mewujudkan peradaban yang sempurna

56
MEWUJUDKAN PERADABAN YANG SEMPURNA : Pengembangan Pribadi Yang Utuh Oleh Rum Rosyid Membangun sebuah peradaban bangsa yang baik dan kuat, bukanlah pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan dengan sekali ayunan tangan. Karena, kekuatan-kekuatan eksternal dan tantangan globalisasi pasti akan berusaha menghambat tatanan masyarakat yang sedang dibangun tersebut. Bahkan, sejarah telah memperlihatkan bahwa tidak semua reformasi, revolusi dan perubahan sosial secara otomatis dapat berjalan dengan mulus dan senantiasa menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Sebagai contoh, Revolusi perancis yang terjadi tahun 1787, memerlukan waktu 13 tahun untuk mencapai kondisi politik yang stabil. Majelis Nasional pasca revolusi yang dibentuk pada 1789 masih diwarnai oleh orang-orang yang tidak membawa aspirasi perubahan dan 43 % terdiri dari pejabat-pejabat yang bisa disuap. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, ternyata juga bukanlah sebuah jaminan bahwa manusia Indonesia akan selamanya terbebas dari penindasan dan keterbelakangan. Karena ternyata, kezaliman dan kesewenang- wenangan bukan cuma watak khas dari imperialisme Belanda, Portugis, Jepang atau Inggris saja. Akan tetapi, ia adalah watak dasar dari semua orang yang hatinya tidak tergantung pada nilai-nilai moral, keimanan, dan keadilan. Sejak tahun 1950-an, ternyata kita telah mengalami tindakan represif dari dua periode rezim otoriter yang kontroversi, yakni orde lama dan orde baru. Padahal, kedua rezim itu tumbuh sebagai hasil sebuah gerakan yang pada dasarnya bercita-cita menegakkan kemerdekaan sebagai hak asasi manusia dan memajukan peradaban bangsa Indonesia. Hakekat Membangun Peradaban "if religion without morality lacks a solid earth to walk on, morality without religion lacks a wide heaven to breath in".(Jika agama tanpa moralitas, kekurangan tanah untuk berjalan diatasnya, jika moralitas tanpa agama, kekurangan surga langit untuk bernafas).

Upload: ziyyaelhakim

Post on 23-Jun-2015

570 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

MEWUJUDKAN PERADABAN YANG SEMPURNA : Pengembangan Pribadi Yang UtuhOleh Rum RosyidMembangun sebuah peradaban bangsa yang baik dan kuat, bukanlah pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan dengan sekali ayunan tangan. Karena, kekuatan-kekuatan eksternal dan tantangan globalisasi pasti akan berusaha menghambat tatanan masyarakat yang sedang dibangun tersebut. Bahkan, sejarah telah memperlihatkan bahwa tidak semua reformasi, revolusi dan perubahan sosial secara otomatis dapat berjalan dengan mulus dan senantiasa menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Sebagai contoh, Revolusi perancis yang terjadi tahun 1787, memerlukan waktu 13 tahun untuk mencapai kondisi politik yang stabil. Majelis Nasional pasca revolusi yang dibentuk pada 1789 masih diwarnai oleh orang-orang yang tidak membawa aspirasi perubahan dan 43 % terdiri dari pejabat-pejabat yang bisa disuap.

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, ternyata juga bukanlah sebuah jaminan bahwa manusia Indonesia akan selamanya terbebas dari penindasan dan keterbelakangan. Karena ternyata, kezaliman dan kesewenang-wenangan bukan cuma watak khas dari imperialisme Belanda, Portugis, Jepang atau Inggris saja. Akan tetapi, ia adalah watak dasar dari semua orang yang hatinya tidak tergantung pada nilai-nilai moral, keimanan, dan keadilan. Sejak tahun 1950-an, ternyata kita telah mengalami tindakan represif dari dua periode rezim otoriter yang kontroversi, yakni orde lama dan orde baru. Padahal, kedua rezim itu tumbuh sebagai hasil sebuah gerakan yang pada dasarnya bercita-cita menegakkan kemerdekaan sebagai hak asasi manusia dan memajukan peradaban bangsa Indonesia.

Hakekat Membangun Peradaban"if religion without morality lacks a solid earth to walk on, morality without religion lacks a wide heaven to breath in".(Jika agama tanpa moralitas, kekurangan tanah untuk berjalan diatasnya, jika moralitas tanpa agama, kekurangan surga langit untuk bernafas).Kata-kata Prof. John Oman yang di kutip oleh Dr. Faisal Ismail diatas mengajak kepada kita untuk menilik kembali terhadap pandangan kita yang selama ini kita pegang khususnya dalam hal memperbincangkan dalam kemajuan suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa tak hanya di ukur melalui patokan kemajuan teknologi dan GNP nya semata tetapi juga harus dilihat kelakuan masyarakatnya seperti yang tertulis dalam syairnya Ahmad Syangu, "sesungguhnya ini suatu bangsa terletak pada akhlaknya, jika akhlak mereka bejat hancurlah bangsa itu".

Kemajuan terknologi di segala bidang memang telah mempermudah kerja manusia tetapi jika tak ada control, kemajuan teknologi malah menyeret masyarakatnya kedalam berbagai jebakan  krisis seperti krisis kejiwaan, krisis ekologi, krisis kejujuran dan masih banyak lagi. Dampaknya kini mulai muncul seperti kasus bunuh diri, membunuh bayi-bayi maupun gejala-gejala depresi berat yang menyelimuti masyarakat diabad global adalah tanda dari kehampaan jiwa masyarakat modern. Di lain pihak, bahaya kerusakan alam semakin mengkuatirkan. Tanah longsor, banjir bandang, angin ribut, gempa bumi yang akhir-akhir ini marak terjadi di tanah air menambah "kengeluan" bangsa ini. Global warming merupakan ancaman serius bagi segenap makhluk di muka bumi. Dalam kurun

Page 2: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

waktu seratus tahun terakhir suhu bumi akan meningkat 0.7 derajat celcius. Para ahli memprediksikan, jika tak ada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 0,8 derajat celcius. Padahal jika kenaikan suhu melebihi dua derajat celcius maka akan terjadi kepunahan banyak spesies dan ekosistem. Salah satu penyebab terjadi perubahan iklim global di Indonesia adalah kebakaran hutan dan lahan serta semakin rusaknya hutan akibat pembalakan liar.(Tempo, 30 april 2006).

Perubahan yang terpenting dalam abad ke-21 adalah menurunnya daya tarik terhadap materi-fisik. Di dalam perkembangan Teknologi, Ekonomi dan Politik Nasional bangsa-bangsa, kekayaan yang berasal dari benda-benda materi, terasa menurunnya arti dan daya tariknya. Kekuasaan/ kekayaan yang berasal dari pemikiran dan budidaya manusia, jauh lebih tinggi dihargai dari produk benda-benda materi. Di dalam ekonomi era-Pertanian, Gelombang-Pertama Toffler, tanah dan kerja fisik adalah faktor-faktor utama produksi. Di dalam ekonomi era-Industri berikutnya, yaitu di dalam Gelombang-Kedua Toffler, tanah masih dibutuhkan, tetapi kerja-fisik diperbanyak secara massa oleh mesin-mesin raksasa. Di dalam era-Informasi, Gelombang Ketiga Toffler, sumber daya utama adalah semua pengetahuan yang dapat didayagunakan, yang mencakup: data, informasi, gambar, simbol, budaya, ideologi dan nilai. Sambil memasuki era Gelombang-Ketiga atau peradaban Informasi/Pengetahuan ini, semua manusia di seluruh Bumi, akan menghadapi pertanyaan yang mendasar sekali, yaitu bagaimana cara mengorganisasi masyarakat, demi kemajuan bersama? Definisi dari hak milik, perilaku kompetisi, syarat-syarat ber-kooperasi, artinya kemerdekaan individu struktur pemerintahan self-government, cara ber-masyarakat, dan artinya sesuatu kemajuan. Semua ini satu-persatu harus didefinisikan kembali bagi peradaban-informasi atau era Gelombang-Ketiga. Ini semua telah kita lakukan 250 tahun yang lalu bagi era Gelombang-Kedua, yaitu peradaban-Industri. Sekarang kita harus mengulanginya lagi bagi peradaban Gelombang-Ketiga.

Membangun peradaban sebuah bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan watak dan karakter manusia unggul dari sisi intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi oleh fitrah kemanusiaan. Fitrah adalah titik tolak kemuliaan manusia, baik sebagai bawaan seseorang sejak lahir atau sebagai hasil proses pendidikan. Pendidikan mempunyai peran dan posisi yang signifikan dalam kehidupan manusia. Keberlangsungan proses pendidikan, meliputi transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia bahkan transfer ideologi terajut dan terjalin dalam rentang peradaban dan kehidupan manusia. Keberlangsungan proses ini menjadi dalil argumentatif dan affirmatif signifikansi pendidikan bagi peradaban. Sejalan dengan terus bergulirnya waktu, roda peradabanpun terus berputar dan meniscayakan kita untuk selalu menemukan formulasi yang tepat dalam menjawab dan menyikapi tantangan peradaban yang mengemuka dihadapan kita.

Manusia-manusia di seluruh dunia mengutak-ngatik di Cyberspace mendesain suatu mesin, mengarang cerita baru, mengeditnya kembali, atau mengembangkan cerita lama dengan kecepatan yang tambah hari tambah meningkat. Dengan menggunakan komputer yang lebih cepat, alat penyimpanan elektronika yang lebih luas dan lebih murah, software yang lebih mampu, dan dengan segala macam saluran komunikasi seperti satelit, kabel fiber-optik dll. Jika semua ini terjadi pada ruang dan waktu yang bersamaan, maka akan

Page 3: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

terjadi suatu ekplosi kombinasi-kombinasi atau sinergi baru, yang implikasinya sekarang, apalagi di waktu yang akan datang, banyak belum dimengerti para pakar Ilmu Pengetahuan.

Explorasi dari Cyberspace memang sangat intersains dan banyak membuka kernungkinan dan kesempatan, tetapi juga merupakan tantangan baru, yang belum pernah manusia hadapi. Cyberspace adalah suatu ruang yang penuh berisi informasi & pengetahuan, dan rupa-rupanya sudah menjadi sasaran eksplorasi seluruh manusia di bumi. Kewajiban kita adalah mencari cara, membuka jalan dan membuat kondisi, sehingga setiap manusia dapat memberdayakan dirinya, untuk eksplorasi Cyberspace dengan cara masing-masing. Tantangan yang dihadapi sangat berat, tetapi sebaliknya kesempatan-kesempatan yang mungkin terbuka adalah sangat menarik. Peradaban Gelombang-Ketiga mempunyai implikasi-implikasi yang menonjol dalam arti dan hakekat Kepemilikan, berfungsinya suatu Pasar, sifat dan hakekat suatu kelompok-manusia/masyarakat, dan pengaruh dan arti Hak dan Kemerdekaan seorang individu.

Dengan muncul dan menyebar luasnya Cyberspace, setiap organisasi, lembaga-lembaga, keluarga, kelompok agama, kelompok masyarakat, perusahaan, pemerintahan dan bangsa-bangsa, dituntut untuk mengubah sistem nilai & perilakunya, melampaui nilai-nilai & perilaku dari peradaban Gelombang-Kedua, yaitu standarisasi dan sentralisasi. Juga melampaui nilai & perilaku-perilaku yang tercermin dalam obsesi pengumpulan kekayaan materi, dengan energi, uang dan kekuasaan. Cyberspace akan mengubah ekonorni produksi-massa dari peradaban Gelombang-Kedua. Teknologi-informasi baru akan menekan ongkos membuat keanekaragaman produk ataupun personalia, menjadi sangat rendah. Lembaga-lembaga dan kebudayaan manusia juga akan meninggalkan kebudayaan massa, dan berubah menjadi kebudayaan yang penuh dengan keanekaragaman (demassified). Kecenderungan ke arah keanekaragaman ini memperbesar potensi kemerdekaan/pemberdayaan individu. Kecenderungan ke arah keanekaragaman ini juga akan mengurangi arti paradigma kelembagaan/pengelolaan yang terpusat dan semua organisasi birokrasi. Semua birokrasi pemerintahan nasional di seluruh dunia, adalah kekuasaan birokrasi yang terpusat yang terbesar, yang akan mengalami perubahan/pembaharuan yang sangat berarti.

Paradigma Pendidikan dan gerak PeradabanPeradaban manusia tidak pernah tidak, dan malah niscaya, akan selalu dipengaruhi oleh mainstream yang berkembang dalam pendidikan. Paradigma pendidikan apa yang akan atau sedang mendominasi dunia pendidikan sangat mempengaruhi arah dan gerak laju serta maju mundurnya suatu peradaban. Itulah hebatnya pendidikan, yang merupakan proses penyadaran (consientization) dan pembudayaan (culturation) – meminjam terminologi Paulo Fraire – yang berjalan terus-menerus demi mewujudkan sebuah peradaban dan tatanan kehidupan kemanusiaan yang lebih adil. Pendidikan akan menjadi diskursus tandingan (counter discourse) terhadap diskursus atau wacana yang menghegemoni dan menindas, agar arus perubahan selalu terjaga dan terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia.Pada abad 21 ini manusia berada dalam kompleksitas hidup yang diciptakannya sendiri. Manusia makin bisa mengatasi masalah dalam hidup dan, pada saat yang bersamaan,

Page 4: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

masalah hidup itu makin semarak berkembang biak. Manusia mengagumi kemampuannya dan norma moral yang menghalangi perkembangan kemampuannya hanya menghambat kemajuan. Pada sebagian lain, manusia memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengatasi kompleksitas kemajuan. Yang tersisa hanyalah anomali, mungkin Thomas Kuhn berkata demikian. Itu pula yang menggelisahkan Fuad Hassan (2001) yang mengingatkan bahwa, “kita berada di ambang suatu masa yang akan digoncang oleh terjadinya krisis nilai dan heteronomi (bahkan anomi). Memudarnya nilai-nilai peri kehidupan serta norma-norma perilaku akan makin menggelisahkan dan mencemaskan, karena menjadikan manusia makin tercengkeram oleh relativisme. Bertubi-tubinya dampak proses globalisasi niscaya akan melahirkan perikehidupan yang ditandai oleh kesegeraan-serba-kesementaraan…”.

