moret complete

Upload: aam-amelia

Post on 19-Jul-2015

392 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAKALAH MORAL ETIKA FARMASI ETIKA APOTEKER DI APOTEK

DISUSUN OLEH: AAM AMELIA (108102000061) HESTY PRISKA APRINA (108102000009) MAHMUDAH (108102000072) ZIKRIAH (108102000069) PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKETRAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena dengan segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah moral etika farmasi dengan judul etika pelayanan di apotek. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah moral etika kefarmasian sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan nilai UTS pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam terselesainya makalah ini Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis, khususnya bagi mahasiswa farmasi, masyarakat pada umumnya dan bagi dunia ilmu pengetahuan.

Jakarta, 7 Desember

Penulis

Farmasi 2008

Page 2

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

DAFTAR ISI Halaman

JUDUL

--------------------------------------------------------------

1 2 3 4 4 10 10 11 11 12 12 12 16 21 22 35

KATA PENGANTAR -----------------------------------------------------------DAFTAR ISI -----------------------------------------------------------

BAB I PENDAHULUAN -------------------------------------------------------1.1 Latar Belakang ------------------------------------------------------1.2 Rumusan Masalah --------------------------------------------------1.3 Hipotesis 1.4 Tujuan -----------------------------------------------------------------------------------------------------

1.5 Manfaat -------------------------------------------------------------BAB II TINJAUAN PUSTAKA --------------------------------------2.1 2.2 2.3 BAB III BAB IV Apotek Apoteker Moral Etika -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

METODELOGI PENYELESAIAN MASALAH --------PEMBAHASAN -----------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA

Farmasi 2008

Page 3

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

BAB I PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Kasus kolusi antara dokter dan apoteker sering terjadi dan konsumen terus saja menjadi korban.Tampaknya tidak ada jalan keluar yang dapat memihak konsumen. Tentu banyak yang bertanya-tanya mengapa kolusi tersebut tak terselesaikan? Bukankah ada pemerintah yang seharusnya membuat kebijakan dan peraturan yang memihak dan melindungi konsumen? Apakah terlalu sulit bagi pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut? Apakah pemerintah tidak mengetahui bahwa hal itu terjadi? Ataukah aparat pemerintah ikut terlibat dalam proses kolusi dan mendapat bagian sehingga enggan bertindak? Bagaimana profesi kedokteran dan farmasi berkiprah menghadapi masalah tersebut? Bagaimana pula konsumen bereaksi terhadap masalah itu? Dalam sektor kesehatan, sebenarnya konsumen tidak hanya dirugikan pada komponen obat-obatan. Di lain pihak banyak kejadian di mana terdapat kesalahan operasi, misalnya seorang pasien terpaksa harus menjalani operasi lagi, tetapi beban biayanya tetap menjadi tanggung jawab pasien. Seorang pasien mendapat resep yang tidak dibutuhkannya tetapi biayanya menjadi beban pasien. Seharusnya, jika kesalahan suatu tindakan ada pada dokter atau rumah sakit, maka beban biaya tidak dibebankan kepada pasien. Yang membuat kesalahanlah yang seharusnya menanggung beban (liability).

Pelayanan Kesehatan yang Unik

Pelayanan kesehatan memiliki ciri yang unik yang tidak dimiliki oleh produk lain. Salah satu ciri unik tersebut adalah apa yang disebut informasi asimetri. Informasi yang dimiliki konsumen atau pasien tidak seimbang dengan informasi yang dimiliki penjual. Suatu mekanisme pasar sempurna mengharuskan adanya informasi yang seimbang/ sempurna. Tentu hampir tidak ada yang sempurna di dunia ini, akan tetapi di banyak produk, informasi yang dimiliki konsumen dan produsen tidak jauh berbeda seperti pada pelayanan kesehatan (termasuk obat-obatan). Dalam penjualan obat-obatan, dokter dan apotekerlah yang tahuFarmasi 2008 Page 4

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

informasi tentang obat sedangkan pasien hampir tidak mengerti apa-apa. Pasien tidak tahu apa isi zak aktif suatu obat, pasien tidak tahu bagaimana mekanisme zak aktif itu bekerja, pasien tidak tahu berapa dosis yang dibutuhkannya, dan pasien juga tidak tahu berapa persis harga obat yang layak. Lebih parah lagi, pasien tidak memiliki daya tawar dalam transaksi obat. Apa pernah ada pasien yang menebus resep dokter harus tawar menawar harga? Berapapun kata petugas apotik, itulah yang dibayar pasien. Lebih-lebih lagi, pasien tidak tahu apakah dia membutuhkan obat yang diresepkan atau tidak! Bagaimana jika petugas membuat kesalahan? Itu resiko pasien! Dalam ilmu ekonomi, banyak produk lain yang juga asimetrik. Konsumen tidak memiliki informasi yang cukup untuk membeli suatu barang, akan tetapi konsumen mempunyai pilihan mendapatkan informasi dari konsultan atau pihak ketiga sebelum membeli suatu produk. Penjual seringkali memberi garansi untuk waktu tertentu, agar konsumen tidak terbebani kesalahan pilih. Apa yang terjadi dalam penjualan obat? Pasien juga memiliki konsultan yaitu dokter. Celakanya, dokter sebagai konsultan juga berada pada pihak penjual dan seringkali juga sebagai penjual atau suplier. Peran dokter yang ganda (double agent) ini membuat peluang lebih besar untuk membodohi atau mengelabui pasien. Apalagi tidak ada garansi dalam produk keksehatan pada umumnya. Berbeda dengan produk lain, dalam pelayanan kesehatan demand (permintaan) pasien tidak ditentukan oleh pasiennya sendiri, akan tetapi ditentukan oleh konsultannya. Seorang pasien membeli obat di apotik bukan karena ia secara sadar membutuhkannya. Dokterlah yang mengatakan ia membutuhkan obat itu, baik dengan menasehatinya atau memberinya resep. Seorang pasien tidak mampu mengevaluasi apakah nasihat seorang dokter benar atau tidak benar, karena adanya informasi yang asimetri tersebut. Dalam produk lain, yang meskipun asimetri, misalnya produk makanan tertentu, seorang konsumen dapat secara independen memutuskan apakah ia butuh atau tidak dan kemudian memutuskan untuk membeli atau tidak membeli. Dalam hal obat, seorang konsumen (pasien) tidak mengetahui apakah dia membutuhkan suatu obat atau tidak. Seorang pasien akan sangat tergantung pada nasihat seorang dokter. Kedudukan seorang pasien untuk mengambil keputusan yang independen menjadi tambah lemah karena pada banyak hal nasihat dokter menyangkut hidup atau mati dan cacat seumur hidup. Sangat sedikit orang yang berani mengambil resiko untuk menolak nasihat seorang dokter karena resiko hidup-mati itu. Kedudukan pasien hampir sama dengan kedudukan orang yang di bawah tekanan yang harus memilih hidup atau mati. Oleh karenanya, pada sebagian besar kasus, soerang pasien akan menerima nasihat dokter apaFarmasi 2008 Page 5

