minggu, 15 mei 2011 pengabdian dalam sebungkus nasi filetutur fatma mengenang. kegiatan pembagian...
TRANSCRIPT
FATMA Ibrahim, 75, ialah se-orang ibu dan nenek dari 15 cucu. “Saya hobi masak sejak anak-anak masih kecil. Setelah
anak-anak kawin dan suami pensiun, saya ingin melakukan sesuatu, tapi pendidikan saya tidak tinggi. Saya lihat makanan di rumah banyak sekali, timbul hati saya untuk bantu orang yang lewat,” kata dia, salah satu tamu dalam Kick Andy episode Kami Peduli, Kami Mengabdi.
Awalnya, Fatma menargetkan ber-bagi makanan berupa nasi bungkus untuk orang yang lewat. Seiring dengan berjalannya waktu, ia mulai berpikir untuk membantu warga yang jaraknya lebih jauh. Sasaran pertamanya adalah warga yang memakan nasi aking di Serang, Banten.
Ia lalu mengajak tetangganya untuk ikut serta karena Fatma berpikir tak mungkin bisa sendiri menyajikan ma-kanan untuk banyak warga.
Tidak berhenti di Serang, Fatma melanjutkan berbagi nasi bungkus untuk warga di tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Saat itu, baru saja terjadi musibah longsor di sana.
Tiga ratus bungkus nasi, yang sudah dilengkapi lauk pauk, dibawanya ke sana dan ludes dalam sekejap. “Tidak sampai hati saya melihat anak-anak itu enggak cuci tangan dulu saat makan,” tutur Fatma mengenang.
Kegiatan pembagian nasi bungkus yang lebih besar dilakukan Fatma bersa-
ma rekan-rekan seusianya, saat mewu-judkan kepedulian dengan menolong korban tsunami di Aceh pada 2004.
Seorang teman Fatma bahkan me-nawarkan pesawat untuk mengangkut 20 relawan, dana Rp40 juta, serta maka-nan dan pakaian.
“Kami berangkat jam empat pagi, jadi jam dua pagi sudah masak untuk mereka,” kata Fatma.
Ia dan teman-temannya kemudian mendirikan dapur umum dan tinggal di sana dengan kondisi seadanya selama lima hari.
Saat berinteraksi dengan warga se-tempat, barulah terpikir di benak Fatma untuk memiliki nama sebagai identitas. La Tahzan--dalam bahasa Indonesia be-rarti ‘jangan bersedih’--dipilih Fatma.
Jangan bersedihMeski sudah bernama, gerakan itu
tetap bukan organisasi resmi. Namun, hal itu tidak mengurangi keseriusan mereka. Prinsip La Tahzan adalah ‘siapa lapar, kita kasih makan’. Mereka juga menerapkan prinsip ‘terus bergerak membantu orang lain walau dengan sebungkus nasi’, yang berkesan seder-hana tetapi berakar kuat.
Gerakan itu kemudian berkembang, tidak lagi sekadar nasi bungkus, kini sudah beranjak ke bidang pendidikan.
“Mereka bilang pendidikan yang perlu. Lalu, saya bilang kalau lapar mah tetap saja enggak bisa belajar. Diomongin seperti ini saya sempat cooling down dulu. Saya merasa terpukul, menangis, karena merasa dianggap sia-sia. Saya
tak kuat mental,” tutur Fatma.Dukungan suami mengembalikan
motivasinya. Ketika mendengar sebuah TPA di Sukabumi membutuhkan per-tolongan, Fatma bergerak lagi. Saat itu ia dibantu rekannya, Tina Ganto untuk mengurus pendidikan bagi anak-anak setempat, karena Tina berlatar belakang pendidikan.
Kini, Fatma mulai mengestafetkan kepemimpinannya di kegiatan amal yang ia rintis karena merasakan ke-terbatasan usia. Ia pun selalu meng-ingatkan agar setiap kegiatannya bisa dipertanggungjawabkan. “Semua perlu difoto, biar ada bukti,” tukasnya. (M-3)
SIAPA bilang pemuda tak peduli poli-tik? Setiap perubahan politik di negeri ini selalu didahului gerakan pemuda. Merasa tak cukup ruang, para pemuda kemudian membentuk wadah sendiri.
