metode penelitian kualitatif i · 2019-04-30 · metode penelitian kualitatif i peer group dan...
TRANSCRIPT
Metode Penelitian Kualitatif I
Peer group dan Konsumsi Fast food Pelajar SMP
Disusun oleh:
1. 17/409920/SP/27765 Devia Putri Maharani
2. 17/413239/SP/27956 Alda Aldera Geary
3. 17/413247/SP/27964 Endang Reforyani
4. 17/413255/SP/27972 Ilham Ramadhan D Arifin
5. 17/414957/SP/28084 Khotima Galuh Nindya Saputri
Departemen Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Metodologi ...................................................................................... 2
1. Lokasi Penelitian ................................................................. 2
2. Metode Penelitian ................................................................ 2
3. Sumber Data ........................................................................ 3
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 3
5. Analisis Data ...................................................................... 3
BAB II LATAR SOSIAL
BAB III ANALISIS
A. Motif Pribadi................................................................................... 8
B. Konsumsi ...................................................................................... 10
C. Iklan, Promosi dan Artis Idola ...................................................... 14
D. Peer Group .................................................................................. 18
E. Struktur Sosial Ekonomi ............................................................... 23
BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fast food atau makanan cepat saji merupakan makanan cepat saji
yang ditandai dengan biaya rendah, ukuran porsi yang besar dan makanan
padat energi yang mengandung tinggi kalori dan tinggi lemak (Sharkey
dkk., 2011). Fenomena menjamurnya makanan cepat saji dianggap telah
mengubah selera pemenuhan kebutuhan makan masyarakat Indonesia.
Selain itu, kecenderungan anak usia sekolah mengonsumsi fast food
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya gerai-gerai makanan
cepat saji terutama di kawasan sekolah. Tekanan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan teman sebayanya sangat kuat dan hal ini
tercermin pada pilihan makan baik di sekolah maupun di dalam
lingkungan sosialnya (Barasi & Mottram, 1989).
Anak-anak usia sekolah cenderung memiliki sifat eksploratif
dimana mereka ingin mencoba hal-hal baru bersama-sama. Pada proses ini
mungkin saja terdapat hubungan antar individu dalam menciptakan tujuan
dan sistem kerja. Teman sebaya merupakan hal penting dalam masa
remaja, hal ini dikarenakan pada proses sosialisasi teman sebaya untuk
pertama kalinya remaja menerapkan prinsip untuk bekerja sama dalam
jalinan yang kuat hingga terbentuk suatu norma, nilai dan simbol
tersendiri (Mappiare, 1982).
Penelitian yang lebih dulu dilakukan pada remaja, kebiasaan
makan dan pilihan makanan nyatanya lebih kompleks, faktor-faktor
seperti fisik, lingkungan hingga pengaruh lingkungan dapat
mempengaruhi kebiasaan dan pola makan mereka (Robert & Williams
dalam Sari, 2008). Peneliti kemudian mencoba untuk mencari faktor-
2
faktor apa saja yang mungkin memiliki korelasi dengan pola konsumsi
fast food pada anak usia SMP di Nologaten.
B. Rumusan Masalah
1. Faktor apa saja yang membentuk pola konsumsi fast food pada siswa
Sekolah Menengah Pertama di Nologaten?
C. Metodologi
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di RT 03 RW 02 Padukuhan Nologaten,
Depok, Sleman, Yogyakarta. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan
dengan beberapa faktor berikut ini:
a. Padukuhan Nologaten merupakan padukuhan yang
letaknya sangat dekat dengan mall-mall, pusat
perbelanjaan dan hiburan di Yogyakarta.
b. Di wilayah padukuhan terdapat banyak restoran-
restoran makanan cepat saji.
c. Padukuhan Nologaten memiliki banyak penduduk usia
7-18 tahun.
2. Metode / Teknik Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Dikutip dari Perreault dan McCarthy (2006: 176) dalam Sulistiyono
menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian
yang berusaha menggali informasi secara mendalam. Penelitian ini
meminta informan untuk mengungkapkan pikirannya tentang peer
group dan konsumsi fast food yang terjadi pada diri mereka tanpa
3
memberi batas-batas jawaban. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi yang sebenarnya dan mendalam dari objek
penelitian di lapangan.
3. Data / Sumber Data
Data didapatkan dari hasil wawancara terhadap enam siswa
Sekolah Menengah Pertama di Nologaten.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan wawancara, pertanyaan kunci tidak
ditanyakan sesuai rtera, tetapi diajukan menyesuaikan alur cerita
informan. Informan dipilih secara acak dikarenakan kurangnya
penduduk usia pelajar Sekolah Menengah Pertama di RT 03 RW,
Nologaten.
5. Analisis Data
Tidak semua data yang ada dipakai data yang terhimpun
disaring sesuai dengan topik yang akan dibahas dan didalami. Penulis
mengelompokkan data-data tersebut ke dalam sub-sub bab yang
kemudian akan dibahas dengan lebih rinci.
BAB II
LATAR SOSIAL
A. Gambaran Umum Latar
Gambar 2.1 Selokan Mataram dan Ambarukmo Plaza
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Padukuhan Nologaten terletak di Kecamatan Depok, Kabupaten
Sleman yang diapit Jalan Selokan Mataram di sebelah utara dan Plaza
Ambarukmo di bagian selatan. Akibatnya terdapat corak wilayah yang
berciri pedesaan dan perkotaan. Hal ini bisa dilihat dengan masih
banyaknya area persawahan di samping juga berkembangnya area
pertokoan di sepanjang jalan raya padukuhan. Selain itu, perkembangan
wilayah Nologaten juga dipengaruhi adanya Sekolah Tinggi Pariwisata
AMPTA. Hal tersebut membentuk masyarakat Nologaten baik dari segi
sosial-budaya dan ekonomi. Dalam segi sosial-budaya masyarakat
Nologaten memiliki sifat campuran antara sifat pedesaan dan perkotaan.
Di tempat kami melakukan observasi kami menemukan nilai-nilai
5
kehidupan bermasyarakat yang memiliki ciri khas dengan nilai-nilai di
daerah pedesaan termasuk konsep solidaritas. Di sisi lain wawasan dan
pola konsumsinya erat dengan ciri khas perkotaan.
