mikhael feka - journal.dkpp.go.id

30
50 Problematika Kode Etik dan Urgensi Demokrasi Pilkada 2020 (Submitted: September 2020; Accepted: Oktober 2020 Reviewed I: 1 Oktober 2020; Reviewed II Focus Group Discussion: 16 Oktober 2020; Reviwed III: 22 Oktober 2020; Published: Desember 2020) Mikhael Feka Dosen Fakultas Hukum Unwira Kupang, Advokat, Tim Pemeriksa Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur ABSTRAK/ABSTRACT Konkretisasi dari pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah pelaksanaan pemilu atau pilkada secara berkesinambungan. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut maka dibutuhkan penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berpegang teguh pada asas-asas penyelenggara pemilu, yakni mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Tidaklah gampang bagi penyelenggara pemilu untuk menciptakan suatu kondisi yang kondusif, baik secara aturan (undang-undang) maupun secara etik dalam penyelenggaran pilkada di tengah pandemi virus corona 2019 (covid-19). Keberhasilan pilkada di tahun 2020 tidak semata-mata ditentukan oleh penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) beserta jajarannya masing-masing tetapi juga patut didukung sepenuhnya, baik oleh peserta pilkada/pasangan calon, partai politik, tim kampanye, masyarakat maupun semua stakeholder yang ada. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

50

Problematika Kode Etik dan Urgensi Demokrasi Pilkada 2020

(Submitted: September 2020; Accepted: Oktober 2020 Reviewed I: 1 Oktober 2020; Reviewed II Focus Group

Discussion: 16 Oktober 2020; Reviwed III: 22 Oktober 2020; Published: Desember 2020)

Mikhael Feka Dosen Fakultas Hukum Unwira Kupang, Advokat,

Tim Pemeriksa Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur

ABSTRAK/ABSTRACT

Konkretisasi dari pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah pelaksanaan pemilu atau pilkada secara berkesinambungan. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut maka dibutuhkan penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berpegang teguh pada asas-asas penyelenggara pemilu, yakni mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Tidaklah gampang bagi penyelenggara pemilu untuk menciptakan suatu kondisi yang kondusif, baik secara aturan (undang-undang) maupun secara etik dalam penyelenggaran pilkada di tengah pandemi virus corona 2019 (covid-19). Keberhasilan pilkada di tahun 2020 tidak semata-mata ditentukan oleh penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) beserta jajarannya masing-masing tetapi juga patut didukung sepenuhnya, baik oleh peserta pilkada/pasangan calon, partai politik, tim kampanye, masyarakat maupun semua stakeholder yang ada. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Page 2: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

51

sebagai lembaga yang diamatkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk menjaga marwah penyelenggara pemilu melalui penegakan kode etik yang bermatabat adalah sebuah keharusan walaupun ada beberapa tantangan yang berpotensi dialami dalam menegakkan etik tersebut, yakni DKPP bersifat pasif. Jangkauan kode etik secara normatif terbatas, sifat putusan yang final dan mengikat mulai terusik, dan penyesuaian sidang kode etik dilakukan ala covid-19 (masalah video conference versus keyakinan majelis). Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi merupakan ujian bagi penyelenggara pemilu untuk benar-benar patuh pada kode etik dan hukum demi terciptanya pilkada berkualitas.

The concretization of the implementation of people's sovereignty is the sustainable implementation of elections or regional elections. To realize the sovereignty of the people, the quality of election organizers is really needed. The election organizers have to keep the principles of election administration firmly. Those principles are independent, honest, fair, legal certainty, orderly, open, proportional, professional, accountable, effective and efficient. It is not easy for the election organizers to create conducive conditions, both in terms of regulations (laws) and in terms of ethics in organizing regional elections amid the pandemic of corona virus 2019 (covid-19. The success of the elections in 2020 is not only determined by the election organizers, especially General Elections Commission (KPU) and Election Supervisory Agency (Bawaslu) along with their own staff, but also it is fully supported by either district heads election (Pilkada) participants (candidate pairs), political parties, campaign teams, communities, or all existing stakeholders. Election Organizer Ethics Council (DKPP) as an institution protected by Law Number 7 of 2017 concerning Elections to maintain the election organizers’dignity through enforcement of a dignified ethic code is a must, although there are

Page 3: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

52

several challenges that can potentially be experienced in upholding this ethic, that is to say, DKPP is passive. The scope of the ethic code is normatively limited; the nature of the final and binding decision has begun to be disturbed; and adjustments to the ethic code trial has begun to be based on the covid-19 one (the issue of video conference versus assembly beliefs). The implementation of elections amid a pandemic is a test for election organizers to truly comply with the ethic code and law in order to create quality elections.

Kata kunci: Penyelenggara Pemilu, Etika dan Pilkada berkualitas Keywords: quality election administrators, ethics and district head election A. PENDAHULUAN

Salah satu indikator negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum sebagai sarana pelaksanakan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara teratur dengan menjamin hak-hak warga masyarakat yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih. Negara menjamin sepenuhnya hak rakyat untuk secara bebas menentukan sikap politiknya. Indonesia sebagai negara demokrasi telah termuat dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia dilaksanakan melalui pemilihan umum dan pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD, sedangkan pemilihan gubernur, bupati dan walikota atau yang lazim disebut pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah untuk memilih

Page 4: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

53

kepala daerah dan wakil kepala daerah di wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Pemilihan gubernur, bupati dan walikota diatur dalam Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.

