naskah akademik ruu keistimewaan yogyakarta

Download Naskah AKADEMIK RUU Keistimewaan Yogyakarta

If you can't read please download the document

Upload: putri-kumalasari-kwonminrin

Post on 21-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

DIY

TRANSCRIPT

NASKAH AKADEMIK

4

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PENGANTAR

Walaupun pasal 18 UUD 1945 mengatur pembagian daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahan yang mengandung dan mengingat hak-hak asal-usul daerah-daerah yang bersifat istimewa, namun masalah pengaturan daerah-daerah dengan karakteristik khusus dan istimewa kembali muncul setelah lahirnya Undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999. Aspirasi masyarakat Aceh untuk memperoleh otonomi yang lebih luas dan nyata akhirnya terpenuhi dengan terbitnya Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Demikian halnya dengan masyarakat Irian Jaya (Papua), kerinduan mereka akan kewenangan yang lebih konkret untuk mengelola dan mengurus diri sendiri telah terpenuhi dengan disahkannya Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Sebelumnya keberadaan Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah khusus juga telah diatur dengan keluarnya Undang-undang No. 34 tahun 2000. Munculnya Undang-undang Otonomi Daerah, dan tiga Undang-undang otonomi khusus tersebut bisa ditafsirkan sebagai bentuk pengakuan pusat atas keberagaman dalam setiap lokalitas di negeri ini.

Selain tiga daerah yang bersifat istimewa di atas, masih ada satu daerah lain yang berstatus istimewa, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta berawal dari keluarnya Amanat Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman merupakan daerah Istimewa dan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia. Penggabungan tersebut disertai dengan kewenangan untuk menangani segala urusan pemerintahan, yang merupakan pengakuan atas hak-hak yang dimiliki sejak sebelum menggabungkan diri. Hak-hak itu dapat berupa hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan tertentu, bisa berupa hak untuk memberikan beban kewajiban tertentu kepada masyarakat, dan dapat pula berupa hak untuk menentukan sendiri cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan daerah dan lain-lain.

Amanat tersebut pada tanggal berikutnya ditanggapi oleh Presiden Soekarno dengan Piagam Kedudukan yang mengakui kekuasaan kedua daerah. Amanat dan Piagam Pengukuhan tersebut merupakan embrio berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta. Amanat kedua Raja yang bernada sama tersebut menunjukkan adanya keingingan kedua belah pihak untuk menyatukan pemerintahan di Yogyakarta. Bersatunya dua Daerah Istimewa, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, semakin nyata dengan dikeluarkannya Amanat pada tanggal 30 Oktober 1945 dan Maklumat Nomor 18 Tahun 1946, tertanggal 18 Mei 1946. Selengkapnya isi dari Amanat dan Maklumat tersebut adalah sebagai berikut (Soedarisman, 1984: 19-20 dan 35-37)

AMANAT

SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO IX DAN SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN

ADIPATI ARIO PAKU ALAM VIII,

KEPALA DAERAH ISTIMEWA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Mengingat:

Dasar-dasar jang diletakkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai ialah kedaulatan rakjat dan keadilan sosial.Amanat Kami berdua pada tgl. 28 Puasa, Ehe 1876 atau 5-9-1945.Bahwa Kekuasaan-kekuasaan jang dahulu dipegang oleh pemerintah djadjahan (dalam djaman Belanda didjalankan oleh Gubernur dengan kantornja, dalam djaman Djepang oleh Koti Zimu Kyoku Tyokan dengan kantornja) telah direbut oleh rakjat dan diserahkan kembali pada Kami berdua.Bahwa Paduka Tuan Komissaris Tinggi pada tanggal 22-10-1945 di Kepatihan Jogjakarta di hadapan Kami berdua dengan disaksikan oleh para Pembesar dan para Pemimpin telah menjatakan tidak perlunja akan adanja Sub-comissariat dalam Daerah Kami berdua.Bahwa pada tanggal 29-10-1945 oleh Komite National Daerah Jogjakarta telah dibentuk suatu Badan Pekerdja yang dipilih dari antara anggauta-anggautanja, atas kehendak rakyat dan panggilan masa, jang diserahi untuk mendjadi Badan Legislatif (Badan Pembikin Undang-undang) serta turut menentukan haluan djalannja Pemerintah Daerah dan bertanggung djawab kepada Komite National Daerah Jogjakarta, maka Kami Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kangdjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kangdjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII, Kepala Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia, semufakat dengan Badan Pekerdja Komite Nasional Daerah Jogjakarta, dengan ini menjatakan: supaja djalannya Pemerintahan dalam Daerah Kami berdua dapat selaras dengan dasar-dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa Badan Pekerdja tersebut adalah suatu Badan Legislatif (Badan dan Pembikin Undang-undang) jang dapat dianggap sebagai wakil rakjat dalam Daerah Kami berdua untuk membikin undang-undang dan menentukan haluan djalannja Pemerintahan dalam Daerah Kami berdua jang sesuai dengan kehendak rakjat. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dari segala bangsa dalam Daerah Kami berdua mengindahkan Amanat Kami ini.

Jogjakarta, 24 Dulkaidah, Ehe 1876,

atau 30 Oktober 1945

HAMENGKU BUWONO IX

PAKU ALAM VIII

MAKLUMAT NO. 18

TENTANG DEWAN-DEWAN PERWAKILAN RAKJAT

DI DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA

(KASULTANAN DAN PAKUALAMAN)

Mengenai putusan-putusan sidang pleno Komite Nasional Indonesia Daerah Istimewa Jogjakarta pada tanggal 24-4-1946 jang menetapkan antara lain, supaja Badan Pekerdja mewudjudkan putusan-putusan tentang bentuk Dewan-dewan perwakilan di Daerah Istimewa Jogjakarta di dalam satu maklumat.

Mengingat pula, bahwa masih akan ada Undang-undang jang mengatur susunan pemerintahan buat daerah-daerah jang bersifat istimewa ialah jang dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 18.

Maka sambil menanti Undang-undang tersebut kami berdua Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kangdjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kangdjeng Gusti Pangeran Adipati Arja Paku Alam VII sebagai Kepala Daerah Istimewa Jogjakarta, dengan persetujuan Badan Pekerdja Dewan Daerah Jogjakarta, mengadakan peraturan tentang djalannya kekuasaan mengatur dan memerintah (legislatif dan executif) dalam daerah Kami berdua seperti berikut:

Di dalam daerah Istimewa Jogjakarta diadakan Dewan Perwakilan Rakjat:Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Jogjakarta, disingkat Dewan Daerah, buat seluruh daerah Jogjakarta, berkedudukan di Ibukota Kota Jogjakarta.Dewan Perwakilan Rakjat Jogjakarta kota, disingkat Dewan Kota, buat Ibu kota Jogjakarta.Dewan Perwakilan Rakjat Kabupaten, disingkat Dewan Kabupaten, buat tiap-tiap Kabupaten, berkedudukan di Ibukota Kabupaten.Dewan Perwakilan Rakjat Kalurahan, disingkat Dewan Kalurahan sebagaimana tersebut dalam Maklumat No. 7, 14 dan 17.Tiap-tiap Dewan Perwakilan bersama-sama dengan Kepala Daerah masing-masing membuat peratutan-peraturan tentang Daerah masing-masing, jang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan daerah jang lebih luas daripada daerahnya masing-masing jaitu:Dewan Daerah dengan Seri Paduka ingkang Sinuwun Kangdjeng Sultan dan Seri Paduka Kangdjeng Gusti Pangeran Adipati Arjo Paku-Alam.Dewan Kota dengan Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota Paku Alaman.Dewan Kabupaten dengan Bupati Pamong Pradja.Oleh dan dari Dewan daerah dibentuk Badan Pekerja jang sehari-hari mendjalankan pekerdjaan legislatif.1. Oleh dan dari Dewan Perwakilan dibentuk Dewan Pemerintah (badan

executief) terdiri dari beberapa anggauta, jang bersama-sama dengan dan diketuai oleh Kepala-Kepala Daerah tersebut dalam pasal II sub. a, b dan c, mendjalankan pemerintahan sehari-hari.

2. Dewan Pemerintah baik seluruhnja, maupun seorang-seorang bertanggung djawab kepada Dewan Perwakilan jang bersangkutan.

3. Kedua Seri Paduka tersebut bebas dari tanggung-djawab.

Semua putusan dalam sidang Dewan-dewan Perwakilan dan dalam sidang Dewan-dewan Pemerintah diambil dengan suaran jang terbanjak.

Didalam hal ini kedua Kepala Kota tersebut dalam pasal II sub. b, bersama-sama, hanja mempunyai satu suara.

1. Dikepanewon tidak diadakan Dewan Perwakilan Rakjat hanya diadakan

Dewan Pemerintah terdiri dari beberapa orang anggauta jang bersama-sama dengan dan diketuai oleh Panewu mendjalankan pemerintahan sehari-hari.

2. Anggouta Dewan Pemerintah Kapanewon dipilih oleh rapat gabungan Ketua dan wakil Ketua Dewan-dewan Kalurahan dilingkungan Kapanewon jang bersangkutan.

3. Dewan Pemerintah Kapanewon, baik seluruhnja maupun seorang-seorang bertanggung-djawab kepada rapat gabungan Ketua dan wakil Ketua Dewan-dewan Kalurahan dalam lingkungan Kapanewon jang bersangkutan.

