mk-rina nur aufa arifin.pdf
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
LITERASI MEDIA DALAM MENGHADAPI HIPERREALITAS TELEVISI
MAKALAH NON SEMINAR
RINA NUR AUFA ARIFIN
1106058055
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
DEPOK
DESEMBER 2014
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
LITERASI MEDIA DALAM MENGHADAPI HIPERREALITAS TELEVISI
MAKALAH NON SEMINAR
Dijadikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi
RINA NUR AUFA ARIFIN
1106058055
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
INDUSTRI KREATIF PENYIARAN
DEPOK
DESEMBER 2014
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
1
Literasi Media dalam Menghadapi Hiperrealitas Televisi
Rina Nur Aufa Arifin
1106058055
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan Kampus UI, Depok 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Perkembangan industri televisi di era reformasi telah menelurkan beragamnya program
televisi yang siap menghibur khalayak. Sayangnya program-program televisi saat ini
didominasi oleh tayangan yang tidak mendidik, berlebihan dan menimbulkan kondisi
hiperrealitas bagi khalayak. Dampak buruk dari media televisi tersebut seharusnya dapat
diimbangi dengan kemampuan khalayak dalam memahami isi media, siapa dalang dibalik
terciptanya produk media sehingga khalayak tidak begitu saja terjebak dalam realitas semu
televisi. Kemampuan khalayak tersebut dapat dimiliki dengan mempelajari literasi media.
Kata kunci: literasi media, televisi, hiperrealitas, sinetron
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
2
Media Literacy In Facing of Hiperreality Television
Abstract
The development of the television industry in the reform era has spawned various television
programs that are ready to entertain audiences. Unfortunately the television programs
currently dominated by uneducative, excessive and created the hiperreality conditions for the
audience. Negative effects from the television media should be balanced with the public's
ability to understand media contents and who are people that create the program behind the
media products, so that the audience does not just get stuck in a pseudo-reality television. The
ability of the audience can be owned by studying media literacy.
Keywords: media literacy, television, hiperreality, soap opera
Pendahuluan
Latar Belakang
Program televisi saat ini didominasi oleh program-program hiburan seperti sinetron,
reality show, dan variety show. Berbagai tayangan hiburan di televisi tersebut berlomba-
lomba menarik perhatian penonton agar mendapat rating dan share yang tinggi, dan
mendapatkan jatah ‘kue iklan’ nantinya. Genre tayangan televisi yang biasanya meriah rating
tinggi adalah tayangan sinetron. Menurut Nielsen Media Research, pada tahun 2013 khalayak
di Indonesia menghabiskan 24 persen waktu mereka untuk menonton tayangan sinetron di
televisi, atau sekitar 197 jam (Tempo.co, 2013, diakses pada 30 November 2014 pukul
19:45).
Sinetron diminati karena unsur cerita yang diangkat biasanya dekat dengan realitas
kehidupan sehari-hari. Misalnya cerita berlatar belakang kehidupan keluarga, cerita cinta
pada remaja, atau yang sedang marak adalah sinetron dengan tema religi seperti drama
“Tukang Bubur Naik Haji” atau “Mak Ijah Ingin Ke Mekah”.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
3
Dalam penayangannya, sinetron-sinetron tersebut membentuk suatu konstruksi
sendiri dalam masyarakat. Kedekatan unsur cerita dengan kehidupan sehari-hari tak jarang
menimbulkan kondisi hiperrealitas. Hiperrealitas televisi menurut sosiolog asal Prancis, Jean
Baudrillard, adalah kondisi dimana khalayak tidak bisa membedakan antara realitas dan cerita
dalam televisi atau kondisi meleburnya kepalsuan dan keaslian, dan fakta yang simpang siur
dengan rekayasa.
Kondisi hiperrealitas akan mempengaruhi masyarakat untuk mengkonsumsi bukan
berdasarkan kebutuhan melainkan untuk mengikuti gaya hidup (Baudrillard, 1983) yang
salah satunya dipengaruhi oleh industri televisi. Tentunya hal ini tidak akan baik jika gaya
hidup yang terbentuk berasal dari pengaruh tayangan televisi yang tidak mendidik seperti
adegan dalam sinetron. Maka dari itu, diperlukan suatu pendidikan tentang media yang
membuat khalayak dapat berpikir kritis terhadap isi tayangan televisi. Pendidikan tentang
media ini sering disebut dengan literasi media atau melek media.
Literasi media atau melek media adalah kemampuan khalayak untuk menganalisis
isi media sehingga khalayak tidak menelan begitu saja apa yang disajikan media melainkan
mencerna dan menganalisisnya terlebih dahulu. Dengan proses analisis tersebut khalayak
dapat tercegah dari realitas semu dalam tayangan televisi.
Fenomena hiperrrealitas televisi akan berdampak buruk karena penonton terjebak
dalam konstruksi tayangan televisi yang belum tentu memiliki nilai-nilai yang edukatif.
Misalnya berdasarkan observasi penulis, ada seorang ibu rumah tangga yang senang
menonton tayangan ‘Tukang Bubur Naik Haji’, suatu hari ibu tersebut bertemu langsung
dengan pemeran Haji Muhidin yang berkarakter antagonis. Reaksi dari ibu tersebut sebagai
penonton setia adalah memukul dan memarahi pemeran haji Muhidin yang biasa ia saksikan
sebagai pemeran antagonis.
Reaksi penonton tersebut merupakan salah satu bukti bahwa penonton sedang
terjebak dalam realitas semu hasil konstruksi tayangan televisi, sehingga penonton tidak
dapat membedakan kejadian dalam sinetron dengan kehidupan sebenarnya. Yang
dikhawatirkan dari kondisi hiperrealitas televisi ini adalah jika tayangan dalam televisi
bersifat tidak edukatif dan kurang pantas untuk ditiru. Misalnya dalam tayangan FTV yang
seringkali menceritakan kehidupan anak kuliah yang sehari-hari hanya memikirkan masalah
percintaan. Jika penonton terjebak dalam realitas semu tayangan tersebut, penonton akan
memiliki kecenderungan untuk bersikap sama seperti yang ditayangkan televisi. Orientasi
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
4
penonton sebagai mahasiswa tidak lagi mencari pendidikan melainkan bergeser menjadi
pencarian jati diri dan pasangan hidup.
Lebih parah lagi, jika konten tayangan yang ditiru adalah konten kekerasan. Saat ini
sudah banyak kejadian kekerasan yang dilakukan anak-anak karena meniru adegan dari film
yang ditayangkan di televisi. Contohnya seperti yang diberitakan oleh situs beritasatu.com,
terdapat seorang anak balita yang melakukan percobaan bunuh diri karena permintaannya
tidak dikabulkan oleh orang tuanya. Setelah ditelusuri ternyata anak tersebut sering menonton
adegan kekerasan dalam sinetron yang menampilkan adegan bunuh diri ketika menghadapi
masalah (Indriani, beritasatu.com, 2012, diakses pada 30 November pukul 20:40).
