minyak sawit
DESCRIPTION
minyak sawit merupakan minyak yang dihasilkan dari kelpa sawit baik dari sabutnya maupun intinyaTRANSCRIPT
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK KELAPA SAWIT
Berdasarkan FAO (2000), minyak kepala sawit merupakan minyak yang didapatkan dari
bagian daging buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) dengan kandungan minyak
mencapai 56% tiap buahnya. Tanaman ini berasal dari negara-negara Afrika Barat dan saat ini
telah banyak tumbuh di negara tropis dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia.
Gambar 3. Buah kelapa sawit
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan volume produksi
sebesar 20.55 juta ton pada tahun 2009 (FAOSTAT). Berdasarkan GAPKI, India merupakan
importir terbesar dari crude palm oil (CPO) Indonesia diikuti oleh Uni Eropa, Cina dan
Banglades. Pada tahun 2007, Indonesia dan Malaysia menguasai produksi minyak sawit dunia
sebesar 87% (USDA). Minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak
diperdagangkan di dunia bahkan diprediksi hingga beberapa dekade ke depan (FAPRI).
Teknologi pengolahan minyak sawit terdiri dari tahap ekstraksi, pemurnian, dan
pengolahan lanjut menjadi produk pangan ataupun non pangan (Ketaren, 1996). Tahap ekstraksi
meliputi proses pengepresan terhadap sabut kelapa sawit sehingga didapat minyak crude palm oil
(CPO). Tahap pemurnian dari CPO dilakukan agar CPO dapat kemudian dikonsumsi menjadi
minyak goreng ataupun produk turunan lainnya. Tahap pemurnian dapat dilakukan melalui proses
pemisahan gum (degumming), penghilangan (refining), pemucatan (bleaching), dan deodorisasi
(deodorized). CPO yang telah mengalami proses pemurnian disebut RBDPO (refined bleached
deodorized palm oil) dengan karakeristik asam lemak bebas maksimal 0.1%, bilangan peroksida
maksimal 0, dan kadar air maksimal 0.1%. Proses dari CPO dapat menjadi beberapa produk
antara sebelum menjadi minyak goreng, diantaranya crude palm olein (CP olein), crude palm
stearin (CP stearin), refined bleached deodorized olein (RBD olein), refined bleached deodorized
stearin (RBD stearin) serta RBDPO.
Menurut Birker B. dan Padley FB. (1987) minyak kelapa sawit dapat secara efektif
dipisahkan menjadi olein (bagian cair 55%) dan stearin (bagian padat 45%) dengan proses
fraksinasi. Hasil produksi minyak sawit sekitar 90% digunakan untuk produk-produk pangan
seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, dan lain sebagainya. Lawson (1995)
menyebutkan minyak kelapa sawit juga merupakan minyak goreng yang penting di Eropa dan
negara-negara Oriental.
14
Minyak sawit memiliki fungsi yang menguntungkan di dalam produk margarin maupun
shortening terhadap kestabilan karena sifat polimorfiknya. Penambahan minyak sawit dapat
menghambat ataupun mencegah perubahan bentuk kristal beta-prime (β’) menjadi bentuk kristal
beta (β) (Gotha et.al., 2002). Minyak kelapa sawit dapat mempertahankan kestabilan kristalnya
dalam bentuk beta-prime (β’) yang dibutuhkan dalam produk margarin ataupun shortening.
Menurut Gotha et al. (2002), minyak dan lemak dapat digolongkan berdasarkan jenis asam
lemak, sumber maupun konsumsinya. Berdasarkan asam lemak penyusunnya, minyak sawit dapat
digolongkan ke dalam grup asam oleat-linoleat. Minyak sawit mengandung jumlah asam lemak
jenuh dan asam lemak tidak jenuh yang hampir sama.
Berdasarkan Orthoefer (1996), minyak kelapa sawit memiliki kandungan asam lemak
jenuh sekitar 43-56% dari total asam lemak dimana kandungan tertinggi adalah asam palmitat
dengan kandungan asam lemak tak jenuh terutama berasal dari asam oleat. Minyak kelapa sawit
mengandung 32-47% asam palmitat dan 40-52% asam oleat. Minyak kelapa sawit juga
mengandung asam lemak esensial linoleat (omega-6) sekitar 9-12% dari total asam lemak
keseluruhan. Komposisi asam lemak pada minyak sawit dapat dilihat pada Tabel1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak sawit
Asam Lemak Jumlah (%)
Asam lemak jenuh
Laurat (C12) 0.1-1.0
Miristat (C14) 0.9-1.5
Palmitat (C16) 41.8-46.8
Stearat (C18) 4.2-5.1
Arakhidat (C20) 0.2-0.7
Asam lemak tidak jenuh
Palmitoleat (C16:1) 0.1-0.3
Oleat (C18:1) 37.3-40.8
Linoleat (C18:2) 9.1-11.0
Linolenat (C18:3) 0-0.6
Basiron (2005).
