nasopharyngeal carcinoma

36
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Karsinoma Nasofaring termasuk salah satu jenis tumor ganas yang tumbuh di daerah kepala dan leher (Roland dan Paleri, 2011; Wei et al, 2010; Averdi dan Marlinda, 2007). Keganasan ini berasal dari neoplasma sel skuamosa yang berproliferasi dengan berbagai derajat diferensiasi di lapisan epitel nasofaring, sebuah saluran tubuler yang berada dekat dasar tengkorak, di bagian posterior kavum nasi (Wei et al, 2010; American Cancer Society, 2015). Di antara sejumlah tumor yang terdapat di area kepala dan leher, karsinoma nasofaring mewakili sebuah entitas penyakit yang berbeda dari segi epidemiologi, faktor risiko karsinogenik, presentasi klinis, penanda biologis, dan faktor prognostik-nya (Marlinda A, Antonius N, Arina I et al, 2012). Seiring berkembangnya studi dalam bidang keganasan, tumor ini telah menjadi penyakit yang paling menarik perhatian maupun minat dari sejumlah bidang, baik itu onkologi, patologi serta epidemiologi (Barnes L dan Eveson JW, 2005).

Upload: yorim-sora-pasila

Post on 17-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ENT Oncology

TRANSCRIPT

1

BAB IPENDAHULUAN

I.1. Latar belakangKarsinoma Nasofaring termasuk salah satu jenis tumor ganas yang tumbuh di daerah kepala dan leher (Roland dan Paleri, 2011; Wei et al, 2010; Averdi dan Marlinda, 2007). Keganasan ini berasal dari neoplasma sel skuamosa yang berproliferasi dengan berbagai derajat diferensiasi di lapisan epitel nasofaring, sebuah saluran tubuler yang berada dekat dasar tengkorak, di bagian posterior kavum nasi (Wei et al, 2010; American Cancer Society, 2015). Di antara sejumlah tumor yang terdapat di area kepala dan leher, karsinoma nasofaring mewakili sebuah entitas penyakit yang berbeda dari segi epidemiologi, faktor risiko karsinogenik, presentasi klinis, penanda biologis, dan faktor prognostik-nya (Marlinda A, Antonius N, Arina I et al, 2012). Seiring berkembangnya studi dalam bidang keganasan, tumor ini telah menjadi penyakit yang paling menarik perhatian maupun minat dari sejumlah bidang, baik itu onkologi, patologi serta epidemiologi (Barnes L dan Eveson JW, 2005). Prevalensi karsinoma nasofaring bervariasi di tiap kawasan geografis, dengan angka kejadian rendah di negara barat khususnya Amerika Serikat dan Eropa (0,5 2/100.000 populasi), atau sebaliknya, endemik di negara kawasan Asia seperti Cina, yang insidensinya mencapai 15 25 kasus/100.000 populasi setiap tahunnya (Chou et al, 2008; Zeng MS dan Zeng YX, 2010). Di Indonesia sendiri, karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak ditemukan (60%) di antara berbagai jenis keganasan kepala dan leher. Bahkan, tumor ini menempati urutan keempat neoplasma dengan angka kejadian terbanyak (12.000 kasus per tahun) maupun insidensi tertinggi (6.2/100 000 populasi) setelah kanker serviks, payudara dan kulit (Averdi dan Marlinda, 2007; Marlinda A, Antonius N, Arina I et al, 2012).