Melalui isi cerita dalam sinetron yang kurang pantas, secara tidak sadar pikiran
khalayak akan terkonstruksi berdasarkan apa yang ia lihat dalam tayangan televisi.
Konstruksi media tersebut akan mengakibatkan terbentuknya cara pandang baru di
masyarakat yang merupakan hasil olahan industri media. Jika media televisi terus menerus
dikonsumsi secara mentah-mentah oleh khalayak, maka lambat laun budaya yang akan
terbentuk di masyarakat adalah budaya industri media (Arifianto, 2012:8).
Bentuk pencegahan dari terjebaknya khalayak dalam hiperrealitas televisi dapat
dilakukan dengan pendidikan melek media atau literasi media. Dengan literasi media,
khalayak dapat belajar untuk menganalisis terlebih dahulu isi konten media, latar belakang
media, proses produksi konten televisi, dan sebagainya, sehingga khalayak dapat menyadari
bahwa yang terlihat dalam televisi itu tidak sebenar-benarnya terjadi seperti yang
ditayangkan oleh televisi.
Tinjauan Literatur
Industri Televisi
Televisi dapat dibilang sebagai salah satu media favorit masyarakat Indonesia. Pasalnya
menurut data Nielsen di tahun 2012 televisi masih mendominasi pemakaian media
konvensional di Indonesia sebanyak 94% dengan pemakaian rata-rata per hari sebanyak 4,5
jam (Silalahi, 2013, diakses pada 19 November 2014 22:01) . Sejak memasuki era reformasi,
televisi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Jumlah stasiun televisi di
era reformasi ini semakin banyak dibandingkan pada masa orde baru. Di tahun 2014 tercatat
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
5
setidaknya 11 stasiun televisi swasta nasional, belum lagi ditambah dengan stasiun televisi
lokal dan komunitas yang juga kian berkembang. Semenjak berakhirnya rezim orde baru
memang terjadi perubahan sistem penyiaran yang menjadi lebih demokratis.
Menurut UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 televisi di Indonesia dibangun di atas
frekuensi radio yang wajib digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi,
secara ideal, televisi adalah sebuah media komunikasi yang digunakan untuk hal-hal yang
bermanfaat untuk publik seperti penyebaran informasi, ataupun media edukasi bagi
masyarakat. Namun pada kenyataannya program televisi di Indonesia tidak semuanya
memiliki dampak yang positif bagi khalayak, malah cukup sulit untuk mendapatkan tayangan
yang memiliki nilai edukatif.
Hal di atas terjadi karena televisi belakangan ini tidak lagi menjadi sebuah media
pelayanan bagi publik tapi telah berkembang menjadi industri komersil yang per tahunnya
meraih keuntungan triliunan rupiah (Wibowo, 2013, diakses pada 19 November 2014 pukul
22:18) . Bisnis televisi memang bukan bisnis yang murah. Membutuhkan modal yang banyak
untuk membangun stasiun televisi swasta berbasis nasional. Modal yang terdiri dari
perizinan, peralatan siaran mulai dari kamera, mikrofon, lighting set, studio, gaji pegawai,
satelit, menara pemancar, dan lain-lain bisa menghabiskan uang triliunan belum lagi dengan
biaya pemeliharaannya.
Meskipun memerlukan biaya yang besar, namun semakin banyak pengusaha yang
ingin mencoba peruntungannya dalam bisnis industri televisi. Berdasarkan data dari KPID
Jawa Barat saja ada 129 televisi lokal yang mengajukan izin siaran (JON, Kompas.com,
2009, diakses pada 19 November 2014 pukul 23:01). Hal ini terjadi karena industri televisi
memiliki keuntungan yang menggiurkan dari belanja iklan. Belanja iklan di televisi masih
menjadi pilihan yang paling banyak diminati advertiser dibandingkan belanja iklan di media
lainnya. Menurut AGB Nielsen, porsi belanja iklan di televisi pada tahun 2013 mencapai
68% dari total belanja di seluruh media yang ada di Indonesia (Amri, 2013, diakses pada 19
November 2014 pukul 23:07). Angka tersebut merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya
yang mencapai 64%.
Banjirnya pemasukan iklan di televisi membuat media televisi tumbuh menjadi
bisnis yang menggiurkan. Di tahun 2013 saja total belanja iklan di 10 stasiun televisi swasta
nasional mencapai angka 7,8 trillun (Tribunnews, 2013, diakses pada 19 November 2014
pukul 23:04). Di tahun 2014 lonjakan belanja iklan televisi yang cukup tinggi hingga
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
6
mencapai 89%, hal ini dikarenakan melonjaknya permintaan iklan organisasi dan parta politik
dalam rangka Pemilu 2014. Pelonjakan balanja iklan dari partai politik meningkat tajam dari
Pemilu 2009 silam hingga mencapai 226% dengan total belanja iklan sebanyak 1,17 triliun
rupiah (Lubis, 2014, diakses pada 19 November pukul 23:19).
Keuntungan setiap stasiun televisi sangat bergantung melalui perolehan rating dan
share program acara yang mereka tayangkan. Semakin tinggi rating atau share maka semakin
tinggi nilai rate card yang diajukan pada pengiklan, serta semakin banyak pula jumlah
permintaan iklan dari pengiklan. Perolehan rating dan share bergantung dari banyaknya
penonton yang menonton tayangan tersebut. Adapun rumus perhitungan rating oleh Nielsen
adalah:
Untuk mendapat rating yang tinggi, setiap stasiun televisi berlomba untuk membuat
program-program televisi yang mampu mencuri perhatian penonton. Namun karena tujuan
televisi sudah menjadi ke arah yang komersial, industri televisi saat ini terkesan hanya
memberikan keuntungan bagi pemodal televisi saja tanpa mempedulikan dampak media
terhadap publik. Publik hanya dipandang sebagai konsumen bagi pemilik televisi.
Berdasarkan hal tersebut saat ini begitu banyak tayangan-tayangan yang bernilai kurang
edukatif dan hanya mengandung nilai hiburan semata. Yang terpenting bagi pemilik televisi
adalah program tersebut meraih rating tinggi dan memperoleh permintaan belanja iklan yang
banyak oleh pengiklan.
