minyak sawit

9
III. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK KELAPA SAWIT Berdasarkan FAO (2000), minyak kepala sawit merupakan minyak yang didapatkan dari bagian daging buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) dengan kandungan minyak mencapai 56% tiap buahnya. Tanaman ini berasal dari negara-negara Afrika Barat dan saat ini telah banyak tumbuh di negara tropis dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia. Gambar 3. Buah kelapa sawit Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan volume produksi sebesar 20.55 juta ton pada tahun 2009 (FAOSTAT). Berdasarkan GAPKI, India merupakan importir terbesar dari crude palm oil (CPO) Indonesia diikuti oleh Uni Eropa, Cina dan Banglades. Pada tahun 2007, Indonesia dan Malaysia menguasai produksi minyak sawit dunia sebesar 87% (USDA). Minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak diperdagangkan di dunia bahkan diprediksi hingga beberapa dekade ke depan (FAPRI). Teknologi pengolahan minyak sawit terdiri dari tahap ekstraksi, pemurnian, dan pengolahan lanjut menjadi produk pangan ataupun non pangan (Ketaren, 1996). Tahap ekstraksi meliputi proses pengepresan terhadap sabut kelapa sawit sehingga didapat minyak crude palm oil (CPO). Tahap pemurnian dari CPO dilakukan agar CPO dapat kemudian dikonsumsi menjadi minyak goreng ataupun produk turunan lainnya. Tahap pemurnian dapat dilakukan melalui proses pemisahan gum (degumming), penghilangan (refining), pemucatan (bleaching), dan deodorisasi (deodorized). CPO yang telah mengalami proses pemurnian disebut RBDPO (refined bleached deodorized palm oil) dengan karakeristik asam lemak bebas maksimal 0.1%, bilangan peroksida maksimal 0, dan kadar air maksimal 0.1%. Proses dari CPO dapat menjadi beberapa produk antara sebelum menjadi minyak goreng, diantaranya crude palm olein (CP olein), crude palm stearin (CP stearin), refined bleached deodorized olein (RBD olein), refined bleached deodorized stearin (RBD stearin) serta RBDPO. Menurut Birker B. dan Padley FB. (1987) minyak kelapa sawit dapat secara efektif dipisahkan menjadi olein (bagian cair 55%) dan stearin (bagian padat 45%) dengan proses fraksinasi. Hasil produksi minyak sawit sekitar 90% digunakan untuk produk-produk pangan seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, dan lain sebagainya. Lawson (1995) menyebutkan minyak kelapa sawit juga merupakan minyak goreng yang penting di Eropa dan negara-negara Oriental.

Upload: muhammad-gozalli

Post on 14-Dec-2014

134 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

minyak sawit merupakan minyak yang dihasilkan dari kelpa sawit baik dari sabutnya maupun intinya

TRANSCRIPT

Page 1: minyak sawit

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK KELAPA SAWIT

Berdasarkan FAO (2000), minyak kepala sawit merupakan minyak yang didapatkan dari

bagian daging buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) dengan kandungan minyak

mencapai 56% tiap buahnya. Tanaman ini berasal dari negara-negara Afrika Barat dan saat ini

telah banyak tumbuh di negara tropis dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia.

Gambar 3. Buah kelapa sawit

Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan volume produksi

sebesar 20.55 juta ton pada tahun 2009 (FAOSTAT). Berdasarkan GAPKI, India merupakan

importir terbesar dari crude palm oil (CPO) Indonesia diikuti oleh Uni Eropa, Cina dan

Banglades. Pada tahun 2007, Indonesia dan Malaysia menguasai produksi minyak sawit dunia

sebesar 87% (USDA). Minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak

diperdagangkan di dunia bahkan diprediksi hingga beberapa dekade ke depan (FAPRI).

