nano material

15
1 Nanomaterial: Pendekatan Baru Penanggulangan Kanker dan Diabetes Horasdia SARAGIH Laboratorium Sains Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Advent Indonesia Jl. Kolonel Masturi No. 288 Parongpong, Bandung 40559, INDONESIA e-mail: [email protected] ABSTRAK Kanker dan diabetes adalah dua jenis penyakit yang sampai saat ini masih belum dapat diatasi secara sem- purna, sehingga oleh karena itu menjadi penyebab dominan kematian manusia. Efek samping kemoterapi menjadi masalah baru yang harus dihadapi oleh penderita kanker dan kurangnya suplai insulin dalam cairan darah menjadi masalah utama pada penderita diabetes. Obat kanker yang sangat beracun pada kemoterapi ti- dak dapat menyasar secara selektif sel-sel kanker, sel-sel normal juga cenderung dinonaktifkan. Dalam kasus diabetes, sel beta yang ada di pankreas sebagai generator insulin tidak dapat dipacu untuk memproduksi in- sulin sesuai kebutuhan sehingga kelebihan kandungan gula di dalam cairan darah menjadi tidak terkendali. Penemuan karakteristik nanomaterial yang unik memberikan harapan yang sangat berarti terhadap penyele- saian permasalahan di atas. Nanomaterial seperti carbon nano tube (CNT) dapat secara selektif hanya me- masuki sel-sel yang terserang kanker. CNT dapat leluasa menembus membran sel dan keluar-masuk sel tan- pa mengganggu kerja sel. Oleh karena itu CNT dapat dijadikan sebagai carrier pada sistim penghantaran obat pada penderita kanker pada proses kemoterapi. Sementara di lain pihak, usaha yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kurangnya kandungan insulin di dalam darah adalah dengan teknik oral. Namun oleh karena ukuran partikel insulin yang digunakan relatif besar, maka sulit bagi insulin untuk menembus le- luasa pembuluh darah. Dengan demikian, permasalahan ukuran partikel insulin harus diatasi. Teknik yang paling efektif adalah menggunakan rekayasa nanoteknologi untuk mendisain ukuran partikel insulin dalam orde nanometer, atau memacu sel beta dengan nanocitosan untuk memproduksi secara tepat insulin yang di- butuhkan. Pada tulisan ini perkembangan penangangan kedua jenis penyakit di atas dengan pendekatan na- noteknologi akan diuraikan. Kata kunci: NANOMATERIAL, SWCNT, MWCNT, NANOKITOSAN, KANKER, DIABETES. 1. PENDAHULUAN Nanomaterial adalah suatu materi yang uku- rannya berada pada kisaran 1-100 nanometer (nm). Materi ini dapat dalam bentuk kristal yang atom- atomnya tersusun secara teratur maupun dalam bentuk non-kristal (Kumar et al., 2005). Ditemu- kan bahwa perilaku materi yang berukuran nano- meter sangat berbeda dibanding dengan perilaku pada ukuran yang lebih besar (bulk). Perbedaan yang sangat dramatis terjadi pada sifat fisika, ki- mia dan sifat biologinya. Perbedaan yang terjadi memberikan manfaat yang sangat besar sehingga membawa material berukuran nanometer sebagai material unggul pada berbagai bidang terapan, termasuk biologi dan farmasi. Yang paling menarik lagi adalah sejumlah si- fat-sifat yang dimilikinya dapat diubah-ubah seca- ra signifikan melalui pengontrolan ukuran pada orde nanometer tersebut, pengaturan komposisi kimia, modifikasi permukaan, dan pengontrolan interaksi antar-partikelnya. Sifat-sifat yang bergan- tung pada ukuran ini dipercaya sebagai hasil dari tingginya rasio luas permukaan terhadap volume material. Beberapa tahun terakhir penelitian terhadap nanomaterial menjadi intensif dilakukan di berba- gai negara, baik menyangkut metode sintesanya maupun sifat-sifat yang dihasilkannya. Pada bi- dang energi, nanomaterial dilibatkan untuk meng- hasilkan sel surya yang lebih efesien. Pada bidang kesehatan, obat-obatan dikembangkan mengguna- kan nanomaterial sehingga lebih cepat larut dan bereaksi untuk menghasilkan apa yang disebut dengan obat pintar (smart drug) yang dapat men- cari sel-sel tumor secara presisi dan mematikannya tanpa mengganggu sel-sel sehat tetangganya (So- na, 2010; Wong et al., 2011). Berbagai metode sintesa dan terapan baru, dilaporkan hari demi ha- ri. Proses sintesa nanomaterial dapat dilakukan secara top down maupun secara bottom up (Kumar et al., 2005). Secara top down, material yang beru- kuran besar digiling (grinding) sampai ukurannya

Upload: singgih-fitri-yanto

Post on 17-Feb-2015

47 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

saya

TRANSCRIPT

Page 1: Nano Material

1  

Nanomaterial: Pendekatan Baru Penanggulangan Kanker dan Diabetes

Horasdia SARAGIH

Laboratorium Sains Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Advent Indonesia Jl. Kolonel Masturi No. 288 Parongpong, Bandung 40559, INDONESIA e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kanker dan diabetes adalah dua jenis penyakit yang sampai saat ini masih belum dapat diatasi secara sem-purna, sehingga oleh karena itu menjadi penyebab dominan kematian manusia. Efek samping kemoterapi menjadi masalah baru yang harus dihadapi oleh penderita kanker dan kurangnya suplai insulin dalam cairan darah menjadi masalah utama pada penderita diabetes. Obat kanker yang sangat beracun pada kemoterapi ti-dak dapat menyasar secara selektif sel-sel kanker, sel-sel normal juga cenderung dinonaktifkan. Dalam kasus diabetes, sel beta yang ada di pankreas sebagai generator insulin tidak dapat dipacu untuk memproduksi in-sulin sesuai kebutuhan sehingga kelebihan kandungan gula di dalam cairan darah menjadi tidak terkendali. Penemuan karakteristik nanomaterial yang unik memberikan harapan yang sangat berarti terhadap penyele-saian permasalahan di atas. Nanomaterial seperti carbon nano tube (CNT) dapat secara selektif hanya me-masuki sel-sel yang terserang kanker. CNT dapat leluasa menembus membran sel dan keluar-masuk sel tan-pa mengganggu kerja sel. Oleh karena itu CNT dapat dijadikan sebagai carrier pada sistim penghantaran obat pada penderita kanker pada proses kemoterapi. Sementara di lain pihak, usaha yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kurangnya kandungan insulin di dalam darah adalah dengan teknik oral. Namun oleh karena ukuran partikel insulin yang digunakan relatif besar, maka sulit bagi insulin untuk menembus le-luasa pembuluh darah. Dengan demikian, permasalahan ukuran partikel insulin harus diatasi. Teknik yang paling efektif adalah menggunakan rekayasa nanoteknologi untuk mendisain ukuran partikel insulin dalam orde nanometer, atau memacu sel beta dengan nanocitosan untuk memproduksi secara tepat insulin yang di-butuhkan. Pada tulisan ini perkembangan penangangan kedua jenis penyakit di atas dengan pendekatan na-noteknologi akan diuraikan. Kata kunci: NANOMATERIAL, SWCNT, MWCNT, NANOKITOSAN, KANKER, DIABETES.

