metode penafsiran tafsir kontemporer surah al-...
TRANSCRIPT
METODE PENAFSIRAN TAFSIR KONTEMPORER SURAH AL-
FATIHAH KARYA NASHRUDDIN BAIDAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Monatria
NIM: 1112034000014
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H. /2019 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: "Metode Penafsiran Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah
Karya Nashruddin Baidan" diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Juli 2019. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata
I (St) pada Jurusan Tafsir Hadis"
Jakarta, 12 Juli 2019
Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang
Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKHNrP. 19820816201503 1004
Penguji I Penguji II
Dr. Eva NNrP. 19710
Dr. M M.NrP. 19600908198903 I 005
-r- ItDrs. Ahmad Rifqi Mug-htar, M4
NIP. 196908221997031 002
Pembimbing,
NIP. I 978081820090
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yar,g diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
3. Jika ditemukan kemudian hari terbukti bahwakarya ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 13 Mei 2019
iv
ABSTRAK
Monatria
Metode Penafsiran Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah Karya Nashruddin
Baidan
Penelitian ini fokus mengkaji tentang metodologi penafsiran dalam Tafsir
Kontemporer Surah al-Fatihah karya Nashruddin Baidan. Alasan menetapkan
topik ini adalah karena kepakaran/ketokohan Nashruddin Baidan dalam bidang
tafsir, di samping metode penafsiran yang digunakannya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana metodologi yang digunakan atau yang
diterapkan oleh Nashruddin Baidan dalam bukunya Tafsir Kontemporer Surah al-
Fatihah.
Metode yang digunakan adalah kualitatif yang bersifat Library Research
(kepustakaan). Sumber data utamanya adalah buku Tafsir Kontemporer Surah al-
Fatihah, Tafsir al-Qur’an di Indonesia, dan Metodologi Penafsiran al-Qur’an;
menggunakan teknik analisis data dengan proses pengumpulan data, interpretasi
data, dan penulisan naratif. Tahapan penelitian yang penulis tempuh, berawal dari
pengumpulan data atau buku, kemudian penulis mulai mencari tahu tentang
Nashrudddin Baidan, selanjutnya mengurai metode penafsirannya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa di dalam buku Tafsir Kontemporer
Surah al-Fatihah, Baidan memahami al-Qur’an dengan cara mengemukakan
ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti. Sumber penafsiran yang digunakan
dalam pembahasan ini adalah tafsir bil ma’tsūr. Pembahasan tafsir ini tidak sepi
dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi. Penulis dapat menyimpulkan
juga, Baidan menggunakan corak tafsir ‘Ilmi, yang berusaha menjelaskan istilah
ilmiah yang terdapat dalam tafsir surah al-Fatihah. Baidan juga seorang yang
konsisten dalam penulisannya. Walaupun tidak semua metode yang tertera dalam
buku Metodologi Penafsiran al-Qur’an itu dicantumkan, namun Baidan
menjelaskannya metodenya secara rinci dan mudah untuk dipahami oleh
masyarakat.
Kata Kunci: Al-Fatihah, Tafsir Kontemporer
v
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الر حمن الرحيمSegala puji dan rasa syukur yang tak terhingga kehadirat Allah Swt yang
karena taufiq dan hidayah-Nya saya bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Metode Penafsiran Tafsir Kontemporer Surah al-Fātihah Karya Nashruddin
Baidan” serta shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw.
Dalam penulisan skripsi ini, masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan,
dan ini merupakan keterbatasan penulis dalam penelitian ini, semoga kelak
ditelaah kembali dan dilengkapi kesalahan yang ada pada skripsi ini. Bimbingan
dan arahan dari beberapa pihak serta berbagai kritikan, atas segala bantuan penulis
sampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta: Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A. selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan Dr. Yusuf
Rahman, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. Dr. Eva Nugraha,
M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan Fahrizal
Mahdi, Lc., MIRKH selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
2. Bapak Syahrullah, M.A. selaku pembimbing yang tidak pernah lelah dan
bosan memberikan bimbingan dan semangat agar bisa menyelesaikan
skripsi ini.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag. selaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, motivasi serta semangat dan keyakinan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
vi
Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen di Jurusan Tafsir Hadits
yang tak pernah mengeluh untuk mengajar disetiap lelahnya dan memberikan
penulis kesempatan menimba berbagai ilmu, semoga Allah membalas
kebaikannya dengan sebaik-baik balasan. Amiin. Kemudian penulis haturkan
ucapan terimakasih teristimewa kepada;
1. Ayahanda Jamaluddin dan Ibunda Faridah Hanum, penyemangat hidupku,
kasih sayang serta dukungan merekalah sehingga penulis bisa melewati
banyak rintangan dan cobaan dalam menjalani kehidupan, serta
memberikan inspirasi di setiap langkah untuk kehidupan yang lebih baik di
masa-masa yang akan datang.
2. Kedua abangku (Fajar Jumadil dan Arief Baiquny), adikku (Afdan
Maulana), serta kakak iparku (Cut Aja Fauziah al-Habsyie) karena
merekalah penulis merasa semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Sahabat Seperjuangan Penulis (Ngumdaturrosidatuszahrok, Marhamah
Pohan, Mery Fitrianis, Yasmin Hafidzoh, dan Elfa Cahya) yang tidak
pernah lelah menemani dan memberikan semangat kepada penulis. Juga
kepada teman-teman seperjuangan lainnya di Tafsir Hadis angkatan 2012,
yang selalu menyemangati penulis.
4. Sahabat Pencari Pundak (Cut Rosa Meilisa, Rauzatul Mulia, Putri Andira,
Osha Nabila, Dewi Rahmayuni, dan Zahrina Masthura) yang tidak pernah
mengenal lelah ketika penulis meminta saran dan masukannya.
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Permasalahan .......................................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 6
D. Kajian Pustaka ........................................................................................ 7
E. Metodologi Penelitian .......................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 13
BAB II. PROFIL NASHRUDDIN BAIDAN
A. Riwayat Nashruddin Baidan ................................................................. 15
B. Karya-karya Nashruddin Baidan .......................................................... 16
C. Pemikiran Tafsir Nashruddin Baidan ................................................... 17
BAB III. METODE PENAFSIRAN
A. Pengertian Metode Tafsir ..................................................................... 23
B. Pengertian Kebahasaan dan Istilah Tafsir ............................................ 24
vii
C. Ragam Metode Penafsiran Komentar Ulama ....................................... 27
BAB IV. ANALISIS PENAFSIRAN SURAH AL-FATIHAH
A. Tinjauan Umum Surah al-Fatihah ........................................................ 33
B. Penamaan dan Latar Belakang Penulisan Tafsir .................................. 36
C. Komparasi Penafsiran Nashruddin Baidan dengan Penafsir Lain ............
.............................................................................................................. 39
D. Metode Penafsiran Surah al-Fatihah .................................................... 44
1. Penafsiran Term Kunci Surah Al-Fatihah .................................... 44
2. Sumber Penafsiran ........................................................................ 52
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 56
B. Saran-saran ........................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA
viii
PEDOMAN TRANSLITRASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
kepada Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, No: 507 Tahun 2017
tentang pedoman penulisan karya illmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan - ا
b Be ب
t Te ت
ts Te dan Es ث
j Je ج
h H dengan titik bawah ح
kh Ka dan ha خ
d De د
dz De dan Zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy Es dan Ye ش
ṣ Es dengan titik di ص
ix
bawah
ḍ De dengan titik di ض
bawah
ṭ Te dengan titik di ط
bawah
Ẓ Zet dengan tiitk d ظ
bawah
Apostropter balik ‘ ع
gh Ge dan Ha غ
f Ef ف
q Qi ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ھ
Apostrop ’ ء
y Ye ي
x
B. Tanda Vokal
1. Vokal Pendek
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatah
I Kasrah
U Damah
2. Vokal Panjang
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan Contoh
 ىاA dengan topi di
atas
ال ق : Qâla
Î I dengan topi di atas ىي
ل ي ق : Qîla
Û ىوU dengan topi di
atas
ل و ق ي : Yaqûlu
3. Diftong
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يئ Ai A dan I
وئ Au A dan U
xi
4. Kata Sandang (ال)
Al-Qomariyah د ال م س ج al-Masjid
Al-Syamsiyah الضر و ر ة al-Ḍarûrah
5. Tasydid ) )
Contoh Tarnsliterasi
ية ال م س ل al-Islâmiyyah
Rabbuna ر ب ن ا
6. Ta Marbuṭah
Kata Arab Transliterasi
ر ي ق ة ط Ṭarîqah
ية م س ل al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah ال ام ع ة ال
ة ال و ج و د د Waḥdah al-Wujûd و ح
7. Singkatan-Singkatan
Singkatan Keterangan
QS. al-Qur’an Surah
xii
Swt. Subḥanahu wa Ta‘ālā
Saw. Ṣallallāhu ‘Alaihi Wasallam
Ra. Radhiyallāhu ‘Anhu
h. Halaman
Terj. Terjemah
Ibn b.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan penafsiran al-Qur‟an di Indonesia berbeda dengan
perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al-
Qur‟an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur‟an. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa al-
Qur‟an adalah bahasa Arab dan bahasa Arab adalah bahasa mereka, mereka tidak
mengalami kesulitan ketika mereka menafsirkannya, sehingga proses penafsiran
juga lumayan cepat dan berkembang dengan pesat.1
Metode tafsir di Indonesia yang menggunakan metode terjemah lebih dahulu,
menimbulkan kecendrungan penafsiran yang lebih mengarah kepada metode
penafsiran tematik, maka kajian tafsir yang berkembang lebih banyak pada tafsir
tematik.2 Perkembangan tentang al-Qur‟an di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga
hal yaitu pertama, Indonesia telah memploklamirkan kemerdekaannya. Kedua,
didirikannya perguruan tinggi. Ketiga, tingkat intelektual yang semakin membaik.
Karena itulah pengkajian tafsir sudah dilakukan secara formal.3
Penafsiran al-Qur‟an di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periode,
adapun perbedaan pendapat antara periode-periode ini. Menurut Howard M.
Federspiel, masa kemunculan dan pembagian tafsir al-Qur‟an di Indonesia ke
1Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2013), h. 163.
2Muhammad Zaini, „Ulumul Qur‟an Suatu Pengantar (Banda Aceh: Yayasan PeNA,
2014), h. 126.
3Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
cet.IV 2012), h. 13.
2
dalam tiga generasi. Generasi pertama, permulaan abad ke-20 sampai tahun 1960.
Generasi kedua, muncul pada pertengahan tahun 1960-an. Generasi ketiga, mulai
dari tahun 1970-an.4
Berbeda dengan Federspiel, Nashruddin Baidan membagi perkembangan
karya tafsir secara umum di dunia Islam terbagi dalam empat periode.5 Periode
pertama disebut dengan periode klasik yaitu antara abad VII-XV M. Periode
kedua disebut dengan periode tengah yaitu antara abad XVI-XVII M. Periode
ketiga disebut dengan periode pramodern yaitu abad XIX M. Periode keempat
disebut dengan periode modern yaitu abad XX M.6
Tafsir memegang peran penting dalam kajian Islam. Ia merupakan salah satu
cabang penting dalam pemahaman ajarannya. Jika penyebaran Islam diduga sudah
mulai menyentuh wilayah nusantara sejak abad 13, maka kenyataan di atas cukup
memprihatinkan. Sebab hal demikian akan menimbulkan persepsi tidak
menguntungkan bagi sejarah intelektual umat Islam di Indonesia. Padahal dalam
sejarahnya, dinamika intelektual umat Islam sebelum abad 19 memiliki intensitas
yang cukup tinggi. Khusus mengenai Tafsir Indonesia, wilayah ini tampaknya
tidak mencatat perkembangan pesat. Berbeda dengan disiplin ilmu lain seperti
tasawuf, fikih, atau filsafat.7
Dalam konteks sarjana Muslim Indonesia, mereka cukup produktif dalam
mereproduksi makna al-Qur‟an dan membukukannya dalam sebuah karya. Sejarah
mencatat adanya sebuah penggalan karya tafsir surah al-Kahfi dalam bahasa
4Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga
Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), h. 29-68. 5Abu al-Hayy Al-Farmawy, Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu‟i (Mesir : Maktabah al-
Jumhuriyyah, 1977), h. 45. 6Nashruddin Baidan, Tafsir al-Qur‟an di Indonesia (Tiga Serangkai: Pustaka Mandiri,
2002), h. 32-81.
7Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Cileduk: Mazhab Ciputat, 2013), h. 2.
3
Melayu. Jelasnya, karya tersebut termasuk kajian al-Qur‟an yang telah terbangun
dengan baik, dan tidak kalah dari terjemahan Hamzah Fansuri telah mencapai
standar yang tinggi. Karya tafsir ini merefleksikan perbedaan penafsiran atas
surah al-Kahfi dan mazhab tasawuf yang berbeda dengan Hamzah Fansuri (w.
1636 M).8
Kemunculan metode tafsir berkembang sesuai kebutuhan pada setiap
masanya. Nashruddin Baidan mengungkapkan bahwa, pada masa-masa awal
Islam tidak ditemukan ulama salaf yang membahas tentang metodologi tafsir
secara khusus.9 Karena pada saat itu mereka belum merasa perlu menetapkan
kajian khusus mengenai metodologi tafsir, karena pada umumnya mereka
menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan al-Qur‟an. Metode
tafsir yang pertama kali muncul saat itu adalah metode ijmāli (global), yang
mengambil bentuk dalam tafsir bil ma‟tsūr, kemudian nantinya diikuti oleh
bentuk ar-ra‟yi, seperti dalam tafsir Jalālain.10
Menurut Nashruddin Baidan, metodologi tafsir bagian dari ilmu tafsir, tetapi
belum jelas antara posisinya dalam tatanan ilmu tafsir. Menurut Baidan, posisi
dari metodologi ini harus jelas supaya dapat diketahui urgensitasnya. Untuk
memudahkan dalam pemahaman metodologi tafsir, Nashruddin memberikan
penjelasan berupa skema.
