naspub tatalaksanan spastisitas pasca stroke

19
TINJAUAN PUSTAKA TATALAKSANA SPASTISITAS PASCA STROKE MANAGEMENT OF POST-STROKE SPASTICITY Fakhrurrazy*, Dina Aulia Fakhrina* *Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin ABSTRAK Spastisitas pasca stroke (SPS) adalah komplikasi setelah stroke yang dapat mengganggu pemulihan fungsional, menyebabkan rasa sakit, dan mengakibatkan komplikasi sekunder seperti kontraktur sendi dan bisul tekanan. Berbagai teknik untuk tatalaksana spastisitas telah diusulkan, termasuk positioning, cryotherapy, splinting, casting, dan stimulasi listrik. Manajemen medis melalui agen farmakologis, bagaimanapun, telah dilaksanakan dan lebih ekstensif diteliti, seperti melalui mekanisme kemodenervasi, neurolisis, medikasi oral dan intratekal. Sedangkan operasi yang dapat dilakukan pada SPS adalah operasi ortopedi dan rhizotomi dorsal selektif. Tujuan tulisan ini adalah untuk meninjau tatalaksana baik yang melibatkan agen farmakologi maupun nonfarmakologi saat ini yang dimanfaatkan dalam pengelolaan spastisitas pasca stroke. Kata kunci: spastisitas pasca stroke, terapi fisik, kemodenervasi, neurolisis ABSTRACT Post-stroke spasticity after a stroke is a complication that can disrupt functional recovery, cause pain and lead to secondary complications such as joint contractures and pressure ulcers. Various techniques have been proposed for the treatment of spasticity, including positioning, cryotherapy, splinting, casting, and electrical stimulation. Medical management through pharmacological agents, however, have been implemented and more extensively researched, such as through mechanisms kemodenervasi, neurolisis, oral

Upload: dinafakhrina

Post on 29-Jan-2016

238 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

-

TRANSCRIPT

Page 1: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

TINJAUAN PUSTAKA

TATALAKSANA SPASTISITAS PASCA STROKEMANAGEMENT OF POST-STROKE SPASTICITY

Fakhrurrazy*, Dina Aulia Fakhrina**Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat/RSUD

Ulin Banjarmasin

ABSTRAK

Spastisitas pasca stroke (SPS) adalah komplikasi setelah stroke yang dapat mengganggu pemulihan fungsional, menyebabkan rasa sakit, dan mengakibatkan komplikasi sekunder seperti kontraktur sendi dan bisul tekanan. Berbagai teknik untuk tatalaksana spastisitas telah diusulkan, termasuk positioning, cryotherapy, splinting, casting, dan stimulasi listrik. Manajemen medis melalui agen farmakologis, bagaimanapun, telah dilaksanakan dan lebih ekstensif diteliti, seperti melalui mekanisme kemodenervasi, neurolisis, medikasi oral dan intratekal. Sedangkan operasi yang dapat dilakukan pada SPS adalah operasi ortopedi dan rhizotomi dorsal selektif. Tujuan tulisan ini adalah untuk meninjau tatalaksana baik yang melibatkan agen farmakologi maupun nonfarmakologi saat ini yang dimanfaatkan dalam pengelolaan spastisitas pasca stroke.

Kata kunci: spastisitas pasca stroke, terapi fisik, kemodenervasi, neurolisis

ABSTRACTPost-stroke spasticity after a stroke is a complication that can disrupt functional recovery, cause pain and lead to secondary complications such as joint contractures and pressure ulcers. Various techniques have been proposed for the treatment of spasticity, including positioning, cryotherapy, splinting, casting, and electrical stimulation. Medical management through pharmacological agents, however, have been implemented and more extensively researched, such as through mechanisms kemodenervasi, neurolisis, oral medications, and intrathecal. Meanwhile surgery can be performed on SPS are orthopedic surgery and selective dorsal rhizotomi. The purpose is to review the management of pharmacological and nonpharmacological agents currently used in the management of post-stroke spasticity.