Selain penurunan kualitas, televisi sebagai industri yang komersil juga membuat
program-program di televisi bertambah banyak namun tidak beragam. Artinya, program
televisi di setiap stasiun televisi memiliki format yang senada. Misalnya saja di RCTI
terdapat sinetron religi berjudul “Tukang Bubur Naik Haji”, di SCTV juga terdapat sinetron
religi berjudul “Emak Ijah Ingin Naik Haji”. Di Trans TV ada program YKS, di AnTV segera
terdapat program Pesbukers yang bergenre sejenis. Ini hanya salah satu contoh karena masih
banyak program lain yang senada.
Rating = Jumlah penonton suatu program X 100%
Jumlah universe
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
7
Fenomena seperti ini sering juga disebut dengan Me Too Programme alias program
ikut-ikutan. Larisnya satu program di staisun televisi maka akan segera ditiru oleh stasiun
televisi lain. Ini semua karena pemilik televisi saling berebut perhatian penonton agar meraih
rating tertinggi sehingga dapat memakan kue iklan dan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Karena itu, saat ini televisi telah menjadi industri komersil yang gagah dan
menggiurkan bagi pengusaha. Namun di sisi lain, publik harus merasakan kerugian karena
lebih banyak mendapatkan tayangan-tayangan yang tidak layak dibandingkan tayangan yang
membawa manfaat dan nilai kebaikan. Padahal televisi pada hakikatnya harus bertanggung
jawab terhadap publik sebagai pemilik frekuensi radio di atas tanah Indonesia.
Karakteristik Penonton TV di Indonesia
Perhitungan rating di Indonesia dilakukan oleh lembaga riset AGB Nielsen. Yang
menentukan rating suatu program televisi adalah sampel penonton yang dipilih oleh lembaga
riset tersebut. Data dari Nielsen menunjukkan populasi penonton televisi adalah sebanyak 52
juta individu. Individu ini berusia di atas lima tahun yang tersebar di 10 kota besar. Kota yang
dipilih sebagai sampling adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Yogyakarta,
Palembang, Makassar, Denpasar, dan Banjarmasin.
Penyebaran sample di setiap kota pun berbeda. Dari 10 kota besar di Indonesia,
Jakarta memiliki porsi sample paling besar, yaitu 55%. Kemudian disusul Surabaya 20%,
Bandung 5%, Yogyakarta 5%, Medan 4%, Palembang 3%, Semarang 3%, Makassar 2%,
Denpasar 2%, Banjarmasin 1%. Ketidakmeraataan pembagian wilayah sampling ini
menimbulkan penilaian bahwa lembaga Nielsen kurang representatif dalam membuat
perhitungan rating dan share acara televisi.
Nielsen mengkategorikan penonton ke dalam lima segmen berdasarkan Sosial
Economic Status (SES). SES tersebut dilihat dari segi monthly household expenditure atau
pengeluaran rumah tangga bulanan. Berikut ini pembagian kategori pemirsa oleh Nielsen:
- SES A1: pengeluaran per bulan di atas Rp 3.000.000
- SES A2: pengeluaran per bulan Rp 2.000.001 – Rp 3.000.000
- SES B: pengeluaran per bulan Rp 1.500.001 – Rp. 2.000.000
- SES C1: pengeluaran per bulan Rp 1.000.001 – Rp 1.500.000
- SES C2: pengeluaran per bulan Rp 700.001 – Rp 1.000.000
- SES D : pengeluaran per bulan Rp 500.001 – Rp 700.000
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
8
- SES E: pengeluaran per bulam kurang dari Rp 500.000
Segmentasi tersebut digunakan stasiun televisi dalam mengatur strategi pemasaran
(Day, 2011, diakses pada 1 Desember 2014 pukul 22.29). Stasiun televisi dapat menentukan
terlebih dahulu target audiens berdasarkan ketegorisasi di atas. Dengan begitu tayangan
televisi yang dibuat akan lebih terarah pada segmen tertentu sehingga meraih rating dan share
maksimal.
Hiperrealitas Televisi
Televisi telah mengkonstruksi realitas baru yang melampaui yang real, itulah yang
disebut hyper-real, realitas semu (Ibrahim, 2007). Hiperrealitas televisi merupakan kondisi
ketika khalayak terjebak dalam realitas semu, khalayak menganggap suatu kondisi-kondisi
dalam tayangan televisi merupakan sebuah kenyataan. Dengan kondisi seperti ini khalayak
akan mudah terpengaruhi serta menirukan adegan yang dilihat di televisi karena khalayak
merealisasikan adegan di televisi dalam kehidupan sehari-harinya.
Teori Hyperreality dikemukakan oleh Jean Baudrillard, seorang filsafat komunikasi
asal Prancis yang mempelajari postmodernisme. Menurut Baudrillard, kondisi hiperrealitas
terjadi akibat dari hilangnya makna, ideologi, dan realitas itu sendiri yang kemudian
digantikan oleh realitas baru hasil olahan konstruksi fantasi, pikiran, dan imajinasi
(Baudrillard, 1983:142).
Ketika berada di kondisi hiperrealitas, konsumer diarahkan menuju ruang realitas baru
hasil pencampuran antara realita dengan imajinasi, fantasi, dan interpretasi. Dengan begitu,
konsumer tidak lagi dapat membedakan mana realitas yang asli dan mana yang merupakan
realitas baru sebagai hasil pencampuran fantasi tadi.
Hiperrealitas dapat terjadi ketika penonton menyaksikan acara televisi maupun film.
Saat menonton, khalayak menyaksikan dan menyerap informasi dari televisi dengan seksama
sehingga kadang terbawa emosinya ke dalam cerita. Pada saat khalayak terbawa suasana
cerita televisi tersebut, khalayak berarti sedang terjebak dalam ‘realita di televisi’. Ketika
acara televisi atau film usai, penonton mulai terlepas dari ‘realita televisi’ ke realita
sebenarnya. Namun terkadang, khalayak merefleksikan kejadian-kejadian yang ada di televisi
atau film tersebut ke dalam kehidupan nyatanya. Kondisi seperti itulah yang merupakan
kondisi hiperrealitas, dimana khalayak tidak dapat membedakan lagi realitas dalam imajinasi
dengan realitas asli.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
9
Contoh yang sering terjadi adalah saat menonton komedi, khalayak ikut tertawa seakan
ikut mengalami kejadian lucu yang terdapat di layar kaca. Begitu pula ketika menonton film
sedih, khalayak ikut menangis. Air mata yang dikeluarkan khalayak berada di dunia nyata,
menangisi ‘realita’ yang ada di televisi, ‘realita’ yang tidak benar-benar terjadi. Bahkan
menurut Arthur K dan David Cook dalam buku “The Post-modern Scene: Exremental
Culture & Hyper-Aesthetics” televisi telah berkembang menjadi realitas kedua (dalam jurnal
Martadi, 2003:84). Maksud pernyataan ini adalah realita yang ditampilkan dalam televisi
sudah benar-benar meleburkan realita kehidupan sehari-hari dengan cerita imajinasi dan
fantasi. Peleburan ini tertancap di kepala penontonnya dan kemudian diaplikasikan pada
kehidupan sehari-hari sehingga terlihat seolah-olah konstruksi realita dari televisi telah
menjadi realita kehidupan sebenarnya.
