model pembangunan karakter anak dalam keluarga...
TRANSCRIPT
61
BAB III
MODEL-MODEL PENGASUHAN YANG MEMBANGUN KARAKTER ANAK
DALAM KELUARGA KRISTENDI JEMAAT SONTETUS BONE
Dalambab ini akan di uraikan tentang model pembangunan karakter anak dalam keluarga
kristen di jemaat Sontetus Bone. Yang dimaksud dengan jemaat Sontetus Bone adalah salah satu
jemaat dalam wilayah pelayanan klasis Amanuban Tengah Utara yang bernaung dalam gereja
Masehi Injili di Timor. Penelitian ini di langsungkan di jemaat Sontetus Bone, yang mana secara
geografis berada dalam wilayah pemerintahan desa Bone, kecamatan Amanuban Tengah. Karena
itu sebelum menjelaskan tentang hasil penelitian model pembangunan karakter dalam keluarga
kristen di jemaat Sontetus Bone, maka penulis terdahulu memberikan gambaran singkat tentang
Jemaat Sontetus Bone.
A. Selayang pandang lokasi penelitian.
A.1. Kondisi fisik.
a) Letak.
Secara geografisjemaat Sontetus Bone terletak dalam wilayah desa Bone,
kecamatan Amanuban Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Desa Bone
merupakan salah satu desa dari 8 (delapan) desa dalam wilayah kecamatan
Amanuban tengah.1Desa Bone memiliki iklim tropis, yang ditandai dengan
banyaknya tanaman umur panjang (pohon). Hal tersebut disebabkan oleh posisi
desa Bone yang lebih dekat dengan benua Australia di banding Asia sehingga
arus angin dari benua Asia dan samudera Pasifik yang mengandung banyak uap
1 Sekretariat Desa Bone, Bone dalam Statistik tahun 2013, ( Bone, 2013), 01.
62
air, telah berkurang ketika tiba di daratan Timor Tengah Selatan. Sedangkan arus
udara dari Australia dapat mencapai kabupaten TTS dengan baik. Akibatnya
musim kemarau lebih panjang dari musim hujan. Musim kemarau berlangsung
dari bulan April – Oktober ketika arus udara berasal dari Australia. Sedangkan
musim hujan pada bulan Nopember- Maret ketika arus udara bertiup dari Asia.
Rata-rata curah hujan berkisar antara 1000-1500 mm/ tahun dengan suhu rata-rata
24º C.2
b) Mata pencaharian
Penduduk desa Bone memiliki mata pencaharian yang cukup variatif
yakni; 50 % sebagai Petani, 15% sebagai peternak, 15 % sebagai wiraswasta, 10
% sebagai pegawai pemerintah, 05 % guru dan 05 % buruh. Variasi mata
pencaharian ini membuat kesibukan penduduk yang cukup tinggi setiap hari.
Selain itu, dari mata pencaharian yang ada menunjukan taraf ekonomi penduduk
yang yang cukup baik dalam menopang pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
kebutuhan lainya.
c) Struktur masyarakat
Masyarakat desa Bone hidup dalam struktur masyarakat yang homogen.
Dalam desa di kenal pemilik kampung oleh 4 (empat) klan yakni Tunu, Maunino,
Nautani dan sayuna. Empat klan inilah yang memiliki kewenangan untuk
membagi-bagikan tanah untuk lahan kebun maupun tempat tinggal. Selain itu
2 ....Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Rencana jangka Panjang Daerah ( RPJPD) Kabupaten
Timor Tengah Selatan Tahun 2005-2025 ( Soe: Sekretariat Daerah, 2008), 08.
63
mereka menjadi peletak dasar adat istiadat perkawinan, kematian dan lainya.
Tidak berhenti disini, dalam berbagai kesempatan pemilihan kepala desa, selalu
memperhitungkan giliran kesempatan kepada empat marga ini menjadi kepala
desa.
Seiring perkembangan oleh karena perkawinan dan juga pekerjaan,
penduduk dari suku lain juga berdatangan dan menetap sehingga tercipta interaksi
dengan penduduk asli desa Bone. Interaksi tersebut berdampak pada terbukanya
informasi dan perkembangan sumber daya manusia yang terus berlangsung dalam
desa Bone.
d) Agama dan kepercayaan.
Penduduk desa Bone memeluk dua agama yakni agama Kristen Protestan dan
agama Katholik dengan prosentase, 90 % beragama Kristen dan 10 % beragama
Katholik.
e) Pendidikan
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang di upayakan oleh
masyarakat, termasuk jemaat Sontetus Bone. Hal mana nampak dalam tingkat
pendidikan warga jemaat Sontetus Bone yang bervariasi yakni, 10 % tidak tamat
sekolah dasar, 10 tamat sekolah dasar, 15 % tidak tamat SLTP, 20 % tamat
SLTP, 15 tidak tamat SLTA%, 25 % tamat SLTA, 05 % perguruan tinggi.
Hingga kini desa Bone telah beberapa lembaga pendidikan baik yang dikelola
oleh pemerintah dan gereja yakni; 1 (satu) Sekolah dasar, 1 PAUD ( pendidikan
64
anak usia dini), 1 Sekolah luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus. Sementara
untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi, penduduk desa
menempuhnya pada sekolah-sekolah yang ada di sekitar Niki-niki, baik untuk
tingkat SLTP dan SLTA.
A.2. Sekilas tentangGereja Masehi Injili Di Timor.
Gereja Masehi Iinjili di Timor (selanjutnya di singkat GMIT) adalah
Sinode Protestan terbesar kedua di Indonesia. Memiliki sekitar 1,4 juta anggota
dan 1937 jemaat-jemaat. Walaupun namanya demikian, anggota jemaat-
jemaatnya tidak saja di Timor Barat, tetapi tersebar di seluruh provinsi Nusa
Tenggara Timur ( NTT), kecuali di pulau Sumba, Pulau Sumbawa ( NTB) dan
Pulau Batam.3
GMIT menganut sistem gereja Presbyrterial-Synodal, yakni model
pemerintahan gereja dengan musyawarah dan kepimpimpinan kolektif dalam
kemajelisan. Para pemimpin gereja dipilih setiap 4 tahun oleh gereja dari sidang
jemaat. Majelis jemaat memimpin bersama dalam mengkoordinir berbagai
pelayanan pada aras Jemaat, Klasis dan Sinodal. Dalam berteologi, GMIT dapat
digambarkan dalam teologi Reformed dengan penekanan khusus pada Alkitab dan
keinginan untuk menjadi baik kontekstual dan holistik dalam misinya.
