naskah akademik revisi uu 32 bab v

30
   Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net www.parlemen.net BAB V. Keuangan Daerah  A. Pend ahu lu an Implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia baru saja beranjak dari usianya yang keenam tahun. Suatu kebijakan yang masih relatif muda usia setelah kebijakan yang sangat tersentralisir dilakukan di Indonesia oleh Pemerintahan Orde Baru. Perubahan kebijakan manajemen publik yang sangat revolusioner ini ditandai dengan lahirnya UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada akhir Pemerintahan Megawati, pada tahun 2004, kedua UU ini direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004. Layaknya suatu perubahan yang mendasar, masih sering dirasakan adanya kekurangan yang muncul dalam pengaturan manajemen pemerintahan daerah termasuk antara hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Tak jarang pula, telah terdengar usulan untuk merevisi kedua perundangan yang baru tersebut demi menciptakan hubungan pemerintah pusat dan daerah yang lebih harmonis dan berkeadilan serta proses manajemen pemerintahan daerah yang lebih baik lagi. Penting disadari pula, revisi UU No.32 Tahun 2004 pada bagian keuangan daerah akan mempengaruhi regulasi keuangan daerah pada UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. B. Ringkasan Permasalahan Pengaturan mengenai keuangan daerah yang termuat dalam Bab VIII Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, pemisahan kewenangan dan administrasi keuangan negara (APBN) dan keuangan daerah (APBD). Kedua, sumber penerimaan daerah dalam APBD. Ketiga, manajemen pengelolaan keuangan daerah, khususnya APBD. Berkaitan dengan pemisahan kewenangan dan administrasi keuangan, terdapat satu permasalahan yang penting diselesaikan yaitu berkaitan dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam proses alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) terdapat permasalahan yang mendasar berkaitan dengan kriteria khusus dalam proses alokasi DAK. Permasalahan regulasi keuangan daerah yang ketiga berkaitan dengan proses alokasi DAU yang seharusnya perlu ditegaskan kembali mengenai bobot setiap variabel yang digunakan dalam pertimbangan penentuan celah fiskal serta mekanisme alokasinya berkaitan dengan kelembagaan. Permasalahan lain yakni berkaitan dengan pengaturan pedoman tentang pengelolaan APBD yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. C. Permasalahan: Elaborasi Pengaturan Keuangan Daerah dalam UU No.32/2004 C.1 . Dana De kons entrasi dan Tugas Pembantuan C.1 .1. De fenisi Dana Dekonsentr asi dan Tugas Pembantuan Mengacu pada UU No.32/2004 Pasal 1 dinyatakan bahwa Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada

Upload: diswandi-andy

Post on 09-Jul-2015

135 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 1/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

BAB V. Keuangan Daerah

A. Pendahuluan

Implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia baru saja beranjak dariusianya yang keenam tahun. Suatu kebijakan yang masih relatif muda usia setelah kebijakanyang sangat tersentralisir dilakukan di Indonesia oleh Pemerintahan Orde Baru. Perubahankebijakan manajemen publik yang sangat revolusioner ini ditandai dengan lahirnya UU No. 22dan No. 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antaraPemerintah Pusat dan Daerah. Pada akhir Pemerintahan Megawati, pada tahun 2004, keduaUU ini direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004.

Layaknya suatu perubahan yang mendasar, masih sering dirasakan adanya kekurangan yangmuncul dalam pengaturan manajemen pemerintahan daerah termasuk antara hubunganpemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Tak jarang pula, telah terdengar usulan untukmerevisi kedua perundangan yang baru tersebut demi menciptakan hubungan pemerintah

pusat dan daerah yang lebih harmonis dan berkeadilan serta proses manajemen pemerintahandaerah yang lebih baik lagi.

Penting disadari pula, revisi UU No.32 Tahun 2004 pada bagian keuangan daerah akanmempengaruhi regulasi keuangan daerah pada UU No.33 Tahun 2004 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

B. Ringkasan Permasalahan

Pengaturan mengenai keuangan daerah yang termuat dalam Bab VIII Undang-Undang tentangPemerintahan Daerah ini secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama,pemisahan kewenangan dan administrasi keuangan negara (APBN) dan keuangan daerah(APBD). Kedua, sumber penerimaan daerah dalam APBD. Ketiga, manajemen pengelolaan

keuangan daerah, khususnya APBD.

Berkaitan dengan pemisahan kewenangan dan administrasi keuangan, terdapat satupermasalahan yang penting diselesaikan yaitu berkaitan dengan dana dekonsentrasi dan tugaspembantuan. Dalam proses alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) terdapat permasalahan yangmendasar berkaitan dengan kriteria khusus dalam proses alokasi DAK.

Permasalahan regulasi keuangan daerah yang ketiga berkaitan dengan proses alokasi DAUyang seharusnya perlu ditegaskan kembali mengenai bobot setiap variabel yang digunakandalam pertimbangan penentuan celah fiskal serta mekanisme alokasinya berkaitan dengankelembagaan. Permasalahan lain yakni berkaitan dengan pengaturan pedoman tentangpengelolaan APBD yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

C. Permasalahan: Elaborasi Pengaturan Keuangan Daerah dalam UU No.32/2004

C.1. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

C.1.1. Defenisi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Mengacu pada UU No.32/2004 Pasal 1 dinyatakan bahwa Dekonsentrasi adalah pelimpahanwewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintahdan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan Tugas Pembantuan adalahpenugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada

Page 2: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 2/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untukmelaksanakan tugas tertentu. Menurut PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem InformasiKeuangan Daerah menyebutkan bahwa Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dariAPBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semuapenerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk danayang dialokasikan untuk investasi vertikal pusat di daerah. Dana Tugas Pembantuan adalahdana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semuapenerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan.

Merujuk pada definisi di atas, Dana Dekonsentrasi -yang akan jadi fokus bahasan, tidak lainadalah implikasi dari pelimpahanan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur untukurusan yang didekonsentrasikan. Provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah otonomsekaligus adalah wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja gubernur untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Berkaitan dengan itu maka Kepala DaerahOtonom disebut Gubernur yang berfungsi pula selaku Kepala Wilayah Administrasi dansekaligus sebagai wakil Pemerintah. Gubernur selain sebagai pelaksana atas asasdesentralisasi, juga melaksanakan asas dekonsentrasi.

Urgensi mengenai dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini semakin meningkatmengingat jumlahnya dari tahun ke tahun semakin bertambah. Data sementara yang dilansiroleh Departemen Keuangan RI pada tahun 2006 misalnya mencatat bahwa besarnya danadekonsentrasi dan tugas pembantuan mencapai lebih dari Rp 30 Trilyun atau lebih dari tiga kalilipat dibandingkan dana yang sama pada tahun 2005 atau tumbuh sebesar lebih dari 200%.Perkembangan total Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tahun 2005 dan 2006tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini:

Gambar 5: Perkembangan Jumlah Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan diIndonesia Tahun 2005 – 2006 (Dalam Milyar Rp)

4,000

5,906

9,907

24,745

5,302

30,047

-

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

Dana Dekon Dana TP Dana Dekon/TP

   R  p   M   i   l  y  a  r

2005 2006

 Sumber: Depkeu RI, 2007

Page 3: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 3/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut, Kementerian danLembaga terbesar yang menyalurkannya adalah Departemen Pendidikan Nasional yaitu sekitar59% dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada tahun 2006 disusul denganDepartemen Kesehatan dan Departemen Pertanian yang memiliki kontribusi lebih dari 10%.Total ketiga departemen ini memiliki porsi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan lebih dari84%. Pada tahun 2006, nilai dana dekonsentrasi sekitar 5 kali lipat dibandingkan dengan danatugas pembantuan, memiliki pola berbeda jika dibandingkan dengan tahun 2005 dimana nilaialokasi dana tugas pembantuan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dana dekonsentrasi.Hal ini tidak terlepas dari menurunnya jumlah alokasi dana tugas pembantuan yang dilakukanoleh Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2005. Detaildistribusi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menurut Kementerian danLembaga pada tahun 2006 dapat diperlihatkan pada tabel berikut ini:

Tabel Alokasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun 2006 menurutKementerian dan Lembaga (dalam Jutaan Rupiah)

No Nama Kementerian/LembagaJumlah Dana

DekonJumlahDana TP

Jumlah TotalDekon dan TP

Proporsi

1 Departemen Dalam Negeri 106,824 244,970 351,794 1.17%

2 Departemen Pertanian 1,104,428 1,931,964 3,036,392 10.11%

3 Departemen Perindustrian 72,094 - 72,094 0.24%

4Departemen Energi dan Sumber DayaMineral

150,244 - 150,2440.50%

5 Departemen Pendidikan Nasional 17,719,711 - 17,719,711 58.97%

6 Departemen Kesehatan 2,703,504 1,841,073 4,544,577 15.13%

7 Departemen Agama 45,445 - 45,445 0.15%

8 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 473,832 563,943 1,037,775 3.45%9 Departemen Sosial 966,406 - 966,406 3.22%

10 Departemen Kehutanan 136,636 - 136,636 0.45%

11 Departemen Kelautan dan Perikanan 646,031 258,496 904,527 3.01%

12 Departemen Pekerjaan Umum 87,261 437,034 524,295 1.74%13 Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2,300 - 2,300 0.01%

14 Kementerian Negara Koperasi dan UKM 210,000 - 210,000 0.70%

15 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 9,625 3,500 13,125 0.04%

16 Badan Koordinasi Penanaman Modal 5,000 - 5,000 0.02%17 Arsip Nasional Republik Indonesia 3,650 - 3,650 0.01%

18 Departemen Perdagangan 76,315 - 76,315 0.25%

19Kementrian Negara Pemuda danOlahraga

112,000 - 112,0000.37%

20Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias

113,361 21,019 134,3800.45%

TOTAL 24,744,667 5,301,999 30,046,666 100.00%

 

Sumber: Depkeu RI diolah dari data sementara RKA-KL Maret 2006

Satu hal yang penting menjadi perhatian dalam era manajemen publik yang lebihterdesentralisir saat ini, proporsi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap totalbelanja dalam APBN mengalami peningkatan, dari 1,94% pada tahun 2005 menjadi 4,3% padatahun 2006. Dengan menggunakan perbandingan terhadap total belanja ke daerah dalamAPBN, proporsi ini meningkat dari 6,58% tahun 2005 menjadi 13,61% pada tahun 2006. Kondisiini tidak terlepas dari pertumbuhan nilai dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang

Page 4: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 4/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

sangat lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan belanja ke daerah dan total belanjadalam APBN. Sebagai ilustrasi, total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tumbuhsebesar 203% sedangkan total belanja ke daerah dalam APBN hanya tumbuh sebesar 47%.

