near drowning
DESCRIPTION
nearTRANSCRIPT
Hampir Tenggelam(Near Drowning)
ABSTRAK
Tenggelam merupakan kasus gawat darurat dan memerlukan pertolongan cepat di tempat kejadian, kemudian dilanjutkan dengan perawatan secara intensif. Angka kejadian tenggelam di Indonesia belum ada data yang pasti, namun diperkirakan tinggi. Pada prinsipnya, tata laksana kasus hampir tenggelam adalah mengatasi gangguan oksigenisasi, ventilasi, sirkulasi, keseimbangan asam basa, dan mencegah kerusakan sistem saraf pusat yang lanjut.
PENDAHULUAN
Awalnya, kasus tenggelam (immersion/drowning) dan hampir tenggelam
(submersion/near drowning) dianggap sama dengan keadaan tenggelam (drowning). Akibat
terpenting peristiwa tenggelam adalah/hampir tenggelam adalah hipoksia, sehingga oksigenisasi,
ventilasi, dan perfusi harus dipulihkan secepat mungkin. Hal ini memerlukan tindakan resusitasi
jantung paru dan layanan kegawatdaruratan medis. Terapi resusitasi inisiasi di tempat kejadian
sebelum sampai di rumah sakit dilanjutkan respons cepat dan tatalaksana agresif tim ruang gawat
darurat dan ruang intesif rumah sakit mereduksi mortalitas karena gangguan kardiorespiratori
akibat tenggelam. Kerusakan neurologis karena hipoksemia dan iskemia menjadi penyebab
mortalitas dan morbiditas jangka panjang.
Angka kejadian tenggelam di Indonesia yang tepat belum dan pasti belum ada, akan
tetapi mengingat tanah air kita terdiri dari ribuan pulau dengan sungai-sungai yang besar, angka
kejadian tenggelam pasti besar. Kasus-kasus hampir tenggelam pada anak umumnya terjadi di
kolam renang di perumahan. Pearn dan Nixon mendapatkan bahwa 74% lokasi kejadian adalah
kolam renang pribadi di perumahan, tempat lainnya adalah bak kamar mandi, saluran air,
empang, danau, laut, dan teluk. Kasus hampir tenggelam di luar rumah lebih banyak terjadi pada
laki-laki daripada perempuan, yaitu 3:1 sampai 10:1. Model melaporkan bahwa kelompok usia
terbesar yang mengalami peristiwa tenggelam adalah usia 1-4 tahun dan 10-19 tahun.
Tenggelam (drowning) adalah kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam setelah
peristiwa tenggelam di air, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah korban masih
dalam keadaan hidup lebih dari 24 jam setelah setelah peristiwa tenggelam di air. Jadi,
tenggelam (drowning) merupakan suatu keadaan fatal, sedangkan hampir tenggelam (near
drowning) mungkin dapat berakibat fatal. Sedangkan WHO mendefinisikan sebagai proses
gangguan pernapasan akibat tenggelam/hampir tenggelam dalam cairan. Berdasarkan temperatur
air, klasifikasi tenggelam dibagi menjadi tiga:
1. Tenggelam di air hangat (warm water drowning),bila temperature air ≥ 20°C
2. Tenggelam di air dingin (cold water drowning), bila temperatur air 5-20°C
3. Tenggelam di air sangat dingin (very cold water drowning), bila temperatur air < 5°C
Berdasarkan osmolaritas air, klasifikasi tenggelam dibagi menjadi dua:
1. Tenggelam di air tawar
2. Tenggelam di air laut
Kejadian tenggelam atau submersed accident dapat memberikan dua hasil:
immersion syndrome, yang merupakan kematian mendadak setelah kontak dengan air dingin,
submersed injury, yaitu dapat menyebabkan kematian 24 jam setelah kejadian tenggelam,
survival, atau pulihnya keadaan setelah kejadian tenggelam.
Keselamatan seseorang yang tenggelam dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
adalah ketahan fisik, kemampuan berenang, keberadaan bantuan alat pelampung, jarak untuk
mencapai tempat yang aman, suhu air, usia, dan lain-lain. Serangkaian proses akan terjadi
sebagai berikut: pertama terjadi suatu periode panik dan usaha yang hebat dengan berhenti
bernapas selama 1- 2 menit, selajutnya terjadi refleks menelan sejumlah air diikuti
laringospasme, hipoksia menyebabkan apnea, penurunan kesadaran, lalu relaksasi laring dan air
masuk ke dalam paru-paru dalam jumlah lebih banyak akhirnya menjadi asfiksia dan kematian.