Teknologi pengolahan minyak sawit terdiri dari tahap ekstraksi, pemurnian, dan

pengolahan lanjut menjadi produk pangan ataupun non pangan (Ketaren, 1996). Tahap ekstraksi

meliputi proses pengepresan terhadap sabut kelapa sawit sehingga didapat minyak crude palm oil

(CPO). Tahap pemurnian dari CPO dilakukan agar CPO dapat kemudian dikonsumsi menjadi

minyak goreng ataupun produk turunan lainnya. Tahap pemurnian dapat dilakukan melalui proses

pemisahan gum (degumming), penghilangan (refining), pemucatan (bleaching), dan deodorisasi

(deodorized). CPO yang telah mengalami proses pemurnian disebut RBDPO (refined bleached

deodorized palm oil) dengan karakeristik asam lemak bebas maksimal 0.1%, bilangan peroksida

maksimal 0, dan kadar air maksimal 0.1%. Proses dari CPO dapat menjadi beberapa produk

antara sebelum menjadi minyak goreng, diantaranya crude palm olein (CP olein), crude palm

stearin (CP stearin), refined bleached deodorized olein (RBD olein), refined bleached deodorized

stearin (RBD stearin) serta RBDPO.

Menurut Birker B. dan Padley FB. (1987) minyak kelapa sawit dapat secara efektif

dipisahkan menjadi olein (bagian cair 55%) dan stearin (bagian padat 45%) dengan proses

fraksinasi. Hasil produksi minyak sawit sekitar 90% digunakan untuk produk-produk pangan

seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, dan lain sebagainya. Lawson (1995)

menyebutkan minyak kelapa sawit juga merupakan minyak goreng yang penting di Eropa dan

negara-negara Oriental.

Page 2: minyak sawit

14

Minyak sawit memiliki fungsi yang menguntungkan di dalam produk margarin maupun

shortening terhadap kestabilan karena sifat polimorfiknya. Penambahan minyak sawit dapat

menghambat ataupun mencegah perubahan bentuk kristal beta-prime (β’) menjadi bentuk kristal

beta (β) (Gotha et.al., 2002). Minyak kelapa sawit dapat mempertahankan kestabilan kristalnya

dalam bentuk beta-prime (β’) yang dibutuhkan dalam produk margarin ataupun shortening.

Menurut Gotha et al. (2002), minyak dan lemak dapat digolongkan berdasarkan jenis asam

lemak, sumber maupun konsumsinya. Berdasarkan asam lemak penyusunnya, minyak sawit dapat

digolongkan ke dalam grup asam oleat-linoleat. Minyak sawit mengandung jumlah asam lemak

jenuh dan asam lemak tidak jenuh yang hampir sama.

Berdasarkan Orthoefer (1996), minyak kelapa sawit memiliki kandungan asam lemak

jenuh sekitar 43-56% dari total asam lemak dimana kandungan tertinggi adalah asam palmitat

dengan kandungan asam lemak tak jenuh terutama berasal dari asam oleat. Minyak kelapa sawit

mengandung 32-47% asam palmitat dan 40-52% asam oleat. Minyak kelapa sawit juga

mengandung asam lemak esensial linoleat (omega-6) sekitar 9-12% dari total asam lemak

keseluruhan. Komposisi asam lemak pada minyak sawit dapat dilihat pada Tabel1.

Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak sawit

Asam Lemak Jumlah (%)

Asam lemak jenuh

Laurat (C12) 0.1-1.0

Miristat (C14) 0.9-1.5

Palmitat (C16) 41.8-46.8

Stearat (C18) 4.2-5.1

Arakhidat (C20) 0.2-0.7

Asam lemak tidak jenuh

Palmitoleat (C16:1) 0.1-0.3

Oleat (C18:1) 37.3-40.8

Linoleat (C18:2) 9.1-11.0

Linolenat (C18:3) 0-0.6

Basiron (2005).

Komponen minor yang terdapat dalam minyak sawit terdiri dari karotenoid (pigmen yang

membentuk warna oranye), tokoferol, dan tokotrienol (sebagai antioksidan), sterol, triterpenic

dan alifatik alkohol. Adanya karetenoid, tokoferol dan tokotrienol menyebabkan tingginya

stabilitas oksidasi dan nilai gizi minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Beberapa

fraksi minyak sawit memiliki kandungan karotenoid yang berbeda; CPO (630-700 ppm), CP olein

(680-760ppm), dan CP stearin (380-540ppm) (Orthoefer, 1996).

