasi di legislatif. Dalam pemiluanggota DPR, misalnya, kontrol kuat elite partai yangdimungkinkan UU pemilu menyebabkan sistem propor-sional dengan daftar calon terbuka hanya berlaku dalamteori, namun berpotensi mandul dalam praktik. Sahnya,suatu suara jika pemilih hanya memilih lambang partai,mengakibatkan elite partai akan cenderung mengampanye-kan pemilih untuk tidak perlu bersusah payah memilih namacalon anggota DPR. Konsekuensinya, urutan nomor calegkembali menentukan. Sejarah buruk akan berulang: anggotaDPR akan lebih patuh kepada elite partai dan melupakanaspirasi masyarakat pemilihnya. Terlebih lagi, kekuatankontrol partai kian nyata dengan dihidupkannya lagilembaga recall yang memungkinkan partai mengusulkanpemberhentian anggota DPR.

Kedua, beberapa lembaga penelitian yang melakukanprediksi hasil pemilu—dengan penelitian yang relatif terjaga

Page 170: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

156

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

metodologinya—merekam tidak akan ada pergeseran berartidari hasil pemilu legislatif dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Partai-partai Orde Baru (Orba) masihakan memenangkan Pemilu 2004. Posisi pertama masih akandiisi PDI-P dengan kemungkinan hanya Partai Golkar yangdapat menggeser partai yang di nakhodai Megawati Soe-karnoputri itu. Kemenangan Golkar terutama jika penyakit”SARS” (Sindrom Akut Rindu Soeharto) kian menyebar dikalangan pemilih.

Ketiga, di sisi lain, hasil pemilu DPD juga sulit mem-bangkitkan optimisme. DPD yang secara konstitusi meru-pakan kamar parlemen yang tidak bergigi akan kian lemahkarena diisi personal yang antireformasi. Media massabanyak memberitakan calon-calon anggota DPD didominasimantan pejabat Orba.

Perpaduan antara kontrol elite partai dan kemenanganpartai warisan Orba ditambah dominasi anggota DPD yangberbau Orba melahirkan konfigurasi politik di legislatif yangcenderung mereinkarnasi hukum represif dan kolutif.

Pemilihan langsung presiden dan wakil presiden lebihsulit diprediksi hasilnya. Yang jelas, upaya untuk mere-kayasa pemilihan presiden sudah dilakukan sejak awal olehpartai politik pemenang Pemilu 1999. Perubahan KetigaUUD 1945, yang mensyaratkan hanya partai atau koalisipartai yang dapat mencalonkan kandidat presiden, adalahsalah satu bentuk rekayasa hukum. Akibatnya, kesempatanlahirnya calon independen sekaliber Nurcholish Madjidmenjadi relatif mustahil.

Rekayasa politik selanjutnya sudah mulai tampak mela-lui upaya koalisi partai-partai. Koalisi ini diarahkan agardapat menggiring suara pemilih. Salah satu faktor yang akan

Page 171: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

157

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

menentukan bentuk koalisi adalah hasil pemilu legislatif.Saya melihat dua skenario berikut amat mungkin menjadihasil pemilihan presiden.

Skenario pertama, jika PDI-P memenangkan pemilulegislatif, koalisi dengan Partai Golkar relatif terbuka. Salahsatunya karena Akbar Tandjung pernah menyatakan, jikatidak memenangkan pemilu legislatif, calon presiden Golkarharus siap hanya menjadi wakil presiden. Berdasarkan suaraPemilu 1999, koalisi PDI-P dan Golkar akan melahirkanpemerintahan stabil karena didukung kursi mayoritas diparlemen. Apalagi bila ke dalam koalisi juga bergabung PPP.Maka, akan lahir the winning team bagi pertarunganpemilihan presiden. Terutama, jika suara rakyat betul-betulsejalan dengan skenario koalisi elite partai-partai Orba.Dalam konteks inilah, menjadi pertanyaan, apakah pemilihPPP yang relatif Islam tradisional dapat diarahkan untukmemilih Megawati dibandingkan dengan calon presiden daripartai Islam.

Pembagian posisi yang ditawarkan, misalnya, Megawatimenjadi presiden, salah satu dari ”tujuh calon presiden”Golkar menjadi wakil presiden, dan Hamzah Haz menjadiKetua MPR atau DPR. Ke dalam koalisi ini akan menarikuntuk melihat akan mendapat posisi apakah Tandjung.Karena kasus korupsi yang melilitnya, Tandjung adalah”kartu mati”. Jika MA memutuskan Tandjung adalah korup-tor, karier politik Tandjung berakhir. Satu-satunya peluangyang tersisa adalah upaya hukum peninjauan kembali.Namun, upaya ini pun tidak akan menghidupkan peluangTandjung bertarung dalam Pemilihan Presiden 2004.

Meski MA memutuskan untuk membebaskan Tandjung,memori pemilih sudah terbentuk. Tandjung adalah ko-

Page 172: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

158

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

ruptor-ditambah ketidakpercayaan terhadap sistem per-adilan yang korup-menyebabkan duet Megawati-Tandjungrelatif lebih sulit memenangkan pertarungan dibandingkandengan jika Megawati berpasangan dengan calon lain dariGolkar. Pengalaman 2001 menunjukkan, Megawati lebihmemilih Hamzah ketimbang Tandjung untuk mendam-pinginya menjadi wakil presiden. Sedangkan untuk mem-berikan posisi Ketua MPR, DPR, atau DPD kepada Tandjungjuga sudah tertutup karena Tandjung bukan calon anggotalegislatif dari Partai Golkar.

Yang jelas, apa pun komposisi pembagian posisinya,koalisi tiga partai Orba di eksekutif—juga di legislatif—akanmereinkarnasi konfigurasi politik otoriter. Pemerintahankoalisi yang didukung mayoritas suara di parlemen, jikalanggeng dan solid, akan cenderung melahirkan produkhukum yang represif.

Skenario kedua, jika Partai Golkar memenangkan pe-milu legislatif, pertarungan kubu Golkar dengan PDI-Puntuk memperebutkan kursi RI 1 tidak terhindarkan. Ske-nario ini, karenanya lebih baik bagi nasib reformasi, sebabsuara pemilih partai-partai warisan Orba akan terpolarisasiketimbang terkonsolidasi.

Namun, bagi reformasi hukum, skenario kedua ini belumtentu berarti nasib baik. Kalaupun kubu reformis dapatmerebut kursi kepresidenan, yang hampir pasti terjadiadalah pemerintahan terbelah (split government) atau presi-den minoritas. Yaitu, pemerintahan eksekutif yang tidakdidukung kursi mayoritas di parlemen. Artinya, kebijakan-kebijakan hukum—dan bidang-bidang lainnya—dari ekse-kutif akan cenderung terbentur lawan-lawan politiknya diparlemen.

Page 173: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

159

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah contoh pre-siden minoritas. Nasibnya lebih tragis karena tak hanyapemerintahannya gagal melaksanakan agenda reformasihukum, tetapi ia sendiri justru dimakzulkan dari kursikepresidenan. Meski presiden mendatang relatif sulit dipecatkarena mekanisme pemakzulan presiden sudah jauh lebihsulit berdasar Perubahan Ketiga UUD 1945, potensi mun-culnya presiden minoritas tetap bukan kabar baik bagireformasi hukum.

KESIMPULANNYA, dengan masih berpotensi menang-nya partai dan orang-orang Orba pada pemilu DPR danDPD, Pemilu 2004 masih akan melahirkan konfigurasipolitik antireformasi di parlemen. Dalam pemilu presiden,kecenderungan melahirkan konfigurasi politik otoriter jugatak kecil kemungkinannya, terutama jika kursi RI 1 dime-nangkan koalisi antireformasi, koalisi partai-partai warisanOrba.

Harapan maksimal reformasi hukum hanya berhasildirebutnya kursi kepresidenan oleh kelompok yang masihpeduli agenda reformasi. Namun, kemenangan kelompokreformis kemungkinan akan melahirkan pemerintahan yangtidak efektif karena tidak didukung suara mayoritas diparlemen.

Kecuali sang presiden terpilih yang berintegritas-moraltinggi dapat membangun koalisi partai di parlemen yangmayoritas, solid, dan pro perbaikan total; reformasi hukummasih akan menjadi impian. Akibatnya, Indonesia pasca-Pemilu 2004 tetap menjadi surga bagi mafia peradilan, bagikoruptor.

Page 174: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

160

TIDAK banyak yang menyadari bahwa pemilihan umumpresiden putaran pertama memasuki masa kritis, paling

tidak dari kacamata hukum. Meski Komisi Pemilihan Umumsudah menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Mega-wati Soekarnoputri sebagai pasangan yang akan bertarungdi putaran kedua, pertarungan putaran pertama masihbelum sepenuhnya usai.

Bahkan, jika kita salah melangkah, bukan mustahilpemilihan umum presiden (pilpres) 5 Juli 2004 yang ber-langsung relatif aman dan damai akan berujung pada krisiskonstitusi, atau bahkan konflik sosial. Kemungkinan adanyakrisis tersebut berpangkal pada tuntutan kubu calon pre-siden Wiranto yang meminta penghitungan ulang seluruhsuara secara manual di semua tingkatan tempat pemungutansuara (TPS).

TOLAK PERHITUNGAN ULANGSUARA PILPRES

Page 175: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

161

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Mereka mendalilkan, Surat Edaran KPU Nomor 1151/15/VII/2004 yang mengesahkan surat suara coblos tembusbertentangan dengan Undang-Undang Pemilihan Presiden(UU Pilpres). Karenanya, menurut kubu Wiranto, SuratEdaran 1151 itu harus dinyatakan batal demi hukum, danseluruh suara dihitung kembali. Untuk mewujudkan tun-tutannya tersebut, kubu Wiranto telah mengajukan per-mohonan judicial review atas Surat Edaran 1151 kepadaMahkamah Agung.

Dalam artikel ”Mengantisipasi Blunder Pencoblosan”(Kompas, 8 Juli 2004) saya sudah menyatakan bahwa SuratEdaran 1151 memang mengundang masalah dari kacamatahukum. Namun, posisi saya jelas: tuntutan penghitunganulang suara harus ditolak. MA harus menolak permohonanjudicial review dan menyatakan Surat Edaran 1151 tidakbertentangan dengan UU Pilpres.

ARGUMENTASI hukum saya adalah sebagai berikut:Pertama, Pasal 56 UU Pilpres memang mengatakan, suaradinyatakan sah apabila: tanda coblos hanya terdapat padasatu kotak segi empat yang memuat satu pasangan calon;atau tanda coblos terdapat dalam salah satu kotak segi empatyang memuat nomor, foto, dan nama pasangan calon yangtelah ditentukan; atau tanda coblos lebih dari satu, tetapimasih di dalam salah satu kotak segi empat yang memuatnomor, foto, dan nama pasangan calon; atau tanda coblosterdapat pada salah satu garis kotak segi empat yang memuatnomor, foto, dan nama pasangan calon.

Kedua, Pasal 26 Keputusan KPU Nomor 37 Tahun 2004memang mengatakan bahwa suara sah bila: tanda coblos

Page 176: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

162

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

hanya terdapat pada satu kotak segi empat yang memuat satupasang calon; atau tanda coblos terdapat dalam salah satukotak segi empat yang memuat nomor, foto, dan namapasangan calon yang telah ditentukan; atau tanda cobloslebih dari satu, tetapi masih di dalam salah satu kotak segiempat yang memuat nomor, foto, dan nama pasangan calon;atau tanda coblos terdapat pada salah satu garis kotak segiempat yang memuat nomor, foto, dan nama pasangan calon.

Ketiga, karena itu, dalam Surat Edaran Nomor 1123.1/15/VI/2004 yang bertujuan mengurangi surat suara tidak sah,KPU menyarankan agar petugas TPS selalu mengingatkanpemilih untuk membuka kertas suara lebar-lebar sebelummelakukan pencoblosan. Dari surat edaran ini terlihatbahwa posisi awal KPU adalah menganggap tidak sah suratsuara yang tercoblos di luar kotak capres yang sama,termasuk yang tercoblos tembus ke halaman judul.

Keempat, kemudian setelah mendengar banyak sekalikasus pencoblosan tembus, pada tanggal 5 Juli siang KPUbergerak cepat dengan mengeluarkan Surat Edaran 1151yang menyatakan, mengoreksi kembali Surat Edaran 1123.1dan menganggap bahwa surat suara yang tercoblos tembuske halaman judul adalah sah.

Kelima, sekilas berdasarkan keempat hal di atas, memangada inkonsistensi sikap KPU. Lebih jauh, Surat Edaran 1151memang sekilas terbaca bertentangan dengan Pasal 56 UUPilpres maupun Pasal 26 Keputusan KPU No 37/2004.Namun saya berpendapat, sah-tidaknya Surat Edaran 1151harus dilihat dari niat pembuatannya, dan tidak hanyadihadapkan pada pasal-pasal perundangan yang dibacakaku. Niatan KPU dengan mengeluarkan Surat Edaran 1151justru adalah untuk menyelamatkan suara rakyat yang

Page 177: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

163

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

mungkin hilang tersia-sia jika surat suara coblos tembusdianggap tidak sah.

Keenam, Surat Edaran 1151 yang telah menyelamatkanbanyak suara rakyat justru harus dianggap sebagai langkahantisipatif yang tidak bertentangan dengan UU Pilpres, yangfilosofi dasarnya menghormati setiap suara pemilih. Lebihjauh, Surat Edaran 1151 secara substansi bahkan mene-gaskan asas pemilu yang adil. Adalah justru tidak adilapabila karena ketidaksengajaan pemilih, yang melakukancoblos tembus, suaranya malah dinyatakan hilang dan tidaksah. Ketidaksengajaan pemilih dalam hal ini harus menjadialasan yang dimaafkan, dan tidak justru dihukum denganmenganggap suaranya tidak sah.

Ketujuh, berkait dengan ketidaksengajaan pemilih diatas, niat para pemilih juga harus dipertimbangkan dalammenentukan sah atau tidaknya suara tersebut. Dalam kasussurat suara coblos tembus, niat pemilih patut diduga adalahmemilih gambar capres yang dicoblosnya. Lubang tembusyang ada di halaman judul sewajarnya dianggap tidak ada.Kedelapan, Surat Edaran 1151 memang terkesan menga-baikan kepastian hukum, tetapi ia sebenarnya menghormatikeadilan hukum dan kemanfaatan hukum. Dalam konteksini ada asas hukum yang harus diperhatikan, yaitu: mene-gakkan kepastian hukum secara kaku akan justru mela-hirkan ketidakadilan. Artinya, mengabulkan judicial reviewatas Surat Edaran 1151 sekilas memang menegakkankepastian hukum, tetapi akan menimbulkan ketidakadilanbagi pemilih yang secara tidak sengaja kehilangan haksuaranya.

Lebih jauh, membatalkan Surat Edaran 1151 yangberarti harus diadakannya penghitungan ulang amatlah

Page 178: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

164

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

bertentangan dengan asas kemanfaatan. Seluruh prosespilpres—baik putaran pertama maupun kedua-akan ter-tunda. Kondisi sosial—politik yang sekarang kondusif bisaberubah menjadi tidak aman. Apalagi bila masyarakat luastidak menerima putusan penghitungan ulang itu.

Kesembilan, pengajuan judicial review Surat Edaran1151 oleh kubu Wiranto harus dianggap terlambat. Niatan-nya pun harus dipertanyakan. Jikalau kubu Wiranto me-nganggap Surat Edaran 1151 itu bertentangan dengan UUPilpres, maka judicial review seharusnya dimintakan segerasetelah ia dikeluarkan pada tanggal 5 Juli lalu. Pengajuanpermohonan ke MA yang baru dilakukan setelah peng-hitungan selesai, serta setelah diketahui bahwa Wirantogagal masuk ke putaran kedua patut diduga lebih dise-babkan alasan pragmatis-oportunis, dan bukan alasanyuridis. Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah: jikaternyata hasilnya berbeda, yaitu Wiranto berhasil masuk keputaran kedua, apakah kubu Wiranto masih akan me-nganggap Surat Edaran 1151 bertentangan dengan UUPilpres?

Kesepuluh, terlambatnya pengajuan judicial review olehkubu Wiranto harus diartikan bahwa Wiranto sebenarnyatidak keberatan dengan Surat Edaran 1151. Tidak adanyaprotes dalam masa-masa awal menyebabkan asas hukumperjanjian bahwa, ”tidak melakukan apa-apa berarti adalahpersetujuan diam-diam” dapat diterapkan dalam kasus ini.Intinya, diamnya kubu Wiranto tersebut telah mengakibat-kan hilangnya alasan hukum ataupun legal standing merekauntuk mengajukan judicial review.

Page 179: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

165

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

DENGAN sepuluh uraian di atas, MA sewajarnya me-nolak judicial review yang diajukan kubu Wiranto. Putusanpenolakan MA harus dikeluarkan secepatnya agar tidakterjadi komplikasi hukum serius akibat terganggunya prosespilpres selanjutnya, termasuk sengketa pemilu di MahkamahKonstitusi yang harus diputus dalam jangka waktu 14 hari.Inilah saatnya MA membuktikan diri sebagai mahkamahyang dapat bergerak cepat serta lebih mengedepankankeadilan dan kemanfaatan hukum.

Kalau MA akhirnya membatalkan Surat Edaran 1151,dan karenanya Wiranto mempunyai alasan hukum untukmeminta penghitungan ulang, maka berkah dari pemilihanpresiden berpotensi berubah menjadi musibah. Konflikantara pendukung capres akan sulit dibendung. Karenanya,tuntutan untuk meminta penghitungan ulang ini harusditolak.

Page 180: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

166

LINCOLN berpendapat, ”Kekuatan pemilu lebih dahsyatketimbang peluru.” Kekuatan ini sebenarnya bersisi

dua muka. Jika pemilu sukses, hidup transisi menujudemokrasi kian pasti. Sebaliknya, jika pemilu gagal, matinyareformasi tidak lagi hanya suri, tetapi mati sejati.

Bagi Indonesia, empat hari lagi pemilu sudah menunggu.Pemilu adalah jalan menyongsong cahaya dalam remangatau kian terperosok ke jurang. Salah satu problem hukumpemilu adalah keterlambatan logistik (terutama surat suara)untuk terselenggaranya pemilu legislatif serentak, 5 April2004.

KPU telah membanting tulang menyiapkan penyeleng-garaan Pemilu 2004. Sistem pemilihan legislatif dan presidensaat ini jauh berbeda dan lebih kompleks dibandingkandengan masa lalu. Inilah konsekuensi langsung reformasi

PAYUNG HUKUMPENUNDAAN PEMILU

The Ballot is stronger than the bullet.(Abraham Lincoln, 1856)

Page 181: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

167

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

konstitusi (constitutional reform) dan reformasi pemilu(electoral reform) yang terjadi mulai 1999 hingga 2003.Dengan infrastruktur KPU pusat dan daerah sendiri yangrelatif baru, kesulitan-kesulitan teknis pemilu pasti sulitdihindari.

KPU pernah mengatakan, untuk melaksanakan pemiludengan relatif baik, mereka membutuhkan waktu minimaldua tahun. Kenyataannya, amandemen UUD 1945 yangberkait pemilu baru selesai 2002. Undang-Undang (UU)tentang pemilu legislatif baru diundangkan 11 Maret 2003dan UU tentang pemilu presiden baru diundangkan 31 Juli2003. Artinya, ini hanya memberi waktu satu tahun bagiKPU untuk menyiapkan pemilu dengan sistem baru.

Pada Sidang Tahunan MPR 2001, Ketua MPR Amien Raistelah memprediksi kesulitan itu. Dikatakan, karena ditun-danya pasal-pasal krusial amandemen UUD 1945 yangberkait pemilu, KPU pasti kecewa, ”Mereka akan bekerjasiang-malam, berkejaran dengan waktu.”

KINI KPU telah melanggar Pasal 45 Ayat (3) UU No 12Tahun 2003 (UU Pemilu) yang tegas mengatakan, ”Suratsuara beserta perlengkapan pelaksanaan Pemilu harus sudahditerima PPS dan PPLN selambat-lambatnya 10 (sepuluh)hari sebelum pemungutan suara.” Kata ”harus” dalam pasalitu menegaskan, terlambatnya penyediaan logistik pemiluadalah pelanggaran UU. Namun, apa konsekuensi dansanksi hukumnya? UU Pemilu tak tegas mengaturnya.

Seharusnya, ketidaktersediaan logistik tidak berhu-bungan dengan sah atau tidaknya penyelenggaraan pemilukarena, sekali lagi, UU Pemilu tidak menyatakan demikian.

Page 182: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

168

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Namun, mengantisipasi sengketa pemilu yang mungkinmuncul-ditambah kemungkinan tidak terlaksananya pe-mungutan suara secara serentak-timbul pemikiran untukmembuat payung hukum atas pelanggaran itu. Pertanyaan-nya, bagaimana bentuk payung hukum itu? Berikut empatalternatif payung hukum yang ditawarkan, beserta kele-bihan dan kekurangannya.

Pertama, KPU mengeluarkan keputusan yang memu-tuskan pemunduran pelaksanaan pemilu serentak ke waktuyang lebih memungkinkan. Pasal 81 Ayat (2) UU Pemilumemberi kewenangan kepada KPU untuk menentukanjadwal (baru) pemungutan suara. Namun, pilihan ini akanberdampak psikologis politik, selain teknis pemilu. Dampakpsikologis timbul karena KPU berarti tidak mampu men-jalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu, yang akhir-nya dapat mempengaruhi kredibilitas hasil pemilu. Se-dangkan dampak teknis adalah penundaan pemungutansuara pemilu legislatif dapat berarti tertundanya jadwalpemilu lainnya, termasuk pemilu presiden.

Kedua, dapat dilakukan amandemen atas UU Pemilu,terutama yang berkait antisipasi pelaksanaan ”Pemilu Lan-jutan”. Namun, dalam masa reses DPR dan di tengahsibuknya anggota DPR berkampanye, alternatif ini sulitdijalankan.

Ketiga, berdasar kewenangan konstitusi, presiden me-ngeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-un-dang (perpu) yang menegaskan keterlambatan penyediaanlogisitik tak berpengaruh atas sah tidaknya pemilu; dandasar hukum bagi penundaan pemungutan suara di tempatpemungutan suara (TPS) yang logistik pemilu belum tersedia.

Page 183: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

169

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Namun, bentuk hukum perpu ini masih problematik. TapMPR No III Tahun 2000 mengatur posisi perpu ada di bawahUU. Hal ini didasarkan Tap MPR No I Tahun 2003 yangmasih berlaku sehingga, dari kacamata hukum tata negara,bisa timbul perdebatan apakah mungkin aturan UU Pemiludiubah dengan perpu. Secara asas hukum, dikatakan aturanhukum yang lebih tinggi mengenyampingkan aturan hukumyang lebih rendah (lex superiori derogat legi inferiori).Akibatnya, perpu yang bertentangan dengan UU Pemiluharus dinyatakan batal demi hukum.

Dapat diargumentasikan balik, sudah ada presedenberlakunya Perpu Terorisme yang banyak aturannya ber-tentangan dengan KUHP maupun KUHAP. MahkamahKonstitusi dapat diminta pendapat untuk menegaskanaturan konstitusi bahwa perpu sebenarnya berposisi sejajarUU. Meski Mahkamah Konstitusi tidak diberi kewenanganmengeluarkan fatwa hukum dan tidak berwenang menilaiKetetapan MPR, pendapatnya paling tidak bisa dijadikanpegangan untuk meminimalkan kerancuan Ketetapan MPRyang menempatkan perpu di bawah UU.

Keempat, KPU mengeluarkan keputusan, menetapkandilaksanakannya ”Pemilu Lanjutan” parsial di beberapaTPS yang tidak bisa melaksanakan pemilu 5 April 2004. Adadua dasar hukum keputusan KPU itu.

Dasar hukum pertama, untuk TPS yang semata-matatidak dapat melaksanakan pemilu karena alasan tekniskurangnya logistik, Pasal 118 Ayat (1) UU Pemilu dapatdigunakan. Pasal ini mengatakan, ”Pemilu Lanjutan di suatudaerah pemilihan dilakukan bila sebagian tahapan pe-nyelenggaraan Pemilu di daerah pemilihan itu tidak dapatdilaksanakan.”

Page 184: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

170

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Berdasar ketentuan pasal itu, keputusan KPU untukmelakukan ”Pemilu Lanjutan” didasarkan alasan, tahapanpemilu berupa ”pemungutan suara, penghitungan suara,penetapan hasil pemilu, sampai dengan pengucapan sum-pah/janji” anggota parlemen terpilih-sebagaimana dide-finisikan Pasal 1 UU Pemilu-tidak dapat dilaksanakan.

Dasar hukum Pemilu Lanjutan kedua adalah Pasal 119Ayat (1), yaitu untuk daerah yang TPS-nya mungkin selainkekurangan logistik, juga ada di ”daerah kerusuhan, gang-guan keamanan, dan bencana alam”. Dasar hukum ini,misalnya, bisa digunakan untuk desa-desa di Nanggroe AcehDarussalam, yang karena keamanan, TPS-nya tidak me-mungkinkan melaksanakan pemilu.

Untuk alternatif keempat berupa keputusan KPU ini,perlu diperhatikan Pasal 119 Ayat (4) yang mengaturkeputusan ”Pemilu Lanjutan” itu ditetapkan KPU masing-masing daerah, yang membawahi TPS yang bermasalah,secara berjenjang.

Demikian empat alternatif payung hukum yang dapatdipertimbangkan untuk mengantisipasi masalah ketersedia-an logistik dan kemungkinan tidak serentaknya pemungutansuara pemilu legislatif.

NAMUN, masalah payung hukum pemilu seharusnya takterlalu merisaukan. Ini ”hanya” masalah formal-teknishukum. Yang jauh lebih mengkhawatirkan adalah materi-substansi pemilu itu sendiri. Bagi saya, yang lebih meng-khawatirkan bukan tak tersedianya kertas suara. Yang lebihmengkhawatirkan, kalaupun tersedia, kertas suara itu rusak;kalaupun tak rusak, suara itu nanti banyak yang tidak sah;

Page 185: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

171

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

kalaupun sah, suara itu ternyata ”dimenangkan” partai-partai yang bergelimang praktik money politics dan pengab-di abadi korupsi. Kalau itu yang terjadi, alangkah mahalnyabiaya lebih dari Rp 3,9 triliun uang rakyat dihabiskan untukmelegitimasi politik lahirnya lagi pemimpin korup di negeriini.

Di bilik suara, nasib Indonesia akan ditentukan. Semogapemilu tidak menjadi peluru yang membunuh (lagi) bangsaini.

Page 186: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

172

THE devil’s in the detail adalah ungkapan tepat untukmenggambarkan kisruhnya proses penghitungan suara

pemilihan presiden 5 Juli 2004. Komisi Pemilihan Umum(KPU) melakukan blunder. KPU tidak cukup mengan-tisipasi kemungkinan banyaknya pemilih yang mencobloskertas suara tanpa membuka penuh. Akibatnya, banyakkertas suara berlubang di ”halaman judul” dan-awalnya-dianggap tidak sah sehingga penghitungan ulang terpaksadilakukan di banyak TPS.

Jelas ada masalah sosialisasi teknis pencoblosan. KPUsudah mengeluarkan Surat Edaran No 1123.1/15/VI/2004tanggal 28 Juni 2004, yang memerintahkan Panitia Pe-mungutan Suara agar mengingatkan pemilih untuk mem-buka kertas suara selebar-lebarnya sebelum memilih.

MENGANTISIPASI BLUNDERPENCOBLOSAN

Page 187: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

173

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Namun, anjuran dalam surat edaran tidak tersosialisasikanmerata. Karena itu, tidak efektif di lapangan.

DIKELUARKANNYA Surat Edaran KPU No 1151/15/VII/2004 yang akhirnya mengesahkan kertas suara yangberlubang di halaman judul, dapat meminimalisasi hilang-nya banyak suara pemilih. Namun, surat edaran yangmendadak dikeluarkan 5 Juli, berpotensi melahirkan seng-keta pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK), yang berwenangmemutuskan pada tingkat pertama dan terakhir sengketapemilu, harus lebih siap sedia menghadapi sengketa pemiluyang mungkin timbul karena kekisruhan pencoblosan kertassuara ini.

Berikut analisis hukum ketatanegaraan berkaitan denganmasalah kesalahan mencoblos.

Pertama, akan timbul pertanyaan, apakah tepat ke-putusan KPU mengesahkan kertas suara yang tercoblostembus di halaman judul? Mengacu aturan sahnya suratsuara dalam Pasal 56 UU No 23 Tahun 2004 tentangpemilihan presiden dan wakil presiden, keputusan KPUuntuk mengesahkannya bisa menimbulkan masalah hukum.Terutama jika aturan di dalam pasal itu dibaca secara kaku.Disebutkan, coblosan yang lebih dari satu kali hanya sahbila lubangnya dalam kotak calon presiden yang sama.Dapat diartikan, jika ada lubang lain di luar kotak calonpresiden seperti di halaman judul, surat suara itu tidak sah.Ketidaksahan dipertegas Pasal 26 Keputusan KPU No 37Tahun 2004 yang mengundang interpretasi, lubang dihalaman judul tidak memenuhi syarat sahnya suara.

Page 188: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

174

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Saya pribadi sependapat dengan keputusan cepat KPUuntuk mengesahkan pencoblosan yang tembus ke halamanjudul. Alasan untuk menyelamatkan banyaknya suara, yangmungkin hilang jika suara semacam itu dinyatakan tidaksah, dari kacamata hukum sudah tepat. Asas mengedepan-kan keadilan dan kemanfaatan hukum, yang sedikit

mengesampingkan asas kepastian hukum dapat digu-nakan. Artinya, bunyi pasal-pasal sahnya surat suara harusdiartikan progresif, sepanjang lubang coblosan tidak melu-bangi capres yang berbeda, coblosan lebih dari satu tetapsah.

Namun, dikhawatirkan interpretasi progresif itu tidakditerima seluruh pasangan capres, terutama yang kalah dantidak masuk putaran kedua. Harus diakui, interpretasiprogresif itu membuka peluang perdebatan hukum.

Kedua, secara hukum, masalah menjadi kian komplekskarena Surat Edaran KPU No 1151 yang menyatakan suratsuara yang tercoblos di halaman judul adalah sah. Bagipasangan capres yang ingin mempermasalahkan, terbukapeluang memintakan hak uji materiil ke MA tentang apakahSurat Edaran 1151 itu bertentangan atau tidak denganketentuan UU Pilpres. Jika MA mengadopsi interpretasiprogresif, tidak akan timbul banyak masalah. Namun, jikaMA membaca secara kaku pasal-pasal sahnya suara, putusanMA mungkin menyatakan Surat Edaran 1151 tidak berlakukarena bertentangan dengan UU Pilpres. Dampaknya bisaamat mengganggu proses pemilihan presiden selanjutnya.Karena, berarti harus dilakukan penghitungan ulang untukmenyatakan kembali sah-tidaknya surat suara yang ter-coblos di halaman judul.

Page 189: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

175

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Ketiga, selain permintaan judicial review ke MA, SuratEdaran 1151 juga dapat menjadi problem hukum dalamsengketa pemilu presiden di Mahkamah Konstitusi. Ter-utama jika selisih suara antara dua pasangan capres yanglolos ke putaran kedua tidak terpaut jauh dengan pemenangketiga. Dalil gugatan yang digunakan adalah tidak me-ngakui Surat Edaran 1151. Atau, bila mengakui, di beberapatempat pemungutan suara (TPS) penghitungan ulang ber-dasar surat edaran tidak dilakukan sehingga memengaruhihasil akhir suara.

Keempat, komplikasi hukum yang serius dapat terjadijika MK memutuskan sengketa dengan mendasarkan peng-hitungan pada Surat Edaran 1151, namun pada saatbersamaan MA memutuskan surat edaran tidak sah karenabertentangan dengan UU. Jika putusan judicial review MAsemacam itu dikeluarkan sebelum sengketa MK diputuskan,sengketa perkara yang berdasar penghitungan Surat Edaran1151 menjadi tidak berlaku dan penghitungan ulang harusdilakukan. Padahal, penyelesaian sengketa di MK dibatasiwaktu ketat.

BERKAITAN dengan empat persoalan itu, direkomen-dasikan beberapa hal: Pertama, penghitungan ulang suaratermasuk yang tercoblos di halaman judul harus dilakukandi semua TPS. Jika ada TPS belum melakukan, ini membukapeluang protes dari pasangan capres dan sengketa pemilu diMK. Jika penghitungan ulang di TPS tidak memungkinkan,penghitungan ulang harus dilakukan di tingkat PanitiaPemilihan Kecamatan.

Page 190: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

176

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Kedua, jika ada pasangan capres tidak sepakat denganSurat Edaran 1151 dan menganggapnya bertentangandengan UU Pilpres, pasangan itu harus mengajukan ujimateriil kepada MA dari sekarang. Menunda-nunda per-mohonan hak uji materiil, bersamaan pengajuan gugatansengketa ke MK, harus diartikan sebagai itikad burukpasangan capres itu untuk menghambat proses pemilihanpresiden putaran kedua.

Ketiga, guna mengantisipasi ulah nakal pasangan capresyang tidak sepakat Surat Edaran 1151 tetapi memperlambatpengajuan judicial review, MK, MA, dan KPU harus ber-koordinasi mengantisipasi kemungkinan sengketa sedarisekarang. Ini perlu mengingat jadwal pemilu putaran keduaamat ketat, sedangkan putusan sengketa pemilu presidenmenurut UU Mahkamah Konstitusi harus diputus palinglambat 14 hari sejak dicatat dalam Buku Registrasi PerkaraKonstitusi. Putusan yang keluar lebih dari 14 hari tidakhanya mengganggu jadwal pemilu selanjutnya, tetapi dapatdianggap bertentangan dengan ketentuan undang-undang.Dalam konteks ini, perlu diberi desakan agar MA bekerjalebih cepat.

Amat diharapkan berbagai persoalan itu tidak muncul.Penghitungan ulang berdasarkan Surat Edaran 1151 punbisa dilaksanakan. Dan para capres yang kalah berjiwabesar untuk tidak mempersoalkan surat edaran, yang prin-sipnya justru menyelamatkan suara pemilih.

Page 191: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

177

PEMILU 2009 kurang dari 3 tahun lagi. Suatu masa yangtidak panjang untuk melakukan persiapan. Namun, hinggakini perubahan peraturan perundangannya masih belumselesai dibahas oleh pemerintah dan DPR. Sempitnya teng-gang waktu sangat berbahaya, karena berpotensi melahir-kan penyelenggaraan pemilu yang korup. Akibatnya, seba-gaimana terjadi saat ini, amat mungkin akan ada anggotaKPU yang terjebak dalam penjara karena korupsi pemilu.

Sistem pemilu memang bukan perkara yang mudahuntuk diputuskan. Amat banyak variabel yang harusdipertimbangkan berkait dengan hajatan massal lima ta-hunan tersebut. Pilihan harus dijatuhkan hati-hati karenapemilu adalah urat nadi demokrasi. Dari rahim pemilu akanlahir janin demokrasi yang membawa harapan, atau seba-liknya. Salah memilih sistem pemilu ataupun salah

INFLASI PARPOL,INFLASI PEMILU

Page 192: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

178

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

mempersiapkan penyelenggaraan pemilu akan menjadi bomwaktu – salah satunya korupsi – yang meluluhlantakkanharapan demokratisasi.

Pilihan sistem antara distrik dan proporsional me-ngandung perdebatan panjang tanpa akhir. Masing-masingmempunyai keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri.Yang jelas, apabila pilihan sudah dijatuhkan sewajibnyaharus dilaksanakan secara konsisten. Konsistensi inilah yanglenyap dalam penyelenggaraan pemilu di tanah air. Misal-nya, di pemilu legislatif 2004. Digaungkan bahwa sistempemilu yang diputuskan adalah proporsional terbuka.Seharusnya dengan demikian, wakil legislatif yang terpilihadalah yang mendapatkan suara terbanyak. Tetapi faktanya,mayoritas yang terpilih ke Senayan tetaplah calon anggotalegislatif yang menempati nomor urut awal dalam daftarcaleg. Sistem proporsional terbuka setengah hati itulahmanipulasi yang disodorkan para wakil rakyat ketikamembahas UU untuk pemilu 2004.

Manipulasi yang sama agaknya akan lagi dihadirkandalam peraturan pemilu yang saat ini sedang dibahas. Salahsatu yang diperdebatkan adalah tentang besaran ambangbatas (electoral threshold) bagi partai politik untuk lolosmenjadi peserta pemilu selanjutnya. Partai-partai besarcenderung mendesakkan agar ambang batas dinaikkanmenjadi 5 persen, sedangkan partai-partai gurem me-maksakan agar ambang batas tersebut dihapuskan. Partaikecil berpijak pada prinsip dasar kebebasan berserikat danberkumpul yang dijamin oleh konstitusi. Sedangkan partaibesar berargumen penyederhanaan sistem kepartaian ber-banding lurus dengan efektivitas jalannya roda peme-rintahan.

Page 193: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

179

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

Keduanya sebenarnya tidak salah, dan mempunyailogika berpikir yang dapat dicari rujukannya dari sisi teoriketatanegaraan. Sepintas, penerapan electoral thresholdmemang membatasi kebebasan berorganisasi. Mungkin sajaMahkamah Konstitusi akan membatalkan aturan pemiludemikian jika diajukan sebagai permohoan constitutionalreview. Namun, pembatasan menurut UU sepanjang itu, jikadilakukan melalui proses legislasi yang fair seharusnya tidakserta-merta dianggap bertentangan dengan UUD. Apalagibila angka yang dipatok masih dalam batas yang wajar.Electoral threshold yang sekarang ditetapkan 3 persen masihdalam batas toleransi demikian.

Persoalannya bagaimana jika angka 3 persen itu dinaik-kan menjadi 5 persen, dan makin mempersempit peluangpartai gurem untuk ikut serta pemilu? Tidak ada jawabanpasti atas pertanyaan tersebut. Karena persoalannya tidaksemata-mata terletak pada pilihan angka. Yang jelas, per-soalan keikutsertaan partai peserta pemilu tidak sematabergantung pada ambang batas, tetapi juga sebaran danpendukung partai yang bersangkutan. Itu artinya, apabilasuatu partai sudah sah menjadi partai politik, keikut-sertaannya pada pemilu semestinya terbuka lebar. Tetapi biladalam pemilu yang telah berlangsung, partai yang ber-sangkutan tidak melewati ambang batas, maka sebaiknyapartai tersebut dihukum dengan tidak boleh mengikutipemilu selanjutnya minimal satu kali. Larangan demikianbukan berarti partai yang bersangkutan harus bubar, tetapijustru memberikan kesempatan kepada organisasi kepar-taiannya untuk lebih matang mempersiapkan diri.

