multiobjektif optimisasi kilang hayati ko-produksi etanol ... filesecara umum, prinsip dari kilang...
TRANSCRIPT
Multiobjektif Optimisasi Kilang Hayati Ko-Produksi Etanol, Furfural, dan Lignin
Berbasis Lignoselulosa
Ayip Farouk, Widodo W Purwanto
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Guna turut berkontribusi dalam pengembangan energi terbarukan, penelitian ini bertujuan untuk menemukan keputusan yang tepat dari pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai salah satu bahan yang potensial di Indonesia. Produk akhir dari pemanfaatan TKKS pada penelitian ini adalah Etanol, Furfural, dan Listrik. Multi-objektif yang akan di pilih pada penelitian ini adalah NPV maksimum dan CO2 minimun yang akan diukur dengan Kurva Pareto. Penelitian sebelumnya sudah melakukan optimasi namun NPV yang dihasilkan masih belum ekonomis, salah satunya dikarenakan biaya kapital dari pemasangan sistem gugus tenaga surya yang masih mahal. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengembangan yang akan penulis lakukan adalah dengan mengganti sumber kukus dengan bahan bakar gas alam. Sehingga mampu mengurangi biaya kapital dan diharapkan bisa memperbaiki NPV agar lebih ekonomis. Pada penelitian ini, diperoleh suhu operasi yang optimum pada unit praperlakuan sebesar 180o C, dan juga split fraksi 0.25 TKKS masuk kedalam unit hidrolisis. Pada kondisi ini, diperoleh NPV sebesar $ 43.6 juta dan emisi sebesar 9.237 juta kgCO2 Ekuivalen.
Multiobjective Optimization of Ethanol, Furfural, and Electricity Co-Production in a
Lignocellulosic Based Biorefinary
Abstract
For doing some contribution in development of renewable energy, this study have an objective to find an optimum decision for Empty Fruit Bunch (EFB) utilization as one of potential raw material in Indonesia. The final products from EFB utilization in this study are ethanol, furfural, and electricity. Multi Objective that will optimize in this study are NPV maximum and CO minimum that will measure with Pareto Curve. The recent study has done the optimizing but the NPV still not economic. It’s happen because the capital cost from CSP utilization as a steam generation still expensive. In this study, natural gas will use as a fuel for steam generation, so that can decrease the capital cost and can make the NPV become economic. In this study, the optimum operation temperature was obtained in 180o C and split fraction in 0.25 EFB into hidrolisis reactor unit. In this condition, the result for NPV is $43,6 million and emission 9.237 million kgCO2 equivalent.
Keywords: Multiobjective Optimization, EFB, Biorefinary, Lignocellulose
Pendahuluan
Energi berperan besar dalam jalannya peradaban. Kondisi majunya suatu negara berkorelasi
dengan tingkat konsumsi energi negara tersebut. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan
jenis energi final yang terbanyak di konsumsi dibandingkan dengan jenis energi final lainnya.
Diperkirakan pada periode 2004 – 2030, konsumsi energi dunia akan naik sebesar 57% .
sedangkan di Indonesia sendiri berdasarkan data yang disajikan oleh kementrian ESDM, pada
tahun 2000-2012 kebutuhan BBM dalam sektor transportasi sendiri naik secara signifikan
hingga mencapai 150%, dan hal ini diprediksikan akan terus meningkat dalam beberapa tahun
ke depan.
Pada tahun 2013, luas area perkebunan kelapa sawit mencapai sekitar 10 juta hektar, dengan
kondisi 2,7 juta hektar untuk tanaman belum menghasilkan dan 7,3 juta hektar berupa
tanaman yang menghasilkan dengan produksi minyak sait bisa mencapai 27,7 juta ton.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kementrian ESDM, pada tahun 2020 produksi kelapa
sawit akan terus meningkat hingga 44 juta ton, dan 66 juta ton pada 2030. Dengan setiap
pengolahan kelapa sawit pasti menghasilkan limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit yang
besar, Hal ini bisa menjadi peluang besar bagi pengembangan bahan bakar berbasis hayati di
Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat sebuah desain kilang hayati berbasis
lignoselulosa dengan mempertimbangkan performa ekonomi dan lingkungan agar optimal.
Tinjauan Teoritis
Istilah kilang hayati dapat ditemukan dalam paper-paper sejak permulaan tahun 1990-an
(Kamm et al., 2006). Selain kilang hayati, istilah-istilah lain juga digunakan untuk
menggambarkan proses yang menggunakan bahan hayati untuk membuat sebuah produk,
seperti biomass conversion plants oleh Goldstein pada 1981, agricultural refineries oleh
Rexen and Munck pada 1984, dan biomass refining & processing industries oleh Tong and
Cennell pada 1983.
Kilang hayati (biorefinery) di definisikan sebagai kegiatan yang mengubah bahan-bahan
hayati menjadi serat, bahan-bahan kimia, bahan bakar, panas dan produk-produk lainnya
dengan efek yang minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap kelestarian lingkungan
(Lehrburger, 2005). Secara umum, prinsip dari kilang hayati adalah melakukan fraksinasi
terhadap bahan hayati untuk membentuk berbagai macam produk dengan nilai yang lebih
tinggi. International Energy Agency (2015) mendefinisikan kilang hayati adalah pengolahan
dari bahan hayati yang berkelanjutan menjadi beberapa produk yang berharga dan energi.
Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman penghasil minyak nabati utama di
Indonesia. Tanaman kelapa sawit membutuhkan unsure hara dalam jumlah besar untuk
pertumbuhan vegetatif dan generatif.
Dengan jumlah pemanenan kelapa sawit yang cukup besar di Indonesia, yakni pada 2014
mencapai sekitar 30 juta ton dan setiap tahunnya mengalami peningkatan produksi rata-rata
10,3% per tahun (Erliza, DKK. 2015) dan khusus untuk tandan kosong kelapa sawit sendiri
mencapai 25,7 juta ton pada 2014, hal ini menjadi keuntungan tersendiri dalam memanfaatkan
TKKS sebagai bahan dari pengolahan hayati ini.
Selulosa merupakan polimer linier glukan dengan struktur rantai yang seragam. Unit-unit
glukosa terikat dengan ikata glikosidik-β-(1-4). Dua unit glukosa yang berdekatan bersatu
dengan mengeliminasi satu molekul air diantara gugus hidroksil pada karbon 1 dan karbon 4.
