mini research psikologi agama
TRANSCRIPT
1
PENGARUH RELIGIOUS COPING TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGI
REMAJA DI LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN (ISLAMIC BOARDING
SCHOOL)
(Sebuah Mini Research)
Oleh :
Anis Fahmi Basewed, S. Psi
NIM. 20121010027
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Penelitian ini berjudul “ Pengaruh Religious Coping terhadap Kesejahteraan PsikologisRemaja di Lembaga Pendidikan Pesantren”, penelitian ini akan membahas berbagai hal tentang pengaruh penggunaan strategi coping berbasiskan orientasi religius remaja yangbersekolah di lembaga pendidikan pesantren di Kota Yogyakarta.. Penelitian ini dilakukan sebuah madrasah di Kota Yogyakarta yang berdasarkan kriteria peneliti merupakan representasi dari populasi lembaga pendidikan pesantren di Kota Yogyakarta, yaitu Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. madrasah tersebut memiliki jumlah santri yang banyak dan merupakan lembaga pendidikan pesantren (islamic boarding school tertua di Kota Yogyakarta. Hasil penelitian ini nantinya akan sangat bermanfaat dalam pembentukan model pembinaan santri berbasiskan Kesejahteraan Psikologis dengan perspektif Psikologi Agama.
B. Latar Belakang Masalah
Remaja di lembaga pendidikan pesantren memiliki karakteristik khas yang berbeda
dengan remaja lain yang mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan umum seperti SMU
dan SMK. Karakteristik khas tersebut di antaranya adalah bahwa remaja di lembaga
pendidikan pesantren memiliki pengalaman belajar yang lebih kompleks, penuh daya juang
dan religius. Pengalaman belajar seperti banyaknya jumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh dan dikuasai (karena terdiri dari pelajaran umum dan pelajaran agama), ketatnya
disiplin dan tata tertib di sekolah dan asrama, kuatnya kultur sekolah yang telah berlangsung
turun temurun, serta tingginya tingkat konformitas dan kohesi kelompok teman sebaya.
2
Melalui pengalaman tersebut, secara ideal, diharapkan akan dapat terbentuk remaja
dengan pribadi-pribadi yang handal, berdaya juang tinggi dan religius sesuai tujuan
diselenggarakannya lembaga pendidikan tersebut.
Namun pada kenyataannya, paparan beberapa kondisi semacam itu mengakibatkan remaja
di lembaga pendidikan pesantren kerap merasakan tekanan fisik dan psikologis yang pada
gilirannya menyebabkan gejala-gejala stress, baik dari tingkat ringan maupun hingga tingkat
berat (tergantung dari daya tahan psikologis masing-masing siswa). Kondisi stress tersebut
tentu sangat kontra produktif dengan Kesejahteraan Psikologis mereka dalam kehidupan
sehari-hari yang dampaknya juga akan sangat mempengaruhi performa mereka dalam belajar.
Dampak dari kondisi semacam itu dibuktikan dengan menurunnya prestasi siswa dari hari ke
hari, menurunnya motivasi belajar mereka, tingginya angka siswa yang drop out, banyaknya
siswa yang mengeluhkan tidak betah tinggal di asrama dan masih banyak lagi masalah-
masalah siswa yang berkaitan dengan tingginya tingkat pelanggaran tata tertib. Ditambah lagi
fakta tingginya tingkat siswa yang tidak menghadiri (alpha) shalat berjamaah dan ta’lim di
asrama.
Di antara siswa-siswa tersebut, banyak pula yang mampu bertahan menjalani pendidikan
di lembaga pendidikan pesantren, meskipun dari beberapa pendapat, mereka menjalani itu
semua karena terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lain. Faktor-faktor seperti, ingin berbakti
kepada orang tua (sekolah karena disuruh orang tua), takut mengecewakan orang tua,
bersabar, ingin sekolah ke luar negeri (karena dipercaya bahwa pesantren memiliki akses
untuk melanjutkan ke luar negeri) serta faktor-faktor lain seperti konformitas teman sebaya.
Di antara faktor-faktor tersebut, yang paling mewarnai alasan mereka tetap bertahan untuk
bersekolah di lembaga pendidikan pesantren adalah karena ingin berbakti kepada orang tua.
Artinya, bahwa peran keyakinan religius remaja di lembaga pendidikan pesantren lah salah
satu faktor yang membuat mereka bertahan dan sejahtera secara psikologis.
Berdasarkan kondisi di atas, maka penting untuk meneliti pengaruh strategi religius
coping remaja dalam menangani dampak stress di lembaga pendidikan pesantren sehingga
mereka mampu meraih Kesejahteraan Psikologis yang tinggi sehingga mereka mampu
bertahan di madrasah (pesantren). Untuk itu, dapatlah dibuat judul penelitian ini “Pengaruh
Religious Coping terhadap Kesejahteraan Psikologis Remaja di Lembaga Pendidikan
Pesantren.”
3
1. Identifikasi Masalah
Kondisi seperti di atas membawa kita kepada identifikasi masalah sebagai berikut :
a. Rendahnya Kesejahteraan Psikologis remaja di lembaga pendidikan pesantren yang
diindikasikan dengan tingginya keluhan ketidakbetahan mereka di sekolah dan di
asrama, tingginya angka pelanggaran tata tertib di madrasah dan di asrama, rendahnya
performa mereka di sekolah serta rendahnya motivasi belajar yang terlihat dari tingkat
partisipasi mereka yang rendah pula dalam belajar.
b. Rendahnya religiusitas remaja di lembaga pendidikan pesantren yang ditunjukkan
dengan tingginya angka ketidakhadiran mereka dalam shalat berjama’ah dan ta’lim
shubuh.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
“Apakah ada pengaruh Religious Coping terhadap Kesejahteraan Psikologis remaja di
lembaga pendidikan pesantren?”
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh Religious Coping terhadap
Kesejahteraan Psikologis remaja di lembaga pendidikan pesantren.
4. Manfaat
Hasil penelitian ini, nantinya akan bermanfaat bagi beberapa pihak antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Cikal bakal atau benih (seeds) untuk membuat sebuah model pengembangan kualitas
Sumber Daya Manusia berbasis Kesejahteraan Psikologis remaja melalui pendekatan religius.
4
b. Manfaat Praktis
(1) Bagi Siswa
Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan diri mereka
menuju pribadi-pribadi yang sehat secara fisik dan mental melalui upaya peningkatan
religiusitas di pesantren
a. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi madrasah guna pengembangan model-
model peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia berbasis Kesejahteraan Psikologis remaja
dalam upaya optimalisasi tujuan pendidikan.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Religious Coping
1. Pengertian
Berdasarkan teori dalam psikologi kognitif stress yang telah ditulis oleh Lazarus &
Folkman (Safaria, 2011), coping adalah salah satu komponen penting dalam kognisi manusia
yang mana bersama dengan proses interpretasi, dipandang sebagai mediator antara stress dan
hasil adaptional. Ia mengacu kepada usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk menguasai,
mengurangi dan mentolerir tuntutan internal atau eksternal yang diciptakan oleh situasi
transaksi yang penuh tekanan (stress). Apabila ditinjau dari proses terjadinya stress, maka
maka coping memiliki tiga bentuk. Pertama, coping yang berorientasi pada proses, coping ini
berfokus kepada apa yang sebenarnya individu pikirkan dan lakukan dalam menghadapi
situasi yang spesifik. Kedua, coping bersifat kontekstual, artinya coping dipengaruhi oleh
interpretasi individu terhadap tuntutan aktual dalam suatu situasi. Variabel individual dan
situasional secara bersama-sama menentukan usaha dan strategi copingnya. Ketiga, adanya
asumsi a priori di mana tidak ada penentuan bagaimana bentuk coping yang baik dan buruk.
Lebih lanjut, Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) mendefinisikan bahwa coping
adalah suatu proses di mana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara
tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan
tersebut.
Taylor (2009) juga mendefinisikan coping sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan
untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Sementara
menurut Baron & Byrne (1991), coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah,
respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan guna mengontrol, mentolerir
dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi. Sedangkan Stone & Neale (Rice,
1992) menyatakan bahwa coping adalah segala usaha yang disadari untuk menghadapi
tuntutan yang penuh dengan tekanan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah
segala usaha individu untuk mengatur antara tuntutan lingkungan dan konflik yang muncul
6
pada dirinya dengan mengurangi kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan
tersebut dengan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut.
Sedangkan Religius Coping memiliki definisi sebagai sejauhmana individu menggunakan
keyakinan dan praktek ritual keagamaannya untuk memfasilitasi proses pemecahan masalah
guna mencegah dan meringankan dampak psikologis negatif dari situasi yang penuh tekanan,
ia juga membantu individu dalam beradaptasi terhadap situasi kehidupan yang menekan
(Koenig, et al, dalam Safaria, 2011).
Selanjutnya Safaria (2011) dalam penelitian moderasi Religius Coping terhadap stress
kerja karyawan akademik, membuat definisi operasional Religius Coping sebagai sejauhmana
individu menggunakan strategi coping religius positif dan strategi coping religius negatif yang
mereka miliki untuk memfasilitasi pemecahan masalah dan tuntutan situasi kerja (tuntutan
lingkungan) yang penuh tekanan (stressful).
Dengan demikian, maka dapat didefinisikan bahwa Religius Coping adalah ukuran tentang
sejauhmana individu menggunakan strategi coping religius yang dimilikinya baik positif
maupun negatif dalam bentuk keyakinan dan ritual keagamaannya guna memfasilitasi proses
pemecahan masalah serta penyesuaian dirinya terhadap situasi lingkungan yang penuh
tekanan (stressful).
a. Aspek-aspek Religius Coping
Pargament (1998) membagi Religius Coping menjadi dua aspek, yakni Positive Religius
Coping dan Negative Religius Coping. Kedua aspek tersebut sesungguhnya merupakan pola
strategi individu dalam mengelola dirinya dalam situasi tertentu melalui Religius Coping.
Positive Religius Coping Strategy mengacu kepada upaya individu untuk mengalihkan pikiran
dan perilaku kepada pengamalan ajaran agama guna mendukung seseorang menjalani hidup
dan kehidupan yang penuh tekanan dengan kecenderungan yang lebih menguntungkan bagi
dirinya dengan pengalihan tersebut. Sedangkan Negative Religius Coping Strategy merupakan
upaya yang merefleksikan keterlibatan individu dalam perjuangan dan keraguan religius,
respon ini umumnya bersifat lebih maladaptif
7
b. Indikator Religius Coping
Lebih lanjut Pargament (1998) mengidentifikasikan Positive and Negative Religius
Coping ke dalam beberapa indikator yang kemudian ia terapkan pada pembuatan alat ukur
Religius Coping (brief RCOPE). Indikator-indikator tersebut antara lain :
(1) Positive Religius Coping, meliputi :
(a) Religious Forgiveness (Pengampunan Dosa)
(b) Seeking Spiritual Support (Mencari Dukungan Spiritual)
(c) Collaborative Religious Coping (Strategi Kolaboratif)
(d) Spiritual Connection (Hubungan Spiritual)
(e) Religious Purification (Pemurnian Religius), dan
(f) Benevolent Religious Reappraisal (Penilaian Kebajikan)
(2) Negative Religious Coping
(a) Spiritual Discontent (Ketidakpuasan spiritual)
(b) Punishing God Reappraisals (Penyalahan Hukuman Tuhan)
(c) Interpersonal Religious Discontent (Ketidakpuasan Religius antar pribadi)
(d) Demonic Reappraisal (Penyalahan Syaitan) , dan
(e) Reappraisal of God Powers (Penilaian kembali Kekuatan Tuhan)
B. Kesejahteraan Psikologis
1. Pengertian
Kesejahteraan Psikologis adalah konsep teoritis yang mengacu kepada keadaan psikologis
yang seimbang pada individu, dikenal juga sebagai kesehatan mental, kesejahteraan subjektif,
atau kebahagiaan (Brim, dalam Maulina, 2012). Dalam perspektif psikologi perkembangan,
Erikson (dalam Wells, 2010) mempresentasikan konsep ‘kepribadian sehat’ dalam konteks
teori Feudian. Ia memandang perkembangan kepribadian sebagai sebuah proses di mana
faktor-faktornya berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga kepribadian sebagai
suatu kesatuan sistem yang utuh bergantung kepada tiap-tiap komponen perkembangan.