Perkembangan ini tentunya tidak terlalu menggembirakan bagi perkembangan kebijakandesentralisasi fiskal di Indonesia. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal saat ini,Pemerintah Pusat seharusnyalah memberikan alokasi dana yang lebih besar kepadapemerintahan daerah dalam wilayah kewenangannya. Pertanyaan mendasar berikutnya adalahberkaitan dengan distribusi aliran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan berdasarkanprovinsi. Data pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa kawasan di Indonesia yang terbesarmenerima dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah provinsi-provinsi di Pulau Jawadan Bali yaitu sekitar 37,8% dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada periodetersebut. Detail distribusi dari aliran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebutmenurut kawasan dapat ditunjukkan pada Gambar 6 berikut ini:

Gambar 6: Distribusi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menurut Kawasan diIndonesia, 2006 (dalam Persentase)

Jawa Bali

37.8%

Sumatera

26.6%

Kalimantan

9.3%

Sulawesi

12.0%

Lainnya14.3%

 

Gambaran di atas memberikan satu pertanyaan penting mengenai proses penentuan besaranalokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menurut provinsi. Hal ini merupakan salahsatu permasalahan utama berkaitan dengan dana dekonsentrasi yang juga diatur dalam UUNo.32 Tahun 2004 serta UU No.33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan antaraPemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Detail permasalahan mengenai danadekonsentrasi ini dapat diperlihatkan pada bagian berikut ini

C.1.2. Permasalahan Dana Dekonsentrasi

Secara umum, ada dua kelompok besar permasalahan yang dihadapi dalam kebijakan danadekonsentrasi saat ini, yaitu berkaitan dengan proses manajemen pengelolaan dana

dekonsentrasi serta kriteria penentuan jumlah alokasi dan potensi ketidakmerataan fiskalantardaerah. Kedua kelompok permasalahan tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

C.1.2.a. Manajemen pengelolaan Dana Dekonsentrasi

Permasalahan pertama yang berkaitan dengan dana dekonsentrasi ini berkaitan denganmanajemen pengelolaan dana dekonsentrasi. Pasal 155 UU No.32/2004 Ayat (3) menyatakanbahwa administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan dilaksanakan oleh

Page 5: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 5/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

pemerintahan daerah yang dibiayai oleh APBN dan APBD dilakukan secara terpisah.Pengelolaan secara terpisah ini menimbulkan potensi permasalahan yang sangat besarmenyangkut siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dana dekonsentrasi tersebut.Menurut ketentuan, gubernur wajib mempertanggungjawabkan dana tersebut kepadapemerintah pusat dalam hal ini adalah departemen teknis yang berkaitan dengan danadekonsentrasi tersebut.

Dalam kenyataannya, Anggota DPRD di tingkat provinsi hanya dilaporkan saja dan Gubernurtidak wajib mempertanggungjawabkannya di hadapan anggota DPRD. Pertanggungjawabandilakukan kepada departemen teknis yang memiliki dana dekonsentrasi tersebut. Sistempertanggungjawaban semacam ini mengundang permasalahan yang berpotensi merugikannegara. Pernyataan oleh Auditor Utama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) misalnya, menyebutkan akuntabilitas dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan olehpemerintah pusat kepada pemerintah daerah sejak tahun 2000 masih lemah karenapenggunaannya tidak dilaporkan dalam APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD.Apabila kondisi ini terus dibiarkan, dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 trilyun bisa dijadikansarana untuk pencucian aset sehingga berpotensi tindak pidana. (Kompas , 29 Januari 2007)

Lebih lanjut, keberadaan dana dekonsentrasi—dana yang diambil dari APBN dan disalurkanmelalui departemen teknis yang masih memiliki kaitan kepentingan dengan daerah—itu tidaktercatat secara akuntansi. Dengan demikian, harus dilacak hingga ke realisasi fisik di lapanganuntuk mengetahui penggunaan anggarannya. Selama ini daerah hanya menerima dananya,tetapi menolak mengakui sebagai bagian dari kekayaannya pada saat dimintapertanggungjawaban. Pelacakan dana tersebut harus dilakukan departemen yangmenyalurkannya dan perlu diawasi oleh instansi pengawasan internal di departemen tersebut.BPK sempat menguji sebagian dari keberadaan dana itu hingga ke fisik, namun ternyata tidaksesuai dengan laporan pemerintah pusat

Meskipun pemerintah pusat telah mengatur manajemen dana dekonsentrasi, dalamkenyataannya muncul beberapa kelemahan yang akan mengurangi akuntabilitaspenggunaannya. Dana dekonsentrasi secara rinci dijelaskan lebih lanjut dalam UU No. 33

Tahun 2004 (yaitu Pasal 87 sampai dengan Pasal 93), PP No. 106 Tahun 2000 tentangPengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi danTugas Pembantuan, dan Surat Keputusan Menteri Keuangan (SK Menkeu) RI No.523/KMK.03/2000 tentang tatacara Penganggaran, Penyaluran Dana Pertanggungjawaban danPelaporan Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, ketentuan umum dari pendanaan dekonsentrasi meliputi:

a) Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahanwewenang Pemerintah melalui kementrian negara/lembaga kepada Gubernur sebagaiwakil Pemerintah di daerah.

b) Pelaksanaan pelimpahan wewenang sebagaimana didanai oleh Pemerintah

c) Pendanaan oleh Pemerintah disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan.

d) Kegiatan Dekonsentrasi di daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD) yang ditetapkan oleh gubernur.

e) Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementrian negara/lembagayang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada DPRD.

f) Rencana kerja dan anggaran diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasanRAPBD.

g) Pendanaan dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat nonfisik. (antaralain: koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, danpengendalian)

Page 6: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 6/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Lebih jauh lagi, menurut PP No. 106 Tahun 2000, asas umum dari pendanaan dekonsentrasiadalah:

a) Kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah Provinsi dalam rangka pelaksanaan

Dekonsentrasi dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.b) Kewenangan dilaksanakan oleh Dinas Provinsi sebagai perangkat Daerah Provinsi.

c) Penyelenggaraan Dekonsentrasi dibiayai atas beban pengeluaran pembangunan APBN.

d) Pencatatan dan pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan Dekonsentrasi dilakukansecara terpisah dari APBD.

e) Gubernur memberitahukan kepada DPRD tentang kegiatan Dekonsentrasi.

Permasalahan muncul karena adanya aliran dana dari departemen teknis pada levelpemerintah pusat kepada dinas teknis yang menimbulkan potensi masalah koordinasi.Koordinasi antara dinas teknis di daerah menyangkut penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasidengan unit kerja yang bertanggung jawab dalam perencanaan daerah tentunya bukan tanpa‘biaya’. Seperti diketahui bersama, permasalahan koordinasi merupakan permasalahan yangsangat besar dalam manajemen publik di Indonesia termasuk pada level pemerintahan daerah.

Meskipun kepala daerah harus melaporkan rencana kegiatan yang akan dibiayai melalui danadekonsentrasi kepada DPRD pada saat pembahasan APBD, dalam implementasinyapemberitahuan alokasi dana dekonsentrasi ke pemerintah daerah diinformasikan setelah APBDditetapkan. Implikasinya, hal ini dapat menyebabkan potensi permasalahan double financing dari program pemerintah. Yaitu, suatu kegiatan dalam program pemerintah daerah berpotensidibiayai dua kali yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan dana APBD. Tentunya hal inimenimbulkan inefisiensi yang sangat besar dalam manajemen keuangan publik.

Akuntabilitas penggunaan dana dekonsentrasi di daerah juga dipacu oleh ketentuan bahwaGubernur hanya melaporkan kepada DPRD dan bukan mempertanggungjawabkannya kepadaDPRD. Kontrol DPRD terhadap pertanggungjawaban dan manajemen dana dekonsentrasi iniberkurang apalagi saat pelaporan tersebut dana dekonsentrasi belum dialokasikan kepada

daerah saat pembahasan APBD. Sebagai contoh adalah apa yang diungkapkan oleh PanitiaAnggaran DPRD Provinsi Jawa Barat bahwa meskipun adanya mekanisme pemberitahuan olehGubernur kepada DPRD terkait program-program yang menyangkut dana dekonsentrasi, dalamkenyataannya DPRD tidak pernah tahu apa saja yang sudah dilakukan terkait denganpenyerapan dana tersebut. Implikasinya, kewenangan DPRD untuk mengawasi aktivitaseksekutif pemerintahan daerah menjadi tidak efektif. (Pikiran Rakyat , 10 Januari 2007)

Selain permasalahan manajemen pengelolaan dana dekonsentrasi, permasalahan terbesarkedua adalah kriteria penentuan jumlah alokasi dana dekonsentrasi per provinsi dan potensiketidakmerataan fiskal antardaerah. Permasalahan ini akan dijelaskan pada bagian berikut ini.

C.1.2.b. Kriteria penentuan jumlah alokasi dan potensi ketidakmerataan fiskalantardaerah

Permasalahan mendasar kedua dari alokasi dana dekonsentrasi ini adalah bagaimana caranyapemerintah pusat menentukan besaran alokasi dana tersebut kepada setiap provinsi diIndonesia. Hingga saat ini, sangat sulit diambil kesimpulan apakah dana dekonsentrasidialokasikan kepada daerah dengan menggunakan pertimbangan kesenjangan antarakapasitas dan kebutuhan fiskal daerah. Meskipun demikian, Dana Dekonsentrasi merupakansalah satu unsur dalam sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah (Pusat) danPemerintah Daerah. Dimana perimbangan keuangan antara Pemerintah dan PemerintahanDaerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,

Page 7: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 7/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi,dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaanpenyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (Pasal 1 UU No.32/2004).

