mimesis oleh plato

17
1 KEINDAHAN SENI PERTUNJUKAN TEATER (Konsep Seni Plato dan Aristoteles dalam Ranah Kajian Seni Pertunjukan Teater) Teater merupakan kisah kehidupan manusia yang disusun untuk ditampilkan sebagai pertunjukkan di atas pentas oleh para pelaku dengan dan ditonton oleh publik (penonton). 1 Baru dapat disebut seni pertunujukan teater apabila sudah dipentaskan,dan teater selalu bersifat "Actor oriented" (berorientasi pada pelaku pemain). Tanda-tanda kehidupan, simbol-simbol norma, tanda-tanda kebahasaan, simbol-simbol kejahatan, dsb dirangkai oleh penulis naskah dan dibawakan oleh actor di atas panggung untuk disampaikan kepada penonton. Dialog dan lakuan actor di atas panggung tanpa adanya motivasi yang diresepsi dari tanda dan simbol kehidupan tidak akan bermakna. Lebih tidak bermakna lagi jika lakuan actor tidak dapat diinterpretasi atau diterima penonton. Teater sebagai sebuah seni pertunjukan tidak telepas dari aspek tanda dan simbol kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang merupakan bahan bakar penciptaan bagi penulis maupun pekerja seni teater lainnya akan membangun karya seni pertunjukan penuh dengan tanda dan simbol-simbol kehidupan. Tanda dan simbol tersebut sifatnya universal. Keuniversalan kehidupan manusia yang diangkat sebagai bahan bakar seni pertunjukan merupakan berbagai hal yang harmoni, indah, dan atau normatif. Konsep-konsep tentang seni keindahan banyak diungungkapkan oleh Plato khususnya dalam Ion, Phaedros, Nomos, dan Republik/ Politea. Plato percaya bahwa segala sesuatu yang indah adalah benar dalam arti sederhana hakiki, jelas, sempurna, tidak lekang oleh panas dan hujan alias langgeng dan penuh vitalitas. Plato dapat dikatakan sebagai seorang seniman yang idealis dalam menulis. Idea/ Eidos Idealis Teater Plato mengemukakan bahwa manusia menghasilkan karya-karya dalam sistem yang kualitasnya terukur. Seni yang terukur dalam artian ide. Ide bukanlah kondisi mental, gagasan atau pikiran. Plato melihat semua benda senantiasa 1 Herman J Waluyo. Drama Teori dan Pengajarannya. Hanindita Graha Widya Bandung 2002

Upload: indra

Post on 07-Jun-2015

4.331 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mimesis oleh Plato

1

KEINDAHAN SENI PERTUNJUKAN TEATER

(Konsep Seni Plato dan Aristoteles dalam Ranah Kajian Seni Pertunjukan Teater)

Teater merupakan kisah kehidupan manusia yang disusun untuk

ditampilkan sebagai pertunjukkan di atas pentas oleh para pelaku dengan dan

ditonton oleh publik (penonton).1

Baru dapat disebut seni pertunujukan teater apabila sudah dipentaskan,dan

teater selalu bersifat "Actor oriented" (berorientasi pada pelaku pemain).

Tanda-tanda kehidupan, simbol-simbol norma, tanda-tanda kebahasaan,

simbol-simbol kejahatan, dsb dirangkai oleh penulis naskah dan dibawakan oleh

actor di atas panggung untuk disampaikan kepada penonton. Dialog dan lakuan

actor di atas panggung tanpa adanya motivasi yang diresepsi dari tanda dan simbol

kehidupan tidak akan bermakna. Lebih tidak bermakna lagi jika lakuan actor tidak

dapat diinterpretasi atau diterima penonton.

Teater sebagai sebuah seni pertunjukan tidak telepas dari aspek tanda dan

simbol kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang merupakan bahan bakar

penciptaan bagi penulis maupun pekerja seni teater lainnya akan membangun

karya seni pertunjukan penuh dengan tanda dan simbol-simbol kehidupan. Tanda

dan simbol tersebut sifatnya universal. Keuniversalan kehidupan manusia yang

diangkat sebagai bahan bakar seni pertunjukan merupakan berbagai hal yang

harmoni, indah, dan atau normatif.

Konsep-konsep tentang seni keindahan banyak diungungkapkan oleh Plato

khususnya dalam Ion, Phaedros, Nomos, dan Republik/ Politea. Plato percaya

bahwa segala sesuatu yang indah adalah benar dalam arti sederhana hakiki, jelas,

sempurna, tidak lekang oleh panas dan hujan alias langgeng dan penuh vitalitas.

Plato dapat dikatakan sebagai seorang seniman yang idealis dalam menulis.

Idea/ Eidos Idealis Teater

Plato mengemukakan bahwa manusia menghasilkan karya-karya dalam

sistem yang kualitasnya terukur. Seni yang terukur dalam artian ide. Ide bukanlah

kondisi mental, gagasan atau pikiran. Plato melihat semua benda senantiasa

1 Herman J Waluyo. Drama Teori dan Pengajarannya. Hanindita Graha Widya Bandung 2002

Page 2: Mimesis oleh Plato

2

memiliki bentuk dasar yang terukur sebagi rumusan atau formulasi geometris.

