narendra, dani wangsit_b2007

57
PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus ) DANI WANGSIT NARENDRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Upload: setiawandudi

Post on 04-Dec-2015

41 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jurnal praktikum

TRANSCRIPT

Page 1: Narendra, Dani Wangsit_B2007

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN

BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT

TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

DANI WANGSIT NARENDRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

Page 2: Narendra, Dani Wangsit_B2007

ABSTRAK

DANI WANGSIT NARENDRA. Pengaruh Dehidrasi Dengan Pemberian Bisacodyl Terhadap Gambaran Hematokrit Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ANDRIYANTO.

Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana keseimbangan cairan tubuh terganggu yaitu berupa hilangnya cairan tubuh baik cairan intraselular maupun cairan ekstraselular tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang cukup. Kehilangan cairan tubuh bisa diakibatkan oleh aktivitas yang berlebih tanpa diimbangi dengan kecukupan konsumsi cairan, serta dapat juga diakibatkan oleh diare kronis tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran hematokrit darah pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) dalam keadaan dehidrasi dan untuk mendapatkan hewan contoh dehidrasi. Perlakuan yang diberikan kepada tikus putih adalah pemberian laksansia agar tikus mengalami dehidrasi kemudian diberikan air minum agar terjadi rehidrasi. Pada saat dehidrasi dan rehidrasi dilakukan penghitungan nilai hematokrit. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa pada jam ke-7 merupakan awal terjadinya kondisi dehidrasi setelah diberi bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor. Kondisi dehidrasi dapat meningkatkan nilai hematokrit, sedangkan usaha rehidrasi dapat menurunkan nilai hematokrit. Nilai hematokrit kembali pada nilai rata-rata normal pada jam ke-32 setelah dilakukan usaha rehidrasi pada jam ke-11. Rata-rata nilai hematokrit mengalami peningkatan yang nyata dari jam ke-6 sampai jam ke-11 (P < 0.05), serta mengalami penurunan pada jam ke-12 sampai jam ke-32 setelah dilakukan perlakuan rehidrasi. Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai hematokrit tikus putih jantan adalah selama 21 jam.

Kata kunci: dehidrasi, bisacodyl, hematokrit, tikus putih (Rattus norvegicus)

Page 3: Narendra, Dani Wangsit_B2007

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN

BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT

TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

DANI WANGSIT NARENDRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

Page 4: Narendra, Dani Wangsit_B2007

Halaman Pengesahan

Judul

: Pengaruh Dehidrasi dengan Pemberian Bisacodyl terhadap Gambaran

Hematokrit Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus.)

Nama : Dani Wangsit Narendra

NRP : B04103135

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I,

Dr. Dra. Nastiti Kusumorini

Dosen Pembimbing II

drh. Andriyanto

Mengetahui,

Wakil Dekan FKH IPB

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.

Disahkan Tanggal: …………

Page 5: Narendra, Dani Wangsit_B2007

PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

Rahmat dan Hidayahnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan

yang diharapkan. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Dehidrasi dengan Pemberian

Bisacodyl terhadap Gambaran Hematokrit Tikus Putih Jantan (Rattus

norvegicus)”, Merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Papah (Dadang Syarifudin) dan Mamah (hj. Nanik Susiani, SPD. SKep), Mba

Melan, Mba Devi dan keluarga besar saya di Bandung, Garut, Bogor dan

Kalimantan

2. Dr. Dra. Nastiti Kusumorini dan Drh. Andriyanto selaku pembimbing skripsi

atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama

penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc selaku dosen penguji.

4. Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, MSi selaku dosen pembimbing akademik,

atas segala bimbingan, dorongan, dan saran yang telah diberikan selama saya

kuliah di Institut Pertanian Bogor.

5. Drh. Iskandar, MSc. Saya doakan semoga beliau lekas sembuh.

6. Seluruh staf dan pegawai Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB

atas segala bantuan selama saya melakukan penelitian.

7. Nurul Farida Adnan atas segala perhatian dan dukungan yang telah diberikan

selama ini kepada saya.

8. Muhamad Aziz Hakim, Brian Koesoema Adhie, Putu Eka Sudrayatma, Reza

Helmi, Laksana Heri yang telah memberikan tempat kepada saya untuk

bersinggah. Rian dan Ido yang selalu membuat saya terhibur dikala berduka.

9. Teman-teman penghuni Wisma Jamparing, De Jejaka, serta rekan-rekan

FKH’40 (Gymnolemata) atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini.

10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Page 6: Narendra, Dani Wangsit_B2007

Akhirnya saya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak yang membutuhkannya dan mudah-mudahan bermanfaat bagi dunia

kedokteran hewan Indonesia.

Bogor, Oktober 2007

Dani Wangsit Narendra

Page 7: Narendra, Dani Wangsit_B2007

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Dani Wangsit Narendra. Penulis dilahirkan di

Cimahi pada tanggal 23 Mei 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua

bersaudara dari ayahanda Dadang Syarifudin dan ibunda Nanik Susiani

Penulis mulai menjalani pendidikan di SDN Barukai Cisarua Cimahi Kab.

Bandung hingga lulus pada tahun 1997. Penulis menyelesaikan pendidikan

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 1 Cisarua Cimahi Kab.

Bandung dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2000. Jenjang Sekolah

Menengah Umum (SMU), penulis selesaikan di SMUN 1 Cimahi Kab. Bandung

hingga tahun 2003. Penulis kemudian melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi

dalam bidang ilmu kedokteran hewan yang ditempuhnya di Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Penulis masuk perguruan tinggi

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2003 dan

menyelesaikan studinya pada tahun 2007.

Page 8: Narendra, Dani Wangsit_B2007

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

Latar Belakang .......................................................................................... 1

Tujuan ....................................................................................................... 2

Manfaat ..................................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3

Hewan coba ............................................................................................... 3

Tikus Putih (Rattus norvegicus) sebagai Hewan Model ........................... 3

Dehidrasi ................................................................................................... 5

Darah ......................................................................................................... 10

Sel Darah Merah (Eritrosit) ................................................................. 11

Sel Darah Putih (Leukosit) .................................................................. 12

Granulosit ...................................................................................... 13

Neutrofil .................................................................................. 13

Eosinofil .................................................................................. 14

Basofil ..................................................................................... 15

Agranulosit .................................................................................... 16

Limfosit ................................................................................... 16

Monosit ................................................................................... 18

Trombosit ............................................................................................ 18

Plasma Darah ....................................................................................... 19

Hemoglobin ......................................................................................... 20

Hematokrit ........................................................................................... 20

Obat Laksansia .......................................................................................... 22

Bisacodyl ............................................................................................. 24

METODOLOGI .............................................................................................. 26

Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 26

Materi ........................................................................................................ 26

Page 9: Narendra, Dani Wangsit_B2007

Hewan Coba ........................................................................................ 26

Kandang ........................................................................................ 26

Pakan ............................................................................................. 26

Alat dan Bahan .......................................................................................... 26

Tahap Adaptasi .......................................................................................... 27

Penghitungan Nilai Hematokrit ................................................................. 27

Pelaksanaan Penelitian .............................................................................. 27

Tahap 1: Penentuan kisaran normal nilai hematokrit tikus putih

jantan ................................................................................................... 27

Tahap 2 : Penentuan dosis efektif bisacody ........................................ 27

Tahap 3 : Uji coba hewan model dehidrasi dan rehidrasi ................... 28

Parameter yang Diamati ............................................................................ 29

Analisis Data ............................................................................................. 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 30

Penentuan Kisaran Normal Nilai Hematokrit Tikus Putih Jantan ............. 30

Penentuan Dosis Efektif Bisacodyl ........................................................... 30

Uji Coba Hewan Model Dehidrasi dan Rehidrasi ..................................... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 40

Kesimpulan ............................................................................................... 40

Saran .......................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 41

LAMPIRAN .................................................................................................... 45

Page 10: Narendra, Dani Wangsit_B2007

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Nilai fisiologis tikus putih (Rattus norvegicus).......................................... 7

2. Rata-rata nilai hematokrit tikus jam ke-0 sampai jam ke-5 ..................... 30

3. Kriteria penetapan diare secara kualitatif .................................................. 31

4. Kecepatan terjadinya diare dan kondisi diare yang terjadi ....................... 32

5. Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan setelah

pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5 mg/ekor ............. 32

6. Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dengan pemberian

bisacodyl dosis 5 mg/ekor pada jam ke-6 sampai jam ke-32 .................... 36

Page 11: Narendra, Dani Wangsit_B2007

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tikus Putih ............................................................................................... 4

2. Gejala klinis yang ditimbulkan pada balita bila mengalami dehidarasi

berat ........................................................................................................... 9

3. Skema Pembentukan sel darah ................................................................... 11

4. Eritrosit....................................................................................................... 12

5. Neutrofil ..................................................................................................... 13

6. Eosinofil ..................................................................................................... 15

7. Basofil ........................................................................................................ 16

8. Limfosit ...................................................................................................... 16

9. Monosit ...................................................................................................... 18

10. Trombosit ................................................................................................... 19

11. Hemoglobin ................................................................................................ 20

12. Mikrohematokrit ...................................................................................... 22

13. Makrohematokrit ....................................................................................... 22

14. Diagram protokol penelitian pada Tahap 2 ................................................ 28

15. Diagram protokol penelitian pada Tahap 3 ................................................ 29

16. Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan setelah

pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5 mg/ekor ............. 33

17. Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dengan pemberian

bisacodyl dosis 5 mg/ekor pada jam ke-6 sampai jam ke-32 .................... 37

Page 12: Narendra, Dani Wangsit_B2007

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisa Data Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus Jam ke-0 sampai Jam

ke-5 ............................................................................................................ 45

2. Analisa Perbandingan Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus setelah

Pemberian Bisacodyl Dosis 2,5 mg/ekor dengan Dosis 5 mg/ekor ........... 45

3. Analisa Data Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus dengan Pemberian

Bisacodyl Dosis 5 mg/ekor pada Jam ke-6 sampai Jam ke-32 .................. 45

Page 13: Narendra, Dani Wangsit_B2007

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan akan hewan coba akibat pesatnya penelitian pada zaman

sekarang, menuntut kita untuk dapat menemukan hewan coba yang baik dan tepat.

Terdapat berbagai macam hewan coba yang dapat digunakan, seperti tikus,

mencit, hamster, kelinci, kambing, kucing, anjing, sapi dan yang lainnya. Untuk

mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan, dibutuhkan hewan coba yang baik

dan sesuai. Kriteria Hewan coba yang baik adalah harus memiliki sifat-sifat

seperti mudah dipelihara, cepat bereproduksi dengan jumlah anak yang banyak

dalam sekali melahirkan, mudah di handling dan dapat digunakan untuk berbagai

jenis perlakuan dan percobaan. Salah satu hewan coba yang sesuai dengan

kriteria tersebut adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Tikus putih (Rattus

norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna seperti mudah

dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam

penelitian, mudah di handling, cepat bereproduksi dan jumlah anak banyak dalam

satu kali melahirkan (Malole dan Pramono, 1989).

Dehidrasi merupakan suatu keadaan dimana keseimbangan cairan tubuh

terganggu karena hilangnya cairan tubuh baik cairan intraselular maupun cairan

ekstraselular tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan yang cukup. Secara

normal, tubuh akan kehilangan cairan setiap harinya, hilangnya cairan dapat

terjadi melalui keringat, air seni, air mata dan buang air besar. Banyak penyebab

yang dapat membuat tubuh mengalami kondisi dehidrasi seperti aktivitas yang

berlebih, kurang mengkonsumsi cairan, muntah dan diare. Kasus dehidrasi yang

sering terjadi adalah dehidrasi yang diakibatkan oleh diare akut dan aktivitas yang

berlebih tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan atau air yang cukup.

Kehilangan cairan tubuh melalui feses (diare), urine, atau keringat karena

lingkungan terlalu panas akan sangat menurunkan volume cairan ekstraselular dan

intraselular yang akan menyebabkan syok hingga kematian. Dehidrasi juga dapat

menyebabkan hipernatremia pada penderita psikosis dan kelainan serebral

sehingga tidak dapat meningkatkan pengambilan cairan ketika mekanisme haus

terangsang (Ganong 2002).

Page 14: Narendra, Dani Wangsit_B2007

2

Ketika tubuh mengalami dehidrasi, sumber utama cairan tubuh adalah

plasma darah. Tubuh akan mengambil plasma darah untuk memulihkan kondisi

dehidrasi, sehingga salah satu parameter utama untuk mengetahui tingkat

dehidrasi pada tubuh adalah dengan menghitung persentase plasma darah yang

ada di dalam tubuh. Salah satu cara untuk mengetahui persentase plasma darah

dalam tubuh adalah dengan menghitung nilai PCV (Packed Cell Volume) atau

hematokrit darah. Karena prinsip dasar penghitungan nilai hematokrit darah

adalah membandingan antara volume sel darah merah (eritrosit) dengan plasma

darah (plasma darah) dalam 100 ml darah, sehingga penghitungan nilai hematokrit

dapat digunakan dalam penentuan tingkatan dehidrasi pada tubuh. Dalam

keadaan normal, nilai PCV akan sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar

hemoglobin di dalam tubuh (Widjajakusuma dan Sikar 1986).