Selain itu, UUD 1945 melalui Pasal 1 ayat (3) juga menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dari Pasal ini dapat ditarik pemahaman bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum (rechtstaat), dan bukan berdasarkan kekuasaaan belaka (machstaat). Negara Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis dan berlandaskan pada konstitusi yang telah diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Karena itulah, aparat penegak hukum harus selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Aturan-aturan dalam hukum menegaskan hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan oleh warga negara sebagai suatu kewajiban, hal-hal yang dibolehkan untuk dilakukan sebagai suatu pilihan serta hal-hal yang tidak dibolehkan untuk dilakukan sebagai suatu bentuk larangan. Sistem hukum mempunyai tujuan dan sasaran tertentu. Tujuan dan sasaran hukum tersebut dapat berupa orang-orang yang secara nyata berbuat melawan hukum, juga berupa perbuatan hukum itu sendiri, dan bahkan berupa alat atau aparat negara sebagai penegak hukum. Sistem hukum mempunyai mekanisme tertentu yang menjamin terlaksananya aturan-aturan secara adil, pasti dan tegas, serta memiliki manfaat untuk terwujudnya ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Sistem bekerjanya

Page 5: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

54

hukum tersebut merupakan bentuk dari penegakan hukum1.

Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut maka dibutuhkan penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berpegang teguh pada asas-asas penyelenggara pemilu, yakni mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Penyelenggara pemilu terdiri dari KPU, Bawaslu dan DKPP yang masing-masing lembaga penyelenggara memiliki tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing. dan khusus tentang DKPP memiliki tugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu.

B. PROBLEMATIKA KODE ETIK PENYELENGGARA PEMILU B.1 Pengertian dan Dasar Kewenangan

Etika merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat yang membahas mengenai konsep perilaku manusia. Maka, pembahasan sekitar tentang etika pun sering kali dikenal dengan istilah baik dan buruk. Sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang perilaku manusia, etika dari sudut pandang peristilahan terdapat banyak macam yang antara lain misalnya ada istilah moral, norma da etiket2.

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara

1 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam

Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 3 sebagaimana dikutip oleh Vivi Ariyanti dalam Jurnal Yuridis Vol. 6 No. 2, Desember 2019: 34 - 35.

2 Muhammad, Peradilan Etika Pemilu Penguatan Akuntabilitas Penyelenggara Pemilu, Penerbit Sekretariat DKPP, Jakarta, 2019, hlm. 3

Page 6: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

55

berpikir. Sedangkan arti ta etha, yaitu adat kebiasaan. Jadi, etika adalah suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran yang kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan. Aristoteles membagi pengertian etika menjadi dua, yaitu Terminius Technikus dan Manner and Custom. Terminius Technikus merupaka etika yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Manner and custom merupakan suatu pembahasan etika yang berhubungan atau berkaitan dengan tata cara dan adat kebiasaan yang melekat dalan kodrat manusia atau in herent in human nature yang sangat terkait dengan arti baik dan buruk suatu perilaku, tingkah laku atau perbuatan manusia.3.

Menurut JJ.H.Bruggink, etika adalah teori tentang moral dalam arti keseluruhan kaidah dan nilai. Jika berbicara mengenai teori tentang Moral maka akan menggunakan istilah etika.4 Lebih lanjut R. Van Haersolte dalam bukunya yang berjudul KLEINE WIJSGERIGE ETHIEK sebagaimana dikutip oleh JJ.H.Bruggink menyatakan bahwa perkataan etika kadang-kadang digunakan sebagai sinonim moral. Di sampingnya masih terdapat penggunaan yang lain. Kenyataan bahwa pengetahuan tentang (bahasa) Yunani berabad-abad kurang luas ketimbang tentang bahasa Latin, maka perkataan etika telah dibuat menjadi perkataan khas para cendekiawan, yang sering dipergunakan untuk menunjuk pada refleksi

3 https://www.dosenpendidikan.co.id/etika-adalah/

diunduh pada tanggal 24 September 2020 pukul 18.30 wita 4 JJ.H. Bruggink, Refleksi tentang hukum pengertian-pengertian

dasar dalam teori hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 225

Page 7: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

56

intelektual terhadap moral5. Moral dan etika memiliki suatu penilaian yang sama tentang baik atau buruk, pantas atau tidak pantas.

Menurut Sonny Keraf, kode etik merupakan kaidah moral yang berlaku khusus untuk orang-orang profesional di bidang tersebut, sedangkan menurut Prof. Dr. R. Soebekti, S.H. dalam tulisannya yang berjudul “Etika Bantuan Hukum”, kode etik suatu profesi berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh orang-orang yang menjalankan tugas profesi tersebut6.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika yaitu ilmu tentang baik dan buruknya perilaku, hak dan kewajiban moral; sekumpulan asa atau nila-nilai yang berkaitan dengan akhlak; nilai mengenai benar atau salahnya perbuatan atau perilaku yang dianut masyarakat.

Kode etik penyelenggara pemilu adalah suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh penyelenggara pemilu7.

Mencermati definisi dan pendapat para ahli di atas maka pengertian yuridis tentang kode etik penyelenggara pemilu telah cukup memadai, sedangkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu merupakan pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu8. Adapun tujuan dari kode etik

5 Ibid 6 https://www.dosenpendidikan.co.id/kode-etik/, diunduh

pada tanggal 22 September 2020 pukul 19.30 7 Pasal 1 Ayat 4 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang

Perubahan Atas Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu

8 Pasal 456 UU RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

Page 8: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

57

penyelenggara pemilu adalah untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas9. Pemimpin yang berkualitas dihasilkan dari proses demokrasi yang berkualitas pula. Hal ini tentunya harus dimulai dari penyelenggara pemilu. Kemandirian dapat diartikan bahwa penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tahapan pemilu dilakukan secara bebas tanpa intevensi dari siapa dan apa pun, berdiri di atas kaki sendiri. Kemandirian ini didasarkan pada hukum, etika dan moral. Integritas dapat dimaknai bahwa penyelenggara pemilu memiliki konsistensi pemikiran dan tindakan yang berdasarkan pada sumpah/janji jabatan, nilai-nilai dan norma-norma hukum yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penyelenggara pemilu serta memiliki pribadi yang jujur dan karakter yang kuat serta kebijaksanaan, sedangkan kredibilitas dapat dimaknai bahwa penyelenggara pemilu harus memiliki dan memperjuangkan kualitas, komitmen, kapabilitas, atau bahkan kekuatan yang digunakan untuk menimbulkan rasa kepercayaan diri yang pada akhirnya berpengaruh pada kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu.

