mengubah paradigma perang 4gw - m.kiblat.net filea. generasi perang — 6 1. perang generasi pertama...

20
K. Mustarom MENGUBAH PARADIGMA PERANG PERANG GENERASI KEEMPAT (4GW) 4GW

Upload: nguyenhanh

Post on 23-Mar-2019

281 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

K. Mustarom

MENGUBAH PARADIGMA PERANG

P E R A N G G E N E R A S I K E E M PA T

( 4 G W )

4GW

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

2

PERANG GENERASI KEEMPATMengubah Paradigma Perang

K. Mustarom

Laporan Khusus Edisi XV / Oktober 2014

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan

gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

[email protected].

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

3

Pergeseran generasi terjadi sepanjang waktu seiring dengan perubahan lingkungan dan teknologi, yang membuat praktik-praktik

yang diikuti sebelumnya nampak ketinggalan zaman. Perubahan generasi perang terjadi melalui usaha yang dilakukan oleh para pelaku untuk memecahkan problem spesifik terkait dengan pertempuran mereka melawan musuh yang jauh lebih kuat.

Perang Generasi Keempat (4GW) bukanlah hal baru, namun merupakan sebuah aplikasi kreatif dan adaptif dari bentuk sebelumnya, dimana dimensi moral lebih penting daripada teknologi. Perang generasi keempat menggambarkan transisi dimana kekuatan tradisional didefinisikan ulang: fokus kini berpindah dari teknologi tinggi menuju ide. Konflik bergeser dari strategi atrisi menghancurkan target militer dengan menggunakan daya tembak pasukan reguler menuju pengacauan pusat sosial ekonomi dan kultur politik dengan serangan kejutan, subversi, organisasi bayangan, dll.

Jantung dari fenomena terjadinya Perang Generasi Keempat adalah karena terjadinya krisis legitimasi negara. Di seluruh dunia, warga negara mentransfer loyalitas utamanya dari negara untuk hal-hal lain: agama, suku, kelompok etnis, geng, ideologi dan sebagainya. Banyak orang yang tidak lagi berjuang untuk negaranya namun akan berjuang untuk loyalitas primer baru mereka.

Ciri menonjol perang dalam generasi ini adalah melibatkan dua aktor atau lebih dengan kekuatan yang tidak seimbang dan mencakup spektrum perang yang luas. Perang dalam generasi ini bersifat transnasional, tidak mengenal medan perang yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa perang dan damai, serta tidak mengenal garis depan. Aktor Generasi Keempat pada umumnya memiliki tujuan regional yang jauh lebih luas dan bahkan visi global. Mereka berusaha menerapkan sistem sosial yang sama sekali baru berdasarkan ideologi atau agama mereka.

EXECUTIVE SUMMARYDAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3EXECUTIVE SUMMARY — 3

A. Generasi Perang — 61. Perang Generasi Pertama (1648 - 1860) — 62. Perang Generasi Kedua — 63. Perang Generasi Ketiga — 74. Perang Generasi Keempat — 7

B. Karakter Perang Generasi Keempat — 9Karakteristik Sosial 4GW — 9Karakteristik Politik 4GW — 9Karakteristik Militer — 9

C. Perbedaan 4GW dengan Perang Generasi Sebelumnya — 101. Perbedaan Negara dan Non-Negara — 102. Perbedaan Sipil dan Militer — 103. Lebih tersebar — 104. Logistik — 105. Area Konflik — 116. Pernyataaan Perang — 117. Ketidaklinearan — 118. Penentu Kemenangan — 119. Sifat Musuh — 1110. Pentingnya Media — 1211. Penggunaan Terorisme — 1212. Munculnya Organisasi Non-Pemerintah

(NGO) — 1213. Sumber Dana — 12

D. Kekuatan Para Pejuang Generasi Keempat — 12

E. Kelemahan Para Pejuang Generasi Keempat — 13

F. Perkembangan 4GW — 13Apakah Perang Generasi Kelima Sudah Mulai Muncul? — 15

G. Dilema Moral dan Etika dalam 4GW — 16

H. Perang Generasi Keempat dalam Pandangan Jihadi — 17Kemenangan oleh Negara Islam — 18

I. Penutup — 20

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

4

Perang Generasi Keempat antara lain ditandai dengan menurunnya harmoni dalam masyarakat; menurunnya loyalitas kenegaraan dan meningkatnya loyalitas alternatif, terutama budaya; hilangnya monopoli negara atas perang; munculnya entitas non-negara yang mampu menguasai loyalitas utama masyarakat; peran dominan dari propaganda dan tekanan psikologis adalah untuk mengubah pikiran para pembuat kebijakan politik.

Perang Generasi Keempat berakar dari aturan fundamental yang menyatakan bahwa kemauan politik yang lebih superior, bila digunakan dengan benar, dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Perang Generasi Keempat tidak berusaha untuk menang dengan mengalahkan pasukan militer musuh. Sebaliknya, mereka secara langsung menyerang kemauan politik musuh dengan menggabungkan antara taktik gerilya atau pembangkangan sipil dengan jaringan ikatan sosial, budaya dan ekonomi, kampanye disinformasi dan aktivitas politik yang inovatif.

Perang Generasi Keempat mencakup spektrum aktivitas manusia yaitu politik, ekonomi, sosial dan militer. Secara politis, Perang Generasi Keempat melibatkan organisasi dan jaringan transnasional, nasional dan sub-nasional untuk menyampaikan pesan kepada khalayak sasaran.

Secara strategis, Perang Generasi Keempat berfokus pada mematahkan kehendak pembuat keputusan. Mereka menggunakan jalur yang berbeda untuk menyampaikan pesan yang berbeda kepada sasaran yang berbeda. Pesan ini digunakan demi tiga tujuan: untuk mematahkan semangat musuh; mempertahankan kehendak rakyat mereka sendiri; dan memastikan pihak yang netral tetap netral atau memberikan dukungan diam-diam atas alasan yang mereka gunakan. Secara operasional, mereka menyampaikan pesan tersebut dalam berbagai cara mulai dari serangan militer secara langsung yang berdampak tinggi hingga serangan ekonomi tidak langsung yang dirancang untuk menaikkan harga minyak.

Secara taktis, pasukan Perang Generasi Keempat menghindari konfrontasi langsung jika memungkinkan. Mereka menggunakan bahan-bahan yang ada dalam masyarakat yang diserang. Perang Generasi Keempat juga merupakan perang

yang panjang yang berlangsung dalam hitungan dekade.

Singkatnya, Perang Generasi Keempat bersifat politis, jaringan terbentuk secara sosial, dan membutuhkan durasi yang berlarut-larut. Ia adalah antithesis dari teknologi tinggi dan perang singkat yang selama ini disiapkan oleh Pentagon.

Perang generasi keempat menggunakan seluruh jaringan yang tersedia—politik, ekonomi, sosial, dan militer—untuk meyakinkan para pengambil keputusan politik musuh bahwa tujuan strategis mereka tidak bisa diraih atau terlalu mahal jika dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan. Satu-satunya media yang bisa mengubah pikiran seseorang adalah informasi. Karenanya, informasi adalah elemen kunci dalam setiap strategi Perang Generasi Keempat.

Pada generasi sebelumnya, media lebih berfungsi untuk melaporkan peristiwa yang terjadi, bukan untuk membentuk arah perang. Dalam Perang Generasi Keempat, media digunakan untuk melemahkan kehendak lawan. Targetnya adalah para pengambil keputusan musuh atau masyarakat musuh. Selain itu, audiens global juga dijadikan target untuk membentuk cara pandang dunia. Karena itu, manajemen media sama pentingnya dengan taktik lain dalam Perang Generasi Keempat. Perang jenis ini adalah konflik berbasis informasi. Karena tujuannya adalah untuk menargetkan pikiran musuh, informasi menjadi hal yang sangat penting.

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

5

Perang selalu berubah. Seluruh pihak yang berperang terus belajar dan beradaptasi. Namun saat ini, perang berubah dengan

cepat dan dengan skala yang lebih besar dibanding sebelumnya. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam hal bagaimana perang dilakukan, namun juga siapa yang berperang dan untuk apa mereka berperang.

Di seluruh dunia, pasukan militer negara harus menghadapi musuh non negara. Perang semacam ini, yang kemudian disebut sebagai perang Generasi Keempat (Fourth Generation Warfare) atau yang lebih dikenal dengan singkatan 4GW, merupakan tantangan yang sangat sulit. Hampir selalu, pasukan militer negara memiliki superioritas dalam hal kekuatan tempur, persenjataan, teknik, pelatihan, dll dibanding lawannnya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa mereka lebih sering menerima kekalahan dibanding kemenangan.

Salah satu pakar militer terkemuka Amerika Serikat, John Boyd, pernah mengatakan bahwa, “Saat saya masih muda, saya pernah berpikir bahwa jika Anda memiliki superioritas udara, superioritas darat, dan superioritas laut, Anda akan menang. Di Vietnam kita memiliki superioritas udara, superioritas darat, dan superioritas laut, namun kita kalah. Jadi, saya sadar bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari pada itu.”1

Pada akhir dekade 1980-an, konsep mengenai Perang Generasi Keempat mulai dimunculkan. William S. Lind bersama dengan Keith Nightengale, John F. Schmitt, Joseph W. Sutton, dan Gary I. Wilson menulis sebuah artikel berjudul “The Changing Face of War: into the Fourth Generation” di Marine Corps Gazette pada tahun 1989. Di awal kemunculannya, tidak banyak yang tertarik dengan konsep tersebut. Sampai akhirnya terjadi serangan 11 September,

1 FMFM 1A, Fourth Generation War, Draft 4.3, 12 Agustus 2008

yang membuat para pendukung konsep tersebut mengklaim bahwa serangan Al-Qaidah tersebut adalah pengejawantahan atas konsep Perang Generasi Keempat yang telah mereka prediksikan.

