modul 5 pbl

83
LAPORAN DISKUSI PBL BLOK 19: Kegawatdaruratan Medis MODUL 2 : Penurunan Kesadaran, Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang Tutor: 1 | Laporan modul 2 Disusun oleh : Kelompok V Ayu Putri Anggraeni Danu Kusuma Wardhani Destina Ribkah ST Ira Karlina Hajrah Helnida M.Iqbal Rahmatul Yasiro

Upload: evyarosna-sinaga

Post on 29-Nov-2015

150 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Modul 5 PBL

LAPORAN DISKUSI PBL

BLOK 19: Kegawatdaruratan Medis

MODUL 2 : Penurunan Kesadaran, Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang

Tutor:

drg. Sinar Yani, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

2010

1 | L a p o r a n m o d u l 2

Disusun oleh : Kelompok V

Ayu Putri Anggraeni

Danu Kusuma Wardhani

Destina Ribkah ST

Ira Karlina

Hajrah

Helnida

M.Iqbal

Rahmatul Yasiro

Yunistira Sylvia Slamet

Page 2: Modul 5 PBL

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa

karena atas taufik dan hidayah-Nya lah laporan diskusi PBL Modul 2 Blok 19 kali

ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini berisi pembahasan diskusi

Seven Jumps berdasarkan skenario modul 2 dengan topik Penurunan Kesadaran,

Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang.

Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih

kepada:

1. drg. Sinar Yani,M.Kes selaku tutor kelompok V yang telah

membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil di

Blok 19 Modul 2 mengenai.

2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada

kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil

diskusi kelompok kecil ini.

3. Teman-teman kelompok V yang telah mencurahkan pikiran dan

tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (dkk) 1 dan 2 dapat

berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi

kelompok kecil (dkk) ini.

4. Teman-teman Fakultas Kedokteran Umum Universitas

Mulawarman angkatan 2007 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat

kami sebutkan satu persatu.

Kesempurnaan hanyalah milik Allah, oleh karena itu penyusun

mengharapkan kritik dan saran baik dalam pembuatan laporan hasil diskusi

kelompok kecil (dkk) ini maupun dalam kegiatan perkuliahan PBL lainnya.

Samarinda, 24 September 2010

Penyusun

2 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 3: Modul 5 PBL

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………..………………….…….….…..…....1

KATA PENGANTAR……………………………………….………….….......2

DAFTAR ISI….……………………………………………….….………….....3

BAB I: PENDAHULUAN

Latar Belakang…………………………………………………….………….....4

Manfaat………………………………………………….………….…………...4

BAB II: ISI

Step 1 ……………………………………………….….……………………….5

Step 2………………………………………………….….……………………..6

Step 3………………………………………………….………………………...6

Step 4………………………………………………….………………………...11

Step 5………………………………………………….………………………...11

Step 6………………………………………………….………………………...11

Step 7………………………………………………….………………………...12

BAB III: PENUTUP

Kesimpulan dan Saran..........……...……………………...........……..................57

DAFTAR PUSTAKA..…………………………………………...…………….58

3 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 4: Modul 5 PBL

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stroke merupakan penyakit yang sering timbul pada usia tua sebagai

komplikasi dari kelainan vascular yang sebelumnya dialami dan tidak terkontrol

dengan baik. Jika serangan stroke tidak tertangani dengan baik pun juga dapat

menyebabkan komplikasi lain yang lebih parah. Sehingga diperlukan pengetahuan

yang baik untuk dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda dan gejala awal pada

saat serangan dan diharapkan dapat memberikan pertolongan yang baik dan benar.

Keadaan awal pasien pada saat serangan memerlukan identifikasi yang

cermat dan pertolongan awal yang cepat. Sehingga pengetahuan yang baik dan

benar sangat diperlukan untuk dapat menangani keadaan tersebut agar kerusakan

yang ditimbulkan dapat ditekan seoptimal mungkin.

1.2. Manfaat

Manfaat dari modul ini yaitu untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan

dengan metode desain penelitian.

Kompetensi yang ingin dicapai mulai dari :

1. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor

resiko, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,

penatalaksanaan dan komplikasi dari STROKE.

2. Mampu mengetauhi dan menjelaskan gejala awal dari STROKE.

3. Mampu mengetauhi dan menjelaskan jenis STROKE yang harus dirujuk.

4. Mampu mengetauhi dan mengidentifikasi kelemahan gerak.

5. Mampu mengetauhi dan menjelaskan penilaian awal penurunan kesadaran

dan penatalaksanaan dari penurunan kesadaran.

6. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor

resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,

4 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 5: Modul 5 PBL

penatalaksanaan dan komplikasi dari HEMATOMA SUBDURAL DAN

INTRASEREBRAL.

7. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor

resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,

penatalaksanaan dan komplikasi dari ENSEFALOPATI HIPERTENSIF.

.

5 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 6: Modul 5 PBL

BAB II

ISI

Penurunan Kesadaran, Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang

Skenario awal

Seorang laki-laki umur 45 tahun diantar keluarganya siang hari ke UGD

RS AWS dalam keadaan tidak sadar. Sebelumnya penderita mengeluh sakit

kepala. Setelah beberapa jam dirawat di ICU, pasien mendadak kejang.

1.2.1.Step I ( Terminologi Asing )

o Kejang : gangguan muatan listrik, karena perubahan mendadak aktivitas

listrik di korteks serebri.

1.2.2.Step II ( Identifikasi Masalah )

1. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan sakit kepala ?

2. Mengapa bisa terjadi penurunan kesadaran ?

3. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan

kesadaran ?

4. Mengapa bisa timbul kejang ?

5. Hubungan antara sakit kepala dan kejang ?

6. Hubungan antara gejala-gejala yang dialami dengan usia ?

1.2.3.Step III ( Brain Storming )

1. Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri kepala adalah ;

Lokal :

- Kontraksi otot-otot di sekitar kepala

- Peningkatan tekanan intracranial, karena edema otak, abses, tumor dan

infrak yang luas karena stroke, dan hematom karena perdarahan

selaput otak ( perdarahan subaraknoid ). Sehingga menyebabkan

pendesakkan yang hebat pada jaringan saraf disekitarnya dan

menimbulkan nyeri yang hebat

6 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 7: Modul 5 PBL

Sistemik :

- Hipertensi

Psikologis :

- Stress psikologis.

2. Penurunan kesadaran disebabkan karena berkurangnya suplai O2 dan

glukosa ke jaringan otak, sehingga metabolisme otak terganggu.

Contoh kasus-kasus dengan penurunan kesadaran :

o Syok hipovolemik / hemorragik

o Kelainan organik ( perdarahan intraserebral (PSI), perdarahan

subaraknoid (PSA), stroke iskemik dll.

o Esefalopati metabolic

o Epilepsi

o Koma diabetikum

3. Faktor-faktor yang dapat menurunkan aliran darah ke otak (ADO),

dipengaruhi oleh 3 faktor :

o Tekanan untuk memompakan darah dari system arteri-kapiler

ke system vena

o Tahanan (perifer) pembuluh darah otak

o Darah viskositas darah dan koagulobilitasnya (kemampuan ntuk

membeku)

4. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebih dari sebuah

fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu

keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas

muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan

korteks serebrum kemunginan besar bersifat pusat epileptogenik,

sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu

kejang

5. Kejang dapat merupakan tanda awal (aura) atau merupakan efek samping

dari peningkatan tekanan intracranial sehingga menyebabkan rupturnya

7 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 8: Modul 5 PBL

pembuluh darah dan turunya suplai O2 ke jaringan otak, Hal ini akan

mengganggu metabolisme jaringan otak sehingga timbul gangguan

keseimbangan asam-basa dan elektrolit akhirnya timbul aktivitas listrik

yang abnormal (kejang).