Dehidrasi adalah suatu gangguan tubuh yang sangat tidak diharapkan,

karena dengan terjadinya dehidrasi, akan menimbulkan berbagai macam gangguan

tubuh. Sehingga dilakukan berbagai macam penelitian untuk mengatasi kondisi

dehidrasi yang terjadi, mulai dari bahan atau zat yang sesuai untuk memulihkan

kondisi dehidrasi dengan cepat dan tepat hingga mendapatkan cara untuk

memulihkan kondisi dehidrasi dengan cepat dan tepat.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari metode pembuatan hewan model

yang dapat digunakan dalam uji dehidrasi serta untuk melihat pengaruh pemberian

air secara peroral terhadap waktu pemulihan kondisi dehidrasi, dengan cara

melihat nilai hematokrit pada tubuh tikus putih jantan (Rattus norvegicus), yang

nantinya dapat menjadi hewan model dehidrasi.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai gambaran

hematokrit tikus putih jantan dalam keadaan dehidrasi dan waktu yang dibutuhkan

untuk memulihkan kondisi dehidrasi dengan pemberian air secara peroral.

Informasi penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam

penetapan hewan model dehidrasi.

Page 15: Narendra, Dani Wangsit_B2007

3

TINJAUAN PUSTAKA

Hewan Coba

Hewan laboratorium atau hewan coba adalah hewan yang dipelihara dan

diternakan untuk digunakan sebagai hewan model yang berguna untuk

mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam sekala

penelitian atau pengamatan laboratorik (Malole dan Pramono 1989). Hewan coba

adalah setiap jenis hewan yang dipelihara secara intensif di dalam laboratorium

yang nantinya dapat digunakan dalam penelitian-penelitian biologis maupun

biomedis (Mangkoewidjojo dan Smith 1988).

Terdapat berbagai jenis hewan coba yang dapat digunakan dalam penelitian

dan dapat dikelompokkan berdasarkan asal hewannya. Mencit, tikus, marmot,

kelinci, hamster termasuk kedalam kelompok hewan yang sengaja diternakan

untuk tujuan penelitian. Kelompok hewan ini relatif berukuran kecil dan

berkembang biak dengan cepat. Ayam, itik, kerbau, babi, domba, kambing, sapi,

dan kuda termasuk dalam kelompok hewan yang berasal dari hewan ternak yang

sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai hewan coba. Sebagian hewan coba

berasal dari hewan liar yang ditangkap dari hutan (jenis primata, carnivora, dan

ruminansia) dan hewan lain yang ditangkap dari pinggiran kota (anjing, kucing,

amfibi dan serangga) (Malole dan Pramono 1989). Hewan coba dapat berguna

dengan baik, bila dikelola dan dipelihara dalam lingkungan laboratorium

(Mangkoewidjojo dan Smith 1988).

Hewan coba yang digunakan pada penelitian harus mempunyai kriteria

seperti mudah dipelihara, cepat bereproduksi atau cepat mendapatkan keturunan,

jumlah anak yang banyak dalam sekali kelahiran, mudah di handling dan dapat

digunakan untuk berbagai jenis perlakuan dan percobaan (Malole dan Pramono

1989). Selain itu, hewan coba yang baik harus mempunyai daya adaptasi yang

sangat tinggi sehingga dapat melakukan perkawinan pada berbagai macam kondisi

iklim dan lingkungan (Poole 1989).

Tikus Putih (Rattus norvegicus) Sebagai Hewan Model

Tikus merupkan hewan mamalia yang biasa digunakan sebagai hewan coba

dalam berbagai penelitian di laboratorium karena tikus memiliki daya adaptasi

yang sangat tinggi sehingga dapat melakukan perkawinan pada berbagai macam

Page 16: Narendra, Dani Wangsit_B2007

4

kondisi iklim dan lingkungan (Poole 1989). Secara umum gambaran tikus putih

yang sering digunakan dalam penelitian ditunjukan pada Gambar 1 (Xuan 2007).

Menurut Myers dan Armitage (2004), klasifikasi dari tikus putih (Rattus

norvegicus) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Klass : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Sciurognathi

Family : Muridae

Subfamily : Murinae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

Gambar 1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Xuan 2007).

Susunan gigi tikus terdiri dari 1/1 gigi seri dan 3/3 graham, hanya gigi seri

yang terus tumbuh. Tikus tidak memiliki kantung empedu dan pankreasnya

diffuse. Seperti pada rodensia lainnya, tikus yang masih muda memiliki jaringan

lemak berwarna coklat dibagian leher hingga scapula yang jumlahnya berkurang

setelah dewasa (Malole dan Pramono 1989). Ada dua sifat yang membedakan

tikus dari hewan percobaan jenis lain, yaitu bahwa tikus tidak dapat muntah

karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara kedalam

lambung, dan tikus tidak mempunyai kantung empedu. Keuntungan yang didapat

dari struktur anatomi seperti itu adalah pada saat pemberian obat tikus tidak akan

memuntahkan kembali obat yang telah diberikan, tetapi kerugian dari struktur

anatomi seperti ini adalah bila dilakukan pemberian obat secara berlebih dapat

mengakibatkan kerusakan pada lambung. Tikus hanya mempunyai kelenjar

Page 17: Narendra, Dani Wangsit_B2007

5

keringat pada telapak kakinya. Ekor tikus merupakan bagian terpenting dari

tubuh tikus untuk mengurangi panas tubuh (Mangkoewidjojo dan Smith 1988).

Perilaku tikus dalam menyeimbangkan panas tubuh adalah dengan cara

mengeluarkan keringat dari telapak kakinya, tikus juga akan mengeluarkan panas

dari ekornya. Bila ekor tikus yang berguna sebagai mediator pelepasan panas

tubuh tidak memberikan efek, tikus akan mengeluarkan air liur dengan jumlah

yang banyak untuk dilumurkan pada rambut-rambutnya, bila mekanisme ini tetap

gagal, tikus akan mati dalam beberapa menit karena hipertermia. Bila suhu

lingkungan lebih dari 30 oC masalah lain akan muncul yaitu tikus tidak dapat

berbiak, dan akan mengalami kematian yang diakibatkan oleh hipertermia. Suhu

lingkungan yang ideal bagi perkembangan tikus adalah berkisar antara 20-25 oC

(Mangkoewidjojo dan Smith 1988).

Tikus laboratorium biasanya dipelihara dalam kandang kotak terbuat dari

metal atau plastik dan ada juga yang terbuat dari kayu yang bagian atasnya ditutup

oleh ram kawat dengan lubang ± sebesar 1,6 cm2. Alas kandang biasanya terbuat

dari guntingan kertas, serutan kayu, serbuk kayu atau skam padi. Temperatur

ideal bagi tikus adalah 18-27 oC dengan rata-rata 22 oC dan kelembaban relatif

40-70 %. Penerangan diberikan kurang lebih selama 12 jam/hari, karena bila

dilakukan penerangan berlebih akan mempengaruhi siklus berahi. Tikus dapat

dikandangkan dalam satu kelompok besar yang terdiri dari jantan dan betina dari

berbagai tingkatan tanpa terjadi perkelahian yang berarti. Tikus yang lepas dari

kandang umumnya akan kembali ke kandangnya. Tikus dapat hidup lebih dari

tiga tahun dan produktif untuk berbiak selama lebih dari sembilan bulan atau

sampai usia satu tahun (Malole dan Pramono, 1989).

Tingkah laku tikus laboratorium sangat dipengaruhi oleh ukuran dan tipe

kandang serta kondisi lingkungan sekitar, tikus memiliki kebiasaan berlari, berdiri

dengan kedua kaki belakangnya, melompat dan memanjat. Tikus jantan lebih

agresif dibandingkan dengan tikus betina dan dapat menggigit untuk

mempertahankan diri dari serangan musuh, tikus dapat memakan segala jenis

makanan (omnivora) dan beraktivitas pada malam hari (nocturnal) serta dapat

melakukan perkawinan sepanjang tahun (Wagner dan Harkness 1989).

Page 18: Narendra, Dani Wangsit_B2007

6

Hingga saat ini, banyak galur tikus laboratorium yang telah dikembangkan.

Galur-galur tikus laboratorium yang sering digunakan sebagai hewan coba, adalah

galur Wistar albino, Sprague-Dawley dan Long-Evans. Serta terdapat galur

inbreed yang banyak digunakan dalam penelitian biomedis antara lain: Osborne-

Mendel galur tikus ini sangat peka terhadap murine mycoplasmosis, galur Buffalo

Rat yang sangat peka terhadap tiroiditis dan resisten terhadap neprosis, galur

Brattaleboro yang peka terhadap diabetes insipidus dan galur Gunn yang peka

terhadap penyakit kuning oleh hepatitis (Malole dan Pramono, 1989).

Galur Wistar albino adalah galur yang pertama kali dikembangkan oleh

institut Wistar pada tahun 1906, tikus jantan memiliki kepala besar dan dapat

tumbuh dengan subur sehingga pada umur 3 bulan berat badannya dapat mencapai

320 gram dan 220 pada tikus betina (William dan Wilking 1986). Tikus putih

galur Wistar adalah tikus laboratorim yang jinak dan mudah ditangani (Weihe

1989).

Galur Sprague-Dawley merupakan galur tikus yang dikembangkan di

Wisconsin pada tahun 1925 oleh R.W.Dawley yang digunakan untuk pembibitan

komersial. Betina didapatkan dari Institut Wistar tetapi asal jantan tidak

diketahui. Galur ini mempunyai ciri kepala yang panjang dan ramping, panjang

leher sedang serta memiliki ukuran panjang tubuh sama atau lebih pendek dari

panjang ekor. Pada umur 12 minggu bobot jantan mencapai 240 gram sedangkan

betina dapat mencapai 200 gram (Weihe 1989). Galur Sprague-Dawley adalah

galur tikus yang sangat peka terhadap tumor mammae (Malole dan Pramono,

1989).

Long-Evans adalah galur tikus yang dikembangkan oleh J.B.Long dan

H.M.Evans di Berkley, California pada tahun 1910 dengan menyilangkan

beberapa tikus betina galur Wistar dengan tikus liar jantan. Ciri dari tikus galur

Long-Evans adalah warna tubuh hitam putih, warna kepala gelap, terdapat garis di

punggung dan dipergelangan kaki, bagian bawah tubuh berwarna putih, mata

berpigmen dan kepala kecil sedangkan tubuh dan ekornya sama panjang. Tikus

dengan warna lebih cerah, temperamennya lebih jinak dan tenang jika

dibandingkan dengan yang lebih gelap. Ketika umur 12 minggu tikus jantan

bobotnya bisa mencapai 340 gram sedangkan betina bisa mencapai 240 gram

Page 19: Narendra, Dani Wangsit_B2007

7

(Weihe 1989). Karena galur Long-Evans merupakan hasil persilangan antara

tikus galur Wistar albino dengan tikus liar, sehingga pada tikus galur ini terdapat

tiga perbedaan warna yaitu warna putih albino, belang hitam putih dan hitam

(William dan Wilking 1986).

Menurut Robinson (1972), pertumbuhan dan perkembangan tubuh tikus

tergantung pada efisiensi makanan yang diberikan dan sangat dipengaruhi oleh

metabolisme basal tubuh tikus itu sendiri. Beberapa faktor penting yang dapat

meningkatkan metabolisme basal tubuh tikus antara lain suhu lingkungan, jenis

kelamin, umur, keadaan psikologis tikus, suhu badan, kadar hormon tiroid, dan

kadar epinefrin serta norepinefrin dalam sirkulasi (Ganong 2002). Namun pola

petumbuhan bervariasi antara satu spesies dengan spesies lainnya, tikus dapat

terus tumbuh walaupun dengan kecepatan yang terus menurun (Baker et al. 1980).

Adapun nilai fisioligis tikus putih di daerah tropis dapat ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai fisiologis tikus putih (Rattus norvegicus) Karaktristik Nilai Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun Umur dewasa 40-60 hari Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina Suhu (rektal) 36-37 oC (rata-rata 37,5 oC) Denyut jantung 330-480 /menit Tekanan darah 90-180 sistol, 60-145 diastol. Konsumsi oksigen 1,29-2,69 ml/g/jam Volume darah 57-70 ml/kg Sel darah merah 7,2-9,6 x 103/mm3 Sel darah putih 5,0-13,0 x 103/mm3 Neutofil 9-34 % Limfosit 63-84 % Monosit 0-5 % Eosinofil 0-6 % Hematokrit 45-48 % Trombosit 150-460 x 103/mm3 Hemoglobin 15-16 g/ 100ml Protein plasma 4,7-8,2 g/100ml Kolesterol serum 10-54 mg/100ml Air kencing 40-60 ml/Kg/hari Aktivitas Nokturnal (malam)

(Sumber: Mangkoewidjojo dan Smith 1988)

Page 20: Narendra, Dani Wangsit_B2007

8

Dehidrasi

Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana keseimbangan cairan tubuh

terganggu karena hilangnya cairan tubuh baik cairan intraselular maupun cairan

ekstraselular tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan yang cukup. Secara

normal, tubuh akan kehilangan cairan setiap harinya, hilangnya cairan dapat

terjadi melalui keringat, air seni, air mata dan buang air besar (Ganong 2002).