Persiapan lebih kurang 10 tahun tersebut jauh lebihmendidik dibandingkan cara akal-akalan dengan berganti

Page 194: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

180

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

nama. Karena pergantian kulit nama itu senyatanyalah tidaksesuai dengan tujuan dasar konsep electoral threshold.Penggantian nama semata adalah bentuk pengelabuan yangpatut dicurigai lebih kental pertimbangan politis ketim-bangan upaya untuk saling berusaha menciptakan sistempemilu rakyat yang demokratis.

Apalagi, penyederhanaan sistem kepartaian amat pen-ting. Bukan semata dalam rangka membatasi peserta pemilu.Penyederhanaan partai pascapemilu memang amat berkaitdengan efektivitas pemerintahan, khususnya yang bersistempresidensial. Tidak sedikit penelitian yang membuktikanbahwa sistem presidensial akan lebih solid dibangun di atassistem kepartaian sederhana. Makin rumit dan banyak partaipolitik, makin terpolarisasi dukungan kepada pemerintah,dan makin besar potensi hadirnya sistem pemerintahanterbelah (divided government). Yaitu sistem pemerintahanyang presidennya tidak mendapatkan dukungan memadaidi parlemen, sehingga menjadi presiden minoritas (minoritypresidentialism). Intinya, partai yang terlalu banyak justrumenghadirkan inflasi parpol, serta justru berbahaya baginilai urgensi parapol itu sendiri.

Selanjutnya, di samping perlu secara hati-hati meng-gunakan konsep ambang batas, agar tidak justru mengebiriprinsip kebebasan berserikat. Sistem pemilu sendiri harusdisederhanakan. Wakil Presiden Jusuf Kalla cukup tepatketika menggambarkan saat ini telah terjadi inflasi pemilu.Terlalu banyaknya pemilu di tingkat nasional dan lokaltelah mengurangi makna dan nilai pemilu itu sendiri, yangseharusnya dijaga tingkat kesakralannya, salah satunyadengan tidak terlalu sering dan banyak diadakan. Saat ini

Page 195: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

181

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

dengan diadopsinya sistem pemilihan kepala daerah lang-sung, ratusan pemilu dilaksanakan setiap tahunnya. Dalamlima tahun, ada lebih kurang 500 pemilu diselenggarakan diseantero nusantara. Suatu jumlah yang mengundang potensidefisit nilai luhur pemilu.

Penyederhanaan pemilu harus mulai dipikirkan dandirancang untuk menghadirkan pemilu rakyat. Salah satuyang bisa ditimbang adalah dengan memisahkan pemilunasional dan lokal. Pemilu nasional dilakukan 5 tahun sekalisemata-mata untuk memilih wakil rakyat DPR dan DPD ditingkat pusat, bersamaan dengan pemilihan presiden danwakil presiden. Sedangkan pemilu lokal diselenggarakan dimasing-masing provinsi, untuk memilih kepala daerah(Gubernur, Bupati atau Walikota) dan wakil rakyat ditingkat DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dengandemikian dalam lima tahun hanya akan ada 34 kali pemilu.Yaitu satu di tingkat nasional dan 33 di tingkat lokal. Modeldemikian selain mengefisiensikan anggaran pemilu yangcenderung boros dengan terlalu banyaknya pemilu, jugamemberi ruang lebih lebar bagi perdebatan isu lokal yangtentu berbeda dengan isu nasional serta berbeda pula dimasing-masing provinsi.

Persoalan rumit yang harus dipecahkan dengan sistempemilu sederhana demikian adalah, berbedanya periodejabatan kepala daerah dan wakil rakyat di masing-masingprovinsi. Untuk itu diperlukan konsensus nasional agarsetiap elemen politik menyetujui pentingnya penyeder-hanaan pemilu tersebut. Semestinya, dengan berpijak padakepentingan nasional, semua elemen tidak mempunyaialasan kuat untuk mencegah inflasi pemilu.

Page 196: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

182

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Akhirnya, penyederhanaan sistem kepartaian dan pe-nyelenggaraan pemilu penting untuk segera dilaksanakanguna menghadirkan pemilu yang betul-betul bermakna bagirakyat Indonesia. Stop inflasi parpol dan inflasi pemilu.

Page 197: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

183

PEMILU 2009 di ujung tanduk. Waktu penyelenggaraan,masa persiapan semakin sempit, namun peraturan

masalah pemilu masih belum selesai dibahas. Undang-undang penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu belumjuga rampung dibahas dan menjadi undang-undang.Dengan semakin mepetnya waktu, pemilu 2009 tidak mus-tahil akan menjadi bom waktu yang siap meledak menjelangritual lima tahunan yang teramat penting bagi perjalananbangsa Indonesia ke depan tersebut.

Salah satu rancangan undang-undang yang berkaitdengan pemilu 2009 adalah RUU Penyelenggara Pemilu.RUU yang dibuat sebagai usul inisiatif DPR ini mengar-gumentasikan bahwa, bukan hanya masalah penyeleng-garaan (what) pemilu saja yang perlu diatur, tetapi siapapenyelenggara (who) pemilu juga mesti dipikirkan secarahati-hati. Maka, lahirlah RUU Penyelenggara Pemilu. Meski

BOM WAKTU PEMILU 2009

Page 198: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

184

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

RUU itu belum tentu akan disetujui oleh pemerintah, dankarenanya belum tentu akan dibahas menjadi undang-undang, beberapa hal di dalamnya amat patut untukdidiskusikan.

Salah satunya adalah ide untuk menegaskan sifatnasional, tetap dan mandiri dari Komisi Pemilihan Umum,sebagai penyelenggara pemilu. Untuk memenuhi syarat-syarat yang diamanatkan oleh konstitusi tersebut maka KPUharus: (1) independen, otonom dan non-partisan; (2) bersifatnasional; (3) memiliki kode etik; (4); memiliki kemandiriankeuangan; (5) dan mempunyai pertanggungjawaban yangseimbang. (CETRO: 2005).

Sejalan dengan argumen yang dipaparkan CETROtersebut, penyelenggara pemilu sewajibnya, setelah mene-laah teori-teori ketatanegaraan berkait dengan lembaganegara yang mandiri, sebaiknya didesain untuk menjadiKPU yang independen dan profesional. Untuk itu dasar-dasar konstitusionalitas bahwa KPU nasional, tetap danmandiri harus diturunkan kepada lima unsur: (1) Posisikonstitusi; (2) Fungsi; (3) Komposisi; (4) Administrasi; dan (5)sanksi.

Berdasarkan argumen di atas, sudah seharusnya posisikonstitusi KPU organ konstitusi (constitutional organ) harusditegaskan. Tidak tepat lagi menulis KPU dengan hurufkecil, sebagaimana terlihat dalam UUD 1945. KPU harusmenjadi independent agency. Untuk itu masalah pengaturanpemilu harus diatur sendiri oleh KPU dalam baju hukumPeraturan KPU. Ini karena lembaga negara independenharus menjadi self regulatory body, mempunyai kewenanganuntuk mengatur dirinya sendiri. Tanpa penegasan sebagailembaga negara independen, KPU akan cenderung menjadi

Page 199: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

185

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

di bawah kontrol eksekutif (executive branch agency),sebagaimana Depdagri yang menjadi pelaksana pemilu diera Orde Baru – dan berakibat pada koruptipnya pemilu dimasa itu.

Selanjutnya fungsi penyelenggara pemilu seharusnyatidak terbatas hanya kepada pemilihan Presiden dan WakilPresiden, DPR, DPD dan DPRD; tetapi juga mencakuppemilihan kepala daerah langsung. Meski ada problematikakonstitusi yang masih tidak jelas mengatur pilkada, apakahmerupakan rezim pemda atau pemilu, putusan MK dalam halUU 32/2004 tentang pemerintahan daerah pernah mem-berikan pertimbangan agar ke depan pilkada juga diseleng-garakan KPU. Hal ini penting karena saat ini Pilkadadiselenggarakan oleh Depdagri, padahal sulit membayang-kan Depdagri bisa menjadi penyelenggaran yang indepen-den karena mempunyai hubungan hirarkis di lembagaeksekutif.

Berikutnya, komposisi KPU sebagai penyelenggara pe-milu sangat menentukan independensi institusi tersebut.Sewajarnya rekrutmen anggota KPU dan KPUD dimulaidengan panitia seleksi yang sebaiknya tidak hanya dibentukoleh Presiden atau kepala daerah, tetapi juga melibatkanKPU atau KPUD yang lebih tinggi tingkatannya, bersertadan DPR atau DPRD. Selanjutnya pembebasan KPU darianasir partai dan pemerintah menjadi mutlak. Maka aturanRUU Penyelenggara Pemilu yang melarang keterlibatananggota atau pengurus partai politik menjadi anggota KPUsudah tepat.

Untuk masalah administrasi menjadi penting meletakkankesekretariatan yang mandiri dan pendanaan yang otonombagi KPU. Berkenaan dengan kesekretariatan, perlu

Page 200: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

186

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

didorong karyawan di KPU menjadi pegawai KPU danbukan PNS. Dengan demikian KPU memiliki kewenanganpenuh untuk mengendalikan stafnya, dan karenanya memi-nimalisir kemungkinan intervensi dibandingkan karyawanKPU adalah PNS yang rentan campur tangan pemerintah.

Berkait dengan pendanaan, penting untuk memberikankewenangan yang lebih luas bagi KPU untuk mengelolakeuangannya secara lebih otonom. Keuangan tersebutbersumber dari APBN yang akuntabilitasnya dapat dicekmelalui mekanisme umum penggunaan keuangan negara –misalnya diaudit oleh BPK dan sejenisnya.

Pengauditan itu penting, karena meski KPU harusdidorong menjadi independen, bukan berarti faktor akun-tabilitas tidak diperhatikan. Karena itu harus ada meka-nisme sanksi yang dapat diberikan kepada penyelenggarapemilu yang tidak secara baik melaksanakan tugasnya.Sanksi dapat bersifat administratif dan represif. Yangadministratif dilakukan berkait dengan pelanggaran kodeetik, sedangkan yang represif berkait dengan pelanggaranhukum. Pelanggaran kode etik – misalnya masalah inde-pendensi – sebaiknya menjadi ranah kerja Dewan Kehor-matan KPU. Sedangkan pelanggaran hukum seharusnyadilakukan penegakannya oleh aparat hukum (polisi, jaksaatau KPK berkait dengan masalah korupsi). Selain masalahetik dan hukum, KPU pekerjaannya sebaiknya diawasi olehsuatu badan pengawas yang kerjanya berkait dengan tahap-tahap pemilu, dan DPR atau DPRD yang berkait dengankontrol publik.

Mengenai badan pengawas pemilu, perlu dipikirkansubjek dan objek pengawasan secara jelas, dan hubungankelembagaannya dengan KPU. Perlu ditarik pelajaran dari

Page 201: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

187

MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS

kasus sengketa MA – KY yang pada akhirnya berujung padadibatalkannya pasal-pasal pengawasan dalam UU KY olehMK. Penting pula meletakkan relasi KPU dan badanpengawas yang tidak kemudian akan dibatalkan oleh MK.Seharusnya, relasinya setara, karena tidak mungkin pengaw-asan akan efektif jika dilakukan oleh lembaga yang inferioratas lembaga yang lebih superior.

Akhirnya, konsep penyelenggara pemilu yang ideal diatas tetap saja terkendala minimnya waktu pembahasanperaturan pemilu 2009. Dengan waktu yang semakin sempit,kemandirian penyelenggara pemilu jelas sedang diujungjurang bahaya. Bercermin dari pengalaman pemilu 2004,KPU periode selanjutnya amat mungkin akan pula terjebakpada ritual korupsi pemilu yang amat menggoda. Korupsipemilu Itulah yang amat mungkin meledakkan independensiKPU. Itulah bom waktu Pemilu 2009.

Page 202: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 203: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

BAB 3

MENCARI PRESIDENDI NEGERI PENUH KORUPSI

Page 204: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 205: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

191

TULISAN singkat ini bertujuan akhir untuk mencari danmengusulkan desain ketatanegaraan yang melahirkan

sistem presidensial lebih efektif (effective presidential) diIndonesia. Namun, sebelum memfokuskan diri ke tataranpraktik di Indonesia, bagian pertama akan memaparkanteori dan konsep dasar sistem presidensial dan bagaimana iadijalankan di Amerika Serikat – negara pertama dan contohpaling akurat tentang hidup, serta jatuh-bangunnya, sistem

MENDESAIN PRESIDENYANG EFEKTIF

BUKAN ”PRESIDEN SIAL”ATAWA ”PRESIDEN SIALAN” 1

1 Tulisan ini pernah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum TataNegara, ”Melanjutkan Perubahan UUD 1945 Negara RI 1945”, diseleng-garakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum UniversitasAndalas bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indo-nesia, Bukit Tinggi, 11 – 13 Mei 2007; serta–sebelum diperbaharui–pernahdipresentasikan dalam Seminar Sehari, ”Memperkuat Sistem Pemerin-tahan Presidensiil”, diselenggarakan oleh DPP Partai Demokrat, ForumKomunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi dan FriedrichNaumann Stifftung, Hotel Acasia, Jakarta, 13 Desember 2006.

Page 206: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

192

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

presidensial. Bagian Kedua menceritakan pengalaman Indo-nesia menerapkan sistem presidensial. Akhirnya, bagianKetiga mengusulkan desain sistem presidensial Indonesiamasa depan.

I. Sistem Presidensial: Suatu PengantarA. Lima Sistem Pemerintahan

Presidensial hanyalah salah satu sistem pemerintahan.Sistem presidensial (presidential system) berkait erat denganfungsi eksekutif. Sistem pemerintahan berbeda denganbentuk pemerintahan, pun tidak sama dengan bentuknegara. Bentuk pemerintahan ada dua: republik dan kera-jaan. Bentuk negara terbagi tiga: kesatuan, federal dankonfederasi. Meski berbeda, sistem pemerintahan mem-punyai korelasi kuat dengan bentuk pemerintahan. Pre-sidensial adalah sistem pemerintahan dalam bentuk re-publik. Sedangkan pemerintahan kerajaan, sistem peme-rintahannya adalah monarki. Korelasi yang serupa, tidakada antara sistem pemerintahan dengan bentuk negara.Sistem pemerintahan presidensial terdapat di bentuk negarakesatuan, federal ataupun konfederasi.

Selain sistem pemerintahan presidensial dan monarki,ada tiga sistem pemerintahan yang lain: sistem parlementer,sistem campuran (hibrid) dan sistem kolegial (collegialsystem). Sistem parlementer diantaranya dilaksanakan diInggris, Australia dan Malaysia. Kepala pemerintahan di-pimpin oleh seorang perdana menteri. Perdana Menteridiangkat dari partai atau koalisi partai yang menguasaisuara mayoritas di parlemen. Sedangkan kepala negara tidakdilaksanakan oleh perdana menteri. Di Inggris di pegangoleh Ratu; di Malaysia oleh Yang Di Pertuan Agung; di

Page 207: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

193

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Australia oleh Gubernur Jenderal, yang masih di bawahpengaruh Ratu Inggris.

Perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnyabertanggungjawab kepada parlemen, dan dapat dijatuhkanmelalui mosi tidak percaya. Sedangkan raja (ratu atau sultan)selaku kepala negara tidak dapat diganggu gugat (the kingcan do no wrong). Berdasarkan sistem pertanggungjawabandemikian maka perdana menteri dan kabinetnya dikla-sifikasikan sebagai eksekutif sesungguhnya (real executive),di sisi lain, kepala negara hanya merupakan pimpinansimbolik (nominal executive).2 Sebagai pemimpin simbolikraja lebih banyak melaksanakan kerja-kerja seremonial.

Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial yanghanya diterapkan dalam bentuk negara republik, sistemparlementer bentuk pemerintahannya dapat dilaksanakanpada bentuk negara republik maupun kerajaan.3

Sistem campuran (hibrid) pertama kali dikembangkanoleh Perancis pada masa republik kelima, dimulai tahun1958. Karenanya disebut pula sebagai sistem Perancis(French system) di samping sistem semi-presidensial (semi-presidential system). Sistem ini menggabungkan beberapaelemen sistem pemerintahan presidensial dan parlementer.Peran kepala negara dijalankan oleh presiden, sedangkankepala pemerintahan dilakukan oleh perdana menteri. Meskiselaku kepala negara, presiden tidak hanya menjalankantugas-tugas seremonial yang simbolik. Hal itu karenapresiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyatsecara langsung. Berbeda dengan kepala pemerintahan, yang

2 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (1999) hal. 17.3 Ibid.

Page 208: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

194

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

selain bertanggung jawab kepada presiden, pun bertang-gung jawab kepada parlemen.

Ketika partai sang presiden menguasai kursi mayoritas diNational Assembly maka Presiden leluasa bekerjasamadengan parlemen dan perdana menteri. Sebaliknya, jikaNational Assembly dikuasai oleh lawan politik presiden,maka ia akan termarginalisasi. Meski perdana menteridipilih oleh presiden, sang presiden tetap harus mematuhiaturan parlemen untuk memilih pemimpin partai mayoritasdi parlemen. Jika presiden dan perdana menteri tidak dalamsatu aliansi politik maka terjadilah cohabitation,4 haltersebut terjadi di tahun 1985, ketika Presiden Chirac (PartaiSosialis) dipaksa memberikan lebih banyak kewenangankepada Perdana Menteri Miterrand (Partai Gaullist).5 Sistemcampuran yang awalnya dikembangkan oleh Charles deGaulle ini telah diadopsi antara lain oleh Finlandia, Rusiadan Sri Lanka.6

Sistem kolegial diterapkan di Swiss. Jabatan kepalanegara dipegang bersama-sama oleh tujuh orang DewanFederal Swiss. Presiden dipilih dari Dewan Federal olehParlemen Swiss (Federal Assembly). Masa jabatan presidenadalah satu tahun yang dipilih secara bergantian di antarake tujuh anggota Dewan Federal. Pergantian presidendilakukan setiap awal tahun baru.7 Meski secara domestik,kepala Negara dijabat secara bersama oleh tujuh anggota

4 Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diaksespada 27 November 2006.5 Alan R. Ball dan B. Guy Peters, Modern Politics and Government (6th

edition, 2000) hal. 201, 216.6 Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diaksespada 27 November 2006.7 Jimly Asshiddiqie, Presidensialisme Versus Parlementarisme dalam GerakPolitik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Ke-presidenan (2002) hal. 42 – 43.

Page 209: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

195

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Dewan Federal, secara internasional presiden terpilih diakuisebagai kepala negara, dan karenanya menerima surat-suratkepercayaan (Letters of Credence) dari duta besar negarasahabat.8

Sistem monarki meletakkan fungsi kepala negara dankepala pemerintahan kepada sang raja. Salah satu ciri khassistem monarki adalah jabatan raja diwariskan secara turuntemurun. Contoh negara yang masih menerapkan sistem iniadalah Brunei Darussalam dan Saudi Arabia.

Sistem Presidensial meletakkan presiden tidak hanyasebagai pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pusat ke-kuasaan negara. Artinya, presiden tidak hanya kepalapemerintahan (chief of executive) tetapi juga kepala negara(chief of state). Itulah sebabnya rentang kekuasaan presidentidak hanya menyentuh wilayah eksekutif, tetapi jugasedikit-banyak merambah pada proses legislasi serta kewe-nangan di bidang yudikatif.9

B. Sejarah Sistem PresidensialJabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan pertama kali muncul di Amerika Serikat padaabad ke-18. Pasal II ayat 1 Konstitusi Amerika Serikatmengatur, ”The executive power shall be vested in a Presidentof the United States of America.” 10

Proses lahirnya presiden di Amerika Serikat cukupberliku. Hasrat untuk membentuk negara kerajaan – bukanrepublik – tetap mempunyai pendukung berani mati. Seta-

8 Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diaksespada 27 November 2006.9 Bagian G tentang tugas dan wewenang presiden akan lebih menjelaskantentang kekuasaan presiden.10 Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden (1999) hal. 10.

Page 210: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

196

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

hun sebelum konstitusi disetujui, John Jay mengirim suratkepada George Washington, mempertanyakan apakah tidaksebaiknya Amerika Serikat berbentuk kerajaan.11 AlexanderHamilton, meski tidak mendapatkan dukungan berarti,dengan lantang berargumen, sistem kerajaan Inggris adalahyang terbaik di dunia. Baginya, tidak akan ada peme-rintahan yang baik tanpa eksekutif yang baik. Serta,eksekutif yang baik tidak akan pernah lahir dari negararepublik.12 Pada akhirnya, setelah melalui perdebatan yangpanjang, serta rumit-berbelit, bentuk negara republik dise-tujui, sistem presidensial diadopsi. George Washingtondipilih secara bulat menjadi presiden pertama AmerikaSerikat (1789 – 1797).13

Meski memilih presiden dan menolak raja, para peran-cang konstitusi Amerika Serikat memutuskan bahwa sangpresiden harus mempunyai kekuatan yang memadai untukmenyelesaikan rumitnya masalah bangsa.14 Maka diran-canglah konstitusi yang memberikan kekuasaan besar ke-pada presiden, namun dengan tetap menutup potensihadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran.15

Di Eropa, presiden pertama kali muncul di Perancis.16

Meski bentuk negara republik berawal di tahun 1792,jabatan presiden baru muncul di era republik kedua (1848 –1851), dengan Louis Napoleon sebagai presiden. Sempatmenghilang di era Kaisar Napoleon III (1852 – 1870), jabatan

11 Louis W. Koenig, The Chief Executive (1964) hal.16.12 Ibid 20.13 Ibid 19.14 Jack Bell, The Presidency: Office of Power (1967) hal. 8.15 Koenig, n 12, hal.19.16 Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diaksespada 27 November 2006.

Page 211: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

197

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

presiden kembali muncul di masa republik ketiga (1875 –1940). Di Jerman, jabatan presiden baru muncul setelahselesainya perang dunia I (1918), yaitu dengan berlakunyakonstitusi Weimar. Sempat lenyap di era diktator Hitler (1934– 1945), jabatan presiden kembali muncul setelah perangdunia kedua.17 Di Asia, jabatan presiden dicangkokkan olehAmerika Serikat ketika memberikan kemerdekaan yangterbatas kepada Filipina di tahun 1935.18 Di Afrika, presidenLiberia yang hadir pada tahun 1848 adalah presiden pertamayang diakui dunia internasional.19

C. Sistem Presidensial dan ParlementerSistem presidensial mempunyai pesaing utama dan sering

diperhadapkan dengan sistem parlementer. Karena itu, perludipahami secara benar perbedaan di antara keduanya.Karakteristik sistem parlementer adalah:1. Ada kepala negara yang perannya hanya simbolik dan

seremonial, mempunyai pengaruh politik (politicalinfluence) yang amat terbatas. Kepala negara mungkinseorang presiden sebagaimana di Jerman, India dan Itali;meski di Jepang adalah kaisar atau ratu di Inggris.

2. Cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdanamenteri atau kanselir, yang bersama-sama dengan ka-binet, adalah bagian dari parlemen, dipilih oleh par-lemen dan setiap saat dapat diberhentikan oleh parlemendengan mosi tidak percaya.

17 Alrasid, n 11, hal. 11.18 Ibid.19 Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diaksespada 27 November 2006.

Page 212: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

198

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

3. Parlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya ber-variasi, ditentukan oleh kepala negara berdasarkanmasukan dari perdana menteri atau kanselir.20

Di antara negara-negara yang menerapkan sistem par-lementer, masih terdapat perbedaan-perbedaan mendasar.Ketaksamaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor: (1)perbedaan jenis parlemen, apakah unikameral atau bika-meral, termasuk perbedaan sistem pemilihan anggota kamarkedua (second chamber); (2) perbedaan kekuatan eksekutifuntuk membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu,serta sebaliknya perbedaan kekuatan parlemen untukmemberhentikan perdana menteri; (3) perbedaan adanyakewenangan judicial review. Di Inggris kewenangan demi-kian tiada karena kedaulatan parlemen yang supreme; dan(4) perbedaan jumlah dan tipe partai politik.21

Ciri sistem presidensial adalah:1. Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan.2. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung

dipilih oleh rakyat (popular elected).3. Presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat

diberhentikan oleh parlemen, kecuali melalui prosespemakzulan (impeachment).

4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.22

Representasi paling akurat dari sistem presidensial ada-lah pemerintahan di Amerika Serikat. Negara lain di wilayah

20 Ball dan Peters, n 6, hal. 62.21 Ibid.22 Ibid 63.

Page 213: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

199

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Amerika tengah dan selatan, kebanyakan hanya men-duplikasi sistem pemerintahan negeri Paman Sam tersebut.23

Tentu, sebagaimana adanya perbedaan dalam detail pene-rapan sistem parlementer, rincian aplikasi sistem presidensialpun berbeda-beda. Di Filipina misalnya, kongres berwenangmengkonfirmasi kandidat wakil presiden, yang dinominasi-kan presiden, yaitu ketika terjadi terjadi kekosongan posisiwakil di tengah masa jabatan kepresidenan. Lebih jauh,kandidat wakil presiden harus anggota kongres.24 Di Ame-rika Serikat, senat berwenang mengkonfirmasi seluruh”political appointment” presiden. Kewenangan konstitusio-nal senat untuk memberi ”advise and consent” dalampengangkatan hakim agung, misalnya, membuka kesem-patan bagi parlemen untuk mempengaruhi kebijakan yudi-sial pada level federal.25

Presiden Amerika Serikat dipilih untuk masa jabatanempat tahun, dan dibatasi hanya untuk maksimal duaperiode masa jabatan, sesuai Amandemen Ke-22 KonstitusiAmerika Serikat. Sang presiden dipilih langsung oleh rakyat(melalui Electoral College), tidak oleh kongres, dan karena-nya tidak bertanggung jawab kepada kongres. Meskipunkongres dapat mengontrol arus keuangan negara, menga-nulir hak veto presiden dan menginvestigasi kebijakanpresiden; kekuatan kantor kepresidenan tetap signifikan,tetap masih jauh dari konsep Jeffersonian yang mem-posisikan presiden sebagai pelayan keinginan kongres.26

23 Ibid.24 Di Indonesia MPR juga berwenang memilih wakil presiden dari dua calonyang diajukan presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakilpresiden. Tetapi, tidak ada keharusan calon wakil presiden berasal dariparlemen, sebagaimana yang disyaratkan di Filipina25 Ball dan Peters, n 6, hal. 177.26 Ibid 202.

Page 214: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

200

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

E. Wakil PresidenThe Executive Branch of the government of the United

States has but two elected members: the President and theVice-President. Only the former matters for what it is, thelatter merely for what he might become.27

Di Amerika Serikat, pertumbuhan pemerintahan yangpesat di abad ke-20 tidak membawa perubahan signifikanpada eksistensi dan fungsi wakil presiden. Setiap wakilpresiden tidak mempunyai peran penting selain menunggupresiden wafat, atau berharap, magangnya sebagai wakilpresiden berujung pada promosi menjadi presiden.28

Meski pada akhirnya tidak mempunyai kewenangankonstitusional yang signifikan, seleksi calon wakil presidentetap dipandang strategis. Calon wakil presiden dipilihberdasarkan faktor-faktor yang dapat saling melengkapidengan kandidat presiden. Contohnya, dengan memilihcalon wakil presiden Walter Mondale, Jimmy Carter mem-pertimbangkan pasangan yang berasal dari utara, liberaldan senator partai demokrat yang terkenal. Faktor-faktoryang tidak dimiliki oleh Jimmy Carter sebagai kandidatpresiden.29

Jimly Asshiddqie mendeskripsikan posisi seorang wakilpresiden terhadap presiden adalah sebagai berikut: Pertama,wakil presiden merupakan pengganti atau ban serep (re-served power) presiden. Wakil presiden dapat bertindakuntuk jangka waktu sementara atau dapat pula bertindak

27 Nigel Bowles, Government and Politics of the United States (1998) hal. 98.28 Ibid.29 Ibid 106. Bagian tentang wakil presiden ini masih belum lengkap danakan terus direvisi sesuai dengan makin banyaknya penulis membacareferensi tentang wakil presiden, yang jumlahnya masih amat terbatas.

Page 215: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

201

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

untuk seterusnya sampai masa jabatan presiden habis.Kedua, wakil presiden mewakili presiden dalam melak-sanakan tugas-tugas kepresidenan tertentu yang didelega-sikan kepadanya oleh presiden. Dalam hal demikian, wakilpresiden bertindak sebagai petugas negara yang men-jalankan tugas kepresidenan (on behalf of president). Ar-tinya, kualitas tindakan wakil presiden sama dengan kuali-tas tindakan presiden itu sendiri. Ketiga, wakil presiden jugadapat bertindak membantu presiden melaksanakan seluruhtugas dan kewajiban presiden. Kualitas bantuan wakilpresiden itu jelas berbeda tingkatannya dengan bantuanyang diberikan oleh para menteri yang juga disebut sebagaipembantu presiden.30

F. Presiden dan Lembaga KepresidenanPresiden berbeda dengan lembaga kepresidenan. Pre-

siden berhubungan dengan pemangku jabatan (personal,president, ambstrager). Sedangkan Lembaga Kepresidenanberkait dengan lingkungan jabatan (institusional, pre-sidency, ambt).31 Presiden berasal dari bahasan latin praesi-dens, praesidere yang berarti memimpin, bukan raja(monarch).32 Kata latin presidere berasal dari kata prae yangmaknanya di depan, dan sedere yang artinya duduk.33

Berbeda dengan jabatan legislatif dan yudikatif yang”multiple membership”, jabatan presiden merupakan ja-batan tunggal, posisi ”a club of one” yang hanya diisi olehsatu orang pemangku jabatan.34 Tidak mengherankan ka-

30 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2005).31 Manan, n 3, hal. 1 – 2.32 Ibid 4.33 Alrasid, n 11, hal. 10.34 Alrasid, n 11, hal. 12; Bowles, n 28, hal. 98.

Page 216: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

202

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

renanya, seorang presiden akan menikmati legitimasi pemiluyang sangat kokoh, menjadikannya national figur yang amatberpengaruh.35 Mengenai strategisnya pemangku jabatantunggal tersebut, Nigel Bowles:

A President’s greatest political asset is that theexecutive power in the United States is not collective butsingular … A member of Congress is one of a body 435, aSenator of a hundred, a Governor of fifty, a President ofone.36

Salah satu faktor yang menentukan dalam kesuksesanseorang presiden adalah dukungan administrasi kantorkepresidenan. Di Amerika Serikat, kantor Kepresidenansecara resmi dibentuk berdasarkan Reorganization Act tahun1933, yang kemudian direvisi di tahun 1939.37 Sejak pem-bentukannya di tahun 1939 Kantor Kepresidenan tumbuhsangat pesat. Di masa Presiden George Bush, kantor inimempekerjakan sekitar 1500 orang. Angka sebenarnya lebihdari itu, karena beberapa pekerja diletakkan di bawahadministrasi dan dibayar oleh kantor lain, bukan kantorkepresidenan.38

White House merupakan bagian dari kantor kepresi-denan (executive of the president).39 White House membanturelasi internal kepresidenan, relasi eksternal dengan kongres,relasi eksternal dengan media massa, memberi nasihatkebijakan, hingga membuat naskah pidato presiden.40

35 Bowles, n 28, hal. 98.36 Ibid 111.37 Ibid 115 – 117.38 Ibid 117.39 Tabel diambil dari Bowles, n 28, hal. 119.

Page 217: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

203

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Namun, staf di Gedung Putih tidak jarang mempunyaikekuasaan riil yang lebih besar dibandingkan menterisekalipun. Harry McPherson, mantan staf senior GedungPutih paling berpengaruh berpendapat posisi penasihatGedung Putih hampir berkebalikan dengan wakil presiden.Penasihat di Gedung Putih mempunyai kekuasaan strategisyang kapan saja mungkin tiba-tiba lenyap; sebaliknya wakilpresiden meski powerless, tetapi berkesempatan untukmenggantikan posisi presiden, dan karenanya menguasaikekuasaan yang luar biasa besar.

Meskipun secara formal merupakan bagian dariExecutive of the President, White House Office secara faktualberdiri terpisah dari struktur Kantor Kepresidenan. Tidaksebagaimana keanggotaan staf kepresidenan lain yang diaturdengan peraturan perundangan, staf gedung putih – sekitar400 orang – ditentukan langsung oleh presiden, tanpa adacampur tangan Kongres. Orang-orang gedung putih adalah”the President’s most intimate advisers”.41

Di Amerika Serikat, presiden cenderung semakin bebasmenentukan personil kabinet dan penasihat kepresidenan –bebas dari tekanan politik. Dikalkulasi, pada kurun waktu1861 – 1896, 37 persen menteri kabinet berasal dari kongres.Persentase tersebut menurun menjadi hanya 15 persen ditahun 1941 – 1963. Mayoritas anggota kabinet berasal dariuniversitas, pengusaha dan ahli hukum.42

Pengalaman Amerika Serikat, pembentukan kabinetmempunyai lima fungsi strategis: (1) membalas jasa pen-

40 Ball dan Peters, n 6, hal. 212 – 213.41 Bowles, n 28, hal. 119.42 Ball dan Peters, n 6, hal. 202.

Page 218: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

204

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

dukung utama presiden; (2) membangun dukungan darikelompok yang sebelumnya tidak mendukung, atau bahkanmantan lawan politik; (3) membangun dukungan darikongres; (4) memperkuat jejaring dukungan dari kelompokkunci (key racial groups). Semua presiden masa AmerikaSerikat modern mengangkat minimal satu orang menteri dariafrican american dan perempuan; dan (5) mengkonsolidasilingkaran dalam tim kepresidenan.43

G. Tugas dan WewenangPresiden mempunyai beberapa fungsi strategis. Ber-

dasarkan Konstitusi Amerika Serikat, presiden menguasaitujuh peran: kepala negara (chief of state); kepala peme-rintahan (chief of executive); panglima tertinggi angkatanbersenjata (comander-in-chief of the armed forces); pemimpindiplomasi (chief diplomat); pemimpin pembuat peraturanperundangan (chief legislator); chief magistrate for enforce-ment of laws; dan dispenser of pardons.44 MerangkumKonstitusi Amerika Serikat, Nigel Bowles merumuskan: 45

The Office of the Presidency: Article II of the Constitution• The executive power of the Federal Government is vested

in the President.• The President has the power to appoint ambassadors,

members of the Cabinet, Justices of the Supreme Court andJudges of Lower Federal Courts, with the advice andconsent of the Senate.

43 Bowles, n 28, hal. 114 – 115.44 Bell, n 15, hal. 10.45 Bowles, n 28, hal. 100.

Page 219: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

205

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

• The President may recommend to the Congress suchlegislative measures as he deems appropriate, and subjecttwo-thirds of both Houses of Congress overriding hisdecision, veto bills emerging from Congress.

• The President has the power to make treaties with foreignnations, with the advice and consent of two-thirds of theSenate.· The President is Commander-in-Chief of thearmed forces of the United States.

• The President may require the opinion in writing of theprincipal officer of each of the Executive Departments.

• The President has the power to grant reprieves andpardons, save in the cases of impeachment.

Dengan kekuasaan yang sedemikian strategis, tidakmengherankan jika kantor kepresidenan adalah kantor yangpaling menggoda di seluruh Amerika Serikat.46 Beberapakewenangan konstitusional di atas adalah eksklusif milikpresiden. Misalnya pemberian ampunan hukum hanyadipunyai sang presiden Amerika Serikat. Berbeda denganproses legislasi, meski didominasi legislatif, namun eksekutiftetap terlibat melalui hak veto.47

Salah satu kekuatan utama presiden adalah kewe-nangannya untuk mengangkat dan memberhentikan(appointment and removal) pejabat eksekutif. Jika ke-wenangan mengangkat dan memberhentikan itu mutlakdimonopoli oleh presiden, itulah yang disebut dengan hakprerogatif presiden. Hak prerogatif presiden terwujud nyatadalam penyusunan kabinet. Pengangkatan dan pemberhen-

46 Ibid.47 Ibid.

Page 220: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

206

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

tian menteri adalah hak prerogatif presiden sebagai kepalapemerintahan. Kekuatan presiden untuk mengangkat danmemberhentikan personil pemerintahan adalah senjata uta-ma presiden untuk menjaga soliditas tim kepresidenannya.48

Salah satu fungsi rekrutmen presiden menyangkut hakimagung. Presiden menominasikan hakim agung dengan per-setujuan senat. Jabatan hakim agung adalah untuk seumurhidup. Latar belakang calon sangat mempengaruhi ter-pilihnya seorang hakim agung. Data hingga awal 1990-anmenunjukkan bahwa 88 persen hakim berasal dari kelasmenengah ke atas. Seluruh proses rekrutmen hakim agungmelibatkan pertimbangan politik. Di tahun 1969 dan 1970,Presiden Nixon gagal menominasikan dua hakim agung,yang merupakan kegagalan kedua dan ketiga pada abad ke-20. Kala itu Haynesworth dan Carswell ditolak senat karenaalasan incompetence, meski alasan sebenarnya adalah alasanetnis. Di tahun 1988, calon hakim agung Bork, nominasi yangdiajukan Presiden Reagan, ditolak oleh senat karena pan-dangannya yang konservatif, khususnya dalam hal aborsi.George Bush akhirnya berhasil menggolkan Thomas, seorangyang merupakan african american, setelah bertarung pan-jang dan melelahkan dengan senat.49 Pengalaman Amerikatersebut menunjukkan bahwa jabatan seumur hidup bagihakim agung tidak memberikan jaminan pasti independensikekuasaan kehakiman.50

Presiden mempunyai kewenangan konstitusional untukmemveto suatu proses legislasi. Hak veto tersebut jugaberlaku untuk proses legislasi yang dilakukan komisi

48 Clinton Rossiter, The American Presidency (1960) hal. 6 – 7.49 Ball dan Peters, n 6, hal. 251 – 252.50 Ibid 252.

Page 221: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

207

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

eksekutif dan komisi independen. Hak veto Presiden bukanberarti ia melakukan intervensi. Veto adalah bentuk checksand balances yang melekat pada presiden atas kewenanganlegislasi cabang kekuasaan yang lain.51

H. Pemakzulan PresidenDalam dunia hukum tata negara ada dua konsep

pemecatan presiden: impeachment dan forum prevelegiatum.Forum previlegiatum adalah konsep pemberhentian

pejabat tinggi negara, termasuk presiden, melalui mekanismeperadilan khusus (special legal proceedings). Artinya, pre-siden yang dianggap melanggar hukum diberhentikanmelalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa mela-lui jenjang pemeriksaan pengadilan konvensional daritingkat bawah. Konsep ini diterapkan di Perancis yangdalam pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden danpara pejabat negara dapat dituntut untuk diberhentikan didalam forum pengadilan Mahkamah Agung Perancis karenapengkhianatan kepada negara, melakukan kejahatan kri-minal dan tindakan tidak pantas lainnya.