Namun, menurut Hammer, sebagian besar ahli militer masih mengesampingkan konsep tersebut. Satu-satunya tempat yang mendiskusikan secara cermat tentang 4GW adalah website Al-Qaidah. Pada bulan Januari 2002, Abu Ubaid Al Quraisyi menulis artikel tentang 4GW. Dia mengatakan bahwa, “Perang generasi keempat telah terjadi dan menunjukkan superioritas pihak yang secara teori lebih lemah. Pada banyak kasus, perang semacam itu telah menghasilkan kekalahan negara di tangan kelompok tanpa negara.”2 Pada dasarnya, para ahli strategi terkemuka Al-Qaidah menyatakan bahwa kelompok tersebut menggunakan 4GW dalam melawan Amerika Serikat, dan berharap untuk menang dengannya. Diskusi mengenai 4GW di kalangan ahli militer Barat pun baru mulai menghangat setelah perang di Afghanistan dan Irak terus memanas.

Perang modern mulai terjadi sejak terjadinya Perjanjian Westphalia pada tahun 1648. Dengan adanya perjanjian tersebut, negara—yang pada waktu itu merupakan sebuah entitas baru—menguasai monopoli kekerasan. Pasca tahun 1648, perang menjadi sesuatu yang dilakukan oleh negara melawan negara lain. Saat ini, asumsi bahwa perang hanya dilakukan oleh negara begitu otomatis berada dalam benak sehingga kita mungkin merasa kesulitan untuk berpikir bahwa ada perang dengan cara lain.

Pada faktanya, sebelum terjadinya Perjanjian Westphalia, berbagai entitas yang berbeda melakukan perang. Perang dengan latar belakang keluarga, klan, dan suku; perang yang dilakukan oleh

2 "Bin Laden Lieutenant Admits to September 11 and Explains Al-Qa'ida's Combat Doctrine," MEMRI Special Dispatch, 344, Februari 2002.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

6

kelompok etnis dan ras; perang yang dilakukan atas latar belakang agama dan budaya. Perang tersebut seringkali melibatkan banyak pihak, tidak sekadar dua pihak, dimana sekutu seringkali bergeser secara konstan.

Tak hanya pelaku perang waktu itu yang berasal dari berbagai entitas yang berbeda, mereka juga menggunakan berbagai alat yang berbeda. Hanya sedikit dari mereka yang memiliki apa yang kita kenal dengan pasukan formal, angkatan laut, dll. Seringkali, saat perang tiba, seluruh pihak yang bertempur akan merekrut prajurit upahan, baik di darat maupun di laut. Dalam kasus lain, sebagaimana yang terjadi pada perang suku, “tentara” yang berperang adalah para lelaki dewasa yang mampu memegang senjata. Selain melakukan kampanye dan pertempuran, perang juga dibumbui dengan penyuapan, pembunuhan, pengkhianatan, bahkan pernikahan antar dinasti. Garis batas antara “sipil” dan “militer”, antara kejahatan dan perang, sangat kabur atau bahkan tidak ada. Banyak masyarakat yang tidak tahu akan tatanan internal atau perdamaian. Seringkali sekelompok orang bersenjata, saat sedang tidak berperang, melakukan perampasan atas barang-barang milik pihak yang terlalu lemah untuk melawan mereka.3

Saat ini, perang Generasi Keempat adalah perang yang dulu pernah terjadi sebelum berdirinya negara-negara dan Perjanjian Westphalia. Sekali lagi, klan, suku, kelompok etnis, budaya, dan agama melakukan perang, di belahan dunia yang semakin meluas. Mereka berperang dengan menggunakan berbagai sarana yang berbeda, tidak sekadar pertempuran. Dan sekali lagi, konflik akan melibatkan banyak pihak, bukan sekadar dua pihak.

Ahli militer dan sejarah, Martin Van Creveld pada tahun 1990 memprediksi bahwa aktor non-state bersenjata akan mengakhiri monopoli kekerasan yang selama ini dinikmati oleh nation-state sejak Perdamaian Westphalia di Eropa. Perang masa depan tidak lagi dengan melakukan serangan massal dari luar terhadap musuh, namun dengan cara meruntuhkan mereka dari dalam. Lind memandang bahwa “operasi psikologis mungkin akan menjadi senjata operasional dan strategis yang dominan dalam bentuk intervensi media/informasi.”4

3 FMFM 1A, Fourth Generation War, Draft 4.3, 12 Agustus 20084 William S. Lind, Colonel Keith Nightengale, Capt. John F. Schmitt,

Colonel Joseph W. Sutton, Lieutenant Colonel Gary I. Wilson, ‘The

A. Generasi PerangTitik awal pendefinisian teori “generasi perang”

adalah terjadinya perjanjian Westphalia yang terjadi pada tahun 1648 dan mulai berdirinya entitas negara pada masa itu.

1. Perang Generasi Pertama (1648 - 1860)Memiliki ciri formal, tertib, rapi. Hal ini dikaitkan

dengan kultur militer yang penuh keteraturan dan membedakan antara warga sipil dan militer seperti seragam dan pangkat. Perang dalam generasi ini didominasi oleh ‘massed man power’, jumlah dan keahlian pasukan menentukan. Contoh perang dalam generasi ini adalah perang Napoleon.

Figure 1. Linear First Generation Battlefield

2. Perang Generasi KeduaPerang dalam generasi ini mengedepankan

daya tembak massed firepower yang sebagian besar memanfaatkan tembakan meriam tidak langsung, metode ini dikembangkan oleh tentara Perancis pada Perang dunia I.

Ciri dari generasi perang ini adalah daya tembak yang terkendali secara terpusat, terperinci dan teratur bagi infantri, tank dan artileri dimana komandan sangat berperan. Doktrin yang berkembang di generasi perang kedua ini adalah “the artilery conquers, the cavalry as the attackers and the infantry occupies”. Motto yang berkembang pada masa generasi perang pertama dan kedua adalah “close and destroy”.

Changing Face of War: Into the Fourth-Generation’, Marine Corps Gazette, October 1989, hal.4

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

7

Figure 2. Linear Second Generation Battlefield with Indirect Fires

3. Perang Generasi KetigaMerupakan produk Perang Dunia I yang

dikembangkan oleh Jerman pada Perang Dunia II dikenal dengan ‘blitzkrieg’ atau perang dengan manuver, didasarkan atas daya tembak dan menghabiskan tenaga lawan (attrition). Ciri dari perang dalam generasi ini adalah mengutamakan kecepatan, spontanitas, kekuatan mental serta fisik prajurit. Ketertiban menentukan hasil yang akan dicapai, tetapi tidak menentukan cara. Inisiatif lebih penting daripada ketaatan. Selanjutnya, desentralisasi dan inisiatif yang berasal dari perang generasi ketiga memunculkan generasi baru dalam perang.

Figure 3. Non-Linear Third Generation Battlefield of Maneuver War

4. Perang Generasi KeempatDalam generasi ini terjadi perubahan radikal

terhadap norma dalam perang. Perjanjian Westphalia dinafikkan, kembali ke budaya perang masa lalu dimana yang terlibat konflik bukan negara melainkan keluarga, suku, penganut agama dan dunia usaha yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Dalam generasi ini muncul istilah perang asimetris (asymmetric warfare) yang mulai dikenal dalam perang Franco-Spanish tahun 1823, ditandai dengan semakin kaburnya batas-batas norma perang.

Ciri menonjol perang dalam generasi ini adalah melibatkan dua aktor atau lebih dengan kekuatan yang tidak seimbang dan mencakup spektrum perang yang luas. Karakter lainnya adalah perang dalam generasi ini bersifat transnasional, tidak mengenal medan perang yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa perang dan damai, serta tidak mengenal garis depan.

Figure 4. Fourth Generation Battlefield: Non-Linear to the Extrem

Hammes menyatakan bahwa, “Perang generasi keempat menggunakan seluruh jaringan yang tersedia—politik, ekonomi, sosial, dan militer—untuk meyakinkan para pengambil keputusan politik musuh bahwa tujuan strategis mereka tidak bisa diraih atau terlalu mahal jika dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan… Satu-satunya media yang bisa mengubah pikiran seseorang adalah informasi. Karenanya, informasi adalah elemen kunci dalam setiap strategi Perang Generasi Keempat.”5

5 Colonel T. X. Hammes, USMC, “Fourth Generation Warfare Evolves, Fifth Emerges”, Military Review, June 2007

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

8

Jantung dari fenomena terjadinya Perang Generasi Keempat adalah karena terjadinya krisis legitimasi negara. Di seluruh dunia, warga negara mentransfer loyalitas utamanya dari negara untuk hal-hal lain: agama, suku, kelompok etnis, geng, ideologi dan sebagainya. Banyak orang yang tidak lagi berjuang untuk negaranya namun akan berjuang untuk loyalitas primer baru mereka. Dalam dua perang Amerika melawan Irak, angkatan bersenjata Irak menunjukkan sedikit perlawanan, tetapi pemberontak Irak yang loyalitas utamanya adalah terhadap elemen non negara kini melancarkan perlawanan yang keras dan efektif.

Aktor perang Generasi Keempat berbeda dengan kelompok insurgensi, meskipun terkadang aktor insurgensi menggunakan taktik 4GW (Fourth Generation Warfare). Insurgensi berusaha untuk menggantikan pemerintahan saat ini dengan pemerintahan tradisional, yang seringkali memiliki ikatan ideologis yang berbeda. Saat mereka berhasil mencapai kekuatan yang mencukupi, kelompok insurgensi tradisional pada umumnya akan membentuk pasukan militer tradisional ala generasi ketiga dibanding terus melanjutkan gerilya dan operasi teror. Beberapa kelompok insurgen berusaha mengusir penjajahan pasukan asing, namun mereka masih menggunakan norma pemerintahan nation-state sebagai penggantinya.

Sedangkan aktor Generasi Keempat pada umumnya memiliki tujuan regional yang jauh lebih luas dan bahkan visi global. Mereka berusaha menerapkan sistem sosial yang sama sekali baru berdasarkan ideologi atau agama mereka.

Perang generasi keempat bukanlah hal baru, namun merupakan sebuah aplikasi kreatif dan adaptif dari bentuk sebelumnya, dimana dimensi moral lebih penting daripada teknologi. Perang generasi keempat menggambarkan transisi dimana kekuatan tradisional didefinisikan ulang: fokus kini berpindah dari teknologi tinggi menuju ide. Konflik bergeser dari strategi atrisi menghancurkan target militer dengan menggunakan daya tembak pasukan reguler menuju pengacauan pusat sosial ekonomi dan kultur politik dengan serangan kejutan, subversi, organisasi bayangan, dll.

