modul pajak

Upload: rosalia-fatmawati

Post on 10-Jul-2015

940 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENGANTAR PERPAJAKANI. PENDAHULUAN

A. Pengantar..

B. Tujuan Intruksional UmumMahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara adalah mahasiswa kedinasan di bawah naungan Departemen Keuangan yang nantinya lulusannya akan ditempatkan di Departemen Keuangan maupun instansi pemerintah lainnya. Ketika menimba ilmu di STAN, mahasiswa diharapkan dapat fokus dalam menekuni pendidikannya karena pada masa yang akan datang mahasiswa akan ikut berperan sebagai bagian dari pejabat pengambil keputusan dan pembuat kebijakan di Departemen Keuangan. Oleh karena itu para mahasiswa sudah seharusnya: a. Memahami masalah pengantar perpajakan sebagai dasar untuk mempelajari mata kuliah perpajakan lebih jauh; b. Memahami ketentuan-ketentuan yang dijadikan dasar pemungutan pajak; c. Memahami alasan-alasan mengapa harus ada pemungutan pajak dalam kehidupan bernegara; d. Mengetahui peran dan fungsi pajak dalam pembangunan; dan tentunya e. Mengetahui sejarah pengenaan pajak di Indonesia.

C. Tujuan Intruksional KhususSetelah mempelajari mata kuliah Pengantar Perpajakan, para mahasiswa diharapkan mampu: a. Berperan aktif maupun pasif dalam pengembangan ilmu perpajakan;

b. c.

Menganalisis secara benar dan rasional permasalahan di bidang perpajakan; dan Dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya demi kemaslahatan keuangan negara.

II. KEGIATAN BELAJAR 1

SEJARAH PEMUNGUTAN PAJAK1) Uraian dan Contoh Terbentuknya Negara Sejarah PerpajakanPada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat. Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya. Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.

A.

B.

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. a. b. Ordonansi Pajak Rumah Tangga; Aturan Bea Meterai; Ordonansi Bea Balik Nama; Ordonansi Pajak Kekayaan; Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor; Ordonansi Pajak Upah; Ordonansi Pajak Potong; Ordonansi Pajak Pendapatan; Undang-undang Pajak Radio; Undang-undang Pajak Pembangunan I; Undang-undang Pajak Peredaran. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan

Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain: Tahun 1968; Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti; c. Paksa;d. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing; e. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs

UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat

atau Tata Cara MPS-MPO. Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyrakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-

undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah: a. b. c.d.

UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM; UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Perpajakan (KUP);

assessment); e.

Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu: a. b. c. d. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994; UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994; UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994; UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu: a. Pajak; b. c. d. e. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa

Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu: a. b. c. d. e. f.g.

UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP; UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh; UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM; UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP; UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB; UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan

Tarif Bea Meterai. Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997. Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010.

C.

Pengertian Pajak dan Retribusi1. Pengertian Pajak

Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial. Negara memerlukan dana untuk mewujudkan tujuan tersebut, sehingga diperlukan dana yang tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan pajak. Kemudian dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan undang-undang, berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di DPR yang biasa disebut berdasarkan yuridis. Asas ini telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut pajak. Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai pajak ini baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya, tidak pernah diterangkan secara lugas mengenai pengertian pajak sebagai kontribusi wajib kepada Negara. Ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak tersebut, yaitu: a. b. c. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang; Sifatnya dapat dipaksakan; Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak;

d. e.

Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah; Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah bagi kepentingan masyrakat umum. Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan dimana

uang yang dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Supaya ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan di sini berarti apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya. Pertanyaannya adalah mengapa swasta tidak diperbolehkan melakukan pemungutan pajak? Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa yang menjalankan roda pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat adalah pemerintah (baik pusat maupun daerah). Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tidak ada maksud untuk mencari keuntungan, sedangkan swasta dalam melakukan kegiatan usahanya bisa dikatakan selalu bersifat mencari keuntungan. Selain itu, apa yang telah dilakukan pemerintah selalu dipertanggungjawabkan kepada rakyat pada kurun waktu tertentu. Uang yang dikumpulkan dari pajak dan pengeluarannya dilakukan melalui mekanisme kontrol setiap tahun yang dikenal dengan nama APBN/APBD. Dari APBN/APBD tersebut dapat diketahui untuk keperluan apa saja uang pajak itu digunakan. 2. Pengertian Retribusi Pungutan lain yang bersifat memaksa seperti retribusi pada dasarnya memiliki ciri yang sama dengan pajak, kecuali dalam hal imbalannya yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Unsur yang melekat pada pengertian retribusi adalah: a. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang; b. Sifat pungutannya dapat dipaksakan;

c. Pemungutannya dilakukan oleh Negara; d. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum; dan e. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemerintah kepada setiap orang atau badan. Karena kontra-prestasinya langsung dapat dirasakan, maka dari sudut sifat paksaanya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis. Apabila manfaat ekonomisnya telah dirasakan tetapi retribusinya tidak dibayar, maka secara yuridis pelunasannya dapat dipaksakan seperti halnya pajak.

D.

Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan1. Peran Pajak Mengapa kita harus membayar pajak? Jawaban yang bisa timbul adalah kita membayar pajak agar tersedia sarana (fasilitas) umum yang dapat digunakan bersama atau kita membayar pajak karena kita sudah terlebih dahulu menikmati sarana umum tersebut. Penyediaan sarana dan prasarana publik yang kita manfaatkan hanya dapat terjadi karena peran pemerintah yang membutuhkan pengorbanan besar mengumpulkan dana guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemakmuran generasi mendatang sangat tergantung pada investasi generasi sekarang ini berupa padaberupa penyediaan segala macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Semua sarana dan prasarana umum tersebut hanya dapat tersedia bila ada pajak. Hanya melalui sumber pembiayaan dari pajak maka Negara dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk masyarakatnya. Swasta tidak mungkin bisa melakukan apa yang dapat dilakukan oleh Negara, karena konsep bisnis atau usaha yang dilakukan oleh swasta hanya untuk kepentingan sekelompok mereka saja. Untuk itu pembayaran pajak yang kita lakukan adalah

guna meningkatkan tingkat kehidupan generasi mendatang. Dengan kata lain, kemajuan suatu bangsa amat ditentukan melalui kesadaran memahami dan membayar pajak dengan benar. Dalam APBN yang dibuat oleh pemerintah terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu: a. Penerimaan dari sektor pajak; b. Penerimaan dari sektor migas; dan c. Penerimaan dari sektor bukan pajak. Penerimaan dari sektor pajak merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar Negara. Penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan penerimaan Negara, sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber penerimaan keuangan Negara yang terus menerus karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan pemnerimaan pajak selalu dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat itu sendiri. Besarnya peranan pajak kiranya perlu ditanamkan dalam diri setiap orang agar dalam pelaksanaannya dapat menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena telah ikut serta memberikan kontribusinya dalam pembangunan nasional. 2. Fungsi Pajak Dalam dunia perpajakan, sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada dua yaitu fungsi budgeter dan regulerend. Namun dalam perkembangannya fungsi pajak tersebut dapat dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi. Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. Fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Dalam hal ini, pajak berfungsi sebagai alat

pengatur keadaan sosial dan ekonomi. Salah satu contohnya yaitu adanya pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi untuk PPnBM. Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering dikaitkan dengan hak seseorang dalam memperoleh pelayanan dari pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajiban membayar pajak kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. Bila pemerintah tidak memberikan pelayanan yang baik, pembayar pajak bisa melakukan protes (complaint) terhadap pemerintah. Fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyrakat. Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya tarif progresif pada undang-undang pajak yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).

2) Latihan1. Ada 4 (empat) perubahan pokok yang terjadi di dalam reformasi perundang-

undangan perpajakan Tahun 1983. Jelaskan keempat perubahan pokok tersebut dan perkembangan terbarunya saat ini, baik yang sudah diundangkan maupun yang masih berupa rancangan undang-undang! 2. Jelaskan seberapa perlu memahami sejarah hukum pajak bagi para pelaksana hukum pajak! 3. Jelaskan pengertian dan fungsi dari pajak dan retribusi!4. Dalam definisi pajak, kita dapat mengetahui 5 (lima) cirri yang melekat pada pajak.

