mkti

13
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM PERSPEKTIF TRANSFORMASI EKONOMI NASIONAL 1 Iwan Nugroho 2 RINGKASAN Kemajuan pembangunan yang dicapai bangsa Indonesia sangat mengesankan. Peranan sektor industri nampaknya makin penting meninggalkan sektor pertanian. Pada tahun 1995 (BPS, 1996), pangsa relatif masing-masing sektor tersebut adalah 24 dan 16 persen. Transformasi ini masih akan berlangsung terus menuju tingkat yang lebih efisien dalam alokasi sumber-sumberdaya pembangunan. Hal ini juga membawa konsekwensi, yaitu meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan yang mengandalkan sektor industri dan jasa yang produktifitasnya tinggi. Jumlah penduduk kota saat ini mencapai 67.8 juta jiwa atau 35.2 persen dari total nasional. Kondisi di atas menuntut penyediakan infrastruktur yang memadai, khususnya air bersih, baik untuk penduduk kota maupun desa. Ini merupakan tantangan berat bagi pemerintah karena terkait dengan kebijaksanaan pengentasan kemiskinan dimana salah satu indikatornya adalah penyediaan air bersih (clean water). Disinilah betapa pentingnya strategi dan kebijaksanaan dalam pengelolaan sumberdaya air. Tidak bisa tidak, kebijaksanaan sehubungan sumberdaya air ini harus menyatu dengan sasaran-sasaran pembangunan nasional. Karena itu konsepsi tentang pengelolaan sumberdaya air mulai dari alokasi, ekonomi dan tarif air, dan kelembagaan pendukungnya menarik untuk dikaji. Karena air bersifat public good tercermin pula kelemahan dalam pengelolaannya. Hampir selalu ditemukan adanya kebocoran beaya (negative externality) yang sering diterima oleh masyarakat tingkat bawah. Oleh karena itu peran pemerintah masih dan tetap akan dibutuhkan agar pemanfaatannya maksimal bagi masyarakat keseluruhan, untuk kepentingan konsumsi atau non konsumsi, dan untuk pertanian dan non pertanian. 1 Disajikan dalam Konggres Nasional MKTI III di Universitas Brawijaya Malang, 4-6 Desember 1996 2 Staf Faperta Universitas Widya Gama Malang, Jl. Borobudur 12 Malang 65128 telp. 492282-496919. Saai ini sedang menempuh Program Doktor Perencanaan Pembangunan di IPB Bogor

Upload: iwan-nugroho

Post on 12-Jun-2015

298 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Iwan Nugroho. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Perspektif Transformasi Perekonomian Nasional. Prosiding Konggres III dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) di Universitas Brawijaya 4 – 6 Desember 1996

TRANSCRIPT

Page 1: MKTI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM PERSPEKTIF TRANSFORMASI EKONOMI NASIONAL1

Iwan Nugroho2

RINGKASAN Kemajuan pembangunan yang dicapai bangsa Indonesia sangat mengesankan.

Peranan sektor industri nampaknya makin penting meninggalkan sektor pertanian. Pada tahun 1995 (BPS, 1996), pangsa relatif masing-masing sektor tersebut adalah 24 dan 16 persen. Transformasi ini masih akan berlangsung terus menuju tingkat yang lebih efisien dalam alokasi sumber-sumberdaya pembangunan. Hal ini juga membawa konsekwensi, yaitu meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan yang mengandalkan sektor industri dan jasa yang produktifitasnya tinggi. Jumlah penduduk kota saat ini mencapai 67.8 juta jiwa atau 35.2 persen dari total nasional.

Kondisi di atas menuntut penyediakan infrastruktur yang memadai, khususnya air bersih, baik untuk penduduk kota maupun desa. Ini merupakan tantangan berat bagi pemerintah karena terkait dengan kebijaksanaan pengentasan kemiskinan dimana salah satu indikatornya adalah penyediaan air bersih (clean water). Disinilah betapa pentingnya strategi dan kebijaksanaan dalam pengelolaan sumberdaya air. Tidak bisa tidak, kebijaksanaan sehubungan sumberdaya air ini harus menyatu dengan sasaran-sasaran pembangunan nasional. Karena itu konsepsi tentang pengelolaan sumberdaya air mulai dari alokasi, ekonomi dan tarif air, dan kelembagaan pendukungnya menarik untuk dikaji.

Karena air bersifat public good tercermin pula kelemahan dalam pengelolaannya. Hampir selalu ditemukan adanya kebocoran beaya (negative externality) yang sering diterima oleh masyarakat tingkat bawah. Oleh karena itu peran pemerintah masih dan tetap akan dibutuhkan agar pemanfaatannya maksimal bagi masyarakat keseluruhan, untuk kepentingan konsumsi atau non konsumsi, dan untuk pertanian dan non pertanian.