Perang Generasi Keempat berakar dari aturan fundamental yang menyatakan bahwa kemauan politik yang lebih superior, bila digunakan

dengan benar, dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. 4GW tidak berusaha untuk menang dengan mengalahkan pasukan militer musuh. Sebaliknya, mereka secara langsung menyerang kemauan politik musuh dengan menggabungkan antara taktik gerilya atau pembangkangan sipil dengan jaringan ikatan sosial, budaya dan ekonomi, kampanye disinformasi dan aktivitas politik yang inovatif

4GW mencakup spektrum aktivitas manusia yaitu politik, ekonomi, sosial dan militer. Secara politis, 4GW melibatkan organisasi dan jaringan transnasional, nasional dan sub-nasional untuk menyampaikan pesan kepada khalayak sasaran.

Secara strategis, 4GW berfokus pada mematahkan kehendak pembuat keputusan. Mereka menggunakan jalur yang berbeda untuk menyampaikan pesan yang berbeda kepada sasaran yang berbeda. Pesan ini digunakan demi tiga tujuan: untuk mematahkan semangat musuh; mempertahankan kehendak rakyat mereka sendiri; dan memastikan pihak yang netral tetap netral atau memberikan dukungan diam-diam atas alasan yang mereka gunakan. Secara operasional, mereka menyampaikan pesan tersebut dalam berbagai cara mulai dari serangan militer secara langsung yang berdampak tinggi hingga serangan ekonomi tidak langsung yang dirancang untuk menaikkan harga minyak.

Secara taktis, pasukan 4GW menghindari konfrontasi langsung jika memungkinkan. Mereka menggunakan bahan-bahan yang ada dalam masyarakat yang diserang. Praktisi 4GW juga merencanakan perang panjang yang berlangsung dalam hitungan dekade.

Singkatnya, 4GW bersifat politis, jaringan terbentuk secara sosial (bukan teknis), dan membutuhkan durasi yang berlarut-larut. Ia adalah antithesis dari teknologi tinggi dan perang singkat yang selama ini disiapkan oleh Pentagon.6

Sejarah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa bentuk perang baru telah muncul. Sebuah jenis perang yang mampu mengalahkan generasi sebelumnya, yaitu perang manuver, dengan membuat superioritas keinginan politik. Perang telah memasuki generasi baru. Dan sayangnya bagi

6 T. X. Hammes, "War Evolves Into the Fourth Generation," Contemporary Security Policy, August, 2005, hal. 189-192.

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

9

Barat, ia bukanlah perang teknologi tinggi yang selama ini menjadi kekuatan mereka, namun ia adalah perkembangan dari bentuk insurgensi yang menyerang kelemahan mereka.7

B. Karakter Perang Generasi KeempatPergeseran generasi terjadi sepanjang waktu

seiring dengan perubahan lingkungan dan teknologi, yang membuat praktik-praktik yang diikuti sebelumnya nampak ketinggalan zaman. Perubahan generasi perang terjadi melalui usaha yang dilakukan oleh para pelaku untuk “memecahkan problem spesifik terkait dengan pertempuran mereka melawan musuh yang jauh lebih kuat.”8

Selama 350 tahun terakhir, perang berkembang dalam cara tertentu yang secara keliru dipahami sebagai satu-satunya bentuk “perang”. Perkembangan di masyarakat juga diiringi dengan perkembangan pasukan perang dengan memanfaatkan perkembangan industri dan teknologi. Mereka mempersenjatai diri dengan instrumen perang setelah berhasil meyakinkan pemimpin politik mereka tentang kebutuhan akan instrumen-instrumen tertentu atau ketika performa yang cenderung merugikan membawa kepada perubahan yang tak terhindarkan.

Menurut Katoch, tentara saat ini dilatih untuk melakukan perang dengan cara yang sudah usang. Cara para tentara tersebut berperang dalam sebuah lingkungan yang membuat mereka mengalami disfungsi akan menghasilkan penyia-nyiaan sumber daya dan perang yang semakin panjang. Kalaupun kemenangan berhasil dicapai, itupun diperoleh dengan biaya yang tidak proporsional. 9

Pihak yang lebih lemah telah belajar tentang pentingnya ketekunan melalui trial and error. Bahkan, salinan artikel “The Changing Face of War: Into the Fourth Generation,” yang ditulis oleh Lind ditemukan di dalam gua Tora Bora di Afghanistan. Jika informasi ini benar, hal itu menunjukkan bahwa para pejuang 4GW telah memperhatikan kelemahan diri dan musuh mereka.10

7 Ibid, hal. 2058 Hammes, 2004, hal. 39 Ghanshyam. S. Katoch, “Fourth Generation War: Paradigm For

Change”, Juni 2005. Masters Thesis Naval Postgraduate School, Monterey, California.

10 Ibid, hal. 8

Karakteristik Sosial 4GW z Kembalinya dunia budaya ke dalam konflik,

bukan sekadar negara. Kondisi ini diwujudkan dengan menurunnya loyalitas kenegaraan dan meningkatnya loyalitas alternatif, terutama budaya, di seluruh dunia.

z Menurunnya harmoni di masyarakat. 4GW memiliki kesuksesan yang lebih besar di dalam masyarakat yang terbuka. Dunia global adalah lingkungan yang ideal bagi 4GW. Pada saat yang sama, 4GW berjanji untuk menghambat globalisasi, karena masyarakat membangun halangan-halangan defensif untuk melindungi diri dari serangan prajurit Generasi Keempat.

Karakteristik Politik 4GW z Hilangnya monopoli negara atas perang dan atas

loyalitas warganya memberikan penyegaran bagi 4GW. Pada saat yang sama, 4GW menggunakan tanggung jawab yang dimiliki negara atas warganya untuk mengembangkan strategi, di mana dengan membuat warganya menjadi sasaran teror, mereka dapat memaksa negara untuk menyesuaikan diri dengan perilaku yang diinginkan.

z Munculnya entitas non-negara yang mampu menguasai loyalitas utama masyarakat berdasarkan perbedaan-perbedaan yang disorot. Entitas ini bisa jadi dalam bentuk agama, ras dan kelompok etnis, daerah, suku, dan ideologi. Variasinya hampir tak terbatas.

z Peran dominan dari propaganda dan tekanan psikologis adalah untuk mengubah pikiran para pembuat kebijakan politik. Propaganda diarahkan pada target serta mereka yang dapat memberikan tekanan psikologis pada target.

Karakteristik Militer z Sebuah perang yang dilancarkan oleh pasukan

non reguler pada salah satu atau kedua belah pihak. Penyebaran tentara ini bisa jadi tidak memandang perbatasan atau geografi politik.

z Target utama dari aksi militer adalah untuk mengalahkan kehendak rakyat dan pengambilalihan kendali sistem politik mereka.

z Terorisme adalah taktik favorit untuk mengalahkan kehendak rakyat.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

10

z Bagi pihak yang lemah, medan pilihan untuk operasi ini adalah wilayah perkotaan. Medan yang kompleks tersebut memberikan perlindungan dari teknologi yang lebih unggul dari salah satu pihak, serta menyediakan sarana komunikasi modern dan akses ke media dan khalayak-khalayak instan. Kondisi ini cocok untuk 4GW.

z Operasi militer yang berskala kecil, namun dengan nilai spektakuler yang lebih tinggi. Tujuannya adalah untuk meruntuhkan energi atau kepercayaan diri musuh secara bertahap, bukan memusnahkan atau secara fisik memaksa mereka untuk menyerah.

C. Perbedaan 4GW dengan Perang Generasi Sebelumnya4GW memiliki banyak kesamaan dengan konflik

intensitas rendah tradisional dalam bentuk klasik dari pemberontakan dan perang gerilya. Sebagaimana dalam perang kecil, konflik dimulai oleh pihak yang lemah melalui tindakan yang bisa disebut sebagai “ofensif.” Perbedaannya terletak pada cara di mana pasukan 4GW mengadaptasi konsep-konsep tradisional tersebut dengan kondisi hari. Kondisi tersebut terbentuk oleh teknologi, globalisasi, fundamentalisme agama dan pergeseran moral dan norma etik yang membawa legitimasi untuk isu-isu tertentu yang sebelumnya dianggap sebagai pembatasan pelaksanaan perang. Penggabungan dan perubahan bentuk ini menghasilkan cara perang yang baru baik bagi entitas yang menyerang maupun yang diserang. Perbedaan tersebut diuraikan di bawah ini.

1. Perbedaan Negara dan Non-NegaraDengan hilangnya monopoli negara pada

kekuasaan dan hak untuk berperang, tidak seperti generasi sebelumnya, pada 4GW, perang mungkin akan terjadi antara negara melawan negara, atau negara melawan non negara.

2. Perbedaan Sipil dan MiliterTidak ada perbedaan antara personil sipil dan

militer. Warga sipil dapat membentuk sebagian besar dari tentara 4GW seperti yang terlihat pada

waktu Intifadah. Warga sipil tidak dilindungi dengan cara yang mereka dapatkan selama perang generasi sebelumnya, paling tidak secara teori. Hal ini tidak bisa dihindari karena 4GW menargetkan pikiran dan budaya musuh dalam sebuah cara yang tidak sepenting dalam generasi perang awal. Dalam 4GW, perang terjadi di daerah yang dihuni dan sedikit usaha yang dilakukan untuk menjaga warga sipil keluar dari jalur tembak. Bahkan, pihak yang lemah dapat membuat usaha yang disengaja untuk menggunakan rakyat sebagai tameng, sebagaimana dibuktikan dalam perang di Kosovo pada tahun 2000 (Matsumara, et al., 2001). Pihak yang lemah juga dapat mengambil tindakan yang disengaja terhadap warga sipil untuk memaksa reaksi dari militer terorganisir berseragam, misalnya dengan menembak musuh-musuh mereka dari kerumunan demonstran. Korban sipil kemudian dibesar-besarkan melalui media untuk mendapatkan keuntungan moral.