Kerwords: post-stroke spasticity, physical therapy, chemodenervation, neurolytic

Korespondensi: [email protected]

Page 2: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

PENDAHULUAN

Spastisitas adalah gangguan motorik yang ditandai dengan peningkatan refleks regang tonik (tonus otot) yang terkait dengan peregangan dengan sentakan tendon berlebihan, yang dihasilkan dari hiper-rangsangan refleks regang, sebagai salah satu komponen upper motor neuron (UMN) syndrome.1

Penelitian telah menunjukkan bahwa spastisitas mempengaruhi antara 37% dan 78% dari orang dengan multipel sklerosis,2,3 40% dari mereka dengan spinal cord injury (SCI),4

sekitar 35% dari mereka dengan stroke,5,6 lebih dari 90% dengan cerebral palsy (CP),7 dan sekitar 50% dari pasien dengan traumatic brain injury (TBI), dengan rating yang lebih tinggi pada pasien dengan lesi otak tengah dan pons.8

Spastisitas pasca stroke (SPS) adalah komplikasi setelah stroke yang dapat mengganggu pemulihan fungsional, menyebabkan rasa sakit, dan mengakibatkan komplikasi sekunder seperti kontraktur sendi dan bisul tekanan.9 Walaupun prevalensi yang tepat dari spastisitas tidak diketahui, ada kemungkinan bahwa hal itu mempengaruhi lebih dari setengah juta orang di Amerika Serikat saja, dan lebih dari 12 juta orang seluruh dunia. Setelah stroke, sekitar 65% individu mengalami spastisitas.10 Telah dilaporkan bahwa pada pasien stroke pertama kali, spastisitas muncul 19% dan 39% pada 3 dan 12 bulan berturut-turut setelah stroke. 9

Berbagai teknik untuk pengelolaan spastisitas telah diusulkan, termasuk positioning, cryotherapy, splinting, casting, stimulasi listrik, dan edukasi tentang faktor penyebab, yang sebagian besar memiliki sedikit bukti untuk mendukung aplikasinya. Manajemen medis melalui agen farmakologis, bagaimanapun, telah dilaksanakan dan lebih

ekstensif diteliti. Tujuan tulisan ini adalah untuk meninjau tatalaksana baik yang melibatkan agen farmakologi maupun nonfarmakologi saat ini yang dimanfaatkan dalam pengelolaan spastisitas pasca stroke.

PATOFISIOLOGI SPASTISITAS

Rhines dan Magoun mengatakan timbulnya spastisitas merupakan akibat ketidakseimbangan antara pusat fasilitasi dan pusat inhibisi di otak bagian tengah serta formasio retikularis batang otak, dengan konsekuensi terjadinya ketidakseimbangan antara alfa dengan gama motor neuron.11,12

Lengkung refleks regang adalah sirkuit neural paling dasar yang berperan terhadap spastisitas. Lengkung refleks regang ini terdiri dari serabut otot kontraktil, serabut aferen sensorik, dan motorneuron.13

Badan sel neuron sensorik (lengan aferen dari lengkung refleks regang), terdapat di ganglion radiks dorsal medula spinalis. Lengan aferen neuron sensorik berasal dari reseptor spesifik organ (muscle spindle) dalam otot. Muscle spindle sensitif terhadap perubahan fisik, regangan otot akan mencetuskan impuls pada muscle spindle, dimana impuls ini akan ditransmisikan lewat neuron sensorik ke substansia grisea medula spinalis. Di sini neuron sensorik bersinaps dengan motor neuron menuju cabang eferen dari lengkung reflek regang. Badan sel motorneuron berada di kornu anterior medula spinalis, dan cabang eferen keluar melalui radiks spinalis anterior untuk mensarafi serabut otot kontraktil. Transmisi impuls ini mengakibatkan otot berkontraksi. Pada saat otot agonis berkontraksi untuk merespon adanya regangan, otot antagonis harus relaksasi. Relaksasi ini terjadi karena adanya neuron inhibisi pada medula spinalis.14

Page 3: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

Motorneuron alfa dan otot termasuk the final common pathway dalam mengekspresikan fungsi motorik, termasuk spastisitas. Sejumlah sinaps yang memodulasi eksitasi dan inhibisi berpengaruh terhadap the final common pathway. Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan hipereksitabilitas pada lengkung refleks regang, dimana hal ini merupakan dasar terjadinya spastisitas.14

Akibat hilangnya inhibisi pada motoneuron menyebabkan impuls dari motoneuron yang tiba dalam ujung terminal membuat Ca2+ memasuki ujung ini dan menyebabkan eksositosis yaitu pelepasan asetilkolin dari sinapstic vesicle ke celah sinaps. Asetilkolin berdifusi ke reseptor asetilkolin nikotinik di motor end plate. Pengikatan asetilkolin ke reseptor ini meningkatkan konduktans Na+ dan K+ membran dan aliran masuk Na+ menghasilkan potensial depolarisasi. Keadaan ini menyebabkan depolarisasi membran otot yang berdekatan sampai tingkat pencetusan, yang akhirnya terjadi kontraksi otot ekstrafusal.15

