mitigasi gangguan simpai (p resbitys melalophos) dalam ...digilib.unila.ac.id/25953/16/skripsi tanpa...

56
MITIGASI GANGGUAN SIMPAI (Presbitys melalophos) DALAM KERUSAKAN AGROFORESTRI DI HUTAN LINDUNG REG 25 PEMATANG TANGGANG KELUMBAYAN TANGGAMUS Skripsi Oleh ZULFATUN NASICHAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

Upload: others

Post on 28-Jan-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MITIGASI GANGGUAN SIMPAI (Presbitys melalophos) DALAM KERUSAKANAGROFORESTRI DI HUTAN LINDUNG REG 25 PEMATANG TANGGANG

KELUMBAYAN TANGGAMUS

Skripsi

Oleh

ZULFATUN NASICHAH

FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG2017

Zulfatun Nasichah

ABSTRAK

MITIGASI GANGGUAN SIMPAI (Presbitys melalophos) DALAMKERUSAKAN AGROFORESTRI DI HUTAN LINDUNG REG 25

PEMATANG TANGGANG KELUMBAYAN TANGGAMUS

Oleh

Zulfatun Nasichah

Salah satu isi dari Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 adalah mengatur izin

tentang bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan lahan hutan yang bukan blok

perlindungan secara lestari, misalnya dalam bentuk agroforestri. Dalam lahan

agroforestri Kawasan Hutan Reg 25 Pematang Tanggang Kelumbayan

Tanggamus terdapat gangguan satwa liar dilindungi yaitu simpai (Presbytis

melalophos). Aktivitas simpai mengganggu agroforestri yang dikelola oleh

masyarakat karena di areal ini terdapat banyak sumber pakan seperti daun muda

dan buah-buahan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis intensitas gangguan

simpai berdasarkan ruang aktivitas, jenis tanaman, waktu aktivitas dan

menganalisis upaya mitigasi terhadap kerusakan lahan agroforestri dengan

menggunakan metode observasi dan wawancara kepada masyarakat. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa intensitas gangguan simpai berdasarkan ruang

aktivitas adalah pada lahan agroforestri yang mempunyai sumber pakan simpai

yang cukup besar. Intensitas jenis tanaman yang dirusak adalah pisang dan kakao.

Zulfatun Nasichah

Intensitas waktu perjumpaan yang tinggi pada 05.00 – 07.45 WIB, pada siang hari

jarang sekali ditemukan dan dapat dijumpai kembali pada 16.00–17.30 WIB.

Upaya mitigasi yang dilakukan yaitu dengan cara mengusirnya atau dipindahkan.

Kata kunci: Agroforestri, Mitigasi, Presbytis melalophos, Simpai.

Zulfatun Nasichah

ABSTRACT

MITIGATION OF SIMPAI (Presbitys melalophos) DISTURBANCE ONAGROFORESTRY IN PROTECTION FOREST REG 25

PEMATANG TANGGANG KELUMBAYAN TANGGAMUS

By

Zulfatun Nasichah

One of the contents within the Government Regulation No. 6 Year 2007 is

regulating permissions on how communities can sustainably utilize forest land

exclude in protection blocks, for instance agroforestry. In agroforestry, Forest

Area Reg 25, Pematang Tanggang Kelumbayan Tanggamus there is a harassment

done by protected animal: simpai (Presbytis melalophos). The underlying

repercussions from this harassment particularly because agroforestry systems

which managed by the society contains food sources which simpai appeals, such

as juvenile leaves and fruits. Therefore, this study aimed to analyze the intensity

of disturbance based on activity range, type of crop, timing of activities and

analyze the mitigation effort through observation and interview methods. The

results shown that the highest disturbance done by simpai based on the activity

range is on agroforestry area where feed resources are quite large. While, type of

plants that being disturbs mostly; bananas and cocoa. In addition, the intensity of

Zulfatun Nasichah

encounter time predominantly at 5:00 to 7:45 pm, while in the afternoon it is hard

to find and found again at 16:00 to 17:30 pm. Mitigation effort mostly by cast out

the simpai or relocates it.

Key words: Agroforestry, Mitigation, Presbytis melalophos, Simpai.

MITIGASI GANGGUAN SIMPAI (Presbitys melalophos) DALAMKERUSAKAN AGROFORESTRI DI HUTAN LINDUNG REG 25

PEMATANG TANGGANG KELUMBAYAN TANGGAMUS

Oleh

ZULFATUN NASICHAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA KEHUTANAN

Pada

Jurusan KehutananFakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG2017

RIWAYAT HIDUP

pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Way Tenong pada tahun 2005 hingga

tamat pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Way Tenong dan menyelesaikannya pada tahun

2011. Pada tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk

Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tertulis.

Penulis aktif berorganisasi mulai pada tahun 2013 menjadi Anggota Utama

Himasylva (Himpunan Mahasiswa Kehutanan) Universitas Lampung. Penulis pernah

menjadi Anggota pengurus Bidang1 Rumah Tangga Himasylva 2013–2014,

Sekertaris Bidang1 Rumah Tangga Himasylva 2014-2015, Ketua Bidang1 Rumah

Tangga Himasylva 2015-2016, aktif mengikuti kegiatan Sylva Indonesia serta aktif

Dengan rahmat Allah SWT. Penulis dilahirkan di Gunung

Terang, Lampung Barat pada tanggal 1 Desember 1993

Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dari

pasangan Bapak Suparyoto dan Ibu Martiah. Jenjang

pendidikan penulis dimulai pada tahun 1999 di Sekolah

Dasar Negeri 1 Gunung Terang, kemudian melanjutkan

dalam kegiatan lingkungan di Forum Komunikasi Kader Konservasi Korda Lampung

(FK3I) 2013 – sekarang.

Pada bulan Agustus tahun 2015 penulis melakukan Praktek Umum (PU) selama ± 40

hari di KPH Kedu Selatan BKPH Ngadisono Jawa Tengah, Pada Januari 2016 penulis

melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Desa Wonorejo Kecamatan Penawar aji

Kabupaten Tulang Bawang selama ± 60 hari. Pada Agustus 2016 penulis mulai

melakukan penelitian di Hutan Lindung Reg 25 Pematang Tanggang Kelumbayan

Tanggamus.

Ku persembahkan kepada Kedua Orangtua ku Bapak Suparyoto dan

Ibu Martiah atas semua doa pada setiap langkahku dan

keberhasilanku. Kedua Adik kandungku Ellysa dan Shinta,

Kakek dan Nenek, Keluarga Besar ku Serta Almamaterku Jurusan

Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

SANWACANA

Asslamualaikum wr. wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Mitigasi Gangguan

Simpai Terhadap Kerusakan Agroforestri di Hutan Lindung Register 25

Pematang Tanggang Kabupaten Tanggamus Lampung” skripsi ini sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Shalawat dan salam penulis sampaikan

kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW, dengan harapan di hari akhir

akan mendapatkan syafaatnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan

oleh keterbatasan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang

membangun sangat diharapkan guna langkah penulis berikutnya yang lebih baik.

Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan skripsi ini akan

bermanfaat bagi pembaca.Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan

saran berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1) Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto M.S., selaku Pembimbing Pertama

2) Bapak Dr.Ir. Gunardi Djoko Winarno, M.Si., selaku Pembimbing Kedua

3) Bapak Dr. Arief Darmawan, S.Hut., M.Sc., selaku Penguji Skripsi

iii

4) Ibu Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

5) Bapak Prof.Dr. Ir. Irwan S. Banuwa, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

6) Seluruh Dosen Pengajar dan Staf Pegawai di Jurusan Kehutanan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan ilmunya selama

penulis menempuh pendidikan di Jurusan Kehutanan Universitas Lampung.

7) Kepada Kedua Orangtuaku Bapak Suparyoto dan Ibu Martiah tercinta yang

selalu menyelipkan namaku disetiap doanya , mendoakan setiap langkahku,

keberhasilanku, dan memberiku semangat serta motivasi. Serta adikku tercinta

Ellysa Khayatun Nufus dan Shinta Khoirunnisa, Kakek dan Nenek Suparmin

dan Sugiyanti serta Sumarno dan Suparti atas kasih sayang, doa dan motivasi

yang telah diberikan.

8) Saudara-saudariku seperjuangan di Himasylva (Gustafika, Rayi, Lukas,

Yustinus, Uut, Elva, Rita, Acong, Rangga, Bayu)

9) Saudara yang menemani selama proses penelitian dan pengambilan data

dilapangan (Bunga, Rayi, Erin, Uut, Elva, Bang jul, Bang win, Bang kiki,

Kamal, Putut, Riki, Hendra, Robby)

10) Keluarga kecilku di Bidang Rumah Tangga (Riki, Qori, Dita, Jojo, Mun,

Nidya, Rapik, Yanfa) yang selalu mendukung dan memberikan motivasi.

