mengenal sastra

Upload: yar-yarmanto

Post on 10-Jan-2016

42 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pengertian sastra, ciri-ciri dan bentuknya

TRANSCRIPT

  • 1

    Kata Pengantar

    Buku ini disusun untuk menambah bacaan bagi mahasiswa semester II yang

    sedang menempuh mata kuliah Introduction to Literature di fakultas Sastra

    Universitas Gajayana Malang.

    Materi yang ada di dalam buku ini disesuaikan dengan kebutuhan dasar

    mahasiswa sastra yang baru mulai belajar mengenal karya sastra, khususnya sastra

    Inggris, di perguruan tinggi. Materi tersebut mencakup pengenalan sastra secara

    umum dan bentuk-bentuknya yang dikenal selama ini. Penyajian materi buku ini

    sangat terbatas sehingga belum dapat memberikan gambaran sastra itu secara

    memuaskan. Seperti dalam pemaparan bentuk-bentuk sastra, kami hanya

    menyajikan sastra yang berbentuk prosa dan puisi sehingga pembaca tidak akan

    mendapatakan sastra yang berbentuk drama. Untuk bentuk ini, kami cenderung

    menuliskan di buku sendiri karena untuk bentuk ini membutuhkan uraian yang

    lebih banyak.

    Sebagai penulis, kami merasa buku ini masih banyak kekurangan dan

    kelemahannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca

    untuk perbaikan buku ini.

    Malang, Januari 1998

    Penulis

  • 2

    BAB 1

    SASTRA DAN DEFINISINYA

    1.1 . Apakah sastra itu

    Dalam buku-buku mengenai sastra sudah banyak ditulis apa itu sastra. Dari

    sejumlah definisi yang diusulkan ternyata sastra masih juga banyak diperdebatan. Hal ini

    disebabkan masing-masing orang mempunyai dasar pijakan yang berbeda-beda sehingga

    menimbulkan cara pandang yang berlainan pula terhadap karya sastra. Sebagai obyek

    definisi, karya sastra itu sendiri tidak hanya mempunyai satu bentuk melainkan lebih dari

    satu. Pada akhirnya masing-masing bentuk itu memerlukan perlakuan tersendiri.

    Sebagai contoh, karya sastra yang berbentuk puisi atau sajak. Bila ditinjau dari

    penggunaan bahasanya, jelas kata-kata dalam sajak tidak akan sama pemakaiannya

    dengan yang ada dalam novel. Kata-kata dalam sajak itu pilihan dan cenderung

    bermakna ganda (konotatif). Tiap kata mengemban arti yang begitu padat sehingga

    mampu menyodorkan bermacam-macam makna. Selain itu, kata-kata dalam sajak lebih

    cenderung menghadirkan imajinasi bagi yang membacanya. Hal yang pasti, seringkali

    makna sajak itu didapat dari apa yang tersirat, bukan dari yang tersurat.

    Berbeda sekali dengan karya berbentuk prosa. Sebagai contoh novel. Dalam

    novel, pengarang cenderung menggunakan bahasa lugas dan jelas sehingga pembaca

    lebih mudah menangkap apa yang sedang terjadi atau yang digambarkan oleh pengarang

    dalam karyanya. Di sini, suatu peristiwa bisa diceritakan secara kronologis dan dramatis

    sehingga tokoh-tokohnya pun bisa digambarkan secara jelas dan rinci, baik itu

    tindakannya, pikirannya, maupun perasaannya.

    Dari perbedaan pemakaian bahasa di atas, maka jelas bahwa puisi dan novel tidak

    bisa diberikan batasan yang sama. Puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai ungkapan

    spontan dari perasaan penyair yang diwujudkan dalam rangkaian kata-kata pilihan dan

    dengan kata-kata itulah seorang penyair berusaha mengemas pengalaman puitisnya.

    Sedangkan novel tidak demikian. Menulis novel memerlukan waktu yang lebih

    lama karena di sini seorang pengarang membutuhkan waktu untuk berpikir, mengamati,

    merenung, merencanakan, bahkan kadang merevisi tulisannya berkali-kali hanya untuk

    sebuah paragraf. Jelas ini bukan proses spontan.

    1.2 .Kendala Dalam Mendefinisikan Sastra

    Setiap usaha untuk mendefinisikan sastra seringkali hanya merupakan usaha

    memberi batasan yang kebenarannya tidak bisa mencakup semua bentuk karya sastra.

    Dengan ciri-ciri khusus pada karya itu selanjutnya orang memberi batasan dan batasan

    tersebut hanya berlaku pada satu bentuk saja.

    Melihat kenyataan ini, sastra memang tidak mudah untuk didefinisikan. Ada

    beberapa sifat sastra yang tidak bisa dihindari atau dihilangkan. Sifat-sifat inilah yang

    pada akhirnya memang menjadi kendala bagi orang yang hendak mendefinisikan sastra.

    Beberapa sifat tersebut dapat dijelaskan di sini, yaitu :

  • 3

    1. Sastra itu Seni

    Sastra itu bukan ilmu tapi seni. Sebagai sebuah karya seni, sastra

    tidak bisa terlepas dari unsur-unsur kemanusiaan yang melekat dalam

    proses penciptaannya. Unsur-unsur kemanusiaan seperti pikiran,

    perasaan, pengalaman, semangat, kepercayaan dan keyakinan yang ada

    dalam diri pengarang akan menjadi bagian dari apa yang dituliskannya.

    Oleh karena itu, subyektifitas pengarang sangat besar dalam menuliskan

    karyanya.

    Bertolak dari unsur-unsur kemanusiaan yang ada di dalamnya,

    maka setiap usaha untuk memberi batasan pada sastra itu tidak mudah.

    Unsur-unsur seperti perasaan, pengalaman, semangat, kepercayaan dan

    keyakinan itu sulit dibuat ukurannya atau dibuat batasannya, sehingga

    juga sulit diterapkan metode keilmuan untuk sastra.

    2. Sastra itu Tergantung Pada Waktu dan Tempat.

    Memberi batasan pada suatu obyek bisa diartikan sebagai usaha

    mengungkapakan hakekat dari obyek tersebut. Hakekat suatu obyek itu

    sifatnya universal dan abadi. Padahal sastra tidak bisa demikian. Sastra

    itu tergantung pada waktu dan tempat. Sebuah karya sastra bisa

    dianggap terbaik, dikagumi, disenangi dan diunggulkan pada suatu

    jaman, akan tetapi tidak lagi di jaman lain. Bisa terjadi pula, di negara

    tertentu sebuah karya amat digemari dan disanjung-sanjung akan tetapi

    di tempat lain tidak disukai atau bahkan dihujat. Dengan kata lain,

    konvensi sastra dan semangat jaman itu sangat mempengaruhi penilaian

    masyarakat terhadap suatu karya.