Dengan terbentuknja Dewan-dewan Perwakilan, seluruh susunan Komite Nasional Indonesia didaerah Jogjakarta dihapuskan dan pekerdjaannja jang selaran dengan pekerdjaan Dewan Perwakilan dilandjutkan oleh Dewan Perwakilan jang bersangkutan.Maklumat ini berlaku sedjak diumumkan.

Jogjakarta, 11 Djumadilakir Djimawal 1877

atau 18 Mei 1946

HAMENGKU BUWONO IX

PAKU ALAM VIII

MARLAN

Dari isi Amanat dan Maklumat di atas, dapat dilihat bahwa secara de facto Daerah Istimewa Yogyakarta telah terbentuk, dan merupakan daerah yang mempunyai otonomi luas.

Pengakuan atau penegasan atas Keistimewaan Yogyakarta oleh pemerintah pusat ditandai dengan terbitnya Undang-undang No. 3 tahun 1950 jo Undang-undang No. 19 tahun 1950. Dengan demikian secara hukum, pada tahun 1950 Yogyakarta ditetapkan sebagai Provinsi yang memiliki keistimewaan dan diberi nama Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun demikian, regulasi tersebut ternyata belum cukup untuk mengatur kompleksitas yang dimiliki oleh Provinsi ini. Undang-undang tersebut jauh dari komprehensif, terlalu singkat dan tidak mengatur butir-butir yang sekarang justru menjadi pangkal perdebatan keistimewaan Yogyakarta. Ketidakjelasan pengaturan ini berimplikasi kepada munculnya berbagai interpretasi tentang regulasi yang ada. Di dalam regulasi terbarupun, yaitu Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, pengaturan tentang daerah istimewa, khususnya Yogyakarta sangat terbatas.

Dalam perkembangannya hal itu menimbulkan persoalaan terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kasus terakhir yang membuktikan hal tersebut adalah ketika terjadi rekrutmen kepemimpinan politik untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Saat proses pemilihan Gubernur pada tahun 1998 diwarnai dengan pelantikan Sultan sebagai Gubernur oleh rakyat melalui forum yang dikenal dengan nama Sidang Rakyat Yogyakarta. Hal yang sama juga terjadi pada proses pemilihan Wakil Gubernur pada tahun 2001. Demikian pula dengan persoalan afiliasi para Kepala Desa (Lurah) kepada pemerintah, yang secera serempak disuarakan oleh paguyuban lurah se provinsi DIY (Ismaya), paguyuban lurah se kabupaten Bantul (Tunggul Jati), paguyuban lurah se kabupaten Kulon Progo (Bodronoyo), paguyuban lurah se kabupaten Gunung Kidul (Semar), dan paguyuban lurah se kabupaten Sleman (Suryondadari). Mereka menuntut penyeragaman Peraturan Daerah tentang Kelembagaan Desa di tingkat Provinsi, menolak penyematan lencana Korpri dikemeja dinas dan sebagai gantinya menyematkan lencana Keraton, yang menunjukkan derajat afiliasi mereka kepada Kraton Yogayakarta dan Pura Pakualaman daripada ke pemerintah nasional.

Namun demikian harus dicermati bahwa keistimewaan tidak hanya menyangkut aspek kepemimpinan saja. Aspek lain yang harus diperhatikan dalam membuat regulasi keistimewaan Yogyakarta di antaranya, masalah pertanahan, budaya dan kepariwisataan, peran Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kekhususan dalam bidang keuangan, dan kemungkinan otonomi di tingkat Provinsi.

Dengan latar belakang tersebut, maka dipandang sangat penting dan mendesak untuk menghadirkan sebuah regulasi yang secara tegas mengatur aspek-aspek keistimewaan Yogyakarta. Regulasi tersebut pada satu sisi harus mempertimbangkan keistimewaan Yogyakarta yang sudah diakui sejak tahun 1950. Namun pada sisi yang lain, regulasi tersebut juga harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang ada. Dengan demikian, kehadiran regulasi tersebut diharapkan akan sangat berguna bagi Yogyakarta dalam menyelenggarakan proses pemerintahannya di masa-masa yang akan datang.

LANDASAN KEISTIMEWAAN

I.Landasan Historis

Sejarah keberadaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat diruntut sejak berdirinya Kerajaan Mataram yang beribukota di Kartasura. Pada mulanya Kerajaan Mataram adalah satu kawasan yang berdaulat. Namun seiring dengan kedatangan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) kedaulatan itu mulai surut. Melalui politik devide et impera wilayah kerajaan Mataram direduksi, sehingga yang awalnya meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur akhirnya terpecah-pecah.

Perjanjian Giyanti yang dilaksanakan tanggal 13 Februari 1755 mengukuhkan perpecahan itu. Kerajaan Mataram dibagi dua, yaitu Kasunanan Surakarta (Susuhunan) dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Kasultanan) (Sukanto dalam Moedjanto, 1994:13). Pada masa kekuasaan Inggris, oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, wilayah Kasultanan Yogyakarta disempitkan lagi pada tahun 1813 menjadi wilayah Kasultanan dan wilayah Pakualaman (Soemardjan, 1981:18-20). Pemecahan wilayah seperti ini, di satu sisi dimaksudkan untuk melemahkan kekuatan politik asli yang ada dalam masyarakat, namun di sisi lain pemecahan ini justru mengentalkan kebersamaan di kalangan masyarakat karena menyadarkan mereka akan musuh bersama yang harus dihadapi. Daya kenyal masyarakat justru meningkat seiring dengan penyempitan wilayah itu.

Hal ini terbukti dari fakta bahwa sebelum bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, Yogyakarta merupakan negara bangsa yang memiliki kewenangan mengelola urusannya sendiri. Tidak banyak kerajaan-kerajaan yang ada di tanah air ini yang memiliki daya kenyal seperti yang dimiliki Yogyakarta. Bahkan secara formal, pemerintah Republik Indonesia mengakui hanya ada dua daerah yang memiliki daya kenyal itu, yakni Yogyakarta dan Aceh sehingga keduanya dipandang berhak menyandang status Istimewa.

Bergabungnya Yogyakarta ke Republik Indonesia merupakan penggabungan sebuah negara ke negara (lain) yang baru. Penggabungan itu dilakukan secara suka rela. Konsekuensinya, meskipun secara hukum, politik, ekonomi dan sosial-budaya Yogyakarta telah berintegrasi dengan Republik Indonesia, namun dalam beberapa hal masih memiliki kewenangan untuk mengurusnya secara mandiri. Konkretnya, negara Republik Indonesia tidak dapat begitu saja menghapus kewenangan-kewenangan yang secara historis dimiliki oleh Kasultanan Yogyakarta (Tri Widodo, 2002:122). Untuk itu pengaturan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia tidak boleh bertentangan dengan kewenangan atau hak-hak asal-usul yang bersifat autochoon, yaitu hak yang telah dimiliki sejak semula Kerajaan Mataram didirikan (Tri Widodo, 2002: 121).

Dasar kewenangan dan kedaulatan Yogyakarta dapat ditelusuri dari beberapa fakta sejarah. Pertama, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dibuat Perjanjian Politik antara Belanda dengan Kasultanan Yogyakarta. Walau Perjanjian Politik itu banyak mengurangi kewenangan pemerintahan, namun pemerintah kolonial Belanda tidak dapat mengeliminir arti penting dan eksistensi kepemimpinan Kasultanan Yogyakarta (Soedarisman, 1985: bab III dan IV).

Kedua, Kasultanan Yogyakarta memiliki struktur pemerintahan yang diakui oleh pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang. Struktur itu bermula dari keraton (parentah jero atau pemerintahan dalam) sampai ke pemerintah di luar wilayah keraton, yang meliputi nagara, nagaragung, mancanegara dan pesisir.

Pemerintahan luar (di luar wilayah istana) dikepalai oleh Pepatih Dalem/Patih Sultan didampingi Paniradyapati (semacam menteri). Di nagara, nagaragung, mancanegara dan pesisir, Patih Sultan diwakili oleh Bupati yang diangkat dan bertanggung jawab atas satu wilayah Kabupaten. Satu Kabupaten dibagi lagi kedalam beberapa distrik yang masing-masing dipimpin oleh seorang Panji. Pada tahun 1926, untuk menyesuaikan dengan wilayah lain di Republik Indonesia, sebutan panji diganti dengan sebutan Wedana. Tiap distrik dibagi lagi ke dalam sejumlah onder-distrik (kecamatan) yang dipimpin oleh Asisten Panji, yang kemudian diubah menjadi Asisten Wedana, dan kemudian diubah lagi menjadi Panewu. Pejabat di tiap tingkatan hanya bertanggung jawab kepada atasan langsungnya. Tiap pejabat hanya melaksanakan perintah yang diberikan, termasuk melaporkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di daerahnya. Untuk itu kompensasi (gaji) yang mereka dapatkan berupa hak penggunaan tanah kasultanan yang bebas pajak (Soemardjan, 1981:34-36).

Ketiga, sekalipun pada prinsipnya menganut sistem monarki, namun modernisasi dan demokratisasi dilaksanakan di lingkungan Kasultanan Yogyakarta, sekalipun dengan langkah-langkah yang membingungkan. Beberapa langkah modernisasi dan demokratisasi yang penting dicatat adalah: dihilangkannya jabatan Patih Sultan, rekrutmen terbuka bagi semua kelas dan kelompok dalam masyarakat, serta mulai dikenalkannya spesialisasi dalam jajaran birokrasi.