1. PENDAHULUAN

Nanomaterial adalah suatu materi yang uku-rannya berada pada kisaran 1-100 nanometer (nm). Materi ini dapat dalam bentuk kristal yang atom-atomnya tersusun secara teratur maupun dalam bentuk non-kristal (Kumar et al., 2005). Ditemu-kan bahwa perilaku materi yang berukuran nano-meter sangat berbeda dibanding dengan perilaku pada ukuran yang lebih besar (bulk). Perbedaan yang sangat dramatis terjadi pada sifat fisika, ki-mia dan sifat biologinya. Perbedaan yang terjadi memberikan manfaat yang sangat besar sehingga membawa material berukuran nanometer sebagai material unggul pada berbagai bidang terapan, termasuk biologi dan farmasi.

Yang paling menarik lagi adalah sejumlah si-fat-sifat yang dimilikinya dapat diubah-ubah seca-ra signifikan melalui pengontrolan ukuran pada orde nanometer tersebut, pengaturan komposisi kimia, modifikasi permukaan, dan pengontrolan interaksi antar-partikelnya. Sifat-sifat yang bergan-

tung pada ukuran ini dipercaya sebagai hasil dari tingginya rasio luas permukaan terhadap volume material.

Beberapa tahun terakhir penelitian terhadap nanomaterial menjadi intensif dilakukan di berba-gai negara, baik menyangkut metode sintesanya maupun sifat-sifat yang dihasilkannya. Pada bi-dang energi, nanomaterial dilibatkan untuk meng-hasilkan sel surya yang lebih efesien. Pada bidang kesehatan, obat-obatan dikembangkan mengguna-kan nanomaterial sehingga lebih cepat larut dan bereaksi untuk menghasilkan apa yang disebut dengan obat pintar (smart drug) yang dapat men-cari sel-sel tumor secara presisi dan mematikannya tanpa mengganggu sel-sel sehat tetangganya (So-na, 2010; Wong et al., 2011). Berbagai metode sintesa dan terapan baru, dilaporkan hari demi ha-ri.

Proses sintesa nanomaterial dapat dilakukan secara top down maupun secara bottom up (Kumar et al., 2005). Secara top down, material yang beru-kuran besar digiling (grinding) sampai ukurannya

Page 2: Nano Material

2  

berorde nanometer. Alat penggiling paling populer adalah ball mill. Di samping itu dilakukan dengan cara evaporasi. Material berukuran besar dipa-naskan sampai pada temperatur uapnya sehingga terevaporasi menghasilkan partikel-partikel beru-kuran nanometer. Nanomaterial yang dihasilkan pada kedua cara di atas distabilisasi dengan meng-gunakan larutan kimia seperti polyvinyl alcohol (PVA) atau polyethilene glycol (PEG) sehingga membentuk nanokoloid yang stabil. Sayangnya, cara evaporasi berbiaya tinggi karena mengguna-kan peralatan yang mahal.

Secara bottom up sintesa nanomaterial dilaku-kan dengan mereaksikan berbagai larutan kimia dengan langkah-langkah tertentu yang spesifik sehingga terjadi suatu proses nukleasi yang meng-hasilkan nukleus-nukleus sebagai kandidat nanpar-tikel setelah melalui proses pertumbuhan. Laju pertumbuhan nukleus dikendalikan sehingga

menghasilkan nanopartikel dengan distribusi uku-ran yang relatif homogen.

Logam koloid (nanomaterial logam dalam bentuk koloid) telah berhasil disintesa secara top down maupun secara bottom up. Secara bottom up, paduan logam organik (metalorganic) sering nakan. Paduan logam organik didekomposisi (di-reduksi) secara terkontrol sehingga ikatan logam dan ligannya terpisah. Ion-ion logam hasil posisi bernukleasi membentuk nukleus-nukleus yang stabil, yang dibangkitkan baik dengan meng-gunakan katalis maupun melalui proses tumbukan. Selanjutnya nukleus-nukleus stabil tersebut ber-tumbuh membentuk nanopartikel. Secara skematis proses ini ditunjukkan pada gambar 1 (Kumar et al., 2005). Untuk menghindari proses aglomerasi antara nanopartikel-nanopartikel yang ada, lang-kah stabilisasi dilakukan dengan menggunakan larutan separator.

Gambar 1. Skema proses pembentukan nanomaterial logam koloid secara bottom up (Kumar et al., 2005). 2. TEMPERATUR LEBUR NANOMATERI-

AL

Temperatur lebur suatu material sangat ber-gantung pada ukuran partikelnya. Semakin kecil ukuran suatu partikel makin kecil temperatur le-burnya (Schaefer, 2010). Emas pada ukuran besar (bulk) memiliki temperatur lebur 1.064oC, semen-

tara jika ukurannya 2 nm temperatur leburnya tu-run menjadi 200oC. Hubungan temperatur lebur dengan ukuran partikel dinyatakan oleh persamaan 1):

∞ 1 (1)

Page 3: Nano Material

3  

dengan Tm(∞) temperatur lebur pada ukuran bulk, α adalah suatu konstanta yang bergantung pada jenis material, ρ adalah massa jenis material, R adalah jari-jari partikel, dan H adalah kalor laten fusi material.