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

adanya meskipun pasien itu seorang profesor. Dalam pelayanan kesehatan, seorang profesor sekalipun dapat berada pada posisi inferior. Itulah sebabnya, di negara-negara maju yang telah menyadari ciri unik pelayanan kesehatan ini, pelayanan kesehatan dan penjualan obat diatur dan diawasi sangat ketat oleh negara (heavily regulated). Pada prinsipnya, ada dua mekanisme untuk melindungi publik (konsumen) yaitu peraturan (termasuk pengawasan dan penegakkan hukum) oleh pemerintah dan mekanisme pasar (market regulation). Mekanisme pasar hanya berfungsi jika ada informasi yang simetri atau mendekati simetri. Dalam hal pelayanan kesehatan, mekanisme pasar tidak berfungsi dan karenanya perlu regulasi pemerintah. Regulasi (mekanisme) pasar saja tidak akan efektif. Di Amerika misalnya, seorang dokter dilarang mengirimkan pasien ke laboratorium klinik yang dokter itu memiliki saham di dalamnya. Jelas, karena hal itu dapat merugikan pasiennya. Karena dokter dapat meminta pemeriksaan lab yang tidak dibutuhkan pasiennya. Ini di negara kapitalis! Jadi di negara kapitalis yang sudah begitu maju, yang rakyatnya pintar-pintar, tetap informasi asimetri ini disadari dan karenanya pemerintah mengatur dengan ketat bisnis kesehatan ini. Prinsipnya boleh saja seseorang menjadi kapitalis akan tetapi ia tidak boleh merugikan konsumen. Bagaimana di Indonesia?

Pemberdayaan Konsumen dan Etika Kedokteran Tidak Memadai Untuk mengatasi maraknya perselingkuhan antara dokter dengan perusahaan farmasi dan apotik, konsumen perlu diberdayakan dan etika kedokteran dan farmasi perlu ditegakkan. Memperhatikan ciri unik pelayanan kesehatan yang secara singkat disampaikan di atas; jelas sekali kedua pendekatan tersebut dapat dipastikan tidak akan berfungsi baik. Ilmu kedokteran dan farmasi berkembang dengan sangat cepatnya yang ditunjang oleh perkembangan ilmu kimia, komputer, pertumbuhan ekonomi dan berbagai tekonologi lainnya. Sementara konsumen semakin sibuk dengan urusannya dan semakin banyak informasi yang harus dicernanya sehingga kemampuannya untuk menyeimbangkan informasi semakin kecil. Informasi asimetri akan tetap sangat besar di dalam pelayanan kesehatan. Oleh karenanya sebagai respons institusional, untuk melindungi kepentingan publik atau konsumen, peraturan dan pemberdayaan hukum menjadi satu-satunya cara yang efektif. Sekarang ini, mesti diakui bahwa peraturan yang ada belum menguntungkan konsumen. Harapan kita kabinet reformasi atau kabinet apapun namanya nanti akan mampu berpihak kepada konsumen, bukan kepadaFarmasi 2008 Page 6

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

produsen (termasuk penyedia pelayanan kesehatan, PPK). Mekanisme pasar tidak akan efektif meskipun konsumen diberdayakan. Jika di Amerika saja, yang penduduknya sudah pintar-pintar, pelayanan kesehatan sangat ketat diatur dan diawasi apalgi di Indonesia yang tingkat pendidikannya masih rendah. Jadi pemberdayaan konsumen saja tidak akan memadai. Etika kedokteran dan farmasi telah ada di Indonesia dan di dunia sejak puluhan tahun yang lalu. Dokter kita telah mengangkat sumpah Hipokrates sejak dokter pertama dilantik di Indonesia. Tetapi mengapa perselingkuhan semakin marak? Seorang dokter yang pasiennya melimpah semakin didekati oleh perusahaan farmasi. Oknum dokter tersebut mendapatkan semakin banyak uang dan kesempatan berkonperensi di dunia bersama keluarga, keuntungan oknum perusahaan farmasi semakin berlipat. Sempurna! Tetapi pasien menjadi sapih perahan. Tidak heran jika ada perusahaan farmasi yang sangat cepat tumbuh dan mampu mengembangkan usahanya ke berbagai sektor usaha lain dalam waktu yang singkat. Informasi yang tidak seimbang yang memudahkan kolusi, memberikan kesempatan mengeruk keuntungan yang besar. Masalah utama dari etika profesi adalah ketidakberdayaannya dalam menegakkan sangsi terhadap pelanggar etika itu. Sangsi etika hanya sampai pada sangsi moral. Sedangkan nilai-nilai moral berubah dari waktu ke waktu sesusai dengan perubahan jaman. Jika tiga sampai empat puluh tahun yang lalu sangsi moral masih berjalan baik, kini sangsi moral itu sudah semakin lemah. Seorang profesional tidak lagi malu jika diketahui oleh rekannya bahwa ia melanggar etika profesi. Kepentingan ekonomi menjadi pertimbangan yang lebih penting daripada kepentingan moral. Oleh karenanya yang dapat dilakukan konsumen adalah mendesak pemerintah agar mengatur dengan adil pelayanan kesehatan dan penjualan obat agar pasien (konsumen) mendapatkan keuntungan terbesar. Kita peraturan yang pro publik! Hal ini tidak berarti bahwa produsen obat, apotek, dan PPK tidak boleh mencari nafkah yang wajar. Mereka berhak hidup layak akan tetapi hal itu harus dilakukan tanpa menyengsarakan konsumen. Kita perlu peraturan yang memihak publik. Apoteker adalah sebuah profesi kesehatan yang diakui keberadaannya oleh UU tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan.Para tenaga kesehatan itu masingmasing juga berkumpul dalam sebuah organisasi profesi yang diakui keberadaannya oleh pemerintah. IDI untuk profesi dokter, IBI untuk profesi bidan, IDGI untuk profesi dokter gigi. Untuk apoteker tergabung dalam ISFI atau Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Masingmasing organisasi profesi ini punya kewenangan mengatur rumah tangganya, dan bersifat independent. Mereka mempunyai kode etik dalam menjalankan profesinya.Farmasi 2008 Page 7

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Kode etik apoteker mengatur hubungan dengan sesama apoteker dan tenaga kesehatan lain dan juga dalam berpraktek profesi. Sebelum apoteker berpraktek profesi di apotek, RS, Industri dan lain bidang akan mencari surat rekomendasi untuk menjalankan praktek profesinya. Apoteker dengan apoteker lain menurut kode etik adalah saudara sekandung yang mestinya adalah saling melindungi, tetapi kenyataan di lapangan bukannya saling melindungi tetapi saling jagal menjagal.terutama apoteker yang berpraktek profesi di Komunitas (apotek). Apoteker akan tertawa melihat apotek saudara sekandungnya tutup karena kalah bersaing dalam bisnis apotek. Hal ini karena apoteker tidak independent dalam berpraktek profesi di apotek. Masih ada satu faktor yang menghalangi yaitu factor PSA (Pemilik Sarana Apotek). Tidak semua apotek milik apoteker. Dan memang profesi apoteker adalah profesi yang sangat dekat dengan bisnis . Kelemahan tidak semua apotek dimiliki oleh PSA inilah yang seringkali dimanfaatkan sedemikianrupa oleh PSA untuk mengeruk keuntungan tanpa memperdulikan etika profesi dan organisasi profesi. Para apoteker yang berkecimpung di komunitas merindukan langkah kondusif dinas kesehatan untuk bekerjasama dengan semua organisasi kesehatan, sehingga masyarakat akan dapat memetik keuntungan dengan meningkatnya derajat kesehatan tanpa melemahkan organisasi profesi. Apoteker atau ada yang menyebutnya dengan farmasis