Untuk menjaga ketiga nilai tersebut, yakni kemandirian, integritas, dan kredibilitas maka penyelenggara pemilu/pemilihan harus berpegang teguh pada landasan dan prinsip dasar etika dan perilaku penyelenggara pemilu10.

9 Lihat Pasal 4 Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum,

Badan Pengawas Pemilihan Umum, Dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum

10 Ibid, Landasan Etika dan Perilaku diatur dalam Pasal 2 Ayat 1. Kode Etik berlandaskan pada:

a. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Undang-Undang;

Page 9: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

58

DKPP selaku lembaga yang diamanatkan undang-undang untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu diselenggarakan dengan prinsip cepat, terbuka11, dan sederhana12.

Dugaan pelanggaran kode etik dapat diajukan kepada DKPP berupa:

a. Pengaduan dan/atau Laporan; dan/atau b. Rekomendasi DPR.

Pengaduan dan/atau Laporan (Pengadu/Pelapor) diajukan oleh:

a. Penyelenggara Pemilu; b. Peserta Pemilu; c. Tim kampanye; d. Masyarakat; dan/atau e. Pemilih13.

Sedangkan, yang menjadi Teradu dan/atau Terlapor adalah anggota KPU, anggota KPU Provinsi, KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota, KIP Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Panwaslu Kelurahan/Desa, anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri, dan/atau Pengawas TPS serta jajaran kesekretariatan Penyelenggara Pemilu

c. sumpah/janji jabatan sebagai Penyelenggara Pemilu; dan d. asas Penyelenggara Pemilu Sedangkan prinsip dasar kewajiban penyelenggara pemilu

diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 11 Prinsip terbuka dalam sidang DKPP kecuali yang terkait

dengan asusila boleh dikatakan bahwa satu-satunya lembaga etik di Indonesia yang menyelenggarakan sidang etik secara terbuka layaknya sidang di pengadilan.

12 Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.

13 Ibid Pasal 4 Ayat 1 dan 2

Page 10: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

59

yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu14. Selain pengadu dan teradu, ada juga yang namanya Pihak Terkait yakni pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu15. Secara garis besar tahapan proses pemeriksaan kode etik penyelenggara pemilu dibagi menjadi tiga bagian yakni:

1. Verifikasi administrasi adalah pemeriksaan formil dalam rangka pemeriksaan kelengkapan persyaratan Pengaduan dan/atau Laporan16.

2. Verifikasi materiel adalah pemeriksaan terhadap alat bukti dan relevansinya terhadap pokok pengaduan yang mengarah pada dugaan pelanggaran kode etik17.

3. Persidangan adalah sidang yang dilakukan oleh DKPP/Tim Pemeriksa Daerah untuk memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu18.

Mengenai tahapan persidangan sebagaimana disebutkan di atas, dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilaksanakan sidang di DKPP atau sidang di daerah setempat. Sedangkan tidak langsung dapat dilakukan melalui video conference19 .

14 Op. Cit Pasal 1 Ayat 30 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019

dst. 15 Ibid, Pasal 1 Ayat 31 16 Ibid, Pasal 1 Ayat 32 17 Ibid, Pasal 1 Ayat 33 18 Ibid, Pasal 1 Ayat 34 19 Lihat MATERI DEWAN KEHORMATAN

PENYELENGGARA PEMILU PADA ACARA RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN KOMISI II DPR-RI, Jakarta, 10 September 2020

Oleh Ketua DKPP Prof. Dr. Muhammad, S.IP., M.Si

Page 11: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

60

DKPP memiliki tugas, wewenang dan kewajiban dalam menyelenggarakan penegakan kode etik penyelenggara pemilu. Tugas DKPP diatur dalam Pasal 159 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, meliputi:

a. menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu; dan

b. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Selanjutnya Pasal 159 Ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur wewenang DKPP, meliputi:

a. memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;

b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;

c. memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik; dan

d. memutus pelanggaran kode etik. Adapun kewajiban DKPP diatur dalam Pasal 159

Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yakni: a. menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian,

imparsialitas, dan transparansi; b. menegakkan kaidah atau norrna etika yang berlaku

bagi Penyelenggara Pemilu; c. bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus

yang timbul untuk popularitas pribadi; dan d. menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk

ditindaklanjuti. Selanjutnya dalam Pasal 162 UU Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilu ditegaskan bahwa untuk mendukung

Page 12: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

61

kelancaran tugas dan wewenang DKPP, dibentuk sekretariat DKPP. Perihal pembentukan Sekretariat DKPP beserta tugas, fungsi dan wewenang Sekretariat DKPP diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 201820.

Untuk mendukung dan memperkuat DKPP mengingat kedudukan DKPP hanya berada di ibu kota negara maka sesuai dengan ketentuan Pasal 164 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, DKPP dapat membentuk Tim Pemeriksa Daerah (TPD) di setiap provinsi yang bersifat ad hoc yang berjumlah 4 (empat) orang dan mengenai ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang, dan tata kerja tim pemeriksa daerah diatur dengan Peraturan DKPP.