Gambar 2.2 Desa Nologataen RW 01
Sumber : Dokumen Pribadi
Foto-foto di atas menunjukkan tempat penelitian kelompok kami
di RT 03 RW 01, Nologaten. Di daerah ini masih terdapat banyak rumah
warga yang dibangun semi permanen, bahkan peneliti juga menemukan
beberapa yang masih dibangun dari papan. Jika dibandingkan dengan
jalanan utama dari padukuhan dan wilayah-wilayah di sebelah barat jalan
utama yang mana rata-rata rumah warganya sudah berpagar dan
dibangun apik, maka daerah ini akan terlihat sedikit lebih kumuh dan
tidak tertata rapi.
Masyarakat dari RT 03 harus keluar menuju jalan utama untuk
membeli pulsa, token listrik, makanan, alat tulis, hingga fotokopi karena
di RT mereka tidak terdapat toko atau jasa percetakan kecuali toko
kelontong. Hal ini tidak dialami oleh masyarakat di wilayah barat jalan
6
utama karena dalam wilayah mereka sendiri sudah banyak toko, rumah
makan, bengkel sampai jasa cuci mobil.
BAB III
ANALISIS
Dalam penelitian ini, peneliti mewawancara enam informan yang
dilakukan di sekitar wilayah Nologaten. Dari wawancara tersebut, peneliti
mendapatkan data mengenai faktor apa saja yang berkaitan dengan konsumsi fast
food pada anak usia SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada lima faktor dalam membentuk
konsumsi fast food pada usia anak SMP. Pertama, motif pribadi. Kedua,
konsumsi. Ketiga, iklan, promosi, artis idola, dan peer group. Keempat, peer
group. Kelima, status sosial ekonomi.
Studi-studi sebelumnya menemukan bahwa pola konsumsi kini turut pula
dipengaruhi oleh artis idola (Thomson, 2006), bagaimana sekarang makanan
bukan saja dilihat sebagai pemuas kebutuhan biologis semata, namun juga
menjadi salah satu cerminan status sosial membuat orang-orang memilih
mengonsumsi makanan untuk memperlihatkan di mana status sosial dia berada
dibandingkan mengonsumsi semata-mata untuk kebutuhan tubuhnya (Twiss,
2011). Selain itu, kebiasaan konsumsi (belanja) remaja, dalam literatur yang
ditulis oleh Borges et al, turut dipengaruhi oleh peer group dan keluarga. Borges
mengatakan bahwa saat kegiatan konsumsi (belanja) dilakukan bersama teman,
para remaja muda berpikir bahwa itu adalah salah satu cara untuk menonjolkan
diri antara teman-temannya, dan membantu membuatnya diakui dalam
kelompok. Sedangkan dalam keluarga, para anggota keluarga yang lebih tua
cenderung untuk memiliki rasa ‘memfasilitasi’ yang lebih muda. Berikut
penjelasan dari kelima faktor tersebut.
8
A. Motif Pribadi
Terdapat motif atau dorongan pribadi bagi informan untuk
mengonsumsi fast food ala barat bersama dengan teman-temannya.
Dorongan Pribadi sendiri diartikan seberapa kuat seseorang merasa perlu
untuk meraih, mencapai, atau menyelesaikan sesuatu, terdapat dorongan
yang menggerakan seseorang bertingkah laku dikarenakan adanya
kebutuhan – kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh manusia.
Motif tidak dapat diamati secara langsung, namun dapat dilihat dari
apa yang dilakukan dan dikatakan oleh individu, seperti yang dilakukan
siswa smp sebagai informan kelompok kami, yang mengungkap, selain
pengaruh dari ajakan dari peer group itu sendiri yaitu pertama untuk
Refreshing dalam kagiatannya informan datang ke gerai fast food ala barat
untuk bertemu temannya, berbagi cerita tentang hobi mereka yang
memunculkan rasa kesenangan pribadi dan melupakan sejenak tugas dan
ujian sekolah untuk menghindari stress. Kedua karena adanya diskon
promosi untuk menghemat pengeluaran. Informan lebih memilih gerai fast
food ala barat yang mengadakan diskon promosi, harga yang murah
menjadi tetap menjadi alasan utama, walaupun terkadang menu makanan
yang disajikan tidak sesuai dengan keinginan informan.
1. Refreshing
Refreshing yang dimaksud adalah refreshing your
mind. Tidak hanya fisik saja yang butuh penyegaran pikiran
atau mental kitapun juga membutuhkan penyegaran Aktivitas
sehari - hari terkadang membuat kita merasa bosan dan jenuh.
Rasa bosan dan jenuh inilah jika dibiarkan lama - lama bisa
melebar menjadi salah satu penyebab stress. Sebagai siswa-
siswi SMP rutinitas sekolah, les/bimbingan belajar, ekstra
kulikuler yang mereka lakukan setiap hari juga dapat
9
menimbulkan rasa bosan. dan jenuh. Dalam hal ini remaja
seusia pelajar SMP bisa memiliki masalah dalam kemampuan
coping stress atau upaya menangani masalah stress terutama
stress di lingkungan sekolah.
Pergi untuk makan fast food bersama teman-teman
menjadi ajang refreshing bagi mereka, bersosialisasi adalah
kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Sebagai
makhluk sosial, bersosialisasi adalah kebutuhan. Menurut
Robinson (dalam Papalia, 2008) bahwa keterlibatan remaja
dengan teman sebayanya menjadi menjadi sumber dukungan
yang penting dalam masa pertumbuhannya sepanjang masa
transisi masa remaja.
Informan menjelaskan dalam kegiatannya mereka
membicarakan hobi dan menceritakan kejadian-kejadian
menarik disekolah. Kegiatan tersebut memberi manfaat
tersendiri bagi informan yaitu kesenangan dan dukungan serta
dapat mendekatkan mereka secara individu dan kelompok.
Seorang remaja yang mendapatkan dukungan yang tinggi dari
teman sebayanya akan merasa dicintai dan memiliki harga diri,
yang berdampak positif pada pemikiran sehari-hari dan
seseorang akan mudah untuk mengatasi stress.