Skema ilmu tafsir terbagi dua, pertama komponen eksternal yang terdiri dari
jati diri al-Qur‟an (Sejarah al-Qur‟an, Asbāb al-Nuzūl, Qiraat, Nasikh-Mansukh,
8Irwan, Anallisis Metodologi Tafsir al-Fātiḥah karya Achmad Chodim (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), h. 4. 9Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga
Quraish Shihab, h. 29-68.
10
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), h. 195-200.
4
Muhkām-Mutasyābih, Mu‟jizat al-Qur‟an, Munasabat, Kaidah Tafsir, dan lain-
lain) dan kepribadian mufasir (ikhlas, jujur, berakhlak mulia, akidah yang benar,
dan lain-lain). Yang kedua, dilihat dari kompenen internalnya terbagi tiga
kompenen, pertama bentuk tafsir riwayat (bi Ma‟tsūr) dan pemikiran (bi Ra‟yi),
kedua metode tafsir (Ijmālī, Taḥlīlī, Muqārran, Maudhū‟i), yang ketiga corak
tafsir (Sūfī, Fiqh, Falsafī, „Ilmī, Adabī Ijtimā‟ī, dan lain-lain).11
Dari sekian banyak namanya, maka “al-Fātiḥah” adalah nama yang paling
populer sehingga apabila seseorang membaca atau mendengar frase itu, maka
secara spontan langsung terlintang di dalam benaknya surah yang pertama di
dalam mushaf, bukan yang lain. Demikianlah semua nama yang diberikan kepada
surat ini sangat cocok dengan fungsi dan kedudukannya, baik dalam mushaf
sebagai pembuka semua surah, maupun dalam memberikan tuntunan kepada umat
agar mereka dapat menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi ini dengan
selamat.12
Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah ini ditulis sebagai upaya untuk
memberikan setitik pemahaman mengenai surah al-Fātiḥah bagi umat Islam,
khususnya umat Islam di Indonesia yang merupakan mayoritas di negara
Pancasila ini. Tafsir al-Fātiḥah dalam buku ini kiranya sangat diperlukan untuk
umat Islam saat ini, karena memang penafsirannya senantiasa dikaitkan dengan
konteks dan situasi kontemporer sehingga benar-benar “membumi”. Judulnya
Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, tafsir ini ditulis oleh Prof. Dr. H.
Nashruddin Baidan, tebal bukunya 136 halaman, buku tafsir ini diterbitkan di
11Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, h. 9.
12Nashruddin Baidan, Tafsir al-Qur‟an di Indonesia, h. 32-81.
5
Yogyakarta pada tahun 2012 dengan penerbit Pustaka Pelajar. Kemudian tafsir ini
masuk ke dalam periode modern.13
Sebagai gambaran umum al-Fātiḥah, Nashruddin Baidan menafsirkan ayat
per ayat secara berurutan.14
Dalam tafsirnya, ia juga menjelaskan i‟rab dalam
suatu ayat, seperti contoh lafaz اهلل, dalam kaitan ini meskipun huruf-huruf yang
membentuk lafaz اهلل, itu diteliti satu persatu, namun konotasinya tetap utuh
sebagaimana yang dinyatakan oleh Mutawalli al-Sya‟rawî (w. 1998H), seperti
dikutip Quraish Shihab: “Apabila dihapus huruf alif pada (lafal) Allah اهلل, kita
akan menemukan bacaan “هلل” (lillāhi) yang berarti „demi karena Allah‟; kemudian
apabila dihapus huruf lam (ل) pada “هلل” dia akan dibaca ‘له’ (lahu) yang berarti
“kepada-Nya”; sekiranya dihapus lagi lam (yang kedua) kita akan akan
membacanya ‘ه’ (hu) (Dia) yakni “Allah”. 15
Ada beberapa alasan yang mendorong penulis memilih tema penelitian ini.
Sarjana Muslim Indonesia tidak kalah produktifnya dalam menghasilkan karya
tafsir. Terbukti dari beragam karya tafsir dari generasi awal hingga saat ini yang
ditulis para sarjana Muslim Indonesia. Surah al-Fātiḥah merupakan fatiḥat al-
kitāb atau pembukaan kitab, karena al-Qur‟an dimulai dengan surah ini. Surah al-
Fātiḥah juga surah yang amat masyhur, namun banyak diantara kita yang masih
belum mengetahui fadhilah dan keutamaannya. Nashruddin Baidan memiliki
banyak karya tentang kajian metodologi tafsir dan beberapa tafsir yang salah
satunya adalah Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, sehingga penting untuk
melihat sisi metode tafsirnya.
13Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 4.
14
Lihat daftar isi buku Tafsir Kontemporer, h. xi.
15
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 23.
6
Dengan alasan yang telah dipaparkan di atas, maka ini perlu untuk dijadikan
sebuah skripsi dengan judul “Metode Penafsiran Tafsir Kontemporer Surah al-
Fatihah Karya Nashruddin Baidan”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari permasalahan yang timbul dari latar belakang di atas, penulis
memfokuskan penelitian ini pada pengaplikasian skema metodologi tafsir dengan
tafsir, yakni bagaimana melihat metode tafsir surah al-Fātiḥah karya Nashruddin
Baidan dengan menggunakan kajian skema metodenya.
2. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan di atas, maka penulis membatasi permasalahan seputar
Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah Karya Nashruddin Baidan. Yaitu analisis
metodologi penafsiran Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang
dibahas dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana metode tafsir Nashruddin Baidan
dalam karyanya Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah ?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Untuk mengetahui metode yang diterapkan oleh Nashruddin Baidan di
dalam karyanya Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah.
2. Manfaat
7
a. Teoretis
Secara teoretis, skripsi ini akan mengurai metode tafsir yang
dimiliki oleh Nashruddin Baidan dalam karya tafsirnya yang berjudul
Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah.
b. Praktis
Secara praktis, untuk memenuhi syarat lulus jenjang S1 di Jurusan
Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Pustaka
Untuk menghindari kesamaan pembahasan skripsi ini dengan yang lainnya,
saya menelusuri kajian-kajian yang telah dilakukan atau memiliki kesamaan. Dari
hasil karya ilmiah yang temukan, ada beberapa yang berhubungan dengan judul
ini, diantaranya.
Pembahasan Rena Yuniar dengan judul Analisis Metodologi Tafsir Pase:
Kajian Surah al-Fātiḥah dan Surah-surah dalam Juz „Amma: Paradigma Baru,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Skripsi ini
mengungkap metodologi Tafsir Pase sebagai tafsir berparadigma baru,
kesimpulan itu didapat salah satunya adalah dari sistematika penerjemahan
tafsirnya yang dilengkapi dengan sajak yang berbahasa Aceh atau Nazham
Aceh.16
Persamaan dengan skripsi ini adalah terkait pembahasan surah al-Fātiḥah,
sedangkan perbedaannya adalah mengenai tafsir dan metode yang digunakan.
16Rena Yuniar, Analisis Metodologi Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fātiḥah dan Surah-
Surah dalam Juz „Amma: Paradigma Baru (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005).
8
Irwan dalam skripsinya yang berjudul Analisis Metodologi Tafsir al-Fātiḥah
karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.Skripsi ini membahas
tentang metode yang digunakan dalam karya tafsir Achmad Chodim yaitu tafsir
dengan metode tematik dan hanya memaparkan makna dari surah al-Fātiḥah
secara mendalam oleh Achmad Chodim.17
Persamaan dengan skripsi ini adalah
terkait pembahasan surah al-Fātiḥah, sementara perbedaannya adalah mengenai
tokoh dan metodologi yang digunakan.
Lanjut dengan Muhammad Syahrul Mubarak dalam tesisnya yang berjudul
Kontektualisasi Surah al-Fātiḥah dalam Tafsīr al-Tanwīr Muhammadiyah,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2017. Tesis ini membahas
tentang Tafsīr al-Tanwīr merupakan sebuah karya terbaru dalam bidang tafsir
yang muncul di Indonesia. Tafsīr al-Tanwīr ini menjadi tafsir kelembagaan
Muhammadiyah yang disusun oleh tim dari Majelis Tarjih dan Tajdid.18
Perbedaannya adalah tafsir yang digunakan, sedangkan persamaannya adalah
pembahasan surah al-Fātiḥah.
Irvan dalam skripsinya yang berjudul Konsep Ibadah dalam al-Qur‟an
Kajian Surah al-Fātiḥah 1-7, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2014. Skripsi ini membahas tentang konsep ibadah dalam surah al-Fātiḥah
tercakup dalam ayat kelima yakni iyyāka na‟budu wa iyyāka nasta‟īn.19
17Irwan, Analisis Metodologi Tafsir al-Fātiḥah karya Achmad Chodjim; Aplikasi
Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010).
18
Muhammad Syahrul Mubarak, Kontektualisasi Surah al-Fātiḥah dalam Tafsir at-
Tanwir Muhammadiyah (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017).
19
Irvan, Konsep Ibadah dalam al-Qur‟an Kajian Surah al-Fātiḥah 1-7 (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).
9
Persamaannya adalah berkaitan dengan pembahasan surah al-Fātiḥah, dan
perbedaannya adalah pada skripsi saya bahas tentang metodologinya.
Rizqi Ali Azhar dalam skripsinya yang berjudul Penafsiran Surah al-Fātiḥah
Menurut Muhammad Romli dan Moh E. Hasim (Studi Komparatif atas Tafsir
Nurul-Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun), Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta 2016. Skripsi ini membahas tentang metodologi penafsiran
pada tafsir Nurul-Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun memiliki metodologi yang
hampir sama, yang berbeda hanyalah teknis teknis penulisan dan sumber
penafsiran, yaitu Nurul-Bajan menggunakan tulisan dengan ejaan lama,
sedangkan Ayat Suci Lenyepaneun sudah menggunakan ejaan yang telah
disempurnakan.20
Persamaannya dengan skripsi ini adalah terkait pembahasan
surah al-Fātiḥah, sedangkan perbedaannya adalah skripsi ini membahas tentang
studi komperatif.
Rofida Ulya dalam skripsinya yang berjudul Tafsir Surah al-Fātiḥah Menurut
KH. Ahmad Rifa‟i dalam Kitab Nazam Tasfiyyah, Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang, 2018. Skripsi ini membahas tentang tafsir surat al-Fātiḥah,
dan yang diteliti adalah metode yang digunakan oleh KH Ahmad Rifa‟i dalam
kitabnya adalah metode ijmali, sedangkan dari penulisan tafsir menggunakan bait-
bait yang indah dan senada dan cenderung bercorak al-adab al-ijtimā‟i, dan juga
beberapa kritikan mengenai surah al-Fātiḥah.21
Persamaan dengan skripsi ini
adalah terkait pembahasan surah al-Fātiḥah, sedangkan perbedaannya adalah
tokoh dan kitabnya.
20Rizqi Ali Azhar, Penafsiran Surah al-Fātiḥah Menurut Muhammad Romli dan Moh E.
Hasim (Studi Komperatif atas Tafsir Nurul-Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun) (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016).
21
Rofida Ulya, Tafsir Surah al-Fātiḥah Menurut KH. Ahmad Rifa‟i Dalam Kitab Nazam
Tasfiyyah (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,UIN Walisongo Semarang, 2018).
10
Karyadi dalam skripsinya yang berjudul Studi Komperatif Aspek-Aspek
Metodologis Penafsiran al-Qur‟an Menurut Fazlur Rahman dan Hassan Hanafi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. Skripsi ini membahas
tentang perbandingan hermeneutik dalam penafsiran al-Qur‟an menurut Fazlur
Rahman dan Hassan Hanafi.22
Persamaan dengan skripsi ini adalah berkaitan
dengan metodologi penafsiran al-Qur‟an, sedangkan perbedaannya adalah
pembahasan mengenai surah al-Fātiḥah.
Ahmad Fauzi dalam skripsinya yang berjudul Shafwatut Tafasir (Studi
Analisis Metodologi Penafsiran al-Qur‟an Karya al-Sabuni) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Skripsi ini membahas poin-poin yang
ditemukan oleh Ahmad Fauzi tentang kitab Shafwatut Tafasir.23
Persamaan
dengan skripsi ini adalah menganalisis metodologi, sedangkan perbedaannya
adalah pada skripsi saya membahas tentang keselarasian metode dengan tafsir
surah al-Fātiḥah.
Wilda Kamalia dalam skripsinya yang berjudul Literatur Tafsir Indonesia
(Analisis Metodologi dan Corak Tafsir Juz „Amma As-Sirāj„i Wahhāj Karya M.
Yunan Yusuf) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. Skripsi
ini membahas tentang metode dan corak yang digunakan M. Yunan Yusuf dalam
kitabnya.24
Persamaan dengan skripsi ini adalah terkait dengan pembahasan
menganalisis metodologi tafsir, dan perbedaannya adalah skripsi yang teliti
tentang surah al-Fātiḥah.
22Karyadi, Studi Komperatif Aspek-Aspek Metodologis Penafsiran al-Qur‟an Menurut
Fazlur Rahman dan Hasan Hanafi (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003).
23
Ahmad Fauzi, Ṣafwat al-Tafāsir (Studi Analisis Metodologi Penafsiran al-Qur‟an
Karya Al-Ṣabuni) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
24
Wilda Kamalia, Literatur Tafsir Indonesia (Analisis Metodologi dan Corak Tafsīr Juz
„Amma Al-Sijaru‟i Wahhaj Karya M. Yunan Yusuf) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017).
