mencari akar masalah krisis finansial global_ zarah_univ jember
DESCRIPTION
tgsTRANSCRIPT
Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/259309697
MencariAkarMasalahKrisisFinancialGlobal
Article·April2013
READS
1,177
1author:
ZarahPuspitaningtyas
UniversitasJember
21PUBLICATIONS6CITATIONS
SEEPROFILE
Allin-textreferencesunderlinedinbluearelinkedtopublicationsonResearchGate,
lettingyouaccessandreadthemimmediately.
Availablefrom:ZarahPuspitaningtyas
Retrievedon:14June2016
MENCARI AKAR MASALAH KRISIS FINANSIAL GLOBAL
Zarah Puspitaningtyas, Universitas Jember, [email protected]
Abstract
The financial crisis that occurred in the U.S., preceded the discovery of the full
mortgage scandal of collusion and manipulation, has dragged the world economy
into a deep slump abyss. Therefore, the observer called this crisis as the global
financial crisis. The financial crisis can be said to be the biggest crisis after the
Great Depression in the 1930's. In analyzing the main cause of the global
financial crisis, many economists berkonklusi that the fragility of the economic
fundamentals at the root of the problem the emergence of the economic crisis.
Moreover, the root problem is the onset of the global financial crisis of human
greed. As in the case of subprime mortgage-induced credit dependent lifestyle that
exceeds the ability to pay interest on the loan as well as the implementation of
policies that are not realistic conflict with human values and justice; transactions
based on speculation without any underlying assets artificially boost economic
growth. This is evidenced by the more inflated the non real hundred-fold
compared with the growth of the real sector.
Keywords: global crisis, fundamentals, bubble economy
Pendahuluan
Krisis finansial yang melanda Amerika Serikat (AS) telah menimbulkan
keterpurukan ekonomi yang sangat dalam tak hanya bagi perekonomian AS tetapi
juga bagi perekonomian dunia. Krisis finansial ini bisa dikatakan sebagai krisis
terbesar setelah great depression pada era 1930-an. Krisis keuangan yang berawal
dari kasus subprime mortgage yang terjadi sejak 2007, telah merontokkan
sejumlah lembaga keuangan AS. Beberapa pelaku bisnis raksasa pun tumbang.
Seperti, Lehman Brothers, Washington Mutual Bank, perusahaan asuransi
terbesar di dunia American International Group (AIG), juga beberapa perusahaan
sekuritas raksasa, yaitu: Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan Goldman Sachs.
Pemerintah AS terpaksa memutuskan campur tangan dengan
menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan
perusahaan-perusahaan raksasa dari ambang kebangkrutan. Mereka tak lagi
percaya si „invisible hand‟ bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang tengah
melanda berdasar hukum „supply and demand‟. Akibatnya, para investor mulai
kehilangan kepercayaan, sehingga harga saham di bursa-bursa utama dunia pun
merosot tajam, termasuk di Indonesia.
Ada banyak analisis terkait kehancuran pasar finansial global, mulai dari
kebijakan defisit anggaran keuangan AS –akibat dari inflasi, perang Irak,
kebebasan regulasi market yang liar-, kasus subprime mortgage atau kredit macet
sektor perumahan, gaya hidup bergantung kredit yang melebihi batas
kesanggupan membayar –bahkan, tidak sedikit peminjam yang sebenarnya
memiliki credit rating yang jauh di bawah standar, namun tetap diberikan
pinjaman demi kelancaran utang dan perekonomian (sehingga menimbulkan
bubble economy) (KSEP ITB, 2008).
Paparan dalam tulisan ini mencoba untuk berbagi ide mengenai konsep
akar masalah timbulnya krisis finansial global. Apa yang menyebabkan krisis ini
demikian meluas hingga ke seluruh dunia? Mungkinkah analisis solvensi
terabaikan dari credit analysis, kebijakan bunga pinjaman yang terlalu tinggi,
ataukah terciptanya bubble economy hingga krisis finansial global harus terjadi?
Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis finansial global
tersebut, banyak pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental
ekonomi (fundamental economic fragility) menjadi akar masalah munculnya krisis
ekonomi. Fenomena ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkendali,
defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang
berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga
yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak, pengurangan
pajak bagi korporasi multinasional (kelompok kaya), menurunnya produktivitas
ekonomi AS, dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah
menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya membawa ekonomi negara ke
dalam krisis ekonomi (Agustianto, 2008; Dahuri, 2008).