2. Menghemat pengeluaran dengan menggunakan diskon promosi
Diskon adalah potongan harga pada setiap barang yang
dijual oleh para penjual agar produknya diminati oleh banyak
pembeli. Ada tiga jenis diskon promosi yang informan
gunakan yang pertama diskon kupon. Diskon kupon adalah
diskon yang diberikan kepada pembeli yang mempunyai kupon
pembelian, kupon tersebut dapat diperoleh pada pembeliaan
10
pertama dengan jumlah pembelian tertentu. Dan yang kedua
adalah diskon anggota, diskon anggota dalah diskon yang
berlaku untuk anggota tertentu, dan bagi yang tidak menjadi
anggota tidak diberikan diskon. Konsumen yang telah terdaftar
menjadi anggota pada waktu melakukan transaksi
mendapatkan diskon khusus sesuai dengan ketentuan yang
sedang berlaku. Terakhir adalah diskon waktu terbatas, diskon
ini berlangsung pada waktu yang singkat atau terbatas biasanya
pada saat gerai baru buka, perayaan hari besar, atau hari ulang
tahun gerai fast food tersebut. Dengan adanya diskon memberi
dorongan kepada informan untuk mengonsumsi fast food
informan merasa mendapat manfaat dari diskon tersebut yaitu
menghemat pengeluaran, mempunyai kesempatan untuk
mencoba menu dengan harga yang murah.
B. Konsumsi
Konsumsi dalam istilah sehari hari sering diartikan sebagai
pemenuhan akan makanan dan minuman. Konsumsi mempunyai
pengertian yang lebih luas lagi yaitu barang dan jasa akhir yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Barang dan jasa
akhir yang dimaksud adalah barang dan jasa yang sudah siap
dikonsumsi oleh konsumen. Barang konsumsi ini terdiri dari barang
konsumsi lima sekali habis dan barang konsumsi yang dapat
dipergunakan lebih dari satu kali (Nopirin,1997).
Dalam wawancara yang peneliti lakukan pada 14 – 15 April
2017 didapatkan fakta bahwa konsumsi informan di pengaruhi oleh
konsumsi keluarga dan konsumsi peer groupnya. Dari enam informan
yang peneliti wawancarai, tiga informan menyatakan bahwa konsumsi
11
mereka di pengaruhi oleh konsumsi keluarga, dua informan
menyatakan bahwa konsumsi mereka di pengaruhi oleh peer
groupnya, dan satu infoman menyatakan bahwa konsumsinya
dipengaruhi oleh konsumsi keluarga dan konsumsi peer groupnya.
Viorio mengatakan bahwa dia lebih sering mengunjungi gerai
makanan cepat saji ala barat bersama dengan keluarganya, sedangkan
Dhea menjelaskan bahwa dia terbiasa makan fast food dikarenakan
ibunya yang sibuk bekerja dan tidak sempat memasakkan makanan
untuknya.
Ibu dari informan Dhea membelikan anaknya fast food
dikarenakan beliau sibuk bekerja sehingga tidak sempat memasak
untuk anaknya dan juga dikarenakan anaknya menyukai makanan
tersebut, walaupun beliau sudah mengetahui bahwa fast food adalah
makanan yang tidak sehat, dan beliau berpendapat bahwa makanan
fast food dinilai praktis. Fakta yang peneliti temukan tersebut
didukung dengan penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan oleh
Khausik dkk yang mengatakan bahwa pola kerja orangtua – terutama
ibu – diketahui memiliki pengaruh besar dalam menentukan konsumsi
anak. Orangtua yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk
menyiapkan makanan sehat (Kaushik dkk, 2018).
“Kalo saya sih kerja sampe Sabtu ya makannya anak
saya sepengennya dia, kalo dia suka fast food yang Jepang,
kaya takoyaki, ramen (Dhea suka makan makanan cepat saji
ala Jepang seperti takoyaki dan ramen). Kalo saya jaman dulu
kan makan dikasih nasi sama keringan tempe” (Ibu dari
informan Dhea)
12
“Iya, ya gimana ya saya ngasih fast food ya walaupun
ngga sehat ya, ya emang ga sayur jadi kalau pagi dia makan
burger sama susu” (Ibu dari informan Dhea)
Informan kedua, Lia, menceritakan bahwa keluarganya tidak
pernah membiasakan dia untuk mengonsumsi fast food dan jika ibunya
tidak sempat untuk memasak. Dia akan membeli makanan (sayur) di
warung. Selain itu juga orang tuanya membiasakan dia untuk selalu
sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
“Mesti sarapan, kalau nggak sarapan, Bapak sama Ibu
bilang, "Nggak usah sekolah sekalian." gitu.”. (Lia)
Pernyataan Lia diatas membuktikan relevansi dari teori yang
dikemukanan oleh Kaushik dkk (2011). Dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa ada sebuah korelasi positif antara peningkatan
konsumsi makanan cepat saji, melewatkan sarapan, dengan indeks
massa tubuh meningkat yang ditemukan di kalangan remaja.
Vian mengatakan bahwa ia lebih sering makan di rumah
karena makan di rumah lebih sehat dan lezat selain itu ibunya juga
sering masak sesuai dengan keinginan anggota keluarga.
Story Box 01
Peneliti bertemu dengan Vian ketika ia sedang berkumpul
bersama dengan teman – temannya di Burjo yang terletak di
RW 01 RT 04 Nologaten, Caturtunggal. Vian dan teman –
temannya tidak memesan makanan, mereka memesan
minuman di burjo tersebut. Vian mengatakan bahwa kegiatan
yang sering dia dan teman – temannya ketika berkumpul
adalah bermain game online.
“Ya main itu lah game yang hits sekarang Mobile Legend
hahahahah (terbahak)” –Vian.
13
“Mending makan di rumah sehat hehehe, mending
masakan mama”
Kemudian, ia melanjutkan,
“Sering masak di rumah tapikan itu ditanyain mau
masak apa nih.” (Vian)
Vian juga mengatakan bahwa dia dan keluarganya tidak
pernah ke tempat makanan cepat saji ala barat, biasanya jika ingin
makan diluar dia dan keluarganya pergi makan ke Soto Betawi
Babasari. Selain bersama keluarga, Vian juga menjelaskan bahwa dia
dan temen-temannya juga sering makan bersama di Burjo yang ada di
dekat rumahnya.
Gambar 3.1 Ketika wawancara dengan Vian
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sandra menyatakan bahwa dia dan teman-temannya tidak
pernah mengonsumsi makanan cepat saji ala barat, mereka lebih
sering makan bakso atau mi ayam bersama.
“Biasanya ya cuma bakso, mi ayam.” (Sandra)
14
Informan yang selanjutnya, Lulu menjelaskan bahwa dia dan
temen-temannya sering mendatangi tempat makan fast food yang
tidak ala barat seperti Olive Chicken dan Popeye Chicken.