Sebutkan dan jelaskan kelima cirri tersebut!5. Mengapa pengertian pajak baru disebutkan pada UU KUP No. 28 Tahun 2007 dan

tidak pernah disebutkan pada UU KUP sebelum-sebelumnya. Berikan alasan dan pendapat Anda mengenai hal ini!

III. KEGIATAN BELAJAR 2

DASAR PERPAJAKAN1) Uraian dan Contoh A. PengertianHukum pajak, dalam bahasa Inggris, disebut tax law. Dalam bahasa Belanda, hukum pajak disebut belasting recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum pajak, juga digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak dengan hukum fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar membicarakn tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan sebagian keuangan Negara sebagai objek kajiannya. Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebagai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hukum. Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasidan sanksi pidana. Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat Soemitro, 1979:2425). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan : a. Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak); b. Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak); c. Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah; d. Timbulnya dan hapusnya utang pajak;e. Cara penagihan pajak;

f. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak Undang-undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian hukum pajak, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai ketentuan umum bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan

kaderwet yang berfungsi sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya sektoral. Pengertian hukum pajak dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pajak. Sebaliknya, dapat dijadikan pedoman bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban dan menggunakan hak dalam rangka memperoleh perlindungan konsekuensi dari penegakan hukum pajak. Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga peradilan pajak mauapun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung, atau hanya Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung saja. Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan umum tertuju pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak di luar lembaga peradilan dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang berupa menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan penagihan pajak. hukum sebagai

B. Sumber Hukum PajakDalam ilmu hukum, sumber hukum dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis, yang meliputi: 1. Sumber hukum Material Yaitu faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum (hukum pajak), misalnya faktor-faktor yang berupa hubungan sosial, politik, ekonomi, maupun hubungan internasional. 2. Sumber hukum Formal Yaitu sumber dari mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan hukum atau cara yang menyebabkan peraturan hukum tersebut berlaku secara formal. Misalnya, peraturan perundang-undangan (asas Pancasila, UUD 1945, dll), kebiasaan, traktat (Tax Treaty), Yurisprudensi, dan Doktrin.

Namun, dalam hukum pajak tidak dikenal sumber hukum yang tidak tertulis karena bedasarkan pengertian hukum pajak, kaidah hukum pajak hanya lahir karena tertulis dan tidak dilakukan secara kebiasaan. Dengan demikian, kebiasaan sebagai sumber hukum pada umumnya tidak dikenal dalam hukum pajak. Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional yang menjiwai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pancasila memiliki kedudukan sebgai alat penguji terhadap sumber hukum tertulis, apakah sudah sesuai atau malah bertentangan dengan Pancasila. Pancasila merupakan tolok ukur untuk menentukan kebenaran substansi hukum yang terkandung dalam setiap Undang-undang Pajak. Sumber hukum pajak yang sifatnya tertulis, terdiri dari: 1. UUD 1945 Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang meletakkan kewenangan pada negara untuk memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah yang diatur dengan undang-undang atau No taxation without representation. Setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata ketentuan mengenai pajak mengalami perubahan yang sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23A UUD 1945 yag berbunyi pajak dan pugutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Terdapat perubahan yang prinsipil karena bukan hanya pajak, melainkan pungutan yang bersifat memaksa juga harus diatur dengan undang-undang. Hal ini merupakan suatu perkembangan positif agar tidak ada kesewenang-wenangan dalam pembebanan pungutan yang bersifat memaksa kepada warga negara. 2. Perjanjian Perpajakan Tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan negara lain yang menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan pajak ganda internasional sehingga

menimbulkan beban yang tinggi terhadap Wajib Pajak. Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara yang berkepentingan mengadakan perjanjian penghindaran pajak internasional agar Wajib pajak dari tiap negara yang bersangkutan tidak dikenakan pajak ganda. Selain itu, perjanjian perpajakan juga dapat mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion). Wujud perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia adalah dalam bentuk Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), baik perjanjian itu bersifat bilateral maupun multilateral, mengenai tarif atas bunga, deviden, royalti, dan sebagainya. Contoh kasus: Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU PPh, tarif pemotongan pajak atas bunga yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri adalah sebesar 20% dari bunga bruto. Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Perjanjian Penghindaran Pajak Ganda antara Indonesia dengan Polandia, besarnya tarif pemotongan adalah 10% dari jumlah kotor bunga. Maka, sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generalis, yang diberlakukan adalah Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) P3B tersebut. 3. Yurisprudensi Perpajakan Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara pajak yang meliputi sengketa pajak dan tindak pidana pajak yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Putusan pengadilan yang terkait dengan sengketa pajak adalah Putusan Pegadilan Pajak maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak yang bersengketa, sedangkan putusan pengadilan yang terkait dengan tindak pidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum maupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat. 4. Doktrin Perpajakan Agar doktrin dapat menjadi sumber hukum pajak, substansinya harus berada dalam konteks di bidag perpajakan yang dikemukakan ahli hukum pajak, mengingat substansi hukum yang terkandung dalm hukum pajak memiliki perbedaan yang

sangat prinsipil dengan hukum lainnya karena hukum pajak memiliki ciri khas tersendiri. Pendapat ahli hukum pajak, untuk saat ini, belum dapat diharapkan untuk menunjangpengembngan hukum pajak. Hal ini disebabkan karena kelangkaan ahli hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalam perkembangan hukum pajak.

C. Kedudukan Hukum PajakPembagian hukum sesuai civil law system (sistem hukum Romawi/ Eropa Kontinental) memberikan pemisahan yang tegas antara hukum privat dan hukum publik. Hukum privat mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan antara sesama warga negara dalam kedudukasn yang sederajat, seperti masalah perkawinan, waris, keluarga, dan perjanjian. Sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum, seperti hubungan antara warga negara dengan negara. Hukum publik berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana negara itu melaksanakan tugasnya. Hukum yang masuk ke dalam bagian hukum privat, misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum perkawinan, dan sebagainya. Hukum yang masuk ke dalam hukum publik, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi (hukum tata usaha negara), hukum pidana, dan hukum internasional. Berdasarkan pembagian hukum tersebut, ternyata hukum pajak tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam kandungan hukum administrasi sebagai bagian dari hukum publik. Hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi. Jika hukum publik mengatur hubungan antara pemerintah (selaku penguasa) dengan rakyatnya, hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut pajak dengan rakyatnya sebagai Wajib Pajak. Dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan perkembangan dan kebutuhan negara akan pajak, Undang-undang Pajak mengalami perubahan (tax reform). Sebagai konsekuensinya, ternyata tidak disadari hukum pajak telah memisahkan diri dari

hukum administrasi. Secara tegas dikatakan, bahwa hukum pajak bukan lagi bagian hukum administrasi, melainkan kedudukannya sama dalam kajian ilmu hukum. Dasar pemisahan hukum pajak dari hukum administrasi dapat ditinjau dari faktor-faktor berikut: a. Sumber hukum pajak berbeda dengan sumber hukum administrasi; b. Objek kajian hukum pajak adalah pajak, sedangkan objek kajian hukum administrasi adalah ketetapan yang bersegi satu yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara (administrasi negara); c. Subjek hukum pajak adalah Wajib Pajak, sedangkan subjek hukum admiistrasi adalah pejabat tata usaha negara yang menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa; d. Penyelesaian sengketa pajak merupakan kompetensi absolut Pengadilan Pajak, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara; e. Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara peradilan pajak, sedangkan hukum acara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha adalah hukum acara peradilan tata usaha negara. Sebagai disiplin ilmu hukum yang telah memisahkan diri dengan hukum administrasi, substansi dalam hukum pajak menimbulkan pembidangan yang mencakup hukum pajak ketatanegaraan, hukum pajak administrasi, hukum pajak kepidanaan (tindak pidana pajak), hukum pajak formal (hukum penyelesaian sengketa pajak), dan hukum pajak interasional. Substansi yang terkandung dalam hukum pajak juga menampakkan ciri khasnya sebagai bagian ilmu hukum yang merupakan hukum fungsional, dengan fungsi mengatur pendapatan dan perekonomian negara/ daerah, dan mempunyai instrumen berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam penegakannya.