1 Disajikan dalam Konggres Nasional MKTI III di Universitas Brawijaya Malang, 4-6 Desember 1996 2 Staf Faperta Universitas Widya Gama Malang, Jl. Borobudur 12 Malang 65128 telp. 492282-496919. Saai ini sedang menempuh Program Doktor Perencanaan Pembangunan di IPB Bogor

Page 2: MKTI

2

PENDAHULUAN Secara umum diperoleh gambaran bahwa kemajuan yang dicapai bangsa Indonesia

dalam pembangunannya tergolong mengesankan. Pada tahun 1995 kemarin, pendapatan nasional per kapita telah mencapai 978 dolar pada tingkat pertumbuhan ekonomi 8.07 persen. Prestasi ini, di dalamnya digerakkan oleh transformasi struktur ekonomi yang ditandai meningkatnya peran sektor industri dan di sisi lain peran sektor pertanian menjadi turun. Terakhir pangsa masing-masing sektor tersebut 24 dan 16 persen (BPS, 1996). Transformasi ini masih akan berlangsung terus menuju tingkat yang lebih efisien dalam alokasi sumber-sumberdaya pembangunan.

Namun demikian, kenyataan transformasi yang dialami bangsa Indonesia tidaklah mulus. Sekalipun peran sektor industri naik, namun ia belum mampu menarik kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian. Sektor industri hanya mampu menampung 13 persen saja, sementara di sektor pertanian masih menanggung 46 persen angkatan kerja. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan; (1) sektor pertanian menanggung beban sangat berat untuk meningkatkan produktifitasnya, (2) sektor industri cenderung padat modal dan kurang memanfaatkan potensi wilayah (resource base) sehingga memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap aktifitas perekonomian sekelilingnya, dan (3) tanggung jawab pemerintah makin berat untuk menyediakan infrastruktur baik di lingkungan industri maupun pertanian. Kondisi ketiga berkaitan dengan urbanisasi yang mengakibatkan pertumbuhan penduduk kota meningkat drastis dan menuntut aspek penawaran dan permintaan dari warganya. Masalahnya makin pelik karena transformasi ini secara keseluruhan mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan di desa maupun kota, serta masih banyak penduduk tidak mampu menikmati pelayanan kesehatan, listrik, air bersih dan sarana infrastruktur mendasar lainnya. Jumlah penduduk kota saat ini mencapai 67.8 juta jiwa atau 35.2 persen dari total 192.7 juta jiwa (BPS, 1996)

Atas dasar itu, penting kiranya pembangunan dan pertumbuhan infrastruktur dipertahankan terus agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Di negara sedang berkembang (NSB), sekali ia menurun maka derap pembangunan akan jenuh (levelling-off) dan berikutnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur hampir merupakan aspirasi sebagian masyarakat dan sangat efektif dalam memecahkan masalah kemiskinan. Menurut World Bank (1993), akses terhadap air bersih telah mengisi profil kemiskinan dan dianggap indikator penting selain pendekatan pendapatan dalam rangka merumuskan kebijaksanaan pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menelaah pengelolaan sumberdaya air, strategi, serta konsepsi dan penerapannya melalui pendekatan ekonomi sumberdaya air.

Page 3: MKTI

3

PENDEKATAN Perhatian terhadap sumberdaya air akan semakin meningkat. Air yang memenuhi

persyaratan bagi kebutuhan pertanian, pemukiman maupun industri, dirasakan semakin langka. Keadaan musim seringkali menghadapkan pada ketidak-imbangan antara permintaan dan penawaran yang tersedia. Beberapa negara di Afrika dan Asia Tengah, kekeringan merupakan hal biasa. Sebaliknya di Asia Selatan dan Tenggara sering mengalami musibah banjir. Di negara-negara maju, perhatian kepada air difokuskan pada efisiensi alokasi agar supaya pemanfaatannya bersifat lestari dan berlanjut (sustainable). Tabel 1. Konsumsi Air dan Indikator Sosial dan Ekonomi di Beberapa Negara Asia (Social Indicators of Development, 1995) Share Konsumsi Air2) Populasi Pertumbuhan Penduduk Yg GNP1) Share Pendu- Populasi Menikmati Negara per Pertani- Perta- Indus- Domes- duk Kota Air bersih kapita an/GDP nian tri tik Kota Total Kota Desa $US ----------------------------------------- % -------------------------------------------- Vietnam 170 29,3 78 9 13 20,4 3,2 2,3 70,0 33,0 Bangladesh 220 30,5 96 1 3 17,3 5,1 2,0 38,5 89,5 Pakistan 430 22,2 98 1 1 33,6 4,4 2,8 84,0 35,0 China 490 19,5 87 7 6 28,7 4,1 1,2 83,5 61,3 Srilanka 600 22,1 96 2 2 22,0 2,2 1,3 79,8 54,8 Mesir 660 16,3 88 5 7 44,4 2,4 2,0 98,7 69,0 Indonesia 740 19,0 76 11 13 33,5 4,6 1,7 65,0 31,7 Filipina 850 22,0 61 21 18 52,0 4,3 2,2 92,8 72,2 P N G 1130 26,0 49 22 29 15,6 3,6 2,3 93,8 20,0 Thailand 2110 10,0 90 6 4 19,5 3,0 1,7 57,0 85,3 Iran 2120 20,7 87 9 4 57,9 4,1 3,2 98,7 69,0 Turki 2970 13,6 57 19 24 65,6 4,5 2,1 97,8 84,0 Malaysia 3140 47 30 23 52,1 4,0 2,5 96,0 66,3 Korsel 7660 7,1 75 14 11 78,3 2,9 1,0 91,0 49,0 Israel 13920 2,3 79 5 16 90,5 3,8 3,8 100,0 100,0 Singapura 19850 0,2 4 51 45 100,0 1,0 1,0 100,0 1)low income (kurang atau sama 695 dolar), lower middle income (695-2785 dolar), upper middle income (2786-8625 dolar), high income (8626 dolar atau lebih) 2)Xie, M., U. Kuffner, U. and G. Le Moigne (1993)