Sedangkan konsep impeachment lahir di zaman Mesirkuno dengan istilah iesangelia, yang pada abad ke-17diadopsi pemerintahan Inggris dan dimasukkan ke dalamkonstitusi Amerika Serikat di akhir abad ke-18. Perlu dicatatbahwa konsep impeachment dalam sistem ketatanegaraanAmerika Serikat adalah mekanisme pemberhentian parapejabat negara—termasuk para hakim federal karena me-langgar pasal-pasal impeachment, yaitu: penghianatan

51 Oliver A. Houck, President X and the New (Approved) Decisionmaking,The American University Law Review (36:1987) hal. 556.

Page 222: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

208

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

terhadap negara, penyuapan, kejahatan tingkat tinggilainnya dan perbuatan tercela (treason, bribery, or other highcrimes and misdemeanors).52

Pemakzulan (impeachment) presiden adalah proses pem-berhentian yang dilakukan oleh parlemen. Secara tekstual,impeachment berarti dakwaan atau tuntutan.53 Hingga awaltahun 2000 diidentifikasi 93 negara yang konstitusinyasecara eksplisit mengadopsi konsep impeachment bagipresiden. Meski demikian, hingga akhir 2002, baru tercatat12 negara yang pernah mencoba memakzulkan presidennya,serta hanya Amerika Serikat yang pernah lebih dari satu kalimelaksanakan proses impeachment dalam kurun waktu duaabad terakhir.54

Pemakzulan presiden jelas bukan perkara biasa, iaadalah ”political earthquake” dan ”extraordinary politicalevent”.55 Yang terkena dampak buruk dari proses pe-makzulan tidak hanya presiden yang menjadi terdakwa,namun juga pejabat negara lain yang terkait. Misalnya,akibat proses pemakzulan Presiden William Clinton, jurubicara House Newt Gingrich dan Bob Livingstone jatuh darikursi kekuasaannya.56

Menurut Konstitusi Amerika Serikat, House ofRepresentatives memiliki ”the sole power of impeachment”,yaitu kewenangan untuk mendakwa presiden dengan pasal-pasal pemakzulan. Dakwaan yang dimulai dengan votingmayoritas sederhana dari anggota House dilanjutkan dengan

52 Charles L. Black, Jr., Impeachment: A Handbook (1974) hal. 2.53 Ibid.54 Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, Checking Executive Power:Presidential Impeachment in Comparative Perspective (2003) hal. 1.55 Ibid.56 Ibid.

Page 223: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

209

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

persidangan di Senate yang memeriksa dakwaan dan me-mutuskan berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan. Setiappasal yang didakwakan, diperiksa satu-persatu. Akhirnya,persetujuan dua pertiga dari senator yang hadir disyaratkanuntuk memakzulkan presiden.57 Dua tahap pemakzulan diHouse dan Senate tersebut, diadopsi dari model impeach-ment di Inggris yang melibatkan House of Commons danHouse of Lords.58

Proses Pemakzulan di HouseMeski konstitusi tidak mensyaratkan, House menugaskan

Komisi Hukumnya untuk menyelidiki dan membuat laporanatas dugaan pemakzulan, termasuk pemakzulan kepadapresiden. Dalam sejarahnya, hanya ada satu kasus di manaimpeachment diputuskan House tanpa rekomendasi dariKomisi Hukum.59

Komisi Hukum memeriksa bukti-bukti berkait dengandugaan pelanggaran pasal-pasal pemakzulan (impeachmentarticles). Jika ditemukan bukti-bukti kuat, Komisi Hukummelaporkan temuannya kepada House dengan rekomendasipasal pemakzulan yang digunakan untuk menjerat pelakupelanggaran. Rekomendasi Komisi dapat saja diubah olehHouse, biasanya dengan mengurangi pasal yang menjadidasar pemakzulan; tetapi tidak dengan menambah dakwaanpasal baru. Karena, menambah dakwaan baru, tanparekomendasi Komisi Hukum, akan dilihat sebagai kele-mahan pada tahap persidangan di Senate.60 Di House tidak

57 Black, Jr., n 53, hal. 5 – 6.58 Ibid 6.59 Ibid.60 Ibid 7 – 8.

Page 224: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

210

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

lagi diadakan pemeriksaan barang bukti, melainkan hanyapengambilan keputusan atas dakwaan pasal-pasal yangdirekomendasikan oleh Komisi Hukum. Pengambilan kepu-tusan dilakukan atas semua pasal dakwaan secara ber-samaan, ataupun secara terpisah, satu-persatu.61

Alternatif proses lainnya, pada tahap awal, KomisiHukum hanya merekomendasikan dakwaan pemakzulansecara umum, tanpa pasal dakwaan yang spesifik. Housekemudian mengambil keputusan dari rekomendasi umumtersebut. Jika diputuskan untuk meneruskan proses pemak-zulan, maka Komisi Hukum ditugaskan untuk mempersiap-kan rancangan impeachment lengkap dengan pasal yangdidakwakan. Pasal dakwaan tersebut kembali diputuskanmelalui pemungutan suara di House. Kuorum pungutansuara pemakzulan adalah disetujui oleh mayoritas sederhanadari anggota House yang hadir. Berkait dengan kehadiran,dalam hal pemakzulan presiden, anggota House amat jaranguntuk membolos, karena akan sulit mempertanggungjawab-kannya kepada konstituen.

Pemungutan suara menghindari keadaan ”a close votealong party lines”, yaitu hasil voting yang secara nyatamembagi kubu Partai Republik dan Demokrat. Hasil votingdemikian akan sulit meyakinkan Senate, apalagi masyara-kat, karena kepentingan politik partai akan dianggapmengkontaminasi dakwaan pemakzulan.62 Dakwaan pe-makzulan yang disetujui House, dalam format Bill ofImpeachment, dikirim ke Senate untuk disidangkan dandijatuhkan vonisnya.63

61 Ibid 8.62 Ibid.63 Ibid.

Page 225: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

211

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Tugas House selanjutnya adalah menentukan ”Jaksa”yang mempersiapkan tuntutan pemecatan sang presidenpada sidang Senate. ”Jaksa” yang profesional dan ber-kualitas sangat penting karena, dalam persidangan im-peachment, House akan berperan sebagai penuntut umum.Para Jaksa tersebut adalah anggota House – biasanya berasaldari Komisi Hukum – yang dalam menyiapkan tuntutanpemakzulan akan dibantu oleh staff ahli. Mereka dipilihmelalui pemungutan suara di House, atau cukup olehpimpinan House. Partai Republik dan Demokrat akanterwakili di dalam komposisi jaksa penuntut umum im-peachment. Tentu saja, anggota House yang tidak setujudengan Bill of Impeachment tidak akan terpilih menjadi sang”Jaksa”.64

Proses Pemakzulan di SenateSetelah menerima Bill of Impeachment dari House, Senate

berubah fungsinya menjadi forum pengadilan. Khususuntuk pemakzulan presiden, Ketua Mahkamah Agungmenjadi ketua majelis sidang. Sebelum persidangan, semuasenator melafalkan sumpah khusus untuk ”do impartialjustice according to the Constitution and laws.” KehadiranKetua Mahkamah Agung dan pelafalan sumpah tersebutmenunjukkan, dalam hal pemakzulan presiden, Senatesedang memerankan tugas yang berbeda, dari fungsi rutin-nya sebagai lembaga legislatif.65

Sebenarnya, sejarah perumusan konstitusi Amerika Seri-kat hingga tahap akhir Constitutional Convention di tahun

64 Ibid 8 – 9.65 Ibid 10.

Page 226: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

212

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

1787, menentukan Mahkamah Agung sebagai forum per-sidangan impeachment. Karenanya, ketika pada akhirnyaditentukan Senate sebagai forum impeachment, formatpersidangan perkara hukum amat kental. Perbedaan men-dasar antara kejahatan lain dengan impeachment adalahpemeriksaannya yang tanpa melibatkan sistem juri. Sele-bihnya, proses persidangan diharapkan mampu memverifi-kasi fakta dan korelasinya dengan aturan hukum, denganmeminimalkan sifat partisan atau bias kepentingan politik.Kesimpulannya, desain Senate sebagai forum pemakzulanpaling tidak diarahkan sebagai quasi-judicial.66

Namun desain yang ideal itu tentu sulit diaplikasikan dilapangan. Misalnya, banyak senator yang mengalami ben-turan kepentingan karena merupakan sahabat karib daripresiden. Dalam persidangan kasus biasa, benturan kepen-tingan demikian dapat menyebabkan seseorang didiskuali-fikasi sebagai hakim atau juri. Tetapi dalam hal im-peachment sistem diskualifikasi demikian tidak dapat dite-rapkan, karena berpotensi melahirkan persidangan denganjumlah senator minimal yang jauh dari memadai. Untukkeluar dari masalah demikian, tidak ada jalan lain kecualiusaha keras senator sendiri untuk bersikap profesional,independen dan imparsial.67

Di persidangan, Senate memeriksa bukti yang berkaitdengan setiap dakwaan pemakzulan. ”Jaksa” dari Housemempresentasikan dakwaannya. Presiden pun akan di-dampingi oleh penasihat hukum, layaknya persidangankriminal biasa, meski tidak tertutup kemungkinan presidenhadir sendiri. Para pihak berhak mengajukan saksi-saksi

66 Ibid.67 Ibid 11.

Page 227: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

213

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

dan menunjukkan bukti pendukung. Setiap ada masalahhukum acara, ketua Mahkamah Agung – selaku ketua majelis– akan membuat keputusan, meskipun keputusannya dapatdibatalkan oleh voting mayoritas sederhana senator yangmenghadiri sidang. Setelah pemeriksaan seluruh alat buktiselesai, tahap selanjutnya adalah pemberian argumentasidari masing-masing pihak.68

Peraturan Tata Tertib Senate mengatur, dalam peme-riksaan kasus pemakzulan, Senate dapat memilih KomisiDua Belas (Committee of Twelve) untuk lebih fokus meme-riksa pembuktian dan membuat laporan kepada seluruhanggota Senate. Komisi demikian agaknya diambil darisistem juri dalam pemeriksaan kasus kriminal biasa. Namun,untuk pemakzulan presiden yang teramat penting, konsepkomisi demikian akan problematik sisi konstitusionali-tasnya. Konstitusi secara jelas memberikan kewenanganpersidangan impeachment kepada seluruh senator dan tidakkepada dua belas orang saja.69

Setelah pemeriksaan pembuktian dan jawab-menjawabargumen selesai dilakukan, Senate melakukan pemungutansuara. Voting dilakukan terpisah untuk masing-masing pasaltuntutan impeachment. Jika tidak ada pasal impeachmentyang memenuhi syarat kuorum minimal disetujui dua pertigaanggota Senate, maka keputusan demikian diumumkan dandidokumentasikan. Sebaliknya, jika ada tuntutan impeach-ment yang dianggap terbukti dan presiden dinyatakanbersalah keputusan demikian dibacakan oleh Ketua Mah-kamah Agung selaku pimpinan persidangan.70 Akhirnya,

68 Ibid 12.69 Ibid.70 Ibid.

Page 228: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

214

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

perlu digarisbawahi bahwa peran senator dalam mengambilkeputusan pemakzulan presiden terbatas hanya pada tun-tutan yang diajukan oleh House. Senate tidak boleh me-mutuskan presiden bersalah atas hal-hal yang tidak dituntutHouse. Meskipun tentu, hal-hal yang terungkap dalampersidangan impeachment di Senate dapat menjadi embriobagi dakwaan impeachment baru yang bisa diajukan olehHouse.71

Berkait dengan hukuman impeachment yang dijatuhkanSenate, konstitusi mengatur bahwa terdakwa impeachmentharus dimakzulkan. Meski demikian timbul pertanyaanapakah kalimat ”shall be removed” di dalam konstitusimerupakan hukuman yang wajib dilaksanakan, atau meru-pakan alternatif hukuman. Namun pertanyaan demikianmungkin relevan untuk kasus impeachment selain presiden.Untuk presiden yang terbukti bersalah dalam kasus im-peachment, akan sulit membayangkan ia akan tetap diterimarakyatnya setelah terbukti menghianati negara, melakukanatau menerima penyuapan, terjerat kejahatan tingkat tinggilainnya, ataupun melakukan perbuatan tercela.

Setelah membahas teori-konsep presidensial di atas, kinitiba gilirannya untuk melihat penerapannya di Indonesia.

II. Sistem Presidensial di IndonesiaA. Presidensial, Presiden Sial dan ”PresidenSialan”

Berdasarkan pengalaman Indonesia, penulis mengklasi-fikasikan ada tiga macam sistem pemerintahan presidensial:(1) presiden sial (minority presidential); (2) ”presiden sialan”

71 Ibid 13 – 14.

Page 229: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

215

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

(majority presidential); dan (3) presidensial (effective pre-sidential).72

Sistem presidensial akan menjadi pemerintahan yangefektif dan demokratis bila ditopang dua hal utama: personalpresiden yang baik dan desain konstitutional yang demo-kratik (lihat tabel Lampiran I). Namun keduanya tidakpernah hadir secara bersamaan di Indonesia. Yang pernahterjadi justru, adanya seorang presiden yang bermoralproblematik dengan sistem konstitusi yang buruk. Atau,kalaupun presidennya relatif baik, desain konstitusinyarelatif buruk. Seharusnya sistem presidensial yang kokohdijamin dalam konstitusi, dan pada saat yang bersamaan,dikontrol oleh sistem parlemen yang kritis, sebagai hasil darisistem kepartaian sederhana.

”Presiden Sialan” adalah presiden yang didukung suaramayoritas mutlak di parlemen. Pemerintahan yang terjadiadalah pemerintahan kolutif (unified government). Ke-kuatan politik memusat di tangan presiden, dan parlemenhanya menjadi ”macan ompong”. ”Presiden Sialan” lebihmungkin terjadi dalam sistem presidensial yang berpadudengan sistem mono-partai, atau didominasi oleh satu partai.

Di Indonesia, sistem ”Presiden Sialan” lahir jika terjadipenggabungan antara unsur personal yang buruk moral,dengan kekuasaan konstitusional dan partisan yang tanpakontrol, ditambah sistem parlemen dan kepartaian yangmandul. Itulah sistem presidensial Indonesia sebelum aman-demen UUD 1945. Kekuasaan presiden di dalam konstitusisangat kokoh. Meski tidak dipilih langsung oleh rakyat, sang

72 Paparan di bawah ini berasal dari Denny Indrayana, Effective Presidential,Minority Presidential, Majority Presidential, Kompas 13 Mei 2004.

Page 230: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

216

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

presiden jauh lebih berkuasa daripada lembaga perwakilanrakyat. Partai politik direkayasa menjadi hanya tiga. Satuyang asli, dua lainnya hanya sebagai penggembira. Hasilnya,terbentuklah struktur kekuasaan yang berbentuk piramid,dengan presiden berada di puncak kekuasaan.73 Lahirlahpresiden yang lebih bertingkah-polah sebagai raja yanghanya wajib disembah dan haram disanggah.

Setelah masa ”Presiden Sialan selesai”, Indonesia pernahhidup di bawah sistem Presiden yang Sial. Secara moral, sangpresiden berjiwa demokrat. Ia amat dekat, bahkan seringbersenda gurau dengan Tuhan, apalagi rakyat. Banyak yangmenyebutnya Kiai, tidak sedikit yang menganggapnya wali.Sayangnya, ia hanya presiden yang bertahan hanya dalamhitungan ’hari’. Selanjutnya – meminjam istilah Abdul MunirMulkhan (Kompas 18/04/2000) – ’Kiai Sang Presiden’mengalami ujian langsung dari Tuhan sahabatnya, dan lulusdengan predikat summa cum laude sebagai Presiden yangSial.

Kesialan sang Kiai lebih disebabkan karena empat faktorutama, yaitu: melemahnya jaminan kekuasaan di tingkatkonstitusi, menguatnya kontrol parlemen, minimnya ke-kuasaan atau dukungan partisan, sebagai konsekuensihadirnya sistem multi partai yang tidak sederhana. Di erapemerintahannya, Perubahan Pertama dan Kedua UUD1945 dilakukan. Pascaamandemen ini, desain konstitusiyang muncul adalah presiden yang bagaikan macan om-pong.

Presiden sial adalah presiden yang disokong suaraminoritas di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah

73 William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996) hal.17.

Page 231: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

217

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

pemerintahan terbelah (divided government). Kekuatanpolitik terpecah antara presiden dan parlemen. Presiden siallebih mungkin terjadi jika sistem presidensial dipadukandengan sistem multi-partai.74

Pascasistem presiden yang sialan dan presiden yang sial,rakyat Indonesia banyak belajar. Peta perjalanan untukmenuju sistem presidensial yang efektif dan demokratissudah mulai dibaca dengan seksama. Mengacu pada pe-ngalaman negara-negara di Amerika Latin, resep Main-waring coba diterapkan. Jaminan kekuasaan konstitusi(constitutional power) lebih ditingkatkan. Dukungan ke-kuasaan partisan (partisan power) di parlemen lebih di-upayakan.75

Di tingkat konstitusi setelah amandemen keempat, Indo-nesia lebih menuju sistem presidensial murni.76 PerubahanKetiga dan Keempat UUD 1945, mengadopsi bahwa pre-siden dan wakil presiden akan dipilih langsung oleh rakyatdan sistem pemakzulan presiden dijadikan jauh lebih sulit.Namun, untuk lebih menguatkan kemurnian itu, hak vetopresiden dalam legislasi seharusnya diberikan. Peluangmajunya calon presiden independen juga harus mendapattempat di konstitusi. Untuk dua hal ini, hasil kajian KomisiKonstitusi yang baru saja diserahkan ke MPR menjadipenting untuk dipertimbangkan.

74 Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Demo-cracy in Latin America (1990).75 Ibid.76 Andrew Ellis, ’The Indonesian Constitutional Transition: Conservatism orFundamental Change’ (2002) 6, Singapore Journal of International andComparative Law.

Page 232: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

218

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

B. Presidensial di Era Yudhoyono77

Bagaimana dengan era Presiden Susilo Bambang Yudho-yono? Beberapa kalangan berpendapat bahwa Yudhoyonoakan menjadi presiden sial. Penulis berbeda pendapat.Personality Yudhoyono, aturan konstitusi dan arah koalisiakan menyebabkan Yudhoyono dapat bertahan sebagaipresiden mulai 2004 hingga 2009.

Secara formal, memang Yudhoyono adalah presiden sial.Modal awal Yudhoyono hanya 55 kursi Partai Demokrat, 10persen kursi di DPR, lebih sedikit daripada persentase kursiPKB yang mendukung presiden sial Wahid. Namun, pribadiYudhoyono berbeda dengan Wahid. Yudhoyono cenderunglebih akomodatif, sikap politik yang mau-tidak-mau diper-lukan oleh seorang presiden minoritas. Wahid cenderunglebih destruktif, sikap politik yang justru membuatnyasemakin miskin sokongan di parlemen.

Aturan konstitusi juga berpihak kepada Yudhoyonodibandingkan Wahid. Sepanjang pemerintahan Wahid,konflik antara presiden dan parlemen tidak mempunyaisaluran penyelesaian konstitusional. Yang terjadi akhirnyaadalah pertandingan tak berujung, tanpa wasit yang impar-sial. Jika kemudian MPR memakzulkan Wahid, hal itu tidaklain karena MPR sendiri merupakan unsur parlemen yangikut bermain dalam pertandingan presiden versus parlemen.Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, bila terjadi konflikkewenangan antara presiden dengan parlemen, MahkamahKonstitusi adalah hakim yang menentukan kebenarankonstitusional.

77 Paparan ini berasal dari Denny Indrayana, Presidensial di Indonesia,Tempo No. 34/XXXIV/18 - 24 Oktober 2004.

Page 233: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

219

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Lebih jauh, berdasar konstitusi, Yudhoyono akan lebihsulit dimakzulkan dibandingkan Wahid. Pasca PerubahanKetiga UUD 1945, alasan impeachment lebih yuridis ketim-bang politis. Selain parlemen (DPR dan MPR), konfirmasidari Mahkamah Konstitusi, bahwa presiden memang dapatdimakzulkan, merupakan syarat konstitusional yang harusdipenuhi dalam proses pemakzulan. Prosedur yang lebihrumit ini menyebabkan pemakzulan presiden akan lebihsulit di masa depan.

Arah koalisi partai politik juga berpihak pada Yudho-yono. Kecerdasan pemilih yang memberikan mandat terpisah(ticket splitting), dengan memilih partai tertentu di pemilulegislatif, tetapi memilih calon presiden dari partai lain dipemilu eksekutif, menyebabkan konfigurasi politik presidendan parlemen mengarah kepada dua kubu yang berbeda.

Perlu diingat, sistem presidensial yang bersatu dengansistem dua partailah yang mendorong hadirnya presidensialyang efektif (effective presidential) di Amerika Serikat.Hasilnya, relatif belum pernah ada presiden Amerika Serikatyang menjadi presiden sial karena dimakzulkan, ataupunmenjadi presiden sialan. Padahal, menurut Giovanni Sartori,dalam rentang waktu sejak 1950-an sistem presidensialAmerika Serikat juga didominasi oleh fenomena peme-rintahan terbelah. Bahkan dalam rentang waktu 24 tahun,sejak tahun 1969 hingga 1992, pemerintahan terbelah terjadidalam kurun masa 20 tahun. Dalam tahun 1968 hingga 1992,Partai Republik selalu menduduki Gedung Putih kecualimasa 4 tahun di bawah Presiden Jimmy Carter. Sebaliknya,Partai Demokrat selalu mendominasi komposisi kursi diKongres. Meski demikian, sistem dua partailah yang menye-

Page 234: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

220

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

babkan mekanisme saling kontrol dapat tetap berjalanantara presiden dan parlemen.78

Yudhoyono dapat menjadi pelopor bagi tidak sialnya(lagi) presiden sial Indonesia. Salah satunya dengan terusmeneguhkan kekuatan sistem presidensial dalam penyu-sunan kabinet dan pengolahan adonan politik koalisi.

1. Presiden Yudhoyono, Kabinet dan KoalisiDengan kabinet pelangi, logikanya setiap kebijakan

pemerintah akan mendapat dukungan parlemen. Nyatanyatidak. Karena itu, lebih baik ada koalisi terbatas dan oposisiyang kuat dibandingkan mengakomodasi semua dalamkabinet pelangi. (Susilo Bambang Yudhoyono: 2004)

Dalam sistem presidensial, penyusunan kabinet adalahhak prerogatif presiden. Namun, teori dan praktik seringkaliberbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandarpada hak prerogatif, namun juga tergantung pada kompromidan akomodasi politik. Justru masalah kompromi inilahyang lebih dominan mewarnai penyusunan kabinet. Domi-nasi tersebut semakin terang-benderang apabila sistempresidensial berdiri di atas sistem multi partai. Dalam kondisidemikian, sering terjadi presiden terpilih tidak menguasaimayoritas suara di parlemen. Hadirlah presiden minoritas,lahirlah pemerintahan terbelah. Yaitu pemerintahan yangagenda politik eksekutifnya berseberangan jalan denganmayoritas aspirasi politik di legislatif.

Perbedaan yang parah antara presiden dan parlemendapat berujung pada pemakzulan (impeachment) presiden.Perbedaan yang biasa-biasa saja sering menghambat agen-

78 Giovanni Sartori, Comparative Constitutiona Engineering (1997) hal. 87 –88.

Page 235: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

221

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

da-agenda kerja presiden. Untuk mengantisipasi kesulitanitulah presiden membeli dukungan parlemen dengan men-jual kursi di kabinet. Inilah ciri sistem parlementer yangdiadopsi oleh sistem presidensial dengan multi partai.Muncullah koalisi pemerintahan, ciri utama sistem parle-menter. Untuk menciptakan keseimbangan, seharusnyakelahiran koalisi itu diikuti dengan hadirnya oposisi.Namun, keinginan untuk menduduki kursi menteri, me-nyebabkan posisi koalisi lebih bergengsi dibandingkanoposisi.

Koalisi pemerintahan dapat dibagi tiga: koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition), koalisi kekecilan(undersized coalition) dan koalisi kebesaran (oversizedcoalition).79 Koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang men-dapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen.Jumlah partai yang berkoalisi dibatasi hanya untuk men-capai dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilanadalah koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritassederhana di parlemen. Sebaliknya, koalisi kebesaran ada-lah potret pemerintahan yang nyaris mengikutsertakansemua partai ke dalam kabinetnya.

Koalisi pemerintahan yang kekecilan memunculkanpresiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya,koalisi kebesaran telah menghasilkan pemerintahan yangterlalu gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untukmenuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik kedepan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.

Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskindukungan politik di parlemen; Koalisi kebesaran menuju

79 Arendt Lijphart, Pattern of Democracy (1999).

Page 236: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

222

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Yang ideal adalahdibentuknya Koalisi pas-terbatas, susunan kabinet yangmengakomodasi kepentingan politik sekaligus tidak me-ngorbankan pertimbangan kapasitas dan profesionalitas.

Bagi rakyat, koalisi dan kabinet pas-terbatas diha-rapkan, karena melahirkan interaksi yang konstruktif antarapresiden dan parlemen. Sedangkan bagi partai politik,koalisi pas-terbatas juga menguntungkan. Terbatasnya jum-lah partai menyebabkan jatah kue kabinet (power sharing)yang dinikmati oleh masing-masing anggota koalisi akanlebih besar.

Koalisi dan kabinet kekecilan dihindari karena melahir-kan relasi presiden dan parlemen yang destruktif; samahalnya koalisi dan kabinet yang kebesaran tidak menjadipilihan karena menghadirkan hubungan presiden danparlemen yang kolutif.

Berapakah angka ideal dukungan politik parlemen yangpas-terbatas itu? Seharusnya kisarannya adalah antara 275hingga 300 kursi di DPR. Mengapa demikian? DewanPerwakilan Daerah – sayangnya – relatif dapat dinafikankarena tidak mempunyai kekuatan konstitusi yang ber-bahaya bagi Presiden. Sebaliknya, DPR dapat mempeloporiproses impeachment, menghambat proses legislasi dan prosesrekrutmen politik orang-orang yang didukung presiden.Dengan jumlah anggota DPR 550 orang, maka angka 275hingga 300 adalah dukungan politik yang lebih dari 50persen, tidak kekecilan, namun juga tidak kebesaran, aliaspas-terbatas.

Saat ini Kabinet Indonesia bersatu didukung kursi DPRdari Partai Demokrat (55), Golkar (128), PPP (58), PAN (53),PKB (52), PKS (45), dan PBB (11). Itu artinya koalisi dan

Page 237: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

223

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

kabinet sekarang sudah membentuk 402 dukungan, atauhampir 75 persen jumlah kursi di DPR – meski patut dicatatdukungan PKB yang terpecah memang tidaklah utuh.Namun tetap saja hitung-hitungan tersebut menunjukkanbahwa koalisi yang dibentuk Presiden Yudhoyono adalahkoalisi dan kabinet yang kedodoran (oversized coalition).Tidak mengherankan relasinya dengan parlemen sangatkolutif. Artinya, DPR amat jarang bersikap kritis terhadappresiden.

Momentum reshuffle kabinet harus menjadi saat untukkembali menyehatkan kabinet menjadi ramping alias pas-terbatas, tidak lagi overweight. Namun, itu semua tergantungpada komitmen Yudhoyono untuk konsisten dengan uca-pannya sendiri untuk menciptakan koalisi terbatas, sebagai-mana dikutip di awal tulisan ini. Sayangnya, keinginanuntuk menguasai parlemen agaknya lebih besar diban-dingkan tujuan untuk membangun relasi yang lebihkontruktif. Di sisi parlemen sendiri, belum ada partai politikyang sadar bahwa posisi sebagai oposisi juga penting untukterciptanya atmosfer politik yang dinamis dan demokratis.

Untuk menghindari koalisi dan kabinet semata-matamenjadi dagangan kekuasaan, kehadiran Undang-undangKementerian Negara yang mengatur tentang fungsi daneksistensi kabinet menjadi wajib adanya. Kebutuhan akanregulasi tersebut makin nyata karena miskinnya etika politikpara elite kita. Sebab, seandainya integritas poltisi kita dapatdiandalkan, aturan tertulis hanyalah pelengkap semata.Tapi, agaknya sudah menjadi hukum alam bahwa etika dankehidupan politik bukanlah kawan sejalan, melainkanlawan yang tak pernah searah setujuan.

Page 238: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

224

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

2. Presiden Yudhoyono dan DPR80

Beberapa waktu lalu, Amien Rais mengatakan DPRcenderung kembali menjadi stempel pemerintah. KerisauanAmien Rais itu agaknya bermula dari kurang kritisnya DPRdalam menyikapi kebijakan pemerintah dalam beberapa isustrategis semacam kenaikan harga BBM dan kebijakan imporberas. Di satu sisi penulis relatif mengamini pernyataanAmien Rais tersebut, meski di sisi lain saya juga memper-tanyakan kenapa Partai Amanat Nasional, yang sedikitbanyak masih berada di bawah bayang-bayang Amien Raissendiri, ikut-ikutan menjadi stempel dari kebijakan-kebi-jakan pemerintah tersebut.

Pengalaman kita sebagai bangsa telah lengkap meng-hadirkan potret relasi presiden dengan parlemen. Di masaPresiden Soeharto, hubungan presiden dengan DPR amatlahkolutif. Presiden seakan-akan adalah atasan langsung dariDPR. Apapun kebijakan Soeharto akan disambut denganpaduan suara yes men di DPR dan MPR. Akibatnya, Soehartobertahan hingga lebih dari tiga puluh dua tahun. Pada titikekstrim lainnya, di masa Presiden Abdurrahman Wahid,relasi presiden dengan parlemen amatlah konfrontatif. Pre-siden Wahid gagal membangun dukungan yang solid diDPR. Sebaliknya ia terus-menerus berkonflik dengan par-lemen. Akibatnya, masa kepresidenan Wahid hanya ber-tahan satu setengah tahun.

Baik hubungan yang kolutif maupun konfrontatif sama-sama bukanlah relasi yang ideal antara presiden denganparlemen. Keduanya seharusnya membangun hubunganyang saling kontrol dan saling imbang (checks and balances),

80 Denny Indrayana, Presiden dan DPR Sekutu atau Seteru, Kompas 20Februari 2006.

Page 239: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

225

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

yaitu hubungan yang konstruktif untuk bersama-samamendorong agenda pembangunan bangsa dengan tetapmembuka pintu bagi perbedaan pendapat dan ruang untuksaling mengingatkan.

Relasi yang konstruktif itulah yang sedikit banyak terjadidi masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono).Sebagai presiden minoritas (minority president), Yudhoyonoyang hanya didukung modal awal 7 persen suara di DPRtelah cukup berhasil mengelola irama konfliknya denganDPR. Memang dalam isu makro politik DPR terlihat knockout dihajar serangan beruntun dari sang presiden. Namundibandingkan di masa Presiden Soeharto, tidak sedikitperbedaan pendapat yang berani dilontarkan oleh paraanggota DPR, khususnya dalam masalah mikro politik.Namun kekritisan di isu-isu mikro tersebut, misalnya dalampenyusunan pasal undang-undang, dan kritisnya per-tanyaan-pertanyaan dalam dengar pendapat dengan peme-rintah, cenderung tenggelam secara pemberitaan media masaterutama karena dalam isu-isu populis, DPR lebih seringpasrah bongkokan kepada kebijakan Presiden.

Kepasrahan tersebut karena bangunan koalisi yangdibangun Yudhoyono terbukti lebih solid dibandingkanporos tengah yang awalnya sempat mendukung Wahid.Padahal Presiden Wahid mempunyai modal awal yang lebihbesar, yaitu pasukan berani mati PKB yang menduduki 11persen kursi DPR. Gaya kepemimpinan Yudhoyono yanglebih akomodatif, dibandingkan Wahid yang lebihkonfrontatif menyebabkan hasil akhir relasi presiden danparlemen menjadi berbeda. Meski keduanya sama-samamerupakan presiden minoritas. Hal itu membuktikan sistem

Page 240: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

226

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

ketatanegaraan kita masih kental diwarnai gaya personalsang pemimpin.

Sistem ketatanegaraan yang personal itu sebaiknyadihindari. Ke depan sistem politik kita harus lebih bersandarkepada sistem yang demokratis, bukan kepada orang. Ituartinya diperlukan rekayasa konstitusi (constitutionalengineering) untuk membangun hubungan presiden danparlemen yang lebih konstruktif dan dinamis.

III. Mencari lembaga Kepresidenan yang EfektifBerangkat dari pendasaran teori, pengalaman paradoks

serta anomali sistem presidensial Indonesia tersebut di atas;sebuah pertanyaan krusial sangat mendesak untuk dikemu-kakan: apakah solusi untuk keluar dari buah simalakamapresiden sial atau presiden sialan? Bagaimanakah sebe-narnya format ideal sistem presidensial yang efektif?

Yang dimaksudkan dengan efektifitas di sini adalahsuatu keadaan atau situasi di mana lembaga kepresidenan(dengan segala kewenangan yang dimilikinya) bisa merea-lisasikan platform politik dan program kerja pemerintahansecara efektif karena adanya hubungan konstruktif—bukankolutif ataupun konfrontatif—dengan semua lembaga negarayang lain, khususnya parlemen. Untuk menciptakan lem-baga kepresidenan yang efektif di tengah sistem multi partaimaka perlu dilakukan beberapa langkah rekayasa hukumyang cerdas, sekaligus tetap demokratis.

Pertama, sistem multipartai adalah keniscayaan bagiheterogennya alur dan pola pikir politik masyarakat Indo-nesia. Meskipun demikian, Orde Baru mempunyai kesalahanfatal ketika mendesakkan penyederhanaan sistem kepar-taian menjadi tiga: Golkar, PPP dan PDI. Bentuk peng-

Page 241: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

227

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Per

band

inga

n S

iste

m P

resi

dens

ial,

Pre

side

n S

ial

dan

”Pre

side

n S

iala

n”

Page 242: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

228

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kerangkengan partai politik melalui rekayasa politik dariatas (top down) tersebut jelas membunuh demokrasi danmematikan keberagaman yang nyata-nyata ada di Indonesia.

Sistem multipartai karenanya tidak bisa dihilangkan.Yang perlu dilakukan berkait dengan penciptaan lembagakepresidenan yang efektif adalah mengarahkan agar sistemmultipartai itu menjadi lebih sederhana. Pengarahan dilaku-kan tidak dengan pembatasan tetapi dengan seleksi alammelalui pemilu. Itu artinya mekanisme electotral thresholdyang sekarang sudah diadopsi oleh undang-undang tentangpartai politik dan pemilu sudahlah tepat.

Kedua, namun dalam praktiknya, electoral threshold itumasih diakali dan disimpangi. Partai-partai yang tidak lolosambang batas masih saja melakukan manipulasi politik-hukum sehingga mereinkarnasi partainya untuk tetap men-jadi peserta pemilu. Maka, penerapan ambang batas haruslebih tegas diterapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, disamping itu, ambang batas tidak hanya diberlakukankepada partai politik, namun larangan menjadi pesertapemilu juga wajib diberlakukan kepada orang atau pe-ngurus partai yang partainya tidak lolos electoral threshold.Meski, agar tidak bertentangan dengan hak asasi untukberserikat dan berkumpul, maka pelarangan itu hanyadiberlakukan untuk satu kali pemilu. Dengan larangantidak hanya partai tetapi juga orang demikian, makapetualang politik yang membuat partai semata untuk kepen-tingan sesaat akan berkurang dan akhirnya tujuan penye-derhanaan partai akan mungkin diwujudkan.

Ketiga, perlu diatur bahwa calon presiden dan wakilpresiden haruslah berasal dari partai yang sama, ataukeduanya adalah calon independen sama sekali di luar

Page 243: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

229

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

partai. Hal ini penting untuk menyamakan platform politiklembaga kepresidenan. Tanpa antisipasi yang cerdas tidakmustahil ke depan pemerintahan tidak hanya terbelah antarapresiden dengan parlemen (divided government), tetapibahkan sudah terbelah secara internal di antara presidendengan wakil presidennya – salah satunya – karena perbe-daan partai dan kepentingan politik antara keduanya.Aturan demikian sebaiknya ada dalam undang-undangpemilihan presiden dan wakil presiden.

Keempat, perlu disegerakan lahirnya undang-undangtentang Kementerian Negara yang akan membantu ter-ciptanya koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition)serta kabinet yang profesional. Undang-undang demikianakan meminimalisir terlalu bebasnya seorang presidenmembentuk dan/atau membubarkan departemen semata-mata karena ingin mengakomodasi kawan politiknya, ataumembunuh lawan politiknya. Kabinet yang gemuk dantidak efisien hasil dagang sapi politik antara presidendengan partai politik akan terkontrol dengan jelasnyadepartemen-departemen apa yang sewajibnya ada. Polemikseputar reshuffle kedua yang dilakukan Presiden Yudhoyonomakin meneguhkan perlunya aturan main kementerianuntuk menghindari posisi menteri hanya menjadi jualanpolitik yang menafikan kepentingan publik.

Kelima, undang-undang dewan pertimbangan presidenyang sudah menghasilkan para penasihat presiden harussegera bekerja untuk memberi masukan yang berbobot.Meskipun bobot masukan itu hanya berupa pertimbangan,namun jika kualitasnya terjaga tidak ada alasan bagipresiden untuk tidak memperhatikannya.