Cairan tubuh adalah media terlarutnya elektrolit maka dehidrasi juga merupakan

suatu kondisi ketidak seimbangan cairan elektrolit di dalam tubuh (Wallach 1983).

Dehidrasi adalah suatu kondisi saat konsentrasi cairan di dalam tubuh lebih rendah

dari konsentarsi normalnya (Pace et al, 2001).

Dehidrasi yang diakibatkan oleh kurangnya konsumsi air dapat

mengakibatkan ion natrium dan ion klorida ikut menghilang bersamaan dengan

hilangnya cairan tubuh, tetapi kemudian terjadi reabsorbsi ion-ion melalui tubulus

ginjal secara berlebih, sehingga cairan ekstraselular mengandung natrium dan

klorida yang berlebih dan terjadi hipertoni. Hal ini menyebabkan air akan keluar

dari dalam sel sehingga terjadi dehidrasi intraselular dan inilah yang

menyebabkan rasa haus (Himawan 1983).

Derajat dehidrasi berdasarkan hilangnya jumlah cairan tubuh dapat

digolongkan sebagai dehidrasi ringan, dehidrasi sedang dan dehidrasi berat.

Dehidrasi ringan adalah suatu keadaan ketika tubuh kehilangan cairan < 5 % total

cairan tubuh (Anonimus 2007b). Tanda-tanda yang ditimbulkan pada dehidrasi

ringan adalah rasa haus meningkat, frekuensi buang air kecil (urinasi) menurun,

lemas dan lesu (Pace et al, 2001).

Dehidrasi sedang adalah suatu keadaan ketika tubuh kehilangan cairan

6-9 % dari total cairan tubuh (Anonimus 2007b). Gejala yang timbul akibat

dehidrasi sedang adalah lemah, lesu, anoreksia, penurunan tekanan darah,

takikardia, pusing, suhu tubuh yang rendah dan penurunan berat badan sekitar 5 %

(Wilson dan Price 1995).

Sedangkan dehidrasi berat adalah suatu kondisi ketika tubuh kehilangan

lebih >10 % total cairan tubuh (Anonimus 2007b). Tanda-tanda dehidrasi berat

pada anak kecil adalah mulut kering, saat menangis tidak ada atau sedikit air mata

yang keluar, tidak urinasi selama 3 jam atau lebih, cekung pada mata, pipi, sekitar

Page 21: Narendra, Dani Wangsit_B2007

9

dada dan perut, atau ubun-ubun, lemas, menurunnya turgor kulit (jika kulit dicubit

dan dilepas, kulit tidak dapat kembali seperti semula) seperti yang terlihat pada

Gambar 2 (Pace et al, 2001).

Gambar 2 Gejala klinis yang ditimbulkan pada balita bila mengalami

dehidarasi berat (Pace et al, 2001).

Pada keadaan sakit, kehilangan cairan tubuh (dehidrasi) dapat menimbulkan

penurunan volume cairan ekstra selular dan intra selular. Kehilangan cairan tubuh

melalui feses (diare), urine, atau keringat karena lingkungan terlalu panas akan

sangat menurunkan volume cairan ekstra selular dan akan menyebabkan syok

yang akan berlanjut pada kematian. Dehidrasi juga dapat menyebabkan

hipernatremia pada penderita psikosis (gangguan psikis yang disertai hilangnya

kesadaran) dan kelainan serebral (seperti kerusakan hipotalamus) sehingga tidak

dapat meningkatkan pengambilan cairan ketika mekanisme haus terangsang

(Ganong 2002). Pada keadaan hipernatremia konsentrasi natrium di dalam cairan

ekstraselular menjadi tinggi dan kental sehingga terjadi hipertonisitas. Hal ini

akan menyebabkan terjadinya penarikan air keluar dari sel sehingga sel

mengalami dehidrasi (Waspadji 1999).

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi

adalah dengan cara memperbanyak konsumsi air minum untuk menggantikan

cairan dalam tubuh yang hilang terutama cairan rehidrasi peroral (minuman

pengganti cairan dan elektrolit) cairan ini sangat direkomendasikan bagi bayi dan

anak-anak. Obat-obatan anti-diare biasanya tidak diperlukan dan jika dikonsumsi

Page 22: Narendra, Dani Wangsit_B2007

10

harus dalam pengawasan dokter karena obat-obatan tersebut dapat berbahaya,

terutama jika oleh anak-anak dan orang yang lanjut usia (Pace et al, 2001).

Bila tubuh mengalami dehidrasi, salah satu usaha dalam pemulihannya

adalah dengan cara melakukan infus berupa cairan alkalis melalui intravena bisa

juga dengan cara pemberian air atau cairan yang mengandung glukosa dan sodium

secara peroral (Cunningham 2002). Okuno et al (1988) melaporkan bahwa

pemberian cairan NaCl 0,9 % atau 0,45 % pada tikus dapat mengembalikan cairan

tubuh yang hilang dalam waktu 3-3,5 jam, sedangkan pada pemberian cairan 0,2

% NaCl pada tikus dapat mengembalikan cairan tubuh yang hilang dalam waktu

10 jam, sedangkan pada pemberian air dibutuhkan waktu kurang lebih 16 jam

untuk dapat mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Menurut Lecomte et al.

(1981) usaha rehidrasi bisa dilakukan dengan pemberian air atau cairan NaCl dan

dextrose.

Darah

Darah adalah suspensi dari partikel dalam larutan koloid yang mengandung

elektrolit (Wilson dan Price 1995). Darah adalah jaringan yang beredar dalam

sistem pembuluh darah yang tertutup (Martini et al. 1992). Secara umum

pembentukan sel-sel darah terjadi di dalam sumsum tulang, karena di dalam

sumsum tulang mengandung sel induk khusus yaitu sel multipotensial

(hemositoblas) yang akan berdiferensiasi menjdi salah satu jenis sel induk khusus

yaitu sel progenitor (proeritroblas, mieloblas, limpoblas, monoblas dan

megakarioblas). Sel ini selanjutnya berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel

darah (Gambar 3) (Ganong 2002).

Fungsi darah sebagai sistem trasportasi bekerja dengan cara: bersirkulasi

membawa bahan-bahan nutrisi dari saluran pencernaan menuju jaringan-jaringan

sel, mengirim oksigen dari jantung ke jaringan-jaringan sel, membawa sisa-sisa

metabolisme dari jaringan sel ke organ-organ ekskresi, mengangkut hasil sekresi

kelenjar endokrin, mengangkut hormon pengatur metabolisme, mengatur

temperatur tubuh dengan mengabsorbsi dan mendistribusikan kembali panas dari

aktifitas otot-otot rangka dan jaringan lain (Philips 1976).

Page 23: Narendra, Dani Wangsit_B2007

11

Gambar 3 Skema Pembentukan sel darah (Wikipedia 2007)

Peran darah dalam sistem sirkulasi adalah mengantarkan O2 dan berbagai

zat yang diabsorsi dari taktus gastrointestinal menuju jaringan, serta

mengembalikan CO2 ke paru dan hasil metabolisme lain menuju ginjal (Ganong,

2002). Rapaport (1987), membagi sel darah berdasarkan morfologinya menjadi

tiga bagian yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (Leukosit), dan

platelet (trombosit). Kelly (1984) membagi sel darah putih (leukosit) menjadi

dua tipe, yaitu leukosit polimorphonuklear (granulosit) dan leukosit mononuklear

(agranulosit). Volume darah total normal yang beredar kira-kira 8 % dari berat

badan, 55 % dari volume tersebut adalah plasma darah (Ganong 2002).

A. Sel Darah Merah (Eritrosit)

Eritrosit adalah salah satu benda darah yang sangat penting bagi tubuh. Sel

ini berbentuk lempengan bikonkaf berdiameter sekitar 7,5 µm dan tebal 2 µm

(Gambar 4), setiap sel darah merah mengandung 29 pg hemoglobin. Pada

manusia eritrosit dihasilkan dari sumsum tulang pada individu dewasa, bila pada

individu muda sel darah merah dibentuk pada hati dan limpa (Ganong 2002).

Fungsi utama dari sel darah merah adalah untuk mengangkut hemoglobin yang

akan menangkap oksigen yang berasal dari paru-paru dan akan disebarkan ke

seluruh tubuh (Guyton 1996).

Page 24: Narendra, Dani Wangsit_B2007

12

Gambar 4 Eritrosit (Doohan 1999).

Eritrosit berasal dari sel induk multipotensial (hemasitoblas) dalam sumsum

tulang, sel induk multipotensial akan berdiferensiasi menjadi sel induk

unipotensial (proeritroblas) (Smeltzer dan Bare 2002). Pembentukan eritrosit

dirangsang oleh eritropoetin. Eritropoetin akan merangsang sel induk

multipotensial untuk berproliferasi menjadi sel-sel darah merah. Sel-sel darah

merah memasuki sirkulasi sebagai retikulosit yang berasal dari sumsum tulang.

Retikulosit adalah stadium akhir dari perkembangan sel darah merah yang belum

matang dan mengandung jala-jala yang terdiri dari serat-serat retikular.

Kemudian retikulosit akan menjadi sel darah merah yang matang setelah

kehilangan retikulumnya (Gambar 3) (Wilson dan Price 1995).

Jumlah normal eritrosit tikus adalah berkisar 7-10 x 106/mm3 (Malole dan

Pramono 1989). Sedangkan menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) jumlah

normal sel darah merah tikus adalah sekitar 7,2-9,6 x 106/mm3.

B. Sel Darah Putih (Leukosit)

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh yang cepat

bereaksi terhadap infeksi dan benda asing yang masuk dalah tubuh (Anonimus

2003). Leukosit terbagi atas dua golongan besar yaitu granuler (neutrofil,

eosinofil, dan basofil) dan agranuler (limfosit dan monosit), dimana

pembagiannya didasarkan pada ada atau tidaknya butiran dalam sitoplasma

(Frandson 1992). Sebagian besar sel darah putih (granulosit, monosit) dibentuk di

sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limpa (limfosit) (Guyton 1996).

Leukosit mempunyai dua fungsi, yaitu menghancurkan agen penyerang

dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi (Guyton 1996). Ganong

(2002) menyatakan bahwa dalam sistem fagosistosis dilakukan oleh sel fagosit

mononuklear yang terdiri dari monosit dan makrofag dan sel-sel fagosit

polimorfonuklear yang terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan basofil.

Page 25: Narendra, Dani Wangsit_B2007

13

Menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) sel darah putih pada tikus

normal adalah sebanyak 5,0-13,0 x 103 / mm3 dengan komposisi neutrofil 9-34%,

limfosit 63-84%, eosinofil 0-6%, dan monosit 0-5%. Sementara menurut Malole

dan Pramono (1989) sel darah putih pada tikus normal adalah 6-17 x 103 / mm3

dengan komposisi neutrofil 9-34%, eosinofil 0-6%, basofil 0-1,5%, limfosit 65-

85%, dan monosit 0-5%.

1. Granulosit

Seperti namanya, granulosit merupakan sel darah putih yang mengandung

granula di dalam sitoplasmanya dan memberikan warna dengan pewarnaan eosin

(Frandson 1992). Terdapat tiga tipe granulosit yang diberi nama berdasarkan sifat

reaksinya terhadap zat warna tertentu yaitu eosinofil (bersifat asidofil dan akan

berwarna merah bila dilakukan pewarnaan eosin), basofil (bersifat basofil dan

akan berwarna ungu atau biru bila dilakukan pewarnaan eosin) dan neutrofil (tidak

bersifat asidofil maupun basofil, sehingga memberikan warna indiferen bila

dilakukan pewarnaan eosin) (Dellmann dan Brown 1992).

a. Neutrofil

Neutrofil mempunyai diameter antara 10-15 µm dan mempunyai gelambir

inti berjumlah 3-5 buah yang dihubungkan dengan kromatin. Jumlah gelambir

akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur neutrofil tersebut (Gambar 5)

(Hartono 1989). Neutrofil merupakan sel bulat yang berdiameter sekitar 12 µm

dan memiliki sitoplasma yang bergranula halus serta pada bagian tengahnya

terdapat nukleus bersegmen (Tizard 1988).

Gambar 5 Neutrofil (Doohan 1999).

Neutrofil merupakan sistem pertahanan seluler yang utama dalam tubuh

untuk melawan bakteri, protozoa, dan jamur (Dellmann dan Brown 1992).

Page 26: Narendra, Dani Wangsit_B2007

14

Neutrofil juga membantu penyembuhan luka dan memakan sisa-sisa benda asing.

Pematangan neutrofil dalam sumsum tulang memerlukan waktu selama 2 minggu

(Tizard, 1988). Setelah memasuki aliran darah, neutrofil mengikuti sirkulasi

selama kurang lebih 6 jam, mencari organisme penyebab infeksi dan benda asing

lainnya. Neutrofil akan pindah ke dalam jaringan, menempelkan dirinya kepada

benda asing tersebut dan menghasilkan bahan racun yang membunuh dan

mencerna benda asing tersebut (Frandson 1992).