Kalau pada negara maju globalisasi berefek pada kemampuan kompetisi, pada Dunia Ketiga (Third World), termasuk Indonesia, globalisasi berefek antara lain pada penyesuaian (adjustment) dan tantangan budaya (cultural challenge). Yang terjadi adalah kegamangan masyarakat kita dalam menanggapi globalisasi. Globalisasi jadi gurita yang mencengkeramkan kaki-kakinya melalui struktur (pembagian kerja, hak, modal dan resiko), pembudayaan (identitas, kognisi, nilai, norma dan bentuk simbol) dan tindakan—berupa interaksi global (Thernborn, 2000). Pada resonansi budaya yang kurang berimbang, masyarakat hanya meniru saja budaya baru yang timbul dari luar—dan dengan bangga ditonjolkan sebagai apresiasi atas globalisasi demi menghindari tuduhan anti kemajuan.

Masyarakat kita mengalami kegamangan penyesuaian dalam menghadapi budaya akibat globalisasi (cultural mal adjustment). Contoh yang dekat dengan masyarakat adalah televisi. Kalau dahulu hanya ada satu stasiun (channel) televisi, sekarang ada lebih dari sepuluh channel. Kalau dahulu hanya sedikit tayangan yang diproduksi dari luar negeri, sekarang banyak tayangan yang diproduksi luar negeri yang bahkan menuntut partisipasi banyak pemirsa. Program penjaringan penyanyi berbakat yang diadopsi dari American Idol; Indonesian Idol banyak menyedot kalangan remaja untuk berpartisipasi. Popularitas pun jadi obsesi. Popularitas bisa dicapai oleh siapa saja tanpa mengenal latar belakang sosial. Akibat ikutannya, anak dan remaja dilibatkan dalam program yang hanya menguntungkan sebagian kecil pemodal saja. Anak dan remaja terobsesi oleh popularitas dan menggunakan berbagai cara untuk mencapai obsesinya itu.Untuk tidak sekedar mengandalkan, sekolah sebagai agen pendidikan berada di ruang yang jauh dari kondusif dalam melakukan proses pendidikan. Sekolah perlu memperbarui peran agar sesuai dengan tuntutan konteks kekinian. Jangan sampai, alih-alih menciptakan ruang sosial yang mendidik, yang terjadi adalah pengasingan siswa dari realitas di masyarakat.

Religiusitas sebagai budaya tandingTiada budaya tanding yang kuat selain menggali dari warisan purba dalam mayarakat yang akan terus dipegang teguh, yakni agama. Agama adalah senjata! Dengan agama, orang akan tergerak memberi sesuatu setulus-tulusnya sampai sepaksa-paksanya merampas. Dengan agama orang akan menebar kasih sayang sampai menyebar kebencian. Melalui agama akan tergelar kedamaian dan juga terselimuti permusuhan.

Page 5: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Dari agama akan muncul sebajik-bajiknya amalan dan sekaligus sekeji-kejinya perbuatan. Dari agama kita berharap akan energi positif yang turut serta membangun peradaban.

Diharapkan religiusitas jadi sumber rujukan dalam menghampiri globalisasi. Sebagai seorang muslim, modalitas itu sudah ada. Namun, apakah modalitas itu hanya ada secara potensial atau aktual, itu tergantung kita sendiri. Religiusitas itu ada secara esensial maupun kontekstual dalam tiga unsur globalisasi itu sendiri, yakni struktur, pembudayaan dan tindakan. Sekolah sebagai agen budaya diharapkan berperan di aspek pembudayaan (identitas, kognisi, nilai, norma dan bentuk simbol) dan tindakan. Religiusitas sebagai nilai ditatap oleh Hassan (2001) sebagai “jauh dari relativisme. Maka dapatlah disimpulkan bahwa nilai-nilai religius bisa berlaku sebagai andalan bagi kemantapan orientasi manusia dalam perilakunya. Ini terutama berlaku bagi perilaku manusia yang disebut ‘akhlak’, yaitu segala penjelmaan perilakunya yang dinilai pada rentangan skala ‘baik-buruk’ (‘good-evil’). Pada segala perilakunya yang tergolong sebagai ‘akhlak’ inilah melekat ‘adab’ sebagai acuan normatif dalam interaksinya dengan manusia sesamanya maupun sikapnya terhadap kemanusiaan umumnya. Bagi seorang yaang religius mestinya agama yang dianutnya cukup memberi tuntunan untuk tampil dengan perilaku berakhlak dan beradab, sebab sebagai suatu sumber keyakinan dan keimanan, agama secara keseluruhan dan keutuhan mestinya merupakan cara pandang bagi penganutnya mengenai manusia dan dunianya maupun perikehidupannya (Mensch-, Welt- und Lebensanschauung).” (hlm 15).

Hasil akhirnya adalah religius dalam tindakan. Akhlak, inilah esensi hadirnya agama. Ini pula esensi diutusnya Rasulullah saw. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” Dalam hadits riwayat Ahmad dan Baihaqy, Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlak.” Dengan penekanan yang tidak kalah kuat akan pentingnya akhlak, seorang penyair, Ahmad Syauqi Bey berkata, “kekalnya suatu bangsa adalah selama akhlaknya kekal, jika akhlaknya sudah lenyap, musnah pulalah bangsa itu.” Lantas, apa itu akhlak? Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin memberikan pengertian bahwa “akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, daripadanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran”(Razak, 1989).

Pada tingkat identitas dan kognisi (cara pandang), religiusitas yang tinggi pada seseorang akan nampak seperti kesadaran atas eksistensi ketuhanan pada sosok penggembala kambing yang ditemui Umar bin Khattab ra. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Dinar bahwa pada suatu hari dia berjalan bersama Umar bin Khattab ra. Dari Madinah ke Mekkah. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang sedang turun dari tempat penggembalaan dengan kambing-kambingnya yang banyak. Khalifah ingin menguji sampai dimana anak gembala itu bersikap amanah. Khalifah bertanya, “wahai gembala, juallah padaku seekor anak kambing itu.” Gembala itu menjawab, “aku hanya seorang budak”. Lalu khalifah menimpali, “katakan saja pada tuanmu kalau anak kambing itu telah dimakan serigala.” Segera anak gembala itu menjawab, “kalau begitu dimana Allah?”

Page 6: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Religiusitas yang muncul dari nilai-nilai ketauhidan menjelmakan kesadaran atas Tuhan-hamba. Manusia adalah pengabdi. Manusia juga adalah pemimpin-pengelola (khalifah) bagi jagad raya. Dimanapun berada kita adalah seorang muslim yang punya hubungan relasional dengan Tuhannya. Dimanapun berada kita adalah seorang muslim yang punya hubungan interaksional dengan manusia lain dan makhluk Allah lainnya.

Hakekat pendidikan agamaPendidikan agama memiliki peran dalam melakukan transformasi religiusitas pada siswa. Pendidikan agama akan mengena jika di dalam terkandung pesan-pesan religius yang membangkitkan potensialitas siswa sebagai seutuh-utuhnya manusia. Karena tujuan utama pendidikan agama, menurut Imam Tolkhah (2006) sejatinya bukanlah sekedar mengalihkan pengetahuan dan keterampilan (sebagai isi pendidikan), melainkan lebih merupakan suatu ihktiar untuk menumbuhkembangkan fitrah insani (ranah afektif) sehingga peserta didik bisa menjadi penganut atau pemeluk agama yang taat dan baik (paripurna). Jangankan pendidikan agama, pendidikan apapun (matematika, kimia, fisika, ekonomi, sejarah, dan sebagainya) bisa membangkitkan fitrah insani yang mampu memberikan kesadaran sebagai hamba Allah. Ali Issa Othman (1981) menggambarkan tentang potensi pengetahuan manusia menurut Al-Ghazali seperti berikut ini."Walaupun manusia terbawa oleh fitrahnya untuk mengenal Allah, ia tidak dapat tertarik ke dekat Allah melalui fitrah atau melalui prinsip-prinsip akali, kecuali melalui ilmu-ilmu yang diperolehnya. Dengan perkataan lain, perolehan ilmu pengetahuan sangat penting di dalam mencari pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan tentang alam semesta merupakan tangga menuju pengetahuan (ma’rifah) tentang pencipta-Nya. Alam semesta merupakan ‘tulisan Allah’ di mana terdapat tulisan-tulisan dan perwujudan kebenaran-kebenaran ilahi."

Karena itu, pendidikan agama harus bisa membangkitkan religiusitas. Karena hakekat pendidikan Islam adalah kesadaran atas identitasnya sebagai seorang muslim dan mampu mewarnai diri dan di luar dirinya agar sejalan dengan Islam. Pesan Islam adalah akhlak. Dari akhak inilah pondasi peradaban terbangun. John Gardner, seorang cendekiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan (Health, Education and Welfare—HEW) dalam pemerintahan Presiden John F. Kennedy mengatakan, “no nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa ini percaya kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral untuk menopang suatu peradaban yang besar). Agama, menurut Madjid (2004), adalah sistem kepercayaan, dan agama yang besar memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang peradaban yang besar. Peradaban besar terbangun dari keteladanan!

Bangsa yang religius ini merindukan siswa yang giat belajar mandiri (sebagai ganti dari mencontek), siswa yang hormat pada yang lebih tua, tenggang rasa pada yang seusia dan mencintai pada yang lebih muda, siswa yang menebarkan kebaikan tanpa pandang-pilih, siswa yang mampu mengelola energinya dengan prestasi dan aktualisasi kemampuan. Siswa yang tegar dengan segala lika-liku hidup (sehingga tidak mudah terjerumus pada kenikmatan yang melalaikan). Siswa yang memiliki otonomi moral atau akhlak sehingga

Page 7: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

tidak mudah terbawa oleh ajakan-ajakan negatif, bahkan mampu mengingatkan jika orang lain terlanjur berperilaku negatif. Ini bukan doktrin, ini harapan yang terkumpul oleh kerinduan atas budaya religius yang makin terkikis oleh derasnya kemajuan peradaban sehingga lupa menyingsingkan lengan baju, bergegas membenah diri.Ideologi peradaban Gelombang-Kedua tidak senang melihat masyarakat banyak dipecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Perpecahan ini mereka namakan fragmentasi atau balkanisasi, bukan suatu peningkatan keanekaragaman yang akan memperbesar kemungkinan berkembangnya masyarakat. Untuk dapat berfungsinya suatu demokrasi dalam masyarakat Gelombang-Ketiga, kita harus mampu menghilangkan asumsi yang menakutkan, bahwa menambah keanekaragaman akan membawa lebih banyak konflik, perpecahan dan ketegangan di dalam masyarakat.Karena sebetulnya yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu: jika 100 orang sangat ingin sekali mempunyai cincin yang sama, kemungkinan besar mereka akan berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Keadaannya akan jauh lebih menyenangkan, jika masing-masing dari 100 orang tsb, mempunyai keinginan yang berlainan. Sehingga mereka terangsang untuk tukarmenukar, bekerjasama, dan membentuk suatu hubungan simbiotik. Dengan pengaturan yang baik, keanekaragaman akan dapat membangun suatu peradaban yang stabil, dinamis dan sejahtera.Memang tidak ada yang tahu, ke mana kecenderungan peradaban Gelombang-Ketiga akan berubah. Tetapi jelas sudah bahwa Cyberspace akan membuat ikatan-ikatan dan jaringan-jaringan dengan berbagai kelompok masyarakat esok, membentuk "kelompok elektronik" yang bersatu bukan oleh ikatan geografi. tetapi bersatu oleh ikatan minat/perhatian/pemikiran/budi yang sama. Cyberspace adalah suatu dunia yang pluralistik, yang akan membuka dan menggali potensi budidaya peradaban Gelombang-Ketiga. Cyberspace tidak akan bekerja sebagai gaya sentrifugal yang memecah-mecah masyarakat. Justru ia akan rnenjadi salah satu daya yang merekat persatuan masyarakat, yang tambah hari tambah menjadi masyarakat yang merdeka dan penuh keanekaragaman. Amerika dikenal sebagai suatu negara dengan kemerdekaan individu yang luar biasa. Dan kemerdekaan individu inilah yang juga tercermin di dalam ruang hidup di Cyberspace. Sifat dan perilaku seorang hacker contoh yang paling cocok di sini. Yaitu seorang muda yang meremehkan tekanan-tekanan oleh aturan atau kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat. la, si hacker, terus saja melaksanakan mimpinya, yaitu main dan mengutak-ngatik hardware dan software komputer murah. Kalau perlu dengan drop-out dari pendidikan universitas.Keterampilan yang terbentuk dan dikuasainya, akhirnya menjadi sangat laku di pasar, yaitu mengciptakan software-aplikasi dan meng-implementasi jaringan komputer. Si hacker lama-lama akhirnya menjadi seorang teknisi, penemu dan seorang entrepreneur, yang mulai dengan beberapa perusahaan-garasi kecil, dan akhirnya membawa Amerika kesuatu posisi terdepan dalam eksplorasi, transmigrasi dan penghunian ruang hidup di Cyberspace. Banyak pakar berpendapat, contoh manusia-hacker yang diterangkan di atas tadi, akan susah dan kemungkinan besar tidak dapat hidup di negara industri yang demokratis seperti Jepang dan Eropa. Bagaimana di negara berkembang seperti Indonesia? Bandingkan bagaimana Habibie atau/dan Mahathir merencanakannya? Tetapi di Amerika mereka dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembaharuan industri & teknologi. Kenapa??