“Biasanya sih Popeye nek ra Olive mbak.” (Lulu)
Kemudian ia menambahkan
“(Makan di) Burjo Burneo, Indomie Rp6.000,
biasanya cuma Rp5.000 atau Rp4.000”
C. Iklan, Promosi, Artis Idola, dan Peer Group.
1. Iklan dan Promosi < Peer Group.
Mengikuti alur percakapan para informan, ketika ditanya
mengenai promo-promo yang dilakukan oleh restoran fast food, Lia,
informan kami yang sedang duduk di kelas tujuh MTS 9 Sleman
secara terus terang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak tertarik
untuk makan makanan cepat saji. Iklan, kupon, maupun inovasi
menu-menu terbaru yang dilakukan oleh restoran makanan cepat saji
tidak membuatnya tertarik untuk membeli, ia hanya akan pergi jika
ada salah satu teman peer groupnya yang mengajak.
“Ya kalau diajak ya mau-mau aja, Mbak.”
Saat diwawancara, Lia secara lebih detail menjelaskan alasan
dirinya tidak tergiur oleh inovasi menu baru dari restoran makanan
cepat saji adalah karena menu-menunya yang nyeleneh atau bisa
dibilang tidak biasa. Seperti salah satu brand makanan cepat saji yang
baru-baru ini mengeluarkan menu ayam goreng siram cokelat, Lia
merasa bahwa coklat bukan paduan yang pas untuk ayam goreng.
Menurutnya, coklat cocoknya dipadukan dengan roti atau dijadikan
campuran susu.
15
Berkaitan dengan kupon atau promo potongan harga, Lia
masih merasa bahwa makanan di rumah masih lebih lezat daripada
makanan yang dijual di restoran-restoran fast food. Selain itu,
menurutnya makan makanan yang sudah di rumah lebih hemat karena
ia tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membeli makanan.
Berbeda dengan ketika ia bersama teman-temannya, Lia hampir tidak
pernah menolak untuk diajak makan di restoran fast food.
Meskipun tidak seluruhnya mendukung pernyataan Lia, Dhea,
mengatakan bahwa teman-temannya adalah pemburu diskon dan
kupon dari restoran fast food, seringkali Dhea dan teman-temannya
membeli paket besar untuk dimakan bersama dengan diskon yang
membuatnya merasa diuntungkan. Dhea menganggap bahwa perilaku
teman-temannya ini secara tidak langsung membuatnya terpengaruh
untuk membeli makanan cepat saji, Dhea merasa bahwa hal ini
menguntungkan dirinya karena ia terkadang tidak perlu
mengeluarkan uang sama sekali.
Jawaban lain yang berlawanan dengan dua informan di atas
disampaikan oleh Lulu. Ia tidak pernah makan di restoran makanan
cepat saji, teman-temannya pun demikian. Aktifitas-aktifitas sepulang
sekolah seperti mengerjakan tugas dilakukan bersama-sama di rumah
seorang teman. Lulu dan teman-temannya tidak pernah menaruh
minat terhadap promosi-promosi makanan cepat saji, baik ala barat
maupun bukan. Bagi Lulu, makanan cepat saji adalah mi instan dan
Es Bangjoe (abang-ijo; merujuk pada warna abang (merah) dan ijo
(hijau) khas dari minuman tersebut) yang biasanya ia konsumsi di
Burjo. Lulu pernah makan di KFC, seringkali bersama dengan teman
karena ada event-event tertentu, ia jarang pergi dengan keluarga.
Selain itu, Lulu juga menyetujui pernyataan Lia yang menganggap
16
bahwa makanan cepat saji ala barat adalah makanan mahal, Lulu
merasa cukup hanya dengan makan di Burjo asalkan bersama dengan
teman-temannya.
Keempat informan di atas, mereka tidak selalu memperdulikan
promo, iklan maupun diskon yang diberikan oleh restoran-restoran
makanan cepat saji ala barat. Jika peer group mereka mengajak,
maka mereka akan pergi, jika tidak, mereka pun tidak terlalu
berminat untuk membeli. Dari kelima orang ini, peer group memberi
kontribusi besar bagi mereka untuk makan atau tidak makan fast
food.
Penelitian-penelitian di masa lalu telah menunjukkan bahwa
perilaku remaja cenderung untuk meniru perilaku teman-teman dalam
peer group mereka (Brechwood & Prinstein, 2011), serupa dengan
hal yang diterangkan di atas bahwa keempat informan cenderung
mengikuti apa yang teman-teman mereka lakukan. Semakin sering
iklan makanan ditayangkan, seperti yang dijelaskan oleh French et al
(2001), semakin banyak produk tersebut akan dimakan, akan tetapi,
wawancara kami dengan informan membuktikan hal tersebut tidak
benar. Setiap informan memiliki pandangan tersendiri terhadap
makanan yang akhirnya menjadi salah satu faktor bagi mereka untuk
tidak memilih fast food.
17
2. Artis Idola
Seperti yang telah dijabarkan di atas, dalam kaitannya dengan
inovasi menu yang disodorkan oleh restoran-restoran makanan cepat
saji, Lia memiliki pandangannya sendiri terhadap makanan yang
selanjutnya memberikan beberapa alasan bagi dirinya untuk tidak
langsung membeli fast food. Namun, ia menyatakan akan langsung
membeli fast food jika artis idola kesukaannya, Xena Xenita, menjadi
bintang iklan suatu brand fast food.
Foto 3.2 Xena Xenita
Sumber: Instagram Xena Xenita
Story Box 02.
Ketika ditanya tentang iklan, Lia sepenuhnya tidak setuju bahwa
iklan sanggup untuk membuatnya berangkat dan membeli langsung
makanan cepat saji, tetapi setelah ditanya mengenai pendapatnya
mengenai apabila artis idolanya membintangi iklan makanan cepat saji,
Lia, dengan senyum lebar mengatakan bahwa ia tentu akan membelinya.
Ia mengatakan bahwa membeli makanan cepat saji yang dibintangi oleh
idolanya akan membuat dirinya merasa dekat dengan sang artis idola.
18
Alasan utama dari Lia untuk langsung membeli fast food dari
brand yang dibintangi oleh idolanya adalah karena ia merasa dekat
dengan artis idolanya. Artis idola berubah menjadi suatu brand yang
baru, mereka secara profesional dapat diatur serta memiliki fitur-fitur
tambahan yang dapat diaplikasikan ke satu produk (Simon et al,
2004).