Menurut pengamatan World Bank (Le Moigne, Subramanian, Xie, and Giltner., 1994), di NSB masih ditemukan lebih dari satu milyar orang berada dalam kondisi miskin dan tidak punya akses terhadap air bersih, atau 1.7 milyar hidup dalam lingkungan sanitasi yang buruk. Kriteria baku akses terhadap air bersih bagi negara yang berpenghasilan menengah (upper middle income) adalah 94 dan 67 persen masing-masing untuk populasi kota dan desa. Sementara Indonesia baru mencapai 65 dan 32 persen (lihat Tabel 1).

Page 4: MKTI

4

Diperkirakan masih 57 persen atau setara 107 juta penduduk Indonesia yang tidak mampu menikmati air bersih. Angka itu menyebar di pedesaan sejumlah 85 juta (69 persen populasi) dan di kota 22 juta orang (35 persen populasi). Data ini memperlihatkan betapa besar tantangan pembangunan infrastruktur dalam penyediaan air bersih, belum lagi tiap tahunnya akan ada pertumbuhan masing-masing sebesar satu juta orang desa dan kota3. Hanya dengan kesungguhan, yang disertai perencanaan terintegrasi, upaya memenuhi aspirasi sebagian besar masyarakat itu tercapai.

Perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya air sebenarnya sudah banyak. Peraturan perundangan, sekalipun belum memenuhi aspirasi berbagai lapisan, secara konseptual lumayan baik untuk diterapkan. Juga sering ada momentum tertentu, dimana kepala negara menekankan pentingnya air ini. Tercatat dua kali dalam kurang 40 hari, yaitu ketika mencanangkan gerakan hemat air dalam peringatan Hari Pangan Sedunia yang dipusatkan di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat tanggal 16 Oktober 1994, dan kedua membuka Rapat Koordinasi Pembangunan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan di Jakarta tanggal 22 Nopember 1994.

Peran serta masyarakat sebagai perorangan, organisasi kemasyarakatan atau profesi harus diberdayakan di dalam mekanisme kelembagaan yang ada. MKTI dapat berperan disini untuk menyumbangkan pemikiran dan konsepsinya yang bersifat strategis maupun menangani isyu-isyu aktual yang akhir-akhir ini sering muncul sebagai dampak dari hasil-hasil pembangunan. Banjir yang nampak rutin menghantui penduduk Jakarta bisa menjadi kajian yang menantang. Dan makin jelas, bahwa yang dirugikan akibat banjir itu adalah sebagian besar penduduk yang miskin yang sehari-harinya nyata-nyata tidak mampu menikmati air bersih atau mampu membeli air namun dengan harga yang lebih mahal.

Mendesak kiranya untuk menelaah kembali konsep pembangunan yang selama ini lebih berbias ke kota. Telah banyak energi dikeluarkan dalam bentuk pengurasan (back-wash effect) sumberdaya alam dari hulu hanya untuk memenuhi konsumsi orang kota yang pada akhirnya memiskinkan masyarakat hulu. Konsep ini perlu direformasi melalui perencanaan pembangunan wilayah yang di dalamnya mengintegrasikan komponen-komponen ekonomi, fisik lingkungan dan kelembagaan masyarakat setempat. Disini, kondisi lingkungan dan kelembagaan menjadi matrik dasar sekaligus penuntun ke arah mana pembangunan dilaksanakan. Dengan konsep ini, akan terjamin alokasi sumberdaya, termasuk air, dalam rangka memenuhi penawaran dan permintaan barang dan jasa dari penduduknya. Hal ini sangat penting karena peranan sektor industri akan makin meningkat, dimana di dalamnya menuntut penyediaan air yang makin tinggi baik kualitas maupun 3 Permasalahan ini pernah penulis ungkapkan dalam harian KOMPAS, 20 Januari 1996 berjudul Pertumbuhan Kota dan Sumberdaya Air

Page 5: MKTI

5

kuantitasnya. Ini artinya pengelolaan daerah hulu perlu kehati-hatian sejalan dengan masuknya modal kesana.