Penurunan temperatur lebur akibat mengecil-nya ukuran partikel dipahami dari konsep ikatan antar atom. Atom-atom yang menempati posisi di dalam material mengalami ikatan dengan atom-atom lain yang ada di sekelilingnya dari segala arah sehingga ikatannya sangat kuat. Sementara atom-atom yang ada di permukaan hanya menga-lami ikatan dari arah dalam dan dari arah samping sehingga ikatan yang dialaminya sangat lemah. Semakin kecil ukuran partikel, persentasi jumlah atom yang ada di permukaan menjadi semakin be-sar dibanding dengan jumlah atom yang ada di dalam partikel sehingga semakin banyak atom-atom yang mengalami ikatan lemah. Akibatnya, energi ikat rata-rata antar atom makin lemah dan menurunkan temperatur lebur. 3. LEBAR CELAH PITA ENERGI NANO-

MATERIAL Lebar celah pita energi suatu material di-

pengaruhi oleh ukuran partikelnya (Schaefer, 2010). Dalam prakteknya lebar celah pita energi dapat diperoleh dari pengujian dengan mengguna-kan spektrometer Ultraviolet Visible (UV-Vis Spectrometer). Oleh karena itu, jika lebar celah pita energi suatu material dapat diperoleh, maka ukuran partikelnya dapat ditentukan. Hubungan antara jari-jari partikel r dan lebar celah pita energi ΔE dapat dihitung dengan menggunakan perumu-san yang diturunkan oleh Brus, yaitu:

∆ , (2) dimana: Eg adalah energi transisi hasil pengukuran nanopartikel, Eg

Bulk adalah energi transisi material dalam ukuran bulk, h adalah konstanta Plank, e adalah muatan elektron, mo adalah massa diam elektron, me adalah massa efektif elektron, mh ada-lah massa hole, ε dan εo masing-masing adalah konstanta dielektrik material dan permitivitasnya pada ruang hampa.

Suku pertama pada persamaan 2 muncul seba-gai akibat dari keterbatasan ruang gerak elektron dan hole di dalam partikel oleh karena ukuran par-tikel yang sangat kecil (orde nanometer). Efek ukuran ini memperbesar lebar celah pita energi (memperbesar jarak antara pita valensi dengan pita

konduksi). Untuk ukuran material yang sangat be-sar (bulk), nilai r dapat dianggap menuju ∞ se-hingga nilai suku pertama dan kedua menjadi nol. Suku kedua muncul akibat adanya tarikan Co-loumb antara elektron dengan hole setelah elektron mengalami eksitasi. Ruang gerak elektron yang terbatas mengakibatkan jarak elektron dan hole menjadi terbatas dalam arti tidak bisa jauh. Aki-batnya, tarikan antara keduanya selalu ada yang berimbas pada pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah mengalami eksitasi.

4. REAKTIVITAS KIMIA NANOMATERI-AL

Pengurangan ukuran suatu material ke orde

nanometer mengubah secara drastis sifat reaktivi-tas kimianya. Hal ini terjadi karena fraksi jumlah atom yang menempati permukaan meningkat. Reaktivitas kimia suatu partikel sangat bergantung pada jumlah atom yang ada pada permukaan parti-kel tersebut karena atom-atom inilah yang akan melakukan kontak langsung dengan atom-atom partikel yang lain (Schaefer, 2010).

Misalkan suatu partikel memiliki jari-jari r. Luas permukaan partikel adalah So=4πr2. Jika jari-jari efektif suatu atom adalah a, maka luas penam-pang efektifnya adalah s=πa2. Dengan demikian, jumlah atom yang menempati permukaan partikel adalah:

(3) Volume partikel adalah Vo=(4/3)πr3 dan volume satu atom adalah v=(4/3)πa3. Dengan demikian jumlah atom yang terkandung dalam partikel ter-sebut adalah:

(4) sehingga fraksi jumlah atom yang menempati permukaan adalah: (5)

Dari persamaan 5 dapat secara jelas terlihat

bahwa bila jari-jari partikel r diperkecil, maka fraksi jumlah atom yang terdapat di permukaan partikel akan semakin meningkat sehingga me-ningkatkan reaktivitas kimia partikel.

Page 4: Nano Material

4  

5. TERAPAN NANOMATERIAL

Nanomaterial memiliki potensi yang sangat besar untuk diterapkan pada bidang biologi dan farmasi. Beberapa diantaranya telah dicoba dan diinvestigasi. Mengacu pada karakteristik yang dimilikinya, beberapa jenis nanomaterial telah di-gunakan pada teknologi (Kumar et al. 2005): pela-belan sel, penghantaran obat (drug delivery), peru-sakan sel tumor dengan pemanasan (hyperther-mia), dan penjelas citra magnetic resonance imag-ing (MRI). Pengembangan dan jenis terapan na-nomaterial akan terus bertumbuh mengingat uku-ran bagian-bagian dari sel sebagai unit kehidupan berada dalam orde nanometer. Protein memiliki ukuran sekitar 5 nm, DNA, yang memiliki struktur heliks, memiliki diameter sekitar 2 nm, dan masih banyak lagi bagian organ tubuh yang memiliki ukuran dalam orde nanometer. Nanomaterial me-miliki kesetaraan ukuran dengan banyak bagian dalam organ tubuh.

Obat-obatan yang berukuran mikrometer sulit berinteraksi dengan protein maupun bagian-bagian dari sel yang ukurannya berorde nanometer. Oleh karena faktor ukuran ini, banyak tindakan pengo-batan yang gagal menyembuhkan. Nanomaterial diyakini dapat digunakan untuk mengontrol inte-raksi antara satu biomolekul ke biomolekul yang lain di dalam tubuh sehingga memiliki kesensitifan yang tinggi, kepresisian pengontrolan yang tinggi,

dan dapat dilakukan secara selektif. Untuk usaha tersebut nanomaterial harus didisain dapat berinte-raksi dengan protein dan sel tanpa mengganggu aktifitas normal dari keduanya dan harus biocom-patible dan tidak beracun. 6. PELABELAN SEL

Nanomaterial logam Eu dan Tb dalam bentuk

batangan nano telah ditumbuhkan dan memiliki sifat fluorosens yang unik. Sifat unik fluorosens ini berkaitan dengan lebar celah pita energinya. Batangan nano logam Eu dan Tb dapat melintasi membran sel dengan baik sehingga dapat dikirim ke dalam sitoplasma dan tidak merusak sistim ker-ja sel. Oleh karena itu, kedua batangan nano logam tersebut dapat digunakan sebagai media pembawa (carrier) dalam menghantarkan berbagai jenis ob-at-obatan ke dalam sel.

Sifat unik fluoresens batangan nano Eu dan Tb membuka peluang untuk diterapkan sebagai pela-bel sel untuk mendeteksi dan memonitor peruba-han struktur geometri sel. Hal yang menguntung-kan lagi bahwa, kedua jenis logam tersebut dalam bentuk batangan nano, tidak beracun. Untuk mem-fungsionalisasi kedua jenis batangan nano ini, permukaan batangan dibalut dengan polimer ami-nopropyl trimethoxy silane (APTMS) atau mer-capto-propyl trimethoxy silane (MPTMS).

Gambar 2. Potret transmission electron microscopy (TEM) batangan nanomaterial Eu (A) dan Tb (B) yang disinte-

sa oleh Patra et al. (Patra et al., 2006).