Kajian Pustaka dan Pembahasan
Kasus subprime mortgage
Awal mula terjadinya krisis ekonomi AS adalah adanya investasi yang
dilakukan institusi-institusi keuangan AS dalam subprime mortgage. Apa itu
subprime mortgage? Subprime, lawan kata dari prime (prima), yang secara
ekonomi artinya adalah golongan tidak mampu (tidak prima). Mortgage, adalah
fasilitas kredit perumahan melalui hipotik. Di Indonesia lebih familiar dengan
istilah Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jadi, subprime mortgage adalah fasilitas
KPR untuk golongan tidak mampu (Wardhana, 2008).
Kasus Subprime mortgage ini berawal dari kredit perumahan yang skema
pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh
orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Singkatnya, masalah
solvensi sengaja diabaikan. Analisis solvensi bermaksud membantu menilai
kemampuan debitur untuk membayar hutang jangka panjang (Konig and Brohm,
2008; Bomhard, 2010; Coppola et al., 2011; Rossi, 2011). Dalam kasus ini, akad
kredit disetujui tanpa melalui analisa kredit yang mendalam. Kredit begitu
mudahnya dikucurkan hanya berdasarkan score credit yang dimiliki calon debitur.
Oleh karenanya, pasar mengkarakteristikkan subprime mortgage ini sebagai high
risk-high return.
Selanjutnya, bank „menjual piutang-piutang nasabah‟ kepada institusi
keuangan –sebagai pihak ketiga- dalam bentuk surat hutang yang bisa
diperjualbelikan. Surat hutang inilah yang disebut sebagai subprime mortgage,
dimana keuntungan dan pengembalian pokok investasinya sangat ditentukan dari
kelancaran kredit perumahan dari nasabah-nasabah bank tersebut. Jadi, subprime
mortgage mendapatkan sumber dana dari pihak ketiga dengan jangka waktu
pengembalian pendek, yaitu kurang dari lima tahun. Sementara, subprime
mortgage sendiri merupakan KPR jangka panjang, yakni hingga 20 tahun. Jelas,
dari awal bisnis ini sudah terjadi financing missmatch. Bisnis yang penuh dengan
kolusi dan manipulasi! Namun demikian, tingkat bunga the Fed, sepanjang tahun
2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis subprime mortgage
dan perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman subprime mortgage (pada
saat bunga deposito rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana,
dana pensiun, asuransi) membeli surat hutang yang diterbitkan perusahaan
subprime mortgage (KSEP ITB, 2008; Wardhana, 2008).
Seiring berjalannya roda perekonomian, harga komoditas dan suku bunga
di AS naik secara bertahap. Ketika the Fed, mulai Juni 2004, secara bertahap
menaikkan bunga hingga mencapai 5,25 persen pada Agustus 2007, kredit
perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah yang gagal bayar. Saat
itulah efek subprime mortgage mulai terbongkar. Kredit macet sektor perumahan
terus meningkat. Bahkan penyitaan aset properti mencapai 21 persen nilai kredit.
Saat kredit perumahan menjadi macet sampai pada taraf yang mengkhawatirkan,
otomatis institusi-institusi keuangan yang berinvestasi pada subprime mortgage
mengalami kerugian besar. Kerugian yang besar berpotensi menggerus modal
yang mengakibatkan timbulnya masalah solvensi (insolvensi). Inilah awal
kejatuhan ekonomi AS, karena pada dasarnya risiko investasi perbankan ataupun
institusi keuangan bersifat sistemik, dalam arti kerugian institusi keuangan akan
berdampak pada terpukulnya perekonomian negara.
Akibat dari jatuhnya institusi keuangan tersebut berdampak pada kinerja
saham mereka di bursa saham. Nilai saham terjun bebas, sehingga dampaknya
juga ke indeks bursa saham AS, karena institusi keuangan memiliki kapitalisasi
pasar yang cukup signifikan. Akhirnya, para investor mulai menarik dananya dari
bursa, sehingga kejatuhan indeks bursa semakin parah. Karena banyaknya pihak
yang mau menjual saham itulah yang mengakibatkan “anjloknya” harga saham di
bursa. Mereka berani menjual murah, menjual rugi, asal bisa segera mendapat
uang cash. Penarikan dana juga dilakukan di bursa-bursa global, karena umumnya
pihak asing juga memiliki banyak dana di bursa asing (termasuk di Indonesia).
Inilah mengapa dampak kejatuhan bursa di AS juga mengimbas bursa-bursa di
seluruh dunia, hingga menjadi krisis global (Anonymous, 2008).
Sampai di sini, jelas bahwa akar masalah dari timbulnya kasus subprime
mortgage –salah satu penyebab krisis global- adalah diabaikannya analisis
solvensi dalam proses investasi (pemberian kredit). Terbukti bahwa sistem kredit
atau sistem hutang sudah menjadi perangkap kerusakan ekonomi dunia. Apalagi
mekanisme bunga (interest rate) juga menggurita bersama sistem hutang ini.