11
Ummu Hafidzoh di dalam skripsinya yang berjudul Metode Tafsir Maudhu‟i
Muhammad al-Ghazali (Analisis terhadap Kitab Nahwa Tafsīr Mauḍhū‟i li Suwār
al-Qur‟an al-Karīm) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
Skripsi ini membahas tentang pola fikir al-Ghazali dalam menafsirkan al-Qur‟an
dan bagaimana menunjukkan kepada pembaca bahwa setiap surah dalam al-
Qur‟an memiliki tema besar yang berbeda, meskipun pada dasarnya al-Qur‟an
merupakan satu kesatuan yang utuh.25
Adapun perbedaan skripsi Ummu Hafidzoh
dengan penelitian saya adalah, skripsi Ummu Hafidzoh membahas tentang pola
fikir al-Ghazali dalam tafsir Maudhū‟ī li Suwar al-Qur‟an al-Karim, sedangkan
dalam penelitian ini penulis membahas tentang metodologi tafsir Nashruddin
Baidan.
Dalam skripsi ini, penulis berusaha untuk mengetahui metodologi dan
sistematika tafsir kontemporer surah al-Fātiḥah. Penulis berusaha untuk meneliti
dan menganalisa penyelarasan metodologi dan sistematika yang digunakan oleh
Nashruddin Baidan dalam menulis tafsir dengan menggunakan kerangka
skemanya.
E. Metodologi Penelitian
Dalam proses pengumpulan data penelitan ini, penulis menggunakan metode
pengumpulan data kepustakaan (library research). Ada dua jenis data yaitu primer
dan sekunder. Data sekunder adalah data-data pendukung berupa karya tulis yang
berkaitan dengan tema dalam kajian ini.
25Ummu Hafidzoh, Metode Tafsir Maudhu‟i Muhammad al-Ghazali (Analisis Terhadap
Kitab Nahwa Tafsir Maudhu‟i li Suwar al-Qur‟an al-Karim) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
12
1. Jenis Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Adapun jenisnya adalah penelitian yang bersifat literatur ataupun bahan bacaan
yang mendalam, dengan metode pengumpulan data yang pokok yaitu kepustakaan
(library research).26
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan yang
merujuk pada karya Nashruddin Baidan dan menganalisannya.
2. Sumber Data
a. Primer
Data primer adalah data kepustakaan yang berasal dari sumber
pertamanya, yakni Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah karya Nashruddin
Baidan.27
Kemudian Metode Penafsiran al-Qur‟an karya Nashruddin
Baidan,28
Tafsir al-Qur‟an di Indonesia karya Nashruddin Baidan.29
b. Sekunder
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data-data terdahulu yang telah
dibahas dalam tinjauan pustaka, dan kepustakaan terkait dengan tema
penelitian tersebut diantaranya adalah Filsafat al-Fātiḥah karya Inu Kencana
Syafiie,30
Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir karya
26
J.R. Raco, Metode penelitian Kualitatif; Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya
(Bandung: Grahamedia, 2001), h. 66.
27
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2012).
28
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2012).
29
Nashruddin Baidan, Tafsir al-Qur‟an di Indonesia (Tiga Serangkai: Pustaka Mandiri,
2002).
30
Inu Kencana Syafiie, Filsafat al-Fātiḥah (Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009).
13
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,31
Kajian al-Qur‟an di Indonesia; Dari
Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab karya Howard M. Federspiel.32
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis data kualitatif yang digunakan dengan proses pengumpulan data,
interprestasi data, dan penulisan naratif lainnya.
4. Langkah Penelitian
Data-data terolah kemudian akan dibahas dengan metode deskriftif-analitis,
yakni menjelaskan objek permasalahan secara apa adanya kemudian diekplorasi,
analisis, diberi nilai, dan yang terakhir akan ditarik kesimpulan.33
Penulis
menggunakan metode Nashruddin Baidan sebagai kerangka analisis untuk metode
dan sistematika penulisan tafsir al-Fātiḥah.
5. Teknik Penulisan
Untuk teknik penulisan karya ilmiah dan pedoman (transliterasi) Arab-Latin,
penulis berpedoman pada teknik penulisan karya ilmiah yang merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), karangan Hamid
Nasuhi, et.al., yang diterbitkan oleh CeQDA tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan skripsi berjudul “Metodologi Tafsir
Kontemporer Surah al-Fātiḥah Karya Nashruddin Baidan”, disusun secara
31Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012).
32
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia; Dari Mahmud Yunus Hingga
Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996). 33
S. Aminah, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif Ilmu Politik (Jakarta: Prenadamedia
Gruop, 2019), h. 65.
14
sistematis yang terdiri dari beberapa bab dan sub bab yang merupakan satu
kesatuan sistem sehingga antara satu dan lainnya saling berkaitan, dengan
perincian sebagai berikut.
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan dan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
kajian pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang biografi Nashruddin Baidan yang mencakup
riwayat Nashruddin Baidan, karya-karya Nashruddin Baidan, dan pemikiran tafsir
Nashruddin Baidan.
Bab ketiga, membicarkan tentang metode penafsiran, yang mencakup
pengertian metode tafsir, pengertian kebahasaan dan istilah tafsir, dan ragam
metode penafsiran berdasarkan komentar ulama.
Bab keempat, merupakan analisis penafsiran surah al-Fatihah yang di
dalamnya terdapat tinjauan umum surah al-Fatihah, penamaan dan latar belakang
penulisan tafsir, komparasi penafsiran Nashruddin Baidan dengan penafsiran
lainnya, dan metode penafsiran surah al-Fatihah.
Bab kelima adalah penutup, bab yang berisikan kesimpulan dari skripsi ini
sehingga para pembaca lebih mudah memahami apa yang diinginkan oleh penulis.
Bab ini juga sekaligus berisi kesimpulan dan saran dengan harapan yang
sebaiknya dilakukan untuk menyempurnakan skripsi ini.
15
BAB II
BIOGRAFI NASHRUDDIN BAIDAN
A. Riwayat Nashruddin Baidan
Prof. Dr. H. Nashruddin Baidan lahir tanggal 5 Mei 1951 di Lintau, Tanah
Datar, Sumatera Utara. Ia adalah seorang Dosen dan Pembantu Dekan I Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Surakarta. Menamatkan SD di Lintau (1964),
kemudian MTI Candung, Bukittinggi (1970), dan Fakultas Adab IAIN Imam
Bonjol, Padang (1986). Gelar Doktor dalam Ilmu Tafsir diperolehnya dari IAIN
yang sama dengan disertasi “Metode Penafsiran Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip
di Dalam al-Qur‟an” (1990). Selain pendidikan formal, ia juga pernah mengikuti
Studi Intensif Bahasa Inggris di Jakarta (1983), dan Work Shop Management
Perguruan Tinggi di Yogyakarta (1996).1
Sebelum dipindahkan ke Ushuluddin IAIN Walisongo Surakarta, ia adalah
seorang dosen Tarbiyah IAIN Suqsa Pekanbaru (1979-1994), dan menjabat
sebagai Dekan III Fakultas Syari‟ah pada IAIN yang sama (1990-1993). Ia juga
seorang mantan Ketua Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Suqsa
Pekanbaru (1984), ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua LPTQ Provinsi
Riau (1983-1985), beliau juga Ketua Bidang Kajian Klasik ICMI (Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia) di wilayah Riau, selaku ketua Bidang Kajian
Klasik (1992-1994). Tahun 1994, ia dipindahtugaskan oleh Menteri Agama ke
Fakultas Ushluddin IAIN Walisongo Surakarta dan dua tahun kemudian diangkat
1Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
cet.IV 2012), h. 179.
16
menjadi Pembantu Dekan I pada fakultas yang sama (1996) terus menjadi
Pembantu Ketua I STAIN Surakarta (1997), dan MES Surakatra hingga saat ini.
Selain mengajar pada S1 dan program Pascasarjana (PPs) IAIN Surakarta, ia
tercatat sebagai dosen, promotor, dan tim penguji ujian promosi doktor UIN
Yogyakarta serta dosen PPs UNIBA. Selain mengajar, ia juga aktif sebagai
narasumber pada pertemuan ilmiah baik tingkat nasional, maupun regional seperti
seminar, simposium, kongres dan sebagainya. Di celah-celah kesibukan yang
cukup padat dia tetap menyediakan waktunya berdakwah dan menulis buku.2
B. Karya-Karya Nashruddin Baidan
Di celah-celah kesibukan yang cukup padat dia tetap menyediakan waktunya
berdakwah dan menulis buku. Diantara karyanya yang sudah diterbitkan;
1. Metode Penafsiran Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip di Dalam al-Qur’an, 1993.
2. Metodologi Penafsiran al-Qur’an,1998.
3. Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an:
Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita dalam al-Qur’an, 1999.
4. Rekontruksi Ilmu Tafsir, 2000.
5. Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani Atas Masalah Sosial Kontemporer, 2001.
6. Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 2003.
7. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 2005.
8. Etika Islam dalam Berbisnis, 2008.
9. Tafsir Kontemporer Surah Yasin, 2009.
10. Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, 2012.
2Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), h. 126.
17
11. Metodologi Khusus Penelitian Tafsir, 2016.
12. Problematika Penerjemahan al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia, 2017.
Selain itu, beliau juga aktif menulis di berbagai media cetak seperti jurnal,
majalah, surat kabar, dan memberi pengantar buku, antara lain Teologi Islam
Terapan Memasuki Dunia al-Qur’an, dan Relasi Jender dalam Islam. Sampai
sekarang ia tercatat sebagai anggota tim penguji luar kandidat doktor (PhD) pada
Fakulti Pengajian Islam University Kebangsaan Malaysia (UKM).3
C. Pemikiran Tafsir Nashruddin Baidan
Dalam buku Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah karya Nashruddin Baidan,
ia mengatakan bahwa untuk memahami dan mengamalkan al-Fātiḥah secara baik
dan benar itu tidaklah mudah, apalagi bagi mereka yang tidak menguasai bahasa
Arab dengan baik seperti yang dialami oleh umumnya bangsa-bangsa non Arab,
termasuk bangsa Indonesia. Baidan menjelaskan bahwa, al-Fātiḥah sangat
berkenan dengan prinsip akidah, ibadah, dan mu‟amalah antara hamba dengan
Tuhan, dan sesama makhluk-Nya. Bahkan umat Islam sangat wajib membaca al-
Fātiḥah paling tidak tujuh belas kali dalam sehari. Bila diekuivalenkan dengan
kewajiban membaca al-Fātiḥah pada setiap rakaat shalat, maka berarti setiap satu
jam hidup mereka (umat Islam) telah terisi dengan al-Fātiḥah sebagai wujud rasa
syukur serta memohon tuntunan kepada Allah agar selalu berada di jalan yang
lurus.4
Berdasarkan makna lughawi, Baidan juga menyimpulkan bahwa pemilihan
dan penempatan suatu kosakata di dalam al-Qur‟an tidak sembarangan, akan
3 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, cover akhir.
4 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 117.
18
tetapi mengandung arti secara khusus sesuai kaidah yang ingin disampaikan oleh
sang pemesan yaitu Allah yang Maha Alim. Dalam format makna tersebut, Allah
mengajari kita agar selalu bersikap kolektif dan mempunyai rasa kebersamaan.
Hal ini sesuai dengan penegasan para Nabi bahwa karunia Allah dan kekuatan-
Nya akan diberikan kepada umat-Nya.5
Tafsiran ayat keempat dalam surah al-Fātiḥah menurut Baidan, Allah tidak
mau memposisikan diri-Nya secara langsung sebagai pemilik manusia, meskipun
secara logika hal tersebut boleh saja karena memang langit dan bumi serta segala
isinya adalah milik Allah. Namun Allah hanya menempatkan diri-Nya pada posisi
raja yang bukan pemilik manusia tersebut, yang artinya Allah hanya mau
memfungsikan diri-Nya sebagai pengatur, pengayom, dan pelindung yang baik
bagi manusia. Dalam pernyataan Allah itu terkandung pesan yang sangat penting,
yakni bilamana Allah menyatakan bahwa Dia pemilik manusia, maka dapat
menimbulkan persepsi bahwa semua yang dilakukan manusia adalah pekerjaan
Allah, dan Allah bertanggung jawab penuh atas semua yang dilakukan manusia
tersebut: baik atau buruk. 6
Dari caranya Allah, kita mendapatkan gambaran bagaimana menerapkan
konsep hidayah dalam berkomunikasi agar informasi yang kita sampaikan tidak
ditolak sehingga mereka dapat menerima dan menghayatinya, lalu tertarik untuk
mengamalkannya. Dalam kontek inilah Allah secara khusus mengajari Nabi
Muhammad berkomunikasi kepada umat dengan santun, lemah-lembut, persuasif,
berlapang dada, suka memaafkan, dan memohon ampun untuk mereka. Namun
bagi banyak makhluk Allah naluri saja belum cukup untuk menjalani hidup dan
5 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h.75-77.
6 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 63.