D. Tugas Hukum PajakTugas umum yang harus diemban oleh hukum pajak adalah: 1. Menelaah keadaan masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak; 2. Merumuskannya kedalam peraturan-peraturan hukum; 3. Menafsirkan peraturan-peraturan hukum tersebut;

4. Mengatur ketentuan-ketentuan pidana; 5. Mengatur ketentuan-ketentuan administrasi; 6. Mengatur ketentuan peradilan administrasi dan peradilan pajak. Tugas Khusus hukum pajak adalah sebagai alat kebijaksanaan untuk menentukan politik perekonomian ataupun tugas di luar kepentingan keuangan negara.

E.

Fungsi Hukum PajakFungsi hukum pajak berkaitan erat dengan fungsi dari negara. Beberapa fungsi dari negara seperti: a. Mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan. b. Melaksanakan ketertiban Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yag kondusif dan damai diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat. c. Pertahanan dan keamanan Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. d. Menegakkan keadilan Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warga meminta keadilan di segala bidang. Untuk menjalankan fungsi tersebut di atas, negara membutuhkan biaya yang besar jumlahnya dan sifatnya rutin. Biaya tersebut harus ditanggung oleh setiap warganya yang dinilai mampu memberikan sumbangsih yang kemudian dikenal sebagai pajak. Sumbangsih dari warga negara tersebut harus dibuat aturan yang jelas dalam pelaksanaannya, sehingga dibuatlah hukum pajak yang berfungsi mengatur perpindahan harta dari masyarakat (wajib pajak) kepada publik (dengan melalui kas negara) tersebut berjalan dengan baik, teratur, tertib dan adil serta tidak menimbulkan kesewenangwenangan dari pelaksana hukum.

Melalui fungsi dari hukum pajak, maka diharapkan fungsi budgetair (mengisi kas negara untuk kemudian digunakan membiayai pengeluaran negara/melaksanakan pembangunan) dari pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik dan adil. Dalam pembentukan hukum pajak harus nampak pula fungsi regulerent (mengatur) sehingga pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak seperti menggiring penanaman modal baik dalam negeri maupun luar dengan pemberian berbagai keringanan pajak.

F. Tujuan Hukum PajakHukum pajak bertujuan memberikan: a. keadilan, b. kemanfaatan, atau c. kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Keadilan sebagai tujuan hukum pajak tercermin dalam pengenaan pajak kepada Wajib Pajak. Jika Wajib Pajak dianggap memiliki objek pajak, tetapi tidak tergolong sebagai objek kena pajak, Wajib Pajak tersebut tidak dikenakan pajak. Apalagi kalau Wajib Pajak sama sekali tidak memiliki objek pajak karena secara hukum dinyatakan pailit, maka tidak adil jika Wajib Pajak tersebut dikenakan pajak. Kemanfaatan sebagai tujuan hukum pajak tercermin dari penggunaan pajak unutk membiayai pemerintahan dan pembangunan sebagai upaya mengurangi batas pemisah antara orang kaya dan orang miskin. Pajak yang dipungut dari Wajib Pajak dikembalikan ke masyarakat agar dapat dinikmati oleh Wajib Pajak maupun bukan Wajib Pajak. Kepastian hukum sebagai tujuan hukum pajak diterapkan dalam pengihan pajak maupun penyelesaian sengketa pajak. Penagihan pajak tidak boleh dilakukan oleh siapapun, kecuali yang telah ditentukan. Bentuk, cara, dan jangka waktu penagihan harus dipenuhi agar tergolong sebagai penagihan pajak yang sah. Dalam penyelesain sengketa pajak terdapat lembaga peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Di samping itu, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk mengajuka keberatan, banding, dan gugatan. Sebaliknya, pihak yang menyelesaikan sengket pajak juga

harus menaati persyaratan penyelesaian sengketa pajak yang telah ditentukan agar putusannya bisa diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Hukum pajak tidak selalu dapat mewujudkan tujuannya secara sekaligus dalam suatu penyelesaian sengketa pajak. Walaupun tidak dapat terlaksana secara keseluruhan, diupayakan agar keadilan dan kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum, atau kemanfaatan dan kepastian hukum tercermin dalam setiap keputusan yang diambil.

G. Ruang Lingkup Hukum PajakSebagai bagian dari ilmu hukum, hukum pajak memiliki ruang lingkup dari segi berlakunya maupun materi yang dikandungnya. Ditinjau dari berlakunya, hukum pajak dibedakan atas hukum pajak nasional dan hukum pajak internasional. Ditinjau dari materinya, hukum pajak dibedakan atas hukum pajak materiil dan hukum pajak formal. Hukum pajak nasional adalah hukum pajak yang diterapkan oleh suatu negara dan berlaku dalam wilayah negara yang menetapkannya. Dalam hukum pajak nasional terdapat hukum pajak daerah dan yang ditetapkan oleh suatu daerah tertentu dalam wilayah negara dan berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan. Sedangkan hukum pajak internasional adalah hukum pajak yang ditetapkan oleh dua negara atau lebih dan berlaku pada wilayah yang terikat dari perjanjian yang diadaka untuk itu. Hukum pajak internasional dibedakan atas hukum pajak internasional dalam arti sempit dan hukum pajak internasional dlam arti luas. Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaidah pajak yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan sebagainya dengan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima dan mempunyai tujuan mengatur persoalan perpajakan antara negara-negara yang saling mempunyai kepentingan tersebut. Hukum pajak internasionl dalam arti sempit ini sematamata berdasrkan sumber-sumber asing. Hukum pajak internasional dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah, baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima,

maupun kaidah-kaidah nasional yang dalam objek pengenaan pajaknya terdapat unsurunsur asing, yang dapat menimbulkan bentrokan hukum antar dua negara atau lebih. Ruang lingkup hukum pajak yang meliputi hukum pajak materiil dan hukum pajak formal dikaji berdasarkan Undang-undang Pajak sebagai bagian dari hukum positif. Hukum pajak materiil adalah kumpulan kaidah hukum yang mengatur tentang keadaankeadaan, perbuatan-perbuatan, dan peirstiwa-peristiwa yang terkait dengan objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak, masa pajak, dan tahun pajak. Hukum pajak materiil tidak dapat lepas dari hukum pajak formal. Dalam melaksanakan hukum pajak materiil diperlukan keberadaan hukum pajak formal. Kaidah hukum pajak materiil dapat ditemukan dalam: secara keseluruhan terdapat dalam UU PPh dan UU PPN; sebagian terdapat dalam UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, UU CK, UU BM, UU PDRD. Hukum pajak formal adalah kumpulan kaidah hukum yang mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hukum pajak materiil. Sebenarnya, hukum pajak formal berupaya untuk menjamin agar kaidah hukum pajak materiil ditegakkan. Hukum pajak formal pada hakikatnya bersifat mengabdi pada hukum pajak materiil, artinya keberadaan hukum pajak formal menyesuaikan dengan kebutuhan yang dikehendaki untuk berlakunya hukum pajak materiil secara efektif. Kaidah hukum pajak formal dapat ditemukan dalam: secara keseluruhan terdapat dalam UU KUP; sebagian terdapat dalam UU PBB, UU BPHTB, UU KPB, UU CK, UU BM, UU PDRD. Saat ini pemisahan secara tegas (tidak menggabungkan antara hukum materiil dan hukum formal sekaligus dalam satu Undang-undang Pajak), sangat diperlukan, mengingat bahwa pemisahan tersebut sebagai konsekuensi untuk menghindari perubahan-perubahan terhadap setiap Undang-undang Pajak yang hanya berlaku dalam jangka waktu tidak terlalu lama.

2) Latihan1. Apa yang dibahas dalam hukum pajak dan apa bedanya dengan hukum fiskal? Jelaskan! 2. Jelaskan mengapa memahami landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaksana hukum pajak? 3. Jelaskan sumber hukum pajak dan apa saja yang dijadikan sumber hukum pajak di Indonesia? 4. Apa saja tugas dari hukum pajak? 5. Sebutkan fungsi dan tujuan hukum pajak? 6. Bagaimana kedudukan hukum pajak dalam tatanan hukum di Indonesia? 7. Apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum pajak?