Contoh sebuah botol akan terdiri dari beberapa idea yang pada prinsipnya adalah

lingkaran dan silinder, sementara buku memiliki idea kotak persegi panjang.2

Jika dirujuk pada seni pertunjukan teater maka bentuk-bentuk seni

pertunjukan akan terdiri dari beberapa ide yang pada prinsipnya adalah

penampilan, pemain, dan penonton.

Kemurnian dan kejelasan idea inilah yang oleh Plato disebut baik dan

disetarakan dengan indah. Semetara hubungan yang proporsional dan terukur tepat

menciptakan sesuatu dirasakan sebagai harmoni.

Penampilan bagi Plato adalah ide yang mengikuti prinsip-prinsip hakiki

yang berangkat dari kesempurnaan. Kesempurnaan atau keutuhan akan mampu

merengkuh baik dan buruk ke dalam kesamaan. Sama bukan berarti kompromi

atau sepakat tetapi saling mengenal sebagai pasangan yang tak akan bisa saling

meniadakan.

Kecocokan dan keselarasan yang terukur bukan kebetulan. Karya-karya

yang berupa lirik atau seni pertunjukan dikatagorikan oleh Plato sebagai seni yang

bendawi dalam kaitannya dengan besaran proposional dan terukur.

Titik tolak penciptaan dan produksi karya-karya seni dikatagorikan seni

yang imitatif, imitatif bukan dalam artian sebagai tiruan saja. Seni pertunjukan

sebagai sesuatu yang menggambarkan kebajikan dan keburukan yang dimiliki oleh

alam.

Sementara menurut Aristoteles berkesenian dan berkarya adalah proses

pembelajaran yang dihasilkan oleh adanya daya kreasi dalam menanggapi realitas.

Menurut Aristoteles karya hanya akan menjadi suatu barang seni sejauh bukan

reproduksi sebab karya seni harus diciptakan sistemnya sebelum diproduksi.

Dalam seni pertunjukan teater kejelasan atau kemurnian ide yang oleh Plato

disetarakan dengan keindahan seni akan menjadi bahan dasar dalam proses

penciptaan teater. Seni pertunjukan khususnya teater, tanpa ide yang merupakan

gambaran kebajikan dan keburukan alam akan tidak terjadi proses kreatif seperti

2 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia 2001

Page 3: Mimesis oleh Plato

3

yang diungkap oleh Aristoteles. Tidak akan ada suatru proses pembelajaran dalam

menanggapi realita.

Pencipta/ seniman yang merespon realita kebajikan dan keburukan alam

dalam proses penciptaan seni pertunjukan juga tidak mendapatkan proses

pembelajaran bersama pemain/ aktor/ tokoh dan penonton dalam satu pertunjukan

tertentu. Ketepatan dan keproporsioanal dalam proses penciptaan yang dilakukan

oleh seniman tentunya akan menciptakan pula keharmonisan.

Sesuai dengan prinsip Plato bahwa penampilan berangkat dari

kesempurnaan maka seni pertunjukan haruslah berangkat dari kesempurnaan,

adanya keterukuran ide yang proporsional yang menjadi satu kesatuan dan tidak

saling bertentangan sehingga tercipta keindahan yang harmoni.

Kebenaran dan keindahan Seni Teater

Kebenaran dan keindahan menurut pandangan Plato merupakan satu

kesatuan bagai bola cahaya yang tidak terpisahkan. Kebenaran adalah

ketersingkapan yang ada, dalam arti hadir dan mengalir sebagai kejadian yang

meperlihatkan diri keasliannya. Semetara hubungan yang proporsional dan terukur

tepat akan menciptakan sesuatu keharmonisan.

Keindahan bukan diartikan kenikmatan sensasi atau kenyamanan namun

lebih pada pengertian terciptanya dan terbentuknya sesuatu keselarasan dalam

sistem produksi maupun penampilannya.

Asli atau otentik sangat penting dipahami sebagai benar atau tidaknya

sesuatu `berada`. Asli dan tidak asli adalah masalah etika atau moral yang

merupakan dampak atau pancaran yang dihasilkan oleh suatu rangkaian dan

hubungan antar elemen dalam sistemi. Kebenaran dalam arti keaslian sesuatu

adalah bila tidak diingkarinya suatu kerjasama yang selaras antar elemen yang

terlibat, sehingga tidak terjadi kekerasan dalam arti hakiki.3

Karya seni pertunjukan teater merupakan tiruan dalam rangka

menghadirkan kebenaran dalam wilayah yang sengaja dibuat manusia sebagai

3 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia 2001

Page 4: Mimesis oleh Plato

4

pertunjukan. Karya seni pertunjukan merupakan mimesis realitas bukan imitasi

dari tampilan ke tampilan.

Realitas yang ditampakkan sebagai sejumlah unsur oleh pencipta/ seorang

penulis naskah, sutradara dan aktor merupakan gambaran yang dapat dimengerti,

yang menampilkan kodrat manusia , atau sebagai kebenaran yang universal, yang

berlaku dimana-mana dan pada segala zaman.

Teater sebagai sebuah karya seni pertunjukan akan mengangkat pesan

tentang kehidupan, tentang norma, tentang kebaikan, keburukan, kejahatan, dan

berbagai watak karakter manusia untuk ditampilkan di atas panggung.