Pada sebagian besar kasus, terjadi aspirasi air yang banyak ke dalam paru, tetapi pada
lebih kurang 10% korban tetap terjadi laringospasme, dan terjadi apa yang disebut dry drowning.
Secara teoritis, berdasarkan tonisitas cairan yang masuk ke ruang alveolus, kasus tenggelam
dibedakan menjadi tenggelam di air laut dan di air tawar. Selain itu ada juga pembagian kasus
tenggelam berdasarkan temperatur airnya. Beberapa teori menyatakan bahwa pada hipotermia
atau pada keadaan tenggelam di air dingin akan terjadi refleks “diving” pada anak. Refleks
tersebut terdiri dari bradikardi, penurunan atau penghentian laju pernapasan, dan perubahan
dramatis pada sirkulasi, sehingga terjadi redistribusi darah ke organ-organ seperti jantung, paru
dan otak. Patofisiologi hampir tenggelam berhubungan erat dengan hipoksemia multiorgan.
Pada korban tenggelam di air tawar, terjadi perpindahan (absorpsi) air secara besar-
besaran dari rongga alveolus ke dalam pembuluh darah paru. Hal ini dikarenakan tekanan
osmotic di dalam pembuluh darah paru lebih tinggi daripada tekanan osmotik di dalam alveolus.
Perpindahan tersebut akan menyebabkan hemodilusi. Air akan memasuki eritrosit, sehingga
eritrosit mengalami lisis. Eritrosit yang mengalami lisis ini akan melepaskan ion kalium ke
dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan peningkatan kadar kalium di dalam plasma
(hiperkalemi). Keadaan hiperkalemi ditambah dengan beban sirkulasi yang meningkat akibat
penyerapan air dari alveolus dapat mengakibatkan fibrilasi ventrikel. Apabila aspirasi air cukup
banyak, akan timbul hemodilusi yang hebat. Keadaan ini akan menyebabkan curah jantung dan
aliran balik vena bertambah, sehingga mengakibatkan edema umum jaringan termasuk paru.
Aspirasi air tawar hipotonik dapat mengurangi konsentrasi surfaktan sehingga dapat
menyebabkan instabilitas alveolar sehingga terjadi kolaps paru.
Pada inhalasi air laut, tekanan osmotik cairan di dalam alveolus lebih besar daripada di
dalam pembuluh darah. Oleh karena itu, plasma darah akan tertarik ke dalam alveolus. Proses ini
dapat mengakibatkan berkurangnya volume intravaskular, sehingga terjadi hipovolemia dan
hemokonsentrasi. Hipovolemia mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan darah dengan laju
nadi yang cepat, dan akhirnya timbul kematian akibat anoksia dan insufiensi jantung dalam 3
menit. Keluarnya cairan ke dalam alveolus juga akan mengurangi konsentrasi surfaktan.
Selanjutnya, akan terjadi kerusakan alveoli dan sistem kapiler, sehingga terjadi penurunan
kapasitas residu fungsional dan edema paru.
Akibat lebih lanjut lagi, dapat terjadi atelektasis karena peningkatan tekanan permukaan
alveolar. Bila korban mengalami aspirasi atau edema paru, dapat terjadi acute respiratory
distress syndrome (ARDS). Saluran respiratorik yang tersumbat oleh debris di dalam air akan
menyebabkan peningkatan tahanan saluran respiratorik dan memicu pelepasan mediator-
mediator inflamasi, sehingga terjadi vasokonstriksi yang menyebabkan proses pertukaran gas
menjadi terhambat.
Sebagian besar korban tenggelam mengalami hipovolemia akibat peningkatan
permeabilitas kapiler yang disebabkan oleh hipoksia. Hipovolemia selanjutnya akan
mengakibatkan hipotensi. Keadaan hipoksia ini juga akan mempengaruhi fungsi miokardium,
sehingga dapat terjadi disritmia ventrikel dan asistol. Selain itu, hipoksemia juga dapat
menyebabkan kerusakan miokardium dan penurunan curah jantung. Hipertensi pulmoner dapat
terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi. Kerusakan pada susunan saraf pusat berhubungan
erat dengan lamanya hipoksemia, dan pasien dapat jatuh dalam keadaan tidak sadar. Efek lain
dari hipoksia diantaranya adalah disseminated intravascular coagulation (DIC), insufisiensi
ginjal dan hati, serta asidosis metabolik.
Pada penelitian kasus-kasus hampir tenggelam dilaporkan terdapat kelainan elektrolit
yang ringan. Perubahan yang mencolok dan penting adalah perubahan gas darah dan asam-basa
akibat insufisiensi respirasi, diantaranya adalah hipoksemia, hiperkapnia, serta kombinasi
asidosis metabolik dan respiratorik. Kelainan yang lebih banyak terjadi adalah hipoksemia.
