metode pengistinbathan hukum islam yang tidak disepakati

Upload: inferrar-heavoir

Post on 07-Jul-2018

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    1/34

    MAKALAH USHUL FIQH

    SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAKDISEPAKATI: ISTIHSAN, ISTISHAB,

    MASHLAHAH MURSALAH

    Dosen Pengampu : H. Sudirman, S.Ag, M.Ag

    Disusun oleh :

    Dewi Afifah (13110133)

    Aji Bagus Khoiri (13110139)

    KELAS PAI-D

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

    JAWA TIMUR

    MARET 2016

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    2/34

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    3/34

    i

    KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah serta inayah-Nya

    kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat

    waktu, sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada nabi Muhammad SAW

    yang telah membimbing kita pada addinul Islam yang di ridhoi Allah.

    Dalam makalah yang berjudul  “SUMBER HUKUM ISLAM YANG

    TIDAK DISEPAKATI: ISTIHSAN, ISTISHAB, MASHLAHAH MURSALAH”  

    ini, kami membahas tentang Istihsan, Istishab, serta Mashlahah Mursalah dalam

    kedudukannya di Ilmu Ushul Fiqh, agar kita mampu memahami tentang ketidak

    sepakatan ulama mengenai sumber pengistinbatan hukum yang tidak disepakati ini. 

    Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat

    kekurangan, maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan,

    agar dalam pembuatan makalah selanjutnya kami bisa menjadi lebih baik lagi.

    Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya,

    dan bagi penyusun pada khususnya.

    Malang, Maret 2016

    Penyusun

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    4/34

    ii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

    DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

    A.  Latar belakang masalah ....................................................................................... 1

    B.  Rumusan Masalah ................................................................................................ 2

    C.  Tujuan .................................................................................................................... 2

    BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

    A.  Istihsan ................................................................................................................... 3

    B.  Istishab ................................................................................................................. 17

    C.  Mashlahah Mursalah .......................................................................................... 23

    BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 28

    Kesimpulan .................................................................................................................. 28

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 30

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    5/34

    1

    BAB I PENDAHULUAN

    A.  Latar belakang masalah

    Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu intsrumen penting yang harus

    dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan

    istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria

    seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu

    syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap

     berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta

    yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqh tidaklah serta

    merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.

    Disamping faktor eksternal Ushul Fiqh itu sendiri, seperti penentuan

    keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqh sendiri pada sebagian

    masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin.

    Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul

    menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang

    diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan

    hukum.

    Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati

    ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-

    Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang

    dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur

    fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh

    ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Mashlahah mursalah, Urf,

    Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.

    Makalah ini akan menguraikan tentang beberapa sumber hukum

    Islam yang tidak deisepakati meliputi Istihsan, Istishab, dan Mashlahah

    mursalah yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya,

    kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    6/34

    2

    B.  Rumusan Masalah

    a.  Apa yang dimaksud Istihsan dalam Ushul Fiqh?

     b.  Apa yang dimaksud Istishab dalam Ushul Fiqh?

    c.  Apa yang dimaksud Mashlahah Mursalah dalam Ushul Fiqh?

    d.  Bagaimana kehujanan ketiganya dalam Ushul Fiqh?

    C.  Tujuan

    a.  Untuk mengetahui Istihsan dalam Ushul Fiqh

     b.  Untuk mengetahui Istishab dalam Ushul Fiqh

    c.  Untuk mengetahui Mashlahah Mursalah dalam Ushul Fiqh

    d.  Untuk memahami kehujanan ketiganya dalam Ushul Fiqh

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    7/34

    3

    BAB II PEMBAHASAN

    A. 

    Istihsan

    Definisi Istihsan

    Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya

    sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam

    mempergunakan lafal istihsan.1  Adapun pengertian istihsan menurut istilah,

    sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf 2 

    كلى

     

    حكم

     

    عن

     

    خفى و

     

    قياس

     

    مقتصنى

     

    جلى لى

     

    قياس

     

    عن

     

    عدول لمجتهد

     

    هو

    لى حكم ستسنائي نقدع فى قله رجع لديه هذ لعدول

    “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan

    qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau

    ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i

    (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil

    (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut. 

    Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai

     berikut:

    1.  Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut

    ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-

    Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.

    •  Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub

    dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.

    •  Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh

    karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an,

    1 Al-Syarahsi, Ushul al-Syarahsi, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Juz: II, 1993, hlm. 2002

     Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih, Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII, 1991,hlm.79

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    8/34

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    9/34

    5

    hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih

    menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya,

     persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas,

    tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus

     berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau

    ketentuan yang sudah jelas.