19
kehidupan mereka di muka bumi ini, melainkan diperlukan hidayah. Kemudian
makhluk Allah pada umumnya diberi lima indera yang dikenal dengan panca
indera. Meskipun manusia telah dianugerahi panca indera, namun hal itu belum
cukup untuk menyelamatkan hidup dan kehidupan mereka di muka bumi ini,
apalagi di akhirat kelak. Keterbatasan indera dapat dibantu dengan akal, karena
kemampuan akal dalam mendeteksi objeknya jauh lebih akurat dan lebih peka
ketimbang temuan indera. Meskipun kemampuan akal demikian hebatnya, namun
tetap mempunyai keterbatasan. Akal dengan segala kehebatannya tidak cukup
handal untuk menyelamatkan kehidupan di muka bumi, karenanya semua manusia
membutuhkan agama. Apabila seseorang tidak mempunyai agama meskipun telah
mengantongi semua hidayah tersebut, namun manusia terebut tidak akan dapat
menyelamatkan kehidupannya, apalagi menciptakan kebahagiaan.7
Berdasarkan semua fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun
seseorang telah memiliki tiga hidayah lainnya, namun tanpa hidayah agama dia
tidak akan mampu menyelamatkan hidup dan kehidupan setelahnya. Itu artinya
jika ingin selamat dari dunia hingga akhirat, tidak ada jalan lain kecuali memiliki
agama, yang intinya agama adalah suatu keniscayaan mutlak yang tidak dapat
ditawar sedikitpun.8
Kemudian dalam buku Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, Baidan
menggunakan pendekatan saintifik atau tafsir ‘ilmi. Seperti dalam ayat kedua,
pada kata “العاملني" menjelaskan tentang alam semeta, Baidan mencantumkan
penjelasannya ayat 20-28 dari QS. ar-Rum [30].9 Dari penjelasan ayat yang
7 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 86-88.
8 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 90.
9 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 53.
20
dikutip di atas bahwa alam jagat raya, manusia, para malaikat dan jin merupakan
bukti nyata atas adanya penciptanya, yaitu Allah. Para fisikawan dan astronom
melalui observatorium dapat melihat berbagai bintang, planet, dan benda-benda
lainnya di ruang angkasa dan bahkan mereka dapat memperkirakan jumlah umur
dari benda tersebut. Namun hasil temuan itu hanya bersifat temporer, tidak
permanen. Dalam kaitan ini Baiquni menegaskan bahwa para ahli astronomi
melalui teleskop Huble di Amerika telah berhasil menemukan seratus milyar
galaksi di jagad raya ini.10
Dalam galaksi tatasurya terdapat sepuluh milyar
bintang, dan masih banyak lagi planet selain itu yang tidak kita ketahui. Untuk
lebih jelas, dapat kita lihat gambar berikut:
Apa yang mereka temukan, baru sebatas alam nyata, belum termasuk alam
ghaib seperti malaikat, ruh, jin, dan sebagainya. Jika demikian jelaslah bagi kita
bahwa term alam itu sungguh sangat luas dan teramat banyak sehingga tidak dapat
dijangkau oleh pikiran manusia sepintar apapun mereka; namun semua itu berada
10
A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (Bandung: Penerbitan Pustaka,
1983), h. 20.
21
dalam pengetahuan dan kekuasaan Allah yang Maha Tahu dan Maha Kuasa,
sebagaimana ditegaskan-Nya di dalam QS. Saba [34]: 2-311
وهو الرحيم الغفور ماء وما ي عرج فيها ها وما ينزل من الس ي علم ما يلج ف الرض وما يرج من ل ي عزب عنه قل ب لى وربي لتأتي نكم عال الغيب اعة )2( وقال الذين كفروا ل تأتينا الس
بني )3( لك ول أكب ر إل ف كتاب م ماوات ول ف الرض ول أصغر من ذ مث قال ذرة ف الس “(2) Dia yang mengetahui semua yang masuk ke dalam bumi, semua yang
keluar darinya, semua yang turun dari langit dan semua yang naik
kepadanya. Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampunan. Orang-
orang yang kafir berkata: “Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada
kami”.(3) Katakanlah: “Pasti hari itu datang kepada kalian, demi
Tuhankuyang mengetahui yang ghaib. Tidak ada yang tersembunyi bagi-
Nya sebesar zarrah pun baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi;
dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar,
melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Term „alam‟ sebenarnya adalah bentuk jamak atau dalam bahasa Arab
disebut ism jam, artinya tanpa diubah ke bentuk jamak pun konotasinya sudah
menunjuk kepasa sekumpulan benda atau makhluk. Kemudian dengan diubahnya
menjadi jamak, maka cakupan konotasinya semakin luas sehingga semua makhluk
Allah. Dengan ditemukannya berbagai penemuan ilmiah berkenaan dengan alam
semesta, maka semakin bertambah pula keyakinan kita bahwa Allah itu memang
benar adanya. Dalam konteks ini, tegas Allah, seandainya ditanyakan kepada
orang-orang kafir itu, siapa yang menciptakan langit, bumi dan yang menguasai
serta mengaturnya? Niscaya mereka akan menjawab: “ALLAH” (QS. [29]: 61,
63; [31]:25; [39]:38; [43]:9,87)12
Dari penegasan ayat di atas semakin jelas bagi kita rububiyah-nya Allah yang
sangat luar biasa. Jagad raya yang tidak terkirakan luasnya dan dipenuhi oleh
11
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 53. 12
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 56.
22
ratusan milyar galaksi sejak diciptakan sampai sekarang belum pernah macet
walau satu detik sekalipun padalah menurut perkiraan para ahli, alam semesta ini
sampai sekarang bermula sejak terjadinya ledakan maha dasyat yang terkenal
dengan “big bang” sebagaimana tampak dalam gambar berikut:
Berdasarkan pengamatan mereka, peristiwa itu terjadi sekitar 13.7 milyar
tahun yang lalu. Dalam rentang waktu yang sedemikian panjang dan lama tidak
terjadi kerusakan dan tidak pula tabrakan satu sama lain di antara benda-benda
alam itu padahal jumlahnya ratusan milyar.13
Begitulah sepenggalan penjelasan
tentang tafsir „ilmi.
Corak penafsir ialah arah atau kecendrungan pemikiran, ide tertentu yang
mendominasi sebuah karya tafsir. Kecenderungan pemikiran tersebut biasanya
dilatarbelakangi oleh keilmuan yang dikuasai oleh sang penafsir, sehingga
keilmuannya mendominasi karya tafsirnya.14
13
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 57. 14
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
388.
23
BAB III
METODE PENAFSIRAN
A. Pengertian Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau
jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, sedangkan bangsa Arab
menerjemahkannya dengan tharīqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata
tersebut berarti: “cara yang teratur yang terpikir baik-baik untuk mencapai sebuah
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang
ditentukan. Pengertian yang serupa dijumpai dalam Kamus Webster.1
Pengertian metode yang umum dapat digunakan di berbagai objek, baik
berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut
pekerjaan fisik. Jadi bisa diartikan metode adalah salah satu sarana yang amat
penting untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini, studi tafsir
al-Qur‟an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-
baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan
Allah dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.2
Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu metode tafsir dan metodologi
tafsir. Adapun metode tafsir adalah cara-cara menafsirkan al-Qur‟an, sementara
metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara tersebut. Contohnya pembahasan
teoretis dan ilmiah mengenai metode Muqārran (perbandingan), misalnya disebut
1 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2018), h. 97.
2 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), h. 1.
24
analisis metodologis sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara
penerapan metode terhadap ayat-ayat al-Qur‟an disebut pembahasan metodik.
Sedangkan cara penyajian atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik
atau seni penafsiran. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang
digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dan seni atau teknik ialah cara
yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode,
sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode
penafsiran al-Qur‟an.3
Studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah
intelektual umat Islam. Ilmu metode dijadikan sebagai kajian tersendiri jauh
setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.4
B. Pengertian Kebahasaan dan Istilah Tafsir
Kata tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang
berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir bisa diartikan
dengan al idlah wa altabiyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Menurut Imam al-
Zarqȃnȋ mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang kandungan
al-Qur‟an, baik dari segi pemahaman makna maupun arti sesuai yang dikehendaki
Allah SWT sesuai kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya menurut Abȗ Hayyȃn
mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan
mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur‟an disertai makna serta hukum-
3 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 2.
4 M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir (Sleman: Teras, 2005), h. 37.
25
hukum yang terkandung didalamnya.5 Tafsir secara etimologi (bahasa), kata
“tafsir” diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau
uraian.6
Kata al-Tafsir berasal dari al-Tafsirah yang berarti sebuah riset yang
dilakukan oleh seorang dokter pada urine pasien untuk mengetahui penyakit yang
dideritanya. Hal ini dianalogikan dengan seorang yang hendak menafsirkan al-
Qur‟an dengan cara meneliti serta mengamatinya untuk bisa mengeluarkan dan
mengambil makna dan hukum yang terkandung dibalik teks al-Qur‟an, pendapat
ini dikemukakan oleh al- Zarkȃsyȋ.7 Kemudian kata al-Tafsir diambil dari
ungkapan fassartu al-fars yang artinya melepaskan kuda. Hal ini dianalogikan
bahwa seorang mufasir yang melepaskan seluruh kemampuan berfikirnya untuk
bisa mengurai makna ayat al-Qur‟an yang tersembunyi dibalik teks dan sulit untuk
dipahami.8
Sedangkan secara istilah, ulama juga belum menentukan kata sepakat dalam
mendefinisikanya. Menurut al-Zamakhsyarȋ tafsir yang digunakan untuk
memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi saw. dan menjelaskan makna-
makna yang terkandung di dalamnya, serta mengeluarkan hukum-hukum dan
berbagai hikmah darinya.9
5 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 209-
211. 6 Rosihan Anwar, Ulum al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 209.
7 Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2006), h. 331. 8 Syihab al-Din al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, vol. I (Beirut: Ihya‟ al-Turath al-Arabi, 1987), h.
4. 9 Jalal ad-Din al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 174.
26
Sementara Manna‟ al-Qaṭṭȃn menyatakan bahwa tafsir adalah penjelasan-
penjelasan kalam Allah SWT. yang bernilai ibadah ketika dibaca yang diturunkan
kepada Nabi saw. Terkadang istilah tafsir disamakan dengan takwil yang berasal
dari kata al-aula yang mengikuti pola kata taf’il yang berarti kembali kepada
keadaan semula. Ini merupakan salah satu dari beberapa makna dari kata al-
aula.10
Hal ini dimaksudkan bahwa seorang penafsir al-Qur‟an menguraikannya
sedemikian rupa berdasarkan pokok pengertian yang terkandung di dalam ayat itu
sendiri.
Menurut al-Kilby dalam kitab at-Tasly, sebagaimana yang telah dikutip oleh
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudhlali. Tafsir adalah mensyarahkan al-Qur‟an,
menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan
Nashnya atau dengan isyarat, ataupun dengan tujuannya.11
Sedangakan menurut
Ali Hasan al-‟Arid, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan
lafadz al-Qur‟an, makna-makna yang ditunjukkan, dan hukum-hukumnya baik
ketika berdiri sendiri ataupun tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkan
ketika dalam keadaan tersusun.12
Sebatas yang dapat disanggupi, manusia memiliki pengertian tafsir bahwa
tidaklah suatu kekurangan lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang
mutasyabihat dan tidak dapat mengurangi nilai tafsir lantaran tidak mengetahui
10
Nur Kholis, Pengantar Studi al-Qur’an dan al-Hadits (Yogyakarta: Teras, 2008), h.
135. 11
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudhlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa,
2005), h. 87. 12
Ali Hasan al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), h. 3.
27
apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.13
Istilah tafsir merujuk kepada ayat-ayat
yang ada di dalam al-Qur‟an, salah satu di antaranya dalam Q.S al-Furqan [25]: 33
yang berbunyi;
ناك بالق وأحسن ت فسريا ول يأتونك بثل إلا جئ “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya”.
Pengertian inilah yang dimaksud di dalam Lisan al-Arab dengan “kasyf al-
mugaṭṭa” (membuka sesuatu yang tertutup), dan tafsir ialah membuka dan
menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Pengertian ini yang dimaksudkan
oleh para ulama tafsir dengan “alidah wa al-tabyin” (menjelaskan dan
menerangkan). 14
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah menjelaskan
dan menerangkan tentang keadaan al-Qur‟an dari berbagai kandungan yang
dimilikinya kepada apa yang dikehendaki oleh Allah sesuai kemampuan penafsir.
C. Ragam Metode Penafsiran di Indonesia
Dinamika studi tafsir al-Qur‟an terus berkembang seiring munculnya berbagai
problematika kehidupan. Untuk mendapatkan penyelesaian dari berbagai macam
permasalahan yang muncul, maka para mufassir membutuhkan suatu metode
tertentu dari ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan kaidah-kaidah yang telah lama ada.
Tentunya juga metode yang digunakan oleh para mufassir pasti sangatlah
beragam, serta tidak bisa terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari sebuah
13
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2002), h. 209. 14
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), h.
66.
28
metode tersebut. Perbedaan latar belakang sosial seorang mufassir, keilmuan yang
mereka miliki, serta kebudayaan yang merupakan keberagaman dalam penafsiran.
Metode penafsiran al-Qur‟an ialah suatu cara yang sistematis dengan
menggunakan kacamata tertentu yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur‟an.15
Dalam studi tafsir, setidaknya ada empat metode yang cukup populer
dikalangan mufassir, yaitu metode Ijmali, Tahlili, Muqarran, dan Maudhu’i.
Dalam buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir karya Nashruddin Baidan
menegaskan bahwa, ada perbedaan diantara empat metode. Metode global dan
analisis mempunyai bentuk yang sama, terutama penalaran dan proses berfikir,
perbedaannya pada wacana. Metode global, wacana dan ruang lingkupnya sedikit
dan sempit, dan digambarkan dengan garis lurus kecil. Metode analisis,
wacananya banyak dan ruang lingkupnya sangat luas dan digambarkan seperti
garis lurus besar. Kemudian pola narasi pemikiran metode muqarran,
digambarkan seperti bentuk area yang bundar melingkar, sehingga membentuk
tataran horizontal yang lebih luas. Artinya mengisyaratkan bahwa wacana yang
dikembangkan mengacu kepada informasi yang banyak kepada pembaca.