3. Lebih tersebarPasukan 4GW beroperasi dalam sel yang sangat

tersebar. Dengan cara ini, dengan tidak menghadirkan massa sebagai target, keunggulan persenjataan dari musuh yang lebih kuat dapat dihindari. Kemampuan untuk beroperasi dengan cara yang tersebar banyak dibantu oleh pertumbuhan urbanisasi dunia serta revolusi informasi, yang memungkinkan komando dan kontrol harus dilaksanakan dari setiap bagian dari dunia dengan tidak lebih dari sebuah telepon seluler atau satelit yang tersedia secara komersial.

4. LogistikPasukan 4GW memiliki ketergantungan yang

cenderung menurun terhadap logistik. Dalam hal ini, prajurit 4GW memanfaatkan aspek non konvensional dari perang gerilya revolusioner di mana masyarakat menyediakan logistik. Perbedaannya di sini adalah bahwa prajurit 4GW dapat menyusup ke negara lawan, hidup di antara masyarakatnya, dan makan dari mereka tanpa disadari kehadiran mereka. Globalisasi sangat membantu kemampuan ini. Hubungan antar warga dunia dan antar negara membuat penyusupan ke dalam masyarakat target menjadi lebih mudah dan anggota masyarakat yang disusupi tidak menaruh kecurigaan.

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

11

5. Area KonflikMedan perang tidak didefinisikan. Ia bisa terjadi

dalam satu negara atau wilayah atau di mana saja di dunia ini. Hal ini memberikan ruang manuver yang tak terbatas. Medan perang konvensional bergeser menuju area di mana dampak maksimal bisa diraih dengan usaha minimal. Ketidakseimbangan kekuatan menyebabkan pihak yang lemah membawa perang menuju area yang padat penduduknya. Medan yang kasar, keras, dan tidak rata, baik secara alami maupun buatan (perkotaan), adalah medan yang disukai oleh pasukan 4GW karena ia menegasikan kemampuan manuver dari pasukan musuh yang bergantung pada mekanisasi dalam melakukan mobilitas.

6. Pernyataaan PerangTidak ada batasan yang jelas antara masa

damai dan masa perang. Suatu negara mungkin pura-pura damai tetapi sebaliknya mereka juga berperang. Tidak ada garis depan. Perang terjadi di mana saja, di perbatasan maupun di pedalaman. Konvensi yang ada dalam perang konvensional tidak dipatuhi. Ada pertempuran pendek dan kecil, ada juga perang berkepanjangan. Korban relatif kecil. Sifat perang yang membutuhkan waktu panjang lah yang membuat perang tersebut mahal, baik dari segi manusia maupun dari segi biaya. Aksi militer dan polisi bercampur. Hal ini membuat kontrol diserahkan kepada militer dengan asumsi bahwa polisi tidak akan mampu menghadapi serangan militer, sedangkan militer akan mampu menangani situasi-situasi yang dihadapi polisi. Penggunaan kekuatan secara berlebihan oleh tentara seringkali mengakibatkan efek buruk pada keberhasilan tuntutan perang.

7. Ketidaklinearan4GW cenderung sangat tidak linear. Linearitas

dapat dipahami dalam dua cara yang berbeda. Penafsiran pertama, dalam 4GW, linearitas fisik, dimana dua pasukan saling berhadapan secara langsung (face to face), kurang begitu nampak dibanding dalam Perang Generasi Ketiga. Aspek kedua dari non-linearitas berhubungan dengan pengabaian norma. Dalam perang jenis ini, “kebenaran” atau hal yang benar hanya sekadar kata. Konvensi perang yang sudah disepakati tidak

diikuti. Rakyat sipil, media, dan operasi psikologis digunakan untuk memenangkan perang pemikiran.

8. Penentu KemenanganDalam perang generasi sebelumnya,

kemenangan ditentukan oleh kekalahan tentara musuh di medan perang atau kehancuran total sarana yang mereka miliki untuk bisa melakukan perang lagi di masa depan. Dalam 4GW, pihak yang mampu meruntuhkan secara bertahap kehendak pihak lain, meski ia kalah secara militer, adalah pihak yang menang. Tujuannya tidak lagi untuk menimbulkan korban maksimum pada musuh, tetapi untuk mendapatkan efek psikologis maksimum dari korban yang ditimbulkan. Karena tujuan utamanya adalah untuk memenangkan kesetiaan dari rakyat, tidak ada barang rampasan bagi pihak pemenang. Sebaliknya, sejauh mana satu pihak mendapatkan keuntungan lebih dari pihak yang lain ditunjukkan oleh sejauh mana mereka mampu menyediakan keamanan atau bantuan ekonomi kepada masyarakat. Dalam 4GW, tidak kalah dari musuh yang lebih kuat bisa didefinisikan sebagai sebuah kemenangan. Dengan tidak kalah, pihak yang lebih lemah akan mampu meningkatkan citranya di hadapan masyarakat mereka, sedangkan pihak yang lebih kuat akan kehilangan kredibilitasnya di hadapan publik mereka sendiri. Memenangkan kesetiaan dari masyarakat adalah sama pentingnya dengan memenangkan perang.

9. Sifat MusuhSifat dari “musuh” menjadi kabur. Perang

diluncurkan terhadap pemerintah, bukan masyarakat. Perang Korea adalah perang melawan orang-orang Korea Utara meskipun warga Korea Utara hanya sekadar menjadi pion bagi penguasa komunis mereka. Perang Dunia Kedua adalah perang melawan orang Jerman dan Jepang, bukan terhadap Hitler atau Tojo. Dalam 4GW, perang dilakukan untuk melawan para penguasa, bukan masyarakat, meskpun masyarakat mendukung penguasa. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa bahkan jika penguasa berhasil dikalahkan, pada akhirnya kehendak rakyat yang paling penting.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

12

10. Pentingnya MediaPada generasi sebelumnya, media lebih

berfungsi untuk melaporkan peristiwa yang terjadi, bukan untuk membentuk arah perang. Fokusnya adalah untuk membuat publik mereka sendiri mendapat informasi secara positif. Dalam 4GW, media digunakan untuk melemahkan kehendak lawan. Targetnya mungkin adalah para pengambil keputusan musuh atau masyarakat musuh. Globalisasi dan era informasi yang terjadi saat ini membuat penyampaian pesan pada ke target audiens lebih mudah. Informasi yang selama ini butuh berhari-hari untuk sampai kepada publik, kini hanya perlu hitungan detik untuk sampai ke ruang-ruang pribadi masyarakat. Selain masyarakat musuh dan masyarakat mereka sendiri, audiens global juga dijadikan target untuk membentuk cara pandang dunia. Karena itu, manajemen media sama pentingnya dengan taktik lain dalam 4GW. Perang jenis ini adalah konflik berbasis informasi. Karena tujuannya adalah untuk menargetkan pikiran musuh, informasi menjadi sangat penting.

11. Penggunaan TerorismeDalam 4GW, terorisme adalah taktik dan strategi

yang canggih. Karena 4GW lahir untuk mengimbangi keuntungan yang dimiliki oleh entitas yang lebih kuat, adalah wajar jika terorisme, yang dapat melumpuhkan entitas yang kuat, menjadi taktik favorit dalam doktrin 4GW.

12. Munculnya Organisasi Non-Pemerintah (NGO)NGO yang bekerja melintasi perbatasan

internasional memiliki dampak yang meningkat dalam 4GW. Dengan memanfaatkan dan memanipulasi NGO, pertempuran 4GW bisa dimenangkan. Sebuah contoh yang terkenal adalah penggunaan NGO untuk memobilisasi opini publik dunia selama kebuntuan yang terjadi antara pemerintah Meksiko dan gerakan Zapatista di Chiapas pada periode 1994-1998 (Arquilla & Ronfeldt, 2001, hlm. 171-199). Bentuk lain dari NGO di medan perang 4GW adalah Perusahaan Militer Swasta (PME) yang semakin banyak digunakan untuk membantu dalam memerangi musuh Generasi Keempat. Meskipun dipekerjakan dengan dalih untuk menutup kekurangan tenaga di militer, mereka seringkali memiliki utilitas lain dalam

perang generasi baru ini. Mereka bisa digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan militer yang tidak mungkin diambil oleh militer negara karena batasan-batasan yang mereka miliki. NGO, dengan kemampuan mereka untuk mengambilalih sejumlah besar tugas-tugas tradisional yang selama ini dikaitkan dengan negara, mempercepat efek dari musuh non-negara dan globalisasi dalam mengurangi kekuasaan kedaulatan negara.

13. Sumber DanaSebagai sebuah entitas non-state, para pejuang

4GW melakukan pendanaan dari usaha yang mereka lakukan sendiri. Pendanaan ini dilakukan melalui penggalangan dana, organisasi amal, bisnis legal, atau bahkan melalui aksi kriminal.

D. Kekuatan Para Pejuang Generasi KeempatKekuatan terbesar aktor non-negara bersenjata

adalah kepemimpinan yang terpusat tidak menjadi kunci kesuksesan gerakan. Memang semua bermula dari pemimpin yang kharismatik, namun mereka tidak bergantung pada figur tersebut untuk terus bisa survive. Beberapa pihak mengatakan bahwa Al-Qaidah menjadi lebih berbahaya sejak gugurnya Usamah bin Ladin, dan Taliban akan tetap bisa berjalan meski tanpa Mullah Muhammad Umar.

Kekuatan kedua adalah mereka tidak terbatasi oleh aturan hukum, namun mereka bisa menggunakannya jika dirasa menguntungkan mereka. Kondisi ini, dikombinasikan dengan kepercayaan ideologi, membuat mereka mampu melakukan aksi yang negara nakal sekalipun tidak pernah mempertimbangkannya. Saat prajurit mereka tertangkap, mereka akan memanfaatkan keterbatasan hukum domestik yang berlaku di masing-masing negara untuk bisa bebas. Kebanyakan mereka yang bebas pun kembali ke pertempuran, hal yang tidak akan terjadi jika mereka diperlakukan sebagai tawanan perang.