Page 8: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Karena masyarakat Amerika masih menilai individuality lebih tinggi dan lebih penting dari conformity, memberi penghargaan yang lebih tinggi kepada achievement dari pada consensus, dan tetap mempertahankan mati-matian hak azasi manusia untuk lain dari, dan tidak serupa dengan orang banyak sekelilingnya.Kebutuhan yang mendesak untuk berpegang teguh kepada prinsip-dasar dari sifat & hakekat suatu Kemerdekaan ini, adalah sangat dirasakan. Karena manusia sedang memasuki suatu daerah atau ruang baru Cyberspace, di mana peraturan dan tradisi belum ada serupa dengan yang dihadapi para imigran benua Amerika pada tahun 1620. Ratusan tahun sesudah 1620, suatu kebulatan-tekad perlunya suatu prinsip-dasar suatu Kemerdekaan, adalah sangat dibutuhkan. Terutama karena manusia sekarang berada dalam akhir dari ratusan tahun, di mana kita didominasi oleh institusi-massa dari era industri Gelombang-Kedua. Era-industri Gelombang-Kedua ini merangsang conformity dan banyak tergantung pada standarisasi. Ini semua tercermin di dalam bentuk dan sifat lembaga-lembaga yang ada birokrasi perusahaan, birokrasi pemerintah, administrasi raksasa militer dan sipil. berbagai macam sekolah. Terasa sekali kemerdekaan individu menciut dan merana, seperti contoh-contoh di bawah ini: Di dalam masyarakat Gelombang-Kedua, adalah masuk akal jika Pemerintah memaksakan haknya untuk mengintip ke setiap komputer pribadi, dengan adanya "clipper chip" di setiap computer; Di dalam masyarakat Gelombang-Kedua, adalah masuk akal sekali jika Pemerintah merasa memiliki Spektrum Elektromagnetik, dan melelangnya dengan harga mahal, supaya akhirnya dapat digunakan oleh rakyat ; Di dalam peradaban Gelombang-Kedua adalah masuk akal sekali bagi pemerintah untuk melarang para wirausahawan untuk masuk dalam pasar-pasar tertentu, guna memberi suatu pelayanan baru kepada masyarakat ; Di dalam masyarakat Gelombang-Kedua adalah masuk akal sekali, jika jaringan media-massa "usang", dengan hanya satu arah, memaksakan penyiaran hanya opini-opini politik tertentu. Semua intervensi ini masuk akal sekali di dalam suatu masyarakat Gelombang-Kedua, di mana kita didominasi oleh standarisasi. Masyarakat masih kekurangan pengetahuan, terutama karena kekurangan infrastruktur komunikasi. Karenanya sebaiknyalah pihak birokrasi sebagai kaum elit yang lebih mampu membuat keputusan dari pada rakyat banyak. Tibanya peradaban-inforrnasi Gelombang-Ketiga memutarbalikkan semua keadaan. Kompleksitas suatu masyarakat Gelombang-Ketiga terlalu besar, untuk dikelola secara ketat oleh suatu pemerintahan yang terpusat. Demassification, customization, individuality, dan freedom, adalah kunci suksesnya suatu peradaban Gelombang-Ketiga.

Sumber peradabanPeneliti dan penulis wanita yang masyhur di dunia saat ini Karen Armstrong mengatakan, bahwa prestasi peradaban terbukti rapuh dan memiliki kelemahan-kelemahan. Inilah yang membuat manusia sejak zaman awal sejarah mencari kekuatan-kekuatan transendensi dari alam idea-nya yang menjadi dasar agama-agama purba termasuk agama Israel agar dapat survive.Namun demikian Armstrong menegaskan bahwa pencarian atas keadilan sosial yang lebih baik bukan sekedar suatu fantasi religius (Karen Armstrong : Jerussalem : One City, Three Faiths, May 1997). Pernyataan Armstrong meskipun hanya didasarkan logika mengandung kejujuran tentang kebutuhan manusia atas visi transendensi, berbeda dengan sikap kelompok luar global-Freemasonry yang sering menyesatkan dan memusuhi agama

Page 9: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

sebagaimana sudah kita bahas sejak Pengajian ke-46 hingga ke-57 y.l dan masih terus kita bahas.Subyektivisme Israâ-Miraj dalam tradisi Islam, tidak membuat konsep Islam menyempit dalam ektremitas primordial seperti faham neo-Qabbalis dalam doktrin anthropomorphis Adam-Kadmon misalnya, yang hanya menempatkan ras kaum freemasonry sebagai manusia. Diluar ras mereka tidak dipertimbangkan dalam derajat manusia. Konsep Islam adalah Rachmatan lil Alamen. Perhatikan Firman Allah :Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabiien; siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhirat dan beramal saleh; mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka (Allah swt); tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati; (Al-Baqoroh : 62).Islam memiliki konsep perubahan berdasarkan Firman. Nilai tertinggi adalah Firman. Jika Allah swt percaya terdapat orang-orang beriman di semua basis budaya dan peradaban di muka bumi yang beraneka ragam itu, maka tauladan manakah yang lebih baik dari Allah Taala sendiri ? Sesungguhnya yang terkuat adalah Rachman-Rachiem, Kasih-Sayang.Mari kita simak sumber-sumber peradaban dunia yang indah dibawah ini :Abad ke-10 SM, Naciketas, pemuda Hindu yang cerdas dan saleh menyucikan diri, berpuasa tiga hari tiga malam, bermeditasi sepenuh hati untuk bertemu dengan Yama sang malakul-maut. Naciketas bertanya : Wahai Yama, apakah setelah mati seseorang itu ada atau tidak ada ?. Yama sang penguasa kematian menjawab : Dia yang dibebaskan dari batasan-batasan nama dan bentuk, yang menjadi satu dengan segalanya, tidak dapat dikatakan ada (exist) dalam pengertian biasa. Tidak ada kesadaran yang secara khusus membatasi keberadaannya. Tetapi ia juga tidak dapat disebut tidak ada (non-exist) dalam pengertian biasa, karena ia telah memperoleh hakekat keberadaan. Seorang yang tahu kegembiraan moksha (kehidupan abadi) tidak akan tertarik pada nafsu-nafsu duniawi. Serta-merta Naciketas mendesak Yama agar segera mencabut nyawanya agar ia dapat segera memasuki kegembiraan moksha di alam astral. Kisah suci Hindu ini dinukil dari Kitab Suci Upanisad I yang diuraikan kembali oleh Maharsi Tiruvaluvar pada abad ke I. Dalam Hinduisme Tuhan bersifat impersonal, hakekat tertingginya disebut Brahman, inti jiwa suci manusia yang abadi. Abad ke-5 SM, Putra Mahkota Sidharta Gautama meninggalkan istana kerajaan Sakya di Kapilavastu, India, hidup papa sengsara untuk mencari kebenaran. Beliau mencapai Nibbana atau Nirvana, yaitu Yang Penghabisan dimana manusia mencapai kondisi batin sempurna, terlepas dari segala penderitaan dan perubahan fana duniawi, mencapai hakekat kebebasan dan kebahagiaan jiwa yang sejati yang tidak terikat hidup dan mati. Sidharta kemudian disebut Sakyamuni Buddha. Diantara sabdanya : Semua kejadian adalah fana dan intisari kebenaran tidak mengandung egoisme. Menurut Buddhisme Tuhan bersifat impersonal dan mengalir bersama kolektivisme semesta alam. Abad ke-5 SM, di kota Qufu, Tiongkok, lahir filsuf terbesar Khonghucu yang menyerukan perdamaian dan persatuan bangsanya, mengajarkan egaliterianisme melalui pendidikan dengan tradisi Hsueh (pendidikan dan keteladanan). Mainstream ajaran Khonghucu adalah Harmonisme makrokosmos dan mikrokosmos yang pada tingkat individual akan melahirkan visi tertinggi yang disebut Te, yaitu kekuatan dan kebajikan moral. Khonghucu percaya bahwa Thian (Tuhan) adalah kesatuan harmonis semesta

Page 10: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

alam. Maka memelihara harmonisme berarti memelihara hubungan dengan Thian. Khonghucu adalah penemu tradisi China yang mewarnai spirit dan religi China sepanjang masa.Abad ke-4 SM, di Yunani muncul filsuf Socrates yang mengajarkan eudaemonia, yaitu jiwa yang baik yang harus dicapai dengan kebajikan dan keutamaan yang disebut Arete yang pada hakekatnya adalah pengetahuan. Maka baik dan jahat berdasarkan pengetahuan bukan kemauan. Tidak ada orang sengaja berbuat salah, kecuali ia tidak berpengetahuan. Arete adalah alat untuk mencapai eudaemonia yang bersifat tunggal dan menyeluruh. Maka memiliki eudaemonia (Kebajikan Yang Esa) berarti memiliki segala kebajikan. Socrates dianggap murtad dan dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun pada th. 399 SM pada usia 70 th. Tetapi nyala pikirannya terus menerangi akal pikiran manusia, membawa kemajuan peradaban dan terus hidup selama 2400 th.

Abad ke-15 SM, pangeran Mesir keturunan Yahudi, Musa meninggalkan istana Firaun, menolak ras-diskriminasi terhadap etnis Yahudi. Musa kemudian menerima wahyu Allah (Kitab Taurat) menjadi Nabi dan Rasul Allah. Nabi Musa a.s. dengan berani menyerukan Firaun penguasa dunia zaman itu yang bahkan telah mengaku sebagai tuhan, agar menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan membebaskan bangsa Yahudi dari perbudakan dan penindasan. Puncak konflik Musa vs Firaun berakhir dengan eksodus bangsa Yahudi ke Kanaan atau Yerussalem, negeri yang dijanjikan. Sebuah perjalanan rohani kembali kepada habitat dan konstitusi jiwa tauchid, dengan mukjizat membelah Laut Merah dan menenggelamkan Firaun (Rameses II) dan balatentaranya. Agama Yahudi adalah cikal bakal agama-agama samawi yang monoteis dengan personalitas Tuhan yang disebut YHWH (Allah) Tuhan Yang Esa, beriman kepada Hari Kiamat dan Alam Akhirat sesudah kematian.

Abad ke-1, di kota Betlehem atau Baitul-Maqdis di bagian kota Nazareth, lahir seorang bayi dari rahim suci Maryam tanpa proses seksualitas, sebuah mukjizat dari Allah swt. Dialah Isa al-Masih a.s. yang dipercaya sebagai Mesias (Juru Selamat), yang mampu berbicara lancar waktu masih bayi. Reformer terhadap ajaran Taurat yang sudah banyak diselewengkan. Tetapi para penguasa dan pendeta Yahudi yang hedonis-materialis tidak mengakuinya.Tanpa kenal takut di bukit Golgota Yesus al-Masih menyampaikan khotbah akbarnya yang menjadi essensi dasar ajarannya. Yesus a.s. bersabda : Bahwa kerajaan Allah bukan kerajaan dunia, melainkan Kerajaan Sorga, bukan kerajaan berdasarkan kekerasan, melainkan Kerajaan Kasih, yakni kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia ; (Cerita-cerita Al-Kitab Perjanjian Baru, hal.6788). Isa al-Masih memiliki 13 murid yang disebut Al-Hawariyyun yang selalu setia menyertainya. Yesus dari Nazareth ditangkap oleh konspirasi penguasa Yahudi-Romawi dan disalibkan di bukit Golgota sebagai penggenapan teologi penebusan dosa (berdasarkan keyakinan Nasrani). Tetapi spirit al-Masih tidak pernah padam. Ritual tri-Paskah membuktikan hakekatnya Yesus tidak pernah mati di tiang salib itu. Allah telah mengangkat tinggi derajatnya dan ajarannya kini menjadi panutan ummat Katholik/Kristen di seluruh dunia.

Demikianlah takdir dunia yang tidak terbentuk oleh budaya tunggal, melainkan oleh pluralitas budaya, dari zaman dan belahan dunia yang berbeda. Itulah fitrah dunia. Kita

Page 11: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

bersukur karena Bangsa Indonesia yang multikultur bagaikan miniatur pluralitas dunia. Pluralitas adalah hakekatnya, sedangkan kesatuan iman adalah tujuan akhirnya. Semangat fanatisme primordial jelas tidak sesuai dengan Sunnatullah. Maka tolok ukur kesamaan bukan pada syariat, custom atau habit yang menjadi domain etnosentrisme budaya masing-masing, tetapi pada kwalitas iman yang memiliki satu nafas. Maka tidak akan ada perang, terror dan penindasan atas nama ideology, agama dan tuhan. Dan sesungguhnya kebahagian sejati hanya ada di Yaum al Dien, yaitu Alam Akhirat yang transcendental dan abadi, sesudah kematian.