Bahaya dari kondisi hiperrealitas televisi ini adalah jika realita televisi yang
terkonstruksi di masyarakat adalah konten-konten negatif. Misalnya dalam tayangan sinetron
ditampilkan pelajar yang menggunakan seragam menggunakan make up tebal dengan
aksesoris berlebihan, rok pendek di atas lutut, dan dalam tayangan tersebut muncul makna
pelajar yang ‘gaul’ adalah pelajar yang seperti itu. Penonton yangterjebak dalam kondisi
hiperralitas cenderung akan melakukan tindakan peniruan terhadap apa yang ia saksikan.
Pemaknaan penonton terhadap pelajar ‘gaul’ tersebut rawan ditiru dan diaplikasikan pada
kehidupan sehari-hari dan membuat budaya pelajar ‘gaul’ menjadi tidak sesuai dengan
norma-norma sosial yang berlaku di Indonesia. Untuk menghindari bahaya hiperrealitas
tersebut, khalayak butuh kemampuan agar dapat tetap sadar bahwa realita yang dibentuk oleh
televisi bukanlah realita sebenarnya. Salah satu cara agar tetap sadar adalah menonton secara
cerdas dengan memiliki pengetahuan tentang media. Penanaman kemampuan tersebut dapat
dilakukan dengan mempelajari literasi media.
Regulasi Televisi di Indonesia
Sistem penyiaran di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002.
Dalam UU ini dijelaskan bahwa penyiaran di Indonesia berfungsi sebagai media komunikasi
yang menyediakan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, dan perekat sosial. Penyiaran
di Indonesia juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
meningkatkan moralitas bangsa, serta fungsi perekonomian dan budaya. Fungsi-fungsi yang
disebutkan dalam Undang-Undang bermakna sangat pro terhadap rakyat sebagai khalayak.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
10
Dari Undang-Undang ini pula terbentuk suatu lembaga independen negara di bidang
pengawas siaran, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI memiliki wewenang untuk
menyusun Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Pedoman ini
berisi mengenai ketentuan-ketentuan stasiun televisi maupun radio dalam melaksanakan
penyebaran konten siaran, mulai dari perizinan, konten, hingga sanksi yang diberikan. Selain
itu, KPI juga memiliki wewenang untuk mengawasi isi siaran televisi, baik nasional melalui
KPI Pusat, maupun daerah melalui KPI Daerah.
Idealnya, televisi yang melanggar ketentuan dalam P3SPS akan mendapatkan teguran
maupun sanksi yang dapat berupa pelarangan penyiaran dari KPI. Namun pada
pelaksanaannya KPI tidak dapat secara tegas memberikan tindakan bagi stasiun TV
pelanggar P3SPS. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya dualisme wewenang dalam
sistem siaran Indonesia. Pihak pertama adalah pemerintah melalui Kementerian Komunikasi
dan Infornasi, dan yang kedua adalah KPI sebagai lembaga independen. Terdapat beberapa
wewenang yang tumpang tindih antara pemerintah dan KPI sehingga terdapat ketidakjelasan
mengenai siapa yang seharusnya berwenang menindak stasiun TV pelanggar. Karena
ketidakjelasan tersebut, saat ini KPI hanya dapat bertindak sebagai pengawas dan hanya
memberi teguran pada stasiun TV yang terlihat melakukan pelanggaran.
Longgarnya pengawasan dan peraturan sistem penyiaran di Indonesia membuat pihak
kreator di industri televisi dapat dengan bebas membuat konten tayangan televisi tanpa
mengindahkan nilai-nilai yang tercantum dalam UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002.
Kelonggaran peraturan ini membuat industri televisi tidak lagi memikirkan nilai-nilai
kepentingan publik seperti yang seharusnya dijunjung tinggi. Sebaliknya, mereka seperti
hanya mementingkan kepentingan bisnis. Yang diutamakan adalah tingginya angka rating
dan share yang akan memberikan banyak pengiklan. Ketika hal tersebut terjadi, maka
regulasi sistem siaran di Indonesia tidak dapat diharapkan untuk mencegah terjadinya
dampak-dampak negatif dari hiperrealitas televisi.
Literasi Media
Konsep literasi media telah dirumuskan oleh beberapa ahli dalam National Leadership
on Media Literacy tahun 1992 bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mengakses,
menganalisis, dan mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan media. Menurut James W.
Potter dalam bukunya “Media Literacy”, literasi media adalah sekumpulan perspektif yang
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
11
secara aktif membuka diri sendiri terhadap media untuk menginterpretasikan makna dalam
pesan yang kita hadapi.
“Media Literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to
the media to interpret the meaning of the messages we encounter“ (Potter,
2005:14).
Dari kedua definisi konsep tersebut, titik berat literasi media adalah dalam
memahami pesan yang disampaikan oleh media massa. Tujuan dari memahami isi pesan
media itu sendiri adalah untuk membangun kesadaran atas efek media massa terhadap
masyarakat (audiens). Selain itu literasi media juga membuat khalayak tidak serta merta
menelan bulat-bulat apa yang dikatakan atau disajikan oleh media, melainkan
menganalisisnya terlebih dahulu, melihat tujuan komersil maupun politik dibaliknya, serta
melihat siapa penanggung jawab dari pesan media tersebut (Setiaman, Mulyana, 2008)
Potter dalam bukunya “Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach”
menuliskan bahwa terdapat tujuh kemampuan dalam literasi media atau The Seven Skill of
Media Literacy, yaitu:
1. Analyze
Kemampuan khalayak untuk menganalisis isi media berdasarkan konsep-konsep ilmu
pengetahuan. Dengan begitu khalayak dapat membandingkan informasi dari media
apakah sesuai dengan konsep ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Khalayak tidak
menelan begitu saja informasi yang diberikan media melainkan melakukan analisis
sebagai proses verifikasi informasi yang ada. Misalnya dalam program talkshow yang
membicarakan cara menurunkan berat badan, khalayak harus melakukan analisis dengan
membandingkan informasi cara penurunan berat badan yang diberikan oleh media
dengan konsep-konsep dari ilmu kedokteran dan gizi.