Sedangkan metode tematik ruang lingkupnya relatif sempit, artinya satu judul
dalam kajiannya secara mendalam dan tuntas, digambarkan tegak lurus menukik
ke dalam, semakin ke dalam semakin lancip dan bertemu kepada satu titik. Ini
menggambarkan bahwa, tafsir tematik menyelesaikan permasalahan secara tuntas
15
Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an, Kajian Kritis, Objektif dan
Komprehensif (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 2.
29
dan dapat dijadikan sebagai pegangan dan di abad modern, para ulama lebih
mengacu kepada metode tematik. 16
Metode Ijmali atau global ialah menjelaskan ayat-ayat al-Quran secara ringkas
tapi mencangkup, dengan bahasa populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Sistematika penulisanya menuruti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Disamping
itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Quran sehingga pendengar
dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur‟an padahal yang
didengarnya itu adalah tafsirannya. Kitab Tafsir Al-Quran al-Karim karangan
Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma‟ al-Buḫȗts al-
Islamiyyȃt dan Tafsir al-Jalalain serta Taj al-Tafȃsir karangan muhammad
Utsman al-Mirghani, masuk kedalam kelompok ini.17
Ali Hasan mengemukakan bahwa metode Ijmali adalah menafsirkan al-Qur‟an
dengan secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Dengan metode ini,
para mufassir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan singkat, hal ini dilakukan
terhadap ayat-ayat al-Qur‟an ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan
urutannya dalam mushaf.18
Metode Tahlili atau analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat ayat yang ditafsirkan itu
serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam
16
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), h.
382-383. 17
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 13. 18
Ali Hasan al- Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 73-74.
30
metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Quran,
ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf.19
Pengertian yang senada juga disampaikan oleh Ali Hasan dari segala segi dan
maknanya. Pada metode Tahlili terdapat pula kelebihan yaitu ruang lingkup yang
luas, dan memuat berbagai ide yang artinya mufassir dapat mencurahkan ide-ide
dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur‟an. Adapun kekurangannya meliputi
beberapa hal, yaitu menjadikan petunjuk al-Qur‟an secara parsial atau terpecah-
pecah seakan-akan tidak utuh dan konsisten, kemudian melahirkan penafsiran
yang subjektif yang artinya sesuai dengan kemauan hawa nafsunya, dan masuknya
pemikiran israiliat yang bersifat kisah-kisah atau cerita-cerita.20
Metode Muqarran atau komparatif tidak berbeda pendapat mengenai definisi
metode ini. Dari berbagai litaratur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang
dimaksud dengan metode komparatif ialah: 1) membandingkan teks (nash) ayat-
ayat al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus
atau lebih, dan atau memiliki redaksi berbeda bagi satu kasus yang sama; 2)
membandingkan ayat al-Quran dengam hadis yang pada lahirnya terlihat
bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam tafsir
dalam menafsirkan al-Quran. Dari definisi itu terlihat jelas bahwa tafsir al-Quran
dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak
hanya membandingkan ayat dengan hadist serta membandingkan pendapat para
mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.21
19
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 31. 20
Ali Hasan al- Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 53-61. 21 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 65.
31
Secara operasional, pendapat Ali Hasan mengartikan Muqarran sebagai
metode yang ditempuh oleh mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat,
kemudian dilakukan proses penafsiran yang berbeda-beda, yang berdasarkan
riwayat Nabi saw, para sahabat, dan tabi‟in atau berdasarkan ijtihad para mufassir
yang saling mengemukakan pendapatnya.22
Yang dimaksud dengan metode Maudhu’i atau tematik ialah membahas ayat-
ayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat
yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait denganya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan
sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-
dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik
argumen itu berasal dari al-Quran, hadis, maupun pemikiran rasional.23
Cara lain yang ditempuh dalam metode Maudhu’i yaitu penafsiran yang
dilakukan mufassir dengan cara mengambil satu surah dari al-Qur‟an. Kemudian
surah itu dikaji secara keseluruhan, dari awal sampai akhir, kemudian
menjelaskan tujuan serta menghubungkan antara tema yang dikemukakan pada
ayat-ayat dari surah tersebut, sehingga jelas bahwa surah tersebut memiliki satu
kesatuan dan merupakan rantai emas yang saling menyambung, sehingga menjadi
satu kesatuan yang kokoh.24
22
Ali Hasan al- Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 73-74. 23
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, h. 151. 24
Ali Hasan al- Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 78-79.
33
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN SURAH AL-FATIHAH
A. Tinjauan Umum Surah al-Fatihah
Surah al-Fātiḥah adalah kalam dan wahyu ilahi, wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya tertulis dan terbaca, bahkan ada pula yang
tak tertulis maupun terbaca.1 Surah al-Fātiḥah adalah satu surah dalam al-Qur‟an
yang memiliki banyak pengaruh bagi kehidupan manusia. Surah ini wajib dibaca
minimal tujuh belas kali sehari semalam oleh setiap muslim dalam shalatnya.
Dalam surah ini digambarkan proses komunikasi antara hamba dengan Rabb-Nya.
Proses komunikasi transenden tersebut menjadi dasar pola komunikasi dari setiap
muslim dengan orang lain.2
Surah al-Fātiḥah juga merupakan surah yang paling mulia karena
merupakan pintu gerbang dari pembuka al-Qur‟an. Karen itu, tak salah jika
Quraish Shihab menyebutnya sebagai “Mahkota Tuntutan Ilahi”, sebagai
mahkota, sudah tentu seluruh hal-hal yang terkandung dengan al-Qur‟an sudah
tertulis dalam kandungan al-Fatihah.3 Surah al-Fatihah tercermin dari beberapa
hadits Nabi, diantaranya yang menyatakan tidak sah shalat bagi orang yang tidak
membaca al-Fatihah.
Penafsiran al-Qur‟an secara runtun dari surah al-Fatihah hingga an-Nȃs
atau mengikuti pola mushaf 30 juz dalam al-Qur‟an, semakin berkembang di
1 Muhammad Alcaff, Tafsir Populer al-Fātiḥah (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), h.
28. 2 Mubarok, Kontruksi Teori Komunikasi Dalam Tafsir al-Qur‟an Surah al-Fātiḥah
(Semarang: Fakultas Ilmu Komunikasi Unissula Semarang, Agustus 2013- Januari 2014.), h. 32. 3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Ciputat: Lentera Hati. 2007), h. 3.
34
Indonesia. Setidaknya dapat dikatakan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid sebagai
peletak dasar penafsiran al-Qur‟an secara lengkap di Nusantara. Selain banyak
tafsiran yang ditulis lengkap 30 juz, ada pula mufassir yang konsen terhadap surah
al-Fatihah saja, misalnya; Tafsir al-Qur‟anul Karim: Surah al-Fatihah karya
Muhammad Nur Idris, Tafsir Surah al-Fatihah karya A. Abhry, Kandungan al-
Fatihah karya Bahroem Rangkuti, Samudra al-Fatihah karya Bey Arifin, Tafsir
Kontemporer Surah al-Fatihah karya Nashruddin Baidan, dan masih banyak lagi.4
Literatur di atas, baik yang menafsirkan al-Qur‟an seutuhnya maupun
hanya fokus pada surah al-Fatihah, menjadi bukti bahwa penafsiran terhadap
surah al-Fatihah dianggap sangat penting dan tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Pasalnya, al-Fatihah merupakan surah pembuka dalam mushaf al-Qur‟an. Al-
Fatihah juga terhitung istimewa karena merupakan induk al-Qur‟an (Umm al-
Qur‟an) dan induk Kitab (Umm al-Kitab), seluruh kandungan al-Qur‟an
terhimpun dalam al-Fatihah. Oleh sebab itu, sangat menarik jika mengungkap
tentang penafsiran terhadap surah al-Fatihah dan melihatnya melalui perspektif
mufassir Indonesia. 5
Surah al-Fātiḥah memiliki kedudukan yang tinggi dalam ajaran Islam. Karena
al-Fātiḥah merupakan surat yang paling Agung dalam al-Qur‟an. Abu Sa‟id bin
al-Mu‟alla, meriwayatkan bahwa.
“Ketika aku sedang shalat dipanggil oleh Nabi, aku tidak menjawabnya.
Setelah aku shalat aku katakan kepada beliau bahwa aku tadi sedang shalat.
Lalu beliau bersabda, “Bukankah allah telah berfirman: Jawablah seruan
Allah dan Rasulnya apabila ia (Allah dan Rasul-Nya) menyeru kamu” (al-
Anfāl [8]: 24). Kemudian beliau berkata: “Ingatlah aku akan mengajarkan
kepadamu satu surat yang teragung di dalam al-Qur‟an sebelum kamu
keluar masjid ini.” Beliau memegang tanganku, tatkala kami hendak keluar
4 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik hingga Ideolog
(Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 46. 5 Usman, Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 273.
35
masjid itu aku berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau tadi
mengatakan: Ingatlah aku akan mengajarkanmu satu surat yang teragung di
dalam al-Qur‟an.”
ثان، و [ »2قال: }احلمد للو رب العالمني{ ]الفاحتة:
بع امل «القرآن العظيم الذي أوتيتو ىي الس
Beliau bersabda, “Alḥamdu lillāhi rabb al-„ālamīn. Ia adalah tujuh ayat yang
di ulang-ulang dan al-Qur‟an yang agung telah diberikan kepadaku.” (HR.
Al-Bukhari).6
Kemudian al-Fātiḥah juga surah yang paling utama dalam al-Qur‟an. Al-
Nasā‟ī dalam al-Sunan al-Kubra, Ibn Hibbān al-Hakīm, dan al-Baihaqi
meriwayatkan dari Anās bin Mālik, dia berkata.
“Pada suatu hari Rasulullah dalam perjalanan. Kemudian beliau berhenti
dan turun dari tunggangan beliau. Lalu seseorang turun dari tunggangannya
juga untuk menghampiri beliau. Kemudian bersabda, “Maukah Engkau saya
beritahu surat yang paling utama di dalam al-Qur‟an?” Lalu beliau
berkata: “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” Surah al-Fātiḥah
adalah munajat antara hamba dan Rabbnya. Muslim, Abu Daud, at-
Tirmidzi, an-Nasa‟i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat tanpa
membaca al-Fātiḥah, maka shalatnya tidak sempurna.” Beliau mengulangi
sabda tersebut sebanyak tiga kali. Lalu Abu Huraira ditanya: “Ketika ikut
imam?” Abu Huraira menjawab: “Jika begitu, bacalah al-Fātiḥah dengan
tidak terdengar oleh orang lain.7
Diriwayatkan dari Ḥasan bin Āli: Pada suatu hari, serombongan orang yahudi
menemui Nabi saw. di antara pertanyaan mereka.
“Kabarkan kepada kami tujuh hal yang Allah berikan kepadamu dan tidak
diberikan kepada Nabi yang lain; Allah berikan kepada umatmu, tidak
kepada umat yang lain?” Nabi bersabda, ”Allah memberikan kepadaku al-
Fātiḥah, azan, jemaah di mesjid, hari Jum‟at, menjaharkan tiga shalat,
keringanan bagi umatku dalam keadaan sakit, safar, shalat jenazah, dan
syafa‟at bagi pelaku dosa besar di antara umatku.”8
Menurut Baidan, untuk memahami dan mengamalkan al-Fātiḥah secara baik
dan benar itu sangat tidak mudah, apalagi mereka yang tidak menguasai bahasa
6 Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, h. 24.
7 Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī, Asbab al-Nuzūl: Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an (Jakarta: Gema
Insani, 2008), h. 22. 8 Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fātiḥah Mukadimah (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 91.
36
Arab yang baik seperti yang dialami oleh umumnya bangsa non Arab, termasuk
bangsa Indonesia. Dalam konteks inilah penafsiran surah dilakukan, upaya
penafsirkan surah ini didorong oleh suatu maksud yang luhur, yakni ikut
memberikan pencerahan pemahaman al-Fātiḥah bagi umat Islam.9
B. Penamaan dan Latar Belakang Penulisan Tafsir
Surah al-Fatihah adalah surah yang mulia, surah ini memiliki nama yang
cukup banyak dan begitu indah. Dalam al-Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an, misalnya al-
Qurṭubī (w. 1273M) menyebutkan beberapa nama-nama surah al-Fātiḥah sebagai
berikut;
1. Al-Ṣalāh (shalat),
2. Al-Ḥamdu (segala puji),
3. Fātiḥat al-Kitāb (pembuka kitab),
4. Ummu al-Kitāb (induk kitab),
5. Ummu al-Qur‟an (induk al-Qur‟an),
6. Al-Maṡāni (yang diulang-ulang),
7. Al-Qur‟an Al-Aẓim (Al-Qur‟an yang agung),
8. Al-Syifā‟ (penawar/obat),
9. Al-Asās (fondasi),
10. Al-Ruqyah (mantera/jampi),
11. Al-Wāfiyah (penyempurnaan),
12. Al-Kāfiyah (yang mencukupi).10
9 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. iv.
10
Darwis Abu Ubaidah, Tafsir al-Asas (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2012), h. 22.
