naskah akademik rancangan undang-undang ...naskah akademik dan draf rancangan undang-undang ini...

194
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2020

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • NASKAH AKADEMIK

    RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-

    UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009

    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

    BADAN KEAHLIAN

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

    2020

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    i

    SUSUNAN TIM KERJA PENYUSUN NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN

    UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS

    UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009

    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

    Pengarah : Ir. Indra Iskandar, M.Si.

    (Plt Kepala Badan Keahlian dan Sekretariat Jenderal

    DPR RI)

    Penanggung Jawab : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.

    (Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang)

    Ketua : Arif Usman, S.H., M.H.

    (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya)

    Wakil Ketua : Laksmi Harundani, S.H., M.Kn.

    (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Muda)

    Sekretaris : Meirina Fajarwati, S.H., M.H

    (Perancang Peraturan Perundang-Undangan

    Pertama)

    Anggota : 1. Drs. Juli Panglima Saragih. M.M.

    (Peneliti Madya)

    2. Noor Ridha Widiyani, S.H.

    (Perancang Peraturan Perundang-Undangan

    Pertama)

    3. Olsen Peranto, S.H.

    (Perancang Peraturan Perundang-Undangan

    Pertama)

    4. Aryani Sinduningrum, S.H.

    (Perancang Peraturan Perundang-Undangan

    Pertama)

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    ii

    5. Ade Nurul Aida, S.E.

    (Analis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

    Ahli Pertama)

    6. Hendro Tri Subiyanto, S.E., M.M

    (Tenaga Ahli Badan Legislasi)

    7. Dahliana Hasan, S.H., M.Tax., Ph.D.

    (Pakar Pendamping dari Fakultas Hukum

    Universitas Gadjah Mada)

    8. Tutik Rachmawati, SIP., MA., PhD

    (Pakar Pendamping dari Fakultas Ilmu Sosial dan

    Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan)

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    iii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

    tersusunnya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang

    Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

    dan Retribusi Daerah (RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD)

    dengan baik dan lancar. RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD

    merupakan salah satu RUU dalam daftar kumulatif terbuka dalam Program

    Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Salah satu RUU yang tercantum

    dalam Daftar Kumulatif Terbuka Program Legislasi Nasional yaitu Tindak

    Lanjut Atas Putusan Mahkamah Konstitusi. Pembentukan RUU tentang

    Perubahan Atas UU tentang PDRD diperlukan untuk memberikan kepastian

    hukum di masyarakat terutama wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban

    pajak daerah dan retribusi daerah.

    Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang ini disusun

    berdasarkan standar operasional yang telah diberlakukan oleh Badan

    Keahlian Setjen DPR RI, yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari Perancang

    Undang-Undang, Peneliti, Analis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

    Tenaga Ahli Badan Legislasi, dan Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang

    sebagai penanggung jawab. Penyusunan Naskah Akademik dan Draf

    Rancangan Undang-Undang ini merupakan usul Badan Legislasi DPR RI, yang

    selanjutnya ditugaskan kepada Badan Keahlian Setjen DPR RI untuk disusun

    naskah akademik dan draf RUUnya.

    Dalam proses penyusunan Naskah Akademik, tim penyusun telah

    melakukan diskusi dari pemangku kepentingan yang terkait diantaranya

    Henry Darmawan Hutagaol, S.H. LL.M, Robert Na Endi Jaweng, Direktorat

    Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Asosiasi Pengusaha

    Indonesia (APINDO), Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), Tutik

    Rachmawati, SIP., MA., PhD, dan lain-lain. Selain itu tim penyusun juga

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    iv

    melakukan pengumpulan data ke 2 (dua) provinsi untuk mendapatkan

    masukan langsung dari pemangku kepentingan serta masyarakat yaitu

    Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Sumatera Utara.

    Penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU ini dilakukan untuk

    memberikan penyesuaian dan penyempurnaan atas dinamika

    penyelenggaraan pajak daerah dan retribusi daerah serta kebutuhan hukum

    yang berkembang di masyarakat. Dalam implementasi Undang-Undang Nomor

    28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang

    PDRD) telah beberapa kali diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan

    dari terdapat 4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh Mahkamah

    Konstitusi diantaranya Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan MK

    Nomor 46/PUU-XII/2014, Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, dan Putusan

    MK Nomor 80/PUU-XV/2017. Akibat dari putusan mahakamh konstitusi

    tersebut maka perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap

    beberapa pasal dalam UU tentang PDRD.

    Jakarta, Juni 2020

    Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang

    Badan Keahlian DPR RI

    Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.

    NIP. 19650710 199003 1 007

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    v

    DAFTAR ISI

    SUSUNAN TIM KERJA............................................................................ i

    KATA PENGANTAR................................................................................ iii

    DAFTAR ISI........................................................................................... v

    DAFTAR TABEL, GAMBAR, ATAU BAGAN…………………………………... ix

    BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1

    A. Latar Belakang............................................................................ 1

    B. Identifikasi Masalafh.................................................................... 4

    C. Tujuan dan Kegunaan................................................................. 5

    D. Metode Penyusunan Naskah Akademik....................................... 5

    BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS………………………. 8

    A. Kajian Teoretis............................................................................. 8

    1. Pendahuluan…………………………………………………………… 8

    2. Kerangka Teori……………………………………………………….. 12

    a. Definisi Pajak………………………………………………… 12

    b. Urgensi Pajak Untuk Negara……………………………… 13

    c. Jenis-Jenis Pajak Berdasarkan Objek………………….. 15

    d. Rasio Pajak Terhadap PDB (Tax Ratio)…………………. 15

    3. Pajak Daerah…………………………………………………………. 17

    a. Definisi Pajak Daerah……………………………………… 17

    b. Kriteria Pajak Daerah……………………………………… 18

    c. Jenis-jenis Pajak Daerah…………………………………. 20

    4. Retribusi Daerah……………………………………………………. 24

    a. Definisi Retribusi……………………………………………. 24

    b. Perbedaan Pajak dan Retribusi………………………….. 25

    c. Jenis-jenis Retribusi Daerah……………………………… 26

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    vi

    B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan

    Penyusunan Norma.............………………………………………….…. 29

    1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan……….. 29

    2. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah………………….… 33

    3. Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan………………………….. 35

    4. Asas Pemungutan Pajak…………………………………………….. 36

    5. Prinsip-prinsip Perpajakan……………………………………….... 41

    C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada

    serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat........................... 46

    1. Umum…………………………………………………………………... 46

    2. Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014………………………….. 73

    3. Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011…………………………… 80

    4. Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017………………………….. 83

    5. Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017………………………….. 91

    6. Pengaturan Lain-Lain………………………………………………… 97

    7. Pajak Daerah di Beberapa Negara ………………………………… 110

    D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan

    Diatur Dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU

    tentang PDRD Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan

    Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan

    Negara. …………………………………………………………................... 112

    BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    TERKAIT

    A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.. 126

    B. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

    Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah

    beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang

    Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang

    Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    vii

    Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

    (UU tentang Pemerintahan Daerah)…………………………..…..….. 128

    C. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha

    Mikro, Kecil, dan Menengah ………………………………………….. 133

    D. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

    Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

    Pemerintahan Daerah (UU tentang

    Perimbangan Keuangan).……………………………………………….. 134

    E. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 Tentang

    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak

    Daerah (PP No. 55 Tahun 2016)………………………………………… 135

    F. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 Tentang

    Retribusi Pengendalian Lalu Lintas Dan Retribusi Perpanjangan

    Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing

    (PP No. 97 Tahun 2012)…………………………………………………… 137

    G. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang

    Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan

    Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

    (PP No. 69 Tahun 2010) ………………………………………………….. 138

    H. Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011………………………………… 140

    I. Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014………………………………. 142

    J. Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017…………………………..…. 144

    K. Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017……………………………….. 150

    BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS…………… 155

    1. Landasan Filosofis.........................................………………………….. 156

    2. Landasan Sosiologis........................................................................ 157

    3. Landasan Yuridis............................................................................ 159

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    viii

    BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

    MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

    PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009

    TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH ……………. 161

    A. Jangkauan dan Arah Pengaturan RUU tentang Perubahan

    Atas UU tentang PDRD………………………………………………… 161

    B. Ruang Lingkup Materi Muatan……………………….……………… 164

    BAB VI PENUTUP ……………………………………………….…………….……. 174

    A. Simpulan..................................………………………………….................. 174

    B. Saran.......................................................……………………………….…. 180

    DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….. 181

    LAMPIRAN:

    Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

    28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    ix

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 Elemen Keuangan Daerah…………………………………………… 9

    Gambar 2 Legal Historis Kebijakan Perpajakan Daerah…………………… 11

    Gambar 3 Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan UU

    tentang PDRD………………………………………………………….. 12

    Gambar 4 Asas-asas dalam Sistem Perpajakan yang Ideal………………. 38

    Gambar 5 Komposisi Sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) Provinsi,

    Kabupaten, Kota Tahun 2009-2018 (Persen) …………………. 112

    Gambar 6 Penerimaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi 120

    Gambar 7. Penjualan dan Pertumbuhan Penjualan Alat Berat di

    Indonesia, 1990-2019 …………………………………………………. 122

    DAFTAR TABEL

    Table 1 Tax Revenues by Country Category (tax ratio) ………………… 16

    Tabel 2 Rasio Pajak Terhadap PDB Indonesia dari Masa ke Masa ….. 16

    Tabel 3 Perhitungan Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi dengan

    Tarif Variabel ………………………………………………………...... 116

    Tabel 4 Penghitungan Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi dengan

    Tarif Tunggal ……………………………………………...……...…….118

    Tabel 5 Penghitungan Tarif Retribusi Menara

    Telekomunikasi …………………………………..…………………….119

    Tabel 6 Rangkuman Potensi Manfaat dan Beban atas Pengaturan

    dalam Putusan MK terkait Pajak Daerah dan Retribusi

    Daerah (PDRD) ………………………………………………… 126

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum

    berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945)

    yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman,

    tertib, sejahtera dan berkeadilan. Pemberlakuan otonomi daerah melalui

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    sebagaimana yang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang

    Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

    dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang

    Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

    Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemerintahan Daerah) serta Undang-

    Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

    Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU tentang Perimbangan

    Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) maka penyelenggaraan

    pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang

    seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

    menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

    penyelenggaraan pemerintahan negara.

    Penyelenggaraan otonomi daerah ditandai dengan pemberian

    kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang

    merupakan salah satu hubungan keuangan dalam penyelenggaraan

    urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah yaitu pemberian

    sumber peneriman daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah.

    Pajak daerah dan retribusi daerah (yang selanjutnya disingkat PDRD)

    merupakan kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah pusat yang

    ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah

    (local taxing power) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah untuk

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    2

    menjalankan setiap urusan yang dilimpahkan kepada daerah. Oleh karena

    itu pemerintah daerah diberikan kewenangan memungut pajak dan

    pungutan memaksa lainnya (retribusi dan lain-lain pendapatan asli daerah

    yang sah) sebagai bagian dari pendapatan asli daerah (yang selanjutnya

    disingkat PAD).

    Dalam Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945, pajak dan pungutan lain

    yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-

    undang, oleh karena itu sesuai dengan amanah konstitusi penarikan pajak

    dan retribusi daerah yang dilakukan oleh daerah harus diatur dan

    ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan PDRD tersebut pada saat

    ini diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

    tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang PDRD) yang

    dalam implementasinya di daerah diatur dengan peraturan daerah.

    Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan

    kemandirian daerah, pemerintah merasa perlu untuk melakukan

    perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi

    dalam penetapan tarif, sehingga kewenangan pungutan di daerah semakin

    luas dengan adanya penambahan beberapa jenis pajak dan retribusi baru.

    Kebijakan ini tentunya sangat strategis dan mendasar di bidang

    desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup

    fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara

    pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

    UU tentang PDRD mempunyai tujuan untuk memberikan kewenangan

    yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan

    dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan

    pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan

    akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan

    pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah, serta

    memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah

    dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan PDRD.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    3

    Sepanjang berlakunya UU tentang PDRD terdapat beberapa kali

    permohonan Pengujian UU tentang PDRD terhadap UUD NRI Tahun 1945

    kepada Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disingkat MK) dan hanya

    4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh majelis hakim yaitu tercatat

    dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 46/PUU-

    XII/2014, Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, dan Putusan MK Nomor

    80/PUU-XV/2017.

    Dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, MK mengabulkan

    permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa kata

    “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU tentang PDRD bertentangan

    dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum

    mengikat.

    Dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014, MK mengabulkan

    seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa

    Penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD yang menyatakan bahwa

    mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan

    dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan,

    tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek

    pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan

    Bangunan (yang selanjutnya disingkat PBB) menara telekomunikasi, yang

    besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan

    pengendalian menara telekomunikasi tersebut, bertentangan dengan UUD

    NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, MK mengabulkan

    seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa

    Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat

    besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak

    melekat secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-

    alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU

    tentang PDRD bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak

    memiliki kekuatan hukum mengikat.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    4

    Dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017, MK mengabulkan

    permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan bahwa Pasal 1

    angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3)

    UU tentang PDRD adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945

    sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Penggunaan

    listrik tetap dikenakan pajak akan tetapi perlu ada perbedaan pengaturan

    mengenai penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri maupun dihasilkan

    dari sumber lain dan penggunaan listrik yang dihasilkan oleh pemerintah

    dalam hal ini PT Perusahaan Listrik Negara (yang selanjutnya disingkat PT

    PLN).

    Oleh karena itu maka keempat Putusan MK tersebut akan membawa

    implikasi dan akibat hukum terhadap pemungutan PDRD. Sehingga dalam

    rangka menindaklanjuti akibat hukum yang menciptakan keadaan hukum

    baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal

    a quo, maka perlu dilakukan analisis terhadap keempat Putusan MK

    tersebut dan evaluasi akibat hukumnya terhadap keberadaan UU tentang

    PDRD.

    Oleh karena itu akibat dari Putusan MK tersebut maka Dewan

    Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (yang selanjutnya disingkat DPR

    RI)perlu menindaklanjutinya dengan menyusun Naskah Akademik (yang

    selanjutnya disingkat NA) dan Rancangan Undang-Undang tentang

    Perubahan Atas Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi

    Daerah (RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD) sebagai daftar

    kumulatif terbuka dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024

    B. Identifikasi Masalah

    Dalam rangka memberikan landasan ilmiah dalam menyusun NA dan

    RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD, dapat dirumuskan

    identifikasi permasalahan yang meliputi:

    1. Bagaimana teori dan praktek pelaksanaan pengelolaan PDRD pada saat

    ini?

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    5

    2. Bagaimana pelaksanaan dan pengaturan tentang PDRD dalam UU

    tentang PDRD dan undang undang terkait?

    3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan atau landasan filosofis,

    sosiologis, dan yuridis dalam penyusunan RUU tentang Perubahan Atas

    UU tentang PDRD?

    4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,

    jangkauan dan arah pengaturan dalam penyusunan RUU tentang

    Perubahan Atas UU tentang PDRD?

    C. Tujuan dan Kegunaan

    Adapun tujuan penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan Atas UU

    tentang PDRD adalah:

    1. Merumuskan teori dan praktek pelaksanaan pengelolaan PDRD yang

    berkembang saat ini.

    2. Merumuskan pelaksanaan dan pengaturan tentang PDRD dalam UU

    tentang PDRD dan undang undang terkait.

    3. Merumuskan dasar pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan

    yuridis dalam penyusunan RUU tentang Perubahan Atas UU tentang

    PDRD.

    4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

    pengaturan, jangkaun dan arah pengaturan dalam penyusunan RUU

    tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD.

    Adapun kegunaan dari penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan

    Atas UU tentang PDRD adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan

    dan pembahasan RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD.

    D. Metode Penyusunan Naskah Akademik

    Penyusunan NA ini dilakukan melalui metode studi yuridis-normatif

    (statute approach), kajian kepustakaan/dokumentasi (conceptual and

    comparative approach) dan diskusi kelompok/wawancara. Teknik

    pengumpulan datanya dilakukan melalui studi yuridis-normatif, kajian

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    6

    pustaka/dokumentasi, dan diskusi kelompok terfokus (FGD) dan/atau

    dengan pengambil keputusan politik, serta wawancara/kunjungan

    lapangan. Studi yuridis-normatif dilakukan melalui penelahaan produk

    hukum terkait PDRD seperti peraturan perundang-undangan terkait baik

    di tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksanaan dan berbagai

    dokumen hukum terkait.

    Penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan

    kebijakan PDRD di Indonesia, di antaranya, yaitu:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

    Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali

    terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

    Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

    Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;

    4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah;

    5. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang retribusi

    Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;

    6. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan

    7. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

    Sementara itu, kajian pustaka/dokumentasi dilakukan melalui analisis

    terkait dengan konsep-konsep dasar tentang pajak daerah dan retribusi

    secara khusus. Selain itu, kajian pustaka/dokumentasi ini juga dilakukan

    dengan pendekatan perbandingan (comparative approach) terhadap

    praktik-praktik penerapan PDRD di berbagai negara. Untuk melengkapi

    studi yuridis/normatif dan kajian literatur/dokumentasi, teknik

    pengumpulan data juga dilakukan melalui Focus Group Discussion dengan

    pakar dan/atau pengambil keputusan politik di Badan Legislasi DPR RI,

    wawancara/kunjungan lapangan. Selain itu, untuk memperkuat hasil

    studi kajian NA ini, penyusun juga melakukan kegiatan uji konsep dengan

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    7

    beberapa pemangku kepentingan (stakeholders) seperti akademisi/pakar

    dan lembaga pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    8

    BAB II

    KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

    A. KAJIAN TEORETIS

    1. PENDAHULUAN

    Di banyak negara di dunia saat ini, pajak (tax) merupakan sejumlah

    uang yang wajib dibayarkan oleh warga negara (penduduk) dan badan

    usaha atau lembaga nirlaba di suatu negara untuk keperluan negara

    yang bersangkutan. Pada umumnya pajak di berbagai negara adalah

    bersifat memaksa, “tanpa” terdapat imbalan langsung atas uang pajak

    yang dibayarkan penduduk atau badan usaha/perusahaan kepada

    negaranya.

    Seperti di berbagai negara di dunia, di Indonesia pajak juga sangat

    penting bagi negara. Pada umumnya pemungutan pajak dapat dibedakan

    menjadi 2 (dua) berdasarkan level pemerintahan yang berwenang

    memungutnya, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah

    pajak-pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat.

    Sedangkan, pajak daerah adalah pajak-pajak yang dipungut dan

    dikelola oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pajak yang

    termasuk ke dalam pajak pusat di Indonesia saat ini adalah Pajak

    Penghasilan (PPh) individu dan badan usaha, Pajak Pertambahan Nilai

    (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Masuk, Cukai,

    dan Bea Materai serta Pajak Ekspor (Bea Keluar).

    Penyerahan urusan dari pusat ke daerah harus diikuti transfer

    pembiayaan (dana perimbangan) yang memadai, serta dukungan sumber

    pendapatan dari daerah (PAD). Perlu diperkuat prinsip money follows

    function dan mengurangi praktik unfunded-mandate. Keuangan daerah

    yang merupakan salah satu elemen dari desentralisasi sebagai

    perwujudan dari demokrasi lokal dan pemerintahan yang efektif

    akuntabel serta sebagai pelaksanaan atas layanan publik dan daya saing

    daerah, semua hal tersebut memiliki tujuan akhir untuk pembangunan

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    9

    daerah dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Elemen keuangan

    daerah sebagaimana tergambar dalam bagan di bawah ini:1

    Gambar 1 Elemen Keuangan Daerah

    Sumber: KPPOD Jakarta

    Empat dimensi desentralisasi yaitu:

    a. Desentralisasi ekonomi (pasar) yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus sektor ekonomi diserahkan kepada Pemerintah

    Daerah (Pemda). b. Desentralisasi administrasi yaitu penyerahan kewenangan dan

    tanggung jawab atas sejumlah urusan dari pemerintah pusat kepada

    daerah otonom, instansi vertikal, maupun lembaga parastatal. Terbagi menajadi tipe devolusi, tipe dekonsentrasi, dan tipe delegasi.

    c. Desentralisasi fiskal yaitu pelimpahan kewenangan dan tanggung

    jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perihal sumber penerimaan dan pembelanjaan.

    d. Desentralisasi politik yaitu terbukanya struktur kesempatan bagi rakyat (partisipasi dan representasi) dalam pengelolaan kebijakan publik dan pemilihan pejabat publik.2

    1Robert Na Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD, disampaikan dalam diskusi

    penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak

    Daerah dan Retribusi Daerah, 3 Februari 2020. 2Ibid..

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    10

    Kebijakan desentralisasi fiskal berbasis pendapatan sendiri (PAD)

    umumnya bermaksud mengoptimalkan penerimaan. Namun demikian,

    pemerintah wajib memperhatikan paradigm perpajakan daerah dalam

    konteks desentralisasi/otonomi daerah:

    a. PDRD harus memiliki basis pemungutan atas urusan yang menjadi

    domain kewenangan Pemda.

    b. Prinsip manfaat (Martinez-Vasquez), benefit tax link:

    1) Selain retribusi yang mesti nyata, langsung dan spesifik

    imbal/kontra-prestasinya, umumnya pajak daerah dalam konteks

    otonomi daerah lebih berorientasi regulatory purpose, regulerend

    (pengendalian, pelayanan, dan pengaturan) ketimbang sebagai

    instrument budgetair (hakihat pajak pusat).

    2) Dalam pembelanjaan, teknik alokasi dari hasil penerimaan pajak

    memakai earmarking system seperti Pajak Kendaraan Bermotor

    (yang selanjutnya disingkat PKB), Pajak Rokok, Pajak Penerangan

    Jalan (yang selanjutnya disingkat PPJ), dalam UU tentang PDRD.

    c. Otonomi fiskal: desentralisasi sisi pengeluaran (expenditure

    assignment) ketimbang pendapatan asli (tax assignment) atau dengan

    opsi memperbesar porsi dana perimbangan (revenue assignment).

    d. Daya saing: optimaliasi PAD tidak mencederai upaya reformasi

    struktural dalam paket deregulasi termasuk reformasi kerangka

    pengaturan bagi kepastian berusaha (proses pembentukan peraturan

    daerah, substansi dan manajemen penanganan peraturan daerah) dan

    reformasi administrasi pajak/retribusi di daerah.3 Adapun legal

    historis kebijakan perpajakan daerah sebagai berikut:

    3Ibid,.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    11

    Gambar 2 Legal Historis Kebijakan Perpajakan Daerah

    Sumber: KPPOD Jakarta

    Pengaturan mengenai PDRD terbaru diatur dalam UU tentang PDRD,

    isi kebijakan dan pelaksanaan dalam undang-undang secara umum

    sebagai berikut:

    a. PAD yaitu isu kemandirian (kontribusi PAD terhadap Anggaran

    Pendapatan dan Belanja Daerah (yang selanjutnya disingkat APBD)

    dan ruang diskresi), pertumbuhan dan kememadaian (rasio pajak),

    pemerataan antar daerah (khususnya Pajak Bumi dan Bangunan

    Perdesaan dan Perkotaan {yang selanjutnya disingkat PBB P2})

    b. Di daerah PAD tidak semata dilihat sebagai instrument fiskal tetapi

    juga secara politik sebagai prestise.

    c. Perubahan kerangka kebijakan utama dari UU No 34 Tahun 2000

    tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997

    tentang Pajak dan Retribusi Daerah menjadi UU tentang PDRD yang

    berlaku perluasan basis pajak, penyerahan jenis pajak baru,

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    12

    keleluasaan penentuan tarif, closed-list system, telah membawa

    perubahan beragam di daerah.4

    Tabel di bawah ini akan menjelaskan jenis PDRD sesuai dengan UU

    tentang PDRD:

    Gambar 3 Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan UU tentang PDRD

    2. KERANGKA TEORI

    a. Definisi Pajak

    Definisi atau pengertian pajak menurut Prof.DR.Mardiasmo,SE

    mengatakan, pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara

    berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada

    mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat

    ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran

    umum”. Sedangkan Abut menyatakan, “pajak merupakan iuran

    kepada negara, yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib

    membayarnya menurut peraturan, dengan tidak mendapat prestasi

    kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah

    4Ibid.,

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    13

    untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas

    negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.5

    Pajak juga dapat diterjemahkan sebagai instrumen atau alat

    melakukan redistribusi kesejahteraan atau transfer kesejahteraan.

