musyawarah, mufakat, dan demokrasi menurut pandangan islam.docx

37
Musyawarah berasal dari kata Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu.Istilah-istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern tentang musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”. Kewajiban musyawarah hanya untuk urusan keduniawian. Jadi musyawarah adalah merupakan suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian. Saat ini musyawarah selalu dikait-kaitkan dengan dunia politik, demokrasi.Bahkan hal tersebut tidak dapat dipisahkan , pada prinsipnya musyawarah adalah bagian dari demokrasi, dalam demokrasi pancasila penentuan hasil dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dan jika terjadi kebuntuan yang berkepanjangan barulah dilakukan pemungutan suara, jadi demokrasi tidaklah sama dengan votting.Cara votting cenderung dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis, menghemat waktu dan lebih simpel daripada musyawarah yang berbelit-belit itulah sebabnya votting cenderung identik dengan demokrasi padahal votting sebenarnya adalah salah satu cara dalam mekanisme penentuan pendapat dalam sistem demokrasi. Disyari’atkannya Musyawarah Syura atau pengambilan pendapat hukumnya sunnah dan khusus bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman: ْ مُ هَ لْ رِ فْ غَ تْ س اَ وْ مُ هْ نَ عُ فْ ع اَ فَ كِ لْ وَ حْ نِ م واُ ّ ضَ فْ ن اَ لِ بْ لَ قْ ل اَ , ي.ظِ لَ غ اً ّ , ظَ فَ تْ نُ كْ وَ لَ وْ مُ هَ لَ تْ نِ لِ َ ّ اَ نِ مٍ ةَ مْ حَ ا رَ مِ بَ فَ ن. يِ لِ ّ كَ وَ تُ مْ ل اُ ّ تِ حُ . يَ َ ّ اَ ّ نِ L اِ َ ّ ى اَ لَ غْ لَ ّ كَ وَ P تَ فَ تْ مَ رَ ع اَ ذِ L اَ فِ رْ مَ V اْ ال. ىِ فْ مُ هْ رِ اوَ Y شَ وMaka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu

Upload: loyanti

Post on 16-Nov-2015

123 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Musyawarah berasal dari kata Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu.Istilah-istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern tentang musyawarah dikenal dengan sebutan syuro, rembug desa, kerapatan nagari bahkan demokrasi. Kewajiban musyawarah hanya untuk urusan keduniawian. Jadi musyawarah adalah merupakan suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian.Saat ini musyawarah selalu dikait-kaitkan dengan dunia politik, demokrasi.Bahkan hal tersebut tidak dapat dipisahkan , pada prinsipnya musyawarah adalah bagian dari demokrasi, dalam demokrasi pancasila penentuan hasil dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dan jika terjadi kebuntuan yang berkepanjangan barulah dilakukan pemungutan suara, jadi demokrasi tidaklah sama dengan votting.Cara votting cenderung dipilih oleh sebagian besar negara demokrasi karena lebih praktis, menghemat waktu dan lebih simpel daripada musyawarah yang berbelit-belit itulah sebabnya votting cenderung identik dengan demokrasi padahal votting sebenarnya adalah salah satu cara dalam mekanisme penentuan pendapat dalam sistem demokrasi.

Disyariatkannya MusyawarahSyura atau pengambilan pendapat hukumnya sunnah dan khusus bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imran [3]: 159)Ini seluruhnya dari Rasul untuk seluruh kaum Muslim. Dan ayat yang kedua berbunyi: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS. asy-Syura [42]: 38)Sifat-sifat itu hanya ada pada kaum Muslim. Abu Hurairah ra berkata: Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak musyawarahnya dari pada Rasulullah saw terhadap para sahabatnya.Hasan ra berkata: Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka memperoleh petunjuk agar urusan mereka mendapatkan bimbingan. Adapun penyampaian pendapat boleh didengar dari kaum Muslim maupun non muslim, karena Rasul telah mentaqrirkan suatu pendapat yang ada pada hilf al-fudlul. Beliau bersabda: Jika aku dipanggil bersamanya, sungguh aku akan memenuhi (panggilannya), dan aku tidak ingin melanggarnya. (Ketahuilah) bahwasanya hal itu bagiku (lebih baik dari pada) unta merah. Padahal pendapat tersebut adalah pendapat orang-orang musyrik.Landasan MusyawarahYang kini samar dalam benak kebanyakan kaum Muslim adalah perkara-perkara apa yang diputuskan melalui musyawarah? apakah wajib mengambil pendapat mayoritas tanpa melihat lagi benar atau salahnya? atau wajib mengambil pendapat yang benar tanpa memandang lagi mayoritas atau minoritas?Untuk mengetahui jawaban perkara-perkara tadi diperlukan pemahaman terhadap realita tentang pendapat, dilihat dari sisi keberadaannya sebagai pendapat. Apa sebenarnya pendapat itu? Kemudian diperlukan pemahaman tentang dalil-dalil syara yang rinci, yang mengupas tentang pengambilan pendapat. Selanjutnya penerapan dalil-dalil tersebut terhadap realita tentang pendapat dengan penerapan yang bersifat tasyriiy.Realita PendapatPendapat yang ada di dunia ini bisa digolongkan dalam empat jenis, yakni:1. Hukum syara.2. Definisi (terminologi) suatu perkara dari sekian banyak perkara. Baik definisi syari atau definisi tentang suatu fakta/realita.3. Pemikiran mengenai suatu topik, atau perkara yang bersifat seni/teknik, yang dipahami orang yang ahli dan spesialis (pakarnya).4. Pendapat yang mengarah kepada suatu aktivitas diantara berbagai aktivitas untuk dilaksanakan.Syuro Berlaku Untuk Semua Jenis PendapatNash al-Quran menunjukkan bahwa syura itu terkait dengan seluruh pendapat yang ada. Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka. (QS. asy-Syura [42]: 38)Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran [3]: 159)Kalimatnya disini berbentuk umum, kata amruhum berarti perkara kaum Muslim, mencakup seluruh perkara. Sedangkan kata al-amru, alif lam disini untuk jenis, maksudnya jenis perkara. Bentuk umum tetap berlaku umum selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan syura dalam perkara apapun, sehingga syura bersifat umum mencakup seluruh pendapat.Landasan Pengambilan Keputusan Pendapat jenis pertama landasan pengambilan keputusannya adalah kekuatan dalil.Dalam kasus perjanjian hudaybiyah Rasulullah justru mengambil pendapat yang bertentangan dengan pendapat semua sahabat,Umar bin Al Khaththab radliallahu anhu berkata: Maka aku menemui Nabi Allah shallallahu alaihi wasallam lalu aku bertanya: Bukankah Anda ini benar-benar Nabi Allah? Beliau menjawab: Ya benar. Aku katakan: Bukankah kita berada diatas kebenaran sedangkan musuh-musuh kita di atas kebatilan. Beliau menjawab: Ya benar. Aku katakan: Lalu kenapa kita terima penghinaan ini kepada agama kita? Beliau berkata: Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku. (HR Bukhari) Pendapat jenis kedua dan ketiga landasan pengambilan keputusannya adalah ketepatan atau kesesuaian dengan fakta yg didefinisikan.Dalam perang Badar, ketika Nabi dan kaum Muslim sama-sama singgah di sebuah tempat yang berdekatan dengan mata air di daerah Badar. Hubab bin al-Munzhir keberatan singgah (dan mendirikan pos) di tempat tersebut, lalu ia berkata kepada Rasul, Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menganggap bahwa tempat singgah ini telah diwahyukan oleh Allah kepadamu sehingga tidak ada hak bagi kami untuk mendahului maupun mundur darinya? Ataukah ini merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya saja? Kemudian Rasul menjawab: Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya. Maka Hubab bin al-Munzhir berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini bukanlah tempat singgah yang layak. Kemudian dia menunjukkan suatu tempat. Rasulullah tidak lagi berdiam diri langsung berdiri bergegas bersama-sama dengan yang lain mengikuti pendapat Hubab bin al-Munzhir. (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam hal 598)Dalam kasus ini Rasul meninggalkan pendapatnya dan juga tidak kembali kepada pendapat para jamaah (mayoritas), melainkan mengikuti pendapat yang benar. Sehingga cukup pengambilan dari satu orang sesuai dengan persoalan yang disabdakan Rasul: Ia merupakan pendapat, peperangan dan tipu daya.Dalam perang Ahzab (Khandaq/parit) Rasulullah saw bermusyawarah dengan Pemimpin Aus dan khazraj (Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah) tentang perdamaian yang akan Beliau lakukan dengan Bani Ghathafan untuk memecahkan kekuatan pasukan sekutu kafir Quraisy. Kedua sahabat itu berkata: Wahai Rasulullah, jika usulan itu datangnya dari langit (wahyu) maka laksanakanlah! Namun apabila usulan itu masih bisa di ubah dengan apa yang anda perintahkan, maka keputusan kami serahkan sepenuhnya kepada anda. Kami hanya bisa patuh dan melaksanakannya. Akan tetapi jika usulan tersebut hanya sekedar usulan yang masih mungkin untuk dimusyawarahkan lagi, maka pilihan kami hanyalah pedang (berperang) Rasulullah bersabda: Jika memang Allah memerintahkan hal itu kepada diriku, pasti aku tidak akan mengajak kalian berdua untuk bermusyawarah (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam hal 190) Pendapat jenis keempat landasan pengambilan keputusannya adalah suara mayoritas.Rasulullah bersabda kepada Abu Bakr dan Umar: Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil permufakatan (masyurah), maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua. (HR Ahmad) Dalam kasus perang uhud, Rasulullah saw telah mengumpulkan para pakar (pemuka) dari kaum Muslim termasuk orang yang seakan-akan tampak ke-Islamannya (munafik-pen) dan mereka bermusyawarah. Lalu Nabi saw berpendapat bahwa lebih baik mereka berjaga-jaga (bertahan) di kota Madinah dan membiarkan pasukan Quraisy berada diluar Madinah. Pimpinan kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul berpendapat seperti pendapat Nabi, dan pendapat seperti ini juga dianut para pemuka sahabat. Tetapi ada pendapat dari kalangan pemuda dan orang-orang yang memiliki semangat pembelaan yang kuat yang tidak hadir pada perang Badar dan juga yang telah ikut perang badar dan menang, yang berpendapat lebih baik keluar (Madinah) untuk menyongsong dan melawan musuh. Maka muncullah mayoritas dukungan terhadap pendapat para pemuda tadi sehingga Rasul menyetujui pendapat mereka dan mengikuti pendapat mayoritas. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw menyetujui pendapat mayoritas dan beramal sesuai dengan pendapat tersebut serta meninggalkan pendapatnya dan pendapat para pemuka sahabat, karena mereka berada pada posisi minoritas, hingga orang-orang menyesal (karena tidak sependapat dg Rasulullah) lalu mereka pergi menghadap Rasulullah dan berkata: Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan. Nabi tetap menolak permintaan mereka : Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.Penentuan Jenis PendapatKadangkala penerapan dalil-dalil terhadap berbagai pendapat yang ada di dunia terdapat kesamaran mengenai perbedaan antara peristiwa Badar dengan peristiwa Uhud. Kadang orang mengatakan bahwa di dalam pembahasan realita tentang pendapat tidak terdapat perbedaan antara pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas dengan pendapat yang menghantarkan kepada suatu pemikiran, karena pada akhirnya semua itu kembali kepada suatu aktivitas. Lalu dari mana datangnya perbedaan diantara keduanya?Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide hanya membahas topiknya saja tanpa melihat kepada aktivitas. Jadi, fokus pembahasannya adalah topiknya bukan aktivitas. Lagi pula yang diinginkan dari pemahaman tersebut adalah tercapainya fikrah/pemikiran tentang topik yang dibahas tanpa memperhatikan lagi aktivitas, atau tanpa memperhatikan lagi aktivitas yang akan dihasilkan fikrah tersebut. Misalnya, kaum Muslim keluar untuk memerangi riddah (orang-orang murtad) yang dianjurkan oleh Abu Bakr, dengan alasan bahwa hal itu adalah pemberontakan sekelompok masyarakat dalam rangka menghindari pelaksanaan hukum-hukum Islam. Sementara yang dianjurkan Umar beralasan bahwa hal itu adalah perang kelompok yang kuat dalam menentang negara, dan kadangkala negara tidak berdaya memerangi mereka. Oleh karena itu Abu Bakr berkata: Demi Allah, kalau saja mereka enggan (tidak membayar zakat meskipun berupa-pen) (tali) kekang unta, dimana mereka pernah menunaikannya (zakat) kepada Rasulullah, maka sungguh aku akan perangi mereka. Ketika topik