modul hukum perdata materiilbadiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/b28f1a... · 2019. 9....

97
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019 MODUL HUKUM PERDATA MATERIIL DISUSUN OLEH : TIM PENYUSUN MODUL BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I. BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2019

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA 2019

    MODUL

    HUKUM PERDATA MATERIIL

    DISUSUN OLEH :

    TIM PENYUSUN MODUL

    BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.

    BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

    KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

    JAKARTA

    2019

  • iv

  • v

  • i

    DAFTAR ISI

    KATA SAMBUTAN KAPUSDIKLATKEJAKSAAN RI

    BAB I PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG .................................................................................. 1

    B. DESKRIPSI SINGKAT ............................................................................... 3

    C. TUJUAN PEMBELAJARAN ..................................................................... 3

    E. INDIKATOR KEBERHASILAN ................................................................ 4

    F. MATERI POKOK ........................................................................................ 4

    BAB II HAKEKAT HUKUM PERDATA

    A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA DAN RUANG LINGKUP

    HUKUM PERDATA ................................................................................... 6

    B. PENGERTIAN HUKUM PERDATA DALAM ARTI SEMPIT

    DAN DALAM ARTI LUAS ...................................................................... 12

    C. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA

    MATERIIL DI INDONESIA ..................................................................... 15

    D. ASAS-ASAS HUKUM PERDATA ........................................................... 27

    BAB III SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

    A. SISTIMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT ILMU

    HUKUM/ILMU PENGETAHUAN ........................................................... 34

    B. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT

    UNDANG-UNDANG / KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

    PERDATA (KUH PERDATA) ................................................................. 35

    BAB IV PERIKATAN

    A. PENGERTIAN PERIKATAN .................................................................... 41

    B. SUMBER PERIKATAN ............................................................................. 42

  • ii

    BAB V SUBYEK DAN OBYEK PERIKATAN

    A. SUBYEK PERIKATAN ............................................................................. 50

    B. OBYEK PERIKATAN (VOOR WERP/ONDER WERP) .......................... 50

    C. SYARAT-SYARAT PERIKATAN ............................................................ 51

    D. JENIS-JENIS PERIKATAN ....................................................................... 51

    E. BERAKHIRNYA PERIKATAN (PASAL 1381 BW) ................................ 55

    BAB VI PELAKSANAAN PERIKATAN

    A. WANPRESTASI ......................................................................................... 60

    B. OVERMACHT/FORCE MAJEUR ............................................................. 62

    C. EXEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS (Kreditor yang Lalai)...... 63

    D. PELEPASAN HAK (RECHTSVERWEKING).......................................... 64

    BAB VII PERJANJIAN

    A. HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA .................................................. 65

    B. PENGERTIAN PERJANJIAN .................................................................... 65

    C. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN ........................................................... 65

    D. UNSUR-UNSUR PERJANJIAN ................................................................ 69

    E. ASAS-ASAS PERJANJIAN ....................................................................... 70

    F. PENAFSIRAN PERJANJIAN ..................................................................... 71

    G. SIFAT PERJANJIAN .................................................................................. 71

    H. BENTUK PERJANJIAN............................................................................. 73

    I. JENIS PERJANJIAN .................................................................................... 73

    J. PERJANJIAN STANDARD ........................................................................ 77

    K. PERJANJIAN DALAM PERKEMBANGAN ............................................ 77

  • iii

    BAB VIII KAPITA SELEKTA

    A. PERJANJIAN SEWA BELI DAN CICILAN ............................................. 78

    B. PERJANJIAN FRANCHISE /WARALABA ............................................. 78

    C. PERJANJIAN TRUSTEE ........................................................................... 79

    BAB IX PERJANJIAN KHUSUS (BW)

    A. PERJANJIAN JUAL BELI ......................................................................... 81

    B. PERJANJIAN SEWA MENYEWA. ........................................................... 81

    C. PERJANJIAN PERSEKUTUAN (MAATSCHAP) .................................... 81

    D. PERJANJIAN PENYURUHAN (LASTGEVING) .................................... 82

    E. PERJANJIAN PENANGGUNGAN HUTANG (BORGTOCHT) .............. 82

    F. PERJANJIAN DAMAI (DADING /AOMPRINIS) .................................... 82

    G. PERJANJIAN HIBAH/PEMBERIAN (SCHENKING) ............................. 82

    H. PERJANJIAN KERJA ................................................................................ 82

    BAB IX PENUTUP ........................................................................................................83

  • Hukum Perdata Materiil | 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Pada hakekatnya hukum perdata materiil adalah hukum yang

    mengatur tingkah laku seseorang terhadap orang lainnya di dalam suatu

    negara, tingkah laku antara warga masyarakat dalam hubungan keluarga

    dan dalam pergaulan masyarakat.

    Hukum perdata materiil meliputi Kitab Undang-undang Hukum

    Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Istilah Hukum perdata

    dalam arti sempit untuk menunjukkan hukum perdata (Kitab Undang-

    undang Hukum Perdata) tanpa Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

    Hukum perdata dalam arti sempit ini dikenal juga dengan istilah hukum

    sipil.

    Dari sifat hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan-

    kepentingan khusus pribadi, mengakibatkan negara/pemerintah tidak

    dengan sendirinya ikut campur untuk mempertahankan peraturan-peraturan

    hukum perdata tersebut, melainkan menyerahkan sendiri kepada orang yang

    berkepentingan apakah yang bersangkutan akan bereaksi untuk

    mempertahankan peraturan-peraturan tersebut atau tidak. Pemerintah baru

    akan ikut campur dan memberikan sarana untuk mempertahankan haknya,

    jika orang yang berkepentingan menghendakinya, yaitu melalui pengadilan.

    Masalah orang yang berkepentingan itu mau mengajukan tuntutan

    atau tidak, itu bergantung kepada dirinya sendiri. Oleh sebab itu hukum

    perdata disebut sebagai hukum privat. Misalnya: jika A meninjam uang

    kepada temannya (B). Dalam hubungan pinjam-meininjam tersebut, hak

    dan kewajiban yang timbul hanya mengikat A dan B. Jika B tidak

    melakukan pengembalian uang kepada A, diserahkan kepada pribadi A,

    tidak ada menyangkut kepentingan umum. Jika A mempunyai kepentingan

    untuk melakukan penagihan, maka A dapat menagihnya melalui hakim di

    pengadilan.

    Meskipun demikian, hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku mutlak.

    Tidaklah berarti bahwa para subyek hukum dapat menyampingkan

    sesukanya. Pemerintah tidak bisa melepaskan sepenuhnya demikian,

    karena pemerintah terikat pada asas negara hukum yang mengandung

    keharusan adanya kepentingan umum dalam hukum perdata. Misalnya

    dalam hukum perkawinan, Pertama-tama orang sebagai pribadi, sebagai

  • Hukum Perdata Materiil | 2

    subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban (H. Perorangan),

    kemudian manakala orang tesebut terikat perkawinan, maka akan timbul

    kepentingan pribadi dari suami-isteri (Hukum Keluarga), kemudian

    keluarga itu akan mempunyai anak, lambat laun akan timbul harta kekayaan

    dan hubungan yang terkait dengan kekayaan (H.Kekayaan), dan pada saat

    orang tersebut meninggal mengakibatkan adanya peninggalan (harta

    warisan atau hutang). Semuanya itu termasuk lingkup hukum perdata,

    tetapi juga dipandang sebagai salah satu dasar pergaulan dalam kehidupan

    masyarakat, sehingga hubungan-hubungan hukum yang semula dalam

    lingkup hukum keperdataan menjadi berkembang dan bersangkut paut

    kepentingan masyarakat (kepentingan umum). Untuk itu negara

    berpendapat bahwa dalam beberapa hal, kebebasan subyek hukum-subyek

    hukum yang terkait kepentingan-kepentingan yang bersifat privat tersebut

    harus dibatasi. Negara memberikan tugas dan kewenangan kepada instansi

    Kejaksaan RI selaku lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan

    negara untuk melakukan tindakan-tindakan terkait dengan keperdataan

    deini kepentingan umum (masyarakat).

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur tugas dan wewenang

    kepada Kejaksaan RI /Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan tindakan

    tertentu antara lain, 1) Kejaksaan wajib menuntut pembatalan kepada

    Hakim atas sesuatu perkawinan sebagaimana temmaksud dalam pasal 27

    hingga 34 B.W (Pasal 65); 2) Kejaksaan dapat menuntut kepada Hakim

    agar seseorang dibebaskan dari kekuasaannya sebagai orang tua atau

    ouderlijke machtnya (pasal 319 B.W); 3) Kejaksaan berwenang untuk

    melakukan penuntutan kepada pengadilan seorang dipecat sebagai wali dari

    anak yang belum (pasal 381 B.W.). Di samping itu Kejaksaan juga diberi

    tugas dan wewenang di bidang keperdataan lainnya yang diatur dalam

    hukum positif lainnya.

    Berdasarkan ketentuan Vertegenwoodiging Van Den Lande In

    Rechten (Staatsblad 1922-522), Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk

    mewakili negara di depan hukum. Sampai saat ini ketentuan tersebut tetap

    berlaku dan telah diadopsi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (2)

    Undang-undang Nomor Kejaksaan 16 Tahun 2004 tanggal 26 Juli 2004

    tentang Kejaksaan Republik Indonesia : ―Di bidang Perdata dan Tata Usaha

    Negara Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di

    luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau Pemerintah‖ serta

    sebagaimana ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan

    Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

  • Hukum Perdata Materiil | 3

    Kejaksaan RI sebagaimana diubah dengan Perpres Nomor 29 Tahun 2016

    yang dilaksanakan oleh Direktorat Perdata dan Direktorat Pemulihan dan

    Perlindungan Hak pada JAM DATUN, Asisten Perdata dan Tata Usaha

    Negara cq Kepala Seksi Perdata dan Kepala Seksi Pemulihan dan

    Perlindungan Hak untuk tingkat Kejaksaan Tinggi dan Kepala Seksi

    DATUN untuk tingkat Kejaksaan Negeri.

    Untuk itu para Peserta Diklat Pembentukan Jaksa (PPPJ) wajib

    mempelajari, memahami dan menguasai hukum perdata materiil, baik

    sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (K.U.H

    Perdata) maupun yang telah diatur dalam peraturan tersendiri, Dengan

    penguasaan yang baik terhadap hukum Perdata materiil diharapkan menjadi

    kekuatan bagi calon-calon JPN untuk beracara di peradilan Perdata dan

    bahkan dapat memberikan pertimbangan hukum kepada instansi/pemerintah

    pusat dan daerah maupun BUMN/BUMD bila diperlukan .

    B. Diskripsi Singkat

    Pada modul ini akan disajikan mengenai hal-hal yang berkaitan

    dengan hukum perdata materiil. Menyadari betapa pentingny’a pemberian

    pengenalan dan pemahaman tentang hukum perdata materiil kepada para

    Peserta Diklat Pembentukan Jaksa (PPPJ), maka keberadaan modul ini

    cukup penting.