Kerusakan ekonomi dunia –termasuk Indonesia- juga akibat ulah tangan manusia
yang menerapkan kebijakan bunga pinjaman yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan. Pemberian kredit perumahan bagi orang miskin,
seharusnya untuk membantu, bukan justru mencekik mereka. Bunga pinjaman
(bunga bank) bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi
ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka
dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Apakah tingginya bunga
pinjaman menjadi gambaran keserakahan manusia?
Bubble economy
Tak dipungkiri bahwa krisis finansial global juga dipicu oleh kegiatan
bisnis yang sangat sarat dengan motif spekulasi –baik spekulasi mata uang
maupun spekulasi saham di pasar modal-, serta menggunakan bunga sebagai
instrumen. Sistem ekonomi yang sedang berlangsung secara global adalah sistem
yang penuh janji, harapan, dan eforia yang tidak riil. Hampir semua negara di
dunia ini terjangkit bisnis spekulatif seperti perdagangan surat berharga (surat
utang) di bursa saham (stock exchange) berupa saham, obligasi (bonds),
commercial paper, promissory notes, dan sebagainya; perdagangan uang di pasar
uang (money market); serta perdagangan derivatif di bursa berjangka.
Pertumbuhan keuangan ala kapitalisme –yang bertumpu pada transaksi
spekulatif di sektor non riil- memang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor
non riil dengan sangat pesat. Didukung juga oleh sistem pengajaran ekonomi
kapitalisme yang memisahkan sektor non riil (moneter atau keuangan) dan sektor
riil. Akibat dari terpisahnya sektor moneter dan sektor riil secara diametrial, maka
arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di
sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat
tidak seimbang.
Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan
sistem ekonomi kapitalisme ini. Dasar-dasar sistem keuangan dan
perdagangannya lebih banyak dipenuhi oleh angan-angan dan khayalan. Suatu
bentuk pertumbuhan ekonomi semu. Ini terbukti dengan makin
menggelembungnya sektor non riil ratusan kali lipat dibandingkan dengan
pertumbuhan sektor riil. Jaringan keuangan dan perdagangan mereka bagaikan
jaring laba-laba, sangat rapuh dan kehancurannya adalah sesuatu yang niscaya
tinggal menunggu waktu (Firmansyah, 2008).
Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala
ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/ jasa sebagai adanya
decoupling, yakni fenomena ketidakseimbangan antara maraknya arus uang
(moneter) dan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh
maraknya bisnis spekulasi baik di pasar modal (stock market) maupun di pasar
uang (money market), sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit berbahaya
yang bernama „gelembung ekonomi‟ (bubble economy). Disebut gelembung
ekonomi, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa
kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata kosong. Jadi, bublle economy adalah
sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak
diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan
perkembangannya (Prasetyantoko, 2005; Agustianto, 2008; Firmansyah, 2008;
Scott, 2009).
Fenomena bubble yang terjadi di pasar modal ditandai dengan harga-harga
saham meningkat jauh di atas nilai-nilai rasionalnya, serta melebihi kapasitas dan
kemampuannya berproduksi. Hal ini merupakan suatu kasus ekstrim dari
volatilitas pasar yang berlebihan (Scott, 2009). Pada saat yang sama, para analis
saham pun terus memberikan rekomendasi beli sehingga saham diburu dan harga
terus menggelembung. Pada suatu saat, penggelembungan itu akan mencapai titik
jenuh. Ibarat balon yang terus ditiup sampai besar, ia akhirnya meletus
(Firmansyah, 2008).
Shiller dalam Scott (2009) meneliti perilaku bubble ini dengan mengacu
secara khusus pada melambungnya harga-harga saham perusahaan teknologi di
AS pada tahun-tahun sebelum tahun 2000. Bubble tersebut, menurut Shiller,
disebabkan oleh gabungan dari bias atribut diri dan momentum yang
dihasilkannya, perdagangan umpan balik yang positif, sampai perilaku
„kelompok‟ yang diperkuat oleh prediksi-prediksi media yang optimis yang
dikemukakan oleh para „ahli‟ pasar. Shiller berpendapat bahwa perilaku bubble
dapat berlanjut untuk beberapa waktu, dan sulit diprediksi kapan akan berakhir.
Namun demikian, pada akhirnya bubble tersebut akan meletus karena semakin
besarnya resesi yang menghambat atau inflasi yang semakin meningkat.
Fenomena decoupling juga dapat diilustrasikan sebagai akibat dari
maraknya bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif
(derivative market) atau transaksi produk turunan. Transaksi derivatif diwarnai
dengan perilaku investor di pasar modal yang ingin meraup keuntungan tanpa
adanya underlying asset, atau tanpa ada sektor riil yang melandasinya. Tujuan
investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata
untuk meraih keuntungan (gain) melalui praktek margin trading. Ironisnya,
transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya bisa
mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di
sektor riil berupa perdagangan barang dan jasa hanya sekitar lima persen saja.