Taliban berhasil menggunakan propaganda tentang keadilan pemerintahan yang mereka lakukan. Propaganda ini efektif terutama saat melawan sistem yang korup atau di area yang kosong dari pemerintahan. Fakta bahwa aktor non-state dari kelompok Islam mampu menjanjikan surga bagi mereka yang meninggal demi tujuan mulia yang

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

13

hendak dicapai membuat mereka mampu menjadi pejuang yang sangat berani.

Kekuatan lain dari para Prajurit Generasi Keempat adalah eksekusi taktis mereka hampir terdesentralisasi secara total. Hal ini membuat para komandan lokal mampu mengambil keuntungan dari peluang yang ada secara cepat di Suriah, Irak, dan Yaman.

E. Kelemahan Para Pejuang Generasi KeempatKurangnya komunikasi merupakan kelemahan

terbesar organisasi 4GW. Hal ini membuat mereka kurang memiliki ketangkasan strategis. Kelemahan lain dari aktor non-state adalah kurangnya kontrol kualitas. Selain itu, titik rawan mereka terakhir, dan mungkin yang paling berbahaya bagi prajurit 4GW, adalah bahwa mereka merasa sulit untuk menangani kesuksesan.

F. Perkembangan 4GWPeristiwa terkini menunjukkan bahwa ada

sejumlah perkembangan besar yang sedang berlangsung dalam 4GW: pergeseran strategis, pergeseran organisasi, dan pergeseran jenis peserta.

Pergeseran strategis. Secara strategis, kampanye para pemberontak telah bergeser dari kampanye militer yang didukung oleh operasi informasi menuju kampanye komunikasi strategis yang didukung oleh operasi gerilya dan teror. Pada tahun 2003, Hammer menulis bahwa, “Perang generasi keempat menggunakan semua jaringan yang tersedia—politik, ekonomi, sosial, dan militer—untuk meyakinkan para pembuat keputusan politik musuh bahwa tujuan strategis mereka tidak bisa diraih atau terlalu mahal dibanding manfaat yang dirasakan.” Konsep kunci dalam definisi ini adalah bahwa lawan dalam 4GW akan mencoba untuk langsung menyerang pikiran para pengambil keputusan musuh. Satu-satunya media yang dapat mengubah pikiran seseorang adalah informasi. Oleh karena itu, informasi adalah elemen kunci dari strategi 4GW. Pemberontakan yang efektif membangun rencana mereka di sekitar kampanye komunikasi strategis yang dirancang untuk menggeser pandangan musuh mereka terhadap dunia. Kampanye komunikasi strategis berbeda dengan kampanye informasi. Informasi selama ini hanya dipandang sebagai komputer dan

keamanan serta ekploitasi komunikasi. Sedangkan “komunikasi strategis” berdasarkan definisinya masuk ke dalam level strategis perang dimana usaha-usaha operasional dan taktis berikutnya harus mendukung pendekatan strategis tersebut.

Peristiwa akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa kelompok pemberontak paham atas fakta tersebut. Strategi Hizbullah selama perang musim panas 2006 dengan Israel adalah contohnya. Selama pertempuran, mereka tidak berfokus untuk merusak Israel. Mereka justru lebih berfokus untuk dianggap sebagai penentang tentara paling kuat di Timur Tengah. Dengan demikian, fakta bahwa Hizbullah menembakkan sebanyak mungkin roket pada hari terakhir perang adalah fakta yang sangat penting. Mereka tahu roket 122mm terkenal tidak akurat dan hanya menyebabkan kerusakan kecil, tetapi roket tersebut sangat jelas terlihat. Serangan roket tersebut “membuktikan” bahwa Angkatan Udara dan PasukanIsrael yang kuat tidak mampu menyakiti Hizbullah.

Setelah pertempuran berhenti, Hizbullah menunjukkan pemahaman yang lebih besar tentang komunikasi strategis. Saat Barat baru sebatas mengadakan konferensi untuk membuat janji pemberian bantuan pada beberapa waktu mendatang, perwakilan Hizbullah turun ke jalan-jalan dengan uang tunai dan bantuan fisik. Bagi dunia Arab, kekontrasan ini tidak bisa lebih jelas lagi. Ketika Israel membutuhkan lebih banyak senjata, Amerika Serikat bergegas membawa pesawat yang penuh dengan amunisi dan senjata. Ketika bangsa Arab memerlukan tempat tinggal dan makanan, Barat hanya menjadwalkan konferensi untuk beberapa masa yang akan datang. Sedangkan Hizbullah bertindak nyata dan memperoleh prestise yang sangat besar dengan melakukannya. Untuk memastikan dominasi kampanye komunikasi mereka, Hizbullah mencegah lembaga lain untuk mendistribusikan bantuan di daerah yang mereka kuasai. Pesannya cukup jelas, Hizbullah berdaulat di wilayahnya dan terfokus pada rakyatnya.

Hizbullah bukanlah kasus satu-satunya. Berbagai situs web milik para pemberontak menunjukkan bahwa banyak kelompok pemberontak memahami keharusan melaksanakan kampanye komunikasi strategis yang efektif ketika mencoba untuk mengusir kekuatan luar. Sebaliknya, Amerika Serikat terus

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

14

menggelepar dalam upaya komunikasi strategis yang dilakukannya.11

Pergeseran ini dari pemberontakan tiga fase yang dicetuskan oleh Mao Zedong12 menuju kampanye komunikasi strategis telah berkembang sejak kesuksesan Ho Chi Minh mematahkan keinginan politik Amerika atas Vietnam. Hari ini, jelas bahwa komunikasi strategis adalah pilihan utama kelompok pemberontak saat menghadapi kekuatan luar. Namun, seperti halnya konsep strategis Mao memasukkan Fase III, yaitu pertempuran konvensional, untuk mengalahkan pemerintah, “koalisi keinginan” tahu bahwa mereka juga akan menghadapi fase akhir. Maka akan terjadi perang saudara untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan mengendalikan negara setelah kekuatan luar berhasil disingkirkan. Sayangnya, Afghanistan pasca-Soviet menunjukkan bahwa saat kekuatan luar berhasil disingkirkan, perang saudara cepat bergeser dari 4GW ke perang atrisi tradisional ala 2GW.

Pergeseran organisasi. Munculnya perang sipil sebagai bagian dari pemberontakan didasarkan pada perubahan bentuk organisasi yang telah terjadi sejak Mao merumuskan konsepnya, yaitu dari organisasi hirarkis menuju organisasi berbentuk network. Munculnya koalisi berbentuk network sesuai dengan fakta bahwa baik masyarakat yang terlibat dalam konflik dan organisasi bisnis yang dominan saat ini adalah jaringan. Sebagaimana kondisi masyarakat secara keseluruhan, pemberontakan menjadi bersifat jaringan, transnasional, dan bahkan trans-dimensi. Beberapa elemen dari organisasi mereka eksis di dunia nyata, beberapa di dunia maya, dan beberapa di kedua dimensi.

Pergeseran peserta. Sebagai bagian dari perubahan organisasi, kita juga melihat perubahan dari pihak yang bertempur dan mengapa mereka bertempur. Penting bagi kita untuk memahami bahwa dalam satu negara sekalipun, kelompok-kelompok

11 http://www.army.mil/professionalWriting/volumes/volume5/july_2007/7_07_1_pf.html

12 Tiga fase insurgensi Mao Zedong:Kerja politik: bekerja ditengah-tengah kaum tani untuk memenangkan hati

mereka, dan membangun sebuah basis untuk melakukan operasi. Perang Gerilya: inilah tempat dimana insurgen memerangi negara, dengan

melakukan aksi yang mengusik atau melawan komunikasi dan logistik mereka. Tujuan fase ini bukanlah untuk menguasai sebuah wilayah, namun untuk melemahkan musuh dan mengkonsolidasikan kekuatan.

Perang Konvensional: saat musuh cukup lemah, dan insurgen mempunyai kontrol yang cukup untuk melakukan pertempuran berskala besar, insurgen harus mengambil alih kendali wilayah.

bersenjata yang sangat beragam yang melakukan pemberontakan memiliki motivasi yang sangat berbeda. Mempelajari motivasi masing-masing kelompok akan memberikan indikasi kuat tentang bagaimana kelompok tersebut akan bertempur dan apa yang membatasi penggunaan kekuatannya. Pedoman PBB untuk Negosiasi Kemanusiaan dengan Kelompok Bersenjata menyatakan, “Dalam hal motivasi, kelompok bersenjata pada umumnya jatuh ke dalam tiga kategori: reaksioner (bereaksi terhadap situasi atau sesuatu yang dialami oleh anggota kelompok); oportunistik, yang berarti bahwa mereka memanfaatkan peluang politik atau ekonomi untuk meningkatkan kekuatan atau posisi mereka sendiri;. atau mereka didirikan mendorong tujuan ideologis.”13

Kelompok reaksioner seringkali terbentuk ketika masyarakat merasa terancam. Mereka cenderung merupakan kelompok sub-nasional atau nasional yang beroperasi di wilayah geografis tertentu dan mencoba untuk melindungi orang-orang yang tinggal di daerah tersebut. Pada dasarnya, mereka adalah hasil dari kegagalan negara untuk memenuhi kontrak sosial dasar yaitu memberikan keamanan bagi penduduknya. Milisi etnis-sektarian yang kita lihat berkembang di seluruh dunia adalah kelompok reaksioner. Macan Tamil dan Milisi Badr adalah contoh dari jenis ini.

Kelompok reaksioner perlu untuk melindungi populasinya tetapi mereka tidak memiliki kekuatan militer untuk melakukannya. Akibatnya, mereka biasanya terpaksa mengambil jalan 4GW, tetapi pada umumnya hanya menggunakan senjata konvensional. Meskipun sangat efektif, senjata tersebut cukup akrab bagi tentara Barat dan dengan demikian lebih mudah untuk diantisipasi dan dikalahkan. Kelompok reaksioner juga cenderung tidak menjadi ancaman di luar daerahnya karena mereka lebih fokus untuk membela orang-orang mereka sendiri. Namun, mereka masih melakukan kampanye komunikasi yang canggih untuk mengalahkan kekuatan luar.

