modul alergi imunologi intoksikasi
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 1/28
MODUL ALERGI IMUNOLOGI INTOKSIKASI
Wanita Muda Dengan Keluhan Nyeri Sendi
KELOMPOK V
030.08.049 Ayu Ningtiyas Nugroho
030.09.285 Zaki Audah
030.10.141 Jeni yuliana
030.10.155 Kumala Sari
030.10.162 Lukas Pria Salman
030.10.167 Made Ayundari Primarani
030.10.180 Mochammad Satrio Faiz
030.10.191 Muhammad Fadli Amir
030.10.202 Nanda Soraya
030.10.215 Olivia Ayu Andita
030.10.227 Rachel Silency Aritonang
030.10.239 Rizqa Azqa Hafizha
030.10.251 Shabrina Wista Adityaningrum
030.10.263 Tahari Bargas Prakoso
030.10.274 Ully Amri Suharyati
Jakarta, Maret 2012

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 2/28
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
BAB I
PENDAHULUAN
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa
penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus
eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang
bersifat kronis yang melibatkan multiorgan, seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal,
gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa
dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori
tersebut memiliki patogenesis yang sama.
Manifestasi klinis SLE sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang
sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan
tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi
sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya
antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya yang berkaitan
dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan
ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik
diselangi episode remisi.
Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi
lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum pasti,
tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada beberapa
kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit.
Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di
negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan
2

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 3/28
kerjasama multidisiplin dan dukungan dari berbagai pihak.
Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di
seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit
lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding
pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45
tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis.
Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih
dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun
awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun
kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke
8:1 sesudahnya.
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar
15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja.
Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk
berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.
SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia,
Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi
melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang
per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras
Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri
epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.
3

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 4/28
BAB II
LAPORAN KASUS
4

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 5/28
Sesi 1
Mulan, wanita 25 tahun, belum menikah, dating berobat kepada seorang GP dua
tahun yang lalu dengan keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-
jari tangan dan kedua pergelangan kaki.
Pemeriksaan saat itu menunjukan semua tanda vital dalam batas normal.
Nampak bercak kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung.
Dalam anamnesis, bercak kemerahan tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas
matahari antara 1 sampai 2 jam. Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan
nampak bengkak dan nyeri tekan. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium : Ht 35%, leukosit 9800/mm3, hitung jenis
leukosit normal, LED 40 mm/jam, ANA positif 1 : 256.
BAB III
PEMBAHASAN
5

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 6/28
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
6

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 7/28
A. Definisi Lupus Erythematosus
Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan
dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus
eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh
menyerang jaringannya sendiri.
Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata
“lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa yunani
yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar
hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi
pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan
dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi
ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan ”Loup”,yang dalam bahasa perancis
berarti serigala atau ”wolf” dalam bahasa Inggris.
B. Sejarah lupus eritematosus
Sejarah penyakit lupus eritmatosus dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu
(3) :
1. Periode Klasik
Dimulai ketika penyakit ini ditemukan pada zaman abad pertengahan
dan memperlihatkan gambaran adanya gangguan pada manifestasi kulit. Istilah
lupus muncul pada abad 13 yaitu pada masa Rogerius, seorang tenaga medis
yang mendeskripsikan classic malar rash, yaitu lesi berupa erosi pada kulit
wajah yang menyerupai gigitan serigala. Sejarah lupus pada zaman klasik
berdasarkan atas gambaran klinis berupa lesi di kulit yang meliputi lupus
vulgaris, lupus profundus, lupus diskoid, dan fotosensitivitas pada ruam malar/
butterfly rash.
Gambaran klasik penampakan kulit lupus dideskripsikan juga oleh
beberapa penemu, yaitu: Thomas Bateman, seorang murid ahli kulit
berkebangsaan Inggris Robert William, pada awal abad XIX, kemudian oleh
Cazenave, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Perancis Laurent Biett, pada
tengah abad XIX, dan oleh Moriz Kaposi (Moriz Kohn), seorang murid dan
menantu ahli kulit berkebangsaan Austria bernama Ferdinand von Hebra, pada
akhir abad XIX Lesi berupa ruam diskoid pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1833 oleh Cazenave dengan nama eritema sentrifugum, sedangkan ruam
7