Patra et al. telah mensintesa kedua jenis ba-tangan nano di atas dan mengujinya pada sel 786-O dan sel human umbilical vein endothelial (HU-VEC). Batangan nano logam Eu dan Tb disintesa dengan teknik pemanasan menggunakan gelom-bang mikro dengan prekursor EuPO4·H2O dan

TbPO4·H2O. Hasilnya ditunjukkan pada gambar 2. Keberhasilan kedua batangan nano tersebut dalam melintasi membran sel 786-O dan sel HUVEC di-buktikan dengan hasil potret yang ditunjukkan pa-da gambar 3.

(A) (B)

Page 5: Nano Material

5  

Dengan menggunakan confocal laser scanning microscopy pada panjang gelombang λ = 488 nm, fluoresens batangan nano logam Eu dan Tb dalam sel 786-O menghasilkan warna hijau yang sangat jelas (gambar 3). Batangan nano logam Eu dan Tb oleh sifat fluoresennya dapat diidentifikasi berada pada sitoplasma sel. Di lain pihak, dibandingkan dengan potret sel yang tidak mengandung batan-gan nano logam Eu dan Tb (sel kontrol) sebagai-mana ditunjukkan pada gambar 3a, pola dan uku-

ran sel lebih jelas teramati bila di dalamnya terda-pat batangan nano logam Eu dan Tb (gambar 3b dan 3c). Fenomena fluoresens hijau ini dihasilkan oleh ion Eu3+ dan ion Tb3+ di dalam sel. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua jenis batangan nano tersebut dapat dengan baik melintasi membran sel 786-O. Jika terjadi gangguan pada sel 786-O se-hingga geometrisnya berubah, maka perubahan tersebut dapat dimonitor dengan menggunakan batangan nano logam Eu dan Tb.

Gambar 3. Potret fluoresens sel 786-O yang mengandung batangan nano Eu dan Tb. (A) sel 786-O tanpa diberi batangan nano Eu dan Tb, (B) sel 786-O yang mengandung batangan nano Eu, dan (C) sel 786-O yang mengandung

batangan nano Tb. Posisi yang ditandai dengan tanda panah menunjukkan fluoresens hijau tajam yang dihasilkan oleh batangan nano di dalam sel. (Patra et al., 2006).

Pada sel HUVEC, batangan nano logam Eu dan Tb tidak menghasilkan fluorosens hijau me-lainkan fluoresens merah, dan menunjukkan keha-dirannya pada sitoplasma sel. Sifat fluoresens yang berbeda pada jenis sel yang berbeda ini menghan-tarkan batangan nano Eu dan Tb menjadi media pembeda sel. Oleh kehadiran kedua batangan nano Eu dan Tb pada sitoplasma sel HUVEC maka ben-tuk dan ukuran sel HUVEC juga sangat jelas dapat teramati. Hal ini juga menunjukkan bahwa batan-gan nano kedua logam di atas dapat dengan baik melintasi sel HUVEC.

Dari hasil pengujian penggunaan batangan na-no kedua logam Eu dan Tb terhadap kedua jenis sel 786-O dan HUVEC, dimana ditunjukkan bah-wa untuk sel yang berbeda diperoleh warna fluore-sens yang berbeda, maka kedua jenis batangan nano logam tersebut dapat digunakan sebagai in-strumen pelabel sel termasuk mendeteksi secara dini sel-sel kanker. Pendeteksian dapat dilakukan secara presisi dan secara dini sebelum sel-sel kanker menyebar secara luas.

7. NANOMATERIAL DAN SEL KANKER: PENGHANTARAN OBAT (DRUG DELI-VERY)

Saat ini tindakan yang dapat dilakukan terha-

dap penderita kanker hanyalah memperpanjang umur penderita, tetapi tidak untuk menyembuhkan. Suatu usaha harus dilakukan untuk menemukan suatu cara sehingga tidakan berubah ke arah pe-nyembuhan. Di berbagai negara melalui lembaga penelitian yang dimiliki saat ini sedang bekerja keras untuk hal tersebut.

Kemoterapi (terapi kimia, yaitu: memasukkan zat-zat kimia atau obat-obatan ke dalam tubuh baik secara oral maupun non-oral dalam kurun waktu tertentu untuk membunuh sel-sel kanker) yang saat ini kita kenal sebagai tindakan yang dilakukan ter-hadap penderita kanker menjadi jalan terakhir (se-lain tindakan pembedahan) yang dilakukan oleh para praktisi kesehatan dalam melakukan tindakan terhadap pasien penderita kanker. Sayangnya, sa-saran tuju obatan-obatan kemoterapi belum dapat secara spesifik dikendalikan menuju sel-sel yang terserang kanker. Sel-sel sehat di dalam tubuh ser-ing menjadi korban serangan obat-obatan kemote-

Page 6: Nano Material

6  

rapi yang sangat beracun karena juga dimasuki oleh zat-zat kimia tersebut. Oleh karena itu, efek samping kemoterapi tidak dapat dihindarkan dan bahkan menjadi masalah tambahan yang muncul pada penderita, dan sering menjadi penyebab uta-ma kematian.

Ketidak-spesifikan sasaran kemoterapi me-nyebabkan para praktisi kesehatan sulit untuk me-naikkan dosis obat-obatan pada pelaksanaan ke-moterapi, yang akhirnya tidak dapat menyelesai-kan atau membunuh sel-sel kanker pada tubuh si penderita. Obatan-obatan yang digunakan belum dapat secara selektif menyasar jenis sel atau jenis organ tertentu yang spesifik di dalam tubuh. Ideal-nya, obatan-obatan tersebut (karena sifatnya yang sangat beracun) hanya menyasar pada target-target

sel atau organ-organ tertentu yang terserang kank-er untuk menghindari penyerangan terhadap sel-sel sehat yang ada.

a. CARBON NANO TUBE (CNT)

Carbon nano tube (CNT) adalah suatu material

yang disusun oleh atom-atom carbon yang saling berikatan, dimana satu atom carbon berikatan den-gan tiga atom carbon yang lain. Rangkaian ikatan tersebut membentuk suatu tabung (tube) silinder yang jari-jarinya dalam orde nanometer (gambar 4). CNT dapat ditumbuhkan membentuk tabung silinder tunggal (single wall carbon nano tube, SWCNT) dan tabung silinder ganda (multi wall carbon nano tube, MWCNT).

(a) (b)

Gambar 4. Struktur supramolekul carbon: carbon nano tube (CNT). (a) tabung silinder tunggal carbon (single wall carbon nano tube, SWCNT) dan (b) tabung silinder ganda carbon (multi wall carbon nano tube, MWCNT).