Kelompok oportunistik muncul untuk mengambil keuntungan dari kekosongan yang terjadi untuk merebut kekuasaan atau kekayaan. Kelompok semacam ini telah ada selama berabad-

13 United Nations Manual for Humanitarian Negotiations with Armed Groups, hal. 16.

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

15

abad. Bedanya sekarang adalah bahwa senjata yang tersedia secara komersial memungkinkan mereka untuk mengungguli beberapa pihak, kecuali polisi yang mempunyai persenjataan terbaik. Bahkan mereka mampu menandingi tentara nasional beberapa negara. Yang termasuk kelompok oportunistik antara lain adalah organisasi seperti Mara Salvatrucha 13 (MS-13) dan Tentara Republik Irlandia (IRA). Kelompok oportunistik melakukan kampanye komunikasi strategis biasany dengan mengutip isu-isu keagamaan atau nasional untuk mengklaim legitimasi kegiatan kriminal mereka.

Motivator ketiga adalah ideologi. Motivasi ini biasanya sangat dahsyat dan mampu melahirkan kelompok bersenjata paling berbahaya seperti Al-Qaidah, Arya Brotherhood, dan Aum Shinrikyo. Bagi AS, kelompok-kelompok ideologis lebih berbahaya bagi daripada kelompok reaksioner atau oportunistik karena pendekatan tanpa batas mereka terhadap konflik. Kelompok-kelompok ideologis cenderung sangat kreatif dalam serangan mereka.

Namun, yang lebih daripada itu adalah kenyataan bahwa kelompok-kelompok ideologis pada dasarnya tidak mungkin untuk dicegah. Pertama, “alasan” mereka memberikan pembenaran moral, dan kadang-kadang persyaratan moral, untuk menggunakan semua senjata yang tersedia. Kedua, mereka tidak memiliki alamat, sehingga mereka tidak takut terjadinya pembalasan besar-besaran. Jika Al-Qaidah meledakkan nuklir di AS, di mana tepatnya bagi AS untuk melakukan serangan nuklir balasan?

Selain state dan aktor non-state, pemain lain dalam 4GW adalah perusahaan militer swasta. Dalam dua dekade terakhir, organisasi semacam itu menjadi pusat bagi AS dalam menjalankan perangnya. Mereka digunakan sebagai cara kreatif dari negara untuk menghindari batasan-batasan hukum internasional mengenai penggunaan kekuatan.

Keberadaan perusahaan militer swasta di berbagai konflik di seluruh dunia memberikan tantangan tersendiri bagi komunitas internasional. Lebih dari tiga ratus tahun sejak Perjanjian Westphalia, berbagai teknik diplomasi, ekonomi, dan militer telah dikembangkan untuk mengatasi krisis yang tercipta saat negara menggunakan pasukan bersenjata atau bahkan sekadar mengancam untuk

menggunakannya. Namun, sampai saat ini masih belum ada mekanisme yang tepat saat sebuah negara atau bahkan perseorangan mempekerjakan kontraktor militer. Jika China berencana untuk mengirimkan pasukan lapangan di Angola untuk membantu keamanan dan pembangunan di sana, PBB paling tidak akan membuka dialog. Namun, yang terjadi adalah sebuah perusahaan China telah menandatangani kontrak untuk melakukan peran tersebut. Peristiwa ini tidak pernah ditunjukkan dalam diskusi internasional. Menariknya, pemerintah China juga baru saja menandatangani kontrak 10 tahun untuk membeli minyak dari Angola dengan harga $ 60 per barel. Meskipun kontraktor keamanan tersebut bukanlah cabang resmi dari pemerintah China, kehadiran mereka tentu saja akan menempatkan China pada posisi “pengambil keputusan” jika ada masalah dengan pemerintah Angola terkait kontrak tersebut. Jadi, penggunaan kontraktor keamanan swasta mampu membuat negara berkelit dari sistem internasional.

Pemain lain dalam 4GW adalah pelaku kriminal. Kebanyakan diskusi tentang 4GW masih berfokus pada kelompok insurgensi yang memiliki motivasi politik. Namun, sebenarnya organisasi kriminal juga menggunakan teknik 4GW. Contoh yang paling mudah adalah Mara Salvatrucha 13 (MS-13). Organisasi ini pada awalnya merupakan gerakan kriminal, tetapi sekarang mereka membangun kontrol politik yang efektif di berbagai lokasi yang tersebar luas. Dari beberapa komunitas di El Salvador dan Honduras, serta beberapapinggiran kota-kota di Amerika Serikat, MS-13 telah menciptakan kedaulatan di wilayah yang tidak bersebelahan. MS-13 telah menggunakan kekerasan dan kekayaan yang dihasilkan dari perdagangan (terutama narkotika) untuk membuat daerah kantong di dalam wilayah nasional.

Apakah Perang Generasi Kelima Sudah Mulai Muncul?Sebagaimana biasa, perang generasi lama

masih terus ada meski generasi baru mulai muncul. Saat ini, kita masih melihat perang atrisi ala 2GW masih terjadi di sebagian Afrika meski tanda-tanda kemunculan 5GW mulai nampak. Hal ini seharusnya tidak terlalu mengejutkan, karena negara yang tidak memiliki sistem politik, sosial, dan ekonomi untuk mendukung bentuk-bentuk perang yang baru masih

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

16

akan terus menggunakan bentuk-bentuk yang lebih tua. Namun generasi baru juga masih terus berkembang, dan mengingat fakta bahwa 4GW telah menjadi bentuk dominan dari perang selama lebih dari 50 tahun, saatnya bagi 5GW untuk muncul.

Bagaimana perang jenis baru akan muncul bisa diketahui dengan menguji bagaimana sistem politik, sosial, dan ekonomi telah berubah sejak 4GW menjadi dominan. Secara politis, telah terjadi perubahan besar dalam hal pelaku perang. Kecenderungan telah dan terus mengarah dari negara yang menggunakan tentara dalam jumlah besar dan berseragam menuju kelompok-kelompok kecil dari orang yang berpikiran sama tanpa organisasi formal yang hanya memilih untuk bertempur.

Secara ekonomi, kita telah melihat peningkatan yang stabil dalam kekuatan informasi. Kelompok-kelompok pemberontak banyak menggunakan peningkatan jaringan informasi untuk melakukan kampanye komunikasi strategis yang sangat penting bagi kemenangan mereka. Isi dan penyampaian informasi telah bergeser dari propaganda massa ala Mao menuju kampanye yang sangat disesuaikan (highly tailored campaigns) yang cukup dimudahkan oleh metode baru komunikasi dan pola sosial baru. Para gerilyawan dengan cepat memanfaatkan alat komunikasi seperti ponsel dan internet untuk merekrut, melatih, berkomunikasi, mendidik, dan mengendalikan anggota baru. Mereka telah bergeser dari mobilisasi massa menuju mobilisasi individu yang ditargetkan.

Perang generasi kelima akan menghasilkan pergeseran secara kontinu dimana loyalitas politik dan sosial akan lebih sebagai penyebab, dibandingkan kebangsaan. Perang generasi kelima akan ditandai dengan meningkatnya kekuatan entitas yang lebih kecil dan meledaknya bioteknologi. 5GW adalah nets-and jets war: Jaringan (nets) akan mendistribusikan informasi kunci, menyediakan sumber untuk keperluan perlengkapan dan material, dan menyediakan lahan untuk merekrut relawan; sedangkan jets akan memudahkan penyebaran senjata secara mendunia yang tidak mahal dan efektif.

G. Dilema Moral dan Etika dalam 4GWPerang Generasi Keempat memunculkan

sejumlah persoalan moral dan etika. Hal ini dikarenakan Perang Generasi Keempat menggunakan strategi dan taktik dengan tujuan yang berseberangan dengan perang konvensional. Diantaranya adalah penggunaan metode teror yang bertentangan dengan aturan perang. Seringkali, pasukan konvensional mengeluh bahwa mereka bertempur dengan “satu tangan terikat di belakang”, atau pasukan Perang Generasi Keempat menggunakan “berperang secara kotor”. Bagi pihak yang bertempur secara konvensional, segala penggunaan taktik yang tidak konvensional kelihatan curang. Etika perang yang ada saat ini adalah hasil dari hukum internasional yang diformulasikan oleh Hugo Grotius dan Emerich de Vattel pada abad 17 dan 18. Hukum internasional tersebut sebagian besar dibuat berdasarkan etika Kristiani yang berujung pada formulasi Konvensi Jenewa. Konvensi Jenewa tersebut dibuat dengan patokan konflik antar negara, yang karenanya menimbulkan area abu-abu saat berhadapan dengan peperangan yang terdapat warna Perang Generasi Keempat di dalamnya.

Eufemisme juga seringkali digunakan oleh salah satu pihak untuk memperlembut istilah. “Teknik interogasi yang ditingkatkan” atau “persuasi paksaan yang ekstrim” adalah salah satu contoh istilah yang digunakan untuk memisahkan penyiksaan dan teror yang dilakukan oleh “pihak yang baik” dan “pihak yang buruk” dalam Perang Generasi Keempat. Fakta tersebut mungkin sulit untuk diakui, namun cukup mudah untuk dibayangkan bahwa kedua eufemisme tersebut mengindikasikan praktik yang sama. Tidak ada bedanya antara teror dan penyiksaan. Perang Generasi Keempat muncul dari tindakan pihak yang lebih lemah secara militer. Namun, respon dari pihak yang kuat, yang frustasi dengan keuntungan yang didapat oleh pihak yang lemah melalui Perang Generasi Keempat, juga merupakan gaya dari Generasi Keempat. Terorisme adalah strategi dan taktik yang dilakukan oleh pihak yang lebih lemah dalam Perang Generasi Keempat. Dalam rangka mencari metode untuk melawan musuh tersebut, pihak yang lebih kuat pada akhirnya juga menggunakan tindakan yang keras dan kasar, dimana tindakan tersebut juga bisa dilabeli sebagai “terorisme” dalam pandangan para pengamat, yang

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

17

seringkali berasal dari organisasi hak asasi manusia. Organisasi hak asasi manusia tersebut berjalan berdasarkan aturan yang dibingkai oleh konvensi yang cocok dengan generasi perang sebelumnya. Dengan kata lain, di saat seluruh pihak, baik yang lemah maupun yang kuat, beradaptasi dengan Perang Generasi Keempat, maka aturan dan hukum perang tersebut belum bisa beradaptasi dengannya.