merupakan salah satu dari profesi kesehatan. Kalau mendengar kata apoteker, barang kali yang terlintas dalam banyak benak orang adalah apotek karena memang kata yang terakhir ini sudah sangat dikenal luas. Untuk menjadi seorang apoteker, maka setelah menamatkan sekolah menengah atasnya (SMU atau SMF / Sekolah Menengah Farmasi atau yang sederajat), seseorang harus melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dengan memilih jurusan/ program studi FARMASI. Lamanya pendidikan di program studi ini adalah selama 4 tahun atau 8 semester. Setelah menyelesaikan studi yang setara dengan Strata 1 / S1 ini dan mendapatkan gelar Sarjana ( sekarang sarjana farmasi ), maka langkah selanjutnya adalah mengambil kuliah profesi selama 1 tahun atau 2 semester. Baru setelah kuliah profesi ini diselesaikan, seseorang berhak menyandang profesi apoteker yang sebelumnya harus mengucapkan sumpah profesi di hadapan pemuka agama yang didatangkan dari instansi berwenang. Selama menempuh pendidikan di bangku kuliah, baik untuk tingkat sarjana maupun profesi, seseorang akan lebih banyak mempelajari tentang obat dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Mulai dari bahan baku obat, proses pembuatan obat menjadi produkFarmasi 2008 Page 8

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

obat yang bisa digunakan oleh masyarakat, kegunaan atau khasiat obat, cara penggunaan obat, efek samping dari obat, dan lain sebagainya. Pendek kata segala sesuatu yang berkaitan dengan obat dipelajari sebelum menyandang profesi apoteker. Sehingga apoteker merupakan profesi yang seharusnya memiliki pengetahuan yang paling luas tentang obat. Dimanakah profesi apoteker bisa dijumpai? Sesuai dengan peraturan tentang kefarmasian, maka profesi ini bisa mengabdikan profesinya di beberapa tempat. Tempat yang paling banyak menampung apoteker adalah apotek. Sesuai dengan peraturan pemerintah, apotek harus dibawah tanggung jawab seorang apoteker. Di Indonesia, satu apotek pada umumnya memiliki satu apoteker, kecuali pada beberapa apotek besar. Berbeda dengan di Jepang dimana dalam satu apotek bisa terdapat 10 atau lebih apoteker tergantung pada besar kecilnya apotek. Di apotek Indonesia, dalam menjalankan tugasnya, seorang apoteker dibantu oleh beberapa tenaga teknis seperti asisten apoteker (lulusan SMF atau Akademi Farmasi), juru racik ,kasir atau tenaga lainnya. Di tempat ini seharusnya apoteker lebih banyak berkomunikasi dengan pasien yang menebus obat. Kenapa komunikasi apoteker sebagai tenaga ahli di bidang obat dengan pasien diperlukan? Jawabannya adalah karena banyaknya persoalan-persoalan yang terkait dengan obat. Mulai dari aturan penggunaan, efek samping obat, interaksi obat, kepatuhan pasien dan lain sebagainya. Banyak penelitian yang telah dipublikasikan terkait masalah-masalah ini. Jadi ketika kita sebagai pasien menebus obat di apotek, ada baiknya kita meminta untuk berkonsultasi dengan apoteker. Kalau apotekernya tidak ada di tempat, silahkan buat janji atau jika memungkinkan bisa berkomunikasi lewat telepon dan sebagainya. Selain di apotek, apoteker juga banyak bekerja di rumah sakit, tepatnya di bagian instalasi farmasi. Bidang tugasnya kurang lebih sama dengan di apotek, bedanya apotek ini berada di dalam instansi rumah sakit. Selain itu apoteker juga bekerja di pabrik produsen obat. Sesuai dengan peraturan pemerintah bahwa bagian produksi dan riset pabrik obat harus di bawah tanggung jawab apoteker. Apoteker juga banyak bekerja di bidang pengawasan obat seperti Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan ( BPOM ). Produsen kosmetik juga menjadi lahan kerja bagi apoteker. Karena kosmetik juga bidang studi yang dipelajari cukup luas di perguruan tinggi farmasi.

Farmasi 2008

Page 9

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Kosmetik disamping bertujuan untuk estetika, ada juga yang bertujuan sebagai terapi atau pengobatan

1.2

RUMUSAN MASALAH

1. Apoteker tidak pernah datang ke apotek 2. Terjadinya kolusi antara dokter dan apoteker yang merugikan pasien 3. Minimnya gaji apoteker di indonesia 4. Tidak adanya pelayanan pharmaceutical care Apoteker di apotek 5. Adanya pelayanan obat keras di apotek tanpa adanya resep dokter 6. Persaingan dengan apotek lain

1.3

HIPOTESIS

1. Karena bagi apoteker jika terlalu sering datang ke apotek hal ini hanya akan menghabiskan waktu dengan percuma ,karena gaji yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan 2. Karena dengan adanya kolusi antara dokter dan apoteker ini akan memberikan profit yang menguntungkan bagi dokter dan apoteker sehingga income yang diperoleh lebih banyak 3. Diharapkan standar gaji apoteker sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional)

4. Tidak adanya pelayanan pharmaceutical care di apotek dikarenakan karena tidak adanya keinginan dari diri pasien untuk mengetahui tentang obat dan tidak adanya keinginin apoteker untuk memberikan pengetahuan tentang obat kepada pasien 5. Adanya pelayanan obat keras di apotek seperti antibiotik dan narkotik ini dikarenakan karena biasanya pasien telah mengetahui obat yang akan diberikan dokter sehingga pasien tersebut langsung pergi ke apotek untuk membeli obat seperti antibiotik tanpa meminta resep dokter ,hal ini dikarenakan pasien ingin meminimalisir uang konsultasi pada dokter. Selain itu , pihak apotek jugaFarmasi 2008 Page 10

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

melakukan pelayanan tanpa resep ini dikarenakan agar produk yang ada di apotek mereka laku terjual 6. Persaingan antar apotek ini terjadi dikarenakan pihak apotek berlomba lomba untuk menjual produk sebanyak banyaknya untuk mendapatkan income yang banyak. Selain itu juga persaingan antar apotek ini terjadi karena lokasi apotek nya dalam satu kawasan yang sama sehingga persaingan pun tidak dapat dihindari

1.4

TUJUAN

1.Untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional 2. Melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian 3.Mengetahui faktor faktor yang menjadi pemicu permasalahan dalam apotek 4.Dapat mengatasi permasalahan yang terjadi menyangkut persaingan apotik 5.Sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi di apotek

1.5

MANFAAT

1. Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat 2. Adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas di apotek 3. Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja di apotek 4. Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; 5. Membantu proses audit.

