menentukan jumlah mesin dengan menggunakan lcc

47
1 BAB 1 PENDAHULUAN Di dalam pendahuluan ini berisi tentang latar belakang penulisan tugas akhir, yaitu perhitungan preventive maintenance cost, optimalisasi maintenance crew, dan optimalisasi jumlah mesin pada mesin Jet-Dyeing di PT SIPATEX. Setelah latar belakang, selanjutnya dibuat suatu perumusan masalah untuk merumuskan masalah yang ada, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penulisan. I.1. Latar Belakang Industri tekstil merupakan pensuplai kebutuhan sandang dalam negeri dan dipilih sebagai salah satu fondasi pembangunan disamping sektor pangan. Industri tekstil memberikan kontribusi devisa yang cukup besar dari tahun ke tahun. Meskipun hingga saat ini industri tekstil Indonesia masih menghadapi berbagai masalah seperti biaya energi yang mahal, infrastruktur pelabuhan yang belum kondusif, mesin-mesin pertekstilan yang sebagian besar sudah sangat tua, dan maraknya produk impor ilegal terutama dari China namun posisi dan daya saing tekstil Indonesia di pasar dunia cukup baik. PT. Sipatex merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam industri tekstil yang ada di Indonesia yang mempunyai luas pabrik sekitar 16 hektar. PT. SIPATEX bergerak dibidang pertekstilan sejak bulan Juni tahun 1976, dimana pada awal berdirinya perusahaan ini bergerak dalam bidang usaha pertenunan (weaving) hingga akhirnya perusahaan ini berkembang terus menjadi perusahaan tekstil. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat kebutuhan konsumen semakin meningkat sehingga perusahaan melakukan pembangunan untuk memperluas bidang usahanya. Target produksi PT. SIPATEX tiap bulan yaitu ± 3.000.000 yard / bulan. Hasil produksi PT. SIPATEX 60% dipasarkan Indonesia dan 40% di ekspor ke Malaysia, Timur Tengah dan Jepang.

Upload: monika-yuliana-butar-butar

Post on 05-Dec-2015

63 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

Life cycle cost adalah sebuah metode yang digunakan untuk menghitung life cycle cost terkecil.

TRANSCRIPT

Page 1: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Di dalam pendahuluan ini berisi tentang latar belakang penulisan tugas akhir, yaitu

perhitungan preventive maintenance cost, optimalisasi maintenance crew, dan

optimalisasi jumlah mesin pada mesin Jet-Dyeing di PT SIPATEX. Setelah latar

belakang, selanjutnya dibuat suatu perumusan masalah untuk merumuskan masalah

yang ada, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, dan sistematika

penulisan.

I.1. Latar Belakang

Industri tekstil merupakan pensuplai kebutuhan sandang dalam negeri dan dipilih

sebagai salah satu fondasi pembangunan disamping sektor pangan. Industri tekstil

memberikan kontribusi devisa yang cukup besar dari tahun ke tahun. Meskipun

hingga saat ini industri tekstil Indonesia masih menghadapi berbagai masalah seperti

biaya energi yang mahal, infrastruktur pelabuhan yang belum kondusif, mesin-mesin

pertekstilan yang sebagian besar sudah sangat tua, dan maraknya produk impor ilegal

terutama dari China namun posisi dan daya saing tekstil Indonesia di pasar dunia

cukup baik.

PT. Sipatex merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam industri tekstil

yang ada di Indonesia yang mempunyai luas pabrik sekitar 16 hektar. PT. SIPATEX

bergerak dibidang pertekstilan sejak bulan Juni tahun 1976, dimana pada awal

berdirinya perusahaan ini bergerak dalam bidang usaha pertenunan (weaving) hingga

akhirnya perusahaan ini berkembang terus menjadi perusahaan tekstil. Seiring dengan

pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat kebutuhan konsumen semakin meningkat

sehingga perusahaan melakukan pembangunan untuk memperluas bidang usahanya.

Target produksi PT. SIPATEX tiap bulan yaitu ± 3.000.000 yard / bulan. Hasil

produksi PT. SIPATEX 60% dipasarkan Indonesia dan 40% di ekspor ke Malaysia,

Timur Tengah dan Jepang.

Page 2: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

2

Tabel I.1 Produksi Tekstil (Ekspor dan Lokal)

Bulan/QTTY

(yard)

Januari Februaru Maret April Mei Juni

Dyeing 1,642,475.08 1,653,067.80

1,789,876.69

1,626,236.78 2,165,411.04 2,000,351.92

Printing 863,429.33 908,485.60

774,386.49 876,397.60 821,866.12 1,170,089.39

Total 2,505,904.41

2,561,553.40

2,564.263.18 2,502,634.38 2,987,277.16 3,170,441.31

Jenis kain yang diproduksi yaitu sebagai berikut :

1. Kain hasil pencelupan dari bahan Polyester

2. Kain hasil pencapan dari bahan Polyester

Untuk memenuhi permintaan konsumen yang semakin meningkat PT. SIPATEX

menggunakan beberapa unit produksi yaitu unit texturizing, unit pertenunan

(weaving), unit pencelupan (dyeing), dan unit pencapan (printing). Dalam proses

produksinya PT. SIPATEX menggunakan banyak mesin mulai dari awal proses untuk

texturizing sampai pada proses finishing. Dalam proses produksi tersebut PT.

SIPATEX mengalami suatu permasalah yang diakibatkan oleh tersendatnya

performasi mesin yang digunakan dalam menghasilkan produk.

Salah satu bagian terpenting dalam proses produksi tekstil yang paling sering

mengalami kerusakan adalah proses pencelupan (dyeing). Proses pencelupan (dyeing)

merupakan proses mewarnai kain secara merata dengan cara pencelupan ke air

beberapa bahan kimia. Bahan kimia yang digunakan dalam proses ini adalah vat dyes,

sulfur dyes, reactive dyes, dispers dyes, acid dyes, methal complex dyes, basic dyes,

dsb. Proses pencelupan (dyeing) menggunakan mesin Jet-Dyeing. Proses dyeing

merupakan salah satu proses inti yang memperngaruhi kualitas hasil produksi. Oleh

karena itu mesin yang digunakan dalam proses ini perlu dilakukan suatu manajemen

perawatan mesin yang dapat meminimalisasi kerusakan-kerusakan yang sering terjadi

pada part-part tertentu agar fungsi mesin dapat optimal kembali tanpa mengalami

gangguan bahkan sampai down.

Page 3: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

3

Mesin Jet-Dyeing yang ada pada perusahaan ini, kurang lebih terdapat 17 mesin

dalam 1 unitnya yang akan bekerja secara bersamaan. Dari banyaknya mesin tersebut

perlu dilakukan penentuan jumlah maintenance crew agar proses perawatan mesin

dapat berjalan dengan baik. Jumlah maintenance crew khusus untuk di mesin Jet-

Dyeing ada 4 orang yang bekerja selama 24 jam dalam satu hari oleh karena itu

maintenance crew dibagi menjadi 3 shift perhari, jadi dalam satu shift hanya ada 1

maintenance crew yang bekerja selama 8 jam selebihnya dianggap lembur dan ada

satu orang maintenance crew yang bekerja non shift. Untuk gaji tetap seorang

maintenance crew mendapat gaji sebesar Rp 1.500.000 per bulan.

Dalam penelitian tugas akhir ini akan ditentukan jumlah maintenance crew yang

optimal yang bertujuan agar jumlah maintenance crew (tim kerja dan perangkatnya)

tidak berlebihan atau bahkan kurang. Karena dengan banyaknya maintenance crew

akan menyebabkan biaya overhead yang meningkat, tetapi kurangnya maintenance

crew juga akan menyebabkan cost tinggi karena akan menimbulkan downtime yang

akan mengurangi profit perusahaan.

Sebelum menentukan jumlah maintenance crew perlu dilakukan penghitungan

preventive maintenance cost dengan menentukan generic maintenance strategy

terlebih dahulu. Kemudian menentukan total life cycle cost dari mesin Jet-Dyeing.

Setelah itu penentuan umur mesin dan jumlah maintenance crew, perlu juga

dilakukan penentuan jumlah mesin yang optimal agar proses produksi tidak

terganggu dan juga agar cost yang dikeluarkan tinggi. Karena apabila jumlah mesin

berlebihan maka akan meningkatkan cost karena biaya perawatan yang tinggi dan

juga menambah investasi, sedangkan apabila kekurangan mesin akan menyebabkan

downtime yang akan mengurangi profit perusahaan.

Untuk menentukan jumlah maintenance crew dan optimal banyaknya mesin akan

menggunakan metode Life Cycle Cost (LCC). Dalam perhitungan menggunakan

Page 4: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

4

metode Lide Cycle Cost (LCC) ada beberapa biaya-biaya terkait yang akan dilibatkan

dalam perhitungan sehingga dapat dilakukan penentuan jumlah maintenance crew

yang optimal dengan cost yang minimal.

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan diangkat sebagai bahan penelitian tugas akhir ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana menentukan Generic Maintenance Strategy dengan menggunakan

metode FMECA (Failure Modes and Effective Analysis)?

2. Bagaimana menentukan preventive maintenance cost berdasarkan Generic

Maintenance Startegy yang sudah didapatkan?

3. Bagaimana menghitung dan menentukan total life cycle cost mesin Jet-

Dyeing?

4. Bagaimana menentukan jumlah maintenance crew optimal untuk mengatasi

down time dengan menggunakan metode Life Cycle Cost?

5. Bagaimana menentukan jumlah mesin Jet-Dyeing yang harus digunakan agar

jumlah produksi dapat terpenuhi?

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat ditentukan tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Menentukan Generic Maintenance Strategy berdasarkan FMCEA (Failure

Modes and Effective Analysis).