Komposisi asam lemak tersebut juga berpengaruh terhadap slip melting point yang dimiliki

oleh minyak sawit yaitu berkisar antara 31.1ºC hingga 37.6 ºC (Basiron, 2005). Selain itu, sifat

fisik lainnya seperti kandungan lemak padat yang terkandung di dalam minyak sawit juga dapat

dipengaruhi oleh kandungan asam lemaknya. Nilai kandungan lemak padat dari berbagai suhu

observasi disajikan pada Tabel 2.

Page 3: minyak sawit

15

Tabel 2. Nilai kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) minyak

sawit (RBDPO) pada berbagai suhu

Basiron (2005).

B. STEARIN

Minyak kelapa sawit pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu stearin (fraksi padatan)

dan olein (fraksi cairan). Pemisahan kedua fraksi tersebut dilakukan melalui proses fraksinasi.

Proses fraksinasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penyaringan kering (dry

fractionation), penyaringan basah (detergent fractionation). Industri pengolahan kelapa sawit

cenderung memakai teknik penyaringan kering dengan menggunakan membrane filter press

karena lebih ekonomis dan ramah lingkungan (Basiron, 2005). Pada proses fraksinasi akan

didapatkan fraksi stearin sebanyak 25 persen dan fraksi olein (minyak makan) sebanyak 75

persen. Stearin memiliki slip melting point sekitar 44.5-56.2oC sedangkan olein pada kisaran 13-

23oC. Hal ini menunjukkan bahwa stearin yang memiliki slip melting pont lebih tinggi akan

berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris, 1994). Kandungan asam lemak pada

stearin dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi asam lemak stearin

Basiron (2005).

Suhu observasi Solid Fat Content (%)

Rata-rata Kisaran

5ºC 60.5 50.7-68.0

10ºC 49.6 40.0-55.2

15ºC 34.7 27.2-39.7

20ºC 22.5 14.7-27.9

25ºC 13.5 6.5-18.5

30ºC 9.2 4.5-14.1

35ºC 6.6 1.8-11.7

40ºC 4.0 0.0-7.5

45ºC 0.7 -

Asam Lemak Jumlah (%)

Asam lemak jenuh

Laurat (C12) 0.1-0.6

Miristat (C14) 1.1-1.9

Palmitat (C16) 47.2-73.8

Stearat (C18) 4.4-5.6

Arakhidat (C20) 0.1-0.6

Asam lemak tidak jenuh

Palmitoleat (C16:1) 0.05-0.2

Oleat (C18:1) 15.6-37.0

Linoleat (C18:2) 3.2-9.8

Linolenat (C18:3) 0.1-0.6

Page 4: minyak sawit

16

Fraksi stearin merupakan produk sampingan yang diperoleh dari minyak sawit bersama-

sama dengan fraksi olein. Sebagai produk sampingan, stearin cukup berperan dalam perdagangan

internasional. Ekspor stearin Negara Malaysia pada tahun 1993 mencapai 788.000 ton, lebih

tinggi daripada ekspor minyak kacang tanah (320.000 ton) dan minyak kacang tanah (200.000

ton). Selain itu, stearin secara alami berada pada posisi yang menguntungkan sehubungan dengan

pola permintaan konsumen besar untuk lemak padat. Stearin dapat digunakan sebagai lemak

padat hard fat (Gunstone, 2005) maupun sebagai margarin hard stock rendah trans (Sahri dan

Idris, 2010). Stearin juga dapat digunakan untuk menggantikan permintaan terhadap lemak hewan

serta fungsinya sebagai lemak reroti (shortening) maupun minyak goreng (frying fats) (Basiron,

2005). Minyak babi (lard) juga dapat digantikan dengan stearin ataupun minyak sawit RBD pada

beberapa aplikasinya karena harga stearin yang relatif lebih murah daripada fraksi likuid (olein)

maupun minyak hewan. Kifli dan Krishnan (1987) melaporkan bahwa stearin juga digunakan

sebagai pengganti lemak hewan (tallow) dalam produk sabun karena harganya yang cukup

terjangkau. Pada industri permen maupun manisan (convectionary) diperlukan stearin khusus

yang didapatkan dari proses fraksinasi ganda (Basiron, 2005).