“Kita adakan parlemen remaja. Ini gerakan baru untuk memilih wakil un-tuk menyuarakan suaranya. Ada media advokasi baru untuk para pemuda,” ujar pendiri Indonesian Future Leaders (IFL), Muhammad Iman Usman, seba-gai salah satu tamu dalam Kick Andy episode Kami Peduli, Kami Mengabdi.
Iman adalah mahasiswa tingkat dua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Ia aktif dalam organisasi sejak kecil dan itu mengan-tarkannya ke arena internasional.
Bersama teman-temannya, ia meng-gagas Komunitas Anak Kritis Indonesia (KAKI) pada 2007 di Sumatra Barat. Organisasi tersebut menjadi cikal bakal
IFL. IFL kemudian menggagas parle-men remaja.
“Kita ada di 33 provinsi. Semua mem-bawa isu lokal untuk diangkat menjadi
isu nasional. Kita akan adakan parlemen remaja pada 2012. Teman-teman bisa vote wakil mereka. Satu yang terpilih dipanggil ke Jakarta,” jelas dia.
Mereka akan dibekali pelatihan pengembangan kapasitas. Tugas tidak selesai begitu saja karena mereka harus mengadvokasi teman-teman sekemba-linya ke daerah asal masing-masing.
“Kita punya resource besar, tapi tidak terakomodasi dengan baik. Kebijakan belum mendukung karena masyarakat yang masih terkotak-kotak,” jelas Iman.
Lewat wadah yang digagasnya, Iman mengajak para pemuda untuk lebih peduli negeri. Ia pun memberi contoh beraktivitas di luar kampus tidak perlu mengorbankan prestasi. Ia bahkan tetap bisa mempertahankan IPK-nya di atas tiga.
“Bukan saatnya lagi kita bertanya apa yang bisa kita lakukan, melainkan lihat talenta kita. Apa yang kita miliki? Dengan yang kita miliki, ayo kita buat perubahan,” tandasnya. (Din/M-3)
SETELAH lama menetap di Bali, Raoul Wijffels--asal Belanda--merintis gerakan yang dinamai One Dol-lar for Music. Tujuannya menggerakkan kesenian di Bali. Niat itu bermula em-pat tahun lalu, saat Raoul menangkap suatu kesen-jangan di Indonesia. Bukan ekonomi, melainkan soal bakat mumpuni yang tidak terakomodasi.
Raoul melihat bakat musik di Indonesia lebih besar daripada di nega-ra asalnya. Sayangnya, bakat musik tersebut tidak didukung profesional. Ia menilai banyak orang In-donesia mempunyai bakat, tetapi tidak menganggap musik itu penting sehingga tidak diperdalam lagi.
“Seandainya saya bisa mendapat satu dolar dari enam miliar orang di se-luruh dunia, saya sudah bisa membantu mengem-bangkan musik,” ujar man-tan dosen konservatorium musik itu dalam Kick Andy episode Kami Peduli, Kami Mengabdi.
Pendidikan pertama yang disalurkan laki-laki berusia 46 tahun itu ialah meningkatkan kepercayaan diri. “Saya percaya, da-lam memperbaiki hal-hal yang tidak terlalu bagus di bidang sosial, harus dengan sekolah seni. Kita kemudian bermitra dengan anak-anak muda atau se-mua musisi yang pengang-guran,” ucapnya.
Bersama Rudolf Dethu, yang baru selesai memana-jeri grup musik Superman is Dead, Raoul berkolabo-rasi. Dethu mengupaya-kan cara untuk mencari dana, sedangkan Raoul me-mikirkan konten kegiatan yang utamanya meliputi bermain musik bersama, menciptakan lagu, dan mengeksplorasi bunyi.
“Seni itu belum dianggap penting. Banyak sekolah-
sekolah kekurangan guru seni. Akibatnya, tak jarang kalau guru seni berasal dari guru kimia. Setelah melihat ini, mereka baru sadar bahwa membimbing anak harus dengan praktik bukan teori,” jelasnya.