Jika melihat pengertian perimbangan keuangan di atas, terlihat bahwa dana perimbangan jugamemperhitungkan besaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam kenyataannya,hal ini tentunya tidak dijalankan sepenuhnya mengingat proses penentuan dana perimbanganyang terlebih dahulu dilakukan diikuti dengan penentuan dana dekonsentrasi dan tugaspembantuan. Jika dirunut sebaliknya, maka dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidakditentukan dengan mempertimbangkan dana perimbangan serta lebih memperhitungkan usulankegiatan (proyek) dari departemen teknis menurut lokasi proyeknya.

Implikasi lebih jauh dari tidak dipertimbangkannya kemampuan fiskal daerah dalam alokasiDana Dekonsentrasi ini adalah potensi semakin buruknya ketimpangan fiskal antardaerah.Untuk membuktikan hal ini, dilakukan estimasi indikator-indikator yang memperlihatkanpemerataan kemampuan fiskal antardaerah yaitu Indeks Williamson. Secara formula, IndeksWilliamson dapat didefinisikan sebagai berikut:

2( ) i

i

w

 f Y Y 

nV 

=∑

 

di manafi= jumlah penduduk daerah i n= jumlah penduduk seluruh daerahyi= nilai variabel kemerataan yang akan diukur untuk daerah i  

 y = rata-rata nilai variabel kemerataan yang akan diukur

Penting dicatat bahwa semakin rendah nilai Indeks Williamson semakin baikpemerataan fiskal antardaerah. Variabel pemerataan fiskal antardaerah yang akan diukur terdiridari:

1) Dana Alokasi Umum (DAU) ditambah dengan Dana Penyeimbang (DP) Murni dibagidengan jumlah penduduk (DAU perkapita)

2) DAU ditambah DP Murni ditambah dengan Dana Dekonsentrasi dibagi dengan jumlahpenduduk.

3) DAU ditambah DP Murni ditambah dengan Dana Tugas Pembantuan dibagi dengan jumlah penduduk.

4) DAU ditambah DP Murni ditambah dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana TugasPembantuan dibagi dengan jumlah penduduk.

Penilaian tentang variabel-variabel di atas dilakukan dengan menggunakan data rekonsiliasi,yaitu data mengenai dana perimbangan setiap kabupaten/kota dalam satu provinsi ditambahdengan dana di tingkat pemerintah provinsi yang sama. Penilaian Indeks Williamson inimenggunakan data pada tahun 2005 dikarenakan ketersediaan data penduduk per provinsiyang hanya dapat diperoleh hingga tahun 2005.

Dari hasil perhitungan, dapat diperoleh apakah nilai indeks Williamson kemampuan fiskaldaerah akan meningkat jika dimasukkan data mengenai dana dekonsentrasi dan tugaspembantuan. Dengan peningkatan nilai indeks Williamson ini, tentunya dapat diambilkesimpulan bahwa pemerataan fiskal antardaerah akan semakin memburuk. Hasil perhitunganindeks Williamson tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 7 berikut ini:

Page 8: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 8/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Gambar 7: Perhitungan Indeks Williamson Tahun 2005

0.519

0.530

0.531

0.541

0.505

0.510

0.515

0.520

0.525

0.530

0.535

0.540

0.545

DAU perkapita DAU + Dekon perkapita DAU + TP perkapita DAU + Dekon + TP perkapita

 

Hasil perhitungan pada Gambar di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan nilai IndeksWilliamson jika Dana Alokasi Umum yang dialokasikan kepada setiap pemerintahan daerahditambah dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa

terjadi peningkatan ketidakmerataan fiskal antarprovinsi akibat adanya alokasi danadekonsentrasi dan tugas pembantuan ini. Temuan ini memperkuat dugaan awal bahwa alokasidana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak memperhitungkan kemampuan fiskalantardaerah sehingga berdampak buruk pada pemerataan kemampuan fiskal antardaerah.

Pilihan variabel pemerataan fiskal berdasarkan Dana Alokasi Umum perkapita didasarkan padatujuan awal dari alokasi Dana Alokasi Umum sebagai bagian dari desentralisasi fiskal untukmemberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat di daerah. Tidakdimasukkannya variabel dana perimbangan perkapita sebagai dasar perhitungan dimotivasipula oleh suatu fakta bahwa dana bagi hasil yang dialokasikan kepada pemerintahan daerahsangat bergantung pada keunggulan daerah khususnya daerah yang kaya sumber daya alamdan memiliki aktivitas perekonomian yang sangat dominan di Indonesia. Seperti diduga, adanyafaktor dana bagi hasi yang ditambahkan dengan dana alokasi umum perkapita akanmemperburuk nilai Indeks Williamson

1. Pertimbangan penggunaan DAU perkapita yang

menjadi basis penilaian juga dimotivasi oleh peraturan perundang-undangan dimana DAUdialokasikan kepada masing-masing daerah juga harus memperhitungkan aspek pemerataanfiskal antardaerah.

Lebih jauh, Pemerintah Pusat harus memberikan kriteria yang transparan dalammengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini. Jika tidak, timbul potensi yangsangat besar daerah dengan kemampuan fiskal yang tinggi akan memperoleh dana

1Hasil perhitungan Indeks Williamson untuk variabel Dana Perimbangan perkapita mencapai angka 0,71

Page 9: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 9/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

dekonsentrasi yang besar pula. Bila ini terjadi, ketimpangan pembangunan antardaerah diIndonesia akan menjadi bertambah besar. Perkembangan pertumbuhan dana dekonsentrasidan tugas pembantuan yang lebih besar dari pertumbuhan Belanja ke Daerah dalam APBNtentu tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia.Bahkan, sejumlah kalangan memiliki usulan yang sangat ekstrim agar dana dekonsentrasi inidihapuskan dan didaerahkan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Tentunya usulanekstrim ini juga perlu ditanggapi secara hati-hati.

Pertanyaan menarik yang penting untuk dijawab adalah apakah secara statistik hubunganantara jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Perimbangan secara umum berhubunganpositif dan signifikan dengan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di daerah tersebut.Jika terbukti, maka kita dapat menyimpulkan bahwa semakin tinggi DAU atau DanaPerimbangan suatu provinsi maka Dana Dekonsentrasinya akan semakin tinggi pula(berhubungan positif). Tentunya, kondisi ini memperkuat dugaan sebelumnya bahwa telahterjadi salah alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari aspek lokasi kegiatandekonsentrasi.

Pengujian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi bivariate . Analisis ini

merupakan pelengkap dari analisis Indeks Williamson mengingat dalam perhitungan IndeksWilliamson kita tidak akan memperoleh nilai signifikansi dari indeks. Sedangkan dalam teknikkorelasi ini, kita akan dapat menyimpulkan kesimpulan secara statistik karena terdapat ujisignifikansi. Uji korelasi ini dilakukan untuk sejumlah variabel kapasitas fiskal daerah dengandana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Hasil perhitungan uji korelasi tersebut dapatterlihat pada tabel berikut ini:

Tabel Hasil Pengujian Korelasi

DAU DP1)

 DAU

perkapitaDP

perkapita

2005 2006 2005 2005 2005

Dana Dekonsentrasi 0.674 ** 0.746 ** 0.552 **

Dana Tugas Pembantuan 0.577 ** 0.723 ** 0.584 **

Dana Dekon dan TP 0.697 ** 0.798 ** 0.656 **Dana Dekonsentrasi perkapita 0.952 ** 0.744 **

Dana Tugas Pembantuan perkapita 0.766 ** 0.664 **

Dana Dekon dan TP perkapita 0.881 ** 0.742 **

1) Dana Perimbangan (DP) didefinisikan dengan hasil pertambahan DAU dengan Dana Bagi Hasil** menunjukkan signifikan pada level signifikan 1%

Hasil perhitungan di atas memperlihatkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikanseluruh proksi variabel kemampuan fiskal daerah dengan dana dekonsentrasi dan tugaspembantuan. Temuan di atas menunjukkan bahwa korelasi dana dekonsentrasi dengan DAUmaupun DP relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Dana Tugas Pembantuan. Angka korelasiini pun semakin meningkat pada tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2005. Sejumlahkalangan berpendapat jika dana dekonsentrasi dialokasikan pada daerah yang memilikikemampuan fiskal yang tinggi tidak terlepas dari besarnya jumlah penduduk di provinsi

tersebut. Sebagai ilustrasi, dana departemen pendidikan akan dialokasikan lebih besar padaprovinsi dengan jumlah penduduk yang besar karena penduduk adalah objek daripembangunan bidang pendidikan. Namun, hasil korelasi DAU perkapita dan DP perkapitadengan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan perkapita memperlihatkan korelasi positifyang signifikan pula.

Hubungan positif ini jelas menunjukkan adanya gejala misalokasi dari dana dekonsentrasi dantugas pembantuan dimana semakin besar kemampuan fiskal suatu daerah malah memperolehdana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang lebih besar. Hal ini tentunya akan

Page 10: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 10/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

memperburuk pemerataan fiskal antardaerah dan berimplikasi lebih jauh pada pemerataanpembangunan antardaerah.

Lebih jauh, terdapat satu persoalan mendasar dalam alokasi Dana Dekonsentrasi dan TugasPembantuan yaitu menyangkut pembagian kewenangan antara pemerintah pusat danpemerintahan daerah. Pangkal dari permasalahan dari kewenangan dekonsentrasi ini adalahadanya kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Hingga saat ini pengaturanyang berlaku tidak membagi secara jelas batasan-batasan dari kewenangan pemerintah pusatdan pemerintahan daerah dalam kewenangan bersama tersebut. Sebagai ilustrasi,kewenangan pada bidang pendidikan dasar dan menengah seharusnya secara jelasmembatasi sejauh mana peranan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untukmenghindari adanya kegiatan yang sama dibiayai dari dua sumber pembiayaan yang berbeda,yaitu APBD dan APBN.