Farmasi 2008

Page 11

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No1027/MenKes/SK/IX/2004, apotek adalah tempat tertentu tempat dilakukan pekerjaan dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Perbekalan kesehatan semua bahan selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan, yang bertanggung jawab dalam mengelola apotek adalah seorang apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Menurut PP No. 25 tahun 1980 tugas dan fungsi apotek yaitu 1. sebagai tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. 2. Sarana Farmasi yang melakukan pengubahan bentuk dan penyerahan obat dan bahan obat. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata 2.2 Apoteker

Berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/IX/2004, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Apoteker merupakan profesi yang diberi wewenang untuk mengatur, mengawasi dan melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan kefarmasian. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang pelayanan kefarmasian pada saat ini telah mengacu pada pelayanan kefarmasian (pharmaucetical care. Yang dimaksud praktek kefarmasian tersebut meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Apoteker merupakan tenaga kesehatan professional yang banyak berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai sumber informasi obat. Oleh karena itu, informasi obat yang diberikan pada pasien haruslah informasi yang lengkap dan mengarah pada orientasi pasien bukan pada orientasi produk. Dalam hal sumber informasi obat seorang apoteker harus mampu memberi informasi yang tepat dan benar sehingga pasien memahami dan yakin bahwa obat yang digunakannya dapat mengobati penyakit yang dideritanya dan merasa amanFarmasi 2008 Page 12

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

menggunakannya. Dengan demikian peran seorang apoteker di apotek sungguh-sungguh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tugas dan Kewajiban Apoteker Sebagai pengelola apotek, apoteker mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut: 1. Memimpin dan mengawasi seluruh aktivitas apotek sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Merencanakan dan mengatur kebutuhan barang, yaitu obat, bahan obat, alat kesehatan, perbekalan farmasi lainnya untuk satu periode tertentu. 3. Mengatur dan mengawasi penjualan dalam bentuk resep, penjualan bebas, dan langganan serta menetapkan kebijakan harga. Berusaha meningkatkan penjualan dengan menjalin hubungan baik dengan pasien, mencari langganan baru, serta promosi dan publikasi 4. Melakukan pengawasan terhadap obat dan bahan obat serta kualitatif dan kuantitatif, melakukan kontrol terhadap peracikan, pelayanan terhadap resep yang dibuat dan diserahkan kepada pasien serta menyelenggarakan informasi obat pada pasien dan dokter. 5. Apoteker memimpin, mengatur, dan mengawasi pekerjaan tata usaha, keuangan, pelayanan, dan logistik. Peranan Apoteker di Apotek 1. Peranan Apoteker Sebagai Manajer Apoteker berperan sebagai manajer yang harus memiliki kemmpuan managerial. Dengan demikian apoteker dituntut untuk memilki keahlian dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang terdiri dari : Planning, Organizing, Actuating dan Controling. Untuk mengelola apotek,diperlukan manajemen dalam menyusun rencana kerja (planning) untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu,dalam melaksanakan rencana kerja harus ada pembagian kerja (organizing) lalu melaksanakannya (actuating) serta pengawasan (controlling) terhadap kinerja yang diperoleh. Manajemen Apotek, adalah manajemen farmasi yang diterapkan di apotek. Sekecil apapun suatu apotek, sistem manajemennya akan terdiri atas setidaknya beberapa tipe manajemen, yaitu : Manajemen keuangan Manajemen pembelian Manajemen penjualan Manajemen Persediaan barang Manajemen pemasaran Manajemen khususPage 13

Farmasi 2008

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

2. Peranan Apoteker Sebagai Teknis Farmasi Pekerjaan keprofesian apoteker di apotek adalah rangkaian kegiatan berdasakan keilmuan, tanggung jawab dan etika profesi. Apoteker bertanggung jawab terhadap keabsahan obat atau bahan farmasi sebagai sediaan jadi atau bahan baku yang diperlukan dalam pembuatan dan peracikan obat bagi penderita berdasarkan ilmu farmasi yang dimilikinya. Menyediakan obat dan bahan farmasi dengan mutu yang berkualitas yang memenuhi mutu farmasetik. 3. Pelayanan Resep Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa: Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep dengan obat paten. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat Apoteker wajib memberikan informasi: 1. Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen. 2. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/Sk/Ix/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek : Skrining Resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi : - Persyaratan Administratif : - Nama, SIP dan alamat dokter - Tanggal penulisan resep - Tanda tangan/paraf dokter penulis resep - Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien - Cara pemakaian yang jelas - Informasi lainnya - Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberianFarmasi 2008 Page 14

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

-

Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

Penyiapan obat. Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca Kemasan Obat yang Diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Penyerahan Obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien. Informasi Obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurangkurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC,asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

Monitoring Penggunaan Obat.Page 15

Farmasi 2008

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovasku-lar, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

2.3

Moral Etika

Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai the discpline which can act as the performance index or reference for our control system.Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok social (profesi) itu sendiri Moral dan etika pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menurut keyakinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak. Dengan demikian prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar dan yang salah yang mereka yakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah merupakan sistim dari prinsip-prinsip moral termasuk aturan-aturan untuk melaksanakannya Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek Professional adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang. Prinsip-Prinsip Etika Profesi 1. Tanggung jawab Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya. Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.Farmasi 2008 Page 16

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya 3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya. Syarat-Syarat Suatu Profesi : Melibatkan kegiatan intelektual. Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus. Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan. Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan. Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen. Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

Peranan Etika Dalam Profesi :

Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilakuperilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.Farmasi 2008 Page 17

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Pekerjaan Profesi Apoteker / pekerjaan kefarmasian diperoleh dari negara sebagai otoritas keahlian, sehingga apoteker perlu disumpah. Profesi Apoteker adalah kemauan dan tanggung jawab Apoteker untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai syarat legal minimum yang berlaku serta memenuhi standar profesi dan etik Apoteker

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA BAB I KEWAJIBAN UMUM Pasal 1 Sumpah/Janji Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker. Pasal 2 Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia. Pasal 3 Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. Pasal 4 Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. Pasal 5 Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Pasal 6 Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.Farmasi 2008 Page 18

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Pasal 8 Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada khususnya. BAB II KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PENDERITA Pasal 9 Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani. BAB III KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT Pasal 10 Setiap Apoteker harus memperlakukan Teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Pasal 11 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik. Pasal 12 setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya. BAB IVFarmasi 2008 Page 19

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

KEWAJIBAN APOTEKER/FARMASIS TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAINNYA Pasal 13 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan. Pasal 14 Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya. BAB V PENUTUP Pasal 15 Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker ndonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun idtak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka Apoteker tersebut wajib mengakui danmenerima sanksi dari pemerintah, Ikatan/Organisasi Profesi Farmasi yang menanganinya yaitu ISFI dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2.4 Kebijakan Kebijakan Kebijakan Pemerintah tentang pelayanan apoeke di apotek a) Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek Peraturan Pemerintah tentang Apotek. Ketentuan Umum Yang dimaksud dengan apotek dalam Peraturan Pemerintah ini ialah: suatu tempat tertentu, di mana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi danFarmasi 2008 Page 20

