modul alergi imunologi intoksikasi

28
MODUL ALERGI IMUNOLOGI INTOKSIKASI Wanita Muda Dengan Keluhan Nyeri Sendi KELOMPOK V 030.08.049 Ayu Ningtiyas Nugroho 030.09.285 Zaki Audah 030.10.141 Jeni yuliana 030.10.155 Kumala Sari 030.10.162 Lukas Pria Salman 030.10.167 Made Ayundari Primarani 030.10.180 Mochammad Satrio Faiz 030.10.191 Muhammad Fadli Amir 030.10.202 Nanda Soraya 030.10.215 Olivia Ayu Andita 030.10.227 Rachel Silency Aritonang 030.10.239 Rizqa Azqa Hafizha 030.10.251 Shabrina Wista Adityaningrum 030.10.263 Tahari Bargas Prakoso 030.10.274 Ully Amri Suharyati Jakarta, Maret 2012

Upload: ayu-ningtiyas-nugroho

Post on 18-Jul-2015

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 1/28

 

MODUL ALERGI IMUNOLOGI INTOKSIKASI

Wanita Muda Dengan Keluhan Nyeri Sendi

KELOMPOK V

030.08.049 Ayu Ningtiyas Nugroho

030.09.285 Zaki Audah

030.10.141 Jeni yuliana

030.10.155 Kumala Sari

030.10.162 Lukas Pria Salman

030.10.167 Made Ayundari Primarani

030.10.180 Mochammad Satrio Faiz

030.10.191 Muhammad Fadli Amir 

030.10.202 Nanda Soraya

030.10.215 Olivia Ayu Andita

030.10.227 Rachel Silency Aritonang

030.10.239 Rizqa Azqa Hafizha

030.10.251 Shabrina Wista Adityaningrum

030.10.263 Tahari Bargas Prakoso

030.10.274 Ully Amri Suharyati

Jakarta, Maret 2012

Page 2: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 2/28

 

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

BAB I

PENDAHULUAN

Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa

 penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus

eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang

 bersifat kronis yang melibatkan multiorgan, seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal,

gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa

dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori

tersebut memiliki patogenesis yang sama.

Manifestasi klinis SLE sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang

sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan

tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi

sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya

antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya yang berkaitan

dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan

ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik 

diselangi episode remisi.

Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi

lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum pasti,

tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada beberapa

kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit.

Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di

negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan

2

Page 3: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 3/28

 

kerjasama multidisiplin dan dukungan dari berbagai pihak.

Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di

seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit

lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding

 pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45

tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.

Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis.

Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih

dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun

awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun

kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke

8:1 sesudahnya.

Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 

15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja.

Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat

seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk 

 berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.

SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia,

Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi

melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang

 per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras

Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri

epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.

3

Page 4: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 4/28

 

BAB II

LAPORAN KASUS

4

Page 5: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 5/28

 

Sesi 1

Mulan, wanita 25 tahun, belum menikah, dating berobat kepada seorang GP dua

tahun yang lalu dengan keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-

 jari tangan dan kedua pergelangan kaki.

Pemeriksaan saat itu menunjukan semua tanda vital dalam batas normal.

 Nampak bercak kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung.

Dalam anamnesis, bercak kemerahan tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas

matahari antara 1 sampai 2 jam. Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan

nampak bengkak dan nyeri tekan. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.

Pada pemeriksaan laboratorium : Ht 35%, leukosit 9800/mm3, hitung jenis

leukosit normal, LED 40 mm/jam, ANA positif 1 : 256.

BAB III

PEMBAHASAN

5

Page 6: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 6/28

 

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

6

Page 7: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 7/28

 

A. Definisi Lupus Erythematosus

Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan

dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus

eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh

menyerang jaringannya sendiri.

Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata

“lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa yunani

yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar 

hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi

 pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan

dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi

ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan ”Loup”,yang dalam bahasa perancis

 berarti serigala atau ”wolf” dalam bahasa Inggris.

B. Sejarah lupus eritematosus

Sejarah penyakit lupus eritmatosus dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu

(3) :

1. Periode Klasik 

Dimulai ketika penyakit ini ditemukan pada zaman abad pertengahan

dan memperlihatkan gambaran adanya gangguan pada manifestasi kulit. Istilah

lupus muncul pada abad 13 yaitu pada masa Rogerius, seorang tenaga medis

yang mendeskripsikan classic malar  rash, yaitu lesi berupa erosi pada kulit

wajah yang menyerupai gigitan serigala. Sejarah lupus pada zaman klasik 

 berdasarkan atas gambaran klinis berupa lesi di kulit yang meliputi lupus

vulgaris, lupus profundus, lupus diskoid, dan fotosensitivitas pada ruam malar/

butterfly rash.