Tanpa adanya pembatasan kewenangan yang jelas, maka akan sangat sulit pula menetapkanformulasi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang adil dan transparan. Hasilworkshop yang dilakukan bersama dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) jugamengungkapkan adanya gejala baru dimana departemen teknis mendirikan balai-balai (unit

pelaksana teknis) di daerah khususnya pada Departemen Pekerjaan Umum. Unit inilah yangakan melaksanakan kegiatan pembangunan infrastruktur yang dibiayai oleh APBN di daerah.Implikasinya, alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan departemen ini berkurangsecara drastis pada tahun 2006 dibandingkan dengan 2005 karena dilaksanakan sendiri olehinstansi vertikal di daerah. Ada anggapan bahwa kebijakan ini merupakan langkah mundurdalam era desentralisasi fiskal dimana kewenangan pemerintah pusat di daerah menjadimeningkat.

C.2. Dana Alokasi Khusus

C.2.1 Defenisi dan perkembangan Dana Alokasi Khusus

UU No.32/2004 Pasal 157 menyatakan tentang sumber-sumber pendapatan daerah dan salahsatunya adalah Dana Perimbangan yang di dalam Pasal 159 dijelaskan terdiri dari Dana BagiHasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Merujuk pada UU No.33 Tahun 2004tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 39dan UU No.32/2004 Pasal 162 menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikankepada Pemerintah Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusandaerah. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN.Secara komprehensif, dapat ditulis ulang pengertian dari DAK yaitu dana yang bersumber daripendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantumendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritasnasional.

Pada awal implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia tepatnya periode 2001 – 2002, Dana

Alokasi Khusus yang terdapat di dalam struktur belanja daerah dalam APBN adalah DanaAlokasi Khusus yang berasal dari Dana Reboisasi (DAK DR). Dengan adanya DAK DR ini, 40%dari penerimaan negara yang berasal dari Dana Reboisasi disediakan kepada daerah sebagaiDAK. Namun, sejak tahun 2003 terdapat jenis perkembangan DAK yaitu DAK yang bukanbersumber dari Dana Reboisasi atau biasa dikenal dengan DAK Non DR. Sejak adanya revisiUU No.25/1999, mulai tahun 2006 DAK DR dialihkan menjadi salah satu komponen dana bagihasil. Bagian ini akan lebih memfokuskan pada pembahasan DAK Non DR yang selanjutnyadisingkat DAK.

Page 11: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 11/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Pada awalnya, bidang yang tercakup dalam DAK Non DR ini hanya terdiri dari 4 bidang yaitupendidikan, kesehatan, infrastruktur dan prasarana pemerintah. Hingga tahun 2005, sudahterdapat 6 bidang dengan tambahan bidang kelautan dan perikanan serta bidang pertanian.Pada tahun 2006, ada tambahan satu bidang yaitu lingkungan hidup. Perkembangan jumlahalokasi DAK Non DR ini dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini:

Tabel Perkembangan Jumlah Alokasi DAK (Milyar Rp)

Bidang 2003 2004 2005 2006 2007

Pendidikan 625.0 652.6 1,221.0 2,919.5 5,195.3

Kesehatan 375.0 456.2 620.0 2,406.8 3,381.3

Infrastruktur 1,181.0 1,196.3 1,533.0 3,811.4 5,034.3

- Prasarana Jalan 842.5 839.1 945.0 2,575.7 3,113.1

- Prasarana Irigasi 338.5 357.2 384.5 627.7 858.9

- Prasarana Air Bersih Pedesaan - - 203.5 608.0 1,062.4

Prasarana Pemerintahan 88.0 228.0 148.0 438.7 539.1

Kelautan dan Perikanan - 305.5 322.0 775.7 1,100.4

Pertanian - - 170.0 1,094.9 1,492.2Lingkungan Hidup - - - 112.9 351.6

TOTAL 2,269.0 2,838.5 4,014.0 11,559.8 17,094.1

Dari tabel di atas terlihat bahwa alokasi Dana Alokasi Khusus dari tahun ke tahun cenderungmengalami peningkatan. Pada tahun 2006, peningkatan nilai Dana Alokasi Khusus inimeningkat secara drastis yaitu sekitar 188% menjadi Rp 11,6 trilyun dan terus meningkat padatahun 2007. Bidang pendidikan dan infrastruktur memiliki nilai alokasi Dana Alokasi Khususterbesar relatif dibandingkan dengan sektor lainnya. Semakin meningkatnya besaran alokasiDana Alokasi Khusus ini akan meningkatkan pentingnya transparansi dalam formulasialokasinya pada setiap pemerintah daerah di Indonesia.

Dalam pengertian DAK disebutkan pula bahwa daerah yang menerima DAK ini merupakan

daerah tertentu. Dalam penentuan daerah tertentu ini, disebutkan sejumlah kriteria yangterpenuhi oleh suatu daerah untuk menerima alokasi DAK. Kriteria tersebut secara garis besarterbagi menjadi tiga yaitu kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Dalam bentukgambar, proses penentuan daerah penerima DAK berdasarkan kriterianya dapat ditunjukkanpada Gambar 8 berikut ini:

Page 12: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 12/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Gambar 8 :Kriteria Penentuan Daerah Penerima DAK

KRITERIA DAERAHPENERIMA DAK NON DR

KRITERIA UMUMKRITERIAKHUSUS

KRITERIA TEKNIS

KEMAMPUANFISKAL DAERAH

PERATURANYANG BERLAKU

DANKARAKTERISTIKKEWILAYAHAN

DITETAPKAN

OLEH MENTERITEKNIS TERKAIT

INDEKS FISKALNETTO

PERLAKUANKHUSUS DAN

INDEKSKEWILAYAHAN

INDEKS TEKNISPER BIDANG

 

Sesuai dengan Pasal 40 UU No.33/2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkankriteria umum ini ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam

APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umumAPBD dikurangi belanja pegawai. Dalam bentuk formula, kriteria umum tersebut dapatditunjukkan pada beberapa persamaan di bawah ini:

Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai Daerah

Penerimaan Umum = PAD + DAU + (DBH – DBH DR)

Belanja Pegawai Daerah = Gaji PNSD

Dimana:

PAD = Pendapatan Asli Daerah

APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

DAU = Dana Alokasi UmumDBH = Dana Bagi Hasil

DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi

PNSD = Pegawai Negeri Sipil Daerah

Page 13: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 13/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

 Total Kemampuan Keuangan

Daerah

Rata-Rata Nasional Kemampuan KeuanganDaerah =

Secara nasional

Jumlah Daerah

Perhitungan Indeks Fiskal Netto (IFN) dilakukan dengan membagi kemampuan keuangandaerah dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah. Jika IFN tersebut lebih kecildari satu, atau dengan kata lain daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah lebihkecil dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka daerah tersebut mendapatkan prioritasdalam memperoleh DAK.

Indek Fiskal Netto Daerah Z =Kemampuan Keuangan Daerah Z

Rata-Rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah

Selain kriteria umum, kriteria khusus juga dipergunakan dalam alokasi DAK. Kriteria khususditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah.Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang yangmengatur tentang kekhususan suatu daerah, seperti Undang-Undang Otonomi KhususNanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Seluruh daerah (Kabupaten/Kota) di Provinsi NAD danPapua akan diprioritaskan mendapatkan DAK. Selain itu, setiap tahunnya ditetapkan beberapakarakteristik khusus yang dimasukkan dalam kriteria khusus. Kondisi dari penetapan kriteriakhusus inilah yang akan menjadi kelemahan dalam kebijakan alokasi Dana Alokasi Khusus(DAK) dan akan dibahas pada bagian berikut ini.

Satu hal dalam alokasi DAK, besaran DAK dialokasikan dengan pertama-tama menentukandaerah yang layak. Penentuan daerah yang layak dialokasikan DAK ini menggunakanpertimbangan kriteria umum dan kriteria khusus. Besaran alokasi DAK untuk setiap daerah dan

setiap bidang ditentukan dengan menggunakan kombinasi dari bobot dari kriteria teknis danbobot daerah yang berasal dari kriteria umum dan kriteria khusus. Mekanisme alokasi DAKtersebut dapat diperlihatkan pada Gambar 9 sebagai berikut:

Page 14: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 14/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Gambar 9:Mekanisme Alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK)

DAERAH(KRITERIA UMUM)

KEMAMPUAN KEUANGAN

(KRITERIA KHUSUS)OTONOMI KHUSUS

(KRITERIA KHUSUS)Karakteristik Wilayah

(IKW)

LAYAK

Ya

Tidak

LAYAK

Ya

Tidak

Indeks Fiskal dan Wilayah(IFW) = f(IFN, IKW)

INDEKS DAERAH

(ID) < 1

TIDAK

LAYAK

Tidak

Indeks Fiskal dan Wilayah(IFW) = f(IFN, IKW)

LAYAK

Ya

Bobot Daerah (BD)= IFW * IKK

Bobot DAK= BD + BT

ALOKASI

(Kriteria Teknis)Bobot Teknis (BT)

= IT * IKK

DAERAH

 

Berdasarkan gambar di atas, terdapat sejumlah prosedur yang harus dilakukan dalampengalokasian DAK kepada masing-masing daerah. Langkah-langkah tersebut secara

sistematis adalah sebagai berikut:1) Tentukan apakah daerah tersebut memenuhi kriteria umum, yaitu daerah tersebut

memiliki kemampuan keuangan daerah di bawah nilai rata-rata nasional kemampuankeuangan daerah.

2) Jika memenuhi kriteria umum tersebut, maka daerah tersebut layak memperoleh alokasiDAK.

3) Jika tidak memenuhi, maka kita lihat kriteria khusus yang pertama, yaitu apakah daerahtersebut merupakan daerah yang memiliki pengaturan otonomi khusus atau tidak.

4) Jika daerah tersebut adalah daerah otonomi khusus, maka secara otonomatis daerahtersebut layak mendapatkan alokasi DAK.

5) Jika daerah tersebut bukan daerah otonomi khusus, maka lihat kembali kriteria khususyang kedua, yaitu karakteristik kewilayahannya yang ditunjukkan dengan IndeksKarakteristik Wilayah (IKW).

6) Gabungkan IKW dengan IFN (Indeks Fiskal Netto) untuk menghasilkan Indeks Daerah(ID).

7) Jika suatu daerah memiliki nilai Indeks Daerah kurang dari satu, maka daerah tersebutsecara otomatis layak mendapatkan alokasi DAK.