Dengan demikian, Kesejahteraan Psikologis sebagai sebuah konsep kesehatan mental, tidak
dapat lepas dari aspek-aspek lain dalam perkembangan manusia termasuk di dalamnya adalah
evaluasi individu akan pengalaman-pengalaman hidupnya. Hamburger (dalam Maulina, 2012)
mendefinisikan Kesejahteraan Psikologis sebagai sebuah konsep modern yang lebih
8
menekankan pada karakteristik positif dari pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Sementara itu, Ryan & Deci (dalam Wells, 2010) menyatakan bahwa bila kita berbicara
tentang Kesejahteraan Psikologis berarti kita sedang berbicara tentang sebuah konstruk yang
terkait dengan fungsi optimal atau positif dari seseorang. Sedangkan Maslow dan Rogers
(dalam Wells, 2010) lebih memfokuskan diri pada aktualisasi diri serta pandangan tentang
orang yang berfungsi sepenuhnya sebagai cara untuk mencapai Kesejahteraan Psikologis dan
kepuasan pribadi.
Ryff & Marshal (dalam Maulina, 2012) mengemukakan bahwa Kesejahteraan Psikologis
merupakan konstruksi dasar yang dapat menyampaikan informasi tentang bagaimana individu
mengevaluasi diri mereka sendiri dan kualitas serta pengalaman hidup mereka. Evaluasi
tersebut menjadikan seseorang pasrah menerima keadaan sehingga mengakibatkan
Kesejahteraan Psikologis-nya rendah, atau dia berusaha memperbaiki hidup sekuat
kemampuannya sehingga meningkatkan Kesejahteraan Psikologis-nya (Riff & Singer, dalam
Maulina, 2012).
Meskipun Kesejahteraan Psikologis dikatakan sebagai evaluasi individu terhadap
hidupnya yang identik dengan kesejahteraan dan kebahagiaan, namun kesejahteraan dan
kebahagiaan subyektif yang dimaksud bukanlah kebahagiaan hedonis, melainkan bersifat
eudemonis. Waterman (dalam Wells, 2010) membedakan antara segi hedonis dan eudemonis
dari Kesejahteraan Psikologis tersebut. Menurutnya, segi hedonis terutama memfokuskan diri
pada kebahagiaan serta mendefinisikan kesejahteraan sebagai indikator dari kualitas hidup
seseorang. Kebahagiaan itu diperoleh berdasarkan hubungan antara karakteristik lingkungan
yang mendukung dengan tingkat kepuasan seseorang (Campbell, Converse, and Rodgers,
dalam Wells, 2010). Dalam perspektif ini, manusia memfokuskan diri dalam upaya untuk
mencapai kesenangan hidup dan menghindarkan diri dari ketidaknyamanan (Ryan & Deci,
dalam Wells, 2010). Sedangkan pendekatan eudemonik lebih diorientasikan kepada
kehidupan yang bermakna serta kepada tingkat pencapaian diri seseorang. Pendekatan ini
menekankan kepada sejauhmana seseorang menjadi diri yang berfungsi sepenuhnya (Ryan &
Deci, dalam Wells, 2010).
Berdasarkan beberapa definisi yang diajukan beberapa ahli di atas, maka dapatlah dibuat
kesimpulan bahwa Kesejahteraan Psikologis adalah sebuah konstruk psikologis yang
9
memberikan informasi tentang perasaan subyektif individu akan pencapaian dirinya sebagai
hasil dari evaluasi diri dan kualitas pribadi serta pengalaman hidupnya.
a. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis.
Ryff (dalam Rahayu, 2008) membagi Kesejahteraan Psikologis kedalam enam dimensi
yang mana dimensi-dimensi itu merupakan intisari dari teori-teori Positive funcioning
psychology yang juga telah dikemukakan olehnya dalam buku Psychological Well Being
(Wells, 2010). Dimensi-dimensi tersebut antara lain :
(1) Dimensi Penerimaan Diri (Self-acceptance)
Menurut teori perkembangan manusia yang telah dikemukakan Ryff, self-acceptance
memiliki hubungan dengan penerimaan diri individu pada saat ini dan masa yang akan
datang. Selain itu, menurut literatur Positive psychological funcioning, self-acceptance ini
juga berkaitan dengan sikap positif terhadap diri sendiri (Rahayu, 2008). Lebih lanjut, Ryff &
Singer (Wells, 2010) menganggap bahwa self-acceptance merupakan bagian kunci dalam
Kesejahteraan Psikologis yang memperhatikan pendapat tentang diri yang positif pada diri
seseorang. Ia tidak mengacu kepada kecintaan diri yang narsistis dan juga tidak pada harga
diri yang dangkal, melainkan lebih kepada penghargaan terhadap diri yang membangun yang
mencakup baik aspek positif maupun negatif. Para penulis sebelumnya juga telah
menggarisbawahi tentang hal itu, adalah Jung (1933) dan Von Franz (1964) ; dalam Wells
(2010), menyatakan bahwa hanya pribadi yang terindividualisasi secara penuh yang mampu
menerima diri apa adanya termasuk kegagalan-kegagalannya. Konsep integritas diri yang
telah diperkenalkan Ericson (1959) juga mengacu kepada pribadi yang mampu melampaui
keberhasilan dan kegagalan yang dia alami di masa lalu dan menerima keadaan tersebut
secara apa adanya. Penerimaan diri tersebut terbentuk melalui penerimaan diri yang
sejujurnya akan kegagalan dan keterbatasan dirinya namun dia memiliki kecintaan untuk
menerima dan merangkul dirinya sendiri apa adanya (Wells, 2010).
Selanjutnya, Ryff & Keyes (1995) membuat batasan operasional dimensi self-acceptance
sebagai berikut :
(a) Skor tinggi pada dimensi ini mengindikasikan bahwa orang tersebut memiliki sikap
yang positif, yaitu orang yang mampu mengenali dan menerima segala aspek yang ada
10
pada dirinya apa adanya, termasuk kualitas yang baik maupun yang buruk serta
mampu melihat masa lalu yang telah dialaminya dengan perasaan positif
(b) Skor yang rendah pada aspek ini menunjukkan pribadi yang merasa tidak puas
terhadap dirinya sendiri secara luas. Mereka merasa tidak nyaman dengan apa yang
telah terjadi pada kehidupan dirinya di masa lalu, merasa kecewa dengan apa yang
telah terjadi pada kehidupannya serta merasa bermasalah terhadap beberapa kualitas
yang dimilikinya serta berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri
(Wells, 2010)
(2) Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relationship with Others)
Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari kondisi mental
yang sehat. Selain daripada itu, teori self-actualization mengemukakan konsepsi hubungan
positif dengan orang lain sebagai perasaan emosi dan afeksi kepada orang lain serta
kemampuan untuk membina hubungan yang mendalam juga identifikasi dengan orang lain.
Membina hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan salah satu dari criterion of
maturity yang dikemukakan oleh Allport (Rahayu, 2008). Teori perkembangan manusia juga
menekankan adanya intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai
manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
Ryff & Keyes (Wells, 2010) mengemukakan Indikator dari dimensi hubungan yang positif
dengan orang lain meliputi :
(a) Skor tinggi pada aspek ini nampak pada orang yang memiliki hubungan baik dengan
orang lain, hangat, memuaskan dan dapat dipercaya. Orang yang menaruh perhatian
akan kesejahteraan orang lain mestinya memiliki kapasitas yang baik dalam rasa
empati, afek dan keintiman serta memahami dengan baik sikap memberi dan
menerima (take and give) dalam hubungan antar manusia .
(b) Skor rendah mengindikasikan bahwa seseorang memiliki hubungan yang tertutup dan
kurang dapat dipercaya terhadap orang lain, memiliki kesulitan untuk bergaul secara
hangat, terbuka dan perasaan perhatian akan kesejahteraan orang lain. Dia merasa
terisolasi dan frustrasi dalam hubungan sosial.
11
(3) Dimensi Otonomi (Autonomy)
Rogers (Rahayu, 2008) mengemukakan bahwa orang dengan fully functioning
digambarkan sebagai seorang individu yang memiliki internal locus of evaluation di mana
orang tersebut tidak selalu membutuhkan pendapat dan persetujuan dari orang lain, namun
mampu mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar personal (Wells, 2010). Psikologi
perkembangan memandang otonomi sebagai rasa kebebasan yang dimiliki seseorang untuk
melepaskan diri dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari.
Ciri utama dari individu yang memiliki skor otonomi menurut Ryff dan Keyes (Wells,
2010) antara lain :
(a) Skor otonomi yang tinggi menunjukkan bahwa orang tersebut adalah pribadi yang
memilki kemampuan untuk menentukan segala sesuatunya sendiri (self-determined)
dan mandiri (independent). Ia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan
tanpa tekanan dan campur tangan dari orang lain di sekitarnya. Selain itu, orang
tersebut juga memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur
tingkah laku dari dalam diri sendiri serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan
standar personal.
(b) Skor otonomi yang rendah mengindikasikan sifat orang yang gemar memperhatikan
dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada
penilaian dari orang lain dalam membuat keputusan penting serta bersifat konformis
terhadap tekanan sosial.
(4) Dimensi Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Salah satu karakteristik kondisi kesehatan mental seseorang adalah kemampuan
seseorang untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya
(Rahayu, 2008). Allport menyebutkan bahwa individu yang matang akan memiliki
kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas di luar dirinya. Berdasarkan teori
perkembangan, manusia dewasa yang sukses adalah seseorang yang memiliki kemampuan
untuk menciptakan perbaikan pada lingkungan serta mampu melakukan perubahan-perubahan
yang dinilai perlu melalui aktivitas fisik dan mental serta mampu mengambil manfaat dari
lingkungan tersebut (Rahayu, 2008).
Ryff (Wells, 2010) menggambarkan indikator individu dalam dimensi ini sebagai berikut :
12
(a) Skor tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan ini mengindikasikan pribadi yang
memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia mampu
mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk di
dalamnya kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-
hari. Mampu memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya serta mampu
memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai
pribadinya.
(b) Skor rendah pada dimensi ini menunjukkan pribadi yang kurang memiliki kemampuan
dalam penguasaan penguasaan lingkungan serta mengalami kesulitan dalam mengatur
situasi sehari-hari. Mereka merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan
kualitas lingkungan sekitarnya, kurang memiliki kepekaan terhadap kesempatan yang
ada di lingkungannya serta kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan.
(5) Dimensi Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Ryff (Rahayu, 2008) menyatakan bahwa keadaan mental yang sehat memungkinkan
seorang individu untuk menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki tujuan tertentu dalam
hidup serta mampu memberikan makna terhadap kehidupannya itu. Allport (Rahayu, 2008)
memaparkan bahwa salah saru dari ciri kematangan seorang individu adalah memiliki tujuan
hidup, yakni memiliki rasa keterarahan (sense of directedness) dan rasa bertujuan
(intensionality). Teori perkembangan yang ada juga menekankan pada berbagai perubahan
tujuan hidup sesuai dengan tugas perkembangan seseorang pada tahap tertentu. Roges
(Rahayu, 2008) menulis bahwa fully functioning person memiliki tujuan, cita-cita dan rasa
keterarahan yang membuat dirinya merasa bahwa hidup ini penuh makna.
Selanjutnya Ryff mengidentifikasikan indikator dari individu yang memiliki kualitas
tujuan hidup sebagai berikut :
(a) Skor tinggi pada seseorang menunjukkan kualitas individu yang memiliki rasa
keterarahan (directedness) dalam hidup. Dia mampu merasakan arti dari masa lalu dan
masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan
dan tugas yang ingin dicapai dalam hidup.
(b) Skor rendah pada dimensi tujuan hidup ini mengindikasikan seseorang yang kurang
memiliki tujuan hidup. Ia akan merasa kehilangan makna hidup, kehilangan keyakinan
13
yang memberikan tujuan hidup serta tidak melihat makna yang terkandung dalam
hgidupnya pada kehidupan yang telah lalu.
(6) Dimensi Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Ryff (Rahayu, 2008) menulis bahwa optimal psychological funcioning tidak semata
bermakna pencapaian terhadap karakteristik tertentu, melainkan juga pada sejauhmana
seseorang secara terus-menerus mengembangkan potensi dirinya, bertumbuh, dan
meningkatkan kualitas positif pada dirinya. Kebutuhan akan aktualisasi diri serta kesadaran
akan potensi diri yang dimiliki merupakan perspektif utama dari dimensi pertumbuhan diri
ini. Keterbukaan terhadap pengalaman baru adalah salah satu karakteristik dari fully
functioning person. Oleh karena itu, teori perkembangan menekankan pada pentingnya
manusia untuk tumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap periode
perkembangannya.