Kedudukan –β dari gugus –OH pada C1 membutuhkan pemutaran unit glukosa berikutnya
melalui sumbu C1-C4 cincin piranosa. Unit ulang terkecil dari rantai selulosa adalah unit
selulosa dengan panjang 1,03 nm dan terdiri atas dua unit Glukosa (Euis dkk,. 2009).
Hemiselulosa merupakan istilah umum bagi polisakarida yang larut dalam alkali.
Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya selulosa dalam dinding sel tanaman. Konstituen utama
dari hemiselulosa adalah glukosa, mannose, galaktosa, xilosa dan arabinosa (Fengel dan
Wegener 1984; Howard et al,. 2003).
Lignin merupakan salah satu komponen yang paling kuat ikatannya dalam komponen
lignoselulosa. Lignin merupakan suatu polimer aromatic 3 dimensi kompleks yang disintesis
dari unit fenil propena tersubstitusi yang tersusun atas syringyl, guaiacyl, dan p-
hydroxyphenol yang saling terhubung membentuk matriks yang rumit (Mood et al., 2013).
Dikarenakan terdapat tiga komponen utama pada lignoselulosa yakni selulosa, hemiselulosa
dan lignin, maka untuk memaksimalkan komponen-komponen utama tersebut pada desain
kilang hayati kali ini produk yang akan dihasilkan adalah etanol (bahan bakar/fuel), furfural
(bahan kimia/chemical), dan listrik (power).
Etanol merupakan salah satu bentuk dari alkohol primer, yang berarti bahwa karbon yang
berikatan dengan gugus hidroksil paling tidak memiliki dua atom hidrogen yang terikat.
Produksi etanol dari bahan hayati menggunakan proses fermentasi dari glukosa yang
dipecahkan dari selulosa untuk produksi etanol (Generasi II) yang diperoleh dari
lignoselulosa. Hal ini dilakukan agar tidak bersilangan dengan kebutuhan pangan (Generasi
I).
Furfural atau 2-furankarboksaldehid merupakan senyawa organic turunan dari olongan furan.
Furfural berfasa cair dan kurang larut didalam air. Furfural larut dalam alkohol, eter dan
benzene. Furfural merupakan produk antara dari berbagai macam produk turunan yang
digunakan secara luas oleh banyak industri, seperti industri perminyakan, serat sintesis, dan
farmasi.
Listrik diproduksi guna mengoptimalkan segala komponen yang terdapat didalam
lignoselulosa. Listrik diproduksi dengan cara memanfaatkan lignin yang merupakan salah
satu komponen yang sulit di dekomposisi.. listrik yang dihasilkan dalam proses ini
diutamakan untuk digunakan sebagai pemenuh kebutuhan listrik pada kilang hayati.
Dalam pemanfaatkan Lignoselulosa agar dapat menghasilkan produk yang optimal, maka
diperlukannya proses yang terintegrasi serta pemanfaatan yang efektif terhadap selulosa,
hemiselulosa dan lignin.
Secara umum, terdapat dua strategi untuk mengkonversi lignoselulosa untuk menjadi bahan
bakar mau chemicals, yaitu:
1. Pengolahan semua kandungan lignoselulosa dengan menggunakan prises gasifikasi
maupun pirolisis dimana strategi ini memiliki proses operasi yang lebih sederhana.
2. Pengolahan fraksi hemiselulosa dan fraksi selulosa secara terpisah maupun bersamaan.
Proses ini dapat mengoptimalkan produk yang bisa diberntuk dari tiap-tiap komponen
yang terdapat didalam lignoselulosa (Wettstein, dkk., 2012).
Untuk mengoptimalkan segala kandungan yang terdapat didalam lignoselulosa, strategi yangt
digunakan pada penelitian ini adalah strategi pengolahan fraksi dari lignoselulosa.
Selulosa yang terdiri dari glukosa, dihidrolisis agar glukosa dapat terpecah dari selulosa dan
selanjutnya dilakukan fermentasi guna mambuat etanol. Hemiselulosa yang terdiri dari gula
C6 dan C5, masing-masing memiliki jalur konversi yang berbeda. Gula C6 masuk kedalam
jalur produksi etanol dan asam levulinat, sedangkan gula C5 diproses untuk menghasilkan
furfural. Untuk lignin, dikarenakan komponen ini memiliki sifat inert sehingga membuatnya
sulit di reaksikan, maka lignin dibakar secara langsung guna mendapatkan panas untuk
pembangkit tenaga listrik, mengingat bahwa heating value dari lignin yang cukup tinggi yakni
29,45 MJ/kg.
Hemiselulosa dan selulosa pada struktur lignoselulosa diselubungi oleh lignin. Struktur lignin
yang sangat kuat dan rapat akan menyulitkan proses pemecahan struktur hemiselulosa dan
selulosa menjadi gula sederhana. Oleh karena itu, perlu adanya usaha pemecahan struktur
lignoselulosa dengan melakukan pra-perlakuan agar memudahkan perlakuan selanjutnya.
Selain lignin, hambatan yang akan terjadi dalam proses konversi biomassa ini adalah selulosa
itu sendiri. struktur selulosa terbagi menjadi dua yaitu crystalline region (struktur selulosa
yang rapat) dan amorphous region (struktur selulosa yang renggang). Selain merusak struktur
lignin, proses Pra-Perlakuan dapat merusak struktur selulosa yang rapat menjadi lebih
renggang. Pra-Perlakuan dinilai sebagai salah satu tahap yang paling mahal dalam proses
konversi biomassa, yaitu mencapai USD 30/gallon etanol yang dihasilkan (Mosier et al.
2005).
Prosedur pra-perlakuan yang tepat meliputi: (1) pemutusan ikatan hidrogen pada struktur
kristalin selulosa, (2) penghancuran matriks silang antara hemiselulosa dan lignin, dan
terakhir, (3) meningkatkan porositas dan luas permukaan dari selulosa untuk proses hidrolisis
enzimatik berikutnya. (Li et al., 2010).
Proses pra-perlakuan dengan menggunakan asam merupakan proses yang cukup tepat kali ini.