Kewenangan TPD diatur dalam Pasal 6 Peraturan DKPP Nomor 5 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2019 yang pada pokoknya memiliki kewenangan untuk memeriksa jajaran KPU Provinsi atau KIP Provinsi Aceh, KPU Kabupaten/kota atau KIP Kabupaten/kota, Bawaslu Provinsi atau Panwaslih Provinsi Aceh, Bawaslu Kabupaten/kota atau panwaslih Kabupaten/kota, dan pelanggaran kode etik jajaran ad hoc yang dilakukan bersama-sama dengan jajaran tingkat Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi21.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) peraturan a quo dalam menjalankan kewenangannya, TPD dapat:

a. Menghadirkan para pihak, saksi, ahli, dan pihak terkait;

b. Mengambil sumpah saksi dan/atau ahli yang memberikan keterangan dan/atau pendapat dalam sidang persidangan;

c. Meminta keterangan dalam pihak, saksi, dan pihak terkait dan/atau pendapat ahli;

20 Laporan Kinerja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

2019, hlm 16 21 Ibid, hlm 19

Page 13: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

62

d. Memeriksa dan mengesahkan alat bukti dan bahan bukti yang disampaikan dalam sidang pemeriksaan;dan

e. Meminta alat bukti dan barang ukti tambahan lainnya22. Adapun kewajiban TPD sebagaimana diatur dalam

Pasal 7 peraturan a quo ialah sebagai berikut: a. Melaksanakan keputusan DKPP untuk memeriksa

dugaan pelaggaran kode etik; b. Melaksanakan proses pemeriksaan dengan prinsip

cepat, terbuka, dan sederhana; c. Mendengarkan semua pihak yang berkepentingan

dengan perkara yang ditandatangani dan dipertimbangkan semua alasan yang diajukan secara adil;

d. Tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang terkait dalam perkara;

e. Menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil rapat sepanjang tidak bertentangan dalam peraturan perundang-undangan;dan

f. Melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban berdasarkan perundang-undangan serta kode etik dan pedoman perilaku Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu23.

B.2 Problem Kode Etik Penyelenggara Pemilu B.2.1 DKPP Bersifat Pasif

Sumber pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, yakni dari pengaduan dan/atau laporan serta rekomendasi DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat 1 Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang

22 Ibid, hlm 19 23 Ibid, hlm 20

Page 14: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

63

Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa DKPP bersifat pasif dalam arti menunggu pengaduan dan/atau laporan serta rekomendasi DPR. Dalam konteks ini DKPP semata-mata berfungsi sebagai peradilan (penegak) etik bukan sebagai pengawas sekaligus penegak etik. Permasalahannya adalah bagaimana kalau dalam penyelenggarakan pilkada 2020 di tengah pandemi ini banyak pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, namun tidak ada pengaduan dan/atau laporan serta rekomendasi DPR. Misalnya, dugaan pelanggaran tersebut hanya diberitakan di media dan/atau ada dugaan pelanggaran pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara yang dilakukan melalui media cetak maupun elektronik yang diketahui oleh DKPP, namun tidak ada pengaduan dan/atau laporan serta rekomendasi DPR maka penegakan etik tidak mungkin terjadi karena DKPP tidak diberikan kewenangan untuk mengawasi dan menjadikan suatu dugaan pelanggaran etik sebagai temuan.

Memang disadari pula bahwa hakikat etika tidak memperjuangkan sesuatu karena etika adalah sebuah penilaian terhadap sesuatu, pantas atau tidak pantas, baik atau tidak baik, etis atau tidak etis. Namun, dalam rangka menciptakan demokrasi yang berkualitas, penyelenggra pemilunya harus terlebih dahulu berkualitas baik secara ilmu, moral dan etika sehingga bisa berintegritas. Ketika seseorang mengabaikan etika sebagai sebuah prinsip dasar, seseorang itu secara otomatis melanggar sebuah kesepakatan bersama. Pelanggaran moral itulah yang membuat seseorang akhirnya berbuat sewenang-wenang dan tidak peduli lagi terhadap sebuah aturan tertulis. B.2.2 Jangkauan Kode Etik Secara Normatif Terbatas

Bahwa Landasan Etika dan Perilaku diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Bersama Komisi Pemilihan

Page 15: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

64

Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Kode Etik berlandaskan pada:

a. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Undang-Undang;

c. sumpah/janji jabatan sebagai Penyelenggara Pemilu; dan

d. asas Penyelenggara Pemilu. Bahwa pilkada 2020 dilaksanakan di tengah pandemi

covid-19, secara otomatis penyelenggaraan tahapan pilkada mau tidak mau harus disesuaikan dengan protokol covid-19. Yang menjadi permasalahannya adalah penyelarasan tahapan pilkada dengan protokol covid-19 tidak diikuti dengan kebijakan formulasi dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang tidak mengatur tentang pelaksanaan pilkada sesuai dengan protokol covid-19 baru ditemukan di PKPU dan Perbawaslu. Problemnya adalah PKPU dan Perbawaslu bukan undang-undang yang menjadi landasan kode etik. Bagaimana seorang penyelenggara yang tidak taat protokol covid-19 dalam konteks pilkada dianggap melanggar kode etik? Sebagian orang mungkin menganggap persoalan ini sepele. Namun, ketika menjadi persoalan etik, tentunya DKPP dalam menjatuhkan putusan harus mencari dasar dan argumentasi hukum yang kuat. Sebab, jika tidak, putusan DKPP akan digugat ke PTUN.

Page 16: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

65

B.2.3 Sifat Putusan Yang Final Dan Mengikat Mulai Terusik

Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dalam Pasal 458 Ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mulai terusik yang mana Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap terhadap Anggota KPU RI, Evi Novida Ginting Manik dalam perkara 317-PKE-DPP/X/2019 yang diadukan Hendri Makalausc, calon Anggota Legislatif DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan (dapil) Kalbar 6. Sanksi tersebut dibacakan Plt Ketua DKPP, Prof. Muhammad di ruang sidang DKPP, Gedung Treasury Learning Center (TLC), Jalan KH. Wahid Hasyim Nomor 117, Jakarta Pusat, Rabu (18/3/2020) pukul 13.30 WIB. “Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Teradu VII Evi Novida Ginting Manik selaku Anggota KPU RI sejak putusan ini dibacakan”24.