Komponen minor yang terdapat dalam minyak sawit terdiri dari karotenoid (pigmen yang
membentuk warna oranye), tokoferol, dan tokotrienol (sebagai antioksidan), sterol, triterpenic
dan alifatik alkohol. Adanya karetenoid, tokoferol dan tokotrienol menyebabkan tingginya
stabilitas oksidasi dan nilai gizi minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Beberapa
fraksi minyak sawit memiliki kandungan karotenoid yang berbeda; CPO (630-700 ppm), CP olein
(680-760ppm), dan CP stearin (380-540ppm) (Orthoefer, 1996).
Komposisi asam lemak tersebut juga berpengaruh terhadap slip melting point yang dimiliki
oleh minyak sawit yaitu berkisar antara 31.1ºC hingga 37.6 ºC (Basiron, 2005). Selain itu, sifat
fisik lainnya seperti kandungan lemak padat yang terkandung di dalam minyak sawit juga dapat
dipengaruhi oleh kandungan asam lemaknya. Nilai kandungan lemak padat dari berbagai suhu
observasi disajikan pada Tabel 2.
15
Tabel 2. Nilai kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) minyak
sawit (RBDPO) pada berbagai suhu
Basiron (2005).
B. STEARIN
Minyak kelapa sawit pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu stearin (fraksi padatan)
dan olein (fraksi cairan). Pemisahan kedua fraksi tersebut dilakukan melalui proses fraksinasi.
Proses fraksinasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penyaringan kering (dry
fractionation), penyaringan basah (detergent fractionation). Industri pengolahan kelapa sawit
cenderung memakai teknik penyaringan kering dengan menggunakan membrane filter press
karena lebih ekonomis dan ramah lingkungan (Basiron, 2005). Pada proses fraksinasi akan
didapatkan fraksi stearin sebanyak 25 persen dan fraksi olein (minyak makan) sebanyak 75
persen. Stearin memiliki slip melting point sekitar 44.5-56.2oC sedangkan olein pada kisaran 13-
23oC. Hal ini menunjukkan bahwa stearin yang memiliki slip melting pont lebih tinggi akan
berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris, 1994). Kandungan asam lemak pada
stearin dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi asam lemak stearin
Basiron (2005).
Suhu observasi Solid Fat Content (%)
Rata-rata Kisaran
5ºC 60.5 50.7-68.0
10ºC 49.6 40.0-55.2
15ºC 34.7 27.2-39.7
20ºC 22.5 14.7-27.9
25ºC 13.5 6.5-18.5
30ºC 9.2 4.5-14.1
35ºC 6.6 1.8-11.7
40ºC 4.0 0.0-7.5
45ºC 0.7 -
Asam Lemak Jumlah (%)
Asam lemak jenuh
Laurat (C12) 0.1-0.6
Miristat (C14) 1.1-1.9
Palmitat (C16) 47.2-73.8
Stearat (C18) 4.4-5.6
Arakhidat (C20) 0.1-0.6
Asam lemak tidak jenuh
Palmitoleat (C16:1) 0.05-0.2
Oleat (C18:1) 15.6-37.0
Linoleat (C18:2) 3.2-9.8
Linolenat (C18:3) 0.1-0.6
16
Fraksi stearin merupakan produk sampingan yang diperoleh dari minyak sawit bersama-
sama dengan fraksi olein. Sebagai produk sampingan, stearin cukup berperan dalam perdagangan
internasional. Ekspor stearin Negara Malaysia pada tahun 1993 mencapai 788.000 ton, lebih
tinggi daripada ekspor minyak kacang tanah (320.000 ton) dan minyak kacang tanah (200.000
ton). Selain itu, stearin secara alami berada pada posisi yang menguntungkan sehubungan dengan
pola permintaan konsumen besar untuk lemak padat. Stearin dapat digunakan sebagai lemak
padat hard fat (Gunstone, 2005) maupun sebagai margarin hard stock rendah trans (Sahri dan
Idris, 2010). Stearin juga dapat digunakan untuk menggantikan permintaan terhadap lemak hewan
serta fungsinya sebagai lemak reroti (shortening) maupun minyak goreng (frying fats) (Basiron,
2005). Minyak babi (lard) juga dapat digantikan dengan stearin ataupun minyak sawit RBD pada
beberapa aplikasinya karena harga stearin yang relatif lebih murah daripada fraksi likuid (olein)
maupun minyak hewan. Kifli dan Krishnan (1987) melaporkan bahwa stearin juga digunakan
sebagai pengganti lemak hewan (tallow) dalam produk sabun karena harganya yang cukup
terjangkau. Pada industri permen maupun manisan (convectionary) diperlukan stearin khusus
yang didapatkan dari proses fraksinasi ganda (Basiron, 2005).