Peradaban adalah derivasi dari kata adab. Adab sesungguhnya berarti jamuan makan yang dalam konteks ini al-Qur'an merupakan jamuan spiritual (ma'dubah) yang terbaik bagi ummat manusia. Maka para ulama terdahulu mengartikan adab sebagai ilmu, ta'dib adalah pendidikan atau pananaman ilmu dan konsekuensi terkati seperti iman, amal, dan akhlak. Ta'dib adalah usaha pengkaderan manusia-manusia beradab, yaitu manusia yang mempunyai ilmu dan mempunyai moralitas yang tinggi atau manusia-manusia yang ilmunya disertai amal dan sebaliknya. Tidak bisa dipungkiri lagi, memang pada dasarnya pendidikan merupakan salah satu pilar dan fondasi yang terpenting dalam membangun peradaban suatu negara. Kesadaran akan arti pentingnya suatu pendidikanlah, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas kesejahteraan lahir dan batin dan masa depan rakyatnya.

Oleh karena itu, substansi pendidikan, materi pengajaran dan manajemen pendidikan yang akuntabel sudah seharusnya menjadi perhatian yang utama. Sebab terbukti bangsa yang berhasil dalam mencapai tingkat kebudayaan dan teknologi yang tinggi, mesti ditopang dengan kualitas pendidikan yang kokoh. Sehingga tidak mengherankan, jika berbagai jalan dilakukan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dan humanis dalan suatu negara belahan dunia, tidak terkecuali dengan pendidikan di Indonesia.

Namun sayangnya dalam pejalanan, pendidikan yang ada dan di gagas di negara Indonesia mengalami berbagai kendala dan selalu menghantui dalam benak pikiran masyarakatnya. Meminjam istilahnya Clifford Geertz, bahwa pendidikan yang sedang terjadi di Indonesia untuk sekarang, sedang mengalami yang namanya proses Involusi. Proses di mana manusia-manusia yang bergulat dalam dunia pendidikan tersebut, bukan semakin tumbuh cerdas, berwawasan luas, kreatif, jujur dan adil, atau beretos kerja untuk kemajuan bersama, meskipun fasilitas fisiknya sudah mulai bertambah elit dan lumayan lengkap. Namun pada realitasnya yang terjadi justru sebaliknya, manusia yang sedang bergelut dalam dunia pendidikan di Indonesia semakin hari semakin jauh dari substansi yang ada dalam pendidikan itu sendiri.

Secara historis, jika diruntut lebih lanjut lagi dalam penjalan sejarah Indonesia, Pendidikan memiliki peranan yang sangat vital sekali dalam memajukan bangsa Indonesia. Tengok saja sejak masa penjajahan kolonial dahulu, pendidikan yang ada di nusantra ini sudah mempunyai peranan yang utama dan mempunyai andil yang besar dalam melawan para penajajah kolonial Belanda, dan pada akhirnya Nusantara ini dapat meraih kemerdekaan sesuai dengan cita-cita masyarakat Nusantara.

Page 12: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Namun persoalannya, dalam konteks sekarang ini, ketika negara Indonesia sudah sekian tahun mendapatkan kemerdekaan dan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin rumit dan plural, lalu pendidikan yang bagaimanakah yang seharusnya diarahkan dan yang tepat untuk diusung oleh bangsa Indonesia ke depan? Pendidikan yang seperti apakah yang semestinya dikembangkan untuk "mencerdaskan" kehidupan kita sebagai individu dan sebagai warga negara? Berbagai pertanyaan dan kegelisahan semacam itulah yang menghantui benak pikiran seluruh masyarakat Indonesia. Hingga genap sudah seratus kebangkitan nasional bangsa ini, namun persoalan semacam ini belum dapat terselesaikan.

Bahwa gerakan Budi Utomo pada tahun 1908 lewat dunia pendidikan yang pernah diterapkan di Indonesia, mampu untuk mendongkrak dan menjadi mobilisator yang paling efektif, dan bahkan mampu untuk menjadi senjata utama dalam melawan masa penjajahan kolonialisme belanda, ketika perlawanan yang bersifat fisik/bersenjata dirasa kurang efektif lagi. Sehingga gerakan Budi Utomo dipandang sebagai titik balik kesadaran terhadap masa depan bangsa Indonesia.

Disadari maupun tidak, persoalan tentang dunia pendidikan yang ada di Indonesia untuk saat ini dilihat dari fungsional pedagogis adalah bagaimana mempersiapkan para generasi muda Indonesia, agar bagaimana mereka dapat menjawab dan mengatasi segala tantangan secara lebih memadai di masa depan. Namun, bukan hanya sebatas kemampuan kognitif saja yang diperlukan untuk memajukan dan membangun peradaban suatu bangsa. Ada hal lain dalam dunia pendidikan yakni "kesadaran" akan realitas kebangsaan yang plural dan humanistik. Mengingat negera Indonesia merupakan salah satu negara plural yang terdapat beragam suku, agama, kepercayaan ada adat istiadat yang pluralis.Berkumpul dalam keluarga yang egaliter yang menjadi basis internalisasi dan ideologisasi nilai-nilai kebaikan dan keimanan. Di antara kaum laki-laki dan perempuan terikat dalam relasi yang proporsional saling melengkapi dalam rangka merealisasikan ”amanah” penciptaan manusia. Hak-hak masyarakat terdistribusi secara proposional hingga terbangun kesederajatan sosial dan kehidupan yang tentram dan dinamis menuju terbentuknya masyarakat madani. Manusia Indonesia hidup dalam tatanan kekuasaan yang demokratis, berjalan dalam koridor hukum dan agama dan rakyat memperoleh hak-hak politiknya secara penuh. Di sana tegak persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap orang dengan prosedur dan mekanisme yudisial yng berkeadilan. Mereka berusaha dalam sistem ekonomi egaliter sebagai cermin dari ekonomi yang berkeadilan, yang memungkinkan perilaku ekonomi yang adil dan memberikan akses yang sama pada seluruh rakyat sehingga kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang yang memicu jurang kesenjangan. Dimana pemanfaatan dan pengendalian ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara etis sebagai modal dasar pembangunan peradaban untuk kesejahteraan manusia Indonesia dan kemandirian bangsa. Warna-warni kehidupan mencerminkan pluralitas kebudayaan sebagai entitas yang berinteraksi secara harmonis menuju kemajuan peradapan. Individu dan masyarakat mendapat pendidikan yang integratif untuk membangun manusia yang mampu merealisasikan ”amanah” penciptaannya menuju kehidupan sejahtera dan kemajuan bangsa.

Page 13: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Oleh karena itu, indikator keberhasilan suatu pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sejauh mana peserta didiknya mampu untuk menjawab segala persoalan yang ada di sekitarnya, namun yang terpenting adalah seberapa besar kesadaran yang dimiliki olehnya dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi dalam realitas kebangsaan kekinian dan sekaligus akan menjawab tantangan di masa mendatang. Sehingga akan terjadi suatu pendidikan yang humanistik dan menjunjung nilai-nilai pluralistik dalam berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya dialog lintas-komponen, universalisme tidak mungkin terwujud. Rasulullah saw dalam membangun Negara Madinah pun melaksanakan dialog multi-kultural, antara kaum Muhajirin, suku Aus, suku Khazraj dan bani-bani Yahudi. Dialog ini tidak mengaburkan identitas Islam Rasulullah saw. Justru karena Islamlah dialog ini terjadi. Dari dialog ini, lahirlah Piagam Madinah yang menjadi kerangka kerja semua elemen dari berbagai golongan yang hidup di negara Madinah.Sebab dengan pendidikan yang semacam ini dan berwawasan kebangsaan akan semakin memprkokoh dan menjaga eksistensi bangsa Indonesia.

Manusia beradab adalah individu yang dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukan dan tempatnya; individu yang dapat menempatkan kedudukan dirinya dihadapan Penciptanya dan dikalangan masyarakatnya. Jika ia seorang rakyat jelata ia mengetahui hak dan kewajibannya, jika ia seorang pemimpin ia mengerti arti keadilan dan berlaku adil, jika ia seorang ulama ia berani mengatakan yang hak dan yang batil kepada siapapun dan dimanapun, jika ia seorang seorang wakil rakyat (politisi) ia dapat meletakkan (memilih) seseorang sesuai dengan kapasitas dan keutamaannya baik dihadapan Tuhan maupun dan dihadapan manusia (rakyat). Jika kita memahami adab seperti itu, maka kita harus merubah pemahaman kita terhadap makna peradaban selama ini.

Peradaban adalah suatu struktur sosial dan spiritual yang merupakan sumbangan Islam yang berharga bagi ummat manusia. Realitas sosial dan spiritual itu harus difahami secara integral, tidak dapat dipisah-pisahkan atau dilihat secara sendiri-sendiri tanpa saling-berkaitan seperti dalam tradisi dan kebudayaan Barat. Oleh sebab itu peradaban Islam tidak sama dengan kebudayaan Barat atau kebudayaan asing lainnya, karena akarnya memang berbeda. Di Barat masyarakat berbudaya atau civil society hanya menggambarkan kedudukan individu-individu itu dihadapan Negara, sedang masyarakat beradab menggambarkan kedudukan individu dihadapan Tuhan dan didepan masyarakatnya sekaligus.

Struktur civil society tidak melibatkan unsur-unsur spiritual, sedang struktur masyarakat beradab adalah kombinasi aspek-aspek fisikal dan spiritual yang sesuai dengan esensi kemanusiaannya. Manusia berbudaya adalah manusia yang tunduk pada aturan-aturan Negara, sedang manusia beradab tunduk pada perintah Tuhan, aturan Negara dan masyarakatnya sekaligus. Dalam civil society Tuhan "tidak boleh campur tangan" mengenai urusan negara, sedang dalam masyarakat beradab aturan-aturan dan perintah Tuhan mengejawantah dalam setiap gerak individu masyarakat dan pemimpin Negara dan menghiasai berbagai gerak dan kegiatan institusi negara, dalam suatu bangunan peradaban yang manusiawi.

Page 14: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Atas dasar itu iman, ilmu dan amal setiap individu masyarakat adalah sine qua non dalam bangunan peradaban Islam, yang aktualisasinya pasti tercermin secara institusional dan tak terbantahkan, baik dalam bentuk organisasi sosial, partai politik, lembaga pendidikan, bahkan Negara. Sebaliknya, organisasi sosial, partai politik, lembaga pendidikan dan juga Negara yang dibentuk oleh individu-individu Muslim yang tidak beradab atau yang memenuhi prasyarat bagi pembentukan bangunan peradaban Islam hanya akan menjadi simbol-simbol dan wadah-wadah yang secara substantif tidak mencerminkan wajah peradaban Islam bahkan mungkin malah merusaknya.

Semua fenomena diatas semakin meyakinkan akan kebenaran firman Tuhan bahwa "Telah tampak kerusakan di dadarat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia"(Q.S ArRum:41).Kalu kita cermati seksama dari pengalaman hidup maupun kita kaji dari Al Qur'an bahwa kerusakan alam merupakan akibat kerakusan manusia yang tak arif dalam mengeksploitasi kekayan alam. Kerakusan adalah urusan moral yang tersimpan dalam sanubari masing-masing orang. Moral yang menjabat "chek and balance" telah mengalami kemerosotan yang menyebabkan penodaan terhadap harkat kemanusiaan (human dignity) sehingga pemiliknya terperosok sebagai budak penyembah nafsu.Walau kita tahu bahwa abad ini adalah abadnya orang-orang pintar tetapi kehidupanya jauh dari tanda-tanda orang berilmu. Mengapa demikian? Allah menjawabnya ,"Pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhanya. Allah memberi sesat dengan ilmunya dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas kepalanya itu. (Q.S AL Jatsiyah:23).

Sebab utama merosotnya moral adalah hilangnya keyakinan (iman) terhadap Tuhan, hari akhir dan balasan surga-neraka. Agama yang telah di berikan Tuhan sebagai pembimbing di tinggalkan begitu saja, sehingga norma-norma yang mengatur perilaku manusia dilupakan. Dosa telah dianggap ringan dan hal yang biasa, Tuhan hanyalah cerita tahayul dan dianggap sebagai sosok yang di gunakan untuk menakut-nakuti anak kecil belaka. Hingga timbullah pandangan bahwa takkan ada lagi kehidupan sesudah mati, tak ada lagi balasan surga neraka, seperti yang dikatakan Klein, "dengan membebaskan diri dari rasa takut terhadap ancaman  neraka, maka lepas pula harapan akan kenikmatan surga, orang hidup,mati, dan selesailah sudah".Pernyatan itu di tepis Allah, "Dan mereka berkata "tak ada kehidupan lain, melainkan kehidupan di muka bumi ini. Kita mati dan hidup tidak ada yang memusnahkan melainkan waktu. Sesungguhnya mereka tidak tahu tentang hal itu, mereka hanya menduga-duga saja".

Lalu bagaimana kita menyelamatkan moral kita yang selama ini tercecer di lembah hiruk pikuknya nafsu sekaligus mengembalikan "tuhan" kita Yang telah kita "hilangkan" tersebut ? jawabannya adalah seperti yang telah di katakana Prof.Jaques Barzun, "restore god to the fullness of his reality" (kembalikan Tuhan kepada kedudukanNya yang sesungguhnya).Dengan mengacu pada ucapan jaques berarti kita harus menghadirkan Tuhan dalam segala hal dalam menampaki proses kehidupan kita, menghadirkan hakikat tuhan bahwa Dialah sbagai inspirasi atau patokan moral hidup.Kalau memang "tuhan" harus hadir dalam segala dimensi kehidupan ini maka salah satu jalan yang harus di tempuh adalah membentangkan agama sebagai jalan bagi kita untuk

Page 15: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

lebih dekat atau lebih mengena rasa ketuhanan kita,.Mengapa harus agama yang kita pilih sebagi salah satu cara bagi kita untuk menghadirkan tuhan atau sumber moral kita ?.