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 8/28
yang sekarang dikenal sebagai ruam malar pertama kali diperkenalkan oleh
Hebra pada tahun 1846. Gambaran lupus eritematosus yang pertama kali
dipublikasikan berasal dari tulisan von Hebra yang berjudul Atlas Penyakit
Kulit, dipublikasikan pada tahun 1856.
2. Periode Neoklasikal
Dimulai oleh Moric Kaposi pada tahun 1872 yang menemukan
manifestasi penyakit sistemik. Kaposi mengemukakan dua tipe lupus
eritematosus, yaitu tipe diskoid dan tipe disseminated . Kaposi juga
menyebutkan beberapa tanda/gejala yang menggambarkan tipe disseminated ,
yaitu : nodul subkutan, artritis dengan hipertrofi, sinovial pada sendi kecil
maupun besar, limfadenopati, demam, berat badan berkurang, anemia,
keterlibatan SSP.
3. Periode Modern
Mulai tahun 1984 ditemukan sel lupus eritematosus (sel LE) oleh
Hargraves dkk. yang meneliti sel yang berasal dari sumsum tulang penderita
lupus eritematposus tipe disseminated akut. Dua penanda imunologik pada
penyakit lupus ditemukan pada tahun 1950, yaitu tes false-positif biologis
untuk sifilis dan tes imunofluoresen untuk antinuclear antibodi. Ada dua
kemajuan utama pada periode modern yaitu perkembangan studi lupus pada
binatang, dan pengenalan aturan predisposisi genetik pada perkembangan
lupus.
C. Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik
Etiologi penyakit SLE masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga
merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor
lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang
menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA ( Human Leucocyte
Antigen) / MHC ( Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus
eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T
yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody.
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian
kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya,
8

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 9/28
menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi
respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem
imun.
Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis
Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's
Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)
Ultraviolet B light
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;
Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;
Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a ;
Interferon-a.
9

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 10/28
Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit
mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi
autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses
awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan
sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi
menyerang selnya sendiri.
Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan
(anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal.
Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan
lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.
D. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE,
yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko
yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain
mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
( Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik.
Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen,
seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis
fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam
LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q
menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen
nuklear akan menimbulkan respon imun.
2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan
10

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 11/28
hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV
menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan
terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran
bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit.
Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B
menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa
autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-
stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang
kemudian merusak jaringan.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis
autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis
autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi
antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks
protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan
aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu
bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan
mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang
mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini
terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang
bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi
antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis
disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk
kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun
bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari
seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus
ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan
11

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 12/28
pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena
(glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi
komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama
fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun
terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu
(suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi,
seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan
menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,
diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat
mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama
bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon
estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga
mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH
(Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES,
juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi
LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan
percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus
pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka
kematian penderita jantan.
E. Klasifikasi SLE
Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American
College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun
1997. Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut mempunyai
sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%. Meskipun sebagian besar penderita LES
mempunyai ANA, namun titer yang rendah atau moderat mempunyai spesifisitas
yang rendah. Sedangkan penderita yang mempunyai antibodi terhadap dsDNA dan
Sm hampir pasti juga mempunyai ANA.
F. Manifestasi Klinis
12

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 13/28
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh
gejala terkenanya sistem imun.
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah
5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak
dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling
sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau
terus-menerus.
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling
sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi
pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap
terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis
pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi
yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan
setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini
tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis
menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak
dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.
Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.
13

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 14/28
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1). Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam
kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah
pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua
daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya
bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak
beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh
tanpa bekas.
2). Lesi Kulit Sub Akut
14

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 15/28
Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
3). Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15
tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga,
dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas,
dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya
melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya
tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik
keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah
berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.
Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun,
mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada
sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua
DLE terjadi di masa kanak-kanak.
15

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 16/28
4). Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.
D. Kelainan pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama
terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah:
(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
(3) Kelas III: focal lupus nephritis
(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
(5) Kelas V: membranous lupus nephritis
(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering
ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada
ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus
difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom
nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik,gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
16

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 17/28
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih
sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya
efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering
tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.
G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut
abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis.
Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat
pengobatan yang adekuat.
H.Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali
normal.
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya
berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis
membesar pada 60% kasus SLE.
J. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
Biasanya bersifat sementara.
K.Susunan Saraf Pusat
17

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 18/28
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan
memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi
ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis
bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis
sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis
organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan
bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien
menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik
otak.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan
lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis
transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic
meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis
perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat
tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis,
deposit gamma globulin di pleksus koroideus.
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia,
dan lekopenia.
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah
dan aktivasi komplemen lokal.
2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis SLE
Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Analisis
darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi antinuclear (ANA),
Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolipid,
18