Page 244: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

230

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Perbaikan di atas sebagian besar dapat dilakukan padalevel amandemen Undang-undang. Kecuali masalah calonpresiden yang harus dibuka pada level aturan konstitusi.Karena monopoli pencalonan presiden oleh partai politikatau koalisi parpol saat ini adalah materi muatan konstitusi.

Di luar pengaturan internal kepresidenan, sistem checksand balances pada level UUD 1945 juga harus diperbaiki, ituartinya tidak hanya relasi presiden DPR yang harus diper-baiki, tetapi peran Dewan Perwakilan Daerah juga adabaiknya diperbaiki. Dengan DPD yang berdaya kontrol dandinamisnya kehidupan di internal parlemen akan terjadi,membatasi kewenangan oligarki partai yang saat ini nyaristidak tertandingi. ***

DAFTAR PUSTAKA

Alan R. Ball dan B. Guy Peters, Modern Politics and Government (6th

edition, 2000).

Andrew Ellis, ’The Indonesian Constitutional Transition: Conservatism orFundamental Change’ (2002) 6, Singapore Journal of Internationaland Comparative Law.

Arendt Lijphart, Pattern of Democracy (1999).

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (1999).

Charles L. Black, Jr., Impeachment: A Handbook (1974).

Clinton Rossiter, The American Presidency (1960).

Denny Indrayana, Effective Presidential, Minority Presidential, MajorityPresidential, Kompas 13 Mei 2004.

Denny Indrayana, Presiden dan DPR Sekutu atau Seteru, Kompas 20Februari 2006.

Denny Indrayana, Presiden yang Terpenjara, Media Indonesia 9 November2006.

Denny Indrayana, Presidensial di Indonesia, Tempo No. 34/XXXIV/18 - 24Oktober 2004.

Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada27 November 2006.

Page 245: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

231

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Giovanni Sartori, Comparative Constitutiona Engineering (1997) hal. 87 –88.

Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden (1999).

Jack Bell, The Presidency: Office of Power (1967).

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2005).

Jimly Asshiddiqie, Presidensialisme Versus Parlementarisme dalam GerakPolitik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip LembagaKepresidenan (2002).

Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, Checking Executive Power:Presidential Impeachment in Comparative Perspective (2003).

Louis W. Koenig, The Chief Executive (1964).

Nigel Bowles, Government and Politics of the United States (1998).

Oliver A. Houck, President X and the New (Approved) Decisionmaking, TheAmerican University Law Review (36:1987).

Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Democracyin Latin America (1990).

William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996).

Page 246: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

232

WAKTU terus berlalu sejak mantan Presiden Abdurrah-man Wahid (Gus Dur) mengumumkan maklumatnya,

Senin (23/7/2001) dini hari. Semoga dengan bergulirnyawaktu, endapan emosi dan pendapat subyektif yang menye-limuti perasaan para pendukung maupun penentang mak-lumat itu telah menyurut. Sehingga, tulisan ini dapat dibacasebagai kontribusi pemikiran untuk menganalisa peristiwabersejarah itu dengan lebih tenang, rasional, dan obyektif.

Maklumat Gus Dur tertanggal 22 Juli 2001 itu padahakikatnya adalah dekrit sebagaimana Dekrit PresidenSoekarno 5 Juli 1959. Kedua dekrit itu dikeluarkan berdasarteori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Lebih spesifik,keduanya berlandaskan teori hukum darurat negara yangbersifat subyektif dan tidak tertulis (subjectieve staats-noodrecht atau ongeschreven staatsnoodrecht).

”NO MORE” DEKRIT

Page 247: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

233

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Artinya, klasifikasi negara dalam keadaan darurat yangmenjadi syarat keluarnya dekrit, ditetapkan menurut pen-dapat subyektif presiden pribadi selaku kepala negara, tanpaberdasar ketentuan hukum per-undangan. Karena itu, dekritadalah produk hukum yang istimewa dan merupakanpenyimpangan mendasar dari fungsi presiden yang melak-sanakan hukum (eksekutif), menjadi fungsi presiden selakupembuat hukum (legislatif). Asas hukum yang mendasaripenyimpangan itu adalah: masa (situasi) yang tidak normal,harus dihadapi dengan hukum yang tidak normal pula(abnormale recht voor abnormale tijd).

Lebih dari itu, isi dekrit pun ”wajib” bertentangandengan konstitusi atau dimaksudkan sebagai tindakanekstrakonstitusional. Bila tidak, urgensi format dekrit men-jadi tidak perlu dan presiden cukup mengeluarkan hukumdarurat semacam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD1945 dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang memuatsecara tertulis kriteria-kriteria obyektif hukum daruratnegara (objectieve staatsnoodrecht atau geschreven staats-noodrecht).

Karena sifat keistimewaan dan penyimpangan itulahmaka, dekrit hanya dapat berujung pada dua kemungkinan,penyelamatan negara sebagaimana tujuannya atau seba-liknya hancurnya negara karena lahirnya pemerintahanbaru yang otoriter. Keselamatan negara akan terwujud bilasubyektivitas presiden dalam mengukur negara dalam ke-adaan bahaya betul-betul didasarkan pada kondisi nyataancaman bahaya dan lepas dari kepentingan politik sangpresiden sendiri. Sebaliknya, bila kepentingan-kepentinganpribadi presiden mendominasi alasan keluarnya dekrit,

Page 248: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

234

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

maka dekrit itu akan menjelma menjadi upaya politisasinegara darurat hukum untuk kepentingan politik presidensemata.

Indikator bahwa dekrit semata-mata dikeluarkan karenanegara dalam kondisi benar-benar genting adalah bila dekrititu memenuhi dua syarat utama. Pertama, merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkannegara dalam keadaan bahaya (absolutely necessary in theinterest of the nation) dan; Kedua, harus memenuhi teorikeseimbangan (evenwichtstheorie) antara bahaya yang da-tang dengan tindakan dan isi dekrit yang dikeluarkan.

Yang paling memenuhi kedua indikator itu adalah bilanegara dalam keadaan bahaya karena perang atau negaradarurat karena bencana alam. Kedua kondisi itulah yangsebaiknya merupakan kriteria perlunya dikeluarkan dekrit.Di luar kedua kondisi itu, sifat alamiah kekuasaan cen-derung mengontaminasi niat baik dekrit untuk penye-lamatan negara, menjadi penyelamatan kekuasaan penguasabelaka.

PENGALAMAN negara-negara lain membuktikan,penggunaan dekrit di luar perang atau bencana alam lebihbanyak membawa mudarat daripada manfaat. PengalamanJerman masa pemerintahan Adolf Hitler misalnya, me-norehkan catatan sejarah hitam bagaimana dekrit disalah-gunakan. Saat itu Weimar Konstitusi 1919 yang dikenaldemokratis, oleh Hitler diganti dengan konstitusi barudengan alasan kewenangan luar biasa presiden untukmengatakan negara dalam keadaan bahaya. Sejak itu dekritkeadaan darurat telah disalahgunakan kelompok Nazi

Page 249: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

235

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

untuk kepentingan golongannya sendiri dengan mengubahstruktur negara dan pemerintahan demokrasi menjadi peme-rintahan diktator.

Sejarah juga mencatat, dekrit yang didasarkan kepadahukum darurat obyektif sekalipun, bisa disalahgunakan.Contohnya Filipina. Pada tanggal 21 September 1972,Presiden Ferdinand Marcos dengan mendasarkan padaaturan Konstitusi Filipina saat itu, menyatakan kondisidarurat negara dengan mengeluarkan Proklamasi Nomor1081. Pada prinsipnya, proklamasi presiden adalah dekrit,memutuskan seluruh Filipina ada di bawah hukum tatanegara darurat dan pembentukan pemerintahan darurat(martial law regime) yang langsung dipimpin Marcos selakuPanglima Tertinggi Angkatan Perang.

Sejarah kembali mencatat, hukum darurat yang dite-tapkan Marcos itu berlaku dalam waktu amat lama untuksuatu hukum darurat yang seharusnya sementara, yaitu daritahun 1972 hingga 1983 (Herman Sihombing: 1996). Pe-nyalahgunaan dekrit keadaan bahaya ini memberi andilbesar lahirnya diktator Marcos yang kemudian berhentidengan menyedihkan karena kekuasaan people power yangmelengserkannya.

Bahkan di negara sekaliber Amerika Serikat pun, peng-gunaan kekuasaan darurat (emergency power), yang seringdiargumentasikan pihak presiden sebagai kekuasaan yangmelekat pada diri presiden (inherent power) selaku kepalanegara juga sering menimbulkan polemik dan perdebatanberkepanjangan. Paula Demers dalam tulisannya AmericaContinues Under National Emergency atau Todd F. Gazianodalam The Use and Abuse of Executive Orders and OtherPresidential Directives berpendapat, jangankan hukum

Page 250: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

236

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

darurat negara yang subyektif maupun tidak tertulis, hukumdarurat negara yang obyektif dan tertulis pun yang ber-dasarkan Undang-Undang Perang dan Keadaan BahayaTahun 1932, telah memberi kekuasaan berlebihan kepadaPresiden untuk mendeklarasikan negara dalam keadaanbahaya dan dapat menggiring Presiden Amerika menjadidiktator dan tidak terkontrol.

KEMBALI ke persoalan awal tulisan ini yang me-nyangkut dekrit Soekarno dan Gus Dur. Sejarah jugamencatat, kedua dekrit itu, yang mengintrodusir negaradalam keadaan darurat, sebenarnya adalah usaha untukmenguatkan posisi politik Presiden sekaligus upaya mele-mahkan kedudukan lawan-lawan politiknya.

Meski terlihat sedang menyelamatkan negara dari per-pecahan karena asumsi kebuntuan pembuatan konstitusi diKonstituante, Dekrit Soekarno sebenarnya juga mengan-dung usaha untuk merebut kembali posisi sebagai kepalapemerintahan—selain kepala negara—yang sudah lama hi-lang dari genggaman Soekarno karena sistem pemerintahanparlementer yang memberikan kuasa pemerintahan ketangan perdana menteri. Kepentingan politik Soekarnoitulah yang bertemu dengan hasrat politik kelompok militeryang kemudian mendorong dikeluarkannya dekrit danmengamankan pelaksanaannya.

Meski awalnya mendapat dukungan penuh DPR, ber-dasar sidang 22 Juli 1959, dan dukungan berupa pendapathukum 11 Juli 1959 dari Ketua MA Profesor WirjonoProdjodikoro, sejarah akhirnya membuktikan, lahirnya

Page 251: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

237

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

dekrit itu sekaligus merupakan kelahiran Soekarno sebagaidiktator baru dengan konsep demokrasi terpimpinnya.

Kepentingan menyelamatkan kekuasaan presiden itulebih kasat mata tergambar dalam Dekrit 22 Juli 2001.Karena, yang terjadi sebenarnya bukan negara dalamkeadaan bahaya seperti disinyalir Gus Dur, tetapi per-tentangan politik antara presiden-parlemen yang dapatberujung pada berbahayanya posisi Gus Dur selaku pre-siden.

Untung, dekrit Gus Dur itu sama sekali tidak mendapatdukungan parlemen maupun pihak yudikatif, yang denganfatwa Mahkamah Agungnya 23 Juli menyatakan dekrit itubertentangan dengan hukum. Serta yang terpenting, tidakpula mendapatkan sokongan dari militer, sebagai aparatyang memegang senjata dan kekuasaan garis depan pe-ngamanan dekrit itu di lapangan. Dengan demikian, potensiGus Dur untuk menjadi presiden otoriter, karena dekritnyaefektif, menjadi hilang.

Dalam konteks itu perlu diberikan catatan, bila Gus Dursejak awal mengetahui dekritnya tidak akan efektif—karenatidak mendapat dukungan politik parlemen, dukunganhukum dari MA atau dukungan keamanan dari militer—namun, ia tetap nekad mengumumkannya, maka penge-luaran dekrit itu lebih merupakan simbol perlawanan danketegasan sikap Gus Dur atas upaya MPR memberhentikan-nya dan menurut logika Gus Dur inkonstitusional. Meskidemikian langkah simbolis dekrit itu sebenarnya tetapbukan pilihan bijak, karena membuka kemungkinan pre-seden hukum bagi presiden-presiden selanjutnya untukmengeluarkan dekrit guna mempertahankan kekuasaannya.

Page 252: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

238

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Berdasarkan uraian itu, di masa datang sebaiknya dekrittidak lagi dikeluarkan untuk kondisi-kondisi di luar perangatau bencana alam. Pengeluaran dekrit untuk penyelesaiankonflik elite, misalnya, sebenarnya adalah upaya putus asadan merupakan jalan pintas politik yang tidak sehat apalagimendewasakan dalam konteks proses pembelajaran politikberbangsa yang demokratis. Sebab, kita dengan mudahmengulangi pelanggaran atas konstitusi dengan alasannegara dalam keadaan bahaya yang sebenarnya tidakterjadi. Bahkan lebih jauh dekrit adalah upaya manipulasikeadaan bahaya atas posisi kekuasaan menjadi keadaandarurat atas negara. Ingat, manipulasi negara adalah saya(l’etat c’estmoi) itulah yang telah dipahatkan sejarah sebagaipertanda awal menjelmanya Raja Louis XIV menjadi dik-tator di Perancis.

Page 253: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

239

PRESIDEN adalah maharaja negara republik. Kekuasa-annya menentukan nasib hitam-putihnya reformasi.

Hidup-matinya amanat pemberantasan korupsi, misalnya,tidak lepas dari ketegasan institusional dan integritas moralpersonal seorang presiden.

Karena itu, dalam konteks perang melawan korupsi,kesempatan Presiden Megawati menjadi presiden lagi seha-rusnya sudah habis, terutama saat Megawati tidak memberisanksi apa pun atas potensi korupsi Jaksa Agung-nya. Pem-black list-an serupa harus diberikan kepada Akbar Tan-djung yang sudah berstatus tervonis korupsi. Begitu pulaketidakseriusan melengserkan Akbar Tandjung dari kursiKetua DPR merupakan dosa politik para pemimpin partaiyang juga mengindikasikan mereka lebih merupakan kawandaripada lawan koruptor.

CAK NUR DAN CALON PRESIDEN

Page 254: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

240

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Tidak heran bersinarnya nur, melalui majunya Nur-cholish Madjid (Cak Nur), disambut hangat beberapakelompok rakyat. Namun, seberapa besar peluang Cak Nurmenjadi presiden? Tulisan ini bermaksud menjawabnya.

SAYA prediksi, jalan Cak Nur menuju RI 1 akan terjal-curam serta panjang-berliku. Kesulitan justru ada di tahapawal pertandingan. Jika Cak Nur berhasil melewati babakpenyisihan, siapa pun yang berhadapan dengannya di partaifinal harus berjuang ekstra keras untuk mengalahkan CakNur. Berikut adalah hambatan hukum yang mungkinmenghalangi Cak Nur menuju Istana Negara.

Pertama, aturan konstitusi yang membunuh-mati calonpresiden independen menyebabkan Cak Nur baru bisamenjadi kandidat calon presiden. Ia belum seorang calonpresiden, apalagi presiden terpilih. Monopoli pencalonanpresiden oleh partai itu telah mendistorsi hak rakyat gunamemilih presiden langsung.

Pemonopolian itu mungkin memberdayakan partai disatu sisi, tetapi menutup upaya penyegaran kepemimpinannasional di sisi lain. Apalagi dalam sistem kepartaian kitayang masih kental dijajah sifat kepemimpinan yang lebihpersonal-irasional dan bukan, sebagaimana seharusnya,institusional-rasional.

Kedua, karena tidak mungkin maju dari pintu kandidatpresiden independen, Cak Nur ”terpaksa” masuk lewatkendaraan partai. Selanjutnya, untuk mengamankan pen-calonannya, Cak Nur harus mempertimbangkan peta hukumlain, yaitu persyaratan di Undang-Undang Pemilihan Pre-siden bahwa seorang calon presiden wajib didukung mi-

Page 255: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

241

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

nimal tiga persen jumlah kursi di DPR atau lima persen suarasah pemilu legislatif di tingkat nasional. Pada konteks itulah,peluang partai-partai kecil untuk menjadi kendaraan CakNur menjadi tidak strategis.

Tidak mengherankan bila kemudian Cak Nur terpaksamemilih partai besar untuk menjadi kendaraan menuju kursikepresidenan. Sialnya, partai-partai besar pemenang Pemilu1999 yang seakan masih membuka peluang untuk mene-rimanya hanya Golongan Karya. Partai lain, selain menolakCak Nur karena prinsipnya yang ”Islam Yes, Partai IslamNo”, juga dari awal telah mengelus jagonya masing-masing.Hanya Partai Golkar yang berstrategi manis-demokratisdengan melakukan rekrutmen calon presiden melalui proseskonvensi.

Bersedianya Cak Nur mengikuti konvensi Partai Golkarjelas sedikit banyak mempengaruhi citranya sebagai orangbersih yang menceburkan diri ke kubangan kotor. Kon-sekuensinya, Cak Nur harus melakukan tawar-menawarpolitik. Keluarnya kebijakan hukum forgive but not forgetbuat kejahatan-kejahatan masa lalu adalah wujud kom-promi politik. Kebijakan yang relatif tidak populis akanmenjadi hambatan ketiga bagi pencalonan kepresidenanCak Nur.

DENGAN kebijakan itu, kelompok reformis garis kerasyang menuntut tindakan hukum tegas terhadap para korup-tor-yang mungkin semula mendukung Cak Nur-akan ber-balik menolak karena menilai sang cendekiawan telahmenjelma menjadi politisi ”kacangan” yang akan mela-kukan apa saja guna menjadi presiden. Di sinilah integritas

Page 256: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

242

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Cak Nur sebagai guru bangsa dipertaruhkan. Dia seakanmembuang air di tempayan demi mengharapkan air hujanyang belum tentu akan turun. Tidak mustahil, Cak Nur akankehilangan segalanya.

Padahal, potensi ”pengorbanan” Cak Nur akan berujungkesia-siaan terbuka lebar. Paling tidak ada dua indikatorhukum-yang sekaligus merupakan hambatan hukum ke-empat dan kelima-yang menunjukkan Cak Nur akan ber-hadapan dengan realitas bahwa konvensi Golkar hanyalahforum akal-akalan.

Kedua hambatan ini berkait masih kuatnya hasratTandjung untuk menjadi Presiden. Meski menghadapimasalah hukum yang tidak ringan karena telah diputussebagai koruptor oleh Pengadilan Negeri dan PengadilanTinggi, Tandjung terus menggeliat dan berkelit dari ter-tutupnya peluang menuju istana. Melalui politisi-politisiberingin di DPR dan DPP Partai Golkar yang bergantungpada karier politiknya, Tandjung masih dapat merekayasaperaturan pemilihan presiden yang pro dirinya.

Hasil akhir konvensi Golkar yang baru diumumkanFebruari 2004, bukan Oktober 2003, merupakan produkhukum Partai Golkar yang jelas pro-Tandjung. Jika hasilfinal konvensi harus diumumkan Oktober, maka terbukapeluang pengajuan kasasi Tandjung ke Mahkamah Agung(MA) belum diputuskan. Kalaupun sudah diputuskan,Tandjung mungkin mengajukan upaya hukum peninjauankembali (PK) karena MA menguatkan putusan pengadilansebelumnya yang menganggapnya bersalah melakukantindak pidana korupsi.

Memundurkan hasil konvensi hingga Februari 2004adalah rentang waktu memadai guna mengantisipasi pem-

Page 257: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

243

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

bebasan di tingkat PK MA. Inilah indikator konvensi PartaiGolkar cenderung akal-akalan yang akhirnya hanya men-jadi pintu selamat bagi Tandjung sebagai calon presidenPartai Golkar. Konvensi yang pura-pura itu merupakanhambatan hukum keempat Cak Nur untuk menjadi calonPresiden Golkar, apalagi Presiden RI.

Berhasil dihapusnya syarat tidak boleh terdakwa dariUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakanindikator lain Tandjung and the gank masih bertahan.Makin terbukanya peluang Tandjung sekaligus berartimakin tidak bersedianya kubu Tandjung untuk mengalahkepada Cak Nur di konvensi. Inilah bukti kesekian konvensihanya merupakan tipu muslihat guna mengangkat citraGolkar, sekaligus menjadi hambatan hukum kelima bagiCak Nur untuk menjadi calon presiden, apatah lagi presiden.

ANGGAPLAH Cak Nur berhasil menjadi calon presidendari Partai Golkar dengan membongkar dan mengalahkansegala tipu daya kubu Tandjung, namun koruptifnya UUPemilihan Presiden tetap memperkecil peluang Cak Nuruntuk duduk sebagai RI 1. Inilah hambatan hukum keenamCak Nur untuk menjadi presiden. Tidak dibatasinya sum-bangan dana kampanye dari calon presiden sendiri dantidak adanya batas maksimum pengeluaran dana kampanyemengakibatkan hanya calon presiden yang berlimpah duityang berpotensi memenangi pemilihan Presiden 2004.

Padahal, atmosfer korup yang kental dalam dunia politikkita berpotensi melahirkan calon presiden kaya yang ber-dana kampanye besar karena berkolusi dengan pengusaha-pengusaha bermasalah. Sumbangan dana kampanye dari

Page 258: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

244

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

pengusaha kotor itu merupakan investasi politik yang padagilirannya memandulkan kembali proses penegakan hukum,termasuk pemberantasan korupsi, pasca-Pemilu 2004.

Dengan minimal enam hambatan hukum di atas, jelasperjalanan Cak Nur menuju Istana Negara akan penuhonak-duri dan kerikil tajam. Hanya dengan ”mukjizatpolitik” Cak Nur bisa mengubah prediksi berikut: Cak Nurtidak akan jadi calon presiden, apatah lagi presiden Re-publik Indonesia.

Page 259: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

245

HUKUM sudah jamak dipolitisasi, baik dalam tingkatproses legislasi maupun dalam tingkat aplikasi. Salah

satu contoh politisasi hukum adalah ketentuan persyaratancalon presiden dan calon wakil presiden.

Pasal 6 Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 mengatur,salah satu syarat menjadi calon presiden (capres) dan calonwakil presiden (wapres) adalah Mampu secara rohani danjasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaiPresiden dan Wakil Presiden. Syarat itu dipertegas dalamPasal (6) d UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang PemilihanUmum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), dalambahasa yang sama mengatakan capres dan calon wapres harus,Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugasdan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

MENGUJI KESEHATAN CAPRES

Page 260: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

246

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

MUDAH diduga, syarat yang sebenarnya tidak lazimdicantumkan dalam suatu konstitusi itu amat dipengaruhikemampuan penglihatan Abdurrahman Wahid (Gus Dur),capres dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pilihan kata”mampu” dan bukan kata ”sehat” untuk mengawali pasaldalam konstitusi dan UU Pilpres dimaksudkan untukmenitikberatkan penilaian bukan pada kesehatan fisikal.Risalah perdebatan di Panitia Ad Hoc I MPR, yang me-rumuskan Perubahan Ketiga UUD 1945, dan perdebatanPanitia Khusus Rancangan UU Pilpres merekam denganbaik kepentingan politis yang mendasari keluarnya per-syaratan kemampuan capres itu.

Bagi PKB, pilihan kata ”mampu” dan bukan ”sehat”adalah kemenangan politis yang membuka pintu bagimulusnya pencapresan Gus Dur. Namun, ”pertarungan”belum berakhir. ”Kesalahan” justru terletak pada pen-cantuman secara eksplisit persyaratan itu dalam konstitusidan UU Pilpres. Karena, ia membuka ruang interpretasi.Seandainya tidak dicantumkan secara terbuka, KomisiPemilihan Umum (KPU) tidak akan berkewajiban memintapersyaratan itu.

Sebaliknya, karena dicantumkan, maka atas perintahkonstitusi dan UU Pilpres, KPU wajib meminta agar setiapcapres memenuhi syarat kemampuan jasmani dan rohani itu.Langkah KPU itu sudah benar. KPU, misalnya, bekerja samadengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memintasyarat pelaporan kekayaan para capres, dan bekerja samadengan pengadilan untuk meminta syarat bebas perkarapara capres.

Masalah muncul saat KPU memilih bekerja sama denganIkatan Dokter Indonesia (IDI). Kerja sama ini melahirkan

Page 261: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

247

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

panduan teknis penilaian kesehatan jasmani dan rohaniyang melengkapi persyaratan sebagaimana tercantum dalamPasal 4 Surat Keputusan KPU No 26/2004 tentang tata carapencalonan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Bagi PKB dan Gus Dur, panduan teknis penilaiankesehatan itu berpotensi ”menjegal” kesempatannya men-jadi capres. Mereka juga menganggap KPU telah melanggarketentuan konstitusi dan UU Pilpres yang tidak men-syaratkan ketentuan kesehatan itu. PKB menyatakan merekaakan meminta fatwa hukum dari Mahkamah Konstitusi(MK).

LANGKAH KPU melibatkan IDI sebenarnya sudahbenar, terutama dari pertimbangan profesionalitas. IDImemang lembaga profesi yang paling tepat dimintakanpendapat berkait dengan persyaratan ”mampu secara jas-mani dan rohani”. KPU sendiri jelas tidak mempunyaikompetensi keilmuan untuk menetapkan apakah seorangcapres memenuhi syarat tersebut atau tidak.

Namun dari sisi hukum, keluarnya SK KPU No 26/2004,yang disertai panduan teknis penilaian kesehatan, tetapmenimbulkan permasalahan hukum tata negara. Apakahaturan dalam SK itu tidak bertentangan dengan konstitusidan UU Pilpres seperti diargumentasikan kubu PKB dan GusDur? Tepatkah langkah PKB dan Gus Dur yang akanmeminta fatwa hukum kepada MK? Berikut lima analisis danargumentasi hukum.

Pertama, tidak ada mekanisme yang mengatur bagai-mana suatu peraturan perundangan di bawah UU diujikeabsahannya atas konstitusi. Pada masalah ini ada

Page 262: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

248

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kekosongan hukum (legal vacuum). Artinya, tidak adamekanisme hukum untuk menguji keabsahan SK KPU No26/2004, yang merupakan peraturan perundangan di bawahUU, dihadapkan pada ketentuan Pasal 6 Ayat (1) PerubahanKetiga UUD 1945.

Kedua, konstitusi mengatur, hanya UU lah yang ke-absahannya dapat diuji terhadap konstitusi. Kewenanganpengujian diberikan kepada MK. Namun, MK tidak mem-punyai kewenangan konstitusional untuk menilai apakahsuatu peraturan perundangan di bawah UU, termasuk SKKPU, bertentangan atau tidak dengan konstitusi.

Ketiga, masih berkait dengan kewenangan MK, rencanaPKB meminta fatwa kepada MK menjadi tidak tepat. Selainkarena, seperti dijelaskan di atas, MK tidak berwenangmenguji keabsahan peraturan perundangan di bawah UUatas konstitusi, MK juga tidak berwenang mengeluarkanfatwa hukum. Beberapa waktu lalu, MK pernah menge-luarkan ”fatwa malu-malu” atas pertanyaan Partai Indo-nesia Baru (PIB) berkait dengan waktu pengajuan capres.Namun, fatwa malu-malu itu masih merupakan upayamenginterpretasi ketentuan konstitusi, yang sedikit banyakmerupakan wewenang MK sebagai pengawal konstitusi (theguardian of the constitution).

Kalaupun MK bersedia memberi fatwa kepada PKB,fatwa itu pun tidak mempunyai kekuatan hukum, karena-nya, dapat diabaikan KPU. Terlebih, dalam penetapancapres dan calon wapres keputusan KPU bersifat final danmengikat, tidak bisa digugat ke forum apa pun menurutPasal 30 Ayat (2) UU Pilpres.

Keempat, meski demikian, bukan berarti PKB dan GusDur tidak mempunyai langkah hukum yang dapat diambil

Page 263: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

249

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

untuk menguji keabsahan SK KPU No 26/2004, terutamayang berkait dengan syarat ”kemampuan rohani dan jas-mani”. Pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, tentang perubahanatas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA mengatur, MAberwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Lebihlanjut, Pasal 96 UU Pilpres mengatur, keputusan semacamSK KPU No 26/2004, yang merupakan peraturan pelak-sanaan UU Pilpres, dapat dimintakan pengujian keab-sahannya kepada MA. Artinya, PKB dan Gus Dur dapatmengajukan permohonan kepada MA untuk menguji apa-kah SK KPU No 26/2004, dan panduan teknis penilaiankesehatan yang ada, sah atau tidak bila diuji terhadap Pasal6 d UU Pilpres.

Kelima, permohonan pengujian oleh PKB dan Gus Duritu harus dimintakan secepatnya. Hal ini berkait denganterus berlarinya waktu pencalonan presiden yang kiandekat. Patut dicatat, tidak seperti UU MK yang mengaturbatas waktu persidangan yang singkat, pengujian perun-dangan di MA tidak dibatasi limit waktu yang spesifik.Namun, MA seharusnya menyadari, permohonan pengujianoleh PKB dan Gus Dur adalah perkara yang harus diprio-ritaskan dan diputuskan dalam hitungan hari, agar seluruhproses pemilihan presiden tidak terganggu. Hal ini perludisampaikan karena publik tentu masih ingat bagaimanalambatnya putusan kasasi kasus Akbar Tandjung dike-luarkan MA. Padahal, urgensi putusan kasasi itu amat vitaldan berkait erat dengan agenda pemilihan presiden.

Page 264: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

250

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

AKHIRNYA, apa pun keputusan hukum yang diambilKPU, PKB, dan MA—jika dimintakan menguji SK KPU 26Tahun 2004—harus dihormati semua pihak. Sayang, banyakkejadian mencatat politisi kita lebih sering memolitisasihukum untuk kepentingan kekuasaan daripada meng-hormati hukum. Apakah kebiasaan itu akan berulang dalamhal persyaratan kemampuan presiden ini, mari kita lihatbersama.

Page 265: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

251

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono kembali diujikeandalannya untuk menjadi peramu adonan kabinet.

Hasil perombakan kabinet, yang akan diumumkan awal Mei2007, akan menjadi penentu apakah kabinet reshuffleberhasil menjadi makanan yang menyehatkan bangsa atausebaliknya.

Presiden Yudhoyono mau tidak mau harus hati-hatimemilih rempah ramuan agar justru tidak menjelma jadiracun arsenik yang membunuh perjalanan politiknya, khu-susnya menuju masa jabatannya kedua, 2009-2014.

Pisau bermata duaTidak ada keraguan, soal memilih dan memberhentikan

menteri adalah hak prerogatif presiden sebagai kepalapemerintahan (chief of executive). Sebagai pemimpin

KABINET PAS-TERBATAS

Page 266: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

252

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

pemerintahan, presiden berhak menggunakan kekuasaanmengangkat-memecat (appointment and removal). Inilahsalah satu kekuasaan strategis yang dimiliki presiden untukmembentuk jajaran pemerintahan yang loyal dan disiplinmenjalankan agenda kerja yang ditawarkan kepada pemilihsaat pemilu presiden.

Di Amerika Serikat, begitu seseorang menjadi presiden,sekitar 5.000 posisi eksekutif kosong dan menjadi hak sangpresiden untuk memilih orang yang tepat untuk posisi yangtepat (the right man on the right place).

Namun, kewenangan mengangkat dan memecat tidakhanya menciptakan loyalitas bawahan kepada atasan. Tidakjarang kewenangan itu melahirkan sistem birokrasi yangABS, asal bapak senang.

Itulah jerat pisau bermata dua dari kekuasaan removaland appointment. Karena itu, untuk posisi menteri strategis,kandidatnya dikonsultasikan kepada parlemen. Hak pre-rogatif bukan berarti tidak ada proses konsultasi politik.Untuk menghindari pengangkatan dan pemecatan menterihanya menjadi komoditas politik, pengaturan secara yuridismekanisme seleksi pejabat negara, khususnya menteri, men-jadi penting.

Dalam konteks itu, menarik menyimak perdebatanRancangan Undang-Undang Kementerian Negara yangmemberikan pagar persyaratan menteri. Dalam Pasal 17diatur larangan seorang menteri yang juga menjadi pengurusparpol dan menjadi direktur atau komisaris perusahaan.Aturan ini penting guna menghindari jabatan menteri hanyamenjadi komoditas pembagian kue kekuasaan.

Page 267: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

253

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Integritas, profesionalitas, akseptabilitasPresiden Yudhoyono tentu berpengalaman, bahwa me-

ramu adonan kabinet harus mempertimbangkan palingtidak tiga hal: integritas-moralitas, kapasitas-profesionalitas,dan akseptabilitas. Menemukan anak bangsa yang mumpunidi ketiga faktor itu tentu tidak mudah.

Faktor integritas harus menjadi ukuran utama karenaseluruh masalah bangsa ini berhubungan dengan etika danvirus kanker korupsi yang sudah merasuk ke seluruh sendikehidupan bernegara. Faktor profesionalitas harus dike-depankan untuk posisi-posisi menteri yang terkait tekniskeilmuan, semacam departemen kesehatan, departemen risetdan teknologi, dan sejenisnya.

Faktor ketiga—akseptabilitas—tidak bisa ditinggalkan.Membuat kabinet yang mayoritas—apalagi seluruhnya pro-fesional (zaken kabinet) dengan mengesampingkan parpol—menyebabkan hadirnya presiden minoritas (minority pre-sident).

Berkait faktor akseptabilitas, Presiden Yudhoyono akanmenghadapi pertarungan antara mengedepankan kepen-tingan politik versus kepentingan publik. Dalam atmosfersistem demokrasi konstitusional yang baik, seharusnyaantara kepentingan politik dan publik berjalan seiring.Itulah esensi demokrasi perwakilan. Namun, di negeri yangpenuh korupsi ini, sudah terlalu banyak penelitian dan jajakpendapat yang mengargumenkan kepentingan partai politikhanya seiring dengan publik di masa kampanye, dan segerabersimpang jalan begitu masa kampanye berakhir.

Page 268: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

254

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Koalisi pas-terbatasResep lain yang harus diperhatikan Presiden Yudhoyono

adalah bagaimana hasil reshuffle memperkokoh arah ter-bangunnya koalisi permanen, dengan tidak membunuhoposisi serta tidak membangun makin akutnya relasi koha-bitasi dengan wakil presiden.

Tentang kohabitasi dengan wakil presiden adalah kon-sekuensi pasangan presiden dan wakil presiden, yang datangdari partai pemenang pemilu. Maka, di depan presiden, JusufKalla punya daya tawar tinggi. Meski, secara bahasa, PartaiGolkar menyerahkan sepenuhnya masalah perombakankabinet kepada hak prerogatif Presiden, sulit membayang-kan tidak ada gerakan bawah tanah untuk merebut se-banyak mungkin posisi kabinet bagi kader Golkar. Untukmenghindari kohabitasi antara presiden dan wakil presiden,perlu dipertimbangkan presiden dan wakil presiden diusungpartai politik yang sama; dengan tetap membuka peluangmajunya calon presiden perseorangan.

Sedangkan pemantapan koalisi permanen harus dila-kukan dengan membangun koalisi pas-terbatas (minimalwinning coalition), yaitu koalisi pemerintahan yang hanyaterdiri dari mayoritas sederhana kursi di DPR. Jika kini kursiDPR ada 550, koalisi pas-terbatas hanya terdiri dari parpolyang menguasai 300-an kursi di DPR.

Lawan koalisi pas-terbatas adalah koalisi kedodoran(oversized coalition) dan koalisi kekecilan (undersizedcoalition). Koalisi kedodoran terjadi saat presiden menguasaimayoritas kursi parlemen dan menyisakan minoritas partaioposisi, sebagaimana terjadi kini, meninggalkan PDI Per-juangan sebagai oposisi sendirian. Karena itu, koalisikedodoran membunuh daya kritis oposisi kepada presiden.

Page 269: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

255

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Di sisi lain, koalisi kekecilan terjadi saat presiden hanyadisokong minoritas kekuatan politik di parlemen, seba-gaimana dialami Presiden Abdurrahman Wahid yang hanyadisokong PKB di akhir masa kepresidenannya.

Presiden Yudhoyono semestinya sudah fasih dengan teorikoalisi itu. Yang sulit, bukan mengerti teori, tetapi kebe-ranian mempraktikkannya. Praktik membuat kabinet tidakhanya menyerap bumbu partai politik, tetapi juga memer-hatikan bumbu kepentingan publik; keberanian mencip-takan kabinet pas-terbatas.

Page 270: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

256

I SU mutakhir perpolitikan diramaikan oleh kontroversipencabutan mandat kepada Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono. Aksi demo yang dilakukan oleh kelompokpencabutan mandat, dengan salah satu tokohnya, HarimanSiregar telah membuat kalangan istana terusik. PresidenYudhoyono dalam beberapa kesempatan bahkan terkesanmenanggapi serius aksi demo Hariman Cs tersebut.

Bagaimana sebenarnya posisi konstitusi pencabutanmandat tersebut? Lalu bagaimana presiden seharusnyamenanggapinya?

Sewajarnya, aksi pencabutan mandat tidak perlu dilihatsebagai hal yang luar biasa dan karenanya ditanggapidengan sikap luar biasa. Gerakan cabut mandat mestidisikapi sebagai upaya biasa-biasa saja dari sekelompokorang yang tidak setuju dengan presiden dan kemudianmenyampaikan aspirasinya melalui aksi demo di jalanan.

KONSTITUSIONALITASPENCABUTAN MANDAT PRESIDEN

Page 271: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

257

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

Dalam kaca mata demikian aksi Hariman Cs menjadi tidakada bedanya dengan tingkah-polah kelompok kontra Pre-siden Yudhoyono lainnya. Saya menduga sedari awalkelompok Hariman tidak mendukung pencalonan Yudho-yono sebagai presiden. Maka sikap mereka yang kontraterhadap kebijakan presiden adalah suatu hal yang normal.Artinya, Presiden Yudhoyono tidak dapat berharap banyakbahwa Hariman Cs akan berubah sikapnya.