    Pajak dipungut dari orang pribadi yang mempunyai penghasilan

    diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (yang selanjutnya disingkat

    PTKP) digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

    yang kurang mampu seperti pemberian Kartu Indonesia Sehat (yang

    selanjutnya disingkat KIS), Kartu Indonesia Pintar (yang selanjutnya

    disingkat KIP), pembangunan infrastruktur jalan, bendungan, irigasi,

    sarana kesehatan, dan sarana pendidikan, dan lain-lain yang

    semuanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

    (publik).6

    Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga

    Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

    dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan “pajak adalah

    kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

    badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

    tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

    keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

    b. Urgensi Pajak Untuk Negara

    Prinsip di mana pemerintah (negara) harus memungut pajak dari

    penduduknya, adalah karena tanggung jawab negara atau pemerintah

    dalam menyediakan barang/jasa untuk publik yang tidak dapat

    disediakan oleh lembaga atau institusi privat (swasta).7 Pemerintah

    5Pajak Daerah, Pajak Daerah, dimuat dalam http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-

    content/uploads/2018/08/pajak_daerah-1.pdf, diakses 23 Januari 2020. 6Filosofi Angpau, Filosofi Angpau, dimuat dalam

    https://www.pajak.go.id/id/artikel/filosofi-angpau, diakses 23 Januari 2020. 7Walter Johnson, “Why Do State & Federal Governments Collect Taxes?”, dimuat dalam

    https://pocketsense.com/do-federal-governments-collect-taxes-8390486.html, diakses 24

    Januari 2020.

    http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2018/08/pajak_daerah-1.pdfhttp://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2018/08/pajak_daerah-1.pdfhttps://www.pajak.go.id/id/artikel/filosofi-angpauhttps://pocketsense.com/do-federal-governments-collect-taxes-8390486.html

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    14

    juga menggunakan uang pajak untuk tujuan meningkatkan

    (memperbaiki) kesejahteraan warganya, menciptakan lapangan kerja,

    menggaji guru, dan lain-lain. Oleh karena itu pajak sangatlah penting

    sampai saat ini.

    (The government also uses tax they collect to improve the conditions of a country, they (taxes) are used to create more jobs, (example: by building a school, they do not only create a job for the teachers, but they also employ the building company, creating more jobs in the economy).8

    Pemungutan pajak di suatu negara seperti kebijakan pengenaan

    bea masuk (pajak impor) barang misalnya, adalah bertujuan untuk

    melindungi perekonomian di dalam negeri dengan mendorong industri

    domestik di suatu negara memproduksi barang sendiri. Oleh karena

    itu, pengenaan pajak impor yang tinggi dapat melindungi produk-

    produk industri terutama industri-industri baru (infant industry) di

    suatu negara untuk dapat bersaing dengan produk dari luar negeri

    yang dipasarkan di pasar dalam negeri negara bersangkutan.9

    Abdul Kadir, menjelaskan bahwa terdapat beberapa teori dasar

    pemungutan pajak oleh negara antara lain teori kepentingan, teori

    kewajiban pajak mutlak, teori daya beli dan teori daya pikul. Teori-

    teori di atas secara umum membenarkan pemerintah (negara)

    memungut pajak atas rakyatnya karena adanya tanggungjawab

    negara untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya,

    melindungi rakyatnya atas jaminan keamanan, dan tanggungjawab

    dalam melakukan pelayanan-pelayanan publik yang dibutuhkan oleh

    masyarakat.10

    8Wiki User, Why Do Government Impose Tax?, dimuat dalam

    https://www.answers.com/Q/Why_do_governments_impose_tax, diakses 23 Januari 2020. 5 Nipun S, Objectives of Tax Policy in Developing Countries, dimuat dalam

    www.economicsdiscussion.net/taxes/tax-policy/objectives-of-tax-policy-in-developing-countries/26200, diakses 23 Januari 2020.

    10Abdul Kadir, “Kapita Selekta Perpajakan di Indonesia”, Medan: Pustaka Bangsa Press,

    2017, hal.22-26.

    https://www.answers.com/Q/Why_do_governments_impose_taxhttp://www.economicsdiscussion.net/taxes/tax-policy/objectives-of-tax-policy-in-developing-countries/26200http://www.economicsdiscussion.net/taxes/tax-policy/objectives-of-tax-policy-in-developing-countries/26200

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    15

    c. Jenis-Jenis Pajak Berdasarkan Objek

    Jenis pajak berdasarkan objeknya yakni: pajak langsung (direct

    taxes) dan pajak tidak langsung (indirect taxes). Contoh pajak

    langsung adalah pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan

    usaha. Sedangkan contoh pajak tidak langsung adalah pajak

    pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang-barang mewah

    (PPnBM), bea masuk, bea meterai, cukai.11 Kedua jenis pajak di atas

    sama pentingnya. Tetapi pajak langsung cenderung sangat

    dipengaruhi oleh kondisi atau kemajuan perekonomian di negara yang

    bersangkutan.

    d. Rasio Pajak Terhadap Produk Domestik Bruto (Tax Ratio)

    Rasio pajak terhadap produk domestik bruto (yang selanjutnya

    disingkat PDB) atau tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak

    terhadap PDB. Rasio ini merupakan alat ukur untuk menilai kinerja

    penerimaan pajak suatu negara. Komponen penerimaan pajak di

    Indonesia mencakup penerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara

    Bukan Pajak ( yang selanjutnya disingkat PNBP) Minyak dan Gas, dan

    PNBP Pertambangan Umum. Pajak daerah tidak menjadi komponen

    dalam perhitungan rasio pajak.

    Jika rasio pajak semakin besar maka mengindikasikan

    kemampuan pemerintah dalam menarik pajak sesuai dengan

    kemajuan perekonomian di negara bersangkutan. Sebaliknya rasio

    pajak yang rendah mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah

    suatu negara dalam memungut pajak-pajaknya walaupun kegiatan

    perekonomian di suatu negara sudah berkembang atau maju.

    11Direct taxes are assessed upon the tax-paying capacities of assesses such as their

    income or wealth. Indirect taxes are imposed upon objects or transactions regardless of the capacities of the taxpayers. Income taxes on individuals and companies are the most important forms of direct taxation and excise duties, customs duties and sales tax dominate the indirect tax category.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    16

    Rasio pajak terhadap PDB tidak hanya dipengaruhi oleh

    kebijakan ekstensifikasi pajak, tetapi juga intensifikasi pajak

    yang dilaksanakan oleh negara bersangkutan.

    Biasanya rasio pajak terhadap PDB di negara-negara

    maju lebih besar dibandingkan dengan di negara

    berkembang dan terbelakang. Lihat tabel 1. di bawah.

    Type of Countries Tax Ratio (% of GDP)

    1 Low income countries (LICs) 13%

    2 Low middle income countries

    (LMICs)

    17,7%

    3 Upper middle income countries

    (UMICs)

    20,7%

    4 High income countries (HICs) 35,4%

    Tabel 1. Tax Revenues by Country Category (tax ratio)

    Sumber: Tax in Developing Countries: Increasing Resources for Development, the

    International Development Commitee (IDC), the House of Commons of UK, 201212

    Rasio pajak terhadap PDB Indonesia tahun 2018 sebesar 11,5%.

    Sedangkan pada 2019 tax ratio mencapai 12%. Indonesia pernah

    mencapai tax ratio yang relatif tinggi yakni tahun 2012 sebesar 14%.

    (lihat tabel di bawah).

    12 International Development Committee, Tax in Developing Countries: Increasing

    Resources for Development, dimuat dalam https://publications.parliament.uk/pa/cm201213/cmselect/cmintdev/130/130.pdf, diakses

    tanggal 23 Januari 2020.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    17

    S

    u

    m

    b

    e

    r

    :

    Tabel 2.Rasio Pajak Terhadap PDB Indonesia dari Masa ke Masa

    3. PAJAK DAERAH

    a. Definisi Pajak Daerah

    Ahmad Yani menjelaskan, pajak daerah adalah “iuran yang

    dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa

    imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk

    membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan

    daerah.”13

    Abdul Kadir berpendapat, “pajak daerah adalah pajak yang

    ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah (Perda)

    yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah

    daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran

    pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan

    pemerintahan dan pembangunan di daerah.14

    Berdasarkan UU tentang PDRD, pajak daerah adalah “kontribusi

    wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan

    yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

    13Ahmad Yani, “Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di

    Indonesia”, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal.52-53. 14Abdul Kadir, “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Perspektif Otonomi di

    Indonesia”, Medan: FISIP Universitas Sumatera Utara Press, 2008, hal.26-27.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    18

    mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

    keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

    Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

    2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

    Pemerintahan Daerah (UU tentang Perimbangan Keuangan), pajak

    daerah merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah. Dalam Pasal

    279 ayat (1) dan (2) UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

    Daerah, mengatur mengenai hubungan keuangan antara pemerintah

    pusat dengan pemerintah daerah dalam hal pelaksanaan otonomi

    daerah. Hubungan keuangan tersebut dilaksanakan melalui

    pemberian sumber pendapatan daerah, berupa PDRD.