    Dasar Hukum Istihsan

    Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-

    Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif

    (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-

    Zumar: 185 

    يٱ نعلقٱح  ٱ�ٮٱي و   ك عن

     وا   ك   و وب  ٱ

    18. yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baikdi antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan

    mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal

    Hadits Nabi saw:

    ه س

    َّ

    لل هو عند ا فِّ

    و س ه حسن وما ر

    َّ

    لل هو عند ا ف ى لمسلمون حس ئفما رِّ

    .

    Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu

    yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang

    sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”. 

    Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum

    muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini

    menunjukkan kehujjahan Istihsan. 

    Salah satu contohnya adalah mengenai sisa minuman burung buas,

    seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal

    5 Muhammad Ma’shum Zain, Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008, hlm. 106

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    10/34

    6

    diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman

     binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum

    karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu

    diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan

    mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas

    khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas.

    Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut

     burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan

    tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung

     buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara

    oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu

    yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.

    Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas

    khafi, yang disebut istihsan.

    Contoh istihsan kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan

    atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya,

     pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan

     perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah

    (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan

    dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan

     pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk

    memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah

    kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan

    menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan

    adat kebiasaan dalam masyarakat.

    Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut

    mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi

    atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa

    atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan

    khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka

     jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    11/34

    7

    mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya

    adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,

    golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan

    sebagian Madzhab Hambali.

    Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah

    ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum

    syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang

     berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’

     berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum

    syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau,

    dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang

    yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan

     bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat

    syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”

    Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu

    serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa

    istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut

     pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam

    qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu,

    sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,

    kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu

    diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati,

    tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam

    kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum

     berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata,

    akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai

    dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-

    kaidah syara’ yang umum”.

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    12/34

    8

    Pembagian Istihsan dan Contohnya

    Dilihat dari sisi hubungan antara Qiyas dengan Istihsan, dapat

    diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:6 

    a.  Qiiyas jali. Qiyas ini terbagi menjadi dua, yaitu:

    1.  Qiyas bi al-Ta’tsir/efek penetapan hukum, yaitu qiyas dengan efek

     penetapan hukum yang lemah jika dibandingkan dengan istihsan

    sebagai pembandingnya.

    2.  Qiyas yang secara lahiriyah lemah dan batal, tetapi jika dilakukan

     penilitian secara cermat, ditemukan adanya keabsahan atau

    ditemukan ditemukan ada efek penetapan hukum, lantaran adanya

    hal-hal yang tersembunyi yang menjadikannya sebagai landasan

    dari penetapan hukum tersebut.

     b.  Istihsan. Hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:

    1.  Istihsan bi al-Ta’stir/efek penetapan hukum, yaitu istihsan dengan

    efek penetapan hukum yang lebih kuat, sekalipun tersembunyi.

    2. 

    Istihsan yang secara lahiriyyah terlihat efek penetapan hukumnya,

    sekalipun jika dicermati ditemukan sisi ketidak absahan yang

    tersembunyi.

    Sedang unntuk menyelesaikan persoalan tersebut, yang menjadi fokus

     persoalannya hanya terdapat pada efek penetapan hukunya (ta’stir), bukan pada

    aspek lahir dan tersembunyinya, artinya jika efek penetapan hukum qiyasnya

    itu sangat kuat, maka yang harus diprioritaskan adalah istihsan, yaitu:

    Bagian pertama dari istihsan itu, harus diprioritaskan atas bagian

     pertama dari qiyas

    Contoh:

    “Kasus Air Sisa Minumam burung buas (seperti Elang, Rajawali).

    Dalam menentukan status kesucian air tersebut, ditemukan adanya

    kotradiksi antara qiyas dan istihsan, yaitu:

    6 Ibid , hlm. 109-111

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    13/34

    9

    •  Qiyas, air tersebut najis 

    Analoginya pada air sisa minuman binatang buas, seperti serigala atau

    semacamnya, sebab fokus penetapan suatu kesucian air tersbut adalah daging

    tubuhnya, sedang daging burung buas dan binatang buas adalah haram. Karena

    itu, sisa air minumnya berstatus najis, sebab bercampurnya air liur yang keluar

    dari tubuh yang najis.

    Illatnya adalah keharaman mengkonsumsi keduanya.

    •  Istishan, air tersebut suci 

    Analoginya pada sisa air minuman manusia, karena keduanya tidak

     boleh dimakan daginnya

    Illatnya adalah minumnya burung melalui peruhnya dan paruh adalah

    tulang yang sifatnya kering dan suci, sedang binatang buas menggunakan lidah

    yang basah dan bercampur dengan air liur yang keluar dari tubuh yang najis,

    sehingga air sisa minumannya berstatus najis.