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

pekerjaan kefarmasian, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 huruf c dan pasal 3 huruf b Undang-undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara tahun 1963 No. 81 ). Tugas dan fungsi apotek, ialah: a. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat. b. Penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi: obat, bahan obat, obat asli Indonesia, kosmetik, alat-alat kesehatan, dan sebagainya. Apotek dapat diusahakan oleh: a. Lembaga-lembaga Pemerintah tertentu, di pusat maupun di daerah b. Perusahaan Negara, Perusahaan Swasta, Koperasi, dan sebagainya. Pertanggungjawab 1) Pertanggungan jawab teknis farmasi, sesuai dengan Undang-undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara tahun 1963 No.81), daripada sebuah apotek terletak pada seorang apoteker. 2) Pertanggungan jawab seorang apoteker seperti yang dimaksudkan dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan. 3) Pertanggungan jawab seorang apoteker seperti yang dimaksudkan dalam ayat (1) dan (2), tidak mengurangi pertanggungan jawab seorang dokter menurut peraturan-peraturan perundangan. Izin Mendirikan Apotek 1) Untuk mendirikan apotek harus ada izin dari Menteri Kesehatan yang menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai: 2) Syarat-syarat kesehatan daripada ruangan (tempat) apotek; 3) Alat-alat perlengkapan dan obat-obat yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian; 4) Hal-hal lain yang dianggap perlu.

b) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/Sk/Ix/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pada BAB II tentang Sumber Daya Manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional . DalamFarmasi 2008 Page 21

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai menempatkan pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

BAB III METODELOGI PENYELESAIAN MASALAH Penyelesaian masalah melaluli studi literature seperti kebijakan pemerintah, UUD dan buku buku kefarmasian dan moral etika.

Farmasi 2008

Page 22

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

BAB IV PEMBAHASAN

Pelayanan apotek merupakan salah satu pelayanan kesehatan di Indonesia. Pelayanan apotek saat ini harus berubah orientasi dari drug oriented menjadi patient oriented dengan berasaskan pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan farmasi yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi harus diubah menjadi pelayanan yang komprehensif dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan apotek haruslah berdasarkan kepada etik dan moral kefarmasian. Pelayanan kesehatan yang baik berperan strategis dalam perbaikan kesehatan masyarakat. Kualitas layanan farmasi dan pelayanan kefarmasian yang lebih baik dan berorientasi pada konsumen (pasien) harus terus dikembangkan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah dan meningkat, disamping dapat mengurangi risiko pengobatan. Pelayanan yang bermutu selain mengurangi risiko terjadinya medication error, juga memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat sehingga masyarakat akan memberikan persepsi yang baik terhadap apotek. Telah ada kesepakatan bahwa mutu pelayanan kesehatan dititikberatkan pada kebutuhan dan tuntutan pengguna jasa yang berkaitan dengan kepuasan pasien sebagai konsumen . Pelayanan yang bermutu selain berdasarkan kepuasan konsumen juga harus sesuai dengan standar dan kode etik profesi . Untuk menjamin mutu pelayanan farmasi kepada masyarakat, telah dikeluarkan standar pelayanan farmasi komunitas (apotek) yang meliputi antara lain sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pelayanan resep (tidak hanya meliputi peracikan dan penyerahan obattetapi juga termasuk pemberian informasi obat), konseling, monitoring penggunaan obat, edukasi,promosi kesehatan, dan evaluasi terhadap pengobatan (antara lain dengan membuat catatan pengobatanpasien) Semakin pesatnya perkembangan pelayanan apotek dan semakin tingginya tuntutan masyarakat, menuntut pemberi layanan apotek harus mampu memenuhi keinginan dan selera masyarakat yang terus berubah dan meningkat. Namun, di lapangan kerap terjadi penyimpangan mengenai pelayanan kefarmasian khususnya di apotek, yang diantara lain penulis bahas yaitu :

Farmasi 2008

Page 23

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

1. Apoteker melalaikan tugasnya di apotek Apoteker adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan kewenangan di bidang kefarmasian baik di apotek, rumah sakit, industri, pendidikan, dan bidang lain yang masih berkaitan dengan bidang kefarmasian. Pendidikan apoteker dimulai dari pendidikan sarjana, kurang lebih empat tahun, ditambah satu tahun untuk pendidikan profesi apoteker. Pada dasarnya ilmu yang didapat dari ilmu apoteker harus digunakan dan

dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Seorang apoteker yang telah menerima ilmu seharusnya menerapkan prinsip ini dalam setiap berkegiatan, sehingga dapat melayani pasien secara penuh dan profesional. Namun, terkadang ada saja oknum apoteker yang masih menanggalkan

keprofesionalisme dalam beraktivitas di apotek. Mulai dari apoteker yang mangkir dari tugasnya sebagai pelayan kesehatan di apotek. Sebagai seorang profesional, apoteker haruslah mencamkan hal ini : Seorang profesional akan berkata: saya bekerja bukan karena dibayar, tetapi dibayar karena saya bekerja. Setiap keputusan yang saya ambil sepanjang karier saya, berdasarkan pada mana yang benar, bukan pada mana yang menguntungkan. (Marshall TH: Can J Econ Political Sci 5:325, 1939) Remingtons Pharmaceutical Sciences 20th Edition, 2000 page:20 Dalam kode etik farmasi, apoteker mempunyai kewajiban-kewajiban, baik secara umum, kepada pasien, teman sejawat, atau petugas kesehatan yang lain. Kewajibankewajiban ini akan terlaksana bila apoteker berada dalam tempat kerjanya. Peraturan pemerintah yang terbaru, PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pasal 25 ayat 2 juga mendukung keberadaan apoteker dalam setiap fasilitas kefarmasian, seperti dalam apotek. Walaupun pada sebagian besar dalam pendirian apotek, apoteker bekerjasama dengan pemodal, dikatakan bahwa pekerjaan kefarmasian sepenuhnya tetap dipegang oleh apoteker. Hal ini berarti bahwa izin apotek diberikan kepada apoteker, bukanlah kepada pemilik modal maka sudah sepantasnya lah pekerjaan kefarmasian dilakukan dan merupakan tanggung jawab seorang apoteker. Secara umum, terkait kode etik farmasi maka kehadiran apoteker di apotek sangat penting. Hal ini disebabkan karena setiap penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker (PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 21 ayat 2). Selain menyerahkan obat dari resep dokter (obat keras), apoteker juga dihadapkanFarmasi 2008 Page 24

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

oleh kebutuhan pemberian obat lain seperti obat wajib apotek, obat bebas, dan obat bebas terbatas dalam kaitannya dengan kebijakan self medication (pengobatan sendiri).Kode etik apoteker Indonesia Pasal 3 : Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya dan pasal 9 : Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani, menerangkan peran

apoteker dalam mengutamakan patient safety untuk mencegah medication error. Apoteker harus selalu menjalankan profesi sesuai standar kompetensi apoteker yang telah ditetapkan dan dilandasi prinsip kemanusiaan. Secara etis epistemologis, apoteker harus menyadari bahwa dia tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk masyarakat. Dalam kode etik perihal kewajiban terhadap pasien bahwa apoteker harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai apoteker sebaiknya tidak hanya berfokus untuk kepentingan pribadi namun lebih luas kepada kepentingan pasien untuk mencegah medication error, menjaga keselamatan hidup pasien (patient safety) dan lebih lanjut meningkatkan QoL (quality of life dari pasien). Hal ini dapat dilakukan dengan terus meningkatkan kompetensi. Pemerintah pun telah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Adanya standar ini mengenai standar apa saja yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kompetensinya. Selain itu ada juga pelanggaran lain dilakukan, yang tentunya diluar moral dan etik kefarmasian. Jenis pelanggaran apotek dapat dikategorikan dalam dua macam, berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran tersebut. Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat apotek meliputi : a. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi. Kegaiatan ini menurut perundangan yang berlaku tidak boleh terjadi dan dilakukan. Karena komoditi dari sebuah apotek, salah satunya adalah obat, dimana obat ini dalam peredarannya di atur dalam perundangan yang berlaku. b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap. Peredaran gelap yang dimaksud adalah golongan obat dari Narkotika dan Psikotropika.