11) Seluruh keluarga besar Angkatan 2012 ‘EVESYL’ dan HIMASYLVA Unila

atas semua kebersamaan suka maupun duka “Salah Atau Benar Dia Tetap

Saudaraku Sesama Kehutanan Unila”

iv

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada

penulis, Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamualaikum wr. wb.

Bandar Lampung, 16 Februari 2017Penulis,

ZULFATUN NASICHAH

vi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... viii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 3

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 3

1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi .................................................................................... 6

2.2 Sejarah Primata ........................................................................... 7

2.3 Distribusi Simpai ....................................................................... 8

2.4 Status Konservasi ........................................................................ 10

2.5 Morfologi .................................................................................... 10

2.6 Habitat Simpai ............................................................................ 13

2.7 Aktivitas Simpai ........................................................................... 14

2.8 Perilaku Sosial ............................................................................. 15

2.9 Perilaku Komunikasi .................................................................... 16

2.10 Perilaku Seksual ............................................................................ 17

2.11 Perilaku Makan ............................................................................ 17

2.12 Populasi ........................................................................................ 18

2.13 Agroforestri .................................................................................. 20

2.14 Mitigasi ........................................................................................ 23

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi Penelitian ........................................................... 25

3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 26

3.3 Jenis Data ....................................................................................... 26

3.3.1 Data Primer ............................................................................ 26

3.3.2 Data Sekuder .......................................................................... 26

3.4 Batasan Penelitian .......................................................................... 26

3.5 Metode Pengambilan Data ............................................................. 27

vi

Halaman

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Kondisi Geografis ....................................................... 29

4.2 Topografi ...................................................................................... 29

4.3 Jenis Tanaman dan Hewan ........................................................... 30

4.4 Jumlah Penduduk .......................................................................... 30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Intensitas Simpai Berdasarkan Ruang Aktivitas .......................... 35

5.2 Intensitas Gangguan Simpai Berdasarkan Jenis Tanaman ........... 36

5.3 Intensitas Gangguan Simpai Berdasarkan Waktu Aktivitas ......... 39

5.4 Upaya Mitigasi .............................................................................. 40

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ...................................................................................... 42

6.2 Saran ............................................................................................ 42

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 43

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman1. Intensitas gangguan simpai berdasarkan ruang aktivitas ........................ 26

2. Intensitas gangguan simpai berdasarkan jenis tanaman.......................... 27

3. Tabel pengamatan jenis tanaman dan bagian manakah yangdirusak oleh simpai ................................................................................. 27

4. Tabel pengamatan biofisik ...................................................................... 28

5. Tabel penggunaan lahan di PekonNegeri................................................ 30

6. Jumlah penduduk Pekon Negeri berdasarkan umur................................ 31

7. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian................................... 32

8. Jumlah penduduk Pekon Negeri berdasarkan tingkatpendidikan............................................................................................... 32

9. Intensitas gangguan simpai berdasarkan waktu aktivitas ....................... 40

10. Upaya mitigasi ........................................................................................ 41

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman1. Diagram alir kerangka penelitian mitigasi gangguan simpai

terhadap kerusakan agroforestri ................................................................ 5

2. Peta persebaran simpai didunia ................................................................ 9

3. Peta persebaran simpai (Presbytis melalophos) ...................................... 9

4. Macam-macam Presbitys Spp ................................................................... 12

5. Peta lokasi penelitian ............................................................................... 25

6. Peta tutupan lahan, aktivitas simpai serta gangguan simpai di Reg25 Pematang Tanggang Kelumbayan Tanggamus.................................... 34

7. Persepsi masyarakat terhadap intensitas ruang aktivitas simpai............... 35

8. Peta Intensitas gangguan simpai ............................................................... 35

9. Pohon aktivitas simpai (Presbytis melalophos) ....................................... 36

10. Frekuensi tanaman yang dirusak .............................................................. 36

11. Frekuensi bagian yang dirusak ................................................................. 37

12. Tanda bekas makanan yang ditinggalkan oleh simpai............................. 37

13. Persepsi masyarakat terhadap jenis tanaman yang dirusak simpai ........... 38

14. Persepsi masyarakat terhadap jenis tanaman yang dirusak simpai ........... 38

15. Intensitas perjumpaan aktivitas simpai berdasarkan waktu (pagi,siang, sore). .............................................................................................. 39

16. Persepsi masyarakat terhadap intensitas kunjungan simpaiberdasarkan range waktu ( per 2 jam ) ..................................................... 39

17. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat untukmengurangi kerusakan oleh simpai........................................................... 40

ix

Gambar Halaman18. Persepsi masyarakat terhadap upaya mitigasi gangguan simpai............... 40

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan ragam jenis primata yang ada, 40

jenis primata tersebut ditemukan di Indonesia. Beberapa jenis di antaranya

berjumlah 24 merupakan satwa endemic yang hanya hidup di Negara ini.

Klasifikasi dari 40 jenis tersebut dikelompokkan kedalam 5 suku dan 9 marga

(Supriatna danWahyono, 2000).

Simpai (Presbytis melalophos) adalah salah satu monyet endemik Pulau

Sumatera. Primata dari famili cercopithecidae yang kerap disebut Simpai atau

Surili termasuk primata langka dan terancam punah. Simpai ditetapkan oleh

IUCN sebagai spesies endangered (terancam) (Raffles, 1821). Simpai terdiri dari

berbagai jenis seperti Presbytis aurata (Muller dan Schlegel, 1861), Presbytis

batuanus (Miller, 1903), Presbytis ferrugineus (Schlegel, 1876), Presbytis

flavimanus (Geoffroy, 1831), Presbytis fluviatilis (Chasen, 1940), Presbytis fusco-

murina (Elliot, 1906), Presbytis margae (Hooijer, 1948) dan Presbytis nobilis

(Gray, 1842).

Simpai sering dijumpai pada Kawasan Hutan Lindung Reg 25 Pematang

Tanggang, salah satunya adalah pada lahan agroforestri. Aktivitas simpai

dianggap menjadi ancaman bagi agroforestri yang dikelola oleh masyarakat

2

karena pada area ini terdapat banyak sumber pakan seperti daun muda dan buah-

buahan. Contoh kasus yang menjadi ancaman bagi masyarakat dibeberapa lokasi

akibat keberadaan satwa liar sebagai berikut.

1. Kerusakan lahan pertanian di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur pada

tahun 2011, masyarakat merasa terganggu dengan keluarnya Monyet ekor

panjang (Macaca fascicularis) ke lahan penduduk dengan merusak tanaman

masyarakat seperti buah, daun muda dan umbi muda (Heriyanto, 2011).

2. Kerusakan pada lahan jagung oleh monyet ekor panjang (M. fascicularis)

dengan merusak bagian batang hingga tumbang dan memakan buah jagung

yang masih muda selain itu juga memakan tanaman pisang serta sayuran

seperti kacang panjang. Kasus tersebut berdasarkan studi kasus di Desa

Timbang Jaya, Kabupaten Langkat, Taman Nasional Gunung Leuser pada

tahun 2012 (Wilda, 2012).

3. Kerusakan pada lahan pertanian di sekitar Taman Nasional Gunung Salak

tahun 2008. Tim pengamanan hutan swakarsa mengatakan bahwa ada

gangguan monyet ekor panjang (M. fascicularis) yang merusak daun muda,

kulit batang, buah hingga tanaman menjadi tumbang dan mati (Nijman, 2008).

4. Kerusakan pada lahan pertanian di Sluke Rembang 2012 babi hutan menyerang

tanaman pertanian berupa padi, umbi jalar dan singkong (Hardjowigeno, 2012).

5. Kerusakan lahan pertanian berupa tanaman pisang dari buah, batang hingga

buah serta merusak ketela pohon atau singkong oleh Monyet ekor panjang (M.

fascicularis) di Taman Nasional Kelimutu pada tahun 2012 (Setiawan, 2012).

Survey yang telah dilakukan di sekitar Kawasan Hutan Lindung Reg 25

menyatakan bahwa masyarakat mengeluhkan keberadaan simpai yang merusak

3

tanaman, karena hingga sekarang kasus ini belum ada pencegahannya untuk

menanggulangi ancaman tersebut. Penelitian ini dianggap penting karena belum

pernah dilakukan observasi secara langsung untuk mengetahui berapa besar

kerusakan yang terjadi, jenis tanaman apa saja yang dirusak dan dimana sajakah

titik kerusakannya serta usaha mitigasi apa yang perlu dilakukan. Metode yang

digunakan yaitu dengan cara observasi langsung dan wawancara untuk

mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencegah gangguan simpai

dan mengurangi dampak kerusakan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pentingnya penelitian ini maka dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut.

