metode penerjemahan fuad kauma terhadap kitab...
TRANSCRIPT
METODE PENERJEMAHAN FUAD KAUMA
TERHADAP KITAB NASHAIHUL IBAD KARYA
SYEIKH NAWAWI AL BANTANI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh :
RIFYAL MAHMUDIN
1110024000021
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M/1436 H
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah
dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya bukan hasil karya asli atau
jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah.
Tangerang, 05 Januari 2015
Rifyal Mahmudin NIM: 1110024000021
METODE PENERJEMAHAN FUAD KAUMA
TERHADAP KITAB NASHAIHUL IBAD KARYA
SYEIKH NAWAWI AL BANTANI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh :
RIFYAL MAHMUDIN
1110024000021
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA. Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag.
Nip: 195512061992031003 Nip: 195507031986031002
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M/1436 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Metode Penerjemahan Fuad Kauma Terhadap Kitab
Nashaihul Ibad Karya Syeikh Nawawi Al Bantani yang ditulis oleh RIFYAL
MAHMUDIN, NIM 1110024000021. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah pada tanggal 06 Januari
2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sastra (S.S.) pada program studi Tarjamah.
Ciputat, 06 Januari 2015
Sidang Munaqasyah
TIM PENGUJI TANDA TANGAN
Dr.Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum ( )
(Ketua Sidang) Tgl.
Umi Kulsum, MA ( )
(Sekretaris Sidang) Tgl.
Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA ( )
(Pembimbing 1) Tgl.
Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag ( )
(Pembimbing 2) Tgl.
.
Dr. Akhmad Saehudin, M.Ag ( )
(Penguji 1) Tgl.
Karlina Helmanita, M.Ag ( )
(Penguji 2) Tgl.
i
ABSTRAK
RIFYAL MAHMUDIN
Metode Penerjemahan Fuad Kauma Terhadap Kitab Nashaihul Ibad Karya
Syeikh Nawawi Al Bantani
Di zaman sekarang ini banyak sekali buku-buku agama yang di
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kegiatan menerjemahkan mempunyai
manfaat yang besar bagi pengembangan pengetahuan serta pertukaran kebudayaan
antar bangsa. Kitab Nashaihul Ibad merupakan kumpulan nasehat-nasehat yang
bersandar dari Rasulullah, para sahabat, dan para ulama yang cukup dalam kajian
tasawufnya yang ditulis oleh Syeikh Nawawi Al Bantani yang kemudian di
terjemahkan oleh Fuad Kauma ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini sangat
penting untuk dijadikan sebagai acuan hidup manusia menyongsong kehidupan
akhirat.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana metode yang digunakan
penerjemah dalam menerjemahkan buku ini. Melalui analisis diketahui bahwa
hasil terjemahan yang diteliti adalah menggunakan terjemahan harfiyah
(terjemahan yang setia terhadap teks sumber). Kesetiaan digambarkan oleh
ketaatan penerjemah terhadap tata bahasa teks sumber, bentuk frase, bentuk
kalimat dan lain sebagainya.
Kebanyakan penerjemah memilih metode ini, dikarenakan buku yang
diterjemahkan berhubungan dengan masalah keagamaan. Jika penerjemahannya
dilakukan terlalu bebas, bisa terjadi penyimpangan makna, karena mungkin ada
kata-kata yang dihilangkan atau dibuang pada saat menerjemahkan. Padahal kata-
kata itu, kemungkinan merupakan maksud atau pesan yang ingin disampaikan
oleh penulis bahasa sumber.
ii
PRAKATA
Puji Syukur kepada Allah SWT. Yang dengan izin serta karuniaNya,
sehingga penulisan skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra
Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta ini dapat diselesaikan.
Shalawat serta salam tercurah limpahkan kepada junjungan besar baginda
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan hingga
zaman terang benderang, yang telah mengenalkan kebenaran kepada kita sebagai
umatnya, sehingga mampu untuk mengetahui apa itu kebathilan.
Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin haturkan terima kasih kepada:
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Prof. Dr. Oman Faturrahman, M. Hum selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora, Dr. Moch. Syarif Hidayatullah M. Hum selaku Ketua Jurusan
Tarjamah, Umi Kulsum MA selaku Sekretaris Jurusan Tarjamah, dan kepada
seluruh dosen-dosen yang telah mendidik serta memberikan berbagai macam ilmu
dan pengetahuan kepada penulis. Semoga segala ilmu yang telah diberikan dapat
bermanfaat bagi umat khususnya bagi penulis sendiri.
Secara khusus penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA dan Drs. Ahmad Syatibi, M. Ag
selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya
serta kesabarannya untuk membaca, mengoreksi, serta memotivasi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, kepada Dr. Akhmad Saehudin M.Ag dan Karlina
iii
Helmanita, M.Ag selaku dosen penguji skripsi yang senantiasa menyempurnakan
dalam penulisan skripsi ini serta kepada Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag dan Dr.
Akhmad Saehudin M.Ag selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah
mendidik dan mengarahkan penulis selama menjadi mahasiswa.
Kepada orang tua tercinta, Machfudoh dan Muhaemin dua sosok yang
paling berjasa selama ini. Terima kasih ibu dan bapak atas do‟a dan motivasi yang
tiada hentinya yang telah kalian berikan, serta kakak dan adik-adik tercinta
Rofiatul Mahmudah, Rifki Fahrudin dan Rafli Zaenal Mutaqin yang selalu
menghibur dan menyemangati penulis sampai penulisan skripsi ini selesai.
Kepada kawan seperjuanganku Sri Mustika Mutiara , Wahyu Hidayat,
Alva Dino Syukra, terima kasih kalian sudah menemaniku di perpustakaan sampai
skripsi ini benar-benar selesai walaupun selalu saja banyak godaan yang harus kita
tempuh terlebih godaan segarnya sop duren.
Kepada teman – teman jurusan Tarjamah angkatan 2010 penulis haturkan
terima kasih khususnya Ahmad Syafaat, Zulfikar Fadhil, Kaula Fahmi, Arif
Azami, Syarif Hidayat, Uwes Al Kurni, Syafa‟at Maulana, Ahmad Farhan, Holis,
Halimah, Humairoh, Eva Fauziah, Nia Damayanti, Makhfiyah, Imam, Asiah,
Novi, Hany, Rosyid, Agus, Lukman, Hanifah, Lily. Terima kasih banyak kawan
atas segala motivasi, waktu, serta ide-ide yang diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Kepada teman-teman Sabil 2011 penulis uacapkan terima kasih khususnya
kepada Ahmad Nugraha, Ari Armadi, dan yang lainnya yang penulis tidak bisa
sebutkan satu persatu. Terimakasih kalianlah yang memberikan siraman rohani
iv
dan jasmani ketika penulis sedang galau. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih
kepada sahabatku Lukmanul Hakim dan Ray Syahri Hikmahtiar yang sudah
meminjamkan buku terjemahan kitab yang penulis teliti serta selalu meluangkan
waktunya untuk penulis ketika penulis membutuhkan semangat untuk sekedar
minum, makan sambil berbincang.
Yang terakhir untuk Ciputatku kota nan indah penuh dengan sensasi dan
kejutan. Disini lah penulis menemukan arti kehidupan yang sebenarnya. “Dan
Ciputat bukan hanya masalah teritorial dan letak geografis semata. lebih dari itu,
melibatkan perasaan”.
Semoga skripsi yang masih banyak kekurangan ini dapat bermanfaat untuk
kita semua, khususnya bagi penulis sendiri serta orang-orang yang berkecimpung
dalam dunia penerjemahan.
Tangerang, 05 Januari 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………..…….……………. i
PRAKATA …………………………………………………..…………………. ii
DAFTAR ISI…………………………………………….…….………………... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ……………….…………….. viii
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah ……………………………………………. 1
B Batasan dan Rumusan Masalah …………………………………….. 6
C Tujuan Penelitian ……........................………………………..…… 6
D Tinjauan Pustaka ………………………..……………………..…… 7
E Metodologi Penelitian ……………………………………….…….. 7
F Sistematika Penulisan ………………………………………………. 9
BAB II KERANGKA TEORI
A. Gambaran Umum Penerjemahan ……………………………...…..…. 10
1. Definisi Penerjemahan………………….………………………….. 10
2. Proses Penerjemahan Secara Global…………………………..…… 12
3. Penilaian Terjemahan ………….............………………..………… 14
4. Unsur Linguistik dan Non Linguistik Penerjemahan ……………... 17
5. Jenis Penerjemah ……………………………………...………...… 19
B. Metode Penerjemahan …………………………......................………. 21
1. Penekanan Pada Bahasa Sumber…......................................……… 21
2. Penekanan Pada Bahasa Sasaran …............………………............ 25
vi
BAB III GAMBARAN UMUM DAN GAMBARAN METODE
TERJEMAHAN KITAB NASHAIHUL IBAD, BIOGRAFI SYEIKH
NAWAWI AL-BANTANI DAN BIOGRAFI FUAD KAUMA
A. Gambaran Umum dan Gambaran Metode Terjemahan Kitab
Nashaihul Ibad …………....……...............................................…...... 30
B. Biografi Syeikh Nawawi Al-Bantani…...................………………….. 33
1. Kelahiran dan Perkembangannya …………………..……………... 33
2. Riwayat Pendidikan dan Pengajarannya …………………..……… 35
3. Posisi Strategis Syeikh Nawawi Bagi Dunia dan Indonesia….….... 38
4. Karya-karyanya …………………………………………………… 41
C. Biografi Fuad Kauma ............................................................................ 48
1. Kelahiran dan Perkembangannya...................................................... 48
2. Karya Terjemahan Fuad kauma........................................................ 49
3. Buku Karya Fuad Kauma.................................................................. 50
4. Penerbit yang Pernah Menerbitkan Karyanya................................... 51
BAB IV ANALISIS TERHADAP TERJEMAHAN KITAB NASHAIHUL
IBAD
A. Analisis Metode Hasil Terjemahan …………………………….....….. 52
B. Analisis Bentuk .………..…………………………………......…....…. 64
C. Analisis Makna ……………………………………………….…..…... 68
a. Semantik Leksikal................................................................................ 69
vii
b. Semantik Gramatikal ……………………………………….....……... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………... 75
B. Saran.............................. ………………………………….………….. 76
DAFTAR PUSTAKA …………………………..……….………..……………… 78
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini merujuk pada
pedoman transliterasi arab-latin yang ditetapkan berdasarkan keputusan dari
Kementrian Agama Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987. Berikut
pedoman transliterasi yang digunakan tersebut.
1. Konsonan
No Huruf Arab Huruf Latin No Huruf Arab Huruf Latin
ṭ ط Tak berlambang 16 ا 1
ẓ ظ B 17 ب 2
„ ع T 18 ت 3
G غ Ś 19 ث 4
F ف J 20 ج 5
ḥ ح 6 Q ق 21
K ك kh 22 خ 7
L ل D 23 د 8
M م Ż 24 ذ 9
N ن R 25 ر 10
H هـ Z 26 ز 11
W و S 27 س 12
ء Sy 28 ش 13
ṣ ص 14 Y ي 29
ḍ ض 15
ix
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab sama seperti vokal pada bahasa Indonesia. Vokal
bahasa Arab terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong.
a. Vokal Tunggal (monoftong)
Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harokat yang
transliterasinya dapat diuraikan sebagai berikut:
TANDA NAMA HURUF
LATIN NAMA
Fathah a A ــــ
Kasrah i I ــــ
Dhammah u U ـــــ
Contoh:
sabbuurah : سبورة kataba : كتـب
yadzhabu : يذهـب mimsahah : ممسحت
b. Vokal Rangkap (diftong)
Vokal rangkap bahasa Arab lambangnya berupa gabungan antara harokat
dengan huruf, transliterasinya sebagai berikut:
TANDA NAMA HURUF LATIN NAMA
Fathah dengan Ya ai a dan i ــــ ي
Fathah dengan Wau au a dan u ــــ و
Contoh:
kaifa : كيف
haula : هول
x
3. Maddah (Vokal Panjang)
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harokat dan huruf,
transliterasinya adalah sebagai berikut:
TANDA NAMA HURUF LATIN NAMA
Fathah dengan Alif A Ŷ ــــ ا
Kasrah dengan Ya I I ــــ ي
Dhammah dengan Wau U U ـــــ و
Contoh:
yaquulu : يقول faa’ala : فاعـل
kariim : كزيم
4. Ta’ marbuthah
Ada dua macam transliterasi untuk ta‟ marbuthah, yaitu:
a. Ta‟ marbuthah hidup
Ta‟ marbuthah yang hidup atau yang mendapat harokat fathah, kasrah,
dan dhammah, maka transliterasinya adalah (t).
b. Ta‟ marbuthah mati
Ta‟ marbuthah yang mati atau mendapat harokat sukun dibelakangnya,
transliterasinya adalah (h).
Contoh :
thalhah : طلحت
xi
c. Jika pada kata terakhir dengan ta‟ marbuthah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang “al” serta bacaan yang kedua terpisah, maka
ta‟ marbuthah itu ditransliterasikan menjadi (h).
Contoh:
raudhatul jannah : روضت الجنت
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid dalam sistem tulisan bahasa Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda syaddah. Dalam transliterasi tanda syaddah dilambangkan
dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
rabbanaa : ربـنا
rabbi : ربى
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem bahasa Arab dilambangkan dengan huruf “al”
baik diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qomariyah. Penulisannya ditulis
secara terpisah dari kata yang mengikutinya dan hubungkan dengan tanda (-).
Contoh:
Al-rajulu : الزجل
Al-ma’in : المائن
xii
7. Hamzah
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, hamzah ditransliterasikan
dengan apostrof. Tetapi itu hanya berlaku bagi hamzah yang diletaknya ditengah
dan diakhir kata. Apabila letaknya diawal kata, maka hamzah tidak
dilambangkan. Karena dalam tulisan arab berupa alif.
Contoh:
syai’un : شـيئ
umirtu : أمزث
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar
belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Penerjemahan adalah upaya
mengalihkan pesan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Oleh karena itu, kita
tidak dapat melihat terjemahan sebagai sekedar upaya menggantikan teks
dalam satu bahasa ke dalam teks bahasa yang lain. Jadi penerjemahan adalah
suatu upaya mengungkapkan kembali pesan suatu bahasa ke dalam bahasa
yang lain.1
Tak salah jika kegiatan penerjemahan didedikasikan dalam rangka alih
ilmu pengetahuan yang termaktub dalam bahasa asing ke dalam bahasa target.