37
Hasbi menyebutkan nama-nama surah al-Fatihah yang masyhur antara lain,
umm al-kitab, umm al-Qur‟an, sab‟u al-matsani, dan lain sebagainya dan
terkadang hanya disebut al-Fatihah saja. Hasbi menambahkan nama lagi yakni al-
kanz (pembendaharaan), al-wafiyah (yang amat sempurna), al-kafiyah (yang amat
mencakupi), al-hamd (pujian), al-syukru (ucapan terimakasih), al-du‟a (seruan
dan permohonan), al-salat (sembahyang dan doa), al-syafiyah (penyembuhan), al-
syifa‟ (penawaran), dan masih ada beberapa nama lagi.11
Dalam tafsir Hamka
ditambahkan pula dari tafsir Tsa‟labi yang menyebutkan nama al-waqiyah
(pemeliharaan dari kesesatan), akan tetapi Hamka tidak menyebutkan nama al-
kafiyah (yang amat mencukupi) sebagaimana yang disebutkan dalam tafsir Hasbi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kedua tafsir ini sama-sama
menyajikan dan menyuguhkan nama-nama surah al-Fatihah yang beragam. Tetapi
keunggulan dari tafsir Hamka (Tafsir al-Azhar) adalah menyebutkan riwayat dan
menyebut rujukan dari mana ia mengutip nama-nama dari surah al-Fatihah
tersebut.12
Kemudian bernamakan al-Asās (landasan, dasar, sendi), karena surah ini
memang dipandang sebagai sendi dan urat nadi al-Qur‟an. Sedangkan dianamai
Fātiḥat al-Kitāb (pembuka al-Kitab), karena menjadi permulaan atau pembukaan
al-Qur‟an, merujuk buku Tafsīr al-Qur‟an al-Majīd al-Nūr karya Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, surah ini menjadi yang pertama diturunkan.13
11
Muhammad, Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd al-Nūr, Jil. I (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 20-21. 12
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), h. 69.
13
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd al-Nūr, Jil. I (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 5.
38
Penamaan Al-Sab‟u al-Maṡāni untuk surah al-Fātiḥah tidak menghalangi
penamaan al-Qur‟an secara keseluruhan dengannya, juga surah-surah yang
terulang. Karena masing-masing darinya mempunyai pengertian makna sendiri-
sendiri. Dan sebagai mana telah dijelaskan di dalam Tafsir al-Ṭabarī, mengenai
kebenaran alasan penamaan surat, dan insya allah akan dijelaskan alasan
penamaan seluruh al-Qur‟an dengan matsani pada pembahasan mengenai
perwakilan surah al-Zumar.14
Dalam buku Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, Baidan telah menjelaskan
al-Fātiḥah dengan menukilkan berdasarkan ayat al-Qur‟an dan Hadits Nabi, maka
tampak jelas bahwa Allah telah memberikan tuntunan yang cukup jelas dan lugas
dalam surah al-Fātiḥah terutama berkenaan dengan prinsip-prinsip akidah, ibadah,
dan mu‟amalah antara hamba dengan Tuhan dan sesama makhluk-Nya. Jadi jelas
bahwa al-Fātiḥah adalah inti dari bacaan shalat itu memainkan perannya yang
sangat umum dalam kehidupan seseorang, karena al-Fātiḥah dapat menjadi suatu
indikasi baik atau buruknya sikap dan perilaku seseorang dalam berinteraksi di
tengah masyarakat.15
Dikatakan Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah karya Nashruddin Baidan ini
ikut memberikan pencarahan karena telah banyak penafsiran al-Fatihah yang
ditulis dan dipublikasikan oleh para ahli tafsir baik darri bangsa Indonesia sendiri,
maupun bangsa luar seperti Timur Tengah. Maka dari itu, karya ini ibarat setetes
embun bila dibandingkan dengan lautan karya besar dalam bidang yang sama
yang pernah ditulis oleh para ulama sejak dulu sampai sekarang. Namun dalam
14 Abū Ja‟far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, Jil. I (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), h. 195. 15
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 119.
39
kesederhanaannya itu ada sesuatu yang baru di dalamnya yaitu muatan-muatan
kontemporer atau kondisi kekinian yang membuat al-Qur‟an itu terasa hidup di
tengah masyarakat dan menuntun mereka dalam meraih kebahagiaan hidup.
berdasarkan pemikiran di atas, maka penulisan tafsir ini terbagi dalam tiga
kelompok. Pertama Mukaddimah, bagian ini merupakan prolog bagi pembahasan
selanjutnya. Kedua Penafsiran, bagian ini merupakan pembahasan dan juga
sistematika penulisan yang diawali dengan mengemukakan teks ayat secara
keseluruhan. Ketiga Penutup, bagian ini berisikan simpulan dari semua kajian dan
fokusnya pada urgensi juga peranan al-Fatihah dalam kehidupan umat; baik secara
individual, maupun dalam bermasyarakat dan berbangsa.16
C. Komparasi Penafsiran Nashruddin Baidan dengan Penafsir Lainnya
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir (w. 1372M) mengatakan bahwa, surah al-
Fātiḥah dinamakan alhamdu dan disebut juga asshalat karena berdasarkan sabda
Nabi saw. dari Allah yang mengatakan.
“Aku bagaikan shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian.
Apabila seorang hamba mengucapkan, “Alḥamdu lillāhi rabbi al-„ālamīn”
(Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), maka Allah berfirman.
“Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Banyak yang berselisih paham mengenai
basmallah, apakah merupakan ayat tersendiri sebagai permulaan al-Fātiḥah
seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama qurrȃ Kuffah dan sebagainya,
atau merupakan sebahagian dari ayat, atau tidak terhitung sama sekali
sebagai permulaan ayat al-Fātiḥah.17
Dalam skripsi Rofida Ulya,18
menjelaskan bahwa surah al-Fātiḥah adalah
salah satu rukun shalat. Dalam hadits Nabi Muhammad saw. menjelaskan
16
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h.vii-viii. 17
Abū Al-Fida Ismā‟il Ibn Kaṡīr Al-Dimasyqi, Tafsīr Ibnu Kaṡīr Juz I al-Fātiḥah dan al-
Baqarah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 34. 18
Rofida Ulya, Tafsir Surah al-Fātiḥah Menurut KH. Ahmad Rifa‟i Dalam Kitab Nazam
Tasfiyyah (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,UIN Walisongo Semarang, 2018).
40
mengenai wajibnya membaca al-Fātiḥah ketika shalat, dan tidak diakui shalatnya
seseorang jika ia tidak membaca al-Fātiḥah, sebagaimana hadistnya,
ث نا س ث نا ابن أب عمر، وعلي بن حجر، قاال: حد ، عن ممود حد نة، عن الزىري فيان بن عي ي امت، عن النب صلى اللو عليو وسلم قال: ال صالة لمن بفاحتة ي قرأ ل بن الربيع، عن عبادة بن الص
الكتاب.“Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Abī Umaral- Makki, Abū
Abdillah al-Adani dan Āli bin Hujrin berkata,telah menceritakan kepada kami
Sufyān, dari Al-Zuhri dari Maḥmud bin Al-Rabi‟ dari „Ubadah bin Al-Ṣamit,
bahwaRasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak adashalat bagi
yang tidak membaca Fātiḥat al-Kitāb (al-Fātiḥah)." (H.R Tirmidzi: 247)
Keistimewaan surah al-Fātiḥah yang merupakan Ummu al-Kitāb atau
induknya al-Qur‟an menjadikan al-Fātiḥah ini penting untuk dipahami. Allah
SWT. berfirman dalam al-Qur‟an surah Ṣād [38]: 29 yang berbunyi;
ر أولو اللباب ب روا آياتو وليتذك كتاب أنزلناه إليك مبارك ليد“Kitab (Al-Qur‟an) yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka
menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat
pelajaran.”(Q.S.Ṣād [38]: 20)
Jika pada ayat pertama KH. Ahmad Rifa‟i menjelaskan bahwa Allah Maha
Pengasih di dunia dan akhirat, pada ayat berikut, ia menjelaskan bahwa Allah
adalah Tuhan yang menguasai semesta alam.19
Dalam buku Samudera al-Fātiḥah karya Bey Arifin mengatakan bahwa
ulama besar yang menjadi ikutan ummat berbeda pendata, apakah kelebihan
keistimewaan dari suatu surah atau ayat atas surah dan ayat lainnya dalam kitab
suci al-Qur‟an. Abu Hasan al-Asy‟ari, Imam tentang Ilmu Kalam bagi ahli Sunnah
wal Jamaah, dan banyak ulama besar lainnya yang melarang keras kita
19
Rofida Ulya, Tafsir Surah al-Fātiḥah Menurut KH. Ahmad Rifa‟i Dalam Kitab Nazam
Tasfiyyah, h. 85-86.
41
mengistimewakan suatu surah. Hal ini dikarenakan bila dikatakan ada surah yang
lebih, tentu ada yang kurang. Tidak mungkin ada suatu surah di dalam al-Qur‟an
yang dianggap kurang penting.20
Tetapi tidak dapat dipungkiri, ada banyak sekali hadits Nabi yang
menerangkan keistimewaan beberapa surah atau ayat di dalam al-Qur‟an, sebagai
contoh, diriwayatkan oleh Ibnṵ Hibbȃn dari Ubay bin Ka‟ab r.a bahwa Nabi saw.
bersabda
يل مثل ام القران وراة واالن وما ان زل اهلل ف الت “Tidak pernah Allah menurunkan di dalam Taurat dan Injil yang menyamai
Ulum al-Qur‟an (al-Fātiḥah)”
فاحتة الكتاب افضل سور القران “Fatihatul Kitab (al-Fātiḥah) adalah surah yang paling atas di dalam al-
Qur‟an”.
Hadits di atas menerangkan tentang keistimewaan dan ketinggian suatu surah
atau ayat di dalam al-Qur‟an atas surah yang lain.
Allah memerintahkan kita untuk membaca surah al-Fātiḥah paling kurang
tujuh belas kali dalam sehari, yaitu pada setiap rakaat shalat wajib yang kita
lakukan, hal ini menunjukkan keagungan kandungan surah al-Fātiḥah. Bey Arifin
mencoba membedah isi kandungan surah al-Fātiḥah secara mendalam dengan
gaya bahasa yang mudah dicerna dan dipahami. Walau hanya terdiri dari tujuh
ayat, namun isi kandungannya bagaikan samudera yang luasnya tiada batas.
Semakin diselami, semakin tampak mutiara ilmu yang berada di dalamnya.
Dalam buku Hidup di Pusaran al-Fātiḥah karya Muhammad Muhyidin,
pandangan ia tentang surah al-Fātiḥah pada ayat kelima telah menyadarkannya
20
Bey Arifin, Samudera al-Fatihah (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1976), h. 1.
42
bahwa kita sebagai umat Muslim ternyata memiliki paradigma hidup yang begitu
luar biasa. Buku ini dimaksudkan untuk membuktikan kekeliruan yang terjadi
pada hakikat, makna, dan tujuan praktik spiritual seperti yang telah dijelaskan di
dalam artikel atau buku lainnya.21
Kemudian dalam buku Keagungan Surah al-Fātiḥah (Pembuka) Edisi
Bahasa Indonesia karangan Jannah Firdaus, menjelaskan bahwa surah al-Fātiḥah
memiliki kedudukan tinggi dalam al-Qur‟an, karena al-Fātiḥah merupakan surah
yang paling agung. Saking pentingnya surah ini, al-Fātiḥah dicantumkan di awal
mushaf. Oleh karena itu, al-Fātiḥah disebut sebagai “fatihatul kitab” (pembuka al-
Qur‟an), hal ini juga menunjukkan betapa penting dan tingginya kedudukan surah
al-Fātiḥah.22
Dalam buku al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari al-Fatihah dan
Juz „Amma karya M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Fatihah merupakan
mahkota tuntutan ilahi, dinamai juga Ummul al-Qur‟an karena ia adalah induk al-
Qur‟an. Al-Fatihah adalah pelajaran bagi umat manusia, bahkan Allah
mendiktekan kalimat-kalimat surah ini untuk diucapkan oleh manusia. Dengan
memulai kitab-Nya dengan Basmallah, Allah juga mengajarkan manusia untuk
memulai segala kegiatannya dengan mengucapkan Basmallah yang mengandung
makna permintaan pertolongan agar kegiatan itu direstui dan didukung oleh-Nya
karena tiada daya dan upaya yang dapat berhasil tanpa dukungan-Nya. Diperlukan
jalan yang benar yang diajarkan kepada manusia untuk memohon bukan hanya
ditunjuki jalan itu, tetapi dibimbing hingga benar-benar berhasil menelusuri jalan
21
Muhammad Muhyidin, Hidup di Pusaran al-Fatihah (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2008), h. 14. 22
Jannah Firdaus, Keagungan Surah al-Fatihah (Pembukaan) Edisi Bahasa Indonesia
(Jakarta: Mediapro Studio, 2019), h. 2.
43
tersebut yang dilukiskan-Nya sebagai shirāth al-mustaqim, yakni jalan orang yang
yang diberi nikmat-Nya, yaitu jalan luas, lebar, dan lurus. Bukan juga jalan orang
yang sesat karena tidak mengetahui arah yang benar.23
Dalam buku Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah karya Nashruddin Baidan
menjelaskan bahwa, al-Fātiḥah sangat berkenan dengan prinsip akidah, ibadah,
dan mu‟amalah antara hamba dengan Tuhan, dan sesama makhluk-Nya. Bahkan
umat Islam sangat wajib membaca al-Fātiḥah paling tidak tujuh belas kali dalam
sehari. Bila diekuivalenkan dengan kewajiban membaca al-Fātiḥah pada setiap
rakaat shalat, maka berarti setiap satu jam hidup mereka (umat Islam) telah terisi
dengan al-Fātiḥah sebagai wujud rasa syukur serta memohon tuntunan kepada
Allah agar selalu berada dijalan yang lurus.24
Shalat dijadikan barometer untuk mengukur keshalihan seseorang yang
berkaitan dengan eratnya frekuensi bacaan al-Fātiḥah itu dalam keseharian umat
yang bila dirata-ratakan setiap jam dari hidupnya diisi dengan al-Fātiḥah
sebagaimana yang telah dijelaskan. Akan sangat logis apabila shalat dijadikan
tolak ukur keshalihan atau tidaknya seseorang dalam ibadah yang lain seperti
puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Ketiga jenis ibadah tersebut memiliki
frekuensi yang jarang, seperti puasa yang hanya wajib dilakukan setahun sekali,
kemudian zakat yang hanya diwajibkan bagi orang kaya atau orang yang telah
mencapai nisabnya, terlebih lagi haji yang hanya dikhususkan bagi orang yang
mampu saja. Maka dari itu, al-Fātiḥah adalah hal yang paling agung dan wajib
kita baca baik itu dalam shalat ataupun tidak.