Neutrofil memiliki gerakan amuboid dan aktif dalam memfagosit

mikroorganisme serta aktif mempertahankan tubuh melawan infeksi seperti virus,

bakteri dan parasit. Sel neutrofil memiliki sejumlah besar enzim lisosom yang

berisi enzim proteolitik untuk mencerna bakteri dan bahan-bahan protein asing

(Guyton 1996). Neutrofil memiliki fungsi fagositosis dan merupakan garis

pertahanan pertama, bekerja secara cepat menyerang target (Tizard 1988).

Neutrofil tertarik ke daerah invansi karena adanya berbagai faktor kemotaktik dari

sel yang rusak (Swenson 1993). Jumlah neutrofil di dalam darah dipengaruhi

oleh tingkat granulopoiesis (proses pembentukan granulosit), laju aliran sel darah

dari sumsum tulang, masa hidupnya dalam sirkulasi darah, dan laju aliran

sirkulasi darah menuju jaringan (Jain, 1993).

b. Eosinofil

Eosinofil dikenal dengan nama asidofil karena granula yang berwarna

merah di dalam sitoplasma. Sel ini memiliki jumlah yang tidak banyak

(Frandson 1992). Eosinofil memiliki jumlah sekitar 1-3 % dari total leukosit dan

akan meningkat bila terjadi reaksi alergi, shock anafilaksis, infeksi parasit dan

benda-benda asing (Ganong 2002) dan (Swenson 1993). Diameter eosinofil

berkisar antara 10-15 µm dan memiliki gelambir inti dua sampai tiga. Gelambir

inti bersifat asidofil dan berdiameter 0,5-1 µm (Gambar6) (Hartono 1989).

Eosinofil berperan dalam pengaturan infeksi parasit, mengatur respon alergi dan

inflamasi akut yang dapat memicu kerusakan jaringan, berperan dalam proses

koagulasi dan fibrinolisis, dan dapat memfagosit benda asing (bakteri, antigen-

antibodi komplek dan mikoplasma) (Hartono 1989) dan (Jain 1993).

Page 27: Narendra, Dani Wangsit_B2007

15

Gambar 6 Eosinofil (Doohan 1999).

Eosinofil memiliki dua fungsi istimewa bila tubuh terinvasi parasit.

Pertama, menyerang dan menghancurkan kutikula larva cacing. Kedua, dapat

menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dalam reaksi

hipersensititas tipe 1 (Tizard 1988). Eosinofil dibentuk dalam sumsum tulang,

bersifat sangat motil tetapi kurang fagositik. Eosinofil mempunyai sifat amoboid

dan fagositik. Fungsi utamanya adalah untuk mentoksifikasi protein asing yang

masuk ke dalam tubuh dan menetralisir racun yang dihasilkan oleh bakteri dan

parasit (Frandson 1992).

Jumlah eosinofil sangat sedikit bahkan tidak ada pada beberapa hewan.

Jumlahnya cenderung rendah pada saat stress, saat pelepasan kortikosteroid dan

saat terjadi infeksi akut (Jain 1993).

c. Basofil

Basofil merupakan granulosit yang berdiameter 10-12 µm, intinya

bergelambir dua dan tidak teratur (Gambar7), jumlahnya basofil sekitar 0,5-1,5 %

dari seluruh leukosit dalam aliran darah (Dellmann dan Brown 1992). Basofil

dibentuk dalam sumsum tulang. Basofil dapat membangkitkan reaksi

hipersensitifitas dengan sekresi mediator vasoaktif, sehingga dapat menyebabkan

peradangan akut pada tempat antigen berada (Tizard 1988). Pada saat terjadi

peradangan, basofil akan melepaskan histamin, bradikinin dan serotonin sehingga

menyebabkan reaksi alergi pada jaringan (Rapaport 1987).

Sel basofil memiliki daya fagositik sangat rendah atau tidak ada sama sekali

dan secara normal jumlah sel ini sangat sedikit dalam sirkulasi darah (Swenson

1993). Basofil melepaskan mediator untuk aktivitas perdarahan dan alergi

(Dellmann dan Brown 1992). Butir-butiran mengandung heparin, histamin, asam

hialuron, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik. Heparin

Page 28: Narendra, Dani Wangsit_B2007

16

berfungsi untuk mencegah pembekuan darah, sedangkan histamin berfungsi untuk

menarik eosinofil (Tizard 1988).

Gambar 7 Basofil (Doohan 1999).

2. Agranulosit

Agranulosit adalah sel darah putih yang tidak memiliki granul sitoplasmik

spesifik di dalam sitoplasmanya. Terdapat dua tipe agranulosit, yaitu limfosit dan

monosit (Dellmann dan Brown 1992).

a. Limfosit

Limfosit adalah suatu jenis sel darah putih yang terlibat dalam sistem

kekebalan pada vertebrata. Ada dua kategori limfosit, limfosit besar (limfosit

yang belum matang) dan limfosit kecil. Diameter limfosit besar pada hewan

berkisar antara 12-15 µm, mempunyai inti yang besar dan pucat sedangkan

limfosit kecil berdiameter antara 6-9 µm, mempunyai inti yang besar dan

berwarna kuat (Gambar 8) (Hartono 1989). Limfosit memiliki peran penting dan

terpadu dalam sistem pertahanan tubuh. Limfosit dibentukdi sumsum tulang dan

pada saat fetus dibentuk di hati dan limpa (Jain 1993). Sebagian limfosit dibentuk

di dalam sumsum tulang dan sebagaian lagi dibentuk di dalam limphonodus,

timus, dan limfa (Ganong 2002).

Gambar 8 Limfosit (Doohan 1999).

Page 29: Narendra, Dani Wangsit_B2007

17

Limfosit dapat menghasilkan antibodi pada saat anak-anak dan jumlah

antibodi tersebut akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Limfosit

memiliki ukuran dan penampilan yang bervariasi dan mempunyai nukleus yang

relatif besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma agranulosit (Frandson

1992).

Populasi limfosit di dalam darah meliputi tiga tipe limfosit yaitu limfosit B

(bergantung pada bursa), limfosit T (bergantung pada timus), dan non T, non-B

atau disebut limfosit null (Ganong 2002). Limfosit T dan limfosit B mempunyai

kemiripan antara satu sama lain dibawah mikroskop cahaya dan tidak mungkin

untuk membedakannya berdasarkan morfologinya. Cara untuk membedakan

antara limfosit B dan limfosit T yaitu dengan cara mengidentifikasi antigen

permukaan selnya (Tizard 1988).

Cara mengidentifikasi antigen permukaan sel adalah dengan

menginokulasikan sel timus pada suatu individu yang nantinya tubuh individu

tersebut akan membuat antibodi anti-sel T. Kemudian antibodi tersebut diberi zat

warna fluoresen. Setelah itu limfosit direndam dalam antibodi fluoresen tersebut

lalu dibilas dan dilihat di mikroskop ultraviolet. Pada saat perendaman limfosit T

akan mengikat antibodi fluoresen dan akan berbendar bila dilihat pada mikroskop

ultraviolet (Tizard 1988).

Limfosit B lebih sedikit jumlahnya, hanya sekitar 10 sampai 12 % dan

berperan pada kekebalan humoral. Limfosit T dan turunannya berperan pada

kekebalan selular dan diperkirakan berjumlah 70-75 % dari seluruh limfosit di

dalam darah (Ganong 2002). Pembentukan limfosit spesifik menjadi sel T terjadi

di dalam timus, sel B diproduksi di sumsum tulang, limpa, dan limfonoduli dan

dipengaruhi oleh interfon-Y (Jain 1993).

Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor

khusus dalam menanggapi antigen yang dibawa makrofag (Tizard 1988).

Limfosit merupakan kunci utama sistem kekebalan yang mampu melawan agen

asing. Limfosit mengahasilkan berbagai limfokin, salah satunya adalah migration

inhibitor (faktor yang mencegah perpindahan makrofag). Zat lain yang dihasilkan

oleh limfosit terstimulasi adalah faktor kemotaktik untuk makrofag, lymphocyte

transforming substance, dan faktor penyebab peradangan (Delmmann dan Brown

Page 30: Narendra, Dani Wangsit_B2007

18

1992). Limfosit dalam darah dipengaruhi oleh jumlah produksi, resirkulasi dan

proses penghancuran limfosit (Jain 1993).

b. Monosit

Monosit merupakan leukosit agranulosit yang diproduksi oleh sumsum

tulang, memiliki jumlah antara 3-8 % dari jumlah leukosit di dalam darah

(Ganong 2002). Guyton (1996) menyatakan bahwa sel ini mempunyai jumlah

sekitar 5 % dari total leukosit di dalam darah. Monosit memiliki sitoplasma lebih

banyak dari limfosit, memiliki warna abu-abu pucat dan memiliki inti berbentuk

lonjong seperti ginjal atau tapal kuda (Gambar 9) (Jain 1993).

Gambar 9 Monosit (Doohan 1999).

Monosit akan masuk ke dalam jaringan dan akan berubah menjadi makrofag

(Tizard 1988). Monosit mempunyai sifat fagositik terhadap infeksi yang tidak

terlalu akut seperti tuberkulosis (Frandson 1992). Monosit bersifat motil dan

berpindah dengan pergerakan amoboid ke daerah yang mengalami infeksi kronis

untuk terjadinya respon fagosit (Ganong 2002)

Monosit berperan penting dalam reaksi immunologi dengan cara

membentuk protein dari suatu sistem komplemen dan mengeluarkan substansi

yang mempengaruhi terjadinya proses peradangan kronik (Swenson 1993).

Kontak yang dekat antara limfosit dan monosit diaktifkan oleh limfokin dari

limfosit T (Ganong 2002). Monosit memiliki masa beredar yang singkat dalam

sirkulasi darah, dengan sedikit kemampuan melawan bahan infeksius kemudian

masuk ke dalam jaringan untuk menjadi makrofag jaringan (Guyton 1996).

C. Trombosit

Trombosit adalah bagian terkecil dari unsur selular sumsum tulang dan

berperan penting dalam hemostasis dan pembekuan darah. Trombosit berasal dari

sel multipotensial yang akan berubah menjadi megakarioblas bila terdapat

Page 31: Narendra, Dani Wangsit_B2007

19

rangsangan trombosit (Mk-CSF [Megakaryocyte Colony Stimulating Faktor] ).

Megakarioblas ini akan berubah menjadi megakariosit. Kemudian inti

megakariosit mengalami pembelahan tetapi sel itu sendiri tidak mengalami

pembelahan (endomitosis), kemudian sitoplasma sel akhirnya memisahkan diri

menjadi sejumlah trombosit (Wilson dan Price 1995) proses tersebut dapat dilihat

pada Gambar 3.

Gambar 10 Trombosit (Doohan 1999).

Trombosit mempunyai diameter 1-4 µm dan berumur kira-kira sampai 10

hari. Sekitar sepertiga trombosit tubuh berada di dalam limpa dan sisanya berada

di dalam sistem sirkulasi, berjumlah antara 150.000-400.000/mm3. Jika dilakukan

pewarnaan eosin pada ulas darah, membran sel trombosit akan berwarna biru dan

bagian granula akan berwarna ungu (Gambar 10) (Wilson dan Price 1995).

Trombosit berperan penting dalam mengontrol pendarahan. Apabila terjadi

cedera vaskuler, trombosit akan mengumpul pada tempat cedera (Smeltzer dan

Bare 2002).

Jumlah normal trombosit tikus adalah berkisar 500-1300 x 103/mm3 (Malole

dan Pramono 1989). Menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) jumlah normal

trombosit tikus adalah sekitar150-450 x 103/mm3.

D. Plasma Darah

Plasma adalah bagian cairan dari darah yang banyak mengandung sekali

ion, molekul anorganik dan organik. Volume plasma normal dalam tubuh adalah

sekitar 5 % dari berat badan. Seorang pria dengan berat badan 70 kg mempunyai

kurang lebih 3500 ml plasma darah di dalam tubuhnya. Plasma akan

menggumpal bila didiamkan dan akan bertahan untuk tidak menggumpal bila

ditambahkan antikoagulan. Protein di dalam plasma terdiri dari fraksi-fraksi

albumin, globulin dan fibrinogen. Plasma darah diproduksi oleh sel-sel plasma

dan di hati. Plasma darah berfungsi sebagai pengatur osmotikdalam tubuh, faktor

Page 32: Narendra, Dani Wangsit_B2007

20

pembekuan darah, sebagai media pembawa bahan-bahan dalam tubuh (Ganong

2002).

E. Hemoglobin

Hemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah

merah. Hemaglobin terbentuk dari gabungan 2 komponen yaitu heme dan globin.

Heme merupakan protoporphyrin yang mengandung zat besi yang disintesis oleh

mitokondria. Globin adalah suatu polipeptida yang didapat dari pembentukan

hemoglobin yang disintesis oleh sitoplasma sel darah merah (William dan

Wilking 1986) dan (Schalm 1975). Heme adalah porfirin yang mengandung besi

dan berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Polipeptida yang terkojugasi tersebut

secara kolektif disebut sebagai globulin dari molekul hemoglobulin. Ada 2

pasang polipeptida di dalam setiap molekul hemoglobin. Dua dari subunit

tersebut mengandung satu jenis polipeptida dan 2 jenis lainnya mengandung

polipeptida lain (Gambar 11) (Ganong 2002).