    Dalam modul ini, materi yang diberikan antara lain mengenai asas

    hukum perdata, sejarah hukum perdata, sistimatika hukum perdata, dan

    perihal hukum perikatan termasuk juga aneka perjanjian baik perjanjian

    bernama maupun perjanjian jenis lainnya yang tumbuh dan berkembang

    berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

    C. Tujuan Pembelajaran

    1. Peserta Diklat mampu memahami dan menjelaskan pengertian dan

    ruang lingkup hukum perdata, sejarah singkat hukum perdata, dan asas-

    asas hukum perdata, sistematika hukum perdata materiil.

    2. Peserta Diklat mampu memahami dan menjelaskan perihal pengertian

    hukum perikatan, sumber perikatan, syarat perikatan, jenis perikatan

    dan berakhirnya perikatan,

    3. Peserta Diklat mampu memahami dan menjelaskan perihal perihal

    hukum perjanjian, jenis perjanjian dan pelaksanaan perjanjian

    4. Manfaat yang dapat diharapkan bagi peserta Diklat Pembentukan Jaksa

    (PPPJ) setelah mengikuti mata ajar ini adalah mampu menjelaskan

  • Hukum Perdata Materiil | 4

    tugas dan wewenang Kejaksaan/Jaksa Pengacara Negara di bidang

    keperdataan sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.

    D. Indikator Keberhasilan

    1. Widyaswara memberikan penjelasan mengenai pengertian Hukum

    Perdata, ruang lingkup Hukum Perdata, asas-asas Hukum Perdata

    hingga subyek dan obyek perjanjian serta bentuk-bentuk perjanjian

    Hukum Perdata.

    2. Latihan/praktek menganalisa permasalahan Hukum Perdata dalam

    bentuk Pendapat Hukum.

    3. Ujian.

    4. Peserta Diklat mampu memahami ruang lingkup dan beberapa

    permasalahan Hukum Perdata sehingga saat melaksanakan Tugas

    Fungsi sebagai Jaksa Pengacara Negara sudah dapat memahami.

    E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

    I. Hakekat Hukum Perdata

    1. Pengertian Hukum Perdata Dan Ruang Lingkup Hukum Perdata

    2. Pengertian Hukum Perdata Dalam Arti Sempit Dan Dalam Arti

    Luas

    3. Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Materiil di Indonesia

    4. Asas-asas hukum perdata

    II. Sistematika Hukum Perdata

    1. Sistimatika Hukum Perdata Menurut Ilmu Hukum/Ilmu

    Pengetahuan

    2. Sistematika Hukum Perdata Menurut Undang-Undang / Kitab

    Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

    3. Sistimatika Kitab Undang-undang Hukum Perdata

    III. Perikatan

    1. Pengertian Hukum Perikatan

    2. Sumber Perikatan

    IV. Subyek Dan Obyek Perikatan

    1. Subyek perikatan

    2. Obyek perikatan (voor werp/onder werp)

    3. Syarat-Syarat Perikatan

    4. Jenis-Jenis Perikatan

    5. Berakhirnya Perikatan (Pasal 1381 BW)

    V. Pelaksanaan Perikatan

    1. Wanprestasi

  • Hukum Perdata Materiil | 5

    2. Overmacht/Force Majeur

    3. Exeptio non Adimpleti Contractus (Kreditor yang Lalai)

    4. Pelepasan Hak (Rechtsverweking)

    VI. Perjanjian

    1. Hukum Perjanjian Di Indonesia

    2. Pengertian Perjanjian

    3. Syarat Sahnya Perjanjian

    4. Unsur-Unsur Perjanjian

    5. Asas-Asas Perjanjian

    6. Penafsiran Perjanjian

    7. Sifat Perjanjian

    8. Bentuk Perjanjian

    9. Jenis Perjanjian

    10. Perjanjian Standard

    11. Perjanjian Dalam Perkembangan

    VII. Kapita Selekta

    1. Perjanjian Sewa Beli Dan Cicilan

    2. Perjanjian Frenchise /Waralaba

    3. Perjanjian Trustee

    6. syarat perikatan, jenis perikatan dan berakhirnya perikatan.

    4. Perihal hukum perjanjian, jenis perjanjian dan pelaksanaan

    perjanjian.

  • Hukum Perdata Materiil | 6

    BAB II

    HAKEKAT HUKUM PERDATA

    A. Pengertian Hukum Perdata dan Ruang Lingkup Hukum Perdata

    1. Pengertian Hukum Perdata

    Hukum Perdata merupakan hukum yang mengatur hubungan hukum

    antara orang yang satu dengan yang lain, dengan mengutamakan

    kepentingan pribadi atau masing-masing individu (perseorangan). Hukum

    perdata disebut juga dengan istilah hukum privat (privatrecht) atau hukum

    sipil (civilrecht).

    Beberapa pakar/ahli hukum memberikan pengertian tentang Hukum

    Perdata, sebagai berikut:

    a. Menurut Subekti (Subekti, 2003 : 9):

    Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil,

    yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan

    perseorangan.

    b. Menurut Utercht (Utrecht/Moh. Saleh Djindang, 1989: 30-31) :

    Hukum privat (Hukum perdata ) mengatur tata tertib masyarakat

    mengenai family (keluarga) dan mengenai kekayaan para invidu, dan

    mengatur pula hubungan-hukum yang diadakan antara para

    indivisunyang satu denban yang lain, antara individu dengan badan

    negara bila mana badan negara itu turut serta dalam pergaulan sebagai,

    yaitu seolah-olah, individu.

    c. H.F.A Volmar (H.F.A Folmar, 1996: 2) menyatakan bahwa hukum

    perdata yang disebut juga hukum sipil atau Hukum privat, ialah aturan-

    aturan atau norma-norma, yang memberikan pembatasan dan oleh

    karena memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan

    perseorang dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang

    satu dengan yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat

    tertentu.

    d. Haruiniati Natadimaja, 2009: 2), menyatakan bahwa hukum perdata

    adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang/badan

  • Hukum Perdata Materiil | 7

    hukum yang satu dengan antara orang/badan hukum yang lain di dalam

    masyarakat dengan menitikberatkan kepentingan persorangan (pribadi

    /badan hukum).

    e. C.S.T Kansil (C.T.Kansil, 2002: 214) menyatakan bahwa hukum

    perdata (Burgerlijklijkrecht) adalah rangkaian peraturan-peraturan

    hukum yang mengatur hubungan hukum antaraorang yang satu dengan

    orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

    Dari beberapa pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa

    Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara

    orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain di

    dalam kehidupan masyarakat dengan menitik beratkan pengaturannya

    kepada kepentingan pribadi secara tidak langsung juga besar pengaruhnya

    terhadap terjaminnya kepentingan umum, yang pada hakekatnya merupakan

    himpunan atau kesatuan dari kepentingan pribadi masing-masing individu

    tersebut pula (Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim, Tahun 1987: 14).

    Oleh karenanya, eksistensi Hukum Perdata pada dasarnya meliputi pasangan

    nilai-nilai pokok (Purnadi Purbacaraka dan A.Ridwan Halim: Tahun 1987:

    1-2), antara lain:

    a. Unsur Kebebasan dan ketertiban:

    Para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian mengenai apa saja,

    (asas kebebasan berkontrak/Pasal 1338 BW/KUHPerdata), sepanjang

    hal yang dijanjikan itu tidak mengganggu ketertiban atau melanggar

    syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (pasal 1320 BW/KUHPerdata).

    b. Unsur Kepastian hukum dan kesebandingan hukum.

    Dalam hal legitieme portie/bagian sah. Setiap ahli waris yang patut

    menerima warisan, pasti berhak atas bagian sah (kepastian hukum)

    tanpa bisa dihalangi dengan cara apapun. Tetapi berapa besarnya

    legitieme portie yang berhak diterimanya’?

    Besarnya legitieme portie/bagian sah tersebut tergantung dan

    (kesebandingan hukum):

    - Besar kecilnya harta warisan yang ditinggalkan.

    - Ada tidaknya/besar kecilnya hutang/piutang si pewaris.

    - Banyaknya ahli waris.

  • Hukum Perdata Materiil | 8

    - Ada tidaknya/besar kecilnya hibah wasiat.

    c. Unsur Keketatan dan keluwesan hukum.

    Adanya keketatan hukum yaitu dibuktikan dari adanya sistem

    tertutup Buku Kedua BW/KUHPerdata yang mengatur tentang hukum

    benda.

    Sedangkan adanya keluwesan dapat dibuktikan dari adanya sistem

    terbuka Buku Ketiga BW/KUHPer mengatur Hukum

    Perjanjian(Perikatan).

    d. Unsur unifikasi hukum dan pluralisme hukum:

    Adanya unifikasi hukum dapat dibuktikan dan telah terciptanya

    Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok

    Agraria, yang berlaku secara seragam bagi seluruh rakyat Indonesia

    dalam hal keagrariaan.

    Sedangkan adanya pluralisme hukum dapat dibuktikan dari masih

    adanya hukum yang berbhineka dalam beberapa persoalan perdata

    tertentu, misalnya dalam hal pewarisan dimana masih berlaku:

    - Ketentuan-ketentuan hukum waris menurut KUHPerdata.

    - Ketentuan-ketentuan hukum waris menurut Hukum Islam.

    - Ketentuan-ketentuan hukum waris menurut Hukum Adat.

    f. Dalam hukum perdata terkandung unsur proteksi hukum dan

    restriksi hukum.

    Adanya proteksi hukum dapat dibuktikan misalnya dari:

    Adanya hak inilik sebagai hak kebendaan yang terkuat dan paling

    sempurna serta memberikan jaminan kekuatan (perlindungan) hukum

    yang penuh bagi pemilik barang atas benda rniliknya.

    Sedangkan adanya restriksi hukum dapat dibuktikan misalnya

    dari adanya pembatasan pemilikan secara yuridis yang berupa

    larangan hukum untuk memiliki sesuatu tertentu dalam macam

    tertentu.Contoh :

  • Hukum Perdata Materiil | 9

    Binatang-binatang langka yang termasuk satwa undung, tumbuh-

    tumbuhan tertentu dan benda-benda penting yang mengandung nilai

    budaya tinggi tertentu tidak boleh diiniliki secara pribadi.

    Adanya larangan hukum untuk memiliki sesuatu tertentu

    melebihi batas jumlah tertentu. Contoh : Adanya batas maksimal luas

    tanah yang boleh diiniiki secara pribadi.

    Adanya larangan hukum untuk memiliki sesuatu tertentu

    berdasarkan status suatu pihak. Contoh : Adanya larangan bagi orang

    asing untuk memiliki tanah di Indonesia.

    g. Hukum Perdata terkandung unsur kejasmanian dan kerohanian.

    Adanya ketentuan bahwa, hak kebendaan mempunyai fungsi

    sosial, dalam arti bahwa hak kebendaan itu (unsur

    kebendaan/kejasmanian) tidak boleh mengganggu kepentingan antar

    pribadi (unsur kerohanian).

    h. Hukum Perdata terkandung kebaruan dan kelestarian

    Unsur kebaruan nampak dalam Hukum Perdata sebagai adanya

    ketentuan baru yang:

    - Lebih lengkap, lengkap dan lebih cocok dengan situasi dan

    kondisi dewasa ini;

    - Secara keseluruhan atau sebagian besar sudah dapat mengganti

    peraturan lama. mengganti peraturan-peraturan yang lama.