Stearin yang dihasilkan akan berbeda-beda tergantung dari proses fraksinasi yang

dilakukan. Stearin memiliki beberapa bentuk atau klasifikasi dalam perdagangan tergantung pada

penggunaannya. Masing-masing jenis tersebut memiliki standar yang berbeda seperti standar

Crude Palm Stearin, Pretreated Palm Stearin, dan Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm

Stearin. Crude Palm Stearin merupakan stearin yang dihasilkan dari proses fraksinasi CPO

dengan karakter fisik berwarna kuning hingga jingga kemerahan (SNI 01-0019-1987). Sedangkan

pretreated palm stearin merupakan stearin yang telah mengalami proses penggumpalan

(degumming) dan pemutihan pendahuluan (pre-bleaching) untuk berikutnya mengalami proses

pemurnian secara fisik (physical refining) (SNI 01-0020-1987). Berdasarkan SNI 01-0021-1998,

RBD Stearin merupakan produk yang diperoleh dari hasil fraksinasi RBD PO dan telah

mengalami proses pemurnian. Syarat mutu RBD yaitu kadar asam lemak bebas maksimal 0.15%,

bilangan iod maksimal 40 g iod/100 g, cemaran arsen maksimal 0.1 ppm serta kadar air dan

kotoran maksimal 0.1%. Standar RBD stearin harus dipenuhi jika stearin akan dipergunakan

untuk membuat suatu produk pangan.

C. MINYAK KELAPA

Minyak kelapa atau coconut oil (CNO) didapatkan dari ekstraksi kopra secara fisik. Kopra

merupakan daging buah kelapa (endosperm) yang telah dikeringkan yang dapat mengandung

minyak 65-68% (Orthoefer, 1996). Minyak kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku produk-

produk pangan maupun non-pangan seperti sabun, deterjen, minyak rambut, lipstik dan produk

kosmetik lainnya, minyak pelumas, minyak gosok, dan lain-lain. Aplikasi penggunaan minyak

kelapa pada produk pangan sangat beragam. Minyak kelapa yang telah mengalami proses refined,

bleached, dan deodorization (RBD CNO) banyak digunakan sebagai minyak goreng. Sementara

pencampuran minyak kelapa (CNO) dengan minyak sawit terhidrogenasi dengan pencampuran

secara fisik dan interesterifikasi digunakan untuk menghasilkan margarin dan shortening. Minyak

kelapa juga secara luas digunakan sebagai krim lemak sebagai komponen dalam krim biskuit dan

bahan untuk permen ataupun manisan (confectionary oil) (Canapi, 2005).

Minyak kelapa merupakan jenis minyak utama pada kelompok minyak asam laurat.

Minyak kelompok asam laurat memiliki fungsi dalam pangan dengan ketahanan oksidatif yang

tinggi serta karakteristik leleh yang diinginkan (Orthoefer, 1996). Kandungan asam lemak tak

Page 5: minyak sawit

17

jenuh yang tinggi mengakibatkan minyak kelapa memiliki ketahanan yang tinggi terhadap

perubahan oksidatif di bawah kondisi penyimpanan normal sehingga minyak kelapa juga dapat

digunakan sebagai minyak penyemprot (spray oil) untuk produk biskuit untuk meningkatkan

masa simpan (Lawson, 2005).

Tabel 4. Komposisi asam lemak minyak kelapa

Asam Lemak Jumlah (%)

Asam lemak jenuh

Kaproat (C6) 0.4-0.6

Kaprilat (C8) 6.9-9.4

Kaprat (C10) 6.2-7.8

Laurat (C12) 45.9-50.3

Miristat (C14) 16.8-19.2

Palmitat (C16) 7.7-9.7

Stearat (C18) 2.3-3.2

Arakhidat (C20) t - 0.2

Asam lemak tidak jenuh

Oleat (C18:1) 5.4-7.4

Linoleat (C18:2) 1.3-2.1

Gadoleat (C20:1) t – 0.2

Canapi, et al. (2005)

Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemaknya digolongkan ke dalam minyak asam

laurat, karena kandungan asam lauratnya paling tinggi dibandingkan dengan asam lemak lainnya.