Unsur carbon dapat memiliki berbagai macam bentuk geometri yang setiap geometrinya memiliki sifat yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena car-bon memiliki tiga kemungkinan untuk berhibrida-si, yaitu: sp, sp2, dan sp3 yang merupakan konse-kuensi sifatnya sebagai unsur golongan IV. CNT adalah salah satu jenis struktur supramolekul dari carbon di samping struktur-struktur lain seperti: graphene, grafit, intan, dan fullerene. Sifat Termal

CNT merupakan konduktor panas yang sangat

baik dibanding dengan material lain yang pernah kita kenal. SWCNT yang sangat kecil (ultra small) bahkan memperlihatkan sifat superkonduktor pada temperatur di bawah 20 K. SWCNT dan MWCNT merupakan konduktor panas yang sangat baik se-

panjang tabungnya. Sifat konduktivitas panas yang baik sepanjang tabung ini disebabkan oleh feno-mena konduksi balistik (ballistic conduction) se-panjang tabung. CNT dapat mentransmisikan daya panas lebih besar dari 6000 WK/m pada tempera-tur ruang, bandingkan dengan penghantar panas yang paling populer seperti tembaga yang hanya mampu mengkonduksikan daya panas maksimal 385 WK/m. CNT mampu stabil pada temperatur sekitar 7500C tekanan atmosfer dan sekitar 28000C pada tekanan vakum. Sifat Optik

Sifat optik CNT sangat dipengaruhi oleh uku-

rannya. Lebar celah pita energi optiknya dipernga-ruhi oleh ukuran diameternya. Makin kecil diame-ter CNT, makin besar lebar celah pita energi op-

Page 7: Nano Material

7  

tiknya. Hubungan kedua parameter ini ditunjukkan pada gambar 5. Lebar celah pita energi optik ini mempengaruhi warna cahaya yang dapat diemisi olehg CNT, baik oleh CNT yang bersifat metalik

(M) maupun CNT yang bersifat semikonduktif (S). Gambar 6 menunjukkan warna cahaya yang diemi-si oleh CNT (bersifat metalik dan semikonduktif) pada beberapa ukuran diameternya.

Gambar 5. Hubungan besar jari-jari CNT dengan lebar celah pita energi optiknya.

Gambar 6. Hubungan besar diameter CNT (CNT metalik (M) dan CNT semikonduktif (S)) dengan warna cahaya

yang diemisi. Sifat Kimia

Sifat reaktivitas kimia CNT juga dipengaruhi oleh ukuran diameter tabungnya. Diameter CNT yang semakin kecil akan meningkatkan reaktivitas kimianya karena luas permukaan spesifiknya (luas permukaan/massa) makin membesar. Ikatan kova-len pada CNT juga dapat dimodifikasi dengan cara mendispersi CNT pada pelarut yang sesuai.

Mengacu pada sifat-sifat di atas, selanjutnya CNT dicoba diterapkan pada bidang farmasi yang dirancang sebagai perangkat pembawa (carrier)

berbagai jenis obat-obatan ke dalam sel, termasuk ke dalam sel yang terserang kanker. Hal ini di-mungkinkan karena dinding tepi tabung CNT da-pat difungsionalisasi, seperti misalnya, dengan DNA, protein dan polyethylene glycol (PEG) se-hingga dan oleh karena itu dimungkin bagi CNT untuk melintasi membran sel dengan leluasa dan tidak mengganggu kerja sel.

SWNT sulit larut di dalam air, sehingga tidak dapat langsung digunakan sebagai pembawa. oleh karena itu diperlukan suatu modifikasi secara ki-mia untuk meningkatkan kelarutannya. Di samping

Page 8: Nano Material

8  

meningkatkan kelarutannya, modifikasi kimia ter-sebut juga sekaligus memperbaiki kebiokompatibi-litasannya dan juga meningkatkan kemampuannya untuk dapat berpenetrasi ke dalam sel. Bentuk modifikasi dapat dilakukan dengan: (1) pemasan-gan secara kovalen grup molekul kimia tertentu pada tubuh (keangka) SWCNT melalui reaksi kon-jugasi-π, (2) membalutkan berbagai jenis molekul-molekul fungsional pada dinding SWCNT, dan (3) mengisi molekul-molekul fungsional ke bagian dalam tabung SWCNT.

Menkonjugasi SWNT dengan DNA adalah ca-ra fungsionalisasi kimia yang umum dilakukan di samping dengan protein (gambar 7a). Dengan mengkonjugasi SWNT dengan DNA atau protein, maka SWNT dengan mudah dapat larut di dalam air dan sekaligus dapat mudah melintasi membran sel menuju ke sitoplasma. Jenis molekul fungsion-al yang dikonjugasikan ini menentukan: (1) sebe-rapa lama SWNT berada dalam cairan darah ikut bersirkulasi, (2) sebarapa lama SWNT dapat ber-

tahan hidup sebelum berubah struktur, (3) ke organ mana SWNT dapat ditujukan, dan (4) berakumula-si-tidaknya SWNT di dalam organ tubuh atau di bagian organ mana SWNT akan berakumulasi. Untuk menyasar organ-organ tertentu atau sel-sel tertentu di dalam tubuh, dibutuhkan molekul fung-sional tertentu.

Polimer PEG ditemukan sangat attraktif seba-gai molekul fungsional pada SWNT dimana dapat membuat SWNT bersirkulasi dalam cairan darah dalam waktu yang cukup lama sehingga dimung-kinkan untuk mencapai target-target yang tersulit di dalam tubuh (gambar 7b). Liang dan Chen melaporkan bahwa dengan menggunakan molekul fungsional PEG, SWNT menjadi sangat dinamis dan oleh karena itu dimungkinkan untuk dapat mudah melintasi membran sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Lebih menguntungkan lagi, ditemukan bahwa SWCNT yang dikonjugasi dengan PEG dapat dan hanya memasuki sel-sel yang terserang kanker.

(a ) (b)

Gambar 7. Konjugasi SWCNT dengan molekul fungsional: (a) DNA dan (b) Polyethylene glycol (PEG) (Liang dan

Chen, 2010).

Keberhasilan menkonjugasi PEG pada SWCNT sehingga menghasilkan fakta bahwa SWCNT dapat dan hanya memasuki sel yang terserang kanker, maka penggunaan SWCNT terkonjugasi PEG selanjutnya dirancang dijadikan sebagai mesin pembawa (carrier) obat-obatan anti kanker ke sel yang terserang kanker. Paclitaxel (PTX) (umum disebut sebagai taxol) adalah obat anti kanker yang lazim dipakai dalam kemoterapi. Liang dan Chen selanjutnya menguji karakteristik konjugasi PTX dengan PEG-SWCNT yang menghasilkan konjugasi PTX-PEG-SWCNT. Ditemukan bahwa konjugasi PTX-PEG-SWCNT (skema konjugasinya ditunjukkan pada gambar 8)

dapat larut dengan baik di dalam air, dan PTX yang dikonjugasikan tetap memiliki tingkat toxicity yang sama dengan PTX tanpa dikonjugasi. Di samping itu, PTX-PEG-SWCNT memiliki waktu sirkulasi yang lebih lama di dalam cairan darah dibanding dengan PTX yang tidak dikonjugasi.