STRATEGI DAN KEBIJAKSANAAN4 Strategi pengelolaan sumberdaya air (SPSA) didefinisikan sebagai program-program

tindakan (action) jangka menengah hingga jangka (5 hingga 30 tahun) panjang untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan pembangunan dan mengimplementasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berhubungan dengan sumberdaya air (Le Moigne et al., 1994).

Proses perumusan SPSA terdiri dua tahapan implementasi utama, yaitu analisis sumberdaya air (water resources assesment) dan pendefinisian strategi (strategy definition). Analisis sumberdaya air adalah suatu kajian terhadap aspek fisik dan beragam faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sumberdaya air. Penekanannya kepada hal-hal berikut. Pertama, mendiskripsikan sasaran pembangunan dan kebijaksanaan, yang dapat berupa pencapaian swasembada pangan, atau penanggulangan kemiskinan, dan kebijaksanaan lainnya yang menuntut dukungan sumberdaya air. Kedua mempersiapkan dan menginventaris data dasar dan informasi, seperti: (1) data-data tentang air secara kuantitatif, (2) sumberdaya manusia dan kelembagaan, (3) ekonomi air, (4) lingkungan, dan (5) international water affairs. Ketiga, mengidentifikasi, menganalisis dan menetapkan prioritas (ranking) isyu yang berkembang yang secara langsung atau tidak terkait dengan pengelolaan sumberdaya air.

Pendefinisian strategi merupakan proses penetapan bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya air secara seimbang antara yang ideal hingga yag paling praktis. Melalui pemikiran yang mendalam tanpa campur tangan siapapun, diupayakan secara obyektif menyediakan berbagai pilihan tentang bentuk pengelolaan sumberdaya air. Berikut tahapan yang akan dilalui. Pertama, mengembangkan pilihan-pilihan pengelolaan sumberdaya air dan implementasi kelembagaan. Kedua, mengevaluasi pilihan-pilihan yang didasari sudut pandang teknis, sosiologi, lingkungan, dan ekonomi yang mencakup perkembangan penawaran dan permintaan air secara efisien tanpa mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup. Ketiga, merekomendasi berbagai pilihan ke dalam rencana investasi dan proyek.

WHO mendefinisikan akses terhadap air bersih (clean water) sebagai batas jarak 200 meter dari rumah terhadap titik suplai air untuk kota, dan suatu keluarga tidak menghabiskan aktifitasnya sehari-harinya hanya untuk mencari air untuk wilayah pedesaan. Umumnya 4 Dipaparkan dengan jelas dalam REPELITA VI (Bab 22 Pengairan), di dalamnya menyebutkan istilah air baku sementara Bank Dunia menggunakan air bersih

Page 6: MKTI

6

kebijaksanaan penyediaan air bersih tidak dapat dipisahkan dengan program-program sanitasi atau kesehatan. Kebijaksanaan sehubungan air didefinisikan sebagai pencapaian manfaat setinggi-tingginya dari pembangunan dan konservasi sumberdaya air dengan sasaran sebagai berikut (United Nations, 1979)5: (1) memperbaiki keadaan kesehatan masyarakat, (2) meningkatkan pendapatan regional atau nasional, (3) meredistribusikan pendapatan di antara wilayah, (4) meredistribusikan pendapatan di antara berbagai kelompok masyarakat, dan (5) memperbaiki kualitas lingkungan.

Ada dua pendekatan dalam kebijaksanaan suplai air. Pertama worst first, yaitu pendekatan yang memfokuskan pada wilayah-wilayah yang secara alami (akibat pengaruh atau gangguan iklim) kekurangan air. Suplai air ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan ternak dengan alasan kemanusiaan agar diperoleh manfaat-manfaat sosial dan peningkatan kesehatan masyarakat (humanitarian schemes). Untuk lingkungan pedesaan, pendekatan ini sangat baik dan prioritas penyediaannya dianggap lebih penting dibanding kualitas airnya. Kedua adalah growth point, yaitu pendekatan yang difokuskan kepada wilayah yang potensinya tinggi untuk dikembangkan secara ekonomi. Suplai air ditujukan untuk memancing aktifitas ekonomi ke arah pencapaian kualitas hidup yang lebih tinggi dengan menerapkan fasilitas dan teknologi modern (economic schemes). Pendekatan ini menuntut investasi yang tinggi untuk menghasilkan kualitas air yang memenuhi syarat dan distribusinya. Lingkungan kota dan industri selalu menggunakan pendekatan ini. Dalam kenyataannya, dua pendekatan tersebut seringkali disatukan karena perbedaan tujuannya relatif tipis dan saling melengkapi.