6. Usia merupakan salah satu faktor resiko yang tidak dapat dihindari, karena

usia tua berkaitan erat dengan penyakit-penyakit yang berhubungan

dengan system vaskular, seperti hiperlipidemia, jantung koroner,

hipertensi, diabetes mellitus dll. Sehingga menimbulkan kerentanan

terhadap penyakit serebrovaskular, yang menyebabkan deficit neurologis

Skenario Lanjutan

Sebelum kejadian tersebut, penderita pagi harinya bekerja disawah. Karena

merasakan badanya kesemutan dan tungkainya lemah, pasien langsung pulang ke

rumah. Ada riwayat hipertensi dan hiperkolesterolemia.

2.1.2 Step I ( Terminologi Asing )

o Hipertensi : tingginya tekanan arterial diatas nilai normal, dimana tekanan

sistolik > 130 mmHg dan tekanan diastolic > 80 mmHg.

o Hiperkolesterolemia : Tingginya kadar kolesterol total dalam darah ( > 200

mg/dl)

2.2.2 Step II ( Identifikasi Masalah )

1. Apa hunbungan antara riwayat hipertensi dan hiperkolesterolemia dengan

gejala klinis yang timbul ?

2. Diangnosis kerja yang mungkin untuk kasus diatas ?

3. Bagaimana penatalaksanaan awal ?

4. Apa komplikasi yang mungkin timbul ?

2.3.2 Step III ( Brain Storming )

1. Hubungan antara hipetensi dan hiperkolesterolemia terhadap gejala klinis

yang timbul, berasal dari tingginya kadar LDL dan TG didalam darah,serta

8 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 9: Modul 5 PBL

rendahnya kadar HDL (hiperkolesterolemia) yang menyebabkan terjadinya

penumpukan lemak didalam pembuluh darah (plak/aterosklerosis),

menumpuknya plak ini menyebabkan berkurangnya luas permukaan

pembuluh darah, sehingga resistensinya meningkat dan diperlukan tekanan

yang kuat untuk memompakan darah agar distribusinya merata ke seluruh

tubuh (hipertensi). Sumbatan yang terjadi didalam pembuluh darah otak

akibat plak aterosklerosis menyebabkan gangguan aliran darah otak,

sehingga perfusi ke daerah otak berkurang, dan jaringan otak menjadi

iskemik, kemudian timbul gangguan neurologis. Kurangnya perfusi ke

daerah serebrum mengakibatkan timbulnya gangguan fungsi gerak

anggota tubuh, gangguan sensorik dan gangguan fungsi luhur lainnya.

2. Diangnosis dari kelainan diatas dapat ditegakkan melalui :

Anamesis :

o Timbulnya gejala deficit neurologis mendadak ( kesemutan dan

kedua tungkainya lemah)

o Nyeri kepala yang tidak jelas asalnya

o Terdapat faktor resiko seperti hiperensi dan hiperkolesterolemia.

Pemeriksaan Fisik :

o Vital sign : TD, nadi, RR dan suhu

o Ditemukan penurunan fungsi motorik

Pemeriksaan Penunjang

o Laboratorium : Darah Lengkap, Profil lipid ( HDL, LDL dan TG),

gula darah.

o Radiologis : Ct-Scan

o EKG: mencari kelainan organic dari jantung

Diangnosis Kerja

o Stroke nonhemoragik

9 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 10: Modul 5 PBL

o Ensefalopati hipertensi

o Hematom subdural dan intraserebral

3. Penatalaksanaan awal yang dilakukan terhadap pasien :

o Karena pasien kejang diazepam iv 10 mg/kgBB

4. Komplikasi yang mungkin timbul :

o Kelumpuhan anggota gerak

o Koma

o Mati batang otak

10 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 11: Modul 5 PBL

1.3. Step 4 ( Skema )

1.4. Step 5 (Learning objective)

8. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor

resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,

penatalaksanaan dan komplikasi dari STROKE.

9. Mampu mengetauhi dan menjelaskan gejala awal dari STROKE.

10. Mampu mengetauhi dan menjelaskan jenis STROKE yang harus dirujuk.

11. Mampu mengetauhi dan mengidentifikasi kelemahan gerak.

12. Mampu mengetauhi dan menjelaskan penilaian awal penurunan kesadaran

dan penatalaksanaan dari penurunan kesadaran.

11 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 12: Modul 5 PBL

13. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor

resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,

penatalaksanaan dan komplikasi dari HEMATOMA SUBDURAL DAN

INTRASEREBRAL.

14. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor

resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,

penatalaksanaan dan komplikasi dari ENSEFALOPATI HIPERTENSIF.

1.1. Step 6 (Belajar Mandiri)

Setelah diskusi kelompok kecil yang pertama kami berusaha untuk

mencari bahan yang akan didiskusikan lagi pada diskusi kelompok kecil kedua.

Selain untuk menjelaskan learning objective, juga untuk menjawab pertanyaan

yang mungkin belum terjawab sepenuhnya.

1.2. Sintesis

Sintesis merupakan hasil dari belajar mandiri yang telah didiskusikan pada

kelompok kecil dua. Pembahasan yang dilakukan berupa penjabaran-penjabaran

dari learning objective yang telah ditentukan pada diskusi kecil dua sebelumnya.

1.2.1.Stroke

Pengertian Stroke

Penyakit serebrovaskuler ( CVD ) atau stroke adalah setiap kelainan otak akibat

proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Stroke adalah gangguan fungsi otak

yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke bagian otak.

Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya, bahkan kejadian stroke

dapat berulang.Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh

trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah otak, perubahan permeabilitas

dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri.

Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer

karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain seperti

peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus.

12 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 13: Modul 5 PBL

Klasifikasi Stroke

1. Stroke Iskemik (Stroke akibat penurunan aliran darah ke otak), yang dapat

disebabkan oleh trombus (bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher)

atau embolus (bekuan darah atau material lain yang berasal dari tempat lain).

2. Stroke Perdarahan, disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak dengan

perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.

Faktor risiko yang berhubungan dengan stroke

a. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi

Hipertensi

Penyakit Jantung

Merokok

Diabetes

Kadar kolesterol darah yang tinggi

Konsumsi alkohol

Kegemukan

Kontrasepsi oral

Kurang aktivitas fisik

b. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi

Usia

Jenis Kelamin

Ras

Keturunan

Stroke Iskemik

Definisi

Stroke yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada

sirkulasi serebrum. Disebabkan oleh peyumbatan pembuluh darah akibat adanya emboli,

ateroskelosis, atau oklusi trombotik pada pembuluh darah otak.

Etiologi

Trombosis Ateroslekerosis (tersering)

Gangguan darah (polisitemia, hemoglobinopati)

Vaskulitis (poliarteritis nodusa)

Embolisme Jantung (atrium fibrilasi—paling byk, infark mi kard, pnykt jantung

13 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 14: Modul 5 PBL

rematik, kardiomiopati iskemik)

Kontrasepsi oral, karsinoma

Subtype stroke iskemik

a. Trombosis

Arterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab

utama trombosis serebral. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi seperti :

Manifestasi

Klinik

- Tidak terjadi dengan tiba-tiba

- Bervariasi sesuai dengan lokasi sumbatan dan tingkat

aliran kolateral di ajringan otak yang terkena

- Afasia, hemiplegic/parestesia setengah tubuh.