Menindaklanjuti Putusan DKPP, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 34/P Tahun 2020 yang memberhentikan Evi secara tidak hormat per tanggal 23 Maret 2020. Namun, seperti yang diketahui bersama bahwa Evi melakukan gugatan ke PTUN Jakarta dan gugatan Evi dikabulkan oleh PTUN Jakarta sebagaimana terdapat dalam Putusan PTUN Jakarta No. 82/G/2020 yang mengabulkan gugatan Evi Novida Ginting terhadap Keputusan Presiden No.34/P Tahun 2020 Tentang Pemberhentian Tidak Hormat Anggota KPU Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020.

Kasus Evi dalam Putusan PTUN Jakarta No. 82/G/2020 yang mengabulkan gugatan tentunya menjadi preseden buruk dalam kode etik penyelenggara pemilu dan

24 https://dkpp.go.id/dkpp-berhentikan-anggota-kpu-ri-evi-

novida-ginting-manik/ diunduh pada tanggal 26 September 2020 pukul 20.55 wita

Page 17: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

66

Putusan PTUN Jakarta No. 82/G/2020 akan dijadikan yurisprudensi untuk mengerdilkan penegakan kode etik penyelenggara pemilu. Supaya Putusan PTUN Jakarta No. 82/G/2020 tidak melemahkan DKPP ke depannya, perlu dilakukan perubahan terhadap status DKPP menjadi Lembaga Peradilan Etik Penyelenggara Pemilu sehingga keputusan pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan putusan peradilan etik ini tidak bisa digugat ke PTUN25.

Dalam kasus sebagaimana diuraikan di atas jelas terlihat bahwa penegakan etik dan hukum seolah dipisahkan dan menempatkan hukum di atas etika (atau sebaliknya etika di bawah hukum), padahal keduanya bisa

25 Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun

2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undangundang

Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan

peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara

Nasional Indonesia; g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di

daerah, mengenai hasil pemilihan umum

Page 18: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

67

saling menghargai dan tidak saling mengeliminir. Memang terkait dengan hukum dan moral (etika) ada perdebatan atau perbedaan antara Weber dan Habermas. Weber berpendapat bahwa hukum adalah satu-satunya alat integrasi sosial di dalam masyarakat. Hukum tidak perlu mendapat legitimasi dari mana-mana tetapi dari dirinya sendiri. Hukum mempunyai rasionalitasnya sendiri dan tidak lagi bergantung pada pandangan moral26. Pendapat Weber tersebut mengundang reaksi Habermas. Habermas berpendapat bahwa rasionalitas hukum Weber tidaklah menyebabkan hukum dan moralitas itu harus terpisah satu sama lain. Habermas dengan tegas mengatakan bahwa antara hukum dan moralitas itu ada hubungan yang erat satu sama lain. Habermas memberi argumen bahwa rasionalitas formal hukum seperti yang diuraikan Weber tidak dapat dilihat sebagai rasional dalam artian netral secara moral karena itu legitimasi hukum tidak bisa lepas dari pertimbangan moral27. B.2.4 Penyesuaian sidang kode etik ala covid-19 (masalah video conference versus keyakinan majelis).

DKPP telah melakukan kebijakan strategis di masa pandemi covid-19, yakni:

1. Penerimaan pengaduan dan/atau laporan online; 2. Sidang pemeriksaan virtual; 3. Penguatan Eko Sistem IT Humas Datin; 4. Rapid test dan penyemprotan disinfektan secara

berkala; dan

26 Frans J. Rengka, Dialog Hukum dan Keadilan, Penerbit Genta

Press, Yogyakarta, 2015, hlm. 49 27 Ibid

Page 19: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

68

5. Pemberlakuan standar protokol covid-19 penerimaan pengaduan dan/atau laporan serta pada sidang pemeriksaan28. Permasalahan yang dihadapi di masa pandemi ini

adalah terkait dua hal, yakni penerimaan pengaduan dan/atau laporan online dan sidang pemeriksaan virtual. Terkait masalah penerimaan pengaduan dan/atau laporan online, tidak semua wilayah Indonesia yang melaksanakan pilkada sudah terkoneksi secara baik dengan internet dan tidak semua masyarakat atau pemilih melek teknologi serta tidak semua masyarakat tahu tentang prosedur pengaduan/pelaporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Sedangkan, masalah sidang pemeriksaan virtual secara teknis bisa dilakukan apabila sarana prasarana untuk sidang virtual lengkap ditambah kemampuan SDM yang memadai dari sekretariat untuk membantu memperlancar namun ada satu hal yang menjadi persoalannya adalah bagaimana seorang majelis pemeriksa memiliki sebuah keyakinan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Teradu. Tidak cukup hanya sekadar memutus berdasarkan alat bukti yang ada tetapi harus didukung dengan keyakinan majelis sehingga kekuatan putusannya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral maupun etik, tetapi lebih dari pada itu adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan majelis pemeriksa hanya bisa muncul secara maksimal apabila berhadapan langsung dengan para pihak baik pengadu, teradu maupun pihak terkait. Urgensi Demokrasi Pilkada 2020

Pilkada 2020 merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat. Makna dari kedaulatan berada di tangan

28 Op. Cit, MATERI DEWAN KEHORMATAN

PENYELENGGARA PEMILU PADA ACARA RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN KOMISI II DPR-RI dst.

Page 20: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

69

rakyat, yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan29. Pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam bentuk pilkada tidak sekedar untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah atau dimaknai secara sempit, yakni pengertian secara etimologi tetapi lebih mengedepankan bahwa pilkada itu untuk membangun kesadaran dan partisipasi semua pihak sebagai makhluk mulia yang bermartabat untuk mengonstruksi sistem demokrasi yang mana antara pemimpin dan rakyatnya mempunyai hubungan batin yang sama dalam membangun keadilan dan kesejahteraan.