    Contoh:

    1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

    Tentang Perkawinan, maka ketentuan-ketentuan yang diatur

    dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk

    Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks

    Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan

    Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.

    1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur

  • Hukum Perdata Materiil | 10

    tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,

    dinyatakan tidak berlaku.

    2. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

    Atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah,

    yang menggantikan peraturan lama (Credietverband sebagaimana

    tersebut dalam Stb.1908-542 jo Stb 1909-584 sebagai yang telah

    diubah dengan Stb 1937-190 jo Stb 1937-191 dan ketentuan

    hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku Kedua

    KUHPerdata).

    Terbentuknya undang-undang baru agar dapat menampung

    perkembangan yang terjadi dalam bidang pengkreditan dan hak

    jaminan sebagai kemajuan pembangunan ekonomi.

    Sedangkan unsur kelestarian akan nampak dalam Hukum Perdata bila:

    - Masih ada/berlakunya peraturan lama karena bklum adanya

    Peraturan yang baru (untuk mencegah kekosongan hukum).

    - Peraturan -peraturan yang lama itu :

    Masih cocok untuk diterapkan pada situasi dan kondisi yang

    tengah dihadapi dewasa ini.

    Belum dapat dihapus sebab masih diperlukan untuk

    berbagai tujuan yang masih dapat dijangkaunya.

    Masih dapat disempurnakan dengan penafsiran atau

    konstruksi bila perlu, sehingga dalam hal ini belum perlu

    diadakan pembaharuan.

    Pelaksanaan dan penerapan Hukum Perdata harus sedapat

    mungkin diusahakan untuk mencapai:

    a. Keserasian antara kebebasan dan ketertiban serta keserasian

    antara unifikasi hukum dan pluralisme hukum, kedua-duanya

    ialah untuk mencapai kedamaian.

    b. Keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum

    serta keserasian antara proteksi hukum dan restriksi hukum,

    kedua-duanya ialah untuk mencapai keadilan.

    c. Keserasian antara kelestarian dan kebaruan yakni untuk mencapai

    kemajuan atau ―progress’.

  • Hukum Perdata Materiil | 11

    d. Keserasian antara keketatan hukum dan keluwesan hukum ialah

    untuk mencapai kewibawaan (hukum’).

    e. Keserasian antara kejasmanian dan kerohanian yakni untuk

    mencapai Kesejaheraan.

    Dari uraian tersebut di atas, tujuan utama yang ingin dicapai

    dalam pelaksanaan dan penerapan Hukum Perdata (Purnadi

    Purbacaraka dan A. Ridwan Halim: 1987: 6) adalah:

    a. Ketenangan, sebagai suatu keadaan pribadi dengan perasaan

    bebas dan ketakutan akan kemungkinan adanya suatu bahaya atau

    berbagai hal yang tidak diinginkan.

    b. Ketertiban sebagai suatu keadaan antar-pribadi yang serba teratur

    dengan segala hal terjadi atau berlangsung menurut ukuran yang

    seharusnya.

    c. Keadilan, yang pada hakekatnya dapat kita tinjau dari 2 (dua)

    sudut pandangan pokok yakni:

    1) Menurut pandangan awam (pandangan umum orang banyak):

    Keadilan itu ialah suatu nilai yang nampak sebagai

    ketenangan dan ketenteraman seseorang dalam menggunakan

    hak dan melaksanakan kewajibannya dalam hukum.

    Jadi suatu keadaan itu dikatakan adil bila keadilan tersebut

    adalah hasil kebijaksanaan (dalam arti ―wisdom‖) yang

    merupakan keleluasaan (dalam arti ―policy‖) positif yang

    menjarnin kebebasan setiap orang untuk menggunakan hak

    dan melaksanakan kewajibannya, tetapi juga sekaffgus

    mengawasi dan bila perlu juga membatasi kebebasan tersebut

    agar tidak menganggu ketertiban.

    2) Menurut pandangan dan sudut hukum:

    Keadilan itu ialah suatu nilai yang merupakan titik keserasian

    antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum. Misalnya

    dalam hal legitime portie/bagian sah yang diterima para ahli

    waris tergantung pada besar kecilnya harta warisan dari si

    pewaris, ada tidaknya hutang-piutang si pewaris, apakah ada

    tidak/bsar kecilnya hibah wasiat, dan banyaknya ahli waris.

  • Hukum Perdata Materiil | 12

    B. Pengertian Hukum Perdata Dalam Arti Sempit dan Dalam Arti Luas

    Yang dimaksud dengan Hukum Perdata Dalam Arti Sempit adalah

    keseluruhan ketentuan-ketentuan Perdata yang terdapat didalam Kitab

    Undang-undang Hukum Perdata (B.W).

    Sedangkan yang dimaksud dengan hukum perdata dalam arti luas

    adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan perdata yang terdapat didalam

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W) dan keseluruhan ketentuan-

    ketentuan yang terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang

    (Wetboek van Kopenhandel), beserta sejumlah serta peraturan perundang-

    undangan lainnya, termasuk juga Hukum Kepailitan dan Hukum Acara

    (H.F.A Vollmar, 1996: 4)

    Antara Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W) dan kitab

    Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Kopenhandel) mempunyai

    hubungan yang erat, hal ini tercantum dalam Pasal I KUH Dagang, yang

    menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata seberapa jauh

    daripadanya dalam Kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-

    penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam

    Kitab ini (KUHD).

    Dalam hubungan ini berlaku asas lex specialis derogat lex generalis,

    yakni ketentuan hukum yang ada dalam KUHD mengesampingkan hukum

    yang berlaku umum sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.

    Maka akan timbul pertanyaan, mengapa Hukum Perdata itu dimuat

    didalam 2 kitab yang berlainan?

    Untuk mengetahui hal ini, kita harus kembali mempelajari sejarah

    perkembangan timbulnya hukum Perdata itu sendiri.

    Sebagai sumber utama pertumbuhan daripada hukum Perdata itu

    adalah hukum Romawi. Pada saat itu di Romawi yaitu Zaman

    Pemerintahan JUSTITIANUS telah dikenalkan adanya satu kitab undang-

    undang hukum perdata ―CORPUS JURIS CIVILIZ‖ dan pada Zaman itu

    dianggap bahwa Corpus Juris Civiliz ini telah merupakan kitab undang-

    undang hukum perdata yang sempurna dan dapat menyelesaikan semua

    pcrsoalan perdata yang akan timbul, tetapi ternyata tidak dernikian halnya.

    Dengan adanya perkembangan masyarakat terutama dalam dunia

    perdagangan timbul hal-hal atau peristiwa-peristiwa baru yang ternyata

    tidak terdapat ketentuan yang bisa untuk mengatasi dan menyelesaikan

    peristiwa yang baru tersebut.

  • Hukum Perdata Materiil | 13

    Dengan adanya keadaan ini timbullah kesulitan-kesulitan, dengan

    adanya kesulitan tersebut para ahli hukum mencari jalan keluarnya yaitu

    dengan cara membentuk peraturan-peraturan baru yang dapat untuk

    menyelesaikan peristiwa itu.

    Peraturan-peraturan yang baru ini kemudian di bukukan atau di

    Kodifikasikan dalam satu buku yang tersendiri yang kemudian merupakan

    Kitab Undang-undang Hukum Dagang (K.U.H.D).

    Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa antara B.W/ K.U.H.

    Perdata dengan W.v.K atau K.U.H.D sebenarnya tidak terdapat perbedaan

    yang prinsip III, karena ke dua-duanya adalah sama-sama Hukum Perdata.

    Perbedaan yang ada antara kedua macam Kitab Undang-undang tersebut

    hanya dalam hal Sifat Hukumnya saja.

    Sifat hukum yang termuat didalam K.U.H.Perdata adalah bersifat

    Umum atau yang biasa disebut dengan Istilah ―LEX GENERALIS‖

    sedangkan sifat hukum dan ketentuanketentuan yang terdapat di dalam

    K.U.H.D atau W.v.K adalah bersifat khusus atau ―LEX SPECIALIS‖.

    Dengan adanya perbedaan sifat hukum dan kedua macam Kitab

    Undang-undang tersebut, maka ketentuanketentuan yang terdapat didalam

    K.U.H.D jika berhadapan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat

    didalam K.U.H. Perdata maka akan berlakulah azas yang berbunyi sebagai

    berikut:

    LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALIS artinya azas

    tersebut, bahwa semua ketentua-ketentuan yang berlaku khusus akan

    rnengesampingkan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku umum.

    Maksudnya apabila didalam suatu persoalan yang bersifat khusus yaitu

    rnengenai perdagangan, maka harus dipergunakan lebih dulu ketentuan-

    ketentuan yang ada didalam K UH.D.

    Kecuali apabila mengenai persoalan itu tidak terdapat ketentuannya

    didalam K.UH.D, maka akan diperlakukanlah ketentuan yang terdapat di

    dalarn KUH. Perdata (B. W).

    Sebagaimana diatas telah dikatakan bahwa sebagai sumber utama

    hukum Perdata adalah Hukum Romawi. Kemudian dengan adanya

    penjajahan yang dilakukan oleh Perancis dibawah Napoleon Bonaparte

    maka hukum Romawi itu mempengaruhi pula terhadap hukum Perancis

    yang mana pada waktu itu Perancis telah berhasil membentuk Kitab

    Undang-undang Perdata-nya yang disebut dengan nama Code Civil ―

    (C.C). Perancis menjajah juga Negeri Belanda dan Hukum Perancis ini

  • Hukum Perdata Materiil | 14

    juga mempengaruhi terhadap hukurn Belanda, dan pada waktu itu

    pemerintah Belanda telah memiliki Kitab Undang-undang Hukum Perdata-

    nya yang disebut dengan nama ―Burgerlijklijk Wetboek― atau B.W.

    Hukum Perdata materil yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur

    hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata, yaitu mengatur kepentingan-

    kepentingan perdata setiap subyek hukum.

    Sesuai dengan kepentingan yang diaturnya, maka subyek hukum

    perdata terdiri atas: manusia (Person) dan badan hukum (Rechtperson).

    Di dalam hukum Perdata manusia pribadi sebagai subyek hukum

    diakui mulai dari ia dilahirkan dan berakhir setelah ia meninggal dunia.

    Bahkan dalam Pasal 2 BW/KUHPerdata manusia diakui sebagai subyek

    hukum sejak ia masih di dalam kandungan ibunya, asalkan ia dilahirkan

    hidup. Sedangkan badan hukum adakah subyek hukum ciptaan manusia

    pribadi yang oleh hukum diberi hak dan kewajiban seperti manusia

    pribadi. Suatu perkumpulan dapat diinintakan pengesahan sebagai badan

    hukum sepanjang telah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain ada

    harta kekayaan sendiri, ada tujuan, dan sebagainya.