D. Peer Group
Menurut informasi dari informan yang penulis dapat, peer
group sangat mempengaruhi konsumsi makanan anak. Dari informasi
yang penulis dapat dari Lia, ia sering mengunjungi restoran fast food
ala barat dengan teman. Seringkali Lia dan kelompoknya jalan-jalan
ke mall, sehingga mereka menjadi ‘mengenal’ restoran-restoran fast
food ala barat. Dalam peer groupnya juga terdapat teman yang sudah
dibiasakan oleh orang tuanya untuk mengkonsumsi fast food. Hal ini
karena orang tua dari anak tersebut jarang memasak sehingga ia
menyediakan fast food untuk putrinya. Dari kebiasaan yang
diterapkan oleh orangtua anak tersebut, pola konsumsi pada anak
menjadi terbentuk sehingga nantinya anak akan menyebarkan pola
tersebut ke teman lainya. Sebagai contohnya, Lia kerap kali mendapat
ajakan teman untuk kosumsi di restoran fast food ala barat. Dan Lia
pun menyutujuinya. Dari ajakan tersebut, pola konsumsi pada diri
anak (Lia) terbentuk.
Story Box 03
Temanku pernah ada yang bilang, , "Eh aku gendutan nih, aku nggak
mau ah ke (gerai) fast food. Kita nggak usah pergi deh." Jadinya kan
nggak selera gitu kalau nggak ada teman makan. (Lia)
19
Menurut Lia, mengonsumsi fast food apabila tidak ada
temannya akan menghilangkan selera makannya. Hal ini karena dalam
peer group terdapat keterikatan atau yang biasa disebut dengan
solidaritas. Dikutip dari teori Ainsworth (1978) dalam Tiffani Aprilia
menjelaskan bahwa keterikatan adalah ikatan emosional yang
mendalam dan abadi yang menghubungan satu orang ke orang lain.
Keterikatan individu yang tinggi akan mempengaruhi kepribadian
individu lain dalam menghadapi kehidupan, individu dapat
mengembangkan tingkat solidaritasnya dan dapat bertukar informasi.
Seorang remaja yang memiliki keterikatan tinggi dalam peer groupnya
akan mendasarkan perbuatannya dengan dukungan dan persetujuan
peer groupnya.
Hal tersebut berbeda dari informan yang ke dua, Dhea. Dhea
sudah dibiasakan konsumsi fast food di dalam keluarganya. Ibu Dhea
sering menjajakan fast food untuk anaknya karena ia termasuk pekerja.
Jadi, tidak sempat untuk memasak untuk keluarga sehingga memilih
fast food karena praktis. Namun, dalam peer group Dhea, ia juga
sering mengonsumsi fast food ala barat meskipun bukan di gerai fast
food milik barat. Ia menjadikan makan di resto fast food sebagai
refreshing sekaligus mengerjakan tugas sekolah. Fast food
menurutnya tetap lebih enak bila makannya barengan. Dhea juga
kerap kali menikmati fast food dengan temannya karena potongan
harga, sehingga ia sering tidak keluar uang untuk jajan di gerai fast
food.
Informan yang ketiga, bernama Rahma Sandra. Ia masih duduk
di bangku kelas tujuh di SMP daerah Gunung Kidul. Dalam peer
groupnya yang bernama ‘konco kenthel’ mereka jarang sekali
mengunjungi gerai fast food ala barat. Mereka lebih sering konsumsi
20
Popeye, Quick Chicken, dan bakso. Saat di Jogja, Rahma juga pernah
mengkonsumsi makanan cepat saji ala barat dengan temannya.
Namun, pada saat itu ia mengunjungi gerai fast food dengan ibu dari
temannya pula, sehingga ia tidak mengeluarkan uang. Ketika teman
rahma membeli makanan seperti burger dengan harga yang mahal, ia
hanya menyimpan keinginannya dan tidak memutuskan untuk
membeli makanan tersebut. Melihat hal tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebiasaan konsumsi teman akan mempengaruhi
teman yang lainnya.
Kemudian informasi dari informan ke empat yang bernama
Viorio, ia lebih banyak mengkonsumsi fast food ala barat dengan
keluarganya dan belum pernah mengunjungi gerai fast ala barat food
dengan temannya. Vio dengan kelompok bermainnya lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah salah seorang temannya. Akan tetapi,
peran kelompok bermain tetap mempengaruhi konsumsinya pada fast
food ala barat. Vio akan terpengaruh jika temannya mengonsumsi
burger maupun Pizza Hut, menurutnya mengonsumsi fast food ala
barat tersebut akan menaikkan gengsinya.
Informan selanjutnya bernama Vari yang masih duduk di
bangku kelas dua SMP, SMP 2 Depok. Ia lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk nongkrong di burjonan sambil main Mobile Legend.
Vari juga pernah mengonsumsi fast food ala barat dengan teman
sekolahnya atas dasar ajakan teman. Vari berbeda dari informan yang
lain, ia tidak terlalu suka megonsumsi fast food ala barat. Walaupun ia
tak terlalu suka mengonsumsi fast food ala barat, ia akan tetap
menerima tawaran temannya jika ditraktir makan di gerai fast food ala
barat tersebut. Jadi, berdasar informasi yang diperoleh dari Vari,
21
kelompok bermain akan mempengaruhi konsumsi makan temannya
melalui ajakan, walaupun ia tak terlalu suka dengan makanan tersebut.
Informan yang ke enam yang bernama Lulu, memiliki
kesenangan meghabiskan waktu untuk motor-motoran yang tidak
memiliki tujuan yang jelas. Ia memiliki geng yang tidak pernah jalan-
jalan di mall dan jarang sekali makan bersama. Ia sedikit berbeda
dengan informan yang lainnya. Ia memutuskan untuk keluar dari
gengnya karea ia menganggap adanya geng malah membuat banyak
masalah karena ketidakcocokan antar anggota geng. Lulu lebih suka
mengonsumsi Popeye, Olive, Mister Burger, Indomie, dan bakso.
Sering kali ia mampir ke indomaret atau burjonan sepulang dari
motor-motoran. Selain itu, teman sebayanya juga lebih sering
mengajak ke burjonan. Apabila di rumah tidak ada makan, Lulu pun
lebih memilih makan yang segar-segar, contohnya bakso. Namun,
saat Lulu masih SD, ia pernah mengonsumsi fast food ala barat dengan
temannya atas dasar ajakan teman. Selain itu, ia juga mengikuti les di
KFC sehingga ia lebih sering konsumsi fast food ala barat ketika
masih SD.
Dari informasi yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa teman
sebaya ataupun kelompok main akan mempengaruhi teman lainnya.