Prof. Teguh Prasetyo menggagas dan memelopori lahirnya teori keadilan bermartabat. Keadilan bermartabat sebagai suatu grand theory hukum memandang Pancasila sebagai postulat dasar tertinggi, yaitu sumber dari segala inspirasi yuridis untuk menjadikan etika politik (demokrasi) khususnya etika kelembagaan penyelenggaraan pemilu sebagai manifestasi paling konkret dari demokrasi yang dapat menciptakan masyarakat bermartabat. Dengan begitu, hukum dapat memanusiakan manusia30. Manusia menjadi tuan atas hukum bukan sebaliknya sehingga hukum diarahkan sepenuhnya untuk melayani manusia sebagai tuannya. Manusia menjadi fokus dan pelaku hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks pilkada, untuk mengonstruksi pilkada yang bermartabat, kualitas manusia sebagai

29 Teguh Prasetyo dan Muhammad, Kelembagaan Pemilu Untuk

Pemilu Bermartabat Suatu Orientasi Teori Keadilan Bermartabat, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2019 Hlm. 129

30 Teguh Prasetyo, Pemilu dan Etika Penyelenggara Pemilu Bermartabat, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2019, hlm. 25

Page 21: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

70

penyelenggara pilkada diuji kemampuan dan kelayakannya sebagai tuan atas hukum untuk meletakkan pilkada (demokrasi) di atas segala-galanya, apalagi di tengah pandemi covid-19 yang memiliki banyak keterbatasan ini.

Pemikiran Prof.Teguh Prasetyo tentang hukum harus memamusiakan manusia dan seyogyanya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan menurut hakikat dan tujuan hidupnya31 karena manusia adalah makhluk yang mulia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana termaktub dalam sila ke-2 Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Di dalam sila itu, terkandung nilai pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dengan segala hak dan kewajibannya serta manusia juga mendapatkan perlakuan yang adil dari manusia lainnya dan mendapatkan hal yang sama terhadap diri sendiri, alam sekitar dan terhadap Tuhan32. Manusia ditempatkan pada tempat yang mulia sudah sejak lama ditulis oleh Pico Della Mirandola pada awal zaman modern dalam karangannya yang berjudul “De Hominis Dignitate” mengemukakan bahwa tidak ada di dunia ini yang lebih menakjubkan (mirum) daripada manusia. Mengapa manusia paling hebat di dunia? Sebab manusia tinggal di luar tangga makhluk alam. Ia dapat mengambil tempat yang dikehendakinya. Kehebatan ini diterimanya dari Tuhan33. Pemikiran cemerlang dari Pico ini mendapat dukungan dari Imanuel Kant yang mengemukakan bahwa nilai manusia terletak dalam kebebasannya dan otonominya, yang nyata dalam praksis hidup, dalam hidup moralnya. Tetapi hidup moral yang bernilai itu berakar dalam nilai religiusnya, sebab kebebasannya berasal dari Tuhan34.

31 Ibid 32 Ibid 33 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisus, Yogyakarta,

1995, hlm. 99 34 Ibid

Page 22: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

71

Pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu menetapkan untuk melanjutkan tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sempat tertunda karena pandemi covid-19. Lanjutan tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota dimulai tanggal 15 Juni 2020 dengan agenda pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih dan puncaknya adalah 9 Desember 2020. Dasar dilanjutkannya pelaksanaan pilkada serentak 2020 adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang Pasal 201A Ayat 2 berbunyi “Pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020”. Pilkada serentak 2020 di tengan Pandemi Covid-19 tentunya sebuah pilihan sulit karena di satu sisi harus tetap menjaga pilkada berkualitas dan pada sisi yang lain harus taat pada protokol covid-19. Antara menjaga pilkada berkualitas 9 Desember 2020 dan menyelamatkan kesehatan masyarakat dari ancaman covid-19 merupakan dua hal yang harus sama-sama dijaga kualitasnya. Prioritas yang harus lebih diutamakan adalah menjaga kesehatan masyarakat karena kalau masyarakat (rakyat) sakit, sia-sialah pilkada 2020. Dengan demikian, pemerintah dan penyelenggara perlu menaruh atensi serius dalam menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi covid-19 ini35

Maka, untuk menjaga pilkada berkualitas di tengah pandemi covid-19, setidak-tidaknya ditentukan oleh enam

35 Mikhael Feka, Opini: Pilkada Berkualitas di Tengah Pandemi

Covid-19, diterbitkan oleh rakyatntt.com, tanggal 28 Juni 2020

Page 23: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

72

faktor berikut:36 faktor regulasi, anggaran, penyelenggara pemilihan, peserta pemilihan, masyarakat dan gugus tugas. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan dan saling memengaruhi satu dengan yang lain dalam menentukan kualitas pilkada dan masyarakat tetap bebas dari ancaman covid-19. Pertama, faktor regulasi. Faktor ini sangat menentukan karena terkait dengan payung hukum dilaksanakannya pilkada di tengah pandemi covid-19 tersebut. UU Nomor 6 Tahun 2020 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai dasar untuk melaksanakan pilkada 9 Desember 2020 tidak cukup untuk menjawab kebutuhan kualitas pilkada di tengah pandemi covid-19 tersebut sehingga perlu peraturan teknis berupa PKPU dan Perbawaslu untuk memadukan pilkada berkualitas sekaligus menjaga kualitas kesehatan masyarakat. Walaupun UU Nomor 6 Tahun 2020 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak begitu memadai untuk menjaga kedua hal tersebut, setidak-tidaknya UU Nomor 6 Tahun 2020 ini merupakan jawaban atas kepastian hukum di tengah krisis dan kemendesakan pilkada 2020, apalagi siapa pun tidak bisa memastikan kapan akan berakhir pandemi covid-19 ini.