    Menurut hukum tiap-tiap orang atau badan hukum harus mempunyai

    tempat tinggal (domisili), yakni tempat dimana ia berdiam atau berada,

    dan dianggap selalu ada dalam melakukan hak-hak dan pemenuhan

    kewajibannya.

    Sumber Hukum Perdata Materiil, antara lain:

    - Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (AB) S.1847,

    diumumkan secara resini pada tanggal 30 April 1847/Peraturan

    Umum Mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia.

    - Burgerlijklijk Wetboek (BW)/Kitab Undang-undang Hukum Perdata ;

    - Wetboek van Koophandel (WvK)/ Kitab Undang-undang Hukum

    Dagang

    - Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria (Undang-

    undang ini mencabut berlakunya Buku Kedua KUHPerdata sepanjang

    berkaitan dengan tanah, kecuali hipotik.

    - Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    (dengan adanya undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan

    tentang perkawinan sebagaimana diatur dalam Buku Kesatu

  • Hukum Perdata Materiil | 15

    KUHPerdata, Ordonansi Christen Indonesia 1933 No. 74,

    Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Hiwelijken S.1898

    No.158), dan peraturan lain yang mengatur perkawinan sepanjang

    telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

    - Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

    (Undang-undang ini menghapus Credietverband sebagaimana tersebut

    dalam Staatsblad 1908-542 jo.Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad

    1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo.

    Staatsblad 1937-191, dan juga menghapus ketentuan mengenai

    Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-

    Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan

    Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang

    berkaitan dengan tanah)

    - Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

    - Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

    (Pasal 146 ayat 1 huruf a menentukan bahwa Kejaksaan dapat

    mengajukan pembubaran PT dengan alasan kepentingan umum atau

    PT melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang.

    EVALUASI:

    1. Jelaskan perbedaan antara Hukum Perdata dengan Hukum Dagang,

    dan bagaimana keterkaitan antar keduanya.

    2. Apakah yang dimaksud dengan hukum perdata materiil

    3. Apakah tugas dan kewenangan Kejaksaan RI di bidang perdata dan

    tata usaha negara. Jelaskan.

    C. Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Materiil di Indonesia

    Sebagaimana diatas telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa

    sebagai sumber utama hukum Perdata adalah Hukum Romawi. Kemudian

    dengan adanya penjajahan yang dilakukan oleh Perancis dibawah

    Napoleon Bonaparte maka hukum Romawi itu mempengaruhi pula

    terhadap hukum Perancis yang mana pada waktu itu Perancis telah berhasil

    membentuk Kitab Undang-undang Perdata-nya yang disebut dengan nama

    ―Code Civil ― (C.C).

    Selanjutnya Perancis menjajah juga Negeri Belanda dan Hukum

    Perancis ini juga mempengaruhi terhadap hukum Belanda. Dan pada

    waktu itu pemerintah Belanda telah memiliki Kitab Undang-undang

    http://www.bapepam.go.id/reksadana/files/regulasi/UU%2040%202007%20Perseroan%20Terbatas.pdfhttp://www.bapepam.go.id/reksadana/files/regulasi/UU%2040%202007%20Perseroan%20Terbatas.pdf

  • Hukum Perdata Materiil | 16

    Hukum Perdata-nya yang disebut dengan nama ―Burgerlijklijk Wetboek

    atau B. W.

    Selanjutnya Pemerintah Belanda juga menjajah Indonesia dan hukum

    perdata Belanda itu oleh pemerintahan Belanda telah pula diperlakukan di

    Indonesia pada waktu itu. Hal ini dapat kita ketahui dan Pedoman Politik

    Hukum Pemerintah Belanda di Indonesia, yaitu yang tercantum dalam

    pasal 131 I.S.

    Pasal 131 IS. tersebut antara lain mengandung kehendak-kehendak

    Pemerintah Hindia Bclanda terhadap berlakunya hukum di Indonesia pada

    saat itu:

    (I) Pemerintah Belanda menghendaki agar diadakan Kodifikasi

    (pembukuan hukum) di Indonesia terhadap hukurn Perdata, hukum

    Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara;

    (II) Pemerintah Belanda juga menghendaki berlakunya Azas

    Konkordansi terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.

    Yang dimaksud dengan Konkordansi hukum Belanda ini, Pemerintah

    Belanda menghendaki terhadap golongan Eropah yang ada di

    Indonesia atau mereka di persamakan dengan golongan Eropah akan

    diperlakukan hukum Perdata sebagaimana yang ada di negeri

    Belanda sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan Azas

    Konkordansi ini sendiri adalah mempersamakan berlakunya hukurn

    dan salti negara untuk diperlakukan terhadap Negara lain.

    (III) Bahwa Pemerintah Belanda juga memberikan kesempatan kepada

    golongan Tionghoa, Timur Asing. Jika masyarakat mereka

    membutuhkan dapat mengadakan suatu Peraturan Bersama.

    (IV) Juga bagi golongan-golongan lain jika terhadap hukum yang berlaku

    bagi golongan Eropa baik secara keseluruhan atau untuk sebagian

    atau untuk satu perbuatan tertentu.

    (V) Bahwa Pemerintah Belanda juga menghendaki bagi golongan

    Indonesia Asli Pribumi selarna hukurn mereka belurn tertuhis maka

    tetap di perlakukan Hukum Adat mereka masing-masing.

    Selanjutnya Pemerintahan Belanda disamping menghendaki

    berlakunya hukum di Indonesia sebagairnana yang tercantum didalam

    pasal 131 I.S. tersebut, Pemerintah Belanda juga telah mengadakan

    pembagian golongan penduduk di Indonesia, hal mana dapat kita ketahui

    melahui pasal 163 I.S yang menyatakan bahwa golongan penduduk di

    Indonesia tersebut terdiri dari:

  • Hukum Perdata Materiil | 17

    1. Golongan Eropa : termasuk mereka yang dipersamakan Golongan

    Eropa

    2. Golongan Tionghoa

    3. Golongan Timur Asing (Pakistan, Arab, India dll) kecuali Tionghoa.

    4. Golongan Indonesia Asli Pribuini

    Bahwa sehubungan dengan adanya pembagian Golongan penduduk

    Indonesia pada waktu pemerintahan Hindia Belanda yang kemudian

    dihubungkan dengan Pedoman Politik Hukum Pemerintah Belanda di

    Indonesia, sebagaimana tercantum dalampasal 131 I.S.

    Hal ini mengakibatkan bahwa berlakunya hukum pada saat itu bagi

    penduduk Indonesia saling berbeda antara golongan yang satu dengan

    golongan lain sebagai berikut:

    1. Untuk golongan .Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan

    golongan tersebut diperlakukan bagi mereka seluruh Ketentuan-

    ketentuan yang terdapat didalam Burgerlijklijk Wetboek‖ (B.W) dan

    juga seluruh ketentuanl peraturan-peraturan yang terdapat didaham ―

    Wetboek van Kopenhandel‖ (W.v.K);

    2. Bagi golongan Tionghoa berlaku Ketentuan-ketentuan yang ada

    didalam B.W dengan pengecualian yang mengatur mengenai upacara

    pendahuluan perkawinan dan pencegahan atau penahanan perkawinan

    yang ada didalam B.W tersebut dinyatakan tidak berlaku bagi mereka.

    Selain itu untuk Golongan Tionghoa berlaku ―Burgerlijklijke Stand‖

    atau B.S.

    Kemudian untuk golongan Tionghoa berlaku adanya ―Adopsi― yang

    mana didalam B.W itu senii Adopsi tidak dikenal ( pada Tahun 1956

    di dalam BW Belanda yang baru diatur tentang Adopsi).

    3. Bagi golongan Timur Asing kecuali Tionghoa berlaku bagi mereka

    ketentuan-ketentuan yang ada didalam B.W (Burgerlijklijk Wetboek)

    khusus hanya Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Harta

    Kekayaan saja.

    Sedangkan untuk hal-hal lainnya yaitu mengenai Hukum Kepribadian,

    Hukum Kekeluargaan, Hukum Kewarisan, untuk golongan Timur

    Asing berlaku Hukurn dan Negara asalnya mereka masing-masing;

    4. Selanjutnya untuk Golongan Indonesia Ash atau Pribuini selama

    hukum mereka belum Tertulis maka berlakulah Hukum Adat mereka

    masing-masing.

  • Hukum Perdata Materiil | 18

    Jadi kesimpulan yang dapat kita ketahui bahwa berlakunya Hukum

    Perdata di Indonesia pada saat itu berbeda-beda antara golongan yang satu

    dengan golongan yang lain, berarti didalam Satu Negara berlaku Hukum

    Perdata yang ―beraneka ragam ―. Oleh sebab itu dikatakan bahwa Hukum

    Perdata di Indoesia bersifat ―pluralistis‖.

    Mengenai hukum Perdata Indonesia bersifat Pluralistis ini sampai

    pada waktu sekarang masih berlangsung terus, sebab Hukum Perdata yang

    dipergunakan Pemerintah Indonesia pada saat ini, yaitu yang tercantum

    didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) masih

    berasal dan peninggalan Pemerintah Belanda dulu.

    Terhadap keadaan hukum Perdata yang bersifat pluralistis ini dan

    sekaligus merupakan Hukum warisan penjajah, sebenarnya sudah tidak

    sesuai lagi bagi Pemerintah Indonesia yang merupakan Negara Kesatuan.

    Sebab Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini dibuat berdasarkan adanya

    Ras Diskriminasi, pembedaan golongan yang mana hal ini jelas

    bertentangan dengan UUD’45 dan Pancasila yang justru menghendaki

    adanya kesatuan bangsa.

    Tetapi walaupun demikian hukum ini tetap kita pergunakan berhubung

    pemerintah belum sanggup untuk membentuk Hukum Perdata Nasional.

    Sebab untuk membentuk suatu hukum Perdata Nasional secara menyeluruh

    adalah merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena untuk hal itu

    membutuhkan beberapa hal,yaitu:

    (1) Waktu yang cukup lama untuk mempelajari kejiwaan masyarakat

    yang ada sebagai dasar dalam membentuk Hukum Nasional tsb;

    (2) Selain itu karena juga banyak membutuhkan Ahli dalam bidang

    hukum untuk menyusun Hukum Nasional yang baru

    (3) Membutuhkan biaya yang cukup besar.

    Berdasarkan hal-hal tersebut, menyebabkan belum adanya dibentuk

    Hukum Nasional secara menyeluruh. Apabila suatu hukum barn belum

    dapat dibentuk dan hukum yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi, maka

    hal itu akan rnengakibatkan Kekosongan Hukum didalam Negara tersebut

    atau disebut “recht vacum “.