GMIT secara resmi mandiri pada 31 Oktober 1947. Pada saat di nyatakan
mandiri, GMIT terdiri dari 6 klasis dan dipimpin oleh Ds.Durkstra. Enam klasis di
3Frank L Cooley, Benih yang Tumbuh XI: Gereja Masehi Injili di Timor, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1976),19.
65
maksud adalah kasis Kupang yang meliputi Kupang dan Amarasi;Klasis
Camplong yang meliputi Fatule'u dan Amfoang;Klasis SoE yang meliputi
Amanuban, Amanatum, Mollo, Timor Tengah Utara, dan Belu;Klasis Alor yang
meliputi Alor;Klasis Rote yang meliputi Rote;Klasis Sabu, yang meliputi Sabu.4
A.3. Sekilas tentang jemaat Sontetus Bone.
Jemaat Sontetus Bone merupakan salah jemaat dalam Gereja Masehi Injili
Di Timor, dalam Wilayah Klasis Amanuban Tengah Utara. Sebagai salah satu
jemaat dalam klasis Amanuban Tengah Utara, jemaat ini memiliki wilayah
pelayanan yang berbatasan dengan wilayah pelayanan jemaat lain dalam klasis
yakni :
- Sebelah timur berbatasan dengan jemaat Sonhalan.
- Sebelah utara berbatasan dengan jemaat Humone.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan jemaat Anugerah Nobi-nobi dan
jemaat Betel Matani.
- Sebelah barat berbatasan dengan jemaat Betel Hoi.
Secara Historis, jemaat ini lahir dari perjuangan panjang jemaat
Sontetus untuk dapat beribadah sendiri. Sebelum menjadi jemaat mandiri,
jemaat Sontetus Bone adalah bagian dari wilayah pelayanan jemaat Sonhalan
Niki-Niki. Jemaat ini terletak dalam wilayah desa Bone, kecamatan
Amanuban tengah. Kegiatan peribadahan jemaat berlangsung terpusat di
gedung gereja Jemaat Sonhalan niki-niki. Dalam perkembangannya,
4Frank L Cooley, Ibid.
66
pertumbuhan jemaat di wilayah desa Bone semakin pesat sehingga
diusulkandibangun sebuah gedung kebaktian di Bone guna mengefektifkan
pelayanan bagi jemaat yang ada di wilayah jemaat Sonhalan Niki-Niki,
khususnya di desa Bone.
Kerinduan jemaat untuk beribadah sendiri di desa Bone sangat besar
sehingga sambil menanti proses pembangunan gedung kebaktian dilaksanakan
maka jemaat di Bone saat itu bersepakat untuk sementara waktu beribadah di
gedung kantor Desa Bone. Sejak saat itu seluruh jemaat di Bone bersepakat
untuk memberi nama Sontetus bagi jemaat di Bone. Sontetus di ambil dari
kata dalam bahasa Timor yakni Son, singkatan dari sonaf yang berarti rumah
atau istana dan tetus, yang berarti berkat. Sehingga sontetus artinya rumah
berkat.
Perjuangan memiliki tanah untuk pelaksanaan pembangunan gedung
kebaktian terjawab manakala tanah miliki pemerintah desa Bone di hibahkan
kepada gereja untuk membangun gedung kebaktian. Selanjutnya pekerjaan
pembangunan gedung gereja dilaksanakan secara bergotong royong dan di
selesaikanpada tahun 1997. Dalam tahun ini pula majelis jemaat sonhalan
niki-niki secara resmi memberikan kewenangan bagi majelis jemaat yang
berasal dari desa Bone untuk menata pelayanan dan finansial secara mandiri.
Hal ini ditandai dengan pemekaran jemaat sontetus Bone sebagai salah satu
mata jemaat dalam wilayah jemaat Sonhalan Niki-niki. Dari sinilah awal mula
jemaat Sontetus Bone mandiri dalam mengelola seluruh pelayanan.
67
Walaupun telah di mekarkan sebagai salah satu mata jemaat namun
pendeta yang melayani secara khusus dalam jemaat ini belum tersedia. Untuk
itu jemaat terus berupaya agar dapat dimekarkan menjadi satu wilayah
pelayanan tersendiri sehingga dapat memiliki pelayan khusus yang melayani
di jemaat Sontetus Bone.Pada tahun 2008 Majelis Sinode GMIT memekarkan
jemaat sontetus jemaat Nekmese Kuku dan Pos PI Saba menjadi satu jemaat
dengan nama “Fetomone”. Hal ini di ikuti dengan menempatkan Pdt. V.H.
Nenohai-Bathun sebagai pendeta yang melayani secara penuh di jemaat ini.
Hingga kini jemaat Sontetus Bone telah menjalani kehidupan
berjemaat dengan berbagai dinamika yang terus memperlihatkan
pertumbuhan, baik dari segi kuantitas dan juga kualitas. Pertumbuhan
dimaksud tergambar dalam statistik jemaat dibawah ini:
Statistik Jemaat Sontetus Bone
Keadaan Agustus 2014
Jemaat Jml
KK
Jml Jiwa Baptis
Sidi Pas nikah Maj Jem Rayon
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Ms
hi
Ada
t
Lk Pr
Sontetus 183 361 379 342 328 359 396 173 10 8 16 12
Sumber data: di olah dari Sekretariat Jemaat Sontetus Bone
68
B. Pembangunan karakter anak dalam keluarga Kristen di jemaat Sontetus Bone.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, di temukan beberapa model pengasuhan
untuk pembangunan karakter anak yang berlangsung di dalam keluarga-keluarga Kristen
di jemaat Sontetus Bone yang di uraikan sebagai berikut :
1. Model pengasuhan yang terinspirasi dari nilai-nilai moral dalam budaya.
Model pembangunan karakter pertama yang di temukan dalam penelitian
adalah pengasuhan yang di landasi nilai-nilai budaya. Dalam model ini nilai-nilai
moral dalam budaya menjadi landasan orangtua dalam mengasuh anak. Nilai-nilai
budaya di tanamkan dalam ajaran-ajaran yang di sampaikan kepada anak. Dari
hasil wawancara di lapangan di temukan kesamaan pendapat dari 19 (sembilan
belas) informan tentang nilai-nilai moral dalam budaya yang di tanamkan dan di
bangun dalam diri anak, di antaranya: sopan santun, bertegur sapa, hidup jujurdan
saling menghormati. Pendapat 19 (Sembilan belas) informan terurai sebagai
berikut:
Nilai moral pertama yang di temukan berdasarkan hasil penelitian adalah
sopan santun dan hidup jujur.Dari empat informan yang di wawancarai, seluruhnya
memiliki kesamaan pendapat tentang nilai moral tersebut. A. P,5 seorang petani
peternak dengan latar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP)
mengatakan:
“Kami ajarkan sopan santun kepada anak supaya anak bisa bersikap sopan, baik
waktu berbicara, cara berpakaian dan juga bersikap kepada orang lain. Kalau
bertemu orang, harus bertegur sapa apalagi dengan orang yang lebih tua.Kami
juga ajarkan anak-anak agar mereka hidup jujur.Jujur dalam perkataan, dalam
5Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak A. P. di Bone, tgl 22 Juli 2014, pukul 13.00 Wita.