Pada otot terjadi pengikatan ATP sehingga kepala miosin dilepaskan dari aktin. Kepala miosin menghidrolisis ATP menjadi ADP dan Pi, dan menahan kedua produk reaksi tersebut agar tetap terikat. Pemecahan ATP menyebabkan suatu tegangan alosterik kepala miosin. Kemudian kepala miosin membentuk suatu jembatan baru ke suatu molekul aktin yang bersebelahan. Aktin mengurus pelepasan Pi dan tak lama setelah itu juga pelepasan ADP. Dengan demikian tegangan alosterik kepala miosin terlaksana dengan cara perubahan konformasi yang bekerja. Ini mengakibatkan terjadinya kontraksi otot ekstrafusal. Hilangnya inhibisi yang terus menerus menyebabkan kontraksi otot ekstrafusal menjadi terus menerus.15

PENILAIAN SPASTISITASUntuk menilai pasien spastisitas perlu

ditentukan derajat spastisitas. Ada beberapa skala yang dapat dipakai, skala yang banyak digunakan dan reabilitasnya cukup baik adalah Modified Ashworth Scale.16

Modified Ashworth Scale:16

0. Tidak ada kenaikan dalam tonus otot (normal)

1. Kenaikan ringan dalam tonus otot. Muncul ketika dipegang dan dilepas atau dengan tahanan minimal pada akhir dari ROM ketika bagian yang terkena digerakkan dalam gerakan fleksi atau ekstensi (sangat ringan).

1+. Kenaikan ringan dalam tonus otot, muncul ketika dipegang diikuti dengan tahanan minimal pada sisa (<50%) dari ROM (ringan).

2 Ditandai peningkatan tonus otot pada sebagian besar ROM, tetapi bagian yang sakit dengan mudah digerakkan.

3 Peningkatan yang cukup pada tonus otot, gerakan pasif sulit.

4 Bagian yang terkena kaku dalam keadaan fleksi atau ekstensi.

TATALAKSANA SPASTISITAS

1. Terapi Fisik dan Okupasi

Terapi ini ditargetkan untuk mengurangi tonus otot; meningkatkan ROM, mobilitas, kenyamanan, dan kekuatan; serta meningkatkan kemandirian dan kinerja aktivitas hidup sehari-hari.17

Sebelum mempertimbangkan agen farmakologis, andalan manajemen spastisitas tergantung pada positioning 24 jam dan pertimbangan postur badan, kepala dan tungkai.18

Page 4: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

Casting, metode peregangan dengan imobilisasi anggota tubuh dalam posisi peregangan, menginduksi peregangan otot berkepanjangan. Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan panjang otot, meningkatkan jangkauan gerak sendi dan mengurangi kontraktur, nyeri dan spastisitas.19

Ortotik sering digunakan dalam melengkapi sesi fisioterapi. Kelebihan utama dari ortotik adalah durasi efektivitasnya, karena dapat diletakkan dan dibiarkan selama beberapa jam tanpa kehadiran seorang fisioterapis atau perawat.20

Gambar 1. Dynamic orthosis20

Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) adalah pengobatan fisik lain dengan pemberian rangsangan listrik pada daerah spastik, dermatom spinal atau saraf peroneal. Teknik ini telah terbukti mengurangi spastisitas pada otot antagonis. Efeknya tampaknya terkait dengan produksi β-endorfin, yang dapat menurunkan eksitabilitas motor neuron. Hal ini juga dapat mengurangi input nosiseptif, dengan mengatur transmisi impuls nyeri. Selain itu, TENS dapat memfasilitasi reorganisasi sinaptik kortikal dan output motorik dengan meningkatkan masukan sensorik, karena stimulasi serat A-β berdiameter besar. Metode stimulasi lain,

seperti USG dan stimulasi langsung transkranial, yang sampai sekarang hanya digunakan dalam penelitian, telah menunjukkan efek positif yang menjanjikan terhadap spastisitas.21,22,23

2. Kemodenervasi dan NeurolisisKemodenervasi yang mengganggu sinyal

saraf dicapai yang dengan penggunaan toksin botulinum (BTX); atau neurolisis, yang menghancurkan jaringan saraf, biasanya digunakan untuk mengobati spastisitas fokal dan sering digunakan sebelum, sesudah, atau dalam kombinasi dengan terapi modalitas lainnya, seperti terapi fisik atau serial casting. Agen disuntikkan langsung ke dalam otot (titik blok motorik) atau saraf (blok saraf), sebaiknya sedekat mungkin dengan motor end plates.24,25,26

a) Toksin BotulinumSebelum munculnya

penggunaan BTX dalam pengobatan spastisitas, alkohol atau fenol sering digunakan. Hari ini, bagaimanapun, alkohol jarang digunakan untuk pengobatan spastisitas, dan fenol biasanya dicadangkan untuk digunakan dalam kasus-kasus yang membutuhkan injeksi otot besar atau sejumlah besar otot. Fenol dan BTX juga dapat dikombinasikan untuk mencapai efek maksimum pada otot khusus yang ditargetkan.27