Pendek kata, alih bahasa berarti alih ilmu pengetahuan. Dan ini penting bagi
kemajuan, terlebih lagi dalam era globalisasi yang ditandai dengan akses
informasi kian terbuka. Seiring dengan ini, rasa ingin tahu suatu bangsa akan
budaya bangsa lain juga mengemuka. Penerjemahan bias menjadi kunci untuk
membuka ruang komunikasi antar bangsa yang lebih luas. Sebab, bahasa asing
masih menjadi a barrier to international communication „sekat bagi
komunikasi antar bangsa‟.2
1 Frans Sayogi, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia (Jakarta :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), 2008. h. 7. 2 M. Zaka Al Farizi, M. Hum, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (bandung : PT
Remaja Rosdakarya 2011) h. 5.
2
Dua buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda
berdasarkan dua buah patokan, yaitu patokan linguistik dan patokan politis.
Secara linguistik dua buah tuturan dianggap sebagai dua buah bahasa
berbeda, kalau anggota-anggota dari dua masyarakat tuturan itu tidak saling
mengerti. Misalnya, seorang penduduk asli dari lereng gunung Slamet Jawa
Tengah tidak akan mengerti tuturan penduduk asli yang datang dari gunung
Galunggung Jawa Barat karena bahasa yang digunakan di lereng gunung
slamet dan yang digunakan di lereng gunung Galunggung sangat berbeda,
baik kosa katanya maupun fonologinya. Sebaliknya kalau si penduduk dari
lereng gunung Slamet tadi berjumpa dengan seorang penduduk dari tepi
bengawan solo, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, dia akan dengan
mudah dapat berkomunikasi. Mengapa? Karena perbedaan yang terdapat di
antara bahasa di lereng gunung Slamet dan di tepi Bengawan Solo itu hanya
bersifat dialektis saja.
Oleh karena itu, meskipun bahasa tidak pernah lepas dari manusia, dalam
arti, tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena
“rumitnya” menentukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja
dari bahasa yang lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti
berapa jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Begitu juga dengan jumlah
bahasa yang ada di Indonesia.3
Transmisi pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia di era sekarang ini
memang melalui berbagai transmisi. Salah satu jalur transmisi yang paling
3 Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007) h. 32.
3
domain sejak paruh kedua sejak abad kedua puluh adalah jalur penerjemahan
buku-buku Timur Tengah berbahasa Arab. Namun demikian, fenomena
penerjemahan buku berbahasa Arab di Indonesia tidak berlangsung secara
linear. Artinya ragam atau metode penerjemahan, bahasa sasaran yang
digunakan, tema buku yang diterjemahkan, penerbit buku terjemahan maupun
distribusi dan sasaran pembaca buku terjemahan menunjukan pergeseran dari
waktu ke waktu. Pergeseran-pergeseran tersebut tentu menarik untuk dikaji
secara mendalam guna mengetahui bagaimana sesungguhnya dinamika
intelektualisme Islam di Indonesia yang tercermin dalam kegiatan
penerjemahan buku berbahasa Arab berlangsung selama paruh kedua abad
kedua puluh.4
Jika membaca buku-buku terjemahan Arab-Indonesia yang ada,
interferensi struktur bahasa Arab terhadap bahasa Indonesia sering kali begitu
terasa. Interferensi ini sesungguhnya dapat dihindari manakala penerjemah
menguasai bahasa Arab dengan baik, dan bahasa Indonesia dengan lebih baik
lagi. Penguasaan bahasa Indonesia yang sangat baik bias membantu
penerjemah melepaskan diri dari belenggu struktur bahasa Arab. Jika tidak, ia
akan kerepotan saat mengalihkan pesan ke dalam bahasa Indonesia. Hasilnya
bisa dipastikan terjemahan yang kurang baik. Di samping itu, penerjemah
juga idealnya adalah seorang bikultural. Ia tidak saja memainkan peran
sebagai pengalih bahasa, tetapi juga sebagai pengalih budaya. Jadi, dalam
proses penerjemahan berlangsung transaksi dua budaya. Bahkan, aspek
budaya juga sebenarnya turut membentuk perilaku penerjemahan itu sendiri.
4 Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta : Puslitbang
Lektur Keagamaan, 2010) h. 7.
4
Dalam kaitan inilah penerjemah Arab-Indonesia dituntut untuk memahami
konsep-konsep kebudayaan yang terdapat dalam dua bahasa tersebut dengan
baik.
Untuk menganalisis suatu terjemahan hendaknya penerjemah memiliki
pengetahuan tentang model terjemahan yang umum digunakan yaitu :
terjemahan kata demi kata, terjemahan terikat harfiah, dan terjemahan bebas.
Masing-masing terjemahan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihannya.
Terjemahan kata demi kata yaitu suatu metode yang sering kali
digambarkan sebagai terjemahan antarbaris dengan bahasa target berada
langsung di bawah kata-kata bahasa sumber. Metode ini berfokus pada kata
demi kata bahasa sumber, dan sangat terikat pada tataran kata.5
Terjemahan harfiah yaitu metode penerjemahan dengan mengalihkan
konstruksi gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi gramatika bahasa
target yang memiliki padanan paling dekat. Namun demikian, unsur leksikal
yang ada tetap diterjemahkan satu per satu tanpa mengindahkan konteks yang
melatarinya. Jadi seperti halnya pada metode penerjemahan kata demi kata,
pada metode ini pun pemadanan dilakukan masih terlepas dari konteks.6
Berbeda dengan terjemahan bebas, jenis penerjemahan bebas berupaya
mereproduksi materi tertentu tanpa menggunakan cara tertentu. Dalam hal ini,
penerjemah mereproduksi isi semata tanpa mengindahkan bentuk. Akibatnya,
5 M. Zaka Al Farizi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung : Remaja
Rosdakarya 2011) h. 53. 6 M. Zaka Al Farizi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, h. 54.
5
metode ini menghasilkan teks target yang tidak lagi mengandung gaya atau
bentuk teks sumber.7
Berdasarkan metode terjemahan di atas penulis akan mencoba untuk
menganalisis salah satu hasil terjemahan buku yang berjudul Nashaihul Ibad
(Nasihat-nasihat untuk para hamba) karya Syeikh Nawawi Al Bantani.
Buku Nashaihul Ibad adalah salah satu karangan Syeikh Muhammad
Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani atau yang biasa kita
sebut Syeikh Nawawi Al Bantani yang kemudin yang beliau adopsi dari kitab
Munabbihat „Alal „Isti‟daad Li Yaumil Ma‟aad karya Ibnu Hajar Al Asqolani
dan diterjemahkan menjadi “Nasihat-Nasihat Untuk Para Hamba”. Nama
Syeikh Nawawi tidak asing lagi bagi dunia Islam terutama dalam lingkungan
ulama-ulama salafiyah. Ulama ini sangat terkenal karena banyak karangannya
yang dikaji pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Beberapa
karyanya adalah sebagai berikut : Targiibul Mustaqiin, Fathus Samadil
Aa‟lim, Syarh Miraqil „Ubudiyah, Madariijus Su‟uud „ila Iktisaail Buruud
dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau yang sudah digunakan dan
bermanfaat bagi umat islam di dunia terutama di Indonesia.
Karena berbagai keistimewaan yang penulis dapat dari buku ini baik dari
segi isi maupun gaya bahasa yang disampaikan oleh pengarang, maka sejalan
dengan itu penulis tertarik untuk mengkaji buku ini dengan meneliti karya
terjemahannya untuk mendalami secara spesifik metode terjemahan yang
7 M. Zaka Al Farizi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, h. 56.
6
digunakan oleh penerjemah dan untuk mengetahui apakah terjemahan ini
sesuai dengan maksud teks aslinya atau tidak.
Untuk lebih lanjut dan berkembang, dalam pembahasan ini penulis
mencoba menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Metode
Penerjemahan Fuad Kauma Terhadap Kitab Nashaihul Ibad Karya Syeikh
Nawawi Al Bantani.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Penelitian ini akan mengkaji metode penerjemahan, kelebihan dan
kekurangannya. Karena kitab ini terdiri dari beberapa bab yang yang memiliki
banyak sub judul maka penulis akan membatasi permasalahan analisis ini
hanya berkonsentrasi pada halaman 71-136 dari bab 2.
Dan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana metode penerjemahan yang digunakan oleh Fuad kauma
dalam buku Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani?
2. Apa kekurangan dan kelebihan metode penerjemahan Fuad Kauma?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan umum yang ingin
dicapai pada penelitian ini adalah mengetahui metode penerjemahan dan
menganalisis terjemahannya dalam kitab Nashaihul Ibad karya Syeikh
Nawawi Al Bantani. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui metode penerjemahan apa yang digunakan Fuad
Kauma dalam kitab tersebut.
7
2. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pada
metode penerjemahan Fuad Kauma.
D. Tinjauan Pustaka
Setelah penulis meneliti dan menelaah berbagai karya-karya ilmiah baik
dalam buku terjemahan, internet, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora
maupun perpustakaan UIN syarif hidayatullah Jakarta. Sepengetahuan penulis
ada beberapa kajian skripsi yang memiliki kesamaan subtansi dengan
penelitian penulis, diantaranya adalah skripsi yang berjudul Analisis
terjemahan buku Asy-“Syafaat Al-Akhirat Baina An-Naql wa Al-Aql” karya
yusuf Qardhawi, Analisis model terjemahan buku ”Al-Shabr wa Al-Dzauq
(Akhlak Al-Mu‟min) (Sabar dan Bahagia), model terjemahan Arab-Indonesia
dalam novel “Gadis Jakarta”, karya Najib Al-kaelani. Analisis pungtuasi
dalam terjemahan buku Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memperoleh sumber-sumber data dari
studi kepustakaan, seperti perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah dan sumber data lainnya seperti buku-
buku penerjemahan yang terkait dengan tema skripsi yang penulis ambil.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, dengan
pendekatan terjemahan deskrptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
mengumpulkan data terkait dengan masalah yang diteliti. Hal ini dilakukan
untuk mengungkap fakta yang ada dan menemukan data-data baru. Kemudian
8
penulis mendeskripsikan masalah tersebut sesuai dengan data yang ada
sehingga dapat mencapai maksud dan tujuan penelitian.
Dalam pencarian data, penulis membaca dan mengkaji buku-buku yang
mengupas tuntas mengenai penerjemahan, kamus ekabahasa dan dwibahasa
dan internet. Untuk mengetahui metode penerjemahan Fuad Kauma serta
kelebihan dan kekurangan terjemahannya. Penulis melakukan analisis pada
karya terjemahan Fuad Kauma, yaitu kitab Nashaihul Ibad karya Syeikh
Nawawi Al Bantani.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan kajian pustaka (library
research) untuk mencari informasi mengenai: definisi penerjemahan, proses
penerjemahan, unsur linguistik dan non lingustik penerjemahan, penilaian
terjemahan, metode serta teori-teori penerjemahan, yang tertulis dalam Bab II.
Kemudian penulis juga mencari data mengenai Pengarang dan Penerjemah
kitab melalui wawancara dengan alat komunikasi yaitu telepon, menganalisis
metode hasil terjemahan kitab tersebut baik dalam segi bentuk ataupun
maknanya untuk menjadi acuan dalam penulisan Bab III dan IV.
Adapun secara keseluruhan, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
9
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini agar lebih sistematis, dan
melihat persoalan dengan lebih objektif, maka penulis menyusun skripsi ini ke
dalam 5 bab, yaitu:
Bab I : Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II : Kerangka Teori, meliputi gambaran umum penerjemahan, proses
penerjemahan secara global, penilaian terjemahan, unsur linguistik dan non
linguistik penerjemahan, jenis penerjemah, dan metode penerjemahan.
Bab III : Gambaran Umum kitab Nashaihul Ibad, Biografi Syeikh Nawawi
Al Bantani dan Biografi Fuad Kauma meliputi gambaran umum dan gambaran
metode terjemahan kitab Nashaihul Ibad, Biografi Fuad Kauma, kelahiran dan
perkembangan Syeikh Nawawi Al Bantani, riwayat pendidikan dan
pengajarannya, posisi strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan Indonesia dan
karya-karyanya.
Bab IV : Analisis terhadap terjemahan kitab Nashaihul Ibad, meliputi
analisis metode hasil terjemahan, analisis bentuk, analisis makna, (semantik
leksikal dan gramatikal).
Bab V : Penutup, meliputi kesimpulan dan rekomendasi.
DAFTAR PUSTAKA
10
10
BAB II
KERANGKA TEORI
A. GAMBARAN UMUM PENERJEMAHAN
1. Definisi Penerjemahan
Meskipun menerjemahkan adalah pekerjaan yang melibatkan
sekumpulan teori atau ilmu, tetapi kemampuan menerjemahkan dengan
baik adalah seni. Menerjemahkan, dengan demikian adalah keterampilan
yang melibatkan lebih banyak seni (bakat) dari pada upaya dan teori.
Lantas apakah menerjemah itu? Menerjemah menurut bahasa adalah tafsir.
Sedangkan menurut istilah menerjemah adalah memindahkan atau
menyalin gagasan, ide, pikiran, pesan atau informasi lainnya dari satu
bahasa (disebut bahasa sumber atau bahasa asli) ke dalam bahasa lain
(disebut bahasa sasaran atau bahasa target).8 Hal ini, seperti ditegaskan
oleh Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, harus dilakukan dengan cara
sedekat dan sehalus mungkin baik pengertian atau makna maupun gaya
yang digunakan oleh bahasa aslinya.9
Namun demikian, kita tidak dibenarkan menafikan upaya, latihan dan
teori-teori tentang menerjemahkan. Sebab betapapun kuat dan baiknya
bakat dan rasa bahasa seseorang, jika tidak dibarengi dengan latihan,
praktik yang terus menerus dan berkelanjutan, dan teori (meski tanpa
8 Kaserun AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemahkan Bahasa Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2007), h. 6. 9 Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, The Theory and Practice of Translation (Leiden:
United Bible Societies, 1974), h. 12.
11
disadari). Jadi, keduanya, bakat dan latihan yang baik itu, sama
pentingnya.
Pada hakikatnya penerjemahan itu merupakan kegiatan mereproduksi
amanat atau pesan bahasa sumber dengan padanan yang paling dekat dan
wajar di dalam bahasa penerima, baik dilihat dari segi arti maupun gaya.