2. Menentukan preventive maintenance cost berdasarkan Generic Maintenance

Startegy yang sudah didapatkan.

3. Dapat menghitung dan menentukan life cycle cost dari mesin Jet-Dyeing.

4. Menentukan jumlah maintenance crew yang optimal bagi mesin Jet-Dyeing

berdasarkan life cycle cost.

5. Menentukan jumlah mesin Jet-Dyeing yang optimal berdasarkan life cycle

cost..

Page 5: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

5

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tugas akhir ini adalah:

1. Penelitian ini dapat memberikan maintenance cost yang harus dikeluarkan

oleh perusahaan.

2. Penelitian ini dapat memberikan usulan kepada perusahaan sebagai acuan

untuk menetukan jumlah maintenance crew yang optimal

3. Penelitian ini dapat menjadi referensi untuk menentukan jumlah mesin yang

optimal untuk mesin Jet-Dyeing.

I.5. Batasan Masalah

Ada beberapa hal yang menjadi batasan dalam pembahasan penelitian ini, yaitu:

1. Penelitian hanya dilakukan pada mesin Jet-Dyeing.

2. Biaya-biaya yang digunakan dalam perhitungan dapat menggunakan asumsi

atau range nilai yang diberikan perusahaan.

3. Penelitian hanya dibatasi sampai pada pengajuan usulan, sedangkan

implementasi dan penerapan usulan tidak dibahas dalam penelitian ini.

I.6. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Pada bab pendahuluan ini diuraikan latar belakang dalam permasalahan yang

dibahas. Hal yang terpenting adalah dinyatakannya permasalahan yang dimulai dari

area masalah yang luas hingga menuju pertanyaan yang diajukan pada penelitian.

Selain itu juga terdapat perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

pembatasan masalah, serta sistematika dalam penelitian.

Page 6: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

6

Bab II Landasan Teori

Tinjauan pustaka berisi kajian mengenai teori yang akan digunakan untuk penelitian.

Pembahasan ini meliputi teori-teori yang menjadi dasar pemikiran untuk pemecahan

masalah. Tujuan dari bab ini adalah memberikan acuan ilmiah yang berguna untuk

membentuk kerangka berpikir yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian. Teori-

teori yang akan menjadi acuan pada penelitian ini adalah mengenai manajemen

perawatan dengan beberapa tools, yaitu : Life Cycle Cost (LCC).

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan kerangka berpikir penyelesaian masalah dalam pelaksanaan

penelitian. Dengan adanya kerangka berpikir, arah penelitian akan terjaga dalam

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Penyelesaian masalah

disesuaikan dengan kondisi perusahaan saat penelitian dilakukan yang didasari oleh

teori-teori yang terdapat pada bab II.

Page 7: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

7

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dijelaskan metode yang digunakan dalam menyelesaikan masalah

yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Metode yang dapat digunakan untuk

menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi pada mesin Jet-Dyeing ini LCC (Life

Cycle Cost). Pada penelitian ini, teori-teori beserta dengan konsepnya akan digunakan

untuk menyelesaikan masalah pada mesin Jet-Dyeing di PT. SIPATEX.

II.1.1. Manajemen Perawatan

Perawatan (maintenance) menurut The American Management Association, Inc.

(1971) adalah kegiatan yang rutin atau pekerjaan berulang yang dilakukan untuk

menjaga kondisi fasilitas produksi agar dapat dipergunakan sesuai dengan fungsi dan

kapasitas sebenarnya secara efisien. Perawatan juga dapat didefinisikan sebagai

aktivitas agar komponen atau sistem yang rusak akan dikembalikan atau diperbaiki

dalam suatu kondisi tertentu pada periode tertentu (Ebeling, 1997: 5). Maintenance

atau perawatan juga dilakukan untuk menjaga agar peralatan tetap berada dalam

kondisi yang dapat diterima oleh penggunaannya. Manajemen perawatan bertujuan

untuk menjamin tersedianya peralatan atau mesin dalam kondisi yang mampu

memberikan keuntungan, kesiapan peralatan cadangan dalam situasi darurat,

misalnya sistem pemadam kebakaran, pembangkit listrik, dan sebagainya.

Keselamatan manusia yang menggunakan peralatan dan memperpanjang masa pakai

peralatan atau paling tidak menjaga agar masa pakai peralatan tersebut tidak kurang

dari masa pakai yang telah dijamin oleh pembuat peralatan tersebut Menurut Lindley

R. Higgis & R. Keith Mobley, (Maintenance Enginering Handbook, Sixth Edition,

McGraw-Hill, 2002). Klasifikasi perawatan dapat dilihat pada Gambar II.1.

Page 8: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

8

MAINTENANCE

CORRECTIVE

MAINTENANCE

PREVENTIVE

MAINTENANCE

CONDITION BASED

MAINTENANCE

TIME DIRECTED

MAINTENANCE

FAILURE FINDING

RUN TO FAILURE

Gambar II. 1 Klasifikasi Maintenance

II.1.1 Perawatan Pencegahan (Preventive Maintenance)

Preventive maintenance adalah tindakan terjadwal yang dilakukan untuk memelihara

atau mempertahankan sistem pada level tertentu dengan menyediakan tinjauan yang

sistematis, deteksi, dan/atau pencegahan kegagalan yang akan datang (Blanchard dan

Fabrycky, 1990, Hal. 350).

Tujuan preventive maintenance adalah sebagai berikut :

1. Mencegah atau meminimasi akibat terjadinya kegagalan

2. Mendeteksi kegagalan

3. Menemukan kegagalan tersembunyi

4. Meningkatkan reliabilty dan availability komponen atau sistem tersebut.

II.1.1.1. Perawatan Berdasarkan Variabel Waktu (Time Directed Maintenance)

Time directed maintenance dapat dilakukan apabila variabel waktu dari komponen

atau sistem diketahui. Kebijakan perawatan yang sesuai untuk diterapkan pada time

directed maintenance adalah periodic maintenance dan on-condition maintenance.

Periodic maintenance (hard time maintenance) merupakan perawatan pencegahan

yang dilakukan secara terjadwal dan bertujuan untuk mengganti sebuah komponen

atau sistem berdasarkan interval waktu tertentu. Faktor yang mendasari periodic

Page 9: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

9

maintenance adalah faktor keamanan dan faktor ekonomi. On-condition maintenance

merupakan kegiatan perawatan yang dilakukan berdasarkan kebijakan operator.

Faktor yang mendasari dua jenis Time Based Maintenance di atas, yaitu :

1. Faktor Keamanan (Safe Life Limit)

Kegiatan perawatan dilakukan karena tuntutan terhadap faktor keamanan atau

faktor keselamatan yang tinggi.

2. Faktor Ekonomi (Economic Life Limit)

Dilakukan untuk kegiatan perawatan yang membutuhkan biaya yang besar.

II.1.1.2. Condition Based Maintenance

Condition based maintenance merupakan aktivitas perawatan pencegahan yang

dilakukan berdasarkan kondisi tertentu dari suatu komponen atau sistem, yang

bertujuan untuk mengantisipasi sebuah komponen atau sistem agar tidak mengalami

kerusakan. Aktivitas ini dilakukan apabila variable waktu tidak diketahui secara

tepat, oleh karena itu kebijakan yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah predictive

maintenance. Predictive maintenance merupakan suatu kegiatan perawatan yang

dilakukan dengan menggunakan sistem monitoring, antara lain pengukuran suara,

analisis getar, analisis dan komposisi gas.

II.1.1.3. Failure Finding

Failure Finding merupakan kegiatan perawatan pencegahan yang bertujuan

menemukan kegagalan yang tersembunyi, dilakukan dengan cara memeriksa fungsi

tersembunyi (hidden function) secara periodik untuk memastikan kapan suatu

komponen mengalami kegagalan.

II.1.1.4. Run to Failure

Run to Failure atau disebut juga no schedule maintenance dilakukan jika tidak ada

tindakan pencegahan yang efektif dan efisien yang dapat dilakukan, jika dilakukan

Page 10: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

10

tindakan pencegahan terlalu mahal atau dampak kegagalan tidak terlalu esensial

(tidak terlalu berpengaruh). Perawatan ini tergolong perawatan pencegahan karena

faktor kesengajaan dalam membiarkan perangkat mengalami kerusakan.

II.1.2. Perawatan Perbaikan (Corrective Maintenance)

Corrective maintenance adalah tindakan yang dilaksanakan tidak terjadwal, sebagai

akibat dari kegagalan, untuk mengembalikan sistem pada level kinerja tertentu

(Blanchard dan Fabrycky, 1990, Hal. 350).

II.2. Mesin Jet-Dyeing

Mesin Jet-Dyeing adalah mesin yang digunakan dalam proses dyeing (pencelupan).

Proses dyeing (pencelupan) merupakan proses mewarnai kain secara merata dengan

cara pencelupan. Beberapa bahan kimia penting yang digunakan dalam proses ini

antara lain vat dyes, sulfur dyes, reactive dyes, dispers dyes, acid dyes, methal

complex dyes, basic dyes, dsb. Proses dyeing merupakan salah satu proses inti yang

mempengaruhi kualitas hasil produksi, maka dari itu mesin yang digunakan dalam

proses ini perlu dilakukan suatu manajemen perawatan mesin yang mampu

meminimalisasi kerusakan-kerusakan yang sering terjadi pada part-part tertentu

sehingga fungsi mesin dapat optimal sesuai dengan standar-standar yang telah

ditetapkan.