Menurut Bernd and Perry (1990) dalam Papalia, D.E., Sally W. O.,
dan Ruth D.S., dalam Puspa Utami Putri remaja cenderung memilih
teman yang hampir sama dengan mereka dan teman yang saling
mempengaruhi agar menjadi semakin mirip. Keterikatan peer group
yang rendah dikarenakan remaja sulit menerima seseorang yang tidak
memiliki kesamaan dengannya. Sebaliknya, keterikatan peer group
yang tinggi disebabkan oleh banyaknya kesamaan antar anggota
22
peergroup yang nantinya akan mendorong tingkat solidaritas antar
anggota peer group tersebut.
Gambar 3.3
Sumber : Instagram Lulumeilany18
Pengaruh peer group memiliki kapasitas yang besar dalam
mempengaruhi perilaku, persepsi, dan sikap. Menurut Sriutari, D.
(2008), dalam Puspa Utami Putri penelitiannya menemukan bahwa
peer group mempengaruhi kebiasaan makan pada remaja putri.
Pernyataan tersebut sesuai dengan informasi yang didapatkan penulis
Pola konsumsi tersebut dapat ditularkan melalui beberapa cara, seperti
ajakan makan, keinginan saat melihat teman sedang makan, teman
memiliki kupon, dan gengsi. Mayoritas informan mengatakan bahwa
mereka mengonsumsi fast food ala barat karena ajakan kelompok
bermainnya. Hal tersebut menandakan dalam peer group yang
memiliki keterikatan yang tinggi, anggota peer group akan segan
untuk menolak ketika mendapat ajakan teman sebayanya.
23
E. Status Sosial Ekonomi
Faktor yang memengaruhi konsumsi salah satunya adalah
pengaruh dari status sosial ekonomi individu. Status sosial menurut
Mayor Polak adalah status dimaksudkan sebagai kedudukan sosial
individu dalam kelompok serta dalam masyarakat. Status mempunyai
dua aspek. Pertama, aspeknya yang agak stabil, dan kedua, aspeknya
lebih dinamis Polak mengatakan bahwa status mempunyai aspek
struktural dan aspek fungsional. Pada aspek ruang pertama sifatnya
hierarki, artinya memiliki perbandingan tinggi atau rendahnya secara
relatif terhadap status-status lain. Sedangkan, aspek yang kedua
dimaksudkan sebagai peranan sosial (social role) yang berkaitan
dengan status tertentu, yang dimiliki oleh seseorang (dikutip dari
Kajian Teori (KT1). Status ekonomi adalah kedudukan atau posisi
seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran
tentang keadaan seseorang atau masyarakat yang ditinjau dari segi
sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan,
dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan besar pembentuk gaya
hidup keluarga . Maka apabila digabung status sosial ekonomi adalah
tinggi rendahnya prestise yang dimiliki seseorang berdasarkan pada
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya atau keberadaan yang
menggambarkan posisi atau kedudukan suatu keluarga masyarakat
berdasarkan kepemilikan materi (KT2).
24
Gambar 3.4Ambarukmo Plaza
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Nologaten sebelumnya
pernah diteliti dimana Plaza Amabarukmo sebagai penyebab
pergeseran kondisi sosial ekonomi mereka. Dimana hal ini
mengungkap bahwa perubahan sosial budaya diawali dengan
perubahan budaya meteriil yang ditandai dengan berdirinya
Ambarukmo Plaza. Perubahan budaya materiil menyebabkan
perubahan budaya non materiil ditandai dengan pergeseran nilai-nilai
budaya Jawa kerena terbentuknya budaya modern, dan perubahan
perilaku dan kebiasaan belanja. Perubahan budaya non meteriil
menimbulkan dampak seperti budaya konsumtif, dan cultural lag.
Perubahan budaya non materiil menimbulkan perubahan sosial yaitu
perubahan terhadap struktur dan sistem kelas sosial yang baru.
Dijelaskan juga telah terjadi perubahan semu yang menciptakan
masyarakat setengah tradisional dan setengah modern (KT3).
Berdasarkan dari ciri-ciri informan yang kami teliti, mayoritas
mereka bersekolah di sekolah negeri baik SMP maupun MTs. Mereka
memiliki aktivitas di luar rumah yang banyak dilakukan bersama
teman-teman mereka. Informan bernama Sandra sering melakukan
25
aktivitas jalan-jalan menggunakan sepeda motor bersama teman-
temannya berkeliling desa serta mengerjakan tugas. Hal ini kemudian
didukung oleh ke lima informan lainnya, yaitu Vio, Vian, Yulia, Dhea,
dan Lulu dimana mengerjakan tugas sebagai alasan aktivitas mereka
bersama-sama. Bentuk kebersamaan tersebut berlanjut dalam bentuk
konsumsi makanan bersama-sama. Dimana terlihat informan Dhea,
Sandra, Yulia dan Lulu sama-sama mengonsumsi beberapa jenis
makanan. Salah satunya adalah ayam goreng tepung Olive dan
Popeye. Walaupun secara frekuensi informan Yulia, Dhea dan Sandra
lebih jarang mengonsumsi makanan sejenis Olive dan Popeye. Dimana
informan Dhea lebih sering mengonsumsi makanan cepat saji ala
jepang dan informan Sandra lebih sering mengonsumsi bakso dan mi
ayam. Alasan mereka memilih makan di Olive dan Popeye karena
alasan murah dan enak. Berbeda dengan informan lainya yaitu Vio dan
Vian dimana lebih memilih makan di rumah walau informan Vio dan
Vian pernah sekali makan di Olive dan Popeye. Hal ini disebabkan
oleh pengaruh dari orang tua mereka masing masing dimana informan
Vian mengatakan bahwa masakan ibu lebih enak daripada makanan
yang ada diluar rumah. Hal ini didukung oleh tindakan ibunya yang
menanyakan makanan apa yang diinginkan oleh keluarganya dan
mencoba mensanggupinya. Berbeda dengan informan Vio, Vio secara
pribadai mengatakan tidak terlalu suka makanan sejenis Olive dan
Popeye.