    PDRD merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang

    penting untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Untuk

    meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah pusat

    memberikan perluasan objek PDRD, serta memberikan diskresi pada

    (pemerintah daerah) dalam penetapan tarifnya.15

    b. Kriteria Pajak Daerah

    Untuk mengetahui apakah suatu pajak merupakan pajak yang

    dipungut oleh pemerintah daerah atau tidak, maka perlu diidentifikasi

    kriteria-kriteria pajaknya. Adapun beberapa kriteria suatu pajak

    digolongkan sebagai pajak daerah, antara lain: (1) kecukupan dan

    elastisitasnya; (2) prinsip keadilan; (3) kapasitas atau kemampuan

    administrasi; (4) kesepakatan/keputusan politik; (5) efisiensi ekonomi;

    (6) kecocokan atau kesesuaian sebagai pungutan daerah.16 Kriteria-

    kriteria diatas dijelaskan di bawah ini.17

    15Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Mengenal Pajak Daerah dan Retribusi

    Daerah, dimuat dalam https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-pajak-

    daerah-dan-retribusi-daerah/, diakses 27 Januari 2020. 16Abdul Kadir, Op.,Cit.,hal.28-31. 17Ibid., hal.28-33.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    19

    Prinsip keadilan dalam perpajakan adalah bahwa beban untuk

    membiayai belanja publik seyogyanya ditanggung oleh masyarakat

    secara proporsional dengan kekayaan mereka. Dalam hal pajak

    daerah, maka beban pajak haruslah seimbang di antara kelompok

    masyarakat yang pendapatannya berbeda-beda. Oleh karena itu,

    dengan alasan keadilan maka struktur pajak daerah yang progresif

    dapat diterapkan.

    Tidak setiap objek pajak daerah memiliki kemampuan administrasi

    yang sama terutama dalam hal pemungutannya. Kapasitas

    administratif yang berbeda-beda tersebut maka menjadi pertimbangan

    bagi suatu daerah untuk menetapkannya sebagai pajak daerah. Jika

    suatu daerah memiliki banyak jumlah usaha informal dengan level

    usaha yang juga berbeda-beda, maka pemerintah daerah akan

    kesulitan mengadministrasikannya sebagai pajak daerah. Contoh lain

    adalah pajak hewan yang jika dilakukan pemungutannya maka tidak

    sesuai hasil yang diperoleh dengan biaya administrasi yang

    dibutuhkan untuk menata-usahakannya.

    Setiap pajak yang dipungut dari rakyat harus dalam bentuk

    undang-undang yang disepakati oleh parlemen dan pemerintah

    (daerah). Oleh karena itu, pada umumnya sebagian besar jenis atau

    objek pajak tidak disukai oleh pembayar pajak. Apakah suatu pajak

    dapat dipungut oleh daerah, juga harus berdasarkan suatu

    kesepakatan bersama antara parlemen dengan pemerintah daerah.

    Oleh karena itu, suatu pajak daerah (pajak lokal) sebagai suatu

    keputusan politik, haruslah terlebih dahulu mendapat masukan

    (aspirasi) dari masyarakat lokal agar tidak terjadi keberatan dan

    penolakan untuk membayarnya, termasuk besaran tarif pajaknya.

    Apakah suatu pajak daerah telah menerapkan efisiensi ekonomi

    atau tidak, merupakan kriteria yang harus dipenuhi agar pajak daerah

    bisa dipungut oleh pemerintah daerah. Artinya apakah penerapan

    suatu pajak daerah memiliki dampak negatif (buruk) terhadap

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    20

    perekonomian daerah yang bersangkutan atau tidak, perlu dikaji

    dengan teliti.

    Kriteria lain, adalah apakah suatu pajak merupakan atau dapat

    dikategorikan sebagai pajak daerah atau pajak pusat, bergantung

    kepada kesesuaiannya dengan kondisi dan perkembangan

    perekonomian atau potensi ekonomi di daerah bersangkutan.

    Kesesuaian ini dapat diartikan menjadi “karakteristik” dari ekonomi

    masyarakat di daerahnya sehingga dapat disebut sebagai pajak

    daerah.

    Perbedaan kebijakan perpajakan (fiscal policy or tax policy) antar-

    negara mempengaruhi besaran jumlah pendapatan pemerintah daerah

    dari pajak. Selama 20 tahun sejak (1996-2015), anggaran pendapatan

    pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal di Amerika Serikat

    misalnya rata-rata mencapai 45% dari pajak lokal; 18% dari

    pemerintah federal AS; dan 25% dari pendapatan retribusi (fees or

    surcharges). Pajak penghasilan18; pajak penjualan, dan pajak bumi

    dan bangunan (property tax), merupakan pajak bagi negara bagian

    (state government) dan pemerintah lokal (municipalities).19

    c. Jenis-jenis Pajak Daerah

    Jenis atau objek pajak daerah juga berbeda-beda di setiap negara

    sesuai dengan kebijakan perpajakan yang diterapkan negara yang

    bersangkutan. Sebagaimana yang disebutkan di atas, pajak daerah

    juga dibedakan berdasarkan tingkatan (sistem) pemerintahannya,

    seperti sistem pemerintahan di negara-negara federal di AS, Australia,

    Canada, dan lain-lain serta pajak daerah dalam sistem pemerintahan

    non-federal. Pajak daerah juga dapat dibedakan atas pajak negara

    18Tetapi tidak semua negara bagian di AS mengijinkan pemerintah lokal yang lebih

    rendah tingkatannya untuk memungut pajak penghasilan (income tax). 19State and Local Revenue, National Association of State Retirement Administrators,

    https://www.nasra.org/revenue, diakses 27 Januari 2020.

    https://www.nasra.org/revenue

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    21

    bagian dan pajak lokal (pajak untuk pemerintahan daerah yang lebih

    kecil, misalnya kabupaten di negara-negara federal).

    Perbedaan jenis-jenis pajak termasuk pajak daerah di suatu

    negara juga disebabkan atau dipengaruhi oleh seberapa besar

    tanggung jawab dari masing-masing tingkatan pemerintahan yang ada

    dalam menyediakan barang-barang atau jasa publik. Karena dalam

    penyediaan barang-barang publik atau infrastruktur publik di daerah

    membutuhkan anggaran yang cukup. Oleh karena itu sering disebut

    dengan: “money follows function” dalam kontek politik pemerintahan

    daerah (lokal) termasuk di Indonesia.

    Pada umumnya jenis-jenis pajak daerah di berbagai negara terdiri

    dari: (1) pajak bumi dan bangunan (property tax); (2) pajak kendaraan

    bermotor (user charges for vehicle, public services fees, dog, etc.), (3)

    cukai (excise taxes); (4) pajak penghasilan individu; (5) pajak gaji

    (payroll tax), (6) pajak konsumsi (general consumption tax).20 Hal ini

    bergantung kepada kebijakan perpajakan di masing-masing negara.