1. Bagaimana intensitas gangguan simpai berdasarkan ruang aktivitas ?

2. Bagaimana intensitas gangguan simpai berdasarkan jenis tanaman ?

3. Bagaimana intensitas gangguan simpai berdasarkan waktu aktivitas ?

4. Bagaimana upaya mitigasi terhadap kerusakan agroforestri ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Menganalisis intensitas gangguan simpai berdasarkan ruang aktivitas.

2. Menganalisis intensitas gangguan simpai berdasarkan jenis tanaman.

3. Menganalisis intensitas gangguan simpai berdasarkan waktu aktivitas.

4. Menganalisis upaya mitigasi terhadap kerusakan agroforestri.

4

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai data dan informasi dalam konservasi

simpai di Kawasan Hutan Lindung Register 25, Pematang Tanggang, Kelumbayan

Tanggamus.

1.5. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2007, izin pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh

masyarakat dapat dilakukan pada blok non-perlindungan. Hutan lindung adalah

kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem

penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan

erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Pemanfaatannya dapat berupa pengelolaan agroforestri yaitu memanfaatkan lahan

dengan mengkombinasikan tanaman kehutanan dan pertanian untuk ketahanan

pangan.

Pengelolaan agroforestri apabila ditinjau dari aspek produksi pangan, telah

mengalami gangguan-gangguan alami seperti satwa liar (misalnya: monyet ekor

panjang, babihutan) yang diantaranya juga merupakan satwa dilindungi, misalnya

simpai (Presbytis melalophos). Simpai (Presbytis melalophos) adalah salah satu

monyet endemik Pulau Sumatera dari famili cercopithecidae yang termasuk

primata langka dan terancam punah IUCN menetapkan simpai sebagai spesies

endangered (terancam) punah.

Aktivitas simpai kerap menggangu lahan agroforestri karena pada areal ini

terdapat banyak sumber pakan seperti daun muda dan buah-buahan. Masyarakat

5

merasa dirugikan dan tidak bisa memanen hasilnya. Keluhan masyarakat terkait

dengan simpai hingga saat ini kurang mendapat perhatian dari pihak terkait.

Penelitian ini akan mengkaji gangguan oleh simpai pada lahan agroforestri

melalui wawancara langsung terhadap masyarakat meliputi : 1) intensitas

kunjungan simpai berdasarkan lokasi 2) jenis satwa liar apa sajakah yang

menggangu 3) intensitas kunjungan satwa berdasarkan waktu 4) jenis tanaman

apa saja yang dirusak 5) mitigasi apa yang telah dilakukan, kemudian akan

dilakukan observasi meliputi : 1) jenis tanaman 2)bentuk kerusakan 3) aktivitas

pergerakan 4) aktivitas makan. Informasi yang sudah dilakukan diatas akan

diperoleh data berupa jenis kerusakan tanaman dan hubungannya dengan aktivitas

simpai, selanjutnya akan dibuat beberapa petalokasi tutupan lahan, titik aktivitas

dan sebaran lokasi gangguan simpai. Data dan informasi tersebut akan dianalisis

dan akan disajikan dalam bentuk grafik, gambar dan tabel. Kerangka pikir diatas

dapat disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran mitigasi gangguan simpai terhadap kerusakanagroforestri.

Agroforestri

1. Jenistanaman2. Bentukkerusakan3. Aktivitaspergerakan4. Aktivitasmakan

1. Intensitas kunjungan simpai berdasarkan lokasi2. Jenis satwa liar apa sajakah yang menggangu3. Intensitas kunjungan satwa berdasarkan waktu4. Jenis tanaman apasaja yang dirusak5. Mitigasiapayangtelahdilakukan

Observasi

Pemanfaatanberbagaijenistanamandan kerusakanagroforestri

Wawancara

Mitigasi Berdasarkan Ruang Dan Waktu

Simpai Masyarakat

Hasil Dan Pengolahan Data

Hutan Lindung

MetodePenelitian

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi

Menurut Napier dan Napier (1986), taksonomi simpai dapat diuraikan sebagai

berikut.

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Primata

Sub-ordo : Anthropoidae

Famili : Cercopithecidae

Sub-famili : Colobinae

Genus : Presbytis

Spesies : Presbytis melalophos

Semula semua jenis kera digolongkan kedalam famili Pongidae (Grovers, 1972

dalam Harianto, 1988), selanjutnya perkembangan sistematik ini mengikuti

penelitian dibidang biokimia dan morfologi sehingga famili tersebut terpecah

menjadi Cercopithecidae, Pongidae dan Hominidae yang menempatkan simpai

pada famili Cercopithecidae (Napier dan Napier, 1986).

7

2.2. Sejarah primata

Primata ditemukan pada zaman Miosin (25 – 10 juta tahun yang lalu) tingkat

pertama primata tersebut yakni Plipithecus. Makhluk ini sepenuhnya bersifat kera,

oleh karena itu dinamakn kera primitif yang memiliki tubuh kecil dan pendek,

kedua tangannya digunakan untuk bergelantunga di pohon dan belum dapat

berjalan tegak. Diduga, kera primitif hidup 35 – 25 juta tahun lalu yang ditemukan

oleh tim ekspedisi Universitas Yale di Fayum tahun 1961.

Tingkat kedua yaitu Proconsul, yakni kera yang hidup sekitar 25 – 15 juta tahun

lalu. Para ahli berpendapat bahwa makhluk ini tidak sepenuhnya bersifat kera,

disebabkan pada muka, rahang, gigi geliginya terdapat ciri yang ditafsirkan

sebagai ciri manusia. Makhluk ini di temukan di danau Victoria, dikatakan oleh

seorang ahli:”Mungkinkah ini merupakan bisikan samar-samar pertama tentang

makhluk hidup yakni manusia?”. Proconsul semakin banyak terkumpul dan

semuanya menunjukan bahwa binatang ini muncul dengan berbagai ukuran yang

berbeda-beda; ada yang sekecil simpanse dan ada yang menjadi sebesar gorilla.

Tipe gorilla inilah yan menjadi nenek moyang gorilla modern.

Tingkat ketiga, Dryopithecusi, yakni kera raksasa yang hidup sekitar 15-10 juta

tahun yan lalu. Makhluk ini sejenis dengan Proconsul. Fosilnya ditemukan luas di

Eropa, India, Cina, dan Afrika. Fosil ini belum lengkap untuk menunjukan salah

satu anggota dari genus yang luas menuju kearah manusia. Karena rekonstruksi

makhluk ini dibuat terutama dengan menggunakan fragmen-fragmen dan gigi-

gigi. Dryipithecus memiliki bentuk badan yang cukup besar serta sangat gemar

mengembara sehingga menempati hutan tropis yang sangat luas.

8

Tingkat keempat, Ramapithecus, yakni primata paling purba yang pada umumnya

dianggap sebagai leluhur manusia. Hidup sekitar 15-10 juta tahun yang lalu.

Ukuranya jauh lebih kecil daripada manusia sekarang, yakni 0,9-1,2 meter dan

kapasitas tengkoraknya lebih kurang 400 cc. Fosil dari makhluk ini ditemukan

pada tahun 1930-an di bukit Siwalak (Pakistan) oleh G.E. Lewis dari Universitas

Yale.

2.3. Distribusi Simpai

Simpai (Mitred Leaf Monkey) adalah hewan endemik Indonesia dengan daerah

sebaran terbatas di Pulau Sumatera. Subspesies P. m melalophos mendiami daerah

barat daya Sumatera, mulai sekitar Sungai Rokan bagian selatan hingga Sungai

Batanghari, sepanjang Bukit Barisan hingga Lampung. Subspesies P. m mitrata

mendiami Sumatera bagian tenggara, mulai dari Lampung bagian utara hingga

Sungai Musi, Palembang sebelah barat, dan utara Sungai Batanghari. P. m bicolor

mendiami Sumatera barat-tengah. P. m sumatrana mendiami Sumatera

Barat, Gunung Talamau, dan Pulau Pini (Kepulauan Batu). Penyebaran simpai ini

hampir di seluruh bagian pulau kecuali di bagian pantai timur, selatan Pulau

Sumatera. Simpai dari genus Presbytis ditemukan di hutan hujan Semenanjung

Malaysia, Kepulauan Sumatra mulai dari bagian selatan sampai utara serta

Kalimantan bagian barat.