Adanya variasi angka kejadian menurut distribusi geografis, etnis dan jenis kelamin mengimplikasikan adanya etiologi yang multifaktorial dalam perkembangan karsinoma nasofaring (Loet al, 2004; Zeng MS dan Zeng YX, 2010). Berbagai literatur maupun studi menyatakan bahwa baik faktor genetik terkait etnis (Jiang J, Li Z, Su G, et al, 2006; Hildesheim et al, 2002; Shih-Hsin W, 2006), gender (Brockstein dan Masters, 2004; Marlinda A, Antonius N, Arina I et al, 2012; Tian W, Zeng XM, et al, 2006) maupun lingkungan (Yuet al. 2002; Nasution I, 2007; Hsu WL dan Chen JY, 2009; Friborg dan Yuan, et al 2007), memiliki hubungan yang konsisten dengan terjadinya kanker nasofaring. Selain ketiga faktor di atas, infeksi Epstein-Barr virus (EBV), virus pertama yang dihubungkan dengan perkembangan keganasan pada manusia, juga memegang peranan mayor dalam karsinogenesis sel epitel nasofaring (Vrillaud et al, 2012; Wai dan Sze, 2013; Fachiroh J dan Prasetyanti P, 2008). Infeksi EBV terbukti memiliki asosiasi yang sangat kuat dengan terjadinya karsinoma nasofaring, terlepas dari etnis, maupun ada tidaknya faktor lain yang dianggap berpengaruh terhadap perkembangan penyakit ini pada seseorang (Barnes L dan Eveson JW, 2005). Asosiasi tersebut membawa paradigma baru dalam diagnosis maupun deteksi dini karsinoma nasofaring, khususnya bagi mereka yang termasuk populasi dengan risiko tinggi (Zeng MS dan Zeng YX, 2010).Pengenalan akan manifestasi awal keganasan pada nasofaring akan sangat membantu dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ini (Marlinda A, Antonius N, Arina I et al, 2012). Penderita karsinoma nasofaring umumnya memperlihatkan satu atau lebih dari 4 kelompok gejala, yang meliputi gejala nasal seperti epitaksis, obstruksi hidung dan nasal discharge, manifestasi otologi yang mencakup tuli dan tinitus, kelumpuhan saraf kranial dan adanya massa, yang umumnya terletak di leher bagian atas (Wei et al, 2010). Namun demikian, terlepas dari banyaknya analisis retrospektif yang menunjukkan tingginya temuan di atas pada pasien dengan karsinoma nasofaring, pada kenyataannya penderita penyakit ini seringkali mengalami keterlambatan diagnosis (Cummings et al, 2010).Keterlambatan diagnosis keganasan nasofaring dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, pemeriksaan sistematis dalam mengevaluasi nasofaring tidaklah mudah bagi tenaga non-spesialistik (Marlinda A, Antonius N, Arina I et al, 2012). Kedua, kapasitas pertumbuhan dan penyebaran tumor dalam patogenesis karsinoma nasofaring berlangsung perlahan, sehingga gejala dan tanda yang muncul pada stadium awal seringkali minimal dan tidak spesifik. Sebagai hasilnya, mayoritas diagnosa karsinoma nasofaring (80%) ditegakkan saat kanker telah mencapai stadium lanjut (Roland dan Paleri, 2011; Cummings et al, 2010; Averdi dann Marlinda, 2007). Hal ini memperberat beban sosioekonomi yang harus ditanggung penderita maupun keluarganya, karena tatalaksana karsinoma nasofaring sangatlah kompleks dan membutuhkan biaya besar (Marlinda A, Antonius N, Arina I et al, 2012).Berbeda halnya dengan keganasan lain pada kepala dan leher, radioterapi, merupakan tulang punggung utama dalam penatalaksanaan kanker nasofaring (Roland dan Paleri, 2011). Terapi ini diaplikasikan pada semua stadium keganasan yang tidak menunjukkan tanda-tanda metastasis jauh. Satu hal yang penting untuk ditekankan, kemungkinan bertahan hidup jangka panjang (long-term survival) setelah terapi hanya dapat dicapai pada tahap awal karsinoma nasofaring dengan keterlibatan leher yang minimal (Wei et al, 2010). Mengingat sebagian besar kasus karsinoma nasofaring terdiagnosa setelah mencapai stadium lanjut, sejumlah besar penderita penyakit ini, termasuk mereka yang berusia muda sekalipun, akhirnya menjadi viktim dari suatu penyakit mematikan. Hal ini menekankan pentingnya deteksi dini, yang sangat menentukan prognosis pada pasien dengan karsinoma nasofaring (Averdi dann Marlinda, 2007).