pembahasan sudah menjadi jelas bagi Umar, beliau menarik kembali pendapatnya dan mengikuti pendapat yang tepat (benar), yaitu pendapat Abu Bakr. Karena topiknya benar-benar merupakan perkara perlawanan sekelompok masyarakat dan bukan perkara tentang peperangan sekelompok besar (kuat) yang menentang negara. Pembahasan sebenarnya adalah bukan pada keluar atau tidaknya untuk berperang sebagaimana yang pernah terjadi di Uhud, melainkan apakah enggannya orang-orang Arab menunaikan zakat setelah wafatnya Rasul dan sikap perlawanan mereka kepada negara merupakan pemberontakan terhadap pelaksanaan hukum syara, atau hanya perlawanan sekelompok besar (masyarakat) terhadap negara? Inilah yang menjadi topik pembahasan. Oleh karena itu maka pembahasannya adalah tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu pemikiran. Prosesnya dikembalikan kepada pendapat yang paling tepat. Dalam kasus tersebut adalah pendapat yang menyatakan bahwa hal itu merupakan pemberontakan dari sekelompok rakyat terhadap pelaksaan hukum-hukum syara.Dalam contoh tersebut jelas bahwa fokus pembahasannya adalah topiknya bukan aktivitas. Meski ketiga contoh tersebut menghasilkan berbagai aktivitas, akan tetapi pembahasannya tidak masuk pada aktivitasnya melainkan kepada fikrah (ide). Terungkapnya fikrah tersebut akan menghantarkan pada dilaksanakan atau tidaknya suatu aktivitas, atau akan dilaksanakan sesuai dengan bentuk yang dikehendaki oleh fikrah yang telah dibahas. Jadi, pembahasannya adalah agar tercapainya suatu pendapat tentang sebuah topik, atau sampainya pada suatu ide tentang topik tersebut. Apabila suatu ide telah tercapai, barulah ditentukan aktivitasnya berdasarkan ide yang telah dicapai dalam pembahasan tadi. Dengan demikian pendapat yang telah dibahas ini tidak menghantarkan pada suatu aktivitas secara langsung, melainkan menghantarkan kepada suatu ide. Kadangkala ide yang telah tercapai menghasilkan pelaksanaan aktivitas. Terkadang juga tidak menghasilkan pelaksanaan aktivitas.Adapun pendapat yang menghantarkan kepada aktivitas, topik pembahasan didalamnya adalah pelaksanaan suatu aktivitas tanpa memandang lagi pada topik yang bisa menghasilkan aktivitas tersebut. Contohnya ketika Abu Bakr berkonsultasi dengan kaum Muslim tentang siapa yang akan menjadi Khalifah setelah beliau. Ini adalah pembahasan mengenai pemilihan seorang Khalifah, yaitu apakah mereka memilih sifulan atau sifulan. Pembahasannya sama sekali bukan mengenai kekhilafahan. Pembahasannya tentang pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas.Adapun yang berkaitan dengan kesamaran yang terdapat dalam perbedaan antara peristiwa Badar dan peristiwa Uhud, maka kadangkala orang mengatakan tidak ada bedanya antara peristiwa Badar dengan peristiwa Uhud. Lalu mengapa peristiwa Badar dianggap bagian dari pendapat yang menghantarkan kepada suatu ide, sedangkan peristiwa Uhud dianggap sebagai bagian dari pendapat yang menghantarkan kepada suatu aktivitas, sementara masing-masing dari peristiwa tersebut adalah sama-sama pergi ke medan (perang), tidak terdapat perbedaan antara keduanya? Jawaban terhadap hal ini adalah, bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara dua peristiwa tersebut. Peristiwa Uhud adalah (membahas) apakah mereka keluar (kota Madinah) atau bertahan? Dalam peristiwa itu terdapat semangat dan rasionalitas, bukan (membahas) tentang tempat peperangan. Oleh karena itu kita jumpai bahwa Rasul saw lah yang mengatur (taktik) militer ditempat yang strategis diatas gunung Uhud. Beliau sendiri yang mengaturnya dan menempatkan para pemanah berada dibelakang dan menyuruh mereka agar tidak turut (turun ke bawah untuk) menyerang. Dalam hal ini beliau tidak mengikuti pada pendapat kelompok. Sedangkan fakta tentang peristiwa Badar, pembahasannya adalah pengaturan militer pada tempat yang strategis. Dalam hal ini Rasulullah kembali pada pendapat yang tepat (benar). Ini dari satu sisi. Dari sisi lain dalil mengenai hal ini bukan perbuatan Rasul saja, melainkan perbuatan dan perkataan beliau, yaitu sabda Rasul saw: Ia adalah pendapat, peperangan dan tipu daya.Pengambil KeputusanTinggal satu masalah lagi yaitu, siapa yang berhak menjelaskan hal yang lebih tepat (benar) sehingga pendapatnya adalah pendapat yang kuat? Jawaban atas hal ini bahwa yang mentarjih pendapat yang benar adalah orang yang memiliki wewenang dalam masalah tersebut, yakni Amir al-qaum, maksud-nya pemimpin suatu kaum. Dialah yang bermusyawarah dengan jamaah. Dalilnya adalah ayat: Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. (QS. Ali Imran [3]: 159)Syura pernah terjadi pada masa Rasul, dan beliau bertindak selaku pemimpin kaum Muslim. Allah telah menetapkan perkara tersebut pada beliau setelah melakukan musyawarah, melaksanakan apa yang diputuskannya, dan apa yang dipandangnya sebagai pendapat yang benar. Maka keberadaannya adalah sebagai murajjih (orang yang mengutamakan) pendapat yang benar. Demikian juga halnya dengan seluruh pemimpin suatu kaum. Sebab, musyawarah ini bukan dikhususkan bagi Rasul saja, melainkan berlaku umum bagi seluruh kaum Muslim. Karena seruan (khithab bagi) Rasul adalah seruan bagi umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkanya. Dalam perkara ini tidak ada dalil yang mengkhususkannya hanya untuk Rasul. Jadi, keberadaannya berbentuk umum.Yang harus menentukan aspek yang benar (tepat) itu hanya satu orang saja, sebabnya:1. Allah menjadikan pengambil keputusan hanya untuk satu orang dengan mengatakan (jika kamu telah membulatkan tekad) bukan (jika kalian telah membulatkan tekad)2. Bahwa realita aspek yang benar wajib menjadikan pentarjih hanya satu orang saja, karena jika dibiarkan pentarjihan itu dilakukan oleh dua orang, tiga atau lebih, memungkinkan terjadi perbedaan pendapat. Dan perbedaan pendapat mereka akan memaksa untuk kembali pada masalah tahkim. Apabila mereka bertahkim kepada dua orang, maka tetap saja masih terjadi silang pendapat diantara mereka sehingga proses tahkim kembali kepada salah satu dari keduanya. Dengan demikian