    Bagian kedua dari qiyas harus diprioritaskan atas bagian kedua dari istihsan. 

    Contoh:

    “Kasus Sujud Tilawah ditengah-tenga bacaan Al-Qur’an dalam

    Sholat”

    Dalam menentukann status boleh tidaknya sujud tilawah bacaan al-

    Qur’an di dalam sholat dilaksanakan dengan ruku’, ditemukan adanya

    kontradiksi antara qiyas dan istihsan, yaitu:

    •  Qiyas, sujud tilawah dilaksanakan dengan ruku’ dengan niat sujud, sebab

    tujuan utama sujud adalah mengekspresikan pengagungan, sebagaimana

     petunjuk al-Qur’an, yaitu:

    ركعا و ناب.  وظن د ود نما فتناه فاستغفر ربه وخر 

     Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka ia meminta ampun

    kepada Tuhannya, lalu menyungkur sujud dan bertaubat.

    •  Istihsan. Harus dilaksanakan dengan sujud.

    Analoginya pada sujud dalam sholat yang tidak dapat diganti dengan ruku’

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    14/34

    10

    Hal ini secara lahiriyyah benar, tetapi dalam sisi penerapannya

    ditemukan adanya pengertian yang tersembunyi, sebab dalam penerapan

    metode ini sama halnya dengan menyamakan dua hal yang ternyata terdapat

    faktor perbedaan (qiyas ma’a al-Fariq), yaitu ruku’ dan sujud dalam sholat,

    sebab Allah berfirman, al-haj:77 yaitu:

       يٱاا اعرٱو   

    77. Hai orang-orang yang beriman, ruku´lah kamu, sujudlah kamu,

    Padahal, tujuan utama diperintahkan sujud tilawah dalam sholat adalahekspresi pengagungan sebagai suatu bentuk peribadatan dalam wujud ruku’

    dalam sholat, sedang diluar sholat tetap harus dilakukan sebagaimana biasa,

    yaitu dengan cara sujud.

    Dengan demikian, sujud tilawah seperti ini, merupakan penerapan qiyas

    harus diprioritaskan atas penerapan istihsan.

    Dilihat dari pengambilan dalilnya, Ulama Hanafiah membagi Istihsan

    kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi7, yaitu: 

    1.   Istihsan bil an-Nash  (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu

     penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada

    ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan

    nash al-kitab dan sunnah. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut

    ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik

    kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi,

    yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui

    firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11 yang artinya: “setelah

    mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”. Contoh istihsan dengan

    sunnah Rasulullah adalah dalam kasus orang yang makan dan

    minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum

    (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan sesuatu kedalam

    7

     Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah, Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, 1975,hlm. 206-208

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    15/34

    11

    tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka.

    Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Nabi Saw yang

    mengatakan: “Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal

     puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah

    kepadanya” (HR. At.Tirmidzi).

    2.   Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu

    meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena

    ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang

     berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para

    mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia,

    yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah

    ditetapkan.8  Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah

    umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama

    seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi,

    apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh

    sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa

     pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya

    waktu yang dipakai.

    3.   Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang

    tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum

    qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya

    lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.9 Misalnya, dalam wakaf lahan

     pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual beli

    karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah

    tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati

    tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah

    tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan

    dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa

    8  Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyin,

    Mesir: Matba’ al-Sa-adah, 1980, hlm.729 Ibid, hlm. 74

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    16/34

    12

    menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan

     pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati

    tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan pertanian tersebut

    termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.

    4.   Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya

    kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut

    kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam

    keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa

     penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah

    istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat

    kepadanya.

    5.   Istihsan bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku

    umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan

    qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam

    kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk

    menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan

     pakaiannya.

    6.   Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang

    mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu

    masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid

     berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat

    atau menolak terjadinya kemudharatan. Misalnya dalam kasus sumur yang

    kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur tersebut sulit dibersihkan

    dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang

    sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah

    mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis

    tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu,

    karena keadaan dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan

    kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    17/34

    13

    Ikhtilaf Para Ulama Tentang Istihsan

    Menyikapi penggunaan  Istihsan kemudian menjadi masalah yang

    diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan

     besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode

    ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang menampilkan istihsan sebagai

    salah satu dalil dalam istinbath hukum, mendapat serangan dan kritikan yang

    hebat dari lawan-lawan yang menolak istihsan.10 Berikut ini adalah penjelasan

    tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.

    a.  Kelompok Yang Menerima Istihsan sebagai Dalil Hukum 

     Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah.

    Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Adapun yang

    menjadikan alasan bagi kelompok ini, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil

    hukum syara dan merupakan hujjah dalam istinbath hukum adalah:

    1.  Berdasarkan penelitian terhadap berbagai kasus dan penetapan hukumnya

    ternyata berlawanan dengan ketentuan qiyas atau ketentuan umum, dimana

    kadang-kadang dalam penerapannya terhadap sebagian kasus tersebut justru

     bisa menghilangkan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia, karena

    kemaslahatan itu merupakan peristiwa khusus. Maka, sangat tepat jika

    membuka jalan seseorang mujtahid untuk memalingkan suatu kasus yang

    seharusnya berdasarkan qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum

    yang lain agar dapat merealisir maslahat dan menolak mafsadat.11 

    2.  Kelompok ini menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dalam mempertahankan

    istihsan sebagai hujjah, yang mana ayat-ayat tersebut mengacu kepada

    mengangkat kesulitan dan kesempitan dari umat manusia. Menggunakan

    dalil sunnah sebagai berikut:

    .رو ه حمد بن حن حسما ر ه لمسلمون حسنا فهو عند هللا

     10 Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam,

    Jakarta: Bulan Bintang, jilid I, cet 1, 1997, hlm. 16111

     Abdul Wahab Khallaf, “Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih” , Dar al-Qalam, cet. III,1972, hlm.77

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    18/34

    14

    Artinya: “Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di

    sisi Allah “.(HR. Ahmad Ibn Hanbal) 

    Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat

    (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari

    sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang

    menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan

    keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara’. Karena

    apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak

    akan tercapai. Misalnya, membuka aurat untuk keperluan pengobatan dalam rangka

    mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila kias yang diamalkan maka aurat

    tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan tidak bisa

    dilakukan, dan ini berarti menimbulkan kesulitan.

    Selain itu Ia juga berpendapat bahwa al-istihsan adalah mengambil

    maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh)

    dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas

     bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu

    dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering

    dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang

    dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan

    selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak

    merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun

     bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata,

    melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya

     berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah al-mursalah

    b.  Kelompok Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil Hukum 

     Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat

    ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.Para pendukung pendapat ini

    melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:

    1.  Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang

    dilandaskan pada keduanya. Sementara  Istihsan  bukan salah dari hal

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    19/34

    15

    tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan

    sebuah hukum.

    2.  Firman Allah:

       يٱاعط    ٱو وٱسلو طعاٱ� اا

        فدوه   ز  ت ن �ن  تؤن ٱسلوٱ�ف

     و

     ٱ

    خ

    ٱ

      خ

     ك

    ح و

     

    تأو

    59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah

     Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan

     pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)

    dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

    hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

    akibatnya

    Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya

    dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam

    upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat

    diterima.

    1.  Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan

    akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka

    tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi

    lebih cerdas dari pada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh

    siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan

    dengan logikanya sendiri.

    2.  Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu

    sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman

    dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama’.

    3.  Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al

    Qur’an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    20/34

    16

    4.  Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak

    menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-

    Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu!

    Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah…’ ….”

    Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah

     Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka

    masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?

    Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita

    akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah

    satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal

    dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas.

    Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash

    yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas  Istihsan

    tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).

    Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama

    yang menolak  Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka

    menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang

    mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil

    olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan

     penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang

    harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya

    hanya menolak  Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa

    dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    21/34

    17

    B.  Istishab

    Definisi Istishab

    Istishab menurut etimologi berasal dari kata istishaba  dalam sighat istif’al 

    فعال ) س )  yang bermakna: ه حَّ

    لص ر مر س . Kalau kata ه حَّ

    لص diartikan

    dengan sahabat atau teman dan ر مر س  diartikan selalu atau terus menerus,

    maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai.

    Atau diartikan dengan minta bersahabat , atau membandingkan sesuatu dan

    mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu

     yang ada hubungannya11F12. Dan disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata

    shuhbah artinya “menemani atau menyerta”, dalam artian menurut kebersamaan

    atau “terus menerusnya bersama”sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli

     bahasa dengan mengatakan:

    ه صح س ا فقد  زم ش     شي

    ُّ

    كل

     Artinya: “Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau

    menyertainya”.

    Dari pengertian yang lain, menurut bahasa perkataan Istishab diambil

    dari perkataan “Istishhabtu maa kaana fil maadhi,” artinya “saya membawa

    serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.

    Menurut Istilah Usul,  Istishhab  ialah melanjutkan berlakunya hukum

    yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil

    lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain;

    Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap

    soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya penyertaan tersebut.

    Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu hukum pada sesuatu

    waktu yang telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya,

    maka hukum tersebut tetap berlaku, tanpa diragukan lagi. Seperti firman Allah:

    12

     Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2005. hlm.142

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    22/34

    18

    “Jangan kamu terima persaksian mereka selamanya.”. Akan tetapi kalau dalil

    tersebut hanya menetapkan adanya hukum saja, pada waktu yang telah lampau,

    tanpa menyinggung-nyinggung tetap berlakunya, maka apakah hukum tersebut

    dianggap telah berlaku atau tidak?Sedang menurut istilah ditemukan beberapa

    redaksi dari para ahli yang mendefinisikannya, diantaranya adalah:

    Imam al- Asnawy:

    ع

     

    ا 

     

    ا

    َّ

    ل مان

    َّ

    ل ىف

     

    م

     

    ون ت ي

     

    حلكم

     

    عن

     

    ارة ع

     

    صحاب س

     

    َّ

    ىفن

     

    وته ب ث

     

    ى

     

    ُّريغَّت ل ل

    ِ

    ح مايص

     

    وجود

     

    عد

     

    ألوَّل لَّمان

    “Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan

    sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan

    dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut

    Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:

    “Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada

    yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.

    Dari pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa

    Arab ialah: pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama`

    (ahli) ushul fiqih  Istishab  menurut istilah adalah menetapkan hukum atas

    sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang

    menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang

    telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga

    ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya Adapun definisi Istishab

    menurut Al Ghazali adalah berpegang pada dalil akal atau syara`, bukan

    didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan

     pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah

    hukum yang telah ada. Atau tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari

    suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut,

    atau menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang

    mengubah ketetapan hukum itu.

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    23/34

    19

    Menurut Ibnu Qayyim, istishab  adalah menyatakan tetap berlakunya

    hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya

    hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy

    Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang

    lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang

    Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar

     bahwa istishab adalah:

    1.  Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap

     berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.

    Contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang yang mulanya ada wudhu,

    kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah

    mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi begini,

    hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was

    yang datang belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula.

    2.  Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada

    masa yang lalu

    Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara

    laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di

    tempat berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B

    ingin kawin dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini B belum dapat kawin

    dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada

     perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.13 

    Macam-Macam Istishab

    Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima

    macam.14 Yaitu:

    1.  Istishab hukm al- ibahah al ashliyah.  Maksudnya, menetapkan hukum

    sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil

    yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang

    13 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, loc.cit. 14

      Al-Banani, Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam’i al-Jawami . Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, 1983, hlm. 284

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    24/34

    20

    ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak

    menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada

     bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.

    2.  Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan

     berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i.

    Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya

     peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang

    menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi

    kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian

    menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang

    diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil 

    yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap

     berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.

    3.  Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum

    datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama

    tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatu nash  yang

    umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu

    nash  lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan  

    takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan

    sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalil  yang khusus.

    Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat

    sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183)

    selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.

    4. 

    Istishab An-Nashshi  ( Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada

    kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab

    istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu

     pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran

    tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil

    (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash,

    yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan

     pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?, padahal

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    25/34

    21

    kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia

     berada disini kemarin.

    5.  Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau

    tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga

    diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali

    yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang.

    Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang

    dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh:

    Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air.

    Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu

    ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada

    keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang

    menunjukkan batalnya penetapan tersebut.

    Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam

    Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab

    ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.15 

    Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak

     bisa dijadikan dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau

    menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama

     pada masa sekarang dan yang akan datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya

    menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa

    yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini sama

    sekali tidak dibolehkan dalam syara’.

    Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin,

    istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada

    sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan

    datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka

    seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada,

    mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan.

    15 Wahbah al-Zuhaili, “Ushul al-Fiqh al-Islami” , Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, 1986, hlm.862-863

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    26/34

    22

    Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan

     bahwa hukum itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus

     berpegang kepada hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya

    dalil yang membatalkan hukum itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada

    kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan

    ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk

    mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang

    membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru

    muncul.

    Ketiga, ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah

     berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk

    menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang

    mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,

    selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni,

    maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga

    keras belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya

    syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras

     berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    27/34

    23

    C.  Mashlahah Mursalah

    Definisi Mashlahah Mursalah

    Mashlahah adalah kalimat isim yang berbentuk masdar dan Martina

    sama dengan kata al-shulhu16  yang artinya sinonim dengan kata manfa’at, yaitu

    kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.