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 19/28
antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM, IgG, IgA,
krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji Coombs,
Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin (total protein dalam
24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto rontgen dada. 4
Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat
berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat
dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung jenis,
trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA. 4
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi
yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of
Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari
11 kriteria ACR tersebut.
Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
No Kriteria Definisi
1 Bercak malar
(butterfly rash)
Eritema datar atau menimbul yang menetap di
daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan
nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan
adherent keratotic scaling dan follicular
plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut
atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan
sinar matahari, pada anamnesis atau
pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih
persendian perifer, ditandai dengan nyeri
tekan, bengkak atau efusi
6 Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural
friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik.
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar
pericardial friction rub atau terdapat efusi
perikardial pada pemeriksaan fisik 7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau
19

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 20/28
pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif
tidak dapat dilakukan.
atau
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular,
tubular atau campuran
8 Gangguan saraf Kejang
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
atau
Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosis
Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1
pemeriksaan
Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2
pemeriksaan
Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa
adanya intervensi obat
10 Gangguan
imunologi
Terdapat salah satu kelainan
Anti ds-DNA diatas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin
yang abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan
tes standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6
bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya
Treponema palidum atau antibodi treponema
11 Antibodi
antinuklear
Tes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%
spesifisitas
Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus
aktif. Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat
ditemukan tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan
lainnya. Tingkat anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus,
mencerminkan tingkat aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik
komplemen (CH50), C3, dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan
20

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 21/28
memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit.
G. Komplikasi
Komplikasi LES pada anak meliputi:• Hipertensi (41%)
• Gangguan pertumbuhan (38%)
• Gangguan paru-paru kronik (31%)
• Abnormalitas mata (31%)
• Kerusakan ginjal permanen (25%)
• Gejala neuropsikiatri (22%)
• Kerusakan muskuloskeleta (9%)
• Gangguan fungsi gonad (3%).
Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan
organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter
laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. SLE yang tidak diobati
dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat menjadi penyakit menahun, atau
kematian yang cepat.
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan
anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi
dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani
penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal
penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian
pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis. Perpindahan terapi ke masa dewasa
harus direncanakan sejak remaja.
2. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya
kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu
dihindari makanan “junk food” atau makanan mengandung tinggi sodium
untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih.
21

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 22/28
3. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada
anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB.
4. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko
infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai
profilaksis dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat
beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu ;
1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi
bakterial
2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit
>10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi,
3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai
infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan
4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim
luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan
hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50%
pasien.
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan
ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk
keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor
antidepresan (amitriptilin).
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison
dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat
mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai
22

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 23/28
mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah
efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis
alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg), metrotreksat
atau azathioprine.
Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1
adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.
Lupus nefritis
Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO
Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi
minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena
menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.
Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama
agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal necrotizing.
Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena
ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.
Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk DPGN
maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti
memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison
dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar
komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara
hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap
bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis
siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung
pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml).
Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan
kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin
A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil. Proteinuria sering
bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V
tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
Gangguan hematologis
23

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 24/28
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol
dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik, terapi yang
dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan
splenektomi.
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena.
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena
24

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 25/28
I. PrognosisObat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat
(maksimal 400 mg/hari)
2. Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis
alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison
dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone
dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu.
3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3
minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan
dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit
dimaintenance > 2000-3000/mm
3
). Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kalisehari.
4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari
Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
5. Suplemen Kalsium dan vitamin D
Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
6. Anti-hipertensi
Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg,
diulang tiap 4-8 jam.
Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa
ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari
Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan
bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari 2,3,4
25

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 26/28
Masa kanak-kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit
fatal seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr
survival rate lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien
dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan
paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat
administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit
kompleks.
LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,
hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari
beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar
17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10
tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ
tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.
BAB V
KESIMPULAN
26

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 27/28
DAFTAR PUSTAKA
1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last update:
1 Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org
2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak . Last update : 16 Mei, 2009.
Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.
3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak . Last update :
27

5/16/2018 Modul Alergi Imunologi Intoksikasi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/modul-alergi-imunologi-intoksikasi 28/28
14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com.
4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid . Last update : February, 2007. Available at
htttp://www.emedicine.com.
6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik . Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
28