tahkim akhirnya tetap kembali kepada satu orang.3. Sesungguhnya perkara yang sangat besar dikalangan kaum Muslim adalah pusat Khilafah (markaz al-khilafah). Syariat Islam telah memberikan hanya kepada (seorang) Khalifah saja seluruh wewenang pentarjihan suatu hukum atas hukum lainnya dalam rangka pengadopsian berbagai hukum. Penentuan kebijakannya berdasarkan kekuatan dalil, dan telah diberikan baginya hak dalam pentarjihan aspek yang benar. Hanya dia (Khalifah) yang memiliki hak mengumumkan perang, perjanjian damai, pembatasan hubungan diplomatik dengan negara-negara kafir, dan lain-lain yang termasuk ke dalam wewenang seorang Khalifah.KhatimahJelaslah bahwa dalam Islam suara mayoritas hanya menjadi rujukan dalam kasus pendapat yang mengarah kepada suatu aktivitas diantara berbagai aktivitas untuk dilaksanakan, tidak bernilai sama sekali jika dikaitkan dengan hukum atas suatu perbuatan maupun definisi atas suatu fakta atau perkara yang membutuhkan keahlian khusus.Tidak pernah para sahabat mengajak Rasulullah saw untuk musyawawarah ketika turun perintah (wahyu) dari Allah swt, mereka tidak mengatakan: Rasulullah saw sebaiknya kita mengundurkan dulu kewajiban menutup aurat ini karena secara mental masyarakat Madinah belum siap, disamping itu mereka belum punya uang membeli pakaian untuk menutup aurat mereka Tetapi para sahabat segera melaksanakan kewajiban segera setelah ayat turun, hal ini sebagai wujud ketaatan mereka kepada Allah swt dan rasul-Nya (taqwa).Aisyah berkata : Semoga Allah merahmati kaum Wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya: Dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke kerah baju mereka (TQS. An-Nur [24]: 31). Maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka (untuk dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya. (HR Bukhari) Adapun musyawarah sekarang yang dilakukan menghasilkan hukum-hukum yang bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Riba dihalalkan melalui bunga bank, khamr dihalalkan dan hanya dibatasi distribusinya, zina dibolehkan dan hanya dilokalisir, kepemilikan umum di berikan kepada asing, dll, kemudian penguasa menerapkan hasil musyawarah tersebut.Sayyid Quthb memberikan istilah penguasa seperti ini adalah pencuri kekuasaan Allah swt, mereka mencabut kekuasaan Allah swt dengan memerintah manusia berdasarkan syariat buatan mereka. Seolah-olah mereka ini adalah Tuhan dan rakyat adalah hamba mereka. (Petunjuk Jalan (maalim fith-thariiq) hal 66)Abul Ala al-Maududi menjelaskan bahwa mereka yang meyakini undang-undang buatan manusia tanpa berlandaskan syariat Allah swt, maka mereka telah menyekutukan (syirik) Allah swt. (4 Istilah dalam al-Quran (al-mushthalahat al-arbaatu fi al-Quran) hal 36, 53, 105). Pandangan yang sama dikemukakan oleh Salman al-Audah, bahwa termasuk syirik membuat UU dan sistem yang bertentangan dengan syariat Allah. (Doktrin Syahadat Nabi (hakadza allamad anbiya laa ilaaha illallaah) hal 39).Muhammad Quthb menegaskan kewajiban berhukum secara total kepada syariat Allah swt, bukan hukum yang lain (buatan manusia). Hukum hanya dua; hukum Allah swt atau hukum jahiliyah, tidak ada hukum ketiga atau pertengahan (Koreksi Atas Pemahaman Ibadah (mafahim yanbaghi an tushabah), hal 47). Jadi, hukum-hukum hasil musyawarah manusia, sementara Allah swt telah menetapkan dalam al-Quran dan as-sunnah maka termasuk hukum jahiliyah. Allahu Alam.

DEMOKRASI DALAM PANDANGANISLAM12 Feb Oleh: Muhammad Asrie bin SobriAntara bentuk serangan pemikiran yang banyak digunakan oleh Nasrani dan Yahudi adalah pemikiran demokrasi. Bahkan melalui demokrasi mereka berjaya menumpaskan golongan yang bersemangat membela Islam seperti parti-parti politik yang menjenamakan mereka sebagai Islam.TakrifDemokrasi adalah kalimah Yunani (Greek) yang terdiri dari 2 perkataan iaitu Demos dan Kratos. Demos bermaksud bangsa atau rakyat manakala kratos bermaksud kekuasaan. Takrif demokrasi secara mudahnya adalah kekuasaan rakyat. Demokrasi ialah sistem pemerintahan yang dijalankan menurut kehendak rakyat, jauh daripada pengaruh orang atau kelompok tertentu yang dikenal sebagai diktator dan autokrat.Makna demokrasi mengalami sedikit pengembangan sebagai: Satu falsafah (teori) yang berkeras dengan tuntutan hak dan kapasiti rakyat melalui mereka secara lansung atau melalui wakil-wakil rakyat untuk mengawal perlembagaan mereka untuk tujuan yang dikehendaki mereka (rakyat)[Columbia Encyclopedia, Yahoo.com].SejarahDemokrasi bermula di zaman Greek kuno. Ia dipraktikkan dalam sistem pemerintahan di Negara Kota di Athens dan Sparta pada ke 5 S.M. Sistem ini diamalkan dengan semua rakyatnya menjadi anggota dewan dan berbincang, melantik ketua dan menetapkan hukuman. Sistem ini hanya sesuai dalam negara yang kecil dan semua rakyatnya terdidik.Namun, apabila berkembangnya kerajaan Rom dan masuknya agama Kristian ke benua Eropah, sistem ini terhapus namun kekal sebagai sebuah pemikiran yang membawa kepada kejatuhan sistem monarki Rom pada tahun 500 M dan tertubuhnya Republik Rom. Pada masa ini muncul satu bentuk demokrasi yang baru yang bukan dijalankan secara langsung oleh rakyat tetapi melalui wakil-wakil mereka.Demokrasi dalam Dunia IslamPada tahun 1789M, Revolusi Perancis berlaku. Serentak dengan itu, Perancis menjadi sebuah negara demokrasi. Sebelum itu, Amerika dan Britain telah melalui proses yang sama. Kemudian, apabila kerajaan Mesir mengambil undang-undang Perancis sebagai Perlembagaannya, maka masuklah demokrasi ini ke dalam negara Islam dan berkembang selari dengan berkembangnya fahaman memisahkan agama dari negara (sekular). Kemudian, apabila al-Ikhwan al-Muslimin ingin merebut kekuasaan, mereka mula menggunakan pilihanraya sebagai jalan dan membawa kepada pengiktirafan terhadap sistem demokrasi. Lebih buruk apabila al-Ikhwan al-Muslimun bergabung dengan Jamal Abdul Nasir menggulingkan Raja Farouk pada tahun 1952M. Ini membawa kepada masuknya racun demokrasi dalam pemikiran Islamist.Apa Itu Demokrasi?Demokrasi terbina atas dasar:1-Kekuasaan