Keadaan yang segera terjadi setelah tenggelam dalam air adalah hipoventilasi dan kekurangan
oksigen. Pada percobaan binatang, tekanan parsial O2 arterial (PaO2) menurun drastis menjadi 40
mmHg dalam satu menit pertama, menjadi 10 mmHg setelah 3 menit, dan 4 mmHg setelah 5
menit. Disfungsi serebri dapat terjadi akibat kerusakan hipoksia awal, atau dapat juga karena
kerusakan progresif susunan saraf pusat yang merupakan akibat dari hipoperfusi serebri pasca
resusitasi. Hipoperfusi serebri paska resusitasi terjadi akibat berbagai mekanisme, antara lain
yaitu peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri sitotoksik, spasme anteriolar serebri yang
disebabkan masuknya kalsium ke dalam otot polos pembuluh darah, dan radikal bebas yang
dibawa oksigen.
Tata laksana kasus hampir tenggelam dengan mengatasi gangguan oksigenisasi, ventilasi,
sirkulasi, keseimbangan asam basa, dan mencegah kerusakan sistim saraf pusat yang lanjut.
Segera setelah korban ditolong, harus dilakukan resusitasi jantung paru. Oksigen harus diberikan
secepatnya dan dilanjutkan dalam perjalanan ke rumah sakit. Setiap menit yang dilalui tanpa
pernapasan dan sirkulasi yang adekuat menurunkan secara dramatis kesempatan luaran yang
baik. Semua korban hampir tenggelam harus dirawat di rumah sakit, bagaimanapun kondisi
pasien. Pasien yang tidak bergejala harus diobservasi, minimal selama 24 jam di rumah sakit.
Kematian yang lambat dapat terjadi akibat atelektasis yang luas, edema paru akut, dan
hipoksemia setelah pasien meninggalkan ruang gawat darurat. Jalan napas harus bersih dari
muntahan dan benda asing. Abdominal thrusts tidak dianjurkan untuk mengeluarkan cairan dari
paru. Bila diduga adanya benda asing, maneuver chest compression atau back blows lebih
dianjurkan. Bila pasien dapat bernapas spontan, berikan oksigen 100% yang dilembabkan,
dengan menggunakan masker. Jika korban tidak bernapas, ventilasi darurat segera dilakukan,
setelah membersihkan jalan napas. Pemberian oksigen selanjutnya disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan analisis gas darah arteri.
Spina servikal dijaga bila terdapat kemungkinan cedera tulang leher. Leher diposisikan
dalam posisi netral. Pemantauan tanda vital, penilaian kardiopulmonal dan neurologis berulang,
x-ray dada, dan penilaian oksigenisasi melalui AGD atau oksimetri perifer harus dilakukan pada
semua korban tenggelam. Pemeriksaan lainnya bergantung kondisi klinis dan tempat kejadian.
Pada korban yang asimptomatik atau gejala minimal, hampir setengahnya perburukan atau
hipoksemia pada 4-8 jam setelah peristiwa tenggelam. Pemantauan suhu inti tubuh merupakan
hal penting, pengukuran terbaik dilakukan pada membrana timpani karena berkorelasi kuat
dengan suhu otak. Alat untuk menghangatkan penderita dapat digunakan selimut penghangat
atau radiant warmer.
Gejala pernapasan atau edema paru lambat yang ringan sampai berat dapat terjadi meski
awalnya penderita menunjukkan pemeriksaan fisik dan x-ray dada normal. Sebaliknya,
kebanyakan anak dengan gejala minimal saat ke UGD dapat menjadi asimptomatik dalam 18 jam
setelah tenggelam. X-ray dada biasanya didapatkan gambaran edema antar sel atau edema
alveolar. Sebagian besar menunjukkan adanya infiltrate nodular yang berkonfluensi pada 1/3
medial lapangan paru. Menurut Model dan kawan-kawan, 70% kasus mengalami asidosis
metabolik.
Jalan napas harus dibersihkan dari kotoran dan dijamin tetap terbuka. Pada korban
hampir tenggelam yang banyak menelan air, risiko aspirasi muntahan sangat besar. Oleh karena
itu, lambung harus cepat dikosongkan dengan memakai pipa nasogastrik. Pengobatan selanjutnya
bergantung pada hasil evaluasi PaO2, PaCO2, dan pH darah. PaCO2 lebih dari 60 mmHg
merupakan indikasi untuk melakukan bantuan pernapasan. Bila terjadi kegagalan oksigenisasi
meskipun telah diberikan oksigen, perlu dilakukan intubasi endotrakeal. Inisial positive end
expiratory pressure (PEEP) dimulai sekitar 5 cm H2O, dapat dinaikkan bertahap hingga 10-15
cm H2O bila oksigenisasi masih belum adekuat (target SaO2>90%).