Memandang Hariman Cs sebagaimana aksi-aksi demolainnya adalah wujud penghormatan kebebasan berekspresidan mengeluarkan pendapat, hak dasar yang dijaminpelaksanaannya di negara demokratis. Apalagi Indonesiapascarezim otoriter Soeharto sangat bebas untuk ber-pendapat. Menyoal sikap Hariman Cs sebagai makar, adalahsikap yang tidak bijak. Sikap represif demikian justru akanmembuat sikap demokratis pemerintahan Yudhoyono patutdipertanyakan. Apalagi secara hukum, delik makar sebaik-nya dibatasi untuk tindakan merebut kekuasaan yangdilakukan dengan mengangkat senjata. Faktor senjata itulahyang membedakan gerakan makar dengan kritik yangdisampaikan kelompok oposisi. Maka mengklasifikasikankritik oposisi sebagai perbuatan makar, tidak hanya ber-lebihan, tetapi juga berarti melanggar hak kebebasan ber-pendapat (freedom of speech) yang dijamin UUD 1945.

Lebih jauh, menyikapi biasa-biasa saja Hariman Csjustru akan menghilangkan popularitas gerakan tersebut.Menanggapi terlalu serius kelompok Hariman justru akanmeningkatkan popularitas gerakan pencabutan mandat.Andi Mallarangeng, juru bicara presiden, dalam banyakkesempatan menyatakan bahwa Hariman Cs tidak mem-punyai legalitas untuk mengklaim mewakili rakyat.

Page 272: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

258

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Hariman Cs hanya segelintir orang. Konsisten dengan sikapmempertanyakan legalitas dan kuantitas massa tersebut padatempatnya gerakan Hariman Cs tidak perlu dipandang danditanggapi serius, seperti pemerintah yang kebakaran jeng-got.

Sebagai aksi jalanan yang menyuarakan kelompok prokemapanan, Hariman Siregar tentu sangat paham bahwaaksinya tidak dapat dikerangkakan dalam konstitusionalitaspemakzulan presiden. Formalitas proses impeachment pre-siden tentu tidak cukup dimulai dengan gerakan jalanan,walau bukan berarti gerakan parlemen jalanan tidakmungkin memicu proses pemakzulan di Senayan.

UUD 1945 setelah perubahan menggariskan bahwaproses impeachment jauh lebih sulit dan berbelit. Prosespemakzulan melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi danMPR. DPR-lah yang diberikan kewenangan konstitusionaluntuk memulai proses pemakzulan presiden. DPR-lah yangberpendapat bahwa presiden telah melanggar pasal-pasalpemakzulan (impeachment articles). Di antaranya korupsi,pengkhianatan terhadap negara, penyuapan, kejahatantingkat tinggi lainnya, perbuatan tercela dan tidak lagimemenuhi syarat sebagai presiden. Setelah DPR berpendapatdemikian, maka Mahkamah Konstitusi wajib dimintakanpendapatnya. Dalam rentang waktu minimal 90 hari, MKwajib memutuskan apakah pendapat DPR betul dan karena-nya proses pemakzulan berlanjut, atau sebaliknya.

Dalam hal MK tidak sependapat dengan DPR, makaproses impeachment berhenti, dan presiden tidak dapatdiberhentikan. Sebaliknya, jika MK sependapat denganDPR, maka proses berlanjut ke MPR. Dalam forum yangtidak hanya melibatkan DPR, tetapi juga DPD, tersebut,

Page 273: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

259

MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI

nasib presiden akan ditentukan. Di sini sebenarnya adapotensi putusan MK, yang secara yuridis telah menyatakanpresiden atau wakilnya layak diberhentikan, dimentahkan.Pengaruh MPR sebagai lembaga yang banyak dikuasai olehpartai politik cenderung lebih mengedepankan kepentinganpolitis ketimbangan menjunjung tinggi putusan yuridis.Maka sebaiknya, ke depan, di bangun konvensi bahwa MPRhanya merupakan proses konfirmasi atas keputusan MK.Dengan demikian supremasi hukum dan supremasi konsti-tusi dapat terjamin dihormati di tanah air yang menurutUUD 1945 ditegaskan sebagai negara hukum.

Dengan proses pemakzulan presiden yang berbelit terse-but, maka gerakan cabut mandat Hariman Cs tentu sajamasih jauh untuk menjadi ancaman pemberhentian PresidenYudhoyono. Mudah dihitung bahwa komposisi DPR seka-rang banyak dikuasai oleh partai politik pendukung peme-rintahan Yudhoyono-Kalla. Kecuali ada perubahan konfi-gurasi politik di DPR, maka sangat sulit membayangkanDPR akan memulai proses konstitusi memakzulkan PresidenYudhoyono atau Wakil Presiden Kalla.

Tentu saja, sikap bijak harus terus dipelihara untukberhadapan dengan kelompok oposisi. Sikap bijak demikianadalah dengan tidak melarang perbedaan pendapat, danmengadopsi substansi kritik yang disampaikan. Jika, misal-nya, ada kritik bahwa presiden lebih menebar pesona dantidak bekerja, maka tidak perlu ditanggapi dengan balasmengkritik. Yang lebih baik dilakukan adalah dengan terusbekerja, dan menunjukkan bahwa kritikan demikian tidakbenar.

Sama halnya dengan kritik bahwa upaya pemberantasankorupsi terkesan tebang pilih, maka cara efektif

Page 274: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

260

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

mematahkannya adalah dengan melakukan akselarasi pem-berantasan korupsi. Pembersihan kelompok koruptor yangmasih untouchable harus dilakukan dengan lebih berani.Kelompok Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Nagaadalah empat elemen yang masih kebal hukum dan relatifsulit ditembus oleh aparat penegak hukum antikorupsi. Padakeempat wilayah tersebut, tongkat komando antikorupsimemang harus dipegang langsung oleh presiden. Karenarisiko pemberantasan korupsi di keempat area tersebutmemang paling serius, bisa di-Munir-kan atau diarsenikkan.

Akhirnya, Presiden Yudhoyono harus lebih santai me-nanggapi semua kritikan, khususnya dari Hariman Cs.Yakinlah bahwa hakim yang paling ideal adalah rakyat.Bekerja saja terus dengan ikhlas untuk rakyat. Rakyat akandengan mudah menilai kelompok mana yang telah betul-betul bekerja, dan kelompok mana yang hanya berjuangdemi kepentingan sempit Pemilu 2009. ***

Page 275: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

BAB 4

MENCARI KESEIMBANGANSALING KONTROL

Page 276: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 277: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

263

KETATANEGARAAN Indonesia menampilkan wajahbaru setelah ’selesainya’ empat perubahan UUD 1945,2

yang secara berantai dilakukan MPR selama 4 tahun, sejak1999 hingga 2002. Reformasi konstitusi di era transisi itu –meski disusun dengan metode tambal-sulam dan tanpaperencanaan yang memadai, relatif mampu meletakkansistem ketatanegaraan anyar yang lebih baik. Tentu di sana-sini ada kekurangan hasil perumusan, namun dibandingkandengan konstitusi sebelum amandemen, UUD 1945 hasilamandemen adalah konstitusi yang lebih demokratis.3

KOMISI NEGARA INDEPENDENEVALUASI KEKINIAN

DAN TANTANGAN MASA DEPAN1

1 Makalah ini terus diupdate dan telah disampaikan dalam beberapaseminar dengan topik yang relatif sama.2 Tidak pernah ada konstitusi yang ’selesai’. Perubahan adalah syarat dasarbagi suatu konstitusi yang demokratis, atau tidak jarang dikenal sebagaisuatu living constitution.3 Lebih jauh lihat: Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, DisertasiPh.D., the Faculty of Law, University of Melbourne (2005).

Page 278: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

264

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Namun demikian, setelah hampir empat tahun, im-plementasi dari perubahan UUD 1945 masih belum mene-mukan bentuknya yang ideal. Sistem ketatanegaraan Indo-nesia masih saja gamang dan mencari bentuk. Salah satunya,reformasi institusional ketatanegaraan menemukan banyakmasalah dan justru menumbuhkan keraguan publik. Bebe-rapa pihak bahkan menyuarakan agar UUD 1945 yang”asli” diadopsi kembali, meski dengan argumentasi yangtidak terlalu jelas. Suara demikian kebanyakan diresonan-sikan oleh kelompok senior yang mempunyai keterkaitanromantisme sejarah yang kuat dengan konstitusi kemer-dekaan tersebut.

Salah satu kecenderungan wajah ketatanegaraan Indo-nesia transisi, serta setelah perubahan UUD 1945 adalahlahirnya ”komisi negara independen” (independent regu-latory agencies) maupun lembaga negara non strukturallainnya, seperti komisi eksekutif (executive branch agencies).Bak jamur di musim hujan, semua bidang kenegaraanberlomba menghadirkan komisi negara. Tidak sedikit pem-buatan undang-undang yang mewujudkan komisi negarabaru.

A. Komisi Negara di Beberapa NegaraKomisi negara sering disebut dalam beberapa istilah

berbeda, misalnya di Amerika Serikat dikenal sebagaiadministrative agencies.4 Menurut Asimow, komisi negaraadalah: units of government created by statute to carry out

4 Istilah untuk komisi negara berbeda-beda, di antaranya: administrativeagencies, state auxiliary agencies yang sering didikotomikan dengan stateprimary agencies atau state fundamental agencies.

Page 279: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

265

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

specific tasks in implementing the statute. Most administrativeagencies fall in the executive branch, but some importantagencies are independent.5

Pembedaan administrative agencies menjadi independendan eksekutif dikuatkan pula oleh ensiklopedi wikipedia.Dalam konteks ketatanegaraan Amerika Serikat, komisinegara independen federal (federal independent agencies)berada di luar cabang eksekutif dan dilahirkan berdasarkanundang-undang yang disahkan oleh Kongres. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan kerja bagi komisinegara independen, hingga kewenangan membuat aturan.Bahkan, regulasi yang dikeluarkan komisi tersebut mem-punyai kekuatan setara dengan undang-undang federal.6

Posisi setaranya regulasi komisi negara independen tersebutdengan undang-undang tentu disertai dengan mekanismejudicial review. Pengaturannya ada dalam AdministrativeProcedure Act 1946 (APA).7 Pengujian regulasi yang dike-luarkan komisi independen dilakukan oleh pengadilanfederal dan kemudian appeal to the Supreme Court.8

Komisi negara independen adalah organ negara (stateorgans) yang diidealkan independen dan karenanya beradadi luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupunyudikatif; namun justru mempunyai fungsi campur sari

5 Michael R. Asimow, Administrative Law (2002) hal. 1.6 Wikipedia, Independent Agencies of the United States Government,http://en.wikipedia.org/wiki/ Independent_agencies_of_the_UnitedStates_government diakses 3 Juli 2007.7 Wikipedia, Administrative Procedure Act, http://en.wikipedia.org/wiki/Administrative_Procedure_Act#APA. 27s_standard_of_judicial_reviewdiakses 3 Juli 2007.8 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi (2006) hal. 8.

Page 280: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

266

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

ketiganya.9 Dalam kesempatan lain, Jimly Assihiddiqiemenamakan komisi negara independen sebagai independentsupervisory bodies, yaitu lembaga-lembaga yang menjalan-kan fungsi campuran antara ”fungsi regulatif, administratifdan fungsi penghukuman”, yang biasanya terpisah, namundilakukan bersamaan oleh suatu komisi negara indepen-den.10 Komisi negara demikian karenanya adalah self regu-latory agencies.11 Dalam bahasa Funk dan Seamon komisiindependent itu tidak jarang mempunyai kekuasan ”quasilegislative”, ”executive power” dan ”quasi judicial”.12

Beberapa komisi negara independen adalah juga organkonstitusi (constitutional organs), yang berarti eksistensi danfungsinya diatur di dalam konstitusi; sebutlah seperti yangada Afrika Selatan dan Thailand. Di Afrika Selatan, Pasal181 ayat (1) UUD-nya menyebutkan ada Human RightsCommission; Commission for the Promotion and Protection ofthe Rights of Cultural, Religious and Linguistic Communities;Commission for Gender Equality; dan Electoral Commission.Di Thailand, Pasal 75 konstitusinya mengatur bahwa negarawajib menyediakan anggaran bagi komisi negara indepen-den seperti: Election Commission, Ombudsmen, NationalHuman Rights Commission, National Counter CorruptionCommission dan State Audit Commission.

9 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah PerubahanKeempat UUD Tahun 1945, makalah dalam Seminar Pembangunan HukumNasional VIII, Denpasar 14 – 18 Juli 2003.10 Asshiddiqie, Perkembangan … n 8, hal. 8.11 Ibid.12 William F. Funk dan Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples &Explanations (2001) hal. 23 – 24.

Page 281: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

267

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Amerika SerikatNamun, itu bukan berarti bahwa semua komisi negara

independen pastilah diatur dalam konstitusi. Misalnya, adalebih dari seratus komisi negara independen di AmerikaSerikat, antara lain: (1) Federal Communication Commission,(2) Securities and Exchange Commission, (3) Federal TradeCommission, (4) National Labour Relations Board, (5) Nuc-lear Regulatory Commission dan (6) Federal Reserved Board,(7) Central Intelligence Agency, (8) Environmental ProtectionAgency, (9) Federal Emergency Management Agency, (10)Federal Reserve Board, (11) General Reserve Administration,(12) Immigration and Naturalization Service, (13) NationalAeronautics and Space Administration, (14) National Ar-chives and Records Administration, (15) National ScienceFoundation, (16) Office of Personnel Management, (17) PeaceCorps, (18) Small Business Administration, (19) SocialSecurity Administration, (20) United States Agency forInternational Development, (21) United States Postal Ser-vices.13

Selain di Amerika Serikat, Komisi negara independenadalah juga fenomena ketatanegaraan modern di banyaknegara maju semacam Perancis, Inggris, Italia dan Jerman. DiPerancis contoh dari komisi negara independen adalahCommission des Operations de Bourse, Commission Informa-tique et Libertes, Commission de la Communication desDocuments Administratifs dan Conseil Superiur de l’Au-diovisuel. Di Inggris dengan kewenangan regulasi dankonsultatif hadir beberapa komisi negara independen yang

13 Ibid 6 – 7. Lihat Gina Misiroglu, The Handy Politics Answer Book (2003)hal. 326 – 327.

Page 282: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

268

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

memainkan peran strategis, antara lain: Monopolies andMergers Commission, Commission for Racial Equality dan CivilAviation Authority. Di Italia, kewenangan regulasi danmonitoring melekat pada komisi negara independen yangmengawasi kinerja bursa efek. Di Jerman, lembaga sejenisbahkan berwenang mengatur penggabungan bisnis (merger).14

Berdasarkan tipe dan fungsi administrasinya, komisinegara independen dapat dibedakan menjadi tiga macam,yaitu (1) badan pengatur dan pengawasan; (2) badan pe-ngawas pelayanan publik; dan (3) badan yang terlibat dalamproductive activities. Yang berfungsi mengatur dan me-ngawasi hanya ada pada level nasional atau pemerintahanfederal saja, sehingga sebagaimana di Amerika Serikat disebutjuga the headless fourth branch of the government.15

Berbeda dengan kategori badan yang menjalankanpelayanan publik yang tidak terkonsentrasi pada peme-rintah pusat atau federal semata. Namun, lembaga pengelolapelayanan umum inilah yang paling banyak, di Perancisjumlahnya ratusan, lebih kurang sama dengan Inggris yangberkisar pada angka 500, dan sering diberi nama quasiautonomous non-governmental organizations disingkatquango’s. Bahkan Jimly Asshiddiqie mengkalkulasi di Italiaada lebih dari 40.000 buah lembaga pelayanan publikdemikian, dengan istilah enti pubblici.16 Meskipun, penulistidak yakin, ratusan bahkan puluhan ribu lembaga yangdiidentifikasi Jimly tersebut dapat diklasifikasikan sebagaikomisi negara independen. Satu dan lain hal, karena

14 Asshiddiqie, Perkembangan … , n 8, hal. 10.15 Yves Meny dan Andrew Knapp, Government and Politics in WesternEurope: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition (1998) hal. 280.

Page 283: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

269

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

independent regulatory agencies memiliki syarat-syarattertentu, sebagaimana akan dipaparkan di bawah ini.

Komisi negara independen berbeda dengan komisi ne-gara biasa (state commissions). Menurut Michael R. Asimow,komisi negara biasa hanyalah bagian dari eksekutif, dantidak mempunyai peran yang terlalu penting.17 Pendapattersebut sejalan dengan definisi Misiroglu yang mengatakan,komisi negara independen – di Amerika Serikat – adalahlembaga negara federal yang tidak termasuk cabang ke-kuasaan eksekutif, dan karenanya tidak berada di bawahkontrol presiden.18

Lebih jauh, mengutip keputusan Mahkamah AgungAmerika Serikat dalam perkara Humprey’s Executor v.United States, Asimow berpendapat bahwa yang dimaksuddengan independen berkait erat dengan pemberhentiananggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkansebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pemben-tukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazim-nya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diber-hentikan oleh presiden, karena jelas-tegas merupakan ba-gian dari eksekutif.19 Hampir serupa, William F. Fox Jr.Berargumen bahwa suatu komisi negara adalah independenbila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan. Atau, bila Presidendibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discre-tionary decision) pemberhentian sang pimpinan komisi.20

16 Asshiddiqie, Perkembangan … , n 8, hal. 11.17 Asimow, n 5, hal. 2.18 Gina Misiroglu, The Handy Politics Answer Book (2003) hal. 326.19 Ibid hal. 20.20 William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (2000) hal. 56.

Page 284: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

270

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Ketika di tahun 1935, Franklin D. Rossevelt memberhentikansalah satu komisioner Federal Trade Commission—salah satukomisi negara independen—Mahkamah Agung memutuskantindakan demikian tidak sah.21

Selain masalah pemberhentian yang terbebas dari inter-vensi presiden, Funk dan Seamon menambahkan bahwa sifatindependen juga tercermin dari: (1) kepemimpinan yangkolektif, bukan seorang pimpinan; (2) kepemimpinan tidakdikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan(3) masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secarabersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).22

B. Komisi Negara di IndonesiaSesuai dengan definisi komisi negara independen di atas,

di Indonesia saat ini ada 13 independent regulatory agencies.Komisi-komisi tersebut, lengkap dengan dasar hukum pem-bentukannya adalah:

21 Misiroglu, n 18, hal. 298.22 Funk dan Seamon, n 12, hal. 7.

No. Komisi Dasar Hukum

1. Komisi Yudisial Pasal 24B UUD 1945& UU No. 22/2004

2. Komisi Pemilihan Umum Pasal 22E UUD 1945& UU No. 12/ 2003

3. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Keppres 48/2001 –UU No. 39/1999

4. Komisi Nasional Anti KekerasanTerhadap Perempuan Keppres No. 181/1998

5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha UU No. 5/1999

Page 285: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

271

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Sebelumnya, ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penye-lenggara Negara yang juga independen serta dibentukberdasarkan UU No. 28/1999 dan Keppres No. 127/1999.Namun, setelah berdirinya KPK, KPKPN dilikuidasi. Meskikeputusan untuk membubarkan KPKPN tersebut cenderungkental dengan nuansa balas dendam anggota DPR yangmerasa terganggu dengan ’galaknya’ kerja KPKPN; namun,harus diakui, penyatuan KPKPN ke dalam KPK adalahlangkah efisiensi yang cukup tepat.

Berbalikan dengan KPKPN yang sudah ’almarhum’,beberapa rancangan undang-undang justru mengindikasi-kan akan lahirnya beberapa Komisi Negara Independenbaru. Misalnya, RUU Kebebasan Memperoleh InformasiPublik yang merencanakan terbentuknya Komisi Informasi.

Selain komisi negara independen, ada beberapa lembagalain, namun bertanggung jawab kepada Presiden – ataumerupakan bagian dari eksekutif – sehingga merupakankomisi negara eksekutif (executive branch agencies).23 Komisi

6. Komisi Ombudsman Nasional Keppres No. 44/20007. Komisi Penyiaran Indonesia UU No. 32/20028. Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (KPK) UU No. 30/20029. Komisi Perlindungan Anak UU No 23/2002

& Keppres No. 77/200310. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(sudah alm) UU No. 27/200411. Dewan Pers UU No. 40/199912. Dewan Pendidikan UU No. 20/200313. Pusat Pelaporan & Analisis

Transaksi Keuangan Keppres No. 81/2003

Sumber: Diolah dari Kompas, 30 April 2005 dan Meneg PAN.

23 Fox, n 20, hal. 57.

Page 286: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

272

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

atau lembaga negara itu, beserta dasar hukumnya, yangmenyebutkan ia berada di bawah atau bertanggung jawabkepada Presiden atau menteri, adalah: 24

No. Komisi Dasar Hukum

1. Komisi Hukum Nasional Keppres No. 15/20002. Komisi Kepolisian UU No. 2/20023. Komisi Kejaksaan UU No. 16/2004

dan Perpres No. 18/20054. Dewan Pembina Industri Strategis Keppres No. 40/19995 Dewan Riset Nasional Keppres No. 94/19996 Dewan Buku Nasional Keppres No. 110/19997. Dewan Maritim Indonesia Keppres No. 161/19998. Dewan Ekonomi Nasional Keppres No. 144/19999. Dewan Pengembangan Usaha

Nasional Keppres No. 165/199910. Komite Nasional Keselamatan UU No. 41/1999 & Keppres

Transportasi No. 105/199911. Komite Antar Departemen Bidang

Kehutanan Keppres No. 80/200012. Komite Akreditasi Nasional Keppres No. 78/200113. Komite Penilaian Independen Keppres No. 99/199914. Komite Olahraga Nasional Indonesia Keppres No. 72/200115. Komite Kebijakan Sektor Keuangan Keppres No. 89/199916. Komite Standar Nasional untuk

Satuan Ukuran PP No. 102/200017. Komite Aksi Nasional Penghapusan

Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburukuntuk Anak Keppres No. 12/2000

18. Tim Koordinasi PenanggulanganKemiskinan Keppres No. 54/2005

19. Dewan Gula Nasional Keppres No. 23/200320. Dewan Ketahanan Pangan Keppres No 132/200121. Dewan Pengembangan Kawasan

Timur Indonesia Keppres No. 44/200222. Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah Keppres No. 151/200023. Dewan Pertahanan Nasional UU No. 3/2003

24 Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa KewenanganAntarlembaga Negara (2005) hal. 92 – 105.

Page 287: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

273

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

24. Badan Narkotika Nasional Keppres No. 17/200225. Bakornas Penanggulangan Bencana Keppres No. 3/2001 jo.

& Pengungsi Keppres 111/200126. Badan Pengembangan Kapet Keppres No. 150/200227. Bakor Pengembangan TKI Keppres No. 29/199928. Badan Pengelola Gelora Bung Karno Keppres No. 72/199929. Badan Pengelola Kawasan

Kemayoran Keppres No. 73/199930. BRR Propinsi NAD dan Kep. Nias

Sumatera Utara Perpu No. 2/200531. Badan Nasional Sertifikasi Profesi PP No. 23/200432. Badan Pengatur Jalan Tol PP No. 15/200533. Badan Pendukung Pengembangan

Sistem Penyediaan Air Minum PP No. 16/200534. Lembaga Koordinasi dan Pengen-

dalian Peningkatan KesejahteraanSosial Penyandang Cacat Keppres No. 83/1999

35. Lembaga Sensor Film PP No. 8/199436. Korsil Kedokteran Indonesia UU No. 29/200437. Badan Pengelola Puspiptek Keppres No. 43/197638. Badan Pengembangan Kehidupan

Bernegara Keppres No. 85/199939. Dewan Penerbangan dan Antariksa Keppres Keppres

Nasional No. 132/199840. Lembaga Non Departemen

(24 lembaga)25 Keppres No. 3/2002perubahan KeppresNo. 103/2001

Sumber: Diolah dari Kompas, 30 April 2005 dan Meneg PAN.

25 Ke 24 lembaga negara non departemen itu bukan Komisi NegaraIndependen karena termasuk lembaga pemerintah. Organ-organ negaraitu adalah: Lembaga Administrasi Negara (LAN), Arsip Nasional RepublikIndonesia (ANRI), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Perpustakaan Nasio-nal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan PusatStatistik (BPS), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas TenagaNuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Intelijen Negara (BIN),Lembaga Sandi Negara, Badan Urusan Logistik (Bulog), Badan KoordinasiKeluarga Berencana Nasional (BKKBN), Lembaga Penerbangan AntariksaNasional (LAPAN), Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, BadanPengawasan Keuangan dan Pembangunan, Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), BadanKoordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pertanahan Nasional (BPN),Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Informasi Nasional(LIN), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dan Badan PengembanganKebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar).

Page 288: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

274

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Di samping komisi negara eksekutif di atas, masih adasatu lembaga penasihat presiden yang amanatnya diaturdalam Pasal 16 UUD 1945. Inilah lembaga yang akhirnyamenjadi Dewan Pertimbangan Presiden.

UKP3R.26 Sebelumnya, embrio dari lembaga penasihatpresiden sudah hadir, meskipun langsung menuai kontro-versi. Sebenarnya, tidak ada keraguan, Presiden SusiloBambang Yudhoyono mempunyai kewenangan konstitusio-nal untuk membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pe-ngelolaan Program dan Reformasi. Jangankan membuatUKP3R di lingkungan kepresidenan, Presiden berhak untuksetiap saat mengangkat dan memberhentikan menteri, yanglevelnya justru berada di atas para personil UKP3R. UUD1945 secara tegas mengatur, Presiden Republik Indonesiamemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sedangkan dalam menjalankan kekuasaaneksekutif tersebut, posisi Wakil Presiden hanyalah sebagaipembantu presiden. Selanjutnya, konstitusi menegaskanPresiden – bukan Wakil Presiden – berwenang membentukdewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihatdan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diaturdalam undang-undang. Jadi jelas adalah hak prerogatifpresiden sebagai chief of executive untuk menyusun unityang mendukung kerja-kerja kepresidenannya, termasukUKP3R.

Kontroversi UKP3R karenanya bukan terletak padakonstitusionalitas kewenangan presiden untuk membentuk-nya. Bahkan jikalaupun misalnya Wakil Presiden tidakmenyetujuinya, atau para menteri berkeberatan dengan

26 Bagian ini diambil: Denny Indrayana, Presiden yang Terpenjara, MediaIndonesia, 9 November 2006.

Page 289: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

275

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

kehadiran UKP3R, Presiden Yudhoyono tetap berwenanguntuk membentuk unit kerja tersebut. Meskipun perludicatat bahwa lebih ideal jika rekrutmen politik personil dilingkaran presiden diatur dalam undang-undang. Bahkan,masalah kabinetpun seharusnya pembentukan, pengubahandan pembubarannya diatur pula dalam undang-undang.Itulah amanat Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945.

Setelah Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan, Per-ubahan Keempat UUD 1945 mengamanatkan adanya un-dang-undang yang mengatur tentang dewan penasihatpresiden. Amanat UUD 1945 itu hingga lebih empat tahunbelum juga dilaksanakan oleh Presiden dan DPR – lembagayang diberi amanah membuat undang-undang oleh konsti-tusi. Nasib yang sama terjadi dengan rancangan undang-undang kementerian negara. Ketiadaan aturan pengun-dangan itu menunjukkan lemahnya visi legislasi perun-dangan. Tidak jarang undang-undang dibuat bukan berda-sarkan amanat konstitusi. Akibatnya, Presiden mempunyaikewenangan yang tak terbatas untuk menerapkan kewe-nangan appointment and removal yang dimilikinya. Tetapiitu teorinya. Praktiknya, Presiden Yudhoyono tidaklahsebebas demikian. Polemik UKP3R secara kasat mata me-nunjukkan posisi tawar Presiden Yudhoyono tidaklahterlalu kuat di hadapan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Ada dua faktor utama yang menyebabkan kewenanganYudhoyono menjadi lebih terbatas: constitutional poweryang lebih terkontrol serta partisant power yang lebih rentan.Secara konstitusi, presiden pascaperubahan UUD 1945relatif lebih dikontrol oleh parlemen. DPR saat ini jelas lebihmempunyai gigi dibandingkan di masa presiden Soeharto.Meski mendapatkan legitimasi kuat melalui pemilihan

Page 290: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

276

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

langsung oleh rakyat, presiden tidak lagi mampu merekayasaanggota parlemen. Karena semua anggota DPR pun seluruh-nya dipilih langsung oleh rakyat pula.

Yang lebih penting, senyatanya, Presiden Yudhoyonoberpijak pada dukungan partisan yang lemah. Partai politikinti yang menyokongnya hanyalah dua partai gurem: PartaiDemokrat dan Partai Bulang Bintang. Koalisi mutakhir yangmelibatkan semua partai besar minus PDI Perjuangan baruterjadi belakangan. Partai Golkar baru bergabung setelahWakil Presiden Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum darireinkarnasi partai yang berkuasa di era Orde Baru tersebut.

Dukungan partisan parlemen yang lemah itulah yangmemenjara Presiden Yudhoyono; tidak terkecuali denganpolemik pembentukan UKP3R. Partai Golkar yang mem-punyai agenda Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) padabulan November ini secara sengaja mempolitisasi isu UKP3Runtuk kepentingan politik partainya. Beberapa kekecewaankader Golkar di daerah – seperti DPD Golkar Lampung yangkecewa karena Alzier tidak bisa menjadi Gubernur – bertemudengan kepentingan elite Golkar, mempersoalkan masalahUKP3R.

Tidak terkomunikasikannya UKP3R secara baik kepadaWakil Presiden Jusuf Kalla memang merupakan suatukealpaan. Seharusnya, meskipun unit kerja ini memangmelekat pada presiden, karena bidang kerjanya menyangkutvisi dan misi lembaga kepresidenan, maka sangat patut JusufKalla dilibatkan. Personil Ketua UKP3R, Marsilam Siman-juntak, yang diidentifikasi sebagai sosok yang tidak Golkarfriendly, semakin menambah kompleksitas masalah.

Tetapi masalah politisasi dan pribadi Marsilam, jelasbukan masalah ketatanegaraan. Sekali lagi secara konstitusi,

Page 291: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

277

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Presiden berwenang membentuk unit kerja di sekelilingdirinya. Hanya saja unit kerja itu supaya lebih berdayagunadan tidak hanya menjadi akomodasi politik sebaiknya diaturdalam undang-undang tentang penasihat presiden. Faktabahwa UKP3R diributkan, karenanya, lebih karena anomalisistem presidensial yang berdiri di atas koalisi rapuh denganGolkar sebagai pendukung mayoritas. Posisi demikian mem-buat Presiden Yudhoyono terpenjara dengan intrik dandinamikan politik di Partai Golkar. Komplikasi sistem pre-sidensial yang bertaut dengan multi-partai semakin parahkarena Wakil Presiden yang seharusnya pembantu presidenadalah Ketua Umum Partai Golkar; akibatnya, meskipunsecara konstitusional Presiden Yudhoyono lebih kuat, secarakekuatan riil politik, Wakil Presiden Kalla adalah faktorpolitik yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Presiden Yudhoyono terpenjara oleh multipartai; ter-penjara oleh koalisi yang kebesaran (oversized coalition);terpenjara oleh Partai Golkar; dan dalam tiga tahun men-jelang pemilu 2009 akan semakin terpenjara – mungkin –oleh wakil presidennya sendiri. Dalam kondisi demikian,tentu saja Presiden yang lebih berwibawa dan tegas diper-lukan. Di samping, secara konstitusional, sistem kepartaianharus didesain menjadi lebih sederhana. Perlu pula diper-timbangkan agar paket Presiden dan Wakil Presiden hanyadiusulkan oleh partai yang sama, tidak berbeda. Hanyadengan demikian akan hadir sistem presidensial yang efektif,bukan presiden sial yang terpenjara.

C. Evaluasi Komisi NegaraEvaluasi atas komisi negara di tanah air paling tidak

perlu menyoroti tiga hal, yaitu: (1) problema eksistensinya

Page 292: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

278

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

yang mulai menginflasi; (2) efektifitas fungsi; (3) serta urgensirestrukturisasi komisi negara tersebut.

Dari tabel di atas jelaslah bahwa dari 13 komisi negaraindependen dan 40 komisi negara di lingkungan eksekutif –atau total 53 lembaga, hanya 2 lembaga saja yang peraturan-nya hadir sebelum era reformasi, atau sebelum mundurnyaSoeharto di tahun 1998, yaitu: Badan Pengelola Puspiptek(1976) dan Lembaga Sensor Film (1994). Selebihnya, 51negara atau 96,2 persen adalah lembaga baru denganperaturan baru pasca-Orde Baru.

Nyatalah bahwa Indonesia tidak imun dari kecen-derungan global, yaitu mendirikan lembaga baru di masatransisi pascapemerintahan otoriter. Salah satu penyebabutamanya adalah lunturnya kepercayaan publik atas lem-baga negara konvensional. Ketidakpercayaan publik (publicdistrust) itu mendorong hadirnya komisi negara yang di-idamkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya.Pengalaman Amerika Serikat menegaskan relasi antaradoktrin kepercayaan publik (public trust doctrine) denganhadirnya lembaga-lembaga negara federal.27

Di tanah air, ketidakpercayaan terhadap pelayananpejabat negara melahirkan Komisi Ombudsman Nasional;ketidakyakinan terhadap penanganan masalah HAM, meng-hadirkan Komnas HAM. Di dunia peradilan ketidak-percayaan pada para hakim yang kabarnya kebanyakankorup memunculkan Komisi Yudisial; perilaku aparat ke-jaksaan yang menyimpang, memicu kelahiran Komisi

27 Susan D. Baer, The Public Trust Doctrine – A Tool to Make FederalAdministrative Agencies Increase Protection of Public Law and Its Resour-ces, Boston College Environmental Affairs Law Review vol. 15 (1988) hal.382.

Page 293: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

279

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Kejaksaan; tingkah-polah polisi yang menjadi penikmatmafia peradilan, merangsang kehadiran Komisi Kepolisian.

Inflasi KomisiSayangnya, di ”negeri kampung maling” ini, menjamur-

nya komisi negara tidak berbanding lurus dengan ber-kurangnya problem kebangsaan. Justru Indonesia mulaimemasuki masa inflasi komisi negara, yaitu titik jenuh yangjustru dapat mereduksi urgensi eksistensi komisi itu sendiri.Telah lahir komisi negara baru yang fungsi dan perannyacenderung tidak jelas atau tumpang-tindih satu sama lain.28

Ketidakjelasan komisi negara di Indonesia terutamakarena ketiadaan konsep ketatanegaraan yang komprehensiftentang apa dan bagaimana sebaiknya komisi negara.Komisi hanya lahir sebagai kebijakan yang reaktif-responsif,bukanlah preventif-solutif terhadap masalah kebangsaan.Terkadang, komisi cenderung dibentuk karena penguasamelihatnya sebagai suatu kebijakan yang populis, sehinggajika didukung akan menaikkan pamor politik sang pe-nguasa. Akibatnya, kelahiran komisi negara hanyalahmanipulasi dan dagangan elite politik semata, menjauh daritujuan luhurnya guna membentuk sistem ketatanegaraanIndonesia yang lebih demokratis, modern dan anti-korupsi.29

Salah satu bukti absennya konsep komisi negara yangmenyeluruh dan terencana adalah berbeda-bedanya dasarhukum kehadiran komisi negara tersebut (lihat tabel di atas).Ada yang hadir berdasarkan amanat Undang-undang Da-sar, namun tidak sedikit pula yang lahir hanya berlandaskan

28 Denny Indrayana, Merevitalisasi Komisi Negara di Negeri KampungMaling, Kompas 30 April 2005.29 Ibid.

Page 294: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

280

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

keputusan atau peraturan presiden, bahkan senyatanya duaformat terakhir inilah yang paling banyak digunakan.Perbedaan dasar hukum itu tidak hanya menunjukkannihilnya koordinasi perencanaan pembentukan komisi ne-gara, tetapi lebih jauh mengakibatkan berbedanya tingkatkewibawaan komisi tersebut.30

Bentuk minimnya komitmen elite politik pada pem-bentukan komisi makin tercermin dengan tidak adanyajaminan finansial bagi hidupnya komisi negara. Tidaksedikit komisi yang hidup enggan mati tak mau; menunggaktagihan-tagihan telepon dan listrik; hingga ujungnya adayang mengusulkan lebih baik dibubarkan saja (Kompas, 28Januari 2004). Kemiskinan infrastruktur komisi tersebutamat bertolak belakang dengan sangat beratnya beban kerjakomisi – khususnya bagi komisi negara independen – untukmendorong terciptanya sistem bernegara yang transparan,akuntabel dan bersih dari korupsi-korupsi kekuasaan.31

Efektifitas FungsiDengan berbagai permasalahan konseptual, legal hingga

finansial di atas, menjadi teramat wajar kalau kemudiankomisi negara hanya menjadi macan kertas yang ompong.Hanya tampilannya yang sangar tetapi kenyataannya tidakmempunyai gigi untuk menggigit. Komnas HAM hanyamenjadi lembaga yang kaya rekomendasi tetapi manduldalam mengurangi pelanggaran HAM di tanah air; KomisiOmbudsman Nasional sibuk mengeluarkan rekomendasiantimafia peradilan, tetapi tetap belum efektif menciptakanperadilan yang anti praktik jual-beli keadilan. Dari 2.443

30 Ibid.31 Ibid.

Page 295: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

281

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

kasus pengaduan yang ditangani Komisi Ombudsman Na-sional sejak Maret 2000 hingga Maret 2005, misalnya, 48persen tidak ditanggapi oleh lembaga yang diadukan;32

Komisi Hukum Nasional mengklaim banyak melakukankerja nyata reformasi hukum, tetapi realita hukum Indonesiatetap saja korup sepanjang masa keberadaannya.

Nyatalah, keberadaan komisi-komisi yang menjamurtersebut tentu harus segera ditata guna secara jelas dan tegasmendorong demokratisasi di tanah air. Revitalisasi komisi-komisi tersebut penting agar mereka tidak hanya menjadilembaga negara yang muncul responsif, sesaat dan akhirnyahilang ditelan zaman, karena pelaksanaan fungsinya tidakmaksimal. Sejarah ketatanegaraan kita sudah membuktikan,bahkan lembaga negara yang keberadaannya dijaminkonstitusi sekalipun, Dewan Pertimbangan Agung, akhirnyadilikuidasi karena dirasa tidak memberikan sumbanganyang berarti dalam menciptakan sistem pemerintahan yangbaik dan efektif. Hal yang serupa akan amat mungkin terjadipada komisi-komisi negara yang kini ada dan terus bermun-culan.33

RestrukturisasiPerlu segera disusun blueprint lembaga negara, khusus-

nya bagi institusi-instusi yang aturannya berada di luarkonstitusi. Di dalam blueprint tersebut perlu ditegaskanbahwa komisi negara yang sebaiknya dipertahankan hanya-lah komisi-komisi yang mempertegas dan memperkokoh

32 Nur Hidayati, Menggenjot Kinerja Butuh Komitmen Kuat, Kompas 30April 2005.33 Denny Indrayana, Inflasi Komisi, Inflasi Rekomendasi, Media Indonesia 28September 2005.