Aspek kelembagaan dalam masyarakat, terutama di pedesaan, hendaknya tidak diabaikan. Biasanya ketika sistem suplai air yang baru diterapkan, ada kemungkinan membawa sistem tatanan sosial yang baru pula. Sistem kelembagaan yang tidak dapat menyesuaikan terhadap kondisi baru tersebut sering menjadi penyebab kegagalan penerapan sistem suplai air yang baru. Bahkan di negara maju (Naiman et al., 1995), sistem kelembagaan di tingkat lokal hingga pusat, telah dikondisikan mampu (1) mengantisipasi dampak-dampak aktifitas manusia terhadap sumberdaya air, (2) memberikan perspektif dari aspek sosial dan lingkungan yang terintegrasi, dan (3) mengantisipasi isyu yang muncul melalui pendekatan ilmiah6.

5 Pustaka ini secara rinci menjelaskan prosedur dan teknik pengelolaan air bersih di pedesaan 6 Lihat juga Sadan and Ben-Zvi (1987)

Page 7: MKTI

7

EKONOMI SUMBERDAYA AIR

Agar mencapai sasaran kepada efisiensi, menuntut teridentifikasinya dengan jelas terhadap setiap tahapan pengelolaan air dari sudut pandang teknik, ekonomi maupun sosial. Berikut diperkenalkan beberapa konsep yang dapat mengacu ke hal-hal tersebut. Property Right System atau Water Right (Tietenberg, 1994)

Ketika sekelompok populasi menempati wilayah baru, maka badan air merupakan tujuan utamanya. Hak memanfaatkan air oleh masyarakat di dekat badan air disebut riparian right. Dengan bertambahnya populasi dan menyebar makin jauh dari sumber air, maka ada upaya pemindahan air ke wilayah yang membutuhkan misalnya untuk pertambangan atau pertanian. Situasi demikian disebut prior appropriation right. Dalam kondisi semakin komplek, keterlibatan negara dalam pengelolaan air menjadi penting. Negara dapat berperan sebagai pemilik air, dan menggunakan haknya yang disebut sebagai usufruct right. Kemudian hal ini dilanjutkan dengan pengendalian; penetapan tarif, dan pembatasan serta administrasi pengelolaan.

Property right system (PRS) merupakan kumpulan kepemilikan, hak-hak (privileges), dan batasan-batasan bagi pelaku-pelaku pembangunan agar dalam pengelolaan (alokasi) sumberdaya berjalan secara efisien dan menuju suatu tingkat kesejahteraan maksimal secara berkelanjutan. PRS memiliki empat ciri dan harus diberlakukan semuanya (lengkap) untuk mewujudkan tujuan pembangunan.

Pertama, universality. Maksudnya adalah status kepemilikan semua sumberdaya harus terspesifikasi dengan jelas, misalnya hak milik, hak sewa, hak menggunakan, hak menangkap, dan hak-hak lainnya yang disepakati. Masih banyak sumber-sumberdaya yang kabur status kepemilikannya. Hal ini dapat mendorong kepada pengelolaan yang berakibat menghabiskan sumberdaya itu sendiri (open-acces equilibrium), tidak terkecuali sumberdaya air. Fenomena ini sering ditemukan bahkan dapat menimbulkan kerawanan sosial.

Kedua, exclusivity. Pemilik menanggung semua manfaat dan beaya sebagai akibat kepemilikan tadi. Pelanggaran terhadap hal ini, sering mengakibatkan kebocoran beaya (externality) kepada pihak lain sementara manfaatnya lari ke pemilik. Ketiga, transferability. Maksudnya adalah bahwa hak kepemilikan tersebut dapat dipindahtangankan secara sah tanpa paksaan. Ciri ini menunjukkan adanya aturan main yang fair dan sah di antara pemilik sumberdaya ketika ia hendak melepaskan, menjual atau memiliki hak orang lain. Sumberdaya hendaknya diberi nilai yang sewajarnya. Terakhir, enforceability. Hal ini menyangkut jaminan keamanan terhadap pemilik sumberdaya dari pemilik sumberdaya lainnya. Perlu diciptakan kelembagaan yang melindungi hak-hak dan batasan kepemilikan tanpa ada tumpang tindih. Sebagai public good, sifat dan perilaku air