    Sedangkan menurut istilah, para ahli usul berbeda-beda redaksi dalam

    mendefinisikannya, diantarnya adalah:

    Menurut Imam al-Ghazali: Pada dasarnya mashlahah adalah meraih

    kemanfaatan dan menolak kemadlaratan17  

    Menurut al-Raziy:  Mashlahah adalah bentuk perbuatan yang

    bermanfaat yang telah diperintahkan oleh syar’i (Allah) kepada hamba-Nya

    untuk memelihara agama, jiwa akal, keturunan, dan harta benda mereka18  

    Menurut Wahbah Az-Zuhaili:

     Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara menolak

    segala sesuatu yang dapat merusakkan makhluk 19 

    Dari ketiga definisi tersebut dapat difahami bahwa ketiganya memiliki

    tujuan yang sama, yaitu memelihara tercapainya tujuan syara’, yaitu menolak

    mudlharat dan meraih Mashlahah.

    Jadi, dapat dikatakan bahwa  Mashlahah Mursalah adalah suatu

    kemaslahatan yang tidak memiliki dasar sebagai dalilnya dan juga tidak ada

    dasar sebagai dalil yang membenarkannya.20 Oleh sebab itu, jika ditemukan

    suatu kasus yang ketentuan hukumnya tidak ada dan tidak ada pula ‘illat yang

    dapat dikeluarkan dari syara’ yang menentukan kepastian hukum dari kasus

    tersebut, lalu ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, dalam artian

    suatu hukum yang berdasarkan pada pemeliharaan kemadlorotan atau

    16 Louis Ma'luf al-Yassu'i, Kamus al-Munjid, hlm. 43217 Al-Ghazaliy, al-Mustashfa min ‘Ilmil Ushul , Juz I, Beirut: Mu’assisah Ar-Risalah, 1997, hlm. 13918 Al-Raziy, al-Mahshul , Juz: II, Mesir: Maktabah Mushtafa al-Babiy al-Halibiy, hlm. 43419 Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, Ushul . . ., Op.cit , hlm. 75720

     Al-Syathibiy, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushil al-Syari’ah, Juz: II, Beirut: Maktabah Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah, hlm. 39

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    28/34

    24

    menyatakan bahwa sesuatu itu bermanfaat, maka kasus seperti itu dikenal

    dengan Mashlahah mursalah.

    Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah

    (a) Mashlahah al-mursalah harus mengandung kemaslahatan yang

    hakiki (sejati), bukan hanya berdasarkan wahamiyah (perkiraan),

    kemaslahatan yang hakiki adalah kemaslahatan yang dapat

    membawa manfaat dan dapat menolak kemudharatan.

    (b) Mashlahah al-Mursalah harus mengandung kemaslahatan umum.

    (c) Mashlahah al-Mursalah harus mengandung kemaslahatan yang tidak

     bertentangan dengan dasar yang telah ditetapkan.

    Klasifikasi Mashlahah

    Para ahli ushul bersepakat untuk mengatakan bahwa “mashlahah” dapat

    dibagi menjadi beberapa bagian menurut sudut pandang masing masing, baik

    dari sisi eksistensinya maupun substansinya, yaitu:

    Dari segi eksistensinya, Mahlahah terbagi menjadi tiga, yaitu:

    a. 

    Mashlahah Mu’tabarahYaitu mashlahah yang keberadaannya diperhitungkan oleh syara’,

    seperti mashlahah yang terkandung dalam pensyariatan hukum

    Qisas bagi pembunuhan dengan sengaja, sebagai simbol

     pemeliharaan jiwa manusia21 Bentuk mashlahah ini oleh sebagian

    ‘ulama dimasukkan dalam kategori analogis (Qiyas), misalnya

    hukum keharaman semua bentuk minuman yang memabukkan

    dengan dianalogikan pada khamar  yang keharamannya telah dinash

    oleh al-Qur’an.22 

     b. 

    Mashlahah Mulghah

    Yaitu mashlahah yang dibunag lantaran bertentangan dengan syara’

    atau berarti mashlahah yang lemah dan bertentangan dengan

    mashlahah yang lebih utama. Bentuk ini lazimnya berhadapan

    21 Al-Syathibiy, Abu Ishaq, al-I’tisham, Juz: II, Beirut: Maktabah Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hlm. 11122

     Musa bin Ibrahim al-Ibrahimy, al-Madkhal Ila Ushil al-Fiqh, Beirut: Maktabah Dar al-Fikr al-Islami,1992, hlm. 70

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    29/34

    25

    secara kontradiktif dengan bunyi Nash, baik al-Qur’an maupun

    hadis, seperti:

    •  Status mashlahah yang terkandung dalam hak seorang istri

    menjatuhkan talak kepada suami, tetapi hal ini tidak diakui

    oleh syra’, sebab hak menjatuhkan tala hanya dimiliki oleh

    seorang suami dan putusan ini dimungkinkan karena

     pertimbangan psikologis kemanusiaan.