Pilihan tersebut dikondisikan dengan kemampuan uang saku
mereka masing-masing dimana rata-rata memiliki uang saku berkisar
Rp15.000-Rp20.000/hari. Uang saku tersebut peneliti temui tidak
terlalu berdampak signifikan terhadap keputusan konsumsi makanan
cepat saji. Mereka hanya membeli makanan cepat saji tersebut karena
26
alasan konsumsi bersama teman-teman mereka saja. Selain itu,
konsumsi tersebut juga dipengaruhi antara relasi individu dengan
orangtua teman individu. Hal ini dapat dilihat dari alasan mereka
mengonsumsi makanan cepat saji dengan cara ditraktir. Akibatnya,
pada lingkup pertemanan terjadi konstrusksi hierarki antara teman satu
dengan teman yang lainnya. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan
ekonomi orangtua masing-masing anak. Mereka yang tidak bisa
membeli sesuai dengan apa yang kelompok konsumsi, maka akan
terdorong untuk mengonsumsi juga, walau di sisi lain
ketidakmampuan membeli kemudian diselesaikan oleh traktiran atas
dasar solidaritas. Meskipun ada konsep traktir, orangtua informan
kemudian membekali anaknya dengan bahan makanan yang
digunakan apabila terdesak atau sebagai pelengkap makan sehari-hari.
Dapat dilihat dari pernyataan informan Sandra dimana Sandra dibekali
oleh ibunya suplai Energen dan Indomie.
Indikator lainnya adalah penggunan alat komunikasi telepon
genggam berbasis Android dimana kepemilikan telepon genggam
bukan lagi hal yang langka di kalangan pelajar SMP. Komunikasi
yang berlangsung kemudian termediakan oleh adanya grup WhatsApp.
Hal ini dialami oleh informan Sandra yang memiliki grup WhatsApp
bernama “Konco Kenthel” untuk berkomunikasi dengan teman-teman
nya. Hal ini menjadikan interaksi diantara mereka bisa terpusat dalam
satu kelompok di dunia maya dimana mereka bisa berkordinasi,
merencanakan dan mempersiapakan agenda mereka secara bersama-
sama dan kemudian melaksanakannya.
Dari kelima data informan di atas, dapat disimpulkan bahwa
konsumsi berasosiasi dengan status sosial ekonomi mereka masing-
masing. Dimana dalam peer group kondisi tersebut berfungsi sebagai
27
hierarki yang mengatur posisi antar individu di dalamnya. Hal ini
kemudian ditoleransi atas dasar solidaritas bersama-sama dimana
nilai-nilai pertemanan diutamakan untuk menjaga kelangsungan
pertemanan mereka.
Berdasarkan hasil penelitian yang mengambil tempat di sekitar wilayah
Nologaten, maka yang dapat dari disimpulkan temuan di lapangan adalah peer
group merupakan satu alasan utama mengapa para informan mengonsumsi fast
food. Jika ditanya mengenai konsumsi, maka peer group muncul sebagai alasan
utama mereka mengapa mereka memutuskan untuk membeli makanan cepat saji.
Kemudian, mengenai iklan, promo dan strategi marketing lain. Dari yang
dapat peneliti simpulkan, informan tidak terlalu menghiraukan hal-hal tersebut.
Dua dari informan kami mengatakan bahwa meskipun mereka memiliki voucher
atau bila sebuah restoran fast food ala barat memberikan kupon gratis makan,
mereka tidak akan pergi untuk membeli jika peer group mereka tidak mengajak.
Demikian pula dengan dua sub topik lain yang telah dibahas, status sosial
ekonomi dari informan tidak menentukan makanan apa yang ia makan, informan
cenderung mengikuti di mana saja peer group mereka makan karena yang
mereka inginkan adalah kebersamaan, bukan menu makanan yang disajikan.
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam penelitian yang peneliti lakukan terhadap tujuh siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di Nologaten. Kami mencatat beberapa faktor yang
berkorelasi dalam membentuk pola konsumsi mereka terhadap fast food yaitu,
motif pribadi, peer group, kebiasaan konsumsi, hingga status sosial ekonomi.
Faktor-faktor tersebut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi
tindakan baik di level individu maupun level kelompok dalam mengkonsumsi
fast food.
Faktor-faktor tersebut lahir akibat kondisi geografis, sosial dan budaya
serta posisi nya dalam sektor ekonomi. Nologaten dengan corak campuran
desa kota kemudian membentuk perilaku masyarakat nya yang unik. Semisal
kita masih dapat melihat anak-anak yang masih bermain di sawah di lain sisi
mereka juga bermain di tempat rekreasi modern. Tidak berhenti sampai disitu
hal ini juga berpengaruh dengan konsep pertemanan serta tindakan sosial
mereka. Maka dari sini kita dapat melakukan pemetaan sosial bahwa sebuah
peer group memiliki kekuatan tertentu baik dari segi ekonomi dan sosialnya.
Akibatnya tiap individu dan peer group terus mengkonstrusikan dirinya
sebagai bagian in group terhadap kelompoknya. Artinya bentuk toleransi
terhadap ragam apapun dari kelompok nya dapat di lewati atas nama
solidaritas.
Di lain sisi hal ini kemudian tidak selalu sejalan dengan apa yang
konsep peer group inginkan terdapat beberapa intervensi dari pihak luar (out
of peer group) yaitu orang tua. Disini fungsi sosialisasi terhadap apa yang
dapat dikonsumsi anak menjadikan anak berjalan. Anak kemudian dibiasakan
terhadap pola makan dirumah dan pandangan terhadap makanan rumah yang
29
menyehatkan. Hal ini kemudian menjadi penghalang kami dalam mencari
informan yang di harapkan.
Dari beberapa faktor tersebut, peer group menjadi faktor yang paling
dominan dalam membentuk pola konsumsi pelajar SMP dalam mengonsumsi
fast food. Hal ini terjadi karna peer group memberikan dan mengenalkan hal-
hal baru kepada informan termasuk pengenalan dan informasi tentang fast
food. Informan cenderung mengikuti ke mana peer groupnya pergi. Mereka
tidak memilih untuk makan fast food jika tidak diajak oleh teman, juga
cenderung untuk meniru perilaku teman-teman dalam peer group mereka.
(Brechwood & Prinstein, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
(KT1) Kajian teoritik, diakses daring http://digilib.uinsby.ac.id/342/5/Bab%202.pdf
(diakses pada 18 Mei 2018, 22:09 WIB)
(KT2) Kajian teori, diakses daring
http://etheses.uin-malang.ac.id/600/6/10410177%20Bab%202.pdf
(diakses pada 18 Mei 2018, pukul 21:30 WIB)
Ainsworth. 1978. The Book Pattern of Attachment : A Psychological Study of The
Strange Situation.New York : Halsted Press
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
Barasi, M.E. & R.F Mottram. 1989. Human Nutrition (edisi ketiga). London: England
Publisher
Borges, Adilson., J.C. Chebat., Barry J Babin. 2010. Does a companion always enchance
the shopping experience? Journal of Retailing and Consumer
Services.(www.elsevier.com/locate/jretconser)
Brechwood, W. A., & Prinstein, M. J. (2011). Beyond homophily: A decade of advances
in understanding peer influence processes. Journal of Research on Adolescence,
21(1), 166.