IV. KEGIATAN BELAJAR 3

Asas-Asas Pemungutan Pajak1) Uraian dan Contoh Dasar Hukum Pemungutan PajakPemungutan pajak tidak boleh dilakukan oleh Negara sebelum ada hukum yang mengaturnya karena Negara Indonesia adalah Negara hukum. Pemungutan pajak oleh Negara tanpa memiliki dasar hukum yang sah, berarti Negara melalui pejabat pajak melakukan perampasan dan bahkan merupakan perampokan bagi kekayaan warganya sebagai wajib pajak. Pengaturan pajak, pada awalnya, diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan Negara harus berdasarkan undang-undang. Setelah UUD 1945 diamandemen, Pasal 23 ayat (2) diganti UUD 1945 diganti dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menegaskn bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini secara tegas memisahkan antara pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa. Termasuk dalam pengertian pungutan lain yang bersifat memaksa adalah retibusi, iuran, dan sebagainya. Pasal 23A UUD 1945 merupakan dasar konstitusional bagi Negara untuk memungut pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa kepada warganya, termasuk warga Negara asing, yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, atau memiliki, menguasai, atau memanfaatkan segala objek pajak yang berada di Indonesia. Dalam pemungutan pajak terdapat asas bahwa yang berwenang melakukan pemungutan pajak adalah Negara dan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak swasta. Hanya pemerintah saja, termasuk aparatnya selaku wakil Negara, yang berwenang mealkuakn pemungutan pajak. Pihak swasta tidak diperkenankan atau dilarang melakukan pemungutan pajak karena masalah pajak melibatkan rakyat

A.

sebagai wajib pajak untuk menyerahkan sebagian kekayaannya kepada Negara sehingga tidak ada ketentuan huku yang berlaku yang membolehkan pihak swasta melakukan pemungutan pajak. Namun demikian, pemungutan pajak tidak selalu dilakukan oleh petugas pajak, sepanjang Undang-undang pajak memberikan kekhususan kepada orang pribadi tau badan untuk memungut pajak seperti halnya yang terjadi pada pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Demikian halnya dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dilakukan oleh pemotong atau pemungut yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

B.

Dasar Teori Pemungutan PajakBerikut ini merupakan beberapa teori yang berhubungan dengan hak negara untuk memungut pajak, antara lain adalah: a. Teori Asuransi Teori (seseorang) Asuransi yang diartikan harus dengan suatu kepentingan masyarakat seakan dilindungi negara. Masyarakat

mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya pada negara. Dengan adanya kepentingan dari masyarakat itu sendiri, maka masyarakat harus membayar premi pada negara. Namun, istilah premi sebenarnya kurang tepat jika disamaartikan dengan pajak. Sebab, mendapat balas jasa secara langsung sedangkan pajak tidak. Teori ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan untuk menunjukkan hak negara memungut pajak dari warganya, karena tidak semua kerugian warga, misalnya kebanjiran ataupun perampokan, negara memberikan ganti rugi. b. Teori Kepentingan Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau

pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan. Demikian sebaliknya, warga negara yang memiliki harta benda sedikit membayar pajak yang lebih kecil untuk melindungi kepentingan warga negara tersebut. Namun, pada kenyataannya warga negara yang memiliki penghasilan sedikit mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam perlindungan jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensi, seharusnya ia membayar pajak lebih banyak dan ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan. Landasan teori ini pun seakan sama dengan pengertian retribusi dan bukan pajak karena berkaitan dengan adanya kontra prestasi secara langsung. c.Teori Gaya Pikul Menurut teori ini, pemungutan pajak berlandaskan asas keadilan yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Yang harus diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan (gaya pikul) untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi barulah pembayaran pajak dilakukan. Dalam konteks UU PPh, asas minimum kehidupan di atas bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apabila seseorang punya penghailan di bawah PTKP berarti orang tersebut tidk perlu membayar pajak, atau gaya pikulnya adalah nihil. Sedangkan jika penghasilannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku. d. Teori Gaya Beli

Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa teori ini menitikberatkan ajarannya pada fungsi pajak sebagai pengatur (regulerent) Menurut para penganutnya, termasuk juga Prof. Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas, maupun dalam masa ekonomi terpimpin, bahkan juga dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak luput dari adanya variasi dalam coraknya. Tidak demikian halnya dengan teori-teori yang diuraikan sebelumnya, yang hanya berlaku selama masa tertentu saja. e. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak) Berlawanan dengan teori asuransi, teori kepentingan dan teori gaya pikul, yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham-paham Organische Staatler yang mengajarkan bahwa sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu (masyarakat) maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak. Teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat (tiap-tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan negara merupakan bakti dari masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya.

C.

Yurisdiksi Pemungutan PajakNegara, dalam melakukan pemungutan pajak, terikat pada yurisdiksi dari Negara yang bersangkutan. Yurisdiksi adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak menjadi berulang-ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan pajak. 1. Berdasarkan Asas Sumber Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak tidak dapat dilepaskan dari sumber atau tempat objek pajak itu berada. Jika objek pajak itu berada di Negara Indonesia, Negara Indonesia berwenang memungut pajak terhadap terhjadap orang pribadi atau badan yang memiliki objek pajak tersebut. Misalnya, terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunan yang berada di Indonesia, Negara Indonesia memiliki kewenangan untuk mengenakan dan memungut pajak bagi wajib pajak yang memiliki, menguasai, atau memperoleh manfaat atas objek pajak yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. 2. Berdasarkan Asas Kewarganegaraan Menurut asas ini, yurisdiksi pemungutan pajak dikenakan bukan berdasarkan tempat objek pajak, melainkan berdasarkan status atau kedudukan warga Negara dari setiap orang pribadi yang berasal dari Negara yang mengenakan pajak. Walaupun orang pribadi yang bersangkutan tidak bertempat tinggal atau berkedudukan pada Negara yang hendak melakukan pemungutan pajak, tetapi orang pribadi itu merupakan warga Negara tersebut, maka tetap dapat dilakukan pemungutan pajak terhadap yang bersangkutan. Misalnya, untuk Indonesia yang juga menganut asas kewarganegaraan, pemungutan pajak bukan hanya dilakukan pada warga negaranya yang bertempat tiggal atau berkedudukan di Indonesia, tetatpi termasuk juga yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia. 3. Berdasarkan Asas Tempat Tinggal Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak dilakukan oleh Negara berdasarkan tempat tinggal atau kedudukan dari wajib pajak. Negar berwenang memungut pajak pada wajib pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan

pada Negara yang bersangkutan. Segala objek pajak yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak yang bertempat tinggal tau berkedudukan pada Negara yang bersangkutan dikenakan pajak. Misalnya, warga Negara Australia yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia memperoleh atau mendapat penghasilan di Indonesia. Maka, atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan. Ketiga jenis asas pemungutan pajak tersebut selama ini diadopsi dalam rangka pemungutan pajak di Indonesia, baik terhadap pajak langsung maupun pajak tidak langsung. Khusus terhadap asas tempat tinggal, UU PPh ( UU No. 36 Tahun 2008) menegaskan adanya batasan waktu untuk bertempat tinggal atau berada di Indonesia yaitu lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Keberadaan lebih dari 183 hari tidaklah harus berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari seseorang berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Untuk asas kewarnegaraan dan asas sumber yaitu bahwa terhadap setiap warga Negara Indonesia di manapun dia berada akan dikenakan pajak oleh Negara Indonesia, demikian pula bila seseorang bukan warga Negara Indonesia namun memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka Negara Indonesia mempunyai hak untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari sumber penghasiln tersebut berada.

D.

Sistem Pemungutan PajakNegara menentukan sistem pemungutan pajak yang akan digunakan atau diterapkan dalam melakukan pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi Negara dengan tidak mengabaikan kewajiban dan hak wajib pajak dalam berperan serta di bidang pembiayaan pengelolaan Negara. Tata cara pemungutan pajak dapat beraneka ragam, tergantung dari system pemungutan pajak yang digunakan. Sistem pemungutan pajak hanya bergantung pada kehendak Negara untuk menerapkannya dalam setiap Undang-undang Pajak, sepanjang masih dimungkinkan berdasarkan substansi hukumyang responsif.

1.