Kandungan asam lemak pada minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan sifat fisiko

kimia minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Sifat-sifat Fisiko Kimia Minyak Kelapa

Sifat Fisiko Kimia Selang

Kandungan air dan pengotor (% maksimal) 0.03

Bilangan Asam 0.04

Warna (5 1/4) Lovibond (R/Y maksimal) 1/10

Bilangan Penyabunan 250-264

Bilangan Iod 7-12

Bilangan Reichert-Meissl 8.4

Bilangan Polenske 11.5

Bilangan Peroksida (% maksimal) 0.5

Titik Cair (⁰C) 24-26

Indeks Bias (40 ⁰C) 1.448-1.450

Canapi et. al. (2005)

Page 6: minyak sawit

18

Minyak kelapa mengandung 84 persen trigliserida yang ketiga asam lemaknya jenuh, 12

persen trigliserida dengan dua asam lemak jenuh dan satu asam lemak tidak jenuh serta 4 persen

trigliserida yang mempunyai satu asam lemak jenuh dan dua asam lemak tidak jenuh. Trigliserida

terdiri dari 96 persen asam lemak dan berdasarkan komposisi tersebut, maka sifat fisiko kimia

minyak dapat ditentukan dari sifat fisiko kimia asam lemaknya. Asam lemak yang menyusun

minyak kelapa terdiri dari 80 persen asam lemak jenuh dan 20 persen asam lemak tidak jenuh

(Ketaren, 1996).

Selain gliserol dan asam lemak bebas, minyak juga mengandung bahan tidak tersabunkan

yang jumlahnya kurang dari satu persen. Minyak kelapa mengandung 0.2 sampai 0.6 persen

bahan tidak tersabunkan, yang terdiri dari fosfatida, gums, sterol, lipochrome dan tokoferol

(Timms, 1994). Mutu minyak kelapa yang memenuhi persyaratan Standar Mutu yang telah

ditetapkan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Syarat mutu minyak kelapa sesuai SNI 01-2902-1992

Parameter Mutu Ketentuan

Kadar air maksimum (%) 0.5

Kadar kotoran maksimum (%) 0.05

Bilangan iod (g iod/100 g contoh) 8.0-10.0

Bilangan penyabunan (mg KOH/g contoh) 255-265

Bilangan peroksida maksimum (mg oksigen/g contoh) 5.0

Asam lemak bebas maksimum (% asam laurat) 5.0

Warna/bau normal

Minyak pelikan negatif

Logam-logam berbahaya dan arsen negatif

Dewan Standarisasi Nasional (1992)

D. KARAKTERISTIK MINYAK

Minyak nabati merupakan bahan baku yang digunakan untuk membuat produk margarin

maupun shortening sehingga beberapa karakteristiknya akan mempengaruhi kualitas produk

margarin yang dihasilkan. Karakteristik fisik minyak yang terkait dengan kualitas margarin

antara lain kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) dan juga slip melting point.

Sementara karakteristik kimia minyak yang berpengaruh terhadap proses maupun hasil akhir

produk margarin yang dihasilkan antara lain bilangan iod dan bilangan peroksida. Pengujian

karakteristik kimia minyak dilakukan pada saat seleksi minyak menjadi bahan baku untuk

produksi margarin. Karakteristik kimia minyak tersebut akan memberi informasi mengenai jenis

dan spesifikasi minyak yang digunakan.

1. Kandungan Padatan Lemak

Kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) merupakan proporsi padatan

lemak yang terkandung di dalam suatu minyak pada suhu observasi tertentu. Menurut Weiss

(1983), lemak padat sebenarnya terdiri dari campuran berbagai komponen padatan lemak yang

Page 7: minyak sawit

19

membentuk matriks kristal. Hal ini yang menahan porsi minyak cair di dalamnya seperti

sponge yang menahan air. Jika lemak didinginkan hingga suhu yang cukup, misalnya -30⁰C

maka lemak tersebut akan mengandung padatan lemak 100%. Namun jika diberikan kondisi di

atas titik cair nya, maka lemak tersebut akan menjadi lemak cair seluruhnya tanpa adanya

padatan lemak.

O’Brien (2004) menyebutkan bahwa pengukuran SFC atau SFI penting dalam industri

margarin, shortening, dan industri pengolahan lemak lainnya. Menurut Gothra et.al (2002),

fungsi-fungsi produk shortening banyak dideskripsikan oleh industri dalam bentuk profil SFC-

nya seperti dapat dilihat pada Lampiran 2. Kurva SFC yang dihasilkan akan membantu proses

untuk mencapai konsistensi dan performa yang diharapkan. Hal ini dibutuhkan untuk

mengontrol proses dalam hidrogenasi, interestifikasi, dan pencampuran.