Stearin yang dihasilkan akan berbeda-beda tergantung dari proses fraksinasi yang
dilakukan. Stearin memiliki beberapa bentuk atau klasifikasi dalam perdagangan tergantung pada
penggunaannya. Masing-masing jenis tersebut memiliki standar yang berbeda seperti standar
Crude Palm Stearin, Pretreated Palm Stearin, dan Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm
Stearin. Crude Palm Stearin merupakan stearin yang dihasilkan dari proses fraksinasi CPO
dengan karakter fisik berwarna kuning hingga jingga kemerahan (SNI 01-0019-1987). Sedangkan
pretreated palm stearin merupakan stearin yang telah mengalami proses penggumpalan
(degumming) dan pemutihan pendahuluan (pre-bleaching) untuk berikutnya mengalami proses
pemurnian secara fisik (physical refining) (SNI 01-0020-1987). Berdasarkan SNI 01-0021-1998,
RBD Stearin merupakan produk yang diperoleh dari hasil fraksinasi RBD PO dan telah
mengalami proses pemurnian. Syarat mutu RBD yaitu kadar asam lemak bebas maksimal 0.15%,
bilangan iod maksimal 40 g iod/100 g, cemaran arsen maksimal 0.1 ppm serta kadar air dan
kotoran maksimal 0.1%. Standar RBD stearin harus dipenuhi jika stearin akan dipergunakan
untuk membuat suatu produk pangan.
C. MINYAK KELAPA
Minyak kelapa atau coconut oil (CNO) didapatkan dari ekstraksi kopra secara fisik. Kopra
merupakan daging buah kelapa (endosperm) yang telah dikeringkan yang dapat mengandung
minyak 65-68% (Orthoefer, 1996). Minyak kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku produk-
produk pangan maupun non-pangan seperti sabun, deterjen, minyak rambut, lipstik dan produk
kosmetik lainnya, minyak pelumas, minyak gosok, dan lain-lain. Aplikasi penggunaan minyak
kelapa pada produk pangan sangat beragam. Minyak kelapa yang telah mengalami proses refined,
bleached, dan deodorization (RBD CNO) banyak digunakan sebagai minyak goreng. Sementara
pencampuran minyak kelapa (CNO) dengan minyak sawit terhidrogenasi dengan pencampuran
secara fisik dan interesterifikasi digunakan untuk menghasilkan margarin dan shortening. Minyak
kelapa juga secara luas digunakan sebagai krim lemak sebagai komponen dalam krim biskuit dan
bahan untuk permen ataupun manisan (confectionary oil) (Canapi, 2005).
Minyak kelapa merupakan jenis minyak utama pada kelompok minyak asam laurat.
Minyak kelompok asam laurat memiliki fungsi dalam pangan dengan ketahanan oksidatif yang
tinggi serta karakteristik leleh yang diinginkan (Orthoefer, 1996). Kandungan asam lemak tak
17
jenuh yang tinggi mengakibatkan minyak kelapa memiliki ketahanan yang tinggi terhadap
perubahan oksidatif di bawah kondisi penyimpanan normal sehingga minyak kelapa juga dapat
digunakan sebagai minyak penyemprot (spray oil) untuk produk biskuit untuk meningkatkan
masa simpan (Lawson, 2005).