Gambar 11 Hemoglobin (Catherine 1997)

Beberapa penelitian dengan menggunakan isotop diketahui bahwa hema

terutama yang disintesis dari asam asetat dan glisin banyak terjadi di mitokondria

(Guyton 1996). Kandunga zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami

kerusakan akan menuju ke hati kemudian digunakan kembali untuk kebutuhan

hemoglobin baru (Ganong 2002).

F. Hematokrit

Hematokrit adalah penghitungan konstanta darah dan jumlah sel darah

merah. Meskipun hematokrit bukan pengukur volume darah yang tepat, derajat

hemokonsentrasi pada syok yang berhubungan dengan kesehatan, trauma dan

Page 33: Narendra, Dani Wangsit_B2007

21

luka-luka bakar dapat dinilai dengan hematokrit (Mitruka dan Rawnsley 1977).

Hematokrit atau packed cell volume (PCV) dipengaruhi oleh ukuran dan jumlah

eritrosit (Schalm 1975). Hematokrit atau PCV (Packed Cell Volume) adalah suatu

persentasi sel darah merah di dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PCV

sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan

Sikar 1986). Hematokrit adalah suatu istilah yang artinya persentase (berdasarkan

volume) dari darah yang terdiri dari sel-sel darah merah, total persentasi volume

darah terhadap butiran darah yang tampak pada tabung dinamakan hematokrit.

Nilai hematokrit dihitung dalam mililiter sel darah merah per 100 mililiter darah

(Frandson 1992). Hematokrit adalah perbandingan antara eritrosit dengan plasma

di dalam darah perifer. Sehingga berhubungan erat sekali bila terjadi penurunan

jumlah eritrosit maka akan diikuti oleh penurunan nilai hematokrit (Kelly !984).

Salah satu parameter utama untuk mengetahui tingkat dehidrasi pada tubuh

adalah dengan menghitung persentase plasma darah yang ada di dalam tubuh

(Naylor et al, 1993). Sehingga penghitungan nilai hematokrit dapat digunakan

dalam penentuan tingkatan dehidrasi, karena prinsip dasar penghitungan nilai

hematokrit darah adalah membandingan antara volume sel darah merah (eritrosit)

dengan plasma darah dalam 100 ml darah, (Sastradipradja et al, 1989). Pada

hewan normal, PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin

(Widjajakusuma dan Sikar 1986).

Hubungan eritrosit terhadap kekentalan darah adalah berbanding lurus yaitu

dengan bertambah besarnya nilai hematokrit, maka bertambah banyak pula

gesekan yang ditimbulkan antara lapisan darah. Peningkatan kekentalan darah di

dalam tubuh ditunjukan oleh terjadinya peningkatan derajat kesukaran aliran

darah melalui pembuluh darah kecil (Guyton 1996). Nilai hematokrit itu sendiri

dapat digunakan untuk mendeteksi adanya anemia (Archer et al, 1977). Darah

dalam pembuluh darah kecil pada tubuh secara nyata memiliki nilai hematokrit

yang rendah jika dibandingkan dengan darah yang berasal dari jantung atau

pembuluh besar (Banks 1986).

Untuk menentukan nilai hematokrit dapat dilakukan dengan teknik

mikrohematokrit (Gambar 12) atau dengan teknik makrohematokrit (metode

Wintrobe) (Gambar 13). Perbedaan antara mikrohematokrit dan makrohematokrit

Page 34: Narendra, Dani Wangsit_B2007

22

adalah dalam mesin pemusingannya, alat-alat yang digunakan dan jumlah darah

yang diperlukan. Prinsip penghitungan nilai hematokrit dengan metode

makrohematokrit atau mikrohematokrit adalah darah yang dicampur dengan

antikoagulan dipusing dengan alat centrifuge sehingga terbentuk lapisan-lapisan.

Lapisan yang terdiri dari butir-butir darah merah atau eritrosit diukur dan

dinyatakan sebagai % volume dari keseluruhan darah. Setelah dilakukan

pemusingan akan terlihat 3 lapisan yang dihasilkan yaitu lapisan plasma darah

yang berada pada bagian atas dan bagian bawahnya terdiri dari sel darah merah,

terdapat batasan antara lapisan plasma darah dan sel darah merah yaitu buffy coat

yaitu kumpulan sel darah putih dan trombosit (Sastradipradja et al, 1989).

Gambar 12 Mikrohematokrit (Foster dan Smith 2001)

Gambar 13 Makrohematokrit (Doohan 1999)

Pada saat pendarahan, jumlah eritrosit yang hilang berbanding lurus dengan

plasmanya sehingga nilai hematokrit pada saat pendarahan tidak berubah tetapi

setelah anemia nilai hematokrit akan menurun (Duncan dan Prase 1977).

Persentase hematokrit normal tikus adalah berkisar antara 45-48 %

(Mangkoewidjojo dan Smith 1988). Menurut Zutphen et al. (1993) serta Malole

dan Pramono (1989), kisaran normal hematokrit tikus adalah 36-48 %.

Obat Laksansia

Laksansia adalah obat yang digunakan untuk memudahkan pelintasan dan

pengeluaran tinja dari kolon dan rektum. Laksansia umumnya harus dihindari,

karena akan memperparah suatu kondisi (seperti pada angina) atau meningkatkan

resiko pendarahan rektal (seperti pada hemoroid). Laksansia juga bermanfaat

pada konstipasi karena obat, untuk pengeluaran parasit setelah pemberian

Page 35: Narendra, Dani Wangsit_B2007

23

antelmentik, serta untuk membersihkan saluran cerna sebelum pembedahan dan

prosedur radiologi. Penyalahgunaan laksansia dapat menyebabkan hipokalemia

dan atonia kolon sehingga tidak berfungsi (Sanjoyo 2007). Laksansia adalah obat

yang dapat mempercepat gerakan peristaltik usus, sehingga terjadi defekasi dan

digunakan pada konstipasi yaitu keadaan susah buang air besar (Anonimus

2007c).

Berdasarkan kerjanya, laksansia dapat di kelompokkan menjadi beberapa

jenis antara lain:

1. Kelompok pembentuk massa dalam usus. Kelompok ini bekerja dengan

menyerap cairan yang ada di usus halus sehingga terbentuk massa yang

besar dalam usus. Selanjutnya dengan tekanan massa tersebut dapat terjadi

defekasi. Contoh obat laksansia yang masuk dalam kelompok ini adalah

metilselulosa, parafin cair dan agar-agar. Metilselulosa bila diberikan

peroral tidak akan diserap oleh usus, metilselulosa akan mengembang

menjadi gel emolien bila terkena air, sehingga dapat melunakan feses dan

membuat massa (Gan et al, 1980; Anonimus 2007c).

2. Kelompok hiperosmotik. Kelompok ini bekerja dengan cara mempercepat

gerakan peristaltik usus dengan menarik air dari jaringan tubuh ke dalam

usus sehingga diperoleh tinja yang lunak. Contoh obat laksansia yang

masuk dalam kelompok ini adalah laktulosa dan garam lnggris/garam

magnesium = MgSO4, dioktil natrium sulfosuksinat (Gan et al, 1980;

Anonimus 2007c).

3. Kelompok lubrikan atau pelumas. Kelompok ini bekerja dengan cara

melindungi dinding usus, sehingga cairan dalam massa tinja tidak diserap

dan tetap lunak. Contoh obat laksansia yang masuk dalam kelompok ini

adalah minyak mineral dan minyak jarak (minyak kastor/Oleum ricini).

Mekanisme minyak jarak sebagai laksatif adalah dengan melumasi usus agar

pergerakan feses lebih lancar (Gan et al, 1980; Anonimus 2007c).

4. Kelompok stimulan. Kelompok ini bekerja dengan cara merangsang otot-

otot usus agar kontraksi usus meningkat dan mempercepat gerak usus.

Sehingga bahan-bahan yang ada di dalam makanan tidak diserap secara

sempurna karena bahan-bahan makanan tersebut hanya sebentar melewati

Page 36: Narendra, Dani Wangsit_B2007

24

mucosa usus. Contoh obat laksansia yang masuk dalam kelompok ini adalah

fenoftalein dan bisacodyl. Fenolftalein yang diberikan oral akan diabsorbsi

kurang lebih 15 % di usus halus. Ekskresi bersama empedu menyebabkan

fenolftalein memiliki sirkulasi enterohepatik sehingga efek dapat bertahan

lama. Kelompok ini merupakan laksansia yang cukup sering digunakan

(Gan et al, 1980; Anonimus 2007c).

5. Kelompok lain adalah Kelompok kombinasi laksansia (Gan et al, 1980;

Anonimus 2007c).

Secara umum kerja laksansia adalah mengambil air dari dalam usus dan

mencegah air untuk diserap usus agar didapatkan kondisi feses yang lunak (Gan et

al, 1980). Dengan berkurangnya penyerapan air dalam usus akan meningkatkan

konsentrasi Na+ di dalam cairan ekstraselular (hipernatremia) sehingga terjadi

pengeluaran air dari dalam sel, bila tidak dilakukan usaha rehidrasi tubuh akan

mengalami dehidrasi (Wilson dan Price 1995).

Bisacodyl

Bisacodyl adalah laksansia yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil

metan. Bisacodyl merupakan laksatif perangsang/stimulan (hidragogue

antiresorptive laxative), bisacodyl bekerja langsung pada dinding usus besar

dengan merangsang gerakan peristaltic usus besar setelah bisacodyl terhidrolisis,

sehingga meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dalam lumen usus besar.

Pemberian bisacodyl peroral akan menimbulkan efek pencahar setelah 6-12 jam,

bila dilakukan pemberian secara perektal (supositoria rectal) akan memberikan

efek setelah ¼ - 1 jam. Pada pemberian oral, absorbsi bisacodyl berjumlah 5 %,

dan diekskresi bersama urin dalam bentuk glukoronid. Ekskresi bisacodyl juga

terjadi lewat feses (Gan et al, 1980). Bisakodyl dalam pemberian peroral pada

tikus akan mengalami hidrolisis menjadi difenol di usus bagian atas. Difenol

setelah diabsorbsi mengalami konjugasi di hati dan dinding usus. Metabolit ini

diekskresi melalui empedu, selanjutnya mengalami rehidrolisis menjadi difenol

kembali yang akan merangsang motilitas usus besar (Gan et al, 1980).

Bisacodyl digunakan untuk pasien yang menderita konstipasi, untuk

persiapan prosedur diagnostic, terapi sebelum dan sesudah operasi serta dalam

kondisi untuk mempercepat defekasi. Bisacodyl dikontraindikasikan pada pasien

Page 37: Narendra, Dani Wangsit_B2007

25

ileus, obstruksi usus, yang baru mengalami pembedahan di daerah perut seperti

usus buntu, penyakit radang usus akut dan dehidrasi parah. Bisacodyl juga

dikontraindikasikan pada pasien yang diketahui hipersensitif terhadap bisacodyl

atau komponen lain dalam produk (Anonimus 2007a).

Dosis efektif yang dapat diberikan pada manusia adalah pada orang dewasa

menggunakan dosis 10-15 mg, sedangkan untuk anak-anak yang berkisar antara

umur 6-12 tahun menggunakan dosis 5-10 mg. Terdapat tablet bersalut enteral

antara 5 dan 10 mg/tablet. Efek yang diharapkan dengan dilakukannya pemberian

bisacodyl adalah terjadi kontraksi pada usus sehingga akan terjadi pengeluaran

feses (Anonimus 2007a).

Bila dosis bisacodyl terlalu tinggi, maka dapat terjadi diare, kram perut dan

berkurangnya kadar kalium serta elektrolit lainnya secara nyata. Overdosis kronis

bisacodyl dapat menyebabkan diare kronis, sakit perut, hipokalemia,

hiperaldosteronisme, dan batu ginjal, kerusakan tubulus ginjal, alkalosis

metabolik dan kelelahan otot akibat hipokalemia juga terjadi pada

penyalahgunaan laksatif kronis (Anonimus 2007a). Efek sistemik bisacodyl

belum pernah dilaporkan. Bisacodyl dapat menimbulkan perasaan terbakar pada

rektum dan menimbulkan proktitis pada penggunaan beberapa minggu (Gan et al,

1980). Tidak ada efek samping yang berbahaya selama kehamilan. Namun

demikian, seperti halnya obat lain, penggunaan bisacodyl selama kehamilan harus

sesuai dengan petunjuk medis. Belum diketahui apakah bisacodyl menembus air

susu atau tidak. Oleh karena itu penggunaan bisacodyl selama menyusui tidak

dianjurkan (Anonimus 2007a).

Page 38: Narendra, Dani Wangsit_B2007

26

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di bagian Fisiologi, departemen Anatomi, Fisiologi

dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan yang dimulai pada bulan Januari sampai

Maret 2007.

Materi

Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan

(Rattus norvegicus) galur Wistar umur 8 minggu pada awal penelitian.

Kandang

Kandang yang digunakan adalah kandang individu di dalam ruangan

(indoor). Kandang individu yang digunakan terbuat dari plastik, ditutup dengan

ram kawat dan bagian dasarnya dialasi dengan sekam padi. Alas sekam tersebut

diganti 3 hari sekali.