- Sebagian besar terjadi saat tidur.bangun di pagi hari---

pasien relative mengalami dehidrasi dan dinamiuka

sirkulasi menurun

b. Embolisme serebral

Terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah otak oleh partikel/ debris yang

berjalan di dalam aliran darah yang berasal dari tempat lain. Embolus biasanya

menyumbat arteri serebral tengah atau cabang - cabangnya sehingga menimbulkan

kerusakan sirkulasi serebral.

Manifestasi

klinik

- Terjadi tiba-tiba

- Deficit neurologis tiba-tiba, Hemiparesis/hemiplegia

tiba-tiba, afasia, kehilangan kesadaran (related to causa

jantung),

- Serangan biasanya terjadi saat beraktifitas

c. Infark lakunar

Terjadi setelah oklusi aterotrombotik salah satu cabang penetrans sirkulus

willis, arteri serebri media atau arteri vertebralis dan basilaris. Thrombosis yang

terjadi di dalam pembuluh darah ini akan membentuk daerah-daerah infark yang kecil

dan lunak, dikenal dengan nama lacuna.

14 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 15: Modul 5 PBL

Penjelasan - Gejala Biasanya muncul dalam beberapa jam atau hari

- 4 sindrom lakunar yangs erring dijumpai :

a. Disartria, hemiparesis ataksik, gerakan lengan atau

tangan yang canggung akibat infark pons basal

b. Stroke sensorik murni akibat infark talamus

c. Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula

interna posterior

d. Hemiparesis murini akibat infark pars anterior

kapsula interna (kelumpuhan yang terjadi dominan

pada tungkai, gerakan volunteer tungkai yang terkena

terganggu)

Patogenesis

Adanya aterotrombosis atau emboli akan memutuskan aliran darah otak

(cerebral blood flow/CBF).

Nilai normal CBF = 53 ml/100 mg jaringan otak/menit

Jika CBF < 30 ml/100 mg/menit akan menimbulkan iskemik

Jika CBF < 10 ml/100 mg/menit kekurangan oksigen proses

fosforilasi oksidatif terhambat produksi ATP (energi) berkurang

pompa Na-K ATPase tidak berfungsi depolarisasi membran sel saraf

pembukaan kanal ion Ca kenaikan influks Ca secara cepat gangguan

Ca homeostasis Ca merupakan signalling molekul yang mengaktivasi

berbagai enzim memicu proses biokimia yang bersifat eksitotoksik

kematian sel saraf (nekrosis maupun apotosis) gejala yang timbul

tergantung pada saraf mana yang mengalami kerusakan/kematian.

Causa Trombosis

Sumbatan aliran di a. carotis interna mengakibatkan stroke yang sering terjadi

pada usia lanjut sering mengalami pembentukan plaque.

Causa tromboemboli

15 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 16: Modul 5 PBL

Trombus yang bermetastase dan menjadi emboli ke arteri yang lebih

kecil menyumbat iskemik

Causa emboli dari darah ke darah

Emboli arteri besar ( a. Carotis interna) arteri kecil (a.Cerebri media)

menyumbat iskemik

Causa emboli dari jantung

Emboli yang disebabkan oleh katup /miokard infark/atrial myxoma

berjalan ikut sirkulasi sampai ke arteri di otak menyumbat iskemik.

Manifestasi Klinik

Gejala yang muncul bervariasi tergantung di mana terjadi serangan stroke iskemia,

misalnya:

unilateral weaknesses biasanya hemiparesis (lumpuh separo)

unilateral sensory complaints numbness, paresthesia (mati rasa)

Aphasia language comprehension

Monocular visual loss gangguan penglihatan sebelah.

Diagnosis

Diagnosis didasarkan atas hasil:

1) Penemuan klinis

Anamnesis: terutama terjadinya keluhan atau gejala deficit

neurologis yang mendadak, tanpa trauma kepala, dan adanya faktor

resiko stroke.

Pemeriksaan fisik: adanya efisit neurologis fokal, dan ditemukan

faktor risiko seperti hipertensi, kelainan jantung, bising jantung

ataupun kelainan pembuluh darah lainnya.

2) Pemeriksaan tambahan / Laboratorium

CT Scan: amat membantu diagnosis dan membedakannya dengan

perdarahan terutama fase akut

Angiografi serebral

Pemeriksaan liquor serebrospinalis

3) Pemeriksaan lain

16 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 17: Modul 5 PBL

Pemeriksaan untuk mencari faktor resiko, seperti darah rutin,

hitung jenis dan gambaran darah.

Komponen kimia darah, gas dan elektrolit

Doppler, EKG, ECG, dll.

Penatalaksanaan

1) Fase akut (hari ke 0-14 setelah onset penyakit)

Sasaran pengobatan adalah untuk menyelamatkan neuron yang

menderita jangan sampai mati dan agar proses patologik lainnya yang

menyertai tak mengganggu fungsi otak. Perlu diperhatikan fungsi optimal

dari respirasi, jantung, tekanan darah, kadar gula, keadaan gawat atau

koma, elektrolit, balans cairan dan asam basa darahh.

Medikamentosa yang dapat diberikan:

Anti-edema otak: manitol dosis 0,25-0,50 gr/KgBB/hari,

6x100 cc salaam 7-10 hari kemudian diturunkan secara

tapering off.

Anti-agregasi trombosit: acetyl salisilat acid (ASA), seperti

aspirin/aspilet dengan dosis rendah 2x50 mg.

Metabolic activator: Choline 2x250 mg iv, piracetam 12

g/hari/iv.drip (masa akut), dan piracetam 2x200 mg (waktu

keluar rumah sakit).

2) Fase pasca akut

Rehabilitasi

Batasi kecacatan penderita, fisik dan mental dengan fisioterapi

“terapi wicara” dan psikoterapi.

Terapi preventif

Terapi bertujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulya

serangan baru stroke dengan jalan antara lain: mengobati dan

menghinari faktor-faktor risiko stroke dengan cara mengobati DM,

hipertensi, obesitas, menghindari rokok, stress dan berolah raga

secara teratur.

17 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 18: Modul 5 PBL

Stroke Hemoragik

Menurut WHO, dalam International Classificatiom of Diseases and Related

Healtd Problem 10th Revision, SH dibagi menjadi perdarahan intraserebral (PIS) dan

perdarahan subaraknoid (PSA)

Perdarahan Intraserebral

Definisi

PIS adalah perdarahan primer yang berasal dari peembuluh darah dalam

parenkim otak dan bukan disebabkan olehtrauma,

Epidemiologi

Usia rata-rata pada umur 55 tahun, interval 40-75 tahun, insidens pada pria sama

dengan pada wanita. Angka kematian mencapai 60-90% dan dari seluruh yang meninggal

setelah 3 hari, dan 72% setelah seminggu.

Etiologi

Terbanyak disebabkan karena hipertensi. Faktor etiologi lain adalah aneurisma

kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemophilia, leukemia,

trombositopenia, pemakaian antikoagulan dalam jangka waktu lama, arteriovenous

malformation (AVM) dan malformasi mikroangimatosa dalam otak, tumor otak (primer

dan metastasis) yang tumbuh cepat, amiloidosisserebrovaskuler, dan yang jarang pada

eklamsia, terapi elektrosyok dan sebagainya.

Patologi dan patofisiologi

70% kasus terjadi di kapsula interna, 20% di fosa posterior (batang otak dan

serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). Adanya ekstravasasi darah

karena robeknya pembuluh darah otak, diikuti pembentukan edema dalam jaringan otak

di sekitar hematoma. Akibatnya,terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh

hematoma dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan

mengakibatkan penyempitan/penyumbatan sehingga terjadi iskemik pada jaringan yang

dilayaninya. Gejala klinis yang timbul bersumber dari dekstruksi jaringan otak, kompresi

pembuluh darah otak/iskemik, dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.