Kegiatan pun berkem-bang dengan gagasan Fes-tival Sound of Bali yang menuai respons baik. Dae-rah lain di luar Bali mulai tertarik mengadopsinya. “Sebenarnya sangat bisa untuk diadopsi, tapi kami belum ada guideline yang baik,” sahut Dethu.
Dari sekitar 1000 orang yang te lah mengikut i pelatihan Raoul, beberapa sudah membuat rekaman dan masih setia bergabung dalam gerakan tersebut untuk memberikan pelati-han. Raoul sendiri ber-mimpi bisa melihat kekua-tan dari kreativitas anak muda yang dididiknya sehingga bisa yakin akan masa depan. “Anak seperti itu butuh pengawasan dari kita semua,” imbau dia. (Din/M-3)
HANNY Kusumawati dan Nia Sa-djarwo sama-sama bekerja sebagai konsultan komunikasi di Jakarta. Dua sahabat itu gemar mengumpulkan uang receh sejak kuliah. Dari sanalah sebuah niat mulia tercetus.
“Recehan kita sudah terkumpul satu stoples. Terus ngomong-ngomong ba-gaimana kalau bikin sekolah, tapi itu kan belum cukup. Karena belum bisa bikin sekolah, bagaimana kita seko-lahkan satu-satu anak,” tutur Hanny dalam Kick Andy episode Kami Peduli, Kami Mengabdi.
Pendidikan menarik perhatian ke-duanya karena menurut mereka pen-didikanlah yang membuat orang bisa sukses. Karena itu, anak-anak lain berhak mendapatkan akses yang sama untuk mendapat pendidikan.
Sejak 2008 Gerakan Coin of Chance diproklamasikan dan dituangkan dalam blog pribadi. Ide itu kemudian
mendapat sambutan positif dari para pembaca blog.
Pengumpulan koin dilakukan reguler setiap bulan. Mereka mengumumkan satu tempat tertentu di blog resmi, se-
bagai tempat bertemu dengan para rela-wan lain. Semua bentuk receh diterima, bahkan koin yang bernilai Rp1 dan Rp5. Untuk transparansi, mereka memberi-kan tanda terima serta mengajak para
penyumbang untuk menghitung koin bersama-sama.
“Kita kemudian posting di blog. Siapa anak yang mau dibantu, kenapa dia mau dibantu, apa latar belakangnya, sekolahnya. Kita posting foto anaknya, keluarganya siapa. Kita kadang juga mengajak anak tersebut untuk bertemu dengan relawan saat pengumpulan koin,” sambung Hani.
Gerakan itu meluas ke Yogyakarta, Bali, Bandung, Palu, dan Sumatra Sela-tan. Salah satunya bahkan bermarkas di Jerman. Lewat situs jejaring, Hanny dan Nia mengawasi kegiatan agar penyim-pangan bisa diminimalkan.
“Sekarang sudah ada tujuh anak yang dibantu. Yang paling kecil masih TK, ada juga yang sudah lulus SMA. Mereka masing-masing diberi tabung-an sebesar Rp5 juta. Total uang yang didapatkan lebih dari Rp40 juta,” cetus Nia. (Din/M-3)
FOTO-FOTO: MI/SUMARYANTO
DINNY MUTIAH
Recehan untuk Pendidikan
Perubahan dengan Parlemen Remaja
Mengakomodasi Bakat Seni
KAMI PEDULI KAMI MENGABDI
Problem-problem sosial dalam masyarakat
memerlukan penanganan segera. Gerakan bisa dilakukan dari lingkup kecil, tetapi memberi manfaat besar dan
keikhlasan hati yang total.
SAKSIKAN DI METRO TVMinggu, 15 Mei 2011,
15.30 WIB
PEOPLE 9MINGGU, 15 MEI 2011
Pengabdian dalam Sebungkus Nasi
Kepedulian tidak mesti diwujudkan dengan hal-hal besar. Hobi memasak, bahkan sekadar sajian nasi bungkus, bisa mewujudkan sebuah pengabdian besar.
Tina Ganto dan Fatma Ibrahim
Hanny Kusumawati dan Nia K. Sadjarwo
Muhammad Iman Usman
Rudolf Dethu dan Raoul Wijffels