    •  Putusan seorang Raja tentang “denda kafarah” berpuasa dua

     bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda dari denda

    memerdekakan budak bagi mereka yang melakukan

    hubungan seksual dengan istrinya di siang hari bulan

    Ramadhan. Bentuk mashlahah di sini, seorang raja akan

    dengan mudah dapat membayarnya, sehingga membuat ia

     berpindah pada denda berikutnya, yaitu berpuasa dua bulan

     berturut-turut.23 

    c.  Mashlahah Musrsalah

    Yaitu mashlahah yang didiamkan oleh syara’ dalam wujud tidak

    adanya pengakuan maupun pembatalan secara eksplisit24  atau

    kemaslahatan yang keberadaannya tidak disinggung-singgung oleh

    syara’ atau didiamkan, seperti pembukuan al-Qur’an menjadi satu

    mushaf , sistem penjara bagi pelaku tindak pidana, dsb.25 

    Dari sisi muatan substansinya, mashlahah dibagi menjadi tiga, yaitu:

    a.  Mashlahah Dlaluriyyah (kepentingan primer)

    Definisi dari Ad-Daruriyat secara terminologi ialah segala

    sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia baik

    secara duniawi maupun secara diniyah, dalam arti apabila Ad-

    Daruriyat itu tidak berdiri maka rusaklah kehidupan manusia di

    23 Al-Syathibi, hal-I’tisham . . ., Op.cit, hlm. 11324

     Khalaf, Ushul . . . , Op.Cit, hlm. 8425 Al-Raisunni, Nadhariyyah al-Maqashid, Kairo: Mathba’ah al-Babiy al-Halabiy, hlm. 268 

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    30/34

    26

    dunia ini dan hilanglah kenikmatan serta atas manusia akan

    ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti.26 

     b.  Mashlahah Hajiyah (kepentingan sekunder)

    Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila

    kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam

    keselamatan, namun akan mengalami kesulitan.Untuk

    menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum

    rukhsa (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk

    meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa

    rasa tertekan dan terkekang.27  Ini merupakan penyangga dan

     penyempurna kepentingan primer.28 

    c.  Mashlahah Tahsiniyah (kepentingan tersier)

    Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna(tersier). Tingkat

    kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan

    ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak pula

    menimbulkan kesulitan.29 Yaitu mengambil apa apa yang sesuai

    dengan apa yang terbaik dari kebiasaan dan menghindari cara-

    cara yang tidak disenangi oleh orang baik dan bijak. Ini

    merupakan salah satu penopang dari Hajiyah.

    Akan tetapi, jika dilihat dari segi akomodasinya dengan komunitas lingkungan,

    mashlahah terbagi menjadi dua, yaitu:

    a. 

    Mashlahah yang dapat beradaptasi dengan perubahan ruang,

    waktu, dan lingkungan sosial, sebab objek utaanya adalah

    mua’amalah dan hukum hukum kebiasaan.

    26 M. Hasbi Ash-Shiddiqiey, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 18727 Yusuf Al – Qaraddhawi, op.cit , hlm.79.28

     Wahbah, Ushul . . ., Op.cit, Juz:II, hlm. 755.29 Yusuf Al – Qaraddhawi, op.cit , hlm.80

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    31/34

    27

     b.  Mashlahah yang berwatak Kosta. Hal ini tidak dapat dirubah

    hanya karena perubahan lingkungan, sebab hanya berkaitan

    dengan persoaan-persoalan ibadah mahdlah.

    Kehujjahan Mashlahah Mursalah

    Dalam menyikapi persoalan kehujanan teori Mashlahah Mursalah, para

    aji hukum Islam berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu

    masing-masing, yaitu:

    •  Kelompok Syafi’iyyah, Hanafiyyah, sebagian Malikiyyah dan

    kelompok ad-Dhahiriy berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidakdapat dijadikan sebagai hujjah untuk beristinbath hukum syar’i

    •  Sebagian kelompok Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa

    Mahlahah Mursalah dapat dijadikan sebagai hujjah dengan syarat harus

    memiliki semua persyaratan yang sudah ditentukan oleh para ahli

    hukum Islam, seperti Imam Malik sendiri, dengan alasan tujuan Allah

    mengutus seorang Rasul itu adalah untuk membimbing umat kepada

    kemaslahatan.