    Suatu contoh, di Cina pada jaman dahulu pernah terjadi karya-

    karya rekaan atau fiktif itu malah dianggap bukan karya sastra.

    Sedangkan karya yang menceritakan kejadian sungguh-sungguh itu

    malah yang dinamakan karya sastra. Seperti buku History of the

    Decline and Fall of the Roman Empire (1781) karya sejarawan Inggris

    Gibbons semula dianggap bukan karya sastra, tetapi kemudian

    dimasukkan ke dalam kategori sastra. Dulu Epos Ramayana diyakini

    berisi uraian kode dharma seorang satria, tetapi saat ini banyak dibaca

    sebagai cerita yang mengandung ajaran-ajaran moral.

    Jadi jelas bahwa batasan yang berusaha mengungkapkan hakekat

    sebuah karya atau memberi definisi secara ontologis hanya akan

    mengesampingkan kenyataan bahwa sastra hendaknya didefinisikan di

    dalam situasi para pemakai atau pembacanya.

    3. Sastra Mempunyai Beragam Bentuk

    Sastra terdiri dari beragam bentuk ungkapan atau tulisan yang

    berbeda ciri-cirinya satu sama lain. Ada bentuk puisi, prosa atau novel,

    cerita pendek, dan drama. Batasan yang bertolak dari karya bentuk

  • 4

    drama tidak akan tepat untuk karya bentuk prosa. Demikian pula batasan

    yang berpijak pada karya bentuk puisi tidak akan bisa mencakup untuk

    bentuk prosa. Oleh karena itu sebuah batasan sastra akan sulit

    menjangkau semua jenis bentuk karya sastra.

    4. Sastra itu Bersifat Interpretatif

    Pada umumnya sebuah batasan itu tidak hanya berhenti pada usaha

    mendiskripsikan suatu obyek, tetapi juga memberikan penilaian. Dalam

    hal ini, sebuah batasan diharapkan bisa menjawab pertanyaan apa itu

    sastra dan bagaimanakah sastra yang baik. Terhadap pertanyaan pertama

    , jawaban yang diharapkan berupa deskripsi obyek yaitu gambaran sastra

    itu sendiri sehingga batasan itu hanya bersifat deskriptif (definisi

    deskriptif). Secara umum, tidak sulit untuk mendapatkan gambaran apa

    itu sastra karena sudah banyak batasan yang diusulkan untuk beragam

    bentuk sastra. Namun permasalahan bisa timbul apabila batasan itu juga

    mencakup kriteria karya sastra yang baik. Penilaian baik atau buruk

    suatu karya itu sangat subyektif, karena juga tidak terlepas dari selera

    pembaca. Dengan kriteria tertentu orang membuat evaluasi apakah suatu

    karya itu layak dikatakan baik, sehingga batasan yang diberikan juga

    bersifat evaluatif (definisi evaluatif).

    Selama ini evaluasi terhadap karya sastra sering menghasilkan

    beragam penilaian disebabkan sastra mengandung unsur-unsur

    kemanusiaan seperti perasaan dan pengalaman. Bagaimanapun penilaian

    itu tidak terlepas dari unsur subyektifitas pembacanya.

    1.3 Beberapa Definisi Sastra

    Memang tidak mudah untuk memberi batasan pada sastra yang bisa mencakup

    semua bentuk karya sastra. Oleh karena itu juga sulit untuk mendapatkan definisi sastra

    yang memuaskan. Namun, sepanjang jaman orang tetap berusaha mendefinisikan sastra

    sehingga terus bermunculan batasan-batasan yang sampai saat ini semakin memperkaya

    definisi sastra.

    Ada yang menyatakan bahwa sastra itu seni bahasa. Ada pula yang mengatakan

    bahwa sastra itu ungkapan spontan dari perasaan manusia yang terdalam. Sebagian lagi

    berpendapat sastra itu ekspresi pikiran dan perasaan yang dituangkan ke dalam bahasa.

    Sastra juga merupakan rekaman perasaan kemanusiaan dan kebenaran moral yang

    dikemas dengan sentuhan nilai-nilai keindahan. Batasan lain menempatkan sastra

    sebagai hasil kegiatan mental manusia yang dilandasi inspirasi kehidupan dan

    selanjutnya diwujudkan dalam sebuah bentuk keindahan.

    Dari beberapa batasan tersebut, ada beberapa unsur batasan yang sering

    disebut. Unsur-unsur itu secara ringkas bisa disebutkan yaitu isi (content), ekspresi

    (expression), bentuk (form), dan bahasa (language). Sebagai sebuah karya seorang

    pengarang, maka isi sastra tentu berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide,

    semangat, keyakinan dan kepercayaan yang secara langsung maupun tidak langsung

    berkaitan erat dengan pengarang.

  • 5

    Unsur kedua, yaitu ekspresi atau ungkapan. Ekpresi adalah upaya

    mengeluarkan sesuatu dari dalam diri manusia. Bisa saja orang mempunyai pengalaman

    yang hebat, ide-ide segar, pikiran-pikiran inovatif, perasaan begitu dalam, keyakinan

    kuat, tetapi selama ia tidak mampu mengekspresikannya ke luar tentu tidak akan

    diterima atau diketahui orang lain.

    Unsur ketiga adalah bentuk. Unsur isi dalam diri manusia tadi bisa

    diekspresikan ke luar dalam berbagai bentuk. Bentuk merupakan wadah dari isi

    tersebut. Sebab tanpa bentuk, rasanya tidak mungkin isi itu bisa disampaikan kepada

    orang lain. Bentuk ekspresi itu sendiri banyak ragamnya. Ada ekspresi atau ungkapan

    dalam bentuk bahasa (seni sastra), gerak (seni tari), warna (seni rupa), wujud (seni

    bangunan), suara atau bunyi-bunyian (seni musik), dan lain-lain. Bentuk dalam seni ini

    selanjutnya dituntut sebagai bentuk yang indah, menarik, mempesona dan

    menyenangkan.

    Unsur keempat yaitu bahasa. Bahasa merupakan ciri khas dalam sastra.

    Dengan bahasa, pengarang mengekspresikan perasaan, pengalaman dan pikiran-

    pikirannya kepada pembaca. Dengan kata lain, bahasa merupakan bahan utama untuk

    mewujudkan ungkapan pribadi dalam suatu bentuk yang indah.

    Berdasarkan beberapa unsur di atas, kiranya dapat dibuat batasan sastra dalam

    arti luas. Batasan yang tidak mengacu pada suatu nilai atau norma yang menjadi syarat

    suatu karya bisa dianggap baik dan bermutu atau sebaliknya. Batasan itu sebagai berikut

    : sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,

    perasaan, ide-ide, semangat, keyakinan dan kepercayaan, dalam suatu bentuk karya

    yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Meskipun batasan tersebut bisa

    mencakup semua karya sastra yang dianggap bermutu atau tidak dalam suatu jaman,

    tetap saja batasan itu masih bisa dipertanyakan. Lagi pula, batasan ini hanya bersifat

    deskriptif.