Simpai (Presbytis melalophos) adalah salah satu monyet endemik Pulau

Sumatera. Primata dari famili Cercopithecidae yang kerap disebut simpai

atausurili termasuk primata langka dan terancam punah. IUCN menetapkan

simpai sebagai spesies endangered (terancam) (Raffles, 1821). Simpai memiliki

9

beberapa jenis seperti Presbytis aurata (Muller dan Schlegel, 1861), Presbytis

batuanus (Miller, 1903), Presbytis ferrugineus (Schlegel, 1876), Presbytis

flavimanus (Geoffroy, 1831), Presbytis fluviatilis (Chasen, 1940), Presbytis fusco-

murina (Elliot, 1906), Presbytis margae (Hooijer, 1948), dan Presbytis nobilis

(Gray, 1842).

Penyebaran hewan ini hampir diseluruh bagian pulau kecuali di bagian pantai

timur di sebelah selatan Pulau Sumatera. Hewan ini dapat hidup pada berbagai

habitat seperti hutan karet rakyat, hutan campuran, hutan mangrove, hutan

sekunder dan hutan primer (Bakar dan Suin, 1993). Peta persebaran simpai dapat

dilihat pada Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Peta persebaran simpai di dunia.

Gambar 3. Peta persebaran Simpai (Presbytis melalophos).

10

2.4. Status Konservasi

IUCN mengklasifikasikan simpai sebagai spesies yang terancam punah

(Endangered) dalam daftar merahnya. CITES memasukkannya dalam daftar

appendix II. Satwa jenis Presbytis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7

Tahun 1999 termasuk dalam satwa yang di lindungi.

Simpai merupakan satwa dilindungi dengan status terancam punah (endangered)

dalam Red Data Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and

Natural Resources) (IUCN, 2008). Guna mencegah terjadinya kepunahan jenis

satwa ini kegiatan konservasi simpai sangat penting dilakukan melalui

perlindungan terhadap spesies dan habitatnya.Perlindungan terhadap satwa ini

telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7

Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Kedua kebijakan tersebut

menyatakan bahwa semua satwa dari famili cercopithecidae terdapat dalam daftar

satwa yang dilindungi. Perlindungan satwa terancam punah dan habitatnya harus

dilakukan oleh semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah sebagai

pemangku kebijakan, mulai dari lokal, regional maupun secara global.

2.5. Morfologi

Simpai (Presbytis melalophos) merupakan jenis monyet yang berbadan kecil

dengan kedua kaki, tangan dan ekor yang panjang. Panjang ekor simpai dapat

mencapai 1,5 kali panjang badan dan kepalanya. Menurut Bugiono (2001), simpai

dicirikan oleh tidak adanya lingkaran di atas mata serta adanya ulir-ulir rambut

11

pada dahi rambut,sebagian tumbuh kebelakang mulai dari kening dan membentuk

mahkota di atas kepala. Ukuran tubuh simpai bervariasi antara lokasi satu dengan

lokasi yang lain. Ukuran simpai di Thailand antara 435 – 599 mm untuk ukuran

kepala dan badannya, sedangkan panjang ekor 680 – 840 mm, ukuran simpai di

Borneo berkisar antara 460 – 593 mm untuk panjang badan dan kepala serta

panjang ekor berkisar antar 695 – 765 mm.

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), rambut simpai yang dominan putih,

namun sebenarnya memiliki warna yang bervariasi, ada yang berwarna abu-abu,

hitam, sampai kecoklatan. Rambut individu anak simpai yang baru lahir berwarna

keputih-putihan dengan garis-garis hitam di bagian belakang tubuhnya. Kulit

wajah berwarna hitam. Ciri khas simpai adalah jambul yang menyerupai mahkota

pada bagian kepala dan sedikit memanjang ke bagian dorsal. Simpai memiliki

ekor yang panjang, yaitu sekitar satu setengah kali panjang tubuhnya yang

berkisar antara 45 – 60 cm. Berat tubuhnya berkisar antara 5 – 8 kg.

Menurut Gron (2008), secara alamiah simpai sangat sering dijumpai pada

ketinggian > 300 m dpl, namun jarang ditemukan pada ketinggian > 1.500 m dpl.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran dan populasinya dipengaruhi oleh

ketersediaan pakan pada habitat, yang mengakibatkan orangutan memilih tempat-

tempat tertentu di dalam habitatnya.

Menurut Delson (1999), Berdasarkan pada bentuk tubuhnya primata

dikelompokan kedalam kelas mamalia, beberapa ciri khas primata memiliki

tulang selangka (clavicle), bentuk bahu yang dapat menunjang pergerakan tangan

ke seluruh arah dan bentuk siku yang dapat menunjang pergerakan lengan.

12

Primata secara umum memiliki lima jari tangan dan kaki, kukunya relatif lebih

lurus dibandingkan dengan kuku mamalia lain, jumlah gigi lebih sedikit dibanding

dengan jumlah gigi mamalia lain. Organ pengelihatan yang dimiliki cukup

kompleks dan terletak di depan muka sehingga memungkinkan melihat lurus.

Ukuran otaknya relatif besar dibandingkan ukuran tubuhnya dan mempunyai

plasenta, putingnya hanya dua dan umumnya hanya melahirkan satu anak dalam

satu periode masa kehamilan. Macam macam presbitys dapat dilihat pada

Gambar 4.

Gambar 4. Gambar macam-macam PresbitysSpp.

Keterangan :a. Presbitys Tomasi j. Presbytis ferrugineusb. Presbitys melalophos k. Presbytis flavimanusc. Presbitys sumatrana` l. Presbytis fusco-murinad. Presbitys bicolor m. Presbytis nobilise. Presbitys mirata n. Presbitys siamensis

ab

c

fd

e

gh

ij

k

l

m

n

op

f

13

f. Presbytis batuanus o. Presbitys auratag. Presbytis fluviatilis p. Presbitys paenulatah. Presbytis margaei. Presbitys siamensis cana

2.6. Habitat Simpai

Habitat suatu populasi satwa pada dasarnya menunjukkan dari corak lingkungan

yang ditempati populasi itu termasuk faktor abiotik berupa ruang, tipe substratum

yang di tempati,cuaca dan iklimnya serta vegetasinya (Darmawan, 2005).

Komponen yang harus dipenuhi dalam suatu habitat terdiri dari tiga komponen

yaitu komponen biotik meliputi vegetasi, satwa liar dan organisme mikro.

Komponen fisik meliputi air, tanah, iklim dan topografi,sedangkan komponen

kimia meliputi seluruh unsur kimia yang terkandung dalam komponen biotik

maupun komponen fisik (Zulfiqar, 2012). Habitat merupakan kawasan yang

terdiri dari berbagai komponen, baik fisik, maupun biotik yang merupakan satu

kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa

liar (Alikodra, 1990).

Simpai sering di temukan pada daratan yang berhutan primer, mulai dari hutan

dataran rendah hingga hutan sub montana (Wilson, 1995). Pemilihan pohon

tinggi sebagai pohon tempat tidur bertujuan untuk mengurangi resiko primata dari

predator termasuk ular dan burung pemangsa (Nainggolan, 2011). Simpai

ditemukan di hutan hujan Semenanjung Malaysia, Kepulauan Sumatra mulai dari

bagian selatan sampai utara serta Kalimantan bagian barat (Oates,1994 dalam

Wirdateti dan Dahruddin, 2011).

14

Terjadinya pengurangan habitat untuk berbagai keperluan manusia, maka

semenjak tanggal 22 September 1999, simpai (Presbitys melalophos) telah

dilindungi undang-undang berdasarkan SK. Menteri Kehutanan dan Perkebunan

No. 773/Kpts-II/1999. Menurut CITES, simpai (Presbitys melalophos) termasuk

dalam kategori Appendix II (satwa yang tidak boleh di perdagangkan karena

keberadaannya terancam punah) dan pada tahun 1996 oleh IUCN diketegorikan

sebagai primate yang rentan (vulnerable)terhadap gangguan habitat karena terus

terdesak oleh kepentingan manusia (Supriatna dan Edy, 2000).

2.7. Aktivitas Simpai

Simpai merupakan satwa diurnal yang melakukan aktivitasnya pada siang hari

yaitu mulai pukul 06.00 – 18.00. Simpai melakukan berbagai aktivitas selama

masa aktifnya antara lain makan, berpindah, istirahat dan bersuara (Sabarno,

1998). Aktivitas makan simpai sering dijumpai pada siang hari dan daun sebagai

pakan utamanya. (Sabarno, 1998).