Rakyat.Maknanya hak menentukan hukum adalah milik rakyat. Demokrasi menekankan kedaulatan rakyat. Maka inilah titik tolak syirik nya demokrasi. Ini berdasarkan firman Allah S.W.T: Maksudnya: Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[Yusuf:40]Dan juga firman Allah: Maksudnya: Dan tidak ada seorang pun yang boleh menyekutuinya dalam hukum-[al-Kahf:26].Dalam demokrasi, rakyat yang menentu dan meluluskan undang-undang. Rakyat dalam takrif demokrasi adalah penduduk sesebuah negara tanpa mengira batas agama. Maka secara signifikannya demokrasi membenarkan orang kafir membuat undang-undang dalam sebuah negara Islam. Maka demokrasi amat bertolak belakang dengan Islam.2- Pendapat Kebanyakan.Demokrasi memerlukan pendapat kebanyakan manusia dalam membuat undang-undang. Ini bertentangan dengan firman Allah: Maksudnya: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)-[al-An'am:116]Mereka yang menggunakan demokrasi untuk menegakkan hukum Islam adalah menyalahi Islam kerana hukum Islam tidak boleh mengikut kebanyakan manusia, bukan untuk didebatkan sama ada perlu dilaksanakan atau tidak kerana firman Allah: Maksudnya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.[al-Ahzab:36].Maka atas dua dasar utama demokrasi ini, sistem ini sangatlah batil. Demokrasi juga terbina dengan dasar persamaan, tolak ansur dan kebebasan.Pertentangan Demokrasi dengan IslamPrinsip Persamaan, Tolak Ansur, dan Kebebasan yang difahami oleh Demokrasi adalah berbeza dengan yang difahami oleh Islam. Islam menekankan keadilan bukan kesamaan kerana Allah s.w.t menjadikan setiap makhluk ada kelebihan dan kemampuan masing-masing.Keadilan sebagaimana yang diketahui bermaksud Meletakkan sesuatu pada tempatnya; maka misalnya jika seorang muslim membunuh seorang kafir, dalam demokrasi tetap dihukum bunuh tetapi dalam Islam hendaklah dibayar diat sahaja kerana kedudukan lelaki muslim lebih tinggi di sisi Allah s.w.t daripada lelaki kafir yang akan ditempatkan di neraka. Maka membunuh lelaki muslim yang beriman dan memakmurkan bumi ini dengan tauhid kepada Allah s.w.t sebagai hukuman dia membunuh seorang kafir merupakan suatu kezaliman kerana Allah s.w.t mengampunkan semua dosa kecuali syirik.Prinsip tolak ansur pula Islam menerima beberapa perkara untuk bertolak ansur seperti seorang kafir dibenarkan untuk dia meminum arak dalam kawasan yang tidak dilihat kaum muslimin namun jika dia menzahirkan perlakuannya maka ini tidak boleh dimaafkan kerana negeri Islam adalah tempat untuk mentaati Allah s.w.t bukan menderhaka kepada-Nya. Demikian juga Islam tidak memaksa kafir zimmi untuk memeluk Islam bahkan dia boleh menganut agamanya tetapi dia tidak boleh menzahirkan syiar-syiar agamanya dalam negara Islam kerana negara Islam adalah negeri Tauhid bukan syirik. Namun, dalam demokrasi semua perkara ini dibolehkan atas nama tolak ansur. Maka kita lihat dalam negara demokrasi seorang kafir bebas menyembah berhalanya secara terbuka tanpa sebarang halangan. Ini amat bertentangan dengan prisnip sebuah negara Islam.Islam agama yang percaya kepada kebebasan tetapi setiap kebebasan itu perlulah terikat dengan syarak dan hukum Allah s.w.t. Islam membenarkan seorang kafir zimmi untuk terus menganut ajarannya tetapi jika seorang muslim hendak murtad maka hal ini terlarang kerana kebebasan yang menggugat hak Allah adalah dilarang. Demikian juga seseorang bebas memamkai apa sahaja bentuk pakaian selagi dia mengikut syarat-syarat yang diletakkan Islam seperti menutup aurat dan tidak meniru cara kaum kafir. Namun, dalam demokrasi, sama ada hendak menutup aurat atau tidak itu adalah hak peribadi tiada siapa boleh mempertikaikannya. Hal ini amat bertentangan dengan ajaran Islam.Perbezaan Demokrasi dengan Islam:1) Hak Membuat Undang-undang: Demokrasi memberikan kepada manusia adapun Islam hendaklah undang-undang itu milik Allah dan selari dengan qaedah syara.2) Hak memilih pemimpin: demokrasi memberi hak itu kepada rakyat sepenuhnya sedangkan Islam memberi hak memilih pemimpin kepada al-Quran dan as-Sunnah dan diterjemahkan melalui para ulama dan pemuka-pemuka kaum serta cendakiawan umat yang membentuk majlis Syura.3) Keanggotaan Majlis Syura: Demokrasi membuka ruang kepada semua rakyat adapun Islam, majlis syura itu dianggotai oleh ulama dan mukminin yang bertakwa dan amanah. Golongan kafir tidak diberi hak keanggotaan. 4) Hak melaksanakan Undang-undang: Menurut demokrasi, sesuatu undang-undang dibuat kerana kehendak rakyat. Tetapi menurut Islam undang-undang dibuat kerana menurut perintah Allah dan Rasul dan berdasarkan prinsip Dharuriyat al-Khams (agama,nyawa.aqal,keturunan,harta) iaitu hendaklah undang-undang itu menjamin lima perkara ini menurut prioriti. Maka jika seseorang melaksanakan hudud melalui sistem demokrasi maka tidak dinamakan hudud tetapi undang-undang manusia yang kebetulan sama dengan hudud. Maka tidak layak hukuman itu dinamakan hukuman Islam.5) Kebebasan: Demokrasi mempunyai pemikiran Liberal dan memberi kebebasan. Selama tidak mengganggu kebanyakan orang maka tidak mengapa. Oleh itu, Geert wilders tidak bersalah pada demokrasi kerana Kebanyakan rakyat Belanda tidak terganggu dengan tindakannya. Tetapi dalam Islam kebebasan bermaksud melaksanakan sepenuhnya tuntutan agama. Jika tidak maka orang itu tidak bebas kerana terbelenggu dengan dosa dan neraka.6) Masdar: Demokrasi berasal daripada aqidah Greek Yunani Kuno yang menyembah berhala adapun Islam, undang-undangnya daripada Allah kepada manusia tanpa ada sekutu bagi Allah Taala. WallahualamUmat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara bulat. Sebagiankalangan memangbisa menerima tanpa reserve, sementara yang lain, justerubersikap ekstrem. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya. Artinya,banyak yang tidak mau bersikap apapun.Kondisi ini dipicu dengan banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi. Di bawah ini, ada tulisan menarik tentang demokrasi dalam perspektif Islam. Pertanyaan: Apaka Demokrasi haram?Apakah dizaman rosululloh ada sistem demokrasi?