  • 6

    BAB 2

    JENIS-JENIS SASTRA

    2.1 Pembagian Sastra

    Sastra dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu sastra imajinatif

    (Imaginative Literature) dan sastra non-imajinatif (Informative Literature). Ada juga

    yang memberi istilah sastra imajinatif itu Literature of Power dan Literature of

    Knowledge untuk sastra non-imajinatif. Masing-masing memiliki ciri-cirinya, baik isi

    maupun tujuannya.

    Sastra imajinatif bertujuan membangkitkan segala perasaan (feelings) dan

    pikiran (thoughts). Melalui perasaan dan pikiran inilah pembaca karya sastra diajak

    menikmati keindahan, pesona, keluhuran, kebebasan, dan aneka ragam kehidupan.

    Sejalan dengan tujuannya, maka isi sastra imajinatif berkaitan erat dengan unsur-unsur

    kemanusiaan seperti pengalaman, perasaan, pikiran, dan sebagainya. Sedangkan sastra

    non-imajinatif bertujuan memberikan informasi atau menawarkan pengetahuan kepada

    pembaca. Dari karya ini, pembaca dapat memperoleh informasi atau pengetahuan yang

    sekaligus menambah wawasan, ilmu, ketrampilan dan keahlian bagi dirinya. Di dalam

    karya non-imajinatif, pembaca akan mendapatkan fakta-fakta, penjelasan, angka-angka,

    sejarah, dan bahkan kehidupan nyata (real story).

    Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diberikan ciri-ciri pada masing-masing

    kelompok. Untuk sastra imajinatif, ciri-ciri itu meliputi adanya kadar fiksionalitas

    (fictionality), bahasa yang cenderung konotatif (connotative language) dan memiliki

    syarat-syarat estetika seni (aesthetic values). Sastra non-imajinatif mempunyai ciri-ciri

    lebih banyak unsur faktualnya (facts), bahasa cenderung denotatif (denotative

    language) dan juga memiliki syarat-syarat estetika seni.

    Dalam kehidupan sehari-hari, karya-karya yang berbentuk esei, kritik, resensi,

    biografi, otobiografi, sejarah, surat-surat resmi, dan catatan harian itu dimasukkan ke

    dalam kelompok sastra non-imajinatif. Sedangkan untuk sastra imajinatif mencakup

    karya-karya yang berbentuk prosa atau novel, cerita pendek, drama, dan puisi.

    2.2 Sastra Sebagai Pengalaman

    Seorang pengarang tidak terlepas dari kenyataan di sekelilingnya. Dengan

    kesadarannya ia bersentuhan dengan kenyataan (reality). Ketika suatu peristiwa terjadi

    segenap perasaan, pikiran, penalaran, dan daya imajinasinya bekerja menanggapi atau

    merespon apa yang sedang dihadapi itu. Kegiatan merespon ini (response) muncul dari

    jiwanya ketika kesadarannya bersentuhan dengan kenyataan yaitu segala yang dapat

    merangsang atau membangkitkan kesadarannya, baik yang ada di dalam maupun yang

    ada di luar dirinya. Dari dalam, bisa jadi apa yang dialaminya sendiri sedangkan dari

    luar boleh jadi penuturan orang lain atau sebatas mendengar dari orang lain.

    Selanjutnya, apa yang dilihat atau didengar itu akan berkecamuk dalam dirinya

    dan menjadi bahan pemikiran dan perenungan. Segala perasaan, pikiran, gagasan,

    gambaran atau imajinasinya akan hadir dalam menyikapi kejadian itu sehingga ini

  • 7

    merupakan pengalaman baru bagi diri pengarang. Dari sini, pengarang kemudian

    mengungkapkan pengalamannya itu dengan bahasa dan terciptalah sebuah karya sastra.

    2.3 Sastra Sebagai Pengalaman Seni

    Begitu karya tercipta, pengarang sudah membuka komunikasi dengan

    pembaca. Lewat karyanya, ia berusaha mengungkapkan apa yang dirasakan,

    dibayangkan, dipikirkan dan direnungkan serta diusulkan kepada orang lain. Dengan

    demikian ini merupakan peristiwa komunikasi. Kepuasan bisa tercapai apabila pembaca

    dapat memahami dan merasakan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan pengarang

    dalam karya tersebut. Demikian juga sebaliknya, pengarang mendapat kepuasan

    seandainya dia tahu bahwa apa yang ditulisnya itu dapat diterima dan dipahami dengan

    baik oleh pembacanya.

    Sebenarnya, sebagai pembaca karya sastra tidak cukup hanya memahami dan

    merasakan isi hati pengarang. Tidak sekedar tahu apa yang diceritakan dalam karya

    tersebut, tetapi lebih jauh sebagai pembaca bisa menyadari akan nilai-nilai yang

    terkandung di dalamnya. Boleh jadi apa yang dikisahkan itu merupakan pengalaman

    biasa. Namun dibalik itu bisa ditemukan nasehat-nasehat yang berharga dalam hidup

    manusia.

    Jadi nilai-nilai terdalam itu memang harus dicari dan ditemukan dibalik apa

    yang dikisahkan. Dengan kata lain, pembaca tidak hanya memusatkan perhatiannya

    pada apa yang disampaikan atau dituturkan oleh pengarang, akan tetapi juga

    mengetahui bagaimana pengarang itu mengemas nilai-nilai tersebut ke dalam suatu

    cerita. Pembaca harus tahu bentuk penyampaian yang digunakan pengarang. Sebab nilai

    karya satra tidak hanya terletak pada apa yang disampaikannya, tetapi juga pada cara

    atau bentuk penyampaiannya. Justru di sinilah letak kekhasan karya sastra sebagai alat

    komunikasi.

    2.4 Sastra Sebagai Karya Seni

    Sastra sebagai karya seni mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : adanya kadar

    rekaan (fictionality), adanya nilai-nilai seni (aesthetic values), dan adanya cara

    penggunaan bahasa yang khas (special use of language).

    Adanya kadar rekaan disebabkan karya sastra itu tercipta dengan daya khayal

    atau imajinasi pengarang. Meskipun karya itu berbicara mengenai kenyataan, dalam

    prosesnya karya itu terlebih dulu menciptakan dunia khayali sebagai latar belakang

    tempat kenyataan itu sendiri. Pengarang butuh karakter atau tokoh, masyarakat, tempat

    dan waktu yang harus diadakan atau diciptakan untuk menyajikan peristiwa atau cerita

    dalam karyanya. Tokoh, orang-orang, tempat dan waktu itu semua rekaan pengarang

    meskipun bisa jadi memang ada di dunia. Sepanjang kesemuanya itu hasil respon

    pengarang terhadap realitas, maka hasil karya tersebut tetap dipengaruhi subyektifitas

    diri pengarang sehingga tidak terlepas pula dari unsur rekaan atau imajinasi.