Page 11: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

11

Mesin Jet-Dyeing

Water Stop

Bolt 1/2

Oil Chamber Hole

Shaft Connection

Flange

Motor Shaft

Shaft

Check Nut

Sun Seal

Predestal Cap

Pump shell

Carbon

Seal

Pump Pedeatal

Body

Bearing

Mechanical Seal

Oil Seal

Stainless Spring

Rubber Ring

Nut

Pump Cap

Spring Seal

Stainless Collar

II.2.1. Gambar II. 2 Breakdown Struture Mesin Jet-Dyeing

Mesin Jet-Dyeing terdiri dari 31 jenis komponen yang berbeda-beda. Setiap komponen yang

ada didalam mesin Jet-Dyeing mempunyai fungsi yang berbeda-beda, yang apabila salah

satu komponen tersebut rusak maka akan mengganggu kegiatan produksi. Oleh karena itu

perlu dilakukan kegiatan perawatan yang tepat untuk setiap komponen.

II.2.2. Proses Mesin Jet-Dyeing

Mesin Jet-Dyeing ini akan memproses kain dalam ukuran besar untuk diwarnai sesuai

dengan permintaan dari pemesan. Mesin Jet-Dyeing ini memiliki beberapa part yang

bergerak sesuai dengan fungsinya masing-masing. Mesin Jet-Dyeing ini masih

Page 12: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

12

menggunakan operator untuk mengatur sistem dalam proses dan untuk membantu

dalam pemasukkan kain kedalam mesin. Kain yang telah dimasukkan dalam mesin

akan diatur sedemikian rupa sehingga memiliki alur yang terus menerus bergerak

memutar dalam mesin untuk diwarnai. Dalam mesin ini memiliki larutan berupa zat

pewarna dan zat pembantu yang digunakan dalam pewarnaan kain. Kain akan

bergerak memutar dengan kecepatan tinggi.

Mesin ini memiliki 2 komponen yang memiliki fungsi penting dalam proses

berjalannya mesin yaitu, Mechanical Seal Reel dan Mechanical Seal Pump. Kain

yang diletakkan dalam larutan zat pewarna dan zat pembantu akan berputar melalui

Mechanical Seal Reel dengan kecepatan yang tinggi. Sedangkan Mechanical Seal

Pump akan menyemprotkan larutan yang ada di dalam mesin tersebut ke kain yang

berputar. Hal ini dilakukan agar zat pewarna yang telah menempel pada kain dapat

menyerap dengan baik. Proses ini akan berlangsung selama waktu 2-3 jam. Laju dari

proses pewarnaan kain dapat dilihat pada Gambar II.2.

Gambar II. 2 Laju Proses Pewarnaan Kain

0

20

40

60

80

100

120

140

160

1 jam 1,25jam

1,5 jam 1,75jam

2 jam 3 jam

Suh

u

Waktu

Laju Proses Pewarnaan

Laju Proses Pewarnaan

Page 13: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

13

Grafik tersebut menunjukkan hubungan antara peningkatan suhu air terhadap waktu

berjalannya proses. Awal pemanasan berada pada 35o

C, yang kemudian akan

meningkat sampai pada 135oC. Pada tingkat 135

o C ini lah zat pewarna akan mulai

melekat pada kain dengan keadaan yang stabil antara 1-3 jam. Kemudian tingkat suhu

akan turun menjadi 60oC, keadaan ini disebut dengan cooling yang menunjukkan

bahwa kain telah selesai dalam proses pewarnaannya dan dapat diangkat oleh

operator.

II.2.3. Kapasitas Mesin Jet-Dyeing

Mesin Jet-Dyeing ini memiliki kapasitas yang berbeda-beda. Hal ini dimaksudkan

agar semua jenis tipe kain dapat diolah dan diproses dalam mesin Jet-Dyeing ini,

sehingga dapat mempercepat hasil produksi.

Kapasitas yang berbeda ini terjadi karena memenuhi density yang berbeda pula,

sehingga mesin diharuskan untuk bisa menghasilkan kain dengan panjang yang sama.

Density merupakan berat volume suatu kepadatan kain. Berikut merupakan kapasitas

dari mesin Jet-Dyeing:

1. 300 kg

2. 500 kg

3. 800 kg

4. 1200 kg

Dari beberapa kapasitas mesin Jet-Dyeing ini menunjukkan bahwa kain yang akan

diproses memiliki satuan kg (kilogram). Berat kain yang berbeda-beda terjadi

berdasarkan pada tipe kain yang akan diproses. Maka dari itu mesin Jet-Dyeing ini

memiliki kapasitas yang berbeda agar dapat mengatasi tipe kain yang berbeda pula.

II.2.4. Parameter Proses Mesin Jet-Dyeing

Page 14: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

14

Mesin Jet-Dyeing ini memiliki beberapa parameter dalam menjalankan fungsinya

agar prosesnya berjalan dengan baik. Berikut merupakan parameter-parameter proses

pada mesin Jet-Dyeing:

II.2.3.1. Air

Pada mesin Jet-Dyeing perbandingan antara kain dengan air adalah 1:10. Ada

beberapa tipe perbandingan yang saat ini digunakan oleh mesin-mesin pada

perusahaan manufacture. Berikut merupakan beberapa perbandingan yang ada pada

mesin Dyeing (pencelupan):

Tabel II. 1 Tabel Perbandingan Jumlah Air dan Berat Kain

No Kain Air

1. 1 Kg 10 Liter

2. 1 Kg 7 Liter

3. 1 Kg 3 Liter

Tabel di atas menunjukkan beberapa perbandingan antara penggunaan air dan berat

kain. Pada PT. SIPATEX perbandingan yang ada pada mesin Jet-Dyeing adalah

perbandingan 1 kg kain dengan 10 liter air dan 7 liter air. Semakin kecil jumlah air

yang digunakan sebagai pembanding untuk kain, maka semakin baik karena mesin

Jet-Dyeing akan menghemat energi dalam pemanasan air dalam proses dyeing

(pencelupan).

Air yang digunakan berasal dari danau buatan yang dimiliki perusahaan. Air dari

danau buatan tersebut kemudian diolah lagi agar mendapatkan air yang jernih dan

meliki kesadahan < 20ppm, sehingga air tersebut layak untuk digunakan dalam

Page 15: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

15

proses dyeing (pencelupan). Air tersebut diolah di dalam water treatment yang

memiliki beberapa proses penyaringan sehingga mendapatkan air dengan tingkat

kesadahan <20ppm.

II.2.3.2. Temperature

Proses dyeing (pencelupan) dengan menggunakan mesin Jet-Dyeing memerlukan

proses pemanasan pada larutan air yang ada pada mesin. Pemanasan akan mulai pada

35oC lalu meningkat terus menerus sampai pada titik panas dengan suhu ±135

oC.

pada ukuran suhu ini lah kain akan mulai menyerap zat pewarna selama kurang lebih

2 jam larutan ini akan menyerap pada kain. Pada umumnya PT.SIPATEX dapat

memproduksi kain jenis polyester yang akan menyerap zat pewarna pada suhu stabil

135o selama kuran lebih 2 jam.

Kain polyester adalah jenis kain yang berbahan dasar serat synthesis (buatan).

Biasanya kain polyester menghasilkan berbagai jenis motif dan warna-warni. Kain

polyester ini memiliki beberapa sifat, yaitu:

1. Jika dibakar seperti plastic

2. Bersifat panas

3. Susah menghilangkan noda

4. Tahan air (jika direndam lama)

II.2.3.3. Chemical

Dalam proses dyeing (pencelupan) menggunakan larutan air yang terdiri dari zat

warna dan juga zat pembantu. Zat pewarna yang dimaksud adalah pewarna utama

yang akan digunakan untuk mewarnai kain sesuai dengan permintaan. Zat pewarna

ini memiliki kadar yang sebanding dengan berat kain yang akan diproses di dalam

Page 16: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

16

mesin Jet-Dyeing. Sedangkan zat pembantu adalah zat yang akan membantu proses

pewarnaan pada kain agar warna yang telah menyatu dengan kain ini cepat meresap.

Zat pembantu ini memiliki kadar yang sebanding dengan banyaknya air yang

digunakan dalam proses. Zat-zat ini lah yang ada pada mesin Jet-Dyeing untuk

membantu proses pada pencelupan kain.

II.2.3.4. Energi yang Digunakan Mesin Jet-Dyeing

Mesin Jet-Dyeing ini membutuhkan beberapa energi dalam menjalankan prosesnya.

Berikut beberapa energi yang dibutuhkan oleh mesin Jet-Dyeing:

1. Air : air ini sangat dibutuhkan dalam proses dyeing (pencelupan). Air yang

digunakan dalam proses dyeing ini adalah air yang sudah sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan untuk proses dyeing (pencelupan). Untuk itu

diperlukan pemrosesan terhadap air yang akan digunakan. Dalam pemrosesan

ini ini dibutuhkan energi yang akan memproses air sehingga air layak untuk

digunakan sebagai zat dalam mesin Jet-Dyeing. Air yang layak memiliki

kriteria-kriteria, seperti: harus berada pada ukuran PH 7, kesadahan air

<20ppm, dan air tersebut harus benar-benar jernih.

2. Listrik : energi listrik ini dibutuhkan semua mesin yang bergerak pada

perusahaan, termasuk mesin Jet-Dyeing. Energi listrik ini digunakan sebagai

penggerak pada mesin, sehingga mesin akan memproses dengan baik.

3. Steam (uap) : steam (uap) ini digunakan sebagai pemanas pada mesin Jet-

Dyeing. Steam ini digunakan untuk memanaskan larutan yang ada pada mesin

sehingga proses pencelupan akan berjalan dengan lancar dan kain akan

memiliki warna yang terserap dengan baik.

II.3. Pola Kerusakan (Failure Pattern)

Page 17: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

17

Pola kerusakan sebuah komponen biasanya digambarkan dalam sebuah kurva yang

disebut sebagai kurva Bathub seperti pada Gambar II.3 Bath Tub Curve.