Pakan

Pada saat persiapan hewan coba, pakan dan air minum tikus diberikan ad

libitum. Pakan yang digunakan pada penelitian ini berupa pelet standar yang biasa

diberikan untuk pemeliharaan tikus yang sudah diatur komposisinya sehingga

didapatkan nilai nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh tikus.

Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 tablet obat

bisacodyl (5 mg/tablet) sebagai laksansia, pakan tikus dan air minum. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah mikrokapiler berheparin,

gunting, tissue, lap, sonde lambung, spuid, mikro sentrifuse, sumbat crestoseal,

mikrokapiler hematokrit reader, botol minum tikus, kandang tikus, gelas ukur 100

ml, dan gelas piala.

Page 39: Narendra, Dani Wangsit_B2007

27

Tahap Adaptasi

Tikus diadaptasikan pada suhu ruangan percobaan yaitu pada suhu 230 C

selama satu minggu, dan diberi makan dan minum ad libitum sampai saat waktu

pengujian.

Penghitungan nilai hematokrit

Metode penghitungan hematokrit pada penelitian ini menggunakan metode

mikrokapiler hematokrit (mikrohematokrit). Pemeriksaan nilai hematokrit

dilakukan dengan cara mengambil darah dari ujung ekor tikus yang telah dipotong

secukupnya dengan menggunakan gunting, kemudian darah yang keluar diambil

dengan pipa kapiler yang berheparin, darah diambil hingga 2/3 bagian dari pipa

kapiler dan disumbat dengan crestoseal, lalu dilakukan pemusingan dengan

menggunakan mikro sentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 12000 rpm.

Kemudian dilakukan pembacaan nilai hematokrit dengan menggunakan

mikrokapiler hematokrit reader.

Pelaksanaan Penelitian

Tahap 1 : Penentuan kisaran normal nilai hematokrit tikus putih jantan

Tujuan tahap ini adalah untuk melihat kisaran normal nilai hematokrit tikus

putih jantan yang digunakan sebagai kontrol. Pada penelitian tahap ini digunakan

6 ekor tikus putih jantan yang diberi makan dan minum ad libitum pada saat

penelitian berlangsung. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan nilai hematokrit tikus

putih jantan setiap 1 jam selama 5 jam.

Tahap 2 : Penentuan dosis efektif bisacodyl

Tujuan tahap ini adalah untuk mengetahui dosis efektif bisacodyl. Dosis

efektif yang diharapkan adalah dosis yang dapat menyebabkan tikus putih jantan

mengalami diare akut yang parah, yang ditunjukkan oleh kondisi feses yang cair

dan berlendir dengan frekuensi defekasi yang tinggi. Sebelum dilakukan

pemberian obat, tikus putih jantan diistirahatkan selama 1 minggu untuk

beradaptasi. Pada tahap ini tikus yang digunakan berjumlah 12 ekor yang dibagi

dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (6 ekor) merupakan kelompok tikus yang

diberi bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor. Kelompok ke-2 (6 ekor) merupakan

kelompok tikus yang diberi bisacodyl dosis 5 mg/ekor.

Page 40: Narendra, Dani Wangsit_B2007

28

Penentuan dosis efektif bisacodyl dilakukan dengan membandingkan

kecepatan terjadinya diare dan efek yang ditimbulkannya serta nilai PCV tikus

putih jantan antara pemberian peroral bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5

mg/ekor pada setiap jam selama 19 jam dimulai dari awal pemberian bisacodyl.

Penentuan dosis efektif bisacodyl dilakukan dengan cara memberikan

bisacodyl sebanyak 2,5 mg/ekor pada kelompok tikus pertama dan 5 mg/ekor

pada kelompok tikus ke-2 di awal perlakuan, kemudian dilakukan pengamatan

nilai PCV dan kondisi feses tikus setiap jam selama 19 jam (Gambar 14).

Pemberian obat pada tikus putih jantan menggunakan sonde lambung. Dosis 2,5

mg/ekor dan 5 mg/ekor merupakan ¼ dosis dan ½ dosis dari dosis manusia yaitu

sebesar 10 mg untuk orang dewasa.

Cekok bisacodyl ((2,5 mg/ekor ) kelompok pertama / (5 mg/ekor) kelompok ke-2)

Jam ke

0 1 2 3 4 5 6 7 11 19

Pengukuran Nilai PCV dan Pengamatan kondisi Feses tikus

Gambar 14 Protokol Penelitian pada Tahap 2

Tahap 3 : Uji coba hewan model dehidrasi dan rehidrasi

Tujuan tahap ini adalah untuk mengetahui kecepatan pemulihan kondisi

dehidrasi pada tubuh tikus setelah dilakukan usaha rehidrasi. Sebelum dilakukan

pelaksanaan penelitian, tikus putih jantan diistirahatkan selama 1 minggu. Pada

tahap perlakuan ini, digunakan 6 ekor tikus sebagai hewan coba. Pada tikus-tikus

tersebut dilakukan pemberian bisacodyl dosis efektif secara peroral. Dosis efektif

yang digunakan adalah dosis yang telah didapat pada saat penelitian penentuan

dosis efektif bisacodyl sebelumnya yaitu sebesar 5 mg/ekor. Kemudian dilakukan

pengamatan nilai PCV tikus setiap jam sampai terjadi peningkatan nilai PCV

sebesar 10 % (dehidrasi berat). Setelah tikus mengalami peningkatan PCV

sebesar 10%, diberikan air minum sebanyak 100 ml pada botol air minum (usaha

rehidrasi). Kemudian diamati jumlah air yang di konsumsi dan perubahan nilai

hematokrit setiap jam dari mulai tikus terdehidrasi sampai nilai hematokrit tikus

putih jantan kembali pada kisaran normal (32 jam atau lebih) (Gambar 15).

Pengukuran Nilai PCV dan Pengamatan kondisi Feses tikus

Jam ke

Page 41: Narendra, Dani Wangsit_B2007

29

Cekok bisacodyl (5 mg/ekor)

Jam ke

0 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 24 32

Gambar 15 Protokol Penelitian pada Tahap 3

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati adalah nilai hematokrit tikus putih jantan tiap jam

dalam keadaan dehidrasi dan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan nilai

hematokrit tikus putih jantan hingga kembali pada kisaran normal setelah diberi

air minum secara peroral.

Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa dengan metode statistik ANOVA, Rancangan

Acak Lengkap. Nilai probabilitas (P < 0,05) diterima sebagai hasil yang berbeda

nyata. Data yang diperoleh dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Mattjik dan

Sumertajaya 1999).

Jam ke

Pengamatan Nilai PCV (nilai PCV ? 10 % diberi 100 ml air) dan Konsumsi Air Setelah

Terehidrasi (nilai PCV meningkat sebesar 10 %)

Page 42: Narendra, Dani Wangsit_B2007

30

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan kisaran normal nilai hematokrit tikus putih jantan

Parameter yang diamati pada penelitian tahap ini adalah nilai hematokrit

tikus putih jantan dari jam ke-0 hingga jam ke-5 pada pemberian makan dan

minum ad libitum. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2 Rata-rata nilai hematokrit tikus jam ke-0 sampai jam ke-5 Jam ke- Rata-rata Nilai Hematokrit ± SD (%)

0 48.17 ± 1.60 a

1 48.00 ± 1.41 a

2 47.83 ± 0.75 a

3 47.00 ± 0.89 a

4 47.83 ± 0.98 a

5 47.17 ± 0.98 a

Keterangan : superscript yang berbeda pada lajur yang sama menunjukan beda nyata/signifikan (P < 0,05).

Hasil penelitian menunjukan bahwa selama enam kali (5 jam percobaan)

pengambilan data PCV, tidak terlihat perbedaan yang nyata baik secara ANOVA

maupun uji lanjut Duncan (Tabel 2). Dari hasil penelitin ini juga terlihat bahwa

nilai PCV tikus putih jantan berkisar antar 47,00-48,17 %. Hal ini sesuai dengan

laporan Zutphen et al. (1993) serta (Malole dan Pramono 1989) yang menyatakan

bahwa nilai normal hematokrit tikus putih jantan berkisar antara 36-48 %.

Penentuan dosis efektif bisacodyl

Parameter yang diamati pada penelitian tahap ini adalah kecepatan

terjadinya diare dan efek yang ditimbulkannya serta nilai PCV tikus putih jantan

dengan pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dan dosis 5 mg/ekor peroral pada

setiap jam selama 19 jam dimulai dari awal pemberian bisacodyl. Kecepatan

terjadinya diare, ditetapkan dengan pengamatan secara kualitatif dengan kriteria

yang ditetapkan sebagai berikut:

1) Bila tidak terjadi diare, dalam hal ini feses yang dihasilkan masih dalam

kondisi normal, belum ditemukan kotoran di sekitar anus, diberi tanda ( - ).

Page 43: Narendra, Dani Wangsit_B2007

31

2) Bila diare ringan, dalam hal ini kondisi feses yang dihasilkan lunak namun

masih berbentuk, telah ditemukan sedikit kotoran di sekitar anus, diberi tanda

( + ).

3) Bila diare sedang, dalam hal ini feses yang dihasilkan lunak dan sudah tidak

berbentuk, telah ditemukan kotoran yang cukup banyak di sekitar anus, diberi

tanda ( ++ ).

4) Bila diare berat, kondisi feses yang dihasilkan cair dan terdapat sedikit lendir,

telah ditemukan bercak cairan berwarna kuning dan sedikit berlendir di sekitar

anus, diberi tanda ( +++ ).

5) Bila diare parah, dalam hal ini kondisi feses yang dihasilkan cair dan terdapat

lendir yang cukup banyak, telah ditemukan lebih banyak bercak cairan

berwarna kuning dan berlendir disekitar anus, diberi tanda ( ++++ ).

6) Bila diare sangat parah, dalam hal ini feses yang dikeluarkan hanya berupa

lendir, terdapat banyak bercak lendir disekitar anus, diberi tanda ( +++++ ).

Hasil percobaan untuk melihat pengaruh bisacodyl terhadap kecepatan

terjadinya diare disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kecepatan terjadinya diare dan kondisi diare yang terjadi

Jam ke 2,5 mg/ekor 5 mg/ekor

0 - -

1 - -

2 - -

3 - -

4 + +

5 + ++

6 + +++

7 + +++

11 ++ ++++

19 ++ +++++

Keterangan : - : tidak terjadi diare + : diare ringan ++ : diare sedang +++ : diare berat ++++ : diare parah +++++: diare sangat parah

Page 44: Narendra, Dani Wangsit_B2007

32

Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa baik pada pemberian bisacodyl

dosis 2,5 mg/ekor maupun 5 mg/ekor diare dimulai pada jam ke-4. Hal ini

menjelaskan bahwa onset bisacodyl terjadi pada jam ke-4. Pemberian bisacodyl

dosis 2,5 mg/ekor pada jam ke-5 sampai jam ke-7 masih menunjukkan tanda diare

ringan namun berbeda dengan pemberian bisacodyl 5 mg/ekor, tikus telah

menunjukkan tanda diare sedang pada jam ke-5 dan pada jam ke-6 telah terjadi

diare berat. Pada pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor tanda diare sedang baru

terlihat pada jam ke-11 dan berlanjut hingga jam ke-19. Sedangkan pada

pemberian bisacodyl dosis 5 mg/ekor, tikus telah mengalami diare berat pada jam

ke-7 dan telah terjadi diare parah pada jam ke-11 serta tikus telah mengalami diare

yang sangat parah pada jam ke-19.

Sejalan dengan terjadinya diare, maka gambaran nilai PCV juga diukur.

Gambaran pengaruh pemberian bisacodyl terhadap nilai PCV disajikan pada

Tabel 4 dan Gambar 16 di bawah ini.

Tabel 4 Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan setelah pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5 mg/ekor.

Jam ke Dosis Bisacodyl

2,5 mg/ekor 5 mg/ekor

Nilai PCV (%) Perbandingan Nilai PCV Terhadap Nilai

PCV Jam Ke-0

Nilai PCV (%) Perbandingan Nilai PCV Terhadap Nilai

PCV Jam Ke-0 0 48.16 ± 1.60hgef - 48.00 ± 1.79 hgef -

1 46.83 ± 2.14hgf ? 2,74 % 49.16 ± 2.23 dgef ? 2,42 %

2 45.33 ± 1.97h ? 5,86 % 50.33 ± 1.97 de ? 4,85 %

3 46.33 ± 1.75hg ? 3,79 % 48.50 ± 2.17 dgef ? 1,04 %

4 46.86 ± 2.32hgf ? 2,69 % 50.50 ± 2.51 de ? 5,20 %

5 46.33 ± 2.34hg ? 3,79 % 51.33 ± 3.01 dc ? 6,93 %

6 47.50 ± 2.43hgef ? 1,37 % 53.50 ± 2.43 bc ? 11,45 %

7 46.83 ± 2.48hgf ? 2,74 % 54.66 ± 2.25 ba ? 13,89 %

11 48.00 ± 2.37hgef ? 0,3 % 55.33 ± 3.27 ba ? 15,25 %

19 49.66 ± 2.25def ? 3,11 % 57.00 ± 2.28 a ? 18,75 %

Keterangan : superscript yang berbeda pada lajur dan baris yang sama menunjukan beda nyata/signifikan (P < 0,05).