Penghapusan jabatan Patih Sultan, yang kemudian seluruh tugas dan fungsinya diambil alih oleh Sultan, berimplikasi pada terlibatnya Sultan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari sehingga -- dari sudut inibisa mendekatkan Sultan dengan rakyatnya. Namun dari perspektif yang lain, penghapusan ini telah memusatkan kekuasaan pada diri Sultan, yang sebenarnya tidak bisa dinilai sebagai demokratisasi birokrasi.

Menarik dicatat, bila jabatan Patih Sultan dihapuskan yang menandai terjadinya sentralisasi kekuasaan, maka rekrutmen menjadi Panewu bersifat terbuka bagi publik. Setiap calon diharuskan melalui ujian saringan serta masa pelatihan singkat. Mekanisme ini membawa perubahan yang cukup signifikan, sebab tercipta iklim persaingan yang sehat, yang jelas tolok ukurnya, sehingga yang terpilih adalah orang yang benar-benar mumpuni.

Namun, di sinilah letak langkah yang membingungkan itu. Kasultanan Yogyakarta menghapuskan Kawedanan sebagai satuan pemerintahan, lalu menempatkan para Wedana dan stafnya di kantor kabupaten. Pada saat yang sama, dibentuk Panitia Pembantu Pamong Praja (PPPP) yang berfungsi membantu Panewu. Anggota PPPP dipilih oleh panewu dari kalangan penduduk yang terkemuka di wilayahnya. PPPP di tiap kapenewon dilantik sendiri oleh Sultan, walaupun pada kenyataannya lembaga ini tidak pernah berfungsi karena masyarakat tidak siap dengan perubahan yang terjadi (Tri Widodo, 2002:120-126).

Keempat, dalam urusan pertanahan, Yogyakarta memiliki akar sejarah yang unik. Berdasarkan Rijksblad Kasultanan nomor 1918 nomor 16 juncto 1925 nomor 23, serta Rijksblad Paku Alaman 1918 nomor 18 juncto 1925 nomor 25, hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi dengan pertimbangan melindungi warga pribumi yang secara ekonomis tergolong lemah (Tri Widodo, 2002:120-126). Dari sini terlihat keberpihakan penguasa Yogyakarta terhadap nasib para kawula negeri, yang secara langsung mengokohkan legitimasi politik serta akuntabilitas kepemimpinan mereka.

II.Landasan Sosial-Budaya.

Sekalipun telah terjadi perubahan yang cukup mendasar, dari akulturasi budaya-sinkretisme agama Hindu-Jawa menjadi Islam-Jawa, namun penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap Kasultananan dan Kadipaten Pakualaman sebagai pusat budaya Jawa dan simbol kepemimpinan tetap tidak berubah. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme masyarakat untuk hadir dan terlibat dalam acara-acara ritual yang dilakukan baik oleh Kasultanan maupun Kadipaten Pakualaman, mulai dari aktivitas di lereng Gunung Merapi sampai ke tepi pantai Laut Selatan.

Penghargaan masyarakat terhadap Kasultanan dan Kadipaten dapat dilihat dari penerimaan masyarakat terhadap konsep Dwi Tunggal, yang sekalipun secara juridis-formal tidak dirumuskan namun secara realitas sosiologis diakui oleh masyarakat. Dalam pandangan masyarakat, mengubah (apalagi menghapus) Dwi Tunggal diidentikan dengan menghapus keistimewaan Yogyakarta. Pandangan seperti ini pernah diekspresikan secara demonstratif saat terjadi kemelut pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur masing-masing pada tahun 1998 dan 2001. Mereka yang menyuarakan pandangan seperti itu antara adalah Paguyuban Lurah se-DIY (ISMAYA - Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta). Selain ISMAYA, di masing-masing kabupaten juga dibentuk paguyuban-paguyuban lurah yang bisa disebutkan sebagai berikut; BODRONOYO yang merupakan paguyuban lurah se kabupaten Kulon Progo, TUNGGUL JATI yang merupakan paguyuban lurah se kabupaten Bantul, SEMAR yang merupakan payuban lurah di Gunung Kidul, dan SURYONDADARI yang merupakan paguyuban lurah se Kabupaten Sleman .

Penghargaan warga Yogyakarta terhadap peran Kasultanan dan Kadipaten juga dapat dilihat dari kiprah, pembelaan dan bantuan mereka di bidang pendidikan. Berkembangnya pendidikan modern, mulai dari berdirinya Taman Siswa hingga Universitas Gadjah Mada, merupakan bentuk kepedulian Kasultanan dan Kadipaten agar Yogyakarta memberikan kader-kader intelektual yang mumpuni untuk kemajuan dan masa depan Republik Indonesia. Bahkan sejarah mencatat tokoh-tokoh awal dari pergerakan kebangsaan Indonesia bermunculan dari organisasi-organisasi yang muncul di Yogyakarta; seperti para tokoh yang muncul dari Sarikat Islam dan Sarekat Buruhnya: Kusumoyudo, Notosuroto, Notodiningrat (Wreksodiningrat), ataupun tokoh-tokoh yang muncul dari gerakan Taman Siswa yang dipelopori oleh Suwardi Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara), Indische Partij maupun Komite Bumi Putera (Moedjanto, 1994:32). Dari bidang pendidikan inilah bermunculan kelas menengah baru, yang uniknya secara harmonis berdampingan dengan kelas menengah lama yang didominasi oleh kaum aristokrat (Soemardjan,1981).

Kepedulian Kasultanan terhadap bidang pendidikan tampak dari peran yang diambil untuk mengembangkan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kasultanan merelakan Siti Hinggil dan Pagelaran di kompleks keraton sebagai tempat perkuliahan UGM dilaksanakan. Dari kompeks keraton itulah banyak diwisuda Srajana-sarjana UGM yang kini memiliki peran sangat besar dalam pemerintahan Indonesia. Bahkan dalam perkembangan berikutnya, kasultanan menghibahkan sebagian tanahnya untuk dijadikan kampus UGM.

Kehadiran UGM menstimulir munculnya perguruan tinggi lain, baik negeri maupun swasta, di Yogyakarta. Untuk perguruan tinggi negeri tercatat IKIP Yogyakarta (kemudian berubah menjadi Universitas Negeri Yogyakarta - UNY), IAIN Sunan Kalijaga, dan Institut Seni Indonesia (ISI), Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Akademi Teknik Kulit. Perguruan-perguruan tinggi tersebut sekarang berkembang pesat, menampung ribuan mahasiswa yang tentunya berasal dari seluruh pelosok tanah air. Dalam tabel 1 berikut ini bisa dilihat jumlah mahasiswa di masing-masing perguruan tinggi, termasuk jumlah dosen yang dimiliki.

Tabel 1

Jumlah Mahasiswa dan Dosen di PTN Yogyakarta

Perguruan Tinggi

Mahasiswa

Dosen

Tetap

Tidak Tetap

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

Univ. Gadjah Mada

49.252

1.728

616

2.344

1.165

Univ. Negeri Yogyakarta

12.376

-

-

838

75

IAIN Sunan Kalijaga *)

8.212

277

64

341

108

Institut Seni Indonesia

2.629

210

65

275

-

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

766

42

7

49

128

Akademi Teknik Kulit

527

20

12

32

18

JUMLAH

73.762

2.277

764

3.879

1.494

Sumber: DIY dalam Angka 2000

Ket. : *) Data tahun 1999

Selain perguruan tinggi negeri, sekarang ini di DIY juga terdapat puluhan perguruan tinggi swasta. Beberapa universitas swasta bahkan sangat diminati oleh para pendaftar karena kualitasnya yang juga tidak jauh berbeda dengan PTN yang ada. Beberapa universitas swasta besar tersebut diantaranya, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Pembangunan Nasioal (UPN) Veteran, Universitas Sanata Dharma, dan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNas). Secara keseluruhan, hingga kini tercatat 98 lembaga pendidikan tinggi swasta yang terdiri dari universitas, sekolah tinggi, akademi, dan politeknik yang ada di Yogyakarta, yang rincian jumlah masing-masing tersaji pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2

Rincian Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta

NO

Perguruan Tinggi

Jumlah

1

Universitas

17

2

Institut

5

3

Sekolah Tinggi

23

4

Akademi

47

5

Politeknik

6

Jumlah

98

Sumber: Data alamat dan PTS Kopertis V Yogyakarta

Setiap tahunnya perguruan-perguruan tinggi tersebut diserbu ratusan ribu pendaftar, yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia, yang ingin menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta. Berdasarkan data tahun 2000 tercatat sebanyak 154.152 pendaftar di seluruh PTS yang ada di Yogyakarta. Dari jumlah tersebut hanya 31,66% yang akhirnya bisa mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan lanjut di PTS-PTS Yogyakarta, yang berarti menggambarkan betapa ketatnya persaingan untuk bisa meraih kesempatan belajar di provinsi ini. Tabel berikut ini memberikan gambaran jumlah pendaftar dan yang diterima di masing-masing kategori PTS pada tahun ajaran 2000/2001.