Idealnya terjemahan tidak akan dirasakan sebagai terjemahan. Namun,
untuk mereproduksi amanat itu, mau tidak mau, diperlukan penyesuaian
gramatis dan leksikal. Penyesuaian ini janganlah menimbulkan struktur
yang tidak lazim di dalam bahasa penerima.10
Dari berbagai definisi terjemah di atas kita bisa menyimpulkan bahwa
terjemah merupakan seni tentang memindahkan makna dan uslub dari satu
bahasa ke bahasa yang lain, dimana pembaca yang berbahasa sasaran
melihat teks terjemahan dan merasakannya seperti melihat pembicara
aslinya dan merasakan teks-teks aslinya.
Bila ta’rif di atas dianggap benar atau mendekati kebenaran maka
kaidah-kaidah pokok yang menjadi landasan seni terjemah adalah sebagai
berikut :
a. Terjemah harus mengandung gambaran yang benar tentang konsep
yang terkandung dalam teks asli.
b. Harus menjaga uslub atau gaya bahasa aslinya sebaik mungkin.
c. Kehalusan susunan kalimat terjemahan tidak kurang dari kehalusan
susunan-susunan kalimat dalam teks asli.
10
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung:
Humaniora, 2005), h. 10.
12
Terjemahan selain perlu menggunakan kata-kata indah, maknanya
juga harus memindahkan uslub dan jiwa pengarang teks asli. Atas dasar
ini, penerjemah harus membaca teks berulang-ulang sebelum memulai
menerjemahkannya, agar bias menyelami jiwa teks dan jiwa
pengarangnya.11
2. Proses Penerjemahan Secara Global
Setelah teks Arab yang hendak diterjemah dapat ditentukan, maka
proses kerja menerjemah pada dasarnya bisa dimulai. Secara garis besar,
ada sedikitnya tiga tahapan kerja dalam proses menerjemah, yaitu :
a. Penyelaman naskah sumber
Tahap pertama dari proses menerjemah adalah memahami secara
global arah dan isi buku yang hendak diterjemahkan. Hal ini dapat
dilakukan dengan beberapa cara. Misalnya, melalui pembacaan judul
secara cermat, dengan mengeja setiap kata yang membentuk judul
tersebut. Seringkali judul sangat membantu mengantarkan penerjemah
kepada gambaran global sebuah buku. Lebih-lebih, judul buku-buku
berbahasa Arab umumnya cenderung bersifat direct dibandingkan
kebiasaan judul buku-buku berbahasa indonesia.
Langkah berikutnya adalah memperoleh pemahaman tentang posisi
buku. Sebuah buku atau karya tulis tentu berada pada posisi tertentu
11
Achmad Satori Ismail, Problematika Terjemah (Arab-Indonesia) (Jakarta : Adabia
Press, 2011), h. 6.
13
terhadap gagasan-gagasan, pandangan, ataupun ide dari buku-buku
lain. Pendek kata, suatu gagasan atau pemikiran tidak lahir dari ruang
hampa. Sebuah karya bisa saja ditulis sebagai sanggahan atau
menguatkan madzab pemikiran tertentu dalam bidang tertentu, yang
ditulis dalam sebuah buku atau bentuk karya tulis lain.
Langkah terakhir pada tahap ini adalah membaca buku tersebut
secara serius, mulai awal hingga akhir, sambil mencari makna kata-
kata yang belum diketahui melalui kamus. Jangan tergesa-gesa dalam
menerjemahkan setiap teks yang dibaca.
b. Penuangan pesan ke bahasa sasaran
Terjemahan ideal adalah yang tidak hanya berupaya mentransfer
pesan, namun juga seluruh teks sebagai totalitas, mulai bentuk
linguistik seperti susunan frase, susunan dan bentuk kalimat sampai
kepada suasana batin teks. Penuangan padanan teks sumber ke dalam
teks sasaran semaksimal mungkin inilah yang menjadi inti dari tahap
penuangan. Penuangan tidak melulu menungkan ide, pikiran dan
gagasan teks sumber. Bila dimungkinkan, penuangan harus pula
menyangkut aspek-aspek lainnya.
c. Editing
Setelah tahap penuangan selesai, maka secara kasar kerja
menerjemah sesungguhnya dapat dikatakan selesai. Namun ada satu
hal yang tidak boleh dilupakan, yakni mengedit kembali hasil
terjemahan sebelum diserahkan kepada editor penerbit atau editor yang
14
lain. Hal ini penting mengingat hasil penerjemahan tersebut
sesungguhnya adalah produk suasana psikologi kebahasaan dari
penerjemah yang masih fii manzilah baina al manzilatain, atau dalam
satu titik kesadaran diantara dua kesadaran, yakni antara kesadaran
suasana bahasa sumber dan bahasa sasaran.12
3. Penilaian Terjemahan
Menilai kualitas terjemahan merupakan salah satu aktivitas penting
dalam penerjemahan. Ada tiga alasan menilai kualitas terjemahan: (1)
untuk melihat keakuratan; (2) untuk mengukur kejelasan; (3) untuk
menimbang kewajaran suatu terjemahan. Keakuratan berarti sejauh mana
pesan dalam Tsu disampaikan dengan benar dalam Tsa. Kejelasan berarti
sejauh mana pesan yang dikomunikasikan dalam Tsa dapat dipahami
dengan mudah oleh pembaca Tsa. Kewajaran berarti sejauh mana pesan
dikomunikasikan dalam bentuk yang lazim, sehingga pembaca Tsa merasa
bahwa teks yang dibacanya adalah teks asli yang ditulis dalam Bsa.
Karenanya, aspek yang dinilai adalah: (1) pesan terterjemahkan atau tidak;
(2) kewajaran dan ketepatan pengalihan pesan; (3) kesesuaian hal-hal
teknis dalam kerja penerjemahan dengan tata bahasa dan ejaan yang
berlaku.
Sesuai dengan tujuan tersebut, ada beberapa teknik penilaian yang
dapat digunakan, seperti yang ditawarkan oleh Machali, Hoed, dan Lubis.
12
Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 35.
15
Syarif Hidayatullah mencoba menawarkan metode lain yang mungkin
lebih sederhana. Menurut Syarif Hidayatullah, penilaian terhadap kualitas
terjemahan selain dapat dilakukan secara langsung dengan mengamati dan
membaca secara cermat, juga dapat dilakukan dengan cara memberi
penilaian secara matematis. Meski penilaian terhadap hasil terjemahan itu
bersifat subyektif-relatif, tetapi penilaian secara matematis perlu
dilakukan, misalnya, untuk memberi penilaian kepada hasil terjemahan
mahasiswa atau penerjemah pemula. Penilaian ini juga bisa diterapkan
oleh penerbit untuk menilai apakah suatu hasil terjemahan layak
dikonsumsi atau tidak. Pedoman penilaian yang Syarif Hidayatulllah
tawarkan adalah sebagai berikut:
1. Kalimat yang tidak diterjemahkan, berakibat pada pengurangan skor
sebanyak 10 poin.
2. Metode yang dipilih tidak sesuai dengan peruntukan teks, berakibat
pada pengurangan 9 poin.
3. Klausa yang tidak diterjemahkan, berakibat pada pengurangan skor
sebanyak 8 poin.
4. Terjemahan tidak sesuai topik, berakibat pada pengurangan 7 poin.
5. Padanan budaya tidak tepat, berakibat pada pengurangan 6 poin.
6. Nama diri, peristiwa sejarah, dan kata-kata asing yang tidak tepat,
berakibat pada pengurangan 5 poin.
7. Tata bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah BSa, berakibat pada
pengurangan 4 poin.
16
8. Terjemahan frasa, idiom, atau makna figuratif tidak tepat, berakibat
pada pengurangan 3 poin.
9. Diksi, konotasi, atau kolokasi tidak tepat, berakibat pada pengurangan
2 poin.
10. Kesalahan ejaan, penyingkatan, dan tanda baca, berakibat pada
pengurangan 1 poin.
Untuk menggunakan model penilaian tersebut, penilai harus
memperhatikan beberapa hal di bawah ini:
a. Penilaian pada hasil terjemahan yang telah berbentuk buku dapat
dilakukan dengan cara mengambil beberapa halaman.
b. Setiap lembar halaman terjemahan diberi skor awal 100 poin.
c. Setelah itu, hitunglah skor kesalahan sesuai dengan pedoman di atas.
d. Lalu, jumlahkan semua skor kesalahan dalam setiap halaman yang
dinilai.
e. Skor awal setiap halaman kemudian dikurangi skor kesalahan.
f. Skor setiap halaman dijumlahkan, lalu dibagi dengan jumlah halaman.
g. Hasil skor rata-rata menjadi nilai akhir dari terjemahan yang dinilai.
h. Setelah itu, nilai akhir itu dipergunakan untuk menilai apakah
terjemahan tersebut termasuk terjemahan istimewa (90-100), sangat
baik (80-89), baik (70-79), sedang (60-69), (50-59), buruk (0-49).13
13
Syarif Hidayatullah, Tarjim Al- An cara mudah menerjemahkan Arab Indonesia
(Tangerang: Dikara, 2010), h. 71.
17
4. Unsur Linguistik dan Nonlinguistik dalam Penerjemahan
Untuk menajamkan kepekaan dalam menyelami Bsu dan kepiawaian
mengalihkannya ke dalam BSA, seorang penerjemah seorang penerjemah
harus memiliki pengetahuan terkait dengan unsur linguistik dan
nonlinguistik dalam penerjemahan. Unsur linguistik berkaitan dengan
aspek kebahasaan dalam penerjemahan, sementara unsur nonlinguistik
berkaitan dengan aspek di luar bahasa yang diperlukan pada saat
penerjemahan. Unsur linguistik dalam penerjemahan adalah sebagai
berikut:
a. Makna kamus
Unsur ini terkait dengan konsep kata dan kosakata; bahasa yang
merupakan kumpulan kosakata; dan memilih makna kosakata, apakah
itu makna kamus (lexical meaning), makna tekstual (tekstual
meaning), dan makna konotatif (connotative meaning).
b. Makna morfologis
Unsur ini terkait dengan bentuk, struktur, dan pola kata. Unsur ini
dalam bahasa Arab bias dilihat pada kasus seperti bentuk fi’il tsula:tsi:
(verba trikonsonantal), fi’il ruba:’i: (verba kuadrikonsonantal), tashri:f
lughawi: (derivasi), tashrif isthila:hi (infleksi), tambahan huruf seperti
pada kasus ta’diyyah (transitif), mutha:wa’ah (menerima akibat;
afektif), dn musya:rakah (resiprokal); jenis ism (ism fa:’il [partisipel
aktif], ism maf’u;l [partisipel pasif], ism tafdhi:l [komperatif dan
superlatif], dan shigah muba:laghah [penyangatan]); bentuk mufrad
(singular), mutsanna: (dual), jam’ (plural); nakirah (taktakrif;
18
indefinite) dan ma’rifah (takrif; definite); jenis, makna dan harf (kata
tugas).
c. Makna sintaksis
Unsur ini terkait dengan posisi ism dalam kalimat yang mempunyai
posisi I’ra:b. seorang penerjemah harus mampu mencermati makna
bagian dari teks sumber yang menjadi mubtada’ (subjek), khabar
(predikat), maf’u:l bihi awwal (objek), maf’u:l bihi tsa:ni:
(komplemen), tarki:b idha:fi: (frasa nominal; aneksi), tarki:b washfi:
(frasa ajektival), tauki:d (empatik), dan yang lain. Makna sintaksis
juga berhubungan dengan jumlah fi’liyyah (kalimat verbal) dan jumlah
ismiyyah (kalimat normal).
d. Makna retoris
Unsur ini terkait dengan maja:z (metafora), alegori, idiom, i:ja:z,
ithna:b, tasybi:h, kina:yah, sehingga penerjemah dapat
mengalihbahasakan pesan dan ide yang tersembunyi di balik retorika
penulis Tsu.
Selain itu, unsur nonlinguistik dalam penerjemahan adalah sebagai
berikut:
a. Latar belakang topik dan pengetahuan yang luas
Keterangan atau pengetahuan yang sama masalahnya atau erat
hubungannya dengan masalah topik yang diterjemahkan, juga harus
dikuasai oleh seorang penerjemah.
19
b. Konteks
Penerjemah harus memiliki pengetahuan dan wawasan terkait
bagian suatu kalimat (uraian) atau situasi yang dapat menambah
kejelasan makna kata dalam suatu teks.
c. Konotasi
Tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika
berhadapan dengan sebuah kata dalam Tsu, juga harus dikenali oleh
seorang penerjemah.14
5. Jenis Penerjemah
Penerjemah terbagi menjadi dua. Pertama, interpreter (juru bahasa;
tarjuman), baik yang konsekutif (tanpa jeda) maupun yang simultan
(berjeda). Objek yang diterjemahkan interpreter adalah nonteks. Dengan
kata lain, ia mengalihbahasakan secara langsung bunyi yang didengarnya
dalam Bsu ke dalam bunyi Bsa. Seorang interpreter bias menekuni
beberapa profesi berikut: (1) interpreter konferensi (juru bahasa acara-
acara konferensi); (2) interpreter pemandu (juru bahasa tamu dari
mancanegara yang ber-Bsu); (3) interpreter hukum (juru bahasa pada
masalah hukum, seperti di persidangan); (4) interpreter medis (juru
bahasa urusan medis); (5) interpreter tanda bahasa (juru bahasa terkait
tanda bahasa, seperti konteks historis,, nuansa budaya, lirikan mata, dan
gerak tubuh).
14
Moch. Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik
Modern) (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 172.
20
Kedua, translator (penerjemah; mutarjim). Objek yang diterjemahkan
oleh seorang translator berupa teks, seperti yang sudah banyak ornag
ketahui. Seorang translator bisa menekuni beberapa profesi berikut: (1)
translator hukum (penerjemah urusan hukum, seperti dokumen hukum);
(2) translator kesusastraan (penerjemah naskah fiksi maupun non fiksi);
(3) translator lokalisasi (penerjemah untuk produk yang dipasarkan di
suatu wilayah); (4) translator medis (penerjemah urusan medis, seperti
nama obat-obatan).
Bila dikelompokkan berdasarkan cara kerjanya, penerjemah bisa
dibagi lagi menjadi tiga: (1) penerjemah di perusahaan atau biro
penerjemahan; (2) penerjemah paruh waktu; (3) penerjemah bebas.
Penerjemahan perusahaan atau biro penerjemahan berarti seseornag yang
hanya punya pekerjaan tetap sebagai penerjemah penuh. Penerjemah paruh
waktu berarti seseorang yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, tetapi
meluangkan waktu untuk menerjemahkan. Penerjemah bebas berarti
penerjemah yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, namun bekerja sebagai
penerjemah lepas baik di penerbit maupun di biro penerjemahan. 15
15
Moch. Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik
Modern) (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 175.