    Ada tujuannya kenapa pengarang menggunakan dunia khayali atau dunia

    rekaan sebagai latar belakang kenyataan. Dengan dunia khayali ini pembaca diharapkan

    mampu menghayati dan memahami kenyataan. Bukan hanya pikiran dan perasaannya

  • 8

    yang tersentuh, tetapi juga daya khayalnya. Dengan penghayatan dan pemahamannya,

    pembaca diharapkan mampu mengembangkan ketajaman responnya terhadap masalah-

    masalah di sekelilingnya.

    Sedangkan nilai-nilai seni (aesthetic values) yang ada dalam karya sastra

    merupakan hal penting yang membedakan karya sastra dari karya yang bukan sastra.

    Nilai-nilai seni itu meliputi : keutuhan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan

    (harmony), dan tekanan yang tepat (right emphasis). Untuk lebih jelasnya nilai-nilai

    seni ini akan dibahas di bab lain.

    Penggunaan bahasa secara khusus sangat jelas tampak pada karya-karya puisi.

    Ini bukan berarti pengguanaan bahasa yang khusus tidak terjadi di karya bentuk drama

    dan prosa. Di dalam drama maupun prosa, bahasa juga tetap diperlakukan dengan hati-

    hati oleh pengarang. Sebagai alat komunikasi bahasa di dalam karya sastra tetap

    memiliki keindahan dan kekhasan. Kata-kata dan bentuk penyusunannya dalam kalimat

    sangat dipertimbangkan oleh pengarang untuk mengungkapkan pikiran dan

    perasaannya. Kejelian, kecermatan dan kedalaman jiwanya dalam memilih dan

    menyusun kata bisa menghasilkan keindahan dalam penggunaan bahasa.

  • 9

    B A B III

    P U I S I

    3.1. Pengertian Istilah

    Kita mengenal tiga bentuk karya sastra yaitu prosa, drama dan puisi. Dari

    ketiga bentuk ini, puisi merupakan karya yang paling sulit untuk dipelajari. Ketika kita

    membicarakan puisi, tidak jarang kita menemui beberapa istilah yang sebenarnya

    menunjuk pada satu karya yaitu puisi itu sendiri. Dalam bahasa Inggris saja kita

    mengenal istilah poetry, poem, dan verse. Sedang dalam bahasa Indonesia ada istilah

    puisi dan sajak. Untuk bisa membedakan penggunaan istilah-istilah tersebut ada baiknya

    kita memahami arti yang diberikan oleh kamus.

    Kamus Hornby memberikan arti poetry itu : the art of a poet, poems,

    quality that produces feelings as produced by poems. Sedang arti poem dan verse

    cenderung menunjuk pada karya yang berbentuk baris-baris (arranged lines). Dari arti

    yang diberikan Hornsby, puisi selain obyeknya sendiri (karya itu sendiri) juga menunjuk

    pada kualitas atau daya yang timbul akibat dari pemakaian bahasa dalam karya sastra.

    Kualitas ini bisa diketahui dari efek yang ditimbulkan dari membaca karya tersebut.

    Ketika membaca, tentu saja pembaca bisa merasakan pengaruh kata-kata atau kalimat

    yang digunakan oleh pengarang. Pengaruh yang dirasakannya pada dasarnya merupakan

    aspek keindahan karya sastra yang timbul karena pemakaian atau pengungkapan bahasa

    yang khas.

    Sebenarnya, puisi bukanlah satu bentuk karya sastra karena pada setiap bentuk

    pengungkapan yang menggunakan bahasa tidak jarang kita menemukan atau merasakan

    puisi atau sesuatu yang puitis. Pada kenyataannya, sesuatu yang puitis itu bisa dijumpai

    tidak hanya dalam karya sastra tetapi juga pada kata-kata mutiara, surat, slogan, motto,

    doa, iklan dan lirik lagu. Perhatikan contoh-contoh pemakaian bahasa berikut ini :

    We are not the first but the best.

    I love nobody but you.

    Everymans life is a fairy tale written by Gods fingers.

    God brings men into deep waters, not to drown them, but to clean them.

    Beauty is power and a smile is its sword.

    Man begins by loving love and ends by loving a woman. Woman begins

    by loving a man and ends by loving love. Man loves little and often,

    woman much and rarely.

    Jadi puisi lebih merupakan sifat atau nilai keindahan dalam pengungkapan

    bahasa. Ungkapan atau pemakaian bahasa yang indah disebut puitis. Kepuitisan dapat

    saja ditemukan dalam karya sastra bentuk prosa maupun drama selama karya itu masih

    melibatkan pemakaian atau pengungkapan bahasa. Menyikapi keragaman istilah ini,

    maka pilihan yang tepat untuk menunjuk karya sastra bentuk ini adalah dengan

    menggunakan istilah poem atau sajak. Kalau menggunakan istilah poetry atau

  • 10

    puisi akan mempunyai pengertian yang luas dan bahkan terkesan abstrak. Oleh sebab itu

    penggunaan istilah poem atau sajak lebih tepat untuk menunjuk obyek itu sendiri.

    3.2 Ciri-ciri Sajak

    Tidak mudah untuk memberikan ciri-ciri sajak (poem). Dalam kehidupan

    sehari-hari, rata-rata masyarakat bahasa tidak mau mengatakan bahwa slogan, doa,

    pesan iklan dan syair lagu itu sebagai puisi. Padahal ketiga bentuk pemakaian bahasa itu

    bersifat monolog yang merupakan ciri utama sajak. Bahkan , bisa jadi cara penulisannya

    bercirikan tipografi tertentu yang identik dengan penulisan sajak. Perhatikan contoh di

    bawah ini. Kalimat-kalimat ini diambil dari Al Quran, terjemahan sebagian dari surat

    Albaqarah ayat 286. Apakah tulisan ini bisa disebut sajak ?

    O, Tuhan kami

    Jangan hukum kami

    jika kami lupa atau melakukan kekeliruan

    Tuhan kami

    Janganlah bebani kami

    dengan beban yang berat

    Seperti yang Kau bebankan

    atas orang sebelum kami

    Bandingkan pula dengan pemakaian bahasa yang ditulis seperti di bawah ini.

    Apakah penulisan seperti ini bisa juga dikatakan sebuah sajak, isinya jelas dan

    bahasanya pun mudah dipahami.