Tabel 3

Jumlah Mahasiswa Menurut Jenis Perguruan Tinggi Swasta di Prop. DIY

Tahun 2000/2001

Jenis PT

Mahasiswa

Pendaftar

Diterima

%

Jumlah

Universitas

98.179

27.931

28,45

107.489

Institut

25.624

2.811

10,97

11.637

Sekolah Tinggi

15.108

9.227

61,07

41.931

Akademi

12.936

7.266

56,17

20.188

Politeknik

2.305

1.573

68,24

1.674

JUMLAH

154.152

48.808

31,66

182.919

Sumber: DIY dalam Angka 2000

Dari data-data dan paparan di atas tampak jelas karakter Yogyakarta sebagai salah satu daerah terpenting tujuan pendidikan di Indonesia. Keunggulan Yogyakarta di bidang pendidikan merupakan aspek penting yang juga harus diperhatikan dalam merumuskan keistimewaan provinsi ini.

Sebagai konsekuensi dari banyaknya perguruan tinggi di Yogyakarta, corak masyarakatnya pun berubah. Bila pada masa berdirinya kerajaan Mataram masyarakat Yogyakarta relatif homogen, sekarang sudah sangat heterogen. Orang yang memiliki latar belakang etnis, agama, ideologi, budaya, bahkan kebangsaan yang berbeda berkumpul di Yogyakarta. Gambaran tentang heterogenitas masyarakat Yogyakarta dapat dilihat pada di Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4

Komposisi Penduduk DIY Berdasarkan Ethnis

No

Sk.Bangsa/

Etnis

Kabupaten/Kota

JML

Kulonprogo

Bantul

Gunung Kidul

Sleman

Yogyakarta

1

Jawa

369.622

768.643

668.968

857.692

355.232

3.020.157

2

Sunda

446

2.841

436

7.441

6.429

17.593

3

Melayu

60

988

33

4.606

5.019

10.706

4

Cina

20

776

72

2.819

6.255

9.942

5

Batak

49

714

51

4.308

2.768

7.890

6

Minang

5

329

23

1.334

1.813

3.504

7

Bali

13

484

33

1.886

660

3.076

8

Madura

89

510

26

756

1.358

2.739

9

Lainnya

637

5.542

788

19.986

16.837

43.790

JUMLAH

370.941

780.827

670.430

900.828

396.371

3.119.397

Sumber: Hasil Sensus Penduduk 2000, BPS DIY

Bila dicermati elemen pembentuk heterogenitasnya, tampak bahwa seluruh elemen masyarakat yang ada di Nusantara dapat ditemui di Yogyakarta. Untuk itu tidak salah bila banyak orang berpendapat bahwa Yogyakarta adalah miniaturnya Indonesia. Ini bukan julukan kosong yang tidak bermakna. Banyaknya kaum muda dari berbagai latar belakang yang berbeda namun terikat dengan tujuan dan nasib yang sama, membuka peluang bagi tumbuhnya dialog yang berujung pada peningkatan kesadaran mereka akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh paling aktual adalah bersatunya mahasiswa Dayak dan mahasiswa Madura untuk mengutuk Tragedi Sampit ketika tragedi kemanusiaan konflik berdarah antara kedua etnik sebangsa itu sedang terjadi di Kalimantan.

Peristiwa ini merupakan bentuk kesadaran generasi muda akan pentingnya rasa persatuan dan kesatuan. Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Yogyakarta merupakan tempat dimana para calon pemimpin bangsa Indonesia digembleng. Tidak berlebihan pula bila ada penilaian bahwa Yogyakarta merupakan barometer keamanan dan kedamaian di tingkat nasional.

III. Landasan Hukum.

Predikat Istimewa yang disandang Yogyakarta memiliki landasan hukum yang sangat kuat. Lima ketentuan hukum yang telah dibuat yang berkaitan dengan keistimewaan Yogyakarta bisa disebutkan di bawah ini.

Pertama, pasal 18 UUD 1945 yang memberi pengakuan formal terhadap daerah-daerah yang memiliki keistimewaan. Pengaturan tentang daerah istimewa ditetapkan dengan sebuah Undang-undang, dengan mengingati hak-hak asal-usul yang berlaku di daerah istimewa itu (Soedarisman, 1984:53). Tegasnya sekalipun de facto keistimewaan Yogyakarta diakui, secara de jure memerlukan pengaturan atau ketentuan hukum yang pasti.

Kedua, sebenarnya secara de jure pengakuan terhadap keistmewaan Yogyakarta sudah dilakukan melalui Undang-undang Nomor 3 juncto Undang-undang nomor 19 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ditetapkan pada tanggal 4 Maret 1950. Undang-undang nomor 3 tahun 1950 berlandaskan pada UUDS 1950. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kita kembali menggunakan UUD 1945 hingga kini. Atas dasar ini dirasa perlu membentuk satu Undang-undang baru sebagai payung juridis bagi keistimewaan Yogyakarta.

Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1950 tertanggal 3 Maret 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, ditetapkan 13 (tiga belas) urusan yang menjadi kewenangan provinsi Yogyakarta. Artinya sama dengan urusan yang diserahkan kepada provinsi lain. Bedanya, urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain yang telah dikerjakan oleh pemerintah Yogyakarta sebelum pembentukan Undang-undang nomor 3 tahun 1950 tetap dilanjutkan sampai kelak ditentukan lain oleh Undang-undang yang baru. Selain itu ditentukan pula pemerintah Yogyakarta harus memikul semua hutang-piutang yang terjadi sebelum pembentukan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (The Liang Gie, 1993:205).

Undang-undang No. 3 tahun 1950 tergolong sangat ringkas, hanya ada 7 pasal. Karena itu mudah dipahami bahwa Undang-undang ini belum secara komprehensif mengatur Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Apalagi Undang-undang ini mengatur urusan dan bukan kewenangan, sehingga Undang-undang nomor 3 tahun 1950 memasung kemungkinan bagi pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengeksplor pelbagai alternatif yang bisa mereka gunakan untuk meningkatan penghasilan daerah. Urusan yang wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tertuang dalam pasal 4 ayat (1) yang meliputi:

1.Urusan Umum.

2.Urusan Pemerintahan Umum.

3.Urusan Agraria.

4.Urusan Pengairan, Jalan-jalan dan Gedung-gedung.

5.Urusan Pertanian dan Perikanan.

6.Urusan Kehewanan.

7.Urusan Kerajinan, Perdagangan Dalam Negeri, Perindustrian dan Koperasi.

8.Urusan Perburuhan dan Sosial.

9.Urusan Pengumpulan Bahan Makanan dan Pembagiannya.

10.Urusan Penerangan.

11.Urusan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.

12.Urusan Kesehatan.

13.Urusan Perusahaan.

Lima bulan kemudian, tepatnya tanggal 14 Agustus 1950, dikeluarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1950 yang mengubah Undang-Undang No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam undang-undang yang baru ini terdapat perubahan pada pasal 4 ayat (1) mengenai urusan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelumnya terdapat 13 (tiga belas) urusan namun dengan undang-undang yang baru ini bertambah menjadi 15 (lima belas) urusan, urusan-urusan tersebut adalah berikut:

Urusan Umum.Urusan Pemerintahan Umum.Urusan Agraria.Urusan Pengairan, Jalan-jalan dan Gedung-gedung.Pertanian, Perikanan dan Koperasi.Urusan Kehewanan.Kerajinan, Perdagangan, Dalam Negeri, dan Perindustrian.Urusan PerburuhanUrusan Sosial.Urusan Pembagian (distribusi).Urusan Penerangan.Urusan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.Urusan Kesehatan.Urusan Lalu Lintas dan Angkutan Bermotor.Urusan Perusahaan

Di samping memasung inisiatif daerah (karena mengatur urusan bukan memberikan kewenangan) Undang-undang No 3 tahun 1950 dan Undang-undang No. 19 tahun 1950 juga tidak mencakup dimensi keistimewaan Yogyakarta. Ketidaklengkapan aturan yang ada inilah yang menjadi titik awal terjadinya multi-interpretasi terhadap makna istimewa yang disandang Yogyakarta. Karena itu kehadiran satu Undang-undang baru yang secara eksplisit dan komprehensif mengakui dan mengatur keistimewaan Yogyakarta merupakan satu kebutuhan yang mendesak.

Ketiga, maklumat Sri Sultan Hamengku Buwono IX (sebagai penguasa Kasultanan Yogyakarta) dan Sri Paku Alam VIII (sebagai penguasa Kadipaten Pakualaman menegaskan bahwa Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia yang berstatus istimewa, karenanya keduanya bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia (Soedarisman, 1984:14-16). Maklumat tersebut selaras dengan Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945 (Sujamto dalam Soedarisman, 1984, 295-296).

Keempat, keluarnya Amanat Seri Padoeka Ingkeng Sinoewoen Kandjeng Soeltan Hamengkoe Boewana IX dan Seri Padoeka Kandjeng Goesti Pangeran Adipati Arja Pakoealam VIII tanggal 30 Oktober 1945 yang menyatakan proses penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan oleh Sri Sultan, Sri Paku Alam dan Badan Pekerja Komite Nasional daerah Yogyakarta membuktikan adanya upaya monarki Yogyakarta untuk melakukan demokratisasi politik (Soedarisman, 1984:19-20). Penilaian ini didasari fakta bahwa Badan Pekerja Komite Nasional daerah Yogyakarta terdiri dari wakil-wakil rakyat yang bisa dinilai sebagai pengakuan akan perlunya keterlibatan rakyat dalam proses pemerintahan. Melalui badan ini posisi rakyat bisa sejajar dengan posisi Sri Sultan maupun Sri Paku Alam, yang secara kultural merupakan satu kemustahilan.