Manifestasi klinis

18 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 19: Modul 5 PBL

Gejala prodormal tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan

seringkali di sianghari, waktu aktifitas atau emosi/marah. Nyeri kepala merupakan nyeri

yang hebat sekali. Mual-muntah sering terdapat pada permulaan serangan.

Hemiparesi/hemiplegi biasa terjadi sejak permulaan serangan. Kesadaran biasanya

menurun dan cepat masuk koma, 65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara ½-2

jam, dan 12% terjadi setelah 2 jamsampai 19 hari.

Diagnosis

Didasarkan atas gejala dan manifestasi klinis, dan hasil pemeriksaan terutama

hasil CT Scan paling terpercaya.

Gejala/hasil tes PIS EH

1. Definisi saraf unifokal

2. Hipertensi maligna

3. Likuor

4. CT scan

5. Ekhosenfalografik

6. Kelainan pupil

+

+

Berdarah (90%)

Abnormal

Pergeseran garis tengah

+

-

+

Jernih

Normal

-

-

Gejala Klinis PIS PSA SNH

1. Gejala deficit local

2. SIS sebelumnya

3. Permulaan (onset)

4. Nyeri kepala

5. Muntah pada

awalnya

6. Hipertensi

Berat

Amat jarang

Menit/jam

Hebat

Sering

Ringan

-

1-2 menit

Sangat hebat

Sering

Berat/ringan

+ (biasa)

(jam/hari)

Ringan/tidak ada

Tidak, kecuali

Lesi di batang

19 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 20: Modul 5 PBL

7. Kesadaran

8. Kaku kuduk

9. Hemiparesis

10. Deviasi mata

11. Gangguan bicara

12. Likuor

13. Perdarahan

subhialoid

14. Paresis/gangguan

N.III

Hampir selalu

Biasa hilang

Jarang

Sering sejak

awal

Bisa ada

Sering berdarah

Tidak ada

-

Biasanya tidak

Bisa hilang

sebentar

Biasanya ada

Permulaan

Tidak ada

Tidak ada

Jarang

Selalu Berdarah

Bisa ada

Mungkin (+)

otak

Sering kali

Dapat hilang

Tidak ada

Sering dari`awal

Mungkin ada

Sering

Jernih

Tak ada

-

Terapi

Penderita dalam keadaan koma, sedapat mungkin di intensive care unit (ICU)

dilakukan tindakan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi dengan intubasi untuk membuat PCO2 28-34 mmHG.

2. Bila kejang injeksi valium 10 mg iv, kemudian dilanjutkan dengan dilantin

1 x 1 denagn dosis yang sama.

3. Tranexamid acid biasanya digunakan bila ada darah di ruangan ventrikel

dengan dosis 6x1 g selama 7 hari dengan tapering off.

4. Manitol 0,25 g/kg/BB 6x100 selama 7-10 hari kemudian tapering off.

5. Bila tekanan sistolik > 200 mmHg diturunkan 10-20%.

Prognosis

20 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 21: Modul 5 PBL

Dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tingkatkan kesadaran, sadar 16%

meninggal, somnolen 39% mati, stupor meninggal 71%, dan bila koma maka 100%

meninggal; Usia, Pada usia 70 tahun atau lebih angka kematian meningkat tajam; Jenis

kelamin lelaki lebih banyak (61%) yang meninggal daripada perempuan (41%); Tekanan

darah, tensi tinggi prognosis jelek; lain-lainnya misalnya cepat dan tepatnya pertolongan.

Perdarahan Subaraknoidal

Definisi

PSA adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subaraknoid.

Etiologi dan epidemiologi

Sebanyak 50% karena pecahnya aneurisma, pecahnya AVM (5%), asalnya primer

dari PIS (20%), dan 25% kausanya tak diketahui.

PSA menduduki 7-15% dari seluruh kasus stroke. Insidensnya, 6296 PSA timbul

pertama kali pada 40-60 tahun. Pada AVM, laki-laki lebih banyak daripada wanita.

Manifestasi klinis

Gejala prodromal: nyeri kepala hebat dan perakut hanya 10%, 90% tanpa keluhan

sakit kepala.

Kesadarann sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar,

sedikit delirium sampai koma.

Gejala/tanda rangsangan meningeal: kaku kuduk, tanda Kernig (+).

Fundus okuli: 10% penderita mengalami edema-papil beberapa jam setelah

perdarahan. Sering terdapat perdarahan subhialoid kerana pecahnya aneurisma pada a.

komunikans anterior atau a. karotis interna.

Gejala-gejala neurologic fokal bergantung pada lokasi.

Gangguan fungsi saraf otonom: demam setelah 24 jam, demam ringan karena

rangsangan meningeal, dan demam tinggi bila melibatkan hipotalamus. Begitu pun

muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardia, ada hubungannya dengan hipotalamus.

Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan melena (stress ulcer),

21 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 22: Modul 5 PBL

dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan

perubahan pada EKG.

Diagnosis

Diagnosis didasarkan atas:

1. gejala-gejala dan tanda klinis

2. likuor: hampir 100% berdarah, dengan eritrosit 150.000/mm3. Warna xantrokom timbul

dalam 4 jam hingga 20-30 hari. Eritrosit hilang (lisis) dalam 7 hari, kecuali adanya

perdarahan baru.

3. angiografi dilakukan dalam beberapa hari setelah mulai perdarahan.

4. CT Scan: aneurisma yang 7mm tak terlihat. Dengan pengentaraan kontras, dapat

terlihat aneurisma maupun AVM.

Terapi

Cara pengobatan yang digunakan untuk PIS, dipakai juga untuk PSA pada fase

akut. Setelah fase akut lewat, dianjurkan angiografi untuk mencari lesi (aneurisma atau

angioma, AVM) sumber PSA. Bila ditemukan, maka bisa dilakukan operasi bedah saraf

(kliping, ligasi, dll).

Prognosis

Bergantung pada:

1. etiologi: llebih buruk pada aneurisma

2. lesi tunggal/multiple: anuerisma multiple lebih buruk

3. Lokasi aneurisma/lesi: pada a.komunikans anterior dan a. serebri anterior lebih buruk,

karena sering perdarahan masuk ke intraserebral atau ke ventrikel (perdarahan ventrikel)

4. umur: prognosis jelek pada usia lanjut

5. kesadaran: bila koma lebih dari 24 jam, buruk hasil akhirnya.

6. gejala: bila kejang, memperburuk keadaan/prognosis

22 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 23: Modul 5 PBL

7. spasme, hipertensi, dan perdarahan ulang, semuanya merugikan bagi prognosis

Rehabilitasi Penderita dan Prevensi Stroke

Rehabilitasi

Program rehabilitasi penderita stroke diberika setelah terjadi dan bermodalkan

kesembuhan anatomis, dengan tujuan agar tercapai kesembuhan fungsional, melalui

proses belajar kembali. Caranya ialah dengan memberikan sensasi/stimulasi sesering

mungkin pada bagian yang menderita, dan mengajarkan`kembali kepada penderita

tentang pengaturan posisi dan gerak tubuh/anggota yang berorientasi pada perkembangan

motorik sejak masa bayi.