Gambar II. 3 Bathub Curve

(Sumber: Ebeling, 1997, Hal. 31)

Dari Gambar II.3, dapat diketahui pola kerusakan dapat dibagi menjadi tiga fase,

yaitu:

1. Fase I (Burn-In Periode)

Disebut juga periode early failure atau burn-in. Dimulai dengan laju kerusakan

yang tinggi dan akan menurun seiring dengan penambahan waktu operasi

komponen. Peluang kegagalan pada saat ini akan lebih kecil daripada saat

komponen tersebut pertama kali beroperasi. Komponen pada fase ini mempunyai

fungsi kepadatan probabilitas weibull 1 .

2. Fase II (Useful Life Periode)

Fase ini menggambarkan laju kerusakan yang cenderung konstan seiring

penambahan waktu operasi komponen. Terjadinya kerusakan tidak dipengaruhi

oleh waktu operasi komponen. Komponen yang berada pada fase ini mempunyai

fungsi kepadatan probabilitas eksponensial, dan weibull dengan 1 .

3. Fase III ( Wear-Out Periode)

Page 18: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

18

Fase ini ditandai dengan laju kerusakan meningkat seiring dengan bertambahnya

waktu operasi komponen. Komponen yang berada pada daerah ini mempunyai

fungsi kepadatan probabilitas normal dan weibull dengan 1 .

II.4. Reliability (Keandalan)

Reliabilty merupakan probabilitas bahwa suatu komponen/sistem akan

menginformasikan suatu fungsi yang dibutuhkan dalam periode waktu tertentu ketika

digunakan dalam kondisi operasi (Charles E. Ebeling, 1997). Menurut Blanchard

(1994) reliabilty merupakan probabilitas bahwa sebuah unit akan memberikan

kemampuan yang memuaskan untuk suatu tujuan tertentu dalam periode waktu

tertentu ketika dalam kondisi lingkungan tertentu.

Nilai keandalan suatu komponen maupun sistem biasanya dinyatakan dalam bentuk

probabilitas/peluang, dengan nilai R (Reliability) antara 0 – 1. Nilai 0 menunjukkan

kondisi komponen/sistem yang dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan tanpa

terjadi kegagalan (terdapat peluang sebesar 0 bahwa akan terjadi kegagalan fungsi

pada komponen/sistem). Nilai 1 menyatakan kondisi komponen/sistem tidak dapat

berfungsi sama sekali. Keandalan dari sebuah komponen dapat menurun sesuai

dengan bertambahnya waktu. Maka untuk mengukur keandalan tersebut digunakan

fungsi keandalan yang oleh Charles Ebeling (1997) dinyatakan dalam bentuk:

R(t) = Reliability = Peluang sebuah sistem dapat berfungsi dengan baik selama (0,t)

R(t) = P {komponen/sistem beroperasi pada saat t}

Jika x = umur suatu komponen, maka :

R(t) = P (x > t) = 1 – P (x ≤ t) = 1 – F(t), di mana F (t) merupakan cumulative

distribution function (c.d.f) dari umur komponen.

Jika F(t) diturunkan maka akan diperoleh:

𝑑𝐹(𝑡)

𝑑𝑡=

𝑑(1−𝑅(𝑡))

𝑑𝑡= −

𝑑𝑅(𝑡)

𝑑𝑡 = 𝑓(𝑡) ………………………………………... II - 1

Page 19: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

19

Dengan demikian fungsi R(t) menjadi :

𝑅(𝑡) = 1 − ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡𝑡

0= ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡

𝑡 ………………………………………... II - 2

f(t) adalah fungsi kepadatan peluang (probability density function) yang menyatakan

kemungkinan terjadinya kegagalan pada komponen/sistem untuk periode waktu

tertentu.

II.4.1. Fungsi Kepadatan Probabilitas (pdf)

Fungsi kepadatan probabilitas adalah fungsi yang menunjukkan probabilitas

terjadinya suatu kejadian pada periode T tertentu. Syarat sebuah fungsi menjadi

sebuah pdf adalah luas di bawah kurva fungsi tersebut = 1. Pdf untuk distribusi

Eksponensial, Normal, dan Weibull adalah sebagai berikut :

1. Distribusi Eksponensial

𝑓(𝑇) = 𝜆𝑒−𝜆𝑇 …………………………………………………………........ II.3

2. Distribusi Normal

𝑓(𝑇) =1

𝜎𝑇√2𝜋𝑒−

1

2 (𝑇−�̅�

𝜎𝑇) ………………………………………………….… II.4

3. Distribusi Weibull

𝑓(𝑇) =𝛽

𝜂(

𝑇−𝛾

𝜂)

𝛽−1

𝑒−(

𝑇−𝛾

𝜂)

𝛽

………………………………….……………. II.5

II.4.2. Fungsi Keandalan (R(T))

Fungsi keandalan adalah fungsi yang menunjukkan kemungkinan bahwa komponen,

produk atau sistem dapat menjalankan fungsinya secara memuaskan tanpa mengalami

kegagalan pada kondisi tertentu atau dalam periode waktu tertentu (T). Hubungan

fungsi kehandalan R(T) dengan fungsi kepadatan probabilitas (pdf) dapat dijabarkan

secara sistematis sebagai berikut:

Page 20: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

20

R(T) = ∫ 𝑓 (𝑇)𝑑𝑇∞

𝑇 …………………………………………………......... II.6

Fungsi keandalan untuk distribusi Eksponensial, Normal, dan Weibull adalah sebagai

berikut :

1. Distribusi Eksponensial

𝑅(𝑇) = 𝑒−𝜆𝑇 ……………………………………………………………........ II.7

2. Distribusi Normal

𝑅(𝑇) = ∫1

𝜎𝑇√2𝜋𝑒−

1

2 (𝑇−�̅�

𝜎𝑇)

𝑇 ………………………………..………………... II.8

3. Distribusi Weibull

𝑅(𝑇) = 𝑒−(

𝑇−𝛾

𝜂)

𝛽

………………………………………………….………… II.9

II.4.3. Fungsi Laju Kerusakan (λ)

Fungsi laju kerusakan merupakan tingkat kerusakan yang terjadi tiap satuan waktu

(T).

1. Distribusi Eksponensial

𝜆(𝑇) =𝑓(𝑇)

𝑅(𝑇)=

𝜆𝑒−𝜆𝑇

𝑒−𝜆𝑇 …………………………………………….………….. II.10

2. Distribusi Normal

𝜆(𝑇) =𝑓(𝑇)

𝑅(𝑇)=

1

𝜎𝑇√2𝜋𝑒

−12(

𝑇−�̅�

𝜎𝑇)

∫1

𝜎𝑇√2𝜋𝑒

−12(

𝑇−�̅�

𝜎𝑇)

𝑇

……………………………………..……….. II.11

3. Distribusi Weibull

𝜆(𝑇) =𝑓(𝑇)

𝑅(𝑇)=

𝛽

𝜂(

𝑇−𝛾

𝜂)

𝛽−1𝑒

−(𝑇−𝛾

𝜂)

𝛽

𝑒−(

𝑇−𝛾𝜂

)𝛽 =

𝛽

𝜂(

𝑇−𝛾

𝜂)

𝛽−1

…………………….………. II.12

II.5. Konsep Availability

Page 21: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

21

Availability (ketersediaan) adalah probabilitas bahwa sistem akan beroperasi

secara memuaskan, memenuhi fungsinya, dan tepat waktu jika digunakan pada

kondisi tertentu.

Ada 3 (tiga) tipe availability, yaitu :

1. Inherint availability

Down timenya hanya memperhitungkan active repair time

A = MTTRMTBF

MTBF

…………………………………………… II.13

2. Achieved availability

Down timenya memperhatikan active repair time dan memasukan preventive

maintenance dalam kondisi ideal

Ao = MMTBM

MTBM

............................................................................... II. 14

Dimana MTBM = f

1 ..................................................................... II.15

3. Operasional availability

Memperhatikan seluruh down time. Kondisi operasional aktual

Availability = timetotal

uptime=

totaltime

timedowntimetotal ............................. II.16

faktor-faktor yang mempengaruhi availability dapat dilihat pada gambar II.4 berikut

ini:

Page 22: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

22

AVAILABILITY

Kemampu-

rawatan

Kualitas

Perawatan

Preventive

MaintenanceDesain

Laju

KegagalanDown Time

Waktu

Corretive

Maintenance

Keterlambatan

Sumber

daya

Kontrol dan

informasi

Kontrol dan

efisiensi

Peralatan dan

metode

Waktu

Preventive

Maintenance

Gambar II. 4 Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Availability

II.6. FMECA (Failure Mode and Effect Criticality Analysis)

FMECA terdiri dari dua analisi yang terpisah yaitu FMEA (Failure Mode and Effect

Analysis) dan CA (Criticality Analysis). FMEA menganalisis kegagalan yang

berbeda efeknya terhadap system sedangkan CA mengklasifikasikan atau

mengutamakan tingkatan kegagalan berdasarkan tingkat kegagalan dan tingkat

keparahan efek gagal. Proses ranking dari CA dapat dicapai dengan memanfaatkan

data kegagalan yang ada atau dengan prosedur peringkat subjektif yang dilakukan

sekelompok orang dengan pemahaman tentang system.

Menurut Blanchard et al.(1995, p235), FMECA adalah suatu teknik desain yang

digunakan untuk mengidentifikasi dan menginvestigasi secara sistematis kelemahan

potensial sebuah sistem (produk atau proses). FMECA meliputi metodologi untuk

memeriksa semua cara dimana suatu kegagalan sistem dapat terjadi, efek potensial

dari kegagalan pada performa sistem dan keamanan, dan tingkat keseriusan dari efek

tersebut.