Berdasarkan Nielsen (1998), pengujian SFC pada prinsipnya adalah pendinginan minyak

untuk mengetahui jumlah lemak padat pada berbagai tingkatan suhu. Kandungan padatan

lemak akan diuji pada beberapa suhu observasi, yaitu pada suhu 10⁰C, 20⁰C, 30⁰C, dan 40⁰C.

Suhu observasi maupun jangkauan yang digunakan untuk menguji SFC dapat beragam sesuai

dengan kebutuhan pengujian (Nielsen, 1998). O’Brien (2004) menjelaskan bahwa suhu

observasi SFC untuk produk margarin pada suhu 10⁰C (50⁰F) merupakan indikator daya oles

produk pada suhu refrigerator. SFC pada suhu observasi 21.1⁰C (70⁰F) akan mengindikasikan

ketahanan produk selama masa penyimpanan di suhu ruang dan SFC pada suhu observasi

33.3⁰C (92⁰F) akan menunjukan karakteristik mouthfeel yaitu karakteristiknya saat meleleh di

dalam mulut. Produk shortening juga memiliki suhu observasi SFC tipikal yang utamanya

ditujukan untuk melihat karakter produk tersebut dalam industri bakeri. O’Brien (2004) juga

menjelaskan bahwa suhu observasi SFC untuk produk shortening pada suhu 10⁰C (50⁰F)

mengindikasikan konsistensi produk pada saat adonan mengalami proses retarding. SFC pada

suhu observasi 26.7⁰C (80⁰F) akan mengindikasikan ketahanan produk selama proses

pengadukan adonan dan SFC pada suhu observasi 40⁰C (104⁰F) akan menunjukan resistensi

produk pada penyimpanan suhu tinggi.

Wan (2000) melaporkan bahwa kandungan padatan lemak dapat diukur menggunakan

metode dilatometri. Peningkatan suhu akan menurunkan densitas dari lemak padat maupun

minyak cair akibat dari thermal expansion. Perubahan densitas maupun volume dari lemak

ataupun minyak tersebut pada berbagai suhu observasi dapat diukur dengan menggunakan

dilatometer. Dilatometer merupakan piknometer yang secara khusus di desain untuk dapat

mengukur perubahan volume yang sangat kecil secara spesifik (mL/g) akibat adanya thermal

expansion pada lemak, minyak, maupun campurannya. Pengujian dengan metode dilatometri

membutuhkan waktu 5 jam. Hal ini terkadang menjadi penghambat jika diinginkan hasil yang

cepat, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam perdagangan. Hasil dari pengukuran

secara dilatometri berupa solid fat index (SFI).

Metode terkini yang banyak digunakan sekarang untuk menguji kandungan padatan

lemak adalah dengan menggunakan NMR (nuclear magnetic resonance). Pada umumnya

dilakukan menggunakan spektrometer NMR dengan resolusi denyut yang rendah (low-

resolution pulse). Standar deviasi dari denyut spektrometer NMR tidak boleh lebih besar dari

0.3% padatan. Menurut Hendrikse et. al. (1994), persentase solid yang dihasilkan dari

pengukuran dengan NMR dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara respon dari inti

hidrogen dalam fase solid dengan respon dari keseluruhan inti hidrogen dalam sampel. Atom

hidrogen ini yang akan didefinisikan sebagai SFC.

Page 8: minyak sawit

20

Sampel diletakkan di dalam alat NMR dan diberikan denyut (pulse) berfrekuensi radio.

Hal ini akan menginduksi sinyal NMR dalam sampel yang kemudian menghasilkan kecepatan

gelombang yang berbeda antara padatan maupun likuid dalam minyak tersebut. Sinyal yang

dihasilkan dari padatan lemak akan memiliki kecepatan lebih cepat daripada sinyal yang

berasal dari fase likuid nya sehingga kedua komponen tersebut dapat dibedakan. Nilai SFC

akan dapat disimpulkan dari respon yang diberikan pada suhu yang sama oleh inti proton

padatan pada denyut 10µs serta inti proton likuid triasilgliserida pada denyut 70µs (Hendrikse

et.al., 1994).