Mimesis

Mimesis memandang karya seni sebagai tiruan atau pembayangan dunia

kehidupan nyata. Konsep tersebut dikemukakan oleh Plato. Seni hanyalah tiruan

alam. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya

dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni merupakan aktivitas

manusia dengan proses pembelajaran yang dihasilkan adanya daya kreasi delam

menanggapi realita.

Mimesis yang dimaksudkan adalah daya representasi dari keilahian yang

muncul sebagai kesempurnaan berkarya. Mimesis yang dimaksudkan bukan

wujudnya namun kondisi atau keadaan yang membawa keilahian hadir dan ikut

bermain. Mimesis memuat transformasi daya dan kekuatan di luar kendali manusia

ke dalam karya.4

Dengan daya keilahian akan muncul keterlibatan penonton, pemain dan

semua yang hadir dalam emosi yang tidak terkendali namun mengalir bersama.

Dalam seni pertunjukan khususnya teater konsep mimesis dalam pengertian adanya

daya keilahian atau kekuatan diluar kendali manusia dalam karya sangat menonjol.

Ada keterlibatan secara emosional ketika penonton menikmati pertunjukan.

Refensi atau pengalaman batin penonton akan diselaraskan atau disejajarkan

dengan kisahan-kisahan yang dihadirkan oleh pencipta melalui tokoh-tokoh/ peran

dalam sebuah pertunjukan. Dengan penekanan bahwa suara, syair, gerak dan

4 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia 2001

Page 5: Mimesis oleh Plato

5

suasana yang berasal dari para pemain dan pencipta/ seniman yang hadir dalam

seni pertunjukan hanya imitasi atau representasi dari daya dan kekautan-kekuatan

di luar kesadaran dan kendali manusia.

Aristoteles mengembangkan pengertian mimesis dari Plato, Aristoteles

mengutarakan pandangannya tentang seni tidak lagi sebagai suatu copy atau

jiplakan melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai

universalia (konsep-konsep umum) bukan seperti pandangan Plato, yakni dunia

ide.5

Dialektika dan Silogisme Teater

Selain pemain (actor) ada bagian penting dalam sebuah pertunjukan teater

yaitu staf produksi. Staf Produksi teater pada umumnya terdiri dari manager

setingkat direktur perusahaan sampai pada petugas lapangan.6 Staf produksi teater

dijelaskan seperti di bawah ini berikut termasuk tugas dan fungsinya.

a. Produser

Memiliki tugas mengurus produksi secara keseluruhan dan menetapkan

personal (karyawan, petugas), anggaran biaya, program kerja, fasilitas, dan

sebagainya.

b. Direktor (sutradara)

Sebagai koordinator pelaksanaan tugas-tugas penggarapan teater drama,

seperti menyiapkan aktor, mengkoordinasi pekerja teater dsb.

c. Stage Manager

Bertugas memimpin pertunjukan atau pementasan dalam artian pemimpin

langsung dilapangan pada saat pertunjukan, membantu sutradara dalam

mengkoordinasi dan persiapan pemain dan pekerja teater.

d. Designer

Menyiapkan aspek-aspek visual: stage/ setting, property/ dekorasi, lighting/ tata lampu, costume/ make-up, sound, dan lain-lain.

e. Pekerja Teater/ Crew

5 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia 2001 6 Maryaeni Teori Drama Departeman Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang, 1992

Page 6: Mimesis oleh Plato

6

Para pekerja yang bertanggung jawab dibagian pentas (stage crew), dibagian

perlengkapan pentas/ dekorasi (properti crew), tata lampu (light crew), tata

busana dan tata rias (costume crew),serta tata suara/musik (sound crew).

Staf produksi dalam melaksanakan tugasnya merupakan satu kesatuan.

Salah satu staf tidak berfungsi baik maka staf yang lain akan mengalami hambatan

dalam melaksanakan pementasan. Pekerjaan pertunjukan teater akan timpang dan

tidak sempurna pelaksanaannya meskipun kemungkinan tugas dan fungsi tersebut

bisa digantikan atau diwakili oleh staf yang lain.

Sebagai satu kesatuan, staf produksi adalah sebuah sistem. Setiap sistem

terdiri atas empat hal.7 Yang pertama adalah obyek: bagian-bagian, unsur-unsur,

atau variabel-variabel di dalam sistem. Obyek bersifat fisik atau abstrak atau

kedua-duanya, bergantung pada sifat sistem. Kedua, sistem terdiri atas atribut-

atribut: kualitas atau sifat-sifat sistem dan obyek-obyeknya. Ketiga, sistem

memiliki hubungan-hubungan internal antara obyek-obyeknya. Keempat, sistem

ada dalam lingkungan.

Dengan demikian, sistem merupakan seperangkat hal/ benda yang saling

mempengaruhi satu sama lain dalam suatu lingkungan dan membentuk pola lebih

besar yang berbeda dari setiap bagian-bagiannya.8

Plato membuka pemahaman seni dalam ranah kajian sistematik yang

kemudian dikenal sebagai dialektika.9 Karya perlu didekati dan dipahami secara

metodis melalui dialektika.