Kelima, keluarnya Maklumat nomor 18 tanggal 18 Mei 1946 tentang Dewan-dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan persetujuan antara Sri Sultan, Sri Paku Alam, dan Badan Pekerja Dewan Daerah layak dinilai sebagai satu langkah yang lebih maju untuk membangun pemerintahan yang stabil dan efektif. Maklumat ini berisi keputusan untuk mengadakan peraturan tentang jalannya kekuasaan mengatur dari memerintah (legislatif dan eksekutif) sehingga akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal dari pemerintahan di Yogyakarta bisa dicapai (Soedarisman, 1984:35-37). Dengan kata lain, melalui Maklumat ini Sri Sultan maupun Sri Paku Alam sudah berusaha menciptakan desentralisasi kekuasaan dan munculnya mekanisme check and balance yang menjadi ciri sebuah pemerintahan yang demokratis.

Landasan Politik.

Landasan ini berhubungan dengan peran politik yang dilakukan oleh Kasultanan (khususnya Sultan Hamengku Buwono IX) maupun Pakualaman (khususnya Sri Paduka KGPAA Paku Alam VIII). Lima fakta sejarah berikut bisa menjelaskan peran politik seperti apa yang telah dimainkan oleh para penguasa Yogyakarta (Najib, 1996:277-278).

Pertama, penghapusan jabatan Patih Sultan dibaca oleh banyak pihak sebagai upaya Sultan melakukan defeodalisasi dan demokratisasi. Tapi orang awam bisa juga membaca, dibalik tujuan yang secara transparan dirumuskan terselip makna upaya Sri Sultan maupun Sri Paku Alam untuk meningkatkan popularitas mereka dihadapan rakyatnya. Dengan terlibatnya Sultan dan Paku Alam dalam urusan keseharian masyarakat, maka keterlibatan itu akan dibaca oleh warga masyarakat sebagai bentuk kepedulian terhadap masalah rakyat.

Kedua, sejak 1943 Kasultanan Yogyakarta sudah melakukan langkah politik yang mengarah kepada pembentukan struktur dan mekanisme pemerintahan yang demokratis melalui upaya rekrutmen terbuka bagi setiap warga masyarakat untuk masuk kedalam struktur pemerintahan, serta dikenakannya ujian saringan yang seifatnya terbuka sehingga unsur keterbukaan dalam prinsip berdemokrasi dipenuhi. Penghapusan jabatan Wedana, sekalipun bisa juga dibaca sebagai upaya sentralisasi kekuasaan, dari sudut lain dibaca sebagai upaya mewujudkan struktur birokrasi yang efisien, yang modern mendekati idealisasi birokrasi ala Weberian. Efisiensi birokrasi ini dimaksudkan untuk lebih melancarkan roda pemerintahan.

Ketiga, kebijakan membentuk KNI-D (Komite Nasional Indonesia Daerah) yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil kelompok yang ada dalam masyarakat, serta berposisi sejajar dengan pemerintah (eksekutif yang dipimpin oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam) menunjukkan upaya demokratisasi pemerintahan dari dimensi yang lain. Pada tanggal 29 Oktober 1945, Sri Sultan, Sri Paku Alam, dan Ketua KNI-D mengeluarkan pernyataan bahwa Badan Pekerja KNI-D berkedudukan sebagai badan legislatif daerah yang mewakili rakyat Yogyakarta. Bahkan, sebenarnya, sejak 1944 perwakilan politik masyarakat sampai ke tingkat desa telah dilakukan dengan dibentuknya Panitia Pembantu Pamong Praja, yaitu semacam badan pertimbangan tingkat kepenewon yang anggotanya diambil dari tokoh-tokoh masyarakat. Rangkaian langkah-langkah ini menunjukkan upaya serius dari pihak Kasultanan maupun Kadipaten untuk membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Keempat, penolakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk dijadikan Raja Mataram Raya, atau Raja Diraja di pulau Jawa asal mau berpihak kepada Belanda; menunjukkan keberpihakannya terhadap ide Republik dan Demokrasi modern. Langkah ini diikuti dengan perintah agar pamong praja mengundurkan diri secara resmi dari jajaran pemerintahan bila dipaksa berkolaborasi dengan pemerintah Belanda. Secara pribadi, dalam kapasitasnya sebagai tokoh Republik saat menjadi wakil Indonesia di forum PBB, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendesak PBB mengeluarkan keputusan yang mengharuskan Belanda untuk segera menarik diri dari Indonesia dan menyerahkan kedaulatan kepada negara baru ini (Soemardjan, 1981:187-188). Puncak keberpihakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Republik Indonesia terlihat saat menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia ketika nyaris seluruh pemimpin Indonesia ditawan Belanda. Serangan Umum 1 Maret 1945 yang diprakarsai Sri Sultan Hamengku Buwono IX, terbukti menyita perhatian dunia dan memberi sinyal kepada masyarakat internasional bahwa bangsa Indonesia masih ada.

Kelima, peran besar Kasultanan dan Kadipaten dalam era reformasi politik di Indonesia pada tahun 1998. Kasultanan dan Kadipaten berperan sangat signifikan dalam memfasilitasi ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kinerja Presiden Soeharto dengan cara melakukan Aksi Damai Sejuta Massa di Yogyakarta, hanya selang dua hari sebelum Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Peran Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam era politik modern di Indonesia, ditandai dengan keterlibatannya merumuskan Deklarasi Ciganjur yang terbukti menjadi senjata ampuh bagi gerakan massa untuk menurunkan Soeharto dari kursi Kepresidenan yang telah diduduki selama 32 tahun.

MAKNA KEISTIMEWAAN

Berbeda dari daerah lain, Yogyakarta adalah sebuah entitas yang tidak bisa dibagi-bagi. Kebersamaan antara penguasa (Raja) dengan rakyat sudah tampak semenjak rakyat mengikuti Ki Ageng Pemanahan bertransmigrasi dari Pajang ke Mataram untuk bersama-sama membuka alas (hutan) Mentaok dan alas Garjitawati untuk membangun Mataram. Dari bagian wilayah manapun seseorang berasal, Gunung Kidul, Sleman, Kulon Progro ataupun Bantul, dia akan menyebut dari Yogya. Ada satu norma yang sangat kuat yang tidak saja menyatukan perbedaan diantara warga Yogya; lebih dari itu menjadi simbol kebanggaan bersama. Apalagi keterikatan dikalangan rakyat ini ditopang oleh semangat para penguasa Mataram untuk menyatu dengan rakyatnya, melalui konsep misalnya- Hamemasuh Malaning Bumi, Hamemasah Mimising Budi yang dikemukakan oleh Sultan Agung Hanyokro Kusumo, Hamemayu Hayuning Bawana yang dikemukakan oleh Sultan Hamengku Buwono IX, maupun Hamangku-Hamengku-Hamengkoni yang dikemukakan oleh Sultan Hamengku Buwono X (Ariobimo Nusantara, 1999).

Konsep dan simbol yang dikenal diwujudkan kedalam bentuk melindungi kepentingan rakyat dari tujuan-tujuan pemerintah kolonial (Belanda maupun Jepang) yang sifatnya eksploitatif, seperti melarang warga Yogyakarta menjadi Romusha karena tenaga mereka dibutuhkan untuk membangun Gunsei Hasuiro atau yang sekarang dikenal sebagai Selokan Mataram (Atmakusumah, 1982:61). Selain itu konsep dan simbol yang menjadi pedoman orientasi politik warga Yogyakarta itu diwujudkan pula kedalam semangat dan jiwa patriotisme mendukung ide negara modern yang berlandaskan pada azas demokrasi. Keteguhan Sultan Hamengku Buwono IX mendukung Republik Indonesia, padahal hendak dijadikan Raja Di Raja di seluruh pulau Jawa oleh pemerintah Belanda merupakan bukti keberpihakan itu (Atmakusumah, 1982:67-73). Demikian pula kesedian keraton untuk melindungi para pejuang Republik Indonesia dari kejaran tentara kolonial, merupakan fakta sejarah yang tidak mungkin dilupakan. Puncak dari keberfihan itu adalah amanat bersama Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tanggal 5 September 1945 (bersamaan dengan tanggal 28 Puasa Ehe 1876) menggabungkan kasultanan Yogya dan kadipaten Pakualam sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Menarik untuk dicatat, pada tanggal 6 September 1945 Presiden Soekarno mengutus Mr. Sartono dan Mr. Maramis, yang didampingi B.P.H Purubaya, mengantarkan surat Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono IX yang bertanggal 19 Agustus 1945. Dalam piagam tersebut ditegaskan posisi Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam tetap seperti semula, dan pemerintah Republik Indonesia yakin bahwa kedua penguasa Yogyakarta ini benar-benar akan mencurahkan fikiran, tenaga, dan jiwa mereka untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia. Jadi jelas di sini bahwa yang bergabung adalah sebuah wilayah kerajaan, namun identitasnya tidak lebur karenanya.

I.Otonomi Tingkat Provinsi.

Sederet peristiwa sejarah yang menunjukkan konsistensi sikap kepedulian penguasa Mataram terhadap masa depan dan nasib rakyat itulah yang membangun ikatan emosional yang sangat unik antara Raja dengan rakyatnya. Mereka dapat menjalin hubungan secara terbuka tanpa mengorbankan kewibawaan Sultan maupun Paku Alam sebagai penguasa kerajaan Mataram.

