muthiah hs_gangguan elektrolit kalium dan magnesium

Upload: muthiah-hasnah-suri

Post on 08-Jan-2016

34 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tugas anes

TRANSCRIPT

  • GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT:

    KALIUM DAN MAGNESIUM

    Referat

    Disusun oleh:

    Muthiah Hasnah Suri 04084821517077

    Pembimbing: dr. Ngurah Putu Werda Laksana, Sp. An

    DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

    RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS SRIWIJAYA

    2015

  • ii

    HALAMAN PENGESAHAN

    Judul Referat

    Gangguan Keseimbangan Elektrolit: Kalium dan Magnesium

    Oleh:

    Muthiah Hasnah Suri 04084821517077

    Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian

    kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Rumah

    Sakit Dr. Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

    Palembang Periode 22 Juli 2015 - 22 Agustus 2015

    Palembang, 7 Agustus 2015

    dr. Ngurah Putu Werda Laksana, Sp. An

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Pertama-tama penulis ingin mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan

    Yang Maha Esa karena atas segala berkat rahmat dan karunia-Nya karya ilmiah

    ini dapat diselesaikan oleh penulis.

    Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan

    penghargaan kepada yang terhormat dr. Ngurah Putu Werda Laksana, Sp. An

    yang telah ikhlas meluangkan waktu untuk memberikan masukan, bimbingan dan

    perbaikan selama penulisan telaah ilmiah ini.

    Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan

    saran atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan karya ilmiah ini. Semoga

    karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

    Palembang,7 Agustus 2015

    Penulis

  • iv

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

    HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii

    KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

    DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

    BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

    BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4

    2.1. Distribusi Kalium .................................................................................. 4

    2.2. Hipokalemia .......................................................................................... 6

    2.3. Hiperkalemia ......................................................................................... 9

    2.4. Distribusi Magnesium ......................................................................... 15

    2.5. Deplesi Magnesium ............................................................................. 26

    2.6. Hipermagnesemia ................................................................................ 24

    BAB III. KESIMPULAN ...................................................................................... 26

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

  • v

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar .................................................................................................. Halaman

    1. Distribusi elektrolit dalam tubuh ....................................................... 1

    2. Perbandingan kalium tubuh dan kalium plasma ................................ 4

    3. Grafik hubungan k+ plasma dengan total kalium tubuh ..................... 5

    4. Pendekatan diagnosis pada hipokalemia ........................................... 7

    5. Perubahan EKG pada hiperkalemia ................................................. 12

    6. Kadar magnesium dalam urin dan plasma pada kondisi diet Mg ..... 17

  • vi

    DAFTAR TABEL

    Tabel ................................................................................................. Halaman

    1. Defisit kalium pada hipokalemia ...................................................... 8

    2. Manajemen hiperkalemia ................................................................. 13

    3. Kisaran nilai normal Mg serum ........................................................ 16

    4. Kadar magnesium dalam plasma dan urin ....................................... 17

    5. Faktor predisposisi dari depresi magnesium ................................... 18

    6. Tes resistensi magnesium ................................................................. 22

    7. Sediaan magnesium .......................................................................... 22

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi

    partikel yang bermuatan (ion) positif atau negatif. Sebagian besar proses

    metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi elektrolit

    yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan.1

    Cairan tubuh terdiri dari air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas

    cairan ekstrasel dan intrasel. Cairan ekstrasel meliputi plasma dan cairan

    interstisial.1,2

    Distribusi elektrolit pada cairan intrasel dan ekstrasel dapat dilihat

    pada Gambar 1.

    Gambar 1. Distribusi elektrolit dalam tubuh2

    Kalium dalam jumlah besar terdapat dalam intraselular. Sebanyak 98%

    dari total kalium ditubuh terletak dalam intraselular, sementara 2% terdapat di

    cairan ekstraselular. Kalium berfungsi membantu menjaga tekanan osmotik dan

  • 2

    keseimbangan asam basa dalam cairan intraselular bersama-sama dengan klorida.1

    Hipokalemia, dimana jumlah K+ plasma kurang dari 3,5 mEq/L, dapat

    meningkatkan risiko terjadinya aritmia. Sementara pada hiperkalemia, dimana

    kadar K+ plasma lebih dari 5,5 mEq/L, menyebabkan perlambatan transmisi

    impuls di jantung (dari depolarisasi otot jantung), yang dapat berkembang

    menjadi heart block dan bradikardia cardiac arrest.3

    Gangguan konsentrasi kalium, seperti pada hipokalemia, dapat disebabkan

    oleh gangguan konsentrasi elektrolit lain salah satunya defisiensi magnesium.

    Defisiensi magnesium menyebabkan peningkatan sodium intraseluler dan

    potasium banyak ke luar dan masuk ke ekstraseluler. Hal tersebut mengakibatkan

    sel mengalami hypokalaemia dimana hanya dapat ditangani dengan pemberian

    magnesium.3

    Magnesium merupakan kation terbanyak ke empat di dalam tubuh dan

    kation terbanyak kedua di dalam intraseluler setelah kalium. Magnesium (Mg)

    mempunyai peranan penting dalam struktur dan fungsi tubuh manusia.

    Magnesium sangat diperlukan dalam tubuh terutama terlibat dalam lebih dari 300

    reaksi metabolik esensial. Hal tersebut diperlukan untuk metabolisme energi,

    penggunaan glukosa, sintesis protein, sintesis dan pemecahan asam lemak,

    kontraksi otot, hampir seluruh reaksi hormonal dan menjaga keseimbangan ionik

    seluler. Magnesium diperlukan untuk fungsi pompa Na/K-ATPase. dan juga

    berperan mempertahankan potensial listrik membran sel, dalam pembentukan

    ATP.4

    Terganggunya konsentrasi magnesium dapat menyebabkan aritmia serius

    yang berhubungan dengan deplesi magnesium, yaitu torsade de pointes. Defisiensi

    magnesium juga bermanifestasi dalam kelainan neurologis seperti gangguan

    mental, kejang umum, tremor, dan hyperreflexia, tetapi hal ini jarang terjadi, tidak

    spesifik, dan sulit dalam penegakan diagnosisnya. Sementara hipermagnesemia,

    dimana kadar Mg serum lebih dari 2mEq/L, dapat menyebabkan hyporeflexia,

    fisrt degree AV Block, Complete Heart Block, dan Cardiac Arrest.3,4

    Berdasarkan uraian di atas, penting bagi seorang tenaga medis, terutama

    dokter, untuk memahami bagaimana fisiologi elektrolit dalam tubuh, dimana

  • 3

    dalam referat ini lebih membahas tentang kalium dan magnesium. Perlunya

    mengetahui kondisi apa saja yang menjadi faktor predisposisi terganggunya

    konsentrasi kalium dan magnesium, serta bagaimana penatalaksanaan yang tepat

    terhadap baik kekurangan maupun kelebihan kalium dan magnesium. Dengan

    pemahaman akan hal tersebut, diharapkan seorang dokter dapat mengenali

    keadaan hipokalemia, hiperkalemia, hipomagnesemia, dan hipermagnesemia

    secara dini serta memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga kematian

    akibat gangguan konsentrasi elektrolit kalium dan magnesium dapat dicegah.