Konjugasi PTX-PEG-SWCNT selanjutnya digunakan untuk membawa PTX ke sel kanker untuk menonaktifkan sel kanker yang disasar. Uji coba dilakukan pada tikus yang telah dijangkiti oleh sel kanker (sel kanker payudara 4T1 dicangkokkan pada tikus). Fenomena yang diperoleh menunjukkan bahwa: (1) PTX-PEG-

Page 9: Nano Material

9  

SWCNT tidak ditemukan pada sel-sel sehat tikus, (2) solubilitasnya sangat baik pada berbagai media biologi tikus, (3) PTX-PEG-SWCNT stabil selama 48 jam, (4) proses pelepasan PTX dari PEG-SWCNT berlangsung dalam waktu yang cepat

pada sel kanker, dan PEG-SWCNT relatif tetap stabil setelah pelepasan, dan (5) tidak ditemukan adanya agregasi SWCNT di dalam sel setelah PEG-SWCNT melepas PTX.

Gambar 8. Skema konjugasi SWCNT dengan molekul fungsional PEG dan paclitexal (PTX) (Liang dan Chen,

2010).

Gambar 9. Kurva pertumbuhan tumor (sel kanker payudara 4T1 yang dicangkok) pada tikus yang mendapatkan berbagai perlakuan. Untreated adalah tanpa memerikan perlakuan (kontrol), Taxol adalah penyuntikan hanya dengan taxol (PTX), PEG-PTX adalah penyuntikan dengan PEG-PTX, DSPE-PEG-PTX adalah penyuntikan dengan DSPE-

PEG-PTX, Plain SWNT adalah penyuntikan hanya dengan SWCNT, dan PTX-PEG-SWCNT adalah penyuntikan dengan PTX-PEG-SWCNT (Liang dan Chen, 2010).

Page 10: Nano Material

10  

Hasil kerja PTX pada sel kanker (tumor) dilihat dari perubahan volume tumor hari demi hari. Gambar 9 menunjukkan hasil yang diperoleh sepanjang 25 hari setelah disuntik dari beberapa jenis perlakuan. Suatu perubahan selama pengukuran teramati pada volume relatif tumor dimana penggunaan PTX-PEG-SWCNT dapat meredam pertumbuhan tumor secara signifikan pada dosis yang sama yaitu 5 mg/kg. Dibandingkan dengan jenis konjugasi yang lain, penggunaan PTX-PEG-SWCNT memberikan hasil yang jauh lebih baik. Pertumbuhan tumor dapat diredam secara efektif yang disimpulkan sebagai hasil kerja PTX untuk menonaktifkan (membunuh) sel-sel yang terserang kanker. Oleh karena itu, mengacu kepada fakta ini, maka dimungkinkan untuk membasmi sel kanker secara efektif dengan meningkatkan dosis PTX ke dalam sel kanker. Sementara sel-sel normal tidak mengalami gang-guan. 8. NANOMATERIAL DAN SEL KANKER:

HYPERTHERMIA Carbon Nano Tube

SWCNT tidak saja berfungsi sebagai

pembawa sebagaimana diterangkan di atas. Sifat SWCNT yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada rentang panjang gelombang dari 700-1100 nm sangat efektif digunakan untuk membunuh sel-sel kanker. Di lain pihak, sistim biologi tubuh adalah transparan pada rentang panjang gelombang tersebut. Energi yang diserap pada rentang panjang gelombang 700-1100 nm oleh SWCNT dapat meningkatkan secara efektif

temperatur SWCNT sampai di atas 42oC, yang pada temperatur ini sel-sel kanker sudah menjadi tidak aktif. Kemampuan SWCNT secara selektif hanya masuk ke dalam sel kanker memungkinkan keunikan penyerapan panjang gelombang ini digunakan untuk menonaktifkan sel-sel kanker tanpa merusak sel-sel sehat tetangganya.

Kam, et al. juga telah menguji coba penggunaan konjugasi PEG-SWCNT yang disinari dengan gelombang near-infrared (NIR) (808 nm) untuk memanaskan SWCNT di dalam sel kanker dalam proses menonaktifkan (membunuh) sel kanker (hyperthermia). Konjugasi PEG-SWCNT dikirim ke dalam sel HeLa yang terjangkit kanker. Selanjutnya untuk memastikan kehadiran PEG-SWCNT di dalam sel, mikroskop confocal digunakan untuk memotret sel dan hasilnya ditunjukkan pada gambar 10. Mengacu pada potret yang dihasilkan, teramati bahwa PEG-SWCNT telah hadir pada sel yang terjangkit kanker, sementara pada sel sehat yang lain, PEG-SWCNT tidak ditemukan. Untuk memanaskan sel kanker tersebut, Kam, et al. menyinari sel yang di dalam-nya terdapat PEG-SWCNT dengan sinar near-infrared (NIR). Energi yang dihantarkan oleh NIR dalam bentuk gelombang tersebut diserap oleh SWCNT dan mengubahnya menjadi energi panas sehingga temperatur sel naik melebih 42oC. Temperatur sel-sel sehat tetangganya tidak naik karena pada sel-sel tersebut tidak ditemukan SWCNT. Medium biologi sel adalah transparan terhadap gelombang NIR. Pemanasan dengan cara ini pada tingkat di atas batas toleransi sel menyebabkan sel-sel kanker menjadi tidak aktif (mati), dimana prosesnya dapat secara selektif dilakukan.

Gambar 10. Potret fluoresens sel HeLa yang terjangkit kanker (FR+) yang dihuni oleh PEG-SWCNT (a) dan potret

sel normal yang tidak dihuni oleh PEG-SWCNT (b) (Kam, et al., 2005).

Page 11: Nano Material

11  

9. NANOMATERIAL DAN DIABETES

Diabetes mellitus (atau sering disebut di-abetes) adalah suatu penyakit dimana kandungan gula (glucosa) pada cairan darah (gula darah) me-ningkat melebihi batas ambang atas (hyperglyce-mia). Peningkatan ini disebabkan oleh adanya gangguan yang terjadi dalam proses penghantaran glucosa ke dalam sel (Poretsky, 2010). Penghanta-ran glukosa ke dalam sel dimediasi oleh insulin dengan skema proses sebagaimana ditunjukkan pada gambar 11.