Page 23: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

23

Dengan FMECA, perusahaan tidak hanya mendapat keuntungan untuk melakukan

identifikasi tindakan apa yang dapat mengeliminasi atau mengurangi kemungkinan

kegagalan potensial, perusahaan juga mendapatkan pengetahuan tentang sistem dan

menambah masukan tentang tingkah laku sistem yang diharapkan. FMECA biasanya

dilakukan selama tahap konseptual dan tahap awal design dari sistem dengan tujuan

untuk meyakinkan bahwa semua kemungkinan kegagalan telah dipertimbangkan dan

usaha yang tepat untuk mengatasinya telah dibuat untuk meminimasi semua

kegagalan – kegagalan yang potensial.

Pada awalnya, FMECA dijalankan selama pada tahap desain, tapi juga digunakan

pada tahap daur hidup dari produk untuk mengidentifikasi kemungkinan kegagalan –

kegagalan pada saat sistem sudah berjalan cukup lama. Definisi serta pengurutan

atau pemberian rangking dari berbagai terminologi dalam FMECA adalah sebagai

berikut :

a. Penggambaran kebutuhan sistem (produk/ proses), untuk beberapa produk atau

proses itu sangat penting tidak hanya untuk tujuan keinginan tetapi juga

ketidakinginan terhadap hasil atau keluaran, apa yang harus dipenuhi oleh produk/

proses, pada akhirnya kebutuhan tersebut akan kembali meninggalkan jejak yang

dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan kebutuhan pelanggan, semua performansi dan

faktor efektivitas dibutuhkan untuk memenuhi tujuan tersebut.

b. Pemenuhan analisis fungsional, ini melibatkan pendefinisian sistem pada fungsi

terminologi. Sistem fungsional biasanya menggunakan simbol yang representatif

seperti diagram alir fungsional. Fungsi sistem representatif dilengkapi dengan

kumpulan format data diagram alir seperti N-Squared Chart, untuk sedikit

meningkatkan sistem dari setiap karakteristik/ prilaku.

c. Pemenuhan alokasi kebutuhan, ini adalah naik turunnya kerusakan sistem ukuran

kebutuhan untuk beberapa kesatuan fungsional (produk/ proses) dalam sistem

hierarki fungsional. Ini sangat penting untuk mengidentifikasikan pencapaian

performansi, efektivitas, masukan atau keluaran, keseluruhan keluaran, kecepatan

dan faktor lain untuk masing-masing blok fungsional.

Page 24: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

24

d. Mengidentifikasikan jenis kerusakan, pada konteks analisis ini, jenis kerusakan

mempunyai arti dimana sistem dari sebuah elemen gagal untuk memenuhi fungsinya.

Sebagai contoh; gagal membuka atau menyalakan sebuah mesin.

e. Menentukan penyebab dari kerusakan, analisis ini melibatkan seluruh proses atau

produk yang dibutuhkan untuk membatasi penyebab dari kerusakan pada umumnya.

Kelompok pemenuhan melaksanakan FMECA untuk memfasilitasi proses

identifikasi dari kumpulan penyebab yang potensial lainnya. Ketika pengalaman

dengan sistem serupa memiliki keterbatasan yang lebih untuk memenuhi langkah-

langkah pada proses analisis, teknik seperti diagram sebab dan akibat ishikawa juga

dikenal dengan diagram tulang ikan, bisa membuktikan efektivitas yang tinggi untuk

menggambarkan penyebab potensial untuk setiap kerusakan.

f. Menentukan efek dari kerusakan. Dampak kegagalan sering terjadi dalam beberapa

cara, efektivitas dan pencapaian tidak hanya berhubungan dengan unsur fungsional,

tapi juga keseluruhan sistem, ketika melaksanakan FMECA sangat penting untuk

mempertimbangkan efek kegagalan pada level tinggi berikutnya, mengukur kesatuan

fungsional bersamaan dengan dampak pada keseluruhan sistem. Pada posisi lain,

ketika menganalisa suatu proses, sangat penting untuk menunjukkan kegagalan yang

mempengaruhi sebuah proses.

g. Menilai keburukan dari jenis kerusakan. Pada konteks analisis ini berhubungan

dengan efek atau akibat yang serius terhadap jenis kerusakan pada umunya.

Mengidentifikasi pendeteksi kerusakan yang berarti, pada kontek ini, sebuah proses

dengan orientasi FMECA, menunjuk pada pengendalian aliran proses yang bisa

mendeteksi terjadinya kegagalan atau cacat. Bagaimanapun, ketika FMECA terfokus

pada perancangan ini menunjukkan pada eksistensi dari beberapa jenis perancangan,

bantuan, ukuran, pembacaan atau prosedur verifikasi yang akan mendeteksi hasil dari

jenis kerusakan yang potensial. Pada standar pengukuran MIL-STD-1629A. Tujuan

dari pengklasifikasian efek kerusakan dapat dibagi menjadi 4 jenis kerusakan, yaitu:

a. Akibat Kecelakaan: Sebuah kerusakan yang dapat mengakibatkan hilangnya

sebuah kehidupan pribadi dan kerugian terhadap suatu sistem yang lengkap.

b. Kritis: Kerusakan yang berpotensial menyebabkan kerugian yang serius dan

sistem kerusakan yang signifikan dan kehilangan dari sistem fungsional.

Page 25: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

25

c. Marginal: Kerusakan yang bisa menyebabkan kerugian personil, sistem

kerusakan dan degradasi sistem fungsional.

d. Minor: Kerusakan yang tidak cukup menyebabkan kerugian secara personil

atau sistem, tetapi menghasilkan kebutuhan terhadap beberapa pemeliharaan

korektif.

h. Menganalisa jenis kerusakan kritis, objek pada langkah ini memperkuat

informasi yang dihasilkan sampai sekarang. Pada usaha untuk membuat sket

pada aspek kritis lainnya pada perancangan sistem kekritisan pada konteks

analisis ini adalah fungsi dari frekuensi dari jenis kerusakan, keburukan dan

probabilitas yang akan dideteksi pada suatu waktu untuk menghalangi

dampak pada pengukuran sistem.

Pada sisi komersil dari spektrum terutama pada industri otomotif,

penggunaan dibuat dari suatu metrik jumlah prioritas resiko atau RPN, yang

dapat dinyatakan sebagai berikut:

RPN = S x O x D…………………………………………………………II.17

Dimana : S : Severity

O : Occurance

D : Detecability

a. Severity (S)

Serevity adalah tingkat keparahan atau efek yang ditimbulkan oleh mode

kegagalan terhadap keseluruhan mesin. Nilai Rating Severity antara 1 sampai

10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang

sangat besar terhadap system dan mengakibatkan cost yang tinggi.

Tabel II.2 Rating Severity

Rating Criteria of Severity Effect (cost)

10 Tidak berfungsi sama sekali

9 Kehilangan fungsi utama dan menimbulkan peringatan

Page 26: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

26

8 Kehilangan fungsi utama

7 Pengurangan fungsi utama

6 Kehilangan kenyamanan fungsi penggunaan

5 Mengurangi kenyamanan fungis penggunaan

4 Perubahan fungsi dan banyak pekerja menyadari adanya masalah

3 Tidak terdapat efek dan pekerja menyadari adanya masalah

2 Tidak terdapat efek dan pekerja tidak menyadari adanya masalah

1 Tidak ada efek

b. Occurence (O)

Occurence adalah tingkat keseringan terjadinya kerusakan atau kegagalan.

Occurence berhubungan dengan estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang

muncul akibat suatu penyebab tertentu pada mesin. Nilai Rating Occurrence

antara 1 sampai 10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki

nilai kumulatif yang tinggi atau sangat sering terjadi.

Tabel II.3 Rating Occurence

Rating Probability of Occurence

10 Lebih besar dari 100 per seribu kali penggunaan

9 50 per seribu kali penggunaan

8 20 per seribu kali penggunaan

7 10 per seribu kali penggunaan

6 5 per seribu kali penggunaan

5 2 per seribu kali penggunaan

4 1 per seribu kali penggunaan

3 0,5 per seribu kali penggunaan

2 Lebih kecil dari 0,1 per seribu kali penggunaan

1 Tidak pernah sama sekali

c. Detection (D)

Page 27: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

27

Detection diberikan pada sistem pengendalian yang digunakan saat ini yang

memiliki kemampuan untuk mendeteksi penyebab atau mode kegagalan. Nilai

Rating Detection berkisar antara 1 sampai 10.

Tabel II.4 Rating Detection

Rating Detection Design Control

10 Tidak mampu terdeteksi

9 Kesempatan yang sangat rendah dan sangan sulit untuk terdeteksi

8 Kesempatan yang sangat rendah dan sulit untuk terdeteksi

7 Kesempatan yang sangat rendah untuk terdeteksi

6 Kesempatan yang rendah untuk terdeteksi

5 Kesempatan yang sedang untuk terdeteksi

4 Kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi

3 Kesempatan yang tinggu untuk terdeteksi

2 Kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi

1 Pasti terdeteksi

Setelah tingkat Severity, Occurance dan Detection telah ditentukan, selanjutnya

akan dibuat suatu analisis tentang tingkat kritikalitas dari masingmasing penyebab

(Criticality Analysis) untuk menentukan prioritas penyelesaian masalah. Criticality

Analysis umumnya dilakukan dengan cara menghitung nilai dari Risk Priority

Number (RPN).

RPN merefleksikan tingkat kritikalitas dari failure-mode. Nilai failure-mode dengan

tingkat frekuensi kemunculan yang tinggi, dengan dampak yang signifikan pada

performa sistem, dan yang sulit dideteksi akan memiliki nilai RPN yang tinggi,

dimana memiliki tingkat kritikalitas yang tinggi. Dari nilai RPN yang didapatkan dari

tiap failure-mode yang ada, suatu perusahaan dapat menentukan prioritas dalam

menyelesaikan masalah yang terjadi dalam perusahaannya. Dengan menyelesaikan

masalah yang menjadi prioritas (vital few), dampak positif yang dihasilkan dari

Page 28: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

28

tindakan tersebut dapat menjadi sangat signifikan. Setelah dilakukan anailisis nilai

RPN (Risk Priority Number) maka dilakukan identifikasi tindakan-tindakan korektif

apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi mode kegagalan tersebut dengan

membuat Generic Maintenance Strategy.