    Jenis-jenis pajak daerah di Indonesia mengalami perubahan sejak

    tahun 1947. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, saat ini pajak

    daerah diatur dalam UU tentang PDRD.21

    20Richard M. Bird, Local and Regional Revenues: Realities and Prospects, dimuat dalam

    http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/June2003Seminar/bird2003.pdf,

    diakses 27 Januari 2020. 21UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mencabut UU

    Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah; UU Nomor 18 Tahun 1997

    tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah; PP No. 5 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 10 Tahun 1968 (Lembaran Negara RI Tahun 1968 No 54; Tambahan

    Lembaran Negara No 2861) Tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara; Bea Balik Nama

    Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing Dan Pajak Radio Kepada Daerah; (b)UU No. 10

    Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara: Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,

    Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio Kepada Daerah; UU No. 87 Tahun 1958 tentang Pengubahan Undang-Undang Pajak Bangsa Asing (Undang-Undang No. 74

    Tahun 1958); UU No. 74 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat No. 16

    Tahun 1957 Tentang Pajak Bangsa Asing (Lembaran-Negara Tahun 1957 No. 63)" sebagai UU;

    UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-

    Daerah, yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri

    Mencabut Pasal 3 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h; UU No. 21 Tahun 1948 tentang Menambah dan Mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1947; (g)UU No. 20

    Tahun 1948 tentang Mengadakan Perubahan dan Tambahan Pajak Dalam Undang-Undang

    https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/70194/pp-no-5-tahun-1969https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/49167/uu-no-10-tahun-1968https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/49167/uu-no-10-tahun-1968https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/52374/uu-no-87-tahun-1958https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/52374/uu-no-87-tahun-1958https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/52867/uu-no-74-tahun-1958https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/51174/uu-no-32-tahun-1956https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25796/uu-no-21-tahun-1948https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25796/uu-no-21-tahun-1948https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25786/uu-no-20-tahun-1948https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25786/uu-no-20-tahun-1948

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    22

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memutuskan atau

    menentukan suatu pajak daerah bagi pemerintah daerah, baik

    provinsi maupun tingkatan pemerintahan yang lebih kecil seperti

    kabupaten dan kota, antara lain adalah22:

    1) Pungutan bersifat pajak dan bukan retribusi;

    2) Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah provinsi atau

    kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas

    cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah

    provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan;

    3) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan

    kepentingan umum. Pajak ditujukan untuk kepentingan bersama

    (publik) yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan

    memperhatikan aspek ketentraman, kestabilan politik, ekonomi,

    sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan;

    4) Potensi pajak memadai untuk dipungut dari masyarakat.

    Artinya hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya

    pemungutannya;

    5) Objek Pajak bukan merupakan objek pajak pusat. Jenis pajak yang

    bertentangan dengan kriteria ini, antara lain adalah pajak ganda

    (double tax), yaitu pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan

    yang tumpang tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak

    lain yang sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh daerah;

    6) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif kepada daerah;

    7) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan ekonomi

    masyarakat untuk membayar; dan

    8) Menjaga kelestarian lingkungan.

    Nomor 14 Tahun 1947 Dari Hal Pajak Pembangunan I; UU No. 14 Tahun

    1947 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan di Rumah Makan dan Rumah Penginapan; UU

    No. 12 Tahun 1947 tentang Menetapkan "Pajak Radio" atas Semua Pesawat Penerimaan Radio. 22Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Pajak Daerah, dimuat dalam

    http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2018/08/pajak_daerah-1.pdf, diakses

    28 Januari 2020.

    https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25257/uu-no-14-tahun-1947https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25257/uu-no-14-tahun-1947https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25253/uu-no-12-tahun-1947https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/25253/uu-no-12-tahun-1947

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    23

    Yang termasuk pajak daerah provinsi berdasarkan UU tentang

    PDRD23, terdiri dari:

    1) PKB24;

    2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (yang selanjutnya

    disingkat BBNKB);

    3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (yang selanjutnya

    disingkat PBBKB);

    4) Pajak Air Permukaan (yang selanjutnya disingkat PAP), dan

    5) Pajak Rokok.

    Sedangkan Pajak daerah kabupaten/kota meliputi:

    1) Pajak Hotel;

    2) Pajak Restoran atau Rumah Makan;

    3) Pajak Hiburan;

    4) Pajak Reklame (iklan);

    5) PPJ;

    6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

    7) Pajak Parkir;

    8) Pajak Air (bawah) Tanah;

    9) Pajak Sarang Burung Walet;

    10) PBBP2; dan

    11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (yang selanjutnya

    disingkat BPHTB).

    Setiap daerah otonom di Indonesia, dalam hal ini daerah provinsi,

    kabupaten/kota, memiliki sumber daya alam dan potensi ekonomi

    yang bervariasi dan berbeda-beda. Hal ini juga mengakibatkan adanya

    perbedaan dalam jumlah nominal pendapatan daerah masing-masing.

    23UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah

    undang-undang yang masih berlaku saat ini yang menggantikan beberapa undang-undang

    lama, seperti UU Nomor 34 Tahun 2000; UU Nomor 18 Tahun 1997. 24Pajak kendaraan bermotor tersebut di atas, juga dikenakan terhadap kendaraan

    bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage), dan kendaraan alat-alat berat.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    24

    Tetapi jika daerah dapat memanfaatkan atau menggali dengan optimal

    potensi sumber-sumber pendapatan di daerahnya, maka akan

    memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah,

    seperti PDRD yang merupakan PAD baik provinsi, kabupaten dan

    kota. Hal ini pada gilirannya akan memberikan manfaat bagi

    pembangunan daerah.

    Melalui berbagai alternatif sumber-sumber penerimaan daerah,

    menurut UU tentang Perimbangan Keuangan, telah menetapkan

    PDRD adalah sebagai sumber PAD yang dapat dipungut oleh daerah

    provinsi dan kabupaten/kota yang bersangkutan.

    4. RETRIBUSI DAERAH

    a. Definisi Retribusi

    Pengertian retribusi berdasarkan UU tentang PDRD, adalah

    “pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin

    tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah

    daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”. Balas jasa

    kepada wajib retribusi dapat dirasakan langsung oleh si pembayar

    retribusi. Contoh adalah retribusi kebersihan (sampah) yang

    manfaatnya dapat dirasakan langsung dengan diangkutnya sampah

    wajib retribusi oleh petugas.25

    Oleh karena itu retribusi dapat “dipaksakan” dengan sifat yang

    ekonomis hanya kepada orang atau badan yang menggunakan atau

    mendapatkan jasa atau izin atau manfaat yang diberikan oleh

    pemerintah pusat atau daerah. Retribusi memiliki tujuan untuk

    memberikan jasa atau ijin kepada masyarakat sehingga masyarakat

    dapat melaksanakan kegiatan mereka serta mendapatkan pelayanan

    dari pemerintah.

    25Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, Perbedaan Pajak dan Retribusi,

    dimuat dalam https://bapenda.jabarprov.go.id/2017/02/22/perbedaan-pajak-dan-retribusi/,

    diakses 28 Januari 2020.

    https://bapenda.jabarprov.go.id/2017/02/22/perbedaan-pajak-dan-retribusi/

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    25

    b. Perbedaan Pajak dengan Retribusi

    Pajak dan retribusi adalah sama-sama berupa pungutan, tetapi

    keduanya punya perbedaan. Perbedaan pajak dan retribusi terlihat

    dari segi dasar hukum, manfaat, objek, jenis, dan lembaga

    pemungutnya. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun

    2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun

    1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak

    merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

    pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-

    Undang. Orang pribadi atau badan tidak merasakan imbalan secara

    langsung. Pajak digunakan untuk keperluan negara agar menciptakan

    kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

    Sedangkan pengertian retribusi berdasarkan UU tentang PDRD

    yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian

    izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh

    Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

    Untuk pajak, dasar hukumnya adalah undang-undang seperti

    tercantum pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

    Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

    Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan/atau Undang-

    Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sementara

    dasar hukum retribusi adalah UU tentang PDRD; Peraturan

    Pemerintah (PP); Peraturan Menteri; Peraturan Daerah (Perda) provinsi

    dan/atau Kabupaten/Kota.