21
B. METODE PENERJEMAHAN
Dalam literatur barat, metode penerjemahan dikaji dan diklasifikasikan
secara lebih rinci. Newmark, misalnya, memandang bahwa metode
penerjemahan dapat ditilik dari segi penekanannya terhadap bahasa sumber
dan bahasa sasaran.
1. Penekanan pada Bahasa Sumber
Ada empat metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa
sumber. Keempat metode tersebut ialah metode penerjemahan kata demi
kata (word for word translation), metode penerjemahan literal (literal
translation), metode penerjemahan setia (faithful translation), dan metode
penerjemahan semantis (semantic translation).16
a. Penerjemahan kata demi kata
Penerjemahan kata demi kata ini sering kali digambarkan sebagai
terjemahan antarbaris dengan bahasa target berada langsung di bawah
kata-kata bahasa sumber. Metode ini berfokus pada kata demi kata
bahasa sumber, dan sangat terikat pada tataran kata. Penerjemah hanya
mencari padanan kata-kata dalam bahasa target yang pas dengan yang
terdapat dalam bahasa sumber.susunan kata-kata pada teks sumber
dipertahankan sedemikian rupa; kata-kata diterjemahkan satu per satu
ke dalam makna yang paling umum tanpa mengindahkan konteks
pemakaiannya. Sampai-sampai kata-kata yang memiliki nuansa
16
Peter Newmark, A Textbook of Translation (London: Prentice Hall International, 1988),
h. 45.
22
budaya pun diterjemahkan secara harfiah. Metode ini digunakan untuk
memahami cara operasi bahasa sumber dan untuk memecahkan
kesulitan nas, sebagai tahap awal kegiatan penerjemahan. Dalam
tradisi pesantren, penerjemahan demikian dikenal dengan istilah
penerjemahan “jenggotan”.17
Contoh :
dan di sisiku tiga buku-buku
b. Penerjemahan harfiah
Penerjemahan harfiah dilakukan dengan mengalihkan konstruksi
gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi gramatika bahasa target
yang memiliki padanan paling dekat. Namun demikian, unsur leksikal
yang ada tetap diterjemahkan satu per satu tanpa mengindahkan
konteks yang melatarinya. Jadi seperti halnya pada metode
penerjemahan kata demi kata, pada metode ini pun pemadanan
dilakukan masih terlepas dari konteks. Metode penerjemahan harfiah
ini juga sangat patuh pada teks sumber. Persoalan konteks tak
terlampau dihiraukan. Struktur bahasa sumber diperhatikan.
Akibatnya gejala interferensi acap kali tak terhindarkan. Karena
terlalu mengutamakan bentuk, sangat mungkin matra makna
17
M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2003), h. 30.
23
terkesampingkan, sehingga pesan tidak sampai kepada pembaca teks
terjemah. Selain itu, hasil terjemahan juga terasa kaku dan kurang
natural karena penerjemahan terlalu memaksakan kaidah-kaidah tata
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Metode ini pun digunakan
sebagai tahap awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan
kerumitan struktur nas.18
Contoh :
Datang seorang laki-laki baik ke Yogyakarta untuk membantu korban-
korban gempa bumi.
c. Metode penerjemahan setia
Dengan metode ini penerjemah berupaya setia mungkin
mengalihkan makna kontekstual bahasa sumber meskipun melanggar
gramatika bahasa target. Dalam penerjemahan setia ini kosakata
kebudayaan ditransfer, dan urutan gramatika dalam terjemahan
dipertahankan sedemikian rupa. Dengan kata lain, metode ini
berupaya untuk setia (faithful) sepenuhnya kepada maksud dan
realisasi teks bahasa sumber penulisnya. Artinya penerjemahan setia
mencoba mereproduksi makna kontekstual bahasa sumber dengan
18
M. Zaka Al farisi, Pedoman Penerjamahan Arab Indonesia, h. 61.
24
masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Di sini kata-kata yang
bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata
bahasa dan pilihan kata masih tetap dibiarkan. Penerjemahan ini
berpegang teguh pada maksud dan tujuan bahasa sumber, sehingga
hasil terjemahan kadang-kadang terasa kaku dan asing.
Contoh :
dia (laki-laki) dermawan karena banyak abunya.
d. Metode penerjemahan semantis
Metode penerjemahan semantis berfokus pada pencarian padanan
pada tataran kata, tetapi tetap terikat budaya bahasa sumber. Namun
begitu, penerjemah berusaha mengalihkan makna kontekstual bahasa
sumber sedekat mungkin dengan struktur sintaksis dan semantik
bahasa target. Penerjemahan semantis sangat memperhatikan nilai
estetika teks bahasa sumber, kompromi makna agar selaras dengan
asonansi, serta permainan dan pengulangan kata yang menggetarkan.
Berbeda dengan penerjemahan setia, metode penerjemahan semantis
lebih luwes dan memperkenankan intuisi penerjemah untuk berempati
dengan teks sumber. 19
Contoh :
19
A.Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 22.
25
Saya melihat si muka dua di depan kelas
Perbedaan antara metode penerjemahan kata per kata dan metode
penerjemahan setia yaitu terletak pada kata-kata yang bermuatan
budaya. yaitu metode penerjemahan kata per kata ini kosakata
kebudayaan tidak ditransfer, dan penerjemah hanya mencari padanan
kata-kata dalam bahasa target yang pas dengan yang terdapat dalam
bahasa sumber, sedangkan dalam metode penerjemahan setia kosakata
kebudayaan ditransfer, dan urutan gramatika dalam terjemahan
dipertahankan.
2. Penekanan pada Bahasa Sasaran
Berbeda dengan kelompok pertama, pada kelompok kedua ini metode
penerjemahan lebih berorientasi pada bahasa target. Yang belakangan ini,
seperti halnya yang pertama, juga terbagi ke dalam empat metode.
Diantaranya adalah metode penerjemahan adaptasi (adaptation), metode
penerjemahan bebas (free translation), metode penerjemahan idiomatis
(idiomatic translation), dan metode penerjemahan komunikatif
(communicative translation).
a. Metode penerjemahan adaptasi
Metode penerjemahan adaptasi merupakan penerjemahan teks yang
paling bebas. Penerjemah berusaha mengubah dan menyelaraskan
26
budaya bahasa sumber dalam bahasa target. Metode ini terutama
digunakan dalam menerjemahkan naskah drama dan puisi dengan tetap
mempertahankan tema, karakter, dan alur cerita. Budaya bahasa
sumber dikonversi ke dalam budaya bahasa target. Teks tersebut
kemudian ditulis ulang. Oleh karena itu, hasil penerjemahan umumnya
dipandang bukan sebagai suatu terjemahan. Hasil terjemahan
sesungguhnya lebih merupakan penulisan kembali pesan teks bahasa
sumber dalam bahasa target.
Contoh :
Ketika bulan purnama bersinar
b. Metode penerjemahan bebas
Penerjemahan bebas berupaya mereproduksi materi tertentu tanpa
menggunakan cara tertentu. Dalam hal ini, penerjemah mereproduksi
isi semata tanpa mengindahkan bentuk. Akibatnya, metode ini
menghasilkan teks target yang tidak lagi mengandung gaya atau bentuk
teks sumber. Dalam praktiknya, penerjemahan bebas tidak terikat
dengan pencarian padanan pada tataran kata atau kalimat. Pencarian
padanan cenderung terfokus pada teks sebagai satu kesatuan. Biasanya,
metode ini merupakan parapfrase yang lebih panjang daripada bahasa
aslinya. Hasil penerjemahan bebas sering kali bertele-tele, berpretensi,
dan sama sekali bukan merupakan terjemahan.
27
Terdapat perbedaan antara metode adaptasi dan metode
penerjemahan bebas. Yang terakhir ini tetap mempertahankan pesan
sesuai dengan pesan yang termaktub dalam teks bahasa sumber. Selain
itu pada metode adaptasi, penerjemah diperkenankan untuk membuat
sejumlah modifikasi, misalnya mengubah nama pelaku dan tempat
kejadian.20
Contoh :
Harta Sumber Malapetaka
c. Metode penerjemahan idiomatis
Metode penerjemahan idiomatis berusaha mereproduksi pesan
bahasa sumber, tetapi cenderung mendistorsi nuansa makna. Hal ini
disebabkan penerjemah lebih menyukai pemakaian aneka kolokial dan
idiom-idiom yang tidak terdapat dalam bahasa sumber.
Contoh :
Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian
20
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006),
h. 58.
28
d. Metode penerjemahan komunikatif
Metode penerjemahan komunikatif ini berupaya mengungkapkan
makna kontekstual bahasa sumber secara tepat. Pengungkapan
dilakukan dengan cara-cara tertentu sehingga isi dan bahasanya
berterima dan mudah dipahami pembaca target. Hasil terjemahan
diupayakan mempunyai bentuk, makna, dan fungsi yang selaras dalam
bahasa target. Sebab, boleh jadi suatu kalimat terjemahan sudah benar
secara sintaksis, tetapi maknanya tidak logis; bentuk dan maknanya
boleh jadi sudah sesuai, tetapi secara pragmatik penggunaanya tidak
pas dan tidak alamiah.21
Contoh :
Kita tumbuh dari mani, segumpal darah, dan kemudian segumpal
daging (awam)
Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio
(terpelajar)
Lebih lanjut Newmark mengomentari delapan metode penerjemahan tadi.
Menurutnya, hanya dua metode yang dianggap memenuhi tujuan utama
penerjemahan, yaitu penerjemahan semantis dan penerjemahan komunikatif.
Secara umum, penerjemahan semantis lebih memberi penekanan pada aspek
21
Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Bandung: Kaifa, 2009), h. 83.
29
linguistik bahasa sumber. Dengan demikian penerjemahan sebisa mungkin
dilakukan sesuai dengan bentuk teks aslinya. Ungkapan-ungkapan dan idiom-
idiom yang terdapat dalam teks sumber tetap dipertahankan sesuain dengan
aslinya seraya diberi keterangan. Bentuk kalimat juga dipertahankan, misalnya
kalimat majemuk tetap dipertahankan sebagai kalimat majemuk dalam
penerjemahannya. Metode penerjemahan semacam ini memang baik jika
dilihat dari segi bentuk dan struktur kalimat karena sesuai dengan teks asli.
Biasanya, metode ini digunakan untuk menerjemahkan karya sastra atau teks-
teks keagamaan.22
Di lain pihak, penerjemahan komunikatif lebih menekankan pada
kenyamanan pembaca teks bahasa target. Penerjemahan diupayakan untuk
memberikan penjelasan yang memadai kepada pembaca dengan tujuan amanat
dari penulis teks sumber dapat tersampaikan. Ungkapan-ungkapan yang
terdapat dalam bahasa sumber dialihkan ke dalam ungkapan-ungkapan yang
ada dalam bahasa target. Bentuk kalimat pun tidak dipertahankan jika
dianggap dapat menimbulkan ketaksaan informasi. Dalam metode ini makna
sangat ditekankan, sehingga pembaca terjemahan dapat lebih mudah
memahami maksud dan pesan si penulis teks sumber. Biasanya metode ini
digunakan untuk menerjemahkan teks-teks yang bersifat informatif.
22
Peter Newmark, A Textbook of Translation (London: Prentice Hall International, 1988),
h. 47.
30
BAB III
GAMBARAN UMUM DAN GAMBARAN METODE TERJEMAHAN
KITAB NASHAIHUL IBAD, BIOGRAFI SYEIKH NAWAWI AL BANTANI
DAN BIOGRAFI FUAD KAUMA
A. GAMBARAN UMUM DAN GAMBARAN METODE
TERJEMAHAN KITAB NASHAIHUL IBAD
Kitab Nashaihul Ibad, karya Muhammad Nawawi bin „Umar Al-Jawi
merupakan pedoman dan rujukan berperilaku sesuai tuntunan islami yang
dapat membawa umat Islam ke arah kebaikan dan menjadikan umat Islam
berbudi pekerti santun dan berjiwa lembut. Kandungannya begitu dalam dan
hakikatnya begitu tinggi, sehingga bila dipahami secara mendalam dan
dipraktekkan dengan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari, dapat mengantarkan
kita pada kebersihan hati, kesucian jiwa, dan kesantunan budi pekerti, serta
dapat mengingatkan kita mempersiapkan diri menghadap Sang Mahakuasa
dengan membawa berbagai amal kebaikan dan budi pekerti yang baik.
Berbagai macam sikap dan perilaku yang dicontohkan dalam buku ini,
yang berasal dari sabda Nabi dan aśar para sahabat serta nasihat para ulama
dan ahli hikmah, nilainya sangat tinggi. Kata-kata hikmah yang terkandung di
dalamnya banyak dijadikan rujukan buku-buku terkenal, seperti Jangan
Bersedih, Cambuk Hati, dll. Sehingga tidak diraguan lagi kebaikan isinya.
31
Kitab ini membimbing kita untuk bersikap santun dan bijak, baik terhadap
Allah, Rasul-Nya, maupun sesama manusia.26
Kitab ini sangat cocok untuk dibaca dan dikaji oleh masyarakat modern
dewasa ini, yang sudah banyak kehilangan jati dirinya akibat rapuhnya rohani
mereka yang tidak pernah diisi oleh nilai-nilai spiritual karena tersibukkan
dalam pemburuan materi yang membabi buta dalam rangka memermak dan
mengkonstruksi diri untuk mencari kebahagiaan semu.
Dalam kitab ini juga disinggung bahwa kebahagiaan hakiki bukan terletak
pada materi, jabatan, status sosial, dan kedudukan-kedudukan yang lain,
melainkan terletak pada kebersihan dan kesucian hati dalam bertwajjuh
kepada Allah. Kitab ini juga sangat cocok untuk menjadi obat bagi hati
mereka yang sedang mengalami benturan berbagai masalah keduniawian.
Selain itu, banyak fatwa para sahabat dan para orang bijak yang menjelaskan
makna kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki.27
Kegiatan menerjemahkan adalah kegiatan yang tidak saja mengharuskan
para penerjemah untuk berpengetahuan luas tentang bahasa dan budaya kedua
bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dan juga dengan kreatifitasnya, para
penerjemah harus memilih dari sekian banyak alternatif padanan
penerjemahnya. Selain itu, setiap penerjemah dituntut mempertimbangkan
gaya bahasa yang akan digunakan dalam konteks penerjemahnya. Baik
26
Imam Nawawi Al Bantani, Naṣ iḥ ul ‘Ibaad. Penerjemah Fuad Kauma (Bandung
: IBS, 2012), h. 6.