Kelebihan NMR antara lain dapat melakukan pengujian secara independen menggunakan

tube yang berbeda untuk masing-masing perlakuan temperatur sehingga menghasilkan waktu

pengujian yang lebih efisien. Data yang dihasilkan SFI merupakan perbandingan empiris rasio

solid/likuid sedangkan hasil NMR merupakan nilai mutlak SFC sehingga akan lebih akurat

dan dapat dipertanggungjawabkan (Hendrikse et. al., 1994).

2. Slip Melting Point

Minyak terdiri dari trigliserida beberapa jenis asam lemak dengan panjang rantai dan

derajat ketidakjenuhan yang beragam sehingga trigliserida tersebut ada yang memiliki titik

cair rendah maupun titik cair tinggi. Lawson (1995) menyatakan bahwa titik leleh sempurna

(complete melting point) merupakan suhu dimana minyak padat menjadi minyak cair

seluruhnya. Setiap asam lemak murni memiliki titik cair spesifik. Sedangkan minyak dan

lemak merupakan campuran dari berbagai jenis asam lemak berupa trigliserida sehingga tidak

memiliki titik cair yang tajam dan digunakan slip melting point untuk mengkarakterisasi

minyak tersebut. Sementara menurut Ketaren (1996), slipping point digunakan untuk

pengenalan minyak dan lemak serta pengaruh kehadiran komponen-komponennya. Pengujian

slip melting point menggunakan silinder kecil yang diisi minyak atau lemak padat dan

diberikan kenaikan suhu secara perlahan hingga lemak atau minyak dalam silinder mulai

meluncur. Temperatur pada saat lemak mulai meluncur disebut slipping point.

Buckle et.al (2009) menyatakan bahwa perbedaan titik cair kristal-kristal lemak dapat

terjadi berdasarkan dua mekanisme utama, yaitu karena heterogenitas kristal dan perbedaan

bentuk polimorfik. Pendinginan lemak cair secara cepat akan menghasilkan kristal heterogen

dari campuran trigliserida yang mencair pada suhu lebih rendah daripada kristal lemak yang

homogen. Trigliserida murni dapat menunjukkan polimorfisme yaitu memiliki beberapa

bentuk kristal. Masing-masing bentuk ditandai dengan titik cair, berat jenis, panas laten dan

stabilitasnya masing-masing.

Polimorfisme dari bentuk kristal lemak dapat menyebabkan masalah pada konsistensi

produk margarin maupun spread. Selama proses produksi, lemak pada awalnya mengkristal

dalam bentuk alfa (α) dan normalnya akan berubah menjadi bentuk kristal beta prime (β’)

secara cepat. Bentuk kristal β’ merupakan bentuk yang diinginkan dalam produk spread

karena memiliki bentuk kristal seperti jarum-jarum kecil (sekitar 1µm) sehingga menghasilkan

plastisitas yang baik. Jika bentuk β’ berubah menjadi bentuk beta (β) yang lebih besar (>20

µm) maka spread yang dihasilkan akan memiliki konsistensi berpasir dan disebut ”sandiness”

(Flack, 1997).

Menurut Lawson (1995), faktor-faktor yang penting dalam menentukan titik cair dan

melting behaviour dari suatu produk antara lain; (1) rata-rata panjang asam lemak dimana

Page 9: minyak sawit

21

semakin panjang rantai maka titik cairnya akan semakin tinggi, (2) posisi asam lemak pada

molekul gliserol juga mempengaruhi titik cair, (3) proporsi relatif asam lemak jenuh dan asam

lemak tidak jenuh dimana semakin tinggi proporsi asam lemak tidak jenuh, maka titik cairnya

akan semakin rendah, (4) teknik proses seperti derajat hidrogenasi dan winterisasi.

Krischenbauer (1960) yang diacu dalam Ketaren (1996) juga menyebutkan bahwa struktur

asam lemaknya akan mempengaruhi titik cair, dimana asam lemak yang berstruktur trans akan

mempunyai titik cair yang lebih tinggi daripada yang berstruktur cis.