BTX tipe A (BOTOX) mempengaruhi sambungan neuromuskuler dengan mengikat, internalisasi, dan menghambat pelepasan asetilkolin. Ini harus memasukkan ujung saraf untuk mengerahkan efek chemodenervating-nya. Setelah di dalam sel terminal saraf kolinergik, BTX-A menghambat

Page 5: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

docking dan fusi vesikel asetilkolin pada membran prasinaps.28,29

BTX tipe A tidak memiliki persetujuan FDA untuk pengobatan spastisitas. Namun, telah dipelajari dengan baik dalam pengobatan spastisitas dari semua penyebab, terutama pada cerebral palsy dan spastisitas pasca-stroke. Efek klinis biasanya terlihat dalam waktu 24 hingga 72 jam. Efek melemah maksimumnya hampir selalu terlihat pada 2 minggu setelah injeksi. Durasi efek biasanya 12 minggu, tetapi mungkin lebih lama (kadang-kadang sampai 16 minggu atau lebih) dengan terapi ajuvan seperti peregangan, casting, atau terapi fisik lainnya. Secara bertahap, fungsi otot kembali dengan regenerasi atau sprouting, yang terjadi ketika saraf diblokir membentuk sambungan neuromuskuler baru. BTX-A tergantung dosis dan reversibel sekunder untuk proses regenerasi. Setelah dimulai, pengobatan dengan BTX-A terus dievaluasi. Tindak lanjut sangat penting untuk mengukur respon terhadap terapi BTX-A serta seleksi fine tune otot dan dosisnya.30

Efek samping utama adalah kelemahan berlebih pada otot yang disuntik. Penyebaran di luar otot yang disuntik tidak terjadi, meskipun kehati-hatian dalam menempatkan suntikan di otot perut meminimalkan kemungkinan ini. BTX-A harus digunakan dengan sangat hati-hati pada orang dengan penyakit neuromuskuler seperti myasthenia gravis atau amyotrophic lateral sclerosis atau pada mereka yang memakai antibiotik aminoglikosida.

Meskipun pembentukan antibodi tampaknya langka dengan penggunaan BTX-A dalam pengobatan spastisitas, dianjurkan, bila mungkin, untuk menunggu setidaknya 3 bulan antara suntikan dan menggunakan dosis minimum yang efektif.31

BTX-B atau Myobloc belum dievaluasi secara memadai dalam pengobatan spastisitas. Satu-satunya randomized controlled trial yang telah menilai penggunaan BTX-B pada spastisitas menemukan bahwa 10.000 unit tidak mengurangi tonus otot, dan mulut kering adalah efek samping yang umum pada pasien yang diobati dengan BTX-B.30

b) FenolFenol menyebabkan kerusakan

jaringan nonselektif di daerah suntikan, termasuk koagulasi saraf dan nekrosis otot. Sebagaimana disebutkan, fenol biasanya digunakan untuk merawat otot-otot besar, seperti yang dari paha anterior. Durasi efek fenol bisa sangat bervariasi, dari kurang dari 1 bulan sampai lebih dari 2 tahun. Ada beberapa efek samping potensial dikaitkan dengan penggunaan fenol, seperti disestesia. Kerusakan jaringan nonselektif otot atau saraf yang dapat menyebabkan nyeri sementara atau permanen pada otot dekat tempat suntikan.32,33

3. Pengobatan Medikasi Oral dan Intratekal

Berbagai obat telah tersedia untuk pengobatan spastisitas. Ketika spastisitasnya fokal bukan difus, sedasi dan kebingungan terkait dengan penggunaan obat-obatan oral dapat membatasi efektivitas mereka.20

Page 6: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

a) DantroleneDantrolene (Dantrium) memiliki

persetujuan FDA untuk digunakan dalam mengendalikan manifestasi dari spastisitas kronis sekunder untuk gangguan neuron motorik atas pada anak-anak dan orang dewasa. Mekanisme kerja dari dantrolen adalah dengan mengurangi pelepasan kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma dari otot. Obat ini, yang memiliki waktu paruh 8,7 jam, mempengaruhi serat otot cepat dibandingkan terhadap serat otot lambat.34