Sistem Self Assessment Berdasarkan sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yang tidak

boleh diintervensi oleh pejabat pajak. Pejabat pajak hanya bersifat pasif dan wajib pajak bersifat aktif. Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan menyetor jumlah pajak yang terutang. Pejabat pajak tidak terlibat dalam penentuan jumlah pajak yang terutang sebagai beban yang dipikul oleh wajib pajak, melainkan hanya mengarahkan cara (memberikan bimbingan) bagaimana wajib pajak memenuhi kewajiban dan menjalankan hak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan agar tidak terjadi pelanggaran hukum. 2. Sistem Official Assessment Dalam sistem official assessment, terdapat campur tangan pejabat pajak dalam penentuan pajak yang terutang bagi wajib pajak. Yaitu berupa keterlibatan pejabat pajak dalam menerbitkan ketetapan pajak yang berisikan utang pajak dan bahkan dapat memuat sanksi hukum. Pajak yang terutang dalam ketetapan pajak merupakan inisiatif dari pejabat pajak berdasarkan objek pajak yang diterima, dimiliki, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak. Undang-Undang PBB merupakan contoh penerapan sistem official assessment di Indonesia, yang memberi kepercayaan kepada pejabat pajak untuk menentukan besarnya pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak terhadap objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkannya. 3. Sistem Semi Self Assessment Menurut sisitem semi self assessment, terdapat kerja sama antara wajib pajak dan pejabat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak kepada Negara. Pada awal tahun pajak, wajib pajak menetukan sendiri jumlah pajak yang terutang untuk tahun berjalan sebagai angsuran yang disetor sendiri. Kemudian pada akhir tahun pajak, ditentukan kembali oleh pejabat pajak jumlah pajak yang sebenarnya, berdasarkan data yang disampaikan oleh wajib pajak. Pejabat pajak, dalam hal ini, bertindak

sebagai pengawas terhadap wajib pajak untuk menilai sejauh mana kejujurn wajib pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang. Sistem ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam penerapannya, bahkan dapat menimbulkan kompromi pajak antara wajib pajak dan pejabat pajak pada akhir tahun pajak sehingga akan beresiko tinggi pada peneriman Negara. 4. Sistem With Holding Sistem with holding memberi kepercayaan kepada pihak ketiga untuk melakukan pemungutan pajak atas objek pajak yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Pihak ketiga ditempatkan sebagai pihak yang berwenang untuk memotong atau memungut pajak tertentu dan menyetor serta melaporkan kepada pejabat pajak. Pejabat pajak hanya berwenang melakukan control atau pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan atu pemungutan pajak sampai kepada pelaporan pajak yang telah ditentukan. Pemotong atau pemungut pajak tidak boleh melakukan pelanggaran hukum dalam melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, termasuk dalam melakukan pelporan pajak yang dipotong atau dipungut kepada pejabat pajak. Penerapan sistem with holding dalam Undang-undang Pajak dapat dilihat pada ketentuan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta dalam Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Materai, dan Bea Masuk dan Cukai.

E.

Pelimpahan Wewenang Pemungutan PajakPemungutan pajak Negara tidak selalu dilakukan oleh petugas pajak yang diangkat oleh pejabat pajak dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, tetapi dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang khusus diangkat berdasarkan ketentuan hukum pajak yang berlaku. Pajak Bumi dan Bangunan sebagai pajak Negara, pemungutannya dilimpahkan kepada gubernur kepala daerah dan/atau bupati/walikota. Pelimpahan wewenng untuk memungut Pajak Bumi dan Bangunan didasarkn pada Pasal 14 UU PBB yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan

dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada gubernur kepala daerah tingkat I dan/atau bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II. Pelimpahan wewenang penagihan pajak tersebut bukan dalam hal penagihan, tetapi hanya sebagai pemungut pajak, sedangkan pendataan objek pajak dan penetapan pajak yang terutang tetap menjadi kewenangan Menteri Keuangan. Pelimpahan wewenang ini tidak mencakup penagihan Pajak Bumi dan Bangunan karena pengihan dengan pemungutan pajak memiliki substansi hukum yang berbeda. Penagihan pajk tertuju pad wewenang untuk menerbitkan surat pemberitahuan pajak terutan (SPPT), surat ketetapan pajak (SKP), dan surat tagihan pajak (STP) terhadap Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang. Pemugutan Pajak Bumi dan Bangunan hanya tertuju pada kegiatan memungut pajak yang dilakukan oleh petugs pajak. Dengan kata lain, tidak ada pemungutan pajak tanpa didasarkan pada penagihan pajak dari pejabat pajak karena pejabat pajak yang menerbitkan dasar penagihan pajak, sepeti SPPT, SKP, dan STP. Pertimbangan dilimpahkannya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan kepada gubernur kepala daerah atau bupati/walikota adalah karena memiliki aparat atau petugas di tingkat kelurahan maupun desa. Aparat atau petugas tersebut memiliki data yang lengkap tentang objek Pajak Bumi dan Bangunan serta Wajib Pajak Bumi dan Bangunan yang bertempat tinggal di kelurahan atau desa tersebut.

F.

Pembagian Hasil PajakPembagian hasil pajak Negara diserahkan kepada daerah melalui pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) yang wajib dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hasil pajak yang telah dipungut maupun ditagih tersebut dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengingat objek pajak dan wajib pajak selaku pihak yang membayar pajak bertempat tinggal atau berkedudukan di daerah. Hasil Pajak Negara yang dapat dibagi adalah hasil dari Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Sedangkan hasil pajak-pajak yang lain belum dapat dibagi dengan pemerintah daerah.

Sebagai contoh adalah pembagian hasil Pajak Penghasilan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang terkait dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atau dipungut oleh pemberi kerja. Tata cara pembagian adalah 80% untuk pemerintah pusat dan 20% untuk pemerintah daerah. Kemudian pembagian antara pemenrintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah. Dalam hal ini masih terdapat campur tangan pemerintah pusat untuk mengatur pembagian hasil dari Pajak Penghasilan Pasal 21 yang diperoleh pemerinth daerah, baik pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, didasarkan atas perimbangan sebesar 10% untuk pemerintah pusat dan sebesar 90% untuk pemerintah daerah setelah dikurangi sebesar 10% sebagai biaya pemungutan. Selajutnya dilakukan lagi pembagian sebesar 20% untuk pemerintah daerah provinsi dan 80% untuk pemerintah daerah kabupaten/kota. Hasil pembagian itu sebagai pendapatan daerah yang setiap tahunnya ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersngkutan. Sedangkan pembagian hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan perimbangan sebesar 20% untuk pemerintah pusat dan sebesar 80% untuk pemerintah daerah. Bagian sebesar 80% untuk pemerintah daerah dibagi antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, dimana pemerintah provinsi memeperoleh bagian sebesar 16% dari 80% dan pemerintah kabupaten/kota memperoleh bagian 64% dari 80%. Pembagian hasil pajak Negara merupakan komitmen pemerintah pusat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah mengingat jika hanya mengandalkan dari hasil pajak daerah saja, pemerintah daerah tidak akan mampu melaksanakan otonomi daerah dengan baik, kecuali daerah tertentu yang memang memiliki sumber daya manusia dan sumber daya alam yang sangat potensial, sehingga dapat diolah secara maksimal untuk menutupi kekurangan pembiayaan yang dihadapi oleh daerah yang bersangkutan.

2) Latihan1.2.

Apa yang dijadikan dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia? Jelaskan beberapa teori yang mengesahkan hak Negara memungut pajak! Jelaskan dengan lengkap apa itu teori gaya pikul dan bagaimana aplikasinya Teori gaya pikul bersifat kualitatif, artinya kemampuan seseorang antara satu

3. 4.

dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia! dan lainnya adalah tidak sama, dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi teori gaya pikul tersebut! 5. Asas pemungutan pajak antara lain adalah asas tempat tinggal dan asas sumber. Jelaskan kedua asas tersebut dan apa akibatnya dan bagaimana pemecahannya? 6. Apa perbedaan System Official Assessment dan system Self Assessment baik ditinjau dari Wajib Pajak dan Fiskus maupun ditinjau dari timbulnya Utang Pajak?