Produksi karya seni pertunjukan teater berikut elemen pendukungnya

merupakan satu sistematika yang utuh dan menyatu. Jika mengikuti konsep

sistematika Plato bahwa segala sesuatu dapat dilihat hakikat, derajat, dan

katagorinya maka sistematika yang dimaksud Plato tersebut akan mampu

memaparkan, membedakan dan memilah-milah karya seni pertunjukan teater

dalam kaitannya dengan produksi karya.

7 A. D. Hall dan R. E. Fagen, Definition of a System, dalam Modern Systems Research for the Behavioral Scientist, ed. W. Buckley (Chicago: Aldine, 1968) dalam Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan) 8 Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia terjemahan dari Theory of Human Communication. Pasca Sajana UM Malang 9 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia 2001

Page 7: Mimesis oleh Plato

7

Produser, sutradara, stage manager, designer, dan pekerja teater adalah

bagian atau unsur-unsur dalam sebuah sistem. Sistem yang dimaksud adalah sistem

produksi seni pertunjukan teater. Mereka saling memperngaruhi satu dengan yang

lain dalam satu lingkungan yaitu produksi seni dan membentuk pola-pola

hubungan kerja internal yang berbeda satu dengan yang lain dan membangun pola

tersebut menjadi pola-pola yang lebih besar.

Pemilahan tugas dan fungsi elemen pembangun seni pertunjukan teater

tetap menjadi penting untuk mengenal karakteristik masing-masing dalam satu

kesatuan sistematik. Pemilahan bukan berarti memecah belah tanpa tujuan, namun

dalam artian mencari keutuhannya. Seuatu yang ada senantiasa terkait dengan yang

lain sehingga menjalin satu totalitas makna. Sebuah perwujudan merupakan

bagian-bagian yang dikenal sebagai elemen dan komponen totalitas yang satu.

Sebuah sistem akan memiliki karakteristik tertentu. Kualitas sistem dalam

seni pertunjukan teater adalah tidak saling mengucilkan dan atau mengecilkan

tugas dan fungsi satu dengan yang lain, tetapi masing-masing berhubungan dengan

cara tertentu dengan kualitas masing-masing.

Seorang produser pada dasarnya tidak mudah untuk memecat atau

memberhentikan sutradara, actor atau pekerja seni lainnya. Mereka terikat oleh

satu aturan sistem yang sejak awal telah disepakati. Kesepakatan sebagai hubungan

yang harmonis dalam bentuk kerja dan dituangkan dalam bentuk kontrak kerja.

Keutuhan dan saling tergantung dalam sistem merupakan suatu keutuhan

yang unik.10 Melibatkan pola hubungan yang berbeda dari setiap sistem lainnya.

Sesuatu yang utuh jelas lebih utama daripada jumlah bagian-bagiannya. Sistem

adalah produk kekuatan-kekuatan atau interaksi-interaksi antara bagian-bagiannya.

Sekelompok orang yang berdiri dalam deretan pada terminal bus bukan sistem,

tetapi sekelompok orang yang duduk di sekitar meja, yang melakukan percakapan

merupakan sebuah sistem. Tiap bagian dari sistem dibatasi oleh

10 Rapoport, Foreword ; Hall and Fagen, Definition. dalam Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan)

Page 8: Mimesis oleh Plato

8

ketergantungannya pada bagian-bagian lain dan pola salingtergantung tersebut

mengorganisir sistem.11

Saling ketergantungan antara variabel-variabel suatu sistem dapat

diungkapkan sebagai serangkaian asosiasi, atau korelasi. Korelasi, dua variabel

atau lebih berubah secara bersama-sama. Dalam sebuah proses produksi

misalnya, kecemasan sutradara dengan kemarahan produser mungkin berkorelasi.

Korelasi bisa yang kuat atau lemah, bergantung bagaimana jalinan

ketergantungan masing-masing dalam sebuah sistem. Dalam suatu sistem produksi

seni yang kompleks, banyak variabel saling berhubungan satu dengan yang lain

dalam suatu jaringan pengaruh yang berubah-ubah kekuatannya. Misalnya actor

yang bersemangat, sutradara yang frustrasi, atau pekerja teater yang menarik diri,

dan penyesalan stake holder mungkin terikat bersama-sama dalam suatu kelompok

teater.

Sistem cenderung saling melekat satu dengan yang lain sebagai satu

keutuhan. Unsur sistem merupakan bagian dari sistem dan sistem merupakan

bagian dari sistem yang lebih besar.12 Ada semacam hirarki dalam rangkain sistem,

subsistem, dan sub-sub sistem.

Seorang sutradara akan menjadi pemimpin dan acuan bagi actor dan

pekerja seni teater lainnya. Apapun yang menjadi instruksi sutradara harus

dilakukan oleh actor dan pekerja seni lainnya. Hal ini menyangkut tugas dan fungsi

sutradara dalam rangkaian sistem bahwa paling tidak sutradara sudah memahami

lebih dahulu naskah atau ceritanya. Namun demikian diatas sutradara masih ada

unsur atau variabel yang harus dipatuhi oleh sutradara yaitu produser ataupun stake

holder. Penyandang dana sebagai stake holder punya kekuatan dalam hal

kekuangan, namun akan tidak berdaya dan tidak mengahasilkan apa-apa jika tidak

memilki sumber daya manusia yang disebut sutradara, actor maupun pekerja seni

lainnya.