Dosis awal dantrolen yang direkomendasikan untuk pengobatan spastisitas pada orang dewasa adalah 25 mg sehari selama 7 hari. Ini dapat ditingkatkan sampai 25 miligram 3 kali sehari selama 7 hari, kemudian 50 mg 3 kali sehari selama 7 hari dan kemudian 100 mg 3 kali sehari. Sebelum terapi dimulai tujuan terapeutik harus diidentifikasi dengan dosis meningkat yang sesuai. Terapi harus dihentikan jika manfaat tidak terlihat dalam waktu 45 hari. Dosis maksimum pada orang dewasa adalah 100 mg 4 kali sehari.34

Dosis pada anak-anak adalah 0,5 miligram / kilogram (mg / kg) sekali sehari selama 7 hari. Ini dapat ditingkatkan sampai 0,5 mg / kg 3 kali sehari selama 7 hari, kemudian 1 mg / kg 3 kali sehari selama 7 hari, dan kemudian 2 mg / kg 3 kali sehari. Dosis yang lebih tinggi dari 100 mg 4 kali sehari tidak boleh digunakan. Seperti pada orang dewasa, tujuan terapeutik harus diidentifikasi sebelum terapi dimulai dan dosis harus ditingkatkan dengan sesuai. Terapi harus dihentikan jika manfaat tidak terlihat dalam waktu 45 hari. Meskipun efek samping

termasuk rasa kantuk, pusing, kelemahan, malaise, kelelahan, dan diare, dantrolen kurang cenderung menyebabkan masalah dengan kebingungan atau kognisi daripada benzodiazepin dan baclofen oral. Karena potensi dantrolen menyebabkan hepatotoksisitas, pemantauan rutin fungsi hati diperlukan dengan penggunaan obat ini. Dosis awal khas dantrolen adalah 25 mg melalui mulut, setiap hari, dengan titrasi untuk efikasi. Tidak ada perubahan spesifik yang direkomendasikan untuk rejimen dosis pada pasien geriatri.35

b) BenzodiazepinBenzodiazepin tidak memiliki

persetujuan FDA untuk pengobatan spastisitas, meskipun banyak digunakan untuk kondisi ini. Diazepam bertindak dengan memfasilitasi aksi postsynaptic gamma-aminobutyric acid (GABA), meskipun tidak memiliki efek GABA mimetik langsung. Waktu paruh diazepam adalah 27-37 jam. Efek samping yang umum termasuk sedasi, ataksia, dan kelelahan. Dosis efektif khas diazepam untuk pengobatan spastisitas adalah 2 sampai 10 mg, tiga atau empat kali per hari. Dalam populasi geriatrik, dosis awal yang khas adalah 2,0-2,5 mg sekali per hari. Clonazepam adalah obat sedatif-ansiolitik, yang menurunkan kejang nokturnal, hiperrefleksia, dan tahanan terhadap ROM. Efek samping termasuk kelemahan, hipotensi, ataksia, diskoordinasi, sedasi, depresi, dan gangguan memori. Penggunaan jangka panjang juga dapat meningkatkan risiko kecanduan. Clonazepam biasanya diberikan

Page 7: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

menjelang tidur malam, dalam dosis 0,5 hingga 1 mg.36

c) ImidazolineImidazolines. Clonidine

(Catapres tablet atau transdermal patch) dan Tizanidine (Zanaflex) adalah imidazoline yang mengurangi spastisitas melalui aksinya pada sistem saraf pusat (SSP). Obat ini biasanya kurang menyebabkan kelemahan otot dibanding benzodiazepin, yang mungkin bermakna ketika penting bagi pasien untuk mempertahankan kekuatan. Efek samping yang paling umum dari obat ini adalah sedasi, dan juga dapat menyebabkan hipotensi, mulut kering, pusing, gangguan ginjal, dan psikosis. Tizanidine disetujui oleh FDA untuk pengobatan spastisitas. Tizanidine memiliki efek puncak 1-2 jam dan durasi kerja 3-6 jam. Dosis awal Tizanidine yang biasa adalah 1 sampai 2 mg oral, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan 1- 2 mg. Obat dapat diulang dalam interval 6-8 jam ketika diperlukan, sampai 3 dosis per 24 jam. Namun, dosis harian tidak boleh melebihi 36 mg. Keamanan dan kemanjuran Tizanidine belum ditentukan pada anak-anak. Tizanidine dapat menyebabkan hepatotoksisitas, dan pemantauan rutin fungsi hati diperlukan. Dantrolene dan Tizanidine biasanya tidak diresepkan bersama-sama karena mereka mungkin masing-masing menyebabkan hepatotoksisitas. Clonidine tidak membawa label FDA untuk pengobatan spastisitas. Dukungan untuk penggunaannya berasal dari hasil uji coba open-label dan pengalaman klinis. Waktu paruh clonidine oral adalah 12 sampai 16 jam. Dosis awal yang biasa clonidine