69
sikap dan tindakan. Mulai dari hal-hal yang kecil di rumah, contohnya kalau
berbuat salah maka harus berani mengakui kesalahan”
Selanjutnya kerendahan hati dan kesabaran adalah nilai moral yang di
ajarkan kepada anak-anak. Dalam wawancara yang dilakukan ditemukan
tigajawaban yang sama berkaitan dengan nilai-nilai moral dimaksud. N.S.6seorang
ibu rumah tangga yang berlatar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat
pertamamengungkapkan:
“Kami ajarkan dan tanamkan kepada anak supaya mereka jangan sombong
melainkan rendah hati dan selalu memiliki kesabaran. Jangan cepat bangga
dengan apa yang dimiliki dan juga jangan lekas marah”
Nilai moral lainnya yang di ajarkan kepada anak adalah bekerja keras.Dalam
wawancara yang di lakukan, di temukan empat informan memiliki kesamaan
jawaban tentang nilai moral dimaksud. M. N.7 seorang petani kebun dengan latar
belakang pendidikan sekolah dasar mengungkapkan:
Kami ajarkan anak-anak untuk bisa bekerja agar kalau sudah dewasa mereka bisa
menghidupi diri sendiri dan keluarga. Paling tidak, dalam tradisi kami, setiap laki-
laki timor harus tahu cara berkebun dan perempuan timor harus tahu menenun
sarung dan selimut. Ini menjadi bekal bagi mereka pada waktu mereka menikah
kelak. Biasanya, pada waktu siang hari ketika semua pekerjaan rumah sudah
selesai, saya mengajak anak untuk belajar menenun dengan alat tenun yang kami
miliki. Sedangkan bapak mengajak anak laki-laki ke kebun di pagi hari untuk
mengajar anak cara berkebun.”
Nilai moral ini biasanya di ajarkan kepada anak-anak manakala anak
beranjak dewasa dengan tujuan jangka panjang bagi anak sehingga dapat
bermanfaat bagi anak di kemudian hari. Karena itu penguasaan atas alat-alat
6 Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu N. S. di Bone tgl 23 Juli 2014, pukul 10.00 Wita.
7 Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak M. N. di Bone, tgl 24 Juli 2014, pukul 13.00 Wita.
70
bantudalam bekerja bagi laki-laki dan perempuan menjadi fondasi bagi anak untuk
dapat bekerja dalam mencukupi kebutuhannya kelak.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas tentang sejumlah nilai moral
yang di ajarkan kepada anak, nampaknya beberapa nilai moral yang di ajarkan
memiliki kesamaan dengan muatan karakter yang di sampaikan Lickona dalam
beberapa kebajikan pokok, di antaranya kasih, kerja keras, ketulusan, kesabaran dan
kerendahan hati. Kebajikan-kebajikan tersebut menjadi penanda karakter baik yang
harus di miliki seseorang.
Kuatnya nilai-nilai moral dalam budaya yang di gunakan dalam pengasuhan
juga nampak dalam alasan-alasan yang di ungkapkan informan. Hasil wawancara di
lapangan terdapat kesamaan pendapat yang di sampaikan tiga informan
bahwatujuan di ajarkannya nilai-nilai moral dalam budaya agar anak menjadi
individu yang baik sehingga dapat berguna bagi hidupnya dan lingkungannya serta
sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya. E.N,8 salah satu pemangku adat di
desa Bone yang bekerja sebagai pegawai negeri pada salah satu isntansi pemerintah
Kabupaten TTS dengan latar belakang sekolah lanjutan tingkat atas
mengungkapkan:
“Kami ajarkan nilai-nilai moral dimaksud kepada anak-anak agar mereka menjadi
manusia yang baik dalam keluarga dan masyarakat. Sebab kalau anak-anak tidak
di ajarkan nilai-nilai moral maka ia akan menjadi anak-anak yang tidak berguna,
baik bagi diri sendiri, bagi keluarga, masyarakat. Selain itu kami juga sadar jauh
sebelum kami kenal agama, nenek moyang kami sudah punya adat-istiadat yang di
dalamnya mengajarkan cara menghormati sesama manusia dan alam. Ajaran itu
di teruskan kepada kami oleh orangtua kami dan sekarang kami ajarkan lagi
kepada anak-anak kami supaya mereka tidak lupa dengan nilai-nilai
8Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak E.N. di Bone, tgl 25 Juli 2014, pukul 19.00 Wita
71
budayasehingga pada waktunya mereka dapat berguna bagi orang lain, khususnya
budaya mereka sendiri.”
Dari pemahaman di atas terlihat bahwa nilai-nilai dalam budaya yang di
gunakan orangtua dalam mengajarkan perilaku moral memiliki pengaruh sangat
kuat atas nilai-nilai hidup yang di anut oleh keluarga-keluarga dalam mengasuh dan
membangun karakter pada anak.Pemahaman ini nampaknya sejalan pemahaman
Lickona tentang tujuan di lakukannya kebajikan yang di yakni agar menjadimanusia
yang berkarakter baik.Selain itu terjadi sosialisasi nilai-nilai kultural sebagaimana
yang di maksudkan Groome, yang pada akhirnya memberi indentitas kultural pada
anak.