11 Magoroh Maruyama, dalam Mindscape: The Epistemology of Magoroh Maruyama,eds. Michael T. Caley and Daiyo Sawada (Amsterdam: Gordon and Breach, 1994) dalam Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan) 12 Arthur Koestler, W. Ross Ashby, Principles of the Self-Organizing System, dalam Principles of Self-Organization, eds. H. von Foester and G. Zopf (New York: Pergamon, 1962) dalam Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan)

Page 9: Mimesis oleh Plato

9

Sistem merupakan serangkaian kompleksitas yang semakin bertambah.

Sistem lebih besar dimana salah satu sistemnya merupakan bagian darinya disebut

suprasistem, dan sistem lebih kecil yang terkandung dalam suatu sistem disebut

subsistem. Tim produksi adalah suprasistem dari produser, sutradara,stage manger,

designer, dan crew sebagai subsistem. Sutradara adalah suprasistem dari actor,

pemusik, penata lampu, penata panggung sebagai subsistem.

Plato melihat segala sesuatu yang indah dan benar senantiasa utuh dan

memiliki sistematika yang jelas. Segala sesuatu yang benar tidak kontradiktif di

dalam dan justru saling melengkapi dan memperkuat adanya indikasi dan sifat

keutuhan.13

Plato juga meyakini adanya realitas sistem yang tidak pernah berubah.

Yang berubah hanya tampilan dan bentuk yang tertangkap panca indera manusia.

Realitas diatur dan terstruktur oleh sistem yang dapat dipahami oleh akal sehat.

Bagi Plato segala sesuatu yang baik dan indah berasal dari satu realitas.

Sementara filsafat Aristoteles yang berinduk pada kajian dan analisis

terhadap gejala-gejala alamiah dan perilaku manusia menganggap bahwa seni dan

berkesenian dalam pemikiran Aristoteles masuk dalam wilayah produktif.

Aristoteles membuka wacana kemungkinan rekonsiliasi antar wilayah yang ada di

luar dan di dalam benak melelaui pengendapan pengalaman. Aristoteles selalu

mengembalikan pada bendanya yang konkret dalam arti hadir dan dapat dirasakan

kehadirannya dihadapan kita.14

Aristoteles memulai tradisi pengamatan terhadap gejala dan indikasi-

indikasi dalam memahami akibat-akibat atau pengaruh. Setiap gejala-gejala

memiliki sumber yang dapat ditelusuri dalam kaitannya dengan hubungan dan

kausalitas. Semua gejala dapat diamati dan ditelusurin kaitannya melalui hukum

atau kaidah. Hukum atau kaidah yang oleh Aristoteles disebut sebagai silogisme.

Aristoteles lebih menonjolkan wacana logika lebih dahulu dalam kaitannya dengan

metode penalaran berfikir yang benar sementara Plato cenderung

memformulasikan setiap konsep sebelum mengkaji sesuatu.

13 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia 2001

14 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia 2001

Page 10: Mimesis oleh Plato

10

Drama is designed to be acted on the stage. Unsur-unsur pembangun teater

adalah (1) lakuan, (2) panggung, (3) busana, (4) rias, (5) cahaya, dan (6) musik.

Keenam unsur tersebut tidak lepas dari peran sutradara sebagai seniman penafsir

(interpretative artist). Disamping itu, ada elemen-elemen lain yang tidak kalah penting

(1) acting, (2) staging, dan (3) audience.15

Tiga elemen tersebut merupakan unsur penting teater. Acting selalu berkaitan dengan

peran dan pemeranan, yang sekaligus berkaitan dengan motivasi. Selain itu,

berhubungan pula dengan panggung (staging) sebagai media lakuan. Panggung merupakan

penggabungan semua unsur yang terkait dengan kebutuhan teater, panggung bukan hanya

daerah permainan atau lokasi saja namun panggung dihadirkan secara lengkap dengan alat

kelengkapan/ property diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai dampak estetis

dikenal dengan aspek komposisi.

Acting seorang actor atau bagaimana pemeranan yang diperankannya

memerlukan motivasi yang masing-masing actor akan ada korelasinya.

Ketergantungan seorang actor dengan actor lainnya diikat bersama-sama dengan

naskah, dialog ataupun alur cerita.

Dalam sebuah pementasan, jika seorang actor lepas dari cerita dalam naskah

atau ada dialog-dialognya keluar dari naskah maka akan terjadi kegagalan.

Ketergantungan antar actor sebagai sebuah sistem menjadi kacau dan tidak

harmonis. Ketidakharmonisan ini akan berakibat pula tidak tersampaikannya pesan

sebagai tanda dan simbol-simbol kehidupan dalam seni pertunjukan teater.

Dialog yang dibawakan actor merupakan salah satu aspek esensial yang ada

dalam seni pertunjukan teater. Bukan berarti bahwa kekhasan teater hanya terletak

pada dialog, melainkan banyak hal yang menjadikan dialog menjadi ciri khas

teater, apalagi jika dikembalikan pada aspek-aspek kehidupan.16

Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi antar manusia begitu penting.