27
Imam Nawawi Al Bantani, Naṣ iḥ ul ‘Ibaad. Penerjemah Fuad Kauma (Bandung
: IBS, 2012), h. 26.
32
tidaknya bahasa terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia
khususnya dari bahasa Arab, tergantung kepada kemampuan penerjemah
dalam menguasai bidang terjemahnnya, seperangkat kaidah dan pola yang ada
dalam kedua bahasa tersebut.
Setiap penerjemah pasti berharap penerjemahannya dibaca oleh orang lain.
Dengan demikian, pihak pembaca perlu mendapat perhatian. Penerjemah
harus tahu kepada siapa terjemahannya ditujukan dan bagaimana tingkat
kemampuan seseorang yang belum ahli dalam memahami teks terjemahan
yang ada kaitannya dalam bidang ilmu yang mereka geluti. Apabila
terjemahannya ditujukan kepada pembaca yang bukan ahli disiplin ilmu yang
diterjemahkan, penerjemah perlu menyederhanakan kalimat terjemahan yang
berkonstruksi rumit tanpa menghilangkan pesan yang terkandung dalam
bahasa sumber. Artinya yang terpenting dalam penerjemahan adalah pesan
atau amanat yang akan disampaikan oleh pengarang.
Banyak metode penelitian yang bisa digunakan di dalam meneliti karya
terjemahan, tetapi yang jelas semua metode ini bersifat deskriftif, bisa dalam
kategori kualitatif maupun kuantitatif. Penelitian mengenai hasil terjemahan
adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan terutama untuk menghubungkan
teori penerjemahan dan praktek penerjemahhan. Kadangkala suatu konsep bisa
dengan mudah dideskripsikan dalam uraian dan teori. Akan tetapi, bila sudah
berada dalam tataran praktek, mungkin sekali konsep-konsep ini sulit
dibedakan atau bahkan dikenali secara jelas.
33
Di zaman sekarang ini banyak sekali buku-buku agama yang di
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kegiatan menerjemahkan
mempunyai manfaat yang besar bagi pengembangan pengetahuan serta
pertukaran kebudayaan antar bangsa. Salah satunya kitab nashaihul Ibad,
Kitab Nashaihul Ibad merupakan kumpulan nasehat-nasehat yang bersandar
dari Rasulullah, para sahabat, dan para ulama yang cukup dalam kajian
tasawufnya yang ditulis oleh Syeikh Nawawi Al Bantani yang kemudian di
terjemahkan oleh Fuad Kauma ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini sangat
penting untuk dijadikan sebagai acuan hidup manusia menyongsong
kehidupan akhirat.
B. BIOGRAFI SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI
1. Kelahiran dan Perkembangannya
Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah salah
satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan
ajaran Islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang
mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten
bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara
terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang. Dari beberapa
referensi yang penulis baca, terutama yang berbicara tentang perjalanan
hidup Syeikh Nawawi al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal
berapa Syeikh Nawawi ini dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa
referensi hanya bulan dan tahun kelahirannya saja yaitu pada bulan
34
Muharram (dalam kalender Hijriyah) dan bulan Desember(dalam kalender
Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang tahun kelahiran Syeikh
Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari seorang penulis
bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syeikh Nawawi lahir pada
tahun 1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.28
Syeikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah
ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa
Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun
pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi‟ab Ali, hingga
wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma‟la. Ketenaran beliau di Makkah
membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz).
Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia
(setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah
Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syeikh KH Hasyim Asy‟ari.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali
beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak
mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya,
termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu
menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di
Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di
Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab
28
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&
id=107 (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014).
35
(semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam
Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah
Shahih Muslim, Majmu‟ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll.
Namun demikian panggilan beliau adalah Syeikh Nawawi bukan Imam
Nawawi.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam
menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan
tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi
pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan
tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam
kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok
al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh
dan tasawuf.
2. Riwayat Pendidikan dan Pengajaran
Semenjak kecil Syeikh Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan
tentang keislaman langsung dari ayahnya yang bernama K.H. Umar. K.H.
Umar ini juga dikenal sebagai salah satu ulama yang tinggal di desa
Tanara. Jadi sebelum Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima pelajaran dari
orang lain, ia terlebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh sang ayah
yang juga dikenal sebagai ulama‟. Selanjutnya beliau berguru kepada Kiai
Sahal dan setelah itu beliau berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta,
Jawa Barat, hingga ia mencapai usia yang kelima belas. Bersama Kiai
Yusuf, beliau banyak belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab
36
berikut ilmu Nahwu dan Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa
beliau juga belajar ilmu-ilmu yang lainnya, hanya saja beliau lebih
terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.
Setelah usianya mencapai 15 tahun beliau pun pergi ke tanah suci
Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di sana
serta berguru kepada para Ulama‟ terkemuka seperti Syeikh Nahrawi,
Syeikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati, ini berlangsung
pada tahun 1830-1833 M. Jika kita perhatikan, bahwa kepergian beliau ke
tanah suci Mekah itu terjadi pada saat usia beliau masih sangat muda. Dan
di usia muda seperti ini, beliau telah belajar bersama para Ulama terkenal
seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Tak hanya itu, beliau juga
berguru kepada Syeikh Muhammad Khatib al-Hanbali di Madinah. Setelah
menimba ilmu selama tiga tahun dan usia beliau genap mencapai 18 tahun,
dikatakan bahwa beliau sempat pulang ke kampung halaman, membantu
sang ayah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di pesantren. Nampaknya
kondisi lingkungan yang sedang dikuasai oleh para penjajah Belanda tidak
menyambut hangat kepulangan Syeikh Nawawi ke Banten. Oleh karena
itu, beliau pun merasa tak betah untuk berlama-lama berada di Banten, dan
segera memutuskan untuk kembali ke Mekah. Sebagian mengatakan
bahwa beliau tinggal di Banten hanya beberapa bulan saja, sementara yang
lain mengatakan bahwa beliau tinggal sampai tiga tahun, kemudian
kembali ke Mekah dan kemudian tinggal di sana sampai akhir hayatnya.
Sekembalinya ia ke Mekah, ia pun terus berguru kepada para ulama‟,
baik itu yang berasal dari Jawi maupun Timur tengah sampai tahun 1860.
37
Di antara guru-gurunya yang dikenal adalah Syeikh Ahmad Khatib
Sambas, Syaikh Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulawani, dan
Syeikh Abd al-Hamid Daghestani (berasal dari Daghestan). Syeikh Ahmad
Khatib Sambas yang menjadi salah satu guru beliau adalah seorang ulama
yang berasal dari daerah Sambas (Kalimantan Barat). Syeikh Ahmad
Khatib Sambas ini memiliki empat orang murid, ke empat murid itu adalah
Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, Syeikh Abdul
Karim al-bantani dan yang terakhir adalah Syeikh Muhammad Khalil yang
akhirnya menetap di daerah Bangkalan Madura dan wafat di sana.
Dikatakan bahwa di antara ke empat murid Syeikh Sambas tersebut,
Syeikh Nawawilah yang paling senior. Karena di samping beliau adalah
sahabat seperguruan mereka, terkadang beliau juga menjadi guru mereka
dalam hal-hal tertentu.
Setelah 30 tahun lamanya beliau menimba ilmu bersama para ulama
terkemuka, akhirnya beliaupun mengabdikan dirinya sebagai seorang
pengajar sekaligus imam di Masjid al-Haram Mekah, kurang lebih selama
10 tahun. Dan selebihnya hari-hari beliau banyak dihabiskan untuk
mengarang kitab dan mengajar serta mendidik para santri di rumahnya
hingga akhir hayatnya.29
29
http://alhikmahdua.net/biografi-syeikh-nawawi-al-bantani// (data ini diakses pada
tanggal 28 Agustus 2014).
38
3. Posisi Strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan Indonesia
a. Syeikh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia
yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya,
Ahmad Khatib Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini
menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di
Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh Nawawi
sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya
yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar,
jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di
Ma‟la.
b. Syeikh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama‟
al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama
Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas
adalah beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu „Ulama al-
Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di
semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau
juga mendapat gelar “al-imam wa al-fahm al-mudaqqi” yang berarti
“Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”.
Snouck Hourgronje memberi gelar “Doktor Teologi”.
c. Pada tahun 1870, Syeikh Nawawi diundang para ulama Universitas
Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai apresiasi
terhadap penyebaran buku-buku Syeikh Nawawi di Mesir. Ini
39
membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syeikh
Nawawi al-Bantani.
d. Paling tidak terdapat 34 karya Syeikh Nawawi yang tercatat dalam
Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa kalangan
lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100
judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam,
sejarah, syari‟ah, tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga
diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini,
menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di Timur Tengah,
lebih-lebih di Indonesia.
e. Kelebihan dari Syeikh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan
makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastra Arab yang susah
dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syeikh
Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab.
Wajar jika syarah Syeikh Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap
paling otentik dan paling sesuai maksud penulis awal. Bahkan, di
Indonesia dan beberapa negara lain, syarah Syekh Nawawi paling
banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan
dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.
f. Syeikh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh
perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari‟at
dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti
Wahabi) serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu
mengabaikan syari‟at di sisi lain (Seperti tarekat aliran Ibn Arabi).
40
Kelebihan dari Syeikh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di
antara keduanya. Menurutnya, syari‟at memberikan panduan dasar
bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena itu, seseorang
dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari‟at dengan
baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi
seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki,
bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah
menabrak aturan syari‟at. Selain itu, di masa itu juga muncul
pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan
naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli.
Namun Syeikh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya,
bahwa dalil naqli dan aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun
jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil naqli harus
diutamakan.
g. Dalam konteks Indonesia, Syeikh Nawawi merupakan tokoh
penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi
„Asy‟ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara
Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak
dengan teologi Jabariyah yang menganggap manusia tidak
mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
h. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh
Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang
berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara
berpikir yang dianut oleh Syeikh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri
41
NU, KH. Hasyim „Asy‟ari merupakan salah satu murid dari Syekh
Nawawi al-Bantani.
i. Dalam konteks penjajahan, Syeikh Nawawi al-Bantani berpendapat
bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram
hukumnya. Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani
merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan
kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan Petani Banten di abad 18
yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan salah satu
contoh dari karya murid Syeikh Nawawi. Karena itu, wajar jika
Syeikh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata”.
j. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari
Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di
Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu
menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syeikh Nawawi al-Bantani.
Menurut Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang
menjadi rujukan di pesantren-pesantren itu.30
4. Karya-Karyanya
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan
ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu
dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan
seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat
dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia
sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas
30
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&
id=107 (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014).
42
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini
nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di
abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A‟yan
„Ulama‟ al-Qarn aI-Ra M‟ „Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq
wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid „Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam
mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia
sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara
ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di
pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa
ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses
pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya
berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi
bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan
retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali
bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang
ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah
seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua
bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang
tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh
pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang
teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan
43
Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh
Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim
harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari
perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat
Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah
sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan
mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak
adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada
Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep
sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang
yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang
kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan „aqliy, menurutnya harus
digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di
antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk
meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan
Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di
atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan
untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.31
Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh
kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab
besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat
31
alhikmahdua.net/biografi-syeikh-nawawi-al-bantani/ (data ini diakses pada tanggal 28
Agustus 2014)
44
ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat
diterbitkan.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir,
seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak
memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya,
termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu
menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di
Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di
Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut
Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama
tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai
kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi
Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya
beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama
universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan
kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk
mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Karya-karya Syeikh Nawawi al-Bantani antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Targhibul Musytaqin, selesai Jumaat, 13 Jamadilakhir 1284
Hijrah/1867 Masehi. Cetakan awal Mathba‟ah al-Miriyah al-Kainah,
Mekah, 1311 Hijrah.
45
b. Fat-hus Shamadil `Alim, selesai awal Jamadilawal 1286 Hijrah/1869
Masehi. Dicetak oleh Mathba‟ah Daril Kutubil Arabiyah al-Kubra,
Mesir 1328 Hijrah.
c. Syarah Miraqil `Ubudiyah, selesai 13 Zulkaedah 1289 Hijrah/1872
Masehi. Cetakan pertama Mathba‟ah al-Azhariyah al-Mashriyah,
Mesir 1308 Hijrah.
d. Madarijus Su‟ud ila Iktisa‟il Burud, mulai menulis 18 Rabiulawal
1293 Hijrah/1876 Masehi. Dicetak oleh Mathba‟ah Mustafa al-Baby
al-Halaby, Mesir, akhir Zulkaedah 1327 Hijrah.
e. Hidayatul Azkiya‟ ila Thariqil Auliya‟, mulai menulis 22 Rabiulakhir
1293 Hijrah/1876 Masehi, selesai 13 Jamadilakhir 1293 Hijrah/1876
Masehi. Diterbitkan oleh Mathba‟ah Ahmad bin Sa‟ad bin Nabhan,
Surabaya, tanpa menyebut tahun penerbitan.
f. Fat-hul Majid fi Syarhi Durril Farid, selesai 7 Ramadan 1294
Hijrah/1877 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba‟ah al-Miriyah al-
Kainah, Mekah, 1304 Hijrah.
g. Bughyatul `Awam fi Syarhi Maulidi Saiyidil Anam, selesai 17 Safar
1294 Hijrah/1877 Masehi. Dicetak oleh Mathba‟ah al-Jadidah al-
„Amirah, Mesir, 1297 Hijrah.
h. Syarah Tijanud Darari, selesai 7 Rabiulawal 1297 Hijrah/1879
Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba‟ah `Abdul Hamid Ahmad
Hanafi, Mesir, 1369 Masehi.
i. Syarah Mishbahu Zhulmi `alan Nahjil Atammi, selesai Jamadilawal
1305 Hijrah/1887 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba‟ah al-
46
Miriyah al-Kainah, Mekah, 1314 Hijrah atas biaya saudara kandung
pengarang, yaitu Syeikh Abdullah al-Bantani.
j. Naṣ aa iḥ ul „Ibaad, selesai 21 Safar 1311 Hijrah/1893 Masehi.