23
M. Quraish Shihab, al-Lubab: Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihahdan Juz
„Amma (Tangerang: Lentera Hati, 2008), h. 8. 24
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 117.
44
D. Metode Penafsiran Surah al-Fatihah
1. Penafsiran Term Kunci Surah al-Fatihah
Dalam surah al-Fātiḥah di dalamnya memuat penjelasan tentang seluruh jenis
petunjuk al-Qur‟an dan dasar-dasar akidah Islam secara global yang tercantum
dalam surat lainnya secara terperinci. Surah al-Fātiḥah yang menjadi renungan
orang yang shalat hendaklah mengingat rahmat Allah yang tersebar luas kepada
seluruh alam dan rahmat yang khusus diberikan kepada orang-orang yang beriman
dan bertakwa. Ia yang memuji Allah beserta nikmat-Nya yang melimpah ruah dari
kemurahan rububiyyah-Nya, serta mengingat wujud Allah sebagai Maharaja yang
hakiki yang menguasai Hari Pembalasan dan Hari Perhitungan bagi semua amal
manusia.25
بسم اللو الرحن الرحيم “(Atas nama Allah) yang Maha Pengasih, Maha Penyayang”.
Kalimat bismillāh terdiri atas sembilan belas huruf dalam lima komponen.
Satu berasal dari kata bantu (huruf) yaitu huruf al-jar (ب) yang terletak di
permulaan bismillāh, dan empat lainnya berasal dari kata yang berbeda.26
Dalam
mengartikan bismillāh, maka akan terasa di dalam diri bahwa tidak ada
kewenangan sedikitpun atas kita untuk menjadi seseorang berkuasa pada alam
raya ini. Dengan pengucapan bismillāh, sekaligus pernyataan secara eksplisit dari
yang bersangkutan terhadap kemahakuasaan Allah dan ketidakberdayaan dia
25
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Fātiḥah, Menemukan Hakekat Ibadah (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2007), h. 15. 26
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah (Yogyakarta: Pustakan
Pelajar, 2012), h.16
45
sebagai makhluk-Nya, sehingga apapun yang dilakukannya tidak mungkin
terlaksana tanpa iradat dan kudrat-Nya.27
Tentang bismillāh ada di permulaan tiap-tiap surat kecuali surah al-Baraqah
atau at-Taubah tidaklah ada perselisihan Ulama. Golongan yang terbesar dari
Ulama Salaf berpendapat bahwa bismillāh di awal surah adalah ayat pertama dari
surat itu sendiri. Begitulah pendapat para Ulama Salaf Mekkah, baik Fuqaha‟nya
ataupun ahli Qiraatnya.28
al-Raḥmān dan al-Raḥīm secara etimologis kedua kata ini berakar dari kata
yang sama yaitu al-Raḥmah yang berarti “suatu perasaan halus di dalam hati yang
mendorong seseorang untuk menyayangi orang lain”.29
Berdasarkan
pemahamannya al-Maraghi mengatakan bahwa al-Raḥmān menunjuk kepada
orang yang timbul kasih sayang darinya, yang terwujud dalam bentuk curahan
nikmat dan anugerah, sementara al-Raḥīm adalah sumber kasih sayang itu
sendiri.30
Mereka yang meyakini bahwa bismillah bukan bagian dari al-Fātiḥah
seperti kaum Malikiyah dan yang sepaham dengan mereka menegaskan bahwa
bismillāh tidak wajib dibaca di awal al-Fātiḥah dan shalat tetap sempurna, tidak
rusak atau batal tanpa pembacaan bismillāh tersebut.31
احلمد للو رب العالمني “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”
27
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 19. 28
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 86. 29
Ahmad Mushthafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī (Bairut: Dar al-Fikr, 1974), h. 29. 30
Ahmad Mushthafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī (Bairut: Dar al-Fikr, 1974), h. 29. 31
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 31.
46
Kata احلمد dalam bahasa indonesia diterjemahkan dengan “segala puji”.
Pujian biasanya diberikan terhadap sesuatu yang memenuhi kriteria baik dan
indah ditinjau dari berbagai aspeknya. Dalam hal ini, semua perlakuan Allah
terhadap makhluk-Nya patut mendapat pujian, bahkan perbuatan yang pada
lahirnya tampak buruk pun pada hakekatnya pantas dipuji, apalagi yang nyata
baik.32
Para ulama tafsir pada umumnya berpendapat bahwa, kata رب dalam ayat
kedua merupakan kata sifat dan berfungsi sebagai keterangan sifat (na‟at) bagi
lafal هلل yang terletak sebelumnya. Dengan demikian, maka terjemahannya ayat
kedua itu menjadi “segala puji bagi Allah pendidik, pengayom, dan penguasa
alam semesta”. Meskipun konotasi kosakata rabb sedemikin luasnya, namun
semuanya berhubungan dengan aktifitas dan proses kehidupan. Maka dari itu,
akan terasa betapa besar peranan yang dimainkan Allah di alam-Nya ini dalam
rangka mendidik, mengayomi, dan mengaturnya.33
Kata العاملني kata jamak dari الع
, para ahli tafsir umumnya mendefinisikan: “segala sesuatu selain Allah, fisik dan
metafisik”. Adapula yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan العاملني ialah
umat manusia, para malaikat, dan makhluk yang berakal lainnya.34
Hamka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan „ȃlamīn ialah makhluk
insani, ditambah dengan malaikat, jin dan syaitan. Tetapi dalam al-Qur‟an itu
sendiri pernah bertemu kata „alamin itu hanya dikhususkan, maksudnya untuk
manusia saja (QS. Al-Hijr [15]: 70). Yaitu ketika kaum Nabi Luth menyatakan
kepada Luth, mengapa dia menerima tamu dengan tidak sepengetahuan mereka,
padahal ia telah dilarang menerima kedatangan orang-orang. Untuk semua
32
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 45. 33
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 46. 34
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 50.
47
pemelihaaraan, penjagaan, pendidikan, dan perlindungan itulah kita diajar
mengucapkan puji kepada-Nya: “Rabb al-„Ālamīn”, Tuhan seru sekalian alam.35
الرحن الرحيم “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Secara etimologis kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama yaitu al-
Raḥmān yang berarti “suatu perasaan yang halus di dalam hati yang mendorong
seseorang untuk menyayangi orang lain.” Apabila dihubungkan dengan Allah,
maka yang dimaksudkan adalah “Efek dari rahmat Allah yaitu pengayoman-Nya.”
Meskipun berasal dari kata yang sama, namun para ulama umumnya berpendapat
bahwa al-Raḥmān lebih umum dari al-Raḥīm karena yang pertama mencakup
kasih sayang Allah kepada seluruh penghuni dunia, baik mukmin maupun kafir,
sedangkan yang kedua hanya konotasi kasih sayang Allah khusus kepada orang
mukmin.36
Yang dimaksudkan dari ayat sebelumnya, jika Allah adalah Rabb sebagai
pemeliharan dan pendidik bagi seluruh alam tidak lain maksud dan isi pendidikan
itu, melainkan karena kasih sayang-Nya semata dan karena murah-Nya belaka,
tidaklah dalam memberikan pemeliharaan dan pendidikan itu menuntut
keuntungan bagi diri-Nya sendiri. Pemeliharan yang Dia berikan adalah pertama
karena al-Raḥmān maknanya ialah bila sifat Allah yang Raḥmān itu telah
membekas dan berjalan ke atas hamba-Nya. Maka al-Raḥmān ialah setelah sifat
itu terpaksa pada hamba, dan al-Raḥīm ialah pada keadaannya yang tetap dan
35
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 95. 36
Nashruddin Baidan, TafsirKontemporer Surah al-Fatihah, h. 28.
48
tidak pernah hilang untuk Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung
akan sumber kata, yaitu “Rahmat”.37
ين مالك ي وم الد“Pemilik (Penguasa) hari Pembalasan”.
Kita mengartikan yang menguasai, apabila Maliki kita baca dengan
memanjangkan Mim pada Māliki. Dan kita artikan “Yang Mempunyai Hari
Pembalasan”, kalau kita baca hanya Maliki saja dengan tidak memanjangkan
Mim, maka dapat kita artikan dengan al-Dīn yang berarti agama, padahal diapun
berarti Pembalasan. Jika tadi seluruh jiwa kita telah diliputi oleh rasa Raḥmāt,
pancaran Raḥmāt dan Raḥīm Tuhan, maka dia harus dibatasi dengan keinsafan,
bahwa betapapun Raḥmān dan Raḥīm-Nya namun Dia adil juga. Maka apabila al-
Raḥmān dan al-Raḥīm telah disambungkan dengan Māliki yaumi al-dīn, barulah
seimbang pengabdian dan pemujaan kita kepada Tuhan. Karena hidup tidak
berhenti hingga kini saja, akan ada sambungannya lagi yaitu hari Pembahasan.38
Kosakata م و ي jamak dari ام ي أ biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan “hari” yang pada umumnya berdurasinya sekitar 12 jam. Di dalam ayat
ini, Allah menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu 12-24 jam.
Kosakata ن ي د berarti agama, ketaatan, pembalasan, dan sebagainya. Semua
konotasinya menggambarkan adanya hubungan antara dua pihak yang satu dengan
yang lebih tinggi dari yang lain atau antara dua pihak yang lebih tinggi dari yang
lain atau atasan dan bawahan. Berdasarkan pemahaman itu, maka frase ن ي الد م و ي di
dalam ayat ini dapat diartikan “hari (waktu) pembalasan”.39
37
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 96.
38
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 100. 39
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 70.
49
Dalam konotasi yang demikian sangat logis ayat 4 dari surah al-Fatihah diberi
dispensasi untuk dapat dibaca dalam dua versi bacaan, karena hal itu memang
sesuai dengan kenyataan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat kedua dari
an-Nas. Ayat ini membicarakan tentang perlindungan kepada Allah dari berbagai
godaan dan gangguan makhluk halus baik yang bertubuh halus seperti jin dan
setan, maupun yang bertubuh kasar seperti manusia. Dalam hal ini, Allah tidak
mau memposisikan diri-Nya secara langsung sepagai pihak pemilik manusia
meskipun secara logika hal itu boleh saja karena langit dan bumi beserta isinya
adalah milik Allah. Dalam pernyataan Allah itu terkandung pesan yang amat
penting, yaitu apabila Allah menyatakan bahwa Dia pemilik manusia, maka dapat
menimbulkan persepsi bahwa semua yang dilakukan manusia adalah pekerjaan
Allah, dan Allah bertanggung jawab penuh atas semua yang dilakukan manusia
baik dan buruknya.40
ياك نستعني إياك ن عبد وإ “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau
(pula) kami minta tolong”.
Pada empat ayat pertama di atas, sangat dominan akan nuansa pujian dan
sanjungan kepada Allah. Allah juga menjelaskan bahwa Dia Maha Pengasih dan
Penyayang. Dengan kasih sayang-Nya yang demikian besar itulah Dia mengatur,
mengayomi, dan mendidik alam semesta dengan segala isinya.
Kalimat iyyāka kita artikan Engkaulah atau boleh dilebih dekatkan lagi
maknanya dengan menyebut hanya Engkau sajalah yang kami sembah. Kata
na‟budu kita artikan “kami sembah” dan nasta‟īnu kita artikan “tempat kami
memohon pertolongan”. Kata na‟budu berpangkal dari kalimat „ibadat dan
40
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, h. 63.
50
nasta‟īnu berpangkal dari kalimat isti‟ānah. Meskipun telah kita pakai arti dalam
bahasa kita yaitu sembah atau kami sembah, namum hakikat ibadat hanya khusus
kepada Allah. 41
راط المستقيم اىدنا الص“Tuntunlah kami menempuh jalan yang lurus”.
Tuntunan atau petunjuk itu diberikan dengan cara yang halus, santun, dan
lemah lembut. Yang dimaksudkan disini adalah nuansa kasih sayangnya terasa
sangat kental. Cara seperti inilah yang diterapkan Allah di dalam al-Qur‟an dalam
membimbing umat ke jalan yang benar, bahkan dalam berkomunikasi dengan
orang kafir dan musyrik yang terang-terangan mengingkari-Nya pun tetap saja
dipanggil-Nya dengan panggilan yang lembut dan juga sopan.42
Menurut keterangan setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang
lurus, yang dimohonkan kepada Allah itu adalah, Pertama, al-Irsyād yang artinya
agar dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan sehingga dapat membedakan yang
salah dengan benar. Kedua, al-Taufīq yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa
yang direncanakan Tuhan. Ketiga, al-Ilḥām yang artinya diberi petunjuk supaya
dapat mengatasi sesuatu yang sulit. Keempat, al-Dilālah artinya ditunjuk dalil-
dalil dan tanda-tanda dimana tempat berbahaya, dimana yang tidak boleh dilalui
dan sebagainya. Dengan ayat ini kepada kita telah ditunjukkan apa yang amat
penting kita mohonkan pertolongan kepada-Nya, mohon ditunjuki jalan yang
lurus.43
41
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 101. 42
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, h. 85. 43
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 107.
51
صراط الذين أن عمت عليهم غي المغضوب عليهم وال الضالني “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka
(para nabi, shadiqin, syuhada‟ dan shalihin); tidak (jalan) mereka yang
dimurkai dan tidak (pula jalan) mereka yang sesat”.