Sejarah mencatat bahwa ikatan emosional yang sangat erat itu tidak digunakan oleh para penguasa Yogyakarta untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka justru menggunakan ikatan itu sebagai alat untuk melindungi dan mempertahankan Republik Indonesia. Tatkala pemerintah Republik Indonesia terdesak, Yogyakarta menjadi benteng terakhir yang menandai eksistensi Republik Indonesia dikancah internasional. Suksesnya aktivitas gerilya yang dilakukan tentara Republik Indonesia dibawah komando Jenderal Sudirman melawan penjajah Belanda, tidak bisa dilepaskan dari dukungan pihak keraton dan masyarakat Yogya.

Atas dasar rangkaian peristiwa sejarah penting yang terjadi di wilayah Yogyakarta yang menjadi tonggak kelangsungan Republik Indonesia inilah pemerintah menetapkan status Istimewa bagi daerah Yogyakarta. Secara eksplisit keistimewaan itu terletak pada tiga bidang: Kepala Daerah, Urusan Pertanahan, dan Kebudayaan.

Perkembangan selanjutnya membuktikan keistimewaan yang dimiliki tidak memberi ruang yang cukup bagi upaya mensejajarkan perkembangan Yogya dengan daerah-daerah lain. Konkretnya, perkembangan Yogyakarta kalah dibandingkan dengan perkembangan daerah-daerah lain yang tidak menyandang status istimewa. Bahkan, bila dilihat secara nasional terbukti dua daerah yang menyandang status istimewa, yakni Yogyakarta dan Nangroe Aceh Darussalam, mengalami perkembangan lebih lamban dibandingkan daerah-daerah lain. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa produk domestik bruto Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada urutan ke 17 dari 26 provinsi yang ada. Bila dilihat dari dimensi regional, maka bisa dikatakan produk domestik bruto DIY merupakan yang terendah dari seluruh provinsi di wilayah waktu Indonesia bagian Barat.

Tabel 5

Nilai Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha

Tahun 1998

Provinsi

Nilai (Jutaan Rupiah)

Proporsi (%)

DKI Jakarta

146,215,775

16.3

Jawa Barat

142,763,786

15.9

Jawa Timur

138,911,324

15.2

Jawa Tengah

84,227.031

9.4

Kalimantan Timur

53,486,093

6.0

Sumatera Utara

48,331,728

5.4

Riau

42,490,846

4.7

Sumatera Selatan

32,575,561

3.6

Aceh

24,919,100

2.8

Sulawesi Selatan

21,950,764

2.4

Lampung

19,409,560

2.2

Papua (Irian Jaya)

19,263,706

2.1

Sumatera Barat

18,052,894

2.0

Kalimantan Barat

15,666.178

1.7

Bali

13,525,985

1.5

Kalimantan Selatan

11,932,227

1.3

Yogyakarta

9,725,407

1.1

Sulawesi Utara

9.267,126

1.0

Kalimantan Tengah

8,783,851

1.0

Nusatenggara Barat

7,784,900

0.9

Sulawesi Tengah

6,692,776

0.7

Jambi

6,633,294

0.7

Maluku

5,270,836

0.6

Nusatenggara Timur

4,758,352

0.5

Sulawesi Tenggara

4,382,995

0.5

Bengkulu

3,401,181

0.4

Total 26 provinsi

898,423,276

100.0

Sumber: Diolah dari data PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi BPS.

Posisi yang tidak menguntungkan ini juga dapat dilihat dari data perbandingan pendapatan perkapita dan konsumsi perkapita seperti tertera pada Tabel 6. Tabel ini mengindikasikan fenomena menarik, pendapatan perkapita Yogyakarta termasuk kedalam kategori rendah, namun konsumsi perkapitanya tinggi. Bila pendapatan perkapita dijadikan salah satu indikator kemakmuran daerah, sulit dibantah bahwa status istimewa yang disandang oleh DIY maupun Aceh tidak signifikan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya.

Tabel 6

Perbandingan Pendapatan Perkapita dan Konsumsi Perkapita

Tahun 1998

Provinsi

Pendapatan Perkapita (Rupiah/Kapita)

Konsumsi Perkapita (Rupiah/Kapita)

Pendapatan Perkapita Tinggi, Konsumsi Perkapita Tinggi

Kalimantan Timur

21,525,311

1,225,884

DKI Jakarta

15,502,672

2,101,776

Riau

10,233,580

1,179,540

Kalimantan Tengah

5,107,336

1,032,900

Pendapatan Perkapita Tinggi, Konsumsi Perkapita Rendah

Papua (Irian Jaya)

9,239,409

845,580

Aceh

6,168,476

817,836

Pendapatan Perkapita Rendah, Konsumsi Perkapita Tinggi

Bali

4,515,360

1,155,504

Sumatera Barat

4,012,869

949,293

Kalimantan Selatan

3,941,150

1,000,188

Jawa Barat

3,464,859

1,049,460

Yogyakarta

3,240,452

1,067,304

Pendapatan Perkapita Rendah, Konsumsi Perkapita Rendah

Sumatera Selatan

4,315,644

752,172

Sumatera Utara

4,147,632

903,480

Kalimantan Barat

3,947,465

865,656

Jawa Timur

3,947,465

802,740

Sulawesi Utara

3,371,703

865,884

Sulawesi Tengah

3,249,788

746,064

Lampung

2,799,974

657,804

Sulawesi Selatan

2,779,422

763,620

Jawa Tengah

2,758,485

733,296

Jambi

2,641,168

887,364

Sulawesi Tenggara

2,594,102

689,028

Maluku

2,421,647

701,352

Bengkulu

2,262,251

811,800

Nusatenggara Barat

2,038,172

680,028

Nusatenggara Timur

1,268,302

594,108

Sumber: BPS dan Susesna, 1998.

Bagaimana dengan fakta Yogyakarta termasuk dalam kategori konsumsi perkapita yang tinggi? Ini terkait dengan posisi Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata kedua (setelah Bali) yang dipilih oleh turis domestik maupun mancanegara. Konkretnya, memang terjadi peningkatan konsumsi, tetapi peningkatan itu dilakukan oleh para turis yang hasilnya menguap dari wilayah Yogyakarta. Sebagai gambaran untuk melihat banyaknya wisatawan yang berkunjung dan menginap di Yogyakarta bisa dilihat dari tabel 7 berikut ini.

Tabel 7

Jumlah Tamu Asing dan Domestik yang Datang

dan Rata-Rata Lama Menginap Menurut Golongan Hotel di DIY

Kelas Hotel (Bintang)

Jumlah Tamu

Rata2 Lama Menginap

Asing

Domestik

Asing

Domestik

I

5.937

57.413

3,35

1,91

II

1.083

27.351

3,04

1,59

III

7.436

101.252

3,44

1,73

IV

33.576

186.610

3,30

1,86

V

34.722

86.268

2,17

3,68

Melati

3.233

139.427

2,24

2,30

JUMLAH

85.987

598.321

2,82

2,19

1999

65.527

441.086

3,53

2,32

Sumber: DIY dalam Angka 2000

Kalaupun di tingkat analisa yang lebih rendah, tingkat kabupaten, terjadi varian yang cukup menarik dalam hal pendapatan perkapita, perbedaan itu bisa menjadi semacam bom waktu yang bisa merusak orang Yogyakarta sebagai sebuah entitas emosional dikelak kemudian hari. Perbedaan SDA maupun SDM yang tidak merata sebagai akibat dari struktur demografis maupun posisi geografis empat kabupaten dan satu kota madya di Yogyakarta, menyebabkan aktivitas bisnis maupun pendidikan tidak terdistribusi secara merata.

Tabel 8 *)

PDRB menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku

Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2000 (Juta Rupiah) **)

Lapangan Usaha

Kabupaten/Kota

Kulonprogo

Bantul

Gunungkidul

Sleman

Yogyakarta

Pertanian

340.663

669.989

919.993

704.858

35.535

Pertambangan & Penggalian

11.698

29.340

59.427

14.793

747

Industri Pengolahan

42.704

416.804

275.468

546.511

390.069

Listrik, Gas & Air Bersih

9.241

8.527

5.508

28.667

46.408

Bangunan

52.629

176.779

151.245

328.170

208.012

Perdagangan, Hotel & Restoran

115.714

385.772

286.786

708.549

796.074

Pengangkutan & Komunikasi

100.791

142.629

185.684

307.520

512.244

Keu, Persewaan & Jasa Perusahaan

49.197

102.974

80.234

324.290

496.839

Jasa-Jasa

178.978

326.667

259.663

597.627

703.092

PDRB

901.615

2.259.481

2.224.008

3.560.985

3.189.020

PDRB Per Kapita (Rupiah)

2.439.596

2.898.331

3.317.459

3.954.049

8.038.080

Sumber : DIY dalam Angka 2000.

*) Kompilasi dari data PDRB masing-masing Kabupaten yang tersaji dalam DIY dalam Angka tahun 2000

**) Data yang tersaji adalah angka sementara

Dari tabel di atas bisa dicermati, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta memiliki aktifitas perekonomian yang jauh lebih maju dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Dua daerah ini dipenuhi oleh pusat bisnis dan pendidikan sebagai dampak dari keuntungan posisinya. Sleman berhubungan langsung dengan pusat aktivitas bisnis di wilayah Jawa Tengah, sedangkan Kota Yogyakarta diuntungkan dengan posisinya sebagai pusat pemerintahan, yang juga memungkinkan menjadi pusat bisnis. Sebaliknya, wilayah Kabupaten Kulonprogo dan Gunung Kidul menjadi wilayah yang terisolir, yang sangat sedikit menarik minat para investor asing maupun domestik. Sektor pertanian merupakan tumpuan kegiatan perekonomian, sedangkan pengembangan sektor-sektor lainnya nampak sangat terbatas.