Aktivitas berpindah simpai bervariasi, seperti melompat, berjalan atau lari di atas

dahan dan memanjat pohon. Pergerakan dilakukan dengan cara quardropedal

(menggunakan keempat lengan), memanjat dan melompat (Mukhtar, 1990).

Aktivitas berpindah simpai biasanya dilakukan pada pagi hari (06.00 – 09.00) dan

sore hari (16.00 – 18.00) saat simpai beraktivitas mencari makan (Sabarno, 1998).

Saat melakukan aktivitas berpindah simpai akan mengawasi keadaan sekitar

kelompok dan saat terdapat gangguan, maka simpaiakan mengeluarkan suara

alarm call. Simpai yang mengeluarkan suara sebagai alarm call ini diduga adalah

simpai jantan dewasa (Meyer, 2012). Kegiatan beristirahat merupakan periode

15

tidak aktif satwa dalam bentuk apapun (Chivers, 1975). Simpai mempergunakan

waktu siang hari untuk beristirahat (Subarno, 1988).

Aktivitas bersuara merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki satwa

arboreal pemakan daun yang merupakan sistem isyarat yang efektif antara satu

kelompok dengan kelompok yang lain. Kegiatan bersuara didalam kelompok

primata merupakan salah satu mekanisme dalam rangka pemanfaatan ruang

(Arifin, 1991). Simpai merupakan primata yang tidak banyak mengeluarkan

suara. Suara yang dikeluarkan simpai ketika pagi hari tidak begitu nyaring dan

nada rendah, yaitu chak..chak..chak.., akan tetapi jika ada gangguan simpai akan

melompat-lompat sambil mengeluarkan suara keras dan nada tinggi, lebih lama

dan lebih sering frekuensinya, suara yang dikeluarkan yaitu

chuakh…chuakh..chuakh (Sabarno, 1998).

2.8. Perilaku Sosial

Menurut Seoratmo (1979), mengatakan bahwa perilaku satwa secara umum dapat

dikategorikan menjadi dua, yaitu perilaku sosial binatang dalam spesies yang

sama (intraspecific relationship). Kedua jenis perilaku sosial tersebut dapat terjadi

pada kelompok binatang karena terdapat bentuk-bentuk komunikasi diantara

anggota kelompok.

Simpai di alam merupakan satwa arboreal dan diurnal, hidup berkelompok

dengan satu individu jantan dan lima sampai tujuh individu betina serta dapat

ditemukan lebih dari dua individu jantan dalam satu kelompok. Kelompok dengan

daerah jelajah kecil lebih teritorial dari pada kelompok dengan daerah jelajah

16

besar, hal tersebut berhubungan dengan ketersediaan pakan. Untuk menentukan

daerah teritori kelompok jantan mengeluarkan suara sebagai penanda wilayah.

Jantan yang soliter biasanya diusir dari kelompok oleh jantan alpha dan ini terjadi

pada habitat yang tidak mendukung ketersediaan sumber pakan . Satwa ini hidup

bersama dalam kelompok sosial yang terorganisasi baik. Besarnya kalompok

tergantung sepenuhnya pada persediaan makanan disuatu daerah tertentu. Jika

persediaan tidak mampu menunjang semua anggotanya, beberapa kelompok kecil

memisahkan diri dan pindah. Primata yang jantan biasanya sebagai pemimpin

dalam kelompoknya baik dalam mencari makanan maupun sebagai pemimpin

keamanan bagi kelompoknya. Perilaku sosial dari Simpai (Presbitys melalophos)

meliputi perilaku kominikasi, perilaku sosial, peilaku bermain dan perilaku

perawatan (Supriatna dan Wahyono, 2000).

2.9. Perilaku Komunikasi

Dari hasil pengamatan bahwa banyak primata yang berkomunikasi satu sama

lain melalui suara vocal dan ekspresi muka yang diubah-ubah. Ekspresi tersebut

sering diiringi dengan mengecap-ecapkan bibirnya. Komunikasi tanda bahaya

atau kesediaan maupun untuk mengumpulkan anggota kelompok yang terpencar

biasanya dengan berteriak, menjerit, mencicit, berbisik, mendengkur, menggeram

dan kalau marah mengeluarkan taring-taringnya. Sikap dan postur tubuh juga

menunjukan emosi atau tindakan sebagai tanda kepada yang lain misalnya tanda

untuk lari, bertahan atau menyerang (Zulfiqar, 2003). Primata mempunyai alat

indera yang lengkap yang berfungsi untuk berkomunikasi dan berintegtrasi

dengan anggota kelompoknya. (Rowe, 1996).

17

2.10. Perilaku Seksual

Spesies primata pada umumnya mencapai masa remaja (pubertas) atau

kematangan sosial pada waktu yang berbeda-beda. Primata betina pada umumnya

menunjukan perubahan perilaku yang berkaitan dengan perubahan fisiologis

selama masa estrus. Betina sering menunjukan ketanggapan atau kesediaan seks

terhadap hewan jantan. Menurut Beach (1976) dalam Ambarwati (1999) bahwa

ketanggapan seks (Reeptivitas) adalah kesediaan betina untuk mengadakan

kopulasi. Sedangkan kesediaan seks (Proseptivitas) adalah semua perilaku yang

dilakukan betina untuk memulai interaksi seks. Kopulasi biasa terjadi dengan

posisi ventro-dorsa, yaitu primata jantan menaiki betina dari bagian punggung.,

ada yang dilakukan dengan keadaan si betina tetap berdiri, berbaring ataupun

meringkuk. Posisi-posisi tergantung pada spesiesnya dan keduanya

mempertahankan posisinya sampai terjadi Intromisi (Chalmers, 1979).

2.11. Perilaku makan

Perilaku makan simpai banyak menggunakan kedua tangan dan anggota gerak

lainnya untuk mengambil makan dan membantu mendapatkannya (Sujatnika,

1992). Simpai mengambil dan memetik daun dengan menggunakan kedua tungkai

depan yang berfungsi sebagai tangan mereka atau langsung dengan mulutnya dan

atau terlebih dahulu di lintingkan kearah mulutnya (Bugiono, 2001).

Ketika makan simpai duduk pada sebuah batang atau ranting di ujung pohon, satu

tangan digunakan untuk berpegangan pada batang dan tangan yang lain digunakan

untuk meraih makanan (Mukhtar, 1990).

18

Rata-rata waktu yang digunakan untuk aktivitas makan adalah selama lebih

kurang 2 jam/hari (122,57 menit) dengan waktu aktivitas makan pada pagi hari

sebesar 57,58%, siang hari 6,06% dan sore hari 36,36%. Tujuh jenis pakan yang

relatif disukai (benying, kondang, lowa, lamerang, ki ara, kaliandra dan

harendong) memiliki variasi INP yang berbeda pada berbagai tingkat tegakan dan

diduga akan terjadi perubahan komposisi jenis pakan yang berpengaruh terhadap

kelangsungan hidup simpai dan sebagai satwa pemakan daun, simpai

mengkonsumsi 51,65% daun dan 48,35% buah yang dilakukan dengan cara

meraih daun/buah menggunakan tangan, dalam berbagai posisi makan (Harianto,

2012).

Simpai memakan seluruh bagian dari daun, akan tetapi hanya memakan sebagian

dari buah dan membuang sisanya, jenis Presbytis yang terdapat di Suaka

Margasatwa Meru Betiri memakan daun dan buah, bahkan juga bunga. Akan

tetapi buah dan bunga hanya dijadikan makanan tambahan (Sabarno , 1998).

2.12. Populasi

Populasi adalah sekolompok organisme yang terdiri dari individu-individu sejenis

yang saling berinteraksi melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan

waktu tertentu (Anderson,1985 dalam Bugiono, 2001). Populasi tersebut

mempunyai ciri dan sifat khusus antara lain: kepadatan, natalitas, mortalitas,

komposisi umur dan struktur kelamin (Heddy dan Kurniati, 1994). Ciri-ciri

khusus tersebut berfluktuasi dari waktu kewaktu mengikuti keadaan

lingkungannya. Keadaan fluktuasi tersebut mempunyai tiga kemungkinan, yaitu:

jika angka kelahiran lebih besar dari kematian, populasi akan berkembang, jika

angka kelahiran sama dengan angka kematian populasi akan stabil dan jika agka

19

kematian lebih besar dari angka kelahiran, populasi akan menurun.

(Alikodra,1990).

Populasi merupakan sekumpulan induvidu suatu jenis mahluk hidup yang

tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan

interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan) pada waktu tertentu menghuni

suatu wilayah atau ruang tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu

populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian

(mortalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan

pemencaran (Nainggolan, 2011).