Ayat ketujuh ini merupakan penjelasan bagi ayat sebelumnya. Bila diamati
dengan seksama, semua penafsiran ulama sebagaimana yang telah dinukilkan di
atas, maka tampak jelas tersimpul dalam ayat ketujuh ini. Berdasarkan penegasan
Allah, maka ketika kita berdoa kepada Allah agar dituntun mendapatkan الصراط itu artinya kita minta dituntun untuk mendapatkan jalan yang pernah ;املستقيم
ditempuh oleh keempat golongan manusia pilihan Allah; itu bukan alan yang
dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat.44
Allah pernah mengaruniakan nikmat-Nya kepada orang-orang yang telah
menempuh jalan yang lurus itu, maka kita memohon kepada Tuhan agar kita
ditunjukkan pula jalan itu. Adapun jalan orang yang sesat ialah orang yang berani-
berani membuat jalan sendiri diluar yang digariskan Tuhan. Tidak mengenal
kebenaran atau tidak dikenalnya menurut maksud yang sebenarnya.45
Dengan
demikian keberagamaan mereka tidak didasarkan pada emosional agamis semata,
melainkan lebih didasarkan pada pemikiran rasional berlandaskan konsep dan
teori yang matang.
Surah al-Fātiḥah merupakan surah yang terbilang singkat dan pendek, tetapi
surah ini mempunyai kedudukan yang agung dan banyak manfaat yang banyak.
Allah SWT. menyebutkan bahwa selain menurunkan al-Qur‟an yang agung, Ia
juga memberikan tujuh ayat (Surah al-Fātiḥah) kepada Rasulullah saw.
sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya. Dan Sesungguhnya kami telah
44
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, h. 98. 45
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz I, h. 112.
52
berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (Surah al-Fātiḥah) dan
al-Qur‟an yang agung (QS. Al-Hijr [15]: 87).46
2. Sumber Penafsiran
Garis besar sumber penafsiran al-Qur‟an terbagi menjadi tiga bagian, yaitu al-
Qur‟an, al-Hadits, dan ijtima‟ ulama.
i. Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
Tafsir bi ma‟tsur juga disebut sebagai penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an,
al-Qur‟an dengan Sunnah Nabi, dan al-Qur‟an dengan pendapat sabahat atau
tabi‟in. Dinamai dengan tafsir bi ma‟tsūr karena dalam menafsirkan al-Qur‟an,
seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan dari masa lalu dari generasi
sebelumnya sampai kepada Nabi Muhammmad saw. Contohnya tafsir al-Qur‟an
dengan al-Qur‟an dalam QS. al-An‟am: 82, yang berbunyi;
هتدون الذين آمنوا ول ي لبسوا إميان هم بظلم أولئك لم المن وىم م“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman menreka
dengan kedzaliman (syirik), karena mereka itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Kemudian ditafsirkan oleh QS. Luqman [31]: 13, Allah Swt berfirman:
رك لظلم عظيم وإذ قال لقمان البنو وىو يعظو يا ب ن ال تشرك باللو إن الش“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia
memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau
menyekutu Alah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-
benar kedzaliman yang besar.”
Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an adalah bentuk tafsir yang paling
tinggi. Keduanya tidak diragukan lagi untuk diterima alasannya, pertama karena
46
Muhammad Alcaff, Tafsir Populer al-Fātiḥah (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), h.
20.
53
Allah Swt adalah sumber yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur
dengan kebathilan. Kedua karena himmah Rasulullah terhadap al-Qur‟an, yaitu
untuk menjelaskan dan menerangkan.47
ii. Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Hadits
Sebagaimana yang telah kita ketahui, hadits berfungsi sebagai penjelasan
terhadap maksud al-Qur‟an. Dalam hal ini, harus memperhatikan tingkatan nilai
sanad dan matan hadits. Nabi yang menerima al-Qur‟an dan ditugaskan oleh Allah
untuk menjelaskan al-Qur‟an dari Allah. QS. al-Nahl [16]: 44;
نات والزبر للناس ما ن زل إليهم ولعلهم ي ت ف بالب ي رون وأنزلنا إليك الذكر لتب ني ك“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.”
Sabda Rasulullah saw.:
ل لكم حلم احلمار الىلى وال كل ذى بع وال لقطة معاىد إال أن أال ال ي ناب من السها صاحب ها يست غن عن
“Ketahuilah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan tidak halal
pula semua yang bertaring dari sebagian binatang buas, tidak pula halal
bagi kamu temuan milik orang kafir mu‟ahad (yang terikat perjanjian
dengan kaum muslimin), kecuali jika pemiliknya tidak memerlukannya
lagi.”
iii. Penafsiran al-Qur‟an dengan Ijtihad Sahabat
Setelah Nabi, orang yang paling mengetahui konteks diturunkannya ayat serta
kondisi yang menuntun diturunkannya ayat-ayat tersebut, maka sebahagian
47
Abdurrahman Hakim, “Tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an Studi Analisis-Kritis dalam
Lintas Sejarah”, artikel ini diakses pada tanggal 5 Mei 2019 pukul 11:35
http://pps.iiq.ac.id/jurnal/index.php/MISYKAT/article/view/32/18
54
membicarakan diri Nabi. Akan tetapi harus digaris bawahi bahwa para sabahat
mempunyai kemampuan al-Ṭaqah yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur‟an. Di
sisi lain, pemahaman para sahabat terhadap al-Qur‟an pun begitu dalam, sehingga
mereka tidak akan beralih pada suatu ayat yang mereka mampu memahami dan
mengamalkannya.48
iv. Penafsiran al-Qur‟an dengan Ijtihad Tabi‟in
Tabi‟in secara historis adalah murid para sahabat. Merekalah yang secara
bertahap merupakan orang yang paling otoritatif dalam menafsirkan al-Qur‟an
setelah Rasulullah dan para sahabat. Para tabi‟in yang populer tiada lain adalah
murid-murid Ibn „Abbās, Abdullah bin Mas‟ūd, dan Ubay bin Ka‟ab. Di
antaranya adalah Mujāhid serta Sa‟īd bin Jubair dan Qatādah. Mujāhid mengakui
bahwa dia bertanya kepada Ibn „Abbās perihal tafsir dari surah al-Fātiḥah sampai
akhir surat. Pengakuan Mujāhid ini ditekankan oleh riwayat dari Ibn Abī Mālikah
dan Sufyān al-Tsaurī. Sampai-sampai orang terakhir ini mengatakan bahwa
apabila seseorang mencari penafsiran yang otoritatif maka cukuplah baginya tafsir
dari Mujāhid.49
v. Dari karya-karya Tafsir Klasik
48
Sholih „Abd al-Fattah al-Khalid, Ta‟rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin (Damaskus:
Dar al-Qalam), h. 203. 49
Sholih „Abd al-Fattah al-Khalid, Ta‟rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, h. 203.
55
Dalam bukunya Jalāl al-Dīn „Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī yang berjudul al-
Jāmi‟ al-Saghīr fī al-Aḥādīts al-Basyir al-Nadzir, menjelaskan bahwa pengucapan
اهلل م س ب itu sekaligus merupakan pernyataan secara eksplisit dari yang
bersangkutan terhadap kemahakuasaan Allah dan ketidakberdayaan dia sebagai
makhluk-Nya, sehingga apapun yang dilakukannya tidak mungkin terlaksana
tanpa iradat dan kuasa-Nya. Dikarenakan keikutsertaan Allah kedalam setiap
perbuatan yang dilakukan itulah maka hasil yang diperoleh dari perbuatan tersebut
menadi berkah dan bermanfaat baik bagi diri sendiri, maupun bagi masyarakat.50
Dalam bukunya Abȗ Ja‟far Muḫammad bin Jarīr aṭ-Ṭabarī yang berjudul
Jāmi‟ al-Bayān fī al-Ta‟wīl al-Qur‟an mengatakan bahwa seorang konglomerat
disebut „rabb al-māl‟ (tuan harta) karena ia seorang pemilik, pemelihara dan
pengayoman harta.
Kemudian dalam bukunya Muhammad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi
yang berjudul al-Bahr wa al-Muhit memaparkan kosa kata اط ر ص adalah bahasa
Arab resmi (fushha). Kata ini biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan “jalan”. Secara etimologi ia berasal dari اط ر ص (sirāth) yang berarti
“menelan”. Jalan raya yang disebut اط ر ص karena dia mampu menampung banyak
kendaraan dan apa saja yang berada di atasnya, sehingga seakan-akan jalan itu
menelan semuanya.51
50
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fatihah, h. 19. 51
Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surah al-Fātiḥah, h. 92.
56
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segi teknik penulisan, sistematika penyajian tafsir yang digunakan
adalah berdasarkan urutan tartīb al-āyat. Kemudian dalam bentuk penyajiannya,
tafsir ini termasuk perpaduan antara global dan ilmiah. Kemudian tafsir
kontemporer surah al-Fātiḥah ini menggunakan corak kebahasaan (lughawī), ia
menjelaskan ayat per ayat dengan sangat rapi dan juga menarik, ia juga
menjabarkan (i’rāb) kata demi kata dengan sedemikian rupa. Sehinnga sangat
mudah untuk dipahami pembaca. Nashruddin Baidan merupakan seorang
akademisi yang bergelut dalam tafsir dari tahun 1986.
Nashruddin Baidan berusaha memahami al-Qur’an dengan cara
mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya
menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya
bahasa yang indah dan menarik, kemudian pada langkah berikutnya penafsir
berusaha menghubungkan nas-nas al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan
sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini tidak sepi dari
penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan
istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.
Menurut peneliti, Baidan juga menggunakan corak tafsir ‘Ilmi yang berusaha
menjelaskan istilah-istilah ilmiah yang terdapat dalam surah al-Fātiḥah.
57
B. Saran-Saran
1. Seharusnya para sarjana Muslim di Indonesia lebih ikut andil terhadap
pengembangan studi al-Qur’an, terutama dalam bidang metodologi tafsir,
bukan hanya meneliti metodologi tafsir di Timur Tengah saja tetapi juga
harus meneliti karya-karya ulama-ulama di Indonesia yang tidak kalah
produktifnya.
2. Bukan hanya Nashruddin Baidan yang harus dibahas, akan tetapi lebih
banyak lagi mufassir Indonesia yang telah menghasilkan karya, yang tidak
tampak atau tidak muncul di permukaan.
58
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Halim Muhammad. Memahami al-Qur’an dengan Metode Menafsirkan al-
Qur’an dengan al-Qur’an. Bandung: Penerbit Marja, 2012.
Ali, M. Sayuti. Metode Penelitian Agama Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Cileduk: Mazhab Ciputat, 2013.
Anshori. Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2013.
Azhar, Rizqi Ali. Penafsiran Surat Al-Fatihah Menurut Muhammad Romli dan
Moh E. Hasim (Studi Komperatif atas Tafsir Nurul-Bajan dan Ayat Suci
Lenyepaneun). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
Baidan, Nashruddin.Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2012.
-------, Tafsir al-Qur’an di Indonesia. Tiga Serangkai: Pustaka Mandiri, 2002.
-------, Tafsir Kontemporer Surat al-Fatihah. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012.
-------, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012.
Fauzi, Ahmad. Safwat Al-Tafasir. Studi Analisis Metodologi Penafsiran Al-
Qur’an Karya Al- Sabuni. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.
Farmawy, Abu al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy. Mesir: Maktabah
al-Jumhuriyyah, 1977.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi.
Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2013.
Hafidzoh, Ummu. Metode Tafsir Maudhu’i Muhammad Al-Ghazali (Analisis
Terhadap Kitab Nahwa Tafsir Maudhu’i li Suwar al-Qur’an al-Karim).
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Halim, Muhammad Abdul. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Terj.
Rofik Suhud. Bandung: Merja, 2012.
Irwan. Analisis Metodologi Tafsir Al-Fatihah karya Achmad Chodim. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.
Irsyadunnas. Hermeneutika Femenisme Dalam Pemikiran Tokoh Islam
Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba, 2014.
Irvan. Konsep Ibadah Dalam Al-Qur’an Kajian Surat Al-Fatihah 1-7. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
59
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2011.
Kamalia, Wilda. Literatur Tafsir Indonesia (Analisis Metodologi dan Corak
Tafsir Juz ‘Amma As-Sijaru ‘I Wahhaj Karya M. Yunan Yusuf). Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Karyadi. Studi Komperatif Aspek-Aspek Metodologis Penafsiran Al-Qur’an
Menurut Fazlur Rahman dan Hasan Hanafi. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003.
Mattson, Ingrid. Ulumul Qur’an Zaman Kita. Jakarta: Zaman, 2013.
M. Federspiel, Howard. Kajian al-Qur’an di Indonesia; Dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin. Bandung: Mizan, 1996.
Mubarak, Muhammad Syahrul. Kontektualisasi Surat Al-Fatihah Dalam Tafsir
At-Tanwir Muhammadiyah. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2017.
Nawawi, Rif’at Syauqi. Kepribadian Qur’an. Jakarta: Amzah, 2011.
Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Edisi Kedua. Bandung: Mizan, 2013.
Soetari, Adiwikarta Endang. Pengantar Ilmu Tafsir Al-Qur’an. Bandung:
Yayasan Amal Bakti, 2013.
Syafiie, Inu Kencana. Filsafat Al Fatihah. Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009.
Ulya, Rofida. Tafsir Surat Al-Fatihah Menurut KH. Ahmad Rifa’i Dalam Kitab
Nazam Tasfiyyah. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Yuniar, Rena. Analisis Metodologi Tafsir Pase: Kajian Surat Al-Fatihah dan
Surat-Surat dalam Juz ‘Amma: Paradigma Baru. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005.