Namun, pertanyaan berikutnya adalah soal etika. Haruskan tentara reguler yang selama ini sangat mendalami tradisi hukum jus in bello14 harus mengadaptasi metode koersif dalam peperangan? Dari sini muncullah dilema, jika tentara reguler mengadaptasinya, maka pada akhirnya akan menghasilkan legitimasi digunakannya terorisme.

H. Perang Generasi Keempat dalam Pandangan JihadiSelama beberapa tahun terakhir, semakin

banyak pejabat kontraterorisme dan para akademisi Barat yang mengidentifikasi kemungkinan bahwa Al-Qaeda telah menggunakan teori 4GW, dan peran Abu Mus’ab As-Suri dalam langkah tersebut.

Oxford Journal of Islamic Studies merilis laporan pada tanggal 3 September 2010 tentang 4GW dan Al-Suri. Laporan tersebut mengungkapkan, «Saat pasukan koalisi di Irak dan Afghanistan sebagian besar terjebak dengan taktik perang generasi ketiga, lawan mereka telah bergerak ke arah model 4GW. Pada awal Januari 2005, Abu Mus›ab As-Suri, ideolog global Salafi Jihad, merilis doktrin yang disebut ‹Seruan Perlawanan Islam Global.» Doktrin ini menyerukan kepemimpinan lokal yang lebih otonom, dengan dispersi kekuatan yang maksimal dan desentralisas logistik ke titik unit mandiri kecil yang beroperasi dengan persetujuan komandan dan dalam bingkai ideologis yang disediakan olehnya... «15

Vinita Priyedarshi, seorang peneliti di United States Institution of India menulis sebuah artikel pada tahun 2006 di India Quarterly: A Journal of Internasional Relations, juga tentang 4GW dan

14 Jus in bello adalah serangkaian hukum yang akan berlaku begitu peperangan dimulai. Tujuannya adalah untuk mengatur bagaimana perang dilakukan, tanpa adanya kecurigaan terhadap alasan-alasan bagaimana atau mengapa perang tersebut dimulai. Jadi sebuah pihak yang terlibat dalam peperangan yang dengan mudahnya dapat dikelompokkan kedalam perang yang tidak dibenarkan (contohnya, serangan agresif Irak terhadap Kuwait tahun 1990), harus tetap berpegang pada aturan-aturan tertentu selama berlangsungnya peperangan, demikian pula pihak yang menegakkan kebenaran melawan ketidakdilan tersebut.

15 Oxford Journal of Islamic Studies, 3 September 2010.

As-Suri, “Teori Perang Generasi Keempat (4GW) menunjukkan bahwa perang di era modern telah berubah, dengan prinsip-prinsip yang sangat berbeda dari fitur perang konvensional yang selama ini dilakukan oleh negara. Literatur yang dihasilkan oleh Abu Mus’ab As-Suri menunjukkan bahwa teroris cepat mengadopsi prinsip yang dikemukakan oleh teori 4GW, dalam upaya untuk membangun sebuah jihad global.” 16

Jamestown Foundation juga telah melaporkan penggunaan 4GW oleh Al-Qaidah dalam laporannya pada tanggal 21 September 2006. «Abu Mus’ab As-Suri telah mengembangkan penafsiran yang paling evolutif dari prinsip yang ditemukan dalam doktrin Perang Generasi Keempat. As-Suri kemudian mengadaptasi prinsip ini, dan penafsirannya tersebut kemudian diaplikasikan bagi jihad global dengan cara yang sebelumnya tidak terlihat.”17

Pembicaraan mengenai perang generasi keempat di kalangan kelompok jihad sendiri secara publik mulai mucul pada bulan Januari 2002. Saat itu, Abu Ubaidah Al Quraisy, sosok yang disebut sebagai salah satu orang terdekat Usamah bin Ladin, menulis sebuah artikel yang berjudul “Perang Generasi Keempat”. Artikel tersebut mendapat perhatian cukup serius dari Barat, hingga MEMRI menerjemahkan secara eksklusif pada tahun 2002.

Dalam tulisannya, Abu Ubaidah menjelaskan tentang fenomena kemerosotan moral yang telah merasuk ke dalam inti negara Islam, dimana salah satu pihak yang paling terpengaruh oleh fenomena ini justru adalah para ulama. Mereka mengklaim tentang menyusutnya dukungan umat Islam terhadap mujahidin dengan pertimbangan bahwa tidak ada keseimbangan antara kekuatan mujahidin dengan kekuatan Amerika dan sekutunya, dan karena tiadanya keseimbangan inilah, mereka berpendapat bahwa di titik ini, tidak ada jihad, dan tidak perlu mendukung gerakan jihad karena berdalih bahwa perang ini lebih berpeluang dimenangkan Amerika. Pandangan tersebut, menurut Abu Ubaidah, memperlihatkan keacuhan terhadap syariat Islam, sejarah Islam, dan analisa militer barat kontemporer. Berikut adalah kutipan

16 Vinita Priyedarshi, “Tracing the Tenets of Fourth Generation Warfare ,” The India Quarterly, Juni 2010.

17 Andrew Black, “Al-Suri's Adaptation of Fourth Generation Warfare Doctrine,” Jamestown Foundation, 21 September 2006.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

18

dari artikel yang diterjemahkan secara khusus oleh MEMRI.18

“Di tahun 1989, beberapa pakar militer Amerika memprediksi adanya perubahan fundamental terhadap masa depan perang... Mereka memprediksi bahwa berbagai peperangan di abad ke-21 akan didominasi oleh jenis peperangan yang disebut dengan “perang generasi keempat.” Beberapa lainnya menyebut “perang asimetris...” “Di kalangan sejarawan militer, telah mafhum bahwa perang setelah Revolusi Industri menjalani tiga tahap perkembangan. Di tahap pertama, perang melibatkan ribuan tentara di medan pertempuran, yang bertempur dengan senjata primitif. Di tahap kedua, antara Perang Sipil Amerika dan Perang Dunia Pertama, perang didasarkan pada upaya pelemahan ekonomi musuh dan penghancuran sebanyak mungkin pasukan musuh dengan menggunakan senjata api dan kemudian selanjutnya, dengan senjata api otomatis. Perang generasi ketiga menjadi bukti adanya perubahan taktik yang komprehensif, di mana Jerman menjad unggulan di Perang Dunia Kedua, dengan strategi mereka mengepung musim dengan formasi yang terdiri dari tank dan pesawat... dari belakang, bukan dari depan, yang hal ini bertentangan dengan apa yang terjadi di banyak pertempuran di Perang Dunia Pertama.”

“Perang generasi keempat,’ menurut para pakar, adalah jenis baru dalam peperangan, di mana pertempuran cenderung tersebar, tidak terpusat di satu wilayah atau medan tempur. Pertempuran tidak dibatasi hanya merusak target militer dan tentara reguler, melainkan masyarakat sipil, dan akan (berupaya untuk) menghancurkan dukungan populer kepada tentara di dalam masyarakat musuh. Di dalam peperangan model ini, para pakar menyatakan bahwa ‘berita di televisi bisa jadi adalah senjata yang lebih ampuh daripada senjata sungguhan.’ Mereka juga mencatat bahwa [di dalam perang generasi keempat], ‘perbedaan antara masa perang dan damai semakin samar bahkan hilang sama sekali...’”19

18 "Bin Laden Lieutenant Admits to September 11 and Explains Al-Qa'ida's Combat Doctrine," MEMRI Special Dispatch, 344, Februari 2002

19 William S. Lind, Col. Keith Nightenagle (USA), Captain John F. Schmitt (USMC), Col. Joseph W. Sutton (USA), and Lt.-Col. Gary I Wilson (USMCR), "The Changing Face of War: Into the Fourth Generation," Marine Corps Gazette October 1989

Pakar lain mengklaim bahwa peperangan model baru akan secara strategis didasarkan pada upaya menciptakan pengaruh psikologis dan pikiran musuh—bukan hanya dengan perangkat militer seperti masa dahulu, tapi juga jaringan penggunaan media dan informasi dengan harapan bisa membentuk opini publik dan dengannya, bisa mengatur (kebijakan) elit. Mereka mengklaim bahwa secara taktis, perang generasi keempat akan cenderung berskala kecil, muncul di beberapa kawasan di seluruh penjuru planet melawan satu musuh yang, seperti hantu, kadang muncul dan kadang hilang. Fokusnya akan lebih pada sektor politik, sosial, ekonomi, dan militer. Ia akan cenderung bersifat internasional, nasional, kesukuan, bahkan di tingkat antar organisasi (meski taktik dan teknologi dari generasi sebelumnya juga tetap akan digunakan).”20

“Jenis peperangan yang baru ini akan menyuguhkan kesulitan yang signifikan bagi mesin perang Barat, dan diharapkan bahwa pasukan tempur [Barat] juga akan berubah secara fundamental. Prediksi ini tidak didasarkan pada pertimbangan kosong - jika saja para pengecut itu [dari kalangan ulama Musim] tahu bahwa perang generasi keempat telah terjadi dan bahwa superioritas terhadap pihak yang secara teori lebih lemah sebenarnya telah ada; sebagai contoh, beberapa negara ‘nyata’ ternyata justru takluk oleh beberapa ‘negara’ yang ‘tidak kasat mata.’