Page 8: MKTI

8

nampaknya tidak dapat memenuhi empat ciri di atas. Dan pada gilirannya setiap public good akan memberikan konsekwensi kepada kegagalan pasar. Karenanya keterlibatan pemerintah secara efektif diperlukan disini, dalam rangka menghindarkan terjadinya salah kelola dan kemubaziran. Komplemen dan Substitusi (Daly, 1994)

Teori ekonomi klasik mengemukakan bahwa kapital atau modal adalah syarat utama dalam sistem produksi. Kapital menurut sumbernya terbagi menjadi dua, yaitu kapital yang berasal dari unsur sumberdaya alam (natural capital) dan yang berasal dari unsur ciptaan manusia (man-made capital). Keduanya berinteraksi mempengaruhi sistem produksi untuk menghasilkan output dalam wujud interaksi komplemen dan substitusi. Wujud interaksi memberi konsekwensi yang mendasar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Sebagai komplemen, proporsi dan jumlah masing-masing unsur (tunggal maupun majemuk) sebagai input adalah relatif konstan. Sedangkan dalam substitusi, proporsi dan jumlah unsur sumberdaya sebagai input bersifat saling menggantikan. Dari pandangan proses pembangunan, komplemen dan substitusi mencerminkan strong sustainability dan weak sustainability.

Baik sebagai input atau output, kedudukan air tidak digantikan untuk oleh sumberdaya lainnya. Dalam posisi demikian, agar fungsinya dapat dipertahankan, maka air dan komplemennya harus diperlakukan seefisien mungkin agar fungsinya menjadi maksimal dan berkelanjutan. Mengandalkan pada teknologi penambangan air saja adalah kurang bijaksana, yang lebih penting adalah pertama, menyelamatkan sumber dan badan-badan air tersebut dan kedua, menemukan teknologi yang mampu mendaur ulang (recycle) air ke dalam kualitas air yang layak konsumsi. Kelangkaan

Kondisi kelangkaan hampir selalu dihadapi ekonom yang mendalami pengendalian lingkungan hidup. Menurut Daly (1994), tidak harus memerlukan disiplin ilmu baru untuk menghadapi kelangkaan. Apa yang dipelajari dalam ekonomi klasik dapat digunakan untuk mengantisipasi kelangkaan. Konsep dasar pemecahannya adalah meningkatkan kapital dan perhatian terhadap sumberdaya yang membatasi agar secara kuantitas dan kualitas dapat ditingkatkan kembali. Faktor-faktor atau sumberdaya yang membatasi, melalui interaksi komplemen, harus diperbaiki untuk mencegah kelangkaan sumberdaya itu sendiri, sistem produksi dan kelangkaan outputnya. Misalnya bila air irigasi dirasakan semakin berkurang dan membatasi pertumbuhan padi, maka harus diperlukan kapital yang lebih besar untuk memperbaiki kondisi keseluruhan daerah aliran sungainya, rekonstruksi sistem saluran irigasi, dan sosial kelembagaannya.

Page 9: MKTI

9

Pada kasus pengelolaan air permukaan, kelangkaan ditandai oleh semakin meningkatnya total marginal cost (MC) dengan waktu. Total MC dipisahkan menjadi dua yaitu marginal extraction cost (MEC) dan marginal user cost (MUC). Gambaran beaya-beaya tersebut disajikan dalam Gambar 1.

Marginal Cost

(Rp/m3) Total MC MUC MEC

Waktu (tahun) Gambar 1. Hubungan antara waktu dan komponen beaya dalam pengelolaan sumberdaya air (Tietenberg, 1994; p.103)

MEC dilukiskan sebagai konstan, menandakan bahwa beaya ekstraksi (menambang) air tidak akan banyak berubah. MEC secara aktual dibayar oleh konsumen kepada produsen sekaligus penentu besarnya benefit yang akan diperoleh. Sementara itu, MUC dilukiskan naik mengikuti jumlah air yang berhasil ditambang. MUC adalah opportunity cost, merupakan beaya yang secara aktual tak terbayarkan. Ia akan memberi keuntungan kepada produsen manakala konsumen mengurangi konsumsinya. Dengan kata lain bila konsumsi dikurangi, maka penurunan benefit tidak akan terjadi (tertahan) pada penambangan air terakhir. Kejadian yang sering ditemui adalah MUC diperhitungkan sebagai benefit. Ini mengakibatkan berkurangnya insentif bagi perbaikan teknologi penambangan air. Harus diakui agak susah memisahkan MUC dari MEC dalam perhitungan benefit bagi produsen.

Pada air bawah tanah, penambangan yang melebihi recharge-nya mengakibatkan MEC makin lama semakin tinggi. Karenanya air permukaan dapat mensubstitusinya agar beban beayanya dapat dikurangi. Pasar air bawah tanah yang efisien harganya selalu naik

Page 10: MKTI

10

dengan waktu hingga titik akhir (exhaustion), yaitu MC mendekati titik mahal sumber air. Dalam keadaan ini MC pumping sama dengan harganya.