8) Jika nilai ID tersebut lebih besar dari satu, maka daerah tersebut tidak layakmendapatkan alokasi DAK.

Page 15: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 15/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

9) Dapat disimpulkan, dari langkah 1 – 8 di atas, daerah yang layak mendapatkan alokasiDAK adalah (1) daerah yang memiliki kemampuan keuangan daerah dibawah rata-ratanasional, (2) daerah otonomi khusus, dan (3) daerah yang memiliki nilai Indeks Daerahkurang dari satu.

10) Dari semua daerah yang layak memperoleh alokasi DAK, tentukan nilai Indeks FiskalWilayah (IFW) yang merupakan fungsi dari IFN dan IKW.

11) Tentukan Bobot Daerah (BD) dengan mengalikan nilai IFW dengan Indeks KemahalanKonstruksi (IKK)

12) Dari semua daerah yang layak, tentukan nilai Indeks Teknis (IT) setiap bidang DAK danpada setiap daerah.

13) Tentukan Bobot Teknis (BT) dengan mengalikan Indeks Teknis dengan IKK

14) Tentukan Bobot DAK sebagai hasil penambahan Bobot Daerah (BD) dengan BobotTeknis (BT).

15) Setelah ditentukan Bobot DAK, tentukan besar alokasi DAK bagi setiap daerah.

C.2.2. Permasalahan Dana Alokasi Khusus

Permasalahan pertama dan utama dari Dana Alokasi Khusus adalah menyangkut kriteriakhusus. Seperti yang ditunjukkan pada gambar mengenai mekanisme alokasi DAK, daerahyang memiliki kemampuan fiskal di atas rata-rata tidak berarti tidak layak (eligible ) untukmenerima DAK karena harus mempertimbangkan kriteria khusus. Yang menjadi permasalahanadalah kriteria khusus untuk daerah dengan karakteristik tertentu merupakan ketentuan yangsangat fleksibel sehingga akan sangat mudah diubah-ubah dan memungkinkan semakinbesarnya jumlah daerah yang memiliki kemampuan fiskal di atas rata-rata menerima alokasiDAK. Jika ini terjadi, maka fungsi DAK yang dapat menjadi matching grant , suatu alokasi danaperimbangan untuk meningkatkan pemerataan kemampun fiskal antardaerah, akan menjadiberkurang efektivitasnya.

Sebagai ilustrasi, dalam alokasi DAK Non DR tahun 2005, dinyatakan pula bahwa ProvinsiMaluku dan Maluku Utara sebagai daerah pasca konflik juga layak untuk mendapatkan DAK.Daerah-daerah khusus yang mendapatkan prioritas memperoleh DAK dengan pertimbangankriteria khusus adalah Kawasan Timur Indonesia, pesisir dan kepulauan, perbatasan darat,tertinggal/terpencil, penampung program transmigrasi, rawan banjir dan longsor.

Sesuai dengan hasil rapat kerja DPR RI dan Pemerintah mengenai belanja daerah, kriteriakhusus ini sendiri dijabarkan dalam beberapa hal, antara lain:

1) Peraturan tentang otonomi khusus NAD dan Papua

2) Daerah Kabupaten/Kota yang memiliki karakteristik kewilayahan yang akan dirumuskandalam Indeks Karakteristik Wilayah (IKW), yaitu daerah pesisir dan kepulauan, daerahperbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk

kategori ketahanan pangan. Kriteria umum dan kriteria khusus ini digabung rumusannyamenjadi Indeks Fiskal Wilayah (IFW). Daerah dengan IFN atau IFW lebih kecil dari satulayak mendapatkan DAK. Kata-kata atau perlu digarisbawahi karena sifatnya bukanbersifat komplemen namun substitusi. Yaitu, meskipun daerah tersebut memiliki IFN yanglebih besar daripada satu, masih dimungkinkan mendapatkan DAK jika memenuhi kriteriakarakteristik wilayah penerima DAK.

2 Keputusan Menteri Keuangan RI No 505/KMK.02/2005 tentang Penetapan Alokasi dan

Pedoman Umum Pengelolaan DAK Non DR TA 2005

Page 16: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 16/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

3) Kesepakatan Panja (panitia kerja) itu juga menyepakati untuk menambah beberapakriteria khusus yang digunakan dalam menentukan penerima DAK 2006, yaitu:

a. Daerah yang menerima DAU tetap

b. Daerah yang prosentase kenaikan DAU-nya lebih kecil dari prosentase kenaikangaji pegawai

c. Daerah rawan banjir/longsor

d. Daerah penampung dan penerima pengungsi

e. Daerah penerima transmigrasi

f. Daerah pasca konflik

g. Daerah rawan pangan/kekeringan

h. Daerah yang memiliki pulau terluar

Jika dilihat dari kriteria khusus pada alokasi DAK Tahun 2006, terdapat perluasan kriteria yangsangat besar sehingga memperbesar jumlah daerah penerima DAK. Dengan kondisi semacamini, akan sangat sulit mengklasifikasikan DAK menjadi dana perimbangan yang bersifat khususpada daerah tertentu. Bahkan, beberapa kriteria khusus tersebut secara jelas memperlihatkanbahwa daerah tersebut memiliki kemampuan fiskal yang relatif baik (di atas rata-rata) sepertidaerah yang menerima DAU tetap dan daerah dengan persentase kenaikan DAU yang lebihkecil dibandingkan dengan belanja gaji pegawai. Implikasinya, penggunaan kriteria khususseperti ini, atau kriteria khusus yang bersifat fleksibel, akan memperbesar kemungkinandiperolehnya alokasi DAK bagi daerah yang memiliki kemampuan fiskal di atas rata-ratanasional.

Selain kriteria khusus bagi daerah yang tidak memiliki batasan, cara menentukan IKW jugatidak secara transparan dijelaskan. Mengingat keputusan kriteria khusus ini dilakukan saatpembahasan Panja Belanja Daerah antara DPR RI dan Pemerintah, dapat ditarik dugaan kuatbahwa perhitungan IKW ini pun tidak dilakukan secara tepat. Jika IKW tidak dihitung secaratepat dan transparan, maka proses perhitungan IFW pun memiliki karakteristik yang sama.

Jika ini terjadi, maka proses penentuan daerah yang menerima alokasi DAK akan menjadisemakin tidak transparan dan akan berimplikasi buruk pada kepercayaan pemerintahan daerahterhadap pemerintah pusat. Lebih jauh, proses alokasi DAK pada masing-masing daerah akanmenjadi proses yang sangat kental muatan politisnya yang akan berdampak negatif dalammanajemen publik di negara ini.

Seiring dengan perkembangan kecenderungan peningkatan alokasi DAK pada seluruhpemerintahan daerah di Indonesia, kejelasan perhitungan setiap indeks dalam kriteria khususdan kriteria teknis serta data dasar yang dijadikan dasar perhitungan nilai Bobot Daerah danBobot Teknis, menjadi mutlak diperlukan. Pemerintah seperti halnya dalam alokasi DAUseharusnyalah terus memberikan sosialisasi dan contoh perhitungan mengapa suatu Daerahmenerima alokasi DAK seperti yang ditetapkan. Adanya ketersediaan data dasar yang

memadai ini pula akan memberikan kemampuan bagi pemerintahan daerah untukmemperkirakan besaran alokasi DAK dari pemerintah pusat pada tahun anggaran berikutnya.

Page 17: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 17/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

C.3. Dana Alokasi Umum

C.3.1. Definisi dan perkembangan Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan AnggaranPendapatan dan Belanja negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataankemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangkapelaksanaan desentralisasi. Desentralisasi mengandung pengertian penyerahan wewenangpemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurusurusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasinya, DAUdialokasikan kepada setiap daerah dalam rangka menjalankan kewenangan pemerintah daerahdalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. DAU yang merupakan transferpemerintah pusat kepada daerah bersifat “block grant ”, yang berarti daerah diberi keleluasaandalam penggunaannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah dengan tujuan untukmenyeimbangkan kemampuan keuangan antardaerah.

Jumlah DAU dari tahun ke tahun terus mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah alokasi. SelainDAU, pada tahun 2001 pemerintah pusat juga mengeluarkan Dana Kontijensi kepadapemerintah daerah. Perkembangan alokasi DAU kepada masing-masing daerah juga menemuibabak baru karena adanya sikap pemerintah daerah yang tidak mau menerima DAU yang lebihrendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sikap ini kemudian dikenal dengan hold harmless . Dari sisi Dana Perimbangan, pemerintah pusat kemudian mengintrodusir jenis DanaPerimbangan yang baru yaitu Dana Penyeimbang (DP) yang dialokasikan untukmempertahankan beberapa daerah yang secara formula akan menerima DAU yang lebihrendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam perkembangannya, DanaPenyeimbang ini berubah menjadi DP Murni dikarenakan adanya jenis DP yang lain yaitu DPAd-hoc yang muncul karena adanya kebijakan pemerintah pusat mengenai Gaji PNS Daerah(DP Ad-hoc I) dan peningkatan pelayanan dasar dan kesejahteraan masyarakat (DP Ad-hoc II).Perkembangan jumlah total alokasi DAU dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerahserta DP Murninya dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini:

Page 18: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 18/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Tabel Perkembangan Jumlah Total Alokasi DAU dan Dana PenyeimbangTahun 2001 – 2007

DAU DP DAU + DPTahun(Miliar Rp) (Milyar Rp) (Milyar Rp)

60,516.70 3,092.30 63,609.002001 Keppres 181 Tahun

2000KMK No 382 & 451 Tahun

2001

69,114.10 2,054.77 71,168.872002 Keppres 131 Tahun

2001 KMK No 685 Tahun 2001 12%*

76,978.00 2,262.40 79,240.402003

Keppres 1 Tahun 2003 KMK No 23 Tahun 2003 11%*

82,130.94 1,008.43 83,139.372004

Keppres 109 Tahun2003 KMK No 578 Tahun 2003 5%*

88,765.60 805.5 89,571.102005

Perpres 3 Tahun 2004 PMK No 626 Tahun 2004 8%*

145,664.20 300.7 145,964.862006 Perpres 74 Tahun

2005 PMK 123 Tahun 2005 63%

164,787.40 842.9 165,630.302007 Perpres 104 Tahun

2006 PMK No 129 Tahun 2006 13%

*) Pertumbuhan jumlah alokasi DAU (termasuk DP)

Sumber: Departemen Keuangan RI, 2007

Jika dalam UU No. 25 tahun 1999 dinyatakan bahwa jumlah DAU total sekurang-kurangnya25% dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN) Netto, pada UU No.34 tahun 2004 telahmeningkatkan porsinya menjadi sekurang-kurangnya 26% dari PDN Netto. Jumlah ini juga telahditerapkan dalam alokasi DAU tahun 2006 yang mencapai lebih dari Rp 145,66 trilyun. Berbedadengan UU No. 25 tahun 1999 yang secara tegas menyatakan proporsi bagian Provinsi danKabupaten/Kota yaitu masing-masing sebesar 10% (untuk Provinsi) dan 90% (untukKabupaten/Kota), dalam UU No. 33 tahun 2004 menyatakan bahwa proporsi DAU antaradaerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antaraprovinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dimungkinkan akan menimbulkan masalah baru, yaituketidakjelasan dalam penentuan alokasi DAU bagi provinsi dan kabupaten/kota. Namun, padatahun 2006, bagian 10% untuk provinsi dan bagian 90% untuk kabupaten/kota tersebut masihdipergunakan.