Wallahu alam bi al-shawab

BAB I PENDAHULUANPada akhir dasawarsa abad ke-20, demokratisasi menjadi salah satu isu yang paling populer diperbincangkan. Indikasi nyata dari kepopuleran isu itu adalah berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis. Negara yang awalnya tidak demokratis, serta merta merubah haluan negaranya menjadi demokratis.Demokrasi pada substansinya adalah sebuah proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus tata kehidupan komunal mereka. Dan tentu saja yang akan mereka angkat atau pilih hanyalah orang yang mereka sukai. Mereka tidak boleh dipaksa untuk memilih suatu sistem ekonomi, sosial atau politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai. Mereka berhak mengontrol dan mengevaluasi pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang.Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar maruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.Bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi.BAB IIDEMOKRASI DALAM ISLAM2.1 Pengertian DemokrasiIsitilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18 , bersama perkembangan sistem demokrasi di banyak negara. Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang di Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang lahir pada tahun 387 SM, yang menguraikan kata demokrasi dalam hubungannya dengan kedaulatan negara, apakah dipegang oleh satu orang, sekelompok orang atau banyak orang. Apabila orang yang memegang kedaulatan untuk kepentingan orang banyak maka disebut monarki. Kemudian apabila yang memegang kedaulatan sekelompok orang untuk orang banyak disebut aristokrasi.Kemudian ada pula ajaran dari Polybios, seorang ahli negara Yunani, yang di Roma sebagai seorang tawanan perang. Polybios mengajarkan adanya bentuk negara tersebut adalah terdiri dari 3 (tiga) bentuk ideal, dan 3 (tiga) bentuk kemerosotan. Teorinya tentang perkembangan, bentuk negara didasarkan atas asas dan akibat, sebab yang sama akan membawa akibat yang sama pula. Dia menguraikan proses pertumbuhan dan musnah (lenyapnya) bentuk negara secara psikologia, dan perkembangan dari bentuk negara yang satu ke bentuk negara yang lainya akan merupakan suatu siklus (lingkaran).Di dunia barat, seperti yang diajukan oleh Abraham Lincoln, demokrasi diartikan sebagai Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (terjemahan dari Government by the people, from the people and for the people).Demokrasi di dunia Barat, seperti di Eropa Barat, Inggris dan negara-negara persemakmuran, Amerika Serikat dan negara-negara di wilayah Skandinavia, dilaksanakan dalam kaitan ajaran tentang pembagian kekuasaan, di mana badan pembuat undang-undang dilaksanakan parlemen yang dipilih oleh rakyat, dan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen, seperti yang terjadi di Inggris dan Belanda, atau presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Prancis.2.2 Demokrasi dan IslamBanyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Drama mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam khususnya, dia mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam, dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi.Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan Budha dapat memberikan dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi khususnya reformasi egalitarian. John O. Voll dan John L. Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal Foreign Affairs:Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi.Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `konstitusional, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim.Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam.Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.Poin ini memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi tentang kedaulatan (sovereignty): bahwa kedaulatan Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan kedaulatan dalam demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini jelas naif dan salah. Memang, Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran, tetapi Dia telah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di dunia.Tuhan memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan implementasinya adalah profan.Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan manusia. Apakah akan memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih untuk mengorganisir kehidupan kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita. Begitu juga, apakah umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama.Apabila terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan dalam Islam. Karena tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.Pada karakter fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut sistem demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Dr Fathi Osman, salah satu intelektual muslim kontemporer terkemuka, `demokrasi merupakan aplikasi terbaik dari Syura.2.3 Prinsip-prinsip Demokrasi dalam IslamPrinsip Demokrasi Menurut Sadek, J. Sulaymn, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya, Kebebasan berbicara setiap warga negara, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum), semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi.Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan seperti teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi; kepatuhan pada hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit; serta dilandasi penafsiran hukum Allah melalui ijtihad.Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syri (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqh (yang memahami sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum-Nya.Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman, Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. al-Arf: 54).Inilah batas yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya, pertama, dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.Kedua, usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.Ketiga penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.Keempat juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut pertama, menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Kedua, wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. Ketiga mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah. Keempat komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi, pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Quran. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-laqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifahJelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.Kedua, al-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa: 58, dan seterusnya. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang ekstrim berbunyi: Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam.Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-adalah. Diantara dalil al-Quran yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa:58.Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-l-maruf wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.2.4 Substansi Demokrasi dalam IslamTema tentang Islam dan demokrasi jelas bukan hal baru. Bahkan, itu selalu dibicarakan, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Seperti pernyataan seorang peserta Sidang Dewan Tafkir, pembicaraan tentang ini mengisyaratkan seolah-olah tidak ada kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Karena itu, terjadi stigmatisasi di kalangan masyarakat internasional bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, khususnya menyangkut hal kedaulatan rakyat dalam demokrasi dengan apa yang sering disebut sebagai kedaulatan Tuhan (hakimiyyah Allah).Bahwa tidak ada rumusan perinci tentang sistem politik yang dapat diterapkan umat Islam dalam Alquran telah menjadi semacam kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama fikih siyasah (politik). Sebaliknya, terdapat beberapa prinsip pokok dalam Alquran yang dapat menjadi landasan bagi penerimaan demokrasi dalam Islam, misalnya syura (musyawarah, baik melalui representasi pada lembaga legislatif maupun eksekutif atau secara langsung); almusawa (kesetaraan); al-adalah (keadilan); akuntabilitas publik (raiyah); dan seterusnya.Atas dasar prinsip-prinsip ini, penerimaan demokrasi melalui kerangka fikih siyasah di atas tidak dilihat mengurangi kedaulatan Tuhan.Kedaulatan Allah terhadap makhluknya merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Allah tetap Mahakuasa vis--vis makhluknya meski ada kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui sistem politik demokrasi. Karena itu, kedua bentuk kedaulatanyang sebenarnya tidak sebandingtak perlu dipertentangkan.Atas dasar kerangka itulah, para pemimpin umat Muslim umumnya dapat menerima demokrasi, khususnya di Indonesia, sejak negara ini memaklumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Memang, dalam perjalanannya, terdapat pemikiran dan gerakantermasuk bersenjatayang ingin mengganti demokrasi dan bahkan Pancasila dengan teokrasi Islam, tetapi mengalami kegagalan.Dalam perjalanannya pula, demokrasi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang ini pada praktiknya tidak selalu dapat menjadi sistem politik yang efektif. Karena itu, seperti dikemukakan seorang peserta perempuan dalam Sidang Dewan Tafkir Persis, demokrasi kita belum bisa mengharapkan hasil konkret demokrasi, misalnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, sering terlihat demokrasi berubah menjadi democrazy.Kita bersyukur, gejala democrazy itu tidak terjadi dalam skala yang mencemaskan pada masa prapileg dan pascapileg yang lalu meski banyak komplain, laporan, dan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi karena DPT yang kacau, politik uang, penghilangan dan pengelembungan suara, dan seterusnya. Pilpres mendatang menjadi ujian, apakah pemilu dapat berjalan lebih baik sehingga bangsa dan negara ini terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan.Dalam konteks itu, ormas-ormaskhususnya yang berbasiskan keagamaandapat memainkan peran penting dalam mengawal penerapan demokrasi lebih baik. Salah satunya adalah memberikan sosialisasi kepada para anggotanya tentang perlu kepatuhan pada hukum dan keadaban publik dalam demokrasi.Demokrasi tidak bisa berjalan baik tanpa penghormatan dan kepatuhan kepada tatanan hukumhal itu tentu saja juga sangat diajarkan Islam. Demokrasi juga dapat menjadi kacau balau tanpa keadaban publik (public civility), yaitu sikap dan perilaku yang berlandaskan adab, akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan demokrasi tanpa keadaban publik seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Dan, ormas-ormas Islam dengan pengaruh dan daya tekannya yang kuat dapat kian memperkuat perannya dalam bidang-bidang ini.2.5 Taaruf atau Saling MengenalKalimat taaruf itu asal katanya dari bahasa arab taarofu (artinya : saling mengenal). Dalam Quran juga ada disinggung dalam salah satu suroh tentang pengertian taaruf ini. Suroh ini menjelasakan kepada seluruh manusia, bahwa Allah SWT menciptakan manusia itu berbeda-beda, bersuku dan berkelamin beda, tujuannya adlah untuk saling mengelal atau LitaarofuuJadi pengertiran taaruf itu adalah saling mengenal. Kalau ada istilah saling mengenal, maka tentu bermagna lebih dari satu orang atau sekelompok orang.Taaruf itu (tidak sama) dengan khitbah. Taaruf itu adalah sebuah proses saling mengenal baik suatu orang satu dengan satunya atau antara laki dan perempuan yang akan dikenalkan.Demokrasi membangun ukhuwah, persaudaraan, perdamaian dan persatuan. Allah berfirman :Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujurat : 13).2.6 Musyawarah ( Asy Syura) dan DemokrasiDalam Islam ada yang dikenal dengan istilah Syura atau musyawarah. Yang merupakan derivasi (kata turunan) dari kata kerja syawara. Dan kata syawara mempunyai beberapa makna, antara lain memeras madu dari sarang lebah; memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya; menampilkan diri dalam perang. Dan makna yang dominan adalah meminta pendapat dan mencari kebenaran.Dan secara terminologis, syura bermakna memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.Meminta pendapat dan mencari kebenaran adalah salah satu prinsip dalam demokrasi yang dianut sebagian besar bangsa di dunia. Didalam Islam bermusyawarah untuk mencapai mufakat adalah hal yang disyariatkan.Artinya : sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy-syura: 36)Dengan ayat itu, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan musyawarah pada tempat yang agung. Syariat Islam yang lapang ini telah memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri (yurisprudensi). Ayat itu memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syura dan menghiasi diri dengan adab syura sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk sifat-sifat mukmin sejati. Dan lebih menegaskan urgensi syura, ayat di atas menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardhu ain yang tidaklah Islam sempurna dan tidak pula iman lengkap kecuali dengan ibadah itu, yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji.Hal tersebut menunjukan bahwa, Islam secara langsung menerapkan prinsip pengambilan keputusan;musyawarah yang menjadi sendi utama dalam demokrasi modern (dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat).Yang menjadi poin penting dalam demokrasi bukan sistem trias politiknya, yang membagi pemerintahan kedalam tiga lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif), melainkan sisitem checks and balances yang berlangsung dalam pemerintahan itu. Tentunya agar bisa berjalan maka, harus ada keterbukaan dari masing-masing elemen dalam pemerintahan itu. Dan keterbukaan itu dapat diwujudkan dalam sebuah bentuk musyawarah yang efisien, efektif dan egaliter. Tentu saja tujuan adalah kesejahteraan rakyat.2.7 Mashlahah atau menguntungkan masyarakatMashlahah sama akarnya dengan kata shalih yang berarti baik untuk agama. Dalam al-quran banyak dijumpai kata shalih dan kata jadiannya. Shalih atau saleh dapat berarti kebaikan pada umumnya menguntunmgkan. Di sinilah orang sering berbicara agama sebagai moral force dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Orang biasanya akan berbicara