Memperbincangkan masalah sumber moral yang sesuai dengan perilaku manusia sekaligus tak pernah kering adalah agama sebagai jawabannya, karena agama merupakan jalan penyampaian moral tuan yang di turankan kepada makhluknya.Moral yang bersumber dari agama akan menjadi kuat dan tahan terhadap berbagai benturan zaman sehingga agama akan tetap memposisikan "manusia sebagai manusia".Adalah pasti bahwa agama islam merupakan sumber nilai-nilai moral islam. Nilai moral dalam islam sangat di junjung tinggi dan ditempatkan pada kursi agung.Karena moral merupakan elemen penting dalam membentuk peradaban. Nabi Muhammad di utus kedunia tak sebatas menyampaikan risalah ketauhidan semata melainkan menyampaikan pesan-pesan moral yang hasanah.("tiadalah Kami mengutus kamu(Muhammad)melainkan bagi rahmat semesta alam. Aku di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Jelaslah bahwasannya misi Muhammad tidak sekedar mengajarkan ritual-ritual ibadah, do'a atau menyuruh jihad, melainkan sebuah misi yang sangat mulia yakni menghijrahkan manusia dari kesesatan menuju kebenararan ,dari sifat barbarisme menuju sikap tawadhu', dari sikap rakus menuju sikap qona'ah dan ikhlas. Menjadikan manusia kembali kefitrohnya yang di ridoi Tuhan.

Dakwah Islam berlaku lintas-waktu yang berarti nilai-nilai Islam akan terus cocok untuk diterapkan tanpa terpengaruh interaksi manusia dengan waktu. Meskipun manusia sebagai makhluk kreatif sangat terpengaruh oleh waktu namun ada hakekat kemanusiaan di dalam diri yang bersifat kekal. Islam, baik ritual maupun esensi, selaras dengan hakikat kemanusiaan yang kekal ini. Karena itulah Islam cocok untuk diterapkan pada manusia hingga akhir zaman nanti. Dakwah Islam berlaku lintas-ruang yang berarti nilai-nilai Islam mampu menembus sekat-sekat geografis yang acapkali membatasi budaya manusia. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh para pakar linguistik, sekat-sekat geografis sangat berpengaruh pada perwujudan kreativitas manusia, bahasa, adat dan budaya manusia menjadi bervariasi, sesuai dengan kondisi lingkungan tempat peradaban tersebut tumbuh. Namun, dakwah Islam membawa nilai-nilai asasi yang mendasari semua kebudayaan dan peradaban. Nilai-nilai asasi ini pasti disepakati oleh budaya dan peradaban manapun dan mampu diterapkan dalam konteks lokalitas tersebut.

Dakwah Islam berlaku juga lintas-golongan yang berarti nilai-nilai Islam sejalan dengan hakekat kemanusiaan dari semua golongan. Meski tidak semua manusia memeluk ajaran Islam dan menjalankan ritual ibadahnya, namun esensi yang dibawa Islam, seperti kejujuran, keadilan dan kepedulian sosial, merupakan nilai yang selaras dengan jiwa kemanusiaan. Semua manusia yang masih memiliki jiwa kemanusiaannya akan mampu merasakan dan menyetujui nilai-nilai esensi ini, tanpa peduli pada golongan apa ia berada.Di dalam sejarah Rasulullah saw, kita dapat menyaksikan betapa nilai-nilai Islam cocok dengan para sahabat yang berasal dari kota dagang Makkah sekaligus pas dengan para sahabat yang berasal dari negeri agraris Madinah. Nilai-nilai ini juga sesuai dengan kepribadian Salman al Farisi yang berasal dari kalangan bangsawan Persia. Lebih jauh lagi, nilai-nilai kepahlawanan Islam mampu membangkitkan gelora jiwa satria pada

Page 16: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

masyarakat Eropa dan melahirkan age of chivalry. Munculnya para satria Eropa yang gallant dan charming merupakan bentuk persetujuan universal terhadap nilai-nilai kepahlawanan mujahidin Islam yang mereka temui pada Perang Salib.

Dalam peringatan Nuzulul Qur’an secara nasional, sby menyampaikan beberapa ajakan dan harapan kepada umat Islam di tanah air, dan kepada seluruh rakyat Indonesia. Kebetulan tema Nuzulul Qur’an tahun ini adalah Al Qur’an Sebagai Sumber Peradaban. Peradaban adalah sesuatu yang paling hakiki, yang paling pokok, yang paling fundamental dalam kehidupan umat, dalam kehidupan bangsa, dan kehidupan negara. Dalam bahasa asing disebut Civilization. Rasulullah melakukan transformasi besar, melakukan hijrah, mengubah bangsa dari zaman kegelapan ke zaman yang penuh dengan cahaya. Hakekatnya itu adalah membangun peradaban, civilization. Membangun peradaban tidak seperti membalik telapak tangan, banyak ujian, tantangan, cobaan, yang harus dihadapi, yang harus dilalui, tetapi kalau Rasulullah sebagai peMimpin agung dunia berhasil melakukan transformasi besar, melakukan reformasi besar, melakukan perubahan besar, menghadapi tantangan yang sangat-sangat berat, tentunya kita sebagai bangsa harus bisa menteladani apa yang dilakukan oleh Junjunan kita Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita pun harus seraya pandai bersyukur, tetap tegar, sabar, berikhtiar, tidak cengeng, tidak mengeluh, tidak putus asa, tidak menyalahkan satu sama lain, tapi tetap berjiwa terang, berfikir positif, berfikir rasional, tidak mempercayai tahayul dan mistik, dan juga bersikap optimis, itulah bagian dari peradaban. Tentu peradaban lebih dari itu, menyangkut akhlak, menyangkut perilaku, menyangkut budi pekerti, menyangkut adat istiadat, dan sebagainya. Dan dalam dunia masa kini, bagian penting dari peradaban juga menyangkut ilmu pengetahuan, menyangkut segi-segi pendidikan. Al Qur’an sangat jelas didalam memerintahkan umat Islam agar kita membaca keimanan, dan keilmuan dalam satu nafas. Kehidupan kita akan tenteram, akan bisa mengatasi masalah apapun yang kita hadapi manakala kita bisa menyatukan antara keimanan pada Allah Subhaanahu Wata’ala dan pada keilmuan, pengetahuan, yang semua juga datang dari Allah Subhaanahu Wata’ala. Oleh karena itu, penting sekali kita terus meningkatkan mutu pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan,  termasuk mutu pendidikan di kalangan pondok-pondok pesantren.

Moral islam menekankan aspek penyucian hati karena pada hakekatnya hati merupakan pusat inspirasi dan motivasi akal untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan terhadap sesuatu hal yang akhirnya melahirkan suatu pandangan (persepsi). Manusia yang pandangan hidupnya tidak jelas atau mengambang maka cenderung perilakunya pun nampak amburadul dan bingung. Keyakinan yang tidak mantap akan melahirkan sosok-sosok manusia kelas rendah, munafik, pragmatis, hedonis dan sekule. (Dr. Muhammad Tholib, Melacak kekafiran berfikir). Hal ini pernah terjadi pada bangsa arab saat islam belum datang .Arab jahiliyah kebanyakan kaum pengembara badui yang hidupnya nomaden, memiliki jiwa yang kasar, kering dari "air ketauhidan", suka merampok, tak tahu halal haram, hanya berorientasi pada kesenangan yang sekejap sehingga alqu'an mengatakan orang-orang ini munafik dan tak bertuhan. Tetapi setelah islam datang keadaan berubah, mereka menjadi santun, terbimbing kejalan yang benar dan ditinggikan kedudukannya yang semula bersifat hewaniyah kepada kedudukan yang mulia. Itulah islam yang lebih mengedepankan pembentukan moral di banding dengan hal lain. Karena

Page 17: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

kita tahu bahwa moral merupakan penentu"warna" peradaban manusia. Jika bangsa yang besar, maju dalam bidang keduniaan saja tetapi moral bangsanya amburadul maka sudah dapat di pastikan bangsa itu akan segera runtuh. Islam di datangkan untuk memperbaiki peradaban manusia oleh karena itu islam adalah agama peradaban dan tak menentang peradaban suatu bangsa manapun selama peradaban itu memberi manfaat kepada manusia dan mengangkat harkat, martabat manusia. Namun jika peradaban itu ternyata tak sesuai dengan fitroh manusia dan mendehumanisasi, maka islam akan melawan ,karena islam adalah agama perlawanan.

Pendidikan Yang MembebaskanPendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Disinilah signifikansi sebuah paradigma dalam pendidikan. Paradigma pendidikan transformatif, yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to), sangat signifikan keberadaannya. Masyarakat Amerika merasakan sekali bahwa pemerintahan mereka sekarang ini, sangat mengharnbat terbentuknya peradaban Gelombang-Ketiga, terutama karena mereka menggunakan usaha dan cara-cara peradaban Gelombang-Kedua terhadap suatu masyarakat peradaban Gelombang-Ketiga, yang lincah, aneka ragam, dan yang tidak mungkin dikomando atau diperintah terpusat.

Meminjam terminologi Paulo Freire, konsep Problem Possing Education atau pendidikan hadap-masalah, merupakan salah satu alternatif agar peserta didik mampu memahami realitas sosial yang senyatanya. Peserta didik akan selalu dibenturkan dengan problem-problem kongkret dan aktual yang ada, untuk selanjutnya berupaya menganalisis menggunakan pisau analisis atau sudut pandang yang sesuai guna ditemukannya pemecahan yang komprehensif. Memang, jika misalnya dirasakan dibutuhkan suatu "kebijakan industri bagi era Informasi, maka kebijakan itu harus terfokus kepada menghilangkan hambatan-hambatan terjadinya kompetisi dan tindakan deregulasi, besar-besaran bagi industri telekomunikasi dan industri komputer.

Sebaiknyalah besarnya dan kuatnya pemerintah, sesuai dengan kebutuhan yang riil untuk melaksanakan tugasnya seefektif dan seefisien mungkin, di dalam suatu masyarakat Gelombang-Ketiga. Karenanya menurut banyak pakar di Amerika, besar dan kuatnya pemerintah Amerika diperkirakan sebaiknya diciutkan menjadi kira-kira 50% dari besar dan kuatnya sekarang ini. Ini adalah konsekuensi langsung dari transisi struktur-pemerintahan yang terpusat (era-lndustri) ke struktur lembaga-lembaga yang terpencar serupa network dari era-lntormasi. Pemerintahan yang lebih kecil, bukan berarti pemerintahan yang lemah! Dan mengusulkan untuk melangsingkan pemerintahan, janganlah diartikan secara sempit, yaitu tidak mendukung atau melawan pemerintahan yang harus dirampingkan tadi.

Page 18: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Nelson Black dalam bukunya yang berjudul "Kapan Sebuah Bangsa Akan Mati" menyatakan bahwa nilai-nilai akhlak, kemanusiaan, kemakmuran ekonomi, dan kekuatan budaya merupakan sederet faktor keunggulan sebuah masyarakat yang humanis. Sebaliknya, kebejatan sosial dan budaya merupakan faktor penyebab kemunduran sebuah peradaban. Ia juga menulis, “Kebejatan sosial akan tampak pada pengingkaran atas konstitusi dan instabiltas ekonomi.”Edward Gibbon menilai bahwa kebobrokan moral adalah penyebab dari kehancuran sebuah peradaban. Gibbon menulis, “Menyerahnya para pejabat di hadapan penyelewengan budaya dan penyalahgunaan kekuasaan, telah menyebabkan sebuah bangsa harus takluk di hadapan bangsa lain.” Pada hakikatnya, pendidikan merupakan upaya membangun budaya dan peradaban bangsa. Oleh karena itu, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Proses belajar kebudayaanKebudayaan ‘dibangun’ oleh masyarakat pendukungnya. Sebaliknya, manusia ‘dibentuk’ oleh kebudayaan. Kebudayaan adalah way of life atau pedoman bagi masyarakat. Sebagai unsur vital, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar untuk dapat berdaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Dalam kaitan ini kebudayaan dipandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut itu diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).Kita mengenal beberapa istilah proses bagaimana manusia belajar dari kebudayaan. Proses belajar kebudayaan (sendiri) dapat didekati dengan dengan tiga pilahan; internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Internalisasi , Manusia terlahir dengan potensi bawaan; perasaan, hasrat, nafsu, emosi, dan seterusnya. Sepanjang kehidupan dari lahir sampai mati manusia menanamkan dalam kepribadiannya hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan. Individu berusaha memenuhi hasrat dan motivasi dalam dirinya; beradaptasi, belajar dari alam dan lingkungan sosial dan budayanya. Proses Internalisasi. Menurut Koentjaraningrat (1996; 142-143) proses internalisasi adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup individu, yaitu mulai ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Sepanjang hayatnya seorang individu terus belajar untuk mengolah segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang kemudian membentuk kepribadiannya. Kebudayaan dalam arti luas Komponen Wujud Fungsi Proses Belajar Pranata universal Kebudayaan dalam arti khusus Masyarakat. Sistem budaya Adat-istiadat Gagasan Konsep Aturan Sistem social Tindakan berpola antar individu Sistem kepribadian — Sistem organic Tindakan ber-kepribadian Organisasi Manusia Menata. memantapkan Pembudayaan (enkulturasi) Interaksi antar individu Sosialisasi Memenuhi hasrat & motivasi Adaptasi terhadap lingkungan menyambung keter-batasan organisme Sistem nilai-budaya/agama Sistem norma-norma hukum/ agama Sistem norma-non-hukum dalam pranata universal agama Bahasa,Pranata teknologi Pranata pengetahuan Pranata ekonomi Pranata organisasi social Pranata keagamaan Pranata kesenian Internalisasi