Page 296: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

282

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

bangunan negara hukum, yaitu komisi yang mendorong danmenjaga: (1) sistem peradilan yang independen dan ber-integritas, bersih dari praktik mafia peradilan; (2) per-lindungan hak asasi manusia; (3) kebebasan pers; dan (4)pemilihan umum yang jujur dan adil.

Acuan kedua bagi restrukturisasi komisi adalah urgen-sinya untuk menguatkan konsep separation of powers dalamkehidupan bernegara. Di Amerika Serikat berkembangdoktrin pendelegasian kekuasaan (delegation doctrine) seba-gai dasar konstitusional bagi pemisahan kekuasaan untukkomisi negara di luar lembaga-lembaga negara konven-sional.34 Inilah jawaban atas realitas makin kompleksnyapermasalahan ketatanegaan modern. Model pemisahan ke-kuasaan negara (separation of powers) konvensional yanghanya mengasumsikan adanya tiga cabang kekuasaan disuatu negara – eksekutif, legislatif dan yudikatif – sudahtidak lagi menjawab kompleksitas negara modern. Karenaitu diperlukan independent regulatory agencies untuk me-lengkapi institusi ketatanegaraan modern, dengan modelrelasi saling imbang-saling kontrol yang lebih lengkap diantara lembaga-lembaga negara (state organs). Ackermanberpendapat:

… the American system contains (at least) fivebranches: House, Senate, President, Court, and inde-pendent agencies such as the Federal Reserve Board.Complexity is compounded by the bewildering institutional

34 David Schoenbrod, Separation of Powers and the Powers That be:TheConstitutional Purposes of the Delegation Doctrine, The American Univer-sity Law Review vol. 36 (1987) hal. 388 – 389.

Page 297: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

283

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

dynamics of the American federal system. The crucialquestion is not complexity, but whether we Americans areseparating power for the right reasons. 35 (cetak tebal olehpenulis).

Berdasarkan parameter 4 syarat dasar negara hukumserta konsep pemisahan kekuasaan modern demikian, makakomisi negara yang patut dipertahankan adalah:

1. Komisi Yudisial; namun dengan perluasan tidak hanyakepada hakim tetapi kepada semua aparatur hukum.Artinya KY tidak hanya mengawasi hakim namun jugapolisi dan jaksa. Dengan demikian Komisi Kepolisiandan Komisi Kejaksaan tidak diperlukan lagi, tetapihanya akan menjadi bagian dari KY. Ada baiknya, KYdijadikan institusi yang fokus bagi administrasi per-adilan. Masalah rekrutmen, promosi, mutasi hinggapemberian sanksi bagi para aparat hukum adalah wila-yah kerja KY yang patut dipertimbangkan.

2. Komisi Ombudsman; lembaga ini diperlukan untukmengawal agenda good governance.

3. Komisi Pemberantasan Korupsi; lembaga ini pentinguntuk terus menjaga Indonesia yang bebas dari korupsimelalui upaya pencegahan dan penindakan hukum.

4. Komisi Nasional HAM; yang mempunyai divisi kerjaperlindungan anak dan perempuan. Artinya KomisiPerlindungan Anak serta Komnas HAM Perempuansebaiknya tidak lagi menjadi lembaga tersendiri.

35 Bruce Ackerman, The New Separation of Powers, The Harvard LawReview vol. 113 (2000) hal. 728.

Page 298: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

284

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

5. Komisi Pers Indonesia; lembaga ini merupakan peleburanDewan Pers Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesiayang penting untuk menjaga prinsip kebebasan pers.

6. Komisi Pemilihan Umum; lembaga ini strategis untukmengawal pemilihan umum yang luber dan jurdil bagihadirnya sistem ketatanegaraan yang akuntabel.

Organ KonstitusiBelajar dari Afrika Selatan dan Thailand, yang men-

cantumkan komisi negara itu menjadi organ konstitusi,seharusnya dasar hukum bagi komisi negara di atas lebihdikuatkan. Penguatan itu penting, misalnya, sebagai bentukkomitmen tegas pemberantasan korupsi dan perlindunganHAM, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dan KomnasHAM dinaikkan status dasar hukumnya ke tingkat konsti-tusi. Jaminan konstitusional itu tidak hanya menambahamunisi kehidupan bagi kedua komisi negara itu, tetapisekaligus menjadi signal yang kuat bagi peperangan mela-wan korupsi dan para penjahat HAM di tanah air.

Pengangkatan derajat beberapa komisi menjadi organkonstitusi juga strategis untuk mengantisipasi kemungkinankonflik. Dengan posisi sebagai organ konstitusi, komisinegara independen akan mempunyai kedudukan hukum(legal standing) untuk menjadi pihak dalam sengketa kewe-nangan antarlembaga negara di hadapan meja merahMahkamah Konstitusi.

Komisi BiasaDi samping menjadi organ konstitusi, untuk lembaga-

lembaga ad hoc atau penunjang semata, beberapa komisidapat dibentuk cukup berdasarkan undang-undang. Misal-

Page 299: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

285

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

nya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah lembagayang dibutuhkan dalam konsteks transitional justice. Karenakarakteristiknya, komisi ini tidak perlu menjadi lembagapermanen. Lebih jauh, fungsi selanjutnya dari lembaga inidapat dilekatkan pada Departemen Hukum dan HAM,ketika kehadirannya sebagai institusi tersendiri dirasakansudah cukup.

Yang lain, Komisi Perlindungan Saksi adalah institusi,yang dibentuk dengan dasar undang-undang. Tetapi ka-renanya hanya penunjang, lembaga ini cukup dijadikaninstitusi yang berada di dalam ranah eksekutif. Kehadirankomisi ini penting sebagai pelengkap instrumen perangmelawan korupsi. Tanpa perlindungan saksi (witness pro-tection) upaya-upaya memberantas pidana modern semacamkorupsi, teror, narkoba dan sejenisnya akan amat sulitdilakukan.

LikuidasiKomisi-komisi negara lain di luar penegasan konsep

negara hukum dan fungsi transitional justice di atas,sebaiknya dilikuidasi. Pelikuidasian perlu dilakukankarena alasan strategis, teknis dan politis. Secara strategistidak jarang keberadaan suatu komisi negara hanya me-nambah panjang rantai birokrasi dan tumpang tindihdengan fungsi-fungsi lembaga negara yang lain. Secarateknis, banyaknya komisi negara yang tumpang tindihtersebut melahirkan sistem pemerintahan yang tidak efisiendan cenderung menghamburkan uang negara semata.36

Secara politis, banyaknya komisi negara cenderung hanya

36 Inflasi Komisi Inflasi APBN, Kompas 30 April 2005.

Page 300: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

286

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

menjadi sarana antarpartai politik untuk berbagi kursikekuasaan bahkan meski seringkali mengorbankan efisiensipemerintahan negara.

Berkait dengan efisiensi ini komisi negara yang berada dibawah presiden harus ditimbang lagi urgensinya. KomisiHukum Nasional misalnya sebaiknya ditiadakan dan fung-sinya cukup dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman.Demikian pula dengan komisi/lembaga/dewan/badan yanglainnya, misalnya Dewan Pendidikan dikembalikan fung-sinya kepada Departemen Pendidikan Nasional. Intinya,semua komisi/lembaga/dewan/badan dinilai apakah masihdiperlukan atau cukup dilaksanakan oleh departemen ataulembaga pemerintah non-departemen.

AuditPada fase memutuskan lembaga mana yang patut dilikui-

dasi (dihilangkan) atau dimerger (digabungkan) itulahfungsi audit kinerja kelembagaan dan audit keuangan yangprofesional menjadi amat penting. Audit kinerja kelem-bagaan strategis untuk menentukan apakah suatu komisimemang sebaiknya terus eksis. Audit keuangan juga sangatpenting untuk menilai akuntabilitas dan moralitas orang-orang yang bertugas di dalam menjalankan putaran rodakerja komisi. Jikalau audit kinerja kelembagaan menun-jukkan eksistensi komisi justru merugikan, maka sewajibnyakomisi dilikuidasi. Sama halnya, jikalau audit finansialmenunjukkan anggota komisi tidak memegang sumpah-janjiantikorupsi, maka yang bersangkutan harus siap menerimasanksi untuk dibui sampai mati.37

37 Indrayana, Merevitalisasi... n 28.

Page 301: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

287

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

D. Tantangan Komisi NegaraSetelah proses restrukturisasi komisi dilakukan dengan

blueprint mengacu pada prinsip dasar negara hukum dankonsep modern pemisahan kekuasaan, maka paling tidakada 2 tantangan utama bagi komisi negara yang ke depanwajib diantisipasi: efektifitas fungsi; dan problema relasiantaralembaga negara.

Efektifitas FungsiRestrukturisasi dan revitalisasi komisi negara seharusnya

diiringi dengan meningkatnya efektifitas kerja komisi. Khu-susnya bagi komisi negara independen, kemandirian ituharus tercermin dalam bentuk fungsi yang tidak sebatasdapat memberikan rekomendasi, namun lebih jauh sebaik-nya dapat menjatuhkan sanksi.

Karena, patut dipahami bahwa antara prinsip inde-pendensi dengan fungsi rekomendasi adalah dua hal yangtidak sejalan. Bagaimana mungkin lembaga independenhanya berwenang memberi rekomendasi, yang tentunyadapat dijalankan atau tidak oleh lembaga penerima reko-mendasi. Bukankah kalau suatu rekomendasi tidak dijalan-kan itu berarti independensi fungsi dari komisi yang ber-sangkutan tercederai?

Karenanya, menjadi wajib seharusnya untuk mem-berikan kewenangan eksekusi sanksi kepada Komisi Yu-disial, misalnya. Terlebih konstitusi sendiri secara tegasmengamanatkan bahwa KY berwenang ”menjaga danmenegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta peri-laku hakim”. Kata ”menegakkan” seharusnya diikutidengan konsep kewenangan yang konsisten yaitu: kekuataneksekusi, bukan hanya rekomendasi. Rekomendasi selain

Page 302: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

288

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

tidak sesuai dengan kata ”menegakkan” juga bertentangandengan konsep independennya Komisi Yudisial. Karenarekomendasi akan dengan mudah diabaikan, yang berartiada intervensi – meski tidak langsung, dari lembaga pene-rima rekomendasi terhadap kemandirian Komisi Yudisial.38

Problema Relasi: Kasus MA – KYSelain masalah efektifitas fungsi, tantangan komisi ne-

gara ke depan adalah relasinya dengan lembaga negaralainnya. Relasi MA dan KY, yang relatif terus bermasalahbeberapa waktu terakhir adalah contoh konkret tantanganrelasi institusional tersebut.

KY dan MA seharusnya bersekutu ataukah berseteru?Itulah pertanyaan yang muncul akhir-akhir ini melihat terusmeruncingnya relasi antara kedua lembaga tersebut, sertaupaya-upaya perdamaian yang kemudian diupayakan ber-bagai pihak. Idealnya keduanya bersekutu untuk melawanmafia peradilan. KY dan MA berkoalisi untuk menggempurpraktik judicial corruption. Tetapi itu adalah relasi idealyang mengandaikan semua hakim di MA bersih dari praktikmenyimpang. Padahal pada kenyataannya sulit memba-yangkan bahwa semua hakim-hakim di MA tidak ter-kontaminasi praktik judicial corruption.39

Secara kelembagaan, memang hubungan KY dan MAsebaiknya tidak selalu berkonflik. Namun, bukan berarti KYtidak dapat menjatuhkan sanksi kepada hakim nakal.Artinya, teritori konflik harus dipindahkan dari wilayahinstitusional ke ranah personal. Tetapi kerjasama kelem-bagaan tersebut mensyaratkan—antara lain—kepemimpinan

38 Indrayana, Inflasi... n 33.39 Denny Indrayana, KY dan MA Sekutu atau Seteru, Media Indonesia.

Page 303: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

289

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

di kedua lembaga mempunyai satu visi yang sama untukmembumihanguskan praktik mafia peradilan. Pada tingkatinilah kesungguhan dan progresifitas pimpinan MA – yangkembali dipimpin oleh Bagir Manan – kembali diuji untukdapat menyamai langkah cepat pembenahan dunia keha-kiman yang sedang semangat-semangatnya disuarakanpimpinan KY. Tanpa kesamaan visi pemberantasan judicialcorruption, konflik antara KY dan MA akan terus bernuansainstitusional. Karena pimpinan MA akan berupaya untukselalu menarik konflik personalnya dengan KY menjadipersoalan institusional.40

Pada dasarnya ada tiga jenis relasi antara lembaganegara, termasuk pula kemungkinan relasi KY dan MA,yaitu: konstruktif, kolutif dan konfrontatif. Relasi yangkonstruktif adalah hubungan yang berjalan di atas kese-pahaman untuk saling kontrol dan saling imbang (checksand balances) guna menciptakan peradilan yang lebih bersihdan berwibawa. Relasi yang kolutif menunjukkan bahwaKY tidak berfungsi sebagai lembaga pengawas hakim,melainkan hanya menjadi pemberi stempel bersih kepadaapapun keputusan para hakim. Hubungan yang kolutif inikemungkinan terjadi jika KY sendiri sudah pula ter-kontaminasi penyakit kotor mafia peradilan. Relasi ketiga,konfrontatif, adalah hubungan KY dan MA yang selaluberseteru.41

Untuk membayangkan betapa merusaknya relasi KY danMA yang kolutif dan konfrontatif maka bisa dianalogkanhubungan keduanya dengan relasi Presiden dengan DPR.

40 Ibid.41 Ibid.

Page 304: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

290

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Hubungan presiden dengan DPR yang terlalu mesra akanmenghadirkan relasi yang kolutif dan menyebabkan DPRtidak akan kritis. Fungsi pengawasan DPR menjadi manduldan setiap kebijakan pemerintah yang keliru sekalipun akanmendapatkan permakluman dan persetujuan DPR. Hu-bungan kolutif demikian amat nyata terjadi di masa ke-presidenan Soeharto.42

Sama merusaknya dengan relasi yang kolutif, hubunganyang konfrontatif juga akan menyebabkan kehidupanbernegara akan terus berkonflik dan terganggu. Pengalamandi masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahidmenunjukkan bagaimana konfrontasi di antara presidendengan parlemen yang berlangsung terus-menerus telahmelahirkan kelelahan serta kejenuhan politik yang luarbiasa.43

Sama halnya dengan relasi Presiden dengan DPR,hubungan KY dan MA adalah hubungan saling kontrolsaling imbang yang sebaiknya konstruktif. Itu artinya,konfrontasi institusional berkepanjangan yang sekarangterjadi harus segera diakhiri. KY dan MA memang harusduduk untuk menyusun agenda kerja bersama melawanmafia peradilan. Agenda itu dapat berupa memorandum ofunderstanding yang menjelaskan standard operating pro-cedures (SOP) bagaimana seharusnya proses pemeriksaanhakim; apakah putusan dapat menjadi obyek pemeriksaanoleh KY; dan seterusnya.44

42 Ibid.43 Ibid.44 Ibid.

Page 305: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

291

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

KY-MA Pasca-Putusan MK45

Putusan Mahkamah Konstitusi secara tegas mengatakanbahwa relasi MA dan KY bukanlah checks and balancestetapi kemitraan (partnership) antara KY sebagai organpenunjang (supporting organ) dan MA sebagai organ utama(main organ). Klasifikasi MA demikian tentu saja bukankabar baik bagi komisi independen. Putusan MK relatiftidak mengakui eksistensi komisi independen sebagai ca-bang kekuasaan baru di era modern.

Lonceng kematian itu berdentang kencang denganPutusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 yangmenguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam Undang-undang Komisi Yudisial (UU KY). Tiga puluh satu hakimagung, sebagai pemohon pengujian, bersama para kuasahukumnya, OC Kaligis, Juan Felix Tampubolon dan Indri-yanto Seno Adji sedang tersenyum lebar karena nyarisseluruh permohonan mereka dikabulkan oleh MK. Bahkanuntuk fungsi pengawasan, MK memutuskan ”segala keten-tuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinya-takan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mem-punyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menim-bulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).” Inilahuntuk kesekian kalinya MK menggunakan dalih ketidak-pastian hukum atau kepastian hukum untuk membatalkansuatu peraturan perundangan. Sayangnya penerapan dalihitu tidak jarang bertabrakan dengan prinsip kemanfaatanhukum dan keadilan hukum.

Dalam putusan sebelumnya, MK membatalkan keten-tuan perbuatan melawan hukum materiil dalam penjelasan

45 Bagian ini diambil dari, Denny Indrayana, Mahkamah Mafia Peradilan,Kompas, 28 Agustus 2006.

Page 306: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

292

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

pasal 2 ayat (1) Undang-undang Korupsi karena tidak sesuaidengan kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat(1) UUD 1945. Pembatalan konsep melawan hukum materiiltersebut – yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalamukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yanghidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan –memangkas semangat progresivitas yang amat bermanfaatuntuk melawan korupsi sebagai kejahatan luar biasa dengancara luar biasa pula.

Setali tiga uang, dalam putusan UU KY, MK mem-batalkan segala pasal pengawasan dengan alasan tidak jelasdan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pertanyaannya,apakah ketidakjelasan tersebut sedemikian parah sehinggasemua fungsi pengawasan dalam UUKY wajib dinyatakanbertentangan dengan konstitusi? Mengapa pilihannya bu-kanlah membiarkan pasal-pasal pengawasan itu denganmenekankan KY mengatur hal-hal yang belum jelas dalamPeraturan KY. Bukankah dengan demikian, fungsi pe-ngawasan KY masih dapat dilakukan, suatu fungsi yangteramat penting untuk memerangi praktik mafia peradilanyang marak di negeri ini.

Dengan membatalkan segala pasal pengawasan dalamUU KY tentu saja MK telah membuat senyum lebar semuapelaku korupsi peradilan. Mulai putusan itu dibacakanhingga disahkannya revisi UU KY, KY tidak lagi bisamengawasi perilaku hakim. Suatu fungsi konstitusional yangdijamin oleh konstitusi. Itulah Ironisnya, MK sebagai pe-ngawal konstitusi, justru telah menghapus pasal-pasalpengawasan KY yang sebenarnya justru diberikan olehkonstitusi.

Page 307: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

293

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Putusan UU KY jelas mencerminkan hakim konstitusiterjebak conflict of interest. Mereka tidak mau dimasukkansebagai obyek pengawasan KY. Salah satu alasannya,karena MK berwenang memutus sengketa kewenanganantara lembaga negara yang KY mungkin menjadi salah satupihaknya. Sehingga, jikalau hakim konstitusi diawasi KY,independensi mereka dalam memutus perkara sengketakewenangan demikian menjadi terganggu.

Argumentasi ini menunjukkan MK mempunyai standarganda tentang makna independensi mereka. Dalam banyakkesempatan, MK berargumen bahwa independensi hakimkonstitusi jangan diragukan, bahkan untuk memutus kasus-kasus yang melibatkan Presiden dan DPR. Meskipun enamorang hakim konstitusi diusulkan oleh Presiden dan DPR,mereka mengaku tetap bisa mandiri. Lalu kenapa keman-dirian yang sama tidak bisa dilakukan berhadapan denganfungsi pengawasan KY?

Selanjutnya, argumen putusan bahwa KY hanya organpenunjang, sedangkan MA serta adalah MK adalah lembaganegara utama, adalah argumen yang debatable. Konstitusisendiri tidak secara tegas mengatur demikian. Yang jelas,ketiga lembaga secara tegas diatur dalam bab yang samatentang kekuasaan kehakiman. Semestinya, dengan kewe-nangan ”menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuranmartabat, serta perilaku hakim”, tidaklah bisa diargu-mentasikan KY hanya penunjang, dan MA serta MK lebihutama. Untuk melaksanakan pengawasan preventif dankorektif atas perilaku hakim, KY sewajibnya berfungsisejajar dengan lembaga yang akan di awasinya. Adalahmimpi untuk mengargumentasikan, suatu lembaga yanglebih inferior dapat mengawasi lembaga yang lebih superior.

Page 308: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

294

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Terlebih argumen bahwa konsep checks and balanceshanya berlaku di antara lembaga legislatif, eksekutif danyudikatif adalah argumen lama ala Montesquieu yang sudahmulai ketinggalam zaman. Bruce Ackerman menyatakan diAmerika Serikat sistem checks and balances dilakukan tidaklagi di antara tiga cabang kekuasaan, tetapi lima: Presiden,DPR, Senat, MA dan Komisi-komisi Independen.46 PendapatBruce tersebut sudah menjadi trend ketatanegaraan moderndi mana kehadiran Komisi-komisi independen diberi tempatdi dalam konstitusi sebagai constitutional organ. Meng-gunakan istilah independent regulatory commissions, YvesMeny dan Andrew Knapp menegaskan eksistensi komisinegara independen sebagai cabang kekuasaan keempat:

Regulatory and monitoring bodies are a new type ofautonomous administration which has been most widelydeveloped in the United States (where it is sometimesreferred to as the ’headless fourth branch’ of the government). It takes the form of what are generally known asIndependent Regulatory Commissions.47

KontrolDi sisi lain, dengan semakin banyaknya komisi negara,

memang harus juga diiringi dengan pemaksimalan pe-ngawasan terhadap kerja komisi tersebut. Prinsip bahwakomisi negara adalah lembaga yang independen bukanberarti anggota-anggotanya steril dari sanksi hukum. Kon-sep kemandirian hanya bersifat institusional, tetapi tidaklahpersonal. Artinya, hanya institusilah yang tidak dapat

46 Ackerman, n 35, 728.47 Meny dan Knapp, n 15, hal. 281.

Page 309: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

295

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

diintervensi kewenangannya, tetapi anggota-anggota komisiwajib untuk dijatuhi sanksi jikalau melakukan kejahatankemanusiaan, misalnya korupsi.48 Hal tersebut sejalandengan praktik di Amerika Serikat yang kontrol terhadapindependent regulatory agencies dilakukan melalui me-kanisme rekrutmen dan pemberhentian pimpinan komisi,tentu dengan tetap memperhatikan aturan yang ada diperaturan perundangan terkait.49

PenutupKomisi negara independen (independent regulatory

agencies) atau komisi eksekutif (executive branch agencies)memang menjamur di masa transisi Indonesia pascarezimotoriter Soeharto. Komisi demikian harus direstrukturisasi,dirampingkan dan direvitalisasi, antara lain dengan men-jadikannya sebagai organ konstitusi (constitutional organ).Revitalisasi komisi harus diikuti dengan meningkatkanefektifitas fungsi komisi untuk tidak hanya sebagai pemberirekomendasi; serta menata relasinya dengan lembaga negaralain untuk menegaskan cita negara hukum serta prinsipmodern separation of powers dan konsep dasar salingkontrol-saling imbang.

48 Indrayana, Merevitalisasi… n 28.49 Fox, n 20, hal. 55.

Page 310: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

296

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

DAFTAR PUSTAKA

Bruce Ackerman, The New Separation of Powers, The Harvard Law Reviewvol. 113 (2000).

David Schoenbrod, Separation of Powers and the Powers That be: TheConstitutional Purposes of the Delegation Doctrine, The AmericanUniversity Law Review vol. 36 (1987).

Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: AnEvaluation of Constitution-Making in Transition, Disertasi Ph.D., theFaculty of Law, University of Melbourne (2005).

Denny Indrayana, Inflasi Komisi, Inflasi Rekomendasi, Media Indonesia 28September 2005.

Denny Indrayana, KY dan MA Sekutu atau Seteru, Media Indonesia.

Denny Indrayana, Mahkamah Mafia Peradilan, Kompas, 28 Agustus 2006.

Denny Indrayana, Merevitalisasi Komisi Negara di Negeri KampungMaling, Kompas 30 April 2005.

Denny Indrayana, Presiden yang Terpenjara, Media Indonesia, 9 November2006.

Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa KewenanganAntarlembaga Negara (2005).

Gina Misiroglu, The Handy Politics Answer Book (2003).

Inflasi Komisi Inflasi APBN, Kompas 30 April 2005.

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi (2006).

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah PerubahanKeempat UUD Tahun 1945, makalah dalam Seminar PembangunanHukum Nasional VIII, Denpasar 14 – 18 Juli 2003.

Michael R. Asimow, Administrative Law (2002).

Nur Hidayati, Menggenjot Kinerja Butuh Komitmen Kuat, Kompas 30 April2005.

Susan D. Baer, The Public Trust Doctrine – A Tool to Make FederalAdministrative Agencies Increase Protection of Public Law and ItsResources, Boston College Environmental Affairs Law Review vol. 15(1988).

Wikipedia, Administrative Procedure Act, http://en.wikipedia.org/wiki/Administrative _Procedure_Act#APA.27s_standard_of_judicial reviewdiakses 3 Juli 2007.

Page 311: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

297

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Wikipedia, Independent Agencies of the United States Government, http://en.wikipedia.org/wiki/Independent_agencies_of_the_United_States_government diakses 3 Juli 2007.

William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (2000).

William F. Funk dan Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples &Explanations (2001).

Yves Meny dan Andrew Knapp, Government and Politics in WesternEurope: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition (1998).

Page 312: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

298

Bicameralism is upheld against unicameralism on theargument that two Houses are a safety valve, and that theconcentration of all legislative power in just one body is notonly dangerous but also unwise: for two eyes are betterthan one eye. (Giovanni Sartori, 1997).

DEWAN Perwakilan Daerah (DPD) telah lahir, namunbelum sepenuhnya hadir. Keberadaannya hampir sama

dengan ketiadaannya. DPD antara (ti)ada dan tiada. Mak-nanya, dapat dibaca, DPD bisa dianggap antara ’ada’ dan’tiada’, atau bahkan DPD berada antara ’tiada’ dan ’tiada’.

DPD ’ada’ – salah satunya – karena legitimasinya yangrelatif kuat. Para anggotanya dipilih langsung melalui sistempemilu distrik berwakil banyak. Namun, DPD juga ’tiada’.Karena, kuatnya legitimasi hasil pemilu itu tidak berjalan

DPD ANTARA (TI)ADA DAN TIADA

Page 313: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

299

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

seiring dengan kewenangannya yang cenderung minimalis,terlebih bila dikomparasikan dengan kewenangan DewanPerwakilan Rakyat (DPR).

Sebagai bayi berumur empat tahun, lahir pada Agustus2001, setelah MPR menyetujui Perubahan Ketiga UUD 1945,DPD adalah ibarat balita lemah yang menderita ”busunglapar”. Perutnya yang buncit adalah wujud tingginyaharapan rakyat pemilih, namun kekurangan vitamin-kewe-nangan menyebabkan bayi DPD menjadi tergolek lemah, takbertenaga, tak berdaya serta bernafas senin – kamis. Kedepan, tanpa adanya rekayasa hukum (legal engineering)dan inovasi politik (political innovation) yang cerdas danserius, DPD akan cenderung menjadi institusi mati tiada arti.

Mengapa DPD bernasib demikian? Jawabannya sangattergantung dengan pilihan sistem parlemen Indonesia.

Macam BikameralSampai akhir 1990-an, tiga dari empat parlemen di dunia

adalah unikameral.1 Di masa lalu, penolakan terhadapparlemen bikameral – salah satunya – berdasar pada argu-men terkenal dari Abbe Sieyes yang menegaskan, If thesecond chamber agrees with the first it is unnecessary: if itdisagrees it is pernicious.

Namun, kecenderungan beberapa dekade terakhir, par-lemen bikameral lebih banyak menarik minat negara-negarayang baru merdeka.2 Dalam catatan Ball dan Peters, ke-banyakan parlemen modern menerapkan sistem dua kamar;dengan pengecualian New Zealand yang justru berubah ke

1 Rod Hague, Martin Harrop dan Shaun Breslin, Comparative Governmentand Politics: An Introduction (1998).2 Ibid.

Page 314: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

300

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

unikameral dengan membubarkan Majelis Tingginya ditahun 1950, diikuti Denmark di tahun 1954, Swedia di tahun1970,3 dan Iceland di tahun 1991.4

Yang menarik, di tahun 1996, dari 36 negara yangdiobservasi oleh Arendt Lijphart berkait dengan pola-polademokrasi, hanya 13 negara yang unikameral, sisanya – 23negara – menerapkan parlemen bikameral.5 Kemenanganstatistik parlemen bikameral tersebut semakin menguatkanposisinya berhadapan dengan parlemen unikameral.

Berdasarkan perbandingan kekuatan antara kedua ka-marnya, Giovanni Sartori membagi sistem parlemen bika-meral menjadi tiga jenis yaitu: (1) sistem bikameral yanglemah (asymmetric bicameralism atau weak bicameralismatau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satukamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya; (2) sistembikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strongbicameralism), yaitu apabila kekuatan antara dua kamarnyanyaris sama kuat; dan (3) perfect bicameralism yaitu apabilakekuatan di antara kedua kamarnya betul-betul seimbang. 6

Weak bicameralism sebaiknya dihindari karena akanmenghilangkan tujuan bikameral itu sendiri, yaitu sifatsaling kontrol di antara kedua kamarnya. Artinya, dominasisalah satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanyamenjadi bentuk lain dari sistem parlemen satu kamar(unicameral). Di sisi lain, perfect bicameralism bukan pulapilihan ideal, karena kekuasaan yang terlalu seimbang

3 Alan R. Ball and B. Guy Peters, Modern Politics and Government (2000)190.4 Arendt Lijphart, Pattern of Democracies, (1999) 202.5 Ibid.6 Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering, (1997) 184.

Page 315: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

301

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

antara Majelis Rendah dan Majelis Tinggi memang seakan-akan melancarkan fungsi kontrol antara kamar di parlemen,namun sebenarnya juga berpotensi menyebabkan kebun-tuan tugas-tugas parlemen. Yang menjadi pilihan, karena-nya, adalah terwujudnya sistem strong bicameralism.

Ketiga macam bikameral tersebut adalah berdasarkantingkatan kekuatannya. Di samping itu, Giovanni Sartorijuga membedakan bikameral menjadi tiga jenis berdasarkankomposisi atau struktur keanggotaan di antara keduakamarnya, yaitu: (1) bikameral yang unsurnya sama (similarbicameralism); (2) bikameral yang unsurnya agak berbeda(likely bicameralism) dan (3) bikameral yang unsurnyasangat berbeda (differentiated bicameralism).

Sama halnya dengan pembagian berdasarkan perban-dingan kekuatan di atas, parlemen bikameral dengan unsuryang terlalu sama di antara kedua kamarnya akan berubahwujud menjadi unicameral. Sebaliknya juga, apabila terlaluberbeda akan menyebabkan kebuntuan proses kerja par-lemen karena terlalu heterogennya aspirasi dari unsur-unsuryang ada. Karenanya harus dicari adonan perpaduan yangmenghasilkan likely bicameralism.

Mengacu kepada jenis-jenis bikameral yang diajukanoleh Giovanni Sartori itu, maka bikameral ideal sebaiknyamengarah kepada perpaduan antara strong bicameralismdengan likely bicameralism. Kongres di Amerika Serikatadalah contoh nyata dari perpaduan ideal tersebut karenaHouse of Representatives-nya berbagi kewenangan dansaling kontrol dengan Senate untuk melaksanakan fungsiparlemen tetapi tidak sampai saling menjegal. Unsur-unsurkongresnyapun terjaga dengan memadukan antara sistem

Page 316: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

302

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

kepartaian di House of Representatives dan representasinegara bagian di Senate.

Salah satu ciri negara yang mempunyai parlemen bika-meral yang kuat adalah ketika kedua kamarnya mempunyaihak untuk saling memveto dalam proses legislasi, seba-gaimana tersistem di Australia, Belgia, Italia dan AmerikaSerikat.7 Contoh-contoh negara itu menunjukkan sistemparlemen bikameral yang kuat dapat berpadu selaras dengansistem pemerintahan parlementer maupun presidensial.

Parlemen Indonesia: Neither Meat, Nor FishBagaimana dengan sistem parlemen Indonesia? Para ahli

berbeda pendapat. Ada yang berargumen bahwa parlemenIndonesia adalah bikameral yang lemah (weak bicame-ralism), namun ada pula yang menyatakan Indonesiabukanlah parlemen bikameral, melainkan trikameral. SaldiIsra misalnya berpandangan bahwa dengan adanya kewe-nangan yang masih dimiliki MPR, di samping kewenangankonstitusional yang dimiliki DPR dan DPD, maka sebe-narnya Indonesia menganut sistem parlemen tiga kamar.8

Saya sendiri berpendapat bahwa: pilihan sistem par-lemen Indonesia, pasca-Perubahan Ketiga UUD 1945, kem-bali meneguhkan pola ”bukan-bukan” sistem ketatanega-raan Indonesia. Sistem yang ’daging’ bukan, ’ikan’ jugabukan; neither meat, nor fish. Misalnya, sebelum amandemenUUD 1945 kita menganut sistem pemerintahan yang bukanparlementer, tetapi bukan pula presidensial. Sri Soemantrimenyebutnya sebagai sistem pemerintahan kuasi presi-

7 Ibid 185.8 Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat: Sistem Trikameral diTengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi vol. 1: No. 1,Juli 2004, 129 – 132.

Page 317: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

303

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

densial. Contoh lain, sistem pemilihan anggota DPR kitadiaku menggunakan metode proporsional terbuka, namunpada prakteknya setengah tertutup; atau sistem proporsionalbukan terbuka, tetapi bukan pula tertutup. Konsep bukan-bukan itu pula yang kita hasilkan pada sistem parlemensekarang, bukan unikameral, tetapi bukan pula bikameral,tetapi cenderung trikameral. Lebih tepatnya, sistem trika-meral yang terbentuk lebih didominasi kekuatan DPR.9

Hasil sistem parlemen bikameral ’bukan-bukan’ Indo-nesia adalah produk tarik menarik antara dua kutub di MPRketika melakukan amandemen UUD 1945. Satu kutubbersemangat untuk membentuk sistem strong bicameralism,sedangkan kubu yang lain sama sekali menolak pem-bentukan sistem bikameral, alias berkehendak terus mem-pertahankan sistem unikameral.

Bagi kubu strong bicameralism, model unikameral yangmenempatkan MPR sebagai lembaga parlemen yang supermenimbulkan pemusatan kekuasaan yang antidemokrasi,dan merupakan salah satu pendorong utama bagi hadirnyaMPR yang mudah direkayasa Presiden Soeharto guna me-langgengkan kekuasaannya. Sebaliknya, bagi kelompokantiparlemen bikameral, konsep tersebut akan mendorongIndonesia menuju bentuk negara federal, salah satu konseptabu yang wajib dihindari.10

Meskipun, mengapa sistem federal ditolak, sama sekalitidak pernah diperdebatkan secara tuntas. Satu-satunyaalasan yang muncul adalah alasan negara kesatuan adalahamanat para founding parents yang mendirikan negara-

9 Ibid 116 – 139.10 Konsep ketatanegaraan lain yang dianggap tabu adalah sistem pemerin-tahan parlementer dan dasar negara selain Pancasila.

Page 318: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

304

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

bangsa Indonesia. Suatu alasan yang sebenarnya amat dapatdiperdebatkan. Alasan lain adalah: konsep negara federaltelah gagal dilaksanakan di tahun 1949 – 1950 karenamerupakan upaya Belanda untuk memecah belah Indonesia.Argumen terakhir ini menunjukkan, tertolaknya negarafederal dan terpilihnya negara kesatuan adalah lebih meru-pakan wujud perlawanan romantis terhadap Belanda, sertabukanlah refleksi dari pemikiran mendalam bahwa negarafederal senyatanya lebih buruk daripada negara kesatuan.

Kompromi di antara kedua kubu di MPR 1999 – 2004itulah yang akhirnya melahirkan sistem bukan unikameral,tetapi bukan pula bikameral: neither meat nor fish. Kalau-pun DPD pada akhirnya disetujui oleh kubu penolakbikameral, yang salah satunya dipelopori oleh Fraksi PDIPerjuangan, itu karena kewenangan dan keberadaan DPDpada ujungnya sengaja dikompromikan dan didesain antaraada dan tiada.11

DPD anak bawang DPRDengan mengenyampingkan kehadiran MPR, relasi DPR

dan DPD adalah ibarat hubungan majelis rendah (lowerhouse) dan majelis tinggi (upper house) dalam sistemparlemen dua kamar, di mana DPD merupakan majelistinggi. Majelis rendah dibahasakan berbeda seperti House ofCommons (Inggris); House of Representatives (AmerikaSerikat) dan Bundestag (Jerman). Di sisi lain, majelis tinggidisebut House of Lords (Inggris), Senate (Amerika Serikat),Bundesrat (Jerman) dan House of Councillors (Jepang).

11 Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999 – 2002: AnEvaluation of Constitution-Making in Transition, disertasi Ph.D., belumditerbitkan (2005), 187 – 188.

Page 319: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

305

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Menurut Sartori, dalam bikameral yang jauh tidakseimbang (weak bicameralism) yang posisinya lebih lemahadalah selalu majelis tinggi, dan belum pernah terjadisebaliknya.12 Lebih kuatnya lower house di antaranya adalahkarena ada anggota upper house yang tidak dipilih lang-sung. Meskipun hal itu tidak terjadi dalam kasus di Jepang,di mana upper house-nya yang dipilih langsung. Di negerimatahari terbit itu, tetap saja kewenangan legislasi majelistinggi tetap lebih lemah, karena dapat diveto oleh majelisrendahnya.13 Meski demikian, posisi majelis tinggi di Jepangtersebut masih lebih lumayan dibandingkan nasib majelistinggi di Indonesia. Di sini, DPD meski juga sudah dipilihlangsung tetapi tetap saja berposisi jauh lebih rendah dariDPR, dan lebih jauh dari itu, tidak punya kewenanganlegislasi sekuat House of Councillors di Jepang.