Program rehabilitasi dimulai ketika penderita mulai dirawat, yaitu sebelum

program mobilisasi dan latihan aktif, dimulai dengan pemberian posisi yang

menguntungkan pemulihan fungsi tubuh, mencegah spastisitas dan sikap tubuh abnormal;

dan dengan nasehat serta pengarahan kepada penderita dan keluarganya.

Tindakan mobilisasi perlu menunggu waktu, dengan pola sebagai berikut:

Penderita stroke karena thrombosis atau emboli tanpa komplikasi/penyakit lain,

mobilisasi dimulai 2-3 hari setelah serangan;

Perdarahan subaraknoidal: mulai setelah 2-3 minggu;

Pada thrombosis/emboli dengan infark miokardium tanpa komplikasi, program mobilisasi

dilakukan setelah minggu ke-3; namun jika penderita segera menjadi stabil tanpa aritmia,

mobilisasi dapat dilakukan dengan hati-hati mulai pada hari ke-10.

Progressive stroke, tunggu sampai tercapai complete stroke, baru mulai diberikan latihan

pasif, untuk proses/lesi vertebra-basiler perlu tunggu sampai 72 jam, sebelum menetapkan

tak adanya progresi lagi.

Prevensi Stroke

Pencegahan terhadap serangan stroke baru, maupun ulangan (pada sisi yang

sama), perlu dilakukan dengan:

Pengobatan penyakit/faktor resiko, misalinya pengobatan DM, hipertensi, dll.

23 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 24: Modul 5 PBL

Dengan anti agregasi trombosit anti thrombosis, misalnya dengan ASA dosis rendah

dipyridamol 75-150 mg/hari.

Nasehat, antara lain latihan/olahraga teratur, mengendalikan makanan, dan psikoterapi.

Pendidikan dan penyuluhan kepada penderita, keluarga dan masyarakat tentang bahaya

penyakit stroke perlu diberikan. Demikian pula cara-cara menghindarinya, dan

bagaimana/ kepada siapa selayaknya mereka segera minta pertolongan bila mengalami

stroke.

Komplikasi pada penderita stroke

Selama menjalani perawatan di Rumah Sakit, pasien stroke dapat mengalami

komplikasi akibat penyakitnya. Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak otak

(edema) yang terjadi pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Selain itu,

berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:

- Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan.

Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologik.

- Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan

membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik

- Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi pada

stroke batang otak, bila menetap cari penyebab lain seperti uremia dan iritasi

diafragma.

- Transformasi hemoragik dari infark

- Hidrosefalus obstruktif

- Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun beberapa

hari kemudian.

- Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik. Bila

ada infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius.

- Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu,

pasien menderita juga trombosis vena dalam (DVT).

- Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul

bersama atau akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita

komplikasi gangguan ritme jantung.

- Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi

ditemukan 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Penyebab

24 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 25: Modul 5 PBL

terjadi pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan lain seperti

imobilitas, hipersekresi dll.

- Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut

terutama terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi

penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan gastrointestinal

dan abnormalitas metabolisme tulang.

- Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer,

atau gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat

stroke.

- Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat

merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan

untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.

- Dehidrasi. Penyebabnya dapat gangguan menelan, imobilitas, gangguan

komunikasi dll.

- Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan.

- Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya diabetes

melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.

- Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.

1.1.1. Identifikasi Kelemahan Anggota Gerak

Kelemahan Anggota Gerak (Paralisis Flaksid)

Sistem motorik sering dibagi menjadi neuron motorik atas da neuron

motorik bawah. Lesi di neuron motorik bawah—neuron motorik spinalis dan

kranialis yang secara langsung mempersarafi otot –menyebabkan paralisis flaksid

(kelumpuhan lunglai), atrofi otot, dan hilangnya respon refleks. Sindrom

kelumpuhan spastik dan refleks regang hiperaktif tanpa atrofi otot dikatakan

disebabkan oleh kerusakan “neuron motorik atas”, yaitu neuron di otak dan

medula spinalis yang mengaktifkan neuron motorik. Namun, harus diperhatikan

bahwa terdapat tiga jenis “neuron motorik atas”. Lesi di banyak dari jalur

pengatur postur menyebabkan kelumpuhan spastik, tetapi lesi yang terbatas di

jalur kortikospinalis dan kortikobulbaris lebih sering menimbulkan kelemahan

(paresis) dibanding kelumpuhan, dan otot yang terkena umumnya mengalami

hipotoni. Lesi serebelum menimbulkan gangguan koordinasi.

25 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 26: Modul 5 PBL

Sistem kortikospinalis terutama memperantarai gerakan-gerakan volunter

halus dan berlainan pada tangan dan jari tangan, misalnya gerakan yang

diperlukan untuk melakukan pekerjaan jahit-menjahit. Daerah motorik

suplementer dan pramotorik, dengan masukan dari serebroserebelum,

merencanakan perintah motorik volunter yang disampaikan ke neuron-neuron

motorik yang sesuai oleh korteks motorik primer melalui sistem desendens ini.

Sistem multineuron, sebaliknya terutama berperan dalam mengatur postur tubuh

keseluruhan yang melibatkan gerakan involunter kelompok otot-otot besar di

badan dan tungkai.

Sebagai masukan yang berkonvergensi di neuron-neuron motorik bersifat

eksitatorik, sementara yang lain inhibitorik. Gerakan terkoordinasi bergantung

pada keseimbangan yang sesuai dengan aktivitas kedua masukan tersebut. Jika

sistem inhibitorik yang yang berasal dari batang otak terganngu, otot-otot menjadi

hiperaktif (tonus otot meningkat; refleks anggota badan menguat) karena aktivitas

masukan eksitatorik ke neuron motorik tidak dilawan, suatu keadaan yang dikenal

sebagai paralisis spastik. Sebaliknya, hilangnya masukan eksitatorik, seperti yang

menyertai kerusakan jalur-jalur eksitatorik desendens yang keluar dari korteks

motorik primer, menimbulkan paralisis flaksid (otot melemas; ketidakmampuan

menimbulkan kontraski otot secara volunter, walaupun aktivitas refleks masih

ada). Kerusakan pada korteks motorik primer di salah satu sisi otak, seperti yang

terjadi pada stroke, menyebabkan paralisis flaksid di separuh badan yang

berlawanan (hemiplegia, atau paralisis salah satu sisi tubuh). Gangguan di semua

jalur desendens, seperti trauma berat pada korda spinalis, disertai dengan paralisis

flaksid di bawah tingkat kerusakan – kuadraplegia (paralisis keempat anggota

badan) pada kerusakan korda spinalis bagian atas dan paraplegia (paralisis kedua

tungkai) pada cedera korda spinalis bagian bawah. Kerusakan neuron-neuron

motorik – baik badan sel maupun serat-serat eferennya–menyebabkan paralisis

flaksid dan tidak adanya respons refleks pada otot yang terkena. Kerusakan

serebelum atau nukleus basal tidak menimbulkan paralisis tetapi menyebabkan

aktivitas yang tidak terkoordinasi dan canggung serta pola gerakan yang tidak

seuai. Daerah-daerah ini dalam keadaan normal bertugas memperhalus aktivitas

26 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 27: Modul 5 PBL

yang dimulai secara volunter. Kerusakan di daerah-daerah korteks yang lebih

tinggi yang erperan dalam perencanaan aktivitas motorik menyebabkan

ketidakmampuan membiat perintah motorik yang sesuai untuk menyelesaikan

gerakan yang diinginkan.

1.1.2. Identifikasi dan Penatalaksanaan pada Penurunan Kesadaran

Pengertian

Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu.

Sementara penurunan kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar

dalam arti tidak terjaga / tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu

memberikan respons yang normal terhadap stimulus.

Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana

seseorang mengenal / mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.

Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu :

1. Kompos mentis

Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari

panca indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari

luar maupun dalam.

2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness

Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan

perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak

gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun.

3. Stupor / Sopor

Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata

atau bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak

terhadap rangsang nyeri.

4. Soporokoma / Semikoma

Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat

mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.

5. Koma

27 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 28: Modul 5 PBL

Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal

membuka mata, bicara maupun reaksi motorik.

Etiologi

Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan – kemungkinan

penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “ yaitu :

a. S : Sirkulasi

Meliputi stroke dan penyakit jantung

b. E : Ensefalitis

Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang

mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.

c. M : Metabolik

Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum

d. E : Elektrolit

Misalnya diare dan muntah yang berlebihan.

e. N : Neoplasma

Tumor otak baik primer maupun metastasis

f. I : Intoksikasi

Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan

penurunan kesadaran

g. T : Trauma

Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan

subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada.

h. E : Epilepsi

Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat

menyebabkan penurunan kesadaran.

Manifestasi Klinis

Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah :

- Penurunan kesadaran secara kwalitatif

- GCS kurang dari 13

- Sakit kepala hebat

28 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 29: Modul 5 PBL

- Muntah proyektil

- Papil edema

- Asimetris pupil

- Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif

- Demam

- Gelisah

- Kejang

- Retensi lendir / sputum di tenggorokan

- Retensi atau inkontinensia urin

- Hipertensi atau hipotensi

- Takikardi atau bradikardi

- Takipnu atau dispnea

- Edema lokal atau anasarka

- Sianosis, pucat dan sebagainya.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab

penurunan kesadaran yaitu :

- Laboratorium darah ;Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum,

nitrogen urea darah ( BUN ), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan,

kandungan keton serum, alcohol, obat-obatan dan analisa gas darah ( BGA ).

- CT Scan ; pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak

- PET ( Positron Emission Tomography );untuk meenilai perubahan metabolik

otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak.

- SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography );untuk mendeteksi

lokasi kejang pada epilepsi, stroke.

- MRI ; Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.

- Angiografi serebral ; Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma

dan malformasi arteriovena.

29 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 30: Modul 5 PBL

- Ekoensefalography ; Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis

tengah serebral yang disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral,

infark serebral yang luas dan neoplasma.

- EEG ( elektroensefalography ); Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom

otak organik, tumor, abses, jaringan parut otak, infeksi otak.

- EMG ( Elektromiography ); Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati

maupun akibat penyakit lain.

Pengkajian Primer

1. Airway

a. Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas

b. Terjadi penurunan kesadaran

c. Suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll

d. Penggunaan otot-otot bantu pernafasan

e. Gelisah

f. Sianosis

g. Kejang

h. Retensi lendir / sputum di tenggorokan

i. Suara serak

j. Batuk

2. Breathing

a. Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll

b. Sianosis

c. Takipnu

d. Dispnea

e. Hipoksia

f. Panjang pendeknya inspirasi ekspirasi

3. Circulation

a. Hipotensi / hipertensi

b. Takipnu

c. Hipotermi

30 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 31: Modul 5 PBL

d. Pucat

e. Ekstremitas dingin

f. Penurunan capillary refill

g. Produksi urin menurun

h. Nyeri

i. Pembesaran kelenjar getah bening

Pengkajian Sekunder

1. Riwayat penyakit sebelumnya

Apakah klien pernah menderita :

a. Penyakit stroke

b. Infeksi otak

c. DM

d. Diare dan muntah yang berlebihan

e. Tumor otak

f. Intoksiaksi insektisida

g. Trauma kepala

h. Epilepsi dll.

2. Pemeriksaan fisik

a. Aktivitas dan istirahat

Data Subyektif:

kesulitan dalam beraktivitas

kelemahan

kehilangan sensasi atau paralysis.

mudah lelah

kesulitan istirahat

nyeri atau kejang otot

Data obyektif:

Perubahan tingkat kesadaran

Perubahan tonus otot ( flasid atau spastic), paraliysis

( hemiplegia ) , kelemahan umum.

31 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 32: Modul 5 PBL

gangguan penglihatan

b. Sirkulasi

Data Subyektif:

Riwayat penyakit stroke

Riwayat penyakit jantung

Penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung ,

endokarditis bacterial.

Polisitemia.

Data obyektif:

Hipertensi arterial

Disritmia

Perubahan EKG

Pulsasi : kemungkinan bervariasi

Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta

abdominal

c. Eliminasi

Data Subyektif:

Inkontinensia urin / alvi

Anuria

Data obyektif

Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh )

Tidak adanya suara usus( ileus paralitik )

d. Makan/ minum

Data Subyektif:

Nafsu makan hilang

Nausea

Vomitus menandakan adanya PTIK

Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan

Disfagia

Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah

Data obyektif:

32 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 33: Modul 5 PBL

Obesitas ( faktor resiko )

e. Sensori neural

Data Subyektif:

Syncope

Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau

perdarahan sub arachnoid.

Kelemahan

Kesemutan/kebas

Penglihatan berkurang

Sentuhan : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada

muka

Gangguan rasa pengecapan

Gangguan penciuman

Data obyektif:

Status mental

Penurunan kesadaran

Gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis,

menyerang)

Gangguan fungsi kognitif

Ekstremitas : kelemahan / paraliysis genggaman tangan

tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam

Wajah: paralisis / parese

Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa,

kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif /

kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi

dari keduanya. )

Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli

taktil

Kehilangan kemampuan mendengar

Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan

motorik

33 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 34: Modul 5 PBL

Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya

positif / negatif, ukuran pupil isokor / anisokor, diameter

pupil

f. Nyeri / kenyamanan

Data Subyektif:

Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya

Data obyektif:

Tingkah laku yang tidak stabil

Gelisah

Ketegangan otot

g. Respirasi

Data Subyektif : perokok ( faktor resiko )

h. Keamanan

Data obyektif:

Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan

Perubahan persepsi terhadap tubuh

Kesulitan untuk melihat objek

Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit

Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang

pernah dikenali

Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan

regulasi suhu tubuh

Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap

keamanan

Berkurang kesadaran diri

i. Interaksi sosial

Data obyektif:

Problem berbicara

Ketidakmampuan berkomunikasi

3. Menilai GCS

34 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 35: Modul 5 PBL

Ada 3 hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang

menggunakan Skala Coma Glasgow :

Respon motorik

Respon bicara

Pembukaan mata

Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka dan dijumlahkan.

Penilaian pada Glasgow Coma Scale

Respon motorik

Nillai 6 : Mampu mengikuti perintah sederhana seperti :

mengangkat tangan, menunjukkan jumlah jari-jari

dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa,

melepaskan gangguan.

Nilai 5: Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang

diberikan seperti tekanan pada sternum, cubitan pada

M. Trapezius

Nilai 4 : Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan

, tapi tidak mampu menunjuk lokasi atau tempat

rangsang dengan tangannya.

Nilai 3 : fleksi abnormal .

Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi

pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi

rangsang nyeri ( decorticate rigidity )

Nilai 2 : ekstensi abnormal.

Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan

bawah, fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal,

bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate rigidity )

Nilai 1 : Sama sekali tidak ada respon

Catatan :

- Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat

- Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan

selalu negatif

35 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 36: Modul 5 PBL

Respon verbal atau bicara

Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun).

Pemeriksaan ini tidak berlaku bila pasien :

- Dispasia atau apasia

- Mengalami trauma mulut

- Dipasang intubasi trakhea (ETT)

Nilai 5 : pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara

. orientasi waktu, tempat , orang, siapa dirinya ,

berada dimana, tanggal hari.