Masih menurut Ryff (Wells, 2010), indikator seseorang dengan kualitas pertumbuhan
pribadi ini antara lain :
(a) Skor tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi ini menunjukkan pribadi yang
memandang dirinya sendiri sebagai pribadi yang tumbuh dan berkembang, terbuka
dengan pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi
diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah
lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif hingga
memiliki pengetahuan yang bertambah.
(b) Skor rendah pada dimensi ini mengindikasikan seseorang dengan karakteristik :
memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik sehingga dia merasa bahwa dirinya
mengalami stagnasi, tidak memiliki peningkatan dan pengembangan diri, merasa
bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupan, serta merasa tidak mampu dalam
mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, ditemukan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis seseorang adalah faktor
demografis seperti usia, Jenis Kelamin, status sosial ekonomi dan budaya (Ryff & Singer,
2006).
14
Sementara itu dalam kolaborasi yang lain (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Ryff, 1994;
Ryff & Essex, 1992; Sarafino, 1990; Rahayu, 2008), menulis faktor-faktor yang
mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis adalah sebagai berikut :
(1) Faktor Demografis
Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis antara lain :
(a) Usia
Ryff & Keyes (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan
dalam dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis. Mereka menemukan bahwa penguasaan
lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia manusia.
Peningkatan tersebut terutama sekali terjadi pada masa dewasa muda hingga dewasa madya.
Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring
bertambahnya usia.
Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menampakkan penurunan
seiring bertambahnya usia. Penurunan tersebut terutama terjadi pada masa dewasa madya
hingga masa dewasa akhir.
(b) Jenis Kelamin
Ryff (dalam Rahayu, 2008) menemukan bahwa dibanndingkan pria, wanita memiliki skor
yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain serta pada dimensi
pertumbuhan pribadi.
(c) Status Sosial Ekonomi
Perbedaan status sosial atau kelas sosial dapat juga mempengaruhi Kesejahteraan
Psikologis seseorang. Winconsin longitudinal study telah menyajikan data bahwa gradasi
sosial dalam kondisi well being pada masa dewasa madya menunjukkan bahwa pendidikan
tinggi dan status pekerjaan dapat meningkatkan Kesejahteraan Psikologis seseorang, terutama
pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup (Ryff, dalam Rahayu, 2008). Mereka
yang berada pada kelas sosial yang lebih tinggi, memiliki perasaan yang lebih positif terhadap
diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup
dibandingkan dengan mereka yang berada pada kelas sosial yang lebih rendah.
15
(d) Budaya
Riset yang telah dilakukan, khususnya di Amerika dan Korea Selatan tentang
Kesejahteraan Psikologis menunjukkan fakta bahwa responden di Korea Selatan memiliki
skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain serta skor yang
rendah pada dimensi penerimaan diri. Kondisi semacam itu disebabkan oleh karena orientasi
budaya di sana yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan satu sama lain.
Sebaliknya, responden di Amerika memiliki skor yang tinggi pada dimensi pertumbuhan
pribadi (khususnya pada responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (pada responden laki-
laki) serta memiliki skor yang rendah pada dimensi otonomi, baik pada responden pria
maupun wanita (Ryff, dalam Rahayu, 2008).
(2) Dukungan Sosial
Penelitian yang telah dilakukan oleh Davis (Rahayu, 2008) menunjukkan bahwa individu-
individu yang mendapatkan dukungan sosial yang baik memiliki tingkat Kesejahteraan
Psikologis yang lebih tinggi. Dukungan sosial yang dimaksud, diartikan sebagai rasa nyaman,
perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang
didapatkan dari orang lain atau kelompok masyarakat (Cobb, 1976; Wills, 1974; Surafino,
1990, dalam Rahayu, 2008). Dukungan tersebut dapat pula berasal dari berbagai sumber, di
antaranya : pasangan hidup, keluarga, teman dekat, rekan sekerja, dokter maupun organisasi
masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cobb (1976); Cohen & McKay (1984);
House (1984); Schaefer, Coyne & Lazarus (1981) dan Wills (1984), terdapat empat jenis
dukungan sosial, yaitu :
(a) Dukungan Emosional (Emotional Support)
Dukungan emosional ini melibatkan empati, kepedulian dan perhatian terhadap seseorang.
Dukungan tersebut dapat memberikan rasa nyaman, aman, rasa dimiliki dan dicintai pada
individu penerima perhatian, terutama pada saat-saat stress.
(b) Dukungan Penghargaan (Esteem Support)
Dukungan penghargaan muncul melalui ungkapan penghargaan yang positif, dorongan
atau persetujuan terhadap pemikiran atau perasaan, dan juga perbandingan yang positif antara
16
individu dengan orang lain. Dukungan jenis ini dapat membangun harga diri, kompetensi dan
perasaan dihargai.
(c) Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental Support)
Dukungan instrumental ini melibatkan tindakan kongkrit atau bentuk pertolongan secara
langsung.
(d) Dukungan Informasional (Informasional Support)
Dukungan ini meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik terhadap
tingkah laku seseorang.
(3) Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Ryff (Rahayu, 2008), mengemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu pada seseorang
dapat mempengaruhi kondisi Kesejahteraan Psikologis seorang individu. Pengalaman-
pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode hidup
manusia.
Evaluasi yang dilakukan individu terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya, memiliki
pengaruh yang penting terhadap Kesejahteraan Psikologis (Ryff, dalam Rahayu, 2008).
Pernyataan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Ryff dan Essex
(1992) tentang pengaruh interpretasi dan evaluasi individu akan pengalaman hidupnya
terhadap kesehatan mental. Interpretasi dan evaluasi akan pengalaman hiduptersebut diukur
dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis
dipakai sebagai indikator kesehatan mental individu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
fakta bahwa mekanisme evaluasi diri memiliki pengaruh terhadap Kesejahteraan Psikologis
seseorang, terutama sekali pada dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan hubungan
yang positif dengan orang lain.
Adapun mekanisme evaluasi diri yang dikemukakan Rosenberg dan dikutip oleh oleh Ryff
& Essex (Rahayu, 2008) adalah sebagai berikut :
(a) Mekanisme Perbandingan Sosial (Social Comparison)
Pada mekanisme ini, Individu mempelajari dan mengevaluasi dirinya sendiri dengan cara
membandingkan dirinya dengan orang lain. Perbandingan yang dilakukannya dapat mengarah
17
kepada evaluasi diri positif, evaluasi diri negatif ataupun netral bergantung kepada standar
yang digunakan individu. Objek yang dijadikan pembanding biasanya berupa orang atau
kelompok referensi.
(b) Mekanisme Perwujudan Penghargaan (Reflected Appraisal)
Premis simbolik interaksionis merupakan model yang dipakai dalam mekanisme jenis ini
di mana individu dipengaruhi oleh sikap yang ditunjukkan orang lain kepada dirinya. Kondisi
ini akan menyebabkan individu memandang dirinya sendiri sesuai dengan pandangan orang
lain terhadap dirinya. Dengan kata lain, umpan balik yang dipersepsikan individu dari
significant others selama mereka mengalami suatu pengalaman hidup, merupakan suatu
mekanisme evaluasi diri.
(c) Mekanisme Persepsi Diri terhadap Tingkah Laku (Behavioral Self-perceptions)
Menurut Bern (Ryff & Essex, 1992), individu menyimpulkan tentang kecenderungan,
kemampuan dan kompetensi mereka dengan cara mengobservasi tingkah laku mereka sendiri.
Observasi tersebut merupakan bagian dari proses di mana individu memberikan makna
terhadap pengalaman hidup mereka serta mempersepsikan perubahan positif dalam diri
sehingga dapat memandang pengalaman secara lebih positif juga dapat menunjukkan
penyesuaian diri yang baik.
(d) Mekanisme Pemusatan Psikologis (Psychological Centrality)
Menurut konsep ini, dikemukakan bahwa konsep diri tersusun dari beberapa komponen
yang secara hierarkis, sifatnya terpusat pada diri atau dengan kata lain, ada komponen yang
lebih terpusat dari komponen lain. Semakin terpusat suatu komponen, maka semakin besar
pula konsep diri.Oleh sebab itu, untuk mengetahui dampak dari pengalaman hidup terhadap
Kesejahteraan Psikologis, maka perlu dipahami pula sejauh mana peristiwa dan dampaknya
mempengaruhi komponen utama dan komponen perifer dari konsep diri seseorang. Jika
pengalaman tersebut hanya mempengaruhi komponen yang bersifat perifer, maka mekanisme
perbandingan sosial, perwujudan penghargaan, dan persepsi diri terhadap tingkah laku akan
kurang berpengaruh terhadap Kesejahteraan Psikologis, namun jika suatu pengalaman hidup
mempengaruhi komponen-komponen inti, konsep diri, maka mekanisme perbandingan sosial,
perwujudan penghargaan dan persepsi diri terhadap tingkah laku akan sangat berpengaruh
terhadap Kesejahteraan Psikologis seseorang.
18
Guna memperoleh informasi mengenai inti dari identitas seseorang, maka dapatlah
ditanyakan tentang seberapa penting komponen-komponen dalam hidup seperti kesehatan,
keluarga, teman dan lain-lain. Sedangkan kaitannya dengan penelitian ini, maka dapat
ditanyakan mengenai arti belajar dan proses pembelajaran disertai berbagai aspeknya dalam
lingkup kehidupan di pondok pesantren (boarding school).
C. Pengaruh Religious Coping terhadap Kesejahteraan Psikologis
Telah banyak hasil riset yang membuktikan pengaruh Religious Coping terhadap
Kesejahteraan Psikologis. Di antara beberapa penelitian tersebut antara lain Safaria (2011),
Safaria meneliti peran Religious Coping sebagai moderator dari hubungan job insecurity
(ketidakamanan kerja) terhadap job strress (stress kerja) pada karyawan akademik. Hasilnya,
ada hubungan erat antara jon insecurity dengan job stress di mana semakin tinggi job
insecurity akan diikuti dengan tingginya job stress. Pada penelitian tersebut, Religius Coping
memiliki peranan sebagai moderator, yaitu mengontrol pengaruh job insecurity terhadap job
stress, sehingga individu yang memiliki job insecurity yang tinggi dapat mereduksi tingkat
job stress nya dengan penggunaan strategi Religious Coping yang tinggi.
Asumsi yang dibangun penulis dari penelitian Safaria (2011) di atas adalah bahwa job
insecurity dan job stress merupakan variabel yang kontra prestatif dengan Psychological Well
Being seseorang sehingga pada gilirannya juga mempengaruhi pola interaksi sosial dan kultur
di lingkungan tempat individu beraktivitas. Begitu juga dengan religiusitas yang kemudian
tercermin dalam upaya individu dalam mereduksi stress sehingga menghasilkan
Psychological Well Being yang baik. Hal tersebut diperkuat oleh Maulina (2012) yang
meneliti tentang hubungan religiusitas dengan Psychological Well Being pada lansia. Hasilnya
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara keduanya. Semakin tinggi
religiusitas seseorang maka semakin tinggi pula Psychological Well Being-nya.
Baqutayan (2010) meneliti tentang efektivitas religious orientation dalam mengatur
tingkat stress akademik pada mahasiswa. Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa ada
korelasi yang positif antara religius orientation dengan tingkat stress akademik mereka.
Arifin, dkk. (2011) yang telah meneliti tentang hubungan orientasi religius, lokus of
control dan Psychological Well Being menemikan bahwa semakin internal orientasi religius
seseorang maka akan semakin meningkatkan Psychological Well Being nya sedangkan
19
semakin eksternal orientasi religius seseorang maka akan semakin menurunkan Psychological
Well Being nya. Artinya, orientasi religius yang dijadikan oleh seseorang sebagai strategi
coping akan mengontrol Psychological Well Being seseorang.
Sementara itu Fahimah (2013) yang telah meneliti tentang Hubungan Religiusitas dengan
School Well Being pada Siswa-siswi di SMA Islamic boarding school Al Manaar Al Azhari
Depok menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dan sangat signifikan antara
religiusitas siswa dengan School Well Being mereka, hal itu membuktikan bahwa semakin
tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi pula School Well Being siswa.
Dari beberapa penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian
sebelumnya banyak memfokuskan diri kepada kajian tentang religiusitas secara umum. Kajian
seperti religiusitas dan orientasi religius, menurut hemat penulis merupakan kajian yang
terlalu umu dan kurang siap pakai, sedangkan Religious Coping merupakan konstruk psiko-
religius yang lebih applied karena di dalamnya terkandung strategi manusia dalam menangani
dampak paparan stressor di lingkungannya untuk kemudian meraih Kesejahteraan Psikologis
yang baik.