Dibandingkan dengan DPR, kewenangan DPD amatminimalis, baik dari sisi institusional maupun personal. Disisi institusional DPR adalah pemegang mandat legislasibersama-sama dengan Presiden; mempunyai fungsi pe-ngawasan; dan mempunyai fungsi budgeting. Di sisi lain,DPD hanya merupakan ”lembaga pemberi pertimbanganagung” kepada DPR ke dalam ketiga fungsi institusionalDPR tersebut. Lebih jauh, berbeda dengan DPR yangdiproteksi keberadaannya dari kemungkinan dibubarkanoleh Presiden,14 maka DPD tidak mempunyai proteksi konsti-tusional demikian.15

12 Sartori, 183 – 184.13 Ibid.14 Pasal 7C UUD 1945.15 Denny Indrayana, Ancaman Tirani DPR, Kompas 2 September 2002.

Page 320: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

306

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Tidak hanya rentan secara institusional, DPD juga lemahsecara personal. Bila anggota-anggota DPR dilindungi denganhak imunitas di dalam konstitusi, maka anggota DPD tidakmempunyai garansi konstitusi demikian. Hak imunitas bagianggota DPD baru hadir dalam UU Susunan dan KedudukanDPR, DPD dan DPRD. Lebih jauh, hak-hak lain yang dimilikianggota DPR semuanya dijamin dalam UUD 1945, sedangkanhak-hak anggota DPD hanya diatur dalam UU Susduk.Perbedaan hierarki peraturan tersebut secara nyata meng-gambarkan inferiornya DPD di hadapan DPR.

Kekerdilan kewenangan DPD di hadapan DPR meng-hilangkan salah satu fungsi kehadiran DPD, sebagai fungsiinternal kontrol parlemen. Sebagaimana dikatakan Sartori –di awal tulisan ini – two eyes are better than one eye. Artinyadua kamar seharusnya mempunyai fungsi saling kontrolsaling imbang (checks and balances). Dominannya DPRmenjadikannya sebagai lembaga yang hanya dapat dikon-trol oleh kekuatan eksternal, misalnya presiden dan Mah-kamah Konstitusi. Sedangkan kontrol internalnya hanyamuncul dari diri internal DPR sendiri, yaitu melalui dina-mika politik fraksi-fraksi DPR. Sedangkan kontrol internalparlemen dengan hadirnya DPD, nyaris tidak ada gunanya.

Sistem Parlemen ke DepanKejelasan sistem parlemen Indonesia ke depan harus lebih

tegas. Pemilihan anggota DPD yang secara langsung melaluisistem distrik harus disinkronkan dengan kewenangannyayang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekatkepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan daerah,sebaiknya ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi, jikake depan ada amandemen atas UU Pemerintahan Daerah,

Page 321: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

307

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

maka DPD tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan,tetapi turut mempunyai hak suara untuk menentukan lolostidaknya RUU perubahan tersebut.

Selain penguatan fungsional tersebut, perlu juga dila-kukan penguatan proteksi institusional dan personal kepadaDPD. Proteksi institusional adalah dengan menegaskanbahwa, sebagaimana DPR tidak dapat dibubarkan olehPresiden, maka demikian pula DPD. Sedangkan proteksipersonal adalah dengan mengangkat hak imunitas DPDyang saat ini ada dari tingkat UU ke tingkat konstitusi.Peningkatan status hukum serupa perlu juga dilakukan atashak-hak DPD yang lain.

Artinya, sistem parlemen Indonesia ke depan sebaiknyamengarah kepada sistem parlemen bikameral yang kuat,meski jangan juga sampai ke arah parlemen bikameral yangsama kuat (perfect bicameralism). Masih adanya kelompokpolitik yang antipati dengan sistem federal – dan selalumengaitkannya dengan sistem parlemen bikameral – meru-pakan kernyataan sosiologis bangsa Indonesia, yang tidakfair untuk diabaikan begitu saja keberadaannya. Mak-sudnya, menjadi tidak bijak untuk menghadirkan sistembikameral yang sama kuat ke dalam sistem berbangsaIndonesia. Terlebih, perfrect bicameralism juga berpotensimengarah kepada kebuntuan proses politik.16 Salah satucontoh krisis politik pernah dialami Australia di tahun 1975.Penolakan Senate atas rancangan APBN yang diusulkanpemerintahan Partai Buruh, memaksa Governor GeneralAustralia memberhentikan pemerintah.17

16 Sartori, 188.17 Ball dan Peters, 193.

Page 322: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

308

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Berkait dengan hubungan antara sistem negara federaldengan parlemen bikameral, penelitian yang dilakukanLijphart di tahun 1996 menunjukkan bahwa dari 27 negarakesatuan demokratis yang diteliti masing-masing 13 meru-pakan parlemen unikameral, 13 bikameral dan 1 adalahsistem one-and-a-half parlemen. Sedang dari 9 negara federalyang demokratis, semuanya menerapkan sistem parlemenbikameral.18 Dari angka-angka tersebut tetap dapat disim-pulkan bahwa: sistem parlemen bikameral tidak selaluberkait dengan negara federal, namun bukti bahwa semuanegara federal pasti bikameral tetap merupakan fakta yangtak terbantahkan.

Lebih jelas tentang hubungan antara unikameral-bika-meral dengan kesatuan federal, penelitian Lijphart me-nyatakan: ketika derajat federalisme dan desentralisasimeningkat, biasanya perubahan dari sistem unikameral kebikameral terjadi; dan selanjutnya derajat kekuatan sistemparlemen bikameral juga meninggi.19

Tetapi, itu bukan berarti negara kesatuan sebagaimanaIndonesia tidak dapat membentuk sistem bikameral yangkuat, karena tetap saja ada perkecualian. Negara-negarakesatuan yang berpenduduk besar – sebagaimana halnyaIndonesia – seperti Perancis, Kolombia dan Italia tetapmenerapkan sistem parlemen bikameral yang kuat, terlepasketiganya adalah negara kesatuan yang sentralistis.20

Akhirnya, langkah untuk melakukan amandemen lan-jutan atas UUD 1945 untuk mewujudkan parlemen bika-

18 Lijphart, 203.19 Ibid 214.20 Ibid 215.

Page 323: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

309

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

meral yang kuat, adalah salah satu agenda hukum-politikyang harus terus diadvokasi dan didesakkan. Namun,perubahan konstitusi tentu bukan pekerjaan mudah. Banyakprosedur dan persyaratan konstitusional yang sulit untukdilewati, terlebih dengan jumlah anggota DPD yang kurangdari sepertiga anggota MPR. Dengan komposisi demikian,penguatan DPD melalui reformasi konstitusi adalah langkahpenting namun kurang strategis dan relatif akan memakanwaktu yang lama.

Dengan demikian, upaya-upaya revitalisasi DPD melaluipenciptaan terobosan-terobosan hukum tidak tertulis (kon-vensi) menjadi alternatif solusi yang juga wajib diseriusi.Dalam konteks ini, kebijakan untuk menciptakan konvensipidato presiden di hadapan DPD – selain di hadapan DPR –pada bulan Agustus, adalah upaya yang patut diapresiasi.Ke depan, langkah-langkah inovasi demikian harus lebihsering dilakukan terutama atas isu-isu kenegaraan yanglebih populis, tidak semata elitis, sebagaimana terkesan dariperebutan pidato presiden antara DPR dengan DPD, yangsenyatanya lebih kental bernuansa seremonial ketimbangmasalah kehidupan nyata masyarakat kawula alit.

Padahal, hanya dengan mendekatkan diri kepada ka-wula alit yang memilihnya, modal legitimasi kuat pemilubagi DPD akan lebih maksimal mewujud menjadi energipenyelamat kehidupan DPD. Tanpa keberhasilan merawatdukungan nyata politik dari publik, maka DPD yang nyata-nyata sudah lemah dan sekarat harus siap-siap mati suri dansemakin kehilangan eksistensi. DPD yang demikian akanterus terjerat di tengah pusaran kompleksitas keberadaannyasendiri: DPD antara (ti)ada dan tiada.

Page 324: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

310

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

DAFTAR PUSTAKA

Alan R. Ball and B. Guy Peters, Modern Politics and Government (2000).

Arend Lijphart, Patterns of Democracy, (1999).

David Lovell, The Sausage Makers? The Parliamentarians as Legislators,Parliamentary Reasearch Service (1994).

Denny Indrayana, Ancaman Tirani DPR, Kompas 2 September 2002.

Denny Indrayana, Bikameral yang Ideal, BERNAS 22 November 2001.

Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999 – 2002: AnEvaluation of Constitution-Making in Transition, disertasi Ph.D., belumditerbitkan (2005).

Gabiele Ganz, Understanding Public Law, (1994).

Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering, (1997).

Greer Hogan, Constitutional and Comparative Law, (1990).

Hanna Fenichel Pitkin, The Concept of Representation, (1997).

Janedri M. Gaffar et al, Dewan Perwakilan Daerah: Dalam Sistem Ketata-negaraan Republik Indonesia (2003).

Jeffrey Goldworthy, The Sovereignty of Parliament, (1999).

Jessica Korn, The Power of Separation, (1996).

John J. Hurt, Louis XVI and the Parlements, (2002).

K.C. Wheare, Legislatures, (1968).

Rod Hague, Martin Harrop dan Shaun Breslin, Comparative Governmentand Politics: An Introduction (1998).

Saldi Isra, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat: Sistem Trikameral diTengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, Jurnal Konstitusi vol. 1:No. 1, Juli 2004.

Woodrow Wilson, Congressional Government, (1960).

Page 325: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

311

TANGGAL 13 Agustus Mahkamah Konstitusi berulangtahun yang pertama. MK lahir saat UU tentang MK

disahkan dan diundangkan. Dalam umur yang masih muda,MK telah menjadi institusi yang menjanjikan, sekaligusmengundang banyak perdebatan, suatu hal yang meng-gembirakan.

Banyak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ber-dampak positif atas jalannya kehidupan politik dan keta-tanegaraan Tanah Air. Tidak sedikit pula yang mengundangpolemik. Tiga di antaranya, pertama, putusan yang berkaitdengan kewenangan MK untuk mengadili semua UU tanpadibatasi waktu. Putusan ini cenderung progresif karena Pasal50 UU MK membatasi: UU yang dapat dimintakan consti-tutional review hanya UU yang berlaku setelah perubahanUUD 1945. Artinya, UU sebelum Oktober 1999 tidak dapatdimintakan pengujiannya ke MK. Putusan MK yang

SATU TAHUN USIAMAHKAMAH KONSTITUSI

Page 326: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

312

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

progresif ini membuka peluang dikoreksinya kesalahan-kesalahan yang terkandung dalam banyak perundangan dimasa pemerintahan sebelum 1999.

Kedua, putusan yang berkait komunisme. MK ber-pendapat, Pasal 60g UU Pemilu Legislatif bersifat diskri-minatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia yangdijamin UUD. Pasal ini melarang warga yang terkait PartaiKomunis Indonesia untuk menjadi calon anggota legislatif.Putusan ini merupakan langkah historis MK guna meng-akhiri politik balas dendam dan memulai rekonsiliasi diantara anak bangsa.

Ketiga, putusan soal bom Bali. MK berpendapat, konsti-tusi melarang pemberlakuan hukum yang retroaktif ”dalamkeadaan apa pun”. Karena itu, pemberlakuan UU Terorismeyang berlaku surut kepada pelaku bom Bali dinyatakantidak berkekuatan hukum. Putusan ini mempunyai nuansaberbeda dengan putusan-putusan MK sebelumnya yangrelatif progresif. Di sini, dengan komposisi putusan 5berbanding 4 hakim konstitusi, MK berpegang teguh padaasas positivisme. Karena itu, bagi sebagian kalangan,putusan ini dirasa tidak adil. Terutama bagi korban bomBali. Apa pun, putusan ini, lahir dari pilihan sempit yangdimiliki MK di tengah aturan konstitusi yang menutuppeluang retroaktif dengan klausul ”dalam keadaan apapun”. Perlu dipikirkan, klausul ini dihilangkan dalamamandemen konstitusi selanjutnya.

SELAIN tiga putusan itu, putusan terakhir yang barudibacakan berkait sengketa hasil pemilihan presiden pu-taran pertama yang diajukan capres-cawapres Wiranto-

Page 327: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

313

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Salahuddin. Dalam hal ini, MK telah menjadi wasit ”im-parsial” karena tidak dapat dihadirkannya bukti-bukti kuatatas klaim hilangnya suara capres Wiranto-Salahuddin.Maka putusan yang menolak permohonan Wiranto adalahputusan wajar. Dari permohonan Wiranto ini dapat diambilbeberapa catatan:

Pertama, MK menegaskan kembali lahirnya supremasihukum. MK menguatkan, hukum ada di atas semua intrikpolitisi. Putusan MK meneguhkan hukum telah menjadipanglima, bahkan atas politik yang selama ini menjadituannya.

Kedua, putusan yang mengalahkan kubu Wiranto jugamengirim sinyal kuatnya independensi sembilan hakimkonstitusi. Tidak adanya pendapat berbeda (dissentingopinion) dalam kasus ini mempertegas independensi itu.

Kekhawatiran beberapa kalangan atas pernyataan Ke-tua MK Jimly Asshidiqie bahwa capres Megawati Soekarno-putri harus siap tereliminasi tidak terbukti sebagai hal yangperlu dikhawatirkan. Dalam hal ini, saya berbeda pendapatdengan banyak pihak yang menganggap pernyataan itutidak etis. Namun, para hakim sebaiknya tidak memberikomentar atas materi kasus yang sedang ditangani. Dalamkasus Jimly, ia memaparkan kemungkinan hasil putusan.Informasi ini penting diketahui, yang kebanyakan belummenyadari konsekuensi gugatan Wiranto. Karena itu, per-nyataan Jimly harus dimaknai sebagai bentuk pendidikanhukum kepada masyarakat.

Ketiga, berkait kode etik hakim konstitusi. Saya lebihmengkritisi pertemuan tertutup antara Jimly-Wiranto. Per-temuan hakim dengan pihak yang berperkara, menurut sayatidak etis dan melanggar Pasal 3d Peraturan Mahkamah

Page 328: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

314

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Konstitusi Nomor 2 Tahun 2003 tentang Kode Etik danPedoman Tingkah laku Hakim Konstitusi, ”Dalam penye-lesaian perkara, hakim konstitusià menjaga jarak untuktidak berhubungan langsung maupun tidak langsung, baikdengan pihak yang berperkara maupun dengan pihaklainnya”

Meski pertemuan Wiranto-Jimly tidak memengaruhihasil putusan, namun pertemuan itu-terlebih dilakukantertutup-tetap tidak etis dan menimbulkan kecurigaan. Kedepan, pertemuan hakim konstitusi dengan para pihak harustidak dilakukan karena dapat menjadi pintu bagi hadirnyapraktik mafia peradilan.

Keempat, berkait Surat Edaran 1151 KPU yang me-nyangkut coblos tembus, MK menyatakan tidak berwenangmemeriksanya karena merupakan yurisdiksi MahkamahAgung (MA). Putusan itu tepat. Tetapi, ia juga menguak tabir”pekerjaan rumah” seandainya sebelum putusan MK dike-luarkan, MA menyatakan SE 1151 batal demi hukum karenabertentangan dengan UU pemilihan presiden, maka dapatdibayangkan terjadinya komplikasi hukum dan politik yangamat kompleks: Permohonan Wiranto harus dihentikan,penghitungan suara harus diulang, akibatnya seluruh prosespemilu presiden putaran pertama dan kedua menggantung.Situasi ini amat tidak kondusif dan dapat melahirkan potensikekerasan di akar rumput akibat rembesan konflik di tingkatelite.

Dalam waktu bersamaan, MA tidak menerima per-mohonan judicial review itu. Sayang, putusan MA, tidakseperti putusan MK, tidak bisa diakses cepat dan online.Pemberitaan hanya mengatakan, MA berpendapat tidakmempunyai kewenangan memeriksa SE 1151 (Kompas, 11/

Page 329: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

315

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

8). Kalau benar demikian, putusan itu tidak tepat. SE 1151,tentang sahnya surat suara, jelas merupakan interpretasi danpenjabaran atas UU pemilihan presiden. Karena itu dapatdiuji materinya di hadapan MA. Bila bentuk SE yangdijadikan alasan, putusan semacam ini membuka celahhukum bagi KPU untuk mengeluarkan putusan kontro-versial dalam bentuk edaran guna menghindari pengujian dihadapan MA.

Penolakan MA seharusnya berdasar argumentasi hukumkarena: MK sudah mengeluarkan putusan yang sifatnya finaland binding atas permohonan Wiranto. Hal ini, meski tidakberkait langsung, dapat disandarkan pada ketentuan Pasal55 UU MK yang intinya berbunyi pengujian perundangan diMA harus dihentikan, dalam hal UU yang sedang menjadidasar pengujiannya juga sedang diuji di MK. Dalam halWiranto, karena MK sudah menguatkan putusan KPU,bahwa pemenang pemilu putaran pertama tidak termasukWiranto, maka permohonan judicial review-nya ke MAmenjadi tidak relevan, serta kehilangan alasan hukum untukterus diproses.

Itulah putusan MA, yang biasanya membingungkan.Untung ada MA dan MK, dua lembaga terpisah. MK denganputusan Wiranto—dan putusan-putusan sebelumnya—kem-bali meneguhkan diri sebagai pengawal konstitusi danpenegak supremasi hukum, suatu posisi yang telah lamadiabaikan MA.

Page 330: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

316

KECENDERUNGAN otoritarian adalah kodrat yangmelekat pada kekuasaan. Kekuasaan berpotensi oto-

riter dan keotoriteran membutuhkan kekuasaan. Kekuasaanyang otoriter akhirnya melahirkan sistem bernegara yangkorup. Power tends to corrupt, absolute power tends tocorrupt absolutely. Begitulah menurut Lord Acton.

Untuk mencegah korupnya kekuasaan itulah maka lahirkonstitusionalisme. Faham yang membatasi kekuasaan mela-lui aturan-aturan dalam konstitusi. Konstitusi yang baik,karena itu harus mempunyai mekanisme saling kontrolantarinstitusi kekuasaan negara yang ada. Dalam konsteksitulah, hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR,hingga Perubahan Keempat yang baru disahkan padaSidang Tahunan 2002 lalu, telah gagal.

ANCAMAN TIRANI DPR

Page 331: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

317

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Sistem ketatanegaraan yang diciptakan MPR dari hasilamandemen adalah kekuasaan yang menumpuk di DPR,tanpa ada kontrol yang memadai dari institusi-institusinegara lain atas kerja-kerja DPR. Seharusnya, sistem kontrolpada DPR dapat diadakan bila MPR betul-betul mempunyaisemangat constitutional engineering yang murni. Namun,benturan kepentingan politik MPR, yang sebagian besar jugaanggota DPR, mengakibatkan reformasi konstitusi telahdirekayasa untuk menguntungkan sebesar-besarnya ke-kuasaan DPR.

Minimnya kontrol atas DPR adalah salah satu bentukmanipulasi sistem parlemen yang digembar-gemborkan telahdireformasi menjadi bikameral. Padahal, fungsi DPD yangseharusnya menjadi kekuatan kamar penyeimbang bagiDPR, tidak lebih daripada aksesori sistem parlemen Indo-nesia yang masih kental unikameral. Terbukti, DPD hanyadiberi kewenangan amat terbatas.

Jika DPR mempunyai kewenangan legislasi UU yanghampir unlimited, DPD hanya diberi kesempatan untukdapat mengusulkan atau membahas beberapa jenis RUUtanpa ikut proses pengambilan keputusan. Bahkan, biladibanding Presiden sekalipun, kewenangan legislasi DPDamat minim. Presiden jelas, bersama DPR, dapat me-ngajukan, membahas, dan memutuskan segala macam RUU.

Di bidang pengawasan, DPD hanya diberi fungsi yangjuga minimal, yaitu hanya dapat menyampaikan hasilkontrolnya dalam beberapa hal tertentu kepada DPR sebagaipertimbangan. Seminimal pertimbangannya yang dapatpula diberikan kepada DPR dalam hal penyusunan ang-garan negara.

Page 332: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

318

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

DPD tidak lain dari lembaga pertimbangan agung.Sejenis DPA di masa lalu. Padahal sejarah membuktikan,pertimbangan-pertimbangan DPA sering diabaikan pre-siden sehingga fungsi DPA menjadi tidak ada dan akhirnyaberimbas pada terlikuidasinya eksistensi DPA dalam aman-demen keempat. Akankah demikian pula nasib DPD?Mungkin saja. Sebab, jika DPR mempunyai proteksi konsti-tusi untuk tidak dapat dibubarkan oleh presiden, tidakdemikian halnya dengan DPD.

Bahkan, selain tidak mempunyai proteksi institusional,anggota-anggota DPD-pun tidak dilindungi secara personal.Berbeda dengan anggota DPR yang mempunyai banyak hak,dan salah satunya hak imunitas, anggota DPD amat rentankarena tidak dilengkapi hak-hak apa pun secara konsti-tusional dalam menjalankan tugasnya.

Jelas, dengan fungsi dan proteksi konstitusi yang mini-malis, DPD tidak dapat berfungsi sebagai pengontrol kerjaDPR. Padahal tujuan kamar lain dalam sistem bikameraladalah untuk menjadi kekuatan penyeimbang. Bila ”lawantanding” sudah sengaja dilumpuhkan dari awal, lalu apagunanya ada DPD? Inilah bikameral pura-pura hasil kerjaMPR.

Bila diklasifisikan oleh Giovanni Sartori (1997), makamenurut bukunya Comparative Constitutional Engineering,bikameral Indonesia masuk klasifikasi bikameral yanglemah dan justru berbahaya. Katanya, ”Bicameralism isupheld against unicameralism on the argument that twoHouses are a safety valve, and that concentration off alllegislative power in just one body is not only dangerous butalso unwise: for two eyes are better than one.” Sayang, dalamkonteks bikameral Indonesia, meski sudah dibentuk mata

Page 333: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

319

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

kedua melalui DPD, tetapi mata itu sengaja ditutup kemam-puan melihatnya.

MENGAPA DPR yang tiran karena tanpa kontrol ituamat berbahaya? Menurut UUD 1945 hasil amandemen, DPRmempunyai akses kekuasaan pengaturan perundangan yangnyaris tidak terbatas. Dengan keanggotaan yang mayoritas diMPR, DPR bahkan berpeluang untuk setiap saat mengubahUUD. Sebab, perubahan UUD 1945 dapat dilakukan setelahdiusulkan 1/3 (sepertiga) anggota MPR, dalam rapat yangdihadiri minimal 2/3 (dua pertiga) anggota MPR dandisetujui lebih dari 1/2 (setengah) anggota MPR. Persyaratanyang tidak terlalu sulit bagi DPR yang komposisinya dapatmencapai minimal 3/4 (tiga perempat) total anggota MPR.

Lebih dari itu, rekayasa sistem hukum bernegara selaindalam konstitusi, juga berpotensi terjadi pada tingkat UU.Yaitu, bila terjadi kolusi antara presiden dengan DPR.Keduanya dapat membuat sistem hukum yang akan me-ngontrol hampir semua lini kehidupan bernegara. Melaluifungsi legislasi yang dimilikinya, DPR dan Presiden dapatmembuat UU yang mengatur segala sesuatu tentang dirisendiri, DPD, MA, BPK, Komisi Yudisial, pemilu, partaipolitik, pertahanan dan keamanan negara, penegakan HAMdan lain-lain.

Satu hal yang ingin digarisbawahi adalah: kolusipresiden dengan DPR juga berpotensi memandulkan peranstrategis Mahkamah Konstitusi. Lembaga peradilan yangberfungsi amat penting bagi proses penegakan supremasihukum, bisa diintervensi kemandiriannya oleh UU Mah-kamah Konstitusi yang setiap saat bisa dibuat dan diubah

Page 334: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

320

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

oleh DPR dan presiden. Selain intervensi fungsi, komposisiMahkamah Konstitusi juga bisa dikuasai presiden dan DPR.Sebab, usulan keanggotaan sembilan anggota hakim, enamdi antaranya datang dari presiden dan DPR. Padahal tiga sisahakim lainnya pun, yang datang dari MA, tidak pula lepasdari pengaruh presiden dan DPR. Ingat, hakim-hakim MAdiusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk disahkanpresiden. Komisi Yudisial sendiri, keberadaannya diatur UUyang lagi-lagi dibuat oleh DPR dan presiden.

Karena itu, DPR yang tidak terkontrol-apalagi bila sudahberkolusi dengan presiden-akan melahirkan sistem ber-negara yang manipulatif kepentingan DPR. Celakanya,rusaknya sistem bernegara semacam itu dilegalisir melaluiproses legislasi yang sah menurut pendekatan hukum formal.

MENGINGAT sistem kontrol eksternal pada DPR melaluiDPD-atau Presiden dalam hal legislasi-amat tidak memadai,maka sistem kontrol internal DPR harus dimaksimalkan.Karena itu, unsur-unsur DPR yang heterogen partai adabaiknya dipertahankan. Sistem multipartai harus dilan-jutkan. Pluralitas keanggotaan dari partai itulah yangdiharapkan membawa dinamika kontrol internal dalamDPR. Sebab itu, upaya-upaya untuk meminimalisir jumlahpartai harus dikesampingkan, karena justru akan kianmenguatkan DPR yang tiran.

Tentang kekhawatiran bahwa sistem multipartai tidakakan sejalan dengan sistem presidensial memang validmenurut berbagai macam hasil studi (Giovanni Sartori:1997). Tetapi, dampak negatif dari perkawinan multipartaidan presidensial, hanyalah presiden minoritas atau divided

Page 335: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

321

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

government, yaitu pemerintahan eksekutif yang kebijakan-nya mungkin tidak didukung legislatif. Alasannya, mayo-ritas partai yang berkuasa di legislatif berbeda dengan partaiyang memegang kunci posisi di eksekutif. Untuk itu, strategikoalisi antarpartai yang mendukung pemerintah adalah carakonvensional yang selalu dapat menjadi solusinya.

Apalagi, hasil penelitian membuktikan, divided govern-ment adalah salah satu metode sistem kontrol yang baik,bahkan secara sadar dilakukan para pemilih di negara maju.Di Amerika Serikat dan Australia yang sudah banyakmengalami pemerintahan terbelah, divided government me-mang disengaja rakyat yang memilih partai yang berbedauntuk legislatif dan eksekutif. Dari artikel Clive S. Bean danMartin P. Wattenberg (1998) Attitudes Towards DividedGovernment and Ticket-splitting in Australia and the UnitedStates dapat disimpulkan, di Australia 41 persen tidak setujudivided government, berbanding 45 persen yang menye-tujuinya. Hasil itu serupa dengan di Amerika Serikat yang 40persen mendukung divided government melawan 32 persenyang menolaknya.

Di masa datang, memang ada baiknya sistem presidensialIndonesia dipadukan dengan sistem sedikit partai. Tetapi itusebaiknya dilakukan melalui seleksi alamiah atas partai-partai yang mati karena tidak mendapat dukungan pemilih.Bagaimanapun, perlu diberikan kesempatan bagi partai-partai baru untuk bersaing secara fair dengan tiga partailama didikan Orde Baru, yang tentu saja memenangkanpemilu 1999 karena sudah lari jauh di depan garis startsetelah lahir 30 tahun lebih dulu.

Page 336: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

322

HASIL nota kesepahaman atau MOU antara PemerintahRI dan GAM menimbulkan banyak ketidaksepahaman

di masyarakat. Memorandum of understanding segera ber-ubah menjadi memorandum of misunderstanding.

Perbedaan titik pijak serta kepentingan dalam melihatMOU menyebabkan pemahaman atas MOU dengan cepatberubah menjadi kesalahpahaman antara kubu pendukungdan penentang.

Kubu pendukung MOU berpegang pada alasan pamung-kas demi perdamaian di Aceh, karena itu menerapkan aturanyang amat longgar saat membuat butir-butir kesepahamanHelsinki. Sebaliknya, kubu penentang memasang pagarterlalu ketat dalam memaknai MOU sehingga nyaris semuapasal dianggap menabrak peraturan perundangan.

MEMAHAMI”MEMORANDUM

OF MISUNDERSTANDING”

Page 337: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

323

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Dari sisi ketatanegaraan, MOU Helsinki memang cen-derung bermasalah. Jika benar bahwa kesepahaman itubukan perjanjian internasional, mengapa MOU meng-gunakan bahasa Inggris dan bukan Indonesia? Jika bukanperjanjian internasional, mengapa Menteri Hukum danHAM mengakui MOU didasari hukum internasional khu-susnya Kovenan Internasional PBB mengenai Hak-hak Sipildan Politik serta mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, danBudaya (Kompas, 21/8/2005).

Jika betul tidak ada pengakuan sebagai subyek hukuminternasional atas GAM, mengapa harus ditandatangani diHelsinki, dengan wakil GAM yang berkewarganegaraanasing, dengan keberlanjutan MOU yang melibatkan negara-negara ASEAN dan Masyarakat Ekonomi Eropa sebagaiunsur Aceh Monitoring Mission? Kalaupun benar Aceh tetapdalam bingkai negara kesatuan, mengapa MOU amat berbaufederalisme? Jika benar ada jaminan Aceh tidak akanmerdeka, mengapa tidak ada kepastian waktu bahwaGerakan Aceh Merdeka akan dibubarkan sebagai konse-kuensi MOU? Dan seterusnya dan sebagainya.

Pamungkas negara kesatuanNamun, MOU bukan dokumen yuridis murni. Dia harus

dipahami sebagai dokumen hukum yang berbau politis.MOU adalah hasil tawar-menawar antara dua kubu yangtelah berperang selama tiga puluh tahun, dengan 15.000korban jiwa, banyak yang cacat seumur hidup maupunterluka lahir batin. Karena itu, rumusan pasal-pasal dalamMOU amat mungkin bertabrakan atau paling tidak ber-gesekan dengan beberapa peraturan perundangan. PasalMOU akan terdengar tidak selaras, bahkan cenderung

Page 338: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

324

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

sumbang saat dipadukan dengan aturan-aturan perun-dangan Indonesia lainnya.

Tetapi, kesumbangan pasal MOU adalah awal nyanyiankaku yang harus dilewati sebagai konsekuensi hubunganperang tiga dekade. Yang lebih penting, kedua pihak, RI danGAM, bersedia duduk dan bernyanyi bersama.

Sebagai bangsa, yang penting adalah kata pamungkasMOU bahwa penyelesaian Aceh, ”diwujudkan melalui suatuproses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dankonstitusi Republik Indonesia”.

Dengan bingkai itu, seharusnya kemerdekaan Aceh tidakdimungkinkan lagi. Artinya, sekuat apa pun sistem fede-ralisme di Aceh, ia tetap dalam negara kesatuan, seaneh apapun konsep negara kesatuan federalis itu.

Pijakan negara kesatuan dan UUD 1945 itulah yangharus lebih ditegaskan dalam undang-undang lanjutan yangdiamanatkan kelahirannya oleh MOU. Konsekuensinya,antara lain: Pemerintahan di Aceh (the Governing of Aceh)tidak mempunyai pengertian lain daripada PemerintahanDaerah Nanggroe Aceh Darussalam; Gerakan Aceh Merdeka

harus bermetamorfosa menjadi gerakan politik yangtidak lagi menuntut kemerdekaan, melepaskan diri dariRepublik Indonesia; partai politik lokal yang akan hadir diAceh tidak dapat dijadikan kendaraan untuk menuntutkemerdekaan sebagaimana terjadi di parpol lokal di negara-negara lain. Hal-hal demikian harus diatur secara eksplisitdalam undang-undang pemerintahan di Aceh yang selam-batnya berlaku 31 Maret 2006.

Page 339: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

325

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Bukan penjegalanDengan pijakan sama-sama ingin menciptakan Aceh

yang damai dan berkeadilan, dalam rangkulan RI, relasipolitik antara presiden dan parlemen (DPR dan DPD)seharusnya adalah hubungan pengawalan—bukan pen-jegalan—bagi suksesnya MOU di tingkat pelaksanaannya dilapangan. Persetujuan bersama antara Presiden dan DPR—setelah mendengar masukan dari DPD—adalah ramuanpolitik yang harus dilalui saat proses legislasi UU yangdiamanatkan MOU dibuat dan dilaksanakan.

Kontrol DPR dan DPD tentu saja tetap diperlukan agarposisinegosiasi ala saudagar yang kuat dalam MOU tidakmembahayakan martabat dan kedaulatan RI.

Lebih jauh, kontrol parlemen, elemen masyarakat (LSMdan ormas) harus terus disiagakan secara kritis agar perda-maian di Aceh benar-benar terwujud dan tidak kembalimenjadi ilusi karena dibajak kepentingan sesaat parapendukung perang yang ingin terus melestarikan konflikberdarah di Aceh. Meski tetap harus dicatat, kontrol DPR danDPD jangan sampai kebablasan sehingga membahayakanterciptanya perdamaian di Aceh sendiri. Maknanya, peme-rintah tetap harus diberi ruang gerak yang cukup untukbernegosiasi dan melakukan tawar-menawar politik dengansemua elemen masyarakat Aceh, termasuk GAM.

Akhirnya, misunderstanding dalam melihat MOU harusdiganti understanding bahwa kita ingin terus bermesraandengan saudara sebangsa kita rakyat Aceh, tidak inginberpisah apalagi berperang. Pemahaman MOU adalahdamailah Aceh dalam pelukan Indonesia yang berkeadilandan demokratis.

Page 340: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

326

SUDAH menjadi kodrat bahwa keputusan menaikkanharga bahan bakar minyak atau BBM selalu diikuti

panas-dinginnya suhu politik dalam negeri. Suhu politikakan semakin tinggi jika relasi presiden dan parlemen tidakberjalan serasi.

Sebagai eksekutor peraturan perundangan, presidenmemang mempunyai kewenangan untuk menaikkan hargaBBM. Namun, dukungan politik atas kewenangan ekse-kutorial presiden itu akan sangat bergantung pada konfi-gurasi politik di DPR. Dinamis dan beragamnya aliansipolitik DPR 2004-2009 menyebabkan isu BBM yang amatpopulis menjelma jadi dagangan politik yang layak ”goreng”dalam bursa saham politik Tanah Air.

Paling tidak ada tiga motivasi politik dari sikap fraksi-fraksi di DPR atas naiknya harga BBM. Pertama, fraksi-fraksi

STOP POLITISASI BBM

Page 341: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

327

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

di DPR memang betul-betul ingin menurunkan harga BBMseperti masa sebelum 1 Maret 2005; kedua, fraksi-fraksi diDPR hanya ingin mendelegitimasi pemerintahan SusiloBambang Yudhoyono (SBY) di mata rakyat-dan lebih jauhingin bermain dengan isu pemberhentian presiden (im-peachment); dan ketiga, fraksi-fraksi di DPR hanya inginmengambil keuntungan dari naik daunnya ”saham politik”BBM ini. Dengan menolak keputusan pemerintah, fraksi-fraksi di DPR ingin menunjukkan bahwa mereka seakan-akan peduli terhadap penderitaan rakyat dan karena itulayak dipilih dalam Pemilu 2009 kelak.

Saya berpendapat, di antara ketiga motivasi tersebut,kemungkinan pertama bahwa DPR benar-benar inginmenurunkan harga BBM justru merupakan motivasi yangpaling kecil berada di lubuk hati para anggota DPR. Upayamenurunkan citra Presiden Yudhoyono dan menggunakanisu BBM sebagai dagangan politik adalah niatan yang lebihdominan.

Mekanisme internal bertele-telePendapat saya ini didasarkan pada pilihan fraksi-fraksi

di DPR yang lebih berkonsentrasi untuk menurunkan hargaBBM lewat mekanisme internal DPR. Upaya yang sekarangaktif dilakukan dengan mengupayakan hak angket danpengambilan keputusan melalui Rapat Paripurna DPRadalah mekanisme internal yang sebenarnya tak efektifuntuk langsung menurunkan harga BBM. Mekanisme inter-nal itu justru cenderung prosedural dan gampang terjebakpada perdebatan nonsubstansial yang bertele-tele.

Perkelahian memalukan teranyar di DPR sebenarnyasama sekali tidak menyangkut substansi menurunkan harga

Page 342: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

328

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

BBM. Perkelahian tersebut hanya berhubungan denganprosedur pengambilan keputusan, apakah akan langsungdilakukan dalam Rapat Paripurna DPR atau diserahkankepada alat kelengkapan DPR. Jadi, yang diperkelahikananggota DPR adalah ”pepesan kosong”. Penundaan-penun-daan sidang DPR yang terus terjadi makin menegaskanbahwa mekanisme internal DPR penuh dengan ranjau-ranjau prosedural. Alih-alih harga BBM akan turun, yangpasti terjadi adalah tarik-menarik kepentingan antarfraksi.

Lebih ironis lagi, jika motivasi utamanya adalah betul-betul menurunkan harga BBM, mekanisme internal DPRbukan langkah yang cerdas, apalagi efisien. Anggaplah,misalnya, semua ranjau prosedural dapat dilewati oleh DPR-dan lebih jauh-anggaplah secara ekstrem semua fraksi dananggota DPR setuju secara mutlak menolak naiknya hargaBBM, dengan hasil voting 550 menolak dan 0 menerima;tetapi kemenangan mutlak itu sama sekali bukan jaminanbahwa harga BBM akan turun kembali.

Keputusan DPR untuk menolak naiknya harga BBMhanya merupakan keputusan politik yang mengandungtekanan politik, tetapi tidak mempunyai kekuatan ekse-kutorial. Keputusan untuk menurunkan kembali harga BBMtetap merupakan domain kewenangan eksekutif. MeskipunDPR secara mutlak menolak kenaikan harga BBM, jikapemerintahan SBY tetap cuek saja, ”DPR tidak dapatberbuat apa-apa”.

Peran strategis GolkarAnggaplah lebih jauh, cueknya presiden tersebut meng-

gusarkan DPR dan mereka menjadikannya sebagai alasanuntuk berpendapat bahwa presiden dapat diberhentikan,

Page 343: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

329

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

maka proses impeachment juga bukan hal yang mudah.Tidak sebagaimana layaknya Presiden Gus Dur yang relatifmudah tergusur, Presiden Yudhoyono akan lebih alot untukdijungkalkan. Hal itu karena secara konstitusional maupunsecara personal SBY lebih kokoh. Secara konstitusionalmekanisme impeachment jauh lebih rumit dan sulit. Tidakhanya melibatkan pertimbangan politis DPR dan MPR(termasuk DPD), tetapi juga melibatkan pertimbanganyuridis Mahkamah Konstitusi. Secara personal, gaya ako-modatif SBY menyebabkan ia lebih mudah menghadirkankawan politik dibandingkan dengan ala konfrontatif Wahidyang lebih mudah melahirkan lawan politik.