Diabetes dibagi ke dalam dua tipe yang dika-rakterisasi oleh mediator insulin, yaitu: tipe-1, di-

abetes yang terjadi karena gagalnya sel-β mem-produksi insulin pada jumlah minimum yang dibu-tuhkan untuk memediasi penghantaran gula darah ke dalam sel (skema sederhana pelepasan insulin oleh sel-β ditunjukkan pada gambar 12) (Poretsky, 2010); tipe-2 adalah diabetes yang terjadi karena kurangnya responsivitas reseptor insulin pada membran sel untuk merespon kehadiran insulin sebagai mediator penghantar gula darah ke dalam sel sehingga proses penghantaran gula darah ke dalam sel menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya (Poretsky, 2010).

Gambar 11. Skema proses penghantaran glucosa (gula darah) ke dalam sel yang dimediasi oleh insulin. Pengikatan insulin oleh reseptor insulin pada membran sel menginduksi suatu sinyal transduksi yang dapat dideteksi oleh trans-

poter glucosa (GLUT4) sehingga GLUT4 memasukkan glucosa ke dalam sel (Poretsky, 2010).

Gagalnya secara wajar gula darah masuk ke dalam sel menyebabkan kandungan gula darah di dalam cairan darah menjadi meningkat. Beberapa anjuran untuk dilakukan bagi penderita diabetes tipe-1 untuk mengontrol kandungan gula darah di dalam carian darahnya adalah: melakukan diet, khususnya terhadap makanan yang mengandung banyak glucosa; melakukan latihan fisik secara teratur, dan terapi insulin sebagai solusi kurangnya suplai insulin oleh sel-β.

Diabetes tipe-2 sangat dipengaruhi oleh faktor obesitas. Obesitas dapat menyebabkan meningkat-nya resistansi reseptor insulin pada membran sel. Oleh karena itu diabetes tipe-2 erat kaitannya den-gan faktor keturunan dan budaya yang berkem-bang di lingkungannya. Seseorang dapat menga-

lami salah satu tipe diabetes di atas dan dapat pula mengalami sekaligus keduanya. Beberapa cara penyelesaian telah dilakukan untuk dapat menga-tasi atau menyembuhkan penderita, namun hasil yang diperoleh belum mencapai titik yang paling optimum. Oleh karena itu beberapa alternatif pen-gembangan sedang diinvestigasi yang salah sa-tunya adalah melibatkan nanoteknologi (Zhirno dan Cavin, 2011; Mishra et al., 2008).

Mengatasi kekurangan insulin (diabetes tipe-1) pada penderita diabetes selama ini dilakukan den-gan mensuplai insulin secara eksternal yang dila-kukan secara oral, suntik maupun melalui pernafa-san (nasal) (Poretsky, 2010; Sona, 2010). Dengan teknik suntik, yang apabila dilakukan terus mene-rus setiap hari, menimbulkan masalah baru terha-

Page 12: Nano Material

12  

dap luka suntik. Pada teknik oral insulin menga-lami degradasi di dalam lambung (stomach) oleh enzim gastric. Untuk mengatasi masalah ini insu-lin dibalut (encapsulated) dengan berbagai jenis polimer yang biodegradable. Namun oleh karena ukurannya cukup besar, balutan insulin sulit me-nembus masuk ke pembuluh darah. Pada teknik

penghantaran melalui pernafasan, permasalahan timbul dengan terjadinya penyumbatan pada paru-paru karena ukuran partikel insulin cukup besar (Murphy et al. 2008; Mishra et al., 2008). Seluruh permasalahan ini menjadi tantangan saat ini dan suatu teknik pendekatan baru harus dicari.

Gambar 12. Skema proses pelepasan insulin oleh sel-β. Ketika kadar glucosa pada cairan darah meningkat di atas batas ambang, transporter glucosa GLUT2 akan memasukkan glucosa ke dalam sel. Glucosa yang masuk ke dalam

sel meningkatkan rasio ATP:ADP di dalam sel (melalui proses glycolytic phosphorylation: glucokinase-glycolysis,respiration) sehingga menonaktifkan kanal potassium (K+) yang bertugas mendepolarisasi membran sel. Penonaktifan kanal potassium menyebabkan pembukaan kanal calcium sehingga ion-ion calcium masuk ke dalam

sel. Peningkatan kandungan ion calcium di dalam sel memicu pelepasan insulin oleh sel (Poretsky, 2010).

Permasalahan ukuran insulin pada teknik oral dan pernafasan sebagaimana diuraikana di atas dapat diatasi dengan nanoteknologi. Partikel insu-lin dikonstruksi dengan teknik khusus sehingga memiliki ukuran yang berada pada kisaran 1-100 nm. Morcol et al. telah berhasil mengkonstruksi nanopartikel insulin-polimer, dimana nanoinsulin dikapsulasi dengan menggunakan polimer mem-bentuk apa yang kita sebut sebagai nanokapsul insulin atau nanopartikel insulin (Morcol et al., 2004). Polimer dalam hal ini berperan sebagai pembawa (carrier). Calcium phospate-polyethylene glyco (CAP-PEG) digunakan sebagai polimer pengkapsul dikombinasi dengan casein (protein susu) untuk membentuk nanopartikel

CAP-PEG-Insulin (lihat gambar 13). Partikel insu-lin berukuran nanometer dibalut (coat) dengan casein untuk menghidari degradasi insulin oleh enzim gastric. Setelah diuji coba secara oral, suatu penurunan kadar gula darah terjadi secara signifi-kan, namun oleh karena sifat casein yang mucoad-hesive maka nanopartikel CAP-PEG-Insulin ter-konsentrasi pada usus halus yang mengakibatkan perlambatan proses absorpsi.

Pada studi lain, Venugopalan et al. menggu-nakan polyethuleneglycol-dimethacrylate sebagai polimer pembalut/pembawa insulin. Polimer ini digunakan untuk memproteksi insulin dari tempe-ratur tinggi. Setelah diuji coba pada tikus, penuru-nan gula darah terjadi secara signifikan (Venugo-

Page 13: Nano Material

13  

palan et al. 2001). Chitosan, dextran sulfat, dan cyclodextrin telah juga digunakan sebagai pemba-lut/pembawa (Pan et al., 2002). Kombinasi peng-gunaan dextran sulfate-chitosan sebagai polimer pembalut/pembawa menghasilkan karakteristik yang sensitif terhadap pH. Berbagai jenis polimer lain telah diuji coba untuk digunakan dan berbagai

sifat yang unik diperoleh. Seluruh nanokapsul in-sulin dengan menggunakan berbagai ragam mer pembalut sebagaimana disebut di atas meng-hasilkan penurunan gula darah yang sangat signi-fikan. Namun diantara seluruhnya, penggunaan chitosan menghasilkan efek yang paling tinggi.