Farmasi 2008

Page 25

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

c. Pindah alamat apotek tanpa izin. Dalam pengajuan untuk mendapatkan izin apotek, telah dicantumkan denah dan lokasi apotek. d. Menjual narkotika tanpa resep dokter. Ini adalah pelanggaran yang jarang terjadi. Para tenaga teknis farmasi di apotek, biasanya sudah mengetahui apa yang harus mereka perbuat, ketika mengahadapi resep dengan komposisi salah satunya obat narkotika. e. Kerjasama dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam menyalurkan obat kepada pihak yang tidak berhak dalam jumlah besar. Selain dari merusak pasar, kegaiatan seperti ini akan mengacaukan sistem peredaran obat baik di apotek, distrbutor, maupun pabrik. Akibat yang mungkin ditimbulkan adalah kesulitan konsumen untuk memilih obat mana yang baik dan benar karena banyaknya obat yang beredar. f. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti pada waktu Apoteker Pengelelola Apotek (APA) keluar daerah. Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi : a. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping pada waktu Apoteker Pengelelola Apotek (APA) tidak bisa hadir pada jam buka apotek. b. Mengubah denah apotek tanpa izin. Tidak ada pemberitahuan kepada suku dinas kesehatan setempat. c. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak. Obat dengan daftar G yang dimaksud adalah daftar obat keras. Lihat selengkapnya penggolongan obat menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia disini. d. Melayani resep yang tidak jelas dokternya. Nama, Surat Izin Kerja (SIK) dan alamat praktek dokter yang tidak terlihat jelas di bagian kepala resep. Jika resep semacam ini dilayani, maka ini termasuk suatu tindakan pelanggaran. e. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum dimusnahkan. Termasuk obat yang di kategorikan expired date atau daluarsa. Obat-obatan diatas tidak berhak sebuah apotek menyimpan dan mendistribusikannya ke pasien. f. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada. Pelanggaran administratif ini sering kali terjadi di sebuah apotek dengan sistim manual. Sistim komputerisasi adalah solusi terbaik untuk mengatisipasi hal ini. g. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh Apoteker. Sebagai penanggung jawab teknis, apoteker wajib menandatangani salinan resep dari resep asli, untuk dapatFarmasi 2008 Page 26

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

memonitor sejauh mana pemakaian dan obat apa saja yang dimasukkan dalam salinan resep. h. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain. Dalam peraturan narkotika, resep yang berasal dari apotek lain dengan permintaan sejumlah obat narkotika kepada apotek yang kita pimpin adalah boleh dilakukan. Syarat yang harus dipenuhinya adalah berupa surat keterangan dari apoteker pengelola apotek tersebut bahwa akan mempergunakan obat narkotika untuk keperluan stok dan resep serta sifatnya adalah cito atau butuh cepat. i. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat. Penyimpanan narkotika yang diatur dalam Undang-Undang no 5 tahun 2009, adalah dengan menyimpan sediaan dalam lemari terkunci, terpisah dengan obat keras lainnya, dst.. j. Resep narkotika tidak dipisahkan. Prosedur standar yang harus beberapa apotek dan tenaga kefarmasian sudah ketahui. Salah satu kegunaan pemisahaan resep obat ini adalah mempermudah kita dalam membuat Laporan Narkotika. k. Buku narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa. Hal teknis seperti sudah harus dapat dihindari dan diperbaiki. Karena jika hal ini terjadi, maka akan mempersulit administrasi dari apotek tersebut dalam pengelolaan apotek. l. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui dengan jelas asal usul obat tersebut. Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah : a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing masing dua bulan. b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama lamanya enam bulan sejak

dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta. c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.Farmasi 2008 Page 27

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran terhadap : a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541). b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

2. Penyalahgunaan oleh profesi kesehatan (dokter-apoteker) terkait obat yang memberatkan pasien Berbagai kasus kolusi dokter dan perusahaan farmasi telah banyak diungkapkan berbagai media sejak tahun 1970 an , bahkan sebelum itu. Anehnya kasus seperti ini terus saja terjadi dan konsumen terus saja menjadi korban.Tampaknya tidak ada jalan keluar yang dapat memihak konsumen, sehingga konsumen (pasien) tidak dirugikan. Menurut hasbullah Thabrany, Pelayanan kesehatan memiliki ciri yang unik yang tidak dimiliki oleh produk lain. Salah satu ciri unik tersebut adalah apa yang disebut informasi asimetri. Informasi yang dimiliki konsumen atau pasien tidak seimbang dengan informasi yang dimiliki penjual. Suatu mekanisme pasar sempurna mengharuskan adanya informasi yang seimbang/ sempurna. Tentu hampir tidak ada yang sempurna di dunia ini, akan tetapi di banyak produk, informasi yang dimiliki konsumen dan produsen tidak jauh berbeda seperti pada pelayanan kesehatan (termasuk obat-obatan). Dalam penjualan obatobatan, dokter dan apotekerlah yang tahu informasi tentang obat sedangkan pasien hampir tidak mengerti apa-apa. Pasien tidak tahu apa isi zak aktif suatu obat, pasien tidak tahu bagaimana mekanisme zak aktif itu bekerja, pasien tidak tahu berapa dosis yang dibutuhkannya, dan pasien juga tidak tahu berapa persis harga obat yang layak. Lebih parah lagi, pasien tidak memiliki daya tawar dalam transaksi obat. Hal ini tentu memberatkan dan merugikan pasien. Dimana seharusnya hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna.