2. Evaluate
Setelah melakukan analisis, kemampuan berikutnya adalah mengevaluasi informasi dari
media. Mengevaluasi adalah kemampuan khalayak untuk menilai informasi dari media
dengan menghubungkan informasi tersebut dengan dirinya. Dengan penilaian tersebut
khalayak dapat menentukan apakah suatu informasi bersifat penting dan layak untuk
menjadi sebuah konsumsi bagi publik.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
12
3. Grouping
Grouping adalah kemampuan khalayak untuk mengelompokan informasi dari media
dengan mengumpulkan beberapa unsur yang sama dalam beberapa cara.
4. Induction
Kemampuan berpikir khalayak dalam menghadapi paparan informasi di media yang
bersifat khusus kemudian disimpulkan dengan argumen yang bersifat umum.
5. Deduction
Kemampuan berpikir khalayak dalam menggunakan paparan informasi di media yang
kemudian dijabarkan ke dalam informasi-informasi yang lebih khusus.
6. Synthesis
Kemampuan khalayak untuk menggabungkan unsur-unsur menjadi struktur yang baru.
7. Abstracting
Kemampuan untuk me-review esensi isi pesan dari media.
Sedangkan Center for Media Literacy (2003) juga menyebutkan beberapa unsur
kemampuan literasi media, yaitu:
1. Kritik Media
Kemampuan khalayak untuk memahami isu-isu dan masalah sosial yang terdapat dalam
media serta mengevaluasi kualitas media secara sistematis.
2. Produksi Media
Tidak hanya mengkritik saja, namun literasi media melingkupi kemampuan khalayak
untuk membuat media yang dapat menjadi media alternatif dari yang sudah ada sesuai
dengan evaluasi kritik khalayak.
3. Mengajarkan tentang media
Kemampuan khalayak untuk memberikan ilmu tentang pemakaian media kepada
masyarakat lain agar bisa juga berpikir kritis dalam memilih media yang dikonsumsi.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
13
4. Mengeksplorasi sistem pembuatan media
Kemampuan khalayak untuk mencari tahu media dari balik layar mulai dari sistem, serta
keuntungan yang diraih dalam produksi media.
5. Mengeksplorasi berbagai posisi
Kemampuan identifikasi dampak media. Khalayak bisa mengidentifikasi dampak baik
maupun buruk dari suatu media, sehingga bisa memilih media apa yang baik untuk
dikonsumsi dan mana yang harus dihindari.
6. Berpikir kritis
Kemampuan khalayak untuk berpikir kritis terhadap isi media.
Dari kedua paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi media
adalah kemampuan untuk menganalisa dan mengevaluasi media baik dari segi konten, siapa
pembuat media tersebut, bagaimana cara pembuatannya, kemudian menilai dampak dan
keuntungan keseluruhan media tersebut terhadap khalayak. Dengan kemampuan literasi
media, khalayak jadi mampu untuk melakukan pemilihan media secara kritis dan memilih
media yang ‘sehat’
Aspek-Aspek Literasi Media
Aspek literasi media menurut Yosal dalam bukunya “Literasi Media: Apa, Mengapa,
Bagaimana” adalah:
1. Pengetahuan tentang Media Massa
Terdapat banyak hal yang perlu diketahui khalayak tentang media massa dalam
mengembangkan kemampuan literasi media, di antaranya:
a. Jenis Media
Setidaknya terdapat 3 jenis media massa menurut Yosal, yaitu:
- Media Massa Cetak, misalnya: koran, majalah, tabloid, newsletter, buletin, dan
lain-lain
- Media Massa Elektronik, yaitu media yang disebarluaskan melalui audio, visual,
maupun audio visual, misalnya: televisi, radio, film
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
14
- Media Online, media yang sedang marak digunakan, yaitu media yang
disebarluaskan melalui teknologi internet.
b. Fungsi Media
Tidak berbeda jauh dengan fungsi media menurut Charles R. Wright, Yosal juga
menjabarkan 4 fungsi media, yaitu:
- Fungsi pengawasan
Yaitu media berfungsi untuk memberikan informasi serta peringatan mengenai
kejadian yang terjadi di lingkungan masyarakat
- Fungsi korelasi / interpretasi
Media berfungsi untuk menginterpretasi dan menghubungkan kejadian-kejadian
yang terjadi di masyarakat
- Fungsi transmisi
Media berfungsi untuk menurunkan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi yang
lain
- Fungsi hiburan
Media berfungsi sebagai sarana hiburan khalayak. Fungsi hiburan saat ini
mendominasi media televisi di Indonesia.
c. Kepemilikan Media
Dalam literasi media khalayak harus mengetahui siapa yang ada di balik suatu
media. Pemilik media berperan besar dalam menentukan konten media.
Keberagaman pemilik media juga merupakan hal yang penting dalam
membangun media yang berkualitas bagi masyarakat. Bahkan unsur Diversity of
Ownership ini tertulis dalam UU penyiaran No.32 tahun 2002. Keragaman
kepemilikian media ini dimaksudkan untuk menghindari praktik monopoli
media. Selain itu, keberagaman media sangat mempengaruhi keberagaman
informasi atau Diversity of Content yang juga dibutuhkan masyarakat.
d. Konsekuensi pemilihan media pada isi pesan
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
15
Media memiliki dampak baik dan dampak buruk, pengetahuan tentang dampak-
dampak tersebut merupakan salah satu aspek literasi media yang harus
dipelajari oleh khalayak.
Pembahasan
Literasi Media TV di Indonesia
Di Indonesia literasi media berkembang mulai tahun 1991. Berawal dari
kekhawatiran beberapa kalangan, seperti orang tua, LSM, lingkungan akademisi, dan lain-
lain. Pada tahun 1991 diadakan sebuah workhsop oleh Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia mengenai televisi dan anak-anak. Dalam workshop ini muncul deklarasi mengenai
bahaya yang dapat ditimbulkan televisi bagi anak-anak. Selain bahaya televisi, di seminar-
seminar lainnya kemudian banyak dibahas mengenai cara orang tua menangani dampak
bahaya televisi tersebut.
Di tahun 2000-an kegiatan literasi media di Indonesia dilakukan melalui berbagai
kegiatan seminar, forum, roadshow, dan sosialiasi baik ke sekolah-sekolah maupun
masyarakat. Perkembangan literasi media kemudian mulai dicanangkan menjadi pelajaran
wajib di sekolah. Di tahun 2002 rencana tersebut diterapkan pada SDN Percontohan Johar
Baru Jakarta oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sayangnya penerapan literasi
media ini belum dikembangkan ke sekolah-sekolah yang lain.
Kabar gembira datang di tahun ini. Saat ini literasi media telah diimplementasikan
dalam kurikulum 2013 oleh Kemendikbud. Pada pelatihan kurikulum 2013, guru-guru telah
diberikan materi mengenai literasi media. Penerapan literasi media di kurikulum 2013 ini di
aplikasikan pada jenjang SMA. Literasi media menjadi salah satu mata pelajaran pilihan dan
belum tentu sekolah akan mengambil literasi media sebagai mata pelajaran pilihannya.