C.3.2. Formula dan permasalahan Dana Alokasi Umum

Formula alokasi DAU yang baru pula tidak mengenal istilah Alokasi Minimum (AM) yangberganti nama menjadi Alokasi Dasar (AD). Jika pada Alokasi Minimum terdapat komponenlumpsum , maka dalam AD tidak terdapat komponen ini lagi dan hanya terdiri dari BelanjaPegawai, yang diukur dengan menggunakan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah, yaitu gajipokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturanpenggajian PNS. Perbedaan mendasar dalam penentuan jumlah juga terjadi. Pada formulasebelumnya, jumlah AM dan alokasi berdasarkan kesenjangan (celah) fiskal ditetapkan terlebih

Page 19: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 19/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

dahulu dan dibagi berdasarkan proporsi, dan dalam formula yang baru, AD tersebut harusdapat menjamin bahwa keseluruhan belanja pegawai dapat terpenuhi. Implikasinya, sisa daritotal DAU dikurangi dengan AD adalah jumlah alokasi yang akan dibagikan kepada setiapdaerah berdasarkan formula celah fiskal. Sebagai ilustrasi, kebijakan tentang jumlah alokasiDAU tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 10.

Bentuk umum formula alokasi DAU kepada masing-masing daerah secara formula dapatditunjukkan pada persamaan berikut ini:

DAU = AD + CF

Dimana: DAU = Dana Alokasi Umum

AD = Alokasi Dasar = Gaji PNS Daerah

CF = Celah Fiskal = KbF – KpF

KbF = Kebutuhan Fiskal

KpF = Kapasitas Fiskal

Gambar 10: Kebijakan Jumlah Alokasi DAU Berdasarkan UU No.33 tahun 2004

PENERIMAAN DALAMNEGERI NETTO

JUMLAH TOTALDAU

sekurang-kurangnya26% nya

DAU KABUPATEN / KOTA DAU PROVINSI

DIBAGI BERDASARKAN IMBANGAN KEWENANGAN

TOTAL BELANJAPEGAWAI KAB/ 

KOTA

TOTAL BELANJAPEGAWAIPROVINSI

TOTAL DAU KAB/ KOTA YANG

DIALOKASIKANBERDASARKANCELAH FISKAL

DIKURANGI

TOTAL DAUPROVINSI YANGDIALOKASIKANBERDASARKANCELAH FISKAL

DIKURANGI

 

Page 20: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 20/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Dari persamaan di atas, perbedaan pertama dengan rumusan UU No. 25 tahun 1999 adalahdigantikannya Alokasi Minimum menjadi Alokasi Dasar yang tidak memiliki komponen lumpsum .Sedangkan komponen kedua, yaitu alokasi DAU berdasarkan celah (kesenjangan) fiskal secaraprinsip tidak terjadi perbedaan dengan rumusan dalam UU No. 25 tahun 1999. Secara indikatif,terjadi perubahan indikator dan proses perhitungan untuk kapasitas dan kebutuhan fiskal.Sesuai dengan revisinya, terdapat sedikit perubahan dalam perhitungan kebutuhan dankapasitas fiskal. Indeks kemiskinan relatif tidak lagi mempengaruhi kebutuhan fiskal, digantikandengan dua jenis indeks yaitu Indeks Pembangunan Manusia serta Indeks Produk DomestikRegional Bruto (PDRB) per kapita. Sedangkan dari sisi kapasitas fiskal, PAD estimasi bukanlagi menjadi komponen kapasitas fiskal, namun nilai PAD aktuallah yang menjadi indikasi darikapasitas fiskal tersebut.

Tabel Perkembangan Penggunaan Variabel dalam Perumusan DAU

UU 25/1999 DAU 2003 & 2004 DAU 2005 UU 33/2004

Kebutuhan Fiskal

- Penduduk

- Wilayah

- Kondisi geografis

- Pendapatanpenduduk miskin

Kebutuhan Fiskal

- Penduduk

- Wilayah

- Indeks Kemiskinan

- Indeks KemahalanKonstruksi

Kebutuhan Fiskal

- Penduduk

- Wilayah

- IndeksKemiskinan

- IndeksKemahalanKonstruksi

Kebutuhan Fiskal

- Penduduk

- Wilayah

- Indeks KemahalanKonstruksi

- PDRB per kapita

- IPM

Kapasitas Fiskal

- Potensi Industri

- Potensi SumberDaya Alam (SDA)

- Potensi SumberDaya Manusia

(SDM)

- PDRB

Kapasitas Fiskal

- Pendapatan AsliDaerah (PAD)

- Bagi Hasil Pajak

- Bagi HasilPenerimaan SDA

Kapasitas Fiskal

- Pendapatan AsliDaerah

- Bagi Hasil Pajak

- Bagi HasilPenerimaan SDA

Kapasitas Fiskal

- Pendapatan AsliDaerah (realisasidua tahunsebelumnya)

- Bagi Hasil Pajak

-Bagi HasilPenerimaan SDA

Page 21: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 21/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Dalam bentuk diagram, formula umum dari DAU menurut UU No.33 tahun 2004 digambarkandalam Gambar 11:

Gambar 11: Formula Umum DAU menurut UU No.33/2004

DANA ALOKASIUMUM

ALOKASIDASAR

ALOKASI BERDASARKANCELAH FISKAL

BELANJAPEGAWAI

KEBUTUHANFISKAL

KAPASITASFISKAL

IndeksPenduduk

Indeks LuasWilayah

Indeks

KemahalanKonstruksi

IndeksPembangunan

Manusia

Indeks PDRBper kapita

Pendapatan AsliDaerah

Bagi Hasil Pajak

Bagi HasilSumber Daya

Alam

 

Page 22: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 22/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut:

KbF = TBR ( 1IP + 2IW + 3IPM + 4IKK + 5IPDRB/kap)

Dimana:

TBR = Total Belanja Rata-rata APBD

IP = Indeks Jumlah Penduduk

IW = Indeks Luas Wilayah

IPM = Indeks Pembangunan Manusia

IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi

IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita

= Bobot Indeks

Sebagai ilustrasi, bobot untuk tahun 2006 telah disepakati bahwa Indeks Penduduk (IP)memiliki bobot 30%, Indeks Luas Wilayah (IW) 15%, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) 30%,Indeks PDRB per kapita (IPDRB/kap) 15% dan IPM sebesar 10%. Selain itu, TBR dihitungberdasarkan total belanja daerah dalam realisasi APBD TA. 2004 (dua tahun sebelumnya)dibagi dengan jumlah daerah dengan mengecualikan daerah-daerah yang memiliki data belanjayang outlier (pencilan) sangat tinggi seperti DKI Jakarta.

Sedangkan rumusan tentang kapasitas fiskal sendiri relatif sama dengan cara menurut UU No.25 tahun 1999 dengan sedikit perubahan penggunaan data PAD, dimana menurut UU No. 33tahun 2004, PAD diukur dengan menggunakan PAD realisasi dua tahun sebelumdialokasikannya DAU tahun yang bersangkutan. Secara lengkap rumus kapasitas fiskaltersebut adalah:

KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDADimana:

PAD = Pendapatan Asli Daerah

DBH Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak

DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya Alam

Catatan: PAD untuk Provinsi diperhitungkan dengan bobot 50% dengan mengingat bahwadaerah Provinsi melakukan redistribusi alokasi sebagian pendapatannya kepada daerahkabupaten/kota di wilayahnya dalam rangka pemerataan.

Setelah dihitung nilai kebutuhan dan kapasitas fiskal seperti dengan menggunakan cara di atas,maka langkah berikutnya adalah menghitung besarnya alokasi berdasarkan kesenjangan fiskal.Alokasi DAU yang berdasarkan kesenjangan fiskal untuk setiap daerah ini dapat dilakukandengan sejumlah langkah yaitu:

(a) Tentukan nilai kesenjangan fiskal atau fiscal gap (FG) yang merupakan selisih antaranilai kebutuhan fiskal (KbF) dengan kapasitas fiskal (KpF).

FG = KbF - KpF

Page 23: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 23/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

(b) Tentukan nilai kesenjangan fiskal yang sudah dinormalisasi (FG*). Normalisasi yangdimaksud adalah dengan aturan sebagai berikut:

- Jika nilai FG > 0 atau KbF > KpF maka FG* = FG

- Jika nilai FG < 0 atau KbF < KpF maka FG* = 0

(c) Tentukan Indeks FG* yang merupakan rasio antara FG* dengan total FG*. Untukdaerah yang memiliki kesenjangan fiskal negatif, tentunya nilai Indeks FG* nya akanmenjadi nol.

FG* Daerah Z

Indeks FG* Daerah Z =

Total FG* Seluruh Daerah

(d) Jumlah DAU yang berdasarkan kesenjangan fiskal ini ditentukan dengan mengalikanIndeks FG* dengan jumlah total alokasi DAU (baik provinsi maupun kabupaten/kota).