V. KEGIATAN BELAJAR 4

TATA CARA PENAFSIRAN HUKUM PAJAK1) Uraian dan Contoh A. PengertianPenafsiran hukum (Rechtsinterpretatie) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan atas ketidakjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Ketidakjelasan suatu peraturan bisa disebabkan karena adaya kesenjangan antara peraturan tertulis dengan kesadaran hukum suatu masyarakat yang ada, atau karena memang peraturan yang tertulis tidak dapat dimengerti atau bahkan mempunyai pengertian yang bermacam-macam menurut bahasa yang ada (secara tertulis) yang dibaca oleh pembaca peraturan tersebut. Penafsiran (interpretasi) peraturan perundang-undangan sendiri merupakan suatu cara mencari dan menetapkan pengertian pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan sesuai dengan keadaan dimana peraturan perundang-undangan tersebut dilaksanakan dengan tidak menyimpang dari yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Penafsiran hukum ini merupakan suatu kebutuhan yang diperlukan khususnya dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal undang-undang. Jadi, penafsiran hukum pajak adalah suatu upaya atau usaha untuk menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum pajak yang ada dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi. Hukum pajak yang dimaksud adalah hukum tertulis, meliputi; peraturan perundang-undangan, perjanjian perpajakan, yurisprudensi perpajakan, dan doktrin perpajakan. Apabila suatu peraturan menimbulkan berbagai penafsiran menurut pembacanya, maka yang berwenang memutuskan penafsirannya adalah hakim, yaitu dalam hal terjadi sengketa yang diajukan ke pengadilan.

Penafsiran hakim hanya mengikat pihak yang bersengketa saja dan tidak mengikat umum.

B.1.

Cara PenafsiranCara penafsiran secara subjektif dan objektifa.

Dalam pelaksanaannya, ada beberapa cara penafsiran hukum pajak, yakni: Penafsiran subjektif adalah penafsiran yang dilakukan sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Misalnya, dalam Pasal 1 angka 29 UU. No 28 Tahun 2007, pengertian penutupan buku bagi yang menyelenggarakan pembukuan dilakukan pada setiap Tahun Pajak berakhir.b.

Penafsiran objektif adalah penafsiran yang dilakukan terlepas dari pendapat pembuat undang-undang (penafsiran yang sesuai dengan adat pengertian sehari-hari). Misalnya, dalam kebiasaan usaha, pengertian penutupan buku dilakukan pada setiap Tahun Buku barakhir.

2.

Cara penafsiran secara sempit (restriktif) dan secara luas (ekstentif)a.

Penafsiran secara sempit yakni apabila pasal yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi. Misalnya, pengertian Wajib Pajak dalam ketentuan material perpajakan (UU Pajak Penghasilan) disebutkan bahwa Wajib Pajak adalah subjek pajak yang memiliki objek pajak berupa penghasilan. Cara penafsiran ini hanya berlaku sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan.

b.

Penafsiran secara luas,

maka pengertian Wajib Pajak dalam ketentuan

formal perpajakan (UU KUP), yakni Wajb Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

C. METODE PENAFSIRANInti dari upaya penafsiran ketentuan undang-undang adalah agar diperoleh keadilan, sedangkan ketentuan pada pasal undang-undang ada kemungkinan tidak sesuai

lagi dengan keadaan pada waktu dilaksanakan. Pembuat undang-undang sendiri tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan pedoman bagi pelaksanaan hukum dalam penafsiran undang-undang. Oleh karena itu, hakim bebas melaksanakan penafsiran pasal undang-undang menurut keyakinannya. Ada beberapa metode penafsiran menurut ilmu hukum yang digunakan dalam menafsirkan hukum pajak, yaitu sebagai berikut:1.

Penafsiran Tata Bahasa atau Gramatika (Taalkundig) Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata

secara keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu sama lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Arti perkataan itu semata-mata menurut tata bahasa atau kebiasaan, seperti arti dalam pemakaian sehari-hari. Pandangan para ahli hukum atas tafsiran gramatikal ini bervariasi. Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang paling utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, maka hakim tidak boleh lagi menggunakan cara-cara penafsiran lainnya sehingga menyimpang dari katakata undang-undang, meskipun maksud dari pembuat undang-undang tidak sama dengan arti kata-kata tersebut. Sebagian ahli hukum lain menyatakan bahwa penafsiran gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena arti kata-kata dalam undangundang bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, penafsiran peraturan perpajakan sebaiknya dicari cara penafsiran mana yang paling tepat. Penafsiran secara tata bahasa (gramatika) merupakan penafsiran dasar atau awal untuk mengetahui maksud pembuat undangundang kemudian dilanjutkan dengan penafsiran otentik yakni menurut pembuat undang-undang sebagaimana tercantum dalam memori penjelasan, dan kemudian diteruskan ke penafsiran-penafsiran yang lain. Inilah pentingnya pembuat undang-undang untuk memilih kata-kata dalam menyusun suatu kalimat menjadi suatu aturan agar tidak menimbulkan salah pengertian bagi pembacanya. Contoh penafsiran gramatika di dalam pelaksanaan hukum pajak, antara lain, ada pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP yang menyatakan: Dalam jangka

waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut. . . Redaksi kata dapat disini mengandung arti tidak harus atau tidak wajib, sehingga penerbitan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tersebut bukan merupakan keharusan atau undang-undang mengamanahkan adanya alternatif selain bentuk SKPKB, dan itu harus dicari di dalam pasal-pasal yang ada. 2. Penafsiran Otentik Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Biasanya dalam suatu undang-undang terdapat suatu pasal mengenai ketentuan umum, biasanya ada pada Pasal 1, yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut dengan terminologi untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksudkan dengan penafsiran otentik. Sedangkan penjelasan dari suatu pasal yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) bukan merupakan penafsiran otentik, tetapi hanya suatu penjelasan semata atas isi suatu pasal. 3. Penafsiran Historis Penafsiran historis adalah penafsiran atas undang-undang dengan melihat pada sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Untuk dapat memahami penafsiran historis yang demikian, tentu hanya dapat diketahui dari dokumen-dokumen rapat pada waktu dibuatnya undang-undang, seperti draft RUU, risalah rapat para pembuat undangundang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal, jawaban pemerintah kepada DPR, notulen sidang komisi, dan sebagainya. Dengan memahami dokumen-dokumen tersebut, maka akan diketahui asbabun nuzul dari suatu aturan perpajakan. Penafsiran menurut sejarah hukum juga dapat dilakukan dengan cara menyelidiki apakah suatu peraturan itu datangnya dari sistem hukum yang terdahulu. Sebagai contohnya adalah perkembangan pengertian pembayaran dalam Masa Pajak dari Pajak Penghasilan , dari mulai sebelum reformasi perpajakan dijalankan yaitu

dengan official assessment dimana pembayaran masa berarti angsuran terhadap Surat Ketetapan Pajak Sementara (Skp/s) yang diterbitkan oleh fiskus , yang kemudian akan diperhitungkan didalam penetapan rampungnya (akhir tahun ). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya model SKP/s tersebut dihapuskan dan diganti dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang Lain(MPO), di sini pembayaran masa ditentukan sekian persen (misalnya 2%) dari jumlah peredaran selama satu bulan. Dan sekarang, setelah reformasi perpajakan 1983 sistem yang dianut adalah self assessment, dengan cara penentuan besarnya pembayaran masa yang berbeda. 4. Penafsiran Sistematik Penafsiran sistematik adalah penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal dengan pasal yang lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkannya dengan pasal-pasal undang-undang yang lain. Penafsiran ini memperhatikan peraturanperaturan lain yang terkait yang masih berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri dari undang-undang sampai dengan Keputusan Dirjen Pajak sebenarnya merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya. Salah satu contoh penafsiran ini adalah penafsiran dari pengertian memenuhi persyaratan dalam pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (4) UU KUP, haruslah dikaitkan pula dengan pengertian keterangan tertulis yang wajib diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (6). Artinya apabila atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak, maka sebenarnya tidak ada hak bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menanyakan kelengkapan persyaratan di dalam pengajuan keberatan. 5. Penafsiran Sosilogis (Teleologis) Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat.