: ( ? ) mengalami peningkatan nilai PCV : ( ? ) mengalami penurunan nilai PCV

Page 45: Narendra, Dani Wangsit_B2007

33

40

42

44

46

48

50

52

54

56

58

0 1 2 3 4 5 6 7 11 19

jam ke

%

2,5 mg/ekor

5 mg/ekor

Gambar 16 Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan setelah

pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5 mg/ekor.

Hasil pengamatan menunjukan bahwa kondisi diare dapat menyebabkan

peningkatan nilai hematokrit darah. Peningkatan nilai hematokrit setelah tikus

mengalami diare umumnya terjadi pada saat tikus mengalami kondisi diare

sedang, hal ini dikarenakan pada saat diare sedang feses menjadi lunak dan tidak

berbentuk akibat konsentrasi air di dalam feses cukup tinggi. Nilai hematokrit

semakin tinggi saat tikus mengalami diare berat hingga diare sangat parah. Hal

ini dikarenakan jumlah air yang terkandung di dalam feses semakin meningkat

seiring dengan bertambahnya tingkat keparahan diare. Tingginya konsentrasi air

di dalam feses menyebabkan kandungan air di dalam tubuh berkurang yang

berakibat pada peningkatan nilai hematokrit. Suharyono (1985) mengungkapkan

bahwa bila suatu individu mengalami diare akut maka akan mengakibatkan

dehidrasi. Ganong (2002) mengatakan bahwa dehidrasi adalah suatu kondisi saat

tubuh kehilangan sejumlah cairan yang mengakibatkan konsentrasinya berkurang.

Keadaan dehidrasi dapat meningkatkan nilai hematokrit dan konsentrasi sodium

plasma di dalam tubuh (Alper et al. 1982).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 %

perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-0 dengan

pemberian bisacodyl 2,5 mg/ekor dan 5 mg/ekor secara statistik memberikan hasil

yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) begitu pula terjadi pada jam ke-1 dan jam

ke-3. Sedangkan pada jam ke-2, jam ke-4, jam ke-5, jam ke-6, jam ke-7, jam ke-

11 dan jam ke-19, hasil pengamatan menunjukkan perbandingan rata-rata nilai

Page 46: Narendra, Dani Wangsit_B2007

34

hematokrit tikus putih jantan secara statistik memberikan hasil yang berbeda nyata

(P < 0,05) (Tabel 4).

Awal terjadinya perbedaaan yang nyata terjadi pada jam ke-2. hal ini

ditunjukkan dengan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada pemberian

bisacodyl 5 mg/ekor lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nilai

hematokrit tikus pada pemberian bisacodyl 2,5 mg/ekor di jam ke-2, tetapi pada

jam ke-3 tidak mengalami perbedaan yang nyata (Tabel 4), hal ini disebabkan

karena perbedaan yang terjadi pada jam ke-2 bukan disebabkan oleh efek

bisacodyl karena pada jam tersebut tikus putih jantan belum mengalami diare

(Tabel 3).

Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan mengalami

perbedaan yang nyata kembali pada jam ke-4 (Tabel 4). Hal ini disebabkan pada

jam ke-4 efek bisacodyl sudah terlihat, yang ditandai dengan diare (Tabel 3).

Pada jam ke-4 ini, merupakan waktu awal dari onset bisacodyl. Hal ini sesuai

dengan Wikipedia (2007), yang menyatakan bahwa diare dapat menyebabkan

dehidrasi yang parah pada individu. Keadaan dehidrasi dapat meningkatkan nilai

hematokrit dan konsentrasi sodium plasma di dalam tubuh (Alper et al. 1982).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rata-rata nilai hematokrit tikus putih

jantan dengan pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor lebih menunjukan efek

yang nyata jika dibandingkan dengan pemberian bisacodyl sebanyak 2,5 mg/ekor,

hal ini dibuktikan dengan cepatnya peningkatan rata-rata nilai hematokrit tikus

yang terjadi pada pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor jika dibandingkan

dengan pemberian 2,5 mg/ekor (Tabel 4 dan Gambar 16) serta efek diare yang

ditimbulkan pada pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor lebih parah jika

dibandingkan dengan pemberian 2,5 mg/ekor (Tabel 3). Sehingga dosis efektif

bisacodyl yang didapat pada penelitian ini adalah sebesar 5 mg/ekor.

Jika dilihat secara khusus pada pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor,

hasil pengamatan menunjukan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan seiring

dengan bertambahnya waktu mengalami peningkatan, rata-rata nilai hematokrit

tersebut secara statistik memberikan hasil yang berbeda nyata (P < 0,05).

Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan dan didapatkan hasil bahwa rata-rata nilai

hematokrit pada jam ke-0 berbeda nyata dengan rata-rata nilai hematokrit pada

Page 47: Narendra, Dani Wangsit_B2007

35

jam ke-5, jam ke-6, jam ke-7, jam ke-11 dan jam ke-19, tetapi tidak berbeda nyata

dengan rata-rata nilai hematokrit pada jam ke-1, jam ke-2, jam ke-3 dan jam ke-4.

Pada jam ke-19 rata-rata nilai hematokrit mengalami perbedaan yang nyata

dengan rata-rata nilai hematokrit pada jam ke-1, jam ke-2, jam ke-3, jam ke-4, jam

ke-5 dan jam ke-6, tetapi tidak mengalami perbedaan yang nyata dengan rata-rata

nilai hematokrit pada jam ke-7, jam ke-8 dan jam ke-11 (Tabel 4).

Pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor menunjukan peningkatan rata-rata

nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-1 dan jam ke-2, tetapi terjadi

penurunan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-3 (Gambar

16), hal ini disebabkan karena kelompok tikus mengalami keadaan stres. Sesuai

dengan pernyataan Elizabeth et al. (2002), mengatakan bahwa stress akan

meningkatkan total glukosa dalam serum darah dan subfraksinya. Peningkatan

tersebut diakibatkan oleh terjadinya peningkatan glukokortikoid dalam tubuh pada

saat stres. Peningkatan kadar glukosa dalam darah mengakibatkan plasma darah

akan meningkat. Ganong (2002) mengatakan bahwa keadaan stres dapat

meningkatkan sekresi ACTH yang akan mengakibatkan peningkatan kadar

glukokortikoid di dalam darah. Peningkatan tersebut menyebabkan kadar glukosa

darah meningkat, karena glukokortikoid dapat merangsang peningkatan

glikoneogenesis di dalam hati.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai hematokrit tikus putih

jantan dengan pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor pada jam ke-6 adalah

sebesar 53,50 %. Hal ini menyatakan bahwa pada jam ke-6 rata-rata nilai

hamatokrit tikus putih jantan telah meningkat kurang lebih sebesar 11,45 % jika

dibandingkan dengan jam ke-0 (Tabel 4). Peningkatan rata-rata nilai hematokrit

tikus putih jantan tersebut telah melebihi kisaran normalnya, dapat disimpulkan

bahwa kelompok tikus tersebut telah mengalami dehidrasi berat. Dehidrasi berat

adalah suatu kondisi ketika tubuh kehilangan lebih dari 10 % total cairan tubuh

(Anonimus 2007b). Hal ini sejalan dengan pernyataan Alper et al. (1982), yang

menyebutkan bahwa keadaan dehidrasi dapat meningkatkan nilai hematokrit dan

konsentrasi sodium plasma di dalam tubuh.

Page 48: Narendra, Dani Wangsit_B2007

36

Uji coba hewan model dehidrasi dan rehidrasi

Parameter yang diamati pada penelitian tahap ini adalah nilai PCV setiap

jam dan jumlah konsumsi air setelah dilakukan usaha rehidrasi. Hasil pengamatan

terhadap gambaran nilai hematokrit tikus pada percobaaan ini dapat disajikan

pada Tabel 5 dan Gambar 17.

Tabel 5 Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dengan pemberian bisacodyl dosis 5 mg/ekor dan konsumsi air pada jam ke-6 sampai jam ke-32.

Jam ke Rata-rata Nilai PCV (%) ± SD

Perbandingan Nilai PCV dengan Nilai PCV Jam

ke-0

Rata-rata jumlah konsumsi air (ml)

6 51.83 ± 1.16 dc ? 7,97 % 0.00

7 52.83 ± 1.47 bac ? 10,06 % 0.00

8 53.66 ± 2.50 bac ? 11,79 % 0.00

9 54.83 ± 3.12 bac ? 14,22 % 0.00

10 55.66 ± 3.26 ba ? 15,59 % 0.00

11 56.00 ± 3.40 a ? 16,66 % 1.00

12 54.50 ± 3.14 bac ? 13,54 % 0.00

13 53.66 ± 2.42 bac ? 11, 79 % 1.00

14 52.66 ± 2.16 bc ? 9,70 % 0.00

15 49.33 ± 1.36 ed ? 2, 77 % 7.00

24 48.66 ± 1.63 e ? 1,37 % 2.66

32 47.50 ± 1.87 e ? 1,04 % 0.00

Keterangan : superscript yang berbeda pada lajur yang sama menunjukan beda nyata/signifikan (P < 0,05 ) : ( ? ) mengalami peningkatan nilai PCV : ( ? ) mengalami penurunan nilai PCV

Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah rata-rata

nilai hematokrit terhadap waktu secara statistik memberikan hasil yang berbeda

nyata (P < 0,05). Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan dan didapatkan hasil

bahwa rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-6 berbeda nyata

dengan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-10, jam ke-11,

jam ke-24 dan jam ke-32 tetapi tidak berbeda nyata dengan nilai hematokrit pada

jam ke-7, jam ke-8, jam ke-9, jam ke-12, jam ke-13, jam ke-14 dan jam ke-15.

Pada jam ke-11 rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan berbeda nyata dengan

Page 49: Narendra, Dani Wangsit_B2007

37

rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-6, jam ke-14, jam ke-15,

jam ke-24 dan jam ke-32. Sedangkan pada jam ke-32 rata-rata nilai hematokrit

tikus putih jantan mengalami perbedaan yang sangat nyata dengan jam ke-6, jam

ke-7, jam ke-8 jam ke-9, jam ke-10, jam ke-11, jam ke-12, jam ke-13 dan jam ke-

14, tetapi tidak berbeda nyata dengan jam ke-15 dan jam ke-24 (Tabel 5).

Setelah dilakukan pengamatan pada tahap penentuan dosis efektif bisacodyl,

pemberian dosis 5 mg/ekor bisacodyl membuat rata-rata nilai hematokrit tikus

putih jantan mencapai 53,50 % pada jam ke-6. Rata-rata nilai hematokrit tikus

putih jantan pada jam tersebut meningkat kurang lebih sebesar 11,45 % (Tabel 5).

Pada penelitian tahap ini ternyata pengujian uji dehidrasi pada jam ke-6 belum

menunjukkan peningkatan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan sebesar

10 % seperti yang diharapkan, pada jam tersebut nilai hematokrit baru meningkat

sebesar 7,97 % (Tabel 5).

Gambar 17 Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dengan pemberian

bisacodyl dosis 5 mg/ekor pada jam ke-6 sampai jam ke-32.

Hasil penelitian pada tahap ini menunjukan bahwa peningkatan rata-rata

nilai hematokrit tikus putih jantan sebesar 10 % ternyata terjadi pada jam ke-7.

Perbedaan hasil penelitian pada tahap ini diakibatkan oleh terjadinya stres pada

saat pengujian. Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-7 adalah

sebesar 52,83 %. Hal ini berarti telah terjadi peningkatan rata-rata nilai

hematokrit tikus putih jantan sebesar 10,06 % (Tabel 5) dari kisaran normalnya

yaitu sebesar 36-48 % (Zutphen et al. 1993; Malole dan Pramono 1989).

Peningkatan nilai hematokrit sebesar 10,06 % mengindikasikan adanya dehidrasi

42.00

44.00

46.00

48.00

50.00

52.00

54.00

56.00

58.00

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 24 32

Jam ke-

%

Page 50: Narendra, Dani Wangsit_B2007

38

berat sehingga perlu dilakukan usaha rehidrasi. Usaha rehidrasi pada penelitian

ini dilakukan dengan cara pemberian air sebanyak 100 ml pada botol minuman

yang diletakan pada kandang tikus

Setelah diberi minum 100 ml air pada botol minuman yang diletakan pada

kandang tikus, terjadi peningkatan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dari

jam ke-8 hingga jam ke-11 (Tabel 5 dan Gambar 17). Hal ini sesuai dengan

pernyataan Cunningham (2002), yang mengatakan bahwa bila terjadi dehidrasi

yang berkelanjutan dapat meningkatkan nilai hematokrit darah dan dicegah

dengan mengkonsumsi air atau cairan yang mengandung glukosa dan sodium.

Peneingkatan tersebut disebabkan oleh kondisi tubuh tikus putih jantan yang

buruk, sehingga tikus tidak mampu untuk meminum air pada botol minuman yang

telah disediakan pada jam ke-8, jam ke-9, jam ke-10 dan jam ke-11 sehingga

harus dilakukan pemberian air peroral dengan menggunakan sonde lambung.