Faktor lain yang juga diidentifikasi sebagai penghambat deteksi dini karsinoma nasofaring adalah kurangnya tingkat pengetahuan tenaga kesehatan khususnya praktisi umum mengenai penyakit ini. Melalui sebuah studi yang dilakukan oleh Fles et al (2010), diketahui bahwa tingkat pengetahuan mengenai karsinoma nasofaring pada praktisi umum di pusat pelayanan kesehatan primer Indonesia masih sangat kurang. Sementara di sisi lain, dokter umum memegang peranan yang penting dalam pencegahan maupun deteksi dini penyakit tersebut (Fles et al, 2010).Seorang dokter umum diharapkan dapat melakukan penegakan diagnosis terhadap karsinoma nasofaring dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien untuk kepentingan penanganan selanjutnya. Lulusan dokter juga diharapkan mampu memberikan tindak lanjut setelah pasien kembali dari rujukan (SKDI, 2012). Hal ini membawa tantangan tersendiri bagi setiap generasi sarjana kedokteran untuk memperluas wawasan keilmuan maupun kompetensinya, sehingga dapat berperan secara maksimal baik dalam pencegahan maupun deteksi dini karsinoma nasofaring. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman komprehensif mengenai berbagai aspek keilmuan terkait penyakit ini.

I.2. Tujuan dan Manfaat1.2.1. Tujuan1. Tujuan UmumTujuan penulisan refrat ini adalah untuk memaparkan berbagai aspek penting tentang karsinoma nasofaring2. Tujuan KhususUntuk memenuhi tugas pembuatan referat pada stase Ilmu THT-KL di RSUD Waled.1.2.2. Manfaat1. Menjadi bahan pembelajaran pribadi bagi penulis2. Memberikan tambahan pengetahuan bagi peserta koasisten lainnya di institusi kesehatan terkait

BAB IITinjauan Pustaka

2.1. Karsinoma Nasofaring2.1.1. Definisi dan SinonimKarsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal dari permukaan mukosa nasofaring (Roland dan Paleri, 2011; American Cancer Society, 2015). Berdasarkan morfologinya, keganasan ini termasuk ke dalam family tumor ganas yang dikenal dengan istilah lymphoepithelial carcinoma, jenis keganasan yang dapat berkembang di berbagai bagian tubuh, seperti lokasi lain dari mukosa kepala dan leher, kelenjar saliva, paru-paru dan timus. Adapun Secara klinis, karsinoma nasofaring didefinisikan sebagai karsinoma di mukosa nasofaring yang menunjukkan bukti diferensiasi sel skuamosa baik pada pemeriksaan mikroskop cahaya maupun mikroskop ultra. Di antara sejumlah tumor yang terdapat di area kepala dan leher, karsinoma nasofaring mewakili sebuah entitas penyakit yang berdiri sendiri. Selain itu, penyakit ini berbeda dari segi epidemiologi, faktor risiko karsinogenik, presentasi klinis, penanda biologis, dan faktor prognostik-nya (Marlinda A, Antonius N, Arina I et al, 2012).Terdapat 3 subtipe dari karsinoma nasofaring, di antaranya meliputi karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi. Adenokarsinoma dan salivary gland-type carcinoma tidak termasuk dalam kelompok keganasan ini. Istilah lainnya yang digunakan oleh berbagai literatur sebagai sinonim dari karsinoma nasofaring mencakup lympho-epithelioma, lymphoepithelioma-like carcinoma, lymphoepithelial carcinoma, Schmincke type lympho-epithelioma, Regaud type lymphoepithelioma, transitional cell carcinoma, intermediate cell carcinoma, anaplastic carcinoma, karsinoma tidak berdiferensiasi dengan stroma limfoid, vesicular nucleus cell carcinoma, squamous cell carcinoma (WHO-1), karsinoma tidak berkeratinisasi (WHO-2), dan Basaloid squamous cell carcinoma (WHO-3). Adapun koding yang digunakan WHO untuk tiap subtipe karsinoma nasofaring di dalam ICD-0 tertera pada tabel 2.1 di berikut ini (Barnes dan Eveson, 2005).