Kedua, anggaran. Pilkada langsung sudah pasti menelan anggaran yang tidak sedikit apalagi ditambah dengan pandemi ini, sehingga pemerintah perlu

36 Ibid

Page 24: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

73

menetapkan anggaran yang cukup bagi penyelenggara, yakni KPU, Bawaslu dan DKPP serta ada satu pihak yang bukan penyelanggara namun sangat menentukkan dalam pilkada 2020 ini adalah Gugus Tugas Covid-19. Jadi, secara garis besar anggaran untuk penyelenggaraan pilkada ini dibagi menjadi dua bagian besar, yakni untuk pembiayaan seluruh tahapan pilkada oleh penyelenggara dan pengadaan seluruh alat kesehatan untuk memenuhi standar kesehatan (protokol covid-19) mulai dari alat rapid test hingga Alat Pelindung Diri (APD) dll. Ketiga, penyelenggara pemilihan (KPU, Bawaslu dan DKPP). Tantangan utama bagi penyelenggra pemilihan adalah harus menyesuaikan semua tahapan pilkada dengan new normal alias hidup “berdampingan” dengan covid-19 sambil menjalani aktivitas seperti biasa. Namun, tetap ada batasan-batasannya. Integritas penyelenggara di tengah pandemi covid adalah harga mati. Penyelenggara merupakan pilar utama dalam melaksanakan dan menegakkan pilar demokrasi yang berkeadilan. Tantangan penyelenggara dalam situasi tidak normal seperti saat ini tentunya berat dan tidak gampang tetapi juga tidak bisa dijadikan situasi tidak normal ini sebagai alasan untuk tidak profesional dan menjaga integritas. Keempat, peserta pemilihan. Pasangan calon, partai politik, tim sukses/tim kampanye harus mematuhi semua aturan baik terkait pilkada maupun terkait protokol covid-19. Keberhasilan pilkada tidak semata-mata dibebankan kepada penyelenggara tetapi juga menjadi tanggung jawab peserta pemilihan karena aktor pilkada itu sesungguhnya adalah peserta pemilihan itu sendiri baik dari partai politik maupun dari independen/perseorangan. Perserta pemilihan harus memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Jangan menggunakan situasi pandemi untuk politik uang. Bantuan kemanusiaan berbalut politik uang adalah pengkhianatan terhadap demokrasi.

Page 25: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

74

Kelima, masyarakat (pemilih). Faktor ini sangat menentukan karena salah satu indikator pilkada demokratis dan berkualitas adalah partisipasi pemilih. Oleh karena itu pemerintah dan penyelenggara pemilu harus memperhatikan dan menjamin sepenuhnya hak konstitusional masyarakat untuk menggunakan haknya. Pengalaman membuktikan bahwa baik pemilu maupun pilkada DPT selalu menjadi masalah klasik. Selain pemerintah dan penyelenggara, masyarakat diharapkan kesadaran politiknya untuk proaktif mengecek namanya apakah sudah terdaftar atau belum baik secara manual maupun secara daring. Begitupun dalam tahapan penyelenggaraan lainnya yang juga krusial, yakni kampanye dan pungut hitung. Tahap ini biasanya dibanjiri dengan berbagai modus politik uang apalagi situasi pandemi saat ini bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi bantuan menjadi politik uang. Keenam, gugus tugas. Dalam pemilu maupun pilkada sebelumnya, belum dikenal yang namanya gugus tugas apalagi gugus tugas covid-19. Gugus ini memang bukan penyelenggara tetapi sangat menentukan apakah pilkada bisa dilanjutkan atau tidak karena bagaimanapun gugus ini bertanggung jawab untuk memastikan kesehatan masyarakat di masa pandemi ini. Instrumen hukum pilkada di tengah pandemi covid-19 tidak begitu memadai bahkan UU Nomor 6 Tahun 2020 tidak mengatur tentang desain pelaksanaan tahapan ala covid-19 terutama tahapan-tahapan krusial seperti tahapan pencalonan, kampanye dan pungut hitung yang ramah/berdamai dengan covid-19. Oleh karena itu, perlu didesain secara obyektif dalam PKPU sekalipun UU Nomor 6 Tahun 2020 tidak memerintahkan secara organik untuk pengaturan lebih lanjut terkait desain tahapan sesuai protokol covid. Misalnya, tentang verifikasi faktual dengan metode sensus perlu dipertimbangkan matang karena tidak cocok dengan kondisi pandemi seperti saat ini. Metode

Page 26: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

75

sensus bisa diganti dengan metode sampel dan/atau menggunakan alat komunikasi yang semakin canggih ini, misalnya video call. Selain itu, metode kampanye diatur dalam Pasal 65 UU Nomor 10 Tahun 2016 terutama tentang pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog sudah pasti melibatkan banyak orang dan pertemuan langsung dengan pendukungnya. Perlu desain untuk mengikuti protokol covid-19, misalnya melalui media virtual atau pun terpaksa harus tatap muka maka harus disertai pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kampanye pertemuan langsung tersebut. Perlu kesadaran dari pasangan calon, partai politik, tim kampanye dan masyarakat untuk mematuhi protokol covid-19 sehingga kalau di pemilu lalu banyak penyelenggara wafat karena kelelahan dan dalam pilkada tahun ini jangan ada penyelenggara, peserta maupun masyakarat wafat karena covid-19. Demokrasi untuk melayani rakyat bukan membunuh rakyat37.

Tantangan utama dalam pilkada di tengah pandemi covid-19 ini adalah kesadaran menaati protokol covid dan menghindari kerumunan karena bagaimanapun dalam sebuah ajang politik seperti ini mau tidak mau pasti berurusan/berhubungan dengan massa sehingga perlu pengaturan dan penerapan sanksi yang tegas kepada pelanggarnya. Pilkada di masa pandemi bukan sekadar ajang untuk mencari pemimpin tetapi juga menjaga keselamatan rakyat (masyarakat). Perlu adanya kesadaran dari partai politik, peserta pilkada, penyelenggara pilkada, masyarakat dan semua elemen bangsa agar pilkada tetap berkualitas tetapi juga pilkada yang sehat dan menggembirakan38.