    30

     Dari kedua pandangan tersebut, al-Qarafiy berpendapat bahwa pada

    dasarnya semua mazhab telah berhujjah dengan menggunakan teori Mashlahah

    Mursalah, sebab mereka sudah mengaplikasikan teori Qiyas, bahkan mereka

    sudah melakukan pembedaan antara satu dengan yang lain lantaran adanya

    ketentuan-ketntuan hukum yang mengikat.

    Contoh kasus Mashlahah Mursalah

    a.  Mensyaratkan adanya surat kawin,untuk syahnya gugatan dalam soal

     perkawinan. 

     b.  Menulis huruf al-qur’an kepada huruf latin. 

    c.  Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya

     barang,karena ada gelombang besar yang menjadikan kapal oleng. Demi

    kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya. 

    30 Wahbah, Ushul . . ., Op.cit, Juz:II, hlm. 762

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    32/34

    28

    BAB III PENUTUP

    Kesimpulan

    Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

    •  Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam

    dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal

    al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan

    lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu

    dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata

    lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke

    qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at

    diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu

    ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi

    harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan

     berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata,

    melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang

    kandungannya berbeda.

    •  Berbagai pendefinisian yang disebutkan di kalangan para ahli dan

     beberapa pendapat yang terjadi di kalangan para ulama’ terhadap

    istishab, kontradiksi terhadap polemik kehujjaannya atas paradigma

    dalil hukumnya maka istishab itu tetap memberlakukan ketetapan

    hukum yang telah ditetapkan sesuatu yang telah ada sejak awal, sampai

    ditemukan adanya ketetapan hukum lain yang merubahnya, sebab

    istishab merupakan jalan keluar terakhir dalam berfatwa, sebabseseorang mufti jika ditanya tentang sesuatu khusus yang sedang terjadi

    maka ia diharuskan untuk memberikan putusan dengan menggunakan

    al-Qur’an, lalu al-Hadist, ijma’ dan qiyas.

    •  akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah

    syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah

    mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik serta Imam Ahmad Bin

    Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak pada

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    33/34

    29

    syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa

    nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan

    kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan

    golongan yang diwakili madzhab Hanafi, Syafi’i dan Madzhab Zahiri

    menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang

    sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan

    Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung

    maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan

    mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun

    menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal ini akan terus

     berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang

    sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini

    tidak lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan

     pendekatan maslahah mursalah.

  • 8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati

    34/34

    DAFTAR PUSTAKA

    al-Banani. (1983). Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala atn Jam'i al-

     Jawami (Vol. II). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

    al-Ghazaliy. (1997). al-Mustashfa min 'Ilmil Ushul (Vol. I). Beirut: Mu'assisah ar-

    Risalah.

    al-Ibrahimiy, M. b. (1992). Al-Maskhal Ila Ushil al-Fiqh. Beirut: Maktabah Dar

    al-Fikr al-Islami.

    al-Raisunni. (t.thn.). Nadhariyyah al-Maqashid. Kairo: Mathba'ah al-Babiy al-

    Halabiy.

    al-Raziy. (t.thn.). al-Mashlul (Vol. II). Mesir: Maktabah Musthafa al-Babiy al-Halibiy.

    Al-Syarahsi. (1993). Ushul al-Syarahsi (Vol. II). Beirut: Dar al-Kutub al-

    Ilmiyyah.

    al-Syathibiy. (t.thn.). al-I'tisham. Beirut: Maktabah Dar al-Kutub al-'Ilmiyah.

    al-Syatibi, A. I. (1975). al-Muwaffaqat fi ushul al-Syariah (Vol. IV). Beirut: Dar

    al-Makrifah.

    al-Yassu, L. M. (t.thn.). Kamus al-Munjid. 

    al-Zuhaili, W. (1986). Ushul al-Fiqh al-Islami (Vol. II). Beirut: Dar al-Fikr.

    as-Shiddiqiey, H. (1997). Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam

     Membina Hukum Islam (I ed., Vol. I). Jakarta: Bulan Bintang.

    As-Shiddiqiey, M. H. (1975). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

    Jumantoro, T., & Amin, S. M. (2005). Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.

    Khalaf, A. W. (1991). Ilmu Ushul al-Fiqh (VIII ed.). Maktabah al-Dakwah al-

    Islamiyyah.

    Khallaf, A. W. (1972). Mashadir al-Tasyri' al-Islami Fima La Nassafih (III ed.).(D. al-Qalam, Penyunt.) Dar al-Qalam.

    Rabuh, M. a.-S. (1980). Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyyin. 

    Mesir: Matba' al-Sa'adah.

    Zahrah, M. A. (1999). Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.

    Zain, M. M. (2008). Ilmu Ushul Fiqh. Jombang: Darul Hikmah.