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Distribusi Kalium3

    Kalium dalam jumlah besar terdapat dalam intraselular. Sebanyak 98%

    dari total kalium ditubuh terletak dalam intraselular, sementara 2% terdapat di

    cairan ekstraselular. Hal ini disebabkan oleh pompa Na+ K

    +, yang terdapat pada

    membran sel, yang memindahkan Na+ keluar sel dan memindahkan K

    + ke dalam

    sel dengan ratio 3:2. Perpindahan oleh pompa Na+ K

    + ini menimbulkan gradien

    voltase, yang melewati membran sel, yang dapat mengalirkan impuls lisrtik pada

    jaringan tersebut (seperti saraf dan otot).

    Jumlah kalium dalam tubuh manusia dewasa normal sebanyak 50-

    55mEq/kgBB. Pada dewasa dengan berat badan 70kg, dengan estimasi kalium

    50mEq, memiliki total kalium tubuh sebanyak 3500mEq dimana 70mEq (2% dari

    total kalium tubuh) terdapat di cairan ekstraselular. Kadar plasma dalam cairan

    ekstraseluler sebanyak 20%, sehingga jumlah kalium plasma yaitu 15mEq yang

    artinya hanya 0,4% dari total kalium tubuh. Dari jumlah kecil kalium plasma ini

    dapat digunakan untuk mengevaluasi total kalium tubuh.

    Gambar 2. Perbandingan Kalium tubuh dan kalium

    ekstravaskuler

  • 5

    Hubungan antara total kalium tubuh dengan kalium plasma digambarkan

    dalam gambar 3. Jika total K+

    tubuh berkurang 200-400mEq maka K+

    plasma akan

    berkurang 1mEq/L, sementara kelebihan 100-200mEq total K+ tubuh akan

    meningkatkan 1mEq/l K+ plasma. Pada perubahan K

    + plasma dalam jumlah yang

    sama terjadi perubahan total K+ tubuh 2 kali lebih banyak pada hipokalemia

    dibanding hiperkalemia, sehingga penurunan K+ plasma lebih lambat ditemukan.

    Hal ini terjadi karena jumlah kalium intraseluler yang melimpah, sehingga

    penurunan kalium ekstraseluler dapat diisi oleh kalium intraseluler dan membantu

    mempertahankan K+

    plasma saat terjadi penurunan kalium tubuh.

    Sejumlah kecil K+ diekskresikan melalui feses (5-10mEq/hari) dan

    keringat (0-10mEq/hari), sebagian besarnya diekskresikan melalui urin (40-120

    mEq/ hari sesuai dengan jumlah intake nya). K+

    yang difiltrasi di glomerulus

    secara pasif di reabsorbsi di tubulus proximal bersama natrium dan air, kemudian

    disekresi di tubulus distal dan duktus kolektifus.

    Ekskresi kalium dalam urin merupakan fungsi utama sekresi K+ di nefron

    distal yang dikendalikan terutama oleh aldosteron dan K+ plasma. Saat fungsi

    ginjal dalam keadaan normal, kapasitas ekskresi kalium oleh ginjal cukup besar,

    Gambar3. Grafik hubungan k+ plasma dengan total kalium tubuh

  • 6

    sehingga dapat mencegah peningkatan K+ plasma, sebagai respon dari

    peningkatan beban kalium.

    Sebagai respon dari peningkatan K+ plasma (dan angiotensin II), korteks

    adrenal melepaskan mineralkortikoid berupa aldosteron. Pelepasan aldosteron

    merangsang sekresi K+ di nefron distal sehingga terjadi peningkatan ekskresi K+

    dalam urin. Sekresi kalium berkaitan dengan reabsorpsi natrium, sehingga

    pelepasan aldosteron turut mengakibatkan retensi natrium dan air. Penggunaan

    diuretik spironolactone menghalangi pelepasan aldosteron di ginjal sehingga

    disebut diuretik hemat kalium.

    2.2 Hipokalemia3

    Hipokalemia merupakan keadaan dimana jumlah K+ plasma kurang dari

    3,5 mEq/L. Hipokalemia dapat disebabkan karena perpindahan K+ ke dalam sel

    (transcellular shift), atau penurunan total K+ tubuh (deplesi K+). Perpindahan K+

    ke dalam sel difasilitasi oleh stimulasi reseptor 2 adrenergik pada membran sel di

    otot. Hal ini menjelaskan penurunan K+ plasma sehubungan dengan pemberian

    bronkodilator inhalasi 2-agonist (seperti albuterol). Penurunan K+ plasma yang

    ditimbulkan obat tersebut ringan jika menggunakan dosis terapi biasa. Penurunan

    K+ plasma yang lebih signifikan terjadi bila inhalasi 2-agonist dikombinasikan

    dengan diuretik. Keadaan lain yang menyebabkan perpindahan K+ ke dalam sel

    antara lain alkalosis (respiratorik maupun metabolik), hipotermia, dan insulin.