Supriatna dan Wahyono (2000), menyatakan simpai merupakan satwa arboreal

dan diurnal, hidup berkelompok dengan satu jantan dan lima sampai tujuh betina

dan kadang-kadang lebih dari dua jantan dalam satu kelompok. Kelompok

dengan wilayah jelajah yang sempit maka wilayah kekuasaannya akan terbatas,

begitu juga sebaliknya, hal ini berhubungan dengan ketersediaan pakan. Untuk

menentukan daerah teritori kelompok jantan mengeluarkan suara sebagai penanda

wilayah. Jantan yang soliter biasanya diusir dari kelompok oleh jantan alfa dan ini

terjadi pada habitat yang tidak mendukung ketersediaan sumber pakan.

Salah satu spesies primata yang hidup secara berkelompok dan beberapa yang

hidup secara soliter adalah simpai. Primata yang hidup berkelompok memiliki dua

alasan mengapa hidupnya berkelompok yaitu karena adanya pemangsaan dan

faktor makanan dan pada umumnya anggota dari genus Presbytis hidup dalam

satu kelompok yang dipimpin oleh seekor jantan dewasa sebagai pemimpin (uni

male) dan terdiri dari beberapa betina dewasa, remaja dan anak (Wilson, 2001).

20

2.13. Agroforestri

Menurut beberapa peneliti Agroforestri didefinisikan sebagai berikut.

1. Sutidjo (1986), agroforestri adalah bentuk atau sistem penggunaan lahan,

dimana pemakai lahan dapat memperoleh hasil tanaman pangan atau tanaman

agronomi lain, tanaman pakan ternak dan hasil kayu, secara simultan, serta

dapat melestarikan sumberdaya lahan tersebut. Dalam sistem agroforestry ada

beberapa pola tanam, diantaranya adalah bentuk pola tanam tiga strata,

multistorey cropping, alley cropping, dan sebagainya

2. Soemarwoto (1990), agroforestri adalah suatu sistem tata guna lahan yang

bersifat permanen. Tanaman semusim maupun tahunan ditanam bersamaan

atau dalam rotasi sehingga membentuk tajuk tajuk yang berlapis. Sistem ini

memberikan keuntungan ekonomis dan biologis.

3. Wiersum (1991), agroforestri adalah bentuk tata guna lahan yang tetap

(permanen). Pepohonan ditanam dengan dicampurkan tanaman pertanian

(bersamaan atau bergiliran).

4. Menurut Lahjie (1992), agroforestri merupakan bentuk pengolahan lahan yang

memadukan prinsip-prinsip pertanian dan kehutanan. yang memanfaatkan

lahan untuk memperoleh pangan.

5. Young (1997) model agroforestri ini membantu untuk memberikan pilihan

pengelolaan tanah di dalam sistem agroforestri, dan dibandingkan dengan

bentuk penutupan lainnya seperti hutan monokultur atau tanaman semusim

monokultur.

6. De Foresta dkk (2000), berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal sistem

agroforestri kompleks dibedakan menjadi dua, yaitu kebun dan pekarangan

21

berbasis pohon (Home garden) yang letaknya disekitar tempat tinggal dan

agroforestri yang biasanya disebut “hutan” yang letaknya jauh dari tempat

tinggal.

7. King dan Chandler (2004), mendefinisikan agroforestri ialah sebagai suatu

sistem pengolahan lahan yang berazaskan pada kelestarian untuk dapat

meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan, ialah dengan cara

mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-

pohonan) dan juga tanaman hutan, serta hewan secara bersama-sama , pada

unit lahan yang sama, serta menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai

dengan budaya setempat.

8. Haririah ( 2005), agroforestri merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan baru

dibidang pertanian dan kehutanan yang mencoba mengabungkan unsur

tanaman dan pepohonan.ilmu ini mencoba mengenali dan mengembangkan

sistem sistem agroforestri yang telah di praktikkan oleh petani sejak dulu.

9. Raintree (2009), menjelaskan bahwa agroforestri ialah istilah pada sistem-

sistem pemanfaatan lahan dan juga teknologi, dengan tanaman-tanaman keras

(pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palma, bambu, dan lain-lain) yang ditanam

secara bersama-sama dengan tanaman pertanian semusim, serta pemeliharaan

hewan, untuk tujuan tertentu

10. Nair (2010) , mendefinisikan agroforestri ialah sebagai sistem penggunaan

lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial serta ekologi, yang dilaksanakan

melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan ternak

(hewan), baik itu secara bersama-sama ataupun bergiliran, sehingga dari satu

22

unit lahan bisa tercapai hasil total nabati ataupun hewan yang optimal dalam

arti yang berkesinambungan

Sesuai dengan definisi agroforestri diatas maka sistem ini cukup bervariasi dan

juga cukup luas sehingga dapat diklasifikasi berdasarkan kriteria-kriteria sebagai

berikut.

1. Secara struktual, ialah yang menyangkut komposisi komponen, seperti

sistem-sistem agrisilvikultur, silvopastur serta agrisilvopastur.

2. Secara fungsional, ialah yang menyangkut fungsi atau peranan utama

dalam suatu sistem, terutama pada komponen kayu-kayuan.

3. Secara sosial ekonomis, ialah yang menyangkut pada tingkat masukan

dalam suatu pengelolaan (masukan rendah, masukan tinggi, intensitas dan

juga skala pengelolaan, tujuan usaha, subsisten, komersial, intermedier).

4. Secara ekologis, ialah yang menyangkut pada suatu kondisi lingkungan

dan juga kesesuaian ekologis dari sistem Agrisilvikultur, Silvopastur,

Agrosilvopastur, Silvofishery, pohon serbaguna, dan lain-lain.

Pada dasarnya agroforestri mempunyai komponen-komponen pokok yaitu sebagai

berikut:kehutanan, pertanian,peternakan, perikanan.

Penggabungan pada komponen-komponen yang termasuk dalam agroforestri

dikenal dengan nama ialah sebagai berikut.

Silvopastura ialah kombinasi diantara komponen ataupun kegiatan

kehutanan dengan peternakan.

23

Agrosilvopastur ialah kombinasi diantara komponen ataupun kegiatan

pertanian dengan kehutanan dan juga peternakan (hewan)

Agrisilvikultur ialah kombinasi diantara komponen ataupun kegiatan

kehutanan (pohon, perdu, palem, bambu, dan lain-lain.) dengan komponen

pertanian.

Silvofeshry ialah kombinasi antara komponen kehutanan dan juga

komponen perikanan. Sistem ini ialah pemanfaatan hutan mangrove yang

dikombinasikan dengan tambak ikan.

Tujuan akhir pada program agroforestri ini ialah untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat petani, terutama yang berada di sekitar hutan, ialah dengan

memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan

lingkungan yang rusak serta berlanjut dengan memeliharanya. Program-program

agroforestri diarahkan pada peningkatan dan juga pelestarian produktivitas

sumber daya (Resource), yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup

masyarakat

2.14. Mitigasi

Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah melakukan pemetaan daerah rawan

bencana. Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan bencana.

Peta rawan bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil keputusan terutama

dalam antisipasi kejadian bencana alam.

Meskipun demikian sampai saat ini penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal

ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah.

1) Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan

24

2) Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik

3) Peta bencana belum terintegrasi

4) Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga

menyulitkan dalam proses integrasinya.

Menurut beberapa ahli mitigasi dapat didefinisikan sebagai berikut :

1. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang penangulangan bencana alam,

mengatakan bahwa Pengertian mitigasi adalah serangkaian upaya untuk

mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun

penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

2. Zakaria (2007), mitigasi adalah suatu usaha untuk menangani bencana secara

umum dan sinergis dengan melakukan sosialisasi mitigasi kepada masyarakat

3. Subiyantoro (2010), mitigasi didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk

dilakukan untuk mencegah bencana atau mengurangi dampak bencana.

4. Iskandar (2009), mitigasi adalah penangulangan bencana berupa upaya

penanganan sebelum terjadinya bencana serta diartikan juga sebagai upaya

yang dilaukuka untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang

ditimbulkan oleh bencana yang meliputi kesiapsiagaan dan kewaspadaan .

5. Carter (1992), mitigasi (penjinakan): upaya atau kegiatan yang ditujukan untuk

mengurangi dampak dari bencana alam atau buatan manusia bagi bangsa atau

masyarakat.

6. Depdagri (2003), mitigasi (penjinakan) adalah segala upaya dan kegiatan yang

dilakukan untuk mengurangai dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan

oleh bencana, yang meliputi kesiapsiagaan serta penyiapan kesiapan fisik,

kewaspadaan dan kemampuan mobilisasi.