Farmasi 2008

Page 28

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Untuk mengatasi maraknya perselingkuhan antara dokter dengan perusahaan farmasi dan apotik, konsumen perlu diberdayakan dan etika kedokteran dan farmasi perlu ditegakkan. Ilmu kedokteran dan farmasi berkembang dengan sangat cepatnya yang ditunjang oleh perkembangan ilmu kimia, komputer, pertumbuhan ekonomi dan berbagai tekonologi lainnya. Sementara konsumen semakin sibuk dengan urusannya dan semakin banyak informasi yang harus dicernanya sehingga kemampuannya untuk menyeimbangkan informasi semakin kecil. Informasi asimetri akan tetap sangat besar di dalam pelayanan kesehatan. Oleh karenanya sebagai respons institusional, untuk melindungi kepentingan publik atau konsumen, peraturan dan pemberdayaan hukum menjadi satu-satunya cara yang efektif. Sekarang ini, mesti diakui bahwa peraturan yang ada belum menguntungkan konsumen. Harapan kita kabinet reformasi atau kabinet apapun namanya nanti akan mampu berpihak kepada konsumen, bukan kepada produsen (termasuk penyedia pelayanan kesehatan, PPK). Mekanisme pasar tidak akan efektif meskipun konsumen diberdayakan. Etika kedokteran dan farmasi telah ada di Indonesia dan di dunia sejak puluhan tahun yang lalu. Dokter kita telah mengangkat sumpah Hipokrates sejak dokter pertama dilantik di Indonesia. Tetapi penyalahgunaan oleh pihak kesehatan bisa terjadi .Seorang dokter yang pasiennya melimpah didekati oleh perusahaan farmasi. Oknum dokter tersebut mendapatkan semakin banyak uang dan kesempatan berkonperensi di dunia bersama keluarga, keuntungan oknum perusahaan farmasi semakin berlipat. Sempurna! Tetapi pasien menjadi obyek penderitaan. Tidak heran jika ada perusahaan farmasi yang sangat cepat tumbuh dan mampu mengembangkan usahanya ke berbagai sektor usaha lain dalam waktu yang singkat. Informasi yang tidak seimbang yang memudahkan kolusi, memberikan kesempatan mengeruk keuntungan yang besar. Masalah utama dari etika profesi adalah ketidak-berdayaannya dalam menegakkan sangsi terhadap pelanggar etika itu. Sangsi etika hanya sampai pada sangsi moral. Sedangkan nilai-nilai moral berubah dari waktu ke waktu sesusai dengan perubahan jaman. Jika tigaFarmasi 2008 Page 29

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

sampai empat puluh tahun yang lalu sangsi moral masih berjalan baik, kinisangsi moral itu sudah semakin lemah. Seorang profesional tidak lagi malu jika diketahui oleh rekannya bahwa ia melanggar etika profesi. Kepentingan ekonomi menjadi pertimbangan yang lebih penting daripada kepentingan moral. Oleh karenanya yang dapat dilakukan konsumen adalah mendesak pemerintah agar mengatur dengan adil pelayanan kesehatan dan penjualan obat agar pasien (konsumen) mendapatkan keuntungan terbesar. Kita peraturan yang pro publik! Hal ini tidak berarti bahwa produsen obat, apotek, dan PPK tidak boleh mencari nafkah yang wajar. Mereka berhak hidup layak akan tetapi hal itu harus dilakukan tanpa menyengsarakan konsumen. Kita perlu peraturan yang memihak publik. Dalam hal ini seharusnya pemerintah membuat kebijakan dan peraturan yang memihak dan melindungi konsumen. Mungkin kita harus mencontoh kebijakan yang ada di negara maju, di negara-negara maju yang telah menyadari ciri unik pelayanan kesehatan ini, pelayanan kesehatan dan penjualan obat diatur dan diawasi sangat ketat oleh negara (heavily regulated). Pada prinsipnya, ada dua mekanisme untuk melindungi publik (konsumen) yaitu peraturan (termasuk pengawasan dan penegakkan hukum) oleh pemerintah dan mekanisme pasar (market regulation). Mekanisme pasar hanya berfungsi jika ada informasi yang simetri atau mendekati simetri. Dalam hal pelayanan kesehatan, mekanisme pasar tidak berfungsi dan karenanya perlu regulasi pemerintah. Regulasi (mekanisme) pasar saja tidak akan efektif. Di Amerika misalnya, seorang dokter dilarang mengirimkan pasien ke laboratorium klinik yang dokter itu memiliki saham di dalamnya. Jelas, karena hal itu dapat merugikan pasiennya. Karena dokter dapat meminta pemeriksaan lab yang tidak dibutuhkan pasiennya.

3. Pelayanan pharmaceutical care belum memenuhi standar pelayann di apotek Pelayanan pharmaceutical care merupakan standar dari pelayanan farmasis di apotek, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak yang belum memberikan etika pelayanan pharmaceutival care sehingga ini merupakan permasalahan etika profesi apoteker dalam pelayanan di apotek. Asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah suatu bentuk layanan langsung seorang apoteker kepada konsumen obat (pasien) dalam menetapkan, menerapkan dan memantau pemanfaatan obat agar menghasilkan outcome terapetik yang spesifik. Melalui penerapan asuhan kefarmasian yang memadai diharapkan masyarakat yang mengkonsumsi obat mendapat jaminan atas keamanannya.Farmasi 2008 Page 30

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Therapeutic outcome yang efektif dari suatu obat berkorelasi dengan proses penyembuhan penyakit, pengurangan gejala penyakit, perlambatan pengembangan penyakit dan pencegahan penyakit. Selain itu therapeutic outcome yang efektif juga menjamin tidak adanya komplikasi atau gangguan lain yang dimunculkan oleh penyakit, menghindarkan atau meminimalkan efek samping obat, biaya yang efisien dan mampu memelihara kualitas hidup pasien. Perlu disadari bahwa konsumen obat langsung atau tidak langsung berpeluang untuk mengalami keadaan yang tidak dikehendaki akibat mengonsumsi obat. Keadaan ini timbul akibat salah terapi, salah obat, dosis tidak tepat, reaksi obat yang berlawanan, interaksi obat dan penggunaan obat tidak sesuai indikasi. Jadi, seharusnya konsumen mendapatkan therapeutic outcome yang optimal, konsumen malah mendapatkan masalah baru. Oleh karena itu fungsi utama asuhan kefarmasian adalah mengidentifikasi drug related problem (DRP), mencari solusi atas DRP yang bersifat aktual serta mencegah munculnya DRP yang potensial. Apotek sebagai tempat pengabdian profesi apoteker semestinya adalah sarana yang sangat tepat bagi apoteker untuk memberikan asuhan kefarmasian kepada masyarakat. Secara filosofis, konsumen yang datang ke apotek sejatinya bukan semata-mata akan membeli obat. Mereka membutuhkan saran atas masalah yang berkaitan dengan kesehatan mereka. Bahwa bila diakhir kunjungannya mereka membeli obat, dapat dipastikan hal itu terjadi setelah melalui tahap pemberian asuhan kefarmasian. Paradigma tersebut memperjelas sekaligus mempertegas bahwa apotek tidak lain adalah pusat asuhan kefarmasian. Dan profesi yang memiliki kompetensi untuk menjalankannya adalah apoteker. Sehingga, konsep no pharmacist no service atau tiada apoteker tiada pelayanan (TATAP) adalah konsukuensi logis atasnya. Dengan pemahaman yang demikian rasanya tidak ada lagi alasan bagi apoteker untuk medelegasikan tugasnya kepada orang lain kecuali sesama apoteker. Juga tidak ada alasan bagi apoteker untuk tidak ada di tempat sewaktu apotek buka. Dan karena tuntutan profesi maka apoteker harus selalu meng update ilmunya agar kompetensinya terpelihara.