    Deplesi kalium dapat terjadi akibat kehilangan K+ melalui ginjal ataupun

    sistem gastrointestinal (renal atau ekstrarenal). Kehilangan K+ dari renal atau

    ekstrarenal dapat dilihat dengan menghitung konsentrasi kalium dan klorida dalam

    urin. Penyebab utama kehilangan K+ di renal adalah terapi diuretik. Penyebab

    lainnya mungkin dapat dilihat di ICU seperti drainase nasogastrik, alkalosis, dan

    deplesi magnesium. Drainase nasogastrik secara langsung menurunkan

    konsentrasi K+ dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (10-15 mEq/L), namun

    penurunan volume dan H+ menyebabkan penurunan K+ yang lebih banyak

    melalui urin. Konsentrasi klorida urin rendah ( 25 mEq / L) pada

  • 7

    pasien dengan terapi diuretik dan deplesi magnesium. Deplesi magnesium

    mengganggu reabsorpsi K+ di tubulus ginjal dan mungkin memiliki peran yang

    sangat penting dalam menyebabkan deplesi K+ pada pasien kritis, terutama yang

    mendapat terapi diuretik.

    Penyebab utama hilangnya K+ dari extrarenal adalah diare. Normalnya

    pengeluaran K+ dalam feses hanya 5-10mEq/hari. Pada pasien diare, konsentrasi

    K+ dalam feses meningkat menjadi 15-40 mEq/L, dan volume feses harian dapat

    mencapai 10 liter pada kasus yang berat. Oleh karena itu, kehilangan K+ dapat

    mencapai 400 mEq harian dalam kasus diare berat.

    2.2.1 Manifestasi Klinis pada Hipokalemia

    Hipokalemia berat, dimana kadar K+ plasma kurang dari 2,5 mEq/L, dapat

    dikaitkan dengan kelemahan seluruh otot, tetapi dalam banyak kasus, hipokalemia

    dapat terjadi asimtomatik. Kelainan pada EKG adalah manifestasi utama

    hipokalemia, dan ditemukan dalam 50% kasus. Kelainan EKG tersebut berupa

    Gambar4. Pendekatan diagnosis pada hipokalemia

  • 8

    gelombang U yang menonjol (lebih dari 1 mm), inversi dan gelombang T yang

    rata, serta QT interval yang memanjang. Namun, perubahan ini tidak spesifik

    untuk hipokalemia. Perubahan gelombang T dan gelombang U dapat terlihat juga

    pada hipertrofi ventrikel kiri sementara QT interval yang memanjang juga dapat

    diakibatkan dari obat-obatan, hipokalsemia, ataupun hipomagnesemia.

    Hipokalemia saja tidak berisiko menimbulkan aritmia yang serius, namun

    pada kondisi tertentu (misalnya iskemia miokard) hipokalemia dapat

    meningkatkan risiko terjadinya aritmia.

    2.2.2 Manajemen Hipokalemia

    Pada keadaan hipokalemia yang pertama harus diperhatikan adalah

    menyingkirkan atau mengobati keadaan yang menyebabkan pergeseran kalium

    transelular (misalnya, alkalosis). Setiap penurunan 1 mEq/L K+ plasma

    menandakan hilangnya +10% total K+ tubuh. Pada dewasa dengan berat badan

    70kg dengan total K+ tubuh normal 50 mEq/kg, perkiraan defisit K+ terkait

    dengan hipokalemia progresif ditunjukkan pada Tabel 1. Perhatikan bahwa

    hipokalemia ringan (K+ plasma= 3 mEq/L) terkait dengan defisit K+ sebanyak

    175 mEq.

    Kalium Serum (mEq/L) Defisit Kalium

    mEq Total Kalium Tubuh (%)

    3.0 175 5

    2.5 350 10

    2.0 470 15

    1.5 700 20

    1.0 875 25

    Tabel 1. Defisit kalium pada hipokalemia

    Cairan pengganti yang biasa digunakan yaitu kalium klorida (KCl). KCl

    dalam ampul berisi 10, 20, 30, dan 40 mEq kalium. KCl merupakan larutan yang

    sangat hiperosmotik (2 mEq/mL memiliki osmolalitas 4000 mosm/kg H2O).

  • 9

    Larutan kalium fosfat berisi 4.5 mEq kalium dan 3 mmol fosfat per mL.

    Penggantian kalium menggunakan metode standar intravena dengan

    mencampurkan 20 mEq K+ dengan 100mL larutan isotonik selama satu jam.

    Maksimum penggantian kalium intravena biasanya pada 20 mEq/jam, tetapi dosis

    dapat ditingkatkan 40 mEq/jam, pada keadaan K+ plasma 30 mEq/L) maka menunjukkan terjadinya pergeseran transelular. Jika K+

    urin rendah (50.000/mm3) atau

  • 10

    trombositosis berat (trombosit>1juta/mm3). Ketika dicurigai pseudohyperkalemia

    sampel darah harus diulang.

    Kondisi yang terkait dengan pergeseran K+ keluar dari sel termasuk

    asidosis, rhabdomyolysis, sindrom lisis tumor, obat, dan transfusi darah.

    Mekanisme hubungan antara asidosis dan hiperkalemia adalah persaingan antara

    H+ dan K+ untuk situs yang sama pada membran pompa yang memindahkan K+

    ke dalam sel. Namun, hubungan sebab akibat antara asidosis dan hiperkalemia

    masih belum jelas karena asidosis organik (asidosis laktat dan ketoasidosis) tidak

    berhubungan dengan hiperkalemia, dan asidosis respiratorik tidak memiliki

    konsisten dan hubungan dengan hiperkalemia.

    Tumor lisis sindrom adalah kondisi akut, mengancam jiwa, yang muncul

    dalam waktu 7 hari setelah memulai terapi sitotoksik untuk keganasan tertentu

    (misalnya, limfoma non-Hodgkins). Tanda lain berupa hiperfosfatemia,

    hipokalsemia, dan hiperurisemia, yang sering disertai dengan acute kidney injury.

    Hiperkalemia adalah yang paling cepat mengancaman nyawa.

    Beberapa obat dapat menginduksi hiperkalemia baik dengan cara

    pergeseran transeluler maupun dengan mengganggu ekskresi kalium ginjal.