    Cara memasak

    rebus air secukupnya

    masukkan mie kedalamnya

    biarkan kira-kira lima menit

    masukkan bumbu

    dan aduklah

    Siaplah sudah mie rebus

    Ciri sajak yang jelas yaitu bahasa sajak itu sendiri. Bahasa tersusun dalam

    baris-baris dan bait (arranged in lines and stanza). Ciri yang kedua yaitu sajak tidak

    merupakan suatu deretan peristiwa yang bersifat kronologis sehingga dalam sajak akan

    sulit ditarik hubungan sebab akibat atas peristiwa-peristiwa yang ada. Dengan kata lain,

    dalam sajak tidak terdapat plot karena pada dasarnya sajak itu sebuah monolog, yaitu

    monolog si pembicara (the speaker).

    Kekuatan utama sajak terletak pada kekuatan ekspresinya atau daya

    ungkapnya. Daya ungkap ini tidak terletak pada banyaknya kata yang digunakan, tetapi

    pada kepadatan makna yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan prosa, sajak

    sarat dengan makna dan dikemas dalam kemasan kata yang ringkas. Dengan demikian,

  • 11

    sajak itu lebih bersifat intuitif, imajinatif dan sintetis. Sedangkan prosa bersifat logis,

    konstruktif dan analitis.

    Ciri ketiga yaitu keterikatan sebuah kata dalam sajak. Keterikatan kata lebih

    cenderung kepada struktur ritmik sebuah baris dari pada struktur sintaksis sebuah

    kalimat. Oleh karena itu, hal yang paling penting dalam sajak bukanlah kalimat

    melainkan baris. Kesatuan sajak bukan kesatuan kalimat melainkan kesatuan baris dan

    irama. Konsekwensi dari perlakuan ini, bahasa sajak bisa tidak mengikuti struktur logis

    kalimat atau menyimpang dari kaidah tata bahasa. Penyimpangan ini bisa semata-mata

    demi keindahan bunyi atau penekanan kata.

    Ciri keempat yaitu bahasa yang cenderung kepada makna konotatif. Ini

    merupakan ciri dominan dalam pemakaian bahasa. Dalam hal ini bahasa diperlakukan

    secara khusus sehingga bahasa bisa mengalami penggantian arti (displacing),

    penyimpangan arti (distorting) dan penciptaan arti (creating of meaning).

    3.3 Tipografi Sajak

    Tipografi sajak adalah penyusunan baris dan bait sajak. Tipografi merupakan

    aspek visual dari sajak. Ada juga yang mengatakan bahwa tipografi sebagai ukiran

    bentuk yang di dalamnya tersusun kata, frasa, baris dan bait. Susunan ini pula yang

    membedakan antara penulisan sebuah paragraf dan baris-baris sajak.

    Pada umumnya orang berpendapat bahwa sesuatu yang rapi biasanya

    menimbulkan kesan dan suasana yang rapi pula. Sebaliknya sesuatu yang kacau

    biasanya menimbulkan kesan yang kacau pula. Mungkin tidak begitu jauh dengan apa

    yang terjadi pada penulisan sebuah sajak. Untuk membedakan karyanya dengan bacaan

    umum, penyair memakai cara tersendiri untuk menuliskan sajaknya. Penulisan ini sangat

    unik dan bervariasi serta seringkali berkaitan dengan kreatifitas seorang penyair.

    Untuk menyampaikan suasana damai, penyair bisa memilih penulisan yang rapi

    bentuknya. Sedangkan untuk menyampaikan suasana kacau, berontak, bingung, seram,

    atau main-main, seorang penyair bisa memilih tipografi tertentu seperti ; tidak teratur,

    seenaknya, atau bahkan yang aneh-aneh. Suatu misal, sajak yang berjudul Mumet ,

    penulisan baris-barisnya secara melingkar dan searah jarum jam sehingga supaya bisa

    dibaca, pembacanya pun harus membacanya dengan memutar-mutar sajak tersebut.

    Sejauh ini tidak bisa dipastikan apakah tipografi tertentu mempunyai maksud

    atau makna tertentu pula dalam sajak. Meskipun tidak dapat dipastikan makna atau

    maksud suatu tipografi, beberapa kemungkinan di bawah ini masih menjadi bahan

    diskusi.Tipografi hanyalah merupakan permainan yang diciptakan penyair dengan

    seenaknya karena tidak ada aturan yang pasti.

    1. Tipografi mempunyai makna tambahan pada sajak.

    2. Tipografi hanya memperlihatkan perkembangan penulisan sajak. Jadi

    bisa merupakan kecenderungan penulisan sajak pada suatu jaman.

    3. Tipografi hanyalah cara untuk membedakan antara sajak dan prosa.

  • 12

    3.4 Enjambemen

    Enjambemen adalah pemutusan kata atau frasa di ujung baris dan meletakkan

    sambungannya pada baris berikutnya. Penciptaan enjambemen selain untuk memperkuat

    kesan juga untuk memberikan penekanan pada sebuah kata atau suku kata.

    Enjambemen memang bagian dari tipografi yang dipilih penyair.

  • 13

    BAB IV

    DIKSI

    4.1 Kata dalam Sajak

    Kata adalah alat penting untuk menyampaikan pikiran dan perasaan. Kata

    mengemban arti tertentu sehingga kata tidak dapat tidak bermakna. Dalam sajak, kata

    bisa dipermainkan oleh seorang penyair sehingga menimbulkan arti yang berbeda dari

    biasanya. Meskipun berbeda arti yang diembannya, kata tetap mempunyai makna atas

    kehadirannya dalam sebuah sajak.

    Sebagai karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media, sajak

    mengandalkan peranan kata. Kata dalam sajak itu begitu selektif dan sarat akan

    pengertian dan gagasan yang seringkali untuk mengetahuinya perlu daya imajinasi.

    Penyair memang bebas memperkosa kata dalam sajak, namun kebebasan itu

    ada batasnya. Kebebasan memperkosa bahasa mesti dibatasi sebatas kemungkinan

    komunikasi. Artinya, segala penyimpangan, penentangan, dan pengasingan sebuah kata

    itu dilakukan kalau masyarakat pemakai bahasa masih mampu memberikan makna

    kepadanya. Dengan kata lain, pemaksaan makna pada sebuah kata yang tidak dikenal

    dengan baik oleh masyarakat bahasa akan berakibat sia-sia karena menyesatkan

    pembaca sekaligus menyulitkan pemahaman sajak tersebut.

    4.1 Kata Arkaik

    Dalam sajak, penyair mampu menghidupkan kata-kata yang telah mati,

    menemukan kata-kata yang telah hilang, atau menggunakan kata-kata yang tidak

    digunakan lagi dalam percakapan sehari-hari. Kadang-kadang kata itu digunakan

    dengan artinya yang lama, tetapi kadang-kadang juga digunakan dengan memberikan

    arti baru kepadanya. Penggunaan kata-kata lama atau arkaik bertujuan untuk

    menimbulkan suasana kembali ke masa lalu atau sebaliknya membawa masa lalu ke

    masa kini.