Mengingat bahwa salah satu produk dari perlakuan ini adalah furfural, yang dimana furfural
adalah salah satu produk samping yang dihasilkan oleh pra-perlakuan menggunakan larutan
asam.
Metode lain yang cukup mendekati proses pra-perlakuan dengan manggunakan larutan asam
adalah steam explosion. Kedua metode ini memiliki kemampuan yang relatif sama, baik dari
segi pemisahan hemiselulosa maupun pemisahan lignin. Akan tetapi, metode steam explosion
tidak memutus matriks lignin-karbohidrat secara sempurna serta menghasilkan senyawa
beracun. Apabila dibandingkan dengan metode wet oxidation dan Organosolv, dalam hal
kemampuan penghilangan lignin, metode dengan larutan asam memang masih kalah, namun
mengingat bahwa kandungan lignin didalam TKKS yang tidak terlalu tinggi, yakni hanya
24,46% wt (Siew et al., 2014) ditambah dengan biaya investasi yang cukup besar, metode
dengan menggunakan larutan asam masih lebih baik.
Metode praperlakuan asam dapat dilakukan menggunakan asam encer dengan temperatur
tinggi maupun menggunakan asam pekat dengan menggunakan temperatur yang lebih rendah.
Penggunaan metode asam pekat lebih ekonomis karena beroperasi pada temperatur rendah,
namun, metode ini berpotensi menimbulkan masalah korosi pada peralatan, toksisitas,
recovery asam yang digunakan, dan pendegradasian glukosa menjadikan metode ini tidak
banyak digunakan. Metode asam encer lebih menarik karena menghasilkan inhibitor dalam
jumlah yang lebih sedikit dan telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai metode
tersebut (Mood, dkk., 2013). Oleh karena itu, pada penelitian ini, digunakan larutan asam
encer untuk melakukan proses pra-perlakuan.
Hidrolisis asam menggunakan bantuan asam sebagai katalis biasa berperan untuk memutus
ikatan glikosidik yang menghiubungkan monomer-monomer gula. Reaksi hidrolisis
lignoselulosa menggunakan larutan asam merupakan reaksi yang melibatkan mekanisme yang
cukup kompleks. Studi kinetika yang dilakukan oleh Siew, et al (2014) mendapatkan
informasi mengenai pengaruh waktu reaksi (1-50 menit). Temperature reaksi (120-180 oC)
dan konsentrasi asam (0,25-0,5 N) pada reaksi hidrolisis TKKS dengan mode operasi batch.
Perbandingan larutan asam dan TKKS yang digunakan adalah 10:1. Pada penelitian ini, salah
satu variabelnya adalah temperatur reaksi hidrolisis. Retang temperatur yang digunakan
adalah 162-180 oC. Hal ini dikarenakan 162 oC merupakan titik didih furfural sedangkan
180oC merupakan batas dari glukosa agar tidak terdekomposisi menjadi asam levulinat.
Dengan rentang ini, furfural dapat menjadi produk atas dari reaktir bersama dengan beberapa
senyawa lainnya, dan etanol tidak semua terdekomposisi karena salah satu produk akhir dari
proses ini adalah etanol yang diperoleh dari fermentasi glukosa.
Asam yang digunakan pada proses ini adalah asam sulfat (H2SO4) dengan konsentrasi asam
yang digunakan adalah sebesar 0,5 N, karena menurut siew et al (2014), konsentrasi asam
yang tinggi akan menyebabkan dekomposisi xilosa menjadi furfural menjadi lebih besar.
Untuk residence time pada penelitian ini adalah selama 1 menit, dengan pertimbangan pada
waktu tersebut sudah cukup untuk mendekomposisi xilosa menjadi furfural, dan tidak
membuat sebagian glukosa terdekomposisi menjadi 5-HMF mengingat energi aktivasi reaksi
dekomposisi glukosa lebih rendah dibandingkan energy aktivasi reaksi dekomposisi xilosa.
Selanjutnya, Siew et al (2014) menyatakan pengaruh temperatur dan konsentrasi asam ke
dalam persamaan Arrhenius termodifikasi, sebagai berikut:
���� = ����[HSO�]���� exp �− ������� �
Zeitsch (2000) menyatakan bahwa furfural dan air membentuk campuran azeotrop, yaitu pada
komposisi 35% berat furfural. Sejauh ini semua proses konversi xilosa menjadi furfural hanya
mampu memproduksi furfural dengan konsentrasi sekitar 6% dan lebih dari 90% sisanya
berupa air, atau dengan kata lain berada di bawah titik azeotrop.
Beberapa skema alternatif untuk memisahkan furfural dari larutan telah diuji baik secara
teknis maupun ekonomis dan mengarah pada dua konfigurasi dasar yang berbeda, yaitu: (i)
distilasi azeotrop dengan separasi flash, dan (ii) ekstraksi cair-cair. (Harris & smuk, 1961)
Evaluasi secara ekonomis menunjukan bahwa distilasi azeotrop yang dilakukan pada dua
kolom berbeda, yaitu kolom azeotrop dan dehidraasi sangat mahal karena membutuhkan 11
kali lebih banyak steam dibandingkan kolom lain (Harris & Smuk, 1961). Proses ekstraksi
cair-cair adalah salah satu metode yang digunakan dengan mengganti kolom distilasi azeotrop
dengan menggunakan kolom ekstraksi menggunakan pelarut seperti toluene.kemudia
dilanjutkan dengan masuk ke dalam proses distilasi untuk memisahkan pelarut dengan
furfural.
Setelah furfural dikeluarkan, di dalam reaktor hidrolisis masuh terdapat beberapa senyawa
seperti glukosa, selulosa, xilosa, hemiselulosa, lignin, dan asam sulfat. Melalui proses
penyaringan, didapatkan produk cairan berupa campuran glukosa, xilosa, asam sulfat, serta
padatan berupa residu lignin dengan sedikit kandungan selulosa dan hemiselulosa yang belum
terhidrolisis. Selanjutnya, glukosa dan xilosa akan dipisahkan dari asam sulfat menggunakan
separasi flash. Glukosa dam xilosa akan menjadi umpan dalam proses pembuatan etanol,
sedangkan asam sulfat diumpankan kembali dalam proses hidrolisis. Sementara itu, residu
yang kaya lignin diumpankan ke proses pembangkitan listrik sebagai bahan baku
pembakaran.