    Digitalis menghambat pertukaran membran pompa Na+-K+, tetapi hiperkalemia

    hanya terjadi pada toksisitas digitalis akut. Suksinilkolin adalah ultra short-acting

    neuromuscular blocking agent yang juga menghambat membran pompa Na+-K+

    (efek depolarisasi), dan menyebabkan peningkatan K+ plasma dalam jumlah kecil

    (

  • 11

    Hiperkalemia akibat obat-obat tersebut sering terjadi terutama bila

    dikombinasikan dengan suplemen K+ atau dengan keadaan insufisiensi renal.

    menginduksi pergeseran transeluler mengganggu ekskresi K+ ginjal

    beta-bloker ACE inhibitor

    digitalis angiotensin reseptor bloker

    succinylcholine diuretik hemat kalium

    NSAID

    Heparin

    Trimethoprin-Sulfamethoxazole

    Tabel 2. Obat-obat yang dapat menginduksi hiperkalemia

    Penyebab umum dari gangguan ekskresi K+ ginjal antara lain gagal ginjal,

    insufisiensi adrenal, dan obat-obatan. Pada gagal ginjal, hiperkalemia biasanya

    tidak terjadi sampai GFR turun dibawah 10mL/menit. Hiperkalemia dapat muncul

    sebelum penurunan GFR dibawah 10mL/menit pada gagal ginjal akibat nefritis

    interstitial. Insufisiensi adrenal mengganggu ekskresi kalium ginjal, tetapi

    hiperkalemia terlihat hanya pada insufisiensi adrenal kronis.

    Hiperkalemia dapat menjadi salah satu komplikasi dari transfusi darah

    massif (yaitu, penggantian darah setara dengan volume darah). Suhu yang

    digunakan untuk menyimpan sel darah merah (4C) dapat menutup pompa Na+-

    K+ dalam membran sel eritrosit, menyebabkan kebocoran stabil K+ keluar sel.

    Konsentrasi dalam supernatan terus meningkatkan sejalan dengan waktu

    penyimpanan. Setelah 18 hari penyimpanan (waktu penyimpanan darah rata-rata),

    beban kalium dalam satu kantong sel darah merah (PRC) mencapai 2 sampai 3

    mEq. Transfusi massif (biasanya minimal 6 unit PRC) memiliki beban K+

    minimal 12-18 mEq. Hal ini merupakan beban yang cukup besar, mengingat kadar

    K+ plasma sekitar 9-10mEq pada orang dewasa umumnya.

    Beban K+ dalam darah yang ditransfusikan biasanya dibersihkan oleh

    ginjal, tetapi ketika aliran darah sistemik terganggu (pada sebagian besar pasien

    yang membutuhkan transfusi darah masif), ekskresi K+ ginjal terganggu, dan K+

  • 12

    yang terdapat dalam darah yang ditransfusikan menumpuk. Volume transfusi yang

    dapat menybabkan hiperkalemia bervariasi, tetapi penelitian menunjukkan bahwa

    hiperkalemia mulai muncul setelah transfusi 7 unit merah sel darah.

    Hiperkalemia berat juga ditemukan pada orang dengan kelainan nafsu

    makan (pica) yang menelan 1500 batang korek api yang telah terbakar. Kelainan

    nafsu makan ini disebut dengan Cautopyreiophagia. Dilaporkan bahwa batang

    korek api yang telah terbakar kaya akan kalium klorat (KClO3), sehingga

    pengkonsumsian batang korek api yang telah terbakar dapat menyebabkan

    hiperkalemia.

    2.3.1 Manifestasi Klinik Hiperkalemia3

    Gejala utama hiperkalemia yang mengancam nyawa adalah perlambatan

    transmisi impuls di jantung (dari depolarisasi otot jantung), yang dapat

    berkembang menjadi heart block dan bradikardia cardiac arrest. Perubahan EKG

    pada hiperkalemia progresif paling awal ditandai dengan perubahan gelombang T.

    Perubahan gelombang T paling jelas terlihat di lead prekordial V2 dan V3 berupa

    gambaran T-tall, dan peaked T-wave. Perubahan selanjutnya pada keadaan

    hiperkalemia terlihat pada amplitudo gelombang P yang menurun dan interval PR

    yang memanjang. Gelombang P akhirnya menghilang dan QRS kompleks.

    Perubahan terakhir adalah ventrikel fibrilasi atau asistol.

    Gambar5. Perubahan EKG pada hiperkalemia

  • 13

    Perubahan EKG biasanya mulai muncul ketika K+ plasma mencapai

    7mEq/L, tetapi ambang batas untuk perubahan EKG dapat bervariasi. Hal ini

    ditunjukkan oleh laporan kasus yang menunjukkan tidak ditemukannya kelainan

    EKG pada pasien dengan kadar K+ plasma lebih dari 14mEq/L. Baik EKG

    maupun kadar K+ plasma, keduanya dapat digunakan dalam menentukan

    penatalaksanaan hiperkalemia.

    2.3.2 Manajemen Hiperkalemia Berat

    Hiperkalemia berat didefinisikan sebagai kadar K+ plasma lebih dari 6,5

    mEq/L, atau K+ terkait dengan perubahan EKG. Manajemen kondisi ini memiliki

    3 tujuan: (a) antagonism efek jantung dari hiperkalemia, (b) pergeseran transelular

    K+ ke dalam sel, dan (c) membuang kelebihan K+ dari tubuh.

    Kalsium meningkatkan perbedaan muatan listrik yang melintasi membran

    sel miokardium dan bersifat antagonis terhadap depolarisasi yang akibatkan oleh

    hiperkalemia. Preparat kalsium yang biasa digunakan adalah Kalsium glukonat.

    Respon terhadap kalsium singkat (20-30 menit) dan tidak menurunkan K+

    Tabel 2. Manajemen Hiperkalemia

  • 14

    plasma, sehingga manajemen selanjutnya (misalnya, insulin-glukosa) harus

    dimulai untuk mengurangi kadar K+ plasma. Kalsium harus digunakan dengan

    hati-hati pada pasien yang menerima digitalis karena hiperkalsemia memperburuk

    digitalis cardiotoxicity. Untuk pasien yang menerima digitalis, kalsium glukonat

    dapat ditambahkan ke 100 mL saline isotonik dan didiberikan dalam 20-30 menit.

    Kalsium kontraindikasi jika hiperkalemia merupakan manifestasi dari toksisitas

    digitalis.

    Pada keadaan hiperkalemia dengan syok sirkulasi atau cardiac arrest,

    kalsium klorida lebih disukai dibanding penggunaan kalsium glukonat. Satu

    ampul (10 mL) dalam 10% kalsium klorida memiliki kalsium elemental tiga kali

    lipat dibanding satu ampul pada 10% kalsium glukonat (270 mg vs 90 mg).