Sebagai ilustrasi, cara perhitungan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal ini dapatditunjukkan pada Gambar 12 berikut ini:

Gambar 12: Penentuan Alokasi DAU berdasarkan Kesenjangan Fiskal Setiap Daerah

KEBUTUHANFISKAL (KbF)

KAPASITASFISKAL (KpF)

dikurangi

KESENJANGANFISKAL (FG)

KESENJANGANFISKAL YANG DI

NORMALISIR (FG*)

Jika FG > 0 FG* = FGJika FG < 0 FG* = 0

INDEKSFG*

Dibagi dengantotal FG*Seluruh Daerah

DAU BERDASARKANKESENJANGAN FISKAL

Dikali dengan total alokasi DAU

berdasarkan kesenjangan fiskal

Page 24: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 24/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Dalam melakukan alokasi DAU menurut formula, dibutuhkan data dasar, perhitungan variabeldan penetapan bobot setiap variabel sedemikian rupa hingga diperoleh alokasi DAU yang akanmenghasilkan indeks pemerataan fiskal terendah. Pengalaman penggunaan bobot tersebutdapat diperlihatkan pada tabel berikut ini:

Tabel Komponen, Variabel dan Bobot Penyusun DAU Tahun 2001-2006

Sumber Bobot Bobot Bobot Bobot BobotNO

Komponen atauVariabel Berdasarkan

Depkeu Data 2001 2002 20032004-2005 2006

I.Komponen KebutuhanFiskal

a Penduduk BPS 0,250 0,400 0,400 0,400 0,300b Wilayah KMDN 0,250 0,100 0,100 0,100 0,150c Indeks Harga Bangunan Bappenas 0,250 0,400d Jumlah Penduduk Miskin BPS 0,250

e Kemiskinan Relatif 0,100 0,100 0,100

fIndeks KemahalanKonstruksi BPS 0,400 0,400 0,300

g PDRB Per kapita BPS 0,150

hIndeks PembangunanManusia 0,100

 

IIKomponen KapasitasFiskal

a PDRB SDA BPS 0,330b PDRB Industri BPS 0,330c Pekerja Produktif BPS 0,330d PAD Proyeksi Depkeu 1,000 0,500 0,500e PAD Aktual Depkeu 1,000

f BHP Depkeu 1,000 1,000 1,000 1,000g BHSDA Depkeu 0,750 0,750 1,000 1,000

 III DAU KABUPATEN/KOTA 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000IV ALOKASI MINIMUM 0,815 0,600 0,500 0,450 0,500

Lump Sum 0,100 0,050 0,050 0,000Alokasi Dasar 0,500 0,450 0,400 0,500

V FORMULA 0,185 0,400 0,500 0,550 0,500 

Dalam penentuan bobot setiap variabel ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua skenarioyaitu predetermined (ditentukan sebelumnya) dan best result (hasil terbaik) dari indikator kinerjapemerataan fiskal. Setiap skenario tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Denganmenggunakan skenario predetermined , formula alokasi DAU menjadi tidak dinamis mengikuti

perkembangan kesenjangan fiskal setiap daerah namun memiliki tingkat kepastian bobot yangtransparan bagi semua daerah. Sebaliknya, skenario best result  mengikuti perkembangandinamis daerah sehingga dapat diperoleh kinerja formula bobot terbaik namun memiliki banyakkemungkinan sehingga sulit dapat diyakinkan bahwa formulasi bobot tersebut adalah formulaterbaik.

Hingga tahun 2005, Indonesia membagi dua kategori besar indikator kebutuhan fiskal yaituindikator kependudukan yang terdiri dari indeks penduduk dan indeks kemiskinan relatif sertaindikator kewilayahan yang terdiri dari indeks luas wilayah dan indeks kemahalan konstruksi.

Page 25: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 25/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Bobot setiap indikator ditetapkan melalui skenario predetermined yaitu 50% untuk indikatorkependudukan dan 50% untuk indikator kewilayahan. Namun, alokasi setiap bobot untuk setiapindeks dalam indikator tersebut ditetapkan berdasarkan skenario best result . Akibat adanyatambahan variabel Indeks PDRB perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) skenariopredetermined semacam ini tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Implikasinya, skenario best result akan memiliki cakupan yang sangat luas karena berkaitan dengan proses permutasi yangsangat besar jumlah kemungkinannya.

Dari penjelasan di atas, satu permasalahan utama dari penentuan bobot variabel kebutuhanfiskal adalah proses best result  yang memiliki banyak kemungkinan sehingga seluruhpemerintahan daerah tidak dapat menjamin bahwa bobot yang menghasilkan alokasi DAUtersebut memberikan indeks pemerataan fiskal terbaik. Seharusnya, pemerintah pusatmengatur bahwa bobot setiap indeks kebutuhan fiskal ditentukan minimal, misalnya 5%, danmemiliki simulasi-simulasi bobot untuk setiap tambahan 5%. Dengan aturan semacam ini,  jumlah proses simulasi menjadi dapat dibatasi sehingga dapat dinilai berapa bobot setiapindeks yang akan memberikan kinerja terbaik.

Terlepas dari bobot, permasalahan yang juga sangat penting berkaitan dengan DAU adalah

berkaitan dengan data dasar. Penyediaan data dasar berdasarkan sumber resmi pemerintahmemang telah diatur. Sayangnya, publikasi data dasar tidak diberikan dalam waktu yang cepatsebagai dasar pertimbangan pemerintah dalam alokasi DAU. Bahkan, sebaiknya publikasi datadasar tersebut dikeluarkan sebelum alokasi DAU ditetapkan. Banyak persoalan memangmengingat sering pulanya keterlambatan dari pemerintahan daerah dalam memberikan datayang akurat khususnya berkaitan dengan APBD.

Penjelasan data dasar sebagai pertimbangan pemerintah pusat kepada setiap pemerintahdaerah saja tidaklah cukup. Mengingat, proses alokasi DAU membutuhkan data dasar seluruhpemerintahan daerah di Indonesia untuk dapat menilai apakah proses alokasi DAU telahdilakukan dengan benar. Dalam periode ke depan, pemerintah penting memberikan sosialisasiyang cukup tentang data dasar dan formula yang digunakan dalam pertimbangan alokasi DAU.

C.4. Pengelolaan APBD

Hal lain yang diatur dalam Bab Keuangan Daerah dalam UU No.32/2004 adalah berkaitandengan APBD yaitu secara tegas diatur dalam Paragraf Ketujuh Pasal 179 – 194. Pada bagianakhir bab itu dalam UU ini Pasal 194 secara tegas mengatur bahwa “Penyusunan,pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangandaerah diatur lebih lanjut dengan perda yang berpedoman pada peraturan pemerintah”.

Terdapat satu permasalahan mendasar tentang penentuan pedoman pemerintah pusat dalampengelolaan APBD khususnya mengenai dokumen pencatatan APBD. Sebelum lahirnya UUNo.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, struktur APBD mengenal belanja rutin danpembangunan. Namun, dalam sistem pencatatan ini terdapat sejumlah kelemahan antara lainmasalah honorarium bias dalam belanja pembangunan, dimana masih tercatatnya komponengaji pegawai dalam proyek pembangunan oleh pemerintah daerah.

Seiring dengan keinginan pemerintah untuk menerapkan anggaran kinerja (performance budgetting ), Departemen Dalam Negeri sebagai pembina pemerintahan daerah, mengeluarkanformat pencatatan APBD dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri No.29 Tahun 2002tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerahserta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan TataUsaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah. Implikasinya, pencatatan APBD yang selama ini mengikuti format MAKUDA (ManualKeuangan Daerah) berubah menjadi format yang baru seperti yang diatur dalam Kepmendagri

Page 26: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 26/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

No.29/2002 tersebut. Respons pemerintahan daerah dalam menerapkan Keputusan MenteriDalam Negeri ini berbeda-beda. Ada yang menerapkannya pada tahun 2003 dan ada yangtidak menerapkannya hingga tahun 2005.

Belum selesai respons dari pemerintahan daerah terhadap pengaturan dalam KepmendagriNo.29 Tahun 2002 tersebut, Pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negerimengeluarkan peraturan baru yang mengubah kembali struktur pencatatan dan APBD yangtertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2005 tentang PedomanPengelolaan Keuangan Daerah. Implikasi lebih jauh, Pemerintahan Daerah harus kembalimengubah struktur pencatatan dalam APBD karena lahirnya pedoman yang baru ini.

Adanya pergantian pedoman dalam waktu yang relatif cepat tersebut tentunya akanmenyulitkan analis untuk menggunakan standar yang tepat dalam menilai perkembanganmanajemen desentralisasi fiskal. Implikasi lebih jauh, pergantian pedoman dalam waktu yangcepat akan membingungkan pemerintahan daerah serta tentunya tidak ‘tanpa biaya’.

Berdasarkan kondisi ini, maka pemerintah perlu menjamin bahwa penggunaan pedomanpengelolaan APBD tersebut akan digunakan dalam waktu yang relatif lama sehingga analisis

terhadap pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat dilakukan secara tepatkarena menggunakan perbandingan data yang terstandarisasi. Implikasinya, dalampenyusunan pedoman, Pemerintah Pusat harus mempertimbangkan banyak hal dan bukanperbaikan pedoman yang bersifat temporer. Perkembangan dinamis dari pemerintahan daerahharus seoptimal mungkin dipertimbangkan sehingga pedoman pengelolaan APBD dapatdigunakan daerah dalam waktu yang relatif panjang.