Tabel 4. Komposisi asam lemak minyak kelapa
Asam Lemak Jumlah (%)
Asam lemak jenuh
Kaproat (C6) 0.4-0.6
Kaprilat (C8) 6.9-9.4
Kaprat (C10) 6.2-7.8
Laurat (C12) 45.9-50.3
Miristat (C14) 16.8-19.2
Palmitat (C16) 7.7-9.7
Stearat (C18) 2.3-3.2
Arakhidat (C20) t - 0.2
Asam lemak tidak jenuh
Oleat (C18:1) 5.4-7.4
Linoleat (C18:2) 1.3-2.1
Gadoleat (C20:1) t – 0.2
Canapi, et al. (2005)
Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemaknya digolongkan ke dalam minyak asam
laurat, karena kandungan asam lauratnya paling tinggi dibandingkan dengan asam lemak lainnya.
Kandungan asam lemak pada minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan sifat fisiko
kimia minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Sifat-sifat Fisiko Kimia Minyak Kelapa
Sifat Fisiko Kimia Selang
Kandungan air dan pengotor (% maksimal) 0.03
Bilangan Asam 0.04
Warna (5 1/4) Lovibond (R/Y maksimal) 1/10
Bilangan Penyabunan 250-264
Bilangan Iod 7-12
Bilangan Reichert-Meissl 8.4
Bilangan Polenske 11.5
Bilangan Peroksida (% maksimal) 0.5
Titik Cair (⁰C) 24-26
Indeks Bias (40 ⁰C) 1.448-1.450
Canapi et. al. (2005)
18
Minyak kelapa mengandung 84 persen trigliserida yang ketiga asam lemaknya jenuh, 12
persen trigliserida dengan dua asam lemak jenuh dan satu asam lemak tidak jenuh serta 4 persen
trigliserida yang mempunyai satu asam lemak jenuh dan dua asam lemak tidak jenuh. Trigliserida
terdiri dari 96 persen asam lemak dan berdasarkan komposisi tersebut, maka sifat fisiko kimia
minyak dapat ditentukan dari sifat fisiko kimia asam lemaknya. Asam lemak yang menyusun
minyak kelapa terdiri dari 80 persen asam lemak jenuh dan 20 persen asam lemak tidak jenuh
(Ketaren, 1996).
Selain gliserol dan asam lemak bebas, minyak juga mengandung bahan tidak tersabunkan
yang jumlahnya kurang dari satu persen. Minyak kelapa mengandung 0.2 sampai 0.6 persen
bahan tidak tersabunkan, yang terdiri dari fosfatida, gums, sterol, lipochrome dan tokoferol
(Timms, 1994). Mutu minyak kelapa yang memenuhi persyaratan Standar Mutu yang telah
ditetapkan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Syarat mutu minyak kelapa sesuai SNI 01-2902-1992
Parameter Mutu Ketentuan
Kadar air maksimum (%) 0.5
Kadar kotoran maksimum (%) 0.05
Bilangan iod (g iod/100 g contoh) 8.0-10.0
Bilangan penyabunan (mg KOH/g contoh) 255-265
Bilangan peroksida maksimum (mg oksigen/g contoh) 5.0
Asam lemak bebas maksimum (% asam laurat) 5.0
Warna/bau normal
Minyak pelikan negatif
Logam-logam berbahaya dan arsen negatif
Dewan Standarisasi Nasional (1992)
D. KARAKTERISTIK MINYAK
Minyak nabati merupakan bahan baku yang digunakan untuk membuat produk margarin
maupun shortening sehingga beberapa karakteristiknya akan mempengaruhi kualitas produk
margarin yang dihasilkan. Karakteristik fisik minyak yang terkait dengan kualitas margarin
antara lain kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) dan juga slip melting point.
Sementara karakteristik kimia minyak yang berpengaruh terhadap proses maupun hasil akhir
produk margarin yang dihasilkan antara lain bilangan iod dan bilangan peroksida. Pengujian
karakteristik kimia minyak dilakukan pada saat seleksi minyak menjadi bahan baku untuk
produksi margarin. Karakteristik kimia minyak tersebut akan memberi informasi mengenai jenis
dan spesifikasi minyak yang digunakan.
1. Kandungan Padatan Lemak
Kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) merupakan proporsi padatan
lemak yang terkandung di dalam suatu minyak pada suhu observasi tertentu. Menurut Weiss
(1983), lemak padat sebenarnya terdiri dari campuran berbagai komponen padatan lemak yang
19
membentuk matriks kristal. Hal ini yang menahan porsi minyak cair di dalamnya seperti
sponge yang menahan air. Jika lemak didinginkan hingga suhu yang cukup, misalnya -30⁰C
maka lemak tersebut akan mengandung padatan lemak 100%. Namun jika diberikan kondisi di
atas titik cair nya, maka lemak tersebut akan menjadi lemak cair seluruhnya tanpa adanya
padatan lemak.