Titik tertinggi nilai hematokrit tikus terjadi pada jam ke-11 yaitu ketika

tikus putih jantan mengalami dehidrasi yang parah, lalu mengalami penurunan

yang sangat nyata pada jam ke-12 hingga jam ke-32. Hal ini terjadi karena pada

jam ke-11 dan jam ke-13 dilakukan pemberian air secara peroral sebanyak 1 ml

dengan menggunakan sonde lambung, tindakan ini dilakukan untuk mencegah

kematian pada tikus putih jantan yang telah mengalami kondisi dehidrasi yang

sudah teramat parah. Pemberian air secara peroral sebanyak 1 ml pada jam ke-11

ternyata memberikan sedikit penurunan rata-rata nilai hematokrit pada jam ke-12,

begitu pula ketika dilakukan pemberian air secara peroral sebanyak 1 ml pada jam

ke-13, terjadi penurunan rata-rata nilai hematokrit pada jam ke-14 jam ke-15.

Cunningham (2002) mengatakan bahwa, seekor hewan yang mengalami dehidrasi

yang sangat parah dapat menyebabkan kematian. Kematian akibat dehidrasi dapat

dicegah dengan memberikan infus cairan alkali melalui vena, pemberian air

peroral dan pemberian cairan yang mengandung glukosa dan sodium melalui oral.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada jam ke-32 rata-rata nilai

hematokrit tikus sebesar 47,5 % (Tabel 5). Ini berarti bahwa pada jam ke-32 rata-

rata nilai hematokrit tikus putih jantan telah kembali pada rata-rata normal yaitu

48 % dan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan nilai hematokrit tikus putih

jantan yaitu selama 21 jam. Menurut Zutphen et al. (1993) serta (Malole dan

Page 51: Narendra, Dani Wangsit_B2007

39

pramono 1989), kisaran normal hematokrit tikus berkisar antara 36-48 %.

Menurut Okuno (1988), pemberian cairan NaCl 0,9 % atau 0,45 % pada tikus

dapat mengembalikan cairan tubuh yang hilang dalam waktu 3-3,5 jam,

sedangkan pada pemberian cairan 0,2 % NaCl pada tikus dapat mengembalikan

cairan tubuh yang hilang dalam waktu 10 jam, sedangkan pada pemberian air

dibutuhkan waktu kurang lebih 16 jam untuk dapat mengembalikan cairan tubuh

yang hilang. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tikus putih jantan merupakan

hewan coba yang cocok dalam uji dehidrasi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada jam ke-15 sampai jam ke-24

tikus putih jantan mengkonsumsi air serbanyak 7 ml (Tabel 6), sehingga terjadi

penurunan nilai hematokrit pada jam ke-24 (Tabel 5). Hal ini sejalan dengan

pernyataan Lecomte et al. (1981) bahwa usaha rehidrasi dapat menurunkan nilai

hematokrit darah yang dilakukan dengan pemberian air atau cairan NaCl dan

dextrose.

Pemberian NaCl dan glukosa dapat mempercepat pemulihan tubuh yang

mengalami dehidrasi, karena usus halus dan kolon sangat permeabel terhadap ion

Na+ sehingga NaCl mudah sekali diserap oleh usus halus dan kolon. Di dalam

usus halus, Na+ sangat penting untuk penyerapan glukosa, beberapa asam amino

dan zat-zat lainnya. Sebaliknya, dengan terdapatnya glukosa di dalam lumen usus

akan mempermudah penyerapan kembali Na+. Hal ini merupakan dasar fisiologis

untuk memulihkan konsentrasi Na+ dan air pada saat diare (Ganong 2002).

Page 52: Narendra, Dani Wangsit_B2007

40

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulakan bahwa pada tikus putih jantan usia 8

minggu:

1. Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan normal sebesar 47-48,17%,

pada jam ke-7 merupakan awal peningkatan nilai hematokrit sebesar 10 %

setelah diberikan bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor dan onset bisacodyl pada

dosis 5 mg/ekor adalah 4 jam

2. Bisacodyl 5 mg/ekor adalah dosis efektif yang menimbulkan dehidrasi

dengan onset 4 jam

3. Pemberian bisacodyl 2,5 mg/ekor dapat menurunkan nilai PCV pada tikus.

4. Pemberian bisacodyl 5 mg/ekor dapat meningkatkan nilai PCV pada tikus.

5. Rata-rata nilai hematokrit mengalami peningkatan yang nyata dari jam ke-

6 sampai jam ke-11 (P<0.05), serta mengalami penurunan pada jam ke-12

sampai jam ke-32 setelah dilakukan perlakuan rehidrasi

6. Nilai hematokrit kembali pada rata-rata normal pada jam ke-32 setelah

dilakukan usaha rehidrasi pada jam ke-11.

7. Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai hematokrit tikus putih

jantan adalah selama 21 jam.

Saran

Saran pada penelitian ini adalah perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut

untuk melengkapi data yang sudah di dapat pada penelitian ini. Serta perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk

memulihkan nilai hematokrit tikus putih jantan dengan menggunakan bahan lain

selain air.

Page 53: Narendra, Dani Wangsit_B2007

41

DAFTAR PUSTAKA

Alper RH, Demoresy KT, Moore KE. 1982. Changes in the rate of dopamine

synthesis in the posterior pituitary during dehydration and rehydration: relationship to plasma sodium concentrations. www.pubmed.gov. [26 September 2007]

Anonimus. 2003. Veterinary clinical Laboratory techniques. http://www.medaile.edu/vmacer/204/gdjk.htm. [12 agustus 2007]

Anonimus. 2007a. Dulcolax®. http://www.intestinopreguicoso.com.br [29 Agustus 2007]

Anonimus. 2007c. Obat Pencahar. http:// www.idionline.org/_ 05_ infodk_ obatgen10.\htm [18 Agustus 2007]

Anonimus. 2007b. Kompromi dengan Dehidrasi. http ://www.medistra.com/Artikel_Kesehatan/Dehidrasi [18 Agustus 2007]

Archer RK, Jeffcott LB, Lehman H, 1977. Comparative Clinical Haematology. London: Black Scientific Publication

Baker HJ, Lindsey JR, Weisbroth SH. 1980. The Laboratory Rat. Volume 1. New York: Academic Press, inc

Banks WJ. 1986. Applied Veterinary Histology. USA: Williams and Wilkins

Catherine S. 1997. Tazswana’s Story. http://www.sciencecases.org/tazswana/

tazswana4.asp. [15 Oktober 2007]

Cunningham J. 2002. Veterinary Physiologi 3rd Edition. USA: W.B. Saunders Company

Dellmann HD, Brown EM, 1992. Textbook of Veterinary Histology 3rd Edition. Philadelphia: Lea and Fibiger

Doohan J. 1999. Circulatory system. http://www. biosbcc. net/ doohan/ sample/ site.htm. [15 Oktober 2007]

Duncan JR, Prase KW. 1977. Veterinary Laboratory Madicine. Ame. Lowa: Clinical Pathology. The Lowa State University Press

Elizabeth A, Bachen, Matthew F, Muldoon, Karen A M, Stephen B M. 2002. Effects of Hemoconcentration and Sympathetic Activation on Serum Lipid Responses to Brief Mental Stress. University of Pittsburgh. Pittsburgh [13 Agustus 2007]

Foster dan Smith. 2001. Complete Blood Count (CBC). www.petscorner.com.my/ articles/article-blood. [15 Oktober 2007]

Page 54: Narendra, Dani Wangsit_B2007

42

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi ternak. Edisi Ke-4. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Gan S, Suharto B, Sjamsudin U, Setiabudy R, Setiawati A, Gan VHS. 1980. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran, 20th Edition. Diterjemahkan oleh Djauhari Widjajakusumah. Jakarta: CV EGC

Guyton AC. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (TextBook of Medical. Physiology). Edisi 7. Diterjemahkan oleh Ariata Tengadi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, ECG

Hartono. 1989. Histologi Veteriner. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. IPB.

Himawan S. 1983. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia

Jain NC. 1993. Essential. of Veteriner Hematology. USA: Lea and Febiger

Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnostis 3rd Edition. London: Baillier Tindall

Lecomte J, Dumont L, Hill J, Souich P, Lelorier J. 1981. Effect of water deprivation and rehydration on gentamicin disposition in the rat. Journal of Applied Physiology American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics. http://jpet.aspetjournals.org/search.dtl. [27 September 2007]

Malole MBM, Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor

Mangkoewidjojo S, Smith JB. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI-Press

Martini F, Ober WC, Garrison CW, Weleh K. 1992. Fundamentals of Anatomy Pysiolog 2nd Edition. New Jersey: Prienticehall Englewood Cliffs

Mattjik AA, Sumertajaya M. 1999. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS, SPSS dan Minitab. Bogor: IPB Press

Mitruka BM, Rawnsley HM. 1977. Clinical Biochemical and Hematological Refference Values in Norma Experimental Animal. USA: Mason Publishing

Myers P, Armitage D. 2007. “Rattus Norvegicus” Animal Diversity Web. Http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Rattus_norvegicus.html. [15 Oktober 2007]

Page 55: Narendra, Dani Wangsit_B2007

43

Naylor J R, Bayly W M, Schott HC, Gollnick PD and Hodgson DR. 1993. Equine Plasma and Blood Volumes Decrease with Dehydration But Subsequently Increase with Exercise. Journal of Applied Physiology. American Physiological Society [27 September 2007]

Okuno T, Yawata T, Nose H, Morimoto T. 1988. Difference in rehydration process due to salt concentration of drinking water in rats. Journal of Applied Physiology. American Physiological Society. http://jap.physiology.org/search.dtl. [27 September 2007]

Pace B, Lynm C, Glass RM. 2001. Diarrhea and Dehydration Guidelines for Parent. www.jama.com/pdf/Preventing-Dehydration-From-Diarrhea-indonesia.pdf. Madem Inc. USA [27 September 2007]

Philips JW. 1976. Veterinary Physiology. London: Bristol Wright Scienechnia

Poole BT. 1989. the UFAW Handbook on the Care and Management of Laboratory Animals. New York: Longman scientific and technical

Rapaport SI. 1987. Introduction to Hematology. 2nd Edition. Philadelphia: J.B. Lippincott Company

Robinson R. 1972. Gene Mapping in Laboratory Mammals. New York: Part B. Plenum

Sanjoyo R. 2007. Obat (Biomedik Farmakologi). http://www.yoyoke.web.ugm.ac.id [18 Agustus 2007]

Sastradipradja D, Sikar SHS, Widjajakusuma R, Ungerer T, Maad A, Nasution H, Suryawinata R, Hamzah R. 1989. Fisiologi Veteriner. Bogor: Second UniVersity Development Project

Schalm OW. 1975. Veterinary Hematology 2nd Edition. Philadelphia: Lea and Febiger

Smeltzer SC, Bare BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

Suharyono. 1985. Diare Akut. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

Swenson MJ. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal 8th Edition. London: Comstock Publishing Associates Adivision of Cornell University Press Itacha

Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya: Airlangga University Press

Wagner JE, Harkness JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents. Philadelphia: Lea and Febiger

Page 56: Narendra, Dani Wangsit_B2007

44

Wallach MDJ. 1983. Interpretation of Diagnostic Test 3rd Edition. Boston: Little, Brown and Company Inc

Waspadji S, Soeparman. 1999. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Gaya Baru

Weihe WH. 1989. The Laboratory Rat. The Handbook on The Care and Management of Laboratory Animals 6 th Edition. England: Poole TB & Robinson R. Longman Scientific & Technical. Bath Press

Widjajakusuma R, Sikar SHS. 1986. Kumpulan Kuliah Fisiologi Hewan. Ed 1. Bogor: Jurusan Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan

Wikipedia. 2007. Diare. Wikipedia Foundation Inc. http://id.wikipedia.org/wiki/ Diare. [26 Agustus 2007]

Wikipedia. 2007. Sel Ketahanan. Wikipedia Foundation Inc. http://wiki-pedia.org/wiki/Sel Ketahanan. [27 September 2007]

William JB, Wilking. 1986. Aplied Veterinary Histology 2nd Edition. Lousiana: Waferly Press, Inc

Wilson LM, Price SA. 1995. Patofisiologis, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4, buku 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Xuan Z. 2007. Rattus norvegicus Promoter Database (RnPD). http://www. rulai.cshl.edu/cgi-bin/CSHLmpd/rnpd.pl. [15 Oktober 2007]

Zutphen LFMV, Baumans V, Beynen AC. 1993. Principles of Laboratory Animal Science. London: Elsevier

Page 57: Narendra, Dani Wangsit_B2007

45

Lampiran 1 Analisa Data Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus Jam ke-0 sampai Jam ke-5

Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F

Model 5 6.66666667 1.33333333 1.02 0.4252 Error 30 39.33333333 1.31111111

Corrected Total

35 46.00000000

Lampiran 2 Analisa Perbandingan Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus setelah Pemberian Bisacodyl Dosis 2,5 mg/ekor dengan Dosis 5 mg/ekor

Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F

Model 19 1249.15833333 65.74517544 12.34 0.0001 Error 100 532.83333333 5.32833333

Corrected Total

119 1781.99166667

Lampiran 3 Analisa Data Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus dengan Pemberian Bisacodyl Dosis 5 mg/ekor pada Jam ke-6 sampai Jam ke-32

Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F

Model 11 507.81944444 46.16540404 7.88 0.0001 Error 60 351.50000000 5.85833333

Corrected Total

71 859.31944444