Mutlak manusia sangat butuh berkomunikasi dengan orang lain untuk

menyampaikan gagasan, pikiran, perasaan. Dengan berkomunikasi kita dapat

mengetahui watak seseorang secara jelas. Komunikasi seperti ini membuka

15 Maryaeni. Buku II Teater. Malang: Proyek IKIP Malang 1995. 16 Maryaeni Teori Drama Departeman Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang 1992

Page 11: Mimesis oleh Plato

11

kemungkinan seseorang memahami orang lain dan memungkinkan terjadinya

proses pikiran seseorang mempengaruhi pikiran orang lainnya.17

Hanya melalui bahasa yang diwujudkan dalam bentuk dialog, kita dapat

memahami siapa dan bagaimana lawan bicara kita. Lebih-lebih bila dialog tersebut

disertai dengan lakuan akan lebih memperjelas maknanya.

Charles Morris, pakar semiotik dalam berbagai tulisannya menunjukkan

bahwa seluruh tindakan manusia melibatkan tanda dan makna dalam berbagai

macam cara yang menarik perhatian. Setiap ada tindakan orang akan menjadi

sadar terhadap tanda, menginterpretasikan tanda dan kemudian memutuskan

bagaimana meresponnya.18

Simbol-simbol dari penulis naskah yang dibawakan oleh actor melalui

interpreatsi sutradara berfungsi untuk mengkomunikasikan konsep, gagasan umum,

pola, atau bentuk. Oleh Susane Langer konsep disebut makna yang dipegang

bersama, tetapi masing-masing orang juga akan memiliki kesan atau makna

pribadi yang mengisi gambaran umum tersebut. Kesan pribadi merupakan

konsepsi orang tersebut.19

Makna terdiri atas konsepsi pribadi individu dan konsep umum yang

dipegang bersama-sama dengan orang-orang lain. Misalnya, karakter tokoh

Jumena dalam naskah Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C Noor yang menjadi

sumber inspirasi penulis dalam penciptaan teater penuh dengan simbol-simbol

makna pribadi maupun makna umum. Makna umum dalam naskah tersebut dapat

diakses oleh siapa saja yang membacanya, mempelajarinya atau memainkannya.

Makna merupakan kesan yang diakui secara umum. Jumena adalah tokoh

yang memiliki watak dasar pendirian yang kuat, pendirian yang kuat inilah yang

menjadikan ketidakyakinan Jumena terhadap segala sesuatu meski disisi lain

Jumena adalah sosok yang religius. Makna pribadi adalah makna yang dimiliki

Arifin C Noor terhadap Jumena dan orang-orang lain yang telah mempelajarinya

termasu penulis.

17 Weaver 1949 dalam Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi, Suatu Ppengantar. Jakarta. Indeks. Gramedia. 2005 18 George Herbert Mead, Mind, Self, and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1934) dalam Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan) 19 Susane Langer dalam Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan)

Page 12: Mimesis oleh Plato

12

Yang lebih penting lagi adalah bagaimana seorang actor memberi muatan

makna dialog agar dapat menumbuhkan pengertian bagi lawan bicara maupun

penonton sebagai penerima pesan. Ketepatan actor memberi muatan pada kalimat-

kalimat yang didialogkannya akan menciptakan komunikasi yang sempurna.

Contoh:

. Juki : Kenapa?

Jumena : Kamu lupa, gaji diperusahaan kita rata-rata setengah kali lebih besar dibanding dengan perusahaan-perusahaan lain?

Jumena : Orang-orang disini rupa-rupanya hanya terdiri dari usus dan kantong sperma saja. Sehingga tidak bisa berfikir, sengaja saya beri mereka gaji lebih besar dengan harapan mereka punya kebiasaan menabung sendiri. Tapi apa yang terjadi justru makin lapar dan lagi dengan sistem upah semacam itu saya kira bisa sedikit menyederhanakan administrasi kita.

Juki : Saya cuma mengajukan jalan tengah. Saya hanya kuatir lama-lama perusahaan akan ambruk .

Jumena : Lebih dulu mereka yang ambruk. Saya masih cukup punya

uang simpanan sampai usia saya berlipat dua.

Waktu itu tiba-tiba semua lampu padam Edan : (Senang sekali) Kiamat.. ternyata kiamat lebih cepat

daripada perkiraan ahli meteorologi. Saya datang Tuan, hallo, sahabatku (eksit)

Jumena : (teriak-teriak, histeris) Lampu! Lampu! Saya tidak mau kecurian

Lampu!

Muncul perempuan tua membawa lillin, segera Jumena mendekatinya P Tua : Lampu seluruh kota mati Gan Jumena : Kurang terang! Buka dan nyalakan semua petromak!

. Jika dibaca dari kutipan dialog naskah Sumur Tanpa Dasar di atas perlu

dipahami jika seorang actor akan memerankan tokoh Jumena maka harus

memahami bahwa Jumena merasa kuatir keadaan hartanya serta keadaan lain yang

tidak mendukungnya. Muatan emosi dan konsep tentang kekuatiran dan rasa

percaya diri harus dikuasai dahulu oleh actor. Hal ini dimaksudkan agar actor tepat

dalam menyampaikan pesan tentang kekuatiran dan rasa tidak percaya dan dapat

dipahami oleh penonton.