oral 0,1 mg dua kali sehari, dengan titrasi dari 0,2-0,6 mg dua kali sehari, untuk maksimum 2,4 mg per hari. Formulasi transdermal dari clonidine biasanya awalnya diberikan sebagai satu TTS-1 Patch (setara dengan 0,1 mg per 24 jam) per minggu, dengan titrasi hingga dua TTS-3 patch (setara dengan 0,6 mg per 24 jam) per minggu. Tidak ada rekomendasi dosis yang tersedia untuk pasien geriatri. Clonidine jauh lebih mungkin dibandingkan Tizanidine untuk menyebabkan hipotensi.37

d) BaklofenBaclofen oral (Lioresal) memiliki

persetujuan FDA untuk pengobatan spastisitas pada anak-anak dan orang dewasa akibat multiple sclerosis dan cedera/penyakit saraf tulang belakang dan secara intrathecal untuk spastisitas terkait dengan cerebral palsy dan cedera tulang belakang. Baclofen adalah analog GABA dan mengikat reseptor GABA yang ditemukan di sumsum tulang belakang, menurunkan refleks regang, tingkat kejang otot dan klonus, nyeri, dan sesak serta meningkatkan ROM.20

Dosis awal baklofen oral yang direkomendasikan untuk pengobatan spastisitas pada orang dewasa adalah 5 mg 3 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan dengan peningkatan 15-mg/hari setiap 3 hari. Meskipun 80 mg per hari (dibagi dalam 3 atau 4 dosis) adalah maksimum yang diterima secara umum, dosis hingga 200 mg per hari telah digunakan secara aman dan efektif. 20

Mengingat bahwa keamanan dan kemanjuran baclofen oral belum dipastikan pada anak-anak yang lebih

Page 8: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

muda dari usia 12 tahun, dosis baclofen oral awal yang dianjurkan untuk pengobatan spastisitas pada anak usia 2-7 tahun adalah 10 sampai 15 mg/hari (2-3 dosis terbagi). Dosis dapat ditingkatkan dengan 5 sampai 15 mg bertahap/hari setiap 3 hari dengan dosis maksimal 40mg/hari (3-4 dosis terbagi). Untuk anak-anak dari 8 tahun, dosis awalnya adalah 10 sampai 15 mg/hari secara oral (dalam 2 sampai 3 dosis terbagi). Dosis dapat ditingkatkan dengan 5 sampai 15 mg bertahap/hari setiap 3 hari dengan dosis maksimal 40mg/hari (3-4 dosis terbagi). 20

Biasanya, calon untuk terapi ITB memiliki spastisitas parah yang tidak merespon pengobatan konservatif dengan obat atau memiliki efek samping tak tertahankan pada dosis terapi. Sistem ini melalui operasi yang ditanamkan setelah pasien telah merespon positif terhadap dosis uji obat intratekal yang diberikan. Dosis awal yang biasa adalah 25 mcg per hari, dengan titrasi untuk efikasi, sampai dosis maksimum 200+ mcg per hari. 20

4. OperasiTujuan dari terapi bedah pada spastisitas

dapat mencakup peningkatan akses untuk kebersihan, meningkatkan kemampuan untuk mentolerir kawat, mengurangi rasa sakit, meningkatkan fungsi seperti berjalan, atau mengurangi risiko deformitas lebih lanjut. 20

a) Operasi ortopediDengan bedah ortopedi, otot

dapat didenervasi, tendon dan otot bisa dilepaskan, diperpanjang, atau ditransfer. Otot spastik di bahu, siku, lengan, tangan, dan kaki semua dapat diobati dengan memanjangkan tendon

atau otot. Dalam transfer tendon, otot spastik dapat menguntungkan dengan memindahkan mereka di seluruh sendi, menghilangkan aksi deformasi otot pada sendi dan sekaligus membantu otot antagonis. Dalam beberapa kasus, transfer split diinginkan, misalnya dalam pengobatan kaki varus. Dalam beberapa situasi, transfer memungkinkan perbaikan fungsi. Disisi lain, sendi tetap pasif tetapi tidak fungsi aktif.38

Untuk kontraktur, dilakukan reposisi sendi pada sudut yang lebih normal. Sendi terbungkus dalam gips selama beberapa minggu sementara tendon bertumbuh kembali, sering membutuhkan penggunaan serial casting untuk mencapai keberhasilan yang maksimal. Setelah gips dilepas, terapi fisik diperlukan untuk memperkuat otot-otot dan meningkatkan ROM. 38