O’Brien (2004) menyebutkan bahwa pengukuran SFC atau SFI penting dalam industri
margarin, shortening, dan industri pengolahan lemak lainnya. Menurut Gothra et.al (2002),
fungsi-fungsi produk shortening banyak dideskripsikan oleh industri dalam bentuk profil SFC-
nya seperti dapat dilihat pada Lampiran 2. Kurva SFC yang dihasilkan akan membantu proses
untuk mencapai konsistensi dan performa yang diharapkan. Hal ini dibutuhkan untuk
mengontrol proses dalam hidrogenasi, interestifikasi, dan pencampuran.
Berdasarkan Nielsen (1998), pengujian SFC pada prinsipnya adalah pendinginan minyak
untuk mengetahui jumlah lemak padat pada berbagai tingkatan suhu. Kandungan padatan
lemak akan diuji pada beberapa suhu observasi, yaitu pada suhu 10⁰C, 20⁰C, 30⁰C, dan 40⁰C.
Suhu observasi maupun jangkauan yang digunakan untuk menguji SFC dapat beragam sesuai
dengan kebutuhan pengujian (Nielsen, 1998). O’Brien (2004) menjelaskan bahwa suhu
observasi SFC untuk produk margarin pada suhu 10⁰C (50⁰F) merupakan indikator daya oles
produk pada suhu refrigerator. SFC pada suhu observasi 21.1⁰C (70⁰F) akan mengindikasikan
ketahanan produk selama masa penyimpanan di suhu ruang dan SFC pada suhu observasi
33.3⁰C (92⁰F) akan menunjukan karakteristik mouthfeel yaitu karakteristiknya saat meleleh di
dalam mulut. Produk shortening juga memiliki suhu observasi SFC tipikal yang utamanya
ditujukan untuk melihat karakter produk tersebut dalam industri bakeri. O’Brien (2004) juga
menjelaskan bahwa suhu observasi SFC untuk produk shortening pada suhu 10⁰C (50⁰F)
mengindikasikan konsistensi produk pada saat adonan mengalami proses retarding. SFC pada
suhu observasi 26.7⁰C (80⁰F) akan mengindikasikan ketahanan produk selama proses
pengadukan adonan dan SFC pada suhu observasi 40⁰C (104⁰F) akan menunjukan resistensi
produk pada penyimpanan suhu tinggi.
Wan (2000) melaporkan bahwa kandungan padatan lemak dapat diukur menggunakan
metode dilatometri. Peningkatan suhu akan menurunkan densitas dari lemak padat maupun
minyak cair akibat dari thermal expansion. Perubahan densitas maupun volume dari lemak
ataupun minyak tersebut pada berbagai suhu observasi dapat diukur dengan menggunakan
dilatometer. Dilatometer merupakan piknometer yang secara khusus di desain untuk dapat
mengukur perubahan volume yang sangat kecil secara spesifik (mL/g) akibat adanya thermal
expansion pada lemak, minyak, maupun campurannya. Pengujian dengan metode dilatometri
membutuhkan waktu 5 jam. Hal ini terkadang menjadi penghambat jika diinginkan hasil yang
cepat, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam perdagangan. Hasil dari pengukuran
secara dilatometri berupa solid fat index (SFI).
Metode terkini yang banyak digunakan sekarang untuk menguji kandungan padatan
lemak adalah dengan menggunakan NMR (nuclear magnetic resonance). Pada umumnya
dilakukan menggunakan spektrometer NMR dengan resolusi denyut yang rendah (low-
resolution pulse). Standar deviasi dari denyut spektrometer NMR tidak boleh lebih besar dari
0.3% padatan. Menurut Hendrikse et. al. (1994), persentase solid yang dihasilkan dari
pengukuran dengan NMR dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara respon dari inti
hidrogen dalam fase solid dengan respon dari keseluruhan inti hidrogen dalam sampel. Atom
hidrogen ini yang akan didefinisikan sebagai SFC.
20
Sampel diletakkan di dalam alat NMR dan diberikan denyut (pulse) berfrekuensi radio.