Page 13: Mimesis oleh Plato

13

Techne

Salah satu konsep Plato tentang seni adalah: Techne. Techne terbatas pada

pengertian ketrampilan pengrajin yang membuat peralatan dan hiasan. Techne

adalah sistem pengetahuan dan ketrampilan manusia yang membawa segala

sesuatu dari gelap menjadi terang.20

Techne berarti teknik yang terukur dimana transformasi prinsip-prinsip

bilangan (numerik) dan perbandingan perbandingan terukur menjadi penting.

Techne dalam kaitannya dengan produk dan benda oleh Plato dikatakan sebagai

kuantitas yang terukur sehingga terjadi proporsi dan komposisi yang tepat, tidak

kurang, tidak lebih. Techne sebagi produk karya tangan manusia senantiasa

teramati sebagi wujud yang kualitasnya terukur oleh pengamatan.

Dialog-dialog yang diucapkan actor atau pemain harus selaras dengan

penggambaran lakuan di atas panggung. Ketepatan penyampaian pesan tentang

kehidupan akan berpengaruh terhadap kebermaknaan proses pertunjukan. Techne

yang diungkap Plato menjadi tidak tepat jika tetap dipahami terbatas pada

ketrampilan pengarajin yang membuat peralatan dan perhiasan.

Actor tidak sekedar trampil berdialog sesuai naskah namun actor perlu

memahami benar apa-apa yang ingin disampaikan oleh pengarang yang sarat

dengan pesan kehidupan.

Perlu dilakukan proses analisis dialog oleh actor utamanya sebelum

pemanggungan di mulai agar memperoleh gambaran yang nyata tentang apa yang

sebenarnya difokuskan dalam dialog tersebut.

Analisis dialog dapat dilakukan secara sederhana dalam bentuk yang mirip

dengan memenggal-menggal kalimat menjadi bagian-bagian yang sesuai dengan

maksud yang ingin disampaikan. Tekanan pada beberapa bagian kalimat perlu juga

diberikan agar lebih mengekspresikan muatan emosinya.21

Jika actor tidak mampu menerjemahkan dialog-dialog dan memperkuatnya

dengan lakuan-lakuan di atas panggung maka yang terjadi adalah kesalahpahaman

20 Bagus P. Wiryomartono. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni dan Keindahan. Jakarta. Gramedia 2001

21 Maryaeni Teori Drama Departeman Pendidikan dan Kebudayaan IKIP Malang 1992

Page 14: Mimesis oleh Plato

14

atau tidak munculnya keselarasan dan harmoni antar actor sebagai pembawa pesan

dengan penonton.

Realitas Simbol Dan Pesan

Seniman sejati akan mampu melihat kesamaan setiap karya karena

mengenal realitasnya. Realitas bagi Plato adalah sumber dari segala tampilan.

Tanpa mengenal realitas mustahil seorang seniman mampu menghasilkan karya

yang benar. Realitas adalah pengetahuan sejati tentang sesuatu atau benda.

Pengetahuan sejati inilah yang membuat sosok atau perwujudannya bisa terjadi.

Pengetahuan sejati merupakan kumpulan yang utuh tentang ada/ berada yang

menjadi sumber terjadinya aneka wujud dalam konsep yang sama.

Sebagai salah satu unsur pembangun teater, lakuan mendapat perhatian

lebih saat penggarapan atau latihan pementasan. Lakuan merupakan unsur seni

pertunjukan teater yang diperhatikan oleh penonton, bukan siapa yang

memerankan, melainkan bagaimana ia memerankan peran. Lakuan yang mewujud

bersama dialog ataupun yang mendukung dialog di atas pentas pada hakikatnya

merupakan pengejawantahan simbol dan tanda sebagai pesan.

Dialog yang isinya membicarakan orang lain, akan diikuti lakuan misalnya

menggebu-gebu, penuh gairah, dan semangat. Hal ini dilakukan dengan motivasi

untuk mempengaruhi lawan bicara/ lawan main dengan tujuan memperoleh respon

positif pula dari penonton.. Apabila dialog dilakukan seorang diri (monolog) maka

harus dilakukan seolah-olah bersama orang lain, dan lakuannya pun juga sama

ketika ada orang lain yang di ajak bicara. Dengan demukian maknanya dan

ditujukan kepada siapa dapat dipahami dengan jelas

Dialog oleh para actor lewat arahan sutradara sangat menentukan lancer

tidaknya sebuah i pertunjukan seni teater. Actor akan sia-sia demikian juga

penonton jika dalam satu pertunjukan tidak terjadi kelancaran penyampaian pesan

maupun penerimaan pesan dalam wujud simbol-simbol yang merupakan rangkaian

realitas kehidupan di dunia nyata.

Penafsiran tanda dan simbol sebagai pesan pertama kali dilakukan oleh

sutradara lewat naskah drama yang masih berupa literary work. Sutradara sebagai

seniman penafsir merupakan orang yang menentukan. Apabila penafsiran sutradara

Page 15: Mimesis oleh Plato

15

terhadap tanda dan simbol-simbol kehidupan dalam naskah salah atau

dipersepsikan berbeda maka akan salah pula actor memerankannya. Apa yang

diwujudkan di panggung harus sesuai dengan gagasan naskah yang telah ditelaah.

Segala sesuatu yang masih terselubung dalam naskah harus dipecahkan dahulu

oleh sutradara bersama aktor dan pekrja lainnya dan kemudian dikomunikasikan

pada audience/ penonton.