Semua itu bergantung dari kesiapan sekolah itu sendiri, baik dari guru, murid, dan media
pembelajarannya. Hasil implementasi literasi media di kurikulum 2013 belum terlihat apakah
berjalan baik atau tidak karena kurikulum ini baru berjalan belum lama ini.
Selain dari sekolah, literasi media dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
dengan menerapkan aspek-aspek literasi media yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk
memiliki kemampuan melek media, hal mendasar yang diperlukan khalayak adalah
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
16
kepedulian masyarakat atas dampak yang dapat ditimbulkan oleh media. Dengan kesadaran
tersebut kemudian dapat terbangun rasa ingin tahu tentang media. Dari situ, mulailah
khalayak dapat melakukan analisis mengenai latar belakang media, latar belakang suatu
program televisi, fungsi media yang sebenarnya, dan seluruh informasi lainnya tentang media
termasuk hak-hak publik sebagai konsumen media.
Jika publik telah mengetahui hak-haknya sebagai konsumen media, publik akan
lebih menjadi peduli untuk menuntut informasi yang lebih baik dari media. Dengan modal
dasar menganalisis media, khalayak telah mendapatkan pengetahuan tentang media, dari
pengetahuan ini kemudian khalayak dapat melakukan evaluasi terhadap isi siaran sehingga
dapat lebih bijak untuk memilih konten media.
Meningkatnya kemampuan khalayak dalam literasi media, akan membentuk
perubahan selera penonton dari yang awalnya senang ‘dibodohi’ oleh tayangan hiburan
menjadi lebih selektif dalam memilih tayangan televisi. Dengan perubahan selera tersebut,
televisi secara otomatis akan mengikuti perubahan yang diinginkan oleh penontonnya.
Perubahan positif dari penonton akan berdampak perubahan positif pula pada konten televisi.
Pengetahuan khalayak tentang pemilik media juga penting. Terutama dalam menilai
suatu berita yang muncul di media. Dengan mengetahui pemilik media, khalayak dapat
membedakan konten berita yang dibuat untuk membentuk pencitraan baik bagi pemilik
medianya, berita yang dibuat untuk menjatuhkan lawan politik pemilik medianya, atau berita
yang memang benar-benar sebagai bentuk informasi terhadap publik tanpa terkait oleh
kepentingan pihak manapun.
Membentuk opini publik memang salah satu fungsi media, namun sebagai khalayak
yang cerdas kita tidak boleh tertipu begitu saja oleh media yang tidak independen.
Keberpihakan media sebenarnya bukan hal baru di tanah air. Sejak zaman pra kemerdekaan
sudah banyak muncul media yang dibentuk oleh partai tertentu. Namun aturan akan berbeda
jika media yang memiliki kepentingan oleh pihak tertentu adalah media yang berdiri dari
frekuensi milik publik, yaitu media penyiaran. Media penyiaran (televisi dan radio) tidak
boleh berpihak dengan kekuatan manapun kecuali kekuatan dan kepentingan publik, karena
media televisi berdiri di atas hak publik. Maka dari itu, media penyiaran hanya bertanggung
jawab atas kebutuhan-kebutuhan publik atas informasi yang membangun publik menjadi
lebih baik.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
17
Regulasi Siaran Televisi dan Hiperrealitas
Selain peningkatan kualitas diri dari khalayak melalui literasi media, masalah
penyiaran di Indonesia dapat diatasi dengan penegakan regulasi siaran TV. Saat ini Undang-
Undang yang berlaku dalam sistem siaran Indonesia adalah UU Penyiaran No.32 tahun 2002.
Undang-undang ini merupakan hasil perjuangan di era reformasi sebagai bentuk usaha
penegakan demokratisasi penyiaran.
Melalui UU ini juga dilahirkan sebuah lembaga negara independen yang bertugas
untuk mengawasi isi siaran, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI berhasil
merumuskan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai
panduan peraturan bagi lembaga penyiaran di Indonesia. Di dalam P3SPS terdapat berbagai
peraturan untuk lembaga penyiaran. Meskipun begitu KPI saat ini tidak tegas dalam
mengambil tindakan terhadap lembaga penyiaran yang melanggar P3SPS.
P3SPS berisi peraturan, larangan, dan sanksi bagi lembaga penyiaran. Terdapat
banyak hal yang diatur, misalnya penggolongan umur penonton, isi siaran berkaitan dengan
SARA, hal-hal yang mistik dalam isi siaran, etika jurnalisme, etika mewawancarai
narasumber, sensor, tayangan iklan rokok, dan masih banyak lagi. Sebenarnya isi P3SPS ini
sudah cukup detail dan dapat mencegah isi siaran yang tidak baik, namun pada
pelaksanaannya KPI tidak bisa menindak dengan tegas stasiun televisi yang melanggar
P3SPS ini.
Tindakan yang tegas dari pihak regulator sangat dibutuhkan demi meningkatnya
kualitas penyiaran televisi di Indonesia. Peraturan yang tegas dapat membentuk sistem
penyiaran yang sehat, sehingga stasiun televisi akan menayangkan tayangan yang bermanfaat
dan edukatif untuk penonton. Dengan begitu, televisi akan membantu menanamkan nilai-nilai
yang baik untuk penontonnya lewat frekuensi publik. Dampak buruk dari hiperrealitas pun
dapat terhindarkan.
Sayangnya, sistem penyiaran di Indonesia masih sangat buruk dari segi penegakann
hukum. Regulasi yang ditetapkan tidak berpengaruh besar pada peningkatan kualitas konten
televisi. Terkesan terdapat dualisme pihak regulator sistem siaran di Indonesia, pertama
pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi dan yang kedua lembaga
independen Komisi Penyiaran Indonesia. Ketidakjelasan siapa pihak yang berwenang
menindak industri penyiaran ‘nakal’ membuat peraturan baik di UU penyiaran maupun
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
18
P3SPS menjadi seakan tidak berlaku bagi pihak industri. Dengan begitu dampak-dampak
hiperrelitas dari televisi akan tetap terjadi kepada khalayak. Ketika regulator dari negara
sudah tidak dapat diharapkan, maka sudah saatnya khalayak sendiri yang belajar untuk
meningkatkan kemampuan literasi media sehingga dapat menjadi khalayak yang cerdas.
Hiperrealitas Televisi dan Literasi Media
Kondisi hiperrealitas oleh tayangan televisi dapat dialami oleh penonton yang kurang
memiliki wawasan mengenai media. Jenis tayangan yang cukup banyak menjebak khalayak
ke dalam hiperrealitas adalah tayangan sinetron dan reality show. Kedua jenis tayangan ini
menampilkan kedekatan dengan penonton, sehingga penonton seringkali menempatkan
dirinya pada tokoh atau karakter di televisi (Chin-Yi, 2007:33).