Sementara itu, kajian Religious Coping yang telah dilakukan Safaria, menurut penulis
masih harus dikembangkan dalam ranah pendidikan. Seperti dalam penelitian ini yang
memfokuskan diri pada kajian pengaruh Religious Coping terhadap Kesejahteraan Remaja di
lembaga pendidikan pesantren. Inilah karakteristik yang membedakan penelitian ini dengan
studi-studi sebelumnya.
D. Hipotesis
Dari uraian teoretis di atas maka dapat dikemukakan hipotesis penelitian ini sebagai
berikut : “Ada pengaruh Religious Coping terhadap Kesejahteraan Psikologis Remaja di
lembaga pendidikan pesantren.”
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Secara umum, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Jenis
penelitian ini merupakan jenis penelitian yang berusaha mengeksplorasi pengaruh Religious
Coping terhadap Kesejahteraan Psikologis remaja di lembaga pendidikan pesantren dengan
analisis kualitatif.
B. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara semi terstruktur.
C. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis hasil wawancara semi
terstruktur.
D. Populasi
Penelitian ini akan diterapkan dalam populasi yang berupa Siswa-siswi di lembaga
pesantren di Kota Yogyakarta.
E. Sampel
Berdasarkan populasi di atas, maka diambillah sampel para remaja dari lembaga
pendidikan pesantren di Kota Yogyakarta. Metode sampling yang digunakan adalah metode
purposif di mana remaja dari lembaga pendidikan pesantren tersebut merupakan lembaga
yang dipilih sesuai dengan kriteria sampling yang telah dibuat oleh peneliti sendiri. Kriteria
dan tujuan yang telah ditetapkan oleh peneliti dalam pengambilan sampel secara purposif ini
adalah :
(1) Lembaga pendidikan pesantren tersebut memiliki tingkat Kesejahteraan Psikologis
yang rendah dilihat dari tingginya angka siswa yang mengundurkan diri (pindah) dari
lembaga pendidikan tersebut dalam tiga tahun terakhir.
(2) Lembaga pendidikan pesantren tersebut telah lama eksis dalam mengelola lembaga
pendidikan pesantren. Asumsinya adalah, lembaga yang telah berumur lama dalam
21
mengelola lembaga pendidikan pesantren tentunya telah memiliki Kultur Sekolah
yang cukup kuat dan turun temurun.
Berdasarkan kriteria yang telah dibuat tersebut, maka lembaga pendidikan pesantren yang
akan dijadikan subyek penelitian adalah Madrasah Aliyah Mu’allimin Muhammadiyah
Yogyakarta.
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kancah
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta adalah lembaga pendidikan pesantren
yang tertua di Kota Yogyakarta, letaknya berada di tengah kota tepatnya di Jl. S. Parman 68
Yogyakarta. Ia merupakan sekolah yang langsung didirikan oleh pendiri persyarikatan
Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan.
Madrasah Mu’allimin mula-mula didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1920
dengan nama “Qismul Arqa” atau sering disebut “Hogere School” yang berarti Sekolah
Menengah Tinggi. Sebuah nama yang cukup mentereng untuk ukuran zaman itu. Pada waktu
itu, tempat belajarnya cukuplah menempati ruang makan yang sekaligus menjadi dapur
keluarga K.H. Ahmad Dahlan. Tahun 1923 nama tersebut diganti menjadi “Kweekschool
Islam”, lalu berubah lagi menjadi “Kweekschool Muhammadiyah”. Pelajarnya masih
campuran, putra-putri. Pada tahun 1927 diadakan pemisahan, dengan mendirikan
“Kweekschool Istri”. Akhirnya pada Kongres Muhammadiyah tahun 1934 di Yogyakarta
kedua sekolah guru ini diganti lagi namanya menjadi “Madrasah Mu’allimin Mu’allimat”.
Sebelum itu, yaitu pada tahun 1928, Kongres/Muktamar di Medan mengamanatkan kepada
Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengelola secara resmi Madrasah Mu’allimin ini
sebagai tempat pendidikan calon kader pemimpin, guru agama dan mubaligh
Muhammadiyah.
Sejak tahun 1921, Persyarikatan Muhammadiyah mulai berkembang ke luar wilayah
Yogyakarta dan tahun 1930 telah merata hampir di seluruh pelosok Indonesia. Kweekschool
Muhammadiyah Putra dan Putri yang telah diganti namanya dengan Madrasah Mu’allimin
dan Madrasah Mu’allimat juga mulai menampung pelajar dari luar Yogyakarta, bahkan dari
luar Jawa. Pada umumnya mereka dikirim ke Yogyakarta resminya oleh cabang-cabang
Muhammadiyah.
Setelah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarahnya yang cukup panjang di
bawah kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Siradj Dahlan (I), K.H.R.. Hadjid, K.H.
Siradj Dahlan (II), K.H. Mas Mansyur (Direktur Kehormatan), K.H.A.. Kahar Muzakkir,
K.H. Aslam Zainuddin, K.H. Djazari Hisyam, H. Mh. Mawardi (I), H. Amin Syahri, H. Mh.
23
Mawardi (II), lalu timbul gagasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan
lebih meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran. Sehubungan dengan itu, maka pada
tahun 1980 di bawah kepemimpinan HMS. Ibnu Juraimi, terjadilah perubahan sistem
pendidikan Mu’allimin yang sangat mendasar. Jikalau pada masa sebelumnya asrama belum
menjadi satu kesatuan sistem dengan madrasah, maka sejak tahun 1980 itulah Mu’allimin
mulai menganut sistem “long life education”. Pada sistem ini madrasah hanyalah merupakan
sub sistem dari Madrasah. Langkah perubahan ini didasari pemikiran bahwa tujuan
pendidikan Mu’allimin yang sesuai dengan idealisme hanya bisa dicapai dengan memadukan
sistem madrasah dan asrama.
Perpaduan antara kebutuhan persyarikatan (yakni : pencetakan kader-kader) dan
kebutuhan umat saat itu (yakni : keinginan untuk memperoleh ijazah formal yang diakui oleh
negara, sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi umum maupun agama)
merupakan tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Adapun langkah pengembangan yang
dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, memasukan kurikulum Madrasah Tsanawiyah dan
Aliyah sesuai Kurikulum 1975 (SKB 3 Menteri pada masa Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti
Ali) ke dalam kurikulum Mu’allimin . Dengan cara ini para siswa Mu’allimin diharapkan
dapat mengikuti ujian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Negeri. Kedua, para siswa
diwajibkan tinggal di dalam Asrama/Pondok. Ketiga, pengajaran Bahasa Arab dan Bahasa
Inggris lebih diintensifkan lagi dengan tujuan mencetak siswa Mu’allimin yang handal dalam
berbahasa asing, baik secara aktif maupun pasif.
Kemudian pada tahun 1987, di bawah kepemimpinan Drs. H. Sri Satoto, dilakukanlah
resistematisasi kurikulum. Tujuannya agar proses pendidikan dan pengajaran dapat lebih
berdaya guna dan berhasil guna. Sehubungan dengan itu, pengembangan Mu’allimin
dilanjutkan lagi dengan kebijakan untuk merekayasa suatu paket terpadu yang menyangkut
materi bidang studi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dengan teknik kurikulum silang
(crossing curriculum), yakni memadukan materi GBPP Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah
Aliyah Departemen Agama RI dengan materi Mu’allimin yang merujuk kepada referensi
“kitab kuning”. Proses terakhir inilah yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Tentu
saja, dalam rangka memperoleh hasil yang sempurna, evaluasi dan revisi (perbaikan) terus
menerus dilakukan terhadap materi bidang studi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
24
Dalam masalah legalitas formal, sesungguhnya pendidikan di Madrasah Mu’allimin
pernah bersifat sangat mandiri dalam kurun masa yang relatif panjang, yaitu sejak berdiri
tahun 1920 (atau 8 Desember 1921 jika dihitung berdasarkan piagam pendirian Madrasah
Mu’allimin oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor: 20/P.P./1988 tertanggal 22 Shafar
1409 H/3 Oktober 1988 M) sampai dengan tahun 1978. Yang dimaksud mandiri di sini adalah
tiadanya campur tangan negara/pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, dengan lebih
mementingkan “isi” (materi pendidikan) daripada “kulit” (pengakuan formal ijazah negara).
Kondisi ini mengalami perubahan seiring dengan terjadinya perubahan orientasi masyarakat
dan peraturan Pemerintah bahwa untuk dapat memasuki perguruan tinggi, haruslah berijazah
Negara.. Perubahan orientasi masyarakat dan peraturan baru tersebut menjadi salah satu faktor
kemunduran pendidikan di Mu’allimin, terutama dapat dilihat dari kian menurunnya jumlah
siswa yang berminat belajar di Mu’allimin. Pada waktu itu. jumlah siswa maksimal pernah
mencapai lebih dari seribu orang, lalu merosot drastis menjadi hanya 180-an orang.
Keprihatinan memandang realitas seperti itu telah mendorong sejumlah alumni untuk
melakukan “gerakan penyelamatan almamater”. Mereka adalah (1) Ustadz Jumaini Rahmat -
alumni 1957, (2) Ustadz. Musthafa Kamal Pasya – alumni 1958, (3) Ustadz MS. Ibnu Juraimi
- alumni 1962, (4) Ustadz Abdullah Effendi – alumni 1962, (5) Ustadz Mhd. Khalil - alumni
1963, (6) Ustadz Muflih Dahlan – alumni 1963, (7) Ustad. A. Muhsin Asraf - alumni 1964,
(8) Ustadz Zamzuri Umar – alumni 1965, (9) Ustadz Chusnan Yusuf - alumni 1965, (10). M.
Alfian Darmawan – alumni 1967. Di belakang hari, orang yang terlibat dalam “gerakan
penyelamatan almamater” bertambah dua orang, yaitu: (1) Ustadz Sunarno – alumni 1968,
dan (2) Ustadz M. Jahdan Ibnu Humam – alumni 1969. Dari berbagai pertemuan dan diskusi
yang dilakukan, kemudian lahirlah kebijakan untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut di
atas.
Akhirnya, Madrasah Mu’allimin membuka diri untuk menerima campur tangan
negara/pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah dan membuka program
pendidikan setingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang terdaftar di
Departemen Agama RI, serta memberi kesempatan kepada siswanya untuk mengikuti ujian
negara dan mendapatkan ijazah yang diakui oleh negara/pemerintah. Sebagai bukti pengakuan
tersebut, Kanwil Departemen Agama Propinsi DIY memberikan piagam registrasi nomor:
78/028/A/T tertanggal 21 April 1978 untuk Madrasah Tsanawiyah, dan nomor: 78/017/A/A
tertanggal 21 April 1978 untuk Madrasah Aliyah, serta piagam pendirian Madrasah nomor:
25
A-8401 tertanggal 9 Februari 1984. Bahkan, Mu’allimin juga tercatat sebagai lembaga
pendidikan dengan Nomor Statistik Madrasah (NSM) 212347111006 (Tsanawiyah),
3122347111028 (Aliyah), dan 512347110003 .(Madrasah).
Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun pendidikan 1987/1988, Madrasah
Mu’allimin memperoleh jenjang akreditasi “Disamakan” untuk Madrasah Tsanawiyah dari
Kanwil Departemen Agama Propinsi DIY (Piagam Jenjang Akreditasi nomor:
A/W1/MTs/043/97 tanggal 17 Mei 1997), dan juga “Disamakan” untuk Madrasah Aliyah
dari Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga Islam) Departemen Agama
RI (Piagam Jenjang Akreditasi nomor: A/E.IV/0023/1997 tanggal 1 Agustus 1997).
Akreditasi ini dilakukan setiap lima tahun sekali.
Kegiatan Pendidikan dan Ciri Khas
Adapun ciri khas pendidikan di Madrasah Mu’allimin juga mengalami perkembangan.
Sejak semula Mu’allimin adalah sekolah kader Muhammadiyah. Pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang, lama pendidikan hanya 5 (lima) tahun. Mulai tahun 1957/1958, lama
pendidikan di Mu’allimin menjadi 6 (enam) tahun — waktu itu setara dengan PGAA/PGAN
— dan bertahan sampai sekarang. Pada masa penjajahan dan dua dekade pasca kemerdekaan,
Mu’allimin menjadi model pembibitan kader-kader Muhammadiyah yang militan. Istilah
“Anak Panah Muhammadiyah” menjadi kebanggaan bagi para alumninya yang dikirim
mengabdi ke berbagai pelosok wilayah Indonesia. Di sana mereka melakukan aktualisasi diri
sebagai kader Muhammadiyah, dan hasilnya antara lain terbentuknya Ranting-ranting
Muhammadiyah yang baru, atau lahirnya Madrasah-madrasah Mu’allimin yang meniru
model Mu’allimin Yogyakakarta.