Seperti diketahui bahwa kehidupan suatu masyarakat selalu berkembang, sedangkan undang-undang yang bentuknya tertulis tidak bisa selalu mengikuti kehidupan masyarakat yang selalu lebih cepat perkembangannya. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian antara undang-undang yang sifatnya tertulis dengan perkembangan kehidupan suatu masyarakat. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisinya. Penafsiran sosiologis diharapkan dapat membentuk perilaku tertentu di masyarakat. Namun, jangan sampai Hakim badan peradilan pajak menafsirkan undang-undang secara subyektif sehingga justru menimbulkan ketidakadilan. Contoh: Syarat-syarat pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) KUP atau syarat banding sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) KUP, yang tidak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak yang buta huruf atau buta huruf latin, maka pegawai pajak yang menanganinya maupun Sekretaris Pengadilan Pajak harus bertindak seolah-olah sebagai panitera yang menuliskan maksud dari Wajib Pajak dan membacakannya sebelum Wajib Pajak memberikan cap jarinya. 6. Penafsiran Perbandingan Penafsiran perbandingan adalah penafsiran dengan membandingkan antara ketentuan hukum yang lama dan ketentuan hukum yang berlaku saat ini, atau ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum asing. Contoh: Kebijaksanaan yang perah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak pada akhir tahun 1980-an tentang penerimaan sumbangan dari Wajib Pajak apabila Surat Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar; sering disebut juga dengan istilah uang pembasuh batin. Ketentuan ini tidak dikenal dalam sistem self assessment sekarang ini. 7. Penafsiran Doktriner

Penafsiran doktriner adalah penafsiran dengan cara mengambil pendapat dari para ahli, khususnya ahli-ahli perpajakan dalam buku-buku karyanya. Penafsiran ini biasanya berupa pendapat para saksi ahli di dalam sidang peradilan pajak. 8. Penafsiran Analogis Dalam pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau kevakuman hukum. Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran analogis atau penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara memberi kiasan pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang. Penafsiran ini sama dengan penafsiran ekstensif (meluas) yang maksudnya memperluas suatu aturan sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk dalam suatu ketentuan menjadi termasuk dalam ketentuan yang ada berdasarkan analog yang dibuat. Penafsiran analogis ini tidak dipakai dalam undang-undang pajak karena dapat merugikan Wajib Pajak dan tidak adanya kepastian hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam undang-undang pajak yang merupakan aturan yang bersifat khusus menjadi berlaku, padahal pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus diatur undang-undang.9.

Penafsiran A Contrario, Penafsiran A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-

undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam pasal undang. Berdasarkan perlawanan pengertian itu ditarik suatu kesimpulan bahwa soal yang dihadapi itu tidak diatur dalam pasal undangundangnya, atau dengan kata lain soal yang dihadapi berada di luar ketentuan pasal suatu undang-undang. Contoh: Pada Pasal 4 Ayat (3) huruf g UU PPh menyatakan yang dikecualikan dari Objek PPh adalah iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disetujui oleh Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP545/PJ./2000 jo PER-15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun

kepada dana pensiun yang sudah disahkan oleh Menteri Keuangan, tetapi tidak diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disahkan Menteri Keuangan. Jika menggunakan penafsiran secara a contrario, maka perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum atau tidak disahkan oleh Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan perpajakan atas premi asuransi, yaitu merupakan Objek PPh. Penafsiran A Contrario di dalam bidang hukum pajak tidak diperbolehkan karena merugikan Wajib Pajak dan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum yang sudah jelas pengaturnya.

2) Latihan1. 2. 3. 4. Apa yang dimaksud dengan penafsiran hukum dalam pelaksanaan hukum pajak? Mengapa perlu dilaksanakan penafsiran hukum sebelum dilaksanakan? Sebut dan jelaskan beberapa cara penafsiran hukum yang Saudara ketahui? Ada beberapa metode penafsiran hukum pajak. Jelaskan dan berikanlah masing-

masing satu contoh dari metode penafsiran dimaksud yang berbeda dengan yang telah diterangkan di atas? 5. 6. Pejabat Tata Usaha Pajak dalam melaksanakan tugas sehari-hari kadang-kadang Berikan contoh kekosongan hukum yang ada dalam sistem perundang-undangan menemukan suatu kekosongan hukum. Jelaskan langkah apa yang dapat dilakukan? perpajakan?

VI. KEGIATAN BELAJAR 5

PEMBAGIAN HUKUM PAJAK1) Uraian dan Contoh A. Pembagian Hukum PajakHukum pajak dibagi ke dalam hukum pajak material dan hukum pajak formal. 1. Hukum Pajak Material Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat yang menerangkan tentang : a. Keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenai pajak (obyek pajak) atau sasaran yang dikenai pajak; b. Siapa-siapa yang harus dikenai pajak (subyek pajak); c. Berapa besarnya pajak (tarif pajak); d. Sanksi-sanksi dalam hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Dengan perkataan lain, hukum pajak material adalah norma-norma yang menerangkan tentang obyek, subyek, dan besarnya pajak yang terutang. Juga termasuk di dalamnya: a. Peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda; b. Peraturan-peraturan tentang hukuman-hukuman tentang pelanggaran ketentuan pajak; c. Peraturan-peraturan tentang tata cara pembebasan dan pengembalian pajak; d. Peraturan-peraturan tentang hak mendahulu dan fiskus. Ketentuan-ketentuan material hukum pajak ini harus dituangkan dalam undangundang. Landasan hukum dari pajak-pajak termuat dalam UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Maka secara yuridis formal tidak mungkin dipungut pajak jika tidak didasarkan undang-undang. Menurut Prof. Dr. Rochmat Sumitro. SH, ketentuan-ketentuan hukum pajak material mutlak harus diletakkan dalam undang-undang. Ketentuan hukum pajak material ini

meliputi obyek, subyek, dan besarnya pajak, sehingga dalam undang-undang ditentukan secara tegas dan jelas siapa yang dikenakan pajak, apa yang dikenakan pajak, dan berapa besarnya pajak. Kesemuanya ini adalah untuk memberikan kepastian hukum. Termasuk dalam ketentuan hukum pajak material adalah: a. Undang-undang Nomor 7 tahun 1983, tentang Pajak Penghasilan dan undang-undang perubahannya. b. Undang-undang Nomor 8 tahun 1983, tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah, beserta undang-undang perubahannya. Undang-undang selain UU PPh dan UU PPN, hukum material dan hukum folmalnya masih tergabung dalam satu kitab undang-undang. 2. Hukum Pajak Formal Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang memuat tata cara untuk menjelmakan atau mewujudkan hukum pajak material menjadi suatu kenyataan. Hukum pajak formal memuat ketentuan-ketentuan tentang: a. Tata cara (prosedur) penetapan jumlah hutang pajak; b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan; c. Kewajiban pembukuan; d. Prosedur pelunasan hutang pajak; e. Prosedur pengajuan surat keberatan dan sebagainya. Tujuan hukum pajak formal adalah untuk melindungi baik fiscus maupun wajib pajak. Jadi untuk memberi jaminan, bahwa hukum materialnya akan dapat terselenggara setepattepatnya. Sering juga dikatakan bahwa hukum pajak formal mempunyai sifat mengabdi pada hukum pajak materialnya. Hukum pajak formal tidak mutlak harus dimasukkan dalam undang-undang, tetapi tidak ada larangan untuk dimasukkan dalam undang-undang, bahkan ketentuan yang sedemikian yang dimasukkan dalam undang-undang akan lebih memberikan kepastian hukum yang lebih mantap. Termasuk dalam ketentuan hukum pajak formal adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan undang-undang perubahannya.

(Catatan: UU KUP telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan atas Perpu No. 5 Tahun 2008 yang mengubah 1 (satu) ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007).