II.6.1. Generic Maintenance Strategy

Generic Maintenance strategy adalah sebuah strategi pemeliharaan yang

mendefenisikan aturan dan urutan frekuensi kegiatan pemeliharaan. Generic

Maintenance Strategy dibuat berdasarkan hasil analisis dari RPN (Risk Priority

Number).

II.7. LCC (Life Cycle Cost)

Menurut Benjamin S Blanchard (1990), Life Cycle Cost merupakan penjumlahan

perkiraan biaya dari awal hingga penyelesaian, baik peralatan maupun proyek seperti

yang ditentukan oleh studi analisis dan perkiraan pengeluaran total yang dialami

selama hidup. Tujuan dari analisis LCC adalah untuk memilih pendekatan biaya yang

paling efektif dari serangkaian alternatif sehingga cost term ownership (kepemilikan)

yang paling minimum tercapai.

LCC analisis membantu engineer untuk memastikan pemilihan perlengkapan dan

proses berdasarkan pengeluaran total daripada harga pembelian awal. Biasanya biaya

operasi, maintenance, dan penyelesaian berkali lipat melebihi biaya yang lain. Biaya

siklus hidup merupakan pengeluaran total yang diperkirakan akan ada pada

perancangan, pengembangan, produksi, operasi, maintenance, support, dan

pengaturan akhir dari sistem utama di seluruh rentang waktu hidup (DOE 1995).

Keseimbangan terbaik antara elemen cost dicapai ketika total LCC paling kecil.

Seperti kebanyakan alat-alat teknik, LCC menyediakan hasil terbaik ketika seni dan

pengetahuan digabung dengan penilaian yang terbaik.

LCC = Ac C + St C ……………….…………………………………………… II.18

Page 29: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

29

Dimana LCC : Life Cycle Cost

Ac C : Acqusition Cost

St C : Sustaining Cost

Pada penelitian ini, analisa life cycle cost digunakan untuk menentukan banyaknya

jumlah site crew yang disediakan untuk memperbaiki kerusakan pada mesin Jet-

Dyeing.

II.7.1. Model Life Cycle Cost

Model adalah gambaran kecil dari suatu permasalahan yang dapat mewakili dan

mempresentasikan permasalahan yang sebenarnya. Dalam penelitian ini,

permasalahan dimodelkan melalui pendekatan LCC, yang diilustrasikan sebagai

berikut:

Life Cycle Cost

Shortage CostMaintenance CostOperating Cost

Sustaining Cost

Population CostPurchasing Cost

Acquisition Cost

Gambar II. 5 Model LCC (Life Cycle Cost)

II.7.2. Sustaining Cost

Sustaining cost merupakan biaya yang harus dikeluarkan atas kepemilikan suatu

perangkat selama periode tertentu. Sustaining merupakan penjumlahan dari annual

operating cost, annual maintenance cost dan annual shortage cost.

II.7.2.1. Operating Cost

Operating cost merupakan biaya yang harus dikeluarkan setiap periode atas

beroperasinya suatu alat. Dalam perhitungannya dirumuskan berdasarkan persamaan:

Page 30: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

30

OC = EC + (LC*TK)………………………………....................II.19

Dengan OC : Operating cost

EC : Energy cost

LC : Labor operating cost

TK : Tenaga kerja

II.7.2.2. Maintenance Cost

Maintenance cost merupakan biaya yang dikeluarkan sebagai ongkos perawatan atas

unit itu sendiri secara terus-menerus setiap periodenya selama unit tersebut

beroperasi. Dalam perhitungannya, maintenance cost dipengaruhi oleh banyaknya

jumlah repair channel yang disediakan dan besarnya ongkos perbaikan per unit,

dirumuskan sebagai berikut:

MC = (Cr + CL) + (CE + Cc)……………………………………II.20

Dimana : Cr : Repair/replace cost

CL : Labor repair cost

Ce : Consumable cost

CE : Equipment cost

MC : Maintenance

II.7.2.3. Shortage Cost

Shortage cost dihitung untuk mengetahui besarnya ongkos yang harus dikeluarkan

karena kurangnya perangkat sebagai akibat kekurangan jumlah channel untuk

memperbaiki perangkat yang rusak. Dalam melakukan perhitungan dilakukan dengan

mengikuti persamaan. Karena kurangnya perangkat sebagai akibat kekurangan

jumlah channel memperbaiki perangkat yang rusak. Dalam melakukan perhitungan

dilakukan mengikuti persamaan:

SC = Cs [E(S)]…………………………………………………...II.21

Dengan:

SC : Shortage Cost

E(S) : Jumlah channel yang kurang

Page 31: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

31

Cs : Shortage cost per unit

II.7.3. Teori Antrian

Teori antrian digunakan untuk mengetahui jumlah antrian yang terjadi didalam setiap

channel. Antrian bisa terjadi jika jumlah service line tidak seimbang dengan jumlah

kedatangan. Untuk distribusi eksponensial, baik untuk waktu antar kedatangan

maupun untuk pelayanan adalah sistem terbatas dengan waktu kedatangan tidak

bergantung pada waktu pelayanan. Ukuran populasi selalu lebih besar dari jumlah

service channel, dimodelkan dengan (M/M/R) : (GD/K/K), R<K

Perhitungan probabilitas antrian dalam sistem menggunakan persamaan sebagai

berikut:

Pr (w > 0) 𝑃₀,₀ (𝜆𝜇

) ͫ1

𝑀!(1−𝜌)= ……………………………………………II.22

Dengan :

W : Waiting time

P₀ ,₀ : Probabilitasn tidak terjadi antrian

M : Jumlah repair channel

P₀ ,₀ = 1

(𝜆𝜇)( 1

𝑀!)( 1(1−𝜌))+∑ 𝑟=𝑀−1

𝑟=0 (𝜆𝜇)( 1

𝑟!) …………………………..II.23

Untuk mencari probabilitas kerusakan n unit maka digunakan persamaan :

Pn = P₀ Cn …………………………………………………………………II.24

Dengan : 𝑃₀ =1

∑ 𝐶𝑛1𝑛=0

……………………………………………………II.25

Page 32: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

32

Dengan : N : Ukuran populasi

M : Jumlah repair channel

λ : Laju kerusakan

μ : Tingkat perbaikn

Cn : Kombinasi ke-n

II.7.4. Acquisition Cost

Annual acquisition cost merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal pembelian

sistem. Acquisition cost merupakan penjumlahan antara biaya yang harus dikeluarkan

seluruh perangkat selama hidupnya atau selisih antara biaya pembelian dengan nilai

sisa dari perangkat tersebut.

II.7.3.1. Purchasing Cost

Purchasing cost merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian

seluruh perangkat yang diperlukan dalam suatu sistem. Untuk setiap retirement age

yang berbeda maka akan mempunyai annual purchasing cost yang berbeda juga.

Dalam perhitungan purchasing cost diperlukan mengetahui besarnya suku bunga

untuk kredit.

II.7.3.2. Population Cost

Population cost merupakan biaya yang dikeluarkan setiap periode atas ke pemilikan

suatu alat. Population cost didapatkan dari annual equivalent cost per unit dikali

jumlah populasi unit perangkatnya. Equivalent cost merupakan selisih antara

purchasing cost dengan book value.

Dalam perhitungannya dipengaruhi oleh nilai book value, dirumuskaan dalam

persamaan sebagai berikut:

PC = Ci x N (2.3)...……….……………………………II.26

Ci = P(A/P,i,n) – B(A/F,i,n)...…….............................. II.27

Dimana PC : Population cost

Page 33: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

33

Ci : Annual Equivalent Cost per unit

(A/F,i,n) : Equal Payment Series Singking Fund

(A/P,i,n) : Equal Payment Series Capital Recovery

N : Jumlah unit

II.7.5. Site Crew

Site crew adalah sekelompok pekerja dengan keahlian tertentu yang bertugas untuk

menangani setiap kerusakan yang terjadi pada mesin Jet-Dyeing. Site crew ini terdiri

dari tim kerja dengan perangkatnya. Site crew bersifat pararel dan masing-masing

memiliki performansi yang sama.

II.7.6. Book Value

Perhitungan book value dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai peralatan diakhir

tahun. Book value ini dipengaruhi oleh salvage value dan retirement age dari

peralatan tersebut, yang dirumuskan sebagai berikut :

B = P – n (P-F/L) ……….…………………………………… II.28

Dimana : B : book value

P : first cost of unit

n : retirement age

F : salvage value

L : estimated life of the unit

II.8. Uji Kolmogorov-Smirnov

Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menentukan distribusi waktu antar

kerusakan yang cocok. Secara umum, langkah- langkah pengujian distribusi waktu

antar kerusakan yang cocok.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan Uji Kolmogorov-Smirnov adalah

sebagai berikut:

Page 34: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

34

1. Memberikan nomor kegagalan ( fi ) yaitu 1,2,3,…. Untuk nilai T yang sudah

diurutkan dari nilai terkecil sampai nilai T yang terbesar.

d. Menghitung Observed Unreliability (Q0), yaitu

Q0 = 𝑓𝑖

𝑁 , i = 1,2,3,…….,N ……………………………………………………...II.29

Menghitung Expected Unreliability (QE), untuk masing-masing distribusi adalah

sebagai berikut:

a. Distribusi Normal

QE(Ti) = (𝑇𝑖− 𝑇

𝜎) ........................................................................................II.30

Dimana QE(Ti) adalah nilai probabilitas normal standar dari

(𝑇𝑖− 𝑇

𝜎

b. Distribusi Exponential

QE(Ti) = 1-𝑒−(𝑇𝑖

𝑛𝑡) ..................................................................................... II.31

c. Distribusi Weibull

QE(Ti) = 1-𝑒−(𝑇𝑖−𝛾

𝑛𝑡)

.............................................................................. II.32

e. Menghitung Absolute Differences (Di), yaitu:

Di = │QE(Ti) – Q0(Ti)│ ............................................................................II.33

f. Menentukan Maximum Absolutes Differences (Dmax), yaitu nilai Di yang terbesar

g. Menentukan Critical Absolute Difference (Dcr), yaitu nilai yang didapat dari tabel

Kolmogorov-Smirnov dengan jumlah data (N) dan signifikan level

(diasumsikan=0.05)

Dari Uji Kologorov-Smirnov distribusi yang paling mewakili dapat diperoleh dari

hasil perbandingan antara nilai Dcr dan Dmax.