Bila dikaitkan dengan titik berat otonomi pada wilayah Kabupaten seperti digariskan dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999, garis start yang berbeda antara empat wilayah kabupaten dan satu kota madya yang ada di Yogyakarta berpotensi melahirkan kompetisi yang tidak sehat, yang justru tidak membawa kebaikan bagi masyarakat Yogyakarta sebagai satu entitas. Apalagi bila dikaitkan dengan kekhawatiran banyak pihak bahwa pelaksanaan otonomi daerah seperti diatur Undang-undang nomor 22 tahun 1999 berpotensi melahirkan raja-raja kecil di daerah. Untuk mengatasi inilah maka jalan terbaik yang bisa ditempuh adalah meletakkan otonomi di Yogyakarta pada tingkatan provinsi, bukan pada tingkat kabupaten.

II.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Dimensi lain dari keistiemwaan Yogyakarta adalah pada posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Seperti telah diungkapkan dibagian awal naskah ini, kerajaan Mataram didirikan secara gotong-royong antara rakyat dengan rajanya. Fakta ini yang kemudian dituangkan oleh Sultan Hamengku Buwono I dalam konsep HabluminallahHabluminannas, Sangkan Paraning Dumadi Manunggaling Kawula lan Gusti, setelah membuka alas Bering sebagai Kerajaan Ngayogyakarto-Hadiningrat mengikuti isi Perjanjian Giyanti 1755 (Vincent Houben, 1994). Pelaksanaan konsep ini berpoenti mengarah ke dua hal. Pertama, ada jaminan bahwa persoalan rakyat Mataram adalah juga persoalan Rajanya. Kedua, Raja Mataram tidak selalu harus berdiri didepan. Meminjam terminologi Ki Hadjar Dewantara, seorang Raja Mataram harus dapat secara arif memperhatikan perkembangan jaman, apakah harus menempatkan diri pada posisi ing ngarso hasung tulodo, ing madya mbangun karso, ataukah tut wuri handayani.

Catatan kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang tertuang dalam buku Tahta Untuk Rakyat (1982) membuktikan kedua interpretasi diatas. Kisah Sultan Hamengku Buwono IX mengangkat karung dagangan orang yang menumpang mobilnya ke pasar Beringharjo, menunjukkan kepedulian Sultan terhadap persoalan rakyatnya. Tapi fakta lain, Sultan Hamengku Buwono IX tidak pernah mendebat argumentasi yang dikemukakan oleh stafnya, dan hanya bertanya Sudah yakinkah anda akan hal itu? menunjukkan bahwa Sultan tidak menempatkan dirinya sebagai figur yang serba tahu. Ketika Sultan harus tampil membela rakyat Yogyakarta agar tidak dijadikan Romusha oleh pemerintah kolinal Jepang, merupakan fakta pemahaman Sultan akan posisi yang harus dijalaninya.

Realita ini membawa kita kepada dua hal lain. Pertama, memang ada kehendak dari penguasa Yogyakarta untuk menganut faham demokrasi dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Kedua, romantisme sejarah telah mematri norma-norma dasar yang amat sulit untuk dirubah, bahwa sedemokratis apapun masyarakat Yogyakarta, Sultan tetaplah Sultan dengan segala atribut kekuasaan yang dimilikinya. Hingga persoalan sentral bagi demokratisasi masyarakat Yogyakarta (dalam kaitannya dengan posisi Keraton) adalah disatu pihak ada kehendak Keraton untuk mendemokratisasi diri, dipihak lain ada hambatan psikologis masyarakat untuk melihat Rajanya berdiri sejajar dengan rakyatnya (Kristianto, 1996).

Implikasi dari dilema ini adalah sulitnya memunculkan Kepala Daerah dari luar keluarga Keraton. Resistensi masyarakat Yogyakarta akan sangat tinggi bila Kepala Daerah datang dari orang biasa. Hal ini dapat dibuktikan pada saat pemilihan Gubernur DIY setelah KGPAA Paku Alam VIII mangkat. Proses yang berlarut-larut telah memunculkan satu fenomena monumental: Pelantikan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY oleh Rakyat. Sekalipun Sultan Hamengku Buwono X sendiri tidak merasa terganggu oleh munculnya calon lain, namun rakyat-lah yang merasa risih bila Sultan harus dikonteskan (Ariobimo, 1999:63-81).

Sebenarnya persoalan Kepala Daerah di Yogyakarta ini berawal dari interpretasi terhadap dua Piagam Kedudukan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945. Selengkapnya kedua piagam itu berjudul:

1.Piagam Kedoedoekan Sri Padoeka Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengkoe Boewono IX;

2.Piagam Kedoedoekan Sri Padoeka Kandjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII.

Substansi dari kedua piagam tersebut adalah mengakui keistimewaan nagari Ngayogyakarto Hadiningrat. Namun kedua piagam itu juga secara eksplisit menyebut nama Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka KGPAA Paku Alam VIII sebagai penguasanya. Fakta ini bisa diinterpretasikan bahwa keistimewaan Yogyakarta melekat kepada diri penguasa ini, atau kepada keluarga Kasultanan dan Pakualaman.

Sejauh ini kita hanya dapat mengajukan argumentasi sosiologis, bahwa pada kenyataannya yang menjadi panutan masyarakat Yogyakarta adalah keluarga Kasultanan dan keluarga Pakualaman. Realitas sosiologis yang ditopang dengan realitas kultural mengarah kepada pembenaran bahwa keistimewaan Yogyakarta terletak pada eksistensi Keraton (Kasultanan maupun Pakualaman). Pertanyaannya adalah: Apakah yang menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus Sultan dan Sri Paku Alam sendiri, ataukah bisa tokoh lain sepanjang datang dari keluarga Kraton?

Jawaban terhadap pertanyaan ini akan membawa implikasi yang sangat luas sekali. Bila harus Sultan dan Sri Paku Alam (yang sedang bertahta), maka ketentuan Undang-undang bahwa Kepala Daerah hanya dapat menjabat maksimal 2 (dua) kali masa jabatan menjadi sangat sulit untuk diwujudkan di Yogyakarta. Sebagai Sultan maupun Sri Paku Alam, jabatan itu berlaku sampai keduanya surut. Namun sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, jabatannya hanya boleh disandang selama maksimal 10 tahun (dua masa jabatan).

Bila jawabannya tidak harus, maka persoalan yang muncul adalah siapa yang boleh muncul, mekanisme apa yang bisa dilakukan untuk memunculkannya, serta dimana posisi Kraton bila jabatan Kepala Daerah tidak dijabat oleh kalangan Kraton?

Untuk menjawab rangkaian pertanyaan ini, maka sulit dihindari adanya semacam tuntutan agar pihak Keraton melakukan demokratisasi internal untuk memunculkan calon yang direstui. Konkretnya calon Kepala Daerah bisa saja tokoh lain, tidak harus Sultan atau Sri Paku Alam yang sedang jumeneng, tetapi calon itu lahir dari seleksi terbuka-terbatas yang berlangsung secara internal didalam keluarga Kraton itu sendiri. Maksudnya bisa saja salah satu dari sentana ndalem direstui mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah, tapi calon tersebut terseleksi secara ketat diantara para sentana ndalem yang ada. Atau pihak Kraton mengusulkan beberapa nama untuk dipilih secara terbuka oleh rakyat atau wakil rakyat di DPRD, tanpa menunjukkan preferensi diantara calon yang diusulkan.

Secara teoritis bisa saja pihak Kraton mencalonkan tokoh dari luar benteng Kraton. Bila hal ini dijadikan pilihan, setidaknya ada dua kesulitan yang muncul. Pertama, pihak Kraton akan dinilai masyarakat tidak berdiri di segala golongan. Sebagai orang biasa, maka calon Kepala Daerah harus muncul tanpa menggunakan payung kharisma Sultan ataupun Sri Paku Alam. Kedua, resistensi masyarakat terhadap pemerintah akan sangat tinggi, sehingga justru akan menyulitkan pelaksanaan program-program pemerintahan. Mengingat akan dua kemungkinan ini, maka sebaiknya kemungkinan teoritis ini tidak dibicarakan.

Kalau pun calon Kepala Daerah datang dari keluarga Kasultanan dan keluarga Pakualaman, apakah pola kepemimpinannya mengacu kepada pola hubungan antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan Sri Paduka KGPAA Paku Alam VIII? Artinya, calon dari Kasultanan khusus untuk jabatan Kepala Daerah, sedangkan calon dari Pakualaman khusus untuk jabatan Wakil Kepala Daerah? Bila acuannya adalah kualitas, maka jawaban terhadap pertanyaan ini adalah tidak harus. Artinya, bisa calon dari keluarga Paku Alaman diusulkan menjadi Kepala Daerah, sedangkan calon dari keluarga Kasultanan diusulkan menjadi Wakil Kepala Daerah. Namun ini kemungkinan yang secara teoritis benar, namun secara faktual, sosiologis dan kultural mungkin sulit dibenarkan. Persoalannya tinggal bagaimana para calon yang ditampilkan oleh Kasultanan maupun Paku Alaman benar-benar calon yang berkualitas, setidaknya tidak kalah dengan kualitas orang kebanyakan yang ada diluar tembok Kraton. Ini urusan internal Kraton yang bukan menjadi substansi materi RUU tentang Keistimewaan DIY.