Tendon splitting juga dapat digunakan dalam hubungannya dengan osteotomi dan arthrodesis untuk membenarkan deformitas sendi. Osteotomi yang paling sering digunakan untuk memperbaiki dislokasi pinggul dan deformitas kaki. Arthrodesis, penggabungan tulang-tulang yang biasanya bergerak secara independen, membatasi kemampuan otot yang spastik untuk menarik sendi ke posisi abnormal. Prosedur arthrodesis dilakukan paling sering pada tulang di pergelangan kaki dan kaki. 38

b) Rhizotomi Dorsal SelektifMeskipun dilakukan paling

sering untuk pengobatan spastisitas pada anak-anak dengan cerebral palsy, rhizotomi dorsal selektif dapat

Page 9: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

digunakan dalam pengobatan spastisitas pasca stroke untuk mengobati spastisitas dari kaki yang mengganggu gerakan atau posisi. Dalam prosedur ini, bimbingan elektropsikologi digunakan untuk mengidentifikasi rootlets saraf sensorik yang abnormal, yang kemudian dipotong, meninggalkan saraf motorik utuh. Kandidat terbaik untuk rhizotomi dorsal selektif adalah orang dengan kekuatan dan keseimbangan yang baik, spastisitas di salah satu atau kedua kaki dengan kontraktur minimal atau tidak menetap, tidak ada spastisitas lengan, serta motivasi dan dukungan yang kuat.39

RINGKASAN

Spastisitas pasca stroke adalah gangguan motorik setelah stroke yang ditandai dengan peningkatan tonus otot yang terkait dengan peregangan dengan sentakan tendon berlebihan, yang dihasilkan dari hiperrangsangan refleks regang, sebagai salah satu komponen upper motor neuron (UMN) syndrome.

Timbulnya spastisitas merupakan akibat ketidakseimbangan antara pusat fasilitasi dan pusat inhibisi di otak bagian tengah serta formasio retikularis batang otak, dengan konsekuensi terjadinya ketidakseimbangan antara alfa dengan gama motor neuron.

Berbagai teknik untuk tatalaksana spastisitas telah diusulkan, termasuk positioning, splinting, casting, stimulasi listrik,dan tatalaksana lainnya berupa kemodenervasi dan neurolisis serta pengobatan medikasi oral dan intratekal. Operasi yang biasa dilakukan

untuk SPS adalah operasi ortopedi dan rhizotomi dorsal selektif.

DAFTAR PUSTAKA1. Lance JW. What is spasticity? Lancet

1990; 335: 606.2. Barnes MP, Kent RM, Semlyen JK,

McMullen KM. Spasticity in multiple sclerosis. Neurorehabil Neural Repair 2003;17:66-70.

3. Goodin DS. Survey of multiple sclerosis in northern California. Northern California MS Study Group. Mult Scler 1999;5:78-88.

4. Noreau L, Proulx P, Gagnon L, Drolet M, Laramee MT. Secondary impairments after spinal cord injury: a population-based study. Am J Phys Med Rehabil 2000;79:526-35.

5. Watkins CL, Leathley MJ, Gregson JM, Moore AP, Smith TL, Sharma AK. Prevalence of spasticity post stroke. Clin Rehabil 2002;16:515-22.

6. Welmer AK, von Arbin M, Widen Holmqvist L, Sommerfeld DK. Spasticity and its association with functioning and health-related quality of life 18 months after stroke. Cerebrovasc Dis 2006;21:247-53.

7. Wichers MJ, Odding E, Stam HJ, van Nieuwenhuizen O. Clinical presentation, associated disorders and aetiological moments in Cerebral Palsy: a Dutch population-based study. Disabil Rehabil 2005;27:583-9.

8. Wedekind C, Lippert-Gruner M. Long-term outcome in severe traumatic brain injury is significantly influenced by brainstem involvement. Brain Inj 2005;19:681-4.

9. Dajpratham P, Kuptniratsaikul V, Kovindha A, et al. Prevalence and

Page 10: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

management of poststroke spasticity in Thai stroke patients: a multicenter study. J Med Assoc Thai 2009; 92 (10): 2009.

10. Gallichio JE. Pharmacologic Management of Spasticity Following Stroke. PHYS THER. 2004; 84: 973-981.

11. Longstaff A. Motor Disorder in Neuroscience. New York: BIOS Scientific Publisher Limited, 2000.

12. Husni A. Mekanisme nyeri tegang otot. Dalam: H. Soedomo dkk ed. Nyeri, pengenalan dan tatalaksana. Semarang: FK Undip; 1996: 21-37.