Pengukuran standar untuk kandungan energi pada suatu jenis bahan bakar adalah melalui nilai
kalornya, atau disebut juga panas pembakaran (heat of combustion). Selulosa memiliki nilai
kalor yang lebih kecil (17,3 MJ/kg) dibandingkan lignin (26,7 MJ/kg) karena memiliki derajat
oksidasi yang lebih tinggi (Jenkins, 1998).
Langkah pertama untuk mengkonversi biomassa menjadi energi adalah dengan membakar
biomassa. Pada penelitian ini, residu akan dibakar dengan metode direct combustion. Untuk
mendapatkan pembakaran yang sempurna, dibutuhkan udara berlebih yang nilainya
tergantung jenis biomassa yang digunakan, untuk kayu, nilai dari faktor udara adalah 1,25-
1,40 (Alvarez, 1990) Artinya, udara yang digunakan 25%-40% lebih banyak dari kebutuhan
udara teoritis. Nilai faktor udara yang digunakan adalah 1,2 dimana suhu keluaran flue gas
diset konstan sebesar 130 oC. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran digunakan untuk
menghasilkan listrik menggunakan siklus Rankine (steam-turbine).
Estimasi biaya modal dilakukan menggunakan metode Guthrie, yaitu berdasarkan total biaya
pembelian dan instalasi alat (Total Bare Modul Cost). Estimasi biaya alat mengacu pada
Seider, Seader, & Lewin (2009), menggunakan persamaan umum:
�� = ���
Untuk menyesuaikan harga alat pada tahun tertentu, maka digunakan indeks harga yang
mengacu pada Chemical Engineeering Plant Cost Index (CEPCI), yang diterbitkan oleh
Chemical Engineering Magazine. Rumus untuk penyesuaian terhadap indeks harga tersebut
adalah:
� = �� . !!�
Komponen biaya operasi terdiri dari dua biaya, yaitu variable cost dan fixed operating cost.
Variable cost merupakan biaya yang terpengaruh oleh besarnya kapasitas produksi, contohnya
adalah biaya bahan baku yang digunakan dalam proses. Fixed operating cost merupakan biaya
yang tidak terpengaruh oleh kapasitas produksi, contohnya biaya administrasi, asuransi, sewa,
dll.
Life Cycle Assessment (LCA) adalah mekanisme untuk menganalisis dan memperhitungkan
dampak lingkungan total dari suatu produk dalam setiap tahapan daur hidupnya. Dimulai dari
persiapan bahan mentah, proses produksi, penjualan dan transportasi, serta pembuangan
produk (IRAM-ISO-14040, 2006).
LCA memiliki 4 tahapan utama, yaitu: (1) penentuan tujuan dan ruang lingkup, (2)
inventarisasi data, (3) penilaian dampak, dan (4) interpretasi data. Pada penelitian ini, prinsip-
prinsip LCA akan digunakan untuk menilai performa lingkungan dari kilang hayati berbasis
lignoselulosa.
Berdasarkan batas sistemnya, LCA dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu (1)
Cradle-to-gate, mencakup seluruh tahapan produksi dari produk hingga ke gerbang pabrik
atau sebelum didistribusikan ke konsumen. (2) Cradle-to-grave, mencakup seluruh tahapan
produksi dari produk hingga fasa pembuangannya. (3) Cradle-to-cradle, mencakup seluruh
tahapan produksi dari suatu produk hingga produk tersebut didaur ulang untuk menghasilkan
produk lain dengan material yang sama. (4) Well-to-wheel, khusus digunakan pada bidang
bahan bakar dan transportasi. Meliputi penghitungan emisi dari eksplorasi hingga konsumsi
akhir di kendaraan.
Optimisasi multi-objektif adalah mengoptimisasi suatu masalah berdasarkan dua atau lebih
tujuan yang saling berlawanan, berdasarkan batasan-batasan tertentu. Salah satu contoh
masalah optimisasi multi-objektif yang umum dalam sistem desain energi adalah
memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan dampak lingkungan secara bersamaan.
Metode Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan desain kilang hayati yang dapat
memproduksi etanol, furfural, dan listrik, dan tujuan selanjutnya adalah untuk mengetahui
desain optimum kilang hayati dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan.
Penelitian ini dilakukan dengan membuat desain kilang hayati menggunakan software
SuperPro dan Unisim dan menjadikan desain awal sebagai basis. Kondisi basis disini adalah
temperatur sebesar 180o C dan split fraksi 1 masuk kedalam unit pra-perlakuan.
pada sintesis proses, desain terbagi menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah unit
praperlakuan yang bertujuan untuk melakukan proses hidrolisis dengan menggunakan asam
encer. Selanjutnya adalah unit produksi furfural, yang bertujuan untuk memproduksi furfural
dengan melakukan ekstraksi dan distilasi guna memurnikan hasil kondensasi furfural yang
diperoleh dari reaktor hidrolisis. Selanjutnya adalah unit produksi etanol yang bertujuan untuk
memperoleh etanol dengan melakukan fermentasi. Unit terakhir adalah unit pembangkit
listrik yang bertujuan untuk memproduksi listrik dengan membakar biomassa yang tersisa
dari reaktor hidrolisis.
Untuk mendapatkan neraca massa dan energi pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan
simulator software, yaitu software SuperPro Designer dan Unisim Design. SuperPro Designer
merupakan software yang memiliki kemampuan untuk melibatkan proses biologi. Software
ini juga memiliki kemampuan untuk mengetahui harga alat dan biaya operasi. Namun
software ini tidak dilengkapi dengan pilihan model termodinamika, oleh karena itu penelitian
ini juga dilengkapi dengan penggunaan Unisim Design yang dilengkapi dengan kemampuan
untuk melakukan simulasi terhadap proses termodinamika yang rumit.
Estimasi terhadap Total Capital Investment (TCI) dan Operating & Maintenance Cost (OM)
dilakuakn dengan menggunakan metode yang sudah dijelaskan pada tinjauan teoritis.