Tabel 2.1. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring menurut WHOTipe I

Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (8071/3)a. Well differentiatedb. Moderately differentiatedc. Poorly differentiated

Tipe IIKarsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (8072/3)

a. Tanpa Stroma Limfoid

b. Dengan Stroma Limfoid

Tipe IIIKarsinoma sel tidak berdiferensiasi (8083/3)

a. Tanpa Stroma Limfoid

b. Dengan Stroma Limfoid

Dikutip dari: (Bansal M, 2013)

2.1.2. EpidemiologiKarsinoma nasofaring menunjukkan variasi dari segi distribusi geografis maupun etnis. Hingga tahun 2000 yang lalu, secara global terdapat 65.000 kasus dan 38.000 kematian yang dilaporkan. Sementara di sebagian besar belahan dunia prevalensinya terbilang rendah (umumnya 6 cm, di atas fossa supraklavikula N3b: Terletak pada fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M)Mx: Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukanMo: Tidak ada metastasis jauhM1: Ada metastasis jauh

Stadium Kanker Nasofaring 0 : Tis No MoI: T1 No MoIia: T2a No Mo Iib: T1-2a N1 Mo, T2b No-1 Mo III: T1-2b N2 Mo, T3 No-2 Mo Iva: T4 No-2 Mo Ivb: Semua T N3 MoIvc: Semua T No-3 M1

2.1.8. PenatalaksanaanSecara skematis, penatalaksanaan kanker nasofaring didasarkan pada stadium :Stadium I: RadioterapiStadum II dan III: KemoradiasiStadium IV dengan N6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan dengan Cis-platinum sebagai inti.Pemberuan ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracill sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping cukup berat , tetapi memberikan harapan kesembuhan lebih baik.Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum dilakukan radiasi yang bersifat radio-sensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien dengan karsinoma nasofaring.