Gambar 13. Skema nanopartikel calcium phospate-PEG-insulin-casein (Morcol et al., 2004). Gambar 14. Skema nanopartikel dengan gerbang molekuler yang sensitif terhadap pH untuk mengontrol pelepasan

insulin yang dipicu oleh kehadiran glucosa pada cairan darah (Sona, 2010).

Penghantaran nanoinsulin melalui pernafasan telah juga diinvestigasi. Grenha et al. telah meng-konstruksi nanoinsulin dengan menggunakan po-limer chitosan untuk membentuk nanopartikel in-

sulin-chitosan dalam bentuk serbuk kering yang siap untuk dihirup. Efek penurunan gula darah yang dihasilkan juga sangat signifikan setelah di-ujikan pada tikus. Dengan menggunakan polimer

Page 14: Nano Material

14  

nanochitosan sebagai pembawa, jumlah nanoinsu-lin yang dapat dibawa sangat besar dan kemam-puan melepaskan insulin pada cairan darah sangat tinggi, yaitu sekitar 75-80% dilepas selama 15 me-nit setelah penghirupan.

Teknologi yang saat ini sedang dalam pen-gembangan sebagaimana dilaporkan oleh Sona (Sona, 2010) adalah pembuatan nanoporus mem-bran yang sensitif terhadap pH (lihat gambar 14). Nanoinsulin dibalut dengan suatu polimer dimana polimer pembalutnya memiliki porus berukuran nanometer yang sensitif terhadap pH lingkungan-nya. Bila pH cairan darah menurun (< 7) yang dis-ebabkan oleh meningkatnya kadar gula darah, ma-ka gerbang nanoporus akan membuka dan insulin dilepas. Pelepasan insulin akan menurunkan kadar gula darah yang menyebabkan pH darah mening-kat menuju normal (~7,4). Pada saat pH normal, gerbang nanoporus akan menutup. Polimer yang digunakan untuk membuat pembalut yang memili-ki nanoporus ini adalah N, N-dimethylaminoethyl methacrylate dan polyacrylamide yang dikombina-

si dengan polymethacrylic acid-g-polyethylene glycol.

10. KESIMPULAN

Artikel ini adalah suatu review termutakhir tentang bagaimana nanomaterial berperan sangat strategis dalam mengatasi permasalahan penyakit kanker dan diabetes, baik dalam hal diagnosa maupun dalam hal proses penyembuhannya. Sinte-sa dan penggunaan CNT sangat esensial dalam mendiagnosa dan menonaktifan sel-sel kanker. Sintesa dan penerapan nanochitosan sebagai pem-bawa insulin di lain pihak sangat menjanjikan un-tuk mengatasi meningkatnya kadar gluchosa pada cairan darah. Saat ini dan beberapa tahun ke de-pan penelitian pada kedua bidang ini sangat inten-sif dilakukan di berbagai negara karena begitu mendesaknya kebutuhan masyarakat dunia akan solusi terhadap kedua jenis penyakit tersebut. Ki-ranya pada waktunya nanti apa yang kita harapkan dapat terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA Kam, N.W.S., O’Connell, M., Wisdom, J.A., dan

Dai, H., 2005. Carbon nanotubes as multi-functional biological trasporters and near-infrared agents for selective cancer cell destruction. Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 102 No. 33, hal. 11600-11605.

Liang, F. dan Chen, B., 2010. A review on bio-

medical applications of single-wall carbon nanotubes. Current Medicinal Chemi-stry, Vol. 17 No. 1, hal. 10-24.

Liu, Z., Chen, K., Davis, C., Sherlock, S., Cao, Q.,

Chen, X., dan Dai, H., 2008. Drug deli-very with carbon nanotubes for in vivo cancer treatment. Cancer Res, Vol. 68 No. 16, hal. 6652-6660.

Mishra, M., Kumar, H., Singh, R.K., dan Tripathi,

K., 2008. Diabetes and nanomaterials. Di-gest Journal of Nanomaterials and Bios-tructures, Vol. 3 No. 3, hal. 109-113.

Murphy, E.A., Majeti, B.K., Barnes, L.A., Makale,

M., Weis, S.M., Fuga, K.L., Wrasidlo, W., dan Cheresh, D.A., 2008. Nanoparticle-mediated drug delivery to tumor vascula-ture suppresses metastatis. Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 105 No. 27, hal. 9343-9348.

Perrault, S.D. dan Chan, W.C.W., 2010. In vivo

assembly of nanoparticle components to improve targeted cancer imaging. Pro-ceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 107 No. 25, hal. 11194-11199.

Sona, P.S., 2010. Nanoparticulate drug delivery

systems for the treatment of diabetes. Di-gest Journal of Nanomaterials and Bios-tructures, Vol. 5 No. 2, hal. 411-418.

Wong, C., Stylianopoulos, T., Cui, J., Martin, J.,

Chauhan, V.P., Jiang, W., Popovic, Z., Jain, R.K., Bawendi, M.G., dan Fukumura, D., 2011. Multistage nanoparticle delivery system forr deep penetration into tumor tissue. Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 108 No. 6, hal. 2426-2431.

Kumar, C.S.S.R., Hormes, J., dan Leuschner, C., 2005. Nanofabrication towards biomedical applications. Wilet-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim, Germany.

Zhirnov, V.V. dan Cavin, R.K., 2011. Microsys-tems for Bioelectronics: The Nanomorphic Cell. Elsevier Inc., Oxford, UK.

Poretsky, L., 2010. Principles of Diabetes Melli-

tus. 2nd Edition. Springer Science+Business Media, LLC, New York, USA.

Page 15: Nano Material

15  

Morcol, T., Nagappan, P., Nerenbaum, L., Mit-

chell, A., dan Bell, S.J.D., 2004. Calcium phosphate-PEG-insulin-casein (CAPIC) particles as oral delivery systems for insu-lin. International Journal of Pharma-ceutics, Vol. 277, Issues 1-2, hal. 91-97.

Venugopalan, P., Sapre, A., Venkatesan, N., dan

Vyas, S. P., 2001. Pelleted bioadhesive polymeric nanoparticles for buccal deli-

very of insulin: preparation and characte-rization. Pharmazie, Vol. 56 No. 3, hal. 217-219.

Schaefer, H.E., 2010. Nanoscience The Science of the Small in Physics, Engineering, Chemi-stry, Biology and Medicine. Springer-Verlag, Berlin, Germany.