Emisi CO2 yang dihitung adalah semua emisi yang dihasilkan dari penggunaan maupun
produksi material dan energi di dalam ruang lingkup. Persamaan yang digunakan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
�"#"�$ = �% + '%
Persamaan-persamaan fungsi objektif dan batasan yang digunakan dalam optimisasi
ini adalah:
Fungsi Objektif 1: ()* = −��! + ∑ ,-,.(012)4
5670
Fungsi Objektif 2: �"#"�$ = ∑ q9. E99
Cara penyelesaian optimasi multi-objektif adalah dengan menggunakan metode ε-constraint,
yaitu mengubah optimasi multi-objektid menjadi optimasi objektif tunggal, dengan mengubah
salah satu fungsi objektif menjadi batas bagi fungsi objektif lainnya. Untuk membuat kurva
pareto, hal yang pertama dilakukan adalah menyelesaikan tiap fungsi objektif untuk
memperoleh batas atas dan bawah dari daerah pencarian.
Langkah diatas dimasukkan ke dalam GAMS dan menjalankan beberapa tahapan. Model 1
dilakukan untuk mendapatkan batas atas dengan memaksimumkan NPV sebagai objektifnya.
Kemudian Model 2 dilakukan untuk mendapatkan batas bawah dengan meminimumkan emisi
sebagai objektifnya. Selanjutnya Model 3 diselesaikan dengan memaksimumkan NPV sebagai
objektifnya setelah mengubah fungsi objektif emisi menjadi constraint tambahan.
Dalam Model 3, fungsi objektif yang diselesaikan adalah fungsi objektif NPV, sehingga
fungsi objektif emisi akan di modifikasi menjadi batasan dengan menggunakan persamaan
berikut:
; ≤ ;.=>�?@ + (A(;.=B�?C − ;.=>�?@))
Dimana f1 dan f2 adalah fungsi objektif 1 dan 2, sedangkan w menunjukkan faktor
pembobotan untuk fungsi objektif 2 pada Model 3.
f2.minf2 adalah menunjukan nilai f2 ketika meminimumkan f2 pada Model 2, sedangkan f2.maxf1
menunjukan nilai f2 ketika memaksimumkan f1 pada Model 1.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil simulasi proses berdasarkan kilang hayati basecase dengan basis input TKKS 500
ton/hari dan kondisi temperatur 180o C serta split fraksi 1 menuju reaktor hidrolisis.
Pada unit pra-perlakuan, 500 ton/hari TKKS yang menjadi input akan di proses dan
menghasilkan output menjadi dua bagian. Yang pertama menuju Unit Produksi Furfural dan
yang kedua menuju Plate and Frame Filter, yang mana dari Plate and Frame Filter massa
akan dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu menuju flash separator untuk memisahkan asam
sulfat yang akan digunakan kembali dengan massa yang akan menuju ke Unit Produksi
Etanol, dan satu bagian lagi akan menuju Unit Pembangkit Listrik.
Gambar 1. Diagram Sankey aliran karbon pada unit pra-perlakuan
Pada unit produksi furfural, furfural akan di ekstraksi dengan dengan menggunakan larutan
pelarut toluena guna memperoleh furfural dengan kemurnian 99% berat furfural. Rasio mol
antara pelarut (toluena) dan larutan yang akan diekstraksi adalah sebesar 44:100, yang
menghasilkan toluena yang dibutuhkan untuk proses per hari adalah sebesar 8.003 ton. Dari
kolom ektraksi, diperoleh furfural sebesar 55,3 ton/hari dengan toluene 7.971 ton/hari. Setelah
itu akan masuk kedalam kolom distilasi untuk dilakukan pemisahan, digunakan tray sebanyak
15 dengan rasio refluks 3. Untuk diameter dan panjang masing-masing sebesar 4,921 ft dan
panjang 27,06 ft sehingga ukuran diameter dan panjang masuk akal, dimana rentang yang
umum digunakan untuk diameter berkisar diantara 3-21 ft dan panjang sekitar 12-40 ft.
diperoleh furfural sebanyak 54,28 ton per hari dengan kemurnian 99% berat furfural. Efisiensi
pada unit produksi furfural adalah sebesar 50,59%.
Gambar 2. Diagram Sankey aliran karbon pada unit produksi furfural
Pada simulasi unit produksi etanol ini kita menggunakan air sebagai pengencer dengan laju
massa 108 kg/min. dengan pengenceran ini dihasilkan konsentrasi etanol pada fermenter
sebesar 9,57%.
Pada unit penyaringan sebesar 0,51 ton/hari CaOH2 dimasukkan kedalam reaktor netralisasi
disertai dengan pengelembungan CO2 sebesar 0,1 ton/hari. Reaksi ini menghasilkan kalsium
karbonat sebanyak 0,2 ton/hari dan dialirkan ke clarifier.
Setelah melalui clarifier, campuran yang pengotornya sudah dihilangkan diperoleh sebanyak
191 ton/hari. Proses selanjutnya akan masuk kedalam reaktor fermentasi. Pada fermentasi,
terdapat dua reaktor yakni seed fermenter dan main fermenter. Sebanyak 10% campuran yang
keluar dari clarifier bergerak menuju seed fermenter untuk mengembangbiakkan
saccharomyces cerevisae. Pada seed fermenter, maka dialirkan saccharomyces cerevisae
sebanyak 0,03 ton/hari dan juga ammonia sebanyak 30,8 ton/hari. Dari seed fermenter
tersebut dihasilkan saccharomyces cerevisae sebesar 0,49 ton/hari.
Pada main fermenter, ditambahkan ammonia sebanyak 85,59 ton/hari. Proses main fermenter
ini menghasilkan campuran sebanyak 175,615 ton/hari dengan konsentrasi etanol pada larutan
tersebut sebesar 9,57%.
Setelah melalui proses sentrifugasi diperoleh campuran sebanyak 171,9 ton/hari dengan
konsentrasi etanol sebesar 9,6%.
Dari kolom distilasi dengan jumlah tray sebanyak 20 dan rasio refluks 10 diperoleh etanol
dengan kemurnian hingga 94% namun masih dibawah titik azeotrop etanol dengan air. Rasio
etilen glikol dengan etanol pada unit ekstraksi sebesar 72:100. Tray yang digunakan pada
kolom ini sebanyak 20 dengan rasio refluks 1,05. Hasil dari kolom ini adalah etanol dengan
kemurnian 99,6%. Tekanan pada kolom ini dikondisikan sebesar 0,42 bar. Hal ini dilakukan
untuk menghindari suhu kolom mencapai 165o C dikarenakan dapat membuat etilen glikol
mengalami degradasi sehingga tidak bisa digunakan kembali.