    Selain kata arkaik, seringkali penyair juga menggunakan kata-kata yang

    diambil dari bahasa daerahnya. Sebagai bahasa ibu, bahasa daerah tentu akan lebih

    dikuasai oleh seorang penyair sehingga penggunaan sebuah kata dari bahasa daerah

    akan lebih dapat mewakili pikiran, perasaan, dan pengalaman yang dimaksudkan oleh

    penyair.

    4.2 Arti Konotatif dan Denotatif

    Penyair dalam upaya memilih kata memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan

    arti yang ada pada sebuah kata. Dalam hal ini dikenal dua macam arti yang

    penggunaannya cukup dominan, yaitu arti konotatif dan denotatif.

    Denotatif adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas

    penunjukan pada sesuatu di luar bahasa atau didasarkan atas konvensi tertentu. Jadi

    sifatnya obyektif seperti apa yang diberikan kamus. Arti denotatif adalah arti pertama

    sebuah sajak atau seringkali disebut arti kamus.

  • 14

    Sedangkan konotatif adalah adalah aspek makna sebuah kata atau kelompok

    kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada

    penyair dan pembaca. Kalau arti denotatif adalah arti pertama dan bersifat obyektif,

    maka arti konotatif adalah arti kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, dan bersifat

    subyektif. Jadi konotasi sebuah kata dapat berbeda bagi setiap orang.

  • 15

    BAB V

    BAHASA SAJAK

    5.1 Bahasa Kiasan

    Bahasa kiasan (figurative language) banyak dijumpai dalam sajak. Bahasa

    kiasan digunakan untuk mengalihkan suatu pengertian kepada pengertian lain sehingga

    terciptalah pengertian baru. Dalam sajak ada beberapa bahasa kiasan yang sering

    muncul seperti : metafora, simile, personifikasi, sinekdok, metonimi, alegori.

    a. Metafora dan Simile

    Pada Metafora, suatu pengertian dibandingkan dengan pengertian lain.

    Jadi ada yang dibandingkan (tenor) dan ada pula pembandingnya

    (vehicle). Antara tenor dan vehicle tidak ada kata-kata pembanding

    seperti like, as, but, dan than. Jadi penyair membandingkan secara

    langsung. Sedangkan untuk Simile malah sebaliknya, yaitu menggunakan

    kata-kata pembanding tersebut.

    b. Personifikasi

    Personifikasi atau pengorangan itu berarti memberikan sifat-sifat manusia

    kepada seasuatu yang bukan manusia sehinga sesuatu itu dianggap bisa

    berbuat atau berperilaku seperti manusia.

    c. Metonimi dan Sinekdok Kalau dalam Metafora dan Simile terdapat persamaan sifat antara tenor

    dan vehicle, maka dalam Metonimi antara tenor dan vehicle terjadi

    hubungan pengertian yang erat disebabkan oleh asosiasi-asosiasi dalam

    kehidupan sehari-hari atau dalam pengalaman. Secara mudah bisa

    dikatakan bahwa Metonimi itu kiasan pengganti nama.

    Untuk bahasa kiasan yang mengungkapkan atau menunjuk sesuatu hanya

    sebagian tetapi dimaksudkan untuk menyebut keseluruhan itu disebut

    Sinekdok. Penyebutan ini juga bisa sebaliknya yaitu dari penyebutan

    yang besar tetapi dimaksudkan untuk menunjuk sebagian saja.

    d. Alegori

    Apabila sebuah cerita merupakan kiasan suatu keadaan yang dalam

    kenyataan pernah ada, maka kiasan itu (cerita) disebut Alegori. Bahasa

    kiasan dalam bentuk Alegori hanya dalam bentuk pembanding, sementara

    yang dibandingkan tidak dinyatakan melainkan disembunyikan dalam

    bentuk cerita tersebut.

    Untuk mengetahui makna sebuah Alegori diperlukan kemampuan

    imajinatif, pengetahuan dan pengalaman yang luas serta pengetahuan

    tentang latar belakang karya itu sendiri.

  • 16

    5.2 Bahasa Retorik

    Selain bahasa kiasan, penyair juga sering menggunakan ungkapan-ungkapan

    yang mempunyai efek retoris. Bahasa seperti ini disebut bahasa retorik. Bahasa retorik

    dimanfaatkan penyair untuk memberikan kesan lebih pada sajaknya sekaligus

    memberikan penegasan terhadap apa yang dikemukakan.

    Bahasa retorik bermacam-macam diantaranya : Repetisi, Ironi, Hiperbola,

    Paralelisme, Pleonasme, Paradoks, Tautologi, Asindenton, Antithesis, Satir, dan lain-

    lain. Di sini hanya akan dibicarakan beberapa saja.

    a. Repetisi Repetisi yaitu pengulangan kata, frasa , kalimat, bait atau baris.

    Pengulangan ini tidak mesti harus dengan kata atau frasa yang sama,

    tetapi bisa pula memakai kata atau frasa lain yang mempunyai arti atau

    pengertian yang sama.

    b. Pertanyaan Retoris Penyair kadang dalam sajaknya memasukkan pertanyaan yang

    sebenarnya tidak perlu dijawab karena pada umumnya orang sudah tahu

    jawabannya. Sebenarnya secara implisit jawaban tersebut sudah diberikan

    oleh penyair dalam sajaknya.

    c. Ironi Pengungkapan bahasa secara ironis memberikan arti yang kontras atau

    berbeda dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh penyair.

    Pengungkapan ini berupa sindiran yang dimaksudkan untuk menyindir

    keadaan tertentu dengan cara membesar-besarkannya. Sindiran dalam

    Ironi lebih cenderung bergaya santai, main-main, lucu dan gembira.

    Berbeda sekali dengan sindiran yang memakai bahasa Sarkasme yang

    cenderung menyakitkan dan berkesan menyerang.

    d. Hiperbola Penyair mengungkapkan sesuatu secara berlebihan yang pada

    kenyataannya tidak akan terjadi. Dalam pengungkapannya, penyair tidak

    bermaksud menyindir atau mengejek seperti dalam Ironi maupun

    Sarkasme.

  • 17

    BAB VI

    BUNYI

    6. Aspek Bunyi dalam Sajak Bunyi (sound) adalah sesuatu yang sangat penting dalam sajak karena bunyi

    mempunyai efek dan kesan tersendiri. Bunyi bisa memberikan penekanan, menyarankan

    makna dan suasana tertentu Sebagai contoh, orang yang mendengar kata anjing

    mungkin tidak merasa takut. Tetapi, orang mendengar bunyi auuuummm (lolong

    anjing) justru akan merasa ngeri atau mendapatkan kesan seram.