    Pada saat ini Pemerintah telah berusaha tahap deini tahap untuk

    mengarahkan membentuk Hukum Perdata Nasional sendiri. Usaha-usaha

    ini telah dilakukan oleh Pemerintah melalui 2 jalan / cara, yaitu:

  • Hukum Perdata Materiil | 19

    1. Usaha melalui Bidang Perundang-undangan

    Melalui bidang ini yaitu dengan jalan membentuk Hukum Perdata

    Nasional dalam bidang-bidang tertentu, sebagaimana yang kita

    ketahui dan hasil usaha ini, yaitu:

    a. Dalam Bidang Agraria telah terbentuk adanya Undang-undang

    pokok Agaria (tanah dan segala sesuatu yang berhubungan

    dengan tanah) berlakulah Undang-undang ini bagi seluruh

    Bangsa Indonesia.

    b. Dalam Bidang Perkawinan yang telah terbentuk Hukum

    Perkawinan yang berlaku bagi seluruh Bangsa Indonesia yaitu

    dengan adanya Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1

    Tahun 1974, dengan Peratuan Pelaksanaannya, yaitu P.P No.9

    tahun 1975.

    2. Melalui Bidang Ilmu Pengetahuan

    Usaha-usaha melalui bidang ini dilakukan dengan cara

    menampung pendapat-pendapat para Sarjana Hukum terhadap

    berlakunya B.W pada saat ini. Dan dengan adanya pendapat-pendapat

    ahli hukum mengenai hal ini berarti pula mengurangi ketentuan-

    ketentuan didalam B.W untuk dipergunakan, sehingga dengan

    demikian usaha ini bersifat mendorong atau mendukung untuk dapat

    dipercepatnya terciptanya Hukum Perdata Nasional tsb.

    Dalam bidang Ilmu Pengetahuan ini kita ketahui pendapat-pendapat

    dari:

    1. SAHARDJO .

    Menurut Sahardjo B.W (K.U.H. Perdata) yang kita

    pergunakan sekarang ml adalah merupakan Hukum Perdata produk

    (buatan) dan Pemerintah Penjajah (Belanda dulu). Oleh sebab itu

    KUHPerdata itu pada waktu sekarang sudah tidak lagi merupakan

    sebagai KUHPerdata atau ―Wetboek‖ melainkan hanya merupakan

    sebagai ―Pedoman‖ hukum saja atau ―Rechtsboek ―. Pendapat

    tersebut berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

    (1) Bahwa B.W atau KUHPerdata itu dibentuk berdasarlan pasal

    131 I.S yang mana pasal itu adanya ― Ras Diskrirninasi ―

    (Pembedaan golongan) sebagaimana yang dipertegas didalam

    pasal 163 IS

  • Hukum Perdata Materiil | 20

    (2) Mengenai Ras Diskriminasi(pembedaan golongan) ini justru

    tidak dikehendaki oleh Jiwa UUD’45 dan Pancasila, Oleh

    sebab itu jelas bahwa B.W atau K.U.H Perdata ini berlakunya

    bertentangan dengan Jiwa Bangsa Indonesia;

    (3) Mengenai Ketentuan-ketentuan B.W yang jelas bertentangan

    dengan jiwa bangsa Indonesia tidak diperlakukan lagi;

    (4) Sedangkan mengenai ketentuan-ketentuan dan B.W yang tidak

    bertentangan dengan Jiwa Bangsa

    Indonesia masih dapat diperlakukan, tetapi tidak lagi

    merupakan hukum Tertulis atau Kodifikasi, oleh sebab itu B.W

    berlakunya hanya sebagai Buku Pedoman Hukum saja

    (Rechtsboek).

    2. MAHADI:

    Mahadi berpendapat sebagai berikut:

    (1) Bahwa B.W itu dibentuk berdasarkan pasal 1311 IS yang

    menganut adanya faham Ras Diskriininasi

    (2) Bahwa Ras Diskriminasijustru tidak dikehendaki oleh bangsa

    Indonesia dan hal ini jelas bertentangan dengan UUD’45 dan

    Pancasila;

    (3) Mengenai ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan Jiwa

    Bangsa Indonesia agar tidak dipergunakan;

    (4) Sedangkan mengenai ketentuan-ketentuan yang tidak

    bertentangan tetap masih dapat dipergunakan sebagai Hukum

    yang Tertulis atau bagian dan Kodifikasi.

    Dalarn hal ini Beliau tidak sependapat dengan Sahardjo yang

    mengatakan bahwa untuk Ketentuan-ketentuan yang tidak

    bertentangan dengan jiwa Bangsa Indonesia tetap berlaku, tetapi

    sebagai Hukum yang Tidak Tertulis atau tidak merupakan bagian

    dan Kodifikasi lagi. Indonesia masih dapat diperlakukan, tetapi

    tidak lagi merupakan hukum Tertulis atau Kodifikasi, oleh sebab

    itu B.W berlakunya hanya sebagai

    Beliau selanjutnya berpendapat bahwa untuk menentukan

    ketentuan-ketentuan mana didalam B. W yang bertentangan dengan

    U.U.D’45 dan mana yang tidak bertentangan, penilaian ini

  • Hukum Perdata Materiil | 21

    diserahkan saja kepada para ahli hukum dalam bidang praktek

    (Hakim).

    Perbedaannya:

    Kalau Prof. Mahadi mengatakan : kalau mengenai ketentuan-

    ketentuan yang tidak bertentangan itu masih berlaku, kalau DR

    Sahardjo, SH tidak mengikat.

    3. MATHILDA SOEMAMPOUW

    Mathilda Soemampouw berpendapat bahwa jika kita

    mengikuti Sahardjo dan Prof. Mahadi hal ini akan suatu keadaan

    Ketidak-pastian Hukum.

    Bahwa sebab itu mengenai hal ini tidak perlu dibicarakan

    lagi. Selama B. W be/urn dicabut secara resini dengan Undang-

    undang pencabutan tersendiri, maka B. W tetap berlaku sebagai

    Hukum Tertulis dan Mengikat.

    4. R. SOEBEKTI

    Bahwa pada waktu menjabat sebagai Ketua Mahkamah

    Agung R.I., R. Soebekti mengemukakan pendapat : bahwa BW

    tetap berlaku sebagai hukum yang ―Mengikat ―, karena belum ada

    Pencabutan secara Resini dengan Undang-udang terhadap

    berlakunya B.W di Indonesia.

    Sedangkan mengenai penilaian Ketentuan-ketentuan mana

    yang ada didalam B.W, yang jelas bertentangan dengan Jiwa

    Bangsa Indonesia, penilaian itu diserahkan saja kepada para Hakim

    dalam praktek.

    Sehubungan dengan pendapat ini, R.Soebekti mengingatkan

    untuk memperhatikan adanya ―Surat Edaran MA ― No. 3 Tahun

    1963 yang ditujukan kepada I. Kepala Pengadilan Negeri dan

    Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia (Surat Nomor :

    1115/P/3292/M/1963, Perihal Gagasan menganggap Burgerlijk

    Wetboek tidak sebagai Undang-undang).

    Didalam ―Surat Edaran MA ― No. 3 Tahun 1963 ditentukan

    pasal-pasal yang jelas bertentangan dengan U.U.D 1945. Menurut

    Beliau Surat Edaran MA No. 3 Tahun 1963 bersifat sebagai suatu

    ―Ajakan atau Seruan untuk agar para Hakim didalam praktek tidak

    lagi mempergunakan pasal-pasal yang ada didalam Surat Edaran

    itu.

  • Hukum Perdata Materiil | 22

    Pada prisnsipnya dan semua pendapat yang ada tersebut

    mempunyai pengaruh terhadap berlakunya B.W pada saat sekarang

    ini adalah pendapat Soebekti, sebab dengan seruan beliau agar kita

    memperhatikan S.E No.3 Tahun 1963 tersebut berarti hal ini telah

    mengurangi terhadap berlakunya pasal-pasal yang ada didalam

    B.W tersebut. Dengan adanya usaha pemerinah yang dilakukan

    melalui bidang Per- Undang-undangan dan Ilmu Pengetahuan ini

    mengakibatkan B.W atau K.U.H Perdata tidak lagi berlakunya

    sepenuhnya.

    Dalam hal ini mengenai S.E No. 3 Tahun 1963 dikatakan

    sebagai suatu ―Ajakan ―, sebab untuk mengadakan perubahan atau

    pembentukan suatu hukum adalah bukan wewenang dan

    Mahkarnah Agung atau Badan Yudikatif, melainkan yang berhak

    dalam hal ini adalah ―Badan Legislatif ―.

    Oleh sebab itu dengan S.E tersebut tidak dinyatakan bahwa

    Peraturan-peraturan yang ada didalam S.E itu dikatakan dicabut,

    melainkan para ahli hukurn dalam bidang praktek hanya diserukan

    atau diajak untuk sebaiknya tidak mempergunakan pasal-pasal yang

    ada didalam S.E No. 3 Tahun 1963.

    Jadi S.E ini tidak secara tegas mengikat untuk tidak

    mempergunakan pasal-pasal tersebut, tetapi dalam hal ini baik

    Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi yang berhubungan

    dengan pasal tersebut sebagai Instansi yang berada dibawah

    Mahkamah Agung jelas akan mengikuti ajakan atau seruan

    tersebut.

    Gagasan ini oleh Ketua Mahkamah Agung dalam bulan

    Oktober 1962 ditawarkan kepada khalayak ramai dalam seleksi

    hukum dan Kongres Ilmu Pengetahuan Indonesia atau KIPI dan di

    situ mendapat persetujuan bulat dan para peserta.

    Kemudian terdengar banyak sekali suara-suara dan para

    sarjana hukum di Indonesia yang menyetujui juga gagasan ini.

    Sebagai konsekuensi dan gagasan ini, maka Mahkamah

    Agung menanggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut

    dari Burgerlijkljk Wetboek.

    1. Pasal 108 dan pasal 119 B.W tentang wewenang seorang isteri

    untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di

    muka pengadilan tanpa izin dan bantuan suami;

  • Hukum Perdata Materiil | 23

    2. Pasal 284 ayat (3) B.W mengenai pengakuan anak yang lahir

    diluar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia ash.

    Dengan demikian pengakuan anak itu tidak lagi berakibat

    terputusnya perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga

    juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan di antara semua

    warga Negara Indonesia;

    3. Pasal 1682 B.W yang mengharuskan dilakukannya suatu

    penghibahan dengan akta notaris;

    4. Pasal 1579 B.W yang menentukan bahwa dalam hal sewa

    menyewa barang, si pemilik barang tidak dapat menghentikan

    persewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri

    barangnya, kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan

    sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan;

    5. Pasal 1238 B.W yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu

    perjanjian hanya dapat di muka Hakim, apabila gugatan ini

    didahului dengan penagihan tertulis;

    Mahkamah Agung sudah pernah memutuskan di antara dua

    orang Tionghoa, bahawa pengiriman turunan surat gugatan

    kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan, oleh

    karena si tergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya

    gugatan dengan membayar hutangnya sebelum dan sidang

    pengadilan.

    6. Pasal 1460 B.W tentang resiko seorang pembeli barang, pasal

    mana menentukan, bahwa suatu barang tertentu yang sudah

    dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggung jawab pembeli,

    meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan; Dengan

    tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dan tiap-

    tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggung jawaban

    atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan

    dijual tetapi belum diserahkan, hams dibagi antara kedua belah

    pihak, dan kalau ya, sampai dimana.