    Kalsium yang banyak berpotensi meningkatkan cardiac output dan menjaga irama

    pembuluh darah perifer. Osmolalitas kalsium klorida yaitu 2.000 mosm/kgH2O,

    sehingga penggantian cairan melalui aliran bebas CVC sangat dianjurkan.

    Insulin mendorong K+ ke dalam sel otot rangka dengan mengaktifkan

    membran pompa Na+-K+. Regimen insulin-dextrose akan mengurangi K+ plasma

    sebanyak +0,6 mEq/L. Pemberian dextrose secara drip intravena dianjurkan

    setelah pemberian insulin-dekstrosa (kecuali pasien hiperglikemik) karena ada

    risiko hipoglikemia dalam satu jam. Pada keadaan yang disertai hiperglikemia,

    insulin harus digunakan tanpa dextrose. Efek insulin bersifat sementara (efek

    puncak pada 30-60 menit), sehingga manajemen untuk meningkatkan ekskresi K+

    harus segera dimulai.

    Pemberian inhalasi 2 agonist tidak disarankan pada hiperkalemia berat.

    Dosis inhalasi 2-agonis (misalnya albuterol) diperlukan setidaknya 4 kali dosis

    terapi untuk menghasilkan penurunan K+ plasma yang signifikan (0,5-1 mEq/L).

    Hal ini dapat menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya,

    takikardia). Oleh karena itu, agen ini tidak disarankan untuk hiperkalemia berat.

    Penggunaan bikarbonat juga tidak disarankan dalam manajemen

    hiperkalemia berat. Ada dua alasan untuk menghindari penggunaa bikarbonat

    untuk pengelolaan hiperkalemia berat: (a) infus jangka pendek bikarbonat (hingga

  • 15

    empat jam) tidak memiliki efek terhadap kadar K+ plasma, dan (b) bikarbonat

    dapat membentuk kompleks dengan kalsium, yang kontraproduktif kalsium.

    Kelebihan K+ dapat dibuang melalui usus (dengan resin kation-exchange)

    atau langsung dari aliran darah (dengan hemodialisis). Sodium polystyrene

    sulfonate (Kayexalate) adalah resin kation-exchange yang meningkatkan buangan

    K+ di mukosa usus. Kayexalate dapat diberikan oral atau dengan retensi enema.

    Kayexalate biasanya dicampur dengan sorbitol untuk mencegah concretions.

    Setiap gram resin mengikat 0,65 mEq K+, dan memerlukan setidaknya 6 jam

    untuk efek maksimum. Komplikasi dari penggunaan kayexalate salah satunya lesi

    nekrotik dalam usus. Meskipun ini merupakan komplikasi jarang, namun angka

    kematiannya cukup tinggi (33%).

    Metode yang paling efektif untuk membuang kalium adalah dengan

    hemodialisis, yang dapat menghasilkan penurunan 1mEq/L K+ plasma setelah

    satu jam, dan 2 mEq/L penurunan setelah 3 jam.

    2.4 Distribusi Magnesium3

    Magnesium dibutuhkan oleh organisme aerobik untuk pelepasan energi

    dari ATP. Magnesium merupakan kofaktor penting untuk enzim ATPase yang

    menghidrolisis ATP. Oleh karena itu, magnesium sangat penting untuk

    penyediaan energi, dan memungkinkan suatu organisme memanfaatkan energi

    tersebut untuk mempertahankan hidup.

    Peran yang lebih spesifik dari magnesium yaitu berfungsinya pompa Na+-

    K+ (yang merupakan magnesium-dependent ATPase) dengan optmikal, dan

    menghasilkan gradien listrik yang melintasi membran sel. Magnesium juga

    mengatur pergerakan kalsium ke dalam sel otot polos, yang memberikan peran

    penting dalam pemeliharaan kekuatan kontraktilitas jantung dan pembuluh darah

    perifer.

    Rata-rata orang dewasa mengandung sekitar 24g (1 mol, atau 2.000 mEq)

    magnesium dimana sebagiannya tersimpan di tulang, sementara kurang dari 1%

    nya terletak di plasma.

  • 16

    Serum magnesium lebih disukai daripada plasma untuk tes magnesium

    karena antikoagulan yang digunakan untuk sampel plasma dapat terkontaminasi

    dengan sitrat atau anion lainnya yang mengikat magnesium. Kisaran kebutuhan

    untuk serum Mg tergantung pada asupan magnesium harian yang bervariasi.

    Kisaran normal serum Mg untuk orang dewasa yang sehat di Amerika Serikat

    ditunjukkan pada Tabel 3.

    Catatan: laboratorium klinik biasanya melaporkan konsentrasi Mg serum dalam

    mg/dL (karena sebagian Mg terikat dengan protein plasma), sedangkan literatur

    medis biasanya menggunakan mEq/L untuk konsentrasi Mg serum. Konversi

    adalah sebagai berikut:

    di mana mol wt adalah berat molekul (berat atom dalam magnesium) dan valence

    adalah jumlah charges pada atom atau molekul. Magnesium memiliki berat atom

    24 dan valensi 2, sehingga konsentrasi Mg serum dari 1,7 mg/dL setara untuk 1,4

    mEq/L (1,7 10) / 24 2 =1,4 mEq/L.

    Sekitar 67% dari magnesium dalam plasma dalam bentuk terionisasi

    (aktif) bentuk, dan sisanya 33% terikat pada protein plasma (19%) dan chelated

    dengan divalent anion seperti fosfat dan sulfat (14%).

    Tabel 3. Kisaran nilai normal Mg serum

  • 17

    Uji standar untuk magnesium (yaitu, spektrofotometri) mengukur tiga

    fraksi. Oleh karena itu, ketika serum Mg abnormal rendah, sulit untuk

    menentukan apakah masalahnya pada penurunan fraksi terionisasi (aktif), atau

    penurunan fraksi terikat (misalnya pada hypoproteinemia). Tingkat Mg terionisasi

    dapat diukur dengan elektroda-ion spesifik, tapi ini tidak tersedia secara rutin.

    Namun, karena hanya sejumlah kecil magnesium yang terdapat dalam plasma,

    perbedaan antara magnesium terionisasi dan terikat mungkin tidak cukup besar

    untuk menimbulkan perbedaan secara klinis.