Salah satu dampak dari kondisi hiperrealitas adalah mulai terlihat adanya perubahan
gaya hidup masyarakat menjadi menyerupai gaya hidup dalam cerita di televisi. Saat ini saja
sudah terlihat perubahan gaya siswa SMA yang dulu dan sekarang. Siswa SMA sekarang
banyak yang bergaya lebih dewasa dari umurnya. Penggunaan make up oleh siswa SMA
bukan tidak mungkin karena peniruan gaya siswa SMA yang dilihat di televisi. Dampak lain
dari kondisi hiperrealitas televisi adalah perubahan gaya hidup khalayak. Secara ekonomi
khalayak akan membeli suatu barang bukan berdasarkan kebutuhannya lagi melainkan untuk
mengikuti gaya hidup yang sedang ia tiru dari media (Baudrillard, 2004).
Bertambahnya stasiun televisi menyebabkan menjamurnya program acara televisi yang
bermunculan. Khalayak disuguhkan berbagai acara hiburan yang menarik oleh stasiun
televisi. Setiap program di stasiun TV pun berlomba-lomba untuk membuat program yang
menarik minat penonton untuk meningkatkan rating dan share. Rating telah menjadi “Tuhan”
bagi stasiun televisi. Bertahan atau tidaknya suatu program di stasiun televisi sangat
bergantung pada persentase rating yang diraih oleh acara tersebut.
Kualitas siaran yang rendah juga dapat dilihat dari program drama di televisi.
Kebanyakan sinetron maupun FTV di Indonesia mengandung nilai dan norma sosial yang
tidak mendidik dan berlebihan. Misalnya tayangan sinetron yang memperlihatkan kalangan
anak sekolah SMA dengan pakaian seragam yang ketat, full make up, bergaya berlebihan,
dengan dialog yang tidak terlepas dari masalah percintaan. Salah satunya sinetron yang saat
ini meraih rating tertinggi yaitu “Ganteng-Ganteng Serigala”.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
19
Sinetron “Ganteng-Ganteng Serigala (GGS)” meraih rating tertinggi pada periode 4
September 2014 dengan perolehan TVR 6,8 (Nielsen Media Research periode 31 Agustus-6
September 2014). Konten dalam sinetron ini sedikit banyak membentuk konstruksi di
masyarakat mengenai kehidupan remaja. Sinetron GGS merupakan cerita dengan latar
belakang remaja sekolah yang memiliki konflik percintaan antara manusia, vampire, dan
manusia serigala. Dalam penayangannya sinetron ini menampilkan berbagai adegan murid-
murid SMA yang kurang pantas dilakukan dan ditiru oleh pelajar lain, mulai dari berkelahi,
cium pipi lawan jenis, berpelukan, bahkan sampai ada adegan memakan binatang hidup-
hidup.
Contoh adegan dalam sinetron tersebut rentan untuk ditirukan oleh khalayaknya.
Seperti dalam Teori Pembelajaran Sosial (Bandura, 1994) bahwa individu belajar melakukan
sesuatu melalui sebuah pengamatan, salah satunya pengamatan melalui media, termasuk di
antaranya media televisi. Dengan sebuah pengamatan tersebut khalayak berpotensi untuk
meniru adegan dalam program televisi terlebih lagi jika tidak diseimbangkan dengan
kemampuan literasi media. Ditambah lagi target audiens sinetron GGS adalah remaja yang
memiliki tingkat emosi labil sehingga dikhawatirkan lebih mudah meniru adegan dalam
televisi. Keadaan tersebut juga mulai dikhawatirkan oleh orang tua, seperti yang tertera dalam
artikel di merdeka.com yang berjudul “Anak saya jadi genit gara-gara nonton Ganteng-
ganteng Serigala” (Ningrum, 2014, diakses pada 2 Desember 2014 pukul 23:42). Artikel
tersebut menyebutkan orang tua yang khawatir dengan sikap peniruan anaknya dari sinetron
GGS yang terlalu mengekspos kisah cinta remaja secara berlebihan. Begitu banyaknya
adegan yang tidak edukatif dan rawan ditiru oleh khalayak, KPI sudah menegur SCTV selaku
stasiun TV yang menayangkan.
Tidak hanya program drama, program berita dalam televisi di Indonesia juga masih
ditemukan banyak kekurangan. Terutama dalam masalah politik dan kekuasaan. Pemberitaan
di beberapa stasiun televisi di Indonesia memang terlihat kurang netral. Keberpihakan stasiun
televisi terhadap partai tertentu yang diusung oleh pemilik stasiun TV menjadi salah satu
masalah besar penyiaran di Indonesia. Hal ini semakin jelas terlihat saat pelaksanaan
Pemilihan Presiden tahun 2014. Kedua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden masing-
masing memiliki dukungan dari pemilik media. Alhasil terdapat dua kubu media yang saling
menyerang dan memberitakan pasangan Capres-Cawapres secara tidak seimbang.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
20
Saking seringnya media memberitakan perseteruan kedua kubu Capres-Cawapres,
masyarakat juga seakan terpecah menjadi dua kubu dan ikut saling menyerang lewat media
sosial. Fenomena ini memperlihatkan bahwa sedemikian besar efek media sehingga bisa
membawa publik ikut terbawa secara emosional dan terbawa arus agenda setting media.
Segelintir masalah industri televisi di tanah air tersebut dapat dikurangi dampak
buruknya terhadap khalayak dengan meningkatkan kemampuan khalayak dalam memilih
media yang aman dikonsumsi. Pengembangan kemampuan khalayak tersebut adalah dengan
meningkatkan kualitas diri dalam bidang literasi media atau melek media. Dengan penerapan
literasi media seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, khalayak dapat lebih cerdas dalam
menentukan sikap terhadap tayangan televisi.
Literasi media membuat khalayak menonton televisi secara sadar dan tetap berpikiran
logis. Dengan begitu, khalayak tidak menyerap semua informasi dari media begitu saja,
melainkan dengan menganalisisnya terlebih dahulu, melihat latar belakang media yang
sedang disaksikan, sehingga akhirnya dapat menyimpulkan informasi dari media secara lebih
bijak dan cerdas.