    Kendati penting dan bermakna, bunyi yang berperan dalam sajak adalah bunyi

    yang teratur dan terpola. Bunyi yang terpola tidak hanya bunyi yang sama, tetapi juga

    bunyi yang berbeda atau bertentangan. Bahkan, bisa pula tiruan bunyi itu sendiri seperti

    suara auuumm, guk-guk, cit-cit, dan lain-lain. Dengan demikian bunyi merupakan

    salah satu sarana kepuitisan dalam sajak.

    Sebenarnya bunyi dalam sajak tidak terlepas dari diksi (diction). Bunyi sebagai

    sarana musikalitas dalam sajak diciptakan dengan sadar oleh penyair. Bunyi muncul

    secara teratur dan berulang itu sebenarnya adalah kemampuan penyair dalam mencari,

    menemukan, memilih, dan bahkan menciptakan kata-kata yang mempunyai persamaan

    atau pertentangan bunyi. Tidak mungkin tercipta musikalitas sajak begitu saja tanpa

    melalui proses pemilihan secara sadar.

    Bunyi dalam sajak menimbulkan irama. Irama itu identik dengan intonasi yaitu

    penempatan tekanan tertentu pada kata. Dalam praktek pembacaan sajak, ini berkaitan

    dengan tinggi rendah bunyi, keras lembut bunyi, dan cepat lambat baca. Ini semua

    menjadikan sajak itu kedengaran merdu dan berkesan bagi yang membaca maupun yang

    mendengarnya.

    Begitu erat dengan irama yaitu rima. Rima adalah persamaan bunyi akhir kata.

    Dalam sajak, rima ini dilihat pada persamaan bunyi antara baris yang satu dengan baris

    yang lain. Hal ini disebabkan bunyi berulang secara terpola itu bisa terdapat di awal atau

    di tengah baris. Jadi tidak mesti ada di akhir baris.

    Untuk lebih mengetahui peranan bunyi dalam sajak, di bawah ini dijelaskan

    persamaan atau pertentangan bunyi sering yang dipakai dalam sajak sekaligus sebutan-

    sebutannya.

    a. Aliterasi dan Asonansi

    Persamaan bunyi dalam sajak dapat berupa bunyi vokal, dapat pula bunyi

    persamaan konsonan. Pengulangan bunyi dalam satu rangkaian kata-

    kata yang berdekatan (dalam satu baris) apabila berupa bunyi konsonan

    disebut Aliterasi (Aliteration ). Sedangkan kalau berupa bunyi vokal

    disebut Asonansi (assonance).

    b. Efoni dan Kakofoni

    Bunyi yang muncul dari sajak tidak selalu merdu dan menyenangkan.

    Kadang-kadang bunyi tersebut justru parau, penuh dengan bunyi-bunyi

  • 18

    konsonan tak bersuara. Bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan

    dapat melancarkan pengucapan sehingga menimbulkan kesan musikal.

    Bunyi-bunyi ini disebut Efoni (Euphony). Sebaliknya, bunyi-bunyi yang

    parau dan tidak menyenangkan serta tidak musikal disebut bunyi

    Kakofoni (Cacophony).

    Kombinasi bunyi-bunyi merdu biasanya digunakan untuk menimbulkan

    kesan indah, damai, senang, kasmaran, mesra dan lain-lain. Sebaliknya

    kombinasi bunyi-bunyi parau atau kasar digunakan untuk menimbulkan

    kesan takut, garang, kacau balau, ganas dan lain-lain.

    c. Anafora

    Dalam kamus, Anafora (Anaphora) dijelaskan sebagai pengulangan

    bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada kalimat-kalimat (larik-larik)

    yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu. Kalau pada rima yang

    diberi tekanan adalah persamaan atau pengulangan bunyi, maka pada

    Anafora yang ditekankan adalah persamaan atau pengulangan kata.

    Tentu saja, ini sekaligus persamaan bunyi dan persamaan struktur

    (susunan kata). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Anafora itu

    sekaligus adalah rima sedangkan rima belum tentu dalam bentuk

    Anafora.

    d. Onomatope

    Onomatope (Onomatopeia) adalah persamaan benda atau perbuatan

    dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan

    itu. Contoh, berkokok, deru, dengung, desing, cit-cit dan sebagainya.

    Dalam sajak, Onomatope berperan sebagai pemberi saran kepada makna

    yang sesungguhnya. Dengan membaca kata-kata atau mendengar bunyi-

    bunyi tersebut, orang akan mengetahui benda atau perbuatan apa yang

    dimaksudkan.

  • 19

    BAB VII

    MAKNA SAJAK

    7.1 Arti dan Makna

    Makna di sini adalah terjemahan dari kata significance , bukan arti dari

    sebuah kata dalam sajak (meaning). Perbedaan arti dan makna adalah perbedaan hirarki.

    Bila arti adalah keterangan tentang sebuah kata secara sendiri-sendiri, maka makna

    adalah keterangan sebuah kesatuan bahasa setelah dikaitkan dengan aspek di luar

    bahasa. Sebagai contoh kata buku . Kata ini secara sederhana mempunyai arti bahan

    bacaan. Kalau dilihat dari makna sebuah buku, akan sangat beragam bagi setiap orang.

    Bagi seorang anak yang rajin membaca atau sekolah tentu akan sangat berharga, akan

    tetapi tidak demikian bagi seorang anak petani yang tidak pernah mengeyam pendidikan

    di sekolah. Apalah artinya sebuah buku bagi dia !

    Jadi arti sebuah kata itu bisa terbatas, sedang makna yang diembannya bisa

    tidak terbatas sesuai pengaruh yang masuk kepadanya.

    7.2 Struktur Penceritaan Sajak

    Istilah yang digunakan untuk menunujuk penceritaan sajak yaitu voice dan

    persona . Dalam sajak, yang dimaksud penceritaan ini adalah situasi bahasa yang

    mendukung penampilan sajak. Situasi bahasa ini ditentukan oleh cara penyampaian si

    penyair dalam menghadirkan kembali pengalaman puitisnya ke dalam sajak melalui kata-

    kata. Dari penyampaian ini akan dapat diketahui apakah pengalaman itu hanya

    merupakan sesuatu yang dirasakan sendiri dan diungkapkan kepada siapa saja yang

    membaca atau mendengarkan sajak itu. Apakah pengalaman itu dirasakan dan

    diungkapkan kepada pihak tertentu. Selain itu, dari penyampaian ini bisa diketahui si

    tokoh dalam sajak. Siapa yang berbicara dalam sajak? Kepada siapa dia bicara? Apa

    yang dibicarakan? Bagaimanakah dia berbicara? Jadi penceritaan di sini bukanlah

    penceritaan sebagaimana yang terdapat dalam prosa maupun drama. Sudah jelas bahwa

    sajak itu sebuah monolog.