25

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus- September 2016 di Hutan

Lindung Reg 25 Gunung Pematang Tanggang Kelumbayan Tanggamus. Peta

lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta Lokasi penelitian Hutan Lindung Reg 25 Pematang TanggangKelumbayan Tanggamus.

26

3.2.Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jam tangan digital, teropong,

binokuler, kamera DSLR, Global Positioning System (GPS), peta kerja, alat tulis

dan tally sheet. Bahan pada penelitian ini adalah simpai.

3.3. Jenis Data

3.3.1. Data Primer

Data primer merupakan data yang secara langsung diambil dari area pengamatan

meliputi.

a. Quisioner untuk masyarakat.

b. Pengamatan simpai dan identifikasi data biofisik.

3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data-data penunjang penelitian yaitu studi literatur

meliputi.

a. Kondisi umum lokasi penelitian.

b. Data pendukung lainnya seperti peta wilayah, dan data mengenai simpai serta

agroforestri.

3.4. Batasan Penelitian

Batasan dari penelitian ini adalah.

a. Lokasi pengamatan simpai dilakukan di Register 25, Pematang tanggang,

Kelumbayan pada pukul 05.30- 19.00 WIB.

27

b. Lokasi pengambilan responden di lakukan di dua dusun sebagai pembanding

yaitu Dusun Negri dan Dusun Kuyung Atas, masing-masing dusun terdiri atas

30 responden.

3.5. Metode Pengumpulan Data

3.5.1. Pendahuluan

a. Studi pustaka dari buku, jurnal ataupun hasil penelitian terdahulu mengenai

simpai.

b. Observasi langsung untuk mengetahui keadaan lokasi penelitian simpai yang

kemudian dibuat titik perjumpaan untuk mempermudah melakukan habituasi.

3.5.2. Pengumpulan Data dan Cara Kerja.

a. Wawancara tertutup dan terbuka

Pertanyaan yang diajukan kepada masyarakat dengan pilihan jawaban yang

telah ditentukan dan persepsi tersebut akan dihitung menggunakan skala likert

dari 1-7, angka 1 dengan penilaian terendah dan 7 terbesar.

b. Observasi

Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung untuk mengetahui dititik

manakah simpai dapat dijumpai dan pada waktu kapankah simpai merusak

tanaman masyarakat serta mengetahui jenis tumbuhan apa sajakah yang

dirusak . Tally sheet pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

28

Tabel 1. Tabel pengamatan jenis tanaman dan bagian manakah yang dirusak olehsimpai

Keterangan: Langsung (L), Tidak Langsung(TL)

Tabel 2. Tabel pengamatan biofisik

No Titikkoordinat

Waktu Namalokal /Ilmiah

Frekuensi dan bagian manakahyang dirusak

Jml Ket

Daun Bunga Buah Batang

Variabel pengamatan PeralatanA.Fisik

a. Ketinggiantempatb. Suhuc. Kelembapand. Kelerengan

AltimeterThermometerHigrometerClinometer

B. Biologia. Apa saja jenis pakan yang dominanb. Apa saja jenis satwa liar

Quisioner

C. Sosial ekonomia. Adat istiadat yang berhubungan dengan

hutanb. Data karakteristik masyarakat

Quisioner

29

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak dan Kondisi Geografis

Secara geografis Pekon Negeri terletak di pesisir barat sumatra yang memiliki

luas 398,5 Ha dengan ketinggian kurang lebih 0 - 120 mdpl dari permukaan laut

dengan curah hujan rata-rata 2000-3000 mm. Wilayahnya secara administratif

berbatasan dengan.

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Penyandingan.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut/ Teluk Semaka.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Bangun Rejo.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut/Teluk Semaka

4.2. Topografi

Pekon Negeri yang memilki permukaan di pesisir pantai dan sekitar perbukitan

dengan tanah pasir dan kerikil serta tanah agak kehitam-hitaman merupakan

daerah yang cukup subur untuk dijadikan pertanian dan daerah pesisir untuk

perikanan adapun penggunaan lahan pada Pekon Negeri. Berdasarkan Tabel 5

dapat diketahui bahwa sebagian besar lahan di Pekon Negeri digunakan untuk

ladang, sawah dan juga pemukiman penduduk. Disamping itu ada pula yang

dipergunakan untuk rumah ibadah, dan sebagian kecil untuk jalan, makam dan

sekolah.

30

Tabel 5. Penggunaan Lahan di Pekon Negeri

No Penggunaan Luas

1 Pemukiman 45 Ha2 Perkebunan 82 Ha3 Persawahan 40 Ha4 Kuburan 3 Ha5 Pekarangan 5 Ha6 Perkantoran 0,5 Ha7 Hutan produksi 130 Ha8 Hutan lindung 50 Ha9 Hutan suaka alam 20 Ha10 Prasarana umum lainnya 23 Ha

Total luas 398,5 Ha

Sumber: Profil Pekon Negeri Tahun (2012).

4.3. Jenis Tanaman dan Hewan

Jenis tanaman pertanian di Pekon Negeri masih beranekaragam dikarenakan

daerah perbukitan di ketinggian kurang lebih 0 – 120 mdpl sehingga cocok untuk

pertanaian yaitu tanaman kakao, pisang, nangka, kopi, lada, pala dan cengkeh,

sedangkan untuk hewan peliharaan yang terdapat di Pekon Negeri yaitu sapi,

kerbau, ikan, bebek, ayam dan kambing.

4.4. Jumlah Penduduk

1. Jumlah Penduduk berdasarkan Umur

Adapun jumlah Penduduk Pekon Negeri berdasarkan umur dapat dilihat pada

Tabel 6 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Pekon Negeri adalah 2745 jiwa,

dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 1475 dan

penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 1270. Berdasarka data yg

didapat diketahui juga bahwa penduduk Pekon Negeri memiliki angkatan kerja

yang produktif, yaitu pada usia (15-64) tahun dengan persentase 67,67% lebih

31

tinggi dibandingkan dengan angkatan kerja yang belum produktif yaitu pada usia

(0-14) tahun dan angkatan kerja yang tidak produktif (>65 tahun).

Tabel 6. Jumlah Penduduk Pekon Negeri berdasarkan Umur

No Umur (tahun) Laki-Laki Perempuan Jumlah %

1 0-4 41 40 81 2,952 5-9 100 130 230 8,383 10-14 116 131 247 8,994 15-19 71 88 159 5,795 20-24 132 107 239 8,716 25-55 630 428 1058 38,547 56-64 303 256 559 20,368 >65 82 90 172 6,26

Total 1475 1270 2745 100

Sumber: Profil Pekon Negeri Tahun (2012).

2. Jumlah penduduk berdasarkan Mata Pencaharian

Penduduk Pekon Negeri paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 48,21%,

dan buruh tani 34,44%, untuk buruh migran 2,15%, peternak 2,28%, nelayan

1,72% pembantu rumah tangga 1,94%, pengusaha kecil dan menengah 0,43%,

montir 0,34%, karyawan perusahaan pemerintah 0,30, karyawan perusahaan

swasta 8,18% Daerah Pekon Negeri merupakan daerah pesisir tetapi dapat di lihat

pada tabel di atas pekerjaan yang paling banyak persentasenya yaitu sebagai

petani karena tanah di daerah tersebut sangat cocok digunakan untuk pertanian,

dilihat dari warna tanah yang hitam serta dekat dengan areal perbukitan,

sedangkan untuk nelayan hanya beberapa persen persentase petani, dapat dilihat

pada Tabel 7.

32

Tabel 7. Jumlah Penduduk Pekon Negeri berdasarkan Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Laki-Laki Perempuan Jumlah %

1 Petani 800 320 1120 48,212 Buruh Tani 500 300 800 34,443 Buruh Migran 10 40 50 2,154 Peternak 50 3 53 2,285 Nelayan 40 - 40 1,726 Pembantu rumah tangga 15 30 45 1,947 Montir 8 - 8 0,348 Pengusaha kecil dan

menengah10 - 10 0,43

9 Karyawan perusahaanpemerintah

2 5 7 0,30

10 Karyawan perusahaanswasta

70 120 190 8,18

Total 1505 818 2323 100

Sumber: Profil Pekon Negeri Tahun (2012).

3. Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pekon Kiluan Negeri yang bergelar sarajana masih sangat sedikit yaitu 2,73%,

serta yang lulusan Diploma juga sedikit yaitu D1 0,99%, D2 0,37%, D3 0,99%

,berpendidikan SMA sebesar 19,75%, berpendidikan SMP 14,53%, berpendidikan

SD 28,70%, serta yang tidak tamat SD 17,39% dan belum sekolah 14,53%, dapat

dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah Penduduk Pekon Negeri berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan Jumlah %

1 Sarjana S1 8 14 22 2,732 D3 3 5 8 0,993 D2 2 1 3 0,374 D1 3 5 8 0,995 SMA 70 89 159 19,756 SMP 57 60 117 14,537 SD 130 101 231 28,708 Tidak tamat SD 60 80 140 17,399 Belum sekolah 56 61 117 14,53

Total 389 416 805 100

Sumber: Profil Pekon Negeri Tahun (2012).

33

Berdasarkan data di atas dapat kita lihat bahwa untuk pendidikan di Pekon Negeri

masih sangat minim karena daerah tersebut merupakan daerah yang terisolir dari

pusat keramaian atau kota maka dari itu kebanyakan tingkat pendidikannya masih

rendah.

39

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

1. Intensitas gangguan simpai berdasarkan ruang aktivitas adalah pada lahan

agroforestri yang mempunyai sumber pakan simpai seperti daun, buah dan

bunga.

2. Jenis tanaman yang sering dirusak oleh simpai adalah pisang dan kakao.

3. Intensitas waktu perjumpaan yang tinggi pada pukul 05.00 – 07.45 WIB

pada pagi hari, dan pada siang hari simpai jarang sekali ditemukan dan

simpai dapat dijumpai kembali pada pukul 16.00 – 17. 30 WIB.

4. Upaya mitigasi yang telah dilakukan yaitu dengan cara mengusirnya atau

dipindahkan.

6.2. Saran

Saran dari penelitian ini adalah adanya sosialisasi oleh pihak terkait seperti LSM

dan Pemerintah kepada masyarakat mengenai upaya mitigasi dan konservasi bagi

simpai.

43

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Buku. IPB . Bogor. 112p.

Anderson, D. R. 1985. Primates inferences from transect methode. JournalBiometrics. 32 (2): 325 — 336.

Arifin, Z. 1991. Studi Populasi dan Prilaku Surili (Presbythis aygula) di TamanNasional Gunung Gede-Pangrango. Skripsi. IPB. Bogor. 48p.

Bakar, A dan Suin, N. M. 1993. The potential of primates in Kerinci SeblatNational Park. Jurnal Pusat Penelitian UNAND. Padang. 9 (2) : 77—88.

Bahrudin, M. 2002. Ident ifikasi dan Inventarisasi Tanaman Obat di TamanNasional Meru Betiri. Buku. Sancana Ilmu. Jember. 103p

Bailey, J. A. 1984. Principles of wildlife management. Journal of New Yorkwildlife. 1 (3) : 22 — 43.

Bugiono. 2001. Studi Populasi dan Habitat Simpai (Presbytis melalophosRaffles) di kawasan Hutan Lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp andPaper, Propinsi Riau. Skripsi. IPB. Bogor. 45p.

Chivers. 1975. Dinamika Pertumbuhan Populasi di Alam. Buku. IPB. Bogor.67p.

Darmawan, A. 2005. Ekologi Hewan dan Tumbuhan. Buku. Universitas NegeriMalang Press. Malang. 246p.

Delson. 1999. Primate factsheets siamang (Symphalangus syndacty) taxonomy,morphology, and ecology. Jurnal Hutan Tropis. 13 (3) : 111—115.

Ewusie, J. Y. 1990. Elements of tropical ecology. Journal Of Ecology. 4(2) :40—51.

Fitri, R. 2013. Kepadatan populasi dan struktur kelompok simpai (Presbytismelalophos) serta jenis tumbuhan makanannya di Hutan Pendidikan danPenelitian Biologi. Jurnal Biologi Unand. 12 (1) : 136 — 141.

44

Gron. 2008. Panduan Pengamatan Satwa Liar. Buku. ITB Press. Bandung.37p.

Hairiah, K. 2003. Pengantar Agroforestry. Buku. ICRAF. Bogor. 56p.

Harianto, A. 2012. Studi Pakan Simpai di Tahura WAR. Buku. UniversitasLampung. Bandar Lampung. 40p.

Hardjowigeno. 2012. Evaluasi kesesuaian lahan dan perencanaan tata gunalahan sluke. Jurnal Hutan Tropis. 11(4) : 88 — 100.

Heddy dan Kurniati. 1994. Seleksi tipe habitat orangutan sumatera (Pongo abeliiLesson) di Cagar Alam Dolok Sipirok, Sumatera Utara. JurnalPenelitian Hutan dan Konservasi Alam. 9(1) : 85 — 98.

Hill, C. M. 2005. People, crops and primates a conflict of interests. JournalAmerican Society of Primatologists. 8 (3) : 200 — 207.

Haryadi, K. 1989. Agroforestry. Buku. Kementerian Kehutanan. Jakarta. 73p

Lahjie. A.M. 1992. Teknik Agroforestry di Asia. Buku. Pustaka Pelajar.Yogyakarta. 65p.

King, K. F. S. 2004. Agroforestry as Research Programme. Buku. ICRAF.Bogor. 303p.

Mansjoer, K. 2012. Populasi dan habitat Ungko (Hylobates agilis) di TamanNasinal Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi Indonesia.6 (1) :19 — 24.

Mukthar, A. S. 1990. Habitat dan Tingkah Laku Lutung Merah (Presbytismelalophos) di Kawasan Hutan Lindung Bukit Sebelat Sumatera Barat.Buletin Penelitian Hutan. Universitas Andalas. Padang. 145p.

Nainggolan, V. 2011. Identifikasi Satwa Liar Jenis Primata di Repong DamarPekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Lampung Barat.Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 103p.

Napier, J. R and Napier, P. H. 1967. A handbook of living primates. Journal OfAcademic. 1(2): 33—42.

Nair, P. K. R., Nair,V. D., Kumar, B. M dan Showalter, J. M. Advances inagronomy. 2010. Jurnal Agricultural. 4(1): 130—141.

Sabarno, M. Y. 1998. Studi Pakan dan Perilaku Makan Simpai (Presbytismelalophos) di Kawasan Hutan Konservasi PT. Musi Hutan PersadaSumatera Selatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 33p

45

Setiawan. 2012. Study Komunitas Flora dan Fauna Taman Nasional Kelimutu,Balai Taman Nasional Kelimutu NTT. Skripsi. IPB. 46p.

Sinaga, T. 1992. Studi Habitat Dan Perilaku Orangutan (Pongo abelii) diBohorok Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi. IPB. Bogor. 71p.

Soemarwoto. 1990. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Buku.Djamben. Jakarta. 56p.

Sabarno, M. Y. 1998. Studi Pakan Dan Perilaku Makan Simpai (Presbytismelalophos) di Kawasan Hutan Konservasi PT. Musi Hutan PersadaSumatera Selatan. Skripsi. IPB. Bogor. 111p.

Sujatnika. 1992. Studi Habitat Surili (Presbytis aygula Linnaeus, 1758) dan PolaPenggunaan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan KawasanHaurbentes Jasinga. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.121p.

Sukumar R. 2003. The living elephants: evolutionary ecology, behavior, andconservation. Oxford University Journal. 4: 111—112.

Supriatna dan Wahyono FH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Buku.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 194p.

Violita, C.Y. 2015. Ukuran kelompok simpai (Presbytis Melalophos) di HutanDesa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model GunungRajabasa Lampung Selatan. Jurnal Sylva Lestari. 3 (3) : 11— 18.

Wirdateti dan Dahruddin, H. 2011. Perilaku harian simpai (Prebytis melalophos)dalam kandang penangkaran. Jurnal Veeteriner. 12 (1): 136- 141.

Wilda. 2013. Communities conflict in Gunung Leuser National Park (case studyof Timbang Lawan and Timbang Jaya Village Bahorok Sub DistrictLangkat Regency). Jurnal USU. 2(3) : 1 — 10.

Wilson, C. 2001. The influence of selective logging on primates and some otheranimal in east kalimantan folia primates folia primatologica. JournalPrimatologica. 23 (4): 24 — 27.

Wiersum. 1991. Social Forestry Sebuah Rekontruksi . Buku. Sylva Indonesia.Jakarta. 24p.

Young, A and Muraya, P. 1991. SCUAF( Soil Changes Under Agroforestry).Buku. Agricultural Research .Wallingford. 49p.

Young, A. 1997. Agroforestry for soil management . Journal CAB International.2 (4) : 1 — 17.

Zulfiqar. 2012. Pembinaaan Habitat Satwaliar Di Kawasan Konservasi. Buku.IPB. Bogor. 17p.