Kemenangan oleh Negara Islam“...Negara Islam berhasil meraih banyak

kemenangan dalam waktu yang singkat, dengan cara yang belum pernah muncul sejak adanya Kkhilafah Turki Ustmani. Kemenangan-kemenangan tersebut berhasil diukir selama 20 tahun terakhir, melawan pasukan tempur dengan senjata terbaik, dengan pelatihan terbaik, dan dengan pengalaman terbaik (sebutlah misalnya USSR di Afghanistan, US di Somalia, Rusia di Chechnya, dan Zionis di Libanon selatan) dan di beberapa arena (seperti pegunungan, gurun pasir, bukit, dan kota-kota). Di Afghanistan, barisan Mujahidin berhasil menang besar atas kekuatan perang terbesar kedua di dunia kala itu... Sama halnya, satu suku di Somalia berhasil

20 Thomas X. Hammes, "The Evolution of War: The Fourth Generation," Marine Corps Gazette, September 1994

Edisi XV / Oktober 2014 Laporan Khusus SYAMINA

19

menghancurkan Amerika dan memaksa Amerika untuk menarik pasukannya dari Somalia. Beberapa waktu kemudian, barisan Mujahidin Chechnya berhasil menghancurkan dan mengalahkan beruang Rusia. Setelah itu, pasukan pertahanan Libanon [Hizbullah] berhasil mengusir tentara Zionis dari Libanon selatan.”

“Benar pula bahwa semua kemenangan tersebut tidak selalu berujung pada pendirian rezim pihak pemenang. Tapi ini bukan topik pembahasan kita saat ini. Artikel ini bertujuan untuk menginvestigasi konfrontasi militer secara murni, karena ada klaim terkait tiadanya keseimbangan antara Amerika dan Mujahidin—yang membuat, menurut beberapa pengecut, Jihad dan kemenangan adalah dua hal yang mustahil.”

“Teknologi tidak bisa membantu pasukan tempur sebesar mereka, meski sebenarnya [teknologi ini] cukup untuk menghancurkan planet ini ratusan kali dengan mengerahkan seluruh persedian senjata di gudang-gudang nuklir, mesiu, dan senjata biologisnya. Barisan Mujahidin membuktikan superioritasnya di dalam perang generasi keempat ini dengan menggunakan senjata ringan. Mereka bagian dari masyarakat, dan bersembunyi di antara berbagai lapisan masyarakat... Oleh karena itu, wajar jika Michael Pickers mengatakan, ‘Banyak dari perangkat kami tidak cocok dengan tipe perang seperti ini.’”21

“Juga tentang tatanan peperangan, … banyak perseden yang menunjukkan bahwa negara-negara adidaya dan beberapa negara besar lainnya, kini sedang diambang kekalahan terhadap unit-unit [kecil] dari barisan Mujahidin dalam dua dekade terakhir, meski jelas ada banyak perbedaan di antara dua kelompok tersebut. Oleh karena itu, keraguan yang digembar-gemborkan oleh [ulama] pengecut ini jelas terbantahkan.”

“Beberapa pihak mungkin menolak [analisis] ini, dengan mengklaim bahwa semua peperangan tersebut terjadi antara negara homogen dengan pasukan penjajah - sehingga peperangan tersebut tidak bisa dijadikan representasi kemampuan Al-Qaidah dalam berperang di luar tanah kekuasaan mereka, terkadang di suatu lingkungan yang rawan.

Menanggapi analisis tersebut, Abu Ubaidah menjawab bahwa Al-Qaidah berjuang bersama

21 Center for Strategic and Budgetary Assessments, Washington, D.C.

dengan Taliban, yang bersifat lokal. Kedua, Mujahidin Al-Qaidah telah membuktikan diri bahwa sedari awal, mereka tumbuh dari konflik [internal] tradisional.

“Al-Qaidah justru bangga dengan serangan 11 September, karena serangan tersebut berhasil menghancurkan elemen-elemen penting dari pertahanan strategis Amerika, yang sebelumnya Uni Soviet dan negara musuh mereka yang lain tidak bisa melakukannya. Elemen-elemen tersebut antara lain: peringatan dini, serangan preventif, dan prinsip pencegahan.”22

Peringatan Dini: Dengan adanya serangan 11 September, Al-Qaidah berhasil mencapai kesuksesan besar dalam suatu serangan, yang mana hal tersebut sangat jarang terjadi dalam sejarah, sebutlah misalnya serangan Jepang atas kapal Pearl Harbor tahun 1941, serangan kejutan Nazi terhadap Rusia tahun 1941, dan invasi Soviet terhadap Czechoslovakia tahun 1968. Terlebih: Yang lebih menyakitkan lagi adalah bahwa Al-Qaidah mampu melebihi raihan semua serangan kejutan di atas, karena Al-Qaidah mampu menananmkan di setiap individu di masyarakat Amerika rasa takut yang konstan terhadap segala kemungkinan, baik itu di tingkat emosi maupun di tingkat praktis. Jelas ada harga yang harus mereka bayar di bidang ekonomi dan psikologis, khususnya di tingkat masyarakat yang belum pernah terpengaruh secara langsung oleh Perang Sipil Amerika. Jika insiden USS Cole terjadi pada pasukan Amerika, yang dianggap sedang dalam persiapan sempurna, maka membentuk opini masyarakat tentang serangan ‘teroris’ adalah sesuatu yang sulit untuk dicapai.”

Serangan Preventif: Elemen ini juga akibat dari serangan 11 September. Elemen ini adalah lanjutan dari elemen yang pertama tadi. Dengan asumsi bahwa telah ada peringatan dini sebelumnya, maka akan sangat sulit untuk melancarkan suatu serangan preventif terhadap suatu organisasi yang bermanuver dan bergerak dengan cepat, dengan tidak ada markas tetap yang mereka miliki.”

Prinsip Pencegahan: Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa ada dua pihak yang berperang untuk bertahan hidup dan mempertahankan kepentingan mereka, tapi hal ini benar-benar hilang ketika

22 Steven Simpson dan Daniel Benjamin, "The Terror," Survival, Vol. 43 No. 4, Januari 2002

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XV / Oktober 2014

20

muncul banyak individu yang tidak peduli dengan urusan dunia karena haus dengan kesyahidan. Sementara prinsip pencegahan berjalan baik dengan jalan peperangan di beberapa negara, hal itu sama sekali tidak berlaku bagi suatu organisasi yang tidak memiliki markas tetap dan tidak memiliki modal kapital di bank-bank Barat, yang tidak bergantung pada bantuan dari negara-negara tertentu. Alhasil, semua keputusan benar-benar diambil secara independen, dan ia menciptakan konflik benar-benar dari luar. Bagaimana bisa mengalahkan orang-orang seperti ini, yang berjuang demi kesyahidan lebih dari segala-galanya?”

Sebagai tambahan dari ketiga poin di atas, perlu diketahui bahwa Al-Qaidah telah berurusan dengan Amerika di titik paling ekstrim terhadap moral Amerika: Salah satu pakar strategi perang Barat menengarai bahwa cara terbaik menciptakan kekalahan psikologis di benak musuh adalah melakukan serangan di tempat di mana musuh meresa aman dan nyaman.23 Hal inilah yang dilakukan Mujahidin di New York.”

“Oleh karena itu sepertinya, ketidakseimbangan antara Amerika dan Mujahidin, seperti yang diutarakan oleh para [ulama] pengecut itu, harusnya dikonfrontasi dengan mesin tempur Barat, khususnya Amerika. [Amerika] tercengang dengan perang generasi keempat yang cocok dengan gerakan Jihad—khususnya di kala umat Islam mulai kembali mendukung Jihad, setelah tak ada yang tersisa karena kehinaan yang mereka alami hampir setiap hari. Amerika dan Barat paham benar karakter dari tantangan baru ini, dan mengakui bahwa ada kesulitan baru di depan mereka.

Menurut Abu Ubaidah, telah tiba waktunya bagi seluruh gerakan Islam untuk menghadapi serangan umum pasukan salib dengan mengadopsi poin-poin penting dalam perang generasi keempat ini. Mereka harus terus berkonsolidasi dengan pemikiran strategis yang tepat, dan melakukan persiapan militer yang saksama. Mereka harus meningkatkan upaya dakwah dan menarik dukungan publik dan dukungan politis. Selain kewajiban, hal ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya meraih kemenangan melalui perang generasi keempat. Pakar strategi perang zaman dahulu,

23 Vincent J. Goulding Jr., "Back to the Future with Asymmetric Warfare," Parameters, Winter 2000-2001

seperti [von] Clausewitz dan Mao Zedong telah mengindikasikan hal serupa. Mungkin salah satu contoh terbaik adalah fenomena Intifada, yang berhasil menghancurkan kekuatan dahsyat militer Zionis terhadap umat Islam Palestina.

“...Amerika ingin menggunakan kekuatan militer untuk menghancurkan prestasi psikologis Mujahidin, dan ingin menggembar-gemborkan aksi kepahlawanan mereka demi menarik dukungan dan simpati dunia Islam.”

“Kami memohon kepada Allah agar membungkan suara-suara para pengecut tersebut, dan memohon kepada Allah agar menumbuhkan generasi baru para pendakwah dan ulama dari negara-negara Muslim, yang bisa memenuhi tuntutan dari perang generasi keempat ini.”

I. PENUTUP4GW lahir dari kebutuhan laten untuk

mengalahkan lawan dengan memenangkan pertempuran pikiran. Hal ini dilakukan karena kesulitan yang dihadapi pihak yang lemah untuk mengalahkan lawan yang lebih kuat terutama sebuah negara. Tiga generasi perang sebelumnya ditujukan untuk mengalahkan musuh dengan melakukan atrisi dan kemudian, melakukan manuver. Dalam 4GW mungkin terlihat mirip dengan pemberontakan terorisme dan perang asimetris, namun satu hal kunci yang paling mendefinisikan 4GW adalah hilangnya monopoli atas perang oleh negara dengan munculnya aktor non negara dan terjadinya pertempuran untuk ruang pikiran dibanding ruang fisik.

Faktor penentu kemenangan juga didefinisikan ulang dimana pihak pendukung 4GW menang dengan tidak kalah. Atrisi tidak lagi menjadi patokan kemenangan, namun dukungan dari penduduk dan penerimaan global atas alasan pihak GW lah yang menjadi tujuannya. Perang 4GW juga merupakan perang kesabaran. Ini adalah perang yang akan terjadi dalam waktu panjang dan berlarut-larut. Kunci kemenangan dalam sebuah peperangan adalah memahami medan dan sifat perang. Kegagalan memahami sifat perang generasi baru inilah yang membuat beberapa negara superpower menerapkan strategi yang salah dalam menghadapi musuh 4GW-nya.