Nilai 4 : pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh

Nilai 3 : bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik

tapi tidak menyambung dengan apa yang sedang

dibicarakan

Nilai 2 : bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa

artinya (“ngrenyem”), suara-suara tidak dapat dikenali

makna katanya

Nilai 1 : tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan

nyeri

Respon membukanya mata :

Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau

kedua matanya

Catatan:

Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata.

Nilai 4 : Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh

Nilai 3 : Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil

nama atau diperintahkan membuka mata

Nilai 2 : Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri

Nilai 1 : Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri

4. Menilai reflek-reflek patologis :

a. Reflek Babinsky

36 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 37: Modul 5 PBL

Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu

benda yang runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang

terdiri atas fleksi kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar

b. Reflek Kremaster :

Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus

pada bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah

terjadinya kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat

tertariknya atau mengerutnya testis. Menurunnya atau

menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus

corticulspinal

5. Uji syaraf kranial :

NI.N. Olfaktorius – penghiduan diperiksa dengan bau bauhan

seperti tembakau, wangi-wangian, yang diminta agar pasien

menyebutkannya dengan mata tertutup

N.II. N. Opticus

Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata .

digunakan optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6 meter

dari pasien . fisus ditentukan dengan kemampuan membaca

jelas deretan huruf-huruf yang ada

N.III/ Okulomotoris. N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN

Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan

bola mata kesegala arah , diameter pupil , reflek cahaya dan

reflek akomodasi

N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik,

Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi ,

pipi, dan rahang bawah serta goresan kapas dan mata

tertutup

Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah

kedua tonus muskulusmasketer saat diperintahkan untuk

gerak menggigit

37 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 38: Modul 5 PBL

N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan

mengangkat alis, mengerutkan dahi, mencucurkan bibir ,

tersentum , meringis (memperlihatkan gigi

depan )bersiul , menggembungkan pipi.fungsi sensorik

diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah yang

dijulurkan (gula , garam , asam)

N.VIII/ Vestibulo - acusticus

Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber ,

Schwabach dengan garpu tala.

N.IX/ Glosofaringeus, N.X/vagus : diperiksa letak ovula di

tengah atau deviasi dan kemampuan menelan pasien

N.XI / Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat

bahu kiri dan kanan ( kontraksi M.trapezius) dan gerakan

kepala

N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan

lidah pada posisi lurus , gerakan lidah mendorong pipi

kiri dan kanan dari arah dalam.

Diagnosis dan Intervensi

1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan,

ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan

jaringan otak, depresi SSP dan oedema

Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 1 jam.

Kriteria hasil :

- Tidak ada tanda – tanda peningkatan TIK

- Tanda – tanda vital dalam batas normal

- Tidak adanya penurunan kesadaran

Intervensi :

Mandiri :

38 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 39: Modul 5 PBL

- Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang

dapat menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan

TIK

- Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai

standart

- Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana

- Pantau tekanan darah

- Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman

pnglihatan dan penglihatan kabur

- Pantau suhu lingkungan

- Pantau intake, output, turgor

- Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah

- Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak

sesuai

- Tinggikan kepala 15-45 derajat

Kolaborasi :

- Berikan oksigen sesuai indikasi

- Berikan obat sesuai indikasi

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas oleh sekret

Tujuan : bersihan jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1 jam.

Kriteria hasil:

- Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas

- Ekspansi dada simetris

- Bunyi napas bersih saat auskultasi

- Tidak terdapat tanda distress pernapasan

- GDA dan tanda vital dalam batas normal

Intervensi:

Mandiri :

39 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 40: Modul 5 PBL

- Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi

- Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan

napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal

- Penghisapan sekresi

- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4

jam

Kolaborasi :

- Berikan oksigenasi sesuai advis

- Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi

3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat

pernapasan

Tujuan :

Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam

Kriteria hasil:

- RR 16-24 x permenit

- Ekspansi dada normal

- Sesak nafas hilang / berkurang

- Tidak suara nafas abnormal

Intervensi :

Mandiri :

- Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.

- Auskultasi bunyi nafas.

- Pantau penurunan bunyi nafas.

- Berikan posisi yang nyaman : semi fowler

- Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam

Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan

Kolaborasi :

- Berikan oksigenasi sesuai advis

- Berikan obat sesuai indikasi

4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-

perfusi sekunder terhadap hipoventilasi

40 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 41: Modul 5 PBL

Tujuan :

Setelah diberikan tindakan keperawatan selaama 1 jam, pasien dapat

mempertahankan pertukaran gas yang adekuat

Kriteria Hasil :

Pasien mampu menunjukkan :

- Bunyi paru bersih

- Warna kulit normal

- Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan

Intervensi :

Mandiri :

- Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia

- Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn,

laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.

- Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya

kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam

PaO2

- Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji

perlunya CPAP atau PEEP.

- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam

- Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan

peningkatan atau penyimpangan

- Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan

kebutuhan oksigen.

- Pantau irama jantung

Kolaboraasi :

- Berikan cairan parenteral sesuai pesanan

- Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik,

steroid.

1.1.3.Hematoma

Epidural Hematoma

41 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 42: Modul 5 PBL

Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater

akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang

terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu

sangat berbahaya terjadi kompresi otak. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai

1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala-gejala yang terjadi :

- Penurunan tingkat kesadaran

- Nyeri kepala

- Muntah

- Hemiparesis

- Dilatasi pupil ipsilateral

- Pernapasan dalam cepat kemudian.

- Penurunan nadi

- Peningkatan suhu

- Kesadaran menurun hingga koma

- Gejala fokal, akibat herniasi tentorial

– timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+)

pada daerah kontralateral

– midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks cahaya

direct / indirect (-).

- Nadi bisa bradikardi karena adanya peningkatan TIK

- Pemeriksaan fundus : pupil N. II yang homolateral slight oedema.

- LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi)

Diagnosa :

Berdasarkan gejala klinis dan Radiologik , plain foto kepala, CT scan

kepala.

Tindakan

Operasi trepanasi

Prognosa

Baik bila cepat dioperasi.

42 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 43: Modul 5 PBL

Subdural Hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut

dan kronik.

Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang

biasanya terdapat

diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi

dalam 48 jam. 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2

minggu atau beberapa bulan.

Hematoma Subdural

Definisi

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.

Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki

ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea

sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam

bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-

vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu

merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,

sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan

darah.

Gb. Hematoma Subdural

Etiologi

43 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 44: Modul 5 PBL

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan

subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

• Trauma kapitis

• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi

bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan

juga pada anak - anak.

• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan

subdura.

• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan

subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor

intrakranial.

• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Gg. Perdarahan pada subdural

Patofisiologi

44 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 45: Modul 5 PBL

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat

terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan

vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena

robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat

bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi

otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di

mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan

gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu

besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang

membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan

dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena

tekanan intracranial yang berangsur meningkat.

Gb. Lapisan pelindung otak

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.

Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak

mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan

robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan

sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar

sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi

perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan

terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.

45 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 46: Modul 5 PBL

Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini

memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih

rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan

subdural kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial

dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh

efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada

fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains

tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran

hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme

kompensasi tersebut.

Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya

peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral

berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi

transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat

terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh

meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,

didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu

dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,

yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan

mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam

kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan

onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang

meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.

Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari

penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata

hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua

mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya

perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat

meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi

46 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 47: Modul 5 PBL

bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau

kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim

fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan

terjadinya perdarahan subdural kronik.

Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat

timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:

1. Perdarahan akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya

terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan

perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu

kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm

tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,

didapatkan lesi hiperdens.