Gambar 3. Diagram Sankey aliran karbon pada unit produksi etanol
Gambar 4. (Cont') Diagram Sankey aliran karbon pada unit produksi etanol
Campuran yang masuk kedalam Unit Pembangkit Listrik terdiri dari ash, selulosa, glukosa,
hemiselulosa, xilosa dan lignin. Total massa yang mengalir kedalam Unit Pembangkit Listrik
per hari adalah sebesar 308 ton. Listrik yang dihasilkan oleh pembangkit ini adalah sebesar
`18,44 MWe. Tidak semua listrik yang diproduksi dijual. Sebesar 1,83 MW atau sebesar 9,96
% listrik dari total produksi digunakan untuk keperluan dalam pabrik.
Temperatur dan split fraksi berada pad suhu 180 oC dan 1. untuk menjadikan suhu pada
reaktor hidrolisis dan juga untuk keperluan unit-unit lain mencapai suhu yang diharapkan
maka diperlukan kukus sebesar 116,17 ton/jam. Kukus tersebut dihasilkan dengan
menggunakan bahan bakar gas alam sebesar 9.206.220 mmBTU/tahun.
Efisiensi Kilang Hayati dihitung berdasarkan efisiensi karbon dan energi. Efisiensi
karbon hanya terdapat pada unit produksi furfural dan unit produksi etanol. Dari total karbon
yang diperoleh dari TKKS, 28,77% masuk kedalam unit produksi furfural dan 14,55% nya
menjadi produk. Sedangkan pada unit produksi etanol karbon yang diperoleh dari TKKS
adalah sebesar 6,62% dan yang menjadi produk sebesar 2,25%. sehingga total efisiensi
keseluruhan kilang hayati sebesar 16,80%.
Efisiensi energi diperoleh dari nilai energi output yang dihasilkan, yaitu furfural 22,13 MW,
etanol 4,56 MW, dan listrik sebesar 18,44 MW. Lalu output energi ini dibagi dengan total
energi input yang masing-masing diperoleh dari TKKS sebesar 89,69 MW, listrik sebesar
1,83 MW dan gas alam sebesar 67,12 MW sehingga diperoleh efisiensi energi sebesar
28,45%.
Gambar 5. Diagram Sankey aliran energi pada kilang hayati
Estimasi biaya investasi pada kilang hayati ini adalah sebesar $85,86 juta. Berdasarkan
gambar, dapat dilihat bahwa penyumbang kontribusi biaya investasi terbesar adalah unit
produksi etanol dengan persentase sebesar 27%. Untuk biaya operasi, biaya yang perlu
dikeluarkan adalah sebesar $56,95 juta per tahun. Penyumbang kontribusi terbesar adalah
biaya bahan bakar sebesar 92%, hal ini dikarenakan bahan bakar adalah salah satu bahan
penting didalam pembangkit kukus yang mana kukus sendiri adalah termasuk hal yang
penting dalam kilang hayati ini.
Kontribusi pendapatan kotor terbesar pada kilang hayati ini diberikan oleh furfural sebesar
42%, lalu dikuti oleh listrik sebesar 38% dan etanol sebesar 20%. Net Present Value yang
diperoleh dari kilang hayati ini adalah sebesar -$188,76 juta.
Perhitungan dampak kilang terhadap emisi CO2 menghasilkan total emisi sebesar 15.729 juta
kgCO2 ekuivalen dimana kontribusi emisi terbesar diberikan oleh kilang sebesar 95,65%.
Pada kilang hayati, kontribusi terbesar diberikan oleh unit kukus dengan persentase sebesar
63%, lalu diikuti oleh unit pembangkit listrik sebesar 21%. Share emisi dari setiap produk
terbesar diberikan oleh furfural sebesar 43%, lalu diikuti dengan listrik sebesar 40% dan
etanol sebesar 17%.
Variabel bebas pada penelitian ini mempengaruhi biaya modal dan pendapatan sehingga
mempengaruhi NPV. Berikut adalah hasil pengaruh variabel bebas terhadap komponen-
komponen yang mempengaruhi NPV.
Gambar 6. Pengaruh temperatur dan split fraksi terhadap kuantitas produk
Variasi suhu dari rentang 180-162o C mempengaruhi kuantitas produksi furfural.
Penurunan temperatur pada rentang ini menurunkan produksi furfural sebesar 52,54%. hal
ini dikarenakan semakin rendah suhu semakin sedikit pula xilosa yang terdekomposisi
menjadi furfural. Untuk produksi etanol, Penurunan temperatur pada rentang ini
meningkatkan produksi etanol sebesar 3,56%. hal ini dikarenakan semakin rendah suhu
semakin sedikit pula glukosa xilosa yang terdegradasi sehingga semakin banyak campuran
yang dialirkan ke unit produksi etanol. sedangkan untuk listrik, Penurunan temperatur
pada rentang ini meningkatkan listrik yang digenerasi sebesar 10,67%. hal ini dikarenakan
semakin rendah suhu semakin sedikit pula selulosa dan hemiselulosa yang terdegradasi
sehingga semakin banyak campuran yang dialirkan ke unit pembangkit listrik. Perubahan
split fraksi pada rentang 1-0,25 menurunkan produksi furfural dan etanol sebesar 75%.