Secara hitung-hitungan politik, kalaupun DPR memak-sakan untuk menggulirkan isu impeachment, SBY dapatdengan mudah melayukannya sebelum berkembang. Yaitu,cukup dengan mensolidkan barisan Partai Demokrat danPartai Golkar di DPR. Jumlah kursi Demokrat (57) danGolkar (129) adalah 186 kursi, suatu jumlah yang lebih darisepertiga (183) jumlah 550 kursi total di DPR. Dengandemikian, kecuali terjadi perseteruan politik antara SBY danJusuf Kalla sebagai Wakil Presiden dan juga Ketua UmumPartai Golkar, dukungan strategis Golkar akan menye-babkan SBY langgeng menjadi presiden hingga 2009.

Mekanisme eksternal lebih efektifJika fraksi-fraksi di DPR memang sungguh-sungguh

ingin menurunkan kembali harga BBM, mekanisme ekster-nallah yang harus dimaksimalkan dan mekanisme internalDPR yang inefisien dan bertele-tele justru harus dimini-malkan. Ada dua mekanisme eksternal yang dapat diupa-yakan oleh DPR. Keduanya lebih bermain di wilayah yuridis

Page 344: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

330

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

dan bukan di areal politis, yaitu mengajukan judicial reviewke Mahkamah Agung (MA) atas peraturan presiden yangmenaikkan harga BBM dan mengajukan permohonan peme-riksaan sengketa kewenangan antara presiden dan DPR kehadapan Mahkamah Konstitusi (MK).

Berbeda dengan hasil akhir mekanisme internal DPRyang panjang dan melelahkan, namun hasilnya belum tentudan kalaupun berhasil tidak mempunyai kekuatan mengi-kat, dua mekanisme hukum ke MA dan MK ini proseshukumnya lebih jelas dan hasilnya mempunyai kekuataneksekutorial. Sayangnya, sejauh ini hanya ada lima anggotaDPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional yang menggunakanpeluang judicial review ke MA ini dan belum ada tanda-tanda DPR akan membawa masalah ini ke sengketa kewe-nangan di hadapan MK.

Padahal, untuk judicial review di MA, jika dimenangkan,tujuan menurunkan harga BBM akan lebih jelas hasilnya.Putusan MA yang membatalkan Peraturan Presiden tentangKenaikan Harga BBM karena bertentangan dengan Un-dang-Undang APBN 2005 dan/atau Undang-Undang Ke-uangan Negara, misalnya, akan berakibat langsung dengankembalinya harga BBM ke harga semula sebelum 1 Maret2005. Berbeda dengan penolakan harga BBM di DPR yangmasih tergantung political will pemerintah, putusan MAlangsung mengikat dan pemerintah atas dasar supremasihukum harus menghormati putusan MA, konsekuensinyaharga BBM sebelum 1 Maret 2005 langsung berlaku kembali,tanpa perlu adanya persetujuan dari pemerintah sekalipun.

Selanjutnya, langkah pengajuan sengketa kewenanganke MK memang lebih sulit dimenangkan DPR. Pertama,karena DPR sendiri tidak satu suara, padahal yang dapat

Page 345: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

331

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

mengajukan permohonan adalah DPR sebagai satu institusi.Kedua, secara konsep dasar, kewenangan kebijakan BBMadalah domain eksekutif, sedangkan legislatif hanya mela-kukan fungsi kontrol. Namun, langkah ini tidak ada salah-nya dilakukan terutama untuk melihat permasalahan inidari kacamata yuridis ketimbang politis.

Menarik pertarungan presiden dan DPR tentang BBM inike wilayah hukum adalah keunggulan utama penyelesaianjudicial review di MA ataupun permohonan sengketa kewe-nangan di MK. Kedua upaya hukum ini berpotensi mela-hirkan budaya penyelesaian perseteruan politik di bawahpayung hukum. Hal ini memperteguh komitmen supremasihukum, salah satu ciri negara demokrasi.

Jadi, para anggota DPR yang terhormat, jika Andamemang serius menurunkan harga BBM, berkonsentrasilahmembawa masalah ini ke depan meja hijau MA atau kehadapan meja merah MK. Stop politisasi BBM di parlemen.

Page 346: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

332

MASA kini ada karena Tuhan menciptakan masa laludan masa depan. Di masa kinilah, masa lalu sekaligus

masa depan dapat bertemu. Masa lalu hadir sebagai sejarah,masa depan datang sebagai rencana. Karena itu, apa yangterjadi di masa kini dapat diprediksi berdasar refleksi darimasa lalu dan antisipasi ke masa depan. Bila masa kiniadalah tahun 2003, maka prediksi wajah hukum satu tahunke depan adalah interaksi antara refleksi sejarah hukum2002 (dan sebelumnya), serta antisipasi rencana hukum 2004(dan sesudahnya).

Pada lebih dari tiga dasawarsa kekuasaan Orde Baru,hukum telah dibunuh. Hukum sudah mati. Fungsi hukumdiselewengkan: dari seharusnya melawan kejahatan, men-jadi pelaku kejahatan itu sendiri. Keadilan, sebagai rohhukum, telah dicabut dan diganti dengan keserakahan. Di

REINKARNASI HUKUMTANPA KEADILAN

Page 347: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

333

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

bidang politik, keadilan hukum direkayasa dan melahirkankeserakahan kekuasaan. Di bidang ekonomi, keadilanhukum dimanipulasi dan menghasilkan keserakahan kese-jahteraan. Di bidang sosial-budaya, keadilan hukum disen-tralisasi menjadi monopoli arti. Indoktrinasi adalah inter-pretasi resmi atas seni. Di bidang hukum sendiri, keadilanhukum diperjualbelikan oleh para gangster mafia peradilan.

Pasca 1998, hukum hadir sebagai hantu penasaran yangbertransisi dari pemerintahan otoriter Orde Baru. Hukum,setelah lama tidak mandiri, menjadi lepas kendali dan hadirdalam wujud masyarakat yang suka main hakim sendiri. Iameledak menjadi pembumihangusan para pencuri danpenjahat-penjahat kelas teri. Hukum menjadi perkasa ditingkat anarki, tetapi tetap tidak bergigi saat berhadapandengan para penjarah negeri. Di masa Habibie, hantuhukum adalah inflasi peraturan perundangan. Di masa GusDur, hantu hukum menjadi ciri era transisi yang tak pernahpasti. Lalu, bagaimanakah hukum di masa Megawati?

Hukum kolutifTahun 2002 adalah tahun hukum tanpa visi dan misi.

Setelah empat tahun bergentayangan menjadi hantu refor-masi, dan mencari bentuk diri, hukum di era Megawati mulaiterindikasi masuk fase reinkarnasi, masa kelahiran kembalihukum Orde Baru, hukum minus keadilan.

Di bidang politik, hukum kembali mulai membatasikebebasan berekspresi. Beberapa demonstrasi dari kelompokoposisi menjadi pesakitan lagi di pengadilan negeri. Pasal-pasal hatzaai artikelen, yang sudah mati suri di awalreformasi, dihidupkan kembali. Di bidang ekonomi, hukumjustru menjadi legitimasi korupsi. Jika Presiden Soeharto

Page 348: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

334

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

mengesahkan korupsi dengan keputusan presiden, PresidenMegawati mulai menggunakan instruksi presiden (inpres)untuk berkolusi dengan para debitor nakal BPPN. Inprestentang release and discharge yang dikeluarkan Megawati diujung tahun 2002 adalah cermin kebijakan yang prokorupsiitu.

Inpres Nomor 8 Tahun 2002 sekilas terlihat seimbang,memberi kompensasi kepada para debitor kooperatif, dansebaliknya memberi sanksi kepada debitor yang non-kooperatif. Namun, kajian kritis akan dengan mudahberkesimpulan, ada manipulasi di inpres itu. Buktinya,hanya sekitar 20 persen dari inpres itu yang mengamanatkantindakan tegas kepada debitor nonkooperatif, sisanya sekitar80 persen lebih banyak mengulas tentang debitor kooperatif.Dari berat sebelahnya pengaturan itu, terindikasi bahwapemerintah tidak punya sikap tegas dalam memerangi paradebitor yang senyatanya justru lebih banyak yang non-kooperatif.

Inpres tentang release and discharge adalah tonggakkesekian lahirnya produk hukum kolutif, hasil kolusipenguasa-pengusaha untuk melanggengkan praktik korupsidi Indonesia. Tidak mengherankan bila pemberantasankorupsi yang merupakan salah satu amanat utama reformasijustru menjadi kegagalan tingkat pertama penegakan hukum

tahun 2002. Kegagalan itu berderet mulai dari tidakjelasnya penyelesaian kasus korupsi mantan Presiden Soe-harto, tidak seriusnya upaya hukum bagi tersangka korupsidalam negeri maupun yang ”sakit” di luar negeri, hinggabanyaknya kasus korupsi yang berujung keputusan bebas.Kalaupun ada pelaku korupsi yang dihukum, dapat didugasang koruptor tidak punya posisi tawar politik maupun

Page 349: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

335

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

ekonomi. Dia adalah mantan elite penguasa atau kelompokkawula alit yang jauh dari tipe pengusaha.

Meski Ketua DPR dihukum tiga tahun penjara, itu bukanberarti hukum telah berhasil ditegakkan tanpa pandangbulu. Buktinya, vonis itu tidak diiringi upaya serius menon-aktifkan sang Ketua Umum Golkar dari kursi Ketua DPR.Sebaliknya, posisi terhukum cenderung dipolitisir dandijadikan alat tawar-menawar kepentingan politik. Meskisering dibantah beberapa kalangan, inilah indikator nyatabahwa gelar juara bertahan korupsi yang disandang Indo-nesia adalah benar. Buktinya, lembaga negara sekelas DPR-yang menjadi representasi rakyat Indonesia-dipimpin olehseseorang yang telah divonis korupsi.

Tidak kalah ironis adalah kasus Jaksa Agung. Tahun2002 menunjukkan bagaimana absurdnya upaya pem-berantasan korupsi di Indonesia. Jaksa Agung yang seha-rusnya menjadi orang nomor satu untuk memberantaskorupsi, justru terindikasi melakukan korupsi berdasarinvestigasi yang dilakukan Komisi Pemeriksa KekayaanPenyelenggara Negara (KPKPN). Sang Jaksa seakan meng-anggap rakyat bisa dibodohi dengan berita ”lupa asal-usuluang depositonya yang jumlahnya ratusan juta rupiah”,dengan tidak dilaporkannya rumah hasil upeti pernikahananaknya dan dengan berganti-gantinya nama dalam hartakepemilikannya. Namun, yang paling ironis, sampai sede-mikian kasatmata potensi korupsi sang Jaksa Agung, Presi-den Megawati masih tidak menggunakan haknya untukmenon-aktifkan Jaksa Agung. Sebaliknya, KPKPN yangtelah menunjukkan kinerja menjanjikan, justru terancamdilikuidasi eksistensinya.

Page 350: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

336

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Hukum diskriminatif dan represifKalaupun banyak kalangan memberi apresiasi atas hasil

kerja aparat kepolisian di penghujung tahun 2002 yangberhasil menangkap para tersangka tragedi Bali, keber-hasilan itu tetap harus diberi dua catatan kritis. Pertama,para tersangka itu bukan kelompok elite. Imam Samudra dankawan-kawan bukan Ketua DPR, Jaksa Agung, atau kong-lomerat yang bisa bermain kekuasaan dan keuangan didepan hukum. Inilah bukti hukum masih diskriminatif dantajam gigi hanya kepada kawula alit.

Kedua, tahun 2002 mencatat gesitnya langkah aparathukum menghadapi aneka perkara yang mengandung unsurinternasional, tetapi lumpuh untuk tragedi nasional. Buk-tinya, Imam Samudra sebelumnya tidak pernah tertangkapsaat kasusnya masih menyangkut Indonesia saja. Kasuspailitnya Manulife yang mendatangkan protes PemerintahKanada dan ditanggapi amat cepat aparat hukum kita, sekalilagi menunjukkan penegakan hukum kita masih rendah diri;proses penegakan hukum yang masih diskriminatif dan baruefektif setelah diintervensi oleh kekuatan-kekuatan asing.

Perlu digarisbawahi: tragedi bom Bali juga membukapeluang lahirnya kembali hukum represif. Masa politisasiundang-undang subversi di era Soeharto dapat lahir kembalimelalui rahim peraturan-peraturan antiterorisme. Di negaramaju, efek samping perang melawan terorisme berpotensimelahirkan pelanggaran HAM serius. Di Indonesia, sifatrepresif hukum antiteroris itu dapat membawa akibat yangjauh lebih buruk.

Page 351: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

337

MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL

Hukum partisanAgenda Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 mengakibatkan

hukum pada tahun 2003 amat rentan politisasi. Undang-undang politik, yang berkait dengan pemilu, akan dire-kayasa guna memaksimalkan kepentingan sekelompok par-tai. Undang-undang pemilihan presiden dan sejenisnyaakan amat nyata merekam politisasi hukum ini.

Di luar itu, kasus nonhukum akan semakin seringdipolitisir. Pola seperti somasi dan gugatan terhadap AmienRais oleh Laksamana Sukardi mungkin cenderung mening-kat. Semuanya adalah drama berseri dan pemanasan men-jelang perebutan kursi di Pemilu 2004. Singkatnya, eskalasipolitik hukum di tahun 2004 akan merangsang lahirnyapolitisasi hukum yang sangat partisan di tahun 2003.

Hukum pada tahun 2003 akan berciri empat hal utama,yaitu: berlanjutnya hukum kolutif yang prokorupsi; masihdiskriminatifnya penegakan hukum; makin gencarnya hu-kum represif akibat atmosfer perang melawan terorisme; sertamenguatnya politisasi hukum partisan menyongsong Pemilu2004. Interaksi antara keempat unsur negatif itu adalahreinkarnasi hukum Orde Baru tanpa keadilan.

Dengan demikian, bila hukum adalah salah satu indi-kator berhasil atau tidaknya reformasi Indonesia menujunegara demokrasi, maka tahun 2003 akan membuktikanproses reformasi akan gagal dan Indonesia berpotensimengalami spiral restorasi politik, yaitu lahirnya rezimotoriter ala Orde Baru. Kecuali, jika Pemilu 2004 berhasilmelahirkan konfigurasi politik yang demokratis sebagaiperangsang lahirnya hukum yang berkeadilan. Tetapi, bilaperangkat hukum pemilunya sejak awal sudah dipolitisir,apakah Indonesia masih mempunyai harapan?

Page 352: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 353: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

339

INDEKS

Aa club of one 201Ackerman, Bruce 28Adji, Indriyanto Seno 24Administrative Procedure Act

1946 265African National Congress 96Afrika Selatan 6, 28, 76agenda Pemilu 2004 154Ahjad, Najib 53akomodasi politik 220al-Banjari, Muhammad Arsyad

56aliansi politik 12amandemen 3amandemen kedua 107amandemen ketiga 107amandemen konstitusi 5amandemen pertama 107

amandemen UUD 1945 4ambiguitas interpretasi 57Amerika Serikat 11, 16Andrews, Penelope 100Antieau, Chester James 148appointment and removal 252Aquino, Corazon 76Aryoso, Amin 114asas non-retroaktif 7Asimow 264Asshiddiqie, Jimly 26asymmetric bicameralism 14Australia 16, 21Awaluddin, Hamid 43

BBadan Pemeriksa Keuangan 8Badan Pengelola Puspiptek 278Bakrie, Aburizal 43

Page 354: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

340

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Ball dan Peters 13Banjar 55Bantaeng 136Bean, Clive S. 321Belanda 18Belgia 16bentuk pemerintahan 192bikameral 7Bogdanor 34Bonime-Blanc, Andrea 98Bowles, Nigel 202, 204Brunei Darussalam 195Bugis 55Bundesrat 18Bundestag 18Bupati Pamekasan 56Bush, George 202

Ccalo proyek bencana 43calo proyek pemilu 43calon independen 10calon perseorangan 132calon presiden independen 7Carswell 206Carter, Jimmy 200Catalonia 142Charles Howard McIlwain 95checks and balances 4chief diplomat 204chief legislator 204chief of executive 204chief of state 204Clinton, William 208conflict of interest 25Conseil d’Etat 142Constitution Assembly 76

constitution making 80Constitutional Commission 76constitutional complaint 9, 41Constitutional Convention 211Constitutional Drafting Assem-

bly 76constitutional engineering 317constitutional power 275Constitutional principles 112constitutional principles 93constitutional review 8, 59contempt of constitution 102contempt of court 102contempt of parliament 102court of justice 139court of law 139

DDaerah Istimewa Yogyakarta

104de facto 70de jure 70debitor kooperatif 334debitor nonkooperatif 334DeCoste 35dekrit Gus Dur 237Dekrit Presiden 5 Juli 1959 52Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli

1959 232delegation doctrine 282Demers, Paula 235Demokrat 210Denmark 14Departemen Hukum dan HAM

140Departemen Kehakiman 33desain ketatanegaraan 191

Page 355: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

341

INDEKS

desentralisasi 22Dewan Federal Swiss 194Dewan Pers Indonesia 284Dewan Pertimbangan Agung

275Dick the Butcher 33differentiated bicameralism 15Dimara, Daan 43direct presidential election 7discretionary decision 269dissenting opinion 25divided government 11DPD 7, 100DPR 8, 12DPRD 134Dryzek, John S. 99

Eeffective presidential 11, 215eksekutif 7ekstrakonstitusional 233electoral threshold 227elite Orde Baru 44Ellman, Stephen 100emergency power 235executive heavy 114executive power 266executive review 63extraordinary political event

208

Ffederal 192fikih ritual 69fikih sosial 69Filipina 76final and binding 138

Finlandia 142fondasi kemerdekaan 4formalisasi syariat Islam 53Forum Kajian Ilmiah Konstitusi

91forum prevelegiatum 207Fraksi PDI Perjuangan 18Fraksi Utusan Daerah 109Freeport 44fungsi eksekutif 192fungsi pengawasan KY 31

GGalicia 142Garecht, Joe 141Gaulle, Charles de 194Gaziano, Todd F. 235Gerakan Aceh Merdeka 140Gerakan Nurani Parlemen 91gerakan separatis 99Gingrich, Newt 208golden shake hands 38good governance 69Gowa 55guardian of the constitution 27

HHafidhuddin, Didin 69hak imunitas 20hak prerogatif presiden 205hak uji materiil 176hak veto presiden 199hak-hak minoritas 143hakim agung 8, 206hakim konstitusi 26Hamilton, Alexander 196harga BBM 224

Page 356: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

342

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Harini 37Harman, Benny K. 32Hasan, Bob 44Hatta, Mohammad 52hatzaai artikelen 333Haynesworth 206Heyman, Philip B. 36Hitler 197Hitler, Adolf 234House of Commons 18, 209House of Councillors 18House of Lords 18, 209House of Representatives 15,

18hukum darurat negara 232hukum formal 151hukum material 151hukum materiil 24

IIceland 14Ihonvbere, Julius O 114impeachment 207, 208, 329independent agencies 28India 197Inggris 44inherent power 235inovasi politik 13institusi politik konvensional 74institusional-rasional 240interpretasi konstitusi 46Isra, Saldi 16Istana Negara 240Italia 16

JJay, John 196

Jepang 19Jerman 9, 142Jr, William F. Fox 269judicial corruption 24judicial review 63, 198

KKaisar Napoleon III 196Kaligis, OC 24Kalimantan Selatan 55Kalla, Jusuf 43, 254Kamal, Badrul 151kanselir 197Karim, Usman 37keadilan hukum 24kebebasan berserikat dan

berkumpul 143Kejaksaan 41kekuasaan kehakiman 8kekuatan eksternal 20kekuatan hukum mengikat 24kelompok reformis 74, 241Kelsen, Hans 9kemanfaatan hukum 24Kementerian Negara 228kepala daerah perseorangan

132kepala negara 195kepala pemerintahan 195Kepolisian 41Kerajaan Islam Banjar 55kesepahaman Helsinki 322Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/

2001 89ketidakpastian hukum 24kewenangan legislasi 317KKN 79

Page 357: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

343

INDEKS

Klerk, FW de 96koalisi kekecilan 12koalisi pas-terbatas 12Koesmayadi 44Kolombia 22Komisi Hukum 209komisi negara independen 264Komisi Ombudsman Nasional

280Komisi Pemilihan Umum 8Komisi Pers Indonesia 284Komisi Yudisial 8Komite Persiapan Penegakan

Syariat Islam 55kompromi politik 74konfederasi 192konsep Jeffersonian 199Konstituante 1956-1959 116konstituen 210Konstitusi Amerika Serikat 195Konstitusi Perancis 142konstitusi rakyat 99konstitusi transisi 111kontrak sosial 95konvensi 23KPK 28kuasi presidensial 17KUHAP 169KUHP 169Kuorum 210

LLaksono, Agung 43legal standing 164legal vacuum 248legislatif 7legislative heavy 114

legislative review 63lembaga kepresidenan 201Lembaga Sensor Film 278l’etat c’estmoi 238lex posteriori derogat legi priori

29lex specialis 29, 60Liberia 197Lijphart 22Lijphart, Arendt 11, 14likely bicameralism 15Livingstone, Bob 208Lord Acton 108Luwu 55

MMadjid, Nurcholish 240mafia peradilan 24Mahkamah Agung 8Mahkamah Konstitusi 8Mainwaring, Scott 11Majelis Kehormatan Hakim 26Majelis Nasional 92Majelis Rendah 15Majelis Tinggi 15majority presidential 215Maklumat Gus Dur 232Malaysia 192Manan, Bagir 37Mandar 55mandat terpisah 219Mandela, Nelson 96Marcos, Ferdinand 235mayoritas sederhana 12McPherson, Harry 203mekanisme amandemen 45Mesir 207

Page 358: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

344

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

minimal winning coalition 11minority presidential 214Misrawi, Zuhairi 51Mondale, Walter 200Montesquieu 28moralitas-konstitusionalitas 31mosi tidak percaya 193MPR 7Muliah, Musdah 67Mulkhan, Abdul Munir 216multiple membership 201Murray, Christina 93

NNapoleon, Louis 196negara demokratis 74negara federal 18negara hukum Indonesia 5negara kesatuan 18negara republik 99Negara Sekuler 51Negara Syariat 51New Zealand 14Nixon 206non-justitial 32non-muslim 58Nurmahmudi 152

OO’Donnel, Guillermo 74organ konstitusi 5otonomi daerah 143oversized coalition 12

PPAN 222Panitia Ad Hoc I MPR 144

parlemen bikameral 14Parlemen Swiss 194parlemen tiga kamar 16parlemen unikameral 14parpol lokal 140Partai Bulan Bintang 53Partai Demokrat 218Partai Golkar 43, 241Partai Persatuan Pembangunan

53partai politik 8Partai Republik 210partisant power 275pasal-pasal impeachment 207pascasoeharto 5PDI Perjuangan 59Pembukaan UUD 52pemerintahan kolutif 215pemerintahan otoriter 73pemerintahan terbelah 217Pemilu 1999 156Pemilu 2004 159Pengadilan Negeri Cibinong 151Pengadilan Tinggi Jawa Barat

150pengawasan perilaku hakim 32Pengelolaan Zakat 53penguatan fungsional 21penguatan struktural 21Peninjauan Kembali 37peninjauan kembali 136penyelidikan 37Peradilan Agama 53Perancis 22perang dunia I 197perang dunia kedua 197Peraturan Pemerintah Nomor

28 tahun 1977 56

Page 359: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

345

INDEKS

Perda 50perdaisasi syariat Islam 54perdana menteri 194, 197Perdana Menteri Miterrand 194perdata 8perfect bicameralism 14perlindungan hak asasi manusia

5perlindungan HAM 93Perpu Anti Korupsi 40Perpu Terorisme 169Persatuan Purnawirawan ABRI

91personal morality 35personal-irasional 240Piagam Jakarta 51Piagam Madinah 58pidana 8Pilkada Depok 150PKB 222PKS 222platform politik 226political corruption 35political earthquake 208political morality 35politik garam 70politik gincu 70politisasi hukum 245politisi oportunis 99posisi politik 236PPP 157praktik korupsi 10Presiden Chirac 194Probosutedjo 37Prodjodikoro, Wirjono 236proporsional terbuka 17proteksi institusional 21

public participation 115putusan ultra petita 29

QQanun 59quasi judicial 266quasi legislative 266quasi-judicial 212

RRais, Amien 110Raja Louis XIV 238Ratu Inggris 193Reagan 206recall 155rechtsstaat 9reformasi konstitusi 3reformasi peradilan 23reformasi UUD 1945 6rekayasa hukum 155rekayasa politik 227Reorganization Act 202reserved power 200reshuffle kabinet 223retroaktif 9revitalisasi DPD 23rezim apartheid 92rezim Orde Baru 51Roy, Le 9rule of ethics 36rule of law 9, 36Rusia 194

SSaidi, Ridwan 118Samudra, Imam 336Sartori, Giovanni 14

Page 360: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

346

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

Saudi Arabia 195Saunders 5Savage, Katharine 96Scheppele 35sektor publik 34Senate 15sentralistis 22separation of powers 4Shakespeare, William 33Shugart, Matthew S. 11Sidang Tahunan MPR 2002 52Sieyes, Abbe 13similar bicameralism 15Sindrom Akut Rindu Soeharto

156Siradjuddin, H.M. 55sistem campuran 192sistem dua partai 11sistem federal 17sistem hukum 36sistem ketatanegaraan 3sistem kolegial 192sistem kontrol antarlembaga

negara 93sistem monarki 195sistem multi-partai 11sistem multipartai 226Sistem parlemen Indonesia 16sistem parlementer 192sistem pemakzulan presiden 7sistem pemerintahan 192sistem pemilu distrik 13sistem pemisahan kekuasaan 4,

28sistem politik 10sistem presidensial 7, 191sistem saling-kontrol 28

Skandal Tank Scorpio 44Soeharto 17Soekarno 52Soekarnoputri, Megawati 59Soemantri, Sri 16Soetjipto 96Solidaritas Gerakan Anti

Korupsi 66Sri Lanka 194state auxiliary agency 28stempel pemerintah 224Sukardi, Laksamana 337Sukardja, Ahmad 58Sulawesi Selatan 136Sullivan, Laurence 141Suparman, Parman 37Swedia 14Syafriansyah 53syariat Islam 50symmetric bicameralism 14

TTallo 55Tampubolon, Juan Felix 24Tana Toraja 136Tap MPR No I Tahun 2003 169the Basque lands 142the Christian Social Union 142the nine of solomon 37The People Constitution 76the supreme law of the land 45Thomas Paine 95Tim Lindsey 7Tobing, Jakob 5Tono, Sidik 58tragedi Bali 336transitional justice 285

Page 361: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

347

INDEKS

Transparansi Internasional 42Transparansi Internasional

Indonesia 132trikameral 16

UUKP3R 274Undang-undang Nomor 1 tahun

1974 53Undang-undang Nomor 22

tahun 1999 55Undang-undang Nomor 32

tahun 2004 60Undang-undang Nomor 38

tahun 1999 53Undang-undang Nomor 44

tahun 1999 54Undang-undang Nomor 7 tahun

1989 53Undang-undang Nomor 7 tahun

1992 54unikameral 7Utusan Golongan 95UU KY 29UU Mahkamah Agung 29

UU No 21 Tahun 2001 141UU Nomor 14 Tahun 1985 249UU Nomor 22 Tahun 2007 133UU Nomor 5 Tahun 2004 249UU Susduk 20UUD 1945 4, 52

Vvoting 86

WWahid, Abdurrahman 12, 159Walikota Padang 56Washington, George 196Wattenberg, Martin P. 321White House 202Wiranto 161

Yyudikatif 7Yugoslavia 98

Zzaken kabinet 253Zedong, Mao 57

Page 362: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA
Page 363: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

349

BAB 1 MENCARI KONSTITUSI YANG KONSTITUSIONALISME1. Refleksi Amandemen UUD 1945 (Makalah ini merupakan peng-

gabungan beberapa ide yang pernah disampaikan pada beberapaseminar)

2. Kompleksitas Perda Bernuansa Syariat (Makalah ini disampaikandalam seminar ”Kebijakan Publik dan Partisipasi Masyarakat di EraOtonomi Daerah”, di Banjarmasin, 1 Oktober 2005)

3. Urgensi Komisi Konstitusi (Kompas, Rabu, 5 September 2001)4. MPR Aborsi Komisi Konstitusi (Kompas, Kamis, 8 Agustus 2002)5. Bom Waktu Komisi Konstitusi (Kompas, Kamis, 22 November 2001)6. Reformasi Konstitusi dan Bom Bunuh Diri (Kompas, Selasa, 23 April

2002)7. Reformasi Konstitusi dan Potensi Disintegrasi (Kompas, Senin, 4

Agustus 2003)8. Antara Harapan dan Kenyataan Pergulatan di MPR (Kompas, Jumat, 2

November 2001)9. Hasil Sidang Tahunan MPR Konstitusi Transisi 2002(Kompas, Kamis, 1

Agustus 2002)10. Tolak Kembali ke UUD 1945 (Detikportal)11. Urgensi Amandemen Kelima (Detikportal)

SUMBER NASKAH

Page 364: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

350

NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

BAB 2 MENCARI PEMILU YANG DEMOKRATIS1. Kepala Daerah Perorangan (Kompas, Senin, 30 Juli 2007)2. Menolak Pilkada Ulang Sulsel (Kompas, Rabu, 26 Desember 2007)3. Partai Politik Lokal di Aceh (Kompas, Selasa, 19 Juli 2005)4. Pilkada, ”Neither Meat, Nor Fish” (Kompas, Sabtu, 30 April 2005)5. Putusan Pilkda Depok Batal Demi Hukum (Kompas, Selasa, 9 Agustus

2005)6. Pemilu 2004 dan reformasi Hukum (Kompas, Jumat, 9 Januari 2004)7. Tolak Perhitungan Ulang Suara Pilpres (Kompas, Selasa, 3 Agustus 2004)8. Payung Hukum Penundaan Pemilu (Kompas, Kamis, 1 April 2004)9. Mengantisipasi Blunder Pencoblosan (Kompas, Kamis, 8 Juli 2004)10. Inflasi Parpol, Inflasi Pemilu (Detikportal)11. Bom Waktu Pemilu 2009 (Detikportal)

BAB 3 MENCARI PRESIDEN DI NEGERI PENUH KORUPSI1. Mendesain Presiden yang Efektif (Makalah terus diperbarui dan

dipresentasikan dalam beberapa seminar)2. ”No More” Dekrit (Kompas, Senin, 27 Agustus 2001)3. Cak Nur dan Calon Presiden (Kompas, Selasa, 8 Juli 2003)4. Menguji Kesehatan Capres (Kompas, Senin, 19 April 2004)5. Kabinet Pas-terbatas (Kompas, Selasa, 1 Mei 2007)6. Konstitusionalitas Pencabutan Mandat Presiden (Detikportal)

BAB 4 MENCARI KESEIMBANGAN SALING KONTROL1. Komisi Negara Independen (Makalah ini terus diperbarui dan disam-

paikan dalam sejumlah seminar dengan topik yang sama)2. DPD Antara (ti)Ada dan Tiada (Beberapa bagian dari makalah ini

pernah dipublikasi di sejumlah media massa)3. Satu Tahun Usia Makamah Konstitusi (Kompas, Kamis, 12 Agustus

2004)4. Ancaman Tirani DPR (Kompas, Senin, 2 September 2002)5. Memahami ”Memorandum of Misunderstanding” (Kompas, Jumat, 26

Agustus 2005)6. Stop Politisasi BBM (Kompas, Senin, 21 Maret 2005)7. Reinkarnasi Hukum Tanpa Keadilan (Kompas, Rabu, 8 Januari 2003)

Page 365: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

351

Di Kotabaru, Pulau Laut, sebuah pulau kecil sebelah tenggaraKalimantan Selatan, Senin 11 Desember 1972, saat Apollo 17mendarat di bulan, lahirlah Denny Indrayana. Masa kecilnya di-habiskan di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan sampai mena-matkan sekolah menengah atas. Tahun 1991 masuk Fakultas Hu-kum UGM, dan meraih gelar sarjananya di tahun 1995. Empat tahunitu bukanlah waktu sekedar tercatat sebagai mahasiswa, rajin kuliahdan berindeks prestasi bagus, melainkan juga ruang aktivitas yangpadat. Terbukti Denny menjabat Ketua Bidang Penalaran BadanEksekutif Mahasiswa tingkat fakultas dan beberapa kegiatan ting-kat universitas. Di tahun terakhir kelulusannya, ketika sibuk menulisskripsi, Denny menyumbangkan pemikiran dan tenaganya menjadiKetua Panitia sebuah seminar nasional sangat berani waktu itu,karena mengumpulkan para kritikus berat orde baru untuk bicaratentang: Suksesi & Lembaga Kepresidenan. Untung pada saat itu,belum ada yang mempunyai ide untuk menculik para aktivis. Dennydan kawan-kawan hanya kerepotan memenuhi panggilan korps’keamanan dan ketertiban’ untuk investigasi.

CATATAN DARI SAHABAT

Page 366: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

352

Tahun 1995, ketika ayahnya menawari sebuah rumah, Dennylebih memilih membelanjakan uangnya demi menempuh masterhukum di School of Law, University of Minnesota, Amerika Serikatdan lulus di tahun 1997. Tiga tahun sampai tahun 2000 setelahmendapatkan gelar LL.M. (Master Degree in Law), Denny menjadiKonsultan Hukum di Jakarta. Namun dalam praktek hukum diibukota, ia menemukan berbagai kegelisahan, yang menyeretnyakemudian ke kota yang sangat dicintainya: Yogyakarta. Lagi-lagi iatidak menjadi penyepi, tetapi menggalang kekuatan menjadi advo-kat yang ’lain’. Pernah menjebak indikasi KKN penegak hukum disana, aktif mengajar di Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta,dan membentuk LSM, yakni Lembaga Bina Kesadaran HukumIndonesia (LBKHI), serta Indonesian Court Monitoring (ICM) yangbergerak sebagai pemantau peradilan dan upaya perang terhadappraktek mafia peradilan. Serta, akhirnya menjadi dosen Hukum TataNegara di Fakultas Hukum UGM sejak 2001.

Gelar Ph.D dari Faculty of Law, University of Melbourne diraihnyadi tahun 2005 dengan disertasi ”Indonesian Constitutional Reform1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition”.Inilah indikasi bahwa Denny seorang tersangka Oedipus Complex,orang muda yang mencintai hal-hal ’tua’. Betapa tidak, selainmemilih perempuan luar biasa Ida Rosyidah menjadi istrinya, iamenggemari hal-hal yang bagi sebagian orang adalah contoh ’ke-tuaan’: isu korupsi, konstitusi, peradilan dan mafianya, serta menjadidoktor kinyis-kinyis. Paling ringan, ia pun mengidap penyakit orangtua: pelupa dan pengantuk. Maka Tuhan menurunkan bakat menulissangat produktif, agar Denny tidak total pelupa di tengah Indonesia,negara yang juga sangat pelupa itu. Maka Tuhan tidak jarangmemberi rasa kantuk ketika ia menonton di bioskop, agar Dennytidak total tegang dengan kritiknya, dan asyik tertidur saat sebuahfilm mendekati adegan paling menegangkan. Akhirnya, yang palingserius dari ketuaannya, tampak ketika ia ’menjewer’ gagasan,perilaku, corps de ethic buruk dari jajaran negara dan pemerintahanmelalui tulisan serta aktivismenya.

Namun, itu semua tak seromantik karakter lainnya dari pemikir-aktivis atau aktivis-pemikir yang bernama Denny Indrayana. Per-paduan inilah yang bahkan mungkin ia sendiri pun tak tahu, menjadi

Page 367: NEGARA ANTARA ADA DAN TIADA

353

rahasia integritasnya: tetap belajar, jujur, berani, dan murah hati.Dan bila menengok kartu nama yang sudah dikoleksinya sejakmahasiswa, Denny tak lain adalah orang yang sangat luas per-gaulannya. Akhirnya, tidak mengherankan kalau dirinya sepertidipersiapkan sebagai pintu gerbang khasanah antikorupsi dan pen-cerahan konstitusi yang segar namun kerap mengagetkan. Ia biblio-grafi yang selalu merasa setengah kosong, namun Indonesia yangoptimis bisa mendapatkannya sebagai si setengah penuh.

Bilamana ada hubungan energi antara hari lahir Denny Indra-yana dengan hari mendaratnya Apollo 17 di bulan, sebagaimanadisebutkan di muka, maka itu soal gravitasi. Denny di antara rekan-rekannya seaktivitas, seperti orang yang paling telat dalam ’kancahberpikir kritis’ dan apalagi menulis. Kegemarannya hanya menjadiketua panitia, orang yang paling depan dalam hal teknis. Namunketika kesadaran kritis mencapai batas atmosfirnya, Denny melesatseperti pesawat luar angkasa yang telah melepaskan tangki bahanbakarnya yang pertama. Darinya muncul berbagai pemikiran kon-troversial namun relevan dengan situasi masa kini dan masa depanIndonesia. Tidak ketinggalan, ia termasuk jajaran doktor termuda.Tulisannya yang telah mencapai jumlah 300 lebih senantiasa ikutmenyengat ruang baca kita sehari-hari.

Banyak pihak yang meminta Denny Indrayana untuk sopan,mengurangi kekurangajarannya dan lebih lunak ketika membom-bardir berbagai situasi dan institusi. Tapi ia sudah mantap di luarorbit. Ia dengan sadar melatih keterampilan untuk tak mudahdisedot gravitasi dinamika budaya, hukum dan politik Indonesia,yang sering menjinakkan terutama atas dasar etika para intelek-tualnya menjadi intelektual sirkus. Denny tidak gentar pada pecut,tidak tunduk pada kursi. Ia bisa dijadikan contoh: seekor singa yangbukan tontonan.

Kini agenda hariannya yang paling rutin adalah mengajarHukum Tata Negara, tetap menulis dan menjadi narasumber ber-bagai media, berbicara di berbagai forum lokal, nasional dan inter-nasional, serta masih memimpin Pusat Kajian Anti (PuKAT) KorupsiFakultas Hukum UGM.

Catatan Sahabat,Peri Umar Farouk

inlawnesia: R&D for Indonesian legal Logic