Gambaran klasik penampakan kulit lupus dideskripsikan juga oleh

 beberapa penemu, yaitu: Thomas Bateman, seorang murid ahli kulit

 berkebangsaan Inggris Robert William, pada awal abad XIX, kemudian oleh

Cazenave, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Perancis Laurent Biett, pada

tengah abad XIX, dan oleh Moriz Kaposi (Moriz Kohn), seorang murid dan

menantu ahli kulit berkebangsaan Austria bernama Ferdinand von Hebra, pada

akhir abad XIX Lesi berupa ruam diskoid pertama kali diperkenalkan pada

tahun 1833 oleh Cazenave dengan nama eritema sentrifugum, sedangkan ruam

7

Page 8: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 8/28

 

yang sekarang dikenal sebagai ruam malar pertama kali diperkenalkan oleh

Hebra pada tahun 1846. Gambaran lupus eritematosus yang pertama kali

dipublikasikan berasal dari tulisan von Hebra yang berjudul Atlas Penyakit

Kulit, dipublikasikan pada tahun 1856.

2. Periode Neoklasikal

Dimulai oleh Moric Kaposi pada tahun 1872 yang menemukan

manifestasi penyakit sistemik. Kaposi mengemukakan dua tipe lupus

eritematosus, yaitu tipe diskoid dan tipe disseminated . Kaposi juga

menyebutkan beberapa tanda/gejala yang menggambarkan tipe disseminated ,

yaitu : nodul subkutan, artritis dengan hipertrofi, sinovial pada sendi kecil

maupun besar, limfadenopati, demam, berat badan berkurang, anemia,

keterlibatan SSP.

3. Periode Modern

Mulai tahun 1984 ditemukan sel lupus eritematosus (sel LE) oleh

Hargraves dkk. yang meneliti sel yang berasal dari sumsum tulang penderita

lupus eritematposus tipe disseminated  akut. Dua penanda imunologik pada

 penyakit lupus ditemukan pada tahun 1950, yaitu tes  false-positif  biologis

untuk sifilis dan tes imunofluoresen untuk antinuclear antibodi. Ada dua

kemajuan utama pada periode modern yaitu perkembangan studi lupus pada

 binatang, dan pengenalan aturan predisposisi genetik pada perkembangan

lupus.

C. Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik 

Etiologi penyakit SLE masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga

merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor 

lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang

menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA ( Human Leucocyte

 Antigen) / MHC ( Major Histocompatybility  Complex). Defek utama pada lupus

eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T

yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody.

Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar 

dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian

kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya,

8

Page 9: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 9/28

 

menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi

respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem

imun.

Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis

Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's

Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)

Ultraviolet B light

Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1

Faktor diet

 Alfalfa sprouts dan  sprouting foods  yang mengandung L-canavanine;

Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.

Faktor Infeksi

DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu :

Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;

Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a  ;

Interferon-a.

9

Page 10: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 10/28

 

Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit

mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi

autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses

awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan

sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi

menyerang selnya sendiri.

Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan

(anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti

oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan,

termasuk kulit dan ginjal.

Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan

lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.

D. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik 

Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE,

yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.

1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko

yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain

mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA

(Human   Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC

( Major   Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik.

Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen,

seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis

fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam

LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat

merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit

mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q

menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen

nuklear akan menimbulkan respon imun.

2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi

ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada  self-immunity dan

10

Page 11: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 11/28

 

hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV

menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang

 peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta

mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan

terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran

 bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit.

Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella,

sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.

3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B

menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa

autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-

 stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang

kemudian merusak jaringan.

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis

autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis

autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi

antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks

 protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan

aktivitas penyakit lupus.

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu

 bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan

mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang

mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini

terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang

 bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi

antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis

disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk 

kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun

 bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat

ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari

seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus

ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan

11

Page 12: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 12/28

 

 pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena

(glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi

komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama

fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun

terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu

(suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi,

seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan

menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.

4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun

mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.

Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,

diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper 

menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat

mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama

 bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon

estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga

mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH

(Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES,

 juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi

LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan

 percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus

 pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka

kematian penderita jantan.

E. Klasifikasi SLE

Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American

College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun

1997. Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut mempunyai

sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%. Meskipun sebagian besar penderita LES

mempunyai ANA, namun titer yang rendah atau moderat mempunyai spesifisitas

yang rendah. Sedangkan penderita yang mempunyai antibodi terhadap dsDNA dan

Sm hampir pasti juga mempunyai ANA.

 

F. Manifestasi Klinis

12

Page 13: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 13/28

 

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat

timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.

Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh

gejala terkenanya sistem imun.

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah

5 tahun.  Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak 

dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.

A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling

sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,

limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau

terus-menerus.

B. Gejala Muskuloskeletal

Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa

athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling

sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.

Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi

 pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap

terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis

 pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi

yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan

setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini

tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis

menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi.  Anak 

dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.

Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.

13

Page 14: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 14/28

 

C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.

1). Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit

 berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit

edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam

kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah

 pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua

daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya

 bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak 

 beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh

tanpa bekas.

 

2). Lesi Kulit Sub Akut

14

Page 15: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 15/28

 

Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

 

3). Lesi Diskoid

Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15

tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,

sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium

menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai

 peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.

Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga,

dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas,

dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya

melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya

tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik 

keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah

 berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.

Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun,

mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada

sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua

DLE terjadi di masa kanak-kanak.

15

Page 16: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 16/28

 

4). Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil

sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.

5). Urtikaria

Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah

 penyakit tenang secara klinis dan serologis.

D. Kelainan pada Ginjal

Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus

nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama

terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah:

(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis

(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis

(3) Kelas III: focal lupus nephritis

(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis

(5) Kelas V: membranous lupus nephritis

(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering

ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada

ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus

difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom

nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis

membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik,gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin

16

Page 17: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 17/28

 

 berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan

radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih

sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya

efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.

F. Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering

tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.

G. Gastrointestinal

Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut

abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis.

Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat

 pengobatan yang adekuat. 

H.Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang

disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali

normal. 

I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya

 berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis

membesar pada 60% kasus SLE. 

J. Susunan Saraf Tepi

 Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.

Biasanya bersifat sementara.

K.Susunan Saraf Pusat

17

Page 18: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 18/28

 

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan

kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan

memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi

ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis

 bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis

sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.

Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis

organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan

 bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien

menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik 

otak.

Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan

lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis

transversal, hemiplegia, afasia,  psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic

meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis

 perifer  dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat

tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis,

deposit gamma globulin di pleksus koroideus.

L. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,

Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia,

dan lekopenia.

M. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali

hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah

dan aktivasi komplemen lokal.

2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis SLE

Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Analisis

darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi antinuclear (ANA),

Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolipid,

18

Page 19: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 19/28

 

antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM, IgG, IgA,

krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji Coombs,

Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin (total protein dalam

24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto rontgen dada. 4

Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat

 berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat

dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung jenis,

trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA. 4

Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi

yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of 

Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari

11 kriteria ACR tersebut.

Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).

(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

 No Kriteria Definisi

1 Bercak malar  

(butterfly rash)

Eritema datar atau menimbul yang menetap di

daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan

nasolabial

2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan

adherent keratotic scaling dan follicular 

 plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut

atrofi

3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan

sinar matahari, pada anamnesis atau

 pemeriksaan fisik 

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak  

nyeri

5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih

 persendian perifer, ditandai dengan nyeri

tekan, bengkak atau efusi

6 Serositif a. Pleuritis

Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural

friction rub atau terdapat efusi pleura pada

 pemeriksaan fisik.

atau

 b. Perikarditis

Dibuktikan dengan EKG atau terdengar 

 pericardial friction rub atau terdapat efusi

 perikardial pada pemeriksaan fisik 7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau

19

Page 20: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 20/28

 

 pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif 

tidak dapat dilakukan.

atau

 b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular,

tubular atau campuran

8 Gangguan saraf Kejang

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan

metabolik (uremia, ketoasidosis atau

ketidakseimbangan elektrolit)

atau

Psikosis

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan

metabolik (uremia, ketoasidosis atau

ketidakseimbangan elektrolit)

9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosis

Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1

 pemeriksaan

Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2

 pemeriksaan

Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa

adanya intervensi obat

10 Gangguan

imunologi

Terdapat salah satu kelainan

Anti ds-DNA diatas titer normal

Anti-Sm(Smith) (+)

Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin

yang abnormal

antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan

tes standar 

tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6

 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya

Treponema palidum atau antibodi treponema

11 Antibodi

antinuklear 

Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%

spesifisitas

Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus

aktif. Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat

ditemukan tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan

lainnya. Tingkat anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus,

mencerminkan tingkat aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik 

komplemen (CH50), C3, dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan

20

Page 21: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 21/28

 

memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit.