37 Ibid 38 Mikhael Feka, Pilkada di Tengah Pandemi, Opini Pos Kupang

edisi 21 September 2020 hlm 4

Page 27: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

76

Menurut Prof Garuda Wiko ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020, yakni: Pertama, menguatnya politik transaksional; kedua, politisasi dan kampanye terselubung menggunakan program penanganan covid-19; ketiga, gangguan profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu karena profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilihan terganggu dan terdistorsi oleh kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan akan tertular covid-19 pada saat bekerja; keempat, aparatur sipil negara (ASN) dan birokrasi daerah yang tidak netral; kelima, pelaksanaan tahapan pilkada kerap kali bermasalah karena disebabkan faktor internal atau eksternal penyelenggara pemilu. misalnya kendala dalam menjaga akurasi dan validitas data pemilih akibat terganggunya pelayanan KTP elektronik di masa pandemi, tingginya pergerakan atau mobilisasi penduduk antar daerah, serta banyaknya pekerja migran yang kembali ke Indonesia; keenam, persoalan kampanye jahat melalui media digital juga penting menjadi perhatian KPU dan Bawaslu, seperti rapat daring, webinar, maupun diskusi jarak jauh berbasis teknologi. Hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh oknum untuk semakin menyebarkan kampanye jahat berupa hoaks, informasi bohong, fitnah, maupun ujaran kebencian melalui platform media sosial atau aplikasi pesan personal.

Ketujuh, penundaan atau jeda tahapan pilkada ternyata mempertinggi pula biaya politik (political cost) yang harus dikeluarkan para calon. baik untuk merawat konstituen maupun menjaga elektabilitas. Hal ini membutuhkan biaya yang makin besar karena rentang waktunya makin panjang; kedelapan, pada pilkada serentak tahun ini pemilih akan mengalami skeptisme pada proses pilkada karena dampak ekonomi dan psikologis yang mereka hadapi pascapandemi covid-19 lebih dominan ketimbang semangat untuk berpartisipasi dan terlibat

Page 28: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

77

dalam proses pemilihan, sehingga masyarakat enggan merespon dengan baik proses pelaksanaan pemilihan yang melibatkan mereka., misalnya, verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, coklit data pemilih, kampanye, maupun pemungutan suara. Pada akhirnya, bila tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa berakibat pada penurunan penggunaan hak pilih di hari pemungutan suara tanggal 9 desember mendatang. Selain itu, di bulan desember akan ada perayaan Natal bagi umat Kristiani. tradisi pulang kampung untuk merayakan Natal bersama keluarga bisa saja membuat pemilih tidak terlalu memedulikan pelaksanaan pilkada; kesembilan, pada masa pandemi covid-19, diharapkan KPU bersinergi dengan para stakeholder untuk menyiapkan manajemen resiko berupa protokol pengelolaan tahapan pilkada yang kompatibel dengan penanganan covid-19 dan memastikan tersedianya fasilitas untuk proteksi kesehatan petugas pemilihan, serta kepatuhan pada disiplin protokol kesehatan penanganan covid-1939.

Etika penyelenggara pemilu dan urgensi demokrasi pilkada adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan tetapi saling melengkapi. Tanpa etika demokrasi yang berkeadilan, tidak mungkin terjadi dan demokrasi tanpa etika adalah sebuah kesia-siaan.

39 https://www.untan.ac.id diunduh pada tanggal 19

September 2020 pukul 16.25 wita

Page 29: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

78

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011;

Bruggink, JJ.H, Refleksi tentang hukum pengertian-pengertian

dasar dalam teori hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011;

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisus, Yogyakarta, 1995; Laporan Kinerja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2019 Muhammad, Peradilan Etika Pemilu Penguatan Akuntabilitas

Penyelenggara Pemilu, Penerbit Sekretariat DKPP, Jakarta, 2019;

-----------------, MATERI DEWAN KEHORMATAN

PENYELENGGARA PEMILU PADA ACARA RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN KOMISI II DPR-RI, Jakarta, 10 September 2020;

Prasetyo, Teguh dan Muhammad, Kelembagaan Pemilu Untuk

Pemilu Bermartabat Suatu Orientasi Teori Keadilan Bermartabat, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2019;

-------------, Teguh, Pemilu dan Etika Penyelenggara Pemilu

Bermartabat, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2019;

Page 30: Mikhael Feka - journal.dkpp.go.id

79

Rengka, Frans J. Dialog Hukum dan Keadilan, Penerbit Genta Press, Yogyakarta, 2015

Jurnal, koran dan internet

Ariyanti, Vivi, Jurnal Yuridis Vol. 6 No. 2, Desember 2019:

34 - 35. Feka, Mikhael, Opini: Pilkada Berkualitas di Tengah Pandemi

Covid-19, diterbitkan oleh rakyatntt.com, tanggal 28 Juni 2020;

------------- Pilkada di Tengah Pandemi, Opini Pos Kupang edisi

21 September 2020; https://www.untan.ac.id diunduh pada tanggal 19

September 2020 pukul 16.25 wita ; https://dkpp.go.id/dkpp-berhentikan-anggota-kpu-ri-evi-

novida-ginting-manik/ diunduh pada tanggal 26 September 2020 pukul 20.55 wita

https://www.dosenpendidikan.co.id/etika-adalah/

diunduh pada tanggal 24 September 2020 pukul 18.30 wita

https://www.dosenpendidikan.co.id/kode-etik/, diunduh

pada tanggal 22 September 2020 pukul 19.30