Page 35: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan

penelitian. Metodologi penelitian pada tugas akhir ini terdiri dari Model Konseptual

dan Kerangka Pemecahan Masalah yang merupakan tahapan-tahapan dimulai dari

tahap melakukan observasi mesin Jet-Dyeing di PT. SIPATEX hingga tahap

kesimpulan dan saran.

III.1. Model Konseptual

Gambaran umum dari permasalahan penelitian yang diteliti dapat dilihat pada model

konseptual yang tergambar pada Gambar III.1 dibawah ini:

Page 36: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

36

Mesin Jet-Dyeing

LCC (Life Cycle

Cost)

TTR

LCC

Sustaining Cost

Operating cost

MTTR

TTF

MTTF

Maintenance

CostShortage Cost

Jumlah MesinHarga MesinUmur Mesin

Optimum Jumlah

Mesin

Optimum

Maintenance

Crew

Total Biaya

Purchasing costPopulation Cost

Acquisition Cost

FMECA

Generic

Maintenance

Startegy

Umur Mesin

Optimal

Severity Ocurrence Detection

RPN (Risk Priority

Number)

FMEA (Failure

Mode and Effect

Analysis)

CA (Criticality

Analysis)

Gambar III. 1 Model Konseptual

Hal yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah penentuan jumlah maintenance crew

yang optimal untuk mesin Jet-Dyeing dengan menggunakan metode Life Cycle Cost

(LCC). Berdasarkan model konseptual diatas, sesuai dengan penerapan pengukuran

kualitatif, sistem terpilih adalah yang memiliki frekuensi kegagalan paling terbesar.

Sistem tersebut dideskripsikan serta diberi batasan, sehingga dapat dideskripsikan

dengan jelas fungsi subsistem tersebut. Dalam menjalankan fungsinya terkadang

sistem mengalami kegagalan fungsional. Dari kegagalan fungsional dapat ditemukan

mode/modus kegagalan yang dapat diidentifikasi penyebabnya dan efeknya pada

keseluruhan sistem. Penyebab mode kegagalan ini dapat berupa banyak hal, antara

lain cuaca, bencana alam, community problem, dan sebagainya. Dampak yang

Page 37: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

37

dihasilkan dari kegagalan tersebut dapat berupa image perusahaan yang buruk dan

loss of potential revenue. Semakin tinggi frekuensi kegagalan semakin tinggi pula

dampak konsekuensi kegagalan yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Oleh

karena itu perlu dilakukan perawatan system tersebut. Agar perawatan sistem dapat

berjalan dengan baik diperlukan jumlah maintenance crew yang optimal sehingga

tdaik terjadi down time pada sistem. Untuk menentukan jumlah maintenance crew

yang optimal dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Life Cycle Cost

(LCC).

Perhitungan biaya dengan menggunakan pendekatan LCC terdapat dua factor cost

penting yang harus diperhitungkan, yaitu acquisition cost dan sustaining cost.

Acquisition cost merupakan biaya awal yang harus dikeluarkan perusahaan untuk

memiliki suatu perangkat. Besarnya akan ditentukan oleh population cost dan

purchasing cost. Sedangkan sustaining cost merupakan biaya kepemilikan atas suatu

perangkat dimana pengeluaran ini bersifat rutin. Variable yang menentukan adalah

biaya operating cost, maintenance cost, dan shortage cost. Kemudian setelah

dilakukan LCC, maka bisa diketahui cost yang optimal yang kemudian dapat

ditentukan berapa jumlah site crew yang harus disediakan untuk memperbaiki

kerusakan mesin Jet-Dyeing tersebut, sehingga availability yang optimum dapat

diwujudkan.

III.2 Kerangka Pemecahan Masalah

Kerangka pemecahan masalah menggambarkan langkah-langkah dan alur berpikir

secara logis, jelas, teratur, dan sistematis yang diambil untuk menyelesaikan

permasalahan yang terjadi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pada

kerangka pemecahan masalah ini ada lima tahapan yang dilalui. Gambar III.2

merupakan sistem pemecahan masalah dari penelitian ini.

Page 38: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

38

Perumusan masalah

Penetapan Tujuan

Pengumpulan Data

Pengumpulan Data

Study literatur jurnal

dan buku mengenai:

1. Availability

2. FMECA

3.. LCC

Study lapangan

dengan melakukan

wawancara dan

observasi mesin Jet-

Dyeing

1. Kegiatan perawatan eksisting 5. Data jumlah maintenance crew

2. Data antar waktu kegagalan exsisting

3. Data waktu perbaikan 6. Data operating, maintenance cost

4. Data komponen mesin 7. wawancara

5. Data retairment age 8. Asumsi

Tahap

Identifikasi dan

pendahuluan

Tahap

Pengumpulan

Dan

Pengolahan

Data

Plotting Distribusi Normal,

Eksponensial, dan Weibull

Potting Distribusi Waktu Antar

Kerusakan dan Waktu Antar

Perbaikan

Penentuan Parameter

Distribusi Time to Failure dan

Time to Repair

Pengujian Kecocokan

Distribusi

Uji Kolmogorov Smirnov

Penentuan Parameter

Keandalan

Normal s

Eksponensial: λWeibull : β, γ, η

Pengukuran Kuantitatif

A

Page 39: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

39

Tahap

Pengumpula

n Dan

Pengolahan

Data

Tahap

Analisis dan

Perancangan

Usulan

Perbaikan

Tahap

Kesimpulan

dan Saran

A

Perhitungan Total Biaya

Optimasi Jumlah

Maintenance

Crew

Optimalisasi

Jumlah Mesin

Perhitungan Maintenance Cost

Umur mesin

Perancangan Usulan Perbaikan

Berdasarkan Perhitungan Total Biaya

Analisis terhadap hasil perancangan

usulan perbaikan

Kesimpulan dan

Saran

Membuat Generic Maintenance

Strategy

FMECA

FMEA

Criticality Analysis

Quantitative Qualitative

Assign Failure Mode

Distributions and Failure Rates

Assign Occurrence and Serevity

Rankings

Adjust Failure Rate for

Redudancy

Adjust Failure Rate for

Redudancy

Calculate Criticality Number Calculate RPN = S x O

Rank Items According To

Criticality NumberRank Items According to RPN

Calculate Criticality Matrix

Determine Critical Items

1. Perhitungan Shortage Cost 4. Perhitungan Population Cost

2. Perhitungan Operating Cost 5. Perhitungan Acquisition cost

3. Perhitungan Sustaining Cost

Perhitungan Model LCC

Page 40: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

40

Gambar III. 2 Kerangka Pemecahan Masalah

III.2.1 Tahap Identifikasi dan Pendahuluan

1. Mengidentifikasi Masalah

Tahap awal pada penelitian ini adalah mengidentifikasi masalah pada mesin produksi

yang digunakan perusahaan. Masalah dapat didefinisikan sebagai tidak tercapainya

keadaan yang diinginkan dengan keadaan yang sedang terjadi di perusahaan atau

sesuatu yang harus diselesaikan (kamus besar bahasa Indonesia). Perumusan masalah

dilakukan untuk membatasi lingkup penelitian sehingga penelitian lebih fokus dan

sistematis. Tahapan ini dilakukan dengan wawancara atau diskusi dengan pihak

manajemen perusahaan dan melakukan observasi langung mengenai mesin Jet-

Dyeing. Adapun permasalahan yang sedang dihadapi adalah bagaimana menghitung

preventive maintenance cost dengan menggunakan Generic Maintenance Cost dan

bagaimana mengoptimalkan jumlah mesin dan maintenance crew dengan pendekatan

LCC.

2. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan melingkupi studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur

adalah studi yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang tepat berdasarkan

teori-teori yang ada. Adapun teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah:

1. Teori tentang Avalaibility

2. Teori tentang Maintenance

3. Teori tentang FMECA (Failure Mode and Effect Criticality Analysis)

4. Teori tentang Generic Maintenance Strategy

5. Teori tentang Life Cycle Cost

Studi Lapangan adalah tahap untuk mendapatkan data dengan melakukan observasi

dan wawancara terhadap orang-orang yang memiliki kepentingan di perusahaan

PT.SIPATEX. Tujuan observasi adalah untuk mengetahui secara langsung proses

Page 41: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

41

kerja sertafungsi dari mesin Jet-Dyeing. Hal ini diharapkan memberikan pemahaman

secara detail dan lebih dalam terhadap objek penelitian. Wawancara dilakukan untuk

mengetahui permasalahan yang terjadi di perusahaan dan mendapatkan informasi

pendukung terhadap observasi yang dilakukan penulis.