    Tujuan diberlakukannya pajak, yaitu untuk meningkatkan kondisi

    ekonomi suatu negara dan mensejahterakan masyarakat. Sedangkan

    tujuan retribusi, yaitu memberikan jasa atau izin kepada masyarakat

    sehingga masyarakat bisa melaksanakan kegiatan dan mendapatkan

    pelayanan (umum) atau memperoleh manfaat dari pemerintah.

    https://www.cekaja.com/info/begini-caranya-menghitung-pajak-penghasilan-untuk-karyawan/

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    26

    Objek pajak umumnya adalah antara lain: berupa kendaraan

    bermotor, barang mewah, penghasilan, dan sebagainya. Sementara,

    objek retribusi adalah orang-orang tertentu atau badan yang

    memanfaatkan jasa pemerintah, seperti pelayanan kesehatan,

    terminal, pelayanan kebersihan, pelayanan pasar, dan lain-lain.

    c. Jenis-jenis Retribusi Daerah

    Adapun jenis-jenis retribusi daerah berdasarkan UU tentang

    PDRD terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :

    1) Retribusi Jasa Umum

    Retribusi jasa umum terdiri dari: Retribusi Pelayanan Tera/Tera

    Ulang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi

    Penggantian Biaya Cetak Peta, Retribusi Pelayanan Kesehatan,

    Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, Retribusi

    Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan

    Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar,Retribusi

    Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus, Retribusi Pelayanan

    Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi,

    Retribusi Pengolahan Limbah Cair, Retribusi Penggantian Biaya

    Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, hingga

    Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    27

    2) Retribusi Jasa Usaha

    Retribusi jasa usaha terdiri dari: Retribusi Pemakaian Kekayaan

    Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan, Retribusi

    Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Rekreasi

    dan Olahraga, Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah,

    Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat

    Penginapan/Pesanggrahan/Vila, Retribusi Rumah Potong Hewan,

    Retribusi Penyeberangan di Air, hingga Retribusi Pelayanan

    Kepelabuhanan.26

    3) Retribusi Perizinan

    Retribusi perizinan terdiri dari: Retribusi Izin Trayek, Retribusi

    Izin Usaha Perikanan, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB),

    Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, hingga

    Retribusi Izin Gangguan. Saat ini seluruh retribusi harus

    didasarkan kepada undang-undang dan peraturan daerah sebagai

    dasar hukum untuk memungutnya dari masyarakat.

    Oleh karena itu retribusi harus memenuhi beberapa ketentuan

    yakni: (a) adanya otoritas (legalitas) yang diberikan kepada institusi

    atau lembaga yang memungutnya; (b) efisiensi; (c) akuntabilitas.

    Otoritas dimaksud adalah legalitas hukum dari lembaga yang diatur

    dalam regulasi misalnya undang-undang atau peraturan di bawahnya.

    Sedangkan prinsip efisiensi menjelaskan bahwa, barang atau jasa

    publik yang disediakan oleh pemerintah haruslah mengedepankan

    efisiensi kegiatan pelayanan (barang) atau jasa untuk publik. Prinsip

    akuntabilitas artinya retribusi yang dipungut dari masyarakat harus

    dapat dipertanggungjawabkan secara transparan ke publik dan wajib

    26Alternatif pemungutan retribusi alat berat serta perbandingannya dengan pengaturan

    di negara lain dapat dilihat di Indiana Government of Revenue, General Tax, dimuat dalam https://www.in.gov/dor/files/gb211.pdf dan Cumberland County Government, heavey equipment, http://www.co.cumberland.nc.us/departments/tax-group/tax/business-

    property/special-sales-tax/heavy-equipment, diakses tanggal 27 Februari 2020.

    https://www.in.gov/dor/files/gb211.pdfhttp://www.co.cumberland.nc.us/departments/tax-group/tax/business-property/special-sales-tax/heavy-equipmenthttp://www.co.cumberland.nc.us/departments/tax-group/tax/business-property/special-sales-tax/heavy-equipment

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    28

    untuk meningkatkan kualitas pelayanan (delivering public services)

    publiknya.27

    Dari beberapa definisi retribusi di atas, dapat disimpulkan bahwa

    retribusi yang dibayarkan oleh individu atau badan akan

    mendapatkan manfaat langsung atas sejumlah uang yang dibayarkan

    kepada institusi atau badan yang menyediakan barang-barang atau

    jasa publik tersebut.

    (User charges (fees) is a payment to an agency for particular good or

    service that benefit the payee directly. Event organizer or promotors

    and select member of community-not general community-directly get

    benefit from public services supplied).28

    Di banyak negara, retribusi disebut juga dengan user charges atau

    fees seperti untuk berbagai jenis perizinan atau lisensi (driving

    licenses, business licenses,etc.), serta bentuk-bentuk pungutan

    lainnya. Pemerintah Daerah Administratif Khusus Hong Kong,

    misalnya menerapkan retribusi (fees) terhadap registrasi kendaraan

    pertama dan ijin mengemudi lokal dan internasional (Fees of Vehicle

    and Driving Licensing Services). Fees tersebut diperuntukkan dalam

    hal:

    a. Bantuan korban kecelakaan lalu lintas;

    b. Registrasi kendaraan;

    c. Sertifikat kendaraan dan perizinan terkait kendaraan.29

    Dalam menerapkan suatu retribusi (fees atau user charges), perlu

    dipertimbangan dan diperhatikan (efisiensi) biaya yang dikeluarkan

    27Controller and Auditor General, Charging fees for public sector goods and services,

    dimuat dalam https://www.oag.govt.nz/2008/charging-fees/docs/charging-fees.pdf, diakses

    28 Januari 2020. 28Department of Premier and Cabinet (DPC) NSW Government, User charges policy,

    dimuat dalam https://www.dpc.nsw.gov.au/programs-and-services/events/user-charges-

    policy/, diakses 28 Januari 2020. 29Transport Department of the Government of the Hong Kong Special Administrative

    Region, Fees of Vehicle d Driving Licensing Services, dimuat dalam

    https://www.td.gov.hk/filemanager/en/content_104/td341_12_2017.pdf, diakses 29 Januari

    2020.

    https://www.oag.govt.nz/2008/charging-fees/docs/charging-fees.pdfhttps://www.dpc.nsw.gov.au/programs-and-services/events/user-charges-policy/https://www.dpc.nsw.gov.au/programs-and-services/events/user-charges-policy/https://www.td.gov.hk/filemanager/en/content_104/td341_12_2017.pdf

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    29

    oleh pemerintah daerah (lokal) untuk menyediakan barang dan/atau

    jasa publik bagi masyarakatnya. Prinsip ini disebut dengan cost

    recovery. Biaya inilah yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah

    untuk memungut retribusi seperti biaya untuk pemeliharaan dan

    peningkatan pelayanan yang lebih baik dan cepat.30

    B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Berkaitan dengan Pajak Daerah dan

    Retribusi Daerah

    1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

    Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip hukum yang

    abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret

    dan pelaksanaan hukum. Asas hukum bukan merupakan hukum

    konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan

    abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkret yang

    terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang

    terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim

    yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan

    mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.

    30Cost Recovery is concerned with recouping a portion of or all costs associated with a

    particular service provided by the local authority to the public, normally by way of fees or charges. Fees and charges are a significant source of income for councils. The level of fees or charges determines the percentage of service costs that is recovered. For local government services which are generally used by a large cross-section of the community, it is often

    impracticable or unacceptable to charge fees for these services. On the other hand, where the services are used by a sub group of the community, it is more common for these public services to be provided for a specified fee or charge. Fees and charges are made for the provision of a wide range of services including: (1)housing rents, (2)planning fees, (3)fire call out charges, (4)burial ground fees, (5)litter fines, (6)land fill charges, (7)bring centre and civic amenity site fees, (8)parking fee, (9)motor tax fees, (10)driving license fees, (11)swimming pool fees, (12)museum fees and library fees. When determining the level of fees or charges to be set, factors to consider include the need to regulate demand, the desire to subsidise a certain product, administrative concerns, such as the cost of collection, and the promotion of other economic or social goals, dalam Richard Boyle, Using fees and charges-cost recovery in local government, Institute of Public Administration (IPA), Ireland, dimuat dalam

    https://www.ipa.ie/_fileUpload/Documents/LocalGov_RS_No3.pdf, diakses 29 Januari 2020.

    https://www.ipa.ie/_fileUpload/Documents/LocalGov_RS_No3.pdf

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    30

    Beberapa pendapat mengenai asas hukum, antara lain:31

    Bellefroid: asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan

    dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal

    dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum itu merupakan

    pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.

    Van Eikema Hommes: asas hukum itu tidak boleh dianggap

    sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu

    dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi

    hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu

    berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas

    hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan

    hukum positif.

    The Liang Gie: asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan

    dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai

    pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan

    untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

    Paul Scholten: asas hukum adalah kecenderungan-

    kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita

    pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala

    keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang

    tidak boleh tidak harus ada.

    Asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik

    (beginselen van behoorlijke regelgeving) terbagi atas asas-asas yang

    formal dan yang material. 32 Asas-asas yang formal meliputi:

    a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

    b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);

    31Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty 2005,

    hal. 34. Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta:

    Liberty, 2007, hal. 5. 32 I.C. van der Vlies, Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving, ’s-

    Gravenhage: Vuga 1984 hal 186 seperti dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi dalam Maria Farida Indrati, S., Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Jakarta:

    Kanisius, 2007, hal. 253-254.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    31

    c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

    d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

    e. asas konsensus (het beginsel van consensus).