 G. Komplikasi

Komplikasi LES pada anak meliputi:• Hipertensi (41%)

• Gangguan pertumbuhan (38%)

• Gangguan paru-paru kronik (31%)

• Abnormalitas mata (31%)

• Kerusakan ginjal permanen (25%)

• Gejala neuropsikiatri (22%)

• Kerusakan muskuloskeleta (9%)

• Gangguan fungsi gonad (3%).

Penatalaksanaan

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan

organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari

 pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter 

laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. SLE yang tidak diobati

dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat menjadi penyakit menahun, atau

kematian yang cepat.

Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan

relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan

anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi

dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani

 penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal

 penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian

 pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis. Perpindahan terapi ke masa dewasa

harus direncanakan sejak remaja.

2. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya

kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu

dihindari makanan “junk food” atau makanan mengandung tinggi sodium

untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih.

21

Page 22: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 22/28

 

3. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada

anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB.

4. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko

infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai

 profilaksis dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat

 beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu ;

1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi

 bakterial

2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit

>10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi,

3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai

infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan

4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.

 Lupus diskoid 

Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim

luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan

hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50%

 pasien.

Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)

Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan

ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.  

 Arthritis lupus

Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan

 pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk 

keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor 

antidepresan (amitriptilin).

 Miositis lupus

Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison

dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat

mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai

22

Page 23: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 23/28

 

mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah

efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis

alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg), metrotreksat

atau azathioprine.

 Fenomena Raynaud 

Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1

adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.

 Lupus nefritis

Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO

Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi

minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena

menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.

Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama

agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal necrotizing.

Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena

ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.

Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk DPGN

maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti

memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison

dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar 

komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara

hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap

 bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis

siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung

 pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml).

Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan

kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin

A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil. Proteinuria sering

 bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V

tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.

Gangguan hematologis

23

Page 24: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 24/28

 

Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah

kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol

dan splenektomi.  Sedangkan untuk anemia hemolitik, terapi yang

dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan

splenektomi. 

 Pneumonitis interstitialis lupus

Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid

intravena.

Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting 

Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid

intravena

24

Page 25: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 25/28

 

I. PrognosisObat-obat yang sering digunakan pada penderita LES 

1. Antimalaria :  Hidroksiklorokin  3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat

(maksimal 400 mg/hari)

2. Kortiko-steroid :  Prednison  dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis

alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison

dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone

dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu.

3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3

minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan

dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit

dimaintenance > 2000-3000/mm

3

).  Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kalisehari.

4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)

 Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari

Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari

 Diclofenac

< 12 tahun : tak dianjurkan

> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

5. Suplemen Kalsium dan vitamin D

 Kalsium karbonat 

< 6 bulan : 360 mg/hari

6-12 bulan : 540 mg/hari

1-10 bulan : 800 mg/hari

11-18 bulan : 1200 mg/hari

Calcifediol 

  < 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu

> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu

6. Anti-hipertensi

 Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg,

diulang tiap 4-8 jam.

 Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa

ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari

Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan

 bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari 2,3,4

25

Page 26: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 26/28

 

Masa kanak-kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit

fatal seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr 

survival rate lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien

dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan

 paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat

administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit

kompleks.

LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab

kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,

hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari

 beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 

17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10

tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ

tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

BAB V

KESIMPULAN

26

Page 27: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 27/28

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last update:

1 Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org

2. Anonim.  Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak . Last update : 16 Mei, 2009.

Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.

3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak . Last update :

27

Page 28: Modul Alergi Imunologi Intoksikasi

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 28/28

 

14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com.

4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus

Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,

Philadelphia. 2003. p810-813.

5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid . Last update : February, 2007. Available at

htttp://www.emedicine.com.

6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus

Sistemik . Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

28