3. Menetapkan Tujuan

Tujuan penelitian ini dibuat berdasarkan hasil dari perumusan masalah yang telah

diidentifikasi sebelumnya yang bertujuan agar penilitian ini dapat dilakukan secara

terarah, memiliki sasaran pokok yang jelas (spesifik) dan bisa memberikan solusi

yang bermanfaat bagi permasalahan yang ada diperusahaan tersebut. Tujuan

penelitian ini telah di bahas pada Bab I.

III.2.2 Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Dari studi literatur dan studi lapangan yang telah dilakukan maka dapat ditentukan

data-data penunjang yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun data yang

dikumpulkan adalah:

1. Data aktivitas perawatan yang biasa dilakukan pada mesin Jet-Dyeing

Data kerusakan yang biasa terjadi pada mesin Jet-Dyeing, meliputi data Time

to Failure, data Time to Repair, dan data Down Time

2. Data keuangan dari setiap unit, meliputi :

a. Purchasing cost

b. Operating cost

c. Maintenance cost

d. Shortage cost

3. Data retirement age

4. Data jumlah mesin Jet-Dyeing eksisting

5. Data jumlah maintenance crew mesin Jet-Dyeing eksisting

Page 42: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

42

Dalam penelitian ini untuk data-data yang tidak ada atau kurang lengkap dilakukan

wawancara serta membuat beberapa asumsi seperti asumsi biaya komponen-

komponen, biaya maintenance, biaya gaji teknisi per bulan dan gaji teknisi per jam

ketikan melakukan lembur.

2. Tahap Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh pada pengumpulan data akan digunakan untuk pengolahan

data. Tahap pengolahan data dibagi atas dua bagian yaitu pengukuran kuantitatif dan

pengukuran kualitatif.

A. Failure Mode and Effect Criticality Analysis (FMECA)

Pada tahap ini dilakukan identifikasi kegagalan fungsional (Functional

Failure) untuk setiap fungsi, komponen spesifik yang menyebabkan

functional failure, menentukan tingkat kritikal dari failure mode, yaitu suatu

kejadian yang dapat menyebabkan kegagalan fungsional dan diteruskan

dengan menetapkan dampak kegagalan (failure effect). Dampak kegagalan

menggambarkan apa yang akan terjadi apabila mode kegagalan terjadi.

Menghitung nilai RPN (Risk Priority Number) tertinggi dengan mengalikan

Rating Serevity, Occurrence dan Detection. Berdasarkan nilai RPN dapat

ditentukan Generic Maintenance Strategy dan dihitung preventive

maintenance cost.

B. Pengukuran Kualitatif

Pengukuran kuantitatif dilakukan berdasarkan data Time To Filure (TTF) dari

komponen-komponen mesin Jet-Dyeing yang bertujuan untuk menentukan

jenis distribusi TBF dari komponen kritis serta menentukan parameter

keandalan dari komponen-komponen kritis yang berupa Mean Time Between

Failure (MTBF).

Page 43: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

43

1. Plotting Distribusi Waktu Antar Kerusakan dan Waktu Antar

Perbaikan

Plotting distribusi waktu antar kerusakan dilakukan untuk mengetahui

karakteristik distribusi dari komponen kritis. Distribusi yang diujikan pada

penelitian ini adalah distribusi normal, distribusi eksponensial, dan Weibull.

Plotting distribusi ini menggunakan alat bantu software AvSim+ 9.0.

2. Penentuan Parameter distribusi Time to Failure dan Time To Repair

Setelah melakukan plotting data tersebut, maka dapat diketahui parameter

dari masing-masing distribusi waktu antar kerusakan dan waktu antar

perbaikan dengan menggunakan software AvSim+9.0. Parameter dari

masing-masing distribusi Time to Failure (TTF) dan Time To Repair (TTR)

berbeda-beda sesuai dengan jenis distribusinya. Terdapat tiga jenis distribusi

yaitu distribusi Normal, Eksponensial dan Weibull. Parameter distribusi

normal adalah rata-rata (µ) dan standard deviasi atau simpangan baku (σ),

parameter distribusi eksponensial adalah laju kerusakan (λ), dan parameter

distribusi weibull adalah parameter skala (γ), parameter bentuk (β) dan

parameter skala (µ).

3. Pengujian Kecocokan Distribusi

Pengujian distribusi waktu antar kegagalan dilakukan dengan menggunakan

uji Anderson-Darling. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui

karakteristik suatu distribusi yang dinyatakan dalam probability density

function (pdf), mengukur dan membatasi penyimpangan terhadap distribusi

normal.

Page 44: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

44

4. Penentuan Parameter Keandalan

Penentuan parameter keandalan dilakukan setelah didapatkan distribusi Time

to Failure yang mewakili masing-masing komponen kritis. Parameter

keandalan diperlukan untuk mengetahui tingkat keandalan dari komponen

kritis, yang merupakan rata-rata waktu antar kerusakan/Mean Time to Failure

(MTTF) dari komponen yang bersangkutan. Setiap distribusi mempunyai

parameter keandalan yang berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada

persamaan berikut :

1.Distribusi Eksponensial : 𝑀𝑇𝑇𝐹 =1

𝜆 ………………………………... III.1

2.Distribusi Normal : 𝑀𝑇𝑇𝐹 =∑ 𝑇𝑖

𝑁𝑖=1

𝑁 ………………………………….. III.2

3.Distribusi Weibull : 𝑀𝑇𝑇𝐹 = 𝛾 + 𝜂Γ (1

β+ 1) ……………………….. III.3

C. Perhitungan Life Cycle Cost

Perhitungan Life Cylce Cost pada mesin Jet-Dyeing dilakukan untuk

menentukan jumlah tenaga maintenance yang optimal dan jumlah mesin

yang optimal. Sebelum dilakukan perhitungan data-data biaya yang

dibutuhkan harus dilengkapi terlebih dahulu.

1. Perhitungan Shortage Cost

Annual shortage cost dihitung untuk mengetahui besarnya ongkos yang

harus dikeluarkan karena kurangnya perangkat sebagai akibat kekurangan

jumlah channel untuk memperbaiki perangkat yang rusak. Dalam

melakukan perhitungan dilakukan dengan mengikuti persamaan (II.20)

2. Perhitungan Maintenance Cost

Maintenance cost merupakan biaya yang dikeluarkan sebagai ongkos

perawatan unit secara terus-menerus setiap periodenya selama unit

Page 45: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

45

beroperasi. Dalam perhitungannya, maintenance cost dipengaruhi oleh

banyaknya jumlah repair channel yang disediakan dan besarnya ongkos

perbaikan per unit. Nilai maintenance cost diambil dari hasil perhitungan

dengan metode FMEA.

3. Perhitungan Operating Cost

Annual Operating cost meupakan biaya yang harus dikeluarkan setiap

periode atas beroperasinya suatu alat. Dalam perhitungannya dirumuskan

berdasarkan persamaan (II.18).

4. Perhitungan Sustaining Cost

Sustaining cost adalah merupakan biaya yang harus dikeluarkan atas

kepemilikan peralatan selama periode operasinya. Sustaining cost

diperoleh dari penjumlahan annual operating cost, annual maintenance

cost, dan annual shortage. Dalam perhitungannya menggunakan rumus:

St C = OC + MC …………………………………...……………....III.5

Dimana : St C : Sustaining Cost

OC : Operating Cost

MC : Maintenance Cost

5. Perhitungan Book Value

Perhitungan book value bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai

peralatan diakhir tahun. Dalam perhitungannya dirumuskan berdasarkan

persamaan (II.23).

6. Perhitungan Population Cost

Population cost merupakan biaya yang dikeluarkan setiap periodenya atas

kepemilikan suatu alat. Dalam perhitungannya dirumuskan berdasarkan

persamaan (II.21) dan (II.22).

Page 46: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

46

7. Perhitungan Acquisition Cost

Acquisition cost adalah penjumlahan dari population cost dan purchasing

cost, yang dirumuskan dengan persamaan:

AC = Pc C+ PC………………….………………………………… III.6

Dimana : AC : Acquisition Cost

Pc C: Purchasing Cost

PC : Population Cost

D. Total Biaya Berdasarkan Pendekatan LCC

Pada penelitian ini digunakan metode Life Cycle Cost karena metode ini yang

paling cocok untuk menghitung semua aspek biaya mulai dari awal pembelian

sampai dengan akhir sistem.

III.2.3 Tahap Analisis

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, maka

dilakukan analisa terhadap segala hal yang didapat dari hasil pengamatan dan

perhitungan. Analisa komponen yang mempunyai kerusakan tertinggi, waktu antar

kerusakan dan antar perbaikan dan sebagainya. Sehingga dari angka dan hasil

perhitungan dapat diambil kesimpulan mengenai tindakan yang akan dilakukan.

i. Optimalisasi Jumlah Maintenance Crew

Penentuan jumlah maintenance crew dilakukan berdasarkan hasil perhitungan

trial by error karena tidak ada suatu rumusan yang pasti untuk menentukan

jumlah maintenance crew, sehingga diambil suatu range angka sebagai

kandidat jumlah maintenance crew yang optimal. Dan range tersebut

kemudian dicoba untuk dimasukkan kedalam perhitungan biaya.

ii. Optimalisasi Jumlah Mesin

Page 47: Menentukan Jumlah Mesin Dengan Menggunakan LCC

47

Penentuan jumlah mesin optimal berdasarkan hasil perhitungan LCC yang

disesuaikan dengan jumlah kain yang harus diproduksi.

III.2.4 Kesimpulan dan Saran

Tahap akhir dari penelitian ini adalah menarik kesimpulan dari hasil pengolahan data

dan analisis data yang telah dilakukan dengan mengacu kepada tujuan penelitian.

Pada tahap ini juga disertakan saran untuk perusahaan dan perbaikan penelitian

selanjutnya.