13. Steven. Hubungan Derajat Spastisitas Maksimal Berdasarkan Modified Ashworth Scale dengan Gangguan Fungsi Berjalan pada Penderita Stroke Iskemik (Tesis). Semarang: FK UNDIP, 2008.

14. Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, 2000.

15. Koolman J, Rohm K. Atlas berwarna & teks biokimia. Jakarta: Hipokrates, 2001.

16. Bakheit AMO, Maynard VA, Curnow J, Hudson, S Kodapala. The relation between ashworth scale scores and the excitability of the motor neurones in patients with post-stroke muscle spasticity. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:646-48.

17. Lockley L. The role of the specialist physiotherapist in the management of spasticity. Way Ahead 2004;7:6-7.

18. Graham LA. Management of spasticity revisited. Age Ageing 2013; 42 (4): 435-441.

19. Sunnerhagen KS, Olver J, Francisco GE. Assessing and treating functional impairment in poststroke spasticity. Neurology 2013; 80(3 Suppl 2):S35–44.

20. Anonymous. Spasticity: A Clinical Review: Treatment. http://www.medscape.org/viewarticle/576698_4

21. Sahin N, Ugurlu H, Albayrak I. The efficacy of electrical stimulation in reducing the post-stroke spasticity: A randomized controlled study. Disability & Rehabilitation 2012;34:151–156.

22. Lin Z, Yan T. Long-term effectiveness of neuromuscular electrical stimulation for promoting motor recovery of the upper extremity after stroke. Journal of Rehabilitation Medicine 2011;43:506–510.

23. Yan T, Hui-Chan CW. Transcutaneous electrical stimulation on acupuncture points improves muscle function in subjects after acute stroke: A randomized controlled trial. Journal of Rehabilitation Medicine 2009;41:312–316.

24. Childers MK. The importance of electromyographic guidance and electrical stimulation for injection of botulinum toxin. Phys Med Rehabil Clin N Am 2003;14:781-92.

25. Munchau A, Bahlke G, Allen PJ, et al. Polymyography combined with time-locked video recording (video EMG) for presurgical assessment of patients with cervical dystonia. Eur Neurol 2001;45:222-8.

26. Traba Lopez A, Esteban A. Botulinum toxin in motor disorders: practical considerations with emphasis on interventional neurophysiology. Neurophysiol Clin 2001;31:220-9

27. Tilton AH. Injectable neuromuscular blockade in the treatment of spasticity and movement disorders. J Child Neurol 2003;18 Suppl 1:S50-66.

28. Edgar TS. Clinical utility of botulinum toxin in the treatment of cerebral palsy: comprehensive review. J Child Neurol 2001;16:37-46.

Page 11: NASPUB Tatalaksanan Spastisitas Pasca Stroke

29. Dressler D, Adib Saberi F. Botulinum toxin: mechanisms of action. Eur Neurol 2005;53:3-9.

30. Sheean G. Botulinum toxin treatment of adult spasticity : a benefit-risk assessment. Drug Saf 2006;29:31-48.

31. Yablon SA, Brashear A, Gordon MF, et al. Formation of neutralizing antibodies in patients receiving botulinum toxin type A for treatment of poststroke spasticity: a pooled-data analysis of three clinical trials. Clin Ther 2007;29:683-90.

32. Pinder C, Bhakta B, Kodavali K. Intrathecal phenol: an old treatment revisited. Disabil Rehabil 2007:1-6.

33. Kwon JY, Kim JS. Selective Blocking of the Anterior Branch of the Obturator Nerve in Children with Cerebral Palsy. Am J Phys Med Rehabil 2007.

34. Krause T, Gerbershagen MU, Fiege M, Weisshorn R, Wappler F. Dantrolene -- a review of its pharmacology, therapeutic use and new developments. Anaesthesia 2004;59:364-73.

35. Krach LE. Pharmacotherapy of spasticity: oral medications and intrathecal baclofen. J Child Neurol 2001;16:31-6.

36. Mathew A, Mathew MC, Thomas M, Antonisamy B. The efficacy of diazepam in enhancing motor function in children with spastic cerebral palsy. J Trop Pediatr 2005;51:109-13.

37. Kamen L, Henney HR, 3rd, Runyan JD. A practical overview of tizanidine use for spasticity secondary to multiple sclerosis, stroke, and spinal cord injury. Curr Med Res Opin 2008;24:425-39.

38. Woo R. Spasticity: orthopedic perspective. J Child Neurol 2001;16:47-53.

39. Boop FA, Woo R, Maria BL. Consensus statement on the surgical management of

spasticity related to cerebral palsy. J Child Neurol 2001;16:68-9.