Penurunan ini terjadi dikarenakan TKKS yang masuk kedalam kilang juga diturunkan
sebanyak 75%. Untuk Listrik, Perubahan split fraksi pada rentang 1-0,25 menurunkan
produksi listrik dari dalam reaktor sebesar 75%, namun meningkatkan produksi listrik
total hingga 75,52%. hal ini dikarenakan sebanyak 75% input TKKS langsung diproduksi
menjadi listrik. Listrik yang diproduksi langsung dari TKKS pada split fraksi 0,25 adalah
sebesar 17,25 MWe.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
180 175.5 171 166.5 162
GW
h/y
To
n/y
Temperatur (oC)
SF 1 Furfural
SF 0.75 Furfural
SF 0.5 Furfural
SF 0.25 Furfural
SF 1 Etanol
SF 0.75 Etanol
SF 0.5 Etanol
SF 0.25 Etanol
SF 1 Listrik
SF 0.75 Listrik
SF 0.5 Listrik
SF 0.25 Listrik
Gambar 7. Pengaruh temperatur dan split fraksi terhadap NPV, OM, dan Fuel Cost
Penurunan temperatur pada rentang 180-162o C pada split fraksi basis menunjukkan kenaikan
TCI sebesar 1,18% dikarenakan terjadi kenaikan pada produk etanol dan listrik. Mengingat
bahwa kedua produk ini memiliki kontribusi paling besar karena banyaknya unit yang
dibutuhkan. Pada kondisi basis, kontribusi dari produksi etanol dan listrik masing-masing
menyumbang 27% dan 25% biaya investasi. Untuk OM, Penurunan temperatur pada rentang
180-162o C pada split fraksi basis menunjukkan kenaikan OM sebesar 1,18% dikarenakan
terjadi kenaikan pada produk etanol dan listrik. Mengingat bahwa kedua produk ini memiliki
kontribusi paling besar karena banyaknya unit yang dibutuhkan. Pada kondisi basis,
kontribusi dari produksi etanol dan listrik masing-masing menyumbang 27% dan 25% biaya
operasional dan perawatan. Untuk fuel cost, Penurunan temperatur pada rentang 180-162o C
pada split fraksi kondisi basis, menyebabkan penurunan biaya bahan bakar sebesar 1,70%, hal
ini disebabkan semakin rendah suhu temperatur maka semakin rendah pula kebutuhan kukus.
Penurunan split fraksi dari 1 ke 0,25 masuk ke dalam reaktor hidrolisis pada temperatur basis,
menurunkan TCI keseluruhan sebesar 42,39%, hal ini dapat terjadi karena berkurangnya
kapasitas reaktor hidrolisis, unit produksi furfural, unit produksi etanol dan juga unit kukus
sehingga menurunkan TCI masing masing unit sebesar 62,11%. Terjadi kenaikan pada unit
pembangkit listrik sebesar 16,48%. Untuk OM, Penurunan split fraksi dari 1 ke 0,25 masuk ke
dalam reaktor hidrolisis pada temperatur basis, menurunkan OM keseluruhan sebesar 42,39%,
hal ini dapat terjadi karena OM reaktor hidrolisis, unit produksi furfural, unit produksi etanol
dan juga unit kukus masing masing unit menurun sebesar 62,11%. Terjadi kenaikan biaya
operasional dan perawatan pada unit pembangkit listrik sebesar 16,48%. Untuk fuel cost,
1
2
4
8
16
32
64
128
180 175.5 171 166.5 162
Juta
$
Temperatur (oC )
TCI Split Fraksi 1
TCI Split Fraksi 0.75
TCI Split Fraksi 0.5
TCI Split Fraksi 0.25
OM Split Fraksi 1
OM Split Fraksi 0.75
OM Split Fraksi 0.5
OM Split Fraksi 0.25
Fuel Cost Split Fraksi 1
Fuel Cost Split Fraksi 0.75
Fuel Cost Split Fraksi 0.5
Fuel Cost Split Fraksi 0.25
Penurunan split fraksi dari 1 ke 0,25 masuk kedalam reaktor hidrolisis pada temperatur basis
menyebabkan penurunan biaya bahan bakar sebesar 74,40%.
Gambar 8. Pengaruh temperatur dan split fraksi terhadap NPV
Pada penurunan temperatur pada rentang 180-162o C pada split fraksi kondisi basis, terjadi
penurunan NPV sebesar 31,07%. hal ini disebabkan kenaikan TCI sebesar 1,18% dan
penurunan pendapatan sebesar 24,03%. Terjadi pula penurunan pada biaya bahan bakar
sebesar 1,70%.
Pada penurunan split fraksi pada rentang 1 ke 0,25 masuk kedalam reaktor hidrolisis pada
kondisi temperatur basis, terjadi kenaikan NPV sebesar 123,1%, hal ini disebabkan oleh
penurunan TCI sebesar 42,39% dan penurunan biaya bahan bakar sebesar 74,40%. terjadi
penurunan pada pendapatan sebesar 25,09%.
-300
-250
-200
-150
-100
-50
0
50
100
160 165 170 175 180 185
NPV
(ju
ta $
)
Temperatur (oC)
SF 1
SF 0.75
SF 0.5
SF 0.25
Gambar 9. Pengaruh temperatur dan split fraksi terhadap emisi kilang hayati
Pada penurunan temperatur dari rentang 180-162o C dengan split fraksi pada kondisi basis,
terjadi penurunan emisi furfural sebesar 52,54%, hal ini terjadi karena terjadi penurunan pula
pada produk furfural dengan persentase yang sama. Hal ini pun terjadi pada penurunan emisi
furfural yang disebabkan oleh penurunan split fraksi dari 1 ke 0.25 masuk kedalam reaktor
hidrolisis, terjadi penurunan emisi sebesar 75%. Pada rentang temperatur yang sama, terjadi
kenaikan emisi etanol sebesar 3,56%, hal ini terjadi karena kenaikan pada produk etanol
dengan persentase kenaikan yang sama. Hal ini pun terjadi pada penurunan emisi etanol yang
disebabkan oleh penurunan split fraksi dari 1 ke 0,25 masuk kedalam reaktor hidrolisis,
terjadi penurunan emisi sebesar 75%. Selanjutnya pada listrik, pada rentang temperatur yang
sama, terjadi kenaikan emisi listrik sebesar 9,54%, hal ini terjadi karena semakin rendah suhu
maka produk yang masuk kedalam unit pembangkit listrik semakin banyak. Pada penurunan
split fraksi dari rentang 1 ke 0,25 masuk kedalam reaktor hidrolisis, terjadi peningkatan emisi
sebesar 63,53%.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
180 175.5 171 166.5 162
kg
CO
2-e
Temperatur (oC)
SF 1 Furfural
SF 0.75 Furfural
SF 0.5 Furfural
SF 0.25 Furfural
SF 1 Etanol
SF 0.75 Etanol
SF 0.5 Etanol
SF 0.25 Etanol
SF 1 Listrik
SF 0.75 Listrik
SF 0.5 Listrik
SF 0.25 Listrik
Gambar 10. Pengaruh temperatur dan split fraksi terhadap fungsi objektif
Dengan menurunkan split fraksi TKKS masuk kedalam reaktor dengan variasi 1, 0,75, 0,5,
dan 0,25 maka dapat meningkatkan NPV dan menurunkan emisi. Investasi dapat diterima
apabila NPV lebih dari 0. Maka pengambilan keputusan akan berfokus dalam rentang split
fraksi 0,25 TKKS masuk kedalam reaktor hidrolisis. Karena berdasarkan grafik diatas, hanya
rentang ini yang memenuhi syarat NPV lebih dari 0.