Page 19: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Peralatan dalam rangka pranata universal.  Masih ingat ketika kecil melihat Ibu-Bapak salat? Kita meniru-niru, sekalipun belum paham. Kita menginstal memori, hidup kudu salat. Kalau hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, berbondong-bondong ke lapangan melakukan salat bersama. Ada rasa ingin, ada rasa bangsa, ada kepuasaan. Ketika mengunjungi keluarga, kita tersenang apalagi kalau diberi ‘Uang Lebaran’. Kita terharu bertemu keluarga yang jarang bersua, kadang menangis.  Pada lain ketika belajar bagaimana bertutur kata yang baik kepada orang tua. Kalau kasar, akibatnya begini-begitu. Kalau melawan guru, akibatnya begini-begitu; memuji teman yang berprestasi dapat respon begini-begitu. Kesemua proses tersebut dengan segala balikannya kita ‘tanamkan’ dalam diri.  Setiap hari, setiap saat kita mendapatkan hal-hal baru, bersua hal-hal yang belum diketahui. Semua itu ‘ditanamkan’; membentuk kepribadian. Kita mempelajari segala hal. Proses tersebut dinamakan internalisasi. Bergaul dengan orang-orang suka menulis, ada kecenderungan akan suka membaca dan menulis. Sebaliknya, jika lingkungan adalah lingkungan pencopet, manakala internalisasi adalah kepencoetan, berhati-hatilah, bisa jadi pencopet sungguhan, he he. Ingat, internalisasi dari kehidupan bermula sampai berakhir.  Sosialisasi, Pada ranah sosialisasi, belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Individu belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan sesama, dari individu yang menduduki aneka peranan sosial. Sosialisasi berarti proses belajar anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat di lingkungannya. Misalnya ketika memahami posisi dan peran bapak sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap ekonomi; Ibu memasak, kakak membantu, dan seterusnya. Sosialisasi bermula dalam keluarga. Keluarga pembentuk kepribadian awal individu. Dalam relasi sosial selanjutnya bertemu saudara sepupu atau teman-teman sekampung. Proses sosialisasi lebih luas berlanjut dimana individu mengenal peran, tanggung jawab, bahkan sampai bagaimana ‘menyenangkan’ yang lebih tua. Ketika bersekolah mengenal auturan, dan bagaimana disiplin belajar. Hal-hal serupa terus berlanjut sesuai dengan luasnya cakupan kehidupan sosial.Enkulturasi, Proses enkulturasi dimana individu mempelajari dan menyesesuaikan alam pikiran dan sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peratruran dalam kebudayaannya. Kalau pada awal meniru, sesuai dengan perkembangan kehidupan, ‘membaca’, menghayati, hingga menjadi pola tindakan.  Enkulturasi misalnya dapat disimak dari bagaimana menjadi warga negara yang baik. Di sekolah formal aturan dan atau bagaimana menjadi warga negara yang baik diajarkan melalui mata pelajaraan kewarganegaraan; dimulai apa itu warga negara, apa itu negara, tata negara, dan seterusnya. Belajar menata dan memantapkan diri menjadi warga negara yang baik. Sepanjang kehidupan proses belajar berlangsung tanpa putus. Adat istiadat, norma, peraturan-peraturan, tata krama, dan seterusnya menjadi ‘pegangan’ kehidupan. Apabila individu keluar dari hal-hal yang berlaku di masyarakat, maka akan menjadi ‘aneh’.   Proses belajar kebudayaan, internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi dapat dikatakan, kebudayaan itu sendiri. Belajar adalah kebudayaan. Semakin banyak belajar, semakin mantap beraktivitas, semakin berakumulasi hasilnya.

Satu aspek penting yang tidak dapat terpisahkan dari aspek budaya berkaitan dengan proses pewarisan budaya adalah pendidikan. Pendidikan adalah proses budaya ke dalam diri seseorang dan membuat orang jadi beradab. Keluarga dan sekolah adalah saluran

Page 20: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

atau media dari proses pembudayaan. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia”. Sejalan dengan itu, pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan menyosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Proses enkulturasi dan sosialisasi didampingi dengan proses internalisasi.Proses  internalisasi berarti bahwa sepanjang kehidupannya, manusia menanamkan dalam kepribadiannya hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan dan berusaha memenuhi hasrat dan motivasi dalam dirinya; beradaptasi, belajar dari alam dan lingkungan sosial dan budayanya. Sementara itu, menurut Herskovits enkulturasi berasal dari aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari makhluk lain dengan menggunakan pengalaman-pengalaman hidupnya. Proses enkulturatif bersifat kompleks dan berlangsung hidup, tetapi proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan seorang. Enkulturasi terjadi secara agak dipaksakan selama awal masa kanak-kanak tetapi ketika mereka bertambah dewasa akan belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya. Kesamaan dari konsep enkulturasi dengan konsep sosialisasi terlihat dari pernyataan Herkovits yang mengatakan bahwa sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasi individu ke dalam sebuah kelompok sosial, sedangkan enkulturasi adalah proses yang menyebabkan individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan kelompok. Proses belajar kebudayaan, internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi dapat dikatakan, kebudayaan itu sendiri. Belajar adalah kebudayaan. Semakin banyak belajar, semakin mantap beraktivitas, semakin berakumulasi hasilnya. Inilah makna pendidikan meminjam istilah Herskovits, pendidikan (education) adalah ”directed learning”.  Pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini, Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Berkaitan dengan pendidikan tentang permuseuman ada beberapa lembaga yang berperan di dalamnya, yaitu museum itu sendiri, sekolah, dan keluarga serta masyarakat.

Page 21: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Selain sebagai salah satu objek wisata, museum juga berfungsi sebagai tempat menggali ilmu pengetahuan non formal. Ini berarti, keberadaan museum mempunyai peranan penting dalam menunjang kegiatan pendidikan masyarakat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, berbicara tentang kebudayaan, juga tidak terlepas dari keberadaan museum. Dan tentu pula, keberadaan museum juga tak terpisahkan dengan pendidikan. Hal ini terlihat nyata dengan keberadan museum sebagai lembaga yang melayani kepentingan masyarakat dan kemajuannya yang fungsi dan tugasnya mengumpulkan, memelihara, meneliti, memamerkan serta mempublikasikan benda-benda dan lingkungannya untuk tujuan pendidikan non formal yang bersifat kreatif. Inilah perkembangan kebudayaan tak terlepas dari pengaruh lingkungan social masyarakat pendukung dimana kebudayaan itu berkembang. Jadi, museum ini berperan serta menunjang kegiatan pendidikan masyarakat. Sekolah adalah salah satu media proses pembudayaan (enkulturasi). Manusia yang berbudaya adalah manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap sehingga mereka mampu berpikir secara rasional, kritis, dan memiliki karakter serta kepribadian yang cinta pada keharmonian kehidupan. Di sini para pendidik di sekolah diharapkan juga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang museum sebagai tempat pelestari warisan budaya masyarakat.  Keluarga adalah media yang sangat efektif dalam proses sosialisasi. Pengenalan terhadap nilai budaya dan termasuk pemahaman tentang peran penting museum sebagai lembaga pelestari budaya masyarakat diajarkan pertama kali dari keluarga. Keluarga juga sangat efektif terutama jika seseorang masih mengandalkan kemampuannya dalam bahasa lisan, bukan bahasa tulis. Dalam masyarakat, seseorang dapat melihat, memahami, dan mempratikkan setiap unsur kebudayaan, masyarakat dengan aturannya juga dapat menjadi media yang memperkenalkan dan memahamkan masyarakat itu sendiri tentang pentingnya dan peranan museum. Di sini tokokh masyarakat tetap menjadi seseorang yang sangat berperan di dalamnya.

Pendidikan juga merupakan kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial. Karena itulah, pendidikan yang progresif menyerukan penataan kembali masyarakat dan bangsa lewat pendidikan. Dengan pendidikan, reformasi (terutama reformasi pendidikan budi pekerti) dapat dijalankan. Begitu juga halnya dengan reformasi moralitas (agama), reformasi kebudayaan (keindonesiaan), reformasi nasionalisme (NKRI).

Reformasi budaya merupakan bagian-bagian kecil dari proses transfomasi budaya dalam suatu rentang sejarah panjang sebuah peradaban (Sachari dan Sunarya, 1998:1). Reformasi dapat diartikan sebuah gerakan untuk mengubah tatanan yang mengandung pemahaman sebagai perubahan bertahap, pembaruan, penataan kembali, penggantian cara, penyatuan kembali, dan perbaikan tatanan yang rusak. Seluruh perangkat budaya termasuk pendidikan, hakikatnya mengalami proses perubahan terus-menerus (evolusi), reformasi, diferensiasi, adaptasi, yang diciptakan dalam keadaan berubah terus. Pendidikan termasuk perubahan yang tak penah berakhir.

Membangun Sistem NilaiPembangunan sektor pendidikan haruslah menghasilkan sistem nilai yang mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan

Page 22: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

bernegara. Sehingga, dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera, dan aman. Karena, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 mengamanatkan tiga misi pembangunan nasional, yaitu: 1) Mewujudkan Negara Indonesia yang aman dan damai, 2) Mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis, dan 3) Mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera.Untuk mewujudkan misi pembangunan tersebut, masyarakat terdidiklah yang akan mudah didorong dan mau diajak berubah untuk mengembangkan sistem kehidupan yang aman, damai, adil, demokratis, dan sejahtera. Pendidikan akan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas.Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.Karena itu, kebijakan pendidikan nasional harus mampu menghadirkan pemerataan pendidikan yang bermutu pada setiap sisinya. Dalam konteks outcome, pendidikan nasional harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akhlak mulia secara seimbang.Pembangunan pendidikan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi manusia melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah jiwa yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa.Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa Pendidikan nasional harus berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar manjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pengembangan Pribadi Yang UtuhPendidikan ideal harus berpijak pada pengembangan keutuhan seseorang peserta didik agar muncul self-realisationnya dengan baik. Menurut Prof Naquib al-Attas, pendiri ISTAC, konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia. Karena itu, saat menjadi keynote speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Makkah pada 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul ‘The Dewesternization of Knowledge’. Langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah Islamisasi ilmu. Menurut al-Attas, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yang disebutnya sebagai ta’dib, bukan tarbiyah.Tujuan utamanya membentuk manusia beradab. Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertingginya ialah mengenal Allah SWT dan meletakkan-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan.

Page 23: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Sangat tidak bijaksana ketika kegiatan pendidikan justru hanya menekankan sisi kecerdasan intelektual semata-mata. Sedangkan Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (Sidi 2001) bahwa IQ seseorang hanya menyumbang 20% dari kesuksesan seseorang, sedangkan 80 % sisanya ditentukan oleh faktor lain (kecedasan intelektual dan kecerdasan emosional. Pendidikan ideal adalah yang mampu menyeimbangkan domain-domain tersebut sehingga lahirlah masyarakat peradaban (civilize culture society) atau meminjam istilah Inkeles masyarakat modern (modern society) atau lebih populernya biasa kita sebut civil society. Bentuk masyarakat seperti ini tidak mungkin akan ada tanpa lahirnya generasi yang well educated.Pendidikan yang ideal akan menciptakan masyarakat yang sadar (conscious community). Oleh karena itu mendewasakan masyarakat lewat kegiatan pendidikan adalah langkah bijaksana yang harus dikembangkan. Namun kenyataan di negara-negara yang kurang berkembang, pemerintah lebih cenderung melihat pendidikan sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan baik secara ekonomi maupun politik. Pendidikan yang mendukung kesadaran pekerja dan petani dilihat sebagai ancaman terhadap bentuk status quo terutama bagi sistem politik dan ekonomi. Lebih jauh lagi pendidikan untuk masyarakat ini, meminjam istilah Freire adalah “conscientizacao”, merupakan ramuan untuk menyelesaikan tekanan terhadap pendidikan bagi kaum tertindas agar mereka sadar tentang kondisi ini  (Fegerlind& saha 1983:25).

Disekolah seorang anak harus belajar membaca, menulis berhitung, aturan kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), spesifitas (specificity). Sejalan dengan ini John Dewey menjelaskan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah mampu memberikan gambaran objektif tentang dunia dimana peserta didik hidup, ke arah mana kehidupan dunia ini berjalan, dan peran apa yang dapat mereka lakukan di lingkungan sekitar mereka. Atau dengan kata lain pendidikan merupakan salah satu agen dalam proses sosialisasi yang dialami manusia. Sosialisasi merupakan proses seumur hidup (life-long process) dan pendidikan memfasilitasi tranformasi ketrampilan dan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan seseorang dalam kehidupannya (John Dewey 1958:90). Worsley (1970) melihat pada dasarnya pendidikan tidak dapat dicabut dari lanskap sosial di mana pendidikan merekrut aktor-aktor sosial dalam segala segi kehidupan, sehingga pendidikan dapat disebut sebagai “a mini society”. Dalam masyarakat mini inilah daya-daya belajar dikembangkan dengan berbasis pada paradikma learning to do, learning to be, learning to live together, dan learning to how to learn.