Dengan demikian untuk memperoleh hasil yang maksimal demi

kepentingan keberhasilan pertunjukan diperlukan keterbukaan dan interaksi

sutradara, actor dan yang lainnya pada realitas seperti yang diungkap Plato.

Diharapkan dengan pemahaman kedlaman realitas tersebut akan mampu menguak

tabir kehidupan dan mengejawantahkan pada seni pertunjukan teater dalam wujud

tanda dan simbol-simbol

Kreatifitas

Plato melihat karya seni dalam dua arah yaitu kreatif dan akuisitif. Kreatif

adalah kondisi mental yang memungkinkan terjadinya proses produksi sesuatu

yang sebelumnya tak pernah ada. Sesuatu yang baru bukan hanya bentuknya saja

tetapi juga gagasan-gagasannya. Kreatif bukan berarti dipaksakan demi alasan

perdagangan, peningkatan jumlah, dan kapasitas atau dorongan hasrat manusia

yang cenderung menguasai kendali. Kreatif terdorong oleh kesempurnaan

mendengar dan membaca sehingga memperoleh pengetahuan sejati (eidos) tentang

sesuatu..

Imitasi yang tidak sejati biasanya tercampur aduk dan hidup bersam opini,

penilaian, dan penampilan yang mengulang yang pernah ada tanpa ada pemahaman

baru dari yang dilihat. Dorongan akuisitif dari berkarya umumnya menghasilkan

imitasi yang sumbernya bukan keilahian tetapi keakuan manusia yang diwakili

oleh keinginan dalam menguasai dan mengendalikan dunia.

Menurut Plato Karya seni tidak bisa dinilai atau dihargai jika bukan oleh

mereka yang tahu sesuatunya sehingga kebenaranlah yang terlihat. Orang yang

bisa melihat karya seni akan tahu mana yang mimesis sejati dari kebenaran atau

tiruan yang lahir dari hasrat dan keinginan manusia belaka. Orang yang bisa

melihat karya seni yang indah mengerti proses produksi dari karya. Hanya dengan

Page 16: Mimesis oleh Plato

16

pemahaman produksi seseorang bisa sampai pada pengetahuan bagaimana

kebenaran dihadirkan dalam bentuk dan wujud.

Penutup

Dari abad ke abad pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimesis

telah dioper oleh berbagai teori estetika (filsafat mengenai keindahan), entah

menurut bentuk yang asli, entah dalam bentuk yang sedikit diubah. Pada zaman

Renaissance kita berjumpa dengan suatu tafsiran mengenai konsep mimesis ala

Plato yang telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinus, seorang filsuf Yunani yang

hidup pada abad ke-3 M. Teori ini menafsirkan seni tidak sebagai suatu

pencerminan tentang kenyataan indrawi, melainkan sebagai suatu pencerminan

langsungmengenai ide-ide. Pandangan ini kemudian melahirkan pendapat, bahwa

susunan kata dalam sebuah karya sastra tidak menjiplak begitu saja secara dangkal

kenyataan indrawi, melainkan mencerminkan suatu kenyataan hakiki yang lebih

luhur. Lewat pencerminan kita dapat menyentuh sebuah dimensi lain yang lebih

mendalam. Pendapat ini dijabarkan secara tematik dalam motif cermin. Cermin

membuka kesempatan untuk memasuki sebuah dunia lain.

Konsep mimesis ala Aristoteles sering ditafsirkan secara sempit.

Menampilkan yang universal dalam perbuatan manusia lalu ditafsirkan seolah-olah

seorang pengarang menciptakan tipe-tipe sosial yang khas bagi suatu tempat atau

kurun waktu tetentu.

Semenjak zaman romantik teori mimemis yang klasik digeserkan. Aliran

Romantik memperhatikan yang aneh-aneh, yang tidak riil, yang tidak masuk akal.

Apakah dalam sebuah karya seni kenyataan indrawi ditampilkan sehingga kita

dapat mengenalnya kembali, tidak diutamakan lagi. Tekanan yang diberikan

kepada struktur sebuah karya sastra dapat dilacak kembali pada Aristoteles. Sambil

membahas drama Yunani, pujangga itu mengatakaban, bahwa plot atau alur drama

bukan suatu urutan peristiwa belaka yang tak ada hubungan yang satu dengan yang

lain, melainkan merupakan sebuah kesatuan organik; justru karena kebertautannya,

darma itu memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia.

Page 17: Mimesis oleh Plato

17

DAFTAR BACAAN

Harymawan, RMA. 1980. Dramaturgi. Bandung: PT. Rosdakarya.

Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Manusia (terjemahan) dari Theory of

Human Communication. (materi kuliah) Pasca Sajana UM Malang

Maryaeni. 1992. Teori Drama. Malang. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan

Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Maryaeni.1995. Buku II Teater. Malang: Proyek IKIP Malang

Vardiansyah, Dani. 2005. Filsafat Ilmu Komunikasi, Suatu Ppengantar. Jakarta.

Indeks. Gramedia

Waluyo, Herman J, Prof. Dr. 2002. Drama Teori dan Pengajarannya. Bandung:

Hanindita Graha Widya.

Wiryomartono, Bagus P.2001.Pijar-Pijar Penyingkap Rasa. Sebuah Wacana Seni

dan Keindahan. Jakarta. Gramedia