Pengobatan pembedahan dengan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak mau menghilang pada penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak ditemukannya adanya metastasis jauh (Averdi dan Marlinda, 2007).2.1.9. Perawatan PaliatifSetelah terapi, perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan deangan banyak kuah, membawa minuman kemanapun ia pergi. Kesulitan yang timbul pada perawatan pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu) atau kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis pasca pengobatan seperti ke tulang, paru dan otak (Averdi dan Marlinda, 2007).2.1.10. Follow UpTidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempnyai risiko terjadinya rekurensi dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan sering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan yang terjai antara 5 10 tahun. Oeh karena itu, KNF perlu difollow up setidaknya 10 tahun setelah terapi (Averdi dan Marlinda, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Averdi Roezin, Marlinda Adham. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta : FKUI, 2007; 182-7.Bansal M. Diseases of the Ear, Nose and Throat: Head and Neck Surgery. New Delhi. Jaypee Brothers Medical Publishers. 2013.Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidransky D. Pathology and Genetics of Head and Neck Tumours. In: World Health Organization Classification of Tumors, IARC Press, Lyon 2005.Chang ET, Adami HO. The enigmatic epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2006; 15:1765.Chou J, Lin YC, Kim J, et al (2008) Nasopharyngeal carcinoma review of the molecular mechanisms of tumorigenesis. Head Neck 30(7):946963.Cummings CW, Flint PW, Harker LA et al. Cummings otolaryngology head & neck surgery, 5th Ed. Elsevier. 2010Digby KH, Fook WL, Che YT. Nasopharyngeal carcinoma. Br J Surg. 1941 April; 28(112):517-37Fachiroh J, Prasetyanti P, Paramita DK, et al. Dried blood spot sampling for Epstein-Barr virus immunoglobulin G (IgG) and IgA serology in nasopharyngeal carcinoma screening. J Clin Microbiol. 2008;46:13741380.Ferlay J, Bray F, Pisani P, Parkin DM. GLOBOCAN 2002: Cancer Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide. In: IARC Cancer Base, 5, IARC Press, Lyon 2005. Vol 2.0.Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana SM, Tan IB. Knowledge of general practitioners about nasopharyngeal cancer at the Puskesmas in Yogyakarta, Indonesia. BMC Medical Education. 2010,10:81.Friborg JT, Yuan JM, Wang R, et al (2007) A prospective study of tobacco and alcohol use as risk factors for pharyngeal carcinomas in Singapore Chinese. Cancer 109(6):11831191Guo X, Johnson RC, Deng H, et al. Evaluation of nonviral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in a high-risk population of Southern China. Int J Cancer 2009, 124:2942-2947.Hepeng J (2008) Zeng Yi profile. A controversial bid to thwart the Cantonese cancer. Science 321(5893):11541155.Hutajulu SH, Indrasari SR, Indrawati LP, et al. Epigenetic markers for early detection of nasopharyngeal carcinoma in a high risk population. Mol Cancer. 2011;10:48.Jackson C. Primary carcinoma of the nasopharynx: a table of cases. J Am Med Assoc. 1901 Aug 10;37(6):371-7.Jeyakumar A, Brickman TM, Jeyakumar A, et al (2006) Review of nasopharyngeal carcinoma. Ear Nose Throat J 85(3):168170, 172163, 184.Jiang J, Li Z, Su G, et al. Study on genetic polymorphism of CYP2F1 gene in Guangdong population of China. Zhonghua Yi Zue Za Zhi, 2006, 23: 383-387.Liu Z, Ji MF, Huang QH, et al. Two Epstein-Barr virus-related serologic antibody tests in nasopharyngeal carcinoma screening: results from the initial phase of a cluster randomized controlled trial in Southern China. Am J Epidemiol 2013; 177:242.Marlinda A, Antonius N, Arina I et al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer. 2012 Apr; 31(4): 185196.Nasution I. Hubungan Merokok dan Karsinoma Nasofaring: Tesis. Medan. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran USU. 2008.Roland NJ, Paleri V (eds). Head and Neck Cancer: Multidisciplinary Management Guidelines. 4th edition. London: ENT UK; 2011.Shih-Hsin Wu L (2006) Construction of evolutionary tree models for nasopharyngeal carcinoma using comparative genomic hybridization data. Cancer Genet Cytogenet 168(2):105108.Tian W, Zeng XM, Li LX, et al. Gender-specific associations between MICA-STR and nasopharyngeal carcinoma in a southern Chinese Han population. Immunogenetics. 2006 Apr;58(2-3):113-21.Vrillaud B, Gressette M, et al. Toll-like receptor 3 in Epstein-Barr virus-associated nasopharyngeal carcinomas: consistent expression and cytotoxic effects of its synthetic ligand poly(A:U) combined to a Smac-mimetic. Infectious Agents and Cancer 2012, 7:36.Wai Chan and Sze Wong. The Role of Plasma Epstein Barr Virus DNA in Nasopharyngeal Carcinoma. J Mol Biomark Diagn 2013, S5: 004. doi : 10.4172/ 2155-9929.S5-00Wang WY, Twu CW, Chen HH, Jan JS, Jiang RS, et al. (2010) Plasma EBV DNA clearance rate as a novel prognostic marker for metastatic / recurrent nasopharyngeal carcinoma. Clin Cancer Res 16: 1016-1024.Wei W, Kwong D, et al. Current Management Strategy of Nasopharyngeal Carcinoma: A Review. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology Vol. 3. 2010; 1: 1-12.Wei WI, Sham JS. Nasopharyngeal carcinoma. Lancet. 2005, 365:2041-2054W-L. Hsu, J-Y. Chen, Y-C. Chien. Independent Effect of EBV and Cigarette Smoking on Nasopharyngeal Carcinoma: A 20-Year Follow-Up Study on 9,622 Males without Family History in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2009;18(4):121826.Yu MC, Yuan JM (2002) Epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Semin Cancer Biol 12(6):421429Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma. In: Nasopharyngeal Cancer: Multidisciplinary Management. German: Springer Berlin Heidelberg. 2010 pp 9-25.