Keahlian hidup (life skills) tidak hanya berdasarkan kepada pemberian ketrampilan-ketrampilan dasar (basic competencies) agar peserta didik mampu mengembangkan dunia entrepreneuship dan menata nilai-nilai kemandirian hidup, namun lebih penting dari itu adalah bagaimana pendidikan mampu mengasah domain moral dan ruang kesalehan nurani dan nilai-nilai kebersamaan, pluralisme, dan inklusivisme. Sisi humanis ini sepertinya kurang dijadikan agenda penting dalam menopang pesan-pesan kemanusiaan lewat kegiatan pendidikan formal. Intinya peserta didik dibimbing untuk mampu merambah domain learning to do, learning to think, learning to be, learning to learn, dan learning to live together. Sedangkan Dreeben (1968) menyebutkan bahwa apa yang dipelajari oleh seorang anak disekolah adalah di samping membaca, menulis, dan

Page 24: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

berhitung aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifitas (specificity) juga merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan.

Basis Pengembangan KurikulumBergelimang kekayaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia Indonesia, menggambarkan bahwa Indonesia merupakan negara yang siap menghadapi masa depan gemilang tanpa kekurangan dan kemiskinan. Sumberdaya alam Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif masih banyak yang menganggur tanpa disentuh oleh tangan kreatif dan masih kekurangan tenaga ahli yang mumpuni untuk mengolah dan mengelolanya.Keterbatasan kreativitas sesungguhnya disebabkan oleh motivasi sumberdaya manusia Indonesia yang masih mengandalkan menjadi pegawai untuk mengembangkan diri, sehingga kreativitas yang lahir di Indonesia bersumber dari kreator asing dan warga negara pendatang.Waktu yang tepat bagi Indonesia untuk merubah pola pikir masyarakat yang semula menyandarkan dirinya beradaptasi dengan pasar tenaga kerja, menjadi pola pikir yang menyediakan lapangan kerja. Iklim kreatif dapat ditumbuhkan melalui program pengembangan kompetensi masyarakat, melalui pengembangan kurikulum pembelajaran di sekolah-sekolah, maupun program pendidikan informal di setiap peloksok tanah air.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan 2004, serta yang terbaru adalah kurikulum 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Kurikulum apa saja yang pernah dikembangkan dalam program pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah "melakukan perubahan", tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju ke perbaikan dan sebuah perubahan selalu di sertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar tumbuh kebijakan yang bijaksana. Berikut perjalanan sejarah pengembangan kukulum di negara kita,

Berkaitan dengan persoalan kurikulum, Hilda Taba (1962) dalam bukunya “ Curriculum Development: Theory and Practice” berpendapat bahwa pengembangan kurikulum hendaknya bersifat rasional dan ilmiah yang penentuannya harus beralaskan elemen-elemen valid berbasis realita yang diantaranya berasal dari tradisi dan budaya, tuntutan sosial, dan kebiasaan masyarakat. Masyarakat memiliki kepentingan terhadap sistem pendidikan. Ia menunjukkan sekelompok masyarakat yang bercirikan budaya,

Page 25: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

kepercayaan/ agama dan bahasa yang sama. Kepentingan masyarakat dalam pendidikan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan warisan budaya seperti adat istiadat, kesenian, bahasa, kepercayaan, peningggalan budaya, dan sebagainya. Masyarakat juga menunjukkan organisasi yang bergerak pada seluruh aspek kebutuhan hidup warganya secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Pendidikan berperan untuk mengembangkan organisasi tersebut.Kepentingan negara terhadap sistem pendidikan berkaitan dengan fungsinya untuk menjaga keberadaan dan integritas negara, melindungi warganya, membina persatuan dan kesatuan, menjalankan hukumnya, berhubungan dan bekerja sama dengan negara lain, dan lain sebagainya. Fungsi tersebut disampaikan kepada warganya terutama melalui pendidikan.Ketiga kepentingan tersebut diramu dan dimuatkan ke dalam kurikulum. Untuk pengembangan kurikulum, pihak kepentingan biasanya diwakilkan kepada utusan orang tua/siswa, utusan guru, pemerintah, ahli bidang ilmu, ahli pendidikan, stakeholders, dan sebagainya. Mereka terlibat dalam mengembangkan kurikulum tersebut pada tingkat nasional, daerah, dan sekolah. Muatan kurikulum berbasis-kompetensi berupa keterampilan. Ia berbeda dari muatan kurikulum subjek akademis yang berisi bidang ilmu seperti agama, biologi, fisika, kimia, matematika, sejarah, IPS, IPA, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kurikulum ilmiah harus merujuk pada analisis masyarakat dan budaya, telaah mengenai peserta didik dan proses belajar, serta ciri khusus bangunan epistemology ilmu pengetahuan tertentu agar dapat ditentukan tujuan institusional dan ciri kurikulumnya. Kurikulum berbasis kompetensi hendaknya mampu menyodorkan fakta-fakta mengenai problem kehidupan social (lazim disebut “problem posing”). Hal ini bermakna bahwa subjek didik diajak untuk memasuki arena “problem solving” dimana siswa mampu berimajinasi untuk memecahkan masalah yang dia temukan. Lebih penting dari itu adalah penguatan nilai-nilai budaya dan agama agar subjek didik tidak terjerumus dalam budaya hedonis, meterialistik dan serba mengagungkan Barat sebagai sistem hidup dan bertingkah laku. Persoalan kini muncul, Kapan siswa di Indonesia mempelajari perdamaian di sekolah mereka dan apa yang menjadi fokus pendidikan perdamaian di lingkungan sekolah?

Pencegahan Kekerasan Kajian tentang perdamaian sudah cukup lama menjadi perhatian berbagai kalangan di Indonesia, khususnya sejak tahun 1980-an. Ketika itu, lomba senjata nuklir dan perang dingin melatari meningkatnya secara pesat gerakan perdamaian di berbagai belahan dunia. Gerakan perdamaian awal 1980-an ini lebih besar dan luas dari gerakan serupa di tahun 1960-an. Selain peneliti dan ilmuwan, dokter, artis, mahasiswa, dan kalangan LSM banyak yang terlibat membicarakan bahaya perang nuklir bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Keberhasilan mereka pantas dicatat: Isu nuklir yang sebelumnya rahasia negara dibawa ke diskusi publik. Gerakan ini berhasil pula memperkenalkan dan mempopulerkan metode perlawanan nirkekerasan.

Di Indonesia, ada seminar-seminar Polemologi di Universitas Gadjah Mada yang diadakan pada awal 1980-an dan dimotori Prof. T. Jacob, Rektor UGM ketika itu. Kegiatan ini melibatkan banyak pakar yang berasal dari berbagai disiplin ilmu berbeda.

Page 26: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Melalui majalah seperti Prisma, M. Dawam Rahardjo dan cendekiawan lain juga membicarakan perdamaian, bahaya perang nuklir, dan perlunya penyelesaian masalah politik melalui cara-cara nirkekerasan. Judo Poerwowidagdo dari Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, mendirikan Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian pada 1985. Pada dasawarsa 1990-an, kajian-kajian perdamaian mulai muncul mendampingi gerakan perdamaian dekade sebelumnya. Sebagai contoh, di Universitas Gadjah Mada pada 1996 berdiri Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) di UGM. Selain itu, sejak 1996-1997 di Universitas Gadjah Mada muncul beberapa mata kuliah baru yang terkait langsung dengan riset perdamaian dan resolusi konflik, seperti Pengantar Studi Perdamaian, Negosiasi dan Resolusi Konflik, dan Analisis & Transformasi Konflik.

Di Universitas Indonesia lahir Ceric yang dimotori Imam B. Prasojo. Penekanan pada studi dan riset juga berlanjut setelah periode Orde Baru. Misalnya, beberapa peneliti LIPI membentuk Research for Democracy and Peace (RIDEP). Pada tahun 2002 Universitas Gadjah Mada membuka program Magister Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), sebagai lembaga pemberi gelar pertama di bidang perdamaian dan resolusi konflik di Indonesia. Ada banyak LSM lain, baik nasional maupun internasional, khususnya yang bekerja di daerah yang dilanda kekerasan di Indonesia, yang juga giat menerapkan program-program perdamaian di masyarakat. Dari Aceh sampai Papua, lembaga ini bergerak langsung di masyarakat – dengan anak-anak dan pemuda, dengan perempuan dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, langkah selanjutnya yang perlu dipikirkan kalangan pendidik di negeri kita adalah bagaimana membawa pendidikan perdamaian ke lingkungan sekolah dan kelas. Dilihat dari tantangan perdamaian di lingkungan sekolah, hal ini sangatlah relevan. Sebagaimana diketahui, perkelahian pelajar dan mahasiswa, baik yang berasal dari sekolah dan kampus yang sama maupun dari sekolah dan kampus yang berbeda terjadi setiap minggu di Jakarta dan cukup sering di kota-kota lain di Indonesia. Salah satu program pendidikan perdamaian yang perlu diperkenalkan adalah pencegahan kekerasan. Program pencegahan kekerasan berurusan dengan perilaku kekerasan seperti tawuran di kalangan pelajar dan pemuda. Selain tawuran, bentuk-bentuk kekerasan lainnya adalah kenakalan siswa di sekolah, kejahatan jalanan, bullying, serangan seksual, prasangka buruk, dan stereotip negatif. Mengembangkan perilaku yang pro-sosial dan cara-cara mengelola amarah adalah unsur lain program pencegahan kekerasan di kalangan siswa di dalam lingkungan sekolah. Lebih lanjut, faktor-faktor risiko terhadap perilaku kekerasan di masyarakat Indonesia juga harus dipertimbangkan. Ini mencakup pola perilaku di dalam keluarga, lingkungan sosial yang keras, model budaya yang negatif (misalnya yang disodorkan industri hiburan), penyalahgunaan alkohol dan obat-obat terlarang, dan ketersediaan senjata tajam. Beberapa ilustrasi berikut perlu dipertimbangkan. Organisasi Common Ground pernah mengadakan program pembuatan komik dan program radio yang dapat dijadikan sebagai contoh program pencegahan kekerasan yang dilakukan LSM. Sandiwara radio yang diproduksi LSM ini, misalnya, berkisah tentang interaksi sehari-hari yang damai, kekerasan di dalam keluarga, masalah gender,

Page 27: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

menangani stereotip negatif, dan lain-lain. Menurut Common Ground, program radio mereka melibatkan lebih dari 140 stasiun radio. Selain itu, buku komik yang diterbitkan juga sudah terdiri dari beberapa seri. Dialog yang melibatkan tokoh masyarakat, kelompok perempuan, dan LSM setempat yang membicarakan berbagai topik seperti toleransi, hidup berdampingan secara damai bagi berbagai kelompok etnis yang berbeda-beda, dan perilaku pro-sosial juga telah dilaksanakan UNICEF, Common Ground, dan lain-lain. Program pencegahan kekerasan perlu menjadi prioritas di daerah-daerah yang pernah ditimpa konflik seperti Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Aceh. Selain di sekolah-sekolah negeri, sekolah-sekolah Islam seperti madrasah dan pesantren, yang dimiliki Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan organisasi Islam lain perlu dilibatkan juga dalam rangka meningkatkan cakupan pendidikan pencegahan kekerasan. Pertimbangan-pertimbangan masyarakat setempat, misalnya yang terkait dengan adat-istiadat dan agama, harus diperhatikan ketika menyusun kurikulum di bidang program pencegahan kekerasan. Universitas Muhammadiyah di Surakarta, sekarang sedang melancarkan program pendidikan perdamaian yang berbasis agama Islam. Dengan kata lain, di bidang pendidikan dalam arti luas, cukup banyak yang terjadi di bidang pendidikan perdamaian. Ini dapat menjadi basis bagi pengembangan kurikulum pendidikan perdamaian di lingkungan sekolah.

Ruang kelas dan Sekolah Dalam rangka mencegah kekerasan melalui pendidikan, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah menciptakan iklim ruang kelas yang positif. Lingkungan belajar di kelas diciptakan sehingga memungkinkan siswa menyelesaikan masalah, bekerja dan belajar bersama siswa lain, dan melaksanakan tugas-tugas bersama secara kolaboratif. Proses belajar yang menekankan kerjasama dan interdependensi positif, bukan hanya kompetisi, perlu dipraktikkan di ruang kelas. Dalam hal ini, gagasan tentang manajemen konflik berbasis sekolah (school-based conflict management) yang telah penulis sampaikan di harian ini beberapa waktu lalu, perlu dipertimbangkan. Selain itu, pelarangan terhadap hukuman fisik di sekolah perlu dilakukan. Cara-cara fisik dalam menanamkan disiplin di kalangan peserta didik akan memberikan role-model resolusi konflik yang buruk, merendahkan harga diri siswa, dan mempersulit anak-anak mempercayai orang dewasa. Uraian populer dan disajikan dengan menarik mengenai hak anak – seperti yang pernah dilakukan UNICEF dan World Vision Indonesia, dapat dibawa ke lingkungan sekolah. Mengelola dan menjalankan sekolah dengan cara-cara yang demokratis perlu digalakkan. Lokakarya dan pelatihan perlu dilakukan di bidang ini kepada guru dan pegawai sekolah serta siswa. Secara khusus lagi, mendidik guru supaya memahami hak-hak anak perlu dilakukan lebih luas lagi. Menciptakan lingkungan sekolah yang aman dari tindakan kejahatan (termasuk yang menyangkut narkoba dan minuman keras, bullying, dan lain-lain). Pekan perdamaian dan perayaan perdamaian di sekolah perlu diperkenalkan dan dilakukan secara rutin. Demikian juga kegiatan-kegiatan yang menopang hal ini seperti lomba menulis (esai ilmiah dan cerpen) di bidang rekonsiliasi, dan perayaan bersama untuk anak-anak yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang.