Farmasi 2008

Page 31

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

Pelayanan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) telah tercantum dalam pedoman standar pelayanan farmasi di apotek SK Menteri Kesehatan Nomor

1027/Menkes/SK/IX/2004 Tanggal 15 September 2004. Sehingga pada dasarnya seorang tenaga profesi apoteker seharusnya menjalani pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan di apotek harus sesuai dengan peraturan yang telah di buat oleh menteri kesehatan. 4. Penanganan obat narkotik, obat keras dan non OTC Selanjutnya, dalam etika profesi apoteker di apotek dalam penanganan obat-obat tidak bebas, seperti obat narkotika, psikotropika, obat keras dan lain-lain masih menjadi permasalahan di pelayanan apotek terutama di Indonesia karena obat-obat ini di perjual belikan tanpa menggunakan resep dokter dan beberapa oknum sebagai pemilik sarana apotek memanfaatkan apoteknya untuk menjual obat-obat narkotika tanpa sepengetahuan apoteker dengan memberikan kesempatan apoteker yang bekerja pada PSA untuk datang ke apotek dalam waktu sebulan sekali untuk memberikan tanda tangan dan menerima gaji. Sehingga dengan kejadian seperti ini, tidak ada pengawasan secara ketat dalam memperjual- belikan obat-obat narkotik yang dilakukan secara ilegal. Etika pelayanan di apotek tidak sesuai dengan Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009, pada pasal Pasal 102 (1) yang menyebutkan bahwa Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan. Maka dari itu, pada peraturan perundang-undangan No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, pengelolaan obat narkotika memerlukan penanganan khusus, dimana narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena obat narkotika ini dapat menimbulkan ketergantungan apabila digunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama. Dalam menghindari penyalahgunaan obat-obatan ini, maka Pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap obat golongan narkotika mulai dari pemesanan sampai dengan pemakaiannya dan Apoteker Pengelola Apotek diharuskan membuat laporan pemakaian dan pemusnahan narkotika ini. Akan tetapi pada kenyataannya pemerintah belum melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyalahgunaan obat-obat keras, narkotik, psikotropik baik dalam jual beli obat di apotek maupun penyimpanannya. Untuk menangani terjadi penyalahgunaan obat-obatan ini, yang perlu di perbaiki adalah dari segi pelayanan apoteker di apotek yang mengharuskanFarmasi 2008 Page 32

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

seorang apoteker pengelola apotek untuk datang di apotek setiap hari menangani dan mengawasi pelayanan apotek secara lagsung untuk mengatur sistem manajemen operasional seperti fungsi pembukuan dalam hal pencatatan dan pelaporan obat-obatan baik obat bebas maupun obat keras, narkotik dan psikotropika sehingga terjadinya penyalahgunaan obatobatan ini dapat dihindari. Untuk membuat peraturan Apoteker datang setiap hari pemerintah harus mengubah sistem peraturan dalam hal gaji perbulan bagi apoteker yang layak dan mencukupi sehingga terjadi peningkatan kwalitas pelayanan di apotek. Selain itu untuk mengatasi masalah pendistribusian obat-obat narkotik secara ilegal, pemerintah harus bersikap tegas dengan memberikan sangsi kepada apoteker pengelola apotek yang menjual dan mendistribusikan obat-obatan yang tidak sisertai dengan resep dokter atau secara ilegal. Apoteker mempunyai tanggung jawab besar mengelola obat-obat narkotik karena berperan sebagai manajer dalam pengadaan obat, pendistribusi dan mengatur pelayanan obatobat narkotik secara resmi sesuai peraturan dan undang-undang. Karena untuk pemesanan obat-obat narkotik dilakukan dengan surat pesanan khusus dan harus ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, serta stempel apotek.

5. Persaingan antar profesi apoteker dalam pelayanan apotek Dan yang terakhir yang menjadi penyebab utama etika profesi apoteker di apotek yang tidak memenuhi standar adalah karena persaingan dengan apotek lain atau teman sejawat profesi di apotek. Apoteker adalah sebuah profesi kesehatan yang diakui keberadaannya oleh UU tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan. Para tenaga kesehatan itu masing-masing juga berkumpul dalam sebuah organisasi profesi yang diakui keberadaannya oleh pemerintah. IDI untuk profesi dokter, IBI untuk profesi bidan, IDGI untuk profesi dokter gigi. Untuk apoteker tergabung dalam IAI (Ikatan Apoteker Indonesia). Masing-masing organisasi profesi ini punya kewenangan mengatur rumah tangganya, dan bersifat independent. Mereka mempunyai kode etik dalam menjalankan profesinya. Kode etik apoteker mengatur hubungan dengan sesama apoteker dan tenaga kesehatan lain dan juga dalam berpraktek profesi. Sebelum apoteker berpraktek profesi di apotek, RS, Industri dan lain bidang akan mencari surat rekomendasi untuk menjalankan praktek profesinya. Apoteker dengan apoteker lain menurut kode etik adalah saudara sekandung yangFarmasi 2008 Page 33

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

mestinya adalah saling melindungi, tetapi kenyataan di lapangan bukannya saling melindungi tetapi saling jagal menjagal.terutama apoteker yang berpraktek profesi di Komunitas (apotek). Apoteker akan senang melihat apotek saudara sekandungnya tutup karena kalah bersaing dalam bisnis apotek. Hal ini karena apoteker tidak independent dalam berpraktek profesi di apotek. Masih ada satu faktor yang menghalangi yaitu factor PSA (Pemilik Sarana Apotek). Tidak semua apotek milik apoteker. Dan memang profesi apoteker adalah profesi yang sangat dekat dengan bisnis . Kelemahan tidak semua apotek dimiliki oleh PSA inilah yang seringkali dimanfaatkan sedemikianrupa oleh PSA untuk mengeruk keuntungan tanpa memperdulikan etika profesi dan organisasi profesi. Para apoteker yang berkecimpung di komunitas (Apotek) merindukan langkah kondusif dinas kesehatan untuk bekerjasama dengan semua organisasi kesehatan, sehingga masyarakat akan dapat memetik keuntungan dengan meningkatnya derajat kesehatan tanpa melemahkan organisasi profesi. Etika profesi apoteker di apotek seperti menjunjung tinggi sesama apoteker/teman sejawat di apotek telah tercantum di kode etik BAB III Kewajiban Apoteker terhadap teman sejawat pasal 12 yaitu ; Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya. Dari uraian diatas, seharusnya apoteker yang bekerja di apotek seharusnya saling menjunjung dan melindungi peranan profesi apoteker di apotek untuk meningkatkan kwalitas pelayanan dan meningkatkan derajat kesehatan pasien.

Farmasi 2008

Page 34

Moral etika farmasi Etika Apoteker di Apotek

DAFTAR PUSTAKA DepKes. RI. Peraturan Menkes No 1027/MenKes/SK/IX/2004. Standar Pelayanan Farmasi di Apotek. Thabrany, Hasbullah. 1999. Skandal dalam Profesi Kedokteran. Republika. Remingtons Pharmaceutical Sciences 20th Edition, 2000 page:20 http//www.unhas.ac.id http//www.usu.ac.id Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.1, April 2006, 38 - 46

Farmasi 2008

Page 35