PASAR DAN PENETAPAN TARIF AIR7 Seorang ekonom memandang hanya dengan pasar sempurna akan diperoleh alokasi

sumberdaya air yang efisien. Tetapi kenyataannya, khususnya untuk kebutuhan sektor pertanian, hal tersebut tidak pernah tercapai. Pengalaman memperlihatkan bahwa kelembagaan lokal lebih menunjukkan fungsinya sebagai pasar yang efektif untuk mendistribusikan air8. Selain alasan water right yang tidak terpenuhi, konsep pasar sempurna makin sulit diterapkan karena beberapa hal berikut (Anwar, 1992): 1. Penawaran distribusi air bersifat monopoli alami, dimana makin besar jumlah air yang

ditawarkan maka beaya per satuan yang ditanggung produsen makin murah. 2. Fluktuasi penawaran air yang tinggi antara saat banjir dan kekeringan memberi

konsekwensi keterlibatan pemerintah untuk mengatur pengelolaannya demi kepentingan umum.

3. Sifat air yang serbaguna (multiple use) dan dapat dikonsumsi berulang-ulang (repeated use) mendorong terjadinya externality yang berakibat kerugian kepada pihak lain.

4. Nilai kultural yang melekat kepada air dari sebagian besar masyarakat yang menganggap tabu untuk memperdagangkan air.

Dalam penetapan tingkat harga dua hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) menekankan pada keseimbangan di antara konsumen yang berkepentingan, yang meliputi konsumsi dan non konsumsi dan (2) mampu menjamin pengelolaan dan suplai dari waktu ke waktu, dalam kondisi jumlah air di atas atau di bawah rata-rata, serta berhadapan dengan pengelolaan dari berbagai kehilangan air.

Alokasi yang efisien sangat tergantung sumber air yang yang digunakan. Pada air permukaan, problem yang dihadapi adalah pengalokasiannya. Pengaruh antar generasi tidak begitu penting karena lebih tergantung kondisi iklim di masa mendatang dibanding pengelolaan teknis pada saat sekarang. Sebaliknya pada air bawah tanah, pengelolaan teknis saat sekarang sangat mempengaruhi kondisi mendatang. Oleh karenanya penetapan discount future harus dibedakan. Air bawah tanah terlebih dari artesis, harus dibebani user cost sangat tinggi karena mempunyai tingkat resiko pengelolaan yang tinggi terhadap alokasinya di masa mendatang. Konsumen harus dibebani tarif air yang relatif lebih tinggi pada pengelolaan yang berasal dari tanah dibanding air permukaan. 7 Disarankan membaca kumpulan paper dalam Le Moigne, Easter, Ochs, and Giltner (1992) 8 Kelembagaan lokal sejenis Jogotirto (Jawa), Subak (Bali), Warabandi (India Utara).

Page 11: MKTI

11

Terhadap gambaran di atas, maka penetapan tarif air hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut: 1. Sumberdaya air harus dilindungi dari kerusakan fungsi ekologisnya. 2. Harga per satuan jumlah air harus meningkat dengan bertambahnya konsumsi.

Peningkatan user cost ini ke dalam harga merupakan insentif untuk upaya-upaya mengkonservasi sumberdaya air.

3. Perbedaan struktur harga air dalam mengantisipasi kondisi berikut: a) Harga selama puncak permintaan melebihi harga pada waktu permintaan biasa. b) Harga lebih tinggi ditetapkan kepada konsumen yang secara teknis mahal operasional

suplainya. c) Harga lebih tinggi ditetapkan kepada konsumen pendatang baru.

Kondisi Indonesia

Pasar air atau khususnya penetapan tarif air minum diatur dalam: 1. Surat Keputusan Bersama Mendagri dan Menteri PU No. 5 tahun 1984 dan No.

28/KPTS/1984 tanggal 23 Januari 1984 tentang Struktur Tarif Air Minum. 2. Peraturan Mendagri No. 690-536 tanggal 30 Juni 1988 tentang Pedoman Penetapan Tarif

Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). 3. Keputusan Mendagri No. 690-536 tanggal 28 Januari 1992 tentang Pola Petunjuk Teknis

Peraturan Mendagri No. 690-536. Pedoman penetapan atau perhitungan tarif air (Peraturan Mendagri No. 690-536)

mempertimbangkan antara lain: 1. Kemampuan menutup beaya-beaya produksi. 2. Perhitungan yang jelas dari tingkat ketentuan yang akan diperoleh atau tingkat/nilai

pengembalian yang diperhitungkan lebih dahulu. 3. Tarif air minum terjangkau oleh masyarakat. 4. Pola struktur tarif air nasional mencirikan yang kuat membantu yang lemah. 5. Pola penghematan pemakaian air.

Gambar 2 memperlihatkan struktur tarif air minum PDAM beberapa wilayah. Nampak bahwa ada keragaman yang nyata antar Pemda. Tetapi apakah di dalamnya mengandung insentif bagi penelitian dan pengembangan sumberdaya air. Ini yang masih menjadi tanda tanya. Pengamatan penulis memperlihatkan bahwa struktur tarif air tersebut lebih mengacu kepada beaya rata-rata (average cost) yang ditujukan untuk menutup beaya produksi dan operasional. Ketika ada upaya peningkatan kapasitas air atau perbaikan yang serius, maka pemerintah harus turun tangan mensubsidinya.

Page 12: MKTI

12

Volume Air (m3)

Tarif

air

(Rp/

m3)

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

0 10 20 30 40 50 60

Mataram RTMataram INDBogor Kota RTBogor Kota INDBogor Kab RTBogor Kab INDBandung RTBandung INDSurabaya RTSurabaya INDLampung Tengah RTLampung Tengah IND

Gambar 2. Hubungan antara volume konsumsi air dengan harga tarif rumah tangga (RT) dan industri (IND) pada beberapa kota di Indonesia (Iwan Nugroho, 1996)

PENUTUP Sebagian besar penduduk Indonesia masih belum menikmati pelayanan air bersih.

Dengan pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, di lain pihak orientasi pembangunan sedang menuju ke arah industri dan jasa, maka tuntutan pembangunan infrastruktur air bersih menghadapi tantangan yang berat dan komplek. Diperlukan perencanaan pembangunan wilayah yang memperhitungkan kepada kondisi sumberdaya alam dan kelembagaan setempat sebagai matrik dasar untuk mengangkat potensi ekonominya.

Sebagai public good, merupakan suatu tantangan bagi pemerintah agar pengelolaan sumberdaya air memberi manfaat setinggi-tingginya. Oleh karenanya akan diperlukan suatu sistem kelembagaan yang efektif agar alokasi sumberdaya air menjadi efisien. Kebutuhan air di sektor pertanian akan tetap tinggi untuk mendukung sistem produksi yang ada. Sementara di perkotaan, peningkatan kualitas air akan menjadi bagian penting aset ekonomi dan kenyamanan penduduknya.

Sangat dianjurkan agar pasar air telah mempertimbangkan user cost dan diperhitungkan sebagai insentif untuk upaya-upapa mengkonservasi sumberdaya air.

Page 13: MKTI

13

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, A. 1992. Masalah Kebijaksanaan Pengembangan, Pembiayaan Investasi serta Pengelolaan Sumberdaya Air dan Irigasi. Makalah disajikan pada Seminar Pengkajian Kebijaksanaan Pengelolaan dan Pengembangan Sumberdaya Air Jangka Panjang di Indonesia. Bappenas, Jakarta 28-29 Juli 1992.

BPS. 1996. Indikator Ekonomi 1996, beberapa bulan. BPS Pusat Jakarta.

Daly, H. 1994. Operationalizing sustainable development by investing in natiral capital. In: Goodland, R. and V. Edmunson (eds.). Environmental Assesment and Development. World Bank, Washington, DC. 152-159.

Iwan Nugroho. 1996. Pengamatan pribadi terhadap struktur tarif air pada beberapa Pemda di Indonesia.

Le Moigne, G., K. W. Easter, W. J. Ochs and S. Giltner (eds.). 1992. Water Policy and Water Market. Selected Pepers from World Bank's Ninth Annual Irigation and Drainage Seminar, Annapolis, Maryland, December 8-10, 1992. World Bank,Washington, D.C. 97-101.

Le Moigne, G., A. Subramanian, M. Xie, S. Giltner. 1994. A Guide to the Formulation of Water Resources Strategy. World Bank Technical Paper No. 263. Washington, D.C.

Naiman, R. J., J. J. Magnuson, D. M. McKnight, J. A. Stanford, and J. R. Karr. 1995. Freshwater ecosystem and their management: A national initiatives. Science (270):584-585.

Sadan, E. and R. Ben-Zvi. 1987. The value of institutional change in Israel’s water economy. Water Resources Research. 23(1):1-8.

Tietenberg, T. H. 1994. Environmental Economics and Policy. HarperCollins College Publishers, New York. 432p.

United Nations. 1979. Guidelines for Rural Centre Planning: Rural water supply and sanitation. 129-164.

World Bank. 1993. Poverty Reduction Handbook. Washington, D.C.

World Bank. 1995. Social Indicators of Development 1995. World Bank-The Johns Hopkins Univ. Press, Baltimore-London.

Xie, M., U. Kuffner, U. and G. Le Moigne. 1993. Using Water Efficiently, Technology Options. World Bank Technical Paper No. 205. Washington, D.C.