C.5. Peran DPD dalam hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah

Permasalahan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia semakin meningkatkompleksitasnya seiring dengan peningkatan kewenangan dan jumlah dana yang ditransfer daripemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD)didasarkan pada amandemen UUD 1945 pada Pasal 22C dan 22D. Dalam amandemen UUD1945 tersebut, DPD dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas RUU serta mengawasipelaksanaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alamdan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusatdan daerah. DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR serta mengawasipelaksanaan APBN serta RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Urgensi peranan DPD menjadi penting mengingat setiap provinsi diwakili oleh empat orangperwakilannya dalam keanggotaan DPD sehingga akan memberikan proses politik yangmenunjukkan keterwakilan kepentingan daerah yang merata. Kontrol ini menjadi penting untukmenjamin agar proses pembangunan daerah dan sinkron dengan kebijakan pemerintah daerahdan pemerintah pusat juga dapat memperhatikan kepentingan pemerintahan daerah dalampengambilan kebijakan. Komunikasi dan koordinasi antar pemerintah pusat dan pemerintahandaerah menjadi penting untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Berkaitan dengan dana perimbangan, hal ini berkaitan dengan besaran anggaran APBN yangdidaerahkan. Data memperlihatkan bahwa belanja daerah ini semakin meningkat dari tahun ketahun. Implikasinya, proses alokasi dana ini menjadi meningkat kandungan politisnya. Padahal,sebagian besar belanja daerah tersebut haruslah dialokasikan berdasarkan pertimbanganpemerataan pembangunan antardaerah. Sulit menjamin bahwa proses alokasi akan tercapai  jika tidak dikontrol oleh pihak yang tidak semua daerah diwakili kepentingannya. Jumlahperkembangan alokasi belanja daerah dalam APBN tersebut dapat diperlihatkan pada tabel berikut ini:

Page 27: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 27/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Tabel Perkembangan Jumlah Belanja ke Daerah dalam APBN, 2004 – 2007(Rp Milyar)

2004 2005 2006 2007KOMPONEN APBN

Realisasi Realisasi APBN-P APBN1. Dana Perimbangan 123,190 143,301 216,798 250,343

a. Dana Bagi Hasil 36,985 49,829 59,564 68,461

b. Dana Alokasi Umum 82,115 88,742 145,664 164,787

c. Dana Alokasi Khusus 4,089 4,730 11,570 17,094

2. Dana Otonomi Khusus dan Peny 6,855 7,215 4,052 8,452

Total Belanja ke Daerah 130,045 150,516 220,850 258,795Sumber: APBN beberapa tahun publikasi.

Seperti diketahui, pagu belanja daerah dalam APBN ditetapkan bersama oleh panitia anggaraneksekutif dan legislatif dalam hal ini anggota DPR RI. Besaran pagu belanja daerah tersebutkemudian dialokasikan pada masing-masing pemerintahan daerah berdasarkan formulatertentu. Alokasi dana belanja daerah ke masing-masing daerah merupakan hasil kesepakatanantara Panitia Kerja Belanja Daerah DPR RI dan Pemerintah. Implikasinya, secara implisit,DPR RI ikut menetapkan dana perimbangan kepada masing-masing daerah. Padahal,penetapan alokasi Dana Alokasi Umum dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden sedangkanalokasi dana perimbangan yang lain ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.Panitia kerja tersebut tidaklah mewakili pemerintahan daerah secara merata antardaerahsehingga akan sangat sulit menjamin bahwa proses alokasi dana perimbangan dapat dilakukansecara adil, transparan dan mempertimbangkan kesenjangan fiskal setiap daerah.

Agar dapat terjadi proses politik yang lebih berimbang kekuatannya antardaerah, sudahselayaknya lah anggota DPD RI diajak untuk memberikan pendapat dalam proses alokasi danaperimbangan kepada masing-masing daerah. Lebih jauh, dalam penetapan alokasi danaperimbangan kepada masing-masing daerah DPD RI ikut menyepakati hal tersebut. AnggotaDPD secara nyata merupakan keterwakilan masyarakat di daerah karena dipilih langsungmelalui Pemilihan Umum. Dengan mengasumsikan bahwa setiap anggota DPD RI akanmembela kepentingan daerahnya, maka proses penetapan dana perimbangan kepada masing-

masing daerah merupakan proses politik yang sempurna.

Gambaran usulan mekanisme pembahasan alokasi dana belanja daerah dalam APBN kepadamasing-masing pemerintah daerah tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 13 berikut ini:

Page 28: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 28/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Gambar 13: Mekanisme Pembahasan Alokasi Dana Belanja ke Daerah dalam APBN:Pola yang Ada dan Usulan

MEKANISME USULAN

PAGU BELANJA KE

DAERAH DALAM APBN

PANITIAANGGARAN

DPR RI

PANITIAANGGARANEKSEKUTIF

ALOKASI PADA SETIAPPEMERINTAHAN DAERAH

DI INDONESIA

DEWANPERWAKILAN

DAERAH (DPD)

Kesepakatan PanjaDPR RI danPemerintah

Perpres

Peraturan Menteri

Ikut Menyepakati

POLA PEMBAHASAN SAAT INI

 

Peranan DPD RI tentunya tidak terbatas pada pembahasan alokasi dana pemerintah pusatkepada pemerintah daerah. DPD juga dapat berperan dalam mempertimbangkan aspek daerahdalam setiap kegiatan di departemen teknis baik dalam bentuk dana dekonsentrasi dan tugaspembantuan seperti yang dinyatakan pada bagian awal bab ini. Selain itu, DPD dapat berperandalam menjembatani kepentingan daerah dan pemerintah pusat untuk mencapai tujuanpembangunan nasional.

D. Solusi

D.1. Tentang Dana Konsentrasi dan Tugas Pembantuan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan dan beberapa rekomendasikebijakan berkaitan dengan manajemen dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yaitu:

1) Terdapat permasalahan manajemen dana dekonsentrasi berkaitan dengan pemisahanterpisah dari dana yang dibiayai oleh APBN dan APBD seperti yang dinyatakan dalamPasal 155 UU No.32/2004. Pengaturan ini harus ditambah dengan pernyataan bahwaGubernur juga harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan dekonsentrasi tersebutkepada DPRD. Seperti diketahui, ketentuan yang berlaku saat ini hanya bersifatmelaporkan dan tidak diimplementasikan secara efektif mengingat alokasi Dana

Page 29: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 29/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ditetapkan kepada masing-masing provinsisetelah APBD ditetapkan.

2) Pengaturan perundang-undangan di bawah undang-undang juga harus secara tegasmenyatakan kapan batas akhir dari pemerintah pusat menetapkan alokasi danadekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada masing-masing daerah. Batas waktu inihendaknya seiring dengan penetapan dana perimbangan kepada setiap daerah.Waktu penetapan ini hendaknya seiring dengan periode pembahasan APBD tahunanggaran berikutnya dengan rentang waktu yang masuk akal untuk memperolehAPBD yang berkualitas.

3) Pemerintah Pusat juga harus memperbaiki pengaturan perundang-undanganmengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahandaerah. Penegasan tentang pembagian kewenangan ini akan memberikan dasar yanglebih transparan dalam pengalokasian Dana Dekonsentrasi.

4) Berkaitan dengan formula alokasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,pemerintah pusat juga harus mempertimbangkan bahwa formula tersebut memilikiaspek pemerataan fiskal antardaerah.

D.2. Tentang DAK

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat sejumlah hal yang harus diperbaiki dalam manajemenalokasi DAK. Hal ini mengingat adanya keinginan dari pemerintah untuk mengubah bentukkebijakan Dana Dekonsentrasi menjadi DAK, seiring dengan peningkatan signifikan daribesaran alokasinya. Meskipun DAK diatur secara terbatas dalam UU No.32/2004, namun dalampembahasan revisi UU ini seharusnya memberikan masukan yang besar bagi implementasiformulasi DAK pada peraturan perundang-undangan lainnya. Usulan perbaikan kebijakanmanajemen alokasi DAK tersebut antara lain:

1) Memberikan batasan terhadap kriteria khusus sehingga bukan merupakan sesuatukriteria yang mudah diperbesar sehingga tidak menyebabkan proses politik yang tidaktransparan.

2) Proses alokasi DAK juga harus mempertimbangkan agar tidak adanya daerah dengankemampuan fiskal yang tinggi memperoleh DAK sehingga memperburuk kemampuanfiskal antardaerah.

3) Proses perhitungan DAK juga memerlukan penjelasan pada peraturan yang bersifatteknis secara transparan. Misalnya, bagaimana proses perhitungan indikator setiapkriteria khusus dan teknis, penentuan Indeks Karakteristik Wilayah, dan Indeks FiskalWilayah. Proses perhitungan yang transparan akan meningkatkan kredibilitas dariproses alokasi DAK.

4) Pemerintah juga perlu menerbitkan data dasar yang digunakan dalam proses alokasiDAK untuk kepentingan tranparansi dalam proses penyalurannya.

D.3. Tentang DAU

Meskipun DAU diatur secara terbatas dalam UU No.32/2004, namun dalam pembahasan revisi

UU ini seharusnya memberikan masukan yang besar bagi implementasi formulasi DAU padaperaturan perundang-undangan lainnya. Usulan perbaikan kebijakan manajemen alokasi DAUtersebut antara lain:

1) Pemerintah pusat penting mengkategorikan indeks-indeks kebutuhan fiskal dalamkategori utama yaitu Indikator Kependudukan dan Kewilayahan serta menggunakanskenario predetermined untuk menetapkan bobot setiap indikator.

2) Penting pula dinyatakan bobot minimal setiap indeks serta kelipatan nilai setiap indeksdalam penentuan kebutuhan fiskal.

3) Pemerintah perlu mempublikasikan data dasar sebelum alokasi DAU ditetapkan.

Page 30: Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V

5/10/2018 Naskah Akademik Revisi UU 32 Bab V - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/naskah-akademik-revisi-uu-32-bab-v 30/30

 

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan

ditampilkan di www.parlemen.net 

www.parlemen.net

 Daftar Pustaka

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Beberapa tahun publikasi

Harian Kompas , Tanggal 29 Januari 2007

Harian Pikiran Rakyat , Tanggal 10 Januari 2007

Keputusan Menteri Dalam Negeri No.29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata CaraPenyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan TataUsaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah

LPEM FEUI. Public Expenditure Review , 2003

LPEM FEUI dan PSEKP UGM. Reformulasi Dana Alokasi Umum, 2005.

Menko Perekonomian RI. Pelengkap Buku Pegangan Pemerintahan Daerah Tahun2006

PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangandalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2005 tentang Pedoman PengelolaanKeuangan Daerah

Surat Keputusan Menteri Keuangan (SK Menkeu) RI No. 523/KMK.03/2000 tentangtatacara Penganggaran, Penyaluran Dana Pertanggungjawaban dan Pelaporan

Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat danDaerah

UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat danPemerintahan Daerah

www.djpkpd.go.id