    7. Pasal 1603 x ayat (1) dan ayat (2) B.W, yang mengadakan

    diskriininasi antara orang Eropa di satu pihak dan bukan Eropa

    di lain pihak mengenai perj anj ian perburuhan.

    Demikian bunyi Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun

    1963 yang sangat terkenal itu, dimana dengan Surat Edaran yang

    ditandatangani Wirjono Prodjodikoro tersebut, beberapa pasal B.W

    dinyatakan tidak berlaku lagi.

  • Hukum Perdata Materiil | 24

    Dalam perkembangan selanjutnya Surat Edaran Mahkamah

    Agung No. 3 Tahun 1963 itu mendapat tanggapan dan sorotan dari

    Mahkamah Agung sendiri, ketika menjadi Ketua Mahkamah

    Agung R. Subekti, yang disampaikan pada Pembukaan Seininar

    Hukum Nasional 11 di Semarang pada tahun 1968.

    Menurut Subekti, gagasan Menteri Kehakiman dan Surat

    Edaran Mahkarnah Agung serta Seininar Hukum bukanlah suatu

    sumber hukurn formil. Oleh karena itu gagasan Menteri Kehakiman

    Dr. Sahardjo, SH yang menganggap Burgerlijklijk Wetboek (B.W)

    bukan lagi suatu Wetboek tetapi hanya sebagai rechtboek yang

    kemudian disetujui oleh Mahkamah Agung dengan dengan Surat

    Edarannya No. 3 Tahun 1963, harus dipandang sebagai anjuran

    kepada para Hakim untuk jangan ragu-ragu atau takut-takut

    menyingkirkan suatu pasal atau suatu ketentuan dan B.W manakala

    mereka berpendapat bahwa pasal atau ketentuan B.W itu sudah

    tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman atau keadaan

    kemerdekaan sekarang ini. Jadi, yang menyingkirkan suatu pasal

    atau ketentuan dan B.W adalah putusan-putusan Hakim yang,

    merupakan yurisprudensi, bukan oleh Surat Edaran Mahkamah

    Agung No. 3 Tahun 1963 itu. Oleh karena itu, kata Subekti perlu

    adanya pengakuan kewenangan Hakim dalam melakukan peradilan

    perdata yang luar biasa, apabila ia berpendapat dan yakin bahwa

    suatu ketentuan sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi dengan

    perubahan dan kemajuan zaman, ia menyingkirkan ketentuan

    tersebut, atau apabila perubahan dan kemajauan zaman sudah

    menghendaki perluasan dan ketentuan tersebut untuk melakukan

    perluasan ketentuan tersebut.

    Dari uraian di atas ini dapatlah disimpulkan, bahwa secara

    yuridis formil kedudukan B.W tetap sebagal undang-undang sebab

    B.W tidak pemah dicabut dan kedudukannya sebagai undang-

    undang. Namun, pada waktu sekarang B.W bukan lagi sebagai

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang bulat dan utuh seperti

    keadaan semula saat diundangkan, karena beberapa bagian

    daripadanya sudah tidak berlaku Iagi, baik karena ada suatu

    peraturan perundang-undangan yang baru dalam lapangan perdata

    yang menggantikannya, maupun karena disingkirkan dan mati oleh

    putusan-putusan Hakim yang merupakan yurisprudensi karena

    dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

  • Hukum Perdata Materiil | 25

    masyarakat yang sudah sangat jauh beruhah dibandingkan dengan

    keadaan masyarakat pada saat BW dikodifikasikan.

    Perkembangan dan perubahan selanjutnya terhadap Kitab

    Undang-undang Hukum Perdata (Djaya S.Meliala,2006: 18-

    9),antara lain :

    1. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-undang

    Nomor: 5 Tahun 1960, ke berlaku tanggal 24September 1960.

    Undang-undang ini menyatakan mencabut buku II KUHPerdata

    sepanjang yang mengatur tentang buini,air, serta kekayaan alam

    yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentua-ketentuan

    mengenai hipotek.

    2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3/1963,

    perihal:Gagasan menganggap Burgerlijklijk Wetboek tidak

    sebagai undang-undang. Sebagai konsekwensi dan gagasan ini,

    maka Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi,antara

    lain:

    1) Pasal 108 dan 110 B.W

    2) Pasal 284 ayat (3) B.W

    3) Pasal 1682 B>W

    4) Pasal 1579 B.W

    5) Pasal 1238 B.W

    6) Pasal 1460 B.W

    7) Pasal 1603ayat 1 dan 2 BW

    3. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 105 k/Sip/1968

    tentang diterimanya ―onheelbare tweespalt‖ (cekcok terus

    menerus, membuat pasangan tidak bisahidup rukun) sebagai

    alasan perceraian. Jurisprudensi ini memperluas alasan

    perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 209 KUHPerdata.

    4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    (undang-undang ini antara lain menyatakan tidak berlaku lagi

    ketentuan-ketentuan KUHPerdata yang mengatur tentang

    perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan

    perkawinan).

    5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

    Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah

  • Hukum Perdata Materiil | 26

    (undang-undang ini mencabut ketentuan tentang Hypotheek

    sebagaimana tersebut dalam Buku Ke II sepanjang mengenai

    pembebanan hak atas tanggungan pada hak atas tanah

    besertabenda-benda yang berkaitan dengan tanah.

    6. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia

    7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

    Anak

    8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004

    tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

    9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004

    Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun

    2001 tentang Yayasan.

    10. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006

    tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

    11. Undang-undang Republik Indonesia Nomor Nomor 23 Tentang

    Adininistrasi Kependudukan yang telah menghapus Bagian

    Kedua (tentang nama-nama, perubahan nama-nama dan

    perubahan nama-nama depan), dan Bab Ketiga (tentang tempat

    tinggal atau domisili) dari Buku Kesatu KUHPerdata,serta

    menghapus Undang-undang Nomor 4/1961 tentang Perubahan

    atau Penambahan Nama Keluarga (Undang-undang ini

    menyatakan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, 9 dan Pasal 10

    KUHPerdata tidak berlaku lagi)

    12. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007

    tentang Perseroan Terbatas.(Undang-undang ini mencabutdan

    menyatakan tidak berlaku lagi Undang-undang Nomor 1 Tahun

    1995 tentang Perseroan Terbatas yang telah mencabut Buku

    Kesatu Bagian Ketiga Pasal 36 sampai Pasal 56 KUHD berikut

    segala perubahannya, dst).

  • Hukum Perdata Materiil | 27

    EVALUASI :

    Diskusikan:

    1) Mengapa Hukum Perdata di Indonesia dikatakan bersifat

    pluralisme. Jelaskan

    2) Mengapa berlakunya BW/Kitab Undang-undang Hukum Perdata

    sekarang ini tidak lagi yang bulat dan utuh seperti keadaan semula

    saat diundangkan? Jelaskan

    D. Asas-asas Hukum Perdata

    Asas hukum adalah ―aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang

    abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan

    pelaksanaan hukum (Mas Marwan, 2004: 95). Dengan demikian, peraturan

    hukum konkret (seperti undang-undang), pelaksanaan hukum dan putusan

    pengadilan tidak boleh bertentangan dengan asas hukum.

    Beberapa pakar (Sudikno Mertokusumo, 2001: 5-6, dan Marwan

    Mas, 2004:95), mendefinisikan asas-asas hukum, sebagai berikut:

    - Bellefroid berpendapat bahwa asas hukum umum adalah norma dasar

    yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak

    dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum

    umum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu

    masyarakat.

    - Vsan Eikema Hommes itu tidak boleh dianggap sebagai morma-

    norma hukum konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar

    hukum umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.

    Pembentukan hukum, praktis perlu berorientasi pada asas hukum

    tersebut. Dengan kata lain, asas hukum adalah dasar-dasar atau

    petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

    - Menurut Scholten, asas hukum adalah kecendrungan-kecendrungan

    yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum,

    merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai

    pembawaan umum itu, yang tidak boleh tidak harus ada.

    - Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum mengandung nilai-nilai dan

    tuntutan-tuntutan etis. Apabila Anda membaca suatu peraturan hukum,

  • Hukum Perdata Materiil | 28

    mungkin kita akan menemukan pertimbangan etis di situ. Akan tetapi

    asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau

    setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu.

    Dari apa yang diuraikan di atas dapat disimpulkan (Sudikno

    Mertokusumo, 2001: 5-6), bahwa asas hukum bukan merupakan hukum

    konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau

    merupakan latar belakang peraturan konkrtit yang terdapat dalam dan di

    dalam sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan

    dan putusan hakim yang merupakan hukum positif, dan dapat diketemukan

    dengan sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit

    tersebut.

    Apabila dalam sistem hukum terjadi pertentangan, maka asas hukum

    akan tampil untuk menyelesaikan pertentangan tersebut. Menurut

    Klanderman Fungsi asas hukum (Sudikno Mertokusumo, 2001: 6), antara

    lain sebagai berikut:

    - Asas hukum dalam hukum bersifat mengesahkan dan mempunyai

    pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak.

    - Asas hukum tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi dalam

    hal juga menciptakan suatu sistem, yang tidak akan ada tanpa adanya

    asas hukum tersebut.

    Sedangkan Fungsi asas hukum dalam sistem hukum (Marwan Mas,

    2004:95), antara lain :

    - Menjaga ketaatan asas atau konsistensi, misalnya asas hukum yang

    menyatakan ―ius curia novit‖ atau ―hakim dianggap mengetahui

    hukum‖, artinya hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan

    dengan alasan tidak ada aturan hukumnya.

    - Menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum.

    Fungsi ini antara lain diwujudkan dalam asas hukum ―Lex superior

    derogat legi inferiori‖, yaitu aturan yang hirarkisnya lebih tinggi,

    diutamakan pelaksanaannya daripada aturan yang lebih rendah.

    Misalnya undang-undang lebih diutamakan pemberlakuannya

    daripada peraturan pemerintah.

  • Hukum Perdata Materiil | 29

    Dengan demikian diharapkan asas hukum bukan hanya sekedar

    simbol bagi peraturan konkrit dalam suatu sistem hukum dan sistem

    peradilan di Indonesia. Asas hukum mempunyai keterkaitan dengan sistem

    hukum dan sistem peradilan, sehingga setiap terjadi pertentangan di dalam

    mekanisme kerjanya, senantiasa akan diselesaikan dengan asas hukum.

    Asas hukum pada umumnya bersifat dinainis, dapat terpengaruh

    waktu dan tempat (historisch bestimmt), berkembang mengikuti kaedah

    hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti

    perkembangan masyarakat. Namun menurut G.J Scholten ((Sudikno

    Mertokusumo, 2001: 9-10), ada asas hukum yang bersifat universal yang

    berlaku kapan saja, tidak terpengaruh waktu dan tempat, antara lain

    sebagai berikut:

    - Asas keperibadian, manusia menginginkan adanya kebebasan

    individu, ingin memperjuangkan kepentingannya. Asas keperibadian

    ini menunjuk pada pengakuan keperibadian manusia, bahwa manusia

    adalah subyek hukum, penyandang hak dan kewajiban.