    Rentang normal untuk ekskresi urin Mg ditunjukkan pada Tabel 4. Pada

    keadaan dibawah nilai normal, hanya sebagian kecil magnesium yang

    diekskresikan dalam urin. Ketika asupan magnesium kurang, ginjal akan

    menghemat magnesium dengan cara menurunkan ekskresi magnesium urin

    dengan nilai yang . Hal ini ditunjukkan pada Gambar 6

    Tabel 4. Kadar magnesiumdalam plasma dan urin

    Gambar 6 Kadar Magnesium dalam urin dan plasma pada kondisi diet Mg

  • 18

    Perhatikan bahwa Mg serum tetap dalam kisaran normal setelah memulai

    diet Mg pada hari ketiga, sedangkan ekskresi Mg urin mulai menurun. Hal ini

    menggambarkan nilai relatif ekskresi magnesium urin dalam mendeteksi

    defisiensi magnesium.

    2.5 Deplesi Magnesium3

    Hypomagnesemia dilaporkan sebanyak 65% dari pasien di ICU.

    Penurunan magnesium tidak selalu disertai dengan hypomagnesemia, sehingga

    kejadian deplesi magnesium mungkin lebih tinggi. Bahkan, deplesi magnesium

    digambarkan sebagai kelainan elektrolit yang paling jarang terdiagnosis saat

    praktek klinis. Hal ini disebabkan karena kadar Mg serum tidak dapat mendeteksi

    deplesi magnesium secara tepat. Untuk mengetahui adanya ketidakseimbangan

    elektrolit ini, penting mengetahui faktor-faktor predisposisi dari deplesi

    magnesium. Faktor predisposisi umum dari deplesi magnesium tercantum dalam

    Tabel 5.

    Diuretik adalah penyebab utama dari kekurangan magnesium. Diuretik

    menginduksi inhibisi reabsorpsi natrium yang juga mengganggu reabsorpsi

    magnesium, dan mengakibatkan kehilangan magnesium melalui urin yang sejajar

    dengan kehilangan natrium melalui urin. Ekskresi magnesium urin paling

    menonjol pada penggunaan loop-diuretik (furosemid dan asam ethacrynic).

    Tabel 5. Faktor predisposisi dari deplesi magnesium

  • 19

    Deplesi magnesium terjadi pada 50% pasien yang menerima terapi furosemide

    jangka panjang. Diuretik thiazide menunjukkan kecenderungan yang sama untuk

    deplesi magnesium, tetapi hanya pada pasien dengan usia lanjut. Deplesi

    magnesium tidak terjadi pada terapi menggunakan diuretik Hemat kalium.

    Beberapa antibiotik juga menyebabkan deplesi magnesium, antara lain

    aminoglikosida, amfoterisin dan pentamidin. Aminoglikosida memblokir

    reabsorpsi magnesium pada loop Henley asenden, dan hipomagnesemia terjadi

    pada 30% pasien yang menerima terapi aminoglikosida.

    Terdapat beberapa laporan kasus yang menunjukkan bahwa penggunaan

    jangka panjang dari proton pump inhibitor (14 hari hingga 13 tahun) dapat

    dikaitkan dengan hipomagnesemia berat. Hal ini mungkin dikarenakan

    penyerapan magnesium berkurang di saluran pencernaan. Obat lain yang terkait

    dengan deplesi magnesium antara lain digitalis, epinefrin, dan agen kemoterapi

    cisplatin dan siklosporin. Digitalis dan epinefrin menyebabkan perpindahan

    magnesium ke dalam sel, sedangkan cisplatin dan siklosporin meningkatkan

    ekskresi magnesium ginjal.

    Hypomagnesemia dilaporkan sebanyak 30% dari kasus penyalahgunaan

    alkohol. Deplesi Magnesium juga dipengaruhi sejumlah faktor, termasuk gizi

    buruk dan diare kronis. Selain itu didapatkan hubungan antara deplesi magnesium

    dan defisiensi tiamin. Magnesium diperlukan untuk transformasi tiamin menjadi

    tiamin pirofosfat, sehingga deplesi magnesium dapat menyebabkan defisiensi

    tiamin pada orang yang mendapat asupan tiamin yang adekuat. Untuk alasan ini,

    kadar magnesium harus dipantau secara berkala pada pasien yang menerima

    suplemen tiamin harian.

    Sekresi dari lower GI tract kaya akan magnesium (10-14 mEq/L), sehingga

    pada kondisi diare dapat disertai dengan deplesi magnesium berat. Sementara

    sekresi upper GI tract tidak kaya akan magnesium (1-2 mEq/L), sehingga muntah

    tidak menimbulkan risiko untuk terjadinya deplesi magnesium.

    Deplesi magnesium umum terjadi pada pasien diabetes tergantung insulin,

    ankemungkin akibat dari kehilangan magnesium melalui urin yang menyertai

    glikosuria. Hypomagnesemia juga dilaporkan sebanyak 80% pada pasien dengan

  • 20

    akut miokard infark. Mekanisme terjadinya masih belum jelas, tetapi mungkin

    karena pergeseran intraseluler Mg dari kelebihan katekolamin.

    2.5.1 Manifestasi Klinis Hipomagnesemia

    Tidak ada manifestasi klinis spesifik untuk deplesi magnesium, tetapi

    berikut temuan klinis yang mendasari kekurangan magnesium.

    1. Kelainan elektrolit lain

    Deplesi magnesium sering disertai dengan deplesi kalium, fosfat, dan

    kalsium. Pada pasien dengan hipokalemia dilaporkan 40% kasus mengalami

    deplesi magnesium. Hipokalemia yang disertai deplesi magnesium terkadang sulit

    dikoreksi sebelum hipomagnesemia terkoreksi. Deplesi magnesium juga dapat

    menyebabkan hipokalsemia akibat gangguan pelepasan parathormon dan

    gangguan respon end-organ terhapad parathormon. Seperti dengan hipokalemia,

    hipokalsemia yang disertai deplesi magnesium sulit untuk dikoreksi kecuali defisit

    magnesium terkoreksi. Deplesi fosfat merupakan efek dari deplesi magnesium.

    Mekanisme ini berhubungan dengan ekskresi magnesium ginjal.