Setelah Persyarikatan Muhammadiyah menjadi organisasi yang besar dengan bidang
garap yang semakin luas, maka Mu’allimin pun mengalami perubahan sebagai pusat
pembibitan kader Muhammadiyah. Karena prototip kader Muhammadiyah mengalami
perubahan dan penyesuaian diri, maka lulusan Mu’allimin pun dianggap belum mencukupi
tuntutan masyarakat yang semakin maju. Akhirnya, Mu’allimin pun memposisikan dirinya
hanya sebagai pusat pembibitan kader Muhammadiyah tingkat menengah. Meskipun
demikian, tetap terbuka bagi para alumninya untuk mengikuti proses pengkaderan tingkat
lanjut, baik di Perguruan Tinggi Muhammadiyah maupun di dalam Ortom-ortom
26
Muhammadiyah, seperti IRM, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan Pemuda
Muhammadiyah tingkat Daerah, Wilayah maupun Pusat.
Ketika Madrasah Mu’allimin membuka jurusan Keagamaan dalam program pendidikan
Aliyah pada tahun pendidikan 1996/1997, antara lain untuk mengimbangi program MAN PK
(Pendidikan Keagamaan) yang digagas dan dicanangkan oleh Menteri Agama RI waktu itu,
H. Munawwir Sadzali, M.A., maka Madrasah Mu’allimin pun mempertegas orientasi
program pendidikannya dengan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para siswanya
untuk melanjutkan studi ke berbagai Perguruan Tinggi Agama dan Umum, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri. Program pendidikan yang dimaksud terbagi dua, yaitu pertama,
Madrasah Aliyah Umum (MAU) jurusan IPA dan IPS, serta kedua, Madrasah Aliyah
Keagamaan (MAK).
Dengan demikian, hingga kini, siswa-siswa Madrasah Mu’allimin terdiri dari siswa yang
berasal dari seluruh Indonesia sehingga ia memiliki karakteristik dalam interaksi sebaya dan
terutama sekali pada kultur sekolahnya.
B. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan wawancara yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa ada pengaruh
Religious Coping terhadap Kesejahteraan Psikologis Remaja di lembaga pendidikan
pesantren. Positive Religious Coping berpengaruh terhadap peningkatan kebahagiaan
subyektif remaja di lembaga pendidikan pesantren sedangkan Negative Religious Coping
berpengaruh terhadap penurunan kebahagiaan subyektif pada remaja di lembaga pendidikan
pesantren.
Hasil dari penelitian ini, jika kita kaitkan dengan riset-riset sebelumnya terbukti bahwa
memang ada pengaruh tersebut. Kesejahteraan Psikologis sebagai indikator dari rendahnya
tingkat stress, kecemasan dan ketenteraman jiwa ternyata dapat dikendalikan dengan strategi
individu dalam meredakan situasi yang penuh tekanan melalui strategi coping religius.
Strategi yang dimaksud tentunya merupakan strategi yang positif (Safaria, 2011). Strategi
tersebut tentunya merupakan bentukan dari religiusitas remaja di lembaga pendidikan
pesantren yang nota bene telah mendapatkan pendidikan, pengajaran dan bimbingan dalam
rasa keagamaan mereka. Buktinya, ketika subyek merasakan bahwa keberagamaan mereka
menurun akibat pola interaksi dan konformitas teman sebaya yang kurang berorientasi kepada
27
kegiatan keagamaan, banyak remaja yang pada akhirnya melalaikan agama dan ritualnya itu
sendiri dan larut dalam interaksi teman sebaya yang melenakan. Hal tersebut senada dengan
ungkapan dari subyek yang menyatakan bahwa pertemanan dapat merupakan inspirasi akan
sikap toleransi, namun juga dapat mempengaruhi keberagamaan.
Aspek Positive Religious Coping seperti mencari hubungan yang kuat dengan Allah melalui
ibadah, memohon cinta dan pemeliharaan-Nya, memohon pertolongan Allah dalam
mengendalikan kemarahan, mencoba menempatkan rencana dan tindakan atas ridha Allah,
mencoba untuk memandang bahwa Allah mungkin sedang menguatkan dirinya melalui
masalah yang dihadapi, memohon ampunan serta memfokuskan diri kepada agama guna
mengurangi ketakutan akan dampak dari masalah yang dihadapi, memiliki pengaruh yang
positif terhadap kebahagiaan subyektif remaja. Hal itu dikarenakan sikap-sikap berserah diri
kepada Allah merupakan ekspresi penerimaan diri (self-acceptance) yang merupakan dimensi
pertama dari Kesejahteraan Psikologis.
Sementara itu terhadap dimensi hubungan positif dengan orang lain (Positive relationships
with others), pengaruh strategi coping religius di atas dapat dilihat dari pengalaman subyek
dalam berinteraksi dengan teman sebayanya, ada yang dengan hubungan tersebut, mampu
meningkatkan keberagamaan, ada juga yang dengan hubungan tersebut malah menurunkan
nya. Namun, dari keduanya, dapat disimpulkan bahwa dengan strategi religius coping positif,
individu memiliki kesadaran penuh bahwa dia memiliki kebebasan untuk memilih teman yang
sesuai dengan dirinya, membangun toleransi dan menarik diri dari pertemanan ketika
hubungan tersebut tidak dia rasakan sebagai hubungan yang positif.
Pengaruh terhadap dimensi otonomi dapat dijelaskan dengan pernyataan subyek bahwa ketika
menghadapi masalah yang berkaitan dengan hubungan pertemanan, individu cenderung untuk
menarik diri dan membangun otonomi. Sikap otonomis yang ia tunjukkan kepada teman
sebayanya telah membawanya kepada ketenangan dalam menghadapi masalah hubungan
interpersonal. Keyakinan bahwa teman yang sedikit namun berkualitas juga merupakan salah
satu sikap menjauhkan diri dari pengaruh-pengaruh negatif yang dirasakan subyek akan
mengancam kedekatannya dengan Allah.
Pengaruhnya terhadap dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery) juga dapat
dilihat bahwa dengan nilai-nilai religius yang dimiliki subyek, dia dapat membedakan mana
yang benar menurut standarnya dan mana yang salah menurut standarnya pula untuk
28
kemudian ia terapkan kepada lingkungannya. Lingkungan yang dianggap setara atau sesuai
dengan dirinya akan menyebabkan batinnya bahagia sedangkan lingkungan yang dia anggap
tidak sesuai dengan psikisnya cenderung akan mengganggunya, namun perasaan terganggu
tersebut dapat diatasi oleh individu lewat ajaran toleransi serta pendekatan dirinya kepada
Allah sehingga ketegangan psikologis yang muncul dari ketidak singkronan tersebut dapat ia
atasi melalui sikap dan upaya pendekatan diri kepada Allah.
Pengaruh Positive Religious Coping terhadap dimensi tujuan hidup (purpose in life) dapat
dibahas melalui aspek mampu menempatkan rencana dan tindakan bersama ridha Allah,
dengan sikap tersebut, akan terjalin perasaan damai bersama Allah karena dia yakin bahwa
manusia dapat merencanakan namun Allah jugalah yang akan mengambil keputusan. Sikap
tersebut bukan berarti bahwa individu menjadi tanpa tujuan, melainkan justru dengan strategi
coping positif tersebut, individu memiliki tujuan jangka panjang yang abadi, tidak hanya
tujuan di dunia yang ia kejar dan raih, tetapi tujuan akhirat yang lebih abadi.
Pengaruh terhadap dimensi pertumbuhan pribadi juga sangat tinggi, dapat dilihat dari
ungkapan subyek yang menyatakan bahwa salah satu hal yang membuatnya bahagia jika ia
dapat selalu mengembangkan dirinya. Strategi coping positif seperti memohon pemeliharaan
dan cinta, dan ampunan dosa sebagai wujud dari perasaan kurang yang kemudian dia
tingkatkan melalui pendekatan diri kepada Allah.
Sementara itu, strategi coping religius negatif memiliki pengaruh terhadap Kesejahteraan
Psikologis remaja secara negatif pula, artinya, semakin tinggi religius coping negatif
seseorang, semakin menurun Kesejahteraan Psikologis remaja. Hal tersebut dapat dibahas
dengan pemaparan sebagai berikut:
Komponen Negative Religious Coping seperti bertanya-tanya apakah Allah telah meninggalkan saya, perasaan telah diadzab oleh Allah karena merasa kurangnya ibadahkepada-Nya, Bertanya-tanya, apa yang harus saya lakukan kepada Allah sebagai upaya untuk menghukum diri saya sendiri, Mempertanyakan seberapa besar cinta Allah kepada saya, Bertanya-tanya, apakah para ustadz tidak menghiraukan saya, Menyimpulkan bahwa syaitan-lah yang telah menyebabkan masalah ini terjadi dan Mempertanyakan tentang kekuasaan Allah memiliki pengaruh kepada dimensi baik dimensi penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (Positive relationship with others), otonomi (autonomy), Penguasaan lingkungan (environmental Mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth).
29
Ungkapan-ungkapan seperti tidak pernah dan jarang pada pertanyaan religius coping negatif pada subyek pertama menunjukkan bahwa Negative Religious Coping yang rendah mampu meningkatkan penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, sikap otonomi, memperkuat tujuan hidup dan penguasaan terhadap lingkungan, begitu juga dengan pertumbuhan pribadi yang tinggi melalui keinginan untuk selalu giat mengikuti kegiatan pengembangan diri baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Sementara itu, pada subyek kedua yang mengungkapkan Negatif Religious Coping yang tinggi, diperkuat dengan perasaan gelisah dan tidak bahagia, telah menurunkan Kesejahteraan Psikologisnya seperti, penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. Sedangkan untuk dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring dengan keegoisan subyek, namun keegoisan tersebut juga akan menghantarkannya kepada tekanan yang lebih tinggi yang kemudian juga ketika semua jalan sudah tertutup, individu cenderung akan kembali kepada Positive Religious Coping seperti berdoa kepada Allah dan mencari ampunan kepada Allah. Pada dimensi tujuan hidup, individu menilai ada peningkatan, sama seperti egoisme yang individu ungkapkan, tujuan hidup yang disandarkan kepada ilmu-ilmu umum merupakan kejenuhan individu dalam pola pendidikan agama yang diterima dahulu yang kurang mengesankan, namun ketika dia menemui jalan buntu, individu tetap menggunakan strategi positif untuk mengurangi ketegangan tersebut.
C. Kesimpulan
Berdasarkan hasil mini riset di atas, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh Religious Coping baik Positive Religious Coping maupun Negative Religious Coping terhadap Kesejahteraan Psikologis remaja di lembaga pendidikan pesantren. Positive Religious Copingyang tinggi meningkatkan seluruh dimensi Kesejahteraan Psikologis individu sedangkan Negative Religious Coping yang tinggi menurunkan Kesejahteraan Psikologis pada dimensi penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi dan meningkatkan Kesejahteraan Psikologis pada dimensi otonomi, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi melalui strategi egoisme, namun ketika semua jalan baginya tertutup, individu tetap cenderung untuk memperkuat Positive Religious Coping nya.
D. Saran
Penelitian ini hanyalah sebuah mini riset yang hanya sebagai penelitian awal, karenanya masih banyak kelemahan di antaranya :
1. Sedikitnya subyek yang diwawancara, sehingga data atau informasi yang didapatkan masih dirasa kurang dan perlu diperbanyak sampelnya agar lebih representatif
2. Perlu pertimbangan variabel lain yang mungkin berpengaruh pada hubungan kedua variabel seperti misalnya interaksi sosial teman sebaya dan kultur sekolah serta jenis kelamin sebagai karakteristik kepribadian tertentu berdasar jenis kelamin (sex)
3. Waktu penelitian yang terbatas sehingga kedepan perlu diperluas lagi dengan analisis yang lebih tajam dengan data yang lebih lengkap
30
4. Penelitian yang bersifat hanya kualitatif, tidak diimbangi dengan data-data yang objektif melalui angka-angka pengukuran sehingga perlu kiranya untuk dilakukan pengukuran yang lebih akurat melalui analisas kuantitatif. Harapannya diperoleh hasil penelitian yang komprehensif dengan mixed research.
Dengan demikian, maka saran bagi peneliti selanjutnya adalah agar dapat diteliti Peran Religious Coping sebagai moderator dari Hubungan antara Peer Group Social Interaction dan Kultur Sekolah terhadap Psychological Well Being pada Remaja di lembaga Pendidikan Pesantren.