2. Perdarahan sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah

trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah

dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada

pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya

didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena

terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.

Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu

berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau

trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa

mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami

gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan

subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama

kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga

mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati

kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih

47 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 48: Modul 5 PBL

baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan

arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada

selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis

dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini

protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume

dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan

perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat

menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar

dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar

hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50

tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.

Gejala Klinis

1. Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24

sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.

Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak

dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya

menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat

menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi

dan tekanan darah.

2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari

48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma

subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam

ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma

kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan

status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu

penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.

48 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 49: Modul 5 PBL

Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa

jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran

hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak

memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi

intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi

darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-

tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3. Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan

dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek

salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara

lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan

terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan

osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan

sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang

menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau

pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi

pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua

keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya

tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan

adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan

kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.

Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara

spontan.

49 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 50: Modul 5 PBL

Kerusakan pada Otak Tertentu

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah

tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,

lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

Kerusakan Lobus Frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian

motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu).

Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu

pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi

50 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 51: Modul 5 PBL

tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi,

tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang

kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan

perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa

menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang

mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian

penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar

dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

Kerusakan Lobus Parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan

dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil

kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga

membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi

dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis

menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak

luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian

pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam

mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa

mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik

(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau

mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari

lainnya.

Kerusakan Lobus Temporalis, lobus temporalis mengolah kejadian yang

baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang.

Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan

mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya

ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri

menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari

dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.

51 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 52: Modul 5 PBL

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan

mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

Penatalaksanaan

Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang )

dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan

terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang

kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik,

apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan

tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum

diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita

perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif

yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy,

subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural

kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan

komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca

kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien

yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi

yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang

kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah

yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini

sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai

berkurang.

Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang

bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.

Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor

dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda

adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar

disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi

• Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

52 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 53: Modul 5 PBL

• Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

• Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT

Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

Perawatan Pascabedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien

dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan

pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8

minggu kemudian. Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada

sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh -

pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik,

pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari

otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan

subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber

perdarahan harus ditiadakan.

Tanda-tanda dan gejalanya adalah :

– Nyeri kepala

– Bingung

– Mengantuk

– Menarik diri

– Berfikir lambat

– Kejang

– Udem pupil

Diagnosis

– anamnesa

– gejala klinis

– EEG

– Ct scan kepala

Tindakan : operasi

Intracerebral Hematoma

Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena

pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.

53 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 54: Modul 5 PBL

Perdarahan yang terjadi di korteks yang menimbulkan lesi desak ruang dan

meimbulkan edmea kolateral. Terbanyak pada lobus temporalis selain itu bisa

pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang-kadang pada serebellum.

Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak tertolong,

perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila

hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong.

Disamping kehilangan kesadaran, kelainan ini ditandai oleh adanya defisit

neurologik, cairan serebrospinal yang berdarah dan hasil pemeriksaan CT scan

yang abnormal

Tanda dan gejalanya :

- Nyeri kepala

- Penurunan kesadaran

- Komplikasi pernapasan

- Hemiplegia kontra lateral

- Dilatasi pupil

- Perubahan tanda-tanda vital

Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh

darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.

Tanda dan gejala :

- Nyeri kepala

- Penurunan kesadaran

- Hemiparese

- Dilatasi pupil ipsilateral

- Kaku kuduk

1.1.4. Ensefalopati Hipertensif

Definisi

Ensefalopati Hipertensi merupakan disfungsi neurologi yang disebabkan

oleh hipertensi maligna. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan

54 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 55: Modul 5 PBL

kondisi otak dan biasanya bersifat reversibel. Ensefalopati hipertensi biasanya

terjadi pada eklampsia, nefritis akut dan hipertensi krisis. Biasanya sering terjadi

pada usia muda dan setengah baya dengan Hipertensi.

Etiologi

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya ensefalopati

hipertensi, antara lain :

Glomerulonefritis akut.

Ensefalitis.

Meningitis.

Agen simpatomimetik ( LSD, amfetamin, kokain, dll).

Eklampsia dan Preklampsia.

Trauma Kepala.

Hiperaktifitas autonom.

Vaskulitis, dll.

Patofisiologi

Ensefalopati hipertensi terjadi karena perfusi serebral meningkat yang

disebabkan oleh hilangnya integritas sawar darah-otak (Blood Brain

Barrier) memicu pengeluaran cairan ke otak.

Peningkatan tekanan darah sistemik menyebabkan vasokonstriksi

arteriolar otak.

Pada hipertensi kronis, rentang autoregulatory otak bergeser ke tekanan

yg lebih tinggi sebagai adaptasi elevasi tekanan darah sistemik.

Respon autoregulasi yang tidak mampu untuk mengadaptasikan diri

terhadap peningkatan tekanan darah sistemik otak yang melebihi

autoregulasi menyebabkan terjadinya kebocoran hidrostatik di kapiler

dalam sistem saraf pusat.

Vasodilatasi umum, edema serebral, dan papil edema merupakan tanda

defisit neurologis secara klinis ensefalopati hipertensi.

55 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 56: Modul 5 PBL

Gejala

Sakit kepala.

Vertigo.

Gelisah.

Mual (Nausea).

Gangguan kesadaran.

Kejang (Seizure).

Perdarahan retina.

Papilledema.

Lesi focal otak dapat berhubungan dengan gejala-gejala neurologis

yang spesifik.

Gejala mulai terjadi setelah 12-48 jam.

Diagnosa

Anamnesa

Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan vital sign, Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan Penunjang : Darah lengkap, urine, kreatinin, enzim

jantung, toksikologi urine, Rontgen, dan CT Scan.

Penatalaksanaan

Labetalol 20 mg IV bolus

Nitrogliserin 300-500 mcg/ menit IV bolus

Trimethaphan camsylate 0,5-10 mg/ menit IV infus

56 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 57: Modul 5 PBL

BAB III

PENUTUP

1.2. Kesimpulan

Penurunan kesadaran salah satunya dapat disebabkan oleh stroke yang

disebabkan oleh berbagai faktor resiko hipertensi dan hiperkolesterol seperti yang

digambarkan pada skenario. Identifikasi dini terhadap tanda dan gejala stroke

sangat penting untuk mencegah timbulnya komplikasi atau keadaan yang lebih

buruk. Penanggulangan cepat dan tepat terhadap kondisi umum pasien yang buruk

seperti adanya obstruksi jalan napas harus diperhatikan.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, sangat penting bagi

mahasiswa untuk dapat mengetahui dan memahami gejala-gejala awal penderita

stroke, pertolongan pertama yang harus diberikan jika keadaan pasien sedang

tidak sadar, dan edukasi pada pasien dan keluarga agar serangan tidak terulang.

1.3. Saran

Dengan memahami laporan diatas, kami mengharapkan mahasiswa dapat

menggunakan dan menerapkan etika penelitian dalam penelitian masing-masing..

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi

diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami

mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan angkatan 2007.

57 | L a p o r a n m o d u l 2

Page 58: Modul 5 PBL

DAFTAR PUSTAKA

Ethical Issues in Biomedical Research, ICMR Guidelines, New Delhi, 1997

Government Regulation No. 39/1995 on Health Research and

Development. Jakarta, 1995

http://www.freewebs.com/informedconsent_a1/informedconsent.htm

International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human

Subject (CIOMS-WHO, 1993)

58 | L a p o r a n m o d u l 2