    2. Aritmia

    Magnesium diperlukan agar fungsi pompa membran pada membran sel

    jantung bekerja dengan baik. Deplesi magnesium akan menyebabkan depolarisasi

    sel jantung dan menimbulkan takiaritmia. Baik digitalis dan deplesi magnesium

    dapat menghambat pompa membran. Deplesi magnesium akan memperbesar efek

    digitalis dan menimbulkan digitalis cardiotoxicity. Magnesium intravena dapat

    menekan aritmia akibat intoksikasi digitalis. Magnesium intravena juga dapat

    menyingkirkan aritmia refrakter (yaitu, yang tidak responsif terhadap agen

    antiaritmia yang lama). Efek ini mungkin karena adanya efek membrane-

    stabilizing dari magnesium yang tidak berhubungan dengan kadar magnesium.

    Salah satu aritmia serius yang berhubungan dengan deplesi magnesium adalah

    torsade de pointes.

    3. Kelainan neurologis

    Manifestasi neurologis dari defisiensi magnesium termasuk gangguan

    mental, kejang umum, tremor, dan hyperreflexia, tetapi hal ini jarang terjadi, tidak

  • 21

    spesifik, dan sulit dalam penegakan diagnosisnya. Terdapat suatu sindrom

    neurologis yang dapat mereda dengan terapi magnesium yang presentasi klinisnya

    ditandai dengan ataksia, bicara cadel, asidosis metabolik, hipersalivasi, kejang

    otot difus, kejang umum, dan obtundation progresif. Gambaran klinis tersebut

    dikenal dengan istilah reactive central nervous system magnesium deficiency.

    Sindrom ini berhubungan dengan penurunan kadar magnesium dalam cairan

    serebrospinal, dan manajemen pada kasus ini dengan penggantian magnesium

    secara intravena. Prevalensi dari sindrom ini masih belum diketahui.

    2.5.2 Penegakan Diagnosis Hipomagnesemia

    Kadar Mg serum merupakan penanda yang tidak sensitif terhdap deplesi

    magnesium. Ketika deplesi magnesium deplesi disebabkan faktor nonrenal

    (seperti diare), ekskresi magnesium urin adalah tes yang lebih sensitif untuk

    deplesi magnesium tersebut. Namun, sebagian besar kasus deplesi magnesium

    adalah karena peningkatan ekskresi magnesium ginjal, sehingga penilaian

    diagnostik ekskresi magnesium urin menjadi terbatas.

    Saat tidak terdapat buangan magnesium ginjal, ekskresi magnesium dalam

    urin menjadi indeks paling sensitif terhadap jumlah magnesium tubuh. Normalnya

    laju reabsorbsi magnesium mendekati tingkat maksimum (Tmax), sehingga

    sebagian besar beban magnesium yang diserap diekskresikan dalam urin saat

    cadangan magnesium dalam batas normal. Namun, ketika cadangan magnesium

    berkurang, tingkat reabsorpsi magnesium jauh lebih rendah daripada Tmax,

    sehingga lebih banyak magnesium yang diserap dan lebih sedikit yang akan

    diekskresikan dalam urin. Deplesi magnesium mungkin terjadi bila kurang dari

    50% Mg yang didapatkan dalam urin, dan mungkin tidak terjadi deplesi

    magnesium jika lebih dari 80% Magnesium diekskresikan dalam urin. Hal ini

    penting yang harus ditekankan adalah bahwa tes ini tidak dapat digunakan pada

    pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau keadaan ongoing renal magnesium

    wasting.

  • 22

    2.5.3 Manajemen Hipomagnesemia

    Preparat magnesium tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral.

    Preparat oral dapat digunakan untuk terapi pemeliharaan harian (5 mg/kg pada

    orang normal). Namun, karena penyerapan preparat oral magnesium tidak terlalu

    jelas, magnesium parenteral disarankan dalam manajemen hypomagnesemia.

    Tabel 6. Tes resistensi magnesium

    Tabel 7. Sediaan Magnesium

  • 23

    Preparat intravena standar yaitu magnesium sulfat (MgSO4). Setiap gram-

    nya mengandung 8mEq (4mmol) magnesium. Larutan magnesium sulfat 50%

    (500 mg/mL) memiliki osmolaritas 4.000 mosm/L, sehingga harus diencerkan

    dengan 10% (100 mg/mL) atau 20% (200mg/mL) larutan untuk digunakan

    intravena. Larutan ringer tidak boleh digunakan sebagai pengencer untuk MgSO4

    karena kalsium dalam larutan ringer akan menetralkan aksi magnesium yang

    terdapat di cairan pengganti. Berikut adalah pedoman penggantian magnesium

    yang direkomendasikan untuk pasien dengan fungsi ginjal yang normal:

    1. Hypomagnesemia ringan, asimtomatik

    Jika serum Mg 1-1,4 mEq/L tanpa komplikasi:

    1) Asumsikan defisit magnesium total 1-2 mEq/kg.

    2) Karena 50% dari magnesium yang diserap akan hilang melalui urin,

    jadi total penggantian magnesium dianggap dua kali dari jumlah

    defisit magnesium.

    3) Penggantian 1 mEq/kg dalam 24 jam pertama, dan 0,5 mEq/kg setiap

    hari selama 3-5 hari berikutnya.

    2. Hypomagnesemia sedang

    Jika serum Mg

  • 24

    3) Tambahkan 5g MgSO4 setiap 12 jam (dengan infus kontinu) selama 5

    hari berikutnya

    Pemantauan terapi pengganti magnesium dilakukan dengan tes resistensi

    magnesium. Kadar Mg serum akan meningkat setelah pemberian awal bolus

    magnesium, tetapi kadarnya akan mulai menurun setelah 15 menit. Oleh karena

    itu, penting untuk menambahkan magnesium secara kontinu dengan infus. Kadar

    Mg serum akan kembali normal setelah 1 sampai 2 hari, tetapi akan memakan

    waktu beberapa hari untuk mengisi total cadangan magnesium tubuh. Tes retensi

    magnesium dapat digunakan untuk mengidentifikasi end-point terapi penggantian

    kalium. Penggantian magnesium dilanjutkan sampai ekskresi magnesium urin

    mencapai 80% dari beban magnesium yang diberikan.2

    Hipomagnesemia jarang ditemukan pada penderita dengan insufisiensi

    renal, tetapi dapat terjadi pada diare berat atau kronis dan kadar kreatinin

    clearance >30mL/menit. Ketika penggantian magnesium diberikan untuk

    penderita dengan insufisiensi renal, jumlah magnesium tidak lebih dari 50% dari

    pedoman terapi pengganti, dan serum Mg harus dipantau secara ketat.