Selain pengetahuan tentang media salah satu yang penting untuk diketahui adalah
undang-undang dan peraturan tentang media dan penyiaran. Pengetahuan khalayak terhadap
hal ini bisa lebih membukakan mata terhadap konten seperti apa yang sebenarnya layak untuk
diproduksi oleh media. Dengan pengetahuan ini juga khalayak dapat lebih aware untuk
segera melaporkan konten siaran yang tidak baik atau melanggar kode etik penyiaran kepada
Komisi Penyiaran Indonesia.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
21
Penutup
Literasi media merupakan salah satu kemampuan yang wajib dimiliki khalayak
dalam menghadapi banjirnya informasi dan narasi dari media televisi sekarang ini. Literasi
media mencegah khalayak tertipu oleh tayangan-tayangan di televisi. Dengan literasi media
khalayak akan menjadi konsumen cerdas yang bisa memilih mana program yang baik dan
mana program yang buruk serta tidak terjebak dalam realitas semu yang dibentuk oleh media
televisi.
Di atas semua itu, literasi media tidak hanya menjadi benteng bagi penonton untuk
menyaring media yang baik dan buruk, tapi literasi media merupakan bentuk gerakan publik
yang pada dasarnya memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang layak dari sebuah
media yang berdiri di atas frekuensi milik publik.
Selain itu, regulasi yang jelas dan tegas juga perlu diterapkan dalam sistem
penyiaran di Indonesia. Hal ini sedikit banyak akan mencegah industri televisi dalam
membuat tayangan yang tidak pantas diterima oleh publik. Jika tidak, pemodal televisi tidak
akan pernah sadar akan pentingnya membuat program-program bermanfaat untuk publik.
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
22
Daftar Pustaka
Buku
Iriantara, Y. and R. K. Soenendar (2010). Literasi Media: Apa, Mengapa, Bagaimana,
Simbiosa Rekatama Media.
Potter, W. J. (2004). Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach, SAGE Publications.
Ibrahim, I. S. (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan
Mediascape di Indonesia Kontemporer, Jalasutra.
Rianto, Puji dkk. (2014). Kepemilikan dan Intervensi Siaran: Perampasan Hak Publik,
Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang. Yayasan Tifa dan PR2Media.
Jurnal
Arifianto, S. (2013). "Literasi Media dan Pemberdayaan Peran Kearifan. Lokal Masyarakat."
Jurnal IPTEK KOM.[Internet].[diunduh tanggal 3 Juli 2014 pukul 12:56].
Kriyantono, R. (2007). "Pemberdayaan Konsumen Televisi melalui Ketrampilan Media
Literacy dan Penegakan Regulasi Penyiaran." Jurnal Kommti BPPI Surabaya. Diunduh
tanggal 3 Juli 2014 pukul 12:53
Pratiwi, P. B. (2012). Model Bimbingan Literasi Mediatelevisi Melalui Iklan Untuk Siswa
Kelas Vii Smp Negeri 2 Pabelan Tahun Ajaran 2011/2012, Program Studi Bimbingan dan
Konseling FKIP-UKSW. Diunduh pada 8 Agustus 2014 pukul 17:16
Chin-Yi, Chung. (2007). Hyperreality, the Question of Agency, and the Phenomenon of
Reality Television. Nebula Journal. Diunduh tanggal 30 November 2014 pukul 18:47
Martadi. (2003). Hiper-Realitas Visual. Jurnal Nirmana Vol.5. Diunduh tanggal 30
November 2014 pukul 21:59
Dokumen Pemerintah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
Situs
Gauden Sangkasa. “Jean Baudrillard: Hiperrealitas dan Simulacra” dalam
http://gaudensangkasa.wordpress.com/komunikasi/filsafat-ilmu-komunikasi/jean-baudrillard-
hiperrealitas-dan-simulacra/ diakses pada 19 November 2014 pukul 22:17
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014
23
Gilang Iskandar (Desember 2013). “Realitas Industri Televisi Komersil Indonesia (11 Mei
2014)” dalam http://www.gilang-iskandar.com/2013/12/realitas-industri-televisi-komersil-
indonesia-11-mei-2004/ diakses pada 19 November 2014 pukul 22:39
Miladinne Lubis (Juli 2014). “Nielsen: Pertumbuhan Belanja Iklan Berjalan Perlahan” dalam
(http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-pertumbuhan-belanja-iklan-berjalan-
perlahan.html diakses pada 19 November pukul 23:19
Asnil Bambani (Agustus 2013). “Nielsen: Televisi Kuasai 68% Belanja Iklan dalam
http://industri.kontan.co.id/news/nielsen-televisi-kuasai-68-belanja-iklan diakses pada 19
November 2014 pukul 21:09
Marina Silalahi (Maret 2013). “Pemirsa Indonesia Habiskan 197 Jam Untuk Menonton
Sinetron” dalam http://mix.co.id/brand-insight/research/pemirsa-indonesia-habiskan-197-
jam-untuk-menonton-sinetron/ diakses pada 19 November 2014 pukul 22:01
B. Guntarto (Februari 2011). “Perkembangan Literasi Media di Indonesia” dalam
http://www.kidia.org/news/tahun/2011/bulan/02/tanggal/09/id/187/ diakses pada 17
November 2014 pukul 22:20
Arinto Tri Wibowo (Agustus 2010). “Siapa Untung Besar di Bisnis Televisi” dalam
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/172182-siapa-untung-besar-di-bisnis-televisi diakses
pada 19 November pukul 22:18
JON (September 2009). “Ratusan Stasiun TV Lokal di Jabar Antre Dapat Izin dalam
http://nasional.kompas.com/read/2009/09/29/0353533/Ratusan.Stasiun.TV.Lokal.di.Jabar.An
tre.Dapat.Izin diakses pada 19 November pukul 23:01
Tribunn News (Juli 2013). “Pertumbuhan Belanja Iklan Bersih Viva Tertinggi” dalam
http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/07/25/pertumbuhan-belanja-iklan-bersih-viva-
tertinggi diakses pada 19 November pukul 23:04
Ririn Indriani (April 2012). “Kasus Anak Bunuh Diri, Akibat Tayangan TV” dalam
http://www.beritasatu.com/keluarga/42564-kasus-anak-bunuh-diri-akibat-tayangan-tv.html
(diakses pada 30 November 2014 pukul 20:40)
Tempo.co (Maret, 2013). “Acara TV Ini Paling Digemari Penonton Indonesia” dalam
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/06/090465467/Acara-TV-Ini-Paling-Digemari-
Penonton-Indonesia (diakses pada 30 November 2014 pukul 19:45)
Desi Aditia Ningrum (12 Oktober 2014). “Anak Saya Jadi Genit Gara-Gara Nonton Ganteng-
Ganteng Serigala” dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/anak-saya-jadi-genit-gara-gara-
nonton-ganteng-ganteng-serigala.html (diakses pada 2 Desember 2014 pukul 23:42)
Literasi Media..., Rina Nur Aufa Arifin, FISIP UI, 2014