tentang amar maruf nahi munkar (menyuruk kebaikan, mencegah kejahatan) bila menyinggung peranan agama. Agama dapat berperan sebagai moral force supaya orang berbuat baik. Peran agama tidak langsung, tetapi melalui individu atau kebudayaan. Tulisan ini justru dibuat untuk menyatakan bahwa agama dapat berperan langsung, tapi melalui peran objektifitas. Agama-agama dapat berperan dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam demokratisasi.Kesalahan orang yang beragama ialah memandang masalah politik itu masalah sederhana, asal semua orang berbuat baik, selesailah urusan. Tetapi perbuatan shaleh dari majikan berbeda dengan perbuatan shaleh dari karyawan. Penguasa berbeda dengan rakyat, elite berbeda dengan massa. Polisi berbeda dengan pedagang K-5. saleh menurut siapa? Dalam demokrasi mayoritas mesti diprioritaskan juga dalam kriteria kesalehan. Untuk masalah kriteria, rumusan the greatest happiness for the greatest number adalah rumusan demokrasi yang lazim.Mashlahah sering tertumbuk pada faktor sosial budaya. Kita sudah menggantikan konsep kekuasaan berdasar Asthabrata, yaitu seluruh kebaikan dipegang pihak berkuasa dengan konsep kekuasaan ala semar, yakni penguasa hanya tut wuri handayani. Namun, kita masih menemukan penguasa yang otoriter di satu pihak. Dan masyarakat yang submissive di pihak lain. Juga ada anggota masyarakat yang dengan kekayaannya dapat membeli demokrasi. Dan masyarakat yang bersedia menjual suaranya. Mereka yang menjual suara tidak menyadari bahwa sekaligus juga terjual kemungkinan untuk mendwapat mashlahah. Akibatnya, mashlahah hanya milik elite penguasa atau mereka yang kaya.2.8 Taghyir atau Perubahan Manusia adalah subjek sejarah .Bukan alam,hukum-hukum,bahkan bukan pula Tuhan.sebuah ayat yang sering di kutip oleh Tjokroaminoto kemudian juga oleh sukarno menjelaskan pentingnya dalam sejarah .dalam surah Ar-Rad (13):11 disebutkan:Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.Itu berarti peranan manusia yang berkesadaran sangat menentukan dalam perubahan.kiranya jelas untuk indonesia,tujuan sejarahnya ialah terbentuknya masyarakat pancasila.Dari mana kemana ?Tidak salah kalau kita menyebut perubahan itu ialah dari demokrasi kapitalisme ke demokrasi pancasila .Sejarah sudah mengajarkan bahwa perubahan tidak bisa terjadi satu malam.Perubahan yang drastis biaya sosialnya tinggi , dan kebanyakan korban justru wong cilik yang semestinya diuntungkan oleh perubahan itu.Al-Quran menerangkan bahwa prubahan harus setahap demi setahap.Dalam surah Al-insyiqaq(84):19 di sebutkan :Artinya : Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)Manusia dijadikan secara bertahap.maka demoratisasi harus juga terencana melalui tahapan.setiap orang yang masih punya hati nurani mesti menginginkan perubahan yaitu change now perubahan sebagai proses bertahap sistematis,dan perubahan sebagai proses perlahan-lahan. Yang pertama ,menunjukan menunjukan ketergesaan. Biaya sosialnya tinggi . dan mungkin saja masyarakat tidak siap dengan perubahan mendadak sehingga counter productive.yang kedua, perubahan yang di kehendaki mungkin tidak pernah terjadi sebab kekuatan anti perubahan akan lebih suka statusnya.pilihan satu-satunya ialah cara kedua namun,kita wajib menghormati mereka yang menginginkan change now,sebab mereka telah menyediakan diri menjadi tumbal sejarah.mereka juga mengimplikasikan bahwa bangsa indonesia sudah kebelet dengan perubahan, dan mungkin membuat kekuatan anti perubahan pikir-pikir2.9 Taawun atau kerja samaDalam surat al-maidah (5) : 2 disebutkan :Artinya : dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa ,dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaranAda dua kepentingan yang diharuskan untuk bekerja sama, yaitu kepentingan manusia dan kepentingan tuhan.Biasanya orang berbicara tentang demokrasi dalam pengertian demokrasi politik yaitu tidak adanya hambatan dari kekuasaan. Demokrasi yang dimengerti secara negative, berarti merdeka dari .islam mengiginkan pengertian yang lebih dari itu.demokrasi perlu diperluas manjadi kerja sama antar warga. merdeka untuk yaitu demokrasi social dan demokrasi ekonomi.Bahwa bangsa Indonesia adalah satuan yang secara objektif ada ,merupakan self evident truth yang tak terbantah.tetapi itu tidak berarti bahwa satuan yang besar (masyarakat) lebih penting dari satuan yang kecil (individu) karena keduanya adalah satuan-satuan yang objektif.yang mementingkan masyarakat adalah sosialisme (ekonomi terpusat,perencanaan searah dan intervensi Negara).sedangkan yang mementingkan individu adalah kapitalisme (ekonomi pasar bebas).Kita berhak khawatir dengan perkembangan mutakhir.sementara konsep taawun secara nasional belum selesai.kita akan menghadapi tatanan baru yang bersifat internasioanal.persoalan yang kita hadapi bersama ialah berlomba dengan waktu.sebelum taawun internasional itu berlaku pada tahun 2002, taawun nasional harus sudah selesai.runtuhnya komunisme di eropa timur yang tidak berarti bahwa cita-cita sosialisme sudah runtuh.seolah-olah memberi kesempatan bagi system kapitalisme untuk berkembang, hal itu juga memberi kesempatan dan tantangan baru bagi system social yang berjalan sesuai dengan jalan demokrasi.Pancasila mempunyai potensi sebagai system alternative .taawun nasional hanya dapat berjalan jika kita dapat menghilangkan dualisme ekonomi, monopoli,oligopoly, nepotisme dan ersatz capitalism serta mempunyai pemerintahan yang bersih.syarat pertama kearah itu ialah adanya syura yang aktif melakukan control terhadap kekuasaan.Taawun itu dapat pula menjadi kaidah bagi persekutuan yang bersifat mikro,misalnya dalam satu pabrik atau perusahaan.self management pekerja dan pemilikan aset-aset perusahaan oleh karyawan ,akan meningkatkan tanggung jawab karyawan pada perusahaan .suatu hal yang sangat baik dalam era yang penuh kompetisi jadi ada taawun antara pemilik modal dan pemrakarsa dengan karyawan. Meskipun hal itu sukar dilaksanakan ,kiranya merupakan eksperimen social ekonomi yang perlu dicoba perhitungkan.taawun yang bermula dari kaidah normative perlu dasar legal-nasional melalui proses demokratis.sebagian prinsip taawun sudah terlaksana,ada yang lama dan ada yang baru.gerakan koperasi sudah kita kenal sejak zaman colonial. SI (syarikat islam) sudah menjalankannya.konsep perusahaan hulu-hilir, anak asuh perusahaan ,santunan lansia,gerakan orang tua asuh,beasiswa.merupakan bentuk-bentuk baru kerja sama.2.10 Adl atau AdilIslam mengharuskan keadilan secara mutlak dalam surat An-Nisa (4). 58 tentang keadilan tuhan menyatakan :Artinya : apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.BAB IIIKESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu pertama, demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Kedua, rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. Keenam produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama. Ketujuh hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua wargaAkhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan pertama, seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya. Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik