model evaluasi penjaminan mutu …lpmpjogja.org/wp-content/uploads/2018/02/jp-april... · the...

100
1 MODEL EVALUASI PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) Sugiyanta LPMP D.I.Yogyakarta E-mail: [email protected] Abstrak: Tujuan penelitian ini untukmenghasilkan model evaluasi penjaminan mutu yang tepat untuk mengevaluasi program penjaminan mutu pendidikan SMP. Pene- litian ini adalah penelitian pengembangan dengan mengacu langkah yang dikem- bangkan oleh Borg & Gall.Hasil penelitian menunjukkan bahwa model evaluasi penjaminan mutu pendidikan di SMP terdiri dari implmentasi sistem penjaminan mutu dan kinerja penjaminan mutu pendidikan. Konstruk instrumen implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, monitor- ing dan evaluasi, dan tindakan perbaikan dengan Barletss Test of Sphercity adalah 2,250 pada signifikansi 0,000. Konstruk kinerja penjaminan mutu pendidikan ter- diri dari pengembangan sumber daya, pengembangan program dan aktivitas, parti- sipasi warga sekolah, kepuasan warga sekolah, perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan, perubahan prilaku warga sekolah, pengembangan sosial, ekonomi, dan lingkungan sekolah, dengan nilai Barletss Test of Sphercity adalah 2,485 pada signifikansi 0,000. Kelayakan model evaluasi termasuk kategori baik, berdasarkan validasi pakar, pengguna, dan praktisi serta bukti-bukti yang digunakan pada uji coba di lapangan. Kata kunci:model, evaluasi penjaminan mutu, pendidikan SMP Abstract: The purpose of this research is to produce a quality assurance evalua- tion model appropriate to evaluate the quality assurance program in junior high school. This is a research development refers to model developed by Borg & Gall. The results showed that the evaluation of quality assurance model in JHS consists of quality assurance systems implementation and quality assurance performance. Constructs instrument education quality assurance system implementation consists of planning, implementation, monitoring and evaluation, and improvement actions with Barletss Test of Sphercity were 2.250 at 0.000 significance. Constructs perfor- mance quality assurance consists of resource development, programs and activities development, the school community participation, school community satisfaction, changes in knowledge, attitudes and skills, school community behavior change, so- cial development, economy, and school environment, the value of Barletss Test of Sphercity was 2.485 at 0.000 significance. Feasibility evaluation model including both categories, based on the validation experts, users, and practitioners as well as the evidence used in trials in the JHS. Keywords: model, quality assurance evaluation, Junior High School (JHS) Pendahuluan Sesuai dengan Peraturan Pemerin- tah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,setiap penyelenggara pendidikan maupun satuan pendidikan di- wajibkanuntuk melaksanakan penjaminan mutu.Penjaminan mutu pendidikan meru- pakan serangkaian proses penetapan dan pemenuhan standar yang dirancang, dilak- sanakan secara konsisten berkelanjutan guna

Upload: dangdan

Post on 26-Aug-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

MODEL EVALUASI PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)

SugiyantaLPMP D.I.Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstrak: Tujuan penelitian ini untukmenghasilkan model evaluasi penjaminan mutu yang tepat untuk mengevaluasi program penjaminan mutu pendidikan SMP. Pene-litian ini adalah penelitian pengembangan dengan mengacu langkah yang dikem-bangkan oleh Borg & Gall.Hasil penelitian menunjukkan bahwa model evaluasi penjaminan mutu pendidikan di SMP terdiri dari implmentasi sistem penjaminan mutu dan kinerja penjaminan mutu pendidikan. Konstruk instrumen implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, monitor-ing dan evaluasi, dan tindakan perbaikan dengan Barletss Test of Sphercity adalah 2,250 pada signifikansi 0,000. Konstruk kinerja penjaminan mutu pendidikan ter-diri dari pengembangan sumber daya, pengembangan program dan aktivitas, parti-sipasi warga sekolah, kepuasan warga sekolah, perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan, perubahan prilaku warga sekolah, pengembangan sosial, ekonomi, dan lingkungan sekolah, dengan nilai Barletss Test of Sphercity adalah 2,485 pada signifikansi 0,000. Kelayakan model evaluasi termasuk kategori baik, berdasarkan validasi pakar, pengguna, dan praktisi serta bukti-bukti yang digunakan pada uji coba di lapangan.

Kata kunci:model, evaluasi penjaminan mutu, pendidikan SMP

Abstract: The purpose of this research is to produce a quality assurance evalua-tion model appropriate to evaluate the quality assurance program in junior high school. This is a research development refers to model developed by Borg & Gall. The results showed that the evaluation of quality assurance model in JHS consists of quality assurance systems implementation and quality assurance performance. Constructs instrument education quality assurance system implementation consists of planning, implementation, monitoring and evaluation, and improvement actions with Barletss Test of Sphercity were 2.250 at 0.000 significance. Constructs perfor-mance quality assurance consists of resource development, programs and activities development, the school community participation, school community satisfaction, changes in knowledge, attitudes and skills, school community behavior change, so-cial development, economy, and school environment, the value of Barletss Test of Sphercity was 2.485 at 0.000 significance. Feasibility evaluation model including both categories, based on the validation experts, users, and practitioners as well as the evidence used in trials in the JHS.

Keywords: model, quality assurance evaluation, Junior High School (JHS)

Pendahuluan

Sesuai dengan Peraturan Pemerin-tah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,setiap penyelenggara pendidikan maupun satuan pendidikan di-

wajibkanuntuk melaksanakan penjaminan mutu.Penjaminan mutu pendidikan meru-pakan serangkaian proses penetapan dan pemenuhan standar yang dirancang, dilak-sanakan secara konsisten berkelanjutan guna

2

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

memperoleh kepercayaan. Pelaksanaan penjaminan mutu tersebut dimaksudkan agar sekolah memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan (SNP) seb-agaimana yang telah ditetapkan.

Peningkatan mutu pendidikan yang berkelanjutan dapat terwujud apabila, pelak-sanaan program penjaminan mutu pendi-dikan di satuan pendidikan berjalan secara efektif.Untuk itu diperlukan evaluasi terha-dap implementasi sistem penjaminan mutu secara periodik.Evaluasi terhadap pelak-sanaan penjaminan mutu diperlukan untuk pengambilan keputusan dan penyusunan program perbaikan selanjutnya.Penguku-ran dan evaluasi dalam penjaminan mutu di satuan pendidikan dilakukan untuk mem-peroleh informasi tentang usaha pemenuhan mutu dan menjawab pertanyaan tentang kin-erja sekolah dalam menunjukkan komitmen mutu melalui mekanisme yang jelas, teren-cana, dan terukur Loder(1990:5).

Berdasarkan studi pendahuluan pada tahun 2014 di sekolah menengah pertama di Provinsi DIY, diperoleh informasi bahwa sekolah belum melakukan evaluasi diri ter-kait dengan implementasi sistem penjami-nan mutu.Evaluasi diri sekolah(EDS) yang selama ini dilakukan hanya memberikan in-formasi tentang capaian mutu, namun belum memberikan informasi tentang bagaimana proses pemenuhan mutu itu sendiri. Akibat-nya tindakan perbaikan yang dilakukan be-lum efektif.Selain itu belum terdapat jenis evaluasi yang mampu memberikan infor-masi tentang kinerja penjaminan mutu yang lebih komprehensif sesuai dengan karakeris-

tik program penjaminan mutu.Berdasarkan latar belakang di atas,

maka diperlukan suatu model pengukuran dan evaluasi terhadap usaha pemenuhan mutu melalui implementasi sistem penjami-nan mutu dan pengukuran kinerja satuan pendidikan dalam mencapai acuan mutu.Pemenuhan mutu dilakukan melalui im-plementasi sistem penjaminan mutu yang menurut Edmon(1979:15-27) terdiri dari strategi perencanaan dan pelaksanaan yang konsisten dan efektif.Selain dua komponen tersebut, komponen yang lain yaitu monitor-ing dan evaluasi, dan tindakan perbaikan. Aspek kinerja penjaminan mutu sebagaima-na dikemukakan oleh Loder(1990:189-200)dapat dikembangkan berdasarkan kebutuhan internal dan eksternal, misalnya dari aspek input kurikulum, guru, kejelasan program sekolah dalam pemenuhan mutu, sumber daya yang dimiliki, partisipasi warga sekolah dalam peningkatan mutu, serta pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar. Hal ini penting karena mutu tidak bersifat statis, tetapi san-gat dinamis sesuai dengan perkembangan kebutuhan lingkungan dan masyarakat.

Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendi-dikan (EPMP)

Model EPMP ini merupakan kom-binasi antara model discrepancy Provus dan model hierarchysebagaimana dikem-bangkan oleh Bennet (2006)dengan pengu-rangan dan perluasan pada beberapa aspek evaluasi. Model evaluasi yang dikembang-kan difokuskan pada dua hal, yaitu tingkat evaluasi dan lingkup evaluasi.Tingkat eval-

3

uasi untuk memberikan informasi tentang tingkat keterjaminan atau tingkat kepastian pencapaian mutu sebagaimana ditetapkan dan dijanjikan oleh sekolah.Lingkup eval-uasi meliputi implementasi sistem penjam-inan mutu dan kinerja penjaminan mutu.Hal ini sesuai hasil penelitian Widoyoko (2008:41-54) bahwa evaluasi pendidikan dengan pendekatan proses akan lebih kom-prehensifsehingga mampu menghasilkan informasi yang lebih lengkap. Fokus eval-uasi kinerja penjaminan mutu didasarkan pada tujuh kinerja penjaminan mutu, yaitu (1)pengembangan sumberdaya (resources); (2)pengembangan program dan pelaksa-

naan (develop program and activities); (3)partisipasi warga sekolah (target audience particypation); (4)kepuasan pelanggan (client satisfaction/reaction); (5)peruba-han pengetahuan, sikap, dan keterampilan; (6)perubahan prilaku warga sekolah; dan (7)pengembangan sosial, ekonomi, dan lingkungan sekolah.

Evaluasi implementasi sistem pen-jaminan mutu dilihat dari empattahapan utama dalam penjaminan mutu dapat dicer-mati pada Gambar 1. Tahapan ini terdiri dari(1)perencanaan program penjaminan mutu yang terdiri dari kesiapan sumber daya manusia, rencana program, kejela-

Gambar 1. Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan

Sugiyanta - Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan

4

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

san standar mutu, dan prosedur pelaksa-naan; (2)pelaksanaan program yang terdiri dari realisasi kegiatan penjaminan mutu, ketaatan terhadap prosedur mutu dan kes-esuaian antara tindakan dengan prosedur; (3)monitoring dan evaluasi yang terdiri dari kepemilikan program monitoring dan evaluasi, pelaksanaan dan pelaporan;(4)tindakan perbaikan yang terdiri dari pe-nyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan dan hasil tindakan.

Selanjutnya untuk mendapatkan informasi tentang kedua hal diatas, maka penelitian ini menggunakan jenis evalu-asi diri. Alasan rasional dalam pengem-bangan model evaluasi penjaminan mutu dalam penelitian ini sebagai berikut. Per-tama, karena fokus evaluasi ini yaitu pros-es pemenuhan mutu, maka hasil evaluasi dapat memberikan gambaran profil dan ke-sungguhan usaha sekolah dalam memenuhi janji mutunya. Kedua, evaluasi penjami-nan mutu pendidikan berbasis evaluasi diri akan mampu memberikan yang lebih rinci dan detil tentang usaha-usaha seko-lah dalam memenuhi mutu yang dapat di-jadikan bahan untuk melakukan perbaikan internal. Ketiga, model evaluasi yang akan digunakan didasarkan pada indikator-indi-kator mutu yang dikembangkan berdasar-kan komponen-komponen penjaminan mutu pendidikan di sekolah, yang kemu-dian diuraikan ke dalam butir- butir pertan-yaan maupun pernyataan untuk mengukur kinerja sekolah dalam melaksanakan pen-jaminan mutu pendidikan. Alasan keempat, yaitu bahwa model evaluasi penjaminan

mutu pendidikan yang dikembangkan ses-uai dengan siklus penjaminan mutu pendi-dikan.

Sesuai dengan lingkup masalah penelitian, maka dapat dikemukakan ma-salah sebagai berikut: (1) Bagaimana model evaluasi penjaminan mutu internal yang te-pat untuk mengevaluasi implementasi dan kinerja penjaminan mutu di sekolah menen-gah pertama?; (2) Model konstruk indika-tor seperti apa yang dapat digunakan untuk mengukur implementasi sistem penjaminan mutu internal disekolah menengah perta-ma?; (3) Model konstruk indikator seperti apa yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja penjaminan mutu internal disekolah menengah pertama?; (4) Bagaimana kelay-akan model evaluasi penjaminan mutu inter-nal pada sekolah menengah pertama?

Tujuan pengembangan produk be-rupa model evaluasi ini yaitu (1) meng-hasilkan model evaluasi penjaminan mutu intrenal yang tepat untuk mengevaluasi pro-gram penjaminan mutu pendidikan sekolah menengah pertama; (2) menghasilkan mo-del konstruk indikator yang dapat diguna-kan untuk mengukur implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan di sekolah menengah pertama; (3) menghasilkan mo-del konstruk indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja penjaminan mutu pendidikan di sekolah menengah pertama; (4) mendapatkan informasi tentang tingkat keterjaminan mutu pendidikan di sekolah menengah pertama.

Manfaat dari hasil pengembangan produk ini yaitu (1) mengembangkan model

5

evaluasi yang dapat digunakan untuk men-gevaluasi program penjaminan mutu pendi-dikan pada satuan pendidikan; (2) memberi-kan alternatif model evaluasi yang mampu menghasilkan informasi keterjaminan mutu dari satuan pendidikan; (3) dapat digunakan oleh satuan pendidikan maupun masyarakat luas untuk mengevaluasi diri tingkat keter-jaminan mutu pendidikan.

Kriteria Tingkat Penjaminan Mutu Pen-didikan

Kriteria evaluasi yang dikembang-kan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan mutual-adaptiveyang merupak-an pendekatan gabungan antara pendekatan pre-ordinary dan fidelity. Kriteria evaluasi disusun sebelum pelaksanaan dilapangan. Kriteria tersebut dikembangkan berdasarkan teori tertentu dan pandangan pengembang program serta karakteritik program dilapan-gan. Oleh karena itu, pengembangan kriteria dalam model evaluasi tersebut termasuk jen-iscriterion-referenced evaluation, yaitu hasil evaluasididasarkan pada the tasks themsel-ves, dan bukan pada performance of typi-cal people. Untuk keperluan tersebut maka dalam pengembangan model ini, kriteria kinerja penjaminan mutu didasarkan pada tujuan dan tugas satuan pendidikan dalam pemenuhan mutu sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh satuan pendidikan tersebut sebagaimana dikemukakan dalam model evaluasi kinerja pada diagram Gambar 1.

Tingkat penjaminan mutu satuan pendidikan pada model evaluasi kinerja penjaminan mutu satuan pendidikan dalam

model ini memiliki 4 tingkatan kinerja yang dikembangkan berdasarkan teori dan karakteristik program penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan. Berikut ini kriteria kinerja penjaminan mutu:

Tingkat 4 = Sangat terjamin mutunya

Tingkat 3 = Terjamin mutunya

Tingkat 2 = Kurang terjamin mutunya

Tingkat 1 = Sangat tidak terjamin

Tingkat 4 merupakan tingkatan tertinggi dalam penjaminan mutu, artinya sekolah tersebut memiliki ukuran mutu yang sangat jelas dan terukur,melakukan usaha pemenuhan mutu dengan sangat sungguh-sungguh dengan prosedur yang sangat jelas dan sangat dipatuhi sehinga mutu sangat ter-kontrol dan berkembang secara berkelanju-tan. Dengan demikian mutu pendidikan san-gat terpenuhi/dijamin terpenuhi.

Tingkat 3, merupakan tingkatan kin-erja sekolah dimana sekolah memiliki uku-ran mutu yang jelas, sekolah berusaha secara sungguh-sungguh dalam memenuhi janji mutunya dengan prosedur yang jelas dan sebagian besar sudah dilaksanakan prose-dur tersebut, namun belum ada pengontrolan yang ketat. Meski demikian secara umum sekolah dapat memenuhi/menjamin seba-gian besar standar mutu yang ditetapkan.

Penjaminan mutu tingkat 2yaitu suatu kondisi dimana sekolah belum memi-liki ukuran mutu/standar yang jelas, terdapat prosedur namun belum ditetapkan secara formal, hanya sebagai kebiasaan saja, me-

Sugiyanta - Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan

6

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

kanisme pengontrolan mutu kurang diperha-tikan, sehingga mutu kurang terjamin.

Penjaminan mutu tingkat 1, apabila sekolah tidak memiliki standar yang jelas, ti-dak memiliki prosedur untuk mencapai stan-dar, tidak ada pengontrolan mutu secara in-ternal, sehingga mutu sangat tidak terjamin.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan pene-litian pengembangan dengan mengadaptasi langkah-langkah sebagaimana dikemuka-kan oleh Borg dan Gall (2003). Penelitian dilakukan di Yogyakarta pada bulan Mei 2012 sampai dengan Oktober 2014.Jumlah subjek uji coba pertama, kedua, dan uji coba operasional semakin meningkatjumlahnya.Metode pengumpulan data dilakukan den-gan metode cheklist dokumen dan angket. Pengembangan instrumen dilakukan dengan langkah-langkah: 1)menentukan konstruk, yaitu membuat batasan mengenai variabel yang akan diukur yang didasarkan atas ka-jian teori yang mendalam; 2) menetapkan faktor-faktor yang menentukan unsur-unsur pada konstruk; dan 3) menyusun butir-butir yang menjabarkan masing-masing faktor dalam bentuk pernyataan.

Validitas instrumen didasarkan pada konten dan konstruk. Validitas isi dilaku-kan penilaian pakar(expert judgment) me-lalui Forum Group Discusion(FGD) dengan meminta pertimbangan kepada orang yang dianggap lebih mengetahui substansi penel-itian yaitu penjaminan. Validitas konstruk in-strumen dianalisis dengan menggunakan Ex-

ploratory Factor Analysis(EFA).Reliabilitas instrumen dihitung menggunakan teknik Al-pha Cronbach dengan ketentuan mengadap-tasi Kaplan& Saccuso (1982:106),apabila koefisien alpha lebih besar dari 0,7 maka in-strumen tersebut dianggap reliabel.

Teknik analisi data menggunakan analisis kuantitatif, dilakukan untuk menga-nalisis kecocokan model pengukuran. Anali-sis kualitatif ditujukan untuk menganalisis model evaluasi dan panduan evaluasi yang dikembangkan. Analisis data kuantitatif hasil penilaian responden terhadap model, instru-men, dan panduan evaluasi dikonversi men-jadi kriteria kualitatif untuk menentukan ke-layakan model pengembanganmenggunakan aturan yang dikembangkan oleh Sudijono (2003) sebagaimanan dapat dijelaskan pada Tabel 1.

Pengujian model dilakukan dengan menggunakan beberapa indikator. Perta-mayaitu KMO, jika KMO lebih besar dari 0,5 data dapat dianalisis lebih lanjut(Ghozali, 2009: 394). Kedua, besarnya muatan faktor yang menunjukkan besarnya bobot butir ter-hadap faktornya. Kriteria yang digunakan sebagaimana dikemukakan oleh Tabachnick & Fidel (1983) bahwa muatan faktor yang lebih besar dari 0,71 sangat baik; 0,63 baik sekali; 0,55 baik; 0,45 cukup; 0,32 kurang baik. Kriteria yang digunakan apabila mua-tan faktor suatu butir lebih dari 0,55 maka butir tersebut dapat digunakan. Ketiga, dili-hat berdasarkan nilai eigen value yang me-miliki nilai lebih besar dari 1(satu) yang merupakan representasi secara keseluruhan

7

terkait kecocokan antara semua faktor yang diambil sebagai indikator. Apabila persen-tase kumulatif lebih besar dari 50 %, maka dapat dikatakan bahwa pengambilan faktor tersebut tepat.

Metode pengumpulan data dilaku-kan dengan metode cheklist dokumen dan angket. Subjek uji coba pertama terdiri dari 41 responden dari tim penjaminan mutu, guru, karyawan, komite sekolah, orang tua/wali murid, dan siswa yang berasal dari tiga sekolah. Uji coba kedua melibatkan 120 responden dari dari lima sekolah. Uji coba operasional/implementasi melibatkan 258 responden yang berasal dari 10 sekolah.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil Uji Coba Produk

Pada tahap awal dilakukan Forum Group Discussion (FGD) untuk mendapat-kan masukan baik isi maupun prosedur eval-uasi dari desain awal model evaluasi yang berupa konstruk evaluasi penjaminan mutu, bentuk instrumen, sumber data dan cara pen-

gambilan data, dan prosedur evaluasi. Hasil penilaian terhadap indikator diperoleh 12 in-dikator dengan kategori sangat penting dan 4 kategori penting untuk aspek implementasi item penjaminan mutu pendidikan. Sedan-gkan untuk aspek kinerja penjaminan mutu dan terdapat 13 indikator memiliki kategori sangat penting dan 6 indikator penting.Draf model ini selanjutnya diuji coba secara ber-tahap.

Uji coba pertama dilakukan untuk mendapatkan masukan dari praktisi dan pengguna instrumen evaluasi penjaminan mutu di sekolah mengenai kelayakan model evaluasi. Instrumen evaluasi penjaminan mutu pendidikan yang diujicobakan yaitu instrumen hasil revisi dari draf awal hasil kajian awal dan hasil FGD yang telah di-validasi oleh expert. Uji coba tahap pertama ini dilakukan di 3 sekolah yaitu, SMP Neg-eri 1 Banguntapan, SMP Negeri 3 Tempel, SMP Negeri 1 Berbah, dengan responden Tim Pengembang Sekolah(TPS) atau Tim Penjaminan Mutu Sekolah yang terdiri dari

Sugiyanta - Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan

8

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

kepala sekolah, guru, dan karyawan, serta komite sekolah, siswa dan orang tua siswa.

Secara kuantitatif hasil penilaian ke-layakan model dan instrumen, serta panduan evaluasi angket dari uji coba pertama diper-oleh hasil sebagai berikut: 1) Penilaian mod-el evaluasi memperoleh skor rerata 3,6100 dengan kategori baik; 2) penilaian kejelasan instrumen memperoleh skor rerata 3,6533 dengan kategori baik; dan 3) penilaian ter-hadap panduan evaluasi memperoleh skor 3, 615 dengan kategori baik. Dengan hasil tersebut maka selanjutnya dilakukan per-baikan terhadap unsur-unsur dalam setiap aspek penilain tersebut, dan kemudian diu-jicobakan dalam uji coba kedua.

Uji coba kedua merupakan uji la-pangan utama yang bertujuan untuk mem-peroleh masukan dari lapangan yang lebih luas khususnya terkait dengan model dan instrumen evaluasi. Analisis kecocokan model pengukuran dilakukan terhadap dua instrumen evaluasi, yaitu 1) instrumen im-plementasi sistem penjaminan mutu; dan 2) instrumen Kinerja Penjaminan Mutu. Anali-sis kecocokan model pengukuran dilakukan dengan menggunakan teknik analisis faktor eksploratori(EFA) dengan bantuan program SPSS 17.0.

Berdasarkan hasil analisis terhadap instrumen implementasi sistem penjaminan mutu, diperoleh nilai KMO 0,551 dengan signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa data dapat dianalisis lebih lanjut. Ni-lai KMO tersebut lebih besar dari yang di-persyaratkan yaitu 0,50. Dengan demikian

data tersebut dapat dianalisis lebih lanjut. Berdasarkan pengujian korelasi multivariat dengan Bartlett, tampak bahwa Sig 0,000 lebih kecil dari Alpha 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antar variabel multivariat. Dengan demikian data uji coba kedua ini sudah layak untuk dilaku-kan analisis lebih lanjut. Besarnya nilai ko-relasi antar variabel multivariat, berdasarkan koefisien Measure of Sampling Adequacy (MSA) pada Anti Image Correlation ham-pir semua butir pada semua variabel lebih besar dari 0,5 sehingga variabel tersebut dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih lanjut(Santoso,2014:69).

Jumlah varian dari variabel yang dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk dapat dilihat dari nilai communalities. Ha-sil analisis memperoleh 40 butir instrumen implementasi sistem penjaminan mutu yang memiliki nilai comunnalities lebih besar dari 0,50. Hal ini berarti variabel-variabel dalam model evaluasi ini dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Total variance cumu-lative dari hasil analisis sebesar 77,514 %, yang berarti variabel-variabel dalam peneli-tian ini mampu menjelaskan 77,514% dari 9 faktor yang terbentuk dengan sebaran butir yang bervariasi.

Hasil pengujian terhadap konstruk instrumen kinerja penjaminan mutu diper-oleh nilai KMO yaitu 0,860 dengan signifi-kansi 0,000 sehingga data dapat dianalisis lebih lanjut.Hasil pengujian korelasi mul-tivariat dengan Bartlett, menunjukkan nilai alpha sebesar 0,000 lebih kecil dari Alpha

9

0,05 sehingga dapat disimpulkan ada kore-lasi antar variabel multivariat.Hasil analisis korelasi antar variabel multivariat, menun-jukkan bahwa nilai koefisien Measure of Sampling Adequacy (MSA) pada Anti Image Correlation hampir semua butir pada semua variabel lebih besar dari 0,5 sehingga dapat dikatakan bahwa variabel tersebut dapat di-prediksi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

Jumlah varian dari variabel yang dapat dijelaskan oleh 9 faktor yang terben-tuk dapat dilihat dari nilai communalities. Dari 55 butir yang ada, terdapat 50 butir atau 90,90% butir pada instrumen kinerja pen-jaminan mutu memiliki nilai comunnalities lebih besar dari 0,50. Hal ini berarti varia-bel-variabel dalam model evaluasi ini dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Total variance cumulative dari hasil analisis sebe-sar 87,995 %, yang berarti variabel-variabel dalam penelitian ini mampu menjelaskan 87,995% dari faktor yang terbentuk.

Uji coba ketiga yaitu uji coba opera-sional .Uji coba ini dilakukan setelah per-baikan butir-butir yang tidak sesuai antara isi dengan faktor yang terbentuk, sehingga dikelompokkan menjadi empat faktor sesuai dengan model teoritik. Pada tahap ini, uji coba melibatkan subjek dalam skala lebih besar, yaitu 10 sekolah yang tersebar di 5 kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogya-karta dengan mengambil 12 responden dari masing-masing sekolah, yang terdiri dari kepala sekolah, guru, karyawan siswa dan orang tua /wali murid. Secara keseluruhan uji coba ketiga melibatkan 128 responden

utama yang terdiri dari kepala sekolah, tim penjaminan mutu/tim pengembang seko-lah, guru dan karyawan serta 130 responden yang terdiri dari komite sekolah, siswa, dan orang tua siswa untuk memperoleh informa-si tambahan.

Berdasarkan hasil pengujian diper-oleh hasil nilai KMO lebih besar dari yang dipersyaratkan yaitu 0,50. Nilai koefisien tersebut termasuk kategori Meritarius atau bermanfaat, sehingga data tersebut dapat dianalisis lebih lanjut. Selain itu berdasar-kan pengujian korelasi multivariat dengan Bartlett, tampak bahwa Sig 0,000 lebih kecil dari Alpha 0,05 sehingga dengan demikian dapat disimpulkan ada korelasi antar varia-bel multivariat. Dengan demikian data uji coba ketiga ini sudah layak untuk dilaku-kan analisis lebih lanjut. Berdasarkan nilai communalities, menunjukkan bahwa jumlah varian dari variabel yang dapat dijelaskan oleh 4 faktor yang ada. Besarnya nilai ko-relasi antar variabel multivariat, berdasarkan koefisien Measure of Sampling Adequacy (MSA) pada Anti Image Correlation semua butir pada semua variabel lebih besar dari 0,5 sehingga dapat dikatakan bahwa varia-bel-variabel tersebut dapat diprediksi dan dianalisis lebih lanjut.

Jumlah varian dari variabel yang dapat dijelaskan oleh 4 faktor yang terben-tuk dapat dilihat dari nilai communalities. Berdasarkan hasil analisis terdapat 9(sembi-lan) butir yang memilki nilai communalities dibawah 0,50, yaitu pada faktor perencanaan butir nomor 3, 14, dan 15, pada faktor pelak-

Sugiyanta - Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan

10

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

sanaan butir nomor 18 dan 21, pada faktor monitoring butir nomor 31, 32, dan 37, serta pada faktor tindakan perbaikan butir nomor 47. Sedangkan butir yang lain sebanyak 39 butir memilki nilai diatas 0,50.

Kumulatif persentase hasil anali-sis untuk 4 faktor sudah cukup baik , yaitu sebesar 56,526 %. yang berarti instrumen ini dapat menjelaskan faktor dalam model evaluasi penjaminan mutu sebesar 56,526 %.Persentase ini telah memenuhi ketentuan sebagaimana dikemukakan oleh Hair et all. (1998)bahwa bila persentase kumulatifnya lebih besar dari 50% berarti pengambilan faktor itu sudah cocok. Keempat faktor yang ada memiliki eigent value> 1 yang berarti menunjukkan bahwa faktor yang diangkat dapat dipakai sebagai indikator suatu sifat atau trait. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa 4(empat) faktor yang ada dalam kon-struk instrumen implementasi sistem pen-jaminan mutu pendidikan yaitu perenca-naan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan tindakan perbaikan yang dapat dijelas-kan oleh variabel-variabel obeserved dalam penelitian ini.

Besarnya bobot butir terhadap fak-tornya ditunjukkan oleh besarnya muatan faktor dari masing-masing variabel pada tabel component matrix. Berdasarkan hasil rotasi component matrixdiperoleh informasi bahwa dari 4 faktor yang ada masih terdapat 6 butir yang memiliki koefisien korelasi dibawah 0,55.

Berdasarkan hasil di atas dapat dis-impulkan bahwa sebanyak 42butir instru-men dari 48 butir yang ada atau sebesar 87,50% memiliki muatan faktor yang lebih besar dari 0,55. Hal ini berarti bobot butir tehadap faktor baik, sehingga secara umum butir-butir dalam instrumen tersebutvalid dan dapat digunakan. Sedangkan butir-butir yang tidak valid selanjutnya dibuang atau tidak dimasukkan dalam instrumen evaluasi produk akhir.

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa intrumen implementasi sistem pen-jaminan mutu mempunyai 4 faktor, yaitu perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan tindakan perbaikan, dibukti-kan dengan besarnya muatan faktor dari ma-sing-masing variabel faktor yang terbentuk

11

mempunyai nilai lebih dari 0,5. Hasil Ro-tated Component Matrix, juga membuktikan bahwa butir-butir instrumen mengumpul sesuai dengan faktor yang dihipotesiskan secara teoritik.

Reliabilitas instrumen implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan men-galami peningkatan nilai koefisien reliabili-tas dari uji coba utama dan uji coba opera-sional sebagaimanan digambarkan dalam Tabel 2.

Pengujian terhadap konstruk instru-men kinerja penjaminan mutu terdiri dari sebuah variabel laten dengan 7 observed variabel. Hal tersebut diperkuat oleh hasil analisis faktor.Hasil analisis menunjukkan besarnya nilai KMO untuk variabel kin-erja penjaminan mutu yaitu 0,785. Nilai ini lebih besar dari yang dipersyaratkan yaitu 0,50 sehingga termasuk kategori Meritarius atau bermanfaat. Berdasarkan nilai terse-but, maka data kinerja penjaminan mutu dapat dianalisis lebih lanjut. Pengujian ko-relasi multivariat dengan Bartlett, Sig. juga

menunjukkan nilai α = 0,000. Nilai ini lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan terdapat korelasi antar variabel multivariat. Dengan demikian data uji coba ketiga ini sudah layak untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Besarnya koefisien Measure of Sam-pling Adequacy (MSA) pada Anti Image Correlation, semua butir pada semua varia-bel lebih besar dari 0,5.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut dapat diprediksi dan dapat dianaisis lebih lanjut(Santoso,2014:69)Berdasarkan nilai communalities, dapat ditunjukkan bahwa jumlah varian dari variabel dapat dijelaskan oleh 7 faktor yang ada.

Dari hasil analisis diperoleh informa-si sebagaimana dapat dicermati pada Tabel 3, bahwa dari 55 butir yang ada, terdapat 5 butir yang memiliki nilai dibawah 0,50. Bu-tir tersebut yaitu faktor pengembangan sum-ber daya (butir nomor 6), faktor pengemban-gan program dan aktivitas (butir nomor 22), faktor kepuasan warga sekolah (butir nomor 36 dan 37), serta faktor perubahan perilaku

Sugiyanta - Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan

12

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

warga sekolah (butir nomor 52). Sedang-kan butir yang lain nilainya lebih besar dari 0,50. Hal ini berarti faktor kinerja penjami-nan mutu pendidikan yaitu 1)sumber daya; 2) pengembangan program dan aktivitas; 3) partisipasi warga; 4) kepuasan pelanggan; 5) perubahan pengetahuan, sikap, dan keter-ampilan; 6)perubahan perilaku, dan pengem-bangan sosial dan ekonomi dan lingkun-gan dapat dijelaskan oleh variabel-variabel observed dalam penelitian ini.Berdasarkan hasil diatas, maka dapat dikatakan faktor 3, 4, 6, dan 7 memilki variabel observed yang valid. Sedangkan untuk faktor 1, faktor 2, dan faktor 5, terhadap butir yang tidak valid dibuang dan tidak dimasukkan dalam instru-men. Namun pada butir yang berkualifikasi baik dipertahankan dengan memperbaiki baik rumusan kalimat maupun isi.

Berdasarkan hasil di atas dapat dis-impulkan bahwa butir-butir instrumen se-banyak 42 (87,50%) dari keseluruhan butir memiliki muatan faktor yang lebih besar dari 0,55. Hal ini berarti bobot butir tehadap faktor baik, sehingga secara umum butir-bu-

tir dalam instrumen tersebut yaitu valid dan dapat digunakan. Selanjutnya untuk kepent-ingan perbaikan instrumen butir-butir yang tidak valid dibuang atau tidak dimasukkan dalam instrumen evaluasi produk akhir.

Reliabilitas instrumen kinerja pen-jaminan mutu pendidikan dari pengujian ta-hap 1 ke pengujian tahap akhir mengalami peningkatan.Tabel 3 menjelaskan secara rinci koefisien alpha dari masing-masing faktor dalam instrumen kinerja penjaminan mutu.

Dari hasil pengujian tahap akhir diperoleh hasil bahwa masing-masing fak-tor dalam instrumen evaluasi menunjukkan semua faktor memiliki koefisien Cronbach’s Alpha lebih dari 0,7. Dari semua butir dari tujuh faktor yang dianalisis, semuanya ber-korelasi kuat dengan masing-masing fak-tor yang dihipotesiskan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua variabel dalam faktor cukup handal dan semua butir dari masing-masing faktor memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi, sehingga layak dija-dikan butir dalam instrumen kinerja penjam-inan mutu pendidikan.

13

Kelayakan Model dan Kejelasan Instrumen

Aspek kepraktisan model, pada uji coba pertama mendapat banyak kritikan dari sekolah karena dianggap terlalu rumit dalam melaksanakan evaluasi karena melibatkan banyak pihak, dari komite sekolah, kary-awan, siswa dan orang tua siswa.Selain itu pada tahapan analisis data hasil evaluasi di-anggap rumit jika dilakukan secara manual.Hasil penilaian kelayakan model evaluasi dapat dicermati pada Tabel 4.

Dari Tabel 4 terlihat bahwa hasil per-baikan menunjukkan adanya peningkatan tingkat kepraktisan model evaluasi, ditun-jukkan dengan peningkatan hasil penilaian pada uji coba kedua dan uji coba operasional menjadi berkategori baikdengan demikian model evaluasi penjaminan mutu pendidi-kan dapat digunakan tanpa perbaikan.

Penilaian Kejelasan Instrumen Evaluasi

Penilaian tentang kejelasan instru-ment evaluasi dapat dicermati pada Tabel 5.

Pada uji coba tahap pertama, dari lima aspek kejelasan instrumen terdapat 2(dua) aspek yang sudah baik dan 3(tiga) aspek belum memenuhi kriteria baik. Aspek yang sudah memenuhi kriteria baik yaitu kejelasan kri-teria dan kejelasan petunjuk penggunaan instrumen tidak perlu dilakukan revisi men-dasar.

Aspek kejelasan indikator, keterba-caan butir pernyataan dan aspek kesesuaian bentuk dan ukuran huruf memiliki kategori kurang.Perbaikan yang dilakukan pada hasil uji coba pertama yaitu perbaikan pada aspek indikator dan butir pernyataan disusun lebih sederhana dan disesuaikan dengan karakter-istik responden, rerata tampilan huruf agar lebih terbaca.Hasil perbaikan menunjukkan hasil yang baik pada ujicoba kedua dan uji coba operasional dengan kategori baik.Ber-dasarkan hasil uji coba terakhir dapat dis-impulkan bahwa instrumen evaluasi layak untuk digunakan sebagai instrumen evaluasi penjaminan mutu pendidikan di sekolah.

Sugiyanta - Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan

14

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Penilaian Panduan Evaluasi

Penilaian terhadap kelayakan pan-duan evaluasi dilakukan sejak uji coba per-tama.Berdasarkan hasil penilaian tersebut kemudian dilakukan perbaikan terhadap aspek yang belum memenuhi kriteria baik.Hasil perbaikan yang dilakukan dari hasil uji coba pertama dan kedua menunjukkan ad-anya peningkatan kualitas panduan evaluasi.Hal ini ditunjukkan dengan adanya pening-katan rata-rata skor dari masing-masing as-pek penilaian yang jika dikonsultasikan den-gan konversi skor, maka termasuk kategori baik.Dengan demikian perbaikan instrumen evaluasi penjaminanmutu pendidikan dapat meningkatkan kejelasan panduan evalausi.Secara rinci penilaian panduan evaluasi ini dapat dicermati pada Tabel 6.

Berdasarkan hasil uji coba terakhir dapat disimpulkan bahwa panduan evalu-asi penjaminan mutu pendidikan telah lay-ak untuk digunakan sebagai panduan bagi sekolah ataupun pengguna model evaluasi ini, dalam mengevaluasi implementasi dan kinerja sekolah dalam penjaminan mutu pendidikan di sekolah.

Kajian Produk Akhir

Model evaluasi penjaminan mutu pendidikan merupakan sebuah model evalu-asi untuk mengevaluasi proses pemenuhan standar nasional pendidikan melalui imple-mentasi sistem penjaminan mutu pendidi-kan dan kinerja penjaminan mutu pendidi-kan. Berdasarkan hasil uji coba dan analisis hasil serta implementasi di sekolah, model evaluasi penjaminan mutu pendidikan cocok untuk mengevaluasi implementasi sistem penjaminan mutu dan kinerja sekolah dalam melaksanakan program penjaminan mutu pendidikan.

Model evaluasi penjaminan mutu pendidikan merupakan sebuah model evalu-asi untuk mengevaluasi proses pemenuhan standar nasional pendidikan melalui imple-mentasi sistem penjaminan mutu pendidi-kan dan kinerja penjaminan mutu pendidi-kan. Berdasarkan hasil uji coba dan analisis hasil serta implementasi di sekolah, model evaluasi penjaminan mutu pendidikan cocok untuk mengevaluasi implementasi sistem penjaminan mutu dan kinerja sekolah dalam melaksanakan program penjaminan mutu pendidikan.

15

Karakteristik Model

Sesuai dengan tujuan evaluasi, maka terdapat beberapa karakteristik model evalu-asi penjamian mutu pendidikan yang mem-bedakan dengan model evaluasi yang lain, yaitu: (1) Model evaluasi ini digunakan un-tuk mengevaluasi proses pemenuhan stan-dar nasional pendidikan atau standar yang ditetapkan sekolah melalui implementasi sistem penjaminan mutu dan kinerja pen-jaminan mutu; (2) Model ini dapat digu-nakan oleh sekolah, pengawas satuan pen-didikan, masyarakat maupun pihak terkait untuk mengetahui tingkat keterjaminan mutu sekolah dalam memenuhi standar yang ditetapkan; (3) Model evaluasi terdiri dari dua aspek, yaitu implementasi sistem pen-jaminan mutu dan kinerja penjaminan mutu; (4) Model evaluasi ini memiliki kriteria den-gan empat tingkat penjaminan mutu, yang merepresentasikan tingkat keterjaminan mutu sekolah dalam proses pemenuhan stan-dar sebagaimana ditetapkan oleh sekolah. Hal ini menunjukkan sejauhmana efektivi-tas program penjaminan mutu sekolah serta kesungguhan sekolah dalam memenuhi janji mutunya; dan (4) Model bersifat terbuka dan transparan, artinya bahwa pengambilan data dilakukan secara terbuka dengan melibakan seluruh komponen warga sekolah, dan hasil-nya serta rekomendasi perbaikan disampai-kan secara transparan.

Model evaluasi ini memiliki beber-apa kelebihan, diantaranya yaitu (1) hasil evaluasi secara langsung dapat digunakan untuk memperbaiki manajemen sekolah

dalam melaksanakan program penjaminan mutu, dikarenakan rekomendasi perbaikan didasarkan data pelaksanaan penjaminan mutu; (2) dapat digunakan untuk memotret proses pemenuhan standar nasional pendidi-kan maupun standar yang ditetapkan seko-lah; (3) Dilengkapi dengan format-format rekomendasi, RKS/RKAS, format laporan hasil evaluasi yang sangat membantu seko-lah dalam meindaklanjuti hasil evaluasi.

Model evaluasi yang dihasilkan dalam penelitian ini masih terdapat keter-batasan, yaitu (1) pengembangan model evaluasi masih terbatas dilakukan di Dae-rah Istimewa Yogyakarta; (2) implementasi model masih terbatas pada sekolah yang su-dah menjalankan program penjamian mutu pendidikan; (3) sumber data masih terbatas pada dokumen dan responden warga seko-lah, belum melibatkan masyarakat sekitar; (4) model evaluasi belum mampu memotret budaya mutu secara utuh yang merupakan tujuan akhir penjaminan mutu; (5) aspek yang dievaluasi masih terbatas pada kompo-nen-komponen utama penjaminan mutu; (6) instrumen angket dan pengecekan dokumen penjaminan mutu masih terbatas pada infor-masi dari responden dan dokumen, belum dilengkapi instrumen observasi.

Simpulan

Berdasarkan deskripsi data dan analisa dapat dikemukakan simpulan seb-agai berikut: (1) model evaluasi yang sesuai untuk mengevaluasi penjaminan mutu pen-didikan di sekolah menengah pertama terdiri

Sugiyanta - Model Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan

16

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

atas evaluasi implmentasi sistem penjaminan mutu pendidikan dan kinerja penjaminan mutu pendidikan; (2) konstruk instrumen implementasi sistem penjaminan mutu pen-didikan terdiri atas 4 dimensi, yaitu: perenca-naan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan tindakan perbaikan berdasarkan eksplor-atory factor analysis, semua variabel memi-liki nilai muatan faktor lebih besar dari 0,50 dengan kategori baik; (3) konstruk instru-men kinerja penjaminan mutu pendidikan terdiri atas 7 dimensi yaitu: pengembangan sumber daya, pengembangan program dan aktivitas, partisipasi warga sekolah, kepua-san warga sekolah, perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan, perubahan perilaku warga sekolah, pengembangan sosial, eko-nomi, dan lingkungan sekolah berdasarkan eksploratory factor analysis, semua variabel memiliki nilai muatan faktor lebih besar dari 0,50 dengan kategori baik; (4) kelayakan model evaluasi penjaminan mutu pendidikan di SMP termasuk kategori baik, berdasarkan validasi pakar, pemakai/pengguna, dan prak-tisi serta bukti-bukti yang digunakan dalam uji coba di lapangan.

Daftar Rujukan

Benneth, Judith. 2006.Evaluation-Method in Research. New York: Continuum.

Borg, W.R. and Gall, M.D. 2003. Educational Research: an Introduction. London: Longman, Inc.

Edmon, R.R. 1979. “Effective School for the Urban Poor”,Educational Leadership (37): 15-27.

Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Anal-isis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi Kedua. Semarang:Universitas Dipone-goro.

Hair JF, Tatham RL, Anderson RE and Black W.1998.Multivariate data analy-sis. (Fifth Ed.) Prentice-Hall:London.

Kaplan, R.M, & Saccuzzo, D.P. 1982. Psichological Testing:Principles, Ap-plication, and Issues. Monterey : Brooks/Cole Publishing Company.

Loder, C.P.J. (Ed.) 1990. Quality As-surance and Accountability in Higher Edu-cation. London: Kogan Page.

Santoso, Singgih.2014. Seri Solusi Bisnis Berbasis TI: Menggunakan SPSS un-tuk Statistik Multivariat. Jakarta: Elex Me-dia Komputindo.

Sudijono, A. 2003. Pengantar Eval-uasi Pendidikan. Jakarta:Raja Grafindo Per-sada.

Sugeng Eko Putro Widoyoko. 2008. Pengembangan Model Evaluasi Program Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Disertasi doktor, tidak diterbitkan. Universi-tas negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Tabachnick, B.G & Fidel, L.S. 1983. Using Multivariate Statistics. New York: Harper & Row.

17

THE THEORETICAL BLUE-PRINTTO MEASURE COMMUNICATIVE WRITTEN ENGLISH

COMPETENCE OF ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS OF INDONESIA

Dwi WidiyantiLPMP D.I. Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstract: This research was conducted in 2003 as a scientific research in English measurement in the elementary school level of Indonesia to provide the Blue-print which hopefully can be antool that enables educational stakeholders in Indonesia to acquire enough information to appropriately predict the English language ability of the elementary school students. The researcher used the first five of ten phases of the Research and Development method. Two groups of respondents that were TEYL professionals and sixth grade students in the elementary school were involved in the process of construct validation of the Blue-print. From the result of literature review and improvement feedbacks from the respondents it was discovered that the com-municative written English competence of elementary school students of Indonesia was theoretically formulated into two categories. The first one was the competence of text understanding (reading) that was their ability to know and comprehend the meaning of written English texts organizationally and pragmatically that they found in daily life, such as at home, at school, and in public places. The second one was the competence of text production (writing) that was their ability to create written Eng-lish text organizationally and pragmatically in daily life, such as at home, at school, and public places.This research was limited to the development of the theoretical blue-print which was still considered as a preliminary form of product in the R&D cycle. Therefore a further study on this research is highly recommended to make the blue-print perfectly operational.

Keywords:English testing, theoritical blue-print, research and development, Ele-mentary School English learners, Indonesian English learners competence.

Abstrak: Penelitian ini dilakukan pada tahun 2003 sebagai sebuah penelitian il-miah di bidang pengukuran bahasa Inggris pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar di Indonesia. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kisi-kisi yang dapat dijadikan sebagai alat oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dunia pendidikan dalam memberikan informasi yang cukup untuk memprediksikan secara tepat ke-mampuan bahasa Inggris siswa Sekolah Dasar. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melibatkan lima tahapan dari sepuluh tahapan yang terdapat pada metode Riset dan Pengembangan.Dua kelompok responden, yaitu tenaga ahli Pengajaran Bahasa Inggris Siswa Usia Muda(TEYL) dan siswa kelas VI Sekolah Dasar untuk melakukan proses validasi konstruks dari kisi-kisi yang telah dikembangkan oleh peneliti.Hasil riset dan review pustaka serta penyempurnaaan kisis-kisi berdasarkan hasil masukan dari para responden, menunjukan bahwa rumusan kompetensi ba-hasa Inggris komunikatif pada siswa Sekolah dasar Indonesia secara teoritis dibagi menjadi dua kategori, yaitu: satu, Kompetensi Pemahaman Text (Membaca), yaitu kemampuan siswa untuk mengetahui dan memahami arti teks tertulis bahasa Inggris secara terorganisir dan pragmatis terkait hal-hal yang siswa jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya di rumah, di sekolah dan tempat-tempat umum. Dua,

18

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Kompetensi Pembuatan Teks (Menulis), yaitu kemampuan siswa untuk membuat teks bahasa Inggris secara terorganisir dan pragmatis dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya di sekolah, di rumah dan tempat-tempat umum. Riset ini dibatasi pada pengembangan kisi-kisi secara teoritis yang dapat dikatakan masih berupa produk awal dari siklus Riset dan Penengembangan. Oleh karena itu studi lebih lanjut dari riset ini sangat direkomendasikan untuk dapat menjadikan kisi-kisi ini dapat dioperasikan dengan sempurna.

Kata Kunci: test Bahasa Inggris, kisi-kisi teoritis, riset dan pengembangan, siswa pembelajar Bahasa Inggris di sekolah dasar, kompetensi Bahasa Inggris OrangIn-donesia

Introduction

The globalization era which enables all countries around the world to plant busi-ness and trades without any country bound-aries that is legitimated by International convention of World Trade Organization (WTO) in 1994 has impact on English as the language of the world or commonly known as lingua franca. English becomes the lan-guage of the internet, motion pictures, sci-ence and sports. It is also the language which is spoken for business and political power. Employers on a national as well as on an international scale pay attention to the Eng-lish skills of their future employees. There-fore, millions of learners around the world seek the ability to communicate in English as the passport to economic prosperity, so-cial mobility and educational improvement. People’s need to function in today’s world pushes them to learn English. They devote both time and money to have their English skills assessed and tested to get the recogni-tion of their English skill as well as improve-ment on their English learning process.

Indonesia, as one of the biggest ASE-AN countries also joins the driven spirit of

acquiring English as a communicative lan-guage for its people, especially for its young generations. Indonesian government, as if they do not want to be left behind, put Eng-lish as a compulsory subject in the curricu-lum and put it as one of the only compulsory foreign language being tested in the Nation-al education examination. Even, nowadays, there has been a rush trend of teaching the language from the earlier age. Parents are ea-ger to introduce English to their children as early as possible by sending their children to the institutions that state themselves as put-ting English into their curriculum. Unfor-tunately, the strong motivation of mastering English in Indonesia has not yet came to the effectiveness and productivity of the result. It is mentioned in http://pbingfkipunlam. wordpress.com/2008/10/21/kendala-penga-jaran-bahasa-inggris- di-sekolah-dasar/, although teaching English in Indonesia has been conducting in tens years and that various evaluation on the curriculum and methods have been developed to improve students’ English competence, the result is still far from being optimally achieved as to make students able to communicate in Eng-lish. Moreover, the English achievement in Indonesian elementary school is still consid-

19

ered as doubtful. Suyanto et.al stated in their Pengembangan Model PembelajaranBaha-saInggrisSebagai MULOK di SD (2001) that it was caused by the fact that there was not yet a national standard on the curricu-lum. Every province was allowed to make their own curriculum that one province might have different curriculum concept from another. They further explained that English curriculum as a local load curricu-lum had many handicaps, among of which was that it was not suitable for the develop-ment of children of 6-12 years old.

The Deputy Education Minister, Mu-liarKasim (http://www.thejakartapost.com) announced in late September 2012 that Eng-lish would be scrapped for lower elementary pupils in the next school year beginning July 2013 as part of a curriculum restore. The government determined the subject to be taught and learnt within the next level of ed-ucation started from the junior high school level as the earliest. Yet, lately, Musliar, af-ter the few month debate, finally announced that English would not be dismissed after all. He said: “School would be allowed to offer the subject but as an elective subject. It should not be made compulsory” he said in a statement to Kompas and the Jakarta Globe newspaper (http://www.thejakartaglobe.com).

Many people disagree with the gov-rnment’s policy. Ignoring the dispute, par-ents keep sending their children to institu-tions which put English in their curriculum. And educational institutions, both govern-

ment and private elementaryschools and English course institutions, keep introducing English to the pupils in their curriculum but in a different strategy. Such uncertain situa-tion, however, was not conducive for the pu-pils’ English learning atmosphere and later on may have bad impact to the pupils’ future English learning. If elementary schools are formally not allowed to include English into their curriculum, and the schools keep con-ducting it in their own way, the format of English teaching and learning in elementary school level will be uncontrolly designed. The impact which may come along with the situation is the uncontrolled quality as-surance on the outcome. The people’s high expectation of preparing their children a weapon (by acquiring English well) to com-pete for good careers in the future will be unfulfilled.

Elementary School is considered as the basic level of education. Therefore an ef-fectiveness English teaching method in this level is very critical for the students’ future acceptance on the English learning. The un-certain condition for the English learning in the elementary school level will mean more disadvatages for the aim of national education to produce international qualified human resources. Therefore, an educative instrument which can act as a scaffolding for the people to control the quality of their children’s English learning achievement is critically needed.

A questions of what the written English competence of elementary school

Dwi Widiyanti - The Theoretical Blue-Print To Measure

20

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

students of Indonesia is likeisthe starting point for conducting the research. The an-swerto the research question is the formula of an effective blue-print of the testing mod-el to measure and define the English com-petence of Indonesian elementary school students.

Research Method

The research is designed based on the theory of Borg’s Research and Develop-ment (R& D). The R&D (1983:771) consist of a cycle in which a version of the product is developed, field tested and revised on the basis of field –test data. Product of R & D includes not only material objects, such as textbooks, instructional films and so forth, but is also intended to refer to establish pro-cedures and processes such as a method of teaching or method for organizing instruc-tion. The major phases in the R& D cycle in-clude ten steps: (1) research and information collection, (2) planning, (3) development of preliminary form of product, (4) preliminary field testing, (5) main product revision, (6) main field testing, (7) operational product revision, (8) operational field testing, (9) fi-nal product revision and (10) dissemination and implementation.

Research Findings

The research findings are the answers to the research questions formulated previ-ously, namely:what is the written English competence of Indonesia Elementary school students like? The answer to the question manifestated inthe blueprint through the in-

dicators of language competence in the blue-print whichare formulated theoretically and are evaluated by collecting data from TEYL professionals’ judgments and the result of test trial and opinion of participant students.

The development of the blue print was conducted based on the theory of Borg’s Research and Development (R& D) and Bachman and Palmer’s framework for developing language test as the complemen-tary theory. The major phases in the R& D cycle include ten steps, yet due to the limi-tation of time and resources the researcher decided to cut off the cicle up to the early 5 steps, namely: (1) research and information collection, (2) planning, (3) development of preliminary form of product, (4) preliminary field testing and (5) main product revision.

The R&D complemented with Bach-man and Palmer’s framework for develop-ing language testare chosen to formulate the theoretical Blue-print to measure communi-cative written English competence of Indo-nesian elementary school students which is not tended as an aptitude test or to measure students’ academic achievement but as ref-erences in evaluating English teaching pro-gram in the level of elementary school.The formulation of the instrument development phases as the result of this two complemen-tary theories is as follows:

The above figure shows the process of the development of the testing instrument the researcher undergoes. The first phase is the researcher formulates the language test objective by considering some key aspects,

21

namely: communicative English compe-tence, characters of children of between the concrete operational and formal operational stage, post-modernism philosophy and Eng-lish teaching and learning in Indonesian el-ementary schools. The language test objec-tive is formulated in the form of language aspects and indicators as they are mentioned in the blue print of the testing instrument be-ing developed. The second phase, referring to the language test objective has been for-mulated; the researcher selects and devises the test task, such as: topics of real world (environment) which evoke children’s imag-ination, fun and pleasure. And the last phase is researcher assembles and sets up the scor-ing system. Hence, the researcher deter-

mines the character of the test tasks, time of completing test, test instructions, and its layout, format and grading accuracy.

To improve the formulation of the de-sign, the researcher also conducts a bench-marking to some test samples of written English competence for elementary stu-dents from other countries. The researcher gets some samples from Japan and Ameri-ca. Among the samples, the researcher de-cides to choose Cambridge Young Learners English Flyers Reading and Writing which is published by University of Cambridge, ESOL examinations of English for Speakers of Other Languages as the main reference. Although the test content is not matched with the indicators of the concept of Eng-

Dwi Widiyanti - The Theoretical Blue-Print To Measure

22

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

lish competence of Indonesian elementary school students, the researcher considers the layout and design is quite suitable for the pu-pils.

The development of the Blue-printis started with the research and information col-lection to gain the theoretical concept which underlied the development of the model in accordance to the set up goal or objective. The research and information collection was conducted by doing literarture reviews on three aspects: The first aspect is Post-mod-ernism philoshopy which puts emphasize on helping learners to be more productive and self-fulfilled as the basis philosophy. The second aspect is the Characteristics of Elementary School English Learners of 5 aspects: cognitive, physical, emotional and social, literacy, and self-esteem or vulner-ability. The concluded characteristics will be limited to which of age 10 up to 12 year development stage with the rationale of English position as a foreign language in In-donesia. As a foreign language, the English communication is not available in daily life. Thus, the introduction to English needs com-plex skills of the children. The age range of young learners, generally, is from birth to 11 or 12 years old. The choice of picking up ten to twelve years as the age range is based on the theory that children within that age have developed their sense of independence and logical thinking for broader subjects outside themselves. The third aspect is English Edu-cation in Elementary School of Indonesia which is uncertain. Thus, the role and func-tion of English teaching and learning in the

elementary school level of education is sup-posed to be only a matter of introduction or to lay a foundation for the pupils’ second-ary school English teaching. And the fourth aspect is the written English communica-tive competence of young English learners which is delivered by Penny Mc Kay who adapts it from Bachman and Palmer’s theory of language ability.

To have a construct validation on the blue-print, the researcher also developsthe test prototype and distributes itto TEYL pro-fessionals and elementary school students for trial tested to have feedback improve-ment. This takes place in Yogyakarta with four TEYL professionals from ELTI Eng-lish Course, Sanata Dharma University and UNY (State University of Yogyakarta) and sixth grade elementary school students of SDIT BaitussalamPrambanan in Yogyakarta as the preliminary field test takers. The stu-dents are chosen as the sample of test taker candidates with the rational that the school is considered as one of the best elementary schools in Prambanan, a small district in Yo-gyakarta. The school is considered as repre-senting the average quality of elementary schools of Indonesia which have various teaching and learning condition. Hopefully, the response of the students can be used as a reference of what is supposed to get aver-agely from the elementary school students in all over Indonesia.

From the result of library research and improvement feedbacks from the TEYL professional,it is discovered that the Indo-

23

nesian elementary school English learners’ communicative written English competence is theoretically formulated into three main constructs which are standard competence, criteria of competence, and indicators.

Standard of English written Compe-tenceis the minimum requirements of com-petence in written English language commu-nication that should be able to be performed by the elementary school English learners in Indonesia. The standard is divided into two categories. The first one is the competence of text understanding (reading) that is the learners’ ability to know and comprehend the meaning of written English texts orga-nizationally and pragmatically that they find in daily life, such as at home, at school, and in public places. The second one is the com-petence of text production (writing) that is the learners’ ability to create written English text organizationally and pragmatically in daily life, such as at home, at school, and public places.

Criteria of competence consist of the criteria that shape each standard competence. Each criterion of competence is indicated by statements of abilities which are more ob-servable through the test takers’response to the test items. These statements are called Indicators. The criteria of text understand-ing and text production are classified into two aspects: Organizational and pragmatic knowledge.

The organizational knowledge of text understanding competencecovers two language aspects, namely: (1) Grammatical

knowledge which is indicated by learners’ abilities to decode letters and words (match sounds with letters, with phonic blends), to read and understand a growing range of vo-cabulary relating to daily life, such as: at home, at school, and in public places, and to understand a growing range of structure of sentences and short passages to form mean-ings. (2) Textual knowledgewhich is indi-cated by learners’ ability to predict meaning from a range of cues (title, illustration) of short passages.Thepragmatic knowledgeof-text understanding competencecovers the functional and sociolinguistic knowledge which is indicated by learners’ ability to use their personal experience and their knowl-edge of the context when they meet an un-known word in the text and to identify the main ideas in the text and locate specific in-formation from the text.

The organizational knowledge of text productioncompetencecovers two lan-guage aspects, namely: (1) Grammatical knowledge which is indicated by learners’ abilities to write vocabulary (words) in the right spelling and to build cohesion across sentences and parts of sentences with ap-propriate structure (eg: appropriate punctua-tions, relationships of time (simple tenses), quantity, connective etc); (2) Textual knowl-edge which is indicated by learners’ abilities to build cohesion across sentences and parts of sentences with appropriate structure (eg: appropriate punctuations, relationships of time (simple tenses), quantity, connective etc). While the pragmatic knowledge of text production covers Functional and socio-

Dwi Widiyanti - The Theoretical Blue-Print To Measure

24

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

linguistic knowledge which is indicated by learners’ abilities to write their idea into sentences with appropriate meanings.

The theoritical blue print which is revised and developed based on the formu-lated written English competence and the feedbacks given by the TEYL experts re-ferring to the design and format of the test item distribution with deep consideration of the characteristics of Indonesian elementary school English learners is presented bellow:

The blueprint divides into the writ-ten English Competence of indonesian ele-mentary school students into two categories that are reading comprehension section and

writing section which are administered in 45 minutes.

The reading comprehension section is divided into four parts. Part (1) consists of two tasks of matching sounds with letters and with phonic blends. Each task consists of 5 test items with every correct response weights 1 point. Part (2) consists of a task of matching a vocabulary with its description which is composed in growing range vo-cabularies. Every correct response weights 2 points. Part (3) consists of a task of true or false to measure the test takers’ ability to understand a growing range of structure of sentences and short passages. Every correct response weights 2 points, with no penalty

25

for incorrect response. And the last part of the reading section is Part (4) which con-sists of two passages of different topics. The test items are formatted in multiple choices which require the test takers to predict mean-ing from cues (title, illustration),touse their personal experience and their knowledge of the context when they meet an unknown word in the passages and to identify the main ideas and locate specific information from the passages. Every correct response for the task is weighted 2 points.

Meanwhile the writing section con-tains four parts. Part (1) consists of task of filling the gaps in the text to measure the ability of the test takers to write vocabularies in the right spelling. Every correct response for the task weights 2 points. Part (2) con-sists of task of arranging and writing words into a good sentence in order to measure the test takers’ ability to build cohesion across parts of sentences. Every correct response weights 2 points. Part (3) consists of task of arranging and writing sentences into a good passage in order to measure the test takers’ ability to build cohesion across sentences. The task is weighted 15 points provided with a rubric for the scoring system. And the last part of the writing section, Part (4) consists of a task of writing answers to the questions given to measure the test takers’ ability to write their idea into sentences. Every correct answer weights 3 points provided with a ru-bric for the scoring system.

Conclusions

The conclusion is intended to reaf-firm the answers to the research question in

brief which is“what is the written English communicative competence of the Indo-nesian elementary school English learners like?” In answering the question, the re-searcher finds some weaknesses of the study. Therefore, some suggestions for the future research are also provided.

This research was conducted in 2003 as a scientific research in English measure-ment in the elementary school level of Indo-nesia to provide ablue-print which hopefully can be an instrument that enables educa-tional stakeholders in Indonesia to acquire enough information to appropriately predict the language ability of the elementary school students.

The researcher usesthe first five of ten phases of the Research and Development method. Two groups of respondents that areTEYL professionals and sixth grade stu-dents in the elementary school are involved in the process of construct validation of the Blue-print.

The theoritical Blue-print is devel-oped based on the formulated written Eng-lish competence and the feedbacks given by the TEYL experts referring to the de-sign and format of the test item distribution of the test prototype of the blue-print with deep consideration ofthree main aspects: the first aspect is Post-modernism philoshopy-which puts emphasize on helping learners to be more productive and self-fulfilled as the basis philosophy, the second aspect is the Characteristics of Elementary School Eng-lish Learners which have generally explored

Dwi Widiyanti - The Theoretical Blue-Print To Measure

26

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

in 5 aspects: cognitive, physical, emotional and social, literacy, and self-esteem or vul-nerability. The concluded characteristics are limited to which of age 10 up to 12 year de-velopment stage with the rationale of Eng-lish position as a foreign languagein Indo-nesia. As a foreign language, the English communication is not available in daily life. Thus, the introduction to English needs com-plex skills of the children. The age range of young learners, generally, is from birth to 11 or 12 years old. The choice of picking up ten to twelve years as the age range is based on the theory that children within that age have developed their sense of independence and logical thinking for broader subjects outside themselves. The third aspect is English Edu-cation in Elementary School of Indonesia which is uncertain. Thus, the role and func-tion of English teaching and learning in the elementary school level of education is sup-posed to be only a matter of introduction or to lay a foundation for the pupils’ second-ary school English teaching. And the fourth aspect is the written English communicative competence of youngEnglishlearners which is delivered by Penny Mc Kay who adapts it from Bachman and Palmer’s theory of lan-guage ability.

The theoritical blue print to measure written english competence of Indonesian elementary school English learners, as the research result, divides the competence into two parts that are reading comprehension sectionandwriting section whichare admin-istered in 45 minutes.

The reading comprehension section is divided into four parts. Part (1)consists of two tasks of matching sounds with letters and with phonic blends. Each task consists of 5 test items with every correct response weights 1 point. Part (2)consists of a task of matching a vocabulary with its description which is composed in growing range vo-cabularies. Every correct response weights 2 points. Part (3) consists of a task of true or false to measure the test takers’ ability to understand a growing range of structure of sentences and short passages. Every correct response weights 2 points, with no penalty for incorrect response. And the last part of the reading section is Part (4) which con-sists of two passages of different topics. The test items are formatted in multiple choices which require the test takers to predict mean-ing from cues (title, illustration),touse their personal experience and their knowledge of the context when they meet an unknown word in the passages and to identify the main ideas and locate specific information from the passages. Every correct response for the task is weighted 2 points.

Meanwhile the writing section con-tains four parts. Part (1) consists of task of filling the gaps in the text to measure the ability of the test takers to write vocabularies in the right spelling. Every correct response for the task weights 2 points. Part (2) con-sists of task of arranging and writing words into a good sentence in order to measure the test takers’ ability to build cohesion across parts of sentences. Every correct response weights 2 points. Part (3) consists of task of

27

arranging and writing sentences into a good passage in order to measure the test takers’ ability to build cohesion across sentences. The task is weighted 15 points provided with a rubric for the scoring system. And the last part of the writing section, Part (4) consists of a task of writing answers to the questions given to measure the test takers’ ability to write their idea into sentences. Every correct answer weights 3 points provided with a ru-bric for the scoring system.

Bibliography

Alderson, J.Charles. 2000. Assessing Read-ing. United Kingdom: Cambridge University Press.

Brewster, Jean. Et al. 1991.The Primary English Teacher’s Guide. England: Pearson education Limited.

Berk, Laura E. 2008.Infants, Children, Ado-lescents. New York: Pearson Educa-tion, Inc.

Bagarić, Vesna. 2007. Defining Communi-cative Competence.Metodika Vol. 8, br. 1, 2007, page 94-103. Faculty of Humanities and Social Sciences, University of Zagreb

Culpeper, Jonathan. 2009. English Lan-guage: Description, Variation and Context. London: Palgrave Mac. Millan.

Dardjowidjojo (a), S. 2003. English Teach-ing: Where and How Do We Begin? KE Sukamto, RampaiBahasa, Pen-didikandanBudaya: Kumpulan Es-saiSoenjonoDardjowidjojo, 29-40. Jakarta: YayasanObor Indonesia.

Dardjowidjojo (b), S. 2003. The Role of English in Indonesia: A dilemma. K.E. Sukamto (Ed), RampaiBahasa, Pendidikan, danBudaya: Kumpulan EsaiSoenjonoDardjowidjojo, 41-50.

Jakarta: YayasanObor Indonesia,

Fromkin, Victoria, et.al. 1996. An Introduc-tion to Language. Sidney: south-wood Press Pty Ltd

Genesee, Fred, et al. 2007. Classroom-Based Evaluation in Second Language Ed-ucation. America: Cambridge Univ. Press.

Graddol, David. 2006. English next: Why English May Mean the End of “Eng-lish as A Foreign Language”. Eng-land: British Council.

Halliwel, Susan. 1992. Teaching English in the Primary Classroom. England: Longman Group.

Ioannou, Sophie, et.al. 2003. Assessing Young Learners. New York: Oxford Univ. Press.

Izard, John. 1994. Qualitative Research Methods in Educational Plan-ning, Modul 7: Trial Testing and Item Analysis in Test Construction. UNESCO International Institute For Educational Planning.

Kartono, G. 1976. KedudukandanfungsiBa-hasaAsing di Indonesia (The Status and Function of Foreign Languages in Indonesia).In A. Halim (ED).PolitikbahasaNasional (National Language Politics).Jilid 2. Jakarta: PusatPembinaandanPengembangan-Bahasa.

Lauder, Allan. 2008. The Satates and Func-tion of English in Indonesia: A Re-view of Key factors. MakaraSo-sialHumaniora, Vol. 12.No.1, juli. Indonesia.

Lindfors, Judith W. 1980. Children’s Lan-guage And Learning. New York: Prentice-Hall, Inc.

Mc. Kay., Penny. 2006. Assessing Young language Learners. England: Cam-bridge Univ. Press.

Nunn, Roger. 2006. Competence and Teach-ing English as an International Lan-guage. Pusan: The Asian EFL Jour-nal Press,

Dwi Widiyanti - The Theoretical Blue-Print To Measure

28

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Phillips, Sarah. 1993. Young Learners. New York: Oxford Univ. Press.

Renandya, W. A. 2000. Language Policies and Language Education: The Im-pact in East Asian Countries in The Next Decade, eds. 113-137. Singa-pore: Times Academic Press.

Reynolds, Cecil R., Ronald B. Livingston, Victor Wilson. 2009, Measurement and Assessment in Education. Amer-ica: Pearson Education, Inc.

Slattery, Mary and Jane Willis.2001. English for Primary Teachers. New York: Oxford Univ. Press.

Sauvignon , Sandra J. 1997. Communicative Competence Theory and classroom Practice texts and Contexts in Sec-ond Language Learning. America: The McGraw-Hill Co.

Suyanto, Kasihani K. E.; Sulistyo, Gunadi H. 2001.Pengembangan Model PembelajaranBahasaInggrisSebagai MULOK di SD. LaporanPenelitian RUT VIII.1. MENRISTEK RI dan-Lemlit UM. Jakarta

Suyanto, Kasihani K. E.; Rachmayanti, Sri; Rahayu, Lestari.2003. Sosialisasi Model PembelajaranBahasaInggris-MuatanLokal di SekolahDasar.RUT.VIII.3. MENRISTEK RI danLemlit UM. Jakarta

Salvia, John et al. 2010. Assessment: In spe-cial and inclusive education, 11th edition. Belmont: Wadsworth Cen-gage Learning.

Wiggins, Grant. 1998. Educative Assess-ment: Designing Assessment to in-form and Improve Student Perfor-mance. San Francisco: Jossey-bass Publishers.

h t t p : / / p b i n g f k i p u n l a m . w o r d p r e s s .com/2008/10/21/kendala-penga-jaran-bahasa-inggris- di-sekolah-dasar/. Accessed in November 20, 2011.

http://www.ef.co.id/epi/country-profiles/in-donesia/. Accessed in December, 5, 2011.

http://www.learning-theories.com/piagets-stage-theory-of-cognitive- develop-ment.html).Accessed in November 20, 2011.

h t t p : / / c a r o l r e a d . w o r d p r e s s .com/2011/07/25/y-is-for-young-learners/. Accessed in December 17, 2011.

http://grammar.about.com/od/il/g/Lin-guistic-Performance.htm, Ac-cessed in December 2, 2012.

29

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERNYANYI DAN MELAKUKAN BERBAGAI GERAKAN MELALUI

PEMANFAATAN MEDIA AUDIO GELARIA (GERAK DAN LAGU ANAK CERIA) PADA ANAK USIA DINI

Kulsum Nur Hayati BPMRP Kemdikbud Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstrak : Penelitian ini bertujuan apakah pemanfaatan media audio pembelajaran Gelaria (Gerak dan Lagu Anak Ceria) dalam pembelajaran di PAUD dapat: 1) meningkatkan kemampuan bernyanyi melalui pengenalan berbagai lagu anak; dan 2) meningkatkan kemampuan melakukan berbagai gerakan sesuai lirik lagu anak dalam Gelaria. Penelitian survey dilaksanakan di 8 propinsi yaitu DIY, Sulawesi Barat, NTT, Jawa Barat, Bengkulu, Jawa Timur, Banten, dan Kalimantan Selatan dengan jumlah responden 24 guru dan 80 anak didik. Judul media audio yang digunakan dalam pembelajaran yaitu Gelaria “Pesawat” dan Gelaria “Angsa”. Teknik pengumpulan data dengan observasi pemanfaatan model, kuesioner tentang pemanfaatan Gelaria untuk pendidik PAUD, dan lembar pengamatan. Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menafsirkan data tentang ketercapaian tujuan pengembangan model. Hasil penelitian menunjukkan: 1) siswa dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama musik dengan cukup baik (66%) pada pembelajaran dengan memanfaatkan Gelaria “Pesawat” dan baik (85%) pada Gelaria “Angsa”; dan 2) siswa dapat melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik dengan baik (82%) pada pembelajaran dengan memanfaatkan Gelaria “Pesawat” dan baik (85%) pada Gelaria “Angsa”. Gerakan yang dilakukan beragam, mulai dari menggerakkan kepala sampai menggerakkan kaki dan jenis-jenis gerakan yang siswa mengalami kesulitan dalam melakukannya.

Kata Kunci: bernyanyi, gerakan, media audio Gelaria

Abstract: The aim of this study was to understand “is the use of audio media learning Gelaria (Motion and Child Fun Song) in learning in early childhood can”: 1) improve the ability to sing through the introduction of a variety of children’s songs; and 2) improve the ability to perform various movements in accordance child song in Gelaria. Research survey conducted in eight provinces, namely DIY, West Sulawesi, East Nusa Tenggara, West Java, Bengkulu, East Java, Banten and South Kalimantan with 24 teachers and 80 students respondents. Audio media title used in learning is Gelaria “Pesawat” and Gelaria “Angsa”. Data collection techniques used observation on model application, a questionnaire for early childhood educators on the use Gelaria, and observation sheet. The data were analyzed descriptively to interpret data on the achievement of the model development objectives. The results showed: 1) students can sing songs in accordance to the music tone and rhythm on the criteria “good enough” (66%) using Gelaria “ Pesawat “ and “good” (85%) using Gelaria “ Angsa “; and 2) students can perform movements corresponding to song lyrics and music rhythm on “good” criteria (82%) using Gelaria “ Pesawat “ and “good” (85%) using Gelaria “ Angsa “. Movements performed diverse, ranging from moving the head to move the legs and other types of movement that students have difficulty in doing so.

Keywords: singing, movement, audio media Gelaria

30

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Pendahuluan

Pendidikan anak usia dini (PAUD) menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan bidang pendidikan di Indonesia. Meningkatnya perhatian pemerintah pada pendidikan anak usia dini ini karena semakin disadari pentingnya pondasi pendidikan yang kuat di Indonesia. Keberhasilan pendidikan untuk anak usia dini ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya dipengaruhi oleh peran tenaga pendidiknya. Pendidik anak usia dini tidak hanya memiliki peran dan fungsi yang sekedar mentransfer ilmu, tapi juga memiliki tugas untuk menumbuhkembangkan berbagai bidang perkembangan anak usia dini, antara lain: kognitif, bahasa, fisik motorik, seni, sosial emosional, dan nilai-nilai agama moral. Setiap bidang perkembangan anak usia dini tersebut memerlukan stimulasi yang tepat. Stimulasi dapat dilakukan dengan berbagai teknik, diantaranya dengan pemanfaatan berbagai media pembelajaran.

Sampai saat ini pemanfaatan TIK dalam pembelajaran PAUD masih sangat terbatas. Pembelajaran PAUD masih lebih banyak yang bersifat konvensional, di mana guru harus “one person show” dalam sebagian besar kegiatan pembelajaran. Keterbatasan kemampuan untuk memanfaatkan, apalagi mengembangkan media pembelajaran alternatif berbasis TIK di kalangan guru PAUD disinyalir menjadi salah satu penyebab kenyataan masih banyaknya guru PAUD yang belum memanfaatkan media berbasis TIK dalam kegiatan pembelajaran.

Kehadiran TIK dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk variasi pembelajaran yang selama ini dilakukan secara konvensional oleh sebagian besar guru PAUD. Dengan TIK diharapkan pembelajaran di PAUD lebih menarik dan menyenangkan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak usia dini dalam seluruh aspek perkembangannya, baik aspek perkembangan kognitif, bahasa, seni, sosial

emosional, dan fisik motorik.

Perkembangan fisik motorik anak usia dini meliputi kemampuan motorik halus dan motorik kasar. Perkembangan motorik kasar yang dimaksud mencakup: kemampuan menggerakkan tubuh secara terkoordinasi, lentur, seimbang, lincah, lokomotor, nonlokomotor dan mengikuti aturan (Kemdikbud, 2014). Upaya untuk menumbuhkembangkan fisik motorik dapat dilakukan melalui eksplorasi gerakan. Berbagai jenis gerakan bermanfaat untuk pengembangan aspek fisik motorik, mulai dari menggerakkan kepala sampai dengan menggerakkan kaki. Eksplorasi gerakan penting diajarkan dalam pembelajaran anak usia dini agar anak memiliki kemampuan gerak tubuh dengan menggunakan otot-otot besar sehingga anak memiliki koordinasi bagian tubuh dan keseimbangan tubuh yang baik. Pengembangan motorik khususnya motorik kasar pada anak usia dini berfungsi: melatih kelenturan dan koordinasi otot jari dan tangan; membentuk, membangun, dan memperkuat tubuh anak; melatih ketangkasan gerak dan berpikir anak,

31

meningkatkan perkembangan emosional dan sosial anak.

Perkembangan motorik adalah perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi (Hurlock, 1978). Sedangkan menurut Santrock (2007) keterampilan motorik kasar adalah keterampilan yang meliputi aktivitas otot besar, seperti menggerakkan lengan dan berjalan. Keterampilan motorik kasar dapat berkembang memerlukan kontrol posisi tubuh, seperti sebelum seorang anak dapat berjalan, ia harus mampu menyeimbangkan diri di atas satu kaki (Santrock, 2007). Berdasar pengertian di atas, gerakan motorik kasar merupakan gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri.

Hurlock (1978) menyatakan bahwa ada 5 prinsip perkembangan motorik kasar, yaitu: 1) perkembangan motorik kasar bergantung pada kematangan otot dan syaraf; 2) berlangsung secara terus menerus; 3) memiliki pola yang diramalkan; 4) reflek primitif akan hilang dan digantikan gerakan yang disadari; dan 5) urutan perkembangan pada anak sama tetapi kecepatannya berbeda. Berdasar pendapat tersebut, untuk menstimulasi kemampuan motorik anak perlu memperhatikan 5 prinsip perkembangan motorik kasar.

Pendidik anak usia dini dalam memberikan stimulasi perkembangan

anak usia dini juga perlu memperhatikan perkembangan pada aspek seni. Stimulasi seni pada anak terkait dengan pengembangan kecerdasan musikal. Jamaris (2015: 145) menjelaskan bahwa ada 10 ciri kecerdasan musikal pada anak, yaitu: 1) senang memainkan alat musik; 2) senantiasa ingat irama pada suatu melodi; 3) berprestasi baik dalam bidang seni musik di sekolah; 4) senang belajar jika ada iringan musik; 5) mengoleksi berbagai lagu dalam buku, CD, atau kaset; 6) senang menyanyi untuk sendiri maupun orang lain; 7) mudah mengikuti irama lagu/musik; 8) memiliki suara yang bagus untuk bernyanyi; 9) peka terhadap suara-suara di lingkungan sekitarnya; dan 10) memberikan reaksi yang kuat terhadap berbagai jenis musik. Ciri-ciri kecerdasan musikal ini penting untuk diketahui pendidik PAUD agar dapat mengetahui sejak dini apa potensi dasar yang dimiliki anak didik sehingga dapat memberikan stimulasi yang tepat.

Beberapa penelitian tentang upaya peningkatan kemampuan motorik kasar menjadi acuan dalam penelitian ini. Penelitian yang dilakukan Nur Utami (2014: 72) di RA Muslimat NU Sukosari Bandongan Magelang pada 10 siswa menyimpulkan bahwa pembelajaran senam fantasi meningkatkan kemampuan motorik kasar siswa yang ditunjukkan sebesar 5% dengan pemberian pembelajaran senam anak sholeh; dan peningkatan sebesar 35% dengan pemberian pembelajaran senam sehat gembira. Penelitian yang dilakukan Esti Erlinda (2014: 59) menunjukkan

Kulsum Nur Hayati - Meningkatkan Kemampuan Bernyanyi

32

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

bahwa melalui permainan melempar dan menangkap bola dapat meningkatkan kemampuan motorik kasar anak usia dini di PAUD Al Ikhlas Kepahiang Bengkulu. Berdasar penelitian tersebut dapat diketahui beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk menumbuhkembangkan kemampuan motorik anak usia dini. Namun dalam penelitian tersebut belum memanfaatkan media pembelajaran untuk menambah daya tarik dan ketertarikan siswa dalam pembelajaran. Oleh karena itu pemanfaatan media pembelajaran diperlukan untuk lebih memotivasi dan lebih menambah daya tarik pelaksanaan pembelajaran yang bertujuan mengembangkan kemampuan fisik motorik dan seni.

Dalam mengembangkan media pembelajaran untuk menumbuh-kembangkan seni dan fisik motorik anak, pengembang media perlu menyesuaikan dengan karakteristik anak usia dini khususnya terkait perkembangan fisik motorik dan seni. Penelitian ini ingin mengetahui apakah pembelajaran menggunakan model Gelaria yang dikembangkan BPMRP Kemdikbud dapat menumbuhkembangkan fisik motorik dan seni pada anak usia dini. Gerak dan lagu dalam media audio Gelaria diartikan sebagai melakukan gerakan berdasarkan lirik lagu. Pengertian tersebut perlu dipertegas mengingat dalam sejarah gerak dan lagu di dalam pendidikan anak usia dini mengalami beberapa perubahan sesuai masanya. Ada masa dimana gerak dan lagu dikaitkan dengan gerakan-gerakan senam (olahraga). Ada juga masa dimana gerak dan

lagu dilakukan dengan menggunakan lagu-lagu yang sudah ada sebelumnya, sehingga sulit membedakan antara kegiatan gerak dan lagu dan menari sambil bernyanyi yang juga diajarkan di Taman Kanak-kanak.

Balai Pengembangan Media Radio Pendidikan berdasarkan masukan dari para praktisi pendidikan PAUD berusaha mengembalikan bentuk gerak dan lagu yang sebenarnya. Gerak dan lagu yang benar adalah gerakan-gerakan yang dilakukan sesuai dengan lirik lagu. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia, banyak membuktikan bahwa gerak dan lagu mempunyai peranan sangat penting dalam proses tumbuh kembangnya seorang anak. Musik memberikan keseimbangan hidup bagi anak. Bernyanyi dan bergerak adalah suatu kegiatan yang disukai anak, memberikan kepuasan, kebahagiaan sehingga mendorong anak lebih giat dan bersemangat. Dengan nyanyianpun anak menjadi mudah mempelajari sesuatu.

Berdasar latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan memanfaatkan media audio Gelaria dapat menumbuhkembangkan aspek seni melalui pengenalan lagu anak dan menumbuhkembangkan fisik motorik anak melalui gerak sesuai lirik lagu anak.

Metode PenelitianPenelitian tentang pemanfaatan model

Gelaria dalam pembelajaran menggunakan metode survey untuk mengetahui ketercapaian tujuan pengembangan model

33

Kulsum Nur Hayati - Meningkatkan Kemampuan Bernyanyi

34

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

35

Gelaria, yaitu menumbuhkembangkan aspek seni melalui pengenalan lagu anak dan menumbuhkembangkan fisik motorik anak melalui gerak sesuai lirik lagu anak. Survei dilakukan di 8 (delapan) lokasi di propinsi DI Yogyakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan selama tiga bulan yaitu bulan September sampai dengan Nopember 2015.

Pengumpulan data pemanfaatan model Gelaria menggunakan tiga instrumen, yaitu: lembar pengamatan siswa, angket untuk pendidik PAUD, dan lembar pengamatan pendidik PAUD. Sedangkan subjek penelitian ini yaitu anak didik dan pendidik PAUD yang berjumlah 24 pendidik dan 80 anak didik yang berasal dari 8 propinsi. Media audio Gelaria yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran di PAUD ada dua judul yaitu “Pesawat” dan “Angsa”. Judul lagu, lirik lagu, dan stimulasi gerakan yang diajarkan dapat dicermati pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 dan Tabel 2 mendeskripsikan judul lagu disertai lirik lagu per baris dan gerakan apa yang dilakukan ketika lagu dalam program tersebut dinyanyikan. Pengamatan dilakukan terhadap unjuk kerja (performance) peserta didik PAUD dalam pembelajaran yang memanfaatkan media audio Gelaria, yaitu dalam menyanyikan lagu dan melakukan gerakan yang distimulasikan. Instrumen pengamatan berbentuk lembar pengamatan dengan bentuk pernyataan yang diikuti oleh 4 (empat) pilihan jawaban

kategorial sesuai skala Lickert (Babby, 1988) yaitu “belum berkembang” (nilai 1), “sudah berkembang” (nilai 2), “berkembang sesuai harapan” (nilai 3), dan “berkembang sangat baik” (nilai 4). Sedangkan lembar pengamatan guru PAUD untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran menggunakan Gelaria, pengamatan dilakukan oleh surveyor dan kuesioner memperoleh data tentang pemanfaatan Gelaria oleh pendidik PAUD. Adapun kriteria pencapaian yang menjadi acuan dalam penelitian ini, yaitu: jika pencapaian indikator kurang dari 40% masuk dalam kriteria kurang, sedangkan jika sudah mencapai 40% sampai dengan 75% masuk dalam kriteria cukup, dan jika lebih dari 75% masuk dalam kriteria dapat menyanyikan lagu dan melakukan gerakan dengan baik.

Hasil dan Pembahasan

Setiap program yang telah dikembangkan memiliki karakteristik berbeda dalam menstimulasi jiwa seni dan fisik motorik anak berupa berbagai lagu anak dan jenis-jenis gerakan tertentu. Dalam penelitian ini ada 2 indikator yang diamati yaitu anak dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama musik serta anak dapat melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik dalam kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan media audio Gelaria “Pesawat” dan “Angsa”.

Dalam memanfaatkan program Gelaria, ada tiga langkah yang dilakukan guru, yaitu sebelum pemanfaatan, selama, dan sesudah pemanfaatan. Berdasar hasil

Kulsum Nur Hayati - Meningkatkan Kemampuan Bernyanyi

36

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

pengamatan oleh surveyor dari BPMRP Kemendikbud, menunjukkan hasil sebagai berikut: 1) sebelum pemanfaatan program, guru menyiapkan program dengan cara meng-copy program kemudian mempelajari tujuan, lagu, syair dan gerakan yang diajarkan sesuai dengan petunjuk pemanfaatan. Selanjutnya, guru membuat jadwal pembelajaran dan skenario pembelajaran dengan memanfaatkan Gelaria, serta menjelaskan kepada anak, agar anak lebih bersemangat dalam melakukan gerak dan lagu; 2) selama pemanfaatan program, guru mengawali dengan memberikan contoh gerakan, kemudian memotivasi anak agar bisa mengikuti gerakan sesuai lirik, dan mengarahkan anak yang belum mampu mengikuti gerakan; dan 3) sesudah pemanfaatan program, guru memberikan apresiasi berupa pujian kepada anak yang sudah dapat mengikuti gerakan dan lagu serta memberikan semangat kepada anak yang belum bisa mengikuti gerakan dan lagu. Pada bagian akhir pembelajaran, guru memberikan penilaian perkembangan anak.

Hasil observasi dalam kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan media audio Gelaria dengan judul “Pesawat” seperti pada Gambar 1 menunjukkan 66% anak dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama musik serta 82% anak dapat melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik.

Hasil ini menunjukkan anak dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama musik cukup baik serta anak dapat

melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik dengan baik. Dalam program Gelaria “Pesawat” ini ada 3 lagu yang dinyanyikan yaitu “ Ke Bandara”, “Naik Tangga”, dan “Pesawat Terbang”. Lagu “Ke Bandara ” dengan lirik lagu, berdiri tegap antri yang rapi lihat ke kanan lihat ke kiri, sedangkan gerakan yang dilakukan yaitu berdiri tegak berbaris berbanjar, kemudian badan tegak sambil menggerakkan kepala tengok ke kanan kemudian ke kiri. Lagu “Naik Tangga” dengan lirik lagu: ayo berjalan berhati-hati, berjalanlah sebelah kiri sampai dengan angkat kaki seperti turun tangga, hati-hati tak lupa berdoa, sedangkan gerakan yang dilakukan yaitu berjalan dengan rapi sampai dengan angkat kaki berganti-ganti seperti turun tangga. Lagu “Pesawat Terbang” dengan lirik lagu: rentangkan kedua tanganmu seperti pesawat terbang, miring ke kanan miring ke kiri, sedangkan gerakan yang dilakukan yaitu badan tegak, tangan kanan dan kiri dibuka sejajar bahu seperti posisi pesawat terbang, dengan gerakan tangan direntangkan kemudian jalan berputar seolah-olah seperti pesawat terbang. Pada program Gelaria

37

“Pesawat” ini gerakan yang sulit dilakukan yaitu gerakan merentangkan tangan sambil meliukkan badan ke kanan disertai kaki melangkah ke kanan.

Hasil observasi dalam kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan media audio Gelaria dengan judul “Angsa” seperti pada Gambar 2 menunjukkan 85% anak dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama musik serta 85% anak dapat melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik.

Hasil ini menunjukkan bahwa anak dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama musik dengan cukup baik serta anak dapat melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik dengan cukup baik. Lagu yang dinyanyikan berjudul “Angsa” dengan lirik lagu pada bait pertama: beginilah jalannya beginilah jalannya jalan si angsa, sedangkan gerakan yang dilakukan yaitu kedua tangan diletakkan di belakang pinggul dengan telapak tangan menghadap keluar dan berjalan megal megol sampai dengan gerakan terakhir bait pertama yaitu kembali berdiri tegak dengan rapi. Pada bait pertama

tersebut lagu dapat dinyanyikan dan gerakan dapat dilakukan dengan baik.

Selanjutnya, bait kedua, lirik lagu yang dinyanyikan yaitu ayo kawan semua rentang tangan kedua tangan di pinggang, sedangkan gerakan yang dilakukan jalan di tempat kemudian kedua tangan diangkat di depan dada, kedua telapak tangan menghadap ke atas (gerakan mengajak), kedua tangan direntangkan lurus ke samping, kedua tangan di pinggang, sampai dengan gerakan terakhir bait pertama yaitu kedua tangan diluruskan ke belakang pinggul dengan telapak tangan berhadapan kemudian lari ke depan. Pada bait kedua tersebut, lagu dapat dinyanyikan dan gerakan dapat dilakukan dengan baik.

Berdasar kriteria yang menjadi acuan, dapat disimpulkan bahwa pencapaian indikator yang diharapkan masuk dalam rentang antara 60% sampai dengan 85% yang berarti bahwa ketercapaian indikator anak dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama dan anak dapat melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik dalam kriteria cukup baik dan baik. Berdasar hasil pengamatan di lapangan hal ini terjadi karena lagu yang diajarkan membutuhkan waktu lama untuk menghafalkannya dan beberapa gerakan yang distimulasikan cukup sulit dilakukan oleh anak usia dini. Para pendidik PAUD menyarankan agar pengembangan Gelaria lebih lanjut dengan menyajikan lagu yang lebih pendek sehingga mudah diingat dan gerakan yang lebih sederhana sehingga mudah dilakukan oleh anak usia dini.

Kulsum Nur Hayati - Meningkatkan Kemampuan Bernyanyi

38

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Simpulan

Berdasar hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan media audio Gelaria dalam pembelajaran dapat menumbuhkembangkan aspek seni melalui pengenalan lagu anak dan menumbuhkembangkan fisik motorik anak melalui gerak sesuai lirik lagu anak. Terbukti berdasar hasil pengamatan dalam kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan media audio Gelaria dengan judul “Pesawat” menunjukkan 66% anak dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama musik serta 82% anak dapat melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik. Sedangkan dalam pemanfaatan media audio Gelaria dengan judul “Angsa” menunjukkan 85% anak dapat menyanyikan lagu sesuai nada dan irama musik serta 85% anak dapat melakukan gerakan sesuai lirik lagu dan irama musik.

Berdasar hasil penelitian, dapat diketahui bahwa tingkat pencapaian kompetensi yang diharapkan masuk dalam kriteria cukup dan baik. Oleh karena itu perlu adanya penyederhanaan lagu dan gerakan yang lebih mudah diingat oleh anak usia dini.

Daftar Rujukan

Erlinda, Esti. 2014. Pengembangan Motorik Kasar Anak Usia Dini melalui Permainan Melempar dan Menangkap Bola. Skripsi. Bengkulu: Universitas Bengkulu.

Hurlock, Elizabeth B. 1978. Child Psychology. Auckland: McGraw-Hill.

Jamaris, Martini. 2006. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-kanak. Jakarta: Grasindo.

Kemdikbud. 2014. Permendikbud No 137 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kemdikbud.

Utami, Nur. 2014. Upaya Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Berbasis Soft Skill melalui Pembelajaran Senam Fantasi pada Siswa Kelompok A RA Muslimat NU Magelang. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

______________. 2002. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

39

PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU MENYUSUN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MELALUI

FOCUS GROUP DISCUSSION TEKNIK “KISS ME”

IswantoDinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul

E-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan membantu guru agar mempunyai kemampuan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) melalui sarana kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Teknik “Kiss Me”. Penelitian ini menggunakan desain Penelitian Tindakan Sekolah (PTS). Subjek penelitian yaitu guru kelas V dan VI SD Segugus I SD Semin I Gunungkidul tahun 2015. Pengumpulan data melalui observasi partisipasi guru dalam diskusi dan penilaian produk berupa rencana pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan analisis data yang digunakan dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan meningkatnya kemampuan guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran melalui kegiatan FGD Teknik “Kiss Me” pada guru-guru sekolah binaan di Gugus I SD Semin I Gunungkidul tahun 2015 yang ditandai dengan semua guru peserta diskusi mampu menyusun RPP. Hasil penilaian RPP dari guru peserta diskusi sebelum tindakan rerata nilai hanya 68,5 meningkat pada siklus I mencapai rerata nilai 84 dan pada siklus II mencapai rerata nilai 91.

Kata Kunci: RPP, FGD, teknik “Kiss Me”

Abstract: This study aimed to increase teachers’ ability in preparing lesson plan (RPP) through Focus Group Discussion (FGD) technique “Kiss Me”. This study was School Action Research (PTS). The research subject was class V and VI elementary school teachers in cluster I SD I Semin Gunungkidul in 2015. Observation of teacher participation in discussion and assessment products such as lesson plan and implementation used to collect data. Data was analyzed qualitative descriptively. The results showed the increasing teachers’ ability to prepare lesson plan through FGD “Kiss Me” that was indicated by participants’ ability to prepare lesson plans. The average result of teachers Lesson Plan assessment before action was 68.5 increased to 84 in the first and the second cycle increased to 91.

Keywords: RPP, FGD, “Kiss Me” technique

Pendahuluan

Guru mempunyai kewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Merencanakan pembelajaran merupakan salah satu tugas keprofesionalan

dan kewajiban guru. Keberhasilan dari suatu kegiatan sangat ditentukan oleh perencanaan. Kegiatan yang direncanakan dan dirancang dengan baik menjadikan kegiatan tersebut akan lebih terarah, mudah dilaksanakan, serta terkendali. Demikian pula halnya dalam proses belajar mengajar, agar pelaksanaan

40

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

pembelajaran terlaksana dengan baik maka diperlukan rencana pembelajaran yang baik.

Rencana pembelajaran berperan sebagai acuan bagi guru untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar agar dapat berjalan efektif efesien. Perencanaan pembelajaran yang disusun guru hendaknya fleksibel dan memberikan kemungkinan bagi guru untuk menyesuaikan diri dalam proses pembelajaran sesungguhnya.

Perubahan kurikulum dan yang terakhir kurikulum 2013 mengharuskan guru untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Perubahan pola pembelajaran membutuhkan rencana pelaksanaan pembelajaran yang baru pula. Guru memerlukan kemampuan menyusun rencana pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku saat guru bertugas di sekolah.

Berdasarkan penilaian atas RPP dari hasil observasi, monitoring, serta supervisi yang telah dilakukan pengawas sekolah dalam ketugasan sebagai supervisor akademik pada tahun 2015 ditemukan fakta bahwa masih banyak guru yang dalam menyusun RPP belum sesuai harapan. Dari hasil supervisi dengan intrumen pemantauan RPP rata-rata skor yang didapat guru hanya sebesar 68,5. Hasil itu masih jauh dibawah rerata yang diharapkan yaitu 85. Dari temuan ini diketahui bahwa sebagian guru atau 65 % guru masih mengalami kesulitan dalam menyusun RPP yang memenuhi kreteria sebagaimana yang tercantum dalam intrumen pemantauan RPP. Kelemahan guru

dalam menyusun RPP disebabkan banyak faktor, satu diantaranya adalah pemahaman komponen yang harus ada dalam RPP masih rendah. Sebagai contoh dari hasil pemantauan RPP ada 65 % guru mengalami kesulitan dalam menjabarkan kompetensi dasar dalam indikator ketuntasan belajar siswa.

Berbagai telah ditempuh oleh pengawas sekolah cara untuk mengatasi rendahnya kemampuan guru menyusun RPP, antara lain dengan workshop, seminar, diskusi. Kegiatan peningkatan kompetensi guru melalui cara tersebut kurang membawa peningkatan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan guru dalam menyusun RPP. Kurang berhasilnya kegiatan peningkatan kemampuan guru tersebut berdasar hasil wawancara dengan sejumlah guru dikarenakan guru kurang tertarik dengan metode tersebut. Dari data penilaian RPP diketahui 35 % guru memang menunjukkan peningkatan kemampuan menyusun RPP tetapi 65 % guru yang lain belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ketidaktertarikan guru dalam kegiatan peningkatan mutu guru dalam kegiatan KKG di gugus salah satu indikasi lemahnya motivasi untuk belajar dari guru. Lemahnya motivasi belajar guru ini menjadi salah satu sebab tidak efektifnya kegiatan peningkatan kompetensi guru.

FGD merupakan suatu diskusi yang diakukan secara sistematis dan terarah mengenai suatu isu atau masalah tertentu (Yusuf, 2011: 1). FGD berbeda dengan

41

diskusi pada umumnya. FGD memfokuskan permasalahan diskusi pada satu masalah yang telah direncanakan secara terarah. Kegiatan diskusi dapat berjalan dengan baik jika masing-masing peserta mampu berpikir kritis untuk ikut mengkritisi permasalahan yang sedang didiskusikan. Berpikir kritis menurut Hidayat (2012: 1) merupakan kegiatan berpikir yang mendalam, komprehensif, argumentatif, logis, dan evaluatif. FGD akan lebih berdaya guna jika masing-masing peserta mampu bersikap kritis. FGD teknik “Kiss Me” merupakan perpaduan antara kegiatan diskusi dan berfikir kritis dalam memecahkan masalah. “Kiss Me” merupakan akronim dari kritisi dan ingat beri saran-saran yang membangun. Dalam FGD teknik “Kiss Me” ini peserta diharapkan mampu memberikan kritik dan saran sebanyak-banyaknya.

Berangkat dari kondisi, permasalahan, dan alternatif pemecahan masalah tersebut pengawas sekolah melakukan penelitian tindakan sekolah tentang usaha peningkatan kemampuan guru dalam menyusun RPP melalui FGD Teknik “Kiss Me” pada Guru-Guru Sekolah Binaan di Gugus I SD Semin I Tahun 2015. Melalui penelitian tindakan sekolah ini diharapkan guru mampu menyusun RPP untuk diterapkan di kelas masing-masing.

Rumusan masalah berdasar latar belakang permasalahan diatas yaitu 1) Bagaimana FGD dengan teknik “Kiss Me” dalam meningkatkan kemampuan guru menyusun RPP. 2) Apakah melalui kegiatan

FGD dengan teknik “Kiss Me” dapat meningkatkan kemampuan guru menyusun RPP pada guru-guru sekolah binaan di gugus I SD Semin I tahun 2015.

Tujuan dari penelitian adalah meningkatkan kemampuan guru-guru di sekolah binaan dalam menyusun RPP. Manfaat yang diperoleh dari penelitian tindakan sekolah ini adalah meningkatnya kemampuan guru dalam menyusun RPP serta meningkatnya penguasaan guru menerapkan FGD dalam pemecahan masalah.

Perencanaan Pembelajaran

Hernawan, dkk (2014: 9.4) mengemukakan bahwa rencana pembelajaran atau disebut juga rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) merupakan kegiatan merumuskan tujuan-tujuan atau kompetensi-kompetensi apa yang akan dicapai oleh suatu kegiatan pembelajaran, cara apa yang digunakan untuk menilai pencapaian tujuan atau bagaimana atau kompetensi tersebut, materi atau bahan apa yang akan disampaikan, bagaimana cara menyampaikan bahan, serta media atau alat atau sumber belajar apa yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran tersebut. Dari pengertian perencanaan tersebut maka Perencanaan mengandung unsur-unsur, antara lain ada tujuan yang harus dicapai, ada strategi untuk mencapai tujuan, sumber daya yang mendukung. Sedangkan Anitah, dkk. (2014: 12.5) mengemukakan bahwa perencanaan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pedoman mengajar bagi guru dan pedoman

Iswanto - Peningkatan Kemampuan Guru

42

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

belajar bagi siswa. Berdasarkan pengertian perencanaan pembelajaran tersebut maka perencanaan pembelajaran adalah kegiatan merancang tindakan apa yang akan dilaksanakan dalam suatu proses belajar mengajar yang dilakukan guru yaitu dengan mengkoordinasikan komponen-komponen pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, cara penyampaian kegiatan (metode, model dan teknik), serta bagaimana mengukurnya menjadi jelas dan sistematis, sehingga nantinya proses belajar mengajar menjadi efektif dan efisien.

Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah menegaskan bahwa Perencanaan pembelajaran dirancang dalam bentuk Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada Standar Isi. Berdasar Permendikbud ini maka rencana pembelajaran dalam penelitian ini disebut dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Dalam penyusunan sebuah RPP, guru harus memperhatikan prinsip penyusunan RPP. Berkaitan dengan prinsip penyusunan RPP, Rusman ( 2012: 7) mengemukakan enam prinsip penyusunan RPP yaitu memperhatikan perbedaan individual, mendorong partisipasi aktif peserta didik, mengembangkan budaya membaca dan menulis, memberi umpan balik dan tindak lanjut, keterkaitan dan keterpaduan, serta menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.

Sebuah RPP harus memuat komponen pokok RPP. Komponen RPP menurut Rusman (2012: 5) terdiri atas komponen berikut: identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

Identitas RPP meliputi nama sekolah, kelas, semester, mata pelajaran, dan alokasi waktu. Kegiatan pembelajaran dalam RPP meliputi unsur kegiatan pendahuluan/pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Sedangkan rencana penilaian meliputi teknik penilaian, bentuk instrumen, dan instrumen yang dipakai.

Guru profesional salah satunya dicirikan memiliki kompetensi seorang guru diantaranya kompetensi pedagogik. Rusman (2012: 54) menyebutkan bahwa kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik.

Apabila kemampuan guru tersebut dihubungkan dengan penyusunan RPP maka pendidik harus memiliki kemampuan dalam menyusun RPP untuk pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar yang telah ada dalam standar isi. Seorang guru dikatakan menguasai keterampilan menyusun RPP jika RPP yang disusun sesuai kaidah penyusunan RPP dan memuat komponen RPP sebagaimana yang tercantum dalam

43

standar proses.

Sebagai pedoman penilaian RPP yang akan digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan guru dalam menyusun RPP tersebut mengacu pada instrumen RPP dari Buku Kerja Pengawas Sekolah tahun 2015 bahwa RPP memuat hal sebagai berikut: 1) identitas sekolah yang memuat nama sekolah, SK, KD, indikator, dan alokasi waktu; 2) tujuan pembelajaran; 3) materi pembelajaran; 4) metode pembelajaran; 5) kegiatan pembelajaran yang meliputi eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi; 6) dan kegiatan penilaian meliputi tugas terstruktur dan tidak terstruktur (Kemendikbud, 2015: 143).

Focus Group Discussion (FGD) Teknik “Kiss Me”

FGD menurut Tim Pilot Proyek Restorasi (2013:2) adalah suatu metode proses pengumpulan informasi melalui diskusi kelompok yang jumlahnya terbatas dengan topik yang spesifik dan terfokus. Sedangkan Yusuf (2011: 2) menyebut Focus Group Discussion mengandung tiga kata kunci: 1) diskusi (bukan wawancara atau obrolan); 2) kelompok (bukan individual); 3) terfokus/terarah (bukan bebas). Dari pengertian FGD terkandung tiga kata kunci dalam pengertian FGD yaitu diskusi, kelompok, dan terfokus/terarah. Dari tiga kunci FGD tersebut dapat diartikan walaupun hakikatnya adalah sebuah diskusi, FGD berbeda dengan dengan kegiatan wawancara, rapat, atau obrolan santai.

FGD dilakukan untuk mencari solusi atau menyelesaikan masalah. Dengan demikian, diskusi kelompok terarah (FGD) adalah diskusi kelompok terarah dipandu oleh moderator dan pertanyaan serta pembicaraan yang berlangsung ditulis secara cermat. Kelebihan FGD terletak pada jumlah peserta yang terbatas sehingga memungkinkan dikskusi lebih efektif untuk menyelesaikan permasalahan diskusi.

Menurut Krueger, FGD memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Jumlah peserta dalam kelompok cukup 7–10 orang, namun dapat diperbanyak hingga 12 orang; 2) Peserta harus mempunyai ciri-ciri yang sama atau homogen. Ciri-ciri yang sama ini ditentukan oleh tujuan atau topik diskusi; 3) Peserta idealnya terdiri dari orang-orang yang tidak saling mengenal. Jika sulit dilakukan, minimal tidak memasukkan orang yang selalu melakukan interaksi sehari-hari secara teratur; 4) FGD umumnya dilangsungkan selama 60–120 menit dan dapat dilakukan beberapa kali (Paramita dan Kristiana, 2013: 118-119).

Pelaksanaan FGD dapat berjalan dan dapat menghasilkan kesimpulan dari pemecahan masalah yang sedang didiskusikan jika peserta aktif. Partisipasi aktif peserta berbentuk pemberian kritik dan saran yang membangun. Kritik yang diberikan hendaknya disertai dengan alternatif pemecahannya. Kritik dan saran dapat diberikan oleh peserta jika peserta mempunyai kemampuan berpikir kritis. Hidayat (2012: 1) mengemukakan bahwa

Iswanto - Peningkatan Kemampuan Guru

44

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

seseorang dapat dikatakan berpikir kritis di antaranya ketika ia banyak membaca dan menyimak informasi yang berimbas pada ketajaman dalam menelaah suatu tulisan. Selanjutnya Hidayat (2012: 1) mengemukakan bahwa dengan berpikir kritis, kita tidak saja memahami apa yang didengar atau dilihat, tetapi juga dapat memberi penilaian dan perbaikan yang dianggap perlu.

Berpikir kritis dibutuhkan dalam diskusi pemecahan masalah. Hal ini terlihat dalam ciri berpikir kritis sebagaimana yang disampaikan oleh Zaki (2014:3). bahwa ciri berpikir kritis meliputi kemampuan mengidentifikasi, kemampuan mengevaluasi, kemampuan menyimpulkan, kemampuan mengemukakan pendapat.

Adanya korelasi yang signifikan antara berpikir kritis dan keefektifan FGD maka peneliti mencoba untuk mengembangkan teknik FGD dengan memperbanyak masukan dari peserta berupa kritik dan saran yang membangun atau bersifat memperbaiki selama proses diskusi. Peneliti memadukan FGD dengan teknik pemberian saran dan kritik dengan menyebut sebagai FGD teknik “Kiss Me”. Kiss Me merupakan akronim dari kritisi dan beri saran-saran membangun. Melalui pengembangan FGD teknik “Kiss Me” diharapkan diskusi yang dilakukan dapat berdaya guna dalam memecahkan masalah yang ada.

Pelaksanaan FGD teknik “Kiss Me” tergambar dalam langkah-

langkah atau tahapan-tahapan meliputi perencanaa, pelaksanaan, kegiatan tindak lanjut. Dalam kegiatan perencanaan meliputi kegiatan penentuan peserta, pembentukan tim, pemilihan tempat dan waktu, penyiapan alat, penyiapan bahan/materi, dan skenario kegiatan FGD. Skenario dalam pelaksanaan FGD teknik “Kiss Me” meliputi kegiatan pra diskusi berupa penjelasan umum pelaksanaan dan tata tertib diskusi serta skenario pelaksanaan kegiatan diskusi.

Tata tertib FGD teknik “Kiss Me” meliputi 1) Pertanyaan, kritik, saran disampaikan dengan singkat dan jelas; 2) Pertanyaan, kritik, saran diusahakan fokus pada masalah yang dihadapi yaitu penyusunan RPP; 3) Pertanyaan, kritik, saran disampaikan dengan santun; 4) Semua alur pembicaraan diskusi harus melewati moderator; 5) Semua alur pembicaraan diskusi harus melewati moderator; 6) Semua peserta diskusi kedudukannya sama derajat dan berhak untuk berpartisipasi menyampaikan pendapat/saran/jawaban; 7) Apapun jawaban/pendapat/saran yang disampaikan peserta FGD tidak boleh diklasifikasikan “salah” atau “benar”, hal ini bertujuan agar peserta diskusi tidak rendah diri; dan 8) Semua hasil pembicaraan dirangkum dan dicatat penulis/notulis.

Pelaksanaan FGD teknik “Kiss Me” dalam kegiatan tindakan dilaksanakan selama kurang lebih 1,5 jam untuk setiap pertemuan dengan kegiatan awal terdiri dari pengaturan tempat duduk, pengantar awal diskusi berisi penyampaian

45

tata tertib dan materi diskusi. Kegiatan diskusi dilakukan dengan melibatkan semua peserta diskusi dalam kegiatan ini termasuk kegiatan penyimpulan hasil diskusi. Selama pelaksanaan diskusi peserta diskusi sangat disarankan untuk membawa rujukan, berupa peraturan misal UU, PP, peraturan menteri, buku pegangan guru, buku penunjang agar setiap kritik dan saran yang disampaikan mempunyai landasan yang kuat.

Metode PenelitianPenelitian tindakan sekolah ini

dilakukan selama tiga bulan, mulai bulan September sampai dengan Nopember 2015. Penelitian dilakukan di Gugus I SD Semin I, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Guru yang menjadi subjek penelitian ini adalah guru SD kelas V dan VI segugus I

SD Semin I. Data penelitian dikumpulkan

melalui observasi terhadap proses kegiatan FGD teknik “Kiss Me” dan penilaian produk kegiatan kegiatan berupa RPP hasil diskusi selama kegiatan FGD. Dalam pengumpulan data dibantu oleh kolaborator penelitian. Sumber data adalah aktifitas peserta diskusi dan RPP sebagai produk hasil.

Instrumen pengumpul data meliputi lembar observasi, berupa panduan observasi untuk mengungkap partisipasi guru dalam kegiatan FGD dan panduan untuk penilaian terhadap karya guru berupa RPP sesuai kelas masing-masing. Data penelitian yang telah terkumpul dianalisa secara diskriptif, selanjutnya diinterprestasikan, dan dinyatakan dengan sebutan sangat baik, baik, cukup, kurang, dan sangat

Iswanto - Peningkatan Kemampuan Guru

46

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

kurang. Adapun kisi instrumen berisi aspek penilaian RPP yang bersumber dari Buku Kerja Pengawas Sekolah tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 1.

Penelitian ini menggunakan tahapan penelitian yang terdiri dari merencanakan, melakukan tindakan, mengamati, dan melakukan refleksi (Susanto, 2015:34). Hasil refleksi setiap siklus digunakan untuk menentukan rencana tindakan siklus berikutnya.

Sebagai indikator keberhasilan dari kegiatan penelitian ini yaitu pada akhir penelitian ditargetkan rerata nilai RPP hasil penyusunan peserta FGD dengan teknik “Kiss Me” sebesar 85.

Hasil Penelitian dan PembahasanPelaksanaan FGD dengan teknik

“Kiss Me” dalam kegiatan PTS ini didahului perencanaan kegiatan yang meliputi penentuan peserta dan pembentukan tim FGD, tempat pelaksanaan diskusi, waktu, penyiapan alat dan bahan, dan penyiapan materi diskusi yang berupa RPP hasil penyusunan guru peserta diskusi. RPP yang didiskusikan dalam FGD adalah RPP mata pelajaran IPA.

Siklus ISiklus I dilaksanakan dalam dua

pertemuan pada bulan oktober 2015. Pada pertemuan pertama, kegiatan yang dilakukan dimulai dengan kegiatan perencanaan tindakan. Pada perencanaan tindakan adalah menyusun rencana tindakan berupa rencana kegiatan FGD teknik “Kiss Me”

dalam usaha meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun RPP. Dalam kegiatan perencanaan ini meliputi persiapan bahan, tempat, waktu diskusi, serta penyusunan skenario pelaksanaan diskusi.

Pada tahap pelaksanaan tindakan siklus I diawali dengan kegiatan pemberian penjelasan tentang model kegiatan yang akan dilakukan dan tata tertib selama kegiatan FGD teknik “Kiss Me”. Kegiatan diskusi yang dilakukan adalah membahas RPP hasil penyusunan guru peserta diskusi. Dalam kegiatan tidakan berupa diskusi melalui FGD teknik “Kiss Me” peserta diskusi didorong untuk menyampaikan kritik dan saran terhadap RPP yang disajikan. Moderator mengatur jalannya diskusi. Pada pertemuan pertama siklus I ada empat RPP yang disajikan untuk dikritisi dan diberi masukan oleh peserta diskusi. Dalam pertemuan pertama dilakukan tindak lanjut hasil diskusi berupa tugas menyusun RPP berdasar hasil diskusi yang nanti untuk didiskusikan dalam kegiatan FGD pada pertemuan kedua. Pada Pertemuan kedua siklus I kegiatan yang dilakukan masih sama dengan kegiatan pertemuan satu. Pada pertemuan kedua siklus II RPP yang berhasil dibahas ada empat buah. Pelaksanan diskusi dalam kegiatan FGD teknik “Kiss Me” sesuai dengan namanya yaitu kritisi dan beri saran-saran yang membangun maka dalam kegiatan diskusi peserta mengkritisi RPP guru yang ditayangkan. Disamping mengkritisi maka peserta tersebut juga harus memberikan solusi atau memberikan saran-saran untuk perbaikan RPP yang sedang

47

dibahas sebagai masukan yang membangun demi perbaikan RPP tersebut. Agar peserta diskusi dapat mengkritisi RPP dengan leluasa maka identitas penyusun RPP yang sedang didiskusikan dihilangkan. Hasil pelaksanaan diskusi berjalan lancar. Pada akhir pertemuan kedua siklus II peserta diskusi diberi tugas membuat sebuah RPP. RPP tersebut merupakan produk guru yang akan dinilai untuk melihat tingkat kemampuan guru dalam penyusunan RPP sekaligus sebagai bahan diskusi pada siklus II.

Hasil yang dicapai dari siklus I berdasar data yang diperoleh diketahui, untuk tingkat partisipasi guru berdasar data dari pengamatan menggunakan instumen pengumpul data yang dilakukan oleh kolaborator diketahui rerata tingkat partisipasi guru pada pertemuan pertama sebesar 87 dan pada pertemuan kedua sebesar 89. Hasil penilaian terhadap RPP yang disusun guru setelah mengikuti tindakan pada siklus I diketahui sebagai berikut, rerata nilai RPP berdasar instrumen penilaian yang telah dipersiapkan sebesar 84.

Pada pelaksanaan siklus I pengamatan/obserbvasi terhadap pelaksanaan FGD dilakukan oleh kolaborator penelitian. Pengamatan meliputi aspek partisipasi peserta terhadap pelaksanaan diskusi. Aspek yang diamati adalah perhatian, minat, dan keaktifan peserta dalam kegiatan diskusi. Pengamat dalam mengamati menggunakan instrumen yang telah disediakan berupa

lembar pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan rerata tingkat partisipasi guru peserta diskusi sebesar 89 pada akhir siklus I.

Refleksi pelaksanaan siklus I dilakukan berdasar hasil pengamatan partisipasi peserta diskusi dan hasil penilaian RPP. Kegiatan refleksi dilakukan dengan jalan melihat hasil pengamatan kolaborator untuk melihat kelebihan dan kekurangan pelaksanaan FGD teknik “Kiss Me”. Refleksi juga dilakukan dengan cara mendiskusikan pelaksanaan dengan kolaborator. Peneliti dan kolaborator berdiskusi membahas pelaksanaan dan hasil penelitian tindakan, meliputi tingkat partisipasi guru dalam kegiatan diskusi dan hasil/produk berupa RPP. Dari hasil refleksi diketahui partisipasi guru dalam kategori baik ditandai minat dan perhatian yang baik selama kegiatan diskusi. Peserta diskusi tampak antusias untuk mengemukakan kritik dan saran terhadap RPP yang menjadi topik diskusi. Kekurangan yang nampak pada siklus I terlihat pada kurang lancar jalannya diskusi. Peserta diskusi terlihat belum lancar dalam mengemukakan kritik dan sarannya. Diskusi terlihat kaku. Penyebab belum lancarnya pelaksanaan FGD ini karena peserta diskusi belum terbiasa melakukan diskusi terpimpin dan sesama peserta masih belum maksimal dalam melakukan tahapan kegiatan diksusi.

Walaupun kualitas RPP yang dibuat guru pada akhir siklus I sudah meningkat dibandingkan sebelum mengikuti kegiatan tindakan dengan FGD teknik “Kiss me” ini

Iswanto - Peningkatan Kemampuan Guru

48

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

tetapi capaian nilai RPP berdasar kreteria pada lembar penilaian RPP yang disusun dalam penelitian ini belum memenuhi nilai indikator yang telah ditetapkan.

Hasil refleksi siklus I ini nampak bahwa kegiatan FGD teknik “Kiss Me” bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penyusunan RPP. Kelemahan pelaksanaan FGD pada siklus I ini adalah peserta diskusi belum terbiasa melakukan diskusi terpimpin. Peserta belum mampu banyak yang mampu menyampikan kritik yang mampu menjadi pedoman perbaikan RPP yang ada. Keadaan ini dikarenakan peserta tidak menyiapkan secara optimal bahan diskusi. Peserta belum membawa bahan pendukung diskusi secara lengkap.

Berdasar hasil refleksi, kegiatan tindakan perlu dilanjutkan ke siklus II dengan pembenahan perbaikan tindakan pada pelaksanaan diskusi untuk Siklus II. Perbaikan siklus II terletak pada perbaikan kesiapan peserta diskusi. Peserta diharuskan membawa bahan pendukung diskusi, misal Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang standar isi, proses, dan penilaian. Peserta juga diharuskan membawa buku pendukung materi pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran dalam RPP yang akan didiskusikan, misal buku pegangan siswa dan buku pegangan guru maupum buku penunjang lainnya.

Siklus IISebagaimana pelaksanaan siklus

I, pelaksanaan siklus II ini juga dilakukan dalam empat tahap yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Perencanaan pada siklus II didasarkan pada hasil refleksi siklus I. Kekurangan pelaksanaan pada siklus I diusahakan untuk diminimalisir pada siklus II.

Pelaksanaan siklus II dilaksanakan dalam dua pertemuan pada bulan Nopember 2015. Pada pertemuan pertama siklus II, kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan hasil tindak lanjut kegiatan siklus I yaitu RPP yang disusun peserta diskusi berdasar pengalaman selama diskusi pada siklus I. Pada Pertemuan kedua siklus II, kegiatan yang dilakukan hampir sama dengan pertemuan pertama Siklus II. Pelaksanaan FGD teknik “Kiss Me” pada siklus II ini merupakan perbaikan-perbaikan dari pelaksanaan siklus I. Keaktifan masing-masing peserta diutamakan untuk diratakan dengan memfungsikan peran moderator sebagai pembagi alur diskusi. Moderator membagi secara rata kesempatan untuk berpendapat bagi setiap peserta. Peserta yang pasif akan tergerak untuk ikut memberi kritik dan saran. Moderator memberi kesempatan dan dorongan kepada peserta pasif untuk aktif memberi kritik dan saran. Kritik saran ditampung sebanyak-banyaknya dari peserta. Kritik dan saran yang telah masuk didiskusikan pada termin berikutnya untuk dapat disimpulkan dan menjadi kesimpulan kelompok.

Pada pertemuan pertama siklus I berhasil mendiskusikan lima RPP dari peserta diskusi dan pada pertemuan kedua siklus II mendiskusikan tiga RPP.

49

Hasil yang dicapai dari siklus II berdasar data yang diperoleh untuk tingkat partisipasi guru diketahui rerata tingkat partisipasi guru pada pertemuan pertama siklus II sebesar 94 dan pada pertemuan kedua siklus II sebesar 95. Hasil penilaian terhadap RPP yang disusun guru setelah melakukan diskusi dalam FGD Teknik “Kiss Me” diketahui rerata nilai RPP yang disusun peserta FGD adalah 91.

Kegiatan refleksi pelaksanaan siklus II dilakukan setelah pelaksanaan siklus berakhir. Bahan refleksi berupa hasil diskusi dengan kolaborator penelitian tentang hasil pengamatan/observasi partisipasi guru dalam kegiatan diskusi dan hasil penilaian produk yang berupa RPP. Dari refleksi diketahui partisipasi guru dalam kegiatan FGD teknik “Kiss Me” lebih baik dibanding pada siklus I. Rerata partisipasi guru mencapai 95. Dari capaian tingkat partisipasi guru dalam kegiatan diksusi terlihat guru peserta aktif berparisipasi. Kegiatan diskusi pada siklus II lancar. Penyampaian saran, kritik, dan masukan dari peserta diskusi sangat baik. Hasil penilaian RPP sangat baik, capaian rerata nilai RPP sebesar 91.

PembahasanPelaksanaan tindakan kegiatan FGD

Teknik “Kiss Me” dapat berjalan sesuai rencana. Kelancaran proses pelaksanaan tindakan dapat dilihat dari tingkat partisipasi guru pada siklus I berdasar data yang diperoleh melalui hasil observasi selama kegiatan diskusi diketahui dari rerata tingkat partisispasi guru sebesar 89. Dalam kegiatan

diskusi pada siklus II rerata skor tingkat partisipasi guru dalam kegiatan diskusi tersebut meningkat menjadi 95. Berdasar hasil observasi terhadap partisipasi peserta ada perkembangan tingkat partisipasi guru dalam kegiatan diskusi siklus I dan siklus II. Adanya peningkatan partisipasi guru dalam kegiatan diskusi ini tidak terlepas dari ketertarikan guru pada penerapan model FGD teknik “Kiss Me” dalam penyusunan RPP. Ketertarikan guru dalam kegiatan tindakan ini juga terlihat dari tingkat kehadiran guru peserta diskusi. Rerata tingkat kehadiran guru selama empat kali pertemuan mencapai 97 %.

Tingkat kemampuan guru dalam menyusun RPP sebelum kegiatan tindakan sekolah dilakukan diketahui masih rendah, dari hasil supervisi terhadap RPP guru dilihat dari rerata nilai hanya mencapai 68,5. Dilihat dari persentase guru yang mencapai nilai dalam kategori minimal baik hanya 70 % guru. Dari RPP yang disusun guru terlihat belum menggambarkan sebuah skenario yang mencakup komponen RPP yang disyaratkan serta belum mampu menghasilkan KBM yang mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran.

Hasil dari tindakan pada siklus I berdasar data yang diperoleh melalui hasil penilaian terhadap hasil kinerja guru berupa RPP yang disusun guru setelah dilakukan kegiatan tindakan diketahui rerata nilai RPP yang dicapai sebesar 84. Hasil tersebut meningkat menjadi 91 pada siklus II. Perkembangan kemampuan guru dalam menyusun RPP setelah dilakukan

Iswanto - Peningkatan Kemampuan Guru

50

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

tindakan berupa diskusi dalam FGD teknik “Kiss Me” jauh lebih baik dibandingkan kemampuan guru sebelum dilakukan tindakan. Perkembangan tingkat kemampuan guru dalam menyusun RPP sebelum dan sesudah kegiatan tindakan dilakukan, dilihat dari capaian nilai RPP yang disusun guru sebelum dilakukan siklus, siklus I dan siklus II dapat dicermati pada Gambar 1.

Melihat gambar 1 berupa grafik hasil nilai RPP peserta FGD teknik “Kiss Me”, tampak ada peningkatan yang cukup signifikan pada kemampuan guru dalam menyusun RPP dari sebelum dilakukan kegiatan tindakan dibandingkan setelah mengikuti tindakan pada siklus I dan siklus II.

Dilihat dari pencapaian indikator penelitian berdasar data capaian penilaian RPP diketahui bahwa indikator keberhasilan penelitian dapat terlampaui. Dengan terlampuinya indikator keberhasilan penelitian ini maka penelitian ini telah mencapai sasaran yang diinginkan dan sekaligus tercapainya tujuan penelitian.

Simpulan Berdasar hasil penelitian dan analisis

hasil dapat disimpulkan bahwa kegiatan FGD teknik “Kiss Me” dapat meningkatkan kemampuan guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran pada guru-guru sekolah binaan Gugus I SD semin I tahun 2015. Peningkatan kemampuan guru ditandai dengan indikator keberhasilan penelitian terlampaui, capaian rerata hasil penilaian RPP mencapai 91 diakhir siklus II.

Daftar Rujukan

Anitah, Sri. dkk. 2014. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka

Hernawan, A H. dkk. 2014. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka

Hidayat. 2012. Berfikir Kritis dan Membaca Kritis. http://hidayat68.wordpress.com/2012/12/16/berpikir-krit is-dan-membaca-kritis. Diakses 12 September 2015.

Kemdikbud. 2015. Buku Kerja Pengawas Sekolah Tahun 2015. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud.

Paramita, Astridya dan Kristiana, Lusi. 2013. “Teknik Focus Group Discussion Dalam Penelitian Kualitatif (Focus Group Discussion Tehnique in Qualitative Research)”, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 16(2):: 117–127, April 2013. http://oaji.net/articles/2015/820-1444709885.pdf. Diakses 10 September 2015

Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdikbud.

51

Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Susanto, Eko Budi. 2015. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Yogyakarta: Liberty

Tim Pilot Proyek Restorasi. 2013. Panduan Pelaksanaan FGD (Focus Group Discussion). Bandung: Citarum Watershed Management and Biodeversity Conservation.

Yusuf, Iwan Awaluddin. 2011. Memahami Focus Group Discussion (FGD). https://bincangmedia.wordpress.com/2011/03/28/relasi-media-dan-konsumtivisme-pada-remaja/ Diakses 12 September 2015

Zaki, Intan (2014) Berfikir Kritis. http://intanzaki28.blogspot.co.id/2014/12/berfikir-kritis.html Diakses 12 September 2015

Iswanto - Peningkatan Kemampuan Guru

52

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

PENGEMBANGAN MEDIA PENDIDIKAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN DAUR ULANG (RECYCLE)

UNTUK PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN DESAIN PRODUK DI SMK NEGERI 1 KALASAN

M. LazimWidyaiswara PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstrak:Tujuan`penelitian ini untuk mengembangkan Media Pembelajaran dengan Menggunakan Bahan Daur Ulang (Recycle) pada Pembelajaran Mata Pelajaran Desain Produk Di SMK Negeri 1 Kalasan. Jenis penelitian ini ádalah penelitian pengembangan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Nopember 2014 dengan subyek penelitian Guru SMKN 1 Kalasan yang mengajar mata pelajaran desain produk, terdiri dari 3 orang guru disain produk sebagai responden dalam uji coba kelompok kecil, dan 12 orang guru pengampu mata pelajaran desain produk dan guru produktif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian antara lain angket yang diisi oleh responden. Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Penelitian dan pengembangan secara garis besar sebagai berikut : (1) Pada tahap prosedur pengembangan media pembelajaran dilakukan tiga tahap, yaitu: tahap desain, tahap produksi, dan tahap evaluasi. (2) Pada tingkat kelayakan media pembelajaran disain produk ini dilakukan tahapan uji coba yang meliputi validasi ahli, uji coba kelompok kecil dan uji lapangan. Hasil penelitian menunjukkan pada akhir uji coba diperoleh tingkat kelayakan dalam kriteria: 1) Aspek pedagogi dalam kriteria baik dengan skor rerata 4,24, 2) Aspek kualitas materi pembelajaran dalam kriteria baik dengan skor rerata 4,35, dan 3) Aspek tampilan dalam kriteria baik dengan rerata 4,21.Kata kunci : media, pengembangan media, pembelajaran disain produk

Abstract: Aims of this study to develop Media Learning by Using Recycled Materials in Product Design Subjects Learning in SMK Negeri 1 Kalasan. This research is development research. The study was conducted in August to November 2014, with a research subject SMK 1 Kalasan teachers, who teaches product design, consisting three teachers from product design as respondents in a small group trial, and 12 teachers who taught product design subjects and productive teacher. Data collection methods used in this study is a questionnaire completed by the respondent. The data was analyzed descriptive quantitatively. Research and development outline as follows: (1) At the stage of instructional media procedure development is done three phases: design, production, and evaluation phase. (2) On the instructional media design feasibility, these products do trial stage that includes expert validation, testing small groups, and field tests. The results showed at the end of the trial obtained the eligibility criteria: 1) mean score of pedagogy aspects in both criteria is 4.24, 2) mean score of quality learning materials aspects in both criteria is 4.35, and 3) mean score of display aspects is 4.2, in good criteria.

Keywords: media, media development, instructional design products

53

Pendahuluan

Kurikulum 2013 menerapkan pendekatan saintifik pada proses pembelajaran dengan 5 langkah: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/eksperimen, mengasosiasi/mengolah informasi, dan mengkomunikasikan. Pendekatan pembelajaran ini didesain agar responden aktif mencari tahu tidak diberi tahu. Pelaksanaan pembelajaran pada kurikulum 2013 menuntut konsekuensi guru untuk menyiapkan sumber belajar yang lebih banyak dan variatif, dimana selain buku-buku referensi, guru juga harus menyiapkan media pembelajaran yang dapat merangsang responden untuk belajar lebih aktif dan termotivasi untuk belajar dengan rasa senang.

Mata pelajaran Desain Produk pada Kurikulum 2013 merupakan mata pelajaran yang terdapat pada Program Keahlian Kriya yang merupakan mata pelajaran yang bertujuan memberikan wawasan, pengalaman dan berkarya kepada peserta didik dalam membuat desain produk kriya dengan bahan kayu, logam, kulit, keramik, tekstil, plastik dan lain lain. Mata pelajaran ini merupakan kelas bersama dari paket keahlian pada Program Keahlian Desain dan Produksi Kriya (Paket Keahlian terdiri: Desain dan Produksi Kriya Kayu, Logam, Tekstil, Keramik, dan Kulit).

Barang bekas/limbah atau barang daur ulang merupakan barang yang menjadi persoalan lingkungan bagi siapa saja mulai dari kelompok masyarakat terkecil keluarga,

sampai tingkat negara. Isu lingkungan masih menjadi pokok persoalan bagi negara-negara maju, dan bagi Indonesia persoalan ini masih rumit pemecahannya. Barang limbah dari bahan plastik, logam, kayu, bambu, kain, kertas, kulit yang berasal dari kemasan produk, atau sisa bahan industri masih banyak yang belum dimanfaatkan. Padahal barang bekas/limbah ini bisa dimanfaatkan untuk pembuatan produk kriya, dalam pembelajaran khususnya pembelajaran mata pelajaran Desain Produk, terlebih barang bekas atau limbah tersebut mudah diperoleh di lingkungan sekitar SMKN 1 Kalasan.

Hasil survei yang dilakukan di SMK Negeri 1 Kalasan menunjukkan bahwa media pembelajaran mata pelajaran Desain Produk belum menggunakan media pembelajaran yang sesuai terutama media pembelajaran yang terbuat dari limbah atau bahan bekas. Guru mata pelajaran Desain Produk yang berjumlah 6 orang dalam mengajar banyak menggunakan media yang berupa, foto, gambar, dan karya produk spesialisasi kriya. Guru belum menyiapkan media pembelajaran sesuai kompetensi yang diharapkan kurikulum 2013.

Berdasarkan uraian dan permasalahan tersebut di atas maka dilaksanakan penelitian model penelitian dan pengembangan (R & D) dengan judul “Pengembangan Media Pendidikan dengan Menggunakan Bahan Daur Ulang (Recycle) untuk Pembelajaran Mata Pelajaran Desain Produk di SMK Negeri 1 Kalasan”. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah penelitian yang diajukan

M. Lazim - Pengembangan Media Pendidikan

54

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

yaitu: 1) Bagaimana mengembangkan media pendidikan dengan menggunakan bahan limbah (recycle) untuk media pembelajaran mata pelajaran Desain Produk?; 2) Sejauhmana tingkat kelayakan media pendidikan yang dikembangkan sebagai media pembelajaran mata pelajaran Desain Produk?.

Tujuan penelitian ini yaitu 1) menghasilkan media pendidikan berupa prototipe desain produk kriya yang dibuat dari bahan limbah/daur ulang dan dibuat melalui tahapan proses desain; 2) mengetahui tingkat kelayakan media pendidikan yang dikembangkan melalui uji coba/evaluasi oleh ahli materi, ahli media, dan guru pengajar mata pelajaran Desain Produk di SMK Negeri 1 Kalasan.

Media Pendidikan

Menurut Gagne dan Briggs (dalam Azhar Arsyad, 2006: 3), media pendidikan/pembelajaran meliputi segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Sadiman (2002: 6) memberikan batasan pengertian media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian peserta didik sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi, sedangkan menurut Suwarna (2002:145) media pembelajaran adalah alat yang dipakai sebagai saluran untuk menyampaikan materi pelajaran kepada pembelajar.

Pengertian-pengertian di atas menunjukkan bahwa media pembelajaran merupakan semua alat atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan tujuan untuk mendukung menyampaikan materi ajar oleh guru kepada peserta didik sehingga dapat merangsang pikiran, perhatian, dan minat, sehingga proses pembelajaran berjalan lebih efektif dan atraktif. Media pembelajaran mencakup semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan peserta didik. Dengan demikian, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan bahan pembelajaran sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan pembelajar dalam kegiatan belajar-mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Secara garis besar kegiatan pengembangan media pembelajaran desain produk terdiri atas tiga langkah besar yang harus dilalui, yaitu kegiatan perencanaan, produksi, dan penilaian. Sementara itu, dalam rangka melakukan desain atau rancangan pengembangan program media, Sadiman dkk (2006) memberikan urutan langkah-langkah yang harus diambil dalam pengembangan program media menjadi 6 (enam) langkah.

Pertama, menganalisis kebutuhan dan karakteristik responden. Kebutuhan dalam proses belajar mengajar merupakan kesenjangan antara apa yang dimiliki responden dengan apa yang diharapkan. Setelah menganalisis kebutuhan responden, maka perlu menganalisis karakteristik

55

respondennya, baik menyangkut kemampuan pengetahuan atau keterampilan yang telah dimiliki responden sebelumnya. Cara mengetahuinya dapat dengan tes atau dengan yang lainnya. Langkah ini dapat disederhanakan dengan cara menganalisa topik-topik materi ajar yang dipandang sulit dan karenanya memerlukan bantuan media. Pada langkah ini sekaligus pula dapat ditentukan ranah tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, termasuk rangsangan indera mata yang diperlukan (audio, visual, gerak atau diam).

Kedua, merumuskan tujuan intruksional (instructional objective). Dalam proses belajar mengajar, tujuan pedagogi merupakan faktor yang sangat penting. Tujuan dapat memberikan arah kemana responden akan pergi, bagaimana ia harus pergi ke sana, dan bagaimana ia tahu bahwa telah sampai ke tempat tujuan. Tujuan ini merupakan pernyataan yang menunjukkan perilaku yang harus dapat dilakukan responden setelah ia mengikuti proses pedagogi tertentu. Tujuan harus dinyatakan dengan kata kerja yang operasional, artinya kata kerja itu menunjukkan suatu perilaku/perbuatan yang dapat diamati atau diukur.

Ketiga, merumuskan butir-butir materi secara terperinci yang mendukung tercapainya tujuan. Penyusunan rumusan butir-butir materi dapat dilihat dari subkemampuan atau keterampilan yang dijelaskan dalam tujuan khusus pembelajaran, sehingga materi yang disusun dalam rangka mencapai tujuan yang

diharapkan dari kegiatan proses belajar mengajar tersebut. Setelah daftar butir-butir materi dirinci maka langkah selanjutnya yaitu mengurutkannya dari yang sederhana sampai kepada tingkatan yang lebih rumit, dan dari hal-hal yang konkret kepada yang abstrak.

Keempat, mengembangkan alat pengukur keberhasilan. Alat pengukur keberhasilan seyogianya dikembangkan terlebih dahulu sebelum naskah program ditulis. Alat pengukur ini harus dikembangkan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan dari materi-materi pembelajaran yang disajikan. Bentuk alat pengukurnya bisa dengan tes, pengamatan, penugasan atau cheklist perilaku. Instrumen tersebut akan digunakan oleh pengembang media, ketika melakukan tes uji coba dari program media yang dikembangkannya. Misalnya alat pengukurnya tes, maka responden nanti akan diminta mengerjakan materi tes tersebut. Selanjutnya dilihat bagaimana hasilnya, apakah responden menunjukkan penguasaan materi yang baik atau tidak dari efek media yang digunakannya atau dari materi yang dipelajarinya melalui sajian media. Jika tidak maka perlu dicari tahu dimanakah letak kekurangannya, sehingga responden dimintai tanggapan tentang media tersebut, baik dari segi daya tarik maupun efektivitas penyajiannya.

Kelima, menulis naskah media. Naskah media adalah bentuk penyajian materi pembelajaran melalui media rancangan yang merupakan penjabaran dari pokok-pokok materi yang telah disusun secara baik seperti

M. Lazim - Pengembangan Media Pendidikan

56

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

yang telah dijelaskan di atas. Supaya materi pembelajaran itu dapat disampaikan melalui media, maka materi perlu dituangkan dalam tulisan atau gambar yang disebut naskah program media. Naskah program media merupakan penuntun dalam memproduksi media, artinya menjadi penuntun dalam mengambil gambar dan merekam suara. Naskah ini berisi urutan gambar dan grafis yang perlu diambil oleh kamera atau bunyi dan suara yang harus direkam. Dalam teknik penulisannya, naskah tersebut disusun melalui tahapan-tahapan.

Keenam, mengadakan penilaian (evaluasi media) dan revisi. Penilaian media adalah kegiatan untuk menguji atau mengetahui tingkat efektivitas dan kesesuaian media yang dirancang dengan tujuan yang diharapkan dari program tersebut. Suatu program media yang telah dianggap baik oleh pembuatnya, tetapi tidak menarik atau sukar dipahami atau tidak merangsang proses belajar bagi responden yang dituju, maka program semacam ini tentu saja belum bisa dikatakan baik. Evalusi media pembelajaran adalah suatu tindakan proses atau kegiatan yang dilaksanakan dengan maksud untuk menentukan nilai dari segala media atau alat yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah media yang dibuat tersebut dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan atau tidak.

Apabila dikaitkan dengan tujuan evaluasi sebagaimana yang telah

dikemukakan, maka ada berbagai jenis evualuasi terhadap media pembelajaran. Berdasarkan prosesnya, evaluasi media ini terdiri dari evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif adalah proses yang dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang efektivitas dan efisiensi bahan-bahan pembelajaran (dalam hal ini media) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Data-data tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan media tersebut agar lebih efektif dan efisien.

Ada 3 tahapan dalam mengevaluasi atau menilai suatu media pembelajaran. Pertama, evaluasi satu lawan satu. Pada tahap ini seorang desainer memilih beberapa orang responden (tidak lebih dari tiga orang) yang dapat mewakili populasi target dari media yang dibuat. Selanjutnya media tersebut disajikan kepada responden secara individual. Jika media itu didesain untuk belajar mandiri, responden akan mempelajari sementara pengembang (developer) mengamatinya.

Kedua, evaluasi kelompok kecil. Pada tahap ini media perlu dicobakan kepada 10 sampai dengan 12 orang responden yang dapat mewakili populasi target. Jumlah 10 merupakan jumlah minimal, apabila kurang dari jumlah tersebut data yang diperoleh kurang dapat menggambarkan populasi target. Sebaliknya jika lebih dari 12, data atau informasi melebihi yang diperlukan, akibatnya kurang bermanfaat untuk dianalisis dalam kelompok kecil.

57

Ketiga, evaluasi lapangan. Evaluasi lapangan merupakan tahap akhir dari evaluasi formatif yang perlu dilakukan. Situasi dalam evaluasi lapangan diusahakan semirip mungkin dengan situasi sebenarnya. Setelah melalui dua tahap evaluasi di atas tentu media yang dibuat sudah mendekati kesempurnaan, namun dengan hal itu masih harus dibuktikan. Melalui evaluasi lapangan ini, kebolehan media yang dibuat itu diuji. Jika semua langkah-langkah tersebut telah dilakukan dan telah dianggap tidak memerlukan lagi revisi, maka langkah selanjutnya yaitu media tersebut siap untuk diproduksi. Akan tetapi bisa saja ditemukan beberapa kekurangan dari aspek materi atau kualitas sajian media (gambar atau suara) setelah dilakukan produksi, setelah disebarkan atau disajikan sehingga dalam kasus seperti ini dapat pula dilakukan perbaikan (revisi) terhadap aspek yang dianggap kurang.

Pengertian Daur UlangDaur ulang adalah proses untuk

menjadikan suatu bahan bekas menjadi bahan baru dengan tujuan mencegah adanya sampah yang sebenarnya dapat menjadi sesuatu yang berguna, mengurangi penggunaan bahan baku yang baru, mengurangi penggunaan energi, mengurangi polusi, kerusakan lahan, dan emisi gas rumah kaca jika dibandingkan dengan proses pembuatan barang baru. Daur ulang merupakan bagian ketiga dalam proses hierarki sampah 4R (Reduce, Reuse, Recycle, and Replace) dan dapat dilakukan pada sampah kaca, plastik, kertas, logam, tekstil, maupun barang elektronik

(Wikipedia, 2014). Pemanfaatan barang daur ulang

dengan konsep 3R, yaitu Reuse, Reduce, Recycle. Reuse adalah menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya. Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah. Recycle berarti mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat (Wikipedia, 2014).

Dalam penelitian ini pemanfaatan bahan limbah/bahan daur ulang menggunakan tipe Reuse, yaitu menggunakan bahan limbah bambu, kayu, dan logam yang masih dapat digunakan untuk fungsi lainnya, sebagai bahan dalam pengembangan media pembelajaran pada pembelajaran mata pelajaran Desain Produk.

Mata Pelajaran Desain Produk Media pemebelajaran yang

dikembangkan dalam penelitian ini yaitu media pembelajaran untuk mata pelajaran Desain Produk kelas X di SMK Negeri 1 Kalasan. Bahan yang digunakan untuk pembuatan media tersebut yaitu memanfaatkan bahan limbah/daur ulang yang banyak dijumpai di sekitar sekolah atau di lingkungan sekitar tempat tinggal siswa.

Ruang lingkup materi yang dibahas pada mata pelajaran Desain Produk meliputi deskripsi desain produk, wawasan produk kriya, membuat desain produk kriya sesuai tahapan proses desain yang benar, dan penyusunan portofolio. Mata pelajaran Desain Produk bertujuan untuk membentuk

M. Lazim - Pengembangan Media Pendidikan

58

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

karakteristik siswa dalam mensyukuri nikmat Tuhan, dengan memahami desain produk dan mampu mengelolanya untuk pengembangan pribadi secara berkesinambungan serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Metode PenelitianPenelitian ini merupakan model

penelitian pengembangan. Penelitian pengembangan merupakan jenis penelitian untuk menghasilkan dan memvalidasi suatu produk. Penelitian dan pengembangan (Reseach and Development /R & D) adalah suatu proses untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang sudah ada.

Pada penelitian ini, pengembangan yang dilakukan yaitu menghasilkan produk baru berupa produk media pembelajaran untuk mata pelajaran Desain Produk kelas X Semester 2 pada Paket Keahlian Desain dan Produksi Kriya. Produk media tersebut berupa prototipe desain produk kriya yang terbuat dari bahan limbah bambu dan limbah kayu. Adapun kompetensi dasar yang dijadikan acuan dalam pengembangan media ini yaitu KD Nomor 4.3. Membuat desain produk kriya sesuai tahapan proses desain yang benar.

Prosedur/langkah-langkah dalam penelitian pengembangan ini akan menerapkan 10 langkah yang mengacu pada buku yang ditulis oleh Sugiyono (2011:298), bahwa ada sepuluh langkah dalam Research and Development (R & D) yaitu (1) potensi dan masalah; (2) pengumpulan data; (3) desain produk; (4) validasi desain; (5)

revisi desain; (6) uji coba produk; (7) revisi produk; (8) uji coba pemakaian; (9) revisi produk; dan (10) produksi massal.

Jenis data pada penelitian ini terdiri dari data kuantitatif yang diperoleh dari angket evaluasi media yang dilakukan oleh ahli media, ahli materi, kelompok kecil guru pengampu, dan kelompok besar guru pengampu mata pelajaran Desain Produk di SMKN 1 Kalasan. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data, yaitu: (1) lembar validasi ahli media; (2) lembar validasi ahli materi pembelajaran; dan (3) angket respon guru.

Data kuantitatif yang dikumpulkan melalui lembar validasi oleh ahli materi, ahli media, dan angket respon guru bertujuan untuk mengetahui tingkat kelayakann media pembelajaran yang telah dikembangkan yang dianalisis dengan statistik deskriptif. Data ini kemudian dikonversi ke data kualitatif dengan skala 5, yaitu: Skor 5 = Sangat Baik, Skor 4 = Baik, Skor 3 = Cukup, Skor 2 = Kurang, Skor 1 = Sangat Kurang.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa penelitian pengembangan ini melalui 10 tahap. Data yang didapatkan pada penelitian adalah pada tahap uji coba. Kegiatan uji dicoba yang dilakukan meliputi validasi ahli, uji kelompok kecil dan uji kelompok lebih besar. Adapun aspek-aspek yang dilakukan pada tahap uji coba media pembelajaran disain produk ini meliputi aspek pedagogi terdiri 10 indikator, aspek materi terdiri

59

7 indikator dan aspek tampilan terdiri 11 indikator.

Data yang diperoleh dari hasil evaluasi oleh ahli materi dan ahli media digunakan untuk memperbaiki media pembelajaran mata pelajaran desain produk sebelum diujicoba untuk tahap berikutnya. Data hasil evaluasi kualitas pedagogi dan kualitas isi dilakukan oleh ahli materi dan data hasil evaluasi kualitas tampilan dan kualitas pemrograman dilakukan oleh ahli media. Selanjutnya data tersebut akan dianalisis secara diskriptif seperti berikut ini :

Analisis pada Validasi Ahli Materi

Pada data hasil validasi ahli materi diperoleh data aspek pedogogi dengan skor rata-rata 4,2. Hal ini menunjukan berdasar konversi ke data kualitatif dengan skala 5, menunjukan bahwa angka tersebut termasuk dalam katagori Baik. Pada aspek isi menurut validasi ahli materi menunjukan skor-rata-rata : 4,4 berdasar konversi ke data kualitatif skala 5, aspek isi ini termasuk dalam katagori Baik.

Analisis pada Validasi Ahli Media

Pada data hasil validasi ahli media diperoleh data aspek tampilan dengan skor rata-rata 4,5 hal ini menunjukan bahwa berdasar konversi ke data kualitatif dengan skala 5, menunjukan bahwa angka tersebut termasuk dalam katagori Baik.

Analisi pada Uji Coba Kelompok Kecil

Pada data hasil uji coba kelompok kecil diperoleh data aspek pedagogi dengan

skor rata-rata 4,2 aspek isi skor rata-rata 4,5, dan aspek tampilan skor rata-rata 4,4. Dengan data tersebut apabila dikonversikan ke data kualitatif dengan skala 5 yaitu sebagai berikut: 1) Aspek pedagogi dengan skor rata-rata 4,2 termasuk akatagori Baik; 2) Aspek isi dengan skor rata-rata 4,5 termasuk dalam katagori Baik; 3) Aspek tampilan dengan skor rata-rata 4,4 termasuk dalam katagori Baik

Analisi pada Uji Coba Lapangan/Kelayakan.

Pada data hasil uji lapangan diperoleh data aspek pedogogi dengan skor rata-rata 4,4; aspek isi skor rata-rata 4,3; dan aspek tampilan skor rata-rata 4,4. Dengan data tersebut apabila dikonversikan ke data kualitatif dengan skala 5 adalah sebagai berikut: 1) Aspek pedagogi dengan skor rata-rata 4,2 termasuk akatagori Baik; 2) Aspek isi dengan skor rata-rata 4,3 termasuk dalam katagori Baik; 3) Aspek tampilan dengan skor rata-rata 4,2 termasuk dalam katagori Baik

Hasil kelayakan media pembelajaran disain produk dapat divisualisasikan dalam grafik sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.

M. Lazim - Pengembangan Media Pendidikan

60

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Revisi Media Pembelajaran

Berdasarkan analisis data validasi oleh ahli materi dan ahli media pembelajaran pengembang melakukan beberapa revisi. Hasil revisi tersebut yaitu: 1) menyesuaikan materi sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dengan cara menyederhanakan produk media sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki siswa; 2) memperjelas skema dalam flow chart agar mudah keterbacaannya dengan cara memberikan nomor pada tiap-tiap proses; 3) memperbaiki foto dengan cara menonjolkan dan memperjelas bagian-bagian yang akan dipelajari siswa.

Kajian Produk Akhir.

Produk pengembangan media pembelajaran dengan menggunakan bahan daur ulang (recycle) untuk pembelajaran Mata Pelajaran Desain Produk di SMK Negeri 1 Kalasan telah dilakukan revisi baik dari ahli materi, ahli media, pada uji coba kelompok kecil dan uji coba lapangan. Sebagian responden baik dari pendapat ahli materi, ahli media dan guru menyatakan bahwa media pembelajaran tersebut dapat dikatagorikan baik ditinjau dari sisi: pedagogi, materi dan tampilan/fisik.

Dalam mewujudkan media pembelajaran telah dilakukan serangkaian proses dari penyiapan naskah, pembuatan media pembelajaran, validasi ahli materi, validasi ahli media, uji coba kelompok kecil dan uji lapangan yang dilanjutkan dengan revisi-revisi sesuai dengan saran-saran responden yang disampaikan hingga

akhirnya terwujud media pembelajaran ini. Meskipun telah dilakukan revisi yang sesuai dengan saran dan masukan responden, tentu saja media pembelajaran ini masih banyak kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu, bagi para pengembang yang akan mengembangkan media pembelajaran desain produk ini sangat disarankan untuk memperhatikan saran-saran di atas.

Simpulan

Pengembangan Media Pembelajaran dengan Menggunakan Bahan Daur Ulang (Recycle) untuk Pembelajaran Mata Pelajaran Desain Produk Di SMK Negeri 1 Kalasan pada dasarnya dilakukan pada tiga tahapan utama yaitu: 1) Tahap desainyaitumenentukan kebutuhan media berdasar kompetensi dasar dan indicator hasil belajar; 2) Tahap produksi/proses pengembangan ini meliputi: mengembangkan materi pembelajaran; mengumpulkan bahan; menyusun media pembelajaran yang berupa produk desain produk dan flowchart proses disain; 3) Tahap evaluasi yaitu media pembelajaran divalidasi oleh ahli materi dan ahli media pembelajaran, selanjutnya diuji coba pada kelompok kecil terdiri dari 3 orang guru, kemudian produk direvisi dan pada akhirnya diujicobakan lagi pada kelompok besar yang melibatkan 12 guru SMKN 1 Kalasan yang mengampu mata pelajaran Desain Produk.

Berdasarkan data dan analisis data dapat diambil kesimpulan bahwa Media Pembelajaran Dengan Menggunakan Bahan Daur Ulang (Recycle) Untuk Pembelajaran Mata Pelajaran Desain Produk di SMK Negeri

61

1 Kalasan ini memiliki tingkat kelayakan pada katagori Baik, ditinjau dari: 1) Aspek pedagogi dinyatakan baik dengan skor rata-rata berdasar analisis data memperoleh 4,24 pada skala 1-5; 2) Aspek materi dinyatakan baik dengan skor rata-rata berdasar analisis data memperoleh 4,35 pada skala 1-5; 3) Aspek fisik/tampilan dinyatakan baik dengan skor rata-rata berdasarkan analisisi data 4,21 pada skala 1-5.

Daftar RujukanArsyad, Azhar. 2006. Media Pembelajaran.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.Arif Sadiman, dkk. 2006. Media Pendidikan:

Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Gall, Meredith D. & Borg, Walter R. 2003. Educational Research: an Introduction. Seventh Edition. New York: Allyn & Bacon.

Kemendikbud. 2013. Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). versi keterbacaan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2007. Media Penelitian Pendidikan: Pendekatan kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suwarna. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Edisi 1.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wina Sanjaya. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Lampiran IV Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran

https://id.wikipedia.org/wiki/Daur_ulang. Diunduh pada tanggal 14 Maret 2014.http://a lamendah.org /2011/01/22/

pengertian-dan-proses-daur-ulang/. Diunduh pada 17 Maret 2014.

http://alamendah.org/2010/07/01/3r-reuse-reduce-recycle-sampah/ . Diunduh pada 17 Maret 2014.

M. Lazim - Pengembangan Media Pendidikan

62

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN EKSPOSISI BERBAHASA INGGRIS

DENGAN METODE MIND MAPPING

Arnita Budi SiswantiSMKN 5 Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis karangan eksposisi menggunakan mind mapping. PTK (penelitian tindakan kelas) dilaksanakan dua siklus, dengan tahapan: (1) perencanaan (planning); (2) tindakan (acting); (3) pengamatan (observing); dan (4) refleksi (reflecting). Metode pengumpulan data menggunakan observasi secara langsung ketika pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Hasil belajar tentang kemampuan mengarang eksposisi dengan menggunakan tes. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar pada tiap-tiap siklus yakni: 1) Pada siklus I, nilai rata-rata kelas sebesar 73,60 mengalami peningkatan sebesar 2,87 dari pra siklus yaitu 70,73. 2). Nilai rata-rata siklus II yaitu 76,67 mengalami peningkatan sebesar 3,07. 3) Ketuntasan belajar siswa mengalami peningkatan pada setiap siklus, prasiklus sebesar 43,33 %; siklus I sebesar 63,33 %; dan siklus II sebesar 83,33 %. 4) Pembelajaran menulis karangan eksposisi dengan mind mapping dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menuangkan ide ke dalam tulisan dengan baik dan benar.

Kata kunci: kemampuan menulis, eksposisi berbahasa Inggris, mind mapping.

Abstract: This study aims to improve students’ ability to write the exposition essay using mind mapping. Classroom action research performed two cycles, with the following steps: (1) planning; (2) acting; (3) observing; and (4) reflecting. Direct observation in the teaching and learning activities used to collect data. Test used to collect learning results data about exposition writing ability. The results showed an increasing class average score and learning accomplishment at each cycle namely: 1) in the first cycle, the class average score is 73.60 increased by 2.87 of a pre-cycle, namely 70.73. 2). Average score of the second cycle is 76.67 increased by 3.07. 3) Mastery learning students has increased in each cycles, pre cycle amounted to 43.33%; the first cycle of 63.33%; and the second cycle of 83.33%. 4) Mind mapping exposition writing can improve students’ skills in ideas to write properly.

Keywords: the writing ability, English exposition, mind mapping.

PendahuluanBahasa Inggris merupakan salah

satu bahasa yang digunakan secara luas dalam setiap aspek kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan, pendidikan, dan bisnis. Menyadari kenyataan pentingnya bahasa Inggris di masa sekarang dan yang akan datang, maka pembelajaran bahasa Inggris sedini mungkin diterapkan di sekolah-

sekolah yang merupakan salah satu upaya peningkatan kompetensi individu dalam pembelajaran bahasa Inggris. Mengingat sejak tahun 2016 merupakan era dimulainya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), persaingan yang dihadapi dengan bangsa lain semakin ketat, sehingga lulusan sekolah kejuruan selain harus mempunyai kompetensi produktif juga harus mempunyai kompetensi

63

bahasa Inggris, merupakan bahasa pengantar yang dipakai secara internasional. Untuk mempersiapkan lulusan SMK menghadapi era MEA, maka pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris harus dapat merangsang peserta didik secara maksimal agar peserta didik aktif dan kreatif.

Hasil pengamatan terhadap peserta didik kelas XI DKV A di SMKN 5 Yogyakarta, ditemukan bahwa mayoritas kemampuan peserta didik dalam menulis karangan eksposisi dan pemilihan kata dalam bahasa Inggris masih terbatas. Berdasarkan hasil nilai menulis dapat diketahui bahwa 40 % dari peserta didik masih kesulitan menemukan pokok pikiran yang tepat ketika merangkainya menjadi kalimat dan menyusun dalam paragraf. Peserta didik kurang percaya diri, tidak mau berbagi ide dengan temannya (membaca hasil tulisan di depan kelas) ketika membuat karangan eksposisi berbahasa Inggris.

Oleh karena itu seorang guru harus bisa memilih metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya supaya mereka bisa berperan aktif dalam pembelajaran. Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, maka perlu metode pembelajaran bahasa Inggris yang mendorong peserta didik aktif dalam pembelajaran bahasa Inggris, salah satunya yaitu dengan menggunakan metode “mind mapping” untuk memotivasi peserta didik supaya lebih percaya diri ketika mereka menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris. Dengan menggunakan “mind mapping”, diharapkan peserta didik lebih tertarik dan tidak merasa

terbebani apabila menyampaikan ide dan pikiran mereka ke dalam bahasa Inggris. Mereka diharapkan juga berperan lebih aktif di kelas ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.

Tujuan penelitian ini yaitu menggunakan metode mind mapping pada pembelajaran menulis (writing) untuk meningkatkan kemampuan peserta didik membuat karangan eksposisi berbahasa Inggris. Manfaat yang diharapkan dari hasil penggunaan metode mind mapping ini antara lain dapat digunakan sebagai pengalaman dalam melaksanakan pembelajaran yang dapat memberikan masukan dan pengetahuan dalam upaya meningkatkan kemampuan peserta didik ketika menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris dengan menerapkan metode mind mapping, dan dapat membantu proses belajar mengajar bahasa Inggris di kelas menjadi lebih baik. Penggunaan metode mind mapping diharapkan dapat memberikan motivasi kepada para peserta didik untuk meningkatkan kemampuan menulis eksposisi berbahasa Inggris secara baik dan benar.

Pengertian Kemampuan MenulisPengertian dari kemampuan menulis

dapat dijelaskan sebagai berikut. Menulis merupakan suatu kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, karena merupakan salah satu cara bagi manusia sebagai makhluk sosial, untuk berkomunikasi dan merefleksikan kualitas diri. “Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan

Arnita Budi Siswanti - Peningkatan Kemampuan Menulis

64

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

mengunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya” (Suparno&Yunus, 2006: 3). Sependapat dengan pernyataan di atas, “Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan. Dengan demikian, menulis merupakan serangkaian kegiatan untuk mengemukakan suatu ide atau gagasan dalam bentuk lambang bahasa tulis agar dapat dibaca oleh orang lain” (Hernowo, 2002: 116). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menulis adalah suatu keterampilan berbahasa secara produktif yang digunakan untuk berkomunikasi dan mengekspresikan buah pikiran dan perasaan kepada orang lain melalui tulisan.

Pembelajaran Menulis Karangan Eksposisi

Keraf (1995: 7) mengatakan bahwa “eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca”.Bentuk wacana ini menyajikan penjelasan yang akurat dan terpadu mengenai topik yang cukup rumit. Tiga bagian utama wacana eksposisi yaitu sebuah pendahuluan, eksposisi, dan kesimpulan. Oleh karena itu topik-topik yang dikembangkan dalam wacana eksposisi merupakan buah pikiran, ide, pendapat, atau paparan informasi agar diketahui orang lain.

Paragraf eksposisi merupakan karangan yang bertujuan untuk menginformasikan tentang sesuatu sehingga memperluas pengetahuan pembaca. Karangan eksposisi

bersifat ilmiah/nonfiksi. Sumber karangan ini dapat diperoleh dari hasil pengamatan, penelitian, atau pengalaman.

Menurut Keraf (1995: 4) ciri-ciri karangan eksposisi yaitu (1) tujuan maupun gaya panulisannya bersifat informative; (2) keputusan bersifat objektif; dan (3) bahasa dalam pembahasannya bersifat logis. Sedangkan Hasani berpendapat bahwa karangan eksposisi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Data faktual, misalnya tentang suatu kondisi yang benar-benar terjadi atau bersifat historis, tentang bagaimana sesuatu (misalnya suatu mesin) bekerja dan tentang bagaimana suatu operasi diperkenalkan; dan (2) Suatu analisis atau suatu penafsiran yang objektif terhadap seperangkat fakta.

Metode Mind MappingMind mapping menurut Mulyatiningsih

(2012: 223) merupakan salah satu metode pembelajaran yang digunakan untuk melatih kemampuan menyajikan isi materi pelajaran dengan pemetaan pikiran. Sedangkan menurut Sugiarto (2004: 75), mind mapping adalah metode meringkas suatu masalah yang dihadapi menjadi bentuk peta atau metode grafis yang lebih mudah dipahami. Mind mapping merupakan kegiatan yang dapat mengoptimalkan fungsi otak kiri dan kanan secara seimbang.

Peta konsep atau peta pembelajaran adalah cara dinamik untuk menangkap butir-butir pokok informasi yang signifikan. Ornstein (dalam Rose and Nicholls, 2003: 136) menunjukkan bahwa proses berpikir adalah kombinasi kompleks antara kata,

65

gambar, skenario, warna, dan bahkan suara dan musik. Dengan demikian, proses menyajikan dan menangkap isi pelajaran dalam peta konsep mendekati operasi alamiah dalam berpikir.

Penggunaan Mind MappingPengggunaan suatu metode atau

metode pembelajaran akan memengaruhi keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Salah satu teknik pembelajaran menulis karangan eksposisi yaitu dengan mind mapping. Meskipun metode ini sudah lama dikenalkan oleh Tony Buzan, namun belum banyak guru bahasa Inggris yang menggunakannya di kelas. Setiap metode pembelajaran memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan karakteristik dari metode mind mapping. Untuk memahami lebih jelas tentang metode ini, beberapa pendapat dapat menjelaskan tentang definisi dari mind mapping. Definisi mind mapping menurut Buzan (1991: 25) adalah metode pembuatan grafik atau pembuatan catatan. Pandangan (hasil dari mind mapping) yang tampak dapat membantu seseorang dalam membedakan antara kata-kata dan gagasan-gagasan yang sering dilambangkan dengan warna dan simbol. Rose&Nicholls, (2003: 137) mengatakan bahwa sebelum belajar bahasa, sebaiknya kita memvisualisasikan gambar dalam pikiran kita dan mengaitkannya dengan konsep-konsep. Namun sayangnya, kita sering menyumbat saluran-saluran kreatif dengan melatih peserta didik

hanya menuliskan kata-kata secara monokronologis, di atas kertas bergaris. Cara membuat peta konsep (mind mapping) menurut Rose dan Nicholls (2003: 137) yaitu (1) Mulai dengan topik di tengah-tengah halaman; (2) Gunakan kata-kata kunci; (3) Buatlah cabang-cabangnya; (4) Gunakan simbol, warna, kata, dan gambar; (5) Buatlah seperti billboard. Menurut Buzan (1991:82), membuat mind mapping yang kreatif diperlukan langkah-langkah: (1) Memulai menuangkan ide dalam gambar di tengah-tengah kertas dengan menggunakan minimal tiga warna yang berbeda; (2) Gunakan imajinasi, simbol, kode, dan ukuran mind mapping yang dikehendaki; (3) Pilihlah kata kunci dan gunakan huruf besar dan huruf kecil; (4) Masing-masing kata atau gambar sebaiknya dibuat sendiri-sendiri (terpisah) pada masing-masing garis; (5) Garis-garis sebaiknya terhubung satu sama lain, dimulai dari gambar tengah. Garis pada tengah gambar dibuat yang lebih tebal, dan semakin mengecil ke arah luar; (6) Buatlah garis yang sama panjang dengan kata atau gambar pendukung; (7) Gunakan warna yang bercamam-macam (warna-warni) supaya mind mapping anda menarik perhatian orang lain; (8) Kembangkan gaya atau kreasi mind mapping anda; (9) Gunakan penekanan pada hal-hal yang khusus yang menunjukkan kesatuan makna pada mind mapping anda; dan (10) Buatlah mind mapping yang jelas alur pemikiran, urutan-urutan yang menggabungkan masing-masing cabang.

Bentuk mind mapping lebih ringkas dari pada tulisan yang panjang lebar yang

Arnita Budi Siswanti - Peningkatan Kemampuan Menulis

66

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

memberikan informasi yang sama namun lebih mudah diingat dalam penyampaiannya kepada orang lain karena ide yang akan disampaikan lebih jelas.

Kerangka BerpikirKemampuan menulis dalam bahasa

Inggris sangat diperlukan peserta didik SMK untuk menunjang profesi apabila telah terjun di dunia usaha. Kegiatan belajar-mengajar bahasa Inggris di kelas yang menarik sangat diperlukan, agar peserta didik tidak mengalami kejenuhan ketika menerima pelajaran. Ada beberapa macam metode pembelajaran dalam pengajaran bahasa Inggris yang dapat dipergunakan di kelas, antara lain peer learning, cooperative learning, mind mapping, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan metode mind mapping untuk membantu peserta didik mempermudah menulis karangan berbentuk eskposisi yang bertujuan untuk: (1) meningkatkan kemampuan peserta didik ketika menulis paragraf dalam bahasa Inggris; (2) memberikan motivasi kepada peserta didik; (3) melatih peserta didik untuk lebih kreatif dalam menuangkan gagasan dalam bentuk kata-kata dan gambar yang berwarna-warni; dan (4) mengurangi kebosanan peserta didik dalam mempelajari bahasa Inggris.

Metode mengajar yang dipergunakan oleh guru di kelas ketika mengajar diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris secara optimal dan peserta didik dapat mencapai nilai standar minimal.

Guru diharapkan dapat memberikan motivasi untuk menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik ketika peserta didik membuat karangan eksposisi berbahasa Inggris.

Metode PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di SMK

Negeri 5 Yogyakarta pada bulan September sampai dengan November 2015. Subjek dalam penelitian yaitu peserta didik kelas XI DKV A SMK Negeri 5 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2015/ 2016, yang berjumlah 30 orang, 20 orang peserta didik laki-laki dan 10 orang peserta didik perempuan.

Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui tes sebelum tindakan dan setelah proses pembelajaran, serta diadakan pengamatan selama proses pembelajaran menggunakan lembar observasi. Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan angka-angka yang diperoleh ke dalam kalimat. Penelitian ini dinyatakan berhasil apabila 80 % hasil tes menulis karangan eksposisi peserta didik kelas XI DKV A memenuhi KKM yang telah ditentukan yaitu sebesar 75 untuk rentang nilai 0-100.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menerapkan model yang dikembangkan oleh Kemmis & Taggart, dengan melaksanakan dua siklus. Pada setiap siklus melalui tahap planning (perencanaan), acting (pelaksanaan), observing (pengamatan), dan reflecting (refleksi). Keempat komponen tersebut digambarkan seperti spiral yang saling berkaitan satu sama lain yang menunjukkan

67

bahwa pelaksanaan setiap siklus saling berhubungan satu dengan yang lainnya, yang mungkin diikuti dengan siklus spiral berikutnya.

Model penelitian tindakan kelas yang dikembangkan oleh Kemmis dan McTaggart dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

Setelah data penelitian terkumpul maka dilakukan analisis data. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis data secara induktif. Triangulasi (pengecekan keabsahan data) dilakukan bersama rekan sejawat sesama guru bahasa Inggris. Analisis data adalah kegiatan yang dilakukan dengan mengorganisasikan data, mengelompokkan data sesuai dengan jenisnya (koding), menemukan pola yang sama dan memutuskan apa yang akan diceritakan sebagai hasil dari penelitian.

Untuk mendapatkan data yang valid maka peneliti dibantu oleh rekan sejawat sebagai kolaborator dalam mencari dan menyusun sumber data. Data yang sudah diperoleh dalam penelitian harus diperiksa keabsahannya yang biasanya disebut sebagai triangulasi data. Tujuan dari pengecekan data ini untuk mendapatkan data yang akurat, sahih, dan absah yang diperoleh dari hasil observasi dan studi dokumentasi.

Hasil Penelitian dan PembahasanSebelum melaksanakan PTK, peneliti

melaksanakan studi pendahuluan dengan mengidentifikasi masalah yang dihadapi dalam pembelajaran writing/menulis eksposisi berbahasa Inggris di kelas XI DKV A SMKN 5 Yogyakarta. Studi pendahuluan dilakukan dengan cara melihat dokumen

Arnita Budi Siswanti - Peningkatan Kemampuan Menulis

68

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

nilai dan berdiskusi dengan rekan sejawat sesama guru bahasa Inggris. Dari hasil diskusi diperoleh hasil bahwa pembelajaran writing di kelas XI DKV A belum maksimal.

Pretest diberikan setelah dilaksanakan studi pendahuluan untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik sebelum diberikan tindakan. Pretest dilaksanakan pada tanggal 9 Oktober 2015 yang dipandu langsung oleh peneliti selaku guru bahasa Inggris. Berdasarkan hasil pengamatan pada prasiklus, ketika peserta didik diminta untuk menulis eksposisi berbahasa Inggris, banyak peserta didik yang bingung, resah, dan kurang bersemangat karena tidak mengetahui apa yang harus dituangkan ke dalam tulisan. Hasil pretest menunjukkan 17 orang peserta didik atau sebesar 56,67 % belum mampu menulis eksposisi dengan baik.Sedangkan peserta didik yang sudah berhasil mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM)

sebanyak 13 orang atau sebesar 43,33 %. Rata-rata nilai kelas yaitu 70,73. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik dalam menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris masih di bawah KKM. Pencapaian skor pada hasil pretest dapat dilihat pada Tabel 1.

Siklus ISebelum tindakan dilakukan terlebih

dahulu dilakukan perencanaan. Pada tahap perencanaan, guru mengidentifikasi masalah yang ada sesuai hasil pretest. Sejumlah 17 peserta didik belum mampu menulis karangan eksposisi dengan baik dan benar. Pencapaian skor 56,67 % belum memenuhi nilai KKM. Oleh karena itu cara penulisan karangan eksposisi perlu ditingkatkan dengan menggunakan metode mind mapping untuk membantu mempermudah peserta didik menentukan pokok pikiran dari paragraf yang akan ditulis pada karangan eksposisi.

69

Langkah selanjutnya yaitu menyiapkan sumber belajar, menyusun instrumen penilaian dan menyiapkan instrumen observasi. Setelah perencanaan, tahap selanjutnya yaitu tindakan (acting). Pada tahap ini, guru melaksanakan pembelajaran ditemani oleh seorang kolaborator untuk melaksanakan observasi. Ketika memulai kegiatan pembelajaran, guru melakukan langkah-langkah: (1) Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan hasil yang diharapkan; (2) Menyampaikan apersepsi untuk memancing informasi peserta didik dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari yaitu “Hope and Dreams”; (3) Menjelaskan cara membuat pokok pikiran dengan menggunakan mind mapping dengan memberikan contoh-contoh, peserta didik mencermati penjelasan yang disampaikan oleh guru; (4) Memberikan penjelasan cara menulis karangan eksposisi dengan mind mapping yang sudah dibuat sebelumnya.

Peserta didik diberi tugas mencari tokoh yang mereka pilih secara berkelompok di internet beserta artikel tentang impian tokoh tersebut. Peserta didik secara berkelompok mendiskusikan tokoh tersebut dan impian mereka; (5) Memberikan contoh karangan eksposisi berbahasa Inggris tentang seorang tokoh yaitu Oprah Winfrey yang ada pada gambar yang sudah ditayangkan sebelumnya. Peserta didik diminta membaca dalam hati teks bacaan secara berkelompok yang terdiri dari tiga orang, kemudian mendiskusikan bentuk karangan eksposisi berbahasa Inggris dan mencermati isi dan bagian-bagian teks eksposisi. Langkah yang terakhir, secara individu peserta didik membuat konsep mind mapping sesuai tokoh yang dipilih.

Hasil penulisan karangan eksposisi berbahasa Inggris peserta didik menunjukkan adanya peningkatan. Perbandingan hasil nilai peserta didik yang memenuhi KKM dari pre tes dan siklus I menunjukkan perolehan skor

Arnita Budi Siswanti - Peningkatan Kemampuan Menulis

70

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

meningkat dari 43,33 % pada hasil pre tes, menjadi 63,33 % pada siklus I, dan rata-rata nilai menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris juga meningkat dari 70,73 menjadi 73,60 pada siklus I. Perolehan skor dapat dilihat Tabel 2.

Pada saat tindakan berlangsung, maka dilakukan observasi. Hasil observasi kolaborator selama proses pembelajaran dari siklus 1 yaitu: (1) Peserta didik memperhatikan penjelasan guru dengan seksama; (2) Ada interaksi antara guru dan peserta didik selama kegiatan pembelajaran berlangsung; (3) Guru sudah melakukan manajemen kelas dengan bagus. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, guru selalu berkeliling kelas untuk memantau kegiatan peserta didik; (4) Peserta didik tertarik dengan metode yang disampaikan oleh guru; (5) Mayoritas peserta didik sudah memiliki artikel yang akan dibuat mind mapping dan ditulis ulang dengan bahasa mereka sendiri dalam bentuk karangan eksposisi berbahasa Inggris, namun masih ada beberapa peserta didik yang belum memiliki artikel yang sudah ditugaskan oleh guru pada pertemuan sebelumnya; (6) Ada beberapa peserta didik yang masih bingung dan melihat hasil kerja temannya. Guru membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dengan cara berkeliling kelas; dan (7) Nampak suasana kelas yang menyenangkan, peserta didik menikmati pembelajaran.

Dari hasil pelaksanaan tindakan di kelas, guru melakukan refleksi tentang apa yang sudah dipelajari dan dilakukan. Guru

menanyakan kepada peserta didik apakah mereka menyukai metode yang disampaikan oleh guru dan kegiatan pembelajaran yang sudah mereka lakukan. Mayoritas peserta didik menyukai metode yang digunakan oleh guru karena mereka suka menggambar, namun ada beberapa peserta didik yang kurang menyukai menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris.

Suasana kelas tenang, peserta didik aktif, tekun dan menikmati pelajaran.Masing-masing sibuk dengan gambar mind mapping karena mayoritas peserta didik kelas XI DKV A banyak yang pandai menggambar. Ada beberapa peserta didik yang masih kelihatan bingung dikarenakan belum mempunyai gagasan dalam menulis karangan. Mereka melihat hasil kerja temannya. Guru menyarankan untuk membuka akses internet sehingga memudahkan peserta didik menemukan ide/ gagasan yang akan disampaikan. Menjelang akhir pelajaran, seluruh peserta didik berhasil membuat gambar mind mapping, hasil gambar mind mapping peserta didik discan oleh guru sehingga pada pertemuan berikutnya peserta didik membaca karangan eksposisi sambil melihat tayangan mind mapping di LCD. Gambar mind mapping ditayangkan pada proyektor LCD, sehingga peserta didik merasa bangga hasil karyanya bisa dilihat dengan jelas oleh seluruh temannya.

Siklus IIPada tahap perencanaan dilakukan

identifikasi masalah. Hasil identifikasi

71

masalah pada siklus I yaitu adanya beberapa peserta didik yang belum memiliki artikel sehingga merasa kesulitan dalam membuat mind mapping dan menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris. Guru meminta para peserta didik untuk menyiapkan artikel yang sudah dipilih, sehingga mereka dapat mengikuti pembelajaran dengan lancar. Guru juga memberikan motivasi yang lebih intensif terhadap peserta didik yang masih bingung, sehingga lebih termotivasi untuk belajar. Peserta didik diberi kesempatan untuk menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris tentang impian atau cita-cita mereka sendiri berdasarkan referensi artikel yang sudah mereka unduh dari internet.

Pada tahap tindakan, sebelum pembelajaran dimulai, guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan hasil yang diharapkan. Guru juga menyampaikan apersepsi untuk memancing informasi peserta didik dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari yaitu “My Dream”.

Pembelajaran diawali dengan pemberian contoh-contoh karangan eksposisi tentang impian atau cita-cita. Peserta didik mengamati dan mencermati contoh-contoh karangan eksposisi berbahasa Inggris. Guru menjelaskan materi tentang cara menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris yang sudah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya, materi perlu diulang mengingat masih ada beberapa peserta didik yang mengalami kesulitan ketika menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris.

Selajutnya peserta didik diminta membuat konsep mind mapping tentang impian atau cita-cita mereka, kemudian guru meminta peserta didik untuk menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris tentang impian atau cita-cita. Setelah mendapatkan berbagai referensi dari impian tokoh-tokoh pada pertemuan sebelumnya, diharapkan peserta didik mendapatkan bekal yang lebih banyak ketika menuangkan ide mereka ke dalam karangan eksposisi berbahasa Inggris. Dalam proses pembelajaran, guru membantu peserta didik yang masih mengalami kesulitan dalam menuangkan ide mereka ke dalam karangan eksposisi berbahasa Inggris dan memberikan evaluasi tentang kegiatan peserta didik. Guru juga membantu peserta didik yang masih bingung dengan menjelaskan hal-hal yang masih belum dipahami, serta memberi tugas untuk pertemuan selanjutnya.

Tahap selajutnya pada siklus II yaitu observasi (hasil tindakan). Hasil penulisan karangan eksposisi berbahasa Inggris peserta didik menunjukkan adanya peningkatan. Perbandingan hasil nilai peserta didik yang memenuhi KKM dari pretest, siklus I, dan siklus II menunjukkan perolehan skor meningkat dari 43,33 % pada hasil pretest menjadi 63,33 % pada siklus I, dan 83,34 % pada siklus II. Rata-rata nilai menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris juga meningkat dari 70,73 pada hasil pretest menjadi 73,60 pada siklus I dan meningkat menjadi 76,67 pada siklus II. Perolehan skor dapat dilihat pada Tabel 3.

Arnita Budi Siswanti - Peningkatan Kemampuan Menulis

72

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Hasil observasi kolaborator selama proses pembelajaran pada siklus II yaitu: (1) Terjadi interaksi antara guru dan peserta didik selama kegiatan pembelajaran berlangsung; (2) Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, guru selalu berkeliling kelas untuk memantau kegiatan peserta didik; (3) Peserta didik tertarik dengan metode yang disampaikan oleh guru; (4) Hampir semua peserta didik sudah memiliki artikel yang berkaitan dengan topik yang akan ditulis, yaitu tentang impian atau cita-cita mereka; (5) Peserta didik lebih mandiri dan percaya diri, sudah tidak ada lagi yang melihat pekerjaan temannya karena mereka telah mempersiapkan referensi berdasarkan ide yang akan mereka tulis; (6) Masih ada dua orang peserta didik yang kurang paham karena belum memiliki ide menulis dan penguasaan kosa kata mereka terbatas; dan (7) Mayoritas peserta didik mulai menyukai kegiatan menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris karena terbantu dengan

metode mind mapping dan penggunaan kamus.

Setelah pelaksanaan siklus II berakhir, guru bersama kolaborator mengadakan diskusi untuk melakukan refleksi. Hasil dari refleksi pada siklus II, dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Kedekatan guru ketika peserta didik membuat mind mapping dan menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris membantu peserta didik yang pemalu menjadi lebih berani bertanya ketika guru berada di dekat mereka. Mereka lebih leluasa untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahami; dan (2) Materi berupa artikel yang sudah disiapkan di rumah, membantu peserta didik mempermudah membuat mind mapping dan menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris. Penggunaan metode mind mapping mempermudah peserta didik ketika mereka hendak menuangkan ide kedalam tulisan berupa karangan eksposisi berbahasa Inggris.

73

Pembahasan Pembahasan hasil penelitian peningkatan kemampuan menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris menggunakan mind mapping disajikan berupa temuan hasil penelitian tentang hasil belajar peserta didik. Hasil observasi pada prasiklus menunjukkan peserta didik masih bingung untuk menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris dengan baik dan benar, kadang-

kadang terhenti menulis di tengah jalan karena ada hal-hal yang terlupakan ketika menuangkan ide ke dalam tulisan. Sebanyak 17 orang peserta didik belum mencapai standar KKM yaitu 75. Persentase belum tuntas sebesar 56,67 %. Rata-rata nilai pada hasil pretest sebesar 70,73.

Hasil pembelajaran menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris dengan mind mapping pada siklus I sudah menunjukkan

Gambar 2. Grafik Perbandingan Ketuntasan Belajar Peserta Didik: Kondisi Awal, Siklus I dan Siklus II.

Arnita Budi Siswanti - Peningkatan Kemampuan Menulis

74

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

peningkatan. Sejumlah 19 orang peserta didik sudah mencapai standar KKM. Persentase ketuntasan mencapai 63,33 %, dan yang belum tuntas sebanyak 11 orang peserta didik atau sebesar 36,69 %.

Penelitian tindakan kelas ini dikatakan berhasil apabila ketuntasan belajar peserta didik bisa mencapai 80 %. Pada akhir siklus II, ketuntasan belajar peserta didik mencapai 83,34 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berhasil sesuai dengan target yang direncanakan. Nilai rata-rata kelas pada siklus II sebesar 76,67. Peningkatan nilai rata-rata berpengaruh terhadap ketuntasan belajar peserta didik. Ada peningkatan ketuntasan belajar peserta didik dari prasiklus sampai pada siklus II sebesar 40 %.

Berdasarkan hasil pengamatan dan evaluasi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan peserta didik dalam menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris menggunakan metode mind mapping pada tindakan siklus II sudah berhasil. Peserta didik telah memperoleh hasil belajar yang memuaskan. Perbandingan rangkuman data hasil belajar peserta didik dari penelitian mulai dari kondisi awal sampai dengan siklus II dapat digambarkan pada Tabel 4 dan Gambar 2. Simpulan

Berdasarkan dokumen data dan pembahasan dari hasil tindakan pada siklus I dan siklus II, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menulis karangan eksposisi

berbahasa Inggris menggunakan mind mapping dapat meningkatkan kemampuan hasil belajar peserta didik. Hal ini terlihat dari peningkatan yang signifikan pada hasil nilai yang dapat dilihat dari nilai rata-rata kelas. Nilai rata-rata kelas prasiklus (sebelum tindakan) yaitu sebesar 70,73; nilai rata-rata kelas pada siklus I sebesar 73,60; sedangkan nilai rata-rata pada siklus II sebesar 76,67.

Penggunaan mind mapping untuk menulis karangan eksposisi berbahasa Inggris dapat memotivasi peserta didik dalam menuangkan ide dan gagasan ke dalam bahasa Inggris. Hal ini terbukti dari pengamatan guru ketika pembelajaran (pelaksanaan tindakan) sedang berlangsung. Peserta didik lebih menyukai dan menikmati pembelajaran, lebih aktif bertanya, lebih serius dan saling berusaha untuk menampilkan gambar dan tulisan terbaik. Peserta didik merasa lebih percaya diri. Sedangkan sebelum pelaksanaan tindakan (prasiklus), peserta didik merasa kesulitan menuangkan ide mereka dalam bahasa Inggris.

Daftar Rujukan

Buzan, Tony and Barry. 1991. The Mind Map Book: Unlock Your Creativity, Boost Your Memory, Change Your Life. London: Plume Publisher.

Hernowo. 2002. Mengikat Makna. Bandung: Kaifa.

Keraf, Gorys. 1995. Eksposisi dan Deskripsi. Flores: Nusa Indah.

Mulyatiningsih, Endang. 2011. Riset Terapan Bidang Pendidikan dan Teknik. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press.

75

Rose, Colin & Nicholl, Malcolm J. 2003. Accelerated Learning for 21st Century. Bandung: Nuansa.

Sugiarto, Iwan. 2004. Mengoptimalkan Daya Kerja Otak dengan Berpikir Holistik dan Kreatif. Jakarta: Gramedia Utama.

Suparno dan Mohamad Yunus. 2008. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.

76

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

“MOKENA SI MER” SOLUSI MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA

Heni PrilantariMAN Gandekan Bantul

E-mail : [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk : 1) meningkatkan kreativitas dengan menggunakan model pembelajaran Mokena Si Mer, 2) mendeskripsikan cara mengemas model Mokena Si Mer dalam meningkatkan kreativitas siswa dalam belajar biologi, 3) mengetahui besarnya penguasaan konsep dengan penerapan model Mokena Si Mer, dan 4) mengetahui tanggapan siswa terhadap penerapan model belajar Mokena Si Mer di MAN Gandekan Bantul kelas X MIPA2. Model Pembelajaran Mokena Si Mer meliputi tahap-tahap motivasi pikiran, kenali fakta, memaknai fakta, simpan dan pamerkan. Dari tahap-tahap tersebut diukur kreativitasnya. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri dari tahap perencanaan (planning), pelaksanaan kegiatan (acting), obseravasi dan refleksi. Model Pembelajaran Mokena Si Mer dapat meningkatkan kreativitas siswa antara lain pada tahap motivasi pikiran meningkat 45,03 %, pengenalan fakta 14,04 %, pemaknaan fakta 16,67 %, presentasi pada diskusi kelas 28,51 %. Penguasaan konsep mengalami peningkatan dari siklus I nilai rerata postes sebesar 81 pada siklus II meningkat menjadi 83.

Kata kunci : Mokena Si Mer, kreativitas

Abstract: This study aimed to: 1) increase creativity by using model Mokena Si Mer, 2) describe how to package a model Mokena Si Mer in improving students’ creativity in learning biology, 3) determine the amount of mastery of concepts with the application of Mokena Si Mer, and 4) determine the response of students to the application of learning models Mokena Si Mer in class X MAN Gandekan Bantul MIPA2. Learning Model Mokena Si Mer includes the steps of motivational thoughts, recognize the facts, to interpret the facts, save and show the product. On these stages creativity was measured. This research was conducted in two cycles. Each cycle consisted of the planning stage (planning), implementation (acting), obseravasi and reflection. Learning Model Mokena Si Mer could enhance students’ creativity, such as the mind motivation increased 45.03%, recognition facts 14.04%, meaning the fact 16.67%, and presentation in class discussions 28.51%. Mastery of concepts had increased from the first cycle posttest mean score from 81 and to 83 at the second cycle.

Keywords: Mokena Si Mer, creativityPendahuluan

Konsep belajar tuntas menawarkan pembelajaran yang melibatkan segala aspek yang dapat muncul dari siswa. Siswa tidak hanya mendengar namun juga melihat, merasakan dan mengalami sendiri konsep-konsep yang dipelajari. Keadaan seperti ini

mampu mendorong siswa untuk menjadi kreatif. Pengembangan kemampuan berpikir kreatif serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan siswa adalah penting. Hal ini didorong oleh adanya kompetisi disegala bidang yang tidak pernah

77

berhenti sehingga kita harus selalu kreatif dalam menghasilkan ide-ide untuk membuat atau memperbaiki sesuatu agar tetap unggul. Perbedaan seseorang dengan yang lain adalah kreativitas dirinya dalam hal mencari solusi, menghasilkan ide-ide terobosan, dan dalam melaksanakan segala aktifitas.

Berbagai model dan strategi pembelajaran yang ditawarkan selama ini hanya sebatas bagaimana materi pelajaran dapat diserap oleh peserta didik sehingga bertahan lama dalam ingatan. Sementara kemampuan untuk memaknai fakta dan teori yang telah diperoleh terkadang terlupakan. Kondisi sekarang ini banyak kita jumpai orang-orang dengan prestasi tinggi namun tidak kreatif, seperti tidak mampu menghadapi permasalahan di dunia nyata, tidak mampu mengaplikasikan teori yang telah diperoleh untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Nurhasan (2000 : 13) bila kondisi ini tidak mendapat perhatian, maka dapat menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang, antara lain: 1) sebagian besar siswa hanya memiliki kemampuan menghafal (ranah kognitif); 2) sebagian siswa tidak memiliki ketrampilan dan sikiap ilmiah yang memadai; 3) sebagian siswa kesulitan menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk menghadapi dunia nyata; 4) Banyak siswa mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah yang dihadapi; 5) banyak siswa yang tidak lagi memiliki dan menjiwai sikap-sikap ilmiah.

Hal ini juga dialami oleh para siswa

MAN Gandekan Bantul. Berdasarkan observasi awal, siswa kelas X2 saat melaksanakan proses pembelajaran Biologi masih belum menunjukkan kreativitasnya dalam belajar. Hal ini terungkap saat kegiatan observasi, diskusi, dan presentasi. Siswa masih sangat tergantung pada buku dan terkesan bingung dalam penentuan tahap-tahap pembelajaran. Diskusi yang diterapkan sebagai salah satu model pembelajaran menjadi tidak efektif dalam menanamkan konsep ke siswa.

Wawancara yang dilakukan dengan beberapa siswa kelas X2 juga dapat disimpulkan bahwa penerapan metode diskusi yang dimaksudkan untuk mengaktifkan siswa justru membingungkan siswa, dan belum jelas alur penanaman konsep yang dapat diterima. Sementara siswa sering juga kesulitan untuk melakukan presentasi terhadap konsep Biologi. Hal ini disebabkan guru biasanya hanya memberikan permasalahan, selanjutnya siswa disuruh untuk mendiskusikan dan presentasi.

Menghadapi permasalahan di atas, salah satu cara untuk menanamkan kreativitas yaitu dengan menerapkan model pembelajaran Mokena Si Mer (motivasi, kenali fakta, maknai fakta, simpan dan pamerkan). Mokena Si Mer merupakan tahapan pembelajaran yang menyeluruh dan akan memacu siswa untuk kreatif.

Siswa kelas X2 yang dikenai penelitian merupakan kelas yang belum terbiasa melaksanakan proses pembelajaran yang mengedepankan berpikir kreatif. Meskipun guru telah mengelola pembelajaran yang

Heni Prilantari - “Mokena Si Mer” Solusi Meningkatkan Kreativitas

78

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

mengaktifkan siswa seperti metode diskusi, namun siswa masih belum dapat melaksanakan secara maksimal. Metode diskusi terkesan memaksakan anak sekedar dapat mempresentasikan konsep-konsep mata pelajaran biologi tanpa memahaminya. Suasana diskusipun menjadi terasa tanpa makna dan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Siswa masih belum madiri dalam melakukan proses pembelajarannya.

Model pembelajaran Mokena Si Mer yang terdiri dari motivasi, kenali fakta, maknai fakta, simpan dan pamerkan diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut. Pada pelaksanaan model ini ada permasalahan yang muncul seperti sejauh mana model Mokena Si Mer mampu meningkatkan kemandirian belajar biologi, dan bagaimana model ini mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep biologi. Permasalahan lain yang muncul yaitu bagaimana tanggapan siswa terhadap penggunaan model ini dan guru sebagai pelaksana di lapangan.

Berpikir kreatif pada penelitian ini dibatasi hanya pada tahap pengenalan dan pemaknaan fakta, serta diskusi kelas pada materi dampak aktivitas manusia terhadap kelestarian lingkungan. Penelitian ini yang akan meneliti bagaimana mengemas model Mokena Si Mer dalam pembelajaran Biologi untuk meningkatkan kreativitas dan seberapa besar penguasaan konsep dengan penerapan model Mokena Si Mer. Tujuan Penelitian yaitu mengetahui cara mengemas model Mokena Si Mer dalam meningkatkan kreativitas siswa dalam belajar biologi.

Karakteristik IPAPendidikan IPA menekankan pada

pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

Biologi sebagai bagian dari IPA memiliki ciri keilmuan yang khas yaitu adanya konsep sebagai produk dan ketrampilan proses sebagai proses. Antara produk dan proses dalam Biologi keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi. Menurut Istamar Syamsuri (2004: 2-3), ciri-ciri Ilmu Biologi sebagai bagian dari sains adalah : 1) memiliki obyek kajian berupa benda-benda konkret, 2) dikembangkan berdasarkan pengalaman empiris, 3) memiliki langkah-langkah sistematis, 4) menggunakan cara berpikir logis, 5) hasilnya obyektif atau apa adanya, dan 6) hasilnya berupa hukum-hukum yang berlaku umum.

Untuk mendukung prinsip-prinsip keilmuan Biologi seperti diuraikan di atas, maka kegiatan pembelajaran Biologi hendaknya : 1) dilakukan melalui serangkaian kegiatan ilmiah bukan hanya mendengarkan penjelasan dari guru, 2) melatih siswa untuk menata atau mengorganisasi pengetahuan atau gagasan yang diperoleh dengan baik, 3) dilakukan melalui kegiatan yang sesuai dengan proses keilmuan meliputi perencanaan, penyusunan, dan pengujian gagasan melalui penyelidikan

79

Kreativitas Kreativitas didefinisikan sebagai cara berpikir dan bertindak atau menciptakan sesuatu yang original dan bernilai/berguna bagi orang tersebut dan orang lain. Namun jika dihubungkan dalan lingkungan belajar, kreativitas berkaitan dengan perkembangan kognitif dan cenderung ke arah cara berpikirnya. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan pekerjaan otak kanan. Otak kanan ini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan bersifat nonlinear, non verbal, holistic, humanistic, kreatif, mencipta, mendisain, bahkan mistik dan sejenisnya. Menurut Munandar (2012: 19) kreativitas adalah suatu gaya hidup, suatu cara untuk mempersepsi dunia. Hidup kreatif berarti mengembangkan talenta yang dimiliki, belajar menggunakan kemampuan diri secara optimal, menjajagi gagasan baru, tempat-tempat baru, aktifitas-aktifitas baru, mengembangkan kepekaan terhadap masalah lingkungan, masalah orang lain, dan masalah kemanusiaan.

Kreativitas dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan perubahan jaman. Berpikir kreatif dibutuhkan dalam belajar dan ketika menghadapi berbagai permasalahan hidup. Guru harus mampu merancang pembelajaran yang sifatnya kreatif. Dengan berpikir kreatif seseorang mampu melakukan pendekatan secara bervariasi dan memiliki bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu persoalan.

Torrance (1963: 7) berpendapat bahwa kreativitas seseorang dapat dikembangkan melalui tes kreativitas yang mencakup

penyekoran pada aspek kelancaran (fluency), berpikir luwes (flexibility), berpikir orisinil (originality) dan keterampilan memerinci (elaboration). Sedangkan Jamaris dalam (Sujiono, 2010: 38) memaparkan bahwa secara umum karakteristik dari suatu bentuk kreativitas tampak dalam proses berpikir saat seseorang memecahkan masalah yang berhubungan dengan: Kelancaran dalam memberikan jawaban dan atau mengemukakan pendapat atau ide-ide ;2) Kelenturan berupa kemampuan untuk mengemukakan berbagai alternative dalam memecahkan masalah; 3) Keaslian berupa kemampuan untuk menghasilkan berbagai ide atau karya yang asli hasil pemikiran sendiri; 4) Keuletan dan kesabaran dalam menghadapi suatu situasi yang tidak menentu. Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa karakteristik kreativitas mempunyai banyak kesamaan yang tampak yaitu memiliki kecenderungan untuk tertarik dan memahami hal-hal yang belum diketahuinya serta keyakinan untuk mempunyai prakarsa.

Metode PenelitianJenis penelitian ini merupakan

penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian dilakukan di MAN Gandekan Bantul, D.I. Yogyakarta merupakan sekolah umum bercirikan Islam di bawah naungan Kementerian Agama, yang beralamatkan di Jalan Prof. DR. Supomo. SH Kotak Pos 128 Bantul, Yogyakarta. Kelas yang dijadikan penelitian yaitu kelas X2 yang berjumlah 19 siswa. Subjek peneliti yaitu guru mata pelajaran Biologi yang sudah mengajar selama 14 tahun dan dibantu oleh 2 orang

Heni Prilantari - “Mokena Si Mer” Solusi Meningkatkan Kreativitas

80

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

kolaborator yang juga mengajar Biologi di MAN Gandekan yaitu Dra. Rr Dwi Rukminingsih, M.Pd.Si dan Suyati, SPd. Sumber dan jenis data penelitian berupa data-data kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Data berupa kata-kata dan tindakan, sumber tertulis, hasil karya, foto dan data statistik. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi dan angket. Lembar observasi terdiri dari: 1) lembar observasi untuk menilai motivasi pikiran; 2) lembar observasi untuk menilai kreativitas siswa pada waktu melakukan pengenalan dan pemaknaan terhadap fakta-fakta, melakukan diskusi kelompok, melakukan presentasi hasil pada diskusi kelas. Selain lembar observasi instrumen lain yang digunakan yaitu angket. Angket digunakan untuk menilai tanggapan siswa terhadap pembelajaran menggunakan model Mokena Si Mer. Angket ini menggunakan skala perbedaan semantik. Perbedaan semantik merupakan model skala dengan meletakkan suatu rentangan di antara dua kata atau ide yang berlawanan serta butir soal pretest dan postest untuk mengetahui pemahaman konsep yang telah diperoleh. Rancangan model penelitian tindakan kelas yang akan dilakukan menggunakan model spiral atau siklus menurut Kemmis dan Taggart (1994: 26) yang meliputi empat komponen, yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Hubungan keempat komponen itu dipandang sebagai satu siklus. Spiral atau siklus itu berulang terus sampai masalah yang dihadapi terpecahkan.

Penelitian dilakukan 3 siklus yang seperti dapat dilihat pada Gambar 1.

Hasil Penelitian dan PembahasanSiklus I

Kegiatan pada siklus 1 diawali dengan perencanaan. Kegiatan ini meliputi: 1) membuat rencana program pembelajaran pada konsep dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan; 2) mempersiapkan angket tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan model Mokena Si Mer; 3) menyiapkan lembar artikel kasus kerusakan lingkungan; 4) mempersiapkan lembar observasi untuk menilai motivasi dan kemandirian siswa dalam mengenali dan memaknai fakta-fakta pencemaran lingkungan; dan 5) diskusi kelas, mempersiapkan lembar penilaian untuk mengetahui pemahaman konsep secara kognitif

Kegiatan selanjutnya yaitu pelaksanaan kegiatan (acting). Pelaksanaan kegiatan merupakan penerapan dari skenario pembelajaran yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kegiatan ini meliputi : 1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran; 2)

Gambar 1. Siklus Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

81

Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal pretes; 3) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berimajinasi apa harapan setelah mempelajari materi; 4) Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok diberikan satu lembar artikel kasus kerusakan lingkungan; 5) Dalam kelompok siswa mencermati lembar kasus kerusakan lingkungan selanjutnya mengenali fakta-fakta yang ditemui, dan memaknai fakta yang ditemukan; 6) Guru membimbing siswa untuk berdiskusi kelompok; 7) Guru membimbing siswa untuk menyimpan konsep-konsep hasil diskusi kelompok secara keseluruhan dengan strategi tertentu dan mengisi lembar kesimpulan secara bergantian; 8) Guru membimbing siswa untuk mempersentasikan hasilnya dalam diskusi kelas; dan 9) Guru mengatur siswa untuk melaporkan hasil belajarnya secara bergiliran dalam diskusi kelas

Kegiatan selajutnya pada siklus ini yaitu dilakukan pengamatan (observing). Proses pembelajaran yang diamati yaitu sejauh mana kreativitas siswa terbentuk. Proses pembelajarannya menggunakan model Mokena Si Mer yang meliputi tahap: motivasi, pengenalan fakta, pemaknaan fakta, simpan konsep dan pamerkan. Adapun tahap yang diukur kreativitasnya pada tahap pengenalan fakta, pemaknaan fakta dan presentasi hasil diskusi kelas (pamerkan).Berdasarkan hasil observasi pada penanaman motivasi pikiran dapat dikatakan siswa belum termotivasi pikirannya. Skor tertinggi terdapat pada pernyataan yang mengandung

imajinasi masa depan sebanyak 27 dari skor maksimal 57. Pada pernyataan yang mengandung harapan dan cita-cita pribadi serta kemauan untuk aplikasi masih tergolong rendah yaitu dengan skor 16 dan 18. Pada siklus I kreativitas dalam pengenalan fakta masih kurang baik. Hal ini dilihat dari perolehan skor pada masing-masing kegiatan yang masih rendah. Kegiatan dengan skor tertinggi pada kegiatan Membaca artikel dengan sungguh-sungguh sebesar 53. Melihat pencapaian skor ini, berarti kreativitas siswa baru pada tahap membaca artikel. Aspek kelancaran dalam memberikan jawaban atau mengemukakan ide masih belum dikuasai siswa dengan memiliki jumlah skor terendah yaitu 26. Sementara itu pada aspek kelenturan berupa kemampuan memberi alternatif pemecahan masalah sudah dilakukan meskipun belum sesuai aspek yang diharapkan yaitu sebesar 31. Siswa juga masih belum banyak menghasilkan ide hasil pemikiran sendiri yang ditunjukkan dari hasil observasi mencapai skor 30. Skor tertinggi sebanyak 41 dicapai pada tahap keuletan atau menghargai pendapat teman.

Kemampuan siswa dalam pemahaman konsep dampak aktivitas manusia terhadap kelestarian lingkungan dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1, terjadi peningkatan dari hasil pretest dan postest baik nilai tertinggi, terendah maupun reratanya.

Heni Prilantari - “Mokena Si Mer” Solusi Meningkatkan Kreativitas

82

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Secara umum hasil penerapan model Mokena Si Mer pada pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas siswa sudah meningkat, namun belum memuaskan. Kreativitas siswa masih perlu ditingkatkan lagi. Namun ada beberapa kelebihan yang dapat dilihat pada siklus I ini, antara lain 1) pada tahap-tahap proses belajar-mengajar, siswa mulai terarah sehingga ketika diskusi siswa sudah mulai paham alur perolehan konsepnya; 2) penggunaan artikel berupa kasus perusakan lingkungan menjadi topik yang menarik perhatian siswa sehingga terlihat bersungguh-sungguh dalam mencermati artikel.

Adapun kelemahan yang dapat diamati antara lain penanaman motivasi pikiran di awal pembelajaran masih membingungkan siswa sehingga pernyataan yang muncul masih teoritis bukan dari dalam diri sendiri. Pernyataan menjadi tidak aplikatif. Pada pelaksanaan diskusi kelas, meskipun sudah muncul kreativitasnya namun siswa yang aktif hanya satu dua orang saja, yang lain belum berani muncul. Pada kegiatan ini siswa juga masih tergantung referensi atau tekstual sehingga belum ada pengembangan konsep.

Siklus II

Kegiatan proses belajar mengajar pada siklus II tidak jauh berbeda dari siklus I dalam hal skenario pembelajarannya. Perbedaan terletak pada materi yang dibahas dan memperbaiki beberapa kelemahan yang ditemukan pada siklus I. Secara umum ada peningkatan yang bagus dari siklus I. Hal ini disebabkan siswa sudah terbiasa dengan model pembelajaran yang diterapkan dan sudah muncul kreativitasnya terutama dalam diskusi kelas.

Pada tahap awal siklus I dilakukan perencanaan (planning). Kegiatan ini meliputi: membuat rencana program pembelajaran pada konsep dampak berbagai zat pencemar terhadap lingkungan, mempersiapkan angket tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan model Mokena Si Mer, menyiapkan lembar kasus dampak berbagai zat pencemar terhadap lingkungan, mempersiapkan lembar observasi untuk menilai kreativitas siswa dalam mengenali dan memaknai fakta-fakta kasus dampak berbagai zat pencemar terhadap lingkungan, dan mempersiapkan lembar penilaian untuk

83

mengetahui pemahaman konsep secara kognitif

Tahap selanjutnya yaitu pelaksanaan kegiatan (acting). Pelaksanaan kegiatan merupakan penerapan dari skenario pembelajaran yang telah dipersiapkan sebelumnya dan berdasarkan hasil refleksi siklus I. Kegiatan ini meliputi : 1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran; 2) guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan soal-soal pretest; 3) guru memberi rangsangan motivasi dengan terlebih dahulu menceritakan kisah-kisah sukses seseorang; 4) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berimajinasi apa harapan setelah mempelajari materi; 5) Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok diberikan satu lembar kasus dampak zat pencemar terhadap lingkungan; 6) Dalam kelompok siswa mencermati lembar kasus dampak zat pencemar terhadap lingkungan selanjutnya mengenali fakta-fakta yang ditemui, dan memaknai fakta yang ditemukan; 7) Guru menentukan jumlah minimal fakta-fakta yang harus dikenali berdasarkan artikel yang dibaca; 8) Guru membimbing siswa untuk berdiskusi kelompok; 9) Guru membimbing siswa untuk menyimpan konsep-konsep hasil diskusi kelompok secara keseluruhan dengan strategi tertentu dan mengisi lembar kesimpulan secara bergantian; 10) Guru membimbing siswa untuk mempresentasikan hasilnya dalam diskusi kelas; 11) Guru mengatur siswa untuk melaporkan hasil belajarnya secara bergiliran dalam diskusi kelas; dan 12) Guru mengatur diskusi kelas

dalam hal giliran dalam bertanya, menjawab pertanyaan maupun berargumen dengan menunjuk moderator

Pada saat pelaksanaan kegiatan dilakukan kegiatan pengamatan (observasi). Pengamatan yang dilakukan meliputi aspek: 1) penanaman motivasi pikiran; 2) kreativitas siswa pada kegiatan mengenali dan memaknai fakta; 3) kreativitas siswa pada kegiatan diskusi kelas (memamerkan konsep); 4) kemampuan siswa dalam pemahaman konsep pengaruh zat pencemar terhadap kelestarian lingkungan. Hasil pengamatan aspek-aspek ini dapat dijelaskan sebagai berikut; 5) tanggapan siswa terhadap pembelajaran Biologi dengan menggunakan Model Mokena Si Mer Pada siklus II ini secara umum semua siswa telah melakukan pernyataan yang diharapkan pada penanaman motivasi pikiran dan dalam kategori tinggi. Berdasarkan hasil observasi pada penanaman motivasi pikiran skor tertinggi yaitu sebesar 53 pada aspek pernyataan mengandung kemauan untuk mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga pada pernyataan yang mengandung cita-cita pribadi semua siswa sudah menyatakan cita-citanya dengan skor 49.

Pada dasarnya aspek-aspek kreativitas dalam pengenalan fakta dan pemaknaan fakta di siklus II ini telah dillakukan dengan baik. Siswa yang belum mampu menemukan fakta sendiri hanya sebagian kecil saja. Aspek kreativitas lain

Heni Prilantari - “Mokena Si Mer” Solusi Meningkatkan Kreativitas

84

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

yang belum dilakukan siswa meskipun hanya kecil yaitu pada kegiatan menemukan fakta dari hasil diskusi yaitu sebesar 36. Secara keseluruhan aspek kreativitas yang diukur sudah dilakukan dengan baik oleh siswa. Keempat kreativitas yang diukur antara lain kelancaran, kelenturan, keaslian, dan keuletan pada waktu diskusi kelas yang menunjukkan hasil yang bagus dengan rata-rata tinggi. Meskipun demikian ada sebagian siswa yang menunjukkan kreativitasnya yang belum maksimal pada kemampuan memberi alternatif pemecahan masalah.

Aspek keuletan mendapatkan pencapaian skor tertinggi sebesar 51 .

Kemampuan siswa dalam pemahaman konsep pengaruh zat pencemar terhadap kelestarian lingkungan dapat dilihat dari hasil pretest dan posttest, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, terjadi peningkatan dari hasil pretest dan postest baik nilai tertinggi, terendah maupun reratanya.

Tanggapan siswa terhadap Pembelajaran Biologi dengan menggunakan

85

model Mokena Si Mer dapat dilihat pada Tabel 3.

PembahasanProses belajar-mengajar yang

menitikberatkan pada pengembangan kreativitas menjadi suatu kebutuhan. Kreativitas sering melibatkan kemampuan berpikir. Orang yang kreatif dalam berpikir mampu memandang sesuatu dari sudut pandang yang baru, dan dapat menyelesaikan masalah yang berbeda dari orang pada umumnya. Kemampuan seperti ini sangat dibutuhkan karena hidup selalu berhadapan dengan masalah. Persaingan di segala sisi juga tidak pernah berhenti sehingga harus selalu kreatif dalam menghasilkan ide-ide untuk membuat produk yang selalu unggul. Kreativitas senantiasa perlu dilatih dan ditanamkan sejak dini, salah satunya melalui proses belajar mengajar. Melalui berbagai metode dan strategi, kreativitas siswa dapat dilatih sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan. Pada penelitian ini, kreativitas siswa ditingkatkan melalui model pembelajaran Mokena Si Mer (Motivasi pikiran, Kenali fakta, Maknai fakta, Simpan dan Pamerkan).

Dilihat dari hasil observasi pada siklus I dan Siklus II, dengan aspek penilaian yang sama, terdapat peningkatan pada beberapa aspek. Hampir pada semua aspek penilaian dalam kegiatan penanaman motivasi pikiran, pengenalan fakta, pemaknaan fakta, diskusi kelas, dapat meningkatkan kreativitas siswa. Hal ini dimungkinkan tahap-tahap pembelajaran

diarahkan secara terarah dan runtut sehingga siswa benar-benar memahami konsep dan mampu mengembangkannnya. Diskusi kelas yang dilakukan tidak asal-asalan namun melalui proses yang melibatkan berbagai kompetensi. Dengan demikian diskusi menjadi lebih bermakna dan siswa memahami alur perolehan konsep sekaligus penyelesaiannya.

Untuk penanaman motivasi pikiran terdapat 3 aspek penilaian yang diteliti berdasarkan pernyataan yang ditulis siswa. Aspek penilaian yang dinilai dari pernyataan tersebut yaitu adanya imajinasi masa depan, harapan dan cita-cita pribadi, dan kemauan untuk mengaplikasikan. Untuk perbandingan kegiatan pengamatan pada siklus I dan siklus II dapat dilihat pada Gambar 2.