French, S., Story, M., & Jeffery, R. (2001). Environmental influences on eating and
physical activity. Annual Review of Public Health, 22(1), 309-335.
http://etheses.uin-malang.ac.id/600/6/10410177%20Bab%202.pdf
Kaushik, J.S., Manisha N., Ankit Parakh. 2011. Prespective : Fast Food Consumption in
Children, vol.48. New Delhi
Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional
Nopirin. 1997. Ekonomi Makro. Cetakan Keempat. BPFE: Yogyakarta
Papalia, D, E., Old, S. W., Feldman, & R. D. (2008). Human Development (terjemahan
A. K. Anwar). Jakarta: Prenada Media Grup
Papalia, D.E., Sally W. O., & Ruth D.S. 2008. Psikologi Perkembangan (edisi sembilan).
Jakarta: Kencana
Sari, RW. (2008). Bahaya makanan cepat saji dan gaya hidup sehat: dangerous junk
food. Yogyakarta: O2.
Sharkey, Joseph R., Cassandra M Johnson, Wesley R Dean, Scott A Horel. 2011.
Association between proximity to and average of traditional fast-food outlets and
fast food consumption among rural adults. International Journal of Health
Geographics. BioMed Central Ltd.
Simon, Roger., Dan Gilgoff., & Terence Samuel (2004). In the House of the Believers,"
US News and World Report, tersedia dalam daring www.usnews.com
Sriutari, Dyah. 2008. Pengaruh Peer Group Terhadap Kebiasaan Makan Remaja Putri.
Depok: Universitas Indonesia
Suyatna, Hempri. 2016. Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Sekitar Ambarrukmo
Plaza (Studi Tentang Perubahan Habitus dan Hysteresis yang Dialami
Masyarakat di Dusun Tempel dan Nologaten, Caturtunggal Depok Sleman).
Yogyakarta : Electronic Theses & Dissertations (ETD) Gadjah Mada University
Thomson, Matthew. 2006. Human Brands: Investigating Antecedents to Consumers’
Strong Attachments to Celebrities. Journal of Marketing. Vol 70(3). Amerika
Serikat: American Marketing Association
Twiss, Katheryn. 2012. The Archaeology of Food and Social Diversity. Springer Science
and Business Media
LAMPIRAN
A. Data Informan
1. Nama informan : Yulia Rona
Tanggal wawancara : 15 April 2018
Tempat wawancara : RT 3 RW 1 Nologaten
Pewawancara : Alda Aldera Geary
2. Nama informan : Viorio
Tanggal wawancara : 14 April 2018
Tempat wawancara : Warung burjo dekat basecamp
Nologaten,
Caturtunggal
Pewawancara : Endang Reforyani
3. Nama Informan : Vian Dwi Marwanto
Tanggal Wawancara : 15 April 2018
Tempat Wawancara : Warung Burjo RW 01 RT 04 Nologaten,
Caturtunggal
Pewawancara : Endang Reforyani
4. Nama Informan : Rahmawati Sandra
Tanggal Wawancara : 15 April 2018
Tempat Wawancara : Rumah Sandra RT 03 RW 01
Nologaten, Caturtunggal
Pewawancara : Ilham Ramadhan D Arifin
5. Nama Informan : Lulu Meilany
Tanggal Wawancara : 15 April 2018
Tempat Wawancara : Rumah Lulu RT 04 RW 01 Nologaten
Pewawancara : Khotima Galuh Nindya Saputri
6. Nama Informan : Dhea
Tanggal Wawancara : 15 April 2018
Tempat Wawancara : RT 01 RW 03 Nologaten
Pewawancara : Devia Putri Maharani
B. Data Networking (Tugas Individu)
1. Devia Putri Maharani
PEER GROUP
•REFRESHING
•KESAMAAN HOBI
• MENGERJAKAKN TUGAS
•KEINGINAN MAKAN BERSAMA
FAST FOOD
•KUPON PROMO
•BUY 1 GET 1
•DISKON
•DI TRKTIR TEMAN
ANAK SMP
•ORANG TUA BEKERJA
•UANG SAKU YANG CUKUP
•HUBUNGAN DEKAT PG - ORTU
2. Alda Aldera Geary
3. Khotima Galuh Nindya Saputri
4. Endang Reforyani
5. Ilham Ramdhan D Arifin
B. Data Networking Kelompok
C.
C. Poster
D. Pembagian tugas per sub-bab.
1. Motif Pribadi : Devia Putri M.
2. Konsumsi : Endang Reforyani
3. Iklan, Promosi, Artis Idola, dan Peer Group : Alda Aldera G.
4. Peer Group : Khotima Galuh N.S
5. Status Sosial dan Ekonomi : Ilham Ramadhan D.A
E. Daftar Pertanyaan Inti
1. Apakah Anda memiliki kelompok bermain atau belajar?
2. Apakah Anda dan teman anda memiliki waktu khusus untuk pergi
bersama?
3. Apakah Anda memiliki kegiatan rutin yang dilakukan bersama peer group
Anda?
4. Di mana Anda biasanya melakukan kegiatan tersebut?
5. Dengan siapa Anda pergi ke gerai makanan cepat saji?
6. (Jika narasumber mengatakan bahwa ia pergi dengan peer group)
Seberapa sering Anda dan peer group Anda mengunjungi gerai makanan
cepat saji?
7. (Jika narasumber mengatakan bahwa dia dan peer groupnya tidak sering
datang ke gerai makanan cepat saji.) Dengan siapa Anda sering pergi ke
gerai makanan cepat saji?
8. Jika peer group Anda mengkonsumsi makanan cepat saji, apakah Anda
akan terpengaruh (juga ingin mengkonsumsi makanan tersebut)?
Mengapa?
F. Kompilasi Tugas Individu
Nama
Daftar Tugas
Reflection Diary
Mind Mapping
Verbatim Transcript Coding Indexing
Devia Putri
Maharani ● ● ● ● ●
Alda Aldera Geary ● ● ● ● ●
Endang Reforyani ● ● ● ● ●
Ilham Ramadhan D.A ● ● ● ● ●
Khotima Galuh
Nindya S. ● ● ● ● ●