    Dalam kaitan penyampaian pengalaman puitis ini, sebuah sajak tentu ada

    tokohnya dan tokoh ini bisa si pembicara maupun si penerima. Tokoh-tokoh dalam

    sajak itu sebagai berikut :

    1. Aku dalam Sajak

    Dalam sajak, tokoh Aku menjadi si penyuara atau pembicara yang

    menuturkan pengalaman puitis itu. Perlu diketahui bahwa Aku di sini

    tidak selalu identik dengan si penyair.

    2. Pihak yang Dituju (Penerima)

    Tokoh Aku dalam sajak tentu ingin menyampaian sesuatu kepada orang

    lain atau ingin berbicara kepada orang lain. Orang lain ini bisa seseorang

    atau siapa saja yang membaca atau mendengarkan sajak tersebut.

  • 20

    Namun, kepada siapa suara itu ditujukan tidak selalu dinyatakan secara

    eksplisit dalam sajak.

    Dari sini selanjutnya dapat disimpulkan bahwa struktur penceritaan dalam sajak

    itu mencakup tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, penceritaan sajak bisa secara

    monolog yaitu menghadirkan tokoh Aku dengan ungkapan-ungkapan Aku dalam

    sajak. Di sini kepada siapa tidak dijelaskan atau dalam sajak tersebut tidak menyebukan

    kata ganti seperti kamu, dia, mereka atau nama.

    Kemungkinan kedua yaitu secara dialog atau berbicara kepada pihak tertentu

    secara gamblang. Dalam sajak, si Aku berbicara atau berseru kepada seseorang atau

    beberapa orang sehingga diperlukan kata ganti aku, kita, kau.

    Kemungkinan ketiga yaitu secara naratif. Dalam sajak ini, si Aku

    menceritakan pengalaman orang lain kepada pihak tertentu. Kata ganti yang muncul

    bisa dia dan mereka.

    7.3 Latar dan Latar Belakang

    Pengertian latar di sini yaitu tempat dan waktu terjadinya pengalaman puitis si

    penyair. Jadi istilah latar ini dipakai untuk menunjuk setting dalam sajak. Sedang latar

    belakang yaitu segala sesuatu yang menyebabkan munculnya sajak. Latar belakang ini

    bisa berupa latar belakang sosial, geografis, ideologis, budaya, dan latar belakang karya

    itu sendiri.

    Latar belakang sajak dapat diketahui dari berbagai dimensi seperti tempat dan

    waktu sajak diciptakan, riwayat hidup dan pandangan ideologi penyair, fakta sejarah,

    dan nilai-nilai yang berkembang pada saat itu termasuk pula media yang

    menerbitkannya. Oleh sebab itu, sebuah sajak bisa mempunyai latar belakang

    perjuangan, pembebasan, harga diri, pergolakan adat, keagamaan, dan lain-lain.

    7.4 Tema Sajak

    Mencari tema sebuah sajak tidak semudah mencari tema sebuah novel atau

    drama. Seperti diketahui bahwa sajak bukanlah sebuah deretan peristiwa yang

    membentuk suatu cerita, melainkan sebuah monolog yang keluar dari perasaan terdalam

    si penyair. Dengan demikian apa yang ada dalam sajak merupakan ungkapan-ungkapan

    perasaan dan pikiran sekaligus imajinasi seorang penyair yang dikemas dalam bahasa

    yang khas. Ungkapan-ungkapan itu cenderung menyembunyikan makna yang begitu

    dalam dan kental sehingga diperlukan usaha ekstra untuk bisa menguak dan

    menemukan yang tersembunyi itu. Apa yang tersembunyi itu merupakan pesan atau

    maksud si penyair menghadirkan sajaknya kepada seseorang atau pembaca umum.

    Bagaimanapun juga, adanya sebuah sajak tentu tidak akan terlepas dari maksud

    dan tujuan si pembuatnya. Seorang penyair begitu tersentuh oleh realita kehidupan dan

    tergerak untuk menanggapinya, maka tanggapannya akan dicurahkan dalam sajak dan

    dijadikanlah sajak itu sebagai alat komunikasi batinnya. Melalui sajaknya pembaca

    diharapkan bisa ikut serta merasakan pengalaman puitisnya tersebut.

    Apa yang hendak dipesankan dalam sajaknya merupakan tema dari sajaknya.

    Dengan kata lain, dari ungkapan atau curahan hatinya itu pembaca sebagai orang yang

  • 21

    diajak berkomunikasi diharapkan dapat menangkap apa yang sebenarnya dikehendaki si

    penyair. Dibalik rintihan, cemoohan, kasmaran, tangisan, ataupun kegirangan yang ada

    dalam sajak tentu ada pesan yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Pesan

    tersebut bisa merupakan pandangan penyair terhadap suatu masalah, ajaran moral, nilai-

    nilai kemanusiaan, atau bahkan jeritan manusia menapaki dunia.

    7.5 Tone

    Tone adalah sikap atau kesan dari pembicara dalam sajak (speaker) terhadap

    apa yang dibicarakan dalam sajak tersebut. Sikap pembicara bisa terungkap lewat cara

    dia berbicara atau mengungkapkan pengalaman puitis tersebut. Sikap itu bisa resmi atau

    santai, serius atau main-main, khikmat atau ramai, riang bersemangat atau melankolis,

    sombong atau merendah, kritis atau toleran, dan lain-lain.

    7.6 Imaji

    Dalam sajak dikenal istilah Image dan Imagery . Istilah yang pertama

    itu untuk menyebut segala pengalaman inderawi manusia sedangkan yang kedua untuk

    menyebut pewujudan dari pengalaman tersebut yang dalam hal ini berupa rangkaian

    kata. Pengalaman inderawi itu diperoleh melalui indera manusia yaitu : penglihatan

    (sight) , pendengaran (hear), pengecap (taste), penciuman (smell), dan perasa (feel).

    Imaji dikejar dan dimanfaatkan oleh penyair untuk menuangkan pengalaman

    inderawinya ke dalam sajak. Imaji ini juga digunakan untuk menjemput pengalaman

    pembaca yang sesuai dengan pengalaman penyair. Apabila pembaca tidak mempunyai

    pengalaman itu, maka imaji memberikan pengalaman imajinatif kepadanya. Pembaca

    seolah-olah baru saja kembali dari pengalaman yang dilukiskan penyair tersebut.

    Imaji diberi nama sesuai dengan kilasan bayangan yang dimunculkannya atau

    sesuai dengan pengalaman yang dijemputnya. Kalau pembaca seolah-olah melihat obyek

    yang diungkapkan dalam kata-kata, maka itu disebut imaji penglihatan (Visual

    Imagery). Kalau pembaca seolah-olah mendengarkan obyek yang diungkapkan, maka

    disebut imaji pendengaran (Auditory Imagery). Begitulah selanjutnya, sesuai dengan

    panca indera yang dirangsangnya.