Dengan keterbatasan penelitian ini, diharapkan akan diperoleh analisis yang komprehensif guna mencapai upaya penyusunan model pembelajaran dan pembinaan di lembaga pendidikan pesantren berbasis Kesejahteraan Psikologis dengan perspektif psikologi agama dan psikologi islam.
31
DAFTAR PUSTAKA
_____________, 2009. Buku Pedoman Pembinaan Siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
_____________, 2002. Manajemen Strategis II. Jakarta : Salemba Empat
Ahmad, Afrizal, 1996. Kepentingan pendidikan dalam Pembentukan Kualiti Hidup. Kelantan : Pusat Pengajian Sains Kesihatan Universitas Sains Malaysia
Arifin Z. Rahayu, I. T., 2011. Hubungan antara Religius Orientation, Lokus of Control dan Psychological Well Being Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Malang : Jurnal El Qudwah No. 4, 2011.
Azani, 2012. Gambaran Psychological Well Being Mantan Narapidana.Yogyakarta : Jurnal EMPATHY Vol. 1 No. 1 Universitas Ahmad Dahlan.
Chaplin. J. P. 2008. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Dantes, Nyoman.2012. Metode Penelitian. Yogyakarta : Andi Offset
Daradjat, Zakiyah. 2001. Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung
Hungu, 2007. Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta : Penerbit Grasindo.
Hurlock, Elizabeth, B. 2002. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga
Jaya, Yahya. 2004. Spiritual Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental. Jakarta : Ruhama
Langgulung, Hasan. 2002. Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial. Jakarta : Gaya Media Pratama
Maulina, S. I., 2012. Hubungan antara Religiusitas Dengan Psychological Well Being Pada Lansia. Jakarta : e-journal psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf. 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Panal, Abdul, Haris. 2011. Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan Pertama dan Utama dalam Membina Kesehatan Jiwa/Mental Anak. Gorontalo : Universitas Negeri Gorontalo
Rini, M. P. & Kumolohadi R. A. R, 2008. Dinamika Kesejahteraan Psikologis Survivor Kekerasan Seksual. Yogyakarta : Fak. Psikologi Universitas Islam Indonesia.
32
Rosyidin. 20011. Pengaruh Puasa terhadap Kesehatan Mental Siswa di MTs Al Khairiyah Kedoya Selatan Jakarta Barat. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
Safaria, Triantoro, 2011. Peran Religius Coping sebagai Moderator dari Job Insecurity terhadap Stress Kerja pada Staf Akademik. Yogyakarta : Jurnal Humanitas, Vol. VIII, No. 2 Agustus, 2011
Seligman, Martin E. P. 2009. Positive Education : Positive Psychology and Classroom Intervention. Philadelphia :Oxford Review of Education Vol. 35 No. 3
Siagian, S. P., 2002. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Soeroso, Santoso. Masalah Kesehatan Remaja, Seri Pediatri Vol. 3 No. 3, Desember 2001.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa
Wells, I. E., 2010. Psychological Well Being: Psychology of Emotions, Motivations and Actions. New York : Nova Science Publishers
www.muallimin.sch.id/
34
LAPORAN HASIL WAWANCARA
Subyek I
A. Deskripsi Subyek
Subyek adalah seorang remaja (santri) madrasah Mu’allimin yang saat ini duduk di kelas XII IPA 1. Ia berusia 17 tahun dan berasal dari Medan Sumatera Utara. Ia termasuk siswa yang aktif karena kerap mengikuti kegiatan siswa di sekolah seperti IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) dan Forum Pelajar Indonesia. Keinginannya selalu mengikuti kegiatan yang positif baik di sekolah maupun di luar sekolah. Di lingkungan Madrasah, ia adalah sosok yang alim dan cukup berprestasi serta tidak pernah tersangkut pelanggaran tata tertib di sekolah. Para guru juga hingga saat ini memandang subyek secara positif.
B. Deskripsi Lingkungan
Wawancara dilakukan di asrama tempat subyek tinggal. Wawancara dilaksanakan pada hari Sabtu, 28 Desember 2013 pukul 09.00 wib. Secara kebetulan, saat wawancara ini berlangsung. Kondisi asrama cukup sepi karena pada saat itu memang bertepatan dengan hari libur akhir tahun dan akhir semester. Hampir seluruh teman-teman nya di asrama kembali ke daerahnya masing-masing. Hanya subyek dan beberapa temannya saja yang tetap bertahan tidak pulang kampung dikarenakan alasan jarak yang cukup jauh dan alasan waktu yang sempit serta biaya pulang yang tidak sedikit.
Suasana cukup kondusif untuk dilakukan wawancara, santai dan rileks. Observasi non verbal subyek juga lumayan cukup santai menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan interviewer. Wawancara diawali dengan penjelasan singkat bahwa wawancara ini tidak memiliki sangkut paut dengan eksistensi dia sebagai siswa di madrasah. hal tersebut dilakukan karena awalnya subyek terlihat khawatir ketika diminta menjadi subyek wawancara. Setelah diberi penjelasan bahwa wawancara ini tidak mempengaruhi penilaian dia di sekolah, maka dapat terlihat kerileksan subyek dalam menjalani wawancara.
C. Verbatim
Wer : Baiklah, silahkan anda menjawab dari beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan, sesuai dengan kondisi yang anda rasakan. Berdasarkan pengalaman diri sendiri begitu. OK, apakah sudah siap kita memulai?
Wee : Siap pak
Wer : Bismillahirrohmanirrohim......
Wee : Bismillah.....
Wer : Menurut pendapat kamu, apakah kebahagiaan itu?
Wee : Kebahagiaan pak?
35
Wer : Iya, kebahagiaan
Wee : Kebahagiaan itu, menurut saya, kecukupan ruhani dan batin.
Wer : Kamu telah mendefinisikan tentang kebahagiaan sebagai kecukupan ruhani dan batin. Dapatkah dikongkritkan lagi maksudnya seperti apa?
Wee : Ketika kita merasa senang, kita merasa puas, atas suatu pekerjaan itu, sesuai dengan yang kita lakukan. Artinya, sesuai dengan target kita. Misalnya hal yang bersifat materi, atau sesuatu yang bersifat jasmani, jadi kita merasa cukup dengan batin kita dibandingkan jasmani kita.
Wer : Tadi kan kamu bilang tentang rencana, berarti kita harus merencanakan? Lalu, setelah merencanakan?
Wee : Baru kita melakukannya sesuai dengan target yang kita harapkan.
Wer : Berarti ada target di situ?
Wee : Iya
Wer : Nah, ketika kita melaksanakan kegiatan tersebut , tentunya kadang kita dapat mencapai target dan mungkin juga kita tidak dapat mencapainya, bagaimana jika kita dapat mencapainya?
Wee : Apabila kita dapat mencapainya sesuai dengan target, berarti kita dapat merasakan kebahagiaan.
Wer : Jika tidak sesuai dengan target?
Wee : Jika tidak sesuai dengan target, namun jika sesuai dengan prosedur yang harus dilakukan, secara normal, itu juga bisa sebetulnya, tapi biasanya ketika kita tidak dapat mencapai target, biasanya kita jarang merasakan kebahagiaan itu.
Wer : Jadi jika tidak sesuai dengan target, kamu merasa tidak bahagia?
Wee : Iya tadz
Wer : Ketika kamu tidak merasa bahagia akan hal itu, biasanya apa yang kamu lakukan?
Wee : Ya, saya akan mencoba menjadi bahagia, dengan cara, hmm... mengubah dengan cara yang lain, atau mungkin merubah targetnya.
Wer : O iya, jadi kamu fokuskan pada target ya? Ok, selanjutnya, selama kamu menjadi siswa di madrasah mu’allimin ini, apakah kamu sudah merasa bahagia?
Wee : eeeeeee.... Iya, saya merasa bahagia.
36
Wer : Faktor-faktor apa sajakah yang membuat kamu merasa bahagia? Kan mungkin banyak di antara teman-teman kamu yang mungkin tidak merasa bahagia dan tertekan....
Wee : O banyak sekali, ada yang berasal dari faktor pertemanan, faktor akademis, terus faktor pengembangan diri. Eeeee...ya itu faktor-faktornya.
Wer : Nah, sekarang dari faktor pertemanan, seperti apa?
Wee : ya....saya tuh menemukan macam-macam tipikal orang gitu pak, nah itu bagi saya merupakan kepuasan batin. O saya dengan mengenal banyak tipikal orang, itu sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari, jadi saya punya persiapan gitu loh untuk menghadapi macam-macam tipe orang.
Wer : Nah, kalo yang akademis, seperti apa?
Wee : Ya secara akademis tentunya kita mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih, di sini kan sekolah berbasis agama ya, kebetulan kan saya dulu berasal dari SMP Umum, ya, SMP Muhammadiyah sih, tapikan di sini muatan pelajarannya lebih banyak pelajaran yang bersifat agama seperti bahasa arab, terutama sekali yang saya maksud akademis itu adalah pelajaran-pelajaran agama gitu.
Wer : Nah, yang terakhir....pengembangan diri, bagaimana penjelasan kamu?
Wee : Ya kayak saya ikut organisasi, saya ikut ekskul debat bahasa inggris, dan sering ikut lomba debat dan yang kemaren saya ikut Forum Pelajar Indonesia. Nah itu, bagi saya, eeeee......karena, salah satu faktornya karena saya dapat sekolah di Yogyakarta gitu. Dan saya merasa bahagia gitu.
Wer : Tadi kamu bilang, salah satu faktornya adalah pertemanan, tentunya kamu juga pernah melihat di antara temanmu yang tidak merasa bahagia, sebagai temannya, bagaimana menurut kamu orang yang tidak bahagia itu?
Wee : saya pikir, kenapa dia tidak bahagia, karena dia punya definisi yang berbeda tentang kebahagiaan.....
Wer : Contohnya?
Wee : ya contohnya misalnya, dia mendefinisikan bahagia jika tidak bersekolah di muallimin sehingga ketika bersekolah di sini dia tidak merasa bahagia.
Wer : Ok, selanjutnya, bagaimana kamu merasakan keberagamaan kamu di muallimin ini?
Wee : Menurut saya, saya merasa mengalami peningkatan pak. Apalagi dalam sense beragama. Eeee....baik itu dalam hal toleransi beragama, atau menjalankan agama itu sendiri, dan berbuat baik kepada orang, ya seperti itu....dan itu karena pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan di kelas.
Wer : Dalam hal toleransi beragama, seperti apa coba jelaskan?
37
Wee : ya ....toleransinya berarti sikap terhadap mazhab-mazhab lain maupun terhadap agama lain gitu pak. Di sini kan juga banyak teman-teman yang tidak bermazhab sama dengan Muhammadiyah kan pak. Ada juga yang lain. Nah karena mereka itu bermacam-macam, makanya saya tidak bisa menjustifikasi mereka. Apalagi toleransi beragama juga saya rasakan ketika saya banyak bergaul di luar, seperti FOR kemarin, o iya ya, ternyata di luar sana banyak bermacam-macam aliran keagamaan yang berbeda dengan saya dan saya harus menghargai mereka....
Wer : ok, selanjutnya, menurut kamu, bagaimana pengaruh agama tersebut terhadap kehidupan anda sehari-hari?
Wee : eeeee....Kalo saya, mungkin pengaruhnya lebih ke arah belajar gitu pak. Jadi, hal yang terbesar bagi saya adalah bahwa dengan agama itu, saya jadi merasa lebih termotivasi lagi untuk terus belajar gitu.
Wer : ok, selanjutnya, apakah kamu pernah menghadapi masalah yang membuat perasaankamu tertekan?
Wee : Ya, pernah.....
Wer : lalu apa yang kamu lakukan ?
Wee : Saya merasa tertekan secara akademis, maksudnya, kita kan di jogja, kita, di mu’allimin, dengan siswa-siswa di sekolah lain sama-sama belajar, tapi kok kenapa ya prestasi mereka jauh lebih baik dari kita yang di mu’allimin, padahal, agama kita yang mengajarkan kita untuk serius menuntut ilmu, kenapa mereka yang di luar lebih berprestasi dari saya......Di sekolah luar juga saya lihat mereka juga antusias dalam hal pelajaran agama,tapi saya di sini, saya seperti ini. Makanya perasaan tertekan itu saya kembalikan kepada agama saya dengan motivasi yang lebih kuat lagi untuk menuntut ilmu.
Wer : ok, sekarang, yang lebih kongkrit lagi, ketika kamu merasa tertekan, hal apakah yang kamu lakukan?
Wee : Kalo saya biasanya baca buku atau saya makan.