B. Penggolongan Jenis Pajak

JENISJENIS PAJAK Berdasarkan pihak yang memungut Pajak Pusat Pajak Daerah Berdasarkan sasaranya/ob jeknya Pajak Subjektif Pajak Objektif

Berdasarkan sifatnya Pajak Tak Langsung

Pajak Langsung

Secara umum pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain : 1. Berdasarkan pihak yang menanggung, pajak terdiri dari dua macam pajak yaitu : a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu.. Contoh : PPh, PBB. b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. Contoh : Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai, dan Cukai. 2. Berdasarkan sifatnya, pajak terdiri dari dua macam, antara lain : a. Pajak Subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan

subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Misalnya perhitungan Pajak Penghasilan, jumlah tanggungan dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. b. Pajak Obyektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan atau perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak memperhitungkan apakah wajib pajak tersebut memiliki tanggungan atau tidak. 3. Berdasarkan pihak yang memungut pajak, terdiri dari dua macam, antara lain :a. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal

ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi: Pajak Penghasilan (PPh) PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya. Pelaksanaan Pajak penghasilan di Indonesia dimulai Tahun 1984 melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan tambahn terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008. UU No. 7 Tahun 1983 merupakan pengganti dari dua ketentuan undang-undang yakni Ordonansi Pajak Pendapatan dan Ordonansi Pajak Perseroan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah

yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Perkembangan PPN di Indonesia dimulai dari: a. Pajak Peredaran yag diberlakukan tahun1950. b. Pajak Penjualan 1951 yang berdasarkan UU Darurat No. 19 Tahun 1951 dan dikukuhkan dengan UU No. 35 Tahun 1953. c. Yang terakhir degan UU No. 8 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan tambahan terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM untuk mengurangi efek regresivitas PPN. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah : Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta

tinggi; atau

mengganggu ketertiban masyarakat. Bea Meterai Pengenaan Bea Meterai berdasarkan pada Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2000. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan adalah UndangUndang nomor 12 tahun 1994 sebagai pembaharuan atas ketentuan: a. Ordonansi Pajak Kekayaan; b. Ordonansi Pajak Rumah Tangga; c. Ordonansi Verponding; d. Ordonansi Pajak Jalan; e. Iuran Pembangunan Daerah dan Pajak Hasil Bumi. Yang dijadikan landasan pemikiran pengenaan PBB karena bumi dan atau bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan social ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atanya, atau memperoleh manfaat dari padanya, oleh karena wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pajak. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan UndangUndang nomor 20 tahun 2000. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.b. Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di

tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Sesuai UU No. 18 Tahun 1997 tentan PDRD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antara lain : Pajak Propinsi Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor; Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Pajak Kabupaten/Kota Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; Pajak Parkir.

Retribusi Daerah Retribusi Jasa Umum; Retribusi Jasa Usaha; Retribusi Perizinan Tertentu.

2) Latihan1. Hukum pajak dibagi ke dalam hukum pajak material dan hukum pajak formal. Apa yang membedakan antara hukum pajak formal dan hukum pajak material? 2. Bagaimanakah seharusnya antara ketentuan formal dan ketentuan material, dalam penyusunan undang-undang pajak? Dipisahkan atau digabungkan? Berikan alasannya! 3. Jelaskan apa yang dimaksud pajak subjektif dan pajak objektif! 4. Apakah suatu pajak yang menurut sifatnya termasuk salah satu bentuk ( apakah pajak objektif ataupun pajak subyektif) dapat berubah menjadi sebaliknya? Terlepas dari jawaban Saudara, ya atau tidak, berikan penjelasannya! 5. Jelaskan apa yang dimaksud pajak langsung dan pajak tidak langsung!

VII. KEGIATAN BELAJAR 6

TARIF PAJAK

1) Uraian dan Contoh A. Macam-macam Tarif PajakTarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak merupakan salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak bagi Wajib Pajak. Penentuan besarnya suatu tarif adalah hal yang krusial dimana kesalahan persepsi dalam penentuannya dapat merugikan berbagai pihak termasuk Negara. Dalam pemungutan pajak, terdapat beberapa jenis tarif pajak yang dikenal, antara lain: a. Tarif Progresif (a progressive tax rate) b. Tarif Proporsional (a proportional tax rate) c. Tarif Degresif (a degressive tax rate) d. Tarif Tetap (a fixed tax rate)

1. Tarif ProgresifTarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dapat dibagi menjadi 3, yaitu : a. Tarif pajak Progresif Progresif Tarif pajak Progresif Progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan

persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik. b. Tarif pajak Progresif Proporsional Tarif pajak Progresif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu tetap. c. Tarif pajak Progresif Degresif

Tarif pajak Progresif Degresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali menurun. Contoh tarif pajak progresif adalah tarif untuk Pajak Penghasilan Orang Pribadi berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000,00 Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 Di atas Rp 250.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 Di atas Rp 500.000.000,00 Tarif Pajak 5% 15 % 25 % 30 %

Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008, pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri tersebut termasuk tarif progresif degresif.

2. Tarif DegresifTarif degresif merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya semakin kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Akan tetapi malah bisa menjadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar. Contoh tarif pajak degresif: Dasar Pengenaan Pajak Rp 10.000.000,Rp 25.000.000,Rp 50.000.000,Rp 60.000.000,Jumlah pajak terutang Tarif Pajak 15% 13% 11% 10% Pajak yang terutang Rp 1.500.000 Rp 3.250.000 Rp 5.500.000 Rp 6.000.000 Rp 16.250.000

3.

Tarif Proporsional Tarif proporsional tidak lagi dipengaruhi oleh naik turunnya dasar objek yang

dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku secara sebanding. Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000 (UU PPN dan PPnBM) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%. Contoh tarif pajak proporsional: Dasar Pengenaan Pajak a. Rp 15.000.000,b. Rp 25.000.000,c. Rp 40.000.000,d. Rp 60.000.000,Tarif Pajak 10% 10% 10% 10% Pajak yang terutang Rp 1.500.000,Rp 2.500.000,Rp 4.000.000,Rp 6.000.000,-

4.

Tarif Tetap Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa

memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan adanya PP No. 24 Tahun 2000, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar Rp 3.000 dan Rp 6.000.

5.

Tarif Advalorem Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/

ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang. Misalnya PT XZY mengimpor barang jenis A sebanyak 1500 unit dengan harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 20%, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah: Nilai Barang Impor = 1500 x Rp 100.000 = Rp 150.000.000

Tarif Bea Masuk 20%, maka Bea Masuk yang harus dibayar = 20% x Rp 150.000.000 = Rp 30.000.000

6.

Tarif Spesifik Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang

tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu. Misalnya PT ABC mengimpor barang jenis Z sebanyak 1500 unit dengan harga per unit Rp 100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp 10.000 per unit, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah: Jumlah Barang Impor Tarif Bea Masuk Rp 10.000, maka Bea Masuk yang harus dibayar = Rp 10.000 x 1500 = Rp 15.000.000 = 1500 unit

7. Tarif EfektifTarif efektif adalah tarif dimana jumlah pajak yang dibayarkan dibandingkan dengan jumlah penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak. Contoh: Tuan Andi mempunyai penghasilan kena pajak selama tahun 2008 sebesar Rp 750.000.000. Hitung besarnya pajak yang harus dibayar!a. Dengan tarif progresif menurut UU No. 17 Tahun 2000

5% x Rp 25.000.000 10% x Rp 25.000.000 15% x Rp 50.000.000 25% x Rp 100.000.000 35% x Rp 550.000.000 Jumlah pajak terutang b. Dengan tarif efektif 228.750.000 x 100% = 30,5% 750.000.000

= Rp = Rp = Rp = Rp

1.250.000 2.500.000 7.500.000 25.000.000

= Rp 192.500.000 Rp 228.750.000

Jika tarif efektif 30,5% tersebut dikalikan penghasilan kena pajak, maka akan dihasilkan jumlah pajak yang sama jika digunakan tarif progresif dalam perhitungannya.

Latihan1. Apa yang dimaksud dengan tarif progresif? 2. Tarif apa saja yang digunakan dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia? 3. Mengapa tariff degresif tidak digunakan dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia? 4. Menurut Anda, lebih mencerminkan keadilan yang mana antara perhitungan pajak dengan tarif progresif dengan adanya lapisan penghasilan kena pajak ataukah perhitungan pajak dengan tarif efektif? Berikan alasan Anda!

VIII. KEGIATAN BELAJAR 7

UTANG PAJAKUraian dan ContohA. Pengertian Salah satu kewajiban Wajib Pajak adalah melunasi utang pajak. Apabila kita mempelajari undang-undang perpajakan, akan dibedakan antara pengertian Utang Pajak dan Pajak yang Terutang. Pada hakikatnya, istilah utang pajak tidak berbeda dengan pajak yang terutang sebagai suatu kewajiban yang wajib dibayar lunas oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan. Istilah utang pajak digunakan dalam UU PPSP (Pasal 1 angka 8) dengan pengertian bahwa utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupabunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Utang pajak ini timbul berkaitan dengan pelunasan surat ketetapan pajak dan atau pelaksanaan penagihan pajak. Istilah pajak yang terutang digunakan da