Dari Gambar 1 dapat dilihat adanya kenaikan yang tinggi dari ketiga aspek penilaian. Kenaikan tertinggi terdapat pada aspek pernyataan yang mengandung kemauan untuk aplikasi. Secara umum pada tahap ini di siklus I sebesar 41,52 % di siklus II menjadi 86,55 % sehingga kenaikannya sebesar 45,03 %. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah termotivasi pikirannya untuk mengaplikasikan konsep yang dipelajarinya untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi kemauan ini berarti motivasi untuk mempelajari semakin tinggi pula. Hal ini merupakan modal dasar yang kuat untuk belajar. Dari Gambar 2 dapat dilihat adanya kenaikan yang tinggi dari ketiga aspek penilaian. Kenaikan tertinggi terdapat pada aspek pernyataan yang mengandung

Heni Prilantari - “Mokena Si Mer” Solusi Meningkatkan Kreativitas

86

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

kemauan untuk aplikasi. Secara umum pada tahap ini di siklus I sebesar 41,52 % di siklus II menjadi 86,55 % sehingga kenaikannya sebesar 45,03 %. Hali ini menunjukkan bahwa siswa sudah termotivasi pikirannya untuk mengaplikasikan konsep yang dipelajari untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi kemauan, maka motivasi untuk mempelajari semakin tinggi pula. Hal ini merupakan modal dasar yang kuat untuk belajar.

Pada pengenalan dan pemaknaan fakta yang merupakan kegiatan awal dari proses pembelajaran, siswa disodori artikel berupa kasus-kasus kerusakan lingkungan dan menemukan fakta-fakta serta memaknainya. Kemampuan analisis dan kreativitas diakses pada proses ini. Perbandingan kegiatan pengamatan pada siklus I dan siklus II dapat dilihat pada Gambar 3.

Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa aspek-aspek penilaian dari sisi kreativitas semuanya mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi terdapat pada tiga aspek yaitu pengenalan fakta yang

diperoleh sesuai konsep yang dipelajari, pemaknaan fakta dimaknai sesuai dengan konsep yang dipelajari, serta pemaknaan fakta dilakukan secara diskusi. Secara rinci pada tahap pengenalan fakta di siklus I sebesar 65,35 % dan siklus II menjadi 79,39 % sehingga terjadi peningkatan sebesar 14,04 %. Pada tahap pemaknaan fakta di siklus I sebesar 67,98 % dan siklus II menjadi 84,65 % sehingga terjadi peningkatan sebesar 16,67 %. Hal ini menunjukkan siswa mulai terlatih kreativitasnya dalam memperoleh fakta dan memaknainya tanpa keluar dari konsep yang dipelajari. Siswa terarah dalam mengelola pemikirannya. Kerjasama juga sudah muncul dalam hal berdiskusi memaknai fakta. Dengan demikian tim work siswa mulai terbentuk.

Tahap berikutnya setelah siswa mampu mengenali dan memaknai fakta hasilnya dipresentasikan pada diskusi kelas. Adapun aspek-aspek kreativitas yang dinilai pada kegiatan diskusi kelas ini antara lain: kelancaran (fluency), kelenturan (fleksibility), keaslian (orisinalitas), dan keuletan. Untuk

87

Keterangan :A : Pengenalan Fakta (A.1 : membaca artikel dengan bersungguh-sungguh, A.2 : menemukan fakta sendiri, A.3 : fakta yang diperoleh sesuai konsep yang dipelajari, A4 : fakta yang diperoleh berdasarkan hasil diskusi

B : Pemaknaan Fakta (B.1 : fakta dimaknai sesuai dengan konsep yang dipelajari, B.2 : fakta yang dimaknai dengan mengaitkan kehidupan sehari-hari, B.3 : pemaknaan diikuti dengan solusi, B.4 : pemaknaan fakta dilakukan secara diskusi)

perbandingan kegiatan pengamatan pada siklus I dan siklus II dapat dilihat pada Gambar 4.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat keempat aspek kreativitas mengalami kenaikan pada siklus II. Meskipun perlu ditingkatkan kualitasnya namun siswa sudah lancar memberikan jawaban dan menyampaikan ide, memberikan alternatif pemecahan masalah, menghasilkan ide dari pemikiran sendiri dan menghargai pendapat teman. Secara rinci peningkatan kreativitas pada tahap ini adalah di siklus I sebesar 56,14 % di siklus II menjadi 84,65 %. Dengan demikian terdapat kenaikan sebesar 28,51 %. Hal ini membuktikan bahwa kreativitas siswa sudah mulai terlatih

meskipun dibeberapa hal perlu ditingkatkan kualitasnya. Kemampuan siswa dalam pemahaman konsep pada dua siklus yang dilaksanakan cenderung mengalami peningkatan. Meskipun terdapat penurunan nilai tertinggi pada pretes siklus I dan II namun pada dasarnya terdapat peningkatan dalam pemahaman konsep. Hal ini dapat dilihat dari jumlah rerata postest pada siklus I sebesar 81 meningkat menjadi sebesar 83 pada siklus II. Jumlah siswa yang tuntas meskipun pada siklus II mengalami penurunan namun jika dibandingkan dengan nilai pretest pada masing-masing siklus mengalami kenaikan dari siklus I yang tuntas

Heni Prilantari - “Mokena Si Mer” Solusi Meningkatkan Kreativitas

88

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

postes sejumlah 17 pada siklus II yang tuntas 15.

Hal ini dimungkinkan siswa hanya terfokus analisis pada kasus kerusakan lingkungan dalam artikel dan belum ada pengembangan konsep. Kegiatan pemaknaan fakta mungkin juga belum menggunakan sumber referensi secara lengkap.

Simpulan

Model Pembelajaran Mokena Si Mer dikemas dengan tahap-tahap motivasi pikiran, kenali fakta, memaknai fakta, simpan dan pamerkan. Motivasi pikiran dilakukan diawal pembelajaran dengan membuat diskripsi dalam hal imajinasi masa depan, harapan untuk kebaikan

lingkungan, dan kemauan untuk aplikasi materi pada kehidupan sehari-hari. Pengenalan dan pemaknaan fakta dilakukan dengan menggunakan artikel tentang kasus kerusakan lingkungan. Hasilnya disimpan dengan menggunakan strategi mengingat. Pamerkan berupa presentasi pada diskusi kelas. Dari tahap-tahap tersebut diukur kreativitasnya.

Model Pembelajaran Mokena Si Mer memiliki kecenderungan meningkatkan kreativitas siswa pada materi pokok dampak aktifitas manusia terhadap kelestarian lingkungan dan pengaruh zat pencemar terhadap kelestarian lingkungan. Adapun indikatornya yaitu terdapat peningkatan kreativitas antara lain pada tahap motivasi pikiran meningkat 45,03 %, pengenalan

89

fakta 14,04 %, pemaknaan fakta 16,67 %, presentasi pada diskusi kelas 28,51 %.. Penguasaan konsep pada materi pokok dampak aktifitas manusia terhadap kelestarian lingkungan dan pengaruh zat pencemar terhadap kelestarian lingkungan mengalami peningkatan dari siklus I nilai rerata postest sebesar 81 pada siklus II meningkat menjadi 83.. Siswa memberikan tanggapan yang positif terhadap penggunaan model pembelajaran Mokena Si Mer. Hal ini dibuktikan dengan indikator persentase perolehan skor pada pernyataan 47,37 % menarik, 42,11% mudah, 52,63 % menguntungkan, 47,37 % bermanfaat, 42,11 % menantang, 42,11 % melatih kreativitas, dan 15,79 % mengesankan.

Daftar Rujukan

Syamsuri Istamar, dkk. 2004. Sains Biologi Jilid I untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga.

Kemmis and McTaggart. 1994. The Action Research Planner. Dekain University

Munandar, 2012. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rieneka Cipta.

Nurhasan. 2000. “Peningkatan Keterampilan Proses Melalui Pembelajaran Kooperatif Dengan

Metode Penugasan, Kelompok, Presentasi Dan Pameran”. Makalah Simposium Guru

Nasional. Depdiknas, Jakarta.

Sujiono, 2010. Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak. Indeks cetakan pertama 2010, Jakarta

Torrance, E.P. 1963. Educational And The Creative Potential. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Heni Prilantari - “Mokena Si Mer” Solusi Meningkatkan Kreativitas

90

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STAD UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

MATERI MENGUMPULKAN DAN MENGOLAH DATA

SuyatmiyatunSD Negeri Karanganyar Ngemplak, Sleman

E-mail: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika pada materi mengumpulkan dan mengolah data dengan menerapkan model pembelajaran STAD siswa kelas VI SD Negeri Karanganyar Ngemplak. Penelitian dilakukan pada bulan September s.d. Oktober 2015 dengan subjek penelitian siswa kelas VI SD Negeri Karanganyar tahun pelajaran 2015/2016. Siswa berjumlah 34 terdiri 16 siswa laki-laki dan 18 siswa perempuan. Pelaksanaan penelitian dalam 2 siklus dan setiapsiklus meliputi 4 tahap, yaitu : 1) perencanaan; 2) tindakan; 3) observasi; dan 4) refleksi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan, tes, dan analisis dokumen. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran STAD dapat meningkatkanhasil belajar matematika materi mengumpulkan dan mengolah data. Peningkatan hasil belajar dapat dilihat dari kenaikan rata-rata nilai ulangan dan kenaikan jumlah siswa yang mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telahditentukan.

Kata kunci : model pembelajaran STAD, hasil belajar, mengolah data

Abstract: This classroom action research aims to improve learning outcomes in mathematics on collecting and processing data material using STAD learning model. The study was conducted in September to October 2015 with research subjects six graders SD Negeri Karanganyar 2015/2016 school year. There were 34 students, consist of 16 male and 18 female students. This research implemented two cycles and each cycle include four stages, namely: 1) plan; 2) action; 3) observation; and 4) reflection. Observation, test, and document analysis used to collect data. Data were analyzed descriptive quantitatively. The results showed that application of STAD learning model improved mathematic learning result in material of collecting and processing data. Increasing learning result outcome can be seen from the increasing average test scores and increasing the number of students who achieve minimum completeness criteria (KKM) had been determined.

Keywords: STAD learning model, learning outcomes, process data

Pendahuluan

Matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit bagi sebagian besar siswa. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya hasil belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika khususnya di kelas VI SD Negeri Karanganyar Ngemplak. Sebagian besar siswa merasa ketakutan atau

enggan dalam belajar matematika. Minat belajar mereka kecil sekali terhadap mata pelajaran matematika. Dengan kondisi yang demikian, sekolah atau guru tidak berani menentukan nilai tinggi dalam membuat kriteria ketuntasan minimal (KKM) pada setiap semester maupun standar kelulusan pada saat ujian sekolah.

91

Permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak siswa yang besikap pasif dan hanya menerima apa yang disampaikan guru. Siswa kurang aktif dan kurang antusias dalam mengikuti pelajaran. Hal ini berakibat kurangnya keterampilan siswa dalam menghadapi atau menyelesaikan persoalan matematika, sehingga siswa sangat lamban dalam menyelesaikan soal serta tidak mencapai hasil maksimal. Kenyataan ini terlihat pada hasil yang diperoleh pada setiap ulangan harian. Siswa yang mencapai KKM masih sangat rendah. KKM Matematika yang ditetapkan yakni 68 (enam puluh delapan)

Berdasarkan nilai hasil ulangan harian materi sebelumnya diperoleh data, dari 34 siswa di kelas VI hanya 24 % yang tuntas pada ulangan materi yang pertama. Sedangkan pada ulangan harian materi kedua siswa yang tuntas sebanyak 41%. Hal tersebut memberi gambaran bahwa proses pembelajaran belum berjalan dengan optimal sehingga masih banyak siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditentukan.

Untuk mengatasi permasalahan yang ada di kelas VI SD Karanganyar diperlukan sebuah model pembelajaran yang mengaktifkan kegiatan siswa agar siswa termotivasi mengikuti pelajaran. Guru menerapakan model pembelajaran STAD (Student Teams Achievement Divisiaon). Model pembelajaran STAD merupakan pendekatan cooperative learning yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan

saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu 1) Apakah penerapan model pembelajaran STAD dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi mengupulkan dan mengolah data; 2) Bagaimana penerapan model pembelajaran STAD dilaksanakan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi mengumpulkan dan mengolah data.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui apakah model pembelajaran STAD dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VI materi mengumpulkan dan mengolah data; 2) mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran STAD dilaksanakan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi mengumpulkan dan mengolah data.

Erfachianda (2012) mengatakan bahwa model pembelajaran STAD termasuk model pembelajaran kooperatif. Semua model pembelajaran kooperatif ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan. Dalam proses pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Tujuan model pembelajaran kooperatif yaitu prestasi belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial.

Suyatmiyatun - Penerapan Model Pembelajaran STAD

92

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

Menurut Slavin ( 1995: 34) Model Pembelajaran STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan salah satu bentuk pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa saling membantu, memotivasi, serta menguasai keterampilan yang diberikan oleh guru. Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri dari siklus kegiatan pengajaran biasa yaitu 1) presentasi kelas; 2) kegiatan kelompok; 3) tes; 4) perhitungan nilai perkembangan individu; dan 5) pemberian penghargaan kelompok.

STAD merupakan metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Menurut Nurhadi (dalam Kurniawan 2012: 15), model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa di dalam kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok atau tim yang masing-masing terdiri atas 4 sampai 5 orang anggota kelompok yang memiliki latar belakang yang heterogen, baik jenis kelamin, ras etnik, maupun kemampuan intelektual (tinggi, rendah, dan sedang). Tiap anggota tim menggunakan lembar kerja akademik dan kemudian saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota tim.

Model pembelajaran STAD diterapkan agar pembelajaran menjadi lebih aktif, kreatif, dan menyenangkan. Penerapan model pembelajaran ini memotivasi anak untuk bekerja sama dengan kelompoknya dengan cara saling

membantu memahamkan materi yang dipelajari tanpa ada rasa tertekan. Hal ini dilakukan demi meraih prestasi pada kelompoknya masing-masing. Dengan demikian, siswa akan dapat memperoleh pemahaman yang optimal sehingga hasil belajarnya juga meningkat.

Menurut Sudjana (2008: 22) “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Hasil belajar dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu 1) keterampilan dan kebiasaan; 2) pengetahuan dan pengertian; serta 3) sikap dan cita-cita. Hasil belajar dapat diketahui setelah melalui proses pembelajaran. Hasil belajar dapat dilihat dari perubahan sikap, keterampilan, ataupun dari hasil tes.

Menurut Sardiman (2007: 51), “hasil belajar adalah hasil langsung berupa tingkah laku siswa setelah melalui proses belajar-mengajar yang sesuai dengan materi yang dipelajarinya”. Sebelum melihat hasil belajar, siswa harus mengikuti proses belajar-mengajar terlebih dahulu. Setelah proses belajar-mengajar selesai, dapat dilihat apakah ada perubahan tingkah laku siswa sesuai meteri yang dipelajarinya, sehingga hasil belajar dapat ditafsirkan sebagai output dari proses belajar-mengajar.

Hipotesis penelitian tindakan kelas ini yaitu penerapan model pembelajaran STAD dalam pembelajaran matematika dengan langkah-langkah yang tepat dan benar dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada Standar Kompetensi Mengumpulkan dan Mengolah Data siswa

93

kelas VI SD Negeri Karanganyar Ngemplak tahun pelajaran 2015/2016.

Metode Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SD Negeri Karanganyar, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Subjek penelitian yaitu siswa kelas VI tahun pelajaran 2015/2016. Jumlah siswa kelas tersebut ada 34 siswa yang terdiri dari 16 siswa laki-laki dan 18 siswa perempuan. Pelaksanaan penelitian pada semester gasal yaitu bulan September sampai dengan Oktober 2015.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas terhadap materi mengumpulkan dan mengolah data dengan menerapkan model pembelajaran STAD. Desain penelitian ini terdiri dua siklus. Setiap siklus terdiri tiga kali pertemuan yang terdiri dari empat tahapan yaitu 1) perencanaan; 2) pelaksanaan; 3) pengamatan; dan 4) refleksi.

Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu metode pengamatan dan tes. Pengamatan dilakukan di dalam kelas saat pelajaran matematika menggunakan model pembelajaran STAD pada siklus I dan II. Pengamatan dilakukan terhadap siswa maupun guru. Metode tes dilakukan setelah proses pembelajaran selesai. Data yang telah diperoleh melalui pengamatan dan tes dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan angka-angka yang diperoleh dan menghubungkan satu dengan yang lain.

Penelitian dinyatakan berhasil apabila 80% siswa dapat mencapai KKM yang ditentukan yaitu sebesar 68 (enam puluh delapan). Keberhasilan ini ditandai dengan: 1) siswa mampu mengumpulkan data; 2) siswa mampu membaca data; 3) siswa mampu mengolah data; 4) siswa mampu menyajikan data dalam bentuk table; dan 5) siswa mampu membaca diagram.

Hasil Penelitian dan PembahasanPenelitian dilaksanakan dalam dua

siklus dengan masing-masing siklus meliputi empat tahapan yang terdiri perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Perencanaan dilaksanakan sebelum tindakan dilakukan, setelah itu dilakukanlah tindakan sesuai rencana diikuti dengan pengamatan, dan refleksi.

Siklus I Tahapan paling awal siklus 1 yaitu perencanaan. Tahap perencanaan merupakan persiapan untuk melakukan tindakan yang meliputi kegiatan: 1) mengidentifikasi masalah yang akan diperbaiki melalui tindakan yaitu hasil belajar matematika; 2) menentukan alternatif tindakan yang digunakan untuk memperbaiki hasil belajar matematika yaitu dengan model pembelajaran STAD; 3) menentukan materi yaitu mengumpulkan dan mengolah data; 4) menentukan instrumen penelitian berupa lembar observasi siswa, lembar observasi guru, lembar kerja siswa, dan lembar soal untuk melihat perubahan hasil belajar siswa; 5) menentukan waktu penelitian yaitu bulan September sampai dengan Oktober

Suyatmiyatun - Penerapan Model Pembelajaran STAD

94

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

2015; 6) membagi siwa dalam kelompok; 7) menyusun RPP; dan 8) menentukan nilai awal berupa nilai ulangan terakhir. Dalam perencanaan ini guru bekerja sama dengan kolaborator dengan cara berdiskusi. Tahapan kedua yaitu pelaksanaan dengan menerapkan model pembelajaran STAD yang meliputi tahapan: 1) presentasi kelas; 2) kegiatan kelompok; 3) hasil tes belajar; 4) perhitungan nilai perkembangan individu; dan 5) penghargaan kelompok. Pelaksanaan juga mengacu pada RPP yang telah disusun. Siklus I dilaksanakan tanggal 20, 22, 23 Oktober 2015. Kegiatan pembelajaran diawali dengan doa, apersepsi, motivasi, menyampaikan tujuan pembelajaran, serta memberikan petunjuk kerja sebelum menerapan model pembelajaran STAD.

Langkah selanjutnya yaitu presentasi kelas dengan cara guru menjelaskan materi mengumpulkan dan membaca data. Selesai presentasi kelas siswa melakukan diskusi kelompok dengan berpedoman LKS yang sudah disiapkan. Dalam berdiskusi siswa bekerja sama dalam kelompoknya saling membantu dan memahamkan anggota kelompoknya. Setiap anggota kelompok

memiliki tanggung jawab yang sama untuk memperoleh nilai yang bagus sehingga kelompoknya menjadi kelompok yang berprestasi.

Setelah berdiskusi, tahapan selanjutnya yaitu tes hasil belajar yang digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman dan kemajuan belajar individu. Dalam pengerjaan soal tes siswa mengerjakan secara mandiri, tidak diperbolehkan untuk saling membantu satu sama lain. Setiap siswa bertanggung jawab secara individual.

Penghitungan nilai diawali dengan membahas dan mencocokkan hasil pekerjaan siswa dilanjutkan pemberian nilai. Nilai masing-masing siswa menjadi dasar penghitungan nilai perkembangan individu. Nilai perkembangan individu bertujuan untuk memberi gambaran kepada guru apakah ada peningkatan hasil setelah dilakukan tindakan. Untuk mengetahui hal tersebut dengan cara perbandingan skor nilai awal (yang diperoleh dari nilai ulangan sebelumnya) dengan nilai yang diperoleh setelah tindakan dilakukan. Hasil penghitungan nilai hasil belajar dituangkan ke Tabel 1, sedangkan rekap persentase

95

ketuntasan belajar dituangkan dalam Tabel 2.

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa siklus I mencapai 85,58. Rata-rata tersebut mengalami kenaikan dibanding dengan rata-rata ulangan sebelumnya yaitu 58,8. Rata-rata hasil belajar siklus I telah mencapai KKM yang ditetapkan yaitu 68 (enam puluh delapan)

Pada Tabel 2 terlihat bahwa hasil belajar dari 34 siswa kelas VI SD Karanganyar pada materi mengumpulkan dan mengolah data, siswa yang telah mencapai KKM sebanyak 30, sedangkan yang belum dapat mencapai KKM sebanyak 4 siswa. Persentase siswa yang tuntas sebanyak 88,2%, sedangkan siswa yang belum tuntas sebanyak 11,8%. Hasil belajar siklus I ini sudah mencapai indikator keberhasilan penelitian yaitu sebanyak 80% siswa mencapai KKM.

Setelah perhitungan nilai perkembangan individu selesai dilanjutkan dengan penghargaan kelompok. Tahap ini dilakukan dengan cara guru dan siswa bersama-sama menjumlahkan nilai individu setiap anggota kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompoknya. Kelompok

yang memperoleh nilai rata-rata tertinggi menjadi kelompok yang berprestasi. Hasil penghitungan langsung diketahui oleh semua siswa. Kelompok yang berprestasi mendapat penghargaan dari guru. Pelaksanaan siklus I diakhiri dengan kegiatan refleksi bersama. Refleksi dilakukan dengan cara: 1) menyimpulkan materi yang telah dipelajari; 2) memberi nasihat agar memperdalam kembali materi yang telah dipelajari; dan 3) memberi motivasi untuk pembelajaran berikutnya. Kegiatan ditutup dengan doa.

Tahap ketiga dari siklus I yaitu pengamatan. Pengamatan dilakukan sejak awal penerapan model pembelajaran STAD terhadap siswa selama pelaksanaan pembelajaran dan terhadap hasil belajar yang diperoleh dari nilai tes hasil belajar. Hasil pengamaan terhadap siswa menunjukkan bahwa sebagian besar siswa antusias terhadap pelajaran, aktif bekerjasama, merasa senang, dan berusaha sungguh-sungguh. Pengamatan terhadap hasil belajar menunjukkan adanya peningkatan persentase siswa yang mencapai KKM dibandingkan dengan nilai awal (sebelum diadakan tindakan).

Tahap keempat yaitu refleksi. Refleksi pada siklus I bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan jenis hambatan dari

Suyatmiyatun - Penerapan Model Pembelajaran STAD

96

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

penerapan model pembelajaran STAD yang telah dilakukan. Refleksi dilakukan guru bersama siswa pada akhir pembelajaran. Refleksi ini dijadikan dasar untuk perencanaan pelaksanaan pembelajaran berikutnya. Refleksi terhadap proses pembelajaran pada umumnya sudah berjalan dengan lancar, siswa lebih aktif, merasa senang, dan antusias. Namun begitu, ada beberapa masalah kecil yang timbul diantaranya: ada siswa yang kurang serius, ada siswa yang merasa tidak cocok dengan kelompoknya, dan ada siswa yang masih kurang faham dengan materi. Refleksi terhadap hasil belajar pada tes siklus I diperoleh hasil: dari 34 siswa 88,2 % telah tuntas dan 11,8% belum tuntas. Nilai rata-rata tes hasil belajar yaitu 85,58. Dengan demikian rerata kelas ini telah melampui KKM yang telah ditetapkan sekolah yaitu 68. Walaupun indikator penelitian telah terpenuhi yaitu 80% siswa mencapai KKM, tetapi penelitian masih dilanjutkan pada

siklus II untuk memastikan keberhasilan penelitian ini.

Siklus II Siklus II diawali dengan perencanaan dengan memperhatikan hasil refleksi siklus I. Masalah yang ada di siklus I diperbaiki dengan memberikan motivasi pada siswa agar lebih serius dalam pembelajaran, mengubah susunan anggota kelompok, dan menjelaskan kembali materi yang kurang dipahami siswa.

Pelaksanaan siklus II pada tanggal 26, 27, dan 29 Oktober 2015 dengan tahapan 1) presentasi kelas; 2) kegiatan kelompok; 3) hasil tes belajar; 4) perhitungan nilai perkembangan individu; dan 5) penghargaan kelompok. Pelaksanaan siklus II hampir sama dengan siklus I, hanya ada sedikit perbedaan pada materi dan susunan anggota. Materi pada siklus II yaitu mengolah data dan menyajikan dalam bentuk tabel, sedangkan

97

susunan anggota kelompok diubah dengan cara pengundian.

Pengamatan terhadap proses pembelajaran sudah mengalami perubahan. Siswa yang kurang serius menjadi lebih serius, sebagian besar siswa terlihat aktif, dan merasa senang. Hasil belajar juga mengalami peningkatan dibanding siklus I, Peningkatan hasil belajar dapat dilihat dari pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatan rata-rata dibanding siklus I. Pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh sebesar 85,58 (delapan puluh lima koma lima delapan). Pada siklus II, nilai rata-rata mencapai 91,18 (sembilan puluh satu koma delapan belas).

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa hasil belajar siswa kelas VI SD Negeri Karanganyar pada materi mengumpulkan data mengolah data pada siklus II diperoleh hasil: siswa yang tuntas sebanyak 33 siswa, sedangkan siswa yang belum tuntas sebanyak 1 siswa. Persentase siswa yang tuntas sebanyak 97 % . Sebanyak 3 % siswa belum tuntas.

Hasil refleksi siklus II yaitu 1) Siswa sangat antusias dengan metode pembelajaran STAD; 2) Siswa merasa senang dan

meminta metode ini diterapkan lagi pada pembelajaran berikutnya; 3)Tes hasil belajar siklus II mengalami peningkatan dibanding siklus I yaitu dari rata-rata 85,58 menjadi 91,2 persentase ketuntasan siklus I 88,2 % menjadi 91,7 % pada siklus II .

Berdasar analisis peneliti bersama kolaborator hasil belajar siswa telah mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan yaitu 80% siswa mencapai KKM. Pencapaian KKM terjadi padi siklus I dan II. Dengan demikian penelitian tindakan kelas ini dapat diakhiri pada siklus II.

Pembahasan

Hasil pelaksanaan tindakan dari siklus I sampai siklus II menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar matematika materi mengumpulkan dan mengolah data. Penerapan metode STAD dalam proses pembelajaran matematika memiliki dampak positif bagi siswa yaitu siswa merasa lebih senang dalam belajar sehingga memperoleh pemahaman yang optimal. Kondisi ini berakibat meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika terutama materi mengumpulkan dan mengolah data. Peningkatan hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Suyatmiyatun - Penerapan Model Pembelajaran STAD

98

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016

penelitian ini yaitu siswa memperoleh hasil belajar mencapai kriteteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan sebanyak 80% dengan ditandai siswa mampu: mengumpulkan data, mambaca data, mengolah data, menyajikan data dalam bentuk tabel dan membuat diagram

Keberhasilan metode STAD ini didukung adanya kerjasama tim yang kuat dalam memperoleh hasil belajar yang maksimal. Hal ini terlihat dari aktivitas yang terjadi pada tahap tindakan. Setiap tim harus menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kelompoknya. Ketika ada anggota yang belum jelas dalam menyelesaikan lembar kerja siswa (LKS) maka anggota yang lain bertanggung jawab membantunya.

Gambar 1. Persentase Ketuntasan Belajar Gambar 2. Rata-rata Hasil Belajar

Berdasarkan tes hasil belajar siklus I dan II, persentase ketuntasan siswa mengalani kenaikan. Pada siklus I siswa yang tuntas sebanyak 88,2% dan pada siklus II meningkat menjadi 91,7 %. Nilai rata-rata yang diperoleh pada siklus I 85,58 dan pada siklus II meningkat menjadi 91,18. Kenaikan hasil belajar dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1 menunjukkan adanya peningkatan persentase siswa yang tuntas dari pratindakan, siklus I, dan siklus II. Gambar 2 menunjukkan peningkatan rata-rata hasil belajar siswa dari pratindakan, siklus I, dan siklus II. Dengan demikian penelitian ini telah berhasil dilihat dari indikator yang telah ditetapkan. Indikator keberhasilan

99

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan metode STAD dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi mengumpulkan dan mengolah data siswa kelas VI SD Negeri Karanganyar. Hal ini dapat dapat dibuktikan dengan meningkatnya ketuntasan hasil belajar siswa. Dari 34 siswa, yang mencapai tuntas dengan KKM 68 sebelum tindakan sebanyak 14 siswa (41,2 %), pada siklus I meningkat menjadi sebanyak 30 siswa (88,2%). Setelah dilakukan tindakan siklus II siswa yang mencapai KKM meningkat lagi menjadi sebanyak 33 siswa (97 %). Perolehan rata-rata kelas juga mengalami peningkatan. Sebelum tindakan rata-rata nilai hasil belajar siswa sebesar 58,8; setelah tindakan pada siklus I menjadi sebesar 85,58; dan setelah tindakan siklus II rata-rata meningkat lagi menjadi sebesar 91,18.

Penerapan model pembelajaran STAD dengan tahapan presentasi kelas, kegiatan kelompok, tes hasil belajar, penghitungan perkembangan individu, dan penghargaan kelompok menjadikan proses belajar mengajar lebih aktif dan menyenenangkan. Siswa menjadi aktif dan berinteraksi antar anggota kelompok untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.

Daftar Rujukan

Sudjana, Nana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kurniawan, Ahmad. 2010. Penerapan Metode STAD sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Pokok Bahasan Organ Tubuh Manusia dan Fungsinya Siswa Kelas IV SD Muhammadiyah Macanan. Skripsi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Yogyakarta. Tidak diterbitkan

Sardiman, A.M. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Slavin E, Robert. 2008. Coperative Learning Teori Riset dan Praktik. Bandung : Nusa Media.

Erfachianda. 2013. Model Pembelajaran STAD. https://coretanpenacianda.wordpress.com/2013/02/10/model-pembelajaran-tipe-stad/, diakses tanggal 20 September 2015.

Suyatmiyatun - Penerapan Model Pembelajaran STAD

100

Jurnal Pendidikan, Volume VII No: 01, April 2016