Wer : Bagaimana kaitannya dengan hubungan kamu dengan Allah, bagaimana kamu menyikapi perasaan tertekan tersebut?
Wee : ya... Saya berdo’a kepada Allah......karena ketika saya benar-benar stress gitu, saya merasa bahwa tidak ada lagi siapa-siapa yang bisa ngertiin saya.....akhirnya saya balik kepada Allah
Wer : Ok, selanjutnya, silahkan kamu menjawab pernyataan-pernyataan berikut dengan empat jawaban : Tidak pernah, jarang, sering atau sering sekali. Siap?
Wee : siap pak.....
38
Wee : Ketika kamu menghadapi suatu masalah yang membuat kamu merasa tertekan, maka kamu mencari hubungan yang kuat dengan Allah melalui ibadah.
Wee : eeeee......sering....
Wer : memohon cinta dan pemeliharaan dari Allah?
Wee : sering sekali
Wer : memohon pertolongan Allah dalam mengendalikan kemarahan saya
Wee : sering....
Wer : mencoba untuk menempatkan rencana saya kepada tindakan bersama Allah
Wee : sering sekali
Wer : mencoba untuk memandang betapa Allah mungkin hendak menguji kesabaran saya melalui masalah yang saya hadapi ini
Wee : sering
Wer : memohon ampunan kepada Allah s.w.t. atas dosa-dosa yang dilakukan
Wee : sering sekali
Wer : memfokuskan diri kepada agama untuk mengurangi ketakutan saya akan dampak dari masalah yang sedang saya hadapi
Wee : sering
Wer : Nah, perasaan-perasaan seperti itu, apakah membuat kamu merasa lebih bahagia?
Wee : saya merasa lebih bahagia, karena saya mendapatkan kepuasan batin meskipun mungkin masalah saya belum selesai...
Wer : selanjutnya, masih seperti yang tadi, ketika kamu menghadapi suatu masalah yang membuat kamu merasa tertekan, maka : bertanya-tanya, apakah Allah telah meninggalkan saya
Wee : tidak pernah
Wer : merasa telah diadzab oleh Allah karena kurangnya saya dalam beribadah kepada Allah
Wee : eeee.....tidak pernah
Wer : bertanya-tanya, apa yang harus saya lakukan kepada Allah sebagai upaya untuk menghukum diri saya sendiri
Wee : jarang
39
Wer : mempertanyakan seberapa besar cinta Allah kepada saya?
Wee : jarang
Wer : bertanya-tanya apakah para ustadz di sekeliling saya tidak menghiraukan saya
Wee : tidak pernah
Wer : saya menyimpulkan bahwa syaitan lah yang telah menyebabkan masalah ini terjadi
Wee : tidak pernah
Wer : mempertanyakan tentang kekuasaan Allah
Wee : tidak pernah
Wer : dengan sikap seperti tadi, apakah kamu merasa lebih bahagia
Wee : iya pak
Wer : ok, demikian wawancara ini saya kira cukup, terima kasih atas partisipasinya, saya berharap nanti ketika saya memerlukan wawancara lebih lanjut dari kamu, kamu akan bersedia. Bagaimana ? apakah kamu bersedia?
Wee : inya Allah pak.....
D. Analisis
Berdasarkan wawancara di atas, maka dapat kita analisa bahwa subyek merasa bahagia ketika dia mempunyai kepuasan batin. Kepuasan batin yang sebenarnya bagi dia adalah ketika ia mampu mencapai target dari rencana yang telah ia buat, namun ketika target tersebut belum tercapai, maka subyek akan membuat target baru. Ketika masih juga belum tercapai, maka ia akan berdo’a kepada Allah sebagai upaya untuk meredakan ketegangan akibat dari kekurangpuasan batiniah tersebut, karena ia menilai bahwa hanya itulah yang dapat ia lakukan untuk mendapatkan kepuasan batin.
Hal yang menarik dari hasil wawancara tersebut adalah definisi subyek tentang kebahagiaan. Dia secara tersirat dan tersurat ingin menyampaikan kepada kita bahwa kebahagiaan tercapai apabila seseorang dapat melalui apa yang dia definisikan tentang kebahagiaan. Ketika ia tidak mampu mencapai target, maka yang ia lakukan adalah merubah target tersebut dan apabila berkali-kali dia tidak mampu serta merasa tertekan, barulah ia berdo’a kepada Allah sebagai suatu sikap bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat mengerti dirinya kecuali hanya Allah.
Religiusitas subtek yang tinggi juga dipercaya olehnya mampu membuat perasaannya lebih bahagia ketika menghadapi masa-masa sulit dan tertekan. Hal itu nampak dari jawabannya yang tinggi pada aspek Positive Religious Coping dan rendah pada NegativeReligious Coping.
40
LAPORAN HASIL WAWANCARA
Subyek II
A. Deskripsi Subyek
Subyek adalah siswa di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang saat ini duduk di kelas X. Berjenis kelamin laki-laki. Ia berasal dari keluarga keturunan Jawa Timur yang bertransmigrasi ke Bulungan Kalimantan Timur. Ia masuk mu’allimin dari kelas X ini, berbeda dengan teman-temannya di kelas lain yang berasal dari Mts yang sama. Jenjang pendidikan tsanawiyah diselesaikan di daerah tempat asalnya di Kalimantan. Ketika wawancara berlangsung, subyek merupakan salah satu dari sepuluh santri yang tidak ikut pulang kampung (karena saat itu sedang libur akhir tahun dan akhir semester). Subyek merasa waktu yang tersedia (liburan) tidak cukup jika harus pulang kampung sehingga ia memutuskan untuk tetap tinggal di asrama.
Subyek termasuk siswa yang aktif, baik dalam pembelajaran dan performa di kelas, maupun keikutsertaan dalam kegiatan di luar madrasah. Dia selalu antusias untuk mengikuti setiap kegiatan yang bersifat pengembangan diri dan enggan untuk berdiam diri (nganggur).
B. Deskripsi Lingkungan
Wawancara dilaksanakan pada hari sabtu, 28 Desember 2013 pada pukul 12.15 wib. Bertempat di ruang kelas madrasah yang saat itu memang lengang karena liburan. Lingkungan asrama yang ia tinggali tidak berada jauh dari tempat wawancara, sekitar lima menit berjalan kaki, namun kita sepakat untuk melaksanakannya di gedung induk agar didapatkan suasana yang lebih nyaman.
Awalnya subyek terlihat tegang, namun setelah dilakukan pendekatan dan dijelaskan maksud dan tujuan wawancara serta membangun rasa aman subyek, maka akhirnya dapat terlihat sikap santainya dalam wawancara. Wawancara juga tidak langsung masuk kepada inti wawancara, namun lebih ke arah diskusi yang bersifat umum, tentang aktivitas yang pernah dia lakukan dan share pengalaman. Setelah dirasakan oleh pewawancara sudah cukup santai, maka pembicaraan mulai masuk kepada inti wawancara.
C. Verbatim
Wer : Baiklah....saya akan meminta kamu untuk menjawab beberapa pertanyaan dan saya harap nanti kamu menjawabnya dengan leluasa saja karena memang yang nanti saya tanyakan ini tidak ada hubungannya dengan eksistensi kamu sebagai siswa di sini dalam arti tidak ada kaitannya dengan nilai raport, tidak ada hubungannya sama nilai, baik itu nilai kepribadian, nilai agama maupun nilai apapun di muallimin ini. Jadi ini murni keilmuan, yang sifatnya dapat menambah wawasan keilmuan dan ilmu pengetahuan. Terutama sekali tentang kehidupan beragama dan sikap kita dalam beragama juga tentang Kesejahteraan Psikologismanusia. Apakah kamu sudah siap?
41
Wee : siap pak...
Wer : Ok, bismillahirrohmanirrohim....menurut kamu, apa sih kebahagiaan itu?
Wee : kebahagiaan itu adalah ketika semua orang itu setara kemudian mau bekerjasama...setara itu maksud saya, kalo yang saya rasakan itu, dalam hal keilmuan, misalnya ada orang pintar dan orang bodoh, mereka bekerjasama itu kemudian berhasil ada, Cuma....apa ya....rasanya itu beda...
Wer : maksudnya?
Wee : ya contohnya saja pengalaman saya di forum pelajar. Di forum pelajar itu kita rasakan orang-orangnya intelektualnya tinggi, jadi, ketika kita ke kedutaan besar Amerika, dan orang-orang kedutaan berbahasa inggris, banyak orang teman saya yang memberikan pertanyaan, ketika saya juga ikut memberi pertanyaan, maka pertanyaan saya itu sepertinya berhubungan dengan pertanyaan teman-teman saya tadi, nah, jadi...istilahnya, sama-sama paham gitu pak. Jadi kalo orang pintar ketemu sama orang yang ga paham terus orang yang pintar ini berbicara dengan orang yang ngga paham maka jadinya akan menghambat, meskipun orang pintar itupun terus mengajari. Hmmmm.... bisa saja yang pintar itu mengajari, asalkan yang ngga pintar ini mau diajari. Jadi menurut saya kebahagiaan itu ketika dua orang itu setara, dan menjalani suatu hal secara bersama-sama gitu.
Wer : Jadi maksudmu, kebahagiaan itu kamu rasakan jika kamu dapat bekerjasama dengan orang lain?
Wee : ya, bisa bekerjasama dengan orang lain yang setara.....
Wer :maksudnya yang setara itu gimana?
Wee : Kalo yang saya rasakan itu adalah setara dalam hal intelektualnya pak....
Wer : bagaimana jika kamu harus bekerjasama dengan temanmu yang kamu anggap intelektualnya rendah gitu, bagaimana?
Wee: Senang.....tapi....apabila dia itu mau kita ajak begini.....misalnya, kalo sekarang kan kalo saya coba untuk mengajak anak nakal, teman saya untuk belajar bersama, e tapi, ternyata ia itu tidak paham....susah gitu...terus akhirnya besoknya itu, saya juga akhirnya terpengaruh karena semalaman saya ngajarin dia habis-habisan gak bisa-bisa e ternyata saya besoknya juga akhirnya saya juga ada yang nggak bisa, jadi ketidaksetaraan seperti itu yang membuat, apa ya....suatu hambatan seperti itu...
Wer : jadi kondisi seperti itu membuat kamu tidak bahagia?
Wee : iya gitu pak.
Wer : ok, sekarang, selama kamu menjadi siswa di madrasah ini, apakah kamu sudah merasa bahagia?
42
Wee : ngga.....
Wer : hal apa sajakah yang menyebabkan kamu merasa tidak bahagia?
Wee : Lingkungan, seperti yang saya jelaskan tadi. Lingkungan yang sangat susah untuk diajak belajar dengan kesetaraan.....
Wer : Lalu?
Wee : kalo dari segi kebebasan yang biasa diingini remaja sebetulnya saya kira bagus sih. Ketika orang-orang tersebut berada di sini tuh saya kira mereka itu beruntung yaitu ketika memanfaatkan waktu kosong dengan kebebasan gitu. Kalo di pondok pesantren yang lain tuh sangat ketat, keluar malam saja ngga boleh gitu, kalo di sini kan bebas, jadi kalo saya di sini tuh ya....senang ngga senang......
Wer : Jadi, kamu mempersepsikan mu’allimin ini tidak terlalu ketat?
Wee : iya
Wer : dengan disiplin dan tata tertib di sini yang ketat, bagaimana perasaanmu?
Wee : saya merasa bahwa tata tertib di sini tidak terlalu ketat, beda dengan pondok saya yang dulu....
Wer : kamu merasa tertekan dengan tata tertib di sini?
Wee :ngga pak. Saya malah lebih tertekan waktu dulu di pondok saya yang dulu.
Wer : lalu bagaimana perasaan kamu selama menjadi siswa di sini?
Wee : merasa menurut pak. Menjadi lebih ngga tertib di sini.....
Wer : Bagaimana dengan kebebasan mu?
Wee : saya merasa lebih bebas....
Wer : ok, selanjutnya, bagaimana kamu menilai keberagamaan mu di sini?
Wee : Keberagamaan saya di sini menurun di bandingkan dengan keberagamaan saya di pondok yang dulu....sebenarnya, menurunnya itu bukan menurun yang banyak gitu, Cuma menurunnya itu disebabkan karena menjadi seimbangnya antara pelajaran agama denganpelajaran umum gitu pak.
Wer : maksudnya?
Wee : maksudnya, saya merasa bahwa ibadah saya di sini menurun....terus.....kalo mempelajari ilmu agama di sini saya merasa lebih baik, maksudnya lebih banyak gitu pak...