    - Asas persekutuan, manusia menghendaki hidup bersama yang tertib,

    aman dan damai.

    - Asas kesamaan, manusia menghendaki dianggap sama dihadapan

    hukum, tidak dibeda-bedakan (equality before the law).

    - Asas kewibawaan, memperkirakan atau mengasumsikan adanya

    ketidak-samaan. Di dalam masyarakat harus ada yang meinimpin,

    menertibkan masyarakat, yang diberi kewibawaan, yang mempunyai

    wewenang dan kedudukan yang lain daripada orang kebanyakan.

    Asas hukum dapat dibedakan dalam 2 macam (Sudikno

    Mertokusumo, 2001: 10-11), sebagai berikut:

    a. Asas hukum umum, yaitu asas hukum yang berhubungan dengan

    seluruh bidang hukum, antar lain:

  • Hukum Perdata Materiil | 30

    - Asas restitutio in integrum, yaitu pengembalian kepada

    kedudukan semula. Ketertiban dalam masyarakat haruslah

    dipulihkan pada keadaan semula, apabila terjadi konflik.Artinya

    hukum harus memerankan fungsinya sebagai ―sarana

    penyelesaian konflik‖

    - Asas lex posteriori derogat legi periori, yaitu hukum yang

    kemudian membatalkan hukum yang terdahulu.

    - Asas Ne bis in idem, yaitu satu perkara yang telah diputuskan,

    tidak boleh disidangkan untuk kedua kali.

    - Asas eidereen wordt geacht de wette kennen, yaitu setiap orang

    dianggap mengetahui hukum. Artinya apabila suatu undang-

    undang telah diundangkan (tercatat dalam Lembaran Negara),

    maka undang-undang tersebut dianggap telah diketahyu oleh

    warga masyarakat, sehingga tidak ada alasan bagi yang

    melanggarnya bahwa undang-undang itu belum diketahui

    berlakunya.

    b. Azas-azas dalam hukum perdata antara lain:

    - Azas Monogami (dalam Hukum Perkawinan) : Pasal 27 BW,

    sekarang diatur dalam pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 1

    Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    - Azas Konkordansi : - KB, 1 Mei 1948, - Stb 1848 Nomor 10

    - Azas Recht fictie: Pasal 2 BW

    - Azas Harta kekayaan debitor sebagai jaminan pelunasan

    hutangnya: Pasal 1331 BW

    - Asas Tiada suatu hukuman yang mengakibatkan kematian perdata

    atau kehilangan segala hak perdatanya : Pasal 3 BW

    - Pembatasan pasal 21(1) UU No. 5/1960.

    - Larangan pemilikan tanah pertanian yang berada diluar

    kecamatan dan tempat tinggal yang besangkutan tinggal yang

    bersangkutan.

    - Azas kebebasan berkontrak: pasal 1338 ayat (1) BW

    Pembatasan harus mengindahkan:

    1) Pasal 1320 sebagai syarat umum

    2) Pasal 1851 ayat 2 BW Perjanjian perdamaian

    3) Pasal 37 PP. 24 Tahun 1997

  • Hukum Perdata Materiil | 31

    4) Perjanjian yang dimaksud mengalihkan hak atas tanah.

    - Azas lex specialis derogate leg generalis :Pasal 1 KUHD

    Perkataan Hukum Perdata dalam arti luas adalah segala hukum

    pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Perkataan Perdata

    lain juga dipakai sebagai lawan dan pidana sedangkan dalam arti

    sempit lawan dan hukum dagang. Hukum Perseorangan dimana

    seseorang yang tidak mau melakukan sesuatu pekerjaan tentu tidak

    dapat langsung dipaksa melakukan pekerjaan tersebut,demikian pula

    kepentingan dalam warisan terbuka meskipun ia (bayi) masih dalam

    kandungan.

    Meskipun pada azasnya dikatakan setiap orang adalah pembawa

    hak tapi dalam hukum tidak semua orang dapat bertindak sendiri

    seperti orang yang tidak cakap atau kurang cakap untuk melakukan

    perbuatan melawan hukum seperti :

    Orang yang belum dewasa (BW— 21 tahun) kecuali kalau ia

    telah kawin.

    Orang yang ditaruh dibawah pengawasan curatele.

    Tiap orang harus ada domocilinya karena hal tersebut untuk

    mengetahui tempat kediaman, dimana tempat ia kawin,dimana ia

    dipanggil, dimana ia dicari, pengadilan mana yang berwenang.

    Dalam perjanjian kontrak dapat diterangkan doinicile pemilik.

    Hal ini memudahkan Penggugat menggugatnya bilamana perkaranya

    diselesaikan didepan pengadi Ian (litigasi) atau berguna bagi

    Penggugat untuk menggugat ahli warisnya.

    Dengan pengertian Hukum Perdata sebagai mana tersebut diatas,

    maka sebagai unsur yang terpenting dalam bidang hukum perdata

    adalah unsur Kepentingan Perseorangan.

    Contoh:

    KASUS PERDATA

  • Hukum Perdata Materiil | 32

    A menyewakan sebuah rumah kepada B dengan ketentuan setiap

    bulan pihak B sebagai penyewa dan rumah tersebut wajib untuk

    mengantarkan uang sewanya setiap bulan sebesar Rp. 10.000,- kepada

    A, tetapi ternyata sudah berlangsung 1 tahun B tidak pernah

    menyetorkan uang sewa tersebut kepada A.

    Dalam contoh peristiwa Perdata ini sebagaimana tadi kita

    katakan bahwa unsur yang terpenting adalah Kepentingan

    Perseorangan.

    Maka dalam contoh tersebut diatas kita dapat melihatnya

    bahwa dalam perjanjian sewa menyewa itu yang ada hanyalah

    kepentingan antara pihak A dengan pihak B, sedangkan orang lain

    diluar mereka sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun juga.

    Didalam sewa menyewa ini pihak A si pemilik rumah

    mempunyai kepentingan yang disebut sebagai hak, berupa

    kepentingan atau hak-nya terhadap jumlah uang sewa yang akan di

    terimanya dan pihak si-B.

    Selain pihak A itu mempunyai kepentingan atau hak-hak

    tertentu, pihak A juga mempunyai kewajiban-kewajiban untuk

    menyerahkan rumah yang bersangkutan untuk dapat disewa oleh

    pihak B yang mana dalam contoh ini kewajiban tersebut telah

    dilaksanakan dengan baik.

    Sebaliknya si B sebagai si-penyewa juga mempunyai

    kepentingan yaitu kepentingan untuk dapat menempati rumah tersebut

    yang dalam hal ini kepentingan itu berupa kepentingan terhadap hak

    menempati rumah. Apa yang menjadi hak daripada B tersebut telah

    dipenuhi oleh si-A. Disamping hak itu B juga mempunyai kewajiban

    yaitu kewajiban untuk membayar uang sewa kepada A tetapi ternyata

    B mengingkari janji yaitu tidak pernah menyetorkan uang sewanya

    yang disebut dengan istilah wanprestasi (ingkar janji).

    Dalam kejadian contoh tsb yang menderita kerugian adalah

    pihak si-A karena kepentingannya terhadap apa yang menjadi Hak-

    nya ternyata tidak dipenuhi oleh pihak si-B.

  • Hukum Perdata Materiil | 33

    Dalam keadaan tersebut diatas yang wajib untuk membela

    kepentingannya adalab orang yang menderita kerugian itu sendiri

    dalam hal ini si-A. Pihak lain ataupun Pejabat yang berwenang tidak

    akan memberikan perhatian apapun juga kecuali pihak yang menderita

    kerugian itu sendiri telah meininta bantuan secara tegas kepada

    Pejabat yang berwenang dalam hal ini pengadilan dan tempat tinggal

    pihak yang telah merugikan tersebut dan yang biasa disebut sebagai

    tergugat (B).

    Setelah ada permintaan tersebut barulah pihak yang berwenang

    akan memberikan bantuan untuk menyelesaikan kepentingan daripada

    pihak si-A melalui prosedur hukum yang disebut sebagai Hukum

    Perdata Formil atau biasanya dipergunakan istilah dalam praktek

    disebut sebagai Hukum Acara Perdata

    EVALUASI:

    1. Apa fungsi asas-asas hukum pelaksanaan hukum ?

    2. Dapatkah orang menolak tuntutan hukum dengan dalih ia tidak

    tahu adanya ketentuan hukum tersebut? jelaskan

    3. Sebutkan contoh-contoh asas-asas hukum perdata.

    4. Diskusikan bagaimana jika saudara temukan ada peraturan yang

    lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi ?

  • Hukum Perdata Materiil | 34

    BAB III

    SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

    A. Sistimatika Hukum Perdata Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan

    Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan , sistematika hukum perdata

    terdiri dari (Subekti, 2003: 16)

    a. Hukum tentang diri seseorang (Personen Recht) :

    Memuat peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-

    peraturan perihal kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-

    haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu;

    b. Hukum Kekeluargaan (Familie Recht):

    Mengatur mengenai hubungan hukum yang timbul dari hubungan

    kekeluargaan, seperti perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum

    kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak

    perwalian dan curatele;

    c. Hukum Kekayaan (Vermogen Recht) :

    Mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan

    uang. Dalam hal ini yang meliputi segala hak dan kewajiban orang itu,

    dinilai dengan uang (nilai ekonoinis). Hak-hak dan kewajiban-kewajiban

    yang demikian itu, biasanya dapat dipindah-tangankan kepada orang lain.

    Hak-hak kekayaan itu dapat dibagi lagi atas:

    - Hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak

    mutlak;

    - Hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu fihak yang

    tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.

    - Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat

    terlihat dinamakan hak kebendaan.

    - Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang

    dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak

    seorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak

    seorang pedagang untuk memakai sebuah merk.

    d. Hukum Warisan (Erfrecht) :

  • Hukum Perdata Materiil | 35

    Mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang jikalau ia

    meninggal Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga

    terhadap harta peninggalan seorang.

    B. Sistematika Hukum Perdata menurut Undang-Undang / Kitab Undang-

    Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

    Sistematika Hukum Perdata dalam Burgerlijklijk Wetboek voor

    Indonesiee /Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri atas 4 (empat) buku,

    sebagai berikut:

    - Buku I : Tentang Orang (Van Personen)

    - Buku II : Tentang Kebendaan (Van Zaken)

    - Buku III : Tentang Perikatan (Van Verbindtenissen)

    - Buku IV : Tentang Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en

    Verjaring)

    Ad.1. BUKU KESATU : “TENTANG ORANG”

    Di dalam buku Kesatu, dimuat semua ketentuan-ketentuan yang

    mengatur mengenai orang sebagai Subyek Hukum dan Hukum

    Keluarga.

    Dalam hal ketentuan yang mengatur orang sebagai Subyek Hukum

    (Manusia dan Badan Hukum). Mengenai apa yang sebenarnya

    dimaksud dengan Subyek Hukum? Siapa saja yang merupakan Subyek

    Hukum itu? Apa yang menjadi Hak dan Kewajiban Subyek Hukum?

    Bilamana kedudukan Subyek Hukum menjadi ―Hapus‖ atau ―hilang‖.