Gambar 11. Grafik hasil metode e-constraint
NPV maksimum berada pada suhu 180 oC dan pada split fraksi masuk kedalam reaktor
hidrolisis sebesar 0,25. Sedangkan emisi minimum berada pada temperatur 162 oC dan pada
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
-300 -250 -200 -150 -100 -50 0 50 100
em
isi
(ju
ta k
g C
O2-e
)
NPV (juta $)
180
175.5
171
166.5
162
Pareto
Frontier
9120
9140
9160
9180
9200
9220
9240
9260
32 34 36 38 40 42 44 46
em
isi
(ju
ta k
gC
O2
-e
)
NPV (juta $)
split fraksi masuk kedalam reaktor hidrolisis sebesar 0,25. maka dapat diketahui bahwa kedua
titik yang digunakan sebagai batasan dalam metode D-constraint ini berada pada split fraksi
0,25.
Pada rentang split fraksi 0,25, penurunan emisi dapat dilakukan sebesar 1,21% dengan
menurunkan NPV sebesar 23,27%. Dikarenakan NPV lebih sensitif, maka pengambilan
keputusan diberatkan kepada NPV. Temperatur yang dipilih adalah pada suhu 180 oC dan
pada split fraksi masuk kedalam reaktor hidrolisis sebesar 0,25.
Desain ini menghasilkan NPV sebesar $43,6 juta dan emisi sebesar 9237 juta kgCO2
ekuivalen.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai
berikut.
1. Kontribusi pendapatan terbesar pada kondisi basis diberikan oleh penjualan produk
furfural dengan persentase sebesar 53% dari total pendapatan
2. Kontribusi emisi terbesar pada kondisi basis diberikan oleh unit kukus dengan
persentase 63% dari total emisi kilang hayati.
3. Kondisi NPV > 0 hanya diperoleh pada rentang split fraksi 0,25.
4. Pada kondisi split fraksi 0,25, penurunan emisi sebesar 1,21% dapat dilakukan dengan
menurunkan NPV sebesar 23,27%
5. Desain optimum kilang hayati diperoleh dengan menggunakan suhu pada reaktor
hidrolisis sebesar 180o C dan split fraksi umpan TKKS 500 ton/hari masuk reaktor
hidrolisis sebesar 0,25.
6. NPV pada desain ini adalah sebesar $43,6 juta dengan emisi sebesar 9.237 juta kgCO2
ekuivalen.
Kepustakaan
Brunet, R., Carrasco, D., Muñoz, E., Guillén-Gosálbez, G., Katakis, I. and Jiménez, L., 2012,
June. Economic and environmental evaluation of microalgae biodiesel production
using process simulation tools. In Symposium on Computer Aided Process
Engineering (Vol. 17, p. 20).
Albarelli, J.Q., Onorati, S., Caliandro, P., Peduzzi, E., Meireles, M.A.A., Marechal, F. and
Ensinas, A.V., 2015. Multi-objective optimization of a sugarcane biorefinery for
integrated ethanol and methanol production.Energy.
Amore, A., Ciesielski, P.N., Lin, C.Y., Salvachúa, D. and i Nogué, V.S., 2016. Development
of LignocellulosicBiorefinery Technologies: Recent Advances and Current
Challenges. Australian Journal of Chemistry.
Budzianowski, W.M. and Postawa, K., 2016. Total Chain Integration of sustainable
biorefinery systems. Applied Energy, 184, pp.1432-1446.
Brunet, R., Guillén‐Gosálbez, G. and Jiménez, L., 2014. Minimization of the nonrenewable
energy consumption in bioethanol production processes using a solar‐assisted steam
generation system. AIChE Journal, 60(2), pp.500-506.
Brunet, R., Boer, D., Guillén-Gosálbez, G. and Jiménez, L., 2014.Reducing the cost,
environmental impact and energy consumption of biofuel processes through heat
integration.Chemical Engineering Research and Design, 93, pp.203-212.
Brunet, R., Carrasco, D., Muñoz, E., Guillén-Gosálbez, G., Katakis, I. and Jiménez, L., 2012,
June.Economic and environmental evaluation of microalgae biodiesel production
using process simulation tools.In Symposium on Computer Aided Process Engineering
(Vol. 17, p. 20).
Cheng, L. and Anderson, C.L., 2016. Financial sustainability for a lignocellulosicbiorefinery
under carbon constraints and price downside risk. Applied Energy, 177, pp.98-107.
Costa, C.B.B., Potrich, E. and Cruz, A.J.G., 2016.Multiobjective optimization of a sugarcane
biorefinery involving process and environmental aspects.Renewable Energy, 96,
pp.1142-1152.
Dávila, J.A., Rosenberg, M. and Cardona, C.A., 2017. A biorefinery for efficient processing
and utilization of spent pulp of Colombian Andes Berry (RubusglaucusBenth.):
Experimental, techno-economic and environmental assessment. Bioresource
Technology, 223, pp.227-236.
Elgharbawy, A.A., Alam, M.Z., Moniruzzaman, M. and Goto, M., 2016. Ionic liquid
pretreatment as emerging approaches for enhanced enzymatic hydrolysis of
lignocellulosic biomass. Biochemical Engineering Journal, 109, pp.252-267.
ElMekawy, A., Hegab, H.M., Mohanakrishna, G., Elbaz, A.F., Bulut, M. and Pant, D., 2016.
Technological advances in CO 2 conversion electro-biorefinery: a step toward
commercialization. Bioresource technology, 215, pp.357-370.
Geraili, A. and Romagnoli, J.A., 2015. A Framework for Optimal Design of Integrated
Biorefineries under Uncertainty.CHEMICAL ENGINEERING, 43.