Pada anak korban tenggelam menunjukkan irama jantung asistol 55%, ventrikel takikardi
(VT) atau ventrikel fibrilasi (VF) 29% dan bradikardi 16%. Defibrilasi elektrik atau kardioversi
diperlukan pada korban dengan VF atau VT tanpa nadi. Obat obatan kardioaktif mungkin
diperlukan untuk memperbaiki ritme jantung. Oksigenisasai dan ventilasi yang adekuat
merupakan syarat memperbaiki fungsi miokard. Resusitasi cairan dan inotropik seringkali
dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi jantung dan perfusi perifer, namun pada keadaan disfungsi
miokard pemberian cairan yang agresif mungkin dapat memperburuk edema paru. Infus
epinefrin (dosis 0,05-1μg/kg/menit) biasanya merupakan pilihan utama pada penderita dengan
disfungsi jantung atau hipotensi setelah kejadian hipoksik iskemik, dobutamin (dosis
2-20μg/kg/menit) dapat memperbaiki cardiac output pada penderita normotensi. Pengobatan lain
yang perlu dipertimbangkan adalah pemberian bronkodilator dan antibiotik. Jika pada
pemeriksaan fisik didapatkan bronkospasme, pemberian bronkodilator seperti aminofilin
intravena atau nebulisasi agonis-β2 akan memberikan hasil yang baik.
Pemberian antibiotik pada saat awal tidak dianjurkan, meskipun seringkali air
yangdiaspirasi mengalami kontaminasi. Oleh karena itu perlu pemeriksaan kultur darah,
kultursputum, jumlah lekosit, dan analisis tanda vital. Pemilihan antibiotik dilakukan
berdasarkan kultur darah atau sputum. Penggunaan obat steroid tidak dianjurkan karena tidak ada
bukti baik secara klinis maupun eksperimental yang menunjukkan bahwa penggunaannya
bermanfaat.
Penentuan prognosis yang terbaik pada korban hampir tenggelam adalah dengan
melakukan evaluasi awal status hemodinamiknya. Sembilan puluh dua persen korban hampir
tenggelam akan pulih seperti semula. Mereka yang datang dengan pemeriksaan awal nadi tidak
teraba atau dalam keadaan koma, biasanya meninggal atau mengalami kerusakan otak yang
parah. Hasil yang buruk dihubungkan dengan adanya asistol, tenggelam > 15 menit, tidak
mendapat resusitasi di tempat kejadian, lama resusitasi > 30 menit, mendapat epinefrin, asidosis
metabolik, dan suhu inti tubuh rendah. Nilai pH < 7,1; Glagow Coma Scale (GCS) <5; pupil
yang terfiksasi dan berdilatasi saat masuk rumah sakit menandakan prognosis buruk, tetapi
bukan berarti indikasi kontra untuk melakukan resusitasi.
Apabila asidosis dan koma tetap berlangsung 4 jam setelah resusitasi, kemungkinan
untuk mempertahankan sistem neurologis seperti semula akan sulit. Anderson dkk.,
mendapatkan faktor prediktor hasil neurologis adalah pH ≤7,1;rasio PaO2/PAO2 ≤0,35 dan
anion ga p≥15 mEq, masing-masing nilai skor 1, bila skor ≥2, maka hasilnya buruk yaitu gejala
sisa permanen atau kematian. Bila setelah 24-48 jam terapi resusitasi yang adekuat tidak terdapat
perbaikan klinis, kemungkinan besar kematian otak atau kerusakan berat pada otak telah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasrullah M, Muazzam S. Drowning mortality in the United States, 1999-2006 J Community Health (2011) 36:69-75.
2. American Heart Association. Drowning. Circulation 2005;112:IV-133-IV-135.3. Numa AH, Hammer J, Newth C. Near-drowning and drowning. Saunders-Elsivier; 2006. 661-75.4. www.who.int/violence_injury_prevention. 5. http://emedicinemedscapecom/article/908677-overview6. Leroy p, Smismans A, Seute T. Invasive pulmonary and central nervous system aspergillosis after
near-drowning of a child: Case report and review of the literature. Pediatrics 2006. 118;e509.7. Anderson K, Roy T, Danzl D. Submersion incidents: a review of 39 cases and development of the
submersion outcome score Journal of Wilderness Medicine 1991: 2:27-36.8. Monttes J, Conn A. Near-drowning: an unusual case. Canad Anaesth Soc J 1980:27(2):172-174.