Substansi yang harus mendapatkan perhatian adalah dimana posisi kraton bila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bukan Sultan atau Sri Paku Alam yang sedang jumeneng? Lebih tajam lagi, dimana posisi Kraton dalam proses pemerintahan, mengingat salah satu keistimewaan Yogyakarta adalah pada eksistensi Kratonnya?

Mengingat eksistensi Keraton terletak pada keistimewaan budaya (yang merupakan modal dasar keistimewaan DIY disamping Kepala Daerah dan Pertanahan), maka posisi Kraton bila Kepala Daerahnya bukan Sultan yang sedang jumeneng- terletak pada kontrol terhadap langkah-langkah pemerintah yang dipandang bertentangan dengan atau menyimpang dari norma-norma dasar yang dikenal dan dianut oleh masyarakat Yogyakarta. Artinya, kepada Sultan ataupun Paku Alam diberikan semacam hak veto, yang tata cara pelaksanaannya bisa dibahas bersama DPRD. Misalnya, mengenai bidang apa saja yang bisa diveto? Bagaimana mekanismenya? Kalau keputusan DPRD telah disepakati secara bulat oleh para wakil rakyat, apakah masih bisa diveto oleh Sultan?

Kesepakatan antara pemerintah, DPRD dan pihak Kraton (bila Kepala Daerahnya bukan Sultan) tidak menyalahi prinsip dasar pemerintahan. Pemerintahan modern dilaksanakan atas dasar perjanjian antara yang memerintah dengan yang diperintah. Bahkan dengan adanya perjanjian semacam ini akan meningkatkan akuntabilitas horizontal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.

Alternatif lain adalah dengan membentuk semacam House of Lords, sehingga para wakil rakyat di DPRD diasumsikan sebagai House of Commons. Namun alternatif ini tidak sejalan dengan pola dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yang hanya mengenal DPRD sebagai lembaga legislatifnya.

Keuangan.

Sekalipun ada adagium otonomi bukan auto-money, namun sulit membayangkan pelaksanaan kewenangan yang ada tanpa adanya dukungan dana yang memadai. Sejauh ini pembahasan mengenai dukungan dana selalu dikaitkan dengan tersedianya SDA yang memadai. Adapun SDM dijadikan faktor penunjang untuk secara maskmimal memanfaatkan SDA yang ada.

Cara pandang semacam ini tidak seratus persen benar. Beberapa daerah (bahkan negara) yang tidak memiliki SDA bisa saja berkembang melalui pemaksimalan SDM yang ada. Konkretnya menggunakan SDM yang ada untuk mencari alternatif usaha yang tidak (terlalu) membutuhkan SDA, semacam pengembangan upaya bisnis. Singapore, Macao, dan Monaco tidak memiliki SDA. Namun mereka memiliki SDM yang kreatif, yang mampu merubah daerah gersang menjadi pusat bisnis dunia.

Bila cara pandang ini digunakan untuk Yogyakarta yang relatif tidak memiliki SDA yang memadai, maka alternatif pemaksimalan SDM, khususnya bidang jasa, menjadi alternatif yang menjanjikan. Untuk itu bidang yang bisa segera dimaknfaatkan adalah pemaksimalan pajak (PPH dan PPN) disamping retribusi dari usaha bisnis jasa yang berkembang.

Salah satu bisnis jasa yang berkembang di Yogyakarta adalah pendidikan. Sebagai Kota Pelajar Yogyakarta ibarat ibu yang selalu ditinggalkan oleh anak-anaknya. Yogyakarta mendidik mayoritas (calon) intelektual dan pemimpin bangsa bila dibandingkan dengan provinsi lain. Maka sangat layak bila Yogyakarta mendapatkan anggaran pendidikan lebih besar dibanding daerah lain. Alternatif lain adalah menerapkan SPP yang berbeda antara penduduk asli Yogyakarta dengan pelajar pendatang. Sehingga mereka yang datang ke Yogyakarta adalah orang yang benar-benar ingin menuntut ilmu, dan bukan buangan karena kesibukan orang tuanya sudah sulit mengendalikannya lagi.

Pengembangan Yogyakarta sebagai pusat aktivitas bisnis, sehingga memungkinkan untuk menarik pajak dan retribusi yang lebih besar, terkait erat dengan lintas wisata Yogyakarta-Bali. Harus ada upaya dari pemerintah daerah untuk memaksa para wisatawan untuk datang dan menginap di Yogyakarta. Ini memang bidang yang sangat operasional yang tidak termasuk dalam materi sebuah RUU. Namun setidaknya ada payung hukum yang jelas yang memungkinkan pemerintah daerah melakukan usaha seperti itu.

Pengembangan pusat-pusat wisata menjadi pilihan menarik untuk meningkatkan pajak dan retribusi yang bisa diambil. Masalah yang potensial mencuat adalah seberapa kuat masyarakat Yogyakarta menjaga nilai-nilai kulturalnya sehingga tidak terseret oleh permintaan pasar yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai itu? Di sini hak veto Sultan bisa dilakukan, bila Kepala Daerahnya bukan Sultan.

Pertanyannya sekarang adalah seberapa besar (dalam angka atau persentase) besarnya PPH dan PPN yang bisa diambil oleh Yogyakarta? Pertanyaan tehnis ini sulit dijawab. Tetapi mengacu kepada Undang-undang NAD dan Undang-undang Otonomi Khusus Papua, angka 80% menjadi acuan utama. Namun bila mengingat angka 80% itu berhubungan dengan SDA, maka ada alasan untuk mengajukan angka 100% milik Yogyakarta.

D. PENUTUP

Dari paparan yang dikemukakan dalam naskah akademik ini, dapat disimpukan bahwa kebutuhan akan adanya UU baru yang melindungi dan mengatur keistimewaan Yogyakarta mutlak dibutuhkan. UU yang baru itu tidak sekedar mensahkan dan mengatur keistimewaan Yogyakarta pada tataran prinsip, lebih dari itu dikehendaki pengaturan yang lebih detail sehingga makna keistimewaan itu jelas adanya.

Pengaturan yang lebih spesifik ini sangat dibutuhkan, sebab sejauh ini predikat istimewa yang disandang oleh Yogyakarta, belum membawa perubahan yang signifikan, terutama bila dibandingkan dengan kemajuan daerah-daerah lain yang tidak menyandang status istimewa. Mengingat kelangkaan sumber daya alam yang ada di Yogyakarta, maka untuk mengisi bobot dan ruang keistimewaan yang disandang, maka perlu ditetapkan hal-hal sebagai berikut:

Yogyakarta adalah sebuah entitas budaya dan politik, karena itu sangat logis bila otonomi di Yogyakarta diletakkan di tingkat provinsi, dan bukan di tingkat kabupaten sebagaimana dikehendaki oleh UU nomor 22/1999.Sesuai dengan perkembangan jaman serta situasi riil yang dihadapi oleh pemerintah daerah, maka keistimewaan DIY berkembang tidak saja pada aspek kepala daerah, pertanahan, dan budaya, juga menyangkut masalah keuangan, pendidikan, dan kepariwisataan.Sebagai suatu proses, demokratisasi di kalangan keraton maupun jajaran pemerintah DIY telah berlangsung lama, namun tidak secapat dan sefrontal yang dikehendaki oleh orang dari luar DIY. Hal ini karena pengaruh kultur Jawa dimana masyarakat lebih menekankan kepada suasana kehidupan yang tenteram, sehingga setiap langkah perubahan benar-benar harus diperhitungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, (Jakarta: Gramedia, 1982).

Ariobimo Nusantara (editor), Sri Sultan Hamengku Buwono X: Meneguhkan Tahta Untuk Rakyat (Yogyakarta: Grasindo, 1999).

Biro Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1998.

Gie, The Liang, Pertumbuhan Pemerintahan daerah di Negara Republik Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993.

Hamengku Buwono, Sri Sultan X, Bercermin di Kalbu Rakyat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999.

Houben, Vincen J., Kraton and Kumpeni, Kitlv Press, Leiden, Netherland, 1994.

Moedjanto, G., Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Kanisius, Yogyakarta, 1994.

Najib, Mohammad, Demokrasi dalam Perspekstif Budaya Nusantara, LKPSM, Yogyakarta, 1996.

Pemerintah Daerah Provinsi DIY, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemda DIY, Yogyakarta, 1996.

Poerwokoesoemo, Soedarsiman KPH MR., Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1984.

-------------------------------------------------------, Kasultanan Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985.

Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1981.

Sujamto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1988.

Suwarno, PJ., Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942 1947, Sebuah Tinjauan Historis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1994.

----------------., Isu-isu Keistimewaan DIY (Makalah pada Loka Karya Jabatan Wakil Gubernur DIY Dalam Era Otonomi Daerah), Yogyakarta, Agustus 2001.

Tri Agung Kristanto, Menatap Perubahan Peran dan Masa Depan Keraton Yogyakarta (Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM), 1996.

Utomo, Tri Widodo W., Hukum Pertanahan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Navila, Yogyakarta, 1992.