    2.6 Hipermagnesemia3

    Hipermagnesemia lebih jarang terjadi dibanding deplesi magnesium.

    Hipermagnesemia, dimana kadar Mg serum lebih dari 2mEq/L, terjadi pada 5%

    pasien yang dirawat dirumah sakit. Terdapat beberapa kondisi yang menjadi

    faktor predisposisi dari hipermagnesemia, antara lain insufisiensi renal, hemolysis,

    ketoasidosis diabetikum, hiperparatiroidism, insufisiensi adrenal, dan intoksikasi

    lithium.

    Hipermagnesemia paling sering terjadi akibat gangguan ekskresi

    magnesium ginjal, dimana terjadi ketika kreatinin klearens dibawah 30mL/menit.

    Namun, hipermagnesemia tidak selalu ditemukan pada insufisiensi renal kecuali

    jika asupan magnesium meningkat. Hipermagnesemia juga dapat terjadi pada

    hemolysis karena konsentrasi magnesium di eritrosit tiga kali konsentrasi di

    serum. Setiap terjadi 250mL eritrosit yang lisis, diperkirakan terjadi peningkatan

  • 25

    serum magnesium 0,1mEq/L. Hipermagnesemia hanya terjadi pada hemolysis

    masif.

    2.6.1 Manifestasi Klinis Hipermagnesemia

    Magnesium secara fisiologis merupakan calcium blocker, dan gejala yang

    paling berbahaya dari hipermagnesemia adalah sifat antagonist nya terhadap

    kalsium dalam sistem kardiovaskular. Depresi kardiovaskular paling banyak

    akibat terhambatnya konduksi jantung, sementara depresi konraktiliti dan

    vasodilatasi jarang terjadi. Berikut daftar manifestasi klinis hipermagnesemia,

    2.6.2 Manajemen Hipermagnesemia

    Hemodialisis merupakan terapi pilihan pada hipermagnesemia berat.

    Kalsium glukonat intravena (1g IV dalam 2-3 menit) dapat menjadi antagonis dari

    efek hipermagnesemia terhadap kardiovaskular, sampai dialysis dapat dilakukan.

    Jika cairan dan fungsi renal dalam keadaan baik, infus dengan volume yang cukup

    banyak dikombinasikan dengan furosemide dapat efektif mengurangi magnesium

    serum pada kasus hipermagnesemia ringan.

  • 26

    BAB III

    KESIMPULAN

    Kalium dalam jumlah besar terdapat dalam intraselular. Sebanyak 98%

    dari total kalium ditubuh terletak dalam intraselular, sementara 2% terdapat di

    cairan ekstraselular. Berkurangnya kadar kalium plasma menjadi kurang dari

    3,5mEq/L disebut hipokalemia. Hipokalemia berat, dimana kadar K+ plasma

    kurang dari 2,5 mEq/L, dapat dikaitkan dengan kelemahan seluruh otot, tetapi

    dalam banyak kasus, hipokalemia dapat terjadi asimtomatik. Hipokalemia saja

    tidak berisiko menimbulkan aritmia yang serius, namun pada kondisi tertentu

    (misalnya iskemia miokard) hipokalemia dapat meningkatkan risiko terjadinya

    aritmia. Jika hipokalemia terjadi secara terus-menerus setelah penggantian kalium,

    maka adanya deplesi magnesium dapat dipertimbangkan.

    Hiperkalemia, dimana kadar K+ plasma lebih dari 5,5 mEq/L, dapat

    menjadi kondisi yang mengancam jiwa. Gejala utama hiperkalemia yang

    mengancam nyawa adalah perlambatan transmisi impuls di jantung (dari

    depolarisasi otot jantung), yang dapat berkembang menjadi heart block dan

    bradikardia cardiac arrest. Perubahan EKG pada hiperkalemia progresif paling

    awal ditandai dengan perubahan gelombang T. Dalam tatalaksana hiperkalemia,

    penggunaan kalsium sebagai antagonis efek hiperkalemia terhadap jantung diikuti

    dengan menurunkan serum K+ ( dapat menggunakan insulin-glukosa), dan mulai

    langkah-langkah untuk membuang kelebihan K+ (misalnya, menggunakan

    Kayexalate).

    Kurang dari 1% total magnesium terletak di plasma, sehingga penurunan

    magnesium tidak selalu disertai dengan hypomagnesemia. Hypomagnesemia

    dilaporkan sebanyak 65% dari pasien di ICU sementara kejadian deplesi

    magnesium mungkin lebih tinggi. Terapi diuretik dengan furosemide

    merupakanpenyebab utama penipisan magnesium di ICU. Deplesi magnesium

    harus dicurigai pada setiap pasien dengan hipokalemia yang diinduksi diuretik.

    Terapi pengganti magnesium akan memperbaiki serum Mg sebelum jumlah

  • 27

    cadangan magnesium tubuh terisi penuh. Indikator terbaik untuk mengetahui

    cadangan magnesium kembali penuh adalah dengan tes retensi magnesium.

    Hipermagnesemia lebih jarang terjadi dibanding deplesi magnesium.

    Hipermagnesemia, dimana kadar Mg serum lebih dari 2mEq/L, bersifat

    antagonist terhadap kalsium dalam sistem kardiovaskular sehingga dapat

    menimbulkan fisrt degree AV Block, Complete Heart Block, dan Cardiac Arrest.

    Hemodialisis merupakan terapi pilihan pada hipermagnesemia berat. Jika cairan

    dan fungsi renal dalam keadaan baik, infus dengan pemberian volume yang cukup

    banyak dikombinasikan dengan furosemide dapat efektif mengurangi magnesium

    serum pada kasus hipermagnesemia ringan.

  • 28

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Rismawati Yaswir, Ira Ferawati. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan

    Natrium, Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. FK UNAND;

    Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2), 80-85. Diunduh di

    http://jurnal.fk.unand.ac.id pada 30 Juli 2015

    2. Guyton A.C, Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-11. EGC;

    Jakarta. 2008. 307-400.

    3. Marino PL. Renal and Electrolyte Disorder. In: Marino PL, ed. The ICU

    Book 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014, 639-665.

    4. Gums JG. Magnesium in cardiovascular and other disorders. Am J Health-

    Syst Pharm. 61:1569-76. 2004. Diunduh di

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ pada 30 Juli 2015