Berbagai nilai moral tersebut di atas di bangun dalam diri anak dengan
menggunakan dua metode yakni metode pemberian contoh melalui perilaku dan
pemberian contohyang di sertai penalaran oleh orangtua kepada anak.Berkaitan
dengan penggunaan metode pemberian contoh, tiga informan yang di wawancarai
informan menyampaikan pendapat yang sama tentang bentuk-bentuk pemberian
contoh dan alasan-alasan menggunakan metode pemberian contoh. Dalam
wawancara di temukan tiga informan sepakat dengan bentuk pemberian contoh
melalui mengajari anak keterampilan dasar sebagai laki-laki dan perempuan dengan
menggunakan alat bantu berupa benda-benda di sekitar anak dengan tujuan
pengajaran yang di berikan lebih mudah di pahami anak. S. P.N.9 seorang ibu
rumah tangga dengan latar belakang pendidikan tamatan sekolah dasar
mengungkapkan:
9 Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu S. P.N di Bone, tgl 31 Juli 2014, pukul 15.00 Wita.
72
“Pekerjaan pokok kami sebagai laki-laki Timor adalah berkebun dan bertenak.
Sementara bagi perempuan adalah menenun.Karena itu bagi anak laki-laki kami
ajarkan cara menggunakan cangkul dan tembilang dan peralatan lain yang
diperlukan untuk berkebun. Atau kami juga ajarkan cara membuat kandang bagi
ternak. Sementara bagi anak perempuan, ibu mereka mengajarkan cara
menenun selimut atau juga sarung Timor dengan menggunakan alat tenun yang
kami miliki.”
Dari pendapat di atas, nampaknya pengajaran melalui pemberian contoh
yang disertai penalaran dengan menggunakan alat-alat bantu tidak hanya
bertujuan mempermudah pengajaran kepada anak namun juga merupakan bentuk
dari pewarisan ketrampilan kepada anak.
Dalam bagian wawancara yang lain di temukan bahwa tindakan
pemberian contoh yang di lakukan orangtua secara sengaja di lakukan dengan
tujuan menjadi teladan bagi anak. D. B.dan H.N,10
pasangan suami isteri yang
bekerja sebagai petani peternak dengan latar belakang pendidikan sekolah
lanjutan tingkat pertama mengatakan:
“Dalam mendidik dan mengasuh anak-anak, sebagai orangtua kami selalu
melakukan bersama, seperti mengajarkan anak untuk menghormati orangtua.
Hal ini kami lakukan karena kami sadar bahwa didikan yang kami lakukan pada
anak harus lahir dari sikap saling menghormati di antara kami sebagai suami-
isteri. Atau dengan kata lain kami berkerja bersama-sama dalam mendidik anak-
anak.
Dari pendapat di atas nampaknya melalui sikap dan perilaku orangtua
terkandung maksud pengajaran yang dapat di pelajari anak. Selain itu dalam
setiap sikap dan perilaku orangtua juga nampak adanya kebersamaan dan
10
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu D. N.B. di Bone, tgl 04 Agustus 2014, pukul 13.00
Wita
73
komitmen yang besar dari orangtua sebagai suami isteri dalam melakukan
pengajaran kepada anak.
Dalam bagian wawancara yang lain di temukan metode pemberian contoh
melalui perilaku juga di gunakan orangtua untuk mengajari nilai-nilai moral
kepada anak. Fakta ini di ungkapkan dalam pendapat tiga informan.S. K.11
seorang
wiraswasta (pedagang) dengan latar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat
pertama mengungkapkan:
“Sebagai orangtua, kami sadar bahwa kami memiliki tanggungjawab yang besar
dalam mendidik anak-anak.Kami juga sadar bahwa kamilah orang terdekat
anak-anak kami. Didikan dan ajaran pertama yang mereka peroleh adalah dari
kami. Kami berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kami, baik
dalam perilaku, dalam sikap dan tutur kata kami.Karena itu setiap ajaran yang
kami sampaikan melalui kata-kata harus sama dengan tindakan atau perilaku
kami agar anak dapat meniru dengan baik. Sebab kalau tidak maka kami kuatir
anak-anak akan kebingungan, mau mengikuti apa yang kami ajarkan atau
meniru perilaku kami yang tidak sama sama antara ajaran dengan kata-kata dan
perbuatan-perbuatan kami.”
Dari pendapat di atas nampaknya orangtua cukup menyadari peran dan
tanggungjawab mereka bagi anak dalam kaitannya dengan memberi teladan
kepada anak melalui kata dan perilaku oleh sehingga menjadi contoh bagi anak
dalam bersikap dan berperilaku.
Pemberian contoh melalui perilaku juga nampak dalam penggunaan
bahasa daerah setempat.Dalam wawancara yang di lakukan, di temukan kesamaan
pendapat dari dua informan bahwa penggunaan bahasa daerah bertujuan, pertama,
pengajaran yang di sampaikan mudah di pahami anak, kedua;sebagaibentuk
11
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak S.K. di Bone, tgl 26 Juli 2014, pukul 10.00 Wita.
74
identitas diri, ketiga, sebagai bentuk upaya pelestarian budaya.A. S.12
seorang tua
adat di Bone yang bekerja sebagai petani peternak dengan latar belakang
pendidikan tamatan sekolah dasar mengungkapkan:
“Kami menggunakan bahasa timor supaya anak-anak dapat belajar bahasa suku
mereka dan bisa berbicara menggunakan bahasa timor nantinya karena bahasa
timor adalah bahasa ibu, sehingga dimanapun kami bertemu, bahasa timor jadi
pemersatu kami. Walaupun ada bahasa indonesia tapi bahasa ibu harus di
kuasai.”
Tentang penggunaan bahasa daerah sebagai pembentuk identitas diri di
ungkapkan oleh M. M.13
seorang pensiunan pegawai negeri pada salah satu
instansi pemerintah dengan latar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat
atas mengungkapkan:
“Kami terlahir sebagai orang Timor. Begitu pun juga anak-anak kami. Karena
itu dalam mengasuh anak-anak, kami menggunakan bahasa Timor sebagai salah
satu cara untuk melestarikan budaya kami, khususnya penguasan bahasa. Hal ini
kami lakukan oleh karena waktu-waktu sekarang ini, banyak anak-anak dari
suku Timor yang tidak menguasai bahasa suku sendiri. Kami tidak mau anak-
anak kami seperti itu.”
Dari pendapat di atas rupanya penguasaan bahasa merupakan sebuah
kebanggaan tersendiri oleh karena merupakan identitas suku. Pengasuhan yang
dilakukan dengan menggunakan bahasa suku menjadi kebiasaan para orangtua
dalam mengajarkan nilai-nilai budaya. Oleh karena kebiasaan berbicara
menggunakan bahasa suku maka anak juga di tuntun dengan sendirinya untuk
dapat belajar bahasa suku dan berbicara dengan bahasa suku. Kondisi ini sejalan
dengan pemikiran Groome sebagai bagian proses sosialisasi. Dalam hal ini anak
12
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak A. S. di Bone, tgl 02 Agustus 2014, pukul 10.00
Wita. 13
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah bapak M. M. di Bone, tgl 02 Agustus 2014, pukul 16.00
Wita
75
mendapatkan pengajaran tentang bahasa oleh karena kebiasaan berbicara
menggunakan bahasa suku oleh orangtua sehingga kemudian menjadi pengajaran
yang berlaku sewajarnya bagi anak.
Dengan demikian, berdasarkan seluruh pendapat yang di uraikan di atas,
total informan yang berpendapat tentang nilai-nilai moral yang di ajarkan kepada
anak bersumber dari budaya berjumlah 19 (Sembilan belas) informan dan
pendapat yang berkaitan dengan bentuk-bentuk metode yang di gunakan dalam
menanamkan nilai-nilai moral yang bersumber dari agama sejumlah 13 (tiga
belas) informan. Seluruh pendapat tersebut nampaknya nampaknya sejalan
dengan model pengasuhan modeling yang di maksudkan Lickona, yakni
pengasuhan pemodelan penalaran moral dan pemodelan komitmen. Hal mana
dalam model pengasuhan modelling, orangtua berperan menjadi model bagi anak
melalui perilaku orangtua yang di ikuti dengan penjelasan atas perilaku di
maksud.
2. Model pengasuhan yang terinspirasi oleh nilai-nilai moral dalam agama Kristen.
Model pengasuhan kedua yang di temukan dalam penelitian adalah
pengasuhan yang di landasi nilai-nilai moral dalamagama. Nilai-nilai di maksud
di antaranya, berdoa, saling mengasihi, saling mengampuni, memperkenalkan
Tuhan kepada anak-anak dan kesetiaan kepada ajaran-ajaran agama.
76
Dalam penelitian yang di lakukan, di temukan tiga informan memiliki
kesamaan pendapat berkaitan dengan nilai-nilai moral di maksud.H. A14
seorang
pedagang dengan latar belakang sekolah lanjutan tingkat atas mengungkapkan:
“Waktu mengasuh anak, kami ajarkan kepada anak-anak untuk saling
mengasihi, saling mengampuni, berbuat jujur, tetap pegang firman Tuhan dan
beriman kepada Yesus kristus. Jadi, kalau ada yang buat salah, maka kita harus
ampuni. Tidak boleh saling benci. Dalam keadaan apa pun kita harus tetap setia
pada iman kita karena Tuhan Allah yang selalu memberi pertolongan. Apalagi
berkat Tuhan selalu melimpah dalam hidup.”
Selain pendapat di atas, di temukan dua informan memiliki kesamaan
pendapat tentang nilai-nilai moral dalam agama yakni makna doa yang di ajarkan
orangtua kepada anak di sertai dengan mengajari cara berdoa. Y. N.15
Seorang ibu
rumah tangga yang berlatar belakang pendidikan tamatan sekolah dasar
mengungkapkan:
“Anak-anak belum tahu berdoa. Karena itu kami ajarkan mereka untuk berdoa
seperti doa makan dan doa waktu hendak tidur. Dalam keluarga kami, setiap
malam sebelum tidur, kami melakukan ibadah singkat bersama. Biasanya
orangtua yang membaca renungan dan berdoa. Kalau anak-anak sudah bisa
berdoa, kami membagi giliran untuk berdoa juga kepada anak-anak sehingga
mereka juga terlibat dalam ibadah dengan baik. Tidak hanya itu saja, pada hari
minggu, selain kami siap mengikuti ibadah minggu, kami juga menyiapkan
mereka untuk mengikuti sekolah minggu. Selain itu kami juga selalu memberikan
penjelasan kepada anak-anak mengapa harus berdoa dan membaca alkitab agar
mereka mengerti”
Berdasarkan dua pemahaman di atas, nampaknya dalam rangka mengajari
anak nilai-nilai religious, berlangsung sosialisasi nilai-nilai kepada anak melalui
pemberian contoh yang di sertai penalaran makna nilai-nilai tersebut sehingga
14
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak H. A. di Bone, tgl 25 Juli 2014, pukul 10.00
Wita. 15
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu Y. N. di Bone, tgl 30 Juli 2014, pukul 13.00 Wita.
77
anak memiliki pemahaman yang cukup tentang nilai-nilai di maksud.Nilai-nilai
tersebut di sosialisasikan dengan menggunakan metode yang di sesuaikan dengan
pertumbuhan fisik anak, yang mana nampak dalam pengajaran sikap berdoa.
Dalam bagian wawancara yang lain, di temukan bahwa nilai-nilai yang di
tanamkan tidak hanya sekedar di ajarkan melainkan orangtua memiliki maksud di
balik pengajaran nilai-nilai moral di maksud yakni bagian dari tanggung jawab
sebagai orangtua dalam membimbing anak sehingga anak dapat memiliki nilai-
nilai di maksud. Hal ini tergambar dari pendapat tiga informan yang
diwawancarai. S. M.16
seorang guru agama pada salah satu institusi pendidikan di
Bone dengan latar belakang pendidikan sarjana strata satu mengatakan:
“Kami ajarkan nilai-nilai religious kepada anak-anak oleh karena kami sadar
bahwa Tuhan Allah yang telah menciptakan dan memelihara kami, termasuk
anak-anak kami sehingga anak-anak harus tahu hal ini agar mereka bisa
menjadi orang Kristen yang benar. Selain itu anak-anak belum mengerti dan
mengenal siapa itu Tuhan, karena itu sebagai orangtua, kami berkewajiban
untuk perkenalkan Tuhan kepada mereka supaya mereka dapat mengenal Tuhan
dan belajar untuk bersyukur kepada Tuhan. Kami adalah orang terdekat anak-
anak sehingga dari kamilah mereka bisa belajar tentang siapa itu Tuhan
Dari pendapat di atas, nampaknya orangtua menyadari bahwa memperkenalkan
Tuhan dan membimbing anak bertumbuh dalam iman merupakan bagian dari
tugas dan tanggung jawab sebagai orangtua.
Dari dua pendapat informan di atas, nampaknya sejalan dengan model
pengasuhan modeling yang di maksudkan Lickona, dalam hal ini pemodelan
iman. Yang mana di tandai dengan sejumlah nilai moral dalam agama yang di
16
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu S. M. di Bone, tgl 25 Juli 2014, pukul 15.00 Wita.
78
ajarkan orangtua kepada anak dan alasan yang di miliki para orangtua dalam
menanamkan nilai-nilai di maksud.
Kuatnya pengasuhan yang di landasi ajaran-ajaran agama tidak hanya
nampak dalam beberapa nilai moral tersebut di atas namun juga di sampaikan
melalui beberapa metode yakni metode pengajaran langsung berupa tindakan-
tindakan nyata sehingga menjadi contoh bagi anak dan pengajaran tidak langsung
melalui sikap dan perilaku orangtua. Tindakan-tindakan dimaksud kemudian
menjadi kebiasaan yang dilakukan dalam keluarga. Berkaitan dengan metode
pengajaran langsung, dalam wawancara yang di lakukan, di temukan pendapat
yang sama dari 3 (tiga) informan tentang metode tersebut. A.N.17
seorang ibu
rumah tangga yang aktif dalam pelayanan gerejawi dengan latar belakang
pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama mengungkapkan:
“Kami ajar anak untuk tahu berdoa karena doa adalah nafas hidup orang
kristen. Kami ajar mereka untuk selalu berdoa waktu mau mulai buat sesuatu
dan juga waktu sudah selesai karena dengan berdoa, kita selalu bersyukur pada
Tuhan dalam hidup. Atau setiap bangun pagi, kami selalu doa, baca firman dan
renungan singkat. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hidup
kita selama satu hari yang penuh rahasia.”
Dari pendapat informan di atas dipahami bahwa orangtua bertindak selaku
pemberi contoh dengan tindakan-tindakan pengajaran misalnya berdoa. Dengan
memberi contoh, anak mendapat pengajaran konkrit sehingga makna dari
tindakan yang di contohkan lebih mudah di mengerti oleh anak. Tindakan
pemberian contoh kepada anak sejalan dengan ciri model pengasuhan modelling
yang di ajukan Thomas Lickona. Yang mana orangtua menjadi model bagi anak
17
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak A.N. 22 Juli 2014, pukul 17.00 Wita
79
melalui tindakan-tindakan rohani sehingga menjadi contoh tindakan rohani bagi
anak manakala anak mengamati dan kemudian menjadi kebiasaannya Disinilah
proses pembangunan karakter anak berlangsung dalam model pengasuhan ini.
Dalam bagian wawancara yang lain di temukan bahwa didikan
orangtuatidak hanya di lakukan dalam metode pemberian contoh dan
penalarannamun juga berlangsunglewat metode pemberian contoh melalui
perilaku orangtua, yang mana nampak dalam pengajaran melalui penuturan atau
bercerita oleh orangtua tentang pengalaman-pengalaman iman yang di alami
orangtua dengan tujuan, pertama, suasana yang terbangun antara orangtua dan
anak ketika bercerita sehingga lebih mengeratkan relasi antara orangtua dan anak.
Kedua, pesan yang melalui di sampaikan kepada anak melalui cerita lebih mudah
di pahami anak sebagaimana yang di sampaikan dua informan berkaitan dengan
alasan-alasan tersebut di atas. O. B.18
Seorang petani dengan latar belakang
pendidikan sekolah dasar mengungkapkan:
“Kami menggunakan metode bercerita oleh karena suasana yang terbangun
dalam metode ini sangat santai sehingga tidak tidak ada jarak hubungan antara
kami dengan anak-anak. Waktu berdoa malam atau pada waktu lagi santai, kami
selalu cerita pengalaman-pengalaman iman kepada anak-anak seperticerita
tentang Tuhan jawab doa pada waktu sakit sehingga sembuh, atau pengalaman
Tuhan buka jalan waktu mau dapat pekerjaan,atau waktu Tuhan tolong
hindarkan dari celaka sehingga tidak alami kecelakaan. Kadangkala kami
menceritakan pengalaman-pengalaman yang lucu yang pernah kami alami
sehingga kami tertawa bersama.Selain itu dalam bercerita, anak-anak bisa
menangkap pesan dari cerita yang kami sampaikan dengan lebih baik sehingga
kami harapkan mereka dapat menerapkan dalam tindakan-tindakan mereka
sehari-hari.”
18
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak O. B. di Bone, tgl 04 Agustus 2014, pukul 10.00
Wita
80
Dari pendapat di atas, nampaknya melalui cerita yang di sampaikan
terkandung tujuan yakni pikiran dan perasaan anak di bawa masuk kedalam cerita
yang di tuturkan sehingga pesan yang hendak di sampaikan dapat dipahami anak.
Metode ini semacam menguatkan akan ajaran-ajaran tentang nilai-nilai agama
yang disampaikan kepada anak-anak.
Dari pemahaman di atas, nampaknya sejalan dengan metode berbagi
praksis yang di maksudkan Groome. Yang mana dalam metode ini di tandai
dengan berbagi praksis atau cerita yang bertujuan adanya perubahan pemahaman
para individu yang berbagai praksis tentang penyertaan Tuhan yang telah
berlangsung, dalam hal ini dalam tokoh-tokoh dalam cerita sehingga individu
dapat menarik kesimpulan bagi hidupnya di masa kini yang bertujuan pada masa
depannya.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, total jumlah informan yang memiliki
pendapat berkaitan dengan nilai-nilai moral dalam agama yang di ajarkan
orangtua kepada anak dan metode-metode yang di gunakan orangtua untuk
menanamkan nilai-nilai tersebut berjumlah 13 (Tiga belas) informan yang
nampaknya sejalan dengan model pengasuhan modelling oleh Lickona, yang
mana di tandai dengan peranan orangtua dalam mengajarkan nilai-nilai moral
kepada anak melalui sikap dan perilaku orangtua yang nampak dalam tindakan
pemberian contoh atau pun peniruan perilaku orangtua oleh anak.
81
3. Model pengasuhan pembiaran.
Model pengasuhan selanjutnya yang ditemukan dalam penelitian adalah
pengasuhan orangtua yang dilakukan dengan sikap pembiaran.Dalam penelitian di
temukan dua dari empat informan yang memiliki kesamaan pemahaman tentang
sikap pembiaran orangtua terhadap berbagai perilaku anak.N. N.19
seorang
pensiunan instansi BUMN dengan latar belakang pendidikan sekolah lanjutan
tingkat pertama mengatakan:
“Anak-anak masih kecil jadi mereka belum mengerti. Kalau mereka minta apa
saja kami berikan. Karena kalau tidak nanti mereka menangis. Saya tidak tega
melihat anak menangis.”
Selain alasan di atas, dalam wawancara yang lain di temukan bahwa dua
informan yang memiliki kesamaan pendapat tentang sikap pembiaran orangtua di
dasarkan pada pengalaman pasangan suami isteri yang sulit memperoleh anak.
Hal ini berdampak pada perasaan sayang yang berlebihan dari orangtua kepada
anak sehingga terjadi sikap pembiaran pada anak. N. S.20
seorang ibu rumah
tangga dengan latar belakang pendidikan sekolah menengah lanjutan pertama
berpendapat:
“Kami sangat sulit memiliki anak.Karena itu pada waktu Tuhan memberikan
kami anak, kami sangat sayang anak kami oleh karena mereka adalah penerus
keluarga kami.sehingga kami tidak mau mereka tertekan dalam melakukan
berbagai didikan dari kami.Biarlah dengan nanti ia belajar tentang hal-hal itu di
pada waktu ia bersekolah.”
19
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak N. N. Di Bone, tgl 26 Juli 2014, pukul 18.00
Wita. 20
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu N. S. di Bone, tgl 28 Juli 2014, pukul 13.00 Wita.
82
Pada bagian wawancara yang lain di temukan tiga pendapat yang sama
berkenaan dengan sikap pembiaran orangtua disebabkan pemahaman orangtua
tentang proses belajar anak yang berlangsung secara alami dalam pertumbuhan
fisik.A.S.21
seorang buruh bangunan dengan latar belakang pendidikan sekolah
dasar mengatakan:
“Anak-anak tidak perlu diajari, nanti juga kalau sudah besar, mereka akan tahu
sendiri mana yang baik dan yang tidak baik. Apalagi kami sangat sibuk bekerja
memenuhi kebutuhan keluarga.Karena itu yang penting mereka bisa makan
minum dengan baik, bisa berpakaian dengan baik dan bisa bersekolah, itu sudah
cukup. Hal hal lainya akan mereka peroleh di sekolah maupun di gereja,
apalagi kita hidup di tengah-tengah adat istiadat jadi dengan sendirinya anak-
anak akan mengerti cara berperilaku yang baik pada waktu bergaul dengan
teman-temannya.”
Sikap pembiaran orangtua jugaditemukan dalam kurangnya dorongan dan
dukungan orangtua kepada anakdalam aktifitas bersekolah.Dua dari tiga informan
memiliki kesamaan pendapat tentang sikap tersebut di atas. P. T.22
seorang
wiraswasta dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar mengungkapkan:
“Kami orangtua ikut saja dengan apa yang di inginkan anak. Kalau ia mau
sekolah, yah silahkan, tapi kalau tidak mau, kami ikut saja karena itu kemauan
anak. Yang penting bukan kami yang tidak bersedia membiayainya.”
Berdasarkan sejumlah sikap pembiaran yang terungkap dalam pendapat
beberapa informan di atas, nampaknya sejalan dengan model pengasuhan permisif
yang di maksudkan oleh Diana Baumrind. Yang mana di tandai dengan sikap
21
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Bapak A. S. Di Bone, tgl 27 Juli 2014, pukul 15.00
Wita. 22
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu P. T. di Bone, tgl 28 Juli 2014, pukul 16.00 Wita.
83
kasih sayang orangtua yang berlebihan kepada anak membuat orangtua
kehilangan otoritas atas anak.
4. Model Pengasuhan gabungan otoritatif dan demokratis.
Model pengasuhan selanjutnya yang ditemukan dalam penelitian adalah
kombinasimodel otoritatif dan demokratis. Model pengasuhan ini berlaku bagi
orangtua yang mengasuh anak dalam usia di atas tujuh tahun. Yang mana dalam
usia ini anak telah mampu berpikir dan berbicara memberikan pendapat.
Pengasuhan otoritatif dan demokratis nampak ketika orangtua melibatkan anak
dalam membuat kesepakatan-kesepakatan dalam keluarga. Anak di beri
kesempatan untuk memberikan pendapat dan bersama orangtua mengambil
keputusan. Dalam wawancara yang penulis lakukan pada tiga informan,
ditemukan bahwa model ini digunakan untuk membuat anak belajar
mengungkapkan berpendapat dan bertanggungjawab atas setiap kesepakatan yang
di buat bersama orangtua. F. L.23
seorang guru pada pada salah satu instansi
pendidikan di sekitar kota niki-niki yang berlatar belakang pendidikan perguruan
tinggi mengungkapkan:
“Kami selalu melibatkan anak-anak pada waktu membuat kesepakatan tentang
berbagai hal dalam rumah, seperti waktu untuk belajar, waktu bangun pagi dan
hal-hal lainnya. Kami beri kesempatan kepada anak-anak untuk mengutarakan
pendapat mereka. dengan cara ini, kami mengajar mereka untuk
bertanggungjawab sehingga kalau mereka melanggar kesepakatan itu maka
mereka harus bertanggungjawab. Dan cara yang kami pakai ini sangat efektif.
Anak-anak menjadi lebih percaya diri.”
Dari pendapat di atas nampaknya keluarga yang melakukan pengasuhan
dengan model otoritatif dan demokratis bersikap terbuka dan menerima pendapat
23
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah F. L., tgl 20 Juli 2014, pukul 14.00 Wita.
84
anak namun tetap memiliki otoritas atas anak. Dengan cara ini anak belajar
menghargai dirinya dan bertanggung jawab atas kesepakatan yang telah di buat.
Hal ini menimbulkan rasa percaya diri pada anak sehingga anak lebih menghargai
dirinya dan orang lain.
Dalam bagian wawancara yang lain ditemukan kesamaan pendapat dari
tiga informan berkaitan dengan sikap orangtua dalam model pengasuhan ini yakni
adanya perimbangan sikap tegas dan lembut yang di berikan orangtua kepada
anak dengan tujuan terjaganyarelasi yang hangat antara orangtua dan anak. D.
I24
seorang ibu rumah tangga yang berkecimpung dalam pelayanan kemasyarakat
dalam desa Bone dengan latar belakang pendidikan pendidikan perguruan tinggi
mengungkapkan:
“Kalau anak buat salah kadangkala kami marah tetapi setelah itu kami kembali
merangkul mereka dengan cara mengajak bercanda sehingga anak tidak merasa
di tinggalkan oleh orangtua karena mereka melakukan kesalahan. Atau kalau
bapak marah maka saya yang menenangkan mereka.”
Masih berkaitan dengan gabungan model pengasuhan otoritatif dan
demokratis, dalam penelitian di lapangan di temukan dua informan yang memiliki
kesamaan pendapat tentang sikap orangtua bersedia mendengarkan anak tetapi
tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada keinginan anak. Hal mana
nampak dalam pemenuhan kebutuhan anak, misalnya ketika berbelanja
24
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu Debora Isu di RT Telle, tgl 20 Juli 2014, pukul
17.00 Wita.
85
perlengkapan sekolah untuk anak. A.N.25
seorang pegawai instansi swasta dengan
latar belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas mengungkapkan:
“Ada hal-hal tertentu yang diminta oleh anak tapi kami tidak bisa penuhi. Seperti
waktu anak minta di belikan hand phone. Bukan karena tidak mampu tapi karena
menurut kami, untuk usia anak-anak belum boleh memiliki hand phone. Kami
berikan penjelasan yang baik dan benar kepada anak sehingga anak juga
mengerti.”
Berdasarkan seluruh pendapat yang di uraikan di atas, di ketahui bahwa
jumlah informan yang memiliki pendapat berkaitan dengan model ini sejumlah 8
(delapan) informan. Seluruh pendapat tersebut nampaknya sejalan dengan model
pengasuhan otoritaif oleh Baumrind dan model pengasuhan demokratis oleh
Berkowitz. Yang mana di tandai dengan adanya sikap saling menghargai antara
orangtua dan anak serta relasi yang hangat antara orangtua dan anak namun
orangtua tetap memiliki otoritas pada anak.
5. Model pengasuhan gabungan disiplin dan otoriter.
Model pengasuhan selanjutnya yang ditemukan dalam penelitian adalah
model otoritarian dan disiplin.Berdasarkan wawancara dan pengamatan langsung
yang di lakukan, di temukan empat informan yang memiliki kesamaan pendapat
tentang sikap pengasuhan orangtua dalam model ini yang di tandai dengan
sejumlah aturan yang harus di laksanakan oleh anak dengan tujuan menjadi
kebiasaan bagi anak. R.B26
seorang petani peternak dengan latar belakang
pendidikan sekolah dasar mengungkapkan:
25
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu A. N. tgl 22 Juli 2014, pukul 09.00 Wita. 26
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu Albertina Nenobais, tgl 22 Juli 2014, pukul 09.00
Wita.
86
“Kami selalu didik anak dengan disiplin keras.Dalam keluarga, ada aturan,
misalnya waktu bangun pagi atau tugas bagi anak dalam rumah.kalau mereka
tidak melakukan maka kami menghukum mereka. Kadangkala kami memarahi
mereka tapi lain waktu kami pukul mereka. Hal ini kami buat supaya anak-anak
terbiasa bertanggung jawab dengan tugas dan aturan dalam rumah sebab kalau
tidak begitu maka nanti orang berpikir kami tidak tahu mendidik anak”
Dari pendapat di atas, rupanya dalam rangka menanamkan sikap tanggungjawab
kepada anak, orangtua melakukan dengan sikap disiplin yang kaku sehingga
berdampak padatindak kekerasan orangtua kepada anak.
Sikap keras orangtua juga di temukan dalam bagian wawancara yang
lainyang nampak dalam tiga pendapat informan yang memiliki kesamaan
berkaitan dengan tujuan orangtua menanamkan sikap penghormatan dan ketaatan
anak kepada orangtua. L.B27
seorang pekerja pada kantor desa Bone dengan latar
belakang pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama mengungkapkan:
“Anak-anak zaman sekarang sangat sulit di atur.Walaupun sudah ada aturan
dalam rumah seperti waktu pulang malam, tapi anak-anak tetap melanggar.
Satu-satunya cara yang kami buat adalah dengan pukul supaya mereka sadar
dan tahu takut dengan orangtua. Kalau tidak demikian maka anak-anak tidak
tahu menghargai orangtua. Kalau tidak, bisa jadi orang menghina kami karena
perbuatan mereka yang bisa membuat kami malu”
Berdasarkan dua pendapat di atas, nampaknya sejalan dengan model
pengasuhan otoritarian dari Baumrind dan model pengasuhan disiplin oleh
Watson. Yang mana di tandai dengan adanya tekanan dari orangtua atas sejumlah
aturan bahkan seringkali di ikuti dengan hukuman dan ancaman sehingga
seringkali berdampak psikologi anak dan juga relasi antara orangtua yang tidak
harmonis.
27
Wawancara langsung yang dilakukan di rumah Ibu Albertina Nenobais, tgl 22 Juli 2014, pukul 09.00
Wita.
87
Berdasarkan seluruh uraian model pengasuhan keluargayang telah di
uraikan di atas, bila di lihat dari nilai-nilai yang di ajarkan dan metode yang di
gunakan orangtua dalam mengajarkan nilai-nilai moral, nampaknya model
pengasuhan yang di landasi nilai-nilai moral dalam budaya, pengasuhan yang di
landasi nilai-nilai moral dalam agama sejalan dengan model pengasuhan
modelling yang di sampaikan Lickona. Yang mana di tandai dengan sejumlah
nilai moral yang sesuai dengan kebajikan-kebajikan pembentuk karakter yang
baik dan metode pemberian contoh melalui perilaku dan pemberian contoh yang
di sertai penalaran orangtua Berbagai metode tersebut menunjukan peranan
orangtua yang sangat besar dalam proses pemodelan bagi anak melalui sikap dan
perilaku orangtua.
Dalam model pengasuhan kedua yakni model pembiaran, sejalan dengan
model pengasuhan permisif yang di maksudkan Baumrind, yang mana di tandai
dengan sikap sayang berlebihan orangtua kepada anak sehingga orangtua
kehilangan wibawa dan otoritas pada anak.
Dalam model pengasuh ketiga yakni kombinasi model pengasuhan
otoritatif dan demokratis, sejalan dengan model pengasuhan otoriratif oleh
Baumrind dan model pengasuhan demokratis oleh Berkowitz.Sementara dalam
model kombinasi model pengasuhan otoriter dan disiplin sejalan dengan model
pengasuhan otoritarian oleh Baumrind dan model pengasuhan oleh Watson.
Demikialah lima model penagsuhan yang di temukan dalam penelitian di
praktikan oleh keluarga-keluarga Kristen di jemaat Sontetus Bone. Dalam bab
88
selanjutnya, beberapa model pengasuhan yang penulis identifikasikan tersebut
akan di analisis secara mendalam.