Hal ini akan menginduksi sinyal NMR dalam sampel yang kemudian menghasilkan kecepatan
gelombang yang berbeda antara padatan maupun likuid dalam minyak tersebut. Sinyal yang
dihasilkan dari padatan lemak akan memiliki kecepatan lebih cepat daripada sinyal yang
berasal dari fase likuid nya sehingga kedua komponen tersebut dapat dibedakan. Nilai SFC
akan dapat disimpulkan dari respon yang diberikan pada suhu yang sama oleh inti proton
padatan pada denyut 10µs serta inti proton likuid triasilgliserida pada denyut 70µs (Hendrikse
et.al., 1994).
Kelebihan NMR antara lain dapat melakukan pengujian secara independen menggunakan
tube yang berbeda untuk masing-masing perlakuan temperatur sehingga menghasilkan waktu
pengujian yang lebih efisien. Data yang dihasilkan SFI merupakan perbandingan empiris rasio
solid/likuid sedangkan hasil NMR merupakan nilai mutlak SFC sehingga akan lebih akurat
dan dapat dipertanggungjawabkan (Hendrikse et. al., 1994).
2. Slip Melting Point
Minyak terdiri dari trigliserida beberapa jenis asam lemak dengan panjang rantai dan
derajat ketidakjenuhan yang beragam sehingga trigliserida tersebut ada yang memiliki titik
cair rendah maupun titik cair tinggi. Lawson (1995) menyatakan bahwa titik leleh sempurna
(complete melting point) merupakan suhu dimana minyak padat menjadi minyak cair
seluruhnya. Setiap asam lemak murni memiliki titik cair spesifik. Sedangkan minyak dan
lemak merupakan campuran dari berbagai jenis asam lemak berupa trigliserida sehingga tidak
memiliki titik cair yang tajam dan digunakan slip melting point untuk mengkarakterisasi
minyak tersebut. Sementara menurut Ketaren (1996), slipping point digunakan untuk
pengenalan minyak dan lemak serta pengaruh kehadiran komponen-komponennya. Pengujian
slip melting point menggunakan silinder kecil yang diisi minyak atau lemak padat dan
diberikan kenaikan suhu secara perlahan hingga lemak atau minyak dalam silinder mulai
meluncur. Temperatur pada saat lemak mulai meluncur disebut slipping point.
Buckle et.al (2009) menyatakan bahwa perbedaan titik cair kristal-kristal lemak dapat
terjadi berdasarkan dua mekanisme utama, yaitu karena heterogenitas kristal dan perbedaan
bentuk polimorfik. Pendinginan lemak cair secara cepat akan menghasilkan kristal heterogen
dari campuran trigliserida yang mencair pada suhu lebih rendah daripada kristal lemak yang
homogen. Trigliserida murni dapat menunjukkan polimorfisme yaitu memiliki beberapa
bentuk kristal. Masing-masing bentuk ditandai dengan titik cair, berat jenis, panas laten dan
stabilitasnya masing-masing.
Polimorfisme dari bentuk kristal lemak dapat menyebabkan masalah pada konsistensi
produk margarin maupun spread. Selama proses produksi, lemak pada awalnya mengkristal
dalam bentuk alfa (α) dan normalnya akan berubah menjadi bentuk kristal beta prime (β’)
secara cepat. Bentuk kristal β’ merupakan bentuk yang diinginkan dalam produk spread
karena memiliki bentuk kristal seperti jarum-jarum kecil (sekitar 1µm) sehingga menghasilkan
plastisitas yang baik. Jika bentuk β’ berubah menjadi bentuk beta (β) yang lebih besar (>20
µm) maka spread yang dihasilkan akan memiliki konsistensi berpasir dan disebut ”sandiness”
(Flack, 1997).
Menurut Lawson (1995), faktor-faktor yang penting dalam menentukan titik cair dan
melting behaviour dari suatu produk antara lain; (1) rata-rata panjang asam lemak dimana
21
semakin panjang rantai maka titik cairnya akan semakin tinggi, (2) posisi asam lemak pada
molekul gliserol juga mempengaruhi titik cair, (3) proporsi relatif asam lemak jenuh dan asam
lemak tidak jenuh dimana semakin tinggi proporsi asam lemak tidak jenuh, maka titik cairnya
akan semakin rendah, (4) teknik proses seperti derajat hidrogenasi dan winterisasi.
Krischenbauer (1960) yang diacu dalam Ketaren (1996) juga menyebutkan bahwa struktur
asam lemaknya akan mempengaruhi titik cair, dimana asam lemak yang berstruktur trans akan
mempunyai titik cair yang lebih tinggi daripada yang berstruktur cis.