Page 28: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Secanggih apapun kurikulum disusun, namun keterampilan pendidik (guru)  dalam menyampaikan kurikulum tidak pernah dipantau dan di upgrade, maka akan sia-sialah kurikulum tersebut. Guru memegang peranan yang sangat penting dalam mentransfer kandungan kurikulum. Jika kondisi guru yang tidak qualified terus saja dibiarkan, maka alih-alih mengintrodusir domain life skills, yang akan terjadi adalah subjek didik tidak mampu menyerap dan mengaplikasi kan pesan-pesan kurikulum karena fakor pendidik yang tidak qualified. Malangnya, kualifikasi guru yang tidak sesuai dengan bidang studi yang diajarkan masih menjadi kenyataan buram yang menimpa pendidikan kita. Di samping itu juga guru tidak memahami pengkondisian pembelajaran melalui strategi hidden curriculum (kurikulum tersembunyi). Di mana nilai-nilai kejujuran, kesalehan, kedisiplinan dan lain-lain lebih ditekankan pada aspek praksis daripada teoritis dan pesan-pesan oral di dalam ruangan kelas.Kurikulum tersembunyi atau kurikulum terselubung, secara umum dapat dideskripsikan sebagai “hasil (sampingan) dari pendidikan dalam latar sekolah atau luar sekolah, khususnya hasil yang dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan sebagai tujuan”. Beragam definisi lain telah dikembangkan berdasarkan pada perspektif yang luas dari mereka yang mempelajari peristiwa ini. Segala bentuk pendidikan, termasuk aktivitas rekreasional dan sosial tradisional, dapat mengajarkan bahan-bahan pelajaran yang sebetulnya tak sengaja karena bukan berhubungan dengan sekolah tetapi dengan pengalaman belajar. Tetapi umumnya, kurikulum tersembunyi mengacu pada berbagai jenis pengetahuan yang diperoleh dalam sekolah dasar dan menengah, biasanya dengan suatu konotasi negatif yang mengacu pada ketidaksamaan yang muncul sebagai akibat hal tersebut. Sikap ini berasal dari komitmen sistim sekolah yang mempromosikan demokrasi dan memastikan pengembangan kecerdasan yang sama. Sasaran tersebut dihalangi oleh pelajaran-pelajaran yang tak terukur ini. Dalam konteks ini, kurikulum tersembunyi disebut sebagai memperkuat kesetaraan sosial dengan mendidik siswa dalam berbagai persoalan dan perilaku menurut kelas dan status sosial mereka. Sama halnya seperti adanya kesetaraan distribusi modal budaya di masyarakat, berupa distribusi yang berhubungan dalam pengetahuan di antara para siswa. Kurikulum tersembunyi juga dapat merujuk pada transmisi norma, nilai, dan kepercayaan yang disampaikan baik dalam isi pendidikan formal dan interaksi sosial di dalam sekolah-sekolah ini. Kurikulum tersembunyi sukar untuk didefinisikan secara eksplisit karena berbeda-beda antar siswa dan pengalamannya serta karena kurikulum itu selalu berubah-ubah seiring berkembangnya pengetahuan dan keyakinan masyarakat.Konsep kurikulum tersembunyi terkespresikan dalam gagasan bahwa sekolah melakukan lebih dari sekedar menyebarkan pengetahuan, seperti tercantum dalam kurikulum resmi. Di balik itu terdapat berbagai kritik tentang implikasi sosial, landasan politik, dan hasil budaya dari aktivitas pendidikan modern. Sementara penelaahan awal berkaitan dengan identifikasi faham anti-demokratis dari sekolah, penelitian lain telah memperhatikan permasalahan berbeda, termasuk masalah sosialisme, kapitalisme, dan anarkisme dalam pendidikan.

Peradaban Islami Peradaban Islam berlandaskan pada agama Islam yang berasal dari wahyu yang

Page 29: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menurut Mujahid, Saâid bin Jubair, al-Hasan dan Qatadah r.anhum, Adam menyebutkan nama segala sesuatu, termasuk nama-nama malaikat itu, yang membuktikan keunggulan species Adam dari species Malaikat. Tafsir Ibnu Katrsir menerangkan bahwa Allah mengetahui substansi pernyataan terbuka para malaikat tentang sifat-sifat destruksi ras Adam yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi; sekaligus Allah mengetahui bisikan Iblis di hati mereka, yang menunjukkan keangkuhan mereka yang merasa sebagai ciptaan terbaik Allah swt. Padahal mereka tidak mengetahui rahasia Hikmah Yang Maha Tinggi dari perbuatan Allah menciptakan Adam sebagai khalifah di bumi.Menurut Tafsir Jalalain, malaikat dengan akal-naluri yang disifatkan Allah, tidak mempunyai kebutuhan duniawi, seperti sandang-pangan dan harta benda. Jika para malaikat yang hidup dalam dimensi ruh dijadikan penghuni dan penguasa di bumi tentu tidak akan ada peradaban. Skema ras Adam yang hidup dalam dimensi ruh dan ˜jasad, dengan keistimewaan akal-pikiran yang bebas dan independen dengan kemampuan mental-development, justru merupakan prasyarat utama untuk menjadi penghuni dan khalifah di bumi.Dasar-dasar penciptaan Adam memang dimaksudkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk membangun peradaban di muka bumi. Tentu idealitasnya adalah untuk membangun peradaban tauchid dimana kemakmuran bumi merupakan manifestasi amal saleh yang sekaligus membawa kesempurnaan ˜ruh manusia ketika kembali keharibaan Allah swt, sesuai perjanjian ruh manusia dengan Allah Azza wa Jalla di alam transcendent yang awal (Al-Aârof 172).Esensi peradaban Islam dapat ditelusur melalui kajian konsep-konsep kunci didalamnya, seperti 'ilm, 'amal, adab, din dan sebagainya. Berfikir dan berilmu dalam Islam adalah kewajiban yang sama derajatnya dengan kewajiban beramal saleh, bahkan iman merupakan sesuatu yang concomitant pada kesemua kegiatan berfikir dan beramal, dalam artian keberadaan yang satu tidak sempurna tanpa disertai oleh yang lain. Proses psikologis dan psikis yang terpadu ini sudah di set dalam diri manusia sebagai potensialitas yang jika diaktualisasikan secara proporsional ia akan memenuhi tujuan penciptaannya sebagai sebaik-baik makhluk Tuhan (ahsunu taqwim) dan sebaliknya ia akan menjadi makhluk yang paling hina (asfala safilin). Di Barat berfikir rasional yang membawa kepada doktrin rasionalisme tidak memiliki dimensi iman dan amal. Lagipun, konsep akal bukan sekedar bermakna mind, ia meliputi qalb, fuad, bashar, aql dan sebagainya; dan karena itu konsep berfikir dalam Islam bukan sekedar bermakna reasoning dalam pengertian Barat, tapi lebih kaya dari itu dan meliputi unsur-unsur kejiwaan yang lebih menyeluruh seperti tafakkur, tadabbur, ta'aqqul.  Konsep berfikir ini juga berkaitan dengan konsep 'ilmu yang merupakan pemberian Allah Yang Maha Suci kepada manusia. Jika rasionalitas adalah esensi Islam, maka para filosof Barat yang menjunjung prinsip rasionalitas itu dapat disebut Ulama yang dapat dipastikan takut kepada Allah (yakhshallah), padahal sejatinya tidak. Jika rasionalitas dikaitkan dengan 'ilm maka ia tidak dapat dipisahkan dari iman, dan orang yang berilmu itu menjadi superior jika ia berangkat dari atau berdasarkan pada iman kepada Allah (Lihat Qur'an 58:11). Sebelum seseorang beriman ia perlu mengetahui apa yang diimaninya, dan seorang mukmin harus berilmu agar dapat beramal. Ilmu tanpa amal adalah gila, kata al-Ghazzali, dan amal tanpa ilmu adalah sombong. Amal tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memperbaiki dan amal tanpa ilmu akan menyesatkan, kata para ahli hikmah.

Page 30: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Jadi ilmu adalah prasyarat bagi amal dan memiliki peranan sentral dalam peradaban Islam.Sifat kekhalifahan manusia di bumi bukan untuk mewakili Allah. melainkan untuk membangun peradaban tauchid bagi manusia di muka bumi. Al-Baqoroh : 30 yang berbunyi : Innii jaaâilun fil-ardhi kholiifah bermakna Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi , bukan Aku hendak menjadikan seorang khalifah untuk-Ku di muka bumi. Konsep kekhalifahan manusia di bumi memperoleh bentuknya yang lebih sempurna pada masa kerasulan Muhammad SAW. Derajat kerasulan akhir zaman ini disempurnakan dengan peristiwa Israâ Miraj, seperti Firman Allah : Maha suci Dzat Yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad SAW) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekitarnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat : (Al-Isro : 1).Isra Miraj terjadi 1 tahun atau 16 bulan sebelum Hijrah (abad ke-7) (Urwah As-Sadi dan Musa bin Uqbah dari az-Zuhri dalam Tafsir Ibnu Katsir). Ini merupakan perjalanan suci dari Masjidil-Haram di Mekah ke Masjidil-Aqsho di Palestina, lalu naik ke langit tertinggi yang di sebut Mustawa dan Sidratul-Muntaha merupakan pusat kerajaan akhirat dimana Rasulullah SAW menerima perintah langsung dari Allah SWT untuk dilaksanakannya Sholat 5 waktu bagi ummat-nya, sebagai ibadah transcendent yang bersifat wajib, dengan garis pemisah yang tegas terhadap segala bentuk ritual Arab yang berbau paganisme. Sebagaimana diterangkan budaya dan peradaban Arabia berakar pada system paganisme (berhalaisme) sejak ribuan tahun yang lampau.Penetapan Shalat 5 waktu sebagai bentuk peribadatan transcendent secara definitive memberikan kepastian tentang peribadatan kaum Muslimin, sekaligus mengakhiri segala bentuk ritual paganisme dan sinkretisme yang dikembangkan kalangan munafikin-musrikin sebagaimana diterangkan dalam Pengajian ke-33 hinga ke-45 (Buku ke-3).Sinkretisme Arab berakar pada peradaban Qabbala-Israili dan Mesopotamia. Meskipun mereka percaya adanya Allah, tetapi Tuhan itu begitu tinggi, begitu ideal dan jauh dari kenyataan kehidupan manusia, maka mereka memberikan persembahan kepada rejim Dewa-dewa Baâal, Hubal, Manat, Latta dan Uzza yang terasa lebih dekat dengan realitas kehidupan yang diinginkan melalui lambang material seperti bentuk arca-arca dan mitos-mitos yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kalangan Quraisy seperti disampaikan Utbah bin Rabiah kepada Rasulullah dalam upaya kompromi mengusulkan sinkretisme (kemusrikan) ala-Israili dengan bersama-sama menyembah Allah dan tuhan-tuhan Qabbalis (berhala) tersebut.Isra-Miraj memastikan bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah. Inilah akar peradaban Tauhid yang telah mengeluarkan Arabia dari kegelapan paganisme yang konvergen kepada zaman baru yang divergen, dan telah menerangi dunia selama 1500 tahun. Inilah proses sublimasi minadzzulumati ilannuur yang membawa manusia kearah transferabilitas-progresif ke-arah nilai-nilai transendensi dengan diferensiasi yang lebih tinggi dari nilai-nilai mitologi qabbalism sebelumnya yang fatal dan dekaden. (Wallohu A’lam Bishawab).

Kepustakaan

Page 31: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm, sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.

Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.  

Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta.

Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta. 

Musa, Ibrahim,  Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002 

Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis, dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta.  

Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From: http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003. 

Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 

--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437, Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta. 

----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas.

Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www. Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu, 23/8/ 2003. 

Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. 

Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 

Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.

Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.

Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35. 

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997

Tempo, 7 Januari 2001Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24

Februari 1999

Page 32: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur

2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.aspRUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,

2007 BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,

Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran

Rakyat Bandung , October 05, 2006Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by

rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan. Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of

International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of

International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education,

US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in http://www.ed.gov

Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher Education Accreditation, tanpa tahun .

Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008

http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002

Page 33: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm. Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei

2003.Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,

2008 Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-

cetak/0708/08/humaniora/3750060.htmPendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari

Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA

PEMBARUAN DAILY , 2002Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta,

Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-pendidikan-dan-pendidikan.html

Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,

Wednesday, 13 August 2008 07:15 Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),

Sabtu, 2007 Agustus 25Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htmMegawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05

Mei 2004Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05  Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat

Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007 Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di

Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008

Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and application. Columbus,OH : Pearson. 2005

Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-Kencana

Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.

Page 34: Mewujudkan Peradaban Yang Sempurna

UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations. Oxford,NY : Oxford University Press. 1998

Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper. Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia

NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the

Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,

1938Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago

and London, The University of Chicago Press. Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary

Immanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-system II. Edition: 2. Academic Press, 1980

Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta, AAI dan Yayasan Obor Indonesia.

McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication, London

Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008

Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.

Edition: 2. Basic Books, 1958Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik

Indonesia kontemporer.  Media Wacana, 2006Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.

Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman JakartaVedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan

sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992

FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02 August 2008