    Sedangkan mengenai hukum kekeluargaan yaitu semua ketentuan

    yang mengatur hubungan seseorang dengan pihak lainnya yang mana

    hubungan itu ditimbulkan karena adanya perkawainan antara seseorang

    pria dengan seseorang wanita, antara lain ketentuan itu meliputi

    mengenai ketentuan yang mengatur hubungan antara suami-Isteri. Hak

    dan kewajiban dari suami - isteri tersebut. Mengenai harta kekayaan di

    dalam perkawinan apabila terlahir anak-anak juga timbul hubungan

    antara orang tua dengan anak tersebut yang biasa disebut sebagai:

    ―Kekuasaan Orang Tua‖.

    Dimasukkannya hukum keluarga ke dalam bagian hukum tentang

    orang (Subekti, 2003: 17), karena hubungan-hubungan keluarga

  • Hukum Perdata Materiil | 36

    memang berpengaruh besar terhadap kecakapan seseorang untuk

    memiliki hak-hak serta kecakapan untuk mempergunakan hak-haknya

    itu.

    Dalam semua sistem hukum terdapat pengertian tentang badan

    hukum terdapat pengertian tentang badan hukum sebagai subyek hukum

    (rechtpersoon), karena ada keinginan atau kebutuhan untuk membentuk

    badan-badan atau perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan

    melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia.Badan-badan

    dan perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri dan dapat bergerak

    dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya,dapat digugat

    dan dapat juga menggugat di muka Hakim (Subekti, 2005: 21).

    Sementara itu menurut ilmu pengetahuan (doktrin),syarat-syarat

    yang dapat dipakai (harus ada) sebagai kriteria untukmenentukan

    adanya kedudukan sebagai suatubadan hukum (Djaja S.Meliala,

    2006:42) ialah:

    Ad.2. BUKU KEDUA: “TENTANG KEBENDAAN “.

    Didalam Buku Kedua dicantumkan semua ketentuan-ketentuan

    yang mengatur mengenai persoalan Benda sebagai obyek hukum.

    Disamping itu didalam Buku ini juga dimuat ketentuanketentuan yang

    mengatur mengenai ―Hukum Kewarisan

    Dalam hal hukum Kebendaan, diatur di dalamnya mengenai:

    - Apa yang dimaksud dengan benda menurut hukum.

    - Mengenai macam-macamnya benda menurut hukum.

    - Mengenai hak-hak Kebendaan.

    - Dan lain sebagainya.

    Sedangkan dalam hal Hukum Kewarisan diatur mengenai cara

    beralihnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang

    meninggal dunia kepada para ahli warisnya.

    Pembuat undang-undang memasukkan Hukum Waris ke dalam

    bagian tentang hukum kebendaan (Subekti, 2005: 21), karena dianggap

  • Hukum Perdata Materiil | 37

    hukum waris itu mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-

    benda, yaitu benda-benda yang ditinggalkan oleh seseorang.

    Ad.3. BUKU KETIGA : “TENTANG PERIKATAN”

    Buku ke-III ini memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur

    hubungan antara seseorang dengan pihak lainnya, hubungan mana

    menimbulkan adanya Hak dan Kewajiban diantara para pihak

    tersebut.

    Ketentuan-ketentuan ini antara lain meliputi:

    - Apa yang dimaksud dengan Perikatan?

    - Perikatan itu bersumber apa saja?

    - Bagaimana membuat suatu Perjanjian yang sah?

    - Hak dan Kewajiban apa yang timbul dan Perjanjian tersebut?

    Misalnya : Penjanjian Jual-Beli

    Dalam hubungan perjanjian Jual-Beli ini akan timbul Hak dan

    Kewajiban antara Penjual dengan pembeli tersebut. Sebagai Penjual

    berkewajiban untuk menyerahkan barang jualannya kepada Pembeli.

    Sebaliknya

    Penjual mempunyai juga hak untuk menerima uang pembayaran dan

    barang yang dijualnya. Sedangkan sebagai Pembeli mempunyai

    kewajiban untuk membayar dan menyerahkan harga barang yang

    dibelinya. Sebaliknya mempunyai Hak untuk menerima dan meininta

    barang yang telah dibelinya.

    Ad.4. BUKU KE-IV: “TENTANG PEMBUKTIAN DAN

    DALUWARSA”

    Buku ini memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai

    cara-cara mengenai cara-cara membuktikan sesuatu Hak mengenai

    macam-macam alat bukti dan lain-lainnya.

    Sedangkan mengenai daluarsa meliputi ketentuanketentuan yang

    mengatur mengenai lewatnya waktu yang mana dapat menimbulkan

    seseorang memperoleh sesuatu hak atau dengan lewatnya waktu

  • Hukum Perdata Materiil | 38

    tersebut seseorang akan dibebaskan dan sesuatu kewajiban atau

    tuntutan hukum.

    Misalnya:

    Dengan lewatnya waktu 30 tahun tanpa sesuatu gangguan dan

    pihak manapun, maka seseorang yang telah menepati sebidang tanah

    selama waktu tersebut dapat mengajukan permohonan agar tanah itu

    menjadi iniliknya.

    Dengan lewatnya waktu 1 tahun seseorang dapat dibebaskan dan

    sesuatu penagihan dokter.

    Perihal Pembuktian dan Lewat Waktu (daluarsa) sebenarnya adalah

    soal hukum acara, menurut Subekti (Subekti, 2003: 17) hal ini

    kurang tepat dimasukkan dalam BW yang pada asasnya mengatur

    hukum perdata materiil. Tetapi pernah ada suatu pendapat, bahwa

    hukum acara itu dapat dibagi dalam bagian materiil dan bagian

    formil. Soal mengenai alat-alat pembuktian terhitung bagian yang

    termasuk hukum acara materiil yang diatur juga dalam suatu undang-

    undang tentang hukum perdata materiil.

    Sistimatika Kitab Undang-undang Hukum Dagang :

    Sistimatika Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) terdiri dari :

    1. Buku Kesatu: Tentang Dagang umumnya

    2. Buku Kedua: Tentang Hak dan Kewajiban yang terbit dari pelayaran.

    Belanda telah mengganti Burgerlijk Wetboek dengan Nieuw Burgerlijk

    Wetboek sejak 1992

    Dalam sejarah perkembangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    telah diuraikan bahwa sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya dan

    sudah diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia,dan menjadi

    undang-undang yang berdiri sendiri, antara lain:

    1) Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1960 TentangPeraturan

    dasar pokok-pokok agraria

    Pasal 57:

  • Hukum Perdata Materiil | 39

    ―Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam

    pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-

    ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang

    Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-

    542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190.

    2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal

    66 disebutkan bahwa :

    ―Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan

    perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan

    berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),

    Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie

    Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran

    (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan

    peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah

    diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku‖.

    3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang

    Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan

    Tanah. Dalam Pasal 29 disebutkan bahwa:

    ―Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai

    Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542

    jo.Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah

    diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan

    ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai

    pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda

    yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi‖.

    Hal ini berbeda dengan Burgerlijk Wetboek yang berlaku di negeri

    Belanda yang juga telah mengalami perubahan, akan tetapi keberadaannya

    tetap dalam bentuk kodifikasi. Dalam Konferensi Nasional Hukum

    Keperdataan Nasional II, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum

    Keperdataan (APHK) tanggal 16-17 April 2015 di Fakultas Hukum

    Universitas Udayana, Bali, Prof. Dr. Tineke E. Lambooy dari Universiteit

    Utrecht Belanda mengemukakan bahwa Belanda sudah mengganti BW yang

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552f33303d683/pengajar-hukum-keperdataan-selenggarakan-konferensi-nasionalhttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt552f33303d683/pengajar-hukum-keperdataan-selenggarakan-konferensi-nasional

  • Hukum Perdata Materiil | 40

    masih digunakan di Indonesia itu, dengan BW yang baru atau Nieuw Burgerlijk

    Wetboek sejak 1992. Upaya rekodifikasi BW ini digagas oleh Prof (E.M.)

    Meljers pasca perang dunia II pada 1947, atau dua tahun setelah Indonesia

    merdeka dari Belanda. Ia mengatakan alasannya ketika itu sudah banyak

    putusan hakim yang bersifat menemukan hukum dalam ranah perdata. ―Saat itu

    motivasinya adalah karena banyak peraturan hukum yang sudah dikembangkan

    oleh hakim di pengadilan, yang mana aturan itu tidak terdapat dalam BW 1838.

    Dari putusan hakim itu-lah dilakukan interpretasi. Namun hukum secara

    konstan terus menerus berkembang, dan Mahkamah Agung mempermudah

    dengan mengeluarkan anotasi putusan-putusan penting (landmarks).

    Nieuw Burgelijk Wetboek sudah memiliki 10 buku hingga kini. Yakni:

    Buku 1: The Law of Natural Persons and Family Law (disahkan1970)

    Buku 2: The Law of Legal Persons and Corporate Law (disahkan1976)

    Buku 3: Property Law in General (disahkan1992)

    Buku 4: Law of Succession (disahkan1992)

    Buku 5: Property Rights (disahkan1992)

    Buku 6: The Law of Obligations and Contracts (disahkan1992)

    Buku 7: Specific Contracts (disahkan1992)

    Buku 7A: Specific Contracts (disahkan1992)

    Buku 8: Transport Law and Means of Transportation (disahkan1991)

    Buku 10: International Private Law (disahkan2012)

    Sedangkan, Buku 9 yang berisi muatan Intelectual Property Law atau

    Hak Kekayaan Intelektual (Voortbrengselen van de geest) hingga kini masih

    belum selesai. Menurut Tineke, di Belanda, pengaturan-pengaturan

    mengenai hak kekayaan intelektual ini sudah diatur dalam peraturan

    tersendiri.

    Ditambah lagi ada perjanjian internasional (treaty) yang memiliki

    keberlakuan internasional. ―Perusahaan-perusahaan (milik Belanda) itu kan

    beroperasi di seluruh dunia,‖

  • Hukum Perdata Materiil | 41

    BAB IV

    PERIKATAN

    A. Pengertian Perikatan

    Istilah ―Perikatan‖ dalam bahasa Belanda ―Verbintenis‖ atau juga dikenal

    dengan istilah ―Binding‖ (bahasa Inggris), ―Obligation‖ ( bahasa Perancis) dan

    ―Obligatio‖ (Latin).

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan definisi tentang

    ―Perikatan‖. Beberapa pakar/ahli hukum memberikan pengertian tentang Hukum

    Perdata, sebagai berikut:

    - Menurut Hofmann, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah

    subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang

    daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu

    terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.

    - Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta

    kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak

    (kreditor) dan pihak yang lain berkewajiban (debitor) atas sesuatu prestasi.

    - Menurut Vollmar, Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada

    selama seseorang itu (debitor) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin

    dapat dipaksakan terhadap (kreditor), kalau perlu dengan bantuan hakim.

    Dengan demikian perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau

    beberapa orang atau pihak, yang menjadi dasar dimana pihak yang satu (kreditor)

    berhak atas suatu hal (barang)