Cetakan kedua oleh Mathba‟ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323
Hijrah.
k. Al-Futuhatul Madaniyah fisy Syu‟bil Imaniyah, tanpa tarikh. Dicetak
di bahagian tepi kitab nombor 10, oleh Mathba‟ah al-Miriyah al-
Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.
l. Hilyatus Shibyan Syarhu Fat-hir Rahman fi Tajwidil Quran, tanpa
tarikh. Dicetak oleh Mathba‟ah al-Miriyah, Mekah, 1332 Hijrah.
m. Qatrul Ghaits fi Syarhi Masaili Abil Laits, tanpa tarikh. Dicetak oleh
Mathba‟ah al-Miriyah, Mekah, 1321 Hijrah.
n. Mirqatu Su‟udi Tashdiq Syarhu Sulamit Taufiq, tanpa tarikh. Cetakan
pertama oleh Mathba‟ah al-Miriyah, Mekah 1304 Hijrah.
o. Ats-Tsimarul Yani‟ah fir Riyadhil Badi‟ah, tanpa tarikh. Cetakan
pertama oleh Mathba‟ah al-Bahiyah, Mesir, Syaaban 1299 Hijrah.
Dicetak juga oleh Mathba‟ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1342
Hijrah.
p. Tanqihul Qaulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits, tanpa tarikh. Dicetak
oleh Mathba‟ah Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Arabiyah, Mesir, tanpa tarikh.
q. Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, tanpa tarikh. Dicetak oleh
Mathba‟ah al-Haramain, Singapura-Jeddah, tanpa tarikh.
r. Fat-hul Mujib Syarhu Manasik al- „Allamah al-Khatib, tanpa tarikh.
Dicetak oleh Mathba‟ah at-Taraqqil Majidiyah, Mekah, 1328 Hijrah.
47
s. Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadi-in, tanpa tarikh. Diterbitkan oleh
Syarikat al-Ma‟arif, Bandung, Indonesia, tanpa tarikh.
t. Al-Fushushul Yaqutiyah `alar Raudhatil Bahiyah fi Abwabit
Tashrifiyah, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba‟ah al-Bahiyah, Mesir,
awal Syaaban 1299 Hijrah.32
Dari karya-karya tulis Syeikh Nawawi di atas, dapat diketahui bahwa
cakupan disiplin ilmunya sangat beragam dan luas sekali, mulai dari ilmu
tafsir, ilmu hadis, ilmu sejarah, ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu akhlak, ilmu
tasawuf, dan ilmu bahasa. Hampir seluruh kitab tersebut kini dipelajari di
pondok-pondok pesantren salafi maupun majlis-majlis taklim, bahkan sering
dijadikan sebagai pegangan utama, misalnya kitab-kitab fikih dan akhlak.
Beberapa keistimewaan dari karya-karya beliau telah ditemukan oleh para
peneliti, di antaranya kemampuan menghidupkan isi karangan sehingga dapat
dijiwai oleh pembacanya, pemakian bahasa yang mudah dipahami sehingga
mampu menjelaskan istilah-istilah yang sulit dan keluasan isi karangannya.
Buku-buku karangannya juga banyak digunakan di timur tengah.
Semua kitab fikih karya Syeikh Nawawi merujuk kepada madzhab fikih
syafi‟I, karena memang beliau bermadzhab syafi‟i. inilah barangkali salah
satu faktor kuatnya madzhab sayfi‟I di kalangan umat islam Indonesia.
Melalui kisah-kisah inilah santri jawa dengan mudah dapat diyakinkan dan
memperoleh kesan mendalam, dikarenakan cara-cara tersebut sederhana dan
sejalan dengan publik interest pada saat itu, khususnya bagi masyarakat jawa
32
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&
id=107 (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014).
48
yang tidak bisa melepaskan diri dari mitos-mitos yang mereka lihat dalam
kehidupan.
Di samping itu, tokoh-tokoh yang biasa digunakan Syeikh Nawawi untuk
menampilkan kepahlawanan santri adalah model-model mereka. Lagi pula,
harus dihargai bahwa penulis abad 19 era kolonial ini telah mencerna dan
menyegarkan kembali karya-karya terpenting ulama abad pertengahan.
Tugas tersebut tidak dapat secara efektif dilakukan seandainya Syeikh
Nawawi bukan seorang murid multidisipliner yang memusatkan perhatiannya
terhadap dunia akademik berupa belajar, mengajar dan menulis yang
menghasilkan banyak karya. Kitab-kitab Syeikh Nawawi yang telah
memadukan karya-karya standar Imam Syafi‟I dalam berbagai bidang
merupakan alasan lain mengapa Syeikh Nawawi menduduki tempat spesial
dalam tradisi intelektual santri jawa.
C. BIOGRAFI FUAD KAUMA
1. Kelahiran, Pendidikan dan Perkembangannya
Fuad Kauma nama aslinya adalah Muhammad Fuad, lahir di Jombang
49 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 19 Maret 1965. Fuad Kauma
pernah mengenyam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)
Jombang, Pondok Qur‟an Kudus dan pendidikan terakhirnya Madrasah
Muallimin Atas (MMA) Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras
Jombang. Kemudian beliau menikah dengan Isnaeni Fuad dan dikaruniai
dua putra, yang pertama Muhammad Alfitra Haqiqi yang berumur 12
tahun pendidikannya kelas 1 Madrasah Muallimin Atas Pondok pesantren
49
Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, yang kedua Aiman Nauril Haqiqi
yang berumur 5 tahun pendidikannya masih Taman Kanak-kanak (TK). 33
Awal menulis buku pada tahun 1991 dengan judul Menelanjangi
Yahudi (buku politik) yang diterbitkan oleh Dunia Ilmu Surabaya. Sampai
sekarang sudah banyak judul buku yang ditulis mulai dari bidang politik,
fiqih, tasawwuf, pernikahan, akhlak, sosial, remaja, kamus hadis, kamus
nikah, sejarah para sahabat dan tokoh-tokoh ulama salaf, biografi Ulama
nusantara dan lain-lain.
Fuad Kauma pernah mengajar di pondok-pondok pesantren dan
sekarang sedang menyelesaikan penulisan Kamus Fiqih setebal 1800
halaman, mudah-mudahan cepat selesai dan segera diterbitkan. Beliau
sengaja menyembunyikan identitas diri agar tidak diketahui oleh publik
dengan berbagai alasan, diantara alasannya agar beliau bebas melakukan
penelitian mengenai berbagai bidang tanpa campur tangan dari pihak lain,
kemudian agar beliau bisa tenang menyelesaikan semua karya tulisnya.
Profesi Fuad Kauma sekarang adalah seorang Wirausaha, Penulis dan
Penerjemah buku.34
2. Karya Terjemahan Fuad Kauma
Selain Penulis, Fuad Kauma adalah seorang Penerjemah dan sudah
banyak kitab-kitab kuning yang diterjemahkan olehnya, diantara kitab-
kitab yang pernah diterjemahkan oleh Fuad Kauma adalah sebagai berikut:
33
Wawancara Pribadi dengan Fuad Kauma melalui telepon, 30 Januari 2015. 34
Wawancara Pribadi dengan Fuad Kauma melalui telepon, 30 Januari 2015.
50
a. Tahun 1993 menerjemahkan kitab At Tadzhib, Daqoiqul Akhbar
dan Tafsir Surat yasin.
b. Tahun 2005 menerjemahkan kitab Ayyuhal Walad, Nashaihul Ibad
dan Silsilah Ummahatul Mu‟minat.
c. Tahun 2007 menerjemahkan kitab Tafsir Ayat Kursi.
d. Tahun 2008 menerjemahkan kitab Muhtashar Ihya‟ Ulumuddin.
e. Tahun 2009 menerjemahkan kitab Majlisus Saniyah, Mauidzatul
Usfuriyah dan Qurratul Uyun.
3. Buku Karya Fuad Kauma
Fuad Kauma juga menulis buku-buku Islam dan sudah banyak
dikonsumsi oleh kalangan akademisi dan non akademisi, diantara buku-
buku karyanya adalah sebagai berikut :
a. Adu Domba
b. Noda-Noda Ulama
c. Air Mata Rasulullah
d. Indahnya Taman Surga
e. Rasulullah Mencintai Binatang
f. Bunga-Bunga di Taman Hati Rasulullah
g. 50 Mukjizat Rasul
h. Wajah Rasulullah Pribadi Menawan Hati
i. Biografi Ulama Nusantara
j. Buah Hati Rasulullah
k. Langit pun Terguncang
l. Kisah-Kisah Akhlaq Terpuji
51
m. Tamsil Al Qur‟an
n. Air Mata Penghapus Dosa
o. Senyum-Senyum Rasulullah
4. Penerbit yang Pernah Menerbitkan Karyanya
Adapun diantara penerbit yang pernah menerbitkan buku-buku Fuad
Kauma adalah sebagai berikut :
a. Penerbit GIP (Gema Insani Press Depok)
b. Penerbit Al Kautsar Jakarta
c. Penerbit Qisti Press Jakarta
d. Penerbit Kalam Mulia Jakarta
e. Penerbit Pedoman Ilmu Jaya Jakarta
f. Penerbit Hikmah Jakarta (anak perusahaan MIZAN bandung)
g. Penerbit Mantiq Solo
h. Penerbit Aneka Solo
i. Penerbit Al Hidayah Bandung
j. Penerbit Irsyad Baitus Salam (IBS) Bandung
k. Penerbit Toha Putra Semarang
l. Penerbit Mitra Pustaka Yogyakarta
m. Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta
n. Penerbit Hikmah Perdana Surabaya
o. Penerbit Dunia Ilmu Surabaya
p. Penerbit Lintas Media Jombang
q. Penerbit Darul Hikmah Kediri
52
BAB IV
ANALISIS TERHADAP TERJEMAHAN KITAB
NASHAIHUL IBAD
A. Analisis Metode Hasil Terjemahan
Kegiatan menerjemahkan adalah kegiatan yang tidak saja mengharuskan
para penerjemah untuk berpengetahuan luas tentang bahasa dan budaya kedua
bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dan juga dengan kreatifitasnya, para
penerjemah harus memilih dari sekian banyak alternatif padanan
penerjemahnya. Selain itu, setiap penerjemah dituntut mempertimbangkan
gaya bahasa yang akan digunakan dalam konteks penerjemahnya. Baik
tidaknya bahasa terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia
khususnya dari bahasa Arab, tergantung kepada kemampuan penerjemah
dalam menguasai bidang terjemahnnya, seperangkat kaidah dan pola yang ada
dalam kedua bahasa tersebut.
Setiap penerjemah pasti berharap penerjemahannya dibaca oleh orang lain.
Dengan demikian, pihak pembaca perlu mendapat perhatian. Penerjemah
harus tahu kepada siapa terjemahannya ditujukan dan bagaimana tingkat
kemampuan seseorang yang belum ahli dalam memahami teks terjemahan
yang ada kaitannya dalam bidang ilmu yang mereka geluti. Apabila
terjemahannya ditujukan kepada pembaca yang bukan ahli disiplin ilmu yang
diterjemahkan, penerjemah perlu menyederhanakan kalimat terjemahan yang
53
berkonstruksi rumit tanpa menghilangkan pesan yang terkandung dalam
bahasa sumber. Artinya yang terpenting dalam penerjemahan adalah pesan
atau amanat yang akan disampaikan oleh pengarang.
Banyak metode penelitian yang bisa digunakan di dalam meneliti karya
terjemahan, tetapi yang jelas semua metode ini bersifat deskriftif, bisa dalam
kategori kualitatif maupun kuantitatif. Penelitian mengenai hasil terjemahan
adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan terutama untuk menghubungkan
teori penerjemahan dan praktek penerjemahan. Kadangkala suatu konsep bisa
dengan mudah dideskripsikan dalam uraian dan teori. Akan tetapi, bila sudah
berada dalam tataran praktek, mungkin sekali konsep-konsep ini sulit
dibedakan atau bahkan dikenali secara jelas.
Dari pernyataan di atas, penulis mencoba untuk menganalisis metode
penerjemahan Kitab Nashaihul Ibad yang dikarang oleh Syeikh Nawawi Al
Bantani dan diterjemahkan oleh Fuad Kauma.
Untuk mempermudah dalam analisis ini, penulis terlebih dahulu
menampilkan karya asli (Bsu) dan karya terjemahan Fuad Kauma (Bsa) dan
versi penulis sendiri setelah itu diikuti oleh analisis.
54
Teks
(BSU)
Terjemahan Fuad
Kauma
(BSA)
Penulis
Melakukan syikayah
(pengaduan) atas nasib
buruk yang di alami
seseorang kepada orang
lain termasuk pertanda
tidak ridha atas bagian
yang telah di berikan
oleh Allah. Kita tidak
boleh melakukan
syikayah, kecuali
kepada Allah, sebab
syikayah kepada Allah
termasuk bentuk doa.33
Kita tidak boleh
mengadu, kecuali
kepada Allah, sebab
mengadu kepada Allah
termasuk bentuk doa.
Pengaduan atas nasib
buruk yang dialami
seseorang kepada orang
lain termasuk pertanda
tidak ridha atas bagian
yang telah diberikan
oleh Allah”.
Pada kata oleh penerjemah diartikan melakukan syikayah
(pengaduan), pada kata syikayah ini belum diartikan melainkan hanya
dipadankan dalam bahasa Arab ke dalam kata bahasa Indonesia, menurut
penerjemah kata syikayah sudah menjadi kata serapan dari bahasa Arab
sehingga dia meletakan kata “pengaduan” di dalam kurung. Yang seharusnya
lagsung saja pada awal kalimat jadi tidak perlu lagi menggunakan kata
syikayah sehingga merusak tata bahasa Indonesia. Dan setelah penulis
mencari di berbagai referensi ternyata kata syikayah tidak ada dalam bahasa
Indonesia. Yang ada hanyalah pengaduan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata pengaduan adalah penyabungan, proses, perbuatan mengadu,
33
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma (Bandung : IBS,
2012), h. 72.
55
ungkapan rasa tidak senang atau tidak puas akan hal hal yang tidak begitu
penting, tetapi perlu diperhatikan.34
Dan disini penerjemah terlebih dahulu menerjemahkan kalimat akhir atau
kalimat yang kedua yang seharusnya kalimat itu di terjemahkan di awal,
sehingga penulis sulit menemukan terjemahan kalimat tersebut.
Bila kita mengacu pada metode penerjemahan bebas, dapat dilihat bahwa
model ini bersifat bebas, bukan berarti penerjemah boleh menerjemahkan
sekehendak hatinya sehingga esensi terjemahan itu sendiri hilang. Bebas di
sini berarti penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh
bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat pada naskah berbahasa
sumber. Ia boleh memodifikasi kalimat dengan tujuan agar pesan atau
maksud penulis naskah berbahasa sumber. Ia boleh memodifikasi kalimat
dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti
secara jelas oleh pembacanya. Namun pada kenyataannya penerjemahan yang
dilakukan oleh penerjemah buku tersebut tetap mengikuti pada struktur
kalimat, yang kemudian disesuaikan dengan bahasa sasaran.