    Ada pun asas-asas yang material meliputi asas tentang

    terminologi dan sistematika yang benar; asas tentang dapat dikenali;

    asas perlakuan yang sama dalam hukum; asas kepastian hukum;

    dan asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Di dalam

    pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang

    patut, adalah sebagai berikut33:

    a. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang

    berlaku sebagai “bintang pemandu”;

    b. Asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-

    undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam

    keutamaan hukum, dan asas pemerintahan berdasar sistem

    konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan

    batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan.

    c. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum

    yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan

    yang khas berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas

    pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan

    undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan

    kegiatan-kegiatan pemerintahan.

    Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

    patut meliputi juga asas tujuan yang jelas; asas perlunya

    pengaturan; asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;

    asas dapatnya dilaksanakan; asas dapatnya dikenali; asas perlakuan

    yang sama dalam hukum; asas kepastian hukum; dan asas

    pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.

    33Ibid., hal. 254-256.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    32

    Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal

    dan asas yang material, A. Hamid S. Attamini membagi asas-asas

    pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut

    sebagai:34

    a. Asas-asas formal, dengan perincian:

    1. asas tujuan yang jelas;

    2. asas perlunya pengaturan;

    3. asas organ/lembaga yang tepat;

    4. asas materi muatan yang tepat;

    5. asas dapatnya dilaksanakan; dan

    6. asas dapatnya dikenali;

    b. Asas-asas material, dengan perincian:

    1. asas sesuai dengan cita hukum indonesia dan norma

    fundamental negara;

    2. asas sesuai dengan hukum dasar negara;

    3. asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas

    hukum; dan

    4. asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar

    sistem konstitusi.

    Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

    dirumuskan juga dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor

    12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

    undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

    Undang Nomro 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 12

    Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

    (UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) sebagai

    berikut:

    1. Pasal 5 menyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan

    Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas

    34Ibid., hal. 256.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    33

    pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang

    meliputi:

    a. kejelasan tujuan;

    b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

    c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

    d. dapat dilaksanakan;

    e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

    f. kejelasan rumusan; dan

    g. keterbukaan.

    2. Pasal 6 menyatakan bahwa materi muatan Peraturan

    Perundang-undangan mengandung asas, sebagai berikut:

    a. pengayoman;

    b. kemanusiaan;

    c. kebangsaan;

    d. kekeluargaan;

    e. kenusantaraan;

    f. Bhinneka Tunggal Ika;

    g. keadilan;

    h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

    i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

    j. keseimbangan; keserasian, dan keselarasan.

    Selain asas-asas tersebut, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU

    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan

    perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan

    bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

    2. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah

    Dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah, terdapat

    beberapa asas umum yang menjadi norma dan prinsip dasar yang

    selalu harus dijadikan acuan dan pedoman agar pengelolaan

    keuangan daerah dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    34

    Penyelenggara keuangan daerah wajib mengelola keuangan daerah

    dengan mengacu pada asas-asas umum dan mencakup

    keseluruhan perencanaan, penguasaan, penggunaan,

    pertanggungjawaban, dan pengawasan. Pengelolaan keuangan

    daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang

    diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan

    peraturan daerah.35

    Beberapa asas umum pengelolaan Keuangan Daerah adalah

    daerah dikelola secara36:

    a. Tertib

    Keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna

    yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat

    dipertanggungjawabkan.

    b. Taat pada peraturan perundang-undangan

    Pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada

    peraturan perundang-undangan.

    c. Efektif

    Pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan,

    yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

    d. Efisien

    Pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan

    tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai

    keluaran tertentu.

    e. Ekonomis

    Pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu

    pada tingkat harga yang terendah.

    f. Transparan

    35 Ahmad Yani, Op.cit, hal. 359-360. 36 Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka

    Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 89.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    35

    Prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk

    mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya

    tentang keuangan daerah.

    g. Bertanggung jawab

    Perwujudan kewajiban seseorang untuk

    mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian

    sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan

    kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah

    ditetapkan.

    h. Memperhatikan asas keadilan

    Keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya

    dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban

    berdasarkan pertimbangan yang objektif.

    i. Kepatutan

    Tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan

    proporsional.

    j. Manfaat untuk masyarakat

    Keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan

    masyarakat.

    3. Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan

    Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

    kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

    urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

    dengan peraturan perundang-undangan.37 Otonomi daerah dapat

    diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk

    mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara prinsipil

    37 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat

    5-6.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    36

    terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi, yaitu hak wewenang

    untuk memanajemeni daerah, dan tanggung jawab terhadap

    kegagalan dalam memanajemeni daerahnya tersebut. Adapun

    daerah dalam arti Local State Government adalah pemerintah di

    daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah

    pusat.38

    Azas otonomi daerah di Indonesia sejak tahun 1998

    berlandaskan pada semangat mendekatkan pelayanan publik, baik

    berupa pembangunan infrastruktur maupun perlindungan sosial

    bagi masyarakat. Otonomi daerah, mendekatkan pelayanan publik

    mensyaratkan pemerintah daerah memiliki kemampuan fiskal.

    Namun demikian, penerapan pajak harus berlandaskan pada

    hukum yang jelas. Hal ini tepat seperti yang disampaikan oleh

    James Otis Jr. yang mengusung slogan ‘no taxation without

    representation’ and ‘taxation’ without representation is tyranny.’39

    Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat

    kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada

    kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten

    /kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.40

    4. Asas Pemungutan Pajak

    Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau prinsip-

    prinsip yang harus diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak.

    Menurut Adam Smith, pemungutan pajak hendaknya didasarkan

    atas empat asas, yaitu equity, certainty, convenience, dan economy;

    sedangkan menurut Dora Hancock dalam bukunya Taxation: Policy

    38 Riant Nugroho Dwidjowoto, Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi, Jakarta:

    Elex Media Komputindo, 2000, hlm. 46. 39 Tutik Rahmawati, SIP, MA., PhD. (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

    Universitas Parahyangan), disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan RUU tentang

    Perubahan atas UU. No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, 27 Februari 2020.

    40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (9).

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    37

    and Practice, mengutip pendapat Stiglitz pemenang Nobel Ekonomi,

    menyatakan lima karakteristik yang diharapkan ada dalam suatu

    sistem perpajakan, yaitu41:

    a. Economically efficient: It should not have an impact on allocation

    of resources;

    b. Administratively simple: It should be easy and inexpensive to

    administer;

    c. Flexible: It should be easy for the system to respond to changing

    economic circumstances;

    d. Politically accountable: taxpayers should be able to determine

    what they are actually paying to so that the political system can

    more accurately reflect the preferences of individuals;

    e. Fair: it should be seen to be fair in its impact on all individuals.

    Asas yang perlu diperhatikan dalam memungut pajak yaitu

    revenue productivity, equity/equality, dan ease of administration.

    Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya ketiga asas perpajakan

    itu dipegang teguh dan dijaga keseimbangannya agar tercapai

    sistem perpajakan yang baik. The Revenue Adequacy Principle

    adalah kepentingan pemerintah, The Equity Principle adalah

    kepentingan masyarakat, dan The Certainty Principle adalah untuk

    kepentingan pemerintah dan masyarakat.42

    41 Dora Hancock, Taxation: Policy & Practice, 1997/1998 Edition (UK: Thomson

    Business Press, 1997), hal. 44 dalam Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan: Teori dan Aplikasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 117-118.

    42 R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996, hal. 16 dalam Ibid, hal. 119.

  • NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD

    Review, Per 29 Juni 2020

    38

    Apabila digambarkan secara sederhana, sistem perpajakan

    yang baik (ideal) adalah seperti sebuah tiga sama sisi (Gambar 4).

    Pada perkembangan tingkat implementasi, tampaknya

    keseimbangan tersebut tidak lagi terjaga, sering kali karena alasan

    kepentingan (penerimaan) Negara.

    Gambar 4. Asas-asas dalam Sistem Perpajakan yang Ideal

    Berikut penjelasan masing-masing asas dalam sistem perpajakan

    yang ideal43:

    a. Equity/Equality

    Keadilan merupak