Wer : bagaimana dengan kedekatan dengan Allah?
43
Wee : saya merasa meningkat dengan pesat di sini.....
Wer : tadi kamu menyatakan keberagamaan kamu di sini menurun, tapi kamu juga menyatakan bahwa kedekatan kamu dengan Allah meningkat drastis, bagaimana maksudnya? Coba kamu jelaskan.....
Wee : Jadi, kalo MTs dulu, selain shalat lima waktu itu, saya shalat dhuha, shalat tahajjud, shalat hajat, trus shalat witir gitu. Terus, setiap habis shalat, selalu baca shalawat trus amalan-amalan lain yang saya terus baca. Terus, saya setiap hari, pasti baca Al Qur’an itu satu Juz....
Wer : Itu bisa dipastikan?
Wee : Iya, soalnya sudah diatur sama pondoknya pak....sementara di sini...saya ngajinya sangat minim bahkan nyaris tidak sama sekali....ritual-ritual yang dulu saya lakukan...sekarang jarang sekali....
Wer : Ketika di pondok dahulu, apakah kamu melakukan ritual-ritual itu atas kemauan sendiri?
Wee : hmmm...awalnya memang terpaksa, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa dan saya merasa nyaman aja.....
Wer : Nah, ketika kamu pertama kali masuk madrasah ini, ritual-titual seperti tadi masih kamu lakukan:
Wee : Langsung hilang begitu saja....pertama karena jadwal saya di sini tidak memungkinkan saya untuk melakukan ritual-ritual itu tadi....
Wer : Tadi di atas, kamu menyatakan bahwa di sini kamu merasa lebih bebas, tetapi barusan kamu menyatakan bahwa kesulitan kamu untuk melaksanakan ritual keagamaan di sini dikarenakan jadwal saya di sini tidak memungkinkan, bagaimana hal itu kamu jelaskan....
Wee : Hmm....maksudnya begini pak, eee...jadwalnya memang tidak saya anggap padat, tetapi ketika kita di asrama ini tidak setara dengan teman-teman yang lain tadi, maka saya harus menghabiskan banyak waktu untuk menyesuaikan diri saya dengan teman-teman saya itu dan itu seperti tadi yang saya sampaikan, membuat saya menjadi terbawa dengan suasana di asrama dengan teman-teman. Lebih berorientasi kepada kebebasan daripada melaksanakan ritual-ritual tersebut.....
Wer : baik, bagaimana dengan perasaan keagamaan mu? Apakah ada kerinduan untuk seperti dulu lagi sewaktu di mts dulu.....?
Wee : saya merasa menurun dan saya tidak ada lagi kerinduan untuk ritual-ritual seperti dahulu karena saya merasa sekarang lebih dikuasai oleh nafsu-nafsu saya untuk mempelajari ilmu yang di sini....
Wer : Lalu bagaimana dengan semangat kamu untuk mempelajari ilmu agama?
44
Wee : Pada dasarnya semangat untuk mempelajari ilmu agama tersebut sama dengan mempelajari ilmu umum, namun karena dahulu saya sudah terbiasa mempelajari ilmu agama, maka rasanya sekarang saya agak kurang antusias mempelajari agama dibandingkan mempelajari ilmu umum...
Wer :Apakah ada pengaruh keberagamaan terhadap kepuasan hidup atau kebahagiaan kamu?
Wee : g ada.....
Wer : maksud saya ada ngga pengaruh keberagamaan yang kamu rasakan ketika dahulu di tsanawiyah yang kamu anggap tinggi dengan keberagamaan kamu di sini yang kamu anggap menurun?
Wee : O....kalo itu ada. Saya tuh di sini sering mengejek-ngejek agama, seperti misalnya ketika saya ketika kegiatan FOR dengan teman-teman dan saya sering melalaikan shalat, sering melalaikan shalat ashar.
Wer : Bagaimana penurunan keagamaan itu mempengaruhi perasaanmu?
Wee : Ya, saya merasa gelisah karena kok saya sekarang saya jadi begini ya. Sering melalaikan shalat, tidak seperti dulu waktu di tsanawiyah yang rajin ibadah. Tapi semua ini juga saya rasa karena saya sekarang merasa sulit mengatur waktu gitu pak.......
Wer : Nah, sekarang, ketika kamu menghadapi masalah yang membuat perasaan kamu tertekan, biasanya apa yang kamu lakukan?
Wee : ..........
Wer : pernahkah kamu merasa tertekan di siini?
Wee : Pernah pak.....
Wer : Ketika mendapatkan perasaan seperti itu, apa saja yang kamu lakukan?
Wee : Ketika saya seperti itu, biasanya saya egois.
Wer : Maksudnya?
Wee : Ya misalnya saya merasa tertekan dengan perilaku teman-teman saya di asrama yangsulit saya ajak setara, maka saya akan meninggalkan mereka dan saya egois.
Wer : Contohnya?
Wee : Ya saya tidak akan mempedulikan mereka. Misalnya, ketika saya beli atau punya makanan yang biasanya saya makan bareng-bareng, kalo saya merasa tertekan biasanya akan saya simpan dan saya makan sendiri.....Jadi kalo saya lagi ada masalah, saya g ingin siapapun mendekati saya....saya ingin sendiri....
Wer : Lalu, apa yang kamu lakukan dengan kesendirian kamu itu?
45
Wee : Ya saya akan membeli sesuatu yang menjadi kesukaan saya dan saya akan menikmati kesenangan saya itu sendiri, dan saya tidak ingin diganggu.....
Wer : Apakah dengan cara yang kamu lakukan itu membuat kamu merasa tenang?
Wee : Iya pak....
Wer : Lalu apa yang akan terjadi?
Wee : hmmmm. Saya lebih menyukai teman yang sedikit tetapi dia dapat mengerti saya dan saya juga menganggap dia setara gitu pak..misalnya, saya punya temen namanya Ndh, dia itu setara dengan saya, meskipun saya itu egois dengan dia ketika saya sudah merasa tenang dengan keegoisan saya kemudian saya mengajak dia untuk belajar bersama, dia pun mau. Mengapa dia mau menerima ajakan saya, itu karena saya setara dengan dia....
Wer : Setara dalam hal?
Wee : Intelektual, dia selalu mau jika diajak untuk belajar, tidak seperti teman-teman yang lain yang jumlahnya banyak tapi tidak setara dengan saya...Jadi saya merasa tenang dengan keegoisan saya, dan dengan teman yang sedikit itu tapi berkualitas...
Wer : Kamu merasa bahagia dengan seperti itu?
Wee : Iya.....
Wer : Lalu, bagaimana cara kamu menyikapi masalah yang menimpa kamu ?
Wee : Saya sikapnya qonaah
Wer : Qonaah itu seperti apa?
Wee : Menerima apa adanya, sabar, tidak membalas ketika teman-teman mengganggu saya....jadi saya membiarkan saja ketika teman-teman mengganggu saya, bahkan mungkin menendang saya, saya biarkan saja tidak membalas, toh nanti dia juga akan dapat balasannya sendiri misalnya terkena hukuman tata tertib atau apalah...
Wer : Ketika kamu membiarkan teman kamu mengganggu kamu dan kamu tidak membalas, apakah dalam hati kamu merasa marah?
Wee : Sebenarnya saya marah. Tapi saya bisa mengendalikan rasa marah saya....
Wer : Apa motivasinya kamu menahan marah?
Wee : Masa depan
Wer : Masa depan....?
Wee : Misalnya saya marah nih, terus saya tonjok dia, saya berkelahi dengan dia, terus akhirnya saya dipanggil BK, kena SP, diberitahukan kepada orang tua, sementara orang tua
46
saya sudah puluhan juta mengeluarkan uang untuk saya sekolah di sini dan akhirnya saya harus kembali ke rumah orang tua saya dulu, terus orang tua saya stress terus pembiayaan untuk saya sekolah di sana juga semakin berkurang sehingga menghancurkan masa depan saya......Jadi saya pikir hal kecilpun, gimana sih nantinya...akibatnya gitu.....
Wer : Cuma, bagaimana agar rasa marah kamu itu hilang?
Wee : Saya shalat terus membaca Al Qur’an.....
Wer : Bagaimana perasaan kamu setelah itu?
Wee : Tenang pak....
Wer : Apakah kamu bisa memaafkan temanmu yang semena-mena itu?
Wee : Bisa
Wer : Apa motivasi kamu untuk memaafkan nya?
Wee : Motivasinya ada dua, yang pertama seperti yang saya ungkapkan tadi, terus yang kedua, kalo saya tidak memaafkan dia, saya pikir suatu saat saya akan butuh dia, apalagi kita di Muhammadiyah kan harus bersatu dan suatu saat ketika dia sudah jadi orang besar dan sukses padahal saya tidak memaafkan dia, tentunya juga kan akan menghambat saya juga untuk berkembang dan maju pak......gimana kita mau bekerjasama gitu....
Wer : Selanjutnya, ketika kamu menghadapi suatu masalah yang membuat kamu merasa tertekan, apa yang kamu lakukan? Silahkan kamu menjawab dengan empat pilihan jawaban : yang pertama tidak pernah, yang kedua jarang, yang ketiga sering dan yang keempat adalah sering sekali. Siap?
Wee : Siap pak.....
Wer : Ketika saya menghadapi masalah yang membuat saya merasa tertekan, maka saya mencari hubungan yang kuat dengan Allah melalui ibadah....
Wee : (lama)......sering.....
Wer : Memohon cinta dan pemeliharaan Allah?
Wee : Sering sekali
Wer : Memohon pertolongan Allah dalam mengendalikan kemarahan saya?
Wee : Sering sekali
Wer : Mencoba untuk menempatkan rencana saya kepada tindakan bersama Allah
Wee : Jarang
47
Wer : Mencoba untuk memandang betapa Allah mungkin sedang hendak menguatkan kesabaran saya melalui masalah yang saya hadapi ini
Wee : Sering
Wer : Memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosa saya
Wee : Jarang
Wer : Mememfokuskan diri kepada agama untuk mengurangi ketakutan saya akan masalah yang saya hadapi
Wee : Sering sekali
Wer : Dengan sikap-sikap seperti itu, apakah kamu merasa lebih bahagia?
Wee : Bahagia
Wer : Nah sekarang, ketika saya menghadapi masalah yang membuat saya merasa tertekan, maka saya bertanya-tanya, apakah Allah telah meninggalkan saya?
Wee : Sering
Wer : Merasa bahwa Allah telah mengadzab saya karena kurang nya saya dalam beribadah kepada Allah
Wee : Jarang
Wer : Bertanya-tanya, apa yang harus saya lakukan kepada Allah sebagai upaya untuk menghukum diri saya sendiri
Wee : Sering sekali
Wer : Mempertanyakan seberapa besar cinta Allah kepada saya
Wee : Sering sekali
Wer : Bertanya-tanya, apakah para ustadz tidak menghiraukan saya?
Wee : Sering
Wer : Menyimpulkan bahwa sesungguhnya setan lah yang telah menyebabkan masalah saya ini terjadi
Wee : Sering sekali
Wer : Mempertanyakan tentang kekuasaan Allah
Wee : Jarang
Wer : Dengan sikap seperti itu, apakah itu membuat kamu lebih bahagia?
48
Wee : Ngga.....
Wer : Jadi menurut kamu, keberagamaan itu punya pengaruh ngga kepada kebahagiaan?
Wee : Punya pak
Wer : Ok, mungkin itu dulu, saya harap kelak kamu dapat membantu saya lagi untuk wawancara lanjutan jika diperlukan.
D. Analisis
Berdasarkan wawancara dengan subyek di atas, dapat dianalisis bahwa sesungguhnya bagi subyek, keberagamaan itu punya pengaruh terhadap kebahagiaannya, namun strategi coping religius nya lebih dominan kepada Negative Religious Coping, dan itu ia nyatakan bahwa strategi tersebut membuatnya merasa tidak bahagia. Strategi positif yang resesif karena didominasi oleh coping negatif juga disebabkan karena keraguan tentang keberagamaannya yang ia akui menurun semenjak ia bersekolah di Yogyakarta. Sangat ia rasakan penurunan tersebut. Aspek pertemanan juga dominan di sini bahwasanya ia merasa pergaulan ternyata memiliki pengaruh yang menyebabkan keberagamaannya menurun drastis.
Keberagamaan subyek yang menurun juga memiliki pengaruh terhadap kegelisahan nya dalam kehidupan sehari-hari yang mana menurunkan kegelisahannya ia lebur melalui shalat dan baca Al Qur’an, meskipun ritual tersebut juga ia rasakan menurun dibandingkan dengan di tsanawiyah dahulu.