Seperti halnya kalimat berikut :
Menurut Fuad Kauma kalimat di atas diterjemahkan sebagai berikut :
34
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai pustaka, 1988), h. 9.
56
1. Betapa banyak manusia yang dihukum secara berangsur-angsur melalui
kesenangan, yang diberikan kepadanya.
2. Betapa banyak manusia yang mendapat cobaan melalui pujian orang lain
kepadanya.
3. Betapa banyak manusia yang teperdaya karena kelemahannya
disembunyikan oleh Allah.35
Teks
(BSU)
Terjemahan Fuad
Kauma
(BSA)
Penulis
1. Bersikap
simpatik dengan
orang lain adalah
bagian dari
kecerdasan akal
2. Bertanya dengan
cara baik adalah
bagian dari ilmu
3. Dan kepandaian
memanage
adalah bagian
dari
penghidupan.36
1. Bersimpatik
terhadap orang
lain adalah
bagian dari
kecerdasan.
2. Bertanya dengan
cara yang baik
adalah bagian
dari ilmu,
3. Dan kepandaian
mengatur adalah
bagian dari
kehidupan.
Pada tabel di atas penerjemah menggunakan metode penerjemahan
kata per kata, bisa kita lihat pada kata penerjemah mengartikan
dengan “bagian dari kecerdasan akal” penerjemah juga menambahkan arti
yang tidak ada dalam teks tersebut. seperti kata kecerdasan. Untuk itu penulis
mengganti kata kecerdasan dengan kepandaian dan membuang kata akal.
35
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad Penerjemah Fuad Kauma , h. 79.
36
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma, h. 76.
57
Karena tidak semua akal itu cerdas. Sehingga terjemahan tersebut menjadi
“bersikap simpatik dengan orang lain adalah bagian dari kepandaian”. dan
pada kata penerjemah mengartikan memanage, menurut penulis
penerjemah belum menggunakan diksi yang baik karena memanage bukan
berasal dari bahasa Indonesia yaitu bahasa inggris yang di serap ke dalam
bahasa Indonesia. Sehingga penulis menggantinya dengan mengatur. Serta
kata penerjemah mengartikannya dengan bagian dari
penghidupan. Menurut penulis lebih tepatnya lagi diganti dengan kehidupan.
Karena dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata penghidupan adalah
pemeliharaan hidup, pencaharian. Sedangkan kata kehidupan adalah keadaan
atau hal hidup.37
Sehingga terjemahan kalimat di atas menjadi “dan
kepandaian mengatur adalah bagian dari kehidupan”
37
Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan,2001), h. 400.
58
Teks
(BSU)
Terjemahan Fuad Kauma
(BSA)
Diceritakan dalam suatu riwayat
dahulu pada masa kaum bani israil
terdapat seorang lelaki punya 80
buah peti yang penuh dengan kitab-
kitab ilmu yang telah dibacanya,
namun ia tidak beroleh manfaat
dari ilmunya. Allah pun
menurunkan wahyu kepada Nabi-
Nya untuk menyampaikan kepaga
lelaki tersebut: “meskipun engkau
mengumpulkan ilmu yang banyak,
niscaya ilmu itu tidak akan
memberi manfaat bagimu, kecuali
engkau mengerjakan tiga hal
berikut :
1. Jangan engkau mencintai
dunia, karena dunia bukan
tempat orang-orang beriman
menerima pahala-Nya.
2. Jangan berteman dengan
setan, karena setan bukan
teman orang-orang beriman.
3. Jangan mengganggu
seseorang, karena
mengganggu orang lain
bukanlah pekerjaan orang-
orang beriman.38
38
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma , h. 90.
59
Dari tabel di atas, bila kita mengacu pada penerjemahan kata per kata,
secara tidak langsung penerjemahan ini dilakukan sebagimana adanya, yaitu
mengacu pada pengalihan atau pemindahan kata yang ada dalam bahasa
sumber. Seperti halnya pada kalimat yang seharusnya diartikan sebagai
“sesungguhnya”, namun pada kenyataannya penerjemah tidak mencantumkan
arti tersebut pada kalimat itu, meskipun kata dalam pembahasan ilmu
balaghah termasuk ke dalam khabar thalabi yang membutuhkan taukid atau
penguat, karena mukhatab sedikit merasa ragu, dan tampak pada dirinya
keinginan yang kuat untuk mengetahui hakikat, atau berita yang disampaikan.
Contoh :
Sesungguhnya bangunan itu bila hancur suatu sisinya, maka tidak dapat
dijamin bahwa manusia tidak akan meruntuhkan sisanya.39
Begitu juga pada kalimat penerjemah juga
menggunakan metode penerjemahan kata per kata sehingga artinya “meskipun
engkau mengumpulkan ilmu yang banyak” di sini penerjemah tidak banyak
keluar dari teks bahasa sumbernya sehingga arti dan tujunannya tidak
menyimpang sesuai yang diinginkan penulis kitab tersebut.
39
Ali Al-Jarim, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2011), h.
218.
60
Kemudian pada kalimat penerjemah mengartikan sebagai
“jangan mengganggu seseorang” disini penerjemah menggunakan metode
penerjemahan kata per kata, karena menurut penulis kalimat ini lebih cocok
diartikan sebagai “jangan menyakiti seseorang” karena kalau hanya
mengganggu belum tentu menyakiti. Tetapi disini penerjemah bertahan
dengan mengikuti dari kalimat Bsu tersebut.
Teks
(BSU)
Terjemahan Fuad Kauma
(BSA)
Nama asli Abu Sulaiman Ad Darani
adalah Abdurrahman bin Athiyah,
sedangkan Ad Darani berasal dari
kata daran, yakni nama sebuah
tempat di kota Damaskus-Syiria.
Beliau meninggal pada tahun 215
Hijriyah. Beliau pernah berkata
dalam mnajatnya kepada Allah
sebagai berikut :
1. “wahai Tuhanku, jika Engkau
menuntunku karena dosaku,
maka aku akan mencari-Mu
karena ampunan-Mu (sebab
ampunan-Mu jauh lebih luas
daripada dosaku).
2. Jika Engkau menuntutku
karena kekikiranku, maka
aku akan mencari-Mu karena
kemurahan-Mu.
3. Jika Engkau melemparkanku
ke dalam neraka, maka aku
akan memberitahukan kepada
penduduk neraka bahwa aku
mencintai-Mu.” 40
40
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma , h. 90.
61
Pada tabel di atas penerjemah tidak mengartikan kata yang dalam
kalimat lengkapnya
1. “wahai Tuhanku, jika Engkau menuntunku karena dosaku, maka aku akan
mencari-Mu karena ampunan-Mu (sebab ampunan-Mu jauh lebih luas
daripada dosaku).
2. Jika Engkau menuntutku karena kekikiranku, maka aku akan mencari-Mu
karena kemurahan-Mu.
3. Jika Engkau melemparkanku ke dalam neraka, maka aku akan
memberitahukan kapada penduduk neraka bahwa aku mencintai-Mu.”41
Disini penulis sangat luwes dalam menuangkan ke dalam teks Bsa karena
yang biasa penerjemah pada umumnya lakukan yaitu mengartikan kata
dengan arti “dan”, tetapi disni penerjemah tidak melakukannya. Menurut
penulis langkah yang dilakukan penerjemah sangatlah efektif karena sangat
tersusun rapih dan mudah dipahami, disini terlihat sekali penerjemah
menerjamahkan tidak mengikuti kaidah gramatika Bsu seperti menerjemahkan
huruf (dan). Karena dalam gramatika bahasa Indonesia adanya kata
penghubung, cukup diberi tanda koma, kecuali pada akhir kalimat. Tetapi
41
Imam Nawawi Al Bantani, Naṣ iḥ ul ‘Ibaad. Penerjemah Fuad Kauma , h. 91.
62
disini penerjemah mengklasifikasikannya menjadi beberapa poin dengan
menggunakan simbol angka.
Apabila kita mengacu pada terjemahan harfiyah, seperti dikutip oleh
hanafi, menyebutkan terjemahan harfiyah sebagai faithful translation.42
Ini
didasarkan bahwa pada konsepsi penerjemah hendaknya berlaku setia kepada
naskah aslinya, atau sejalan dengan bentuk naskah aslinya. Sebagaimana yang
telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa penerjemah harfiyah adalah
terletak antara penerjemahan kata demi kata dan bebas. Yaitu dengan cara
melakukan terjemahan kata demi kata, yang kemudian penerjemah
menyesuaikan kata dalam kalimat terjemahannya yang sesuai dengan susunan
dalam bahasa sasaran.
Sebelum penulis jabarkan lebih lanjut, perlu diketahui bahwa dalam
struktur bahasa Arab banyak kita temukan jumlah fi’liy h, yaitu jumlah yang
terdiri dari fi’il dan fa’il, atau kalimat yang diawali dengan fi’il sebagai
permulaan kalimat sehingga kalimat itu dimulai dengan predikat, sedangkan
subjeknnya berada di belakang.
Namun walaupun kalimat itu berbentuk jumlah fi’liy h, tetapi padanannya
dalam bahasa Indonesia adalahh jumlah ismiyah, sehingga kalimat itu
diterjemahkan seperti jumlah ismiyah pula. Seperti contoh berikut ini :
42
A.Widyamartaya, Seni menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 56.
63
“Bagaimana keadaan kalian ketika memasuki pagi hari?” mereka menjawab:
“kami berada dalam keadaan beriman kepada Allah.” Beliau bertanya:
“apakah tanda-tanda keimanan kalian?” mereka menjawab :
1. “kami bersabar terhadap musibah,
2. Bersyukur atas nikmat kelapangan,
3. Dan menerima semua ketetapan Allah.”
Beliau bersabda: “kalau begitu, kalian benar-benar orang mukmin, demi
Tuhan pemilik ka’bah.”43
Apabila kita bandingkan antara kaidah di atas dengan hasil terjemahan ini,
maka kita akan menemukan jawabannya, bahwa terjemahan ini menggunakan
metode penerjemahan harfiyah dengan tanpa menjabarkan satu persatu atau
menerjemahkan secara kata demi kata terlebih dahulu. Karena dengan sedikit
pengetahuan yang kita miliki terjemahan ini dengan apa yang telah
digambarkan di atas. Karena struktur yang digunakan adalah jumlah fi’liyah,
yaitu dengan mendahulukan predikat di awal yang kemudian diikuti
dengan fa’ilnya yaitu dhomir sedangkan pada subtansinya penerjemah
menerjemahkan dengan struktur bahasa Indonesia atau jumlah ismiyah .
43
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma , h. 102.
64
B. Analisis Bentuk
Dalam konsep analisis bentuk, penulis lebih mrngacu pada tataran struktur
jumlah, dalam hal ini ilmu an-Nahwu dan as-Sharf akan lebih berperan dalam
menentukan hasil terjemahan. Karena an-Nahwu adalah ilmu yang
mempelajari tentang gramatikal dan struktur kalimat bahasa Arab, sedangkan
as-Sharf adalah ilmu yang mempelajari perubahan bentuk kata, dari satu
bentuk kata kepada bentuk kata yang lain.44
Karya terjemahan akan terlihat
sempurna apabila gramatika bahasa sasaran dapat diterapkan dalam bentuk
bahasa penerima. Dalam artian maksud dan amanat pengarang akan
tersampaikan dengan jelas, serta terbukti apa dan bagaimana tujuan pengarang
sebenarnya.
Berkenaan dengan bentuk dalam bahasa sumber, baik struktur maupun
kata dapat direalisasikan sebagai kalimat dalam bahasa penerima. Syarat
utama dalam membentuk kalimat bahasa Indonesia adalah harus terdiri dari
subjek dan predikat, atau dalam bahasa Arab yang sering kita kenal dengan :
namun diantara kata kerja yang ada, ada kata kerja yang
membutuhkan objek atau dalam bahasa Indonesia sering kita kenal dengan
transitif, dan dalam bahasa Arab, dan kata kerja yang tidak
membutuhkan objek yang disebut dengan intransitive dalam bahasa Indonesia,
dan dalam bahasa Arab. Sedangkan keterangan yang lainnya
44
Mochamad Anwar, Ilmu as Sharf, (Bandung : Sinar baru, 1986), h. 5.
65
seperti keterangan tempat dan keterangan waktu hanyalah sebagai pelengkap
kalimat saja.
Adapun perbedaan gramatika dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran
merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi kita, namun kemahiran seorang
penerjemah dalam membedakan dan meletakan antara keduanya adalah
menjadi suatu keharusan, karena akan sangat membantu dalam melakukan
kegiatan penerjemah.
Kiranya dalam analisis bentuk inilah yang akan menentukan sejauh mana
hasil terjemahan itu akan mengikuti kaidah yang telah ditentukan dalam
bahasa sumber. Karena akan terlihat janggal atau tidak tersampaikannya suatu
amanat dalam bahasa sumber apabila kedudukan subjek dalam bahasa sumber
(Bsu) diletakan sebagai objek dalam bahasa penerima atau sebaliknya. Penulis
akan terlebih dahulu menampilkan teks asli terjemahan.
Sebelum kita mengetahui lebih lanjut hasil karya terjemahannya, terlebih
dahulu penulis akan menguraikan beberapa keterangan yang berkaitan dengan
struktur jumlah dalam bahasa sumber, yang mugkin akan membantu dalam
menentukan pola kalimat bahasa sasaran khususnya dalam analisis ini.
Apabila mengalami kesesuaian antara Bsu dan Bsa, maka sudah kita pastikan
bahwa hasil terjemahan tersebut sudah mendekati aslinya, artinya pesan yang
tersimpan dalam bahasa sumber bisa tersampaikan.
66
Kata pada konteks ini adalah sebagai mubt d ’, (kata
benda yang terdapat di awal kalimat). Mubtada bisa disebut juga sebagai
sesuatu yang diterangkan, sedangkan sesuatu yang menerangkan adalah
disebut dengan khabar. Suatu kalimat akan mudah dimengerti apabila
memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya. Seperti kata
kata dalam kalimat ini akan dimengerti dengan baik apabila
dibarengi dengan kata . karena dengan tidak adanya kata kita
akan kebingungan dalam menginterpretasikan kata kedudukan
sebagai yang diterangkan, sedangkan kata sebagai yang menerangkan.
Dengan demikian arti yang sesuai dengan kalimat tersebut di atas adalah
mobil itu bagus, bukan bagusnya mobil.
Sedangkan yang menjadi khabar dalam konteks kalimat di atas, atau yang
menerangkan kata adalah jumlah fi’liy h (Kalimat Verba),
yaitu . Dengan demikian
jelaslah bahwa kedudukan kalimat pada paragraf pertama di atas adalah :MD
67
atau DM, menerangkan diterangkan atau diterangkan menerangkan.
Sebagimana yang telah diterjemahkan oleh penerjemah sebagai berikut.
Tobat nashuha adalah tobat yang sesudah tobatnya itu tidak mengulangi
berbuat maksiat, baik yang sembunyi-sembunyi maupun yang terang-
terangan.45
Contoh pada kalimat yang laninnya sebagai berikut :
Pada konteks kalimat di atas kita temukan kaana, yang bertugas
merafa’kan isim dan menasabkan khabarnya. Pada kalimat di atas, kata
berkedudukan sebagai isim kaana yang dirafa’kan oleh kaana, dan yang
menjadi khabarnya adalah . penulis sengaja menguraikannnya dari yang
sekecil-kecilnya, karena untuk mempermudah dalam menganalisis bentuknya.
Sehingga penerjemah mengartikannya sebagi berikut :
Apabila perkataan seseorang dalam kebaikan nilainya seperti perak, maka
diam dari berkata buruk nilainya seperti emas. 46
Pada kalimat lain adalah sebagai berikut :
45
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma , h. 119. 46
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma , h. 112.
68
Berbeda dengan kalimat di atas, pada kalimat ini penulis temukan bentuk
yang lain, yaitu isim inna yang diakhirkan ( ) akibat khabar inna
yang dikedepankan ( م ), adapun yang berposisi sebagai
adalah frasa Sedangkan nya adalah
kasus seperti ini terjadi apabila khabarnya dalam bentuk .
Dan penerjemah menerjemahkannya sebagai berikut :
Dari sekian banyak nikmat dunia, cukuplah islam sebagai nikmatmu.47
Dari rangkaian kalimat di atas penulis melihat bahwa adanya relevansi
antara struktur kalimat yang ada dalam bahasa sumber dengan hasil terjemahan
penerjemah yang tentunya menggunakan struktur bahasa sasaran, kendati tidak
secara utuh dalam menyampaikan amanat bahasa sumber.
C. Analisis Makna
Apabila kita membicarakan konsep dasar mengenai bahasa yang berkaitan
dengan penerjemahan, maka secara tidak langsung kita akan membicarakan
tentang makna. Hal ini penting, karena pada dasarnya pendekatan yang kita
gunakan adalah bahwa setiap teks merupakan tindak komunikasi, bukan teks
47
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma , h. 78.
69
yang lahir dalam keadaan kosong tanpa tujuan dan maksud apapun.48
Dalam
mempelajari makna, berarti mempelajari makna, berarti mempelajari
bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa bisa saling
mengerti. Karena tataran makna dalam analisis semantik setiap bahasa
memiliki cara sendiri dalam membentuk makna setiap katanya. Untuk itu
seorang penerjemah harus mengurai makna-makna tersebut agar mampu
memilih kata yang benar-benar bisa mewakili makna yang ingin disampaikan.
Selain itu penerjemah juga harus memperhatikan konteks jika ingin
mendapatkan padanan yang sesuai. Bahkan, seorang penerjemah seringkali
harus pula melakukan penyesuaian leksikal, bukan sekedar mengambil
padanan harfiah dari suatu kata Bsu. Karena sebuah kata dalam Bsu mungkin
memiliki banyak padanan dalam Bsa.49
Beberapa orang ahli linguistik seperti Larson, 50
membagi semantik ke
dalam beberapa jenis makna, namun di bidang linguistik yang meneliti arti
atau makna, secara garis besar semantik dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu : semantik leksikal dan semantik gramatikal.
a. Semantik Leksikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina
leksikon (kosa kata, perbendaharaan kata). Sedangkan semantik leksikal
adalah suatu bentuk bahasa yang bermakna, atau dapat pula dikatakan
bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan hasil observasi
48
Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Bandung: Kaifa, 2009), h. 23 49
Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Bandung: Kaifa, 2009), h. 87 50
Larson Mildred I, Penerjemahan Berdasar Makna. Penerjemah Kencanawati Taniran
(Jakarta: Arcan, 1989), h. 57
70
alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan
kita.
Umpamanya adalah tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang
pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini
tampak jelas dalam kalimat “tikus itu mati diterkam kucing”, kata tikus
pada kalimat di atas hanya merujuk pada binatang tikus, bukan pada yang
lainnya, seperti halnya dalam konteks “yang menjadi tikus di gudang kami
ternyata berkepala hitam”, kata tikus dalam kalimat tersebut bukanlah
termasuk pada makna leksikal karena tidak merujuk pada tikus melainkan
kepada seseorang manusia yang perbuatannya mirip seperti perbuatan
tikus.51
Penerjemahan makna leksikal terhadap teks Arab-Indonesia atau
Indonesia-Arab merupakan langkah awal di dalam menerjemahkan, karena
dengan menggunakan makna leksikal seorang penerjemah akan mampu
memahami arti yang sebenarnya, hanya saja butuh proses penyesuaian
dalam penggunaan bahasa yang benar-benar sesuai dengan bahasa sasaran.
Berikut ini adalah contoh kalimat yang diterjemahkan secara leksikal,
sehingga kalimat-kalimat tersebut dapat dipahami.
51
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007) h.
60
71
Tiga ciri keberuntungan
Yahya bin mu’adz Ar-Razi pernah berkata : “sungguh beruntung orang
yang :
1. Meninggalkan harta sebelum harta meninggalkannya,
2. Membangun kuburan sebelum ia memasukinya, dan
3. Membuat ridha Tuhannya sebelum ia menemui-Nya.
Yang dimaksudkan dengan meninggalkan harta sebelum harta
meninggalkan dirinya adalah harta tersebut digunakan untuk berbagai
kabaikan sebelum harta tersebut lenyap dari dirinya.
Yang dimaksudkan dengan membangun kubur sebelum memasukinya
adalah senantiasa melakukan amal yang bisa membuat dirinya nyaman di
dalam kubur kelak, yakni amal shalih dan ketaatan kepada Allah.
Yang dimaksud dengan membuat ridha Tuhannya adalah melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi laranggan-Nya.
Yang dimaksud dengan sebelum menemuinya adalah sebelum dia mati.52
Kalau kita perhatikan dari semua kata yang ada dalam teks bahasa
sumber, penerjemah buku itu telah melakukan penerjemahan secara
leksikal, karena pada dasarnya semua yang ada dalam bahasa sumber
betul-betul membutuhkan makna asli yang sebenarnya dan bukan makna
merujuk pada sesuatu yang lain.
52
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma , h. 93.
72
b. Semantik Gramatikal
Kalau pada semantik leksikal lebih ditekankan pada makna referennya
yang sesuai, makna semantik gramatikal ini adalah makna yang hadir
sebagai akibat adanya proses gramatika, atau makna yang terbentuk akibat
susunan kata-kata dalam frase, klausa, atau kalimat.
Contoh dalam teks terjemahan :
Kita dapat melihat, bahwa dalam penggunaan gramatika bahasa Arab
tidak sedikit yang menggunakan kata kerja idiom dengan kata sambung
(harf jar) yang berbeda. Seperti misalnya kata dengan harf jar
seperti pada kalimat di atas yang terjemahnnya :
Jaga lisanmu, jangan sampai engkau berkata sembarangan kepada orang
lain, kecuali hal-hal yag baik.53
Oleh sebab itu kata dengan kata memiliki dua
arti yang berbeda. Perbedaan kata inilah yang menyebabkan perubahan
makna yang sangat signifikan mempunya arti “menjaga atau
53
Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad. Penerjemah Fuad Kauma, h. 89.
73
menahan diri dari sesuatu” , sedangkan mempunyai arti
"berpegang pada atau menggenggam, merebut, menangkap".54
Oleh sebab itu, apabila kita akan melakukan kegiatan penerjemahan
khususnya Indonesia-Arab, kita juga harus memperhatikan hal-hal yang
sangat penting. Sehingga akan menjadikan sebuah produk karya
terjemahan yang kualitatif, dan tidak terjadi kerancuan. Seperti halnya
pada kalimat di atas yang benar-benar mengikuti kaidah secara umum.
Dari gramatikal yang telah penulis paparkan pada tahap analisis makna,
yang diikuti juga dengan contoh-contoh teks terjemahan pada kitab
“Naṣ iḥ ul ‘Ibaad”, terlihat jelas, bahwa setiap huruf atau kata yang
terdapat dalam bahasa sumber tidaklah harus diterjemahkan secara leterlek
ke dalam bahasa sasaran. Karena ini harus dilihat apakah huruf atau kata
tersebut dapat diterjemahkan atau tidak, karena untuk menghindari
kalimat-kalimat yang kaku atau kalimat yang tidak enak dibaca. Ini
menunjukan bahwa setiap makna yang terdapat dalam bahasa sumber
harus memiliki relefansi yang tepat dalam peletakkannya pada bahasa
sasaran. Atau juga sudah menjadi kaidah umum dalam penerjemahan,
selama penerjemah itu tidak menyimpang dari pesan yang disampaikan
penulis.
Contoh :
54
A.W Munawwar, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia h. 1335
74
”saya melihat bangku-bangku yang ada di kelas”.
Huruf ( ) dan ( ) pada kalimat di atas tidak diterjemahkan. Karena
apabila diterjemahkan dengan mengikuti struktur bahasa Arab, maka
terjemahannya menjadi “saya melihat apa-apa yang ada di kelas dari
bangku”. Hal ini jelas akan menjadi produk terjemahan yang interpretable,
artimya masih membutuhkan asumsi-asumsi yang jelas, dan sudah pasti
kalimat tersebut terlihat janggal, karena tidak efektif dan sangat kaku.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan analisis yang mendalam terhadap terjemahan
Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani penulis dapat mengambil
kesimpulan. Bahwa dalam penerjemahan ini, penerjemah tidak berpegang
pada salah satu metode terjemahan saja. Penulis menemukan beberapa metode
terjemahan yang sering digunakan oleh penerjemah. Yaitu metode harfiyah,
kata demi kata dan beberapa terjemahan bebas.
Dalam setiap ragam terjemahan pasti memiliki kelebihan dan kelemahan,
baik terjemahan bentuk kata demi kata, harfiah, ataupun bebas. Berdasarkan
hasil terjemahan pada buku Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al
Bantani, maka penulis menyimpulkan bahwa terdapat beberapa kelebihan dan
kekurangan.
Di antara kelebihan yang bisa dipetik antara lain dapat dinyatakan sebagai
berikut :
1. Struktur dan bentuk kalimat dalam bahasa sasaran lebih mengikuti pola
dan bentuk bahasa sumber kendati tidak secara utuh. Dengan demikian
penerjemah bukan semat-mata sebagai penerjemah saja, bahkan sekaligus
ia berlaku sebagai transformer.
76
2. Gaya terjemahannya sangat sederhana, sehingga mudah dipahami dan
dimengerti.
Adapun diantara kelemahan-kelemahannya adalah sebagai berikut :
1. Karena penekanan jatuh pada bentuk dan struktur kalimat bahasa sumber,
maka secara tidak langsung makna dalam bahasa sasaran akan menjadi
rancu kalau ditinjau dari konteks kalimat.
2. Adanya pengulangan kata sehingga terjadi pemborosan kata.
3. Kurang setia terhadap bahasa sumber, terkadang teks ada yang tidak
diterjemahkan dan dalam hasil terjemahan, penerjemah banyak
menggunakan kata yang ditambah-tambahkan.
B. Saran
Dalam menerjemahkan suatu teks Arab, sebaiknya penerjemah dapat
menentukan metode apa yang tepat untuk diterapkan. Contohnya ketika akan
menerjemahkan buku novel, metode apakah yang paling tepat, apakah metode
komunikatif atau metode adaptasi atau dan lain-lain.
Jadi alangkah baiknya jika dalam pembahasan metode penerjemahan,
dibahas juga teknik dan sistematika penerjemahan yang tepat bagi suatu
naskah Tsu. Misalnya dalam menerjemah jurnal ilmiah suatu kampus,
diterapkan dengan metode adaptasi dan komunikatif dengan tambahan
informatif yang berupa kutipan, footnote, dan lainnya.
Penelitian ini belum komprehensif, karena penulis baru melakukan kajian
terhadap metode penerjemahan, kekurangan dan kelamahan penerjemahan.
77
Penulis tidak membahas secara spesifik hal-hal yang terkait dengan unsur
linguistik, sintaksis, morfologi dan semantik pada terjemahan buku ini. Oleh
karenanya aspek-aspek linguistik yang belum dibahas dalam penelitian ini,
dapat dilakukan penelitian lanjutan.
78
DAFTAR PUSTAKA
.
Al Bantani, Nawawi Imam. Naṣ iḥ ul ‘Ibaad. Bandung : IBS, 2012.
Al Farizi, Zaka M. Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 2011.
Al-Jarim, Ali. Al-Balaghah al-Wadhihah. Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994.
Anwar, Mochamad. Ilmu as Sharf. Bandung : Sinar baru, 1986.
Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah wawasan dan metode menerjem
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta,
2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai pustaka, 1988.
Hidayatullah, Syarif dan Abdullah. Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik
Modern.) Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Hidayatullah, Syarif. Tarjim Al- An cara mudah menerjemahkan Arab Indonesia.
Tangerang: Dikara, 2010.
Hoed, Hoedoro Benny. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya,
2006.
Ismail, Satori Achmad. Problematika Terjemah (Arab-Indonesia). Jakarta :
Adabia Press, 2011.
Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Bandung: kaifa PT mizan
pustaka, 2009.
79
Munawwar, A.W. Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia
Munip, Abdul. Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta :
Puslitbang lektur keagamaan, 2010.
Nababan, Rudolf M. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: pustaka
pelajar, 2003.
Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta : CeQDA (Center of Quality Development and
Assurance), 2010.
Newmark, Peter. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall International,
1988.
Nida, A Eugene dan Taber, R Charles. The Theory and Practice of Translation.
Leiden: United Bible Societies, 1974.
Rahman, Kaserun AS. Buku Pintar Menerjemahkan Bahasa Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progresif, 2007.
Sayogi, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek). Bandung:
Humaniora, 2005.
Widyamartaya, A. Seni menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Zain, Badudu. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan,2001.
80
Sumber Dari Internet :
http://alhikmahdua.net/biografi-syeikh-nawawi-al-bantani// (data ini diakses pada
tanggal 28 Agustus 2014)
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=
view&id=107 (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014)