Bahwa dalam satu hari, dana yang “gentayangan” dalam transaksi maya di pasar
modal dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam
satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang secara
international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus
uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Agustianto, 2008).
Selain itu, fenomena decoupling disebabkan fungsi uang bukan lagi
sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, akan tetapi telah menjadi
komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang
memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar
AS. Akibat fenomena tersebut ekonomi dunia rawan krisis. Pelaku ekonomi tidak
lagi menggunakan uang (modal) untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk
kepentingan spekulasi mata uang. Sebab, dalam transaksi derivatif, tidak ada
sektor riil (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya
memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi.
Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, apalagi
negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang
yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil.
Spekulasi mata uang
Ulah para spekulan dalam bisnis spekulasi mata uang juga menjadi
pengacau ekonomi dunia. Transaksi bisnis ini umumnya dilakukan di pasar-pasar
uang. Agustianto (2008) menyebutkan bahwa ada enam pusat keuangan dunia
yang menjadi penguasa pasar uang di dunia ini saat ini, yaitu: London, New York,
Chicago, Tokyo, Hongkong, dan Singapura. Akibat penguasaan keenam negara
tersebut, nilai mata uang negara lain bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya.
Seperti nasib rupiah yang semakin hari semakin merosot dengan nilai yang tidak
menentu.
Peran spekulan di pasar uang cukup signifikan untuk menggoncang
ekonomi suatu negara. Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata
juga sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang. Tak heran jika
Indonesia “babak belur” dibuatnya! Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai
mata uang menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang
selalu berfluktuasi. Bahkan, mereka bisa saja melakukan rekayasa untuk
menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, misalnya gejolak sosial
ekonomi yang menimbulkan ketidakpastian.
Ulah para spekulan mata uang dapat diilustrasikan sebagai berikut, untuk
tujuan suatu momentum tertentu, secara perlahan-lahan para spekulan membeli
rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Aksi beli ini akan
mendorong nilai rupiah secara semu. Bila momentumnya muncul dan
ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam
jumlah besar. Sehingga pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah
akan anjlok. Para spekulan pun akan meraup keuntungan dari selisih harga beli
dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk
bermain. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar.
Bisa dibayangkan bagaimana goncangnya ekonomi suatu negara (bahkan dunia)
akibat ulah para spekulan!
Fluktuasi mata uang didukung pula oleh sistem pertukaran nilai mata uang
yang juga sangat rentan terhadap krisis. Pasalnya, nilai mata uang di suatu negara
terkait dengan nilai mata uang negara lain. Bahkan nilai mata uang suatu negara
sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi negara lain. Akibatnya, jika
mata uang negara lain terkena krisis, krisis itu akan menjalar dengan sangat cepat
ke negara lain (Anonymous, 2007). Sebagai contoh, ketika krisis moneter
menyerang Thailand, maka dengan segera krisis ini menjalar hampir di seluruh
negara Asia menjadi krisis multidimensional. Semua ini menunjukkan bahwa
krisis moneter yang memukul dunia, lebih disebabkan oleh sistem moneternya
yang sangat lemah.
Penutup
Krisis finansial global memang sudah seharusnya terjadi, mengingat
buruknya fundamental ekonomi global. Para analis menuding, bahwa akar
masalah krisis finansial global yang terjadi saat ini disebabkan kerapuhan
fundamental ekonomi. Fenomena ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak
terkendali, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang
berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga
yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak, dan pengaliran
modal yang berlaku berulang kali, semua itu mencerminkan kerapuhan
fundamental ekonomi.
Fenomena spekulasi –baik di pasar uang maupun pasar modal- semakin
memperburuk kondisi ekonomi, ditambah lagi dengan maraknya transaksi
derivatif tanpa adanya underlying asset atau tanpa ada sektor riil yang
melandasinya. Ini mencerminkan sistem moneter dunia yang sangat lemah. Sistem
ekonomi kapitalisme yang memisahkan sektor moneter dan sektor riil, dimana
perkembangan sektor finansial berjalan sendiri tanpa terkait sektor riil, berakibat
pada penciptaan bubble economy yang sangat rawan menimbulkan krisis. Lebih
dari semua penyebab di atas, akar masalah timbulnya krisis finansial global adalah
keserakahan manusia, seperti gaya hidup bergantung kredit yang melebihi batas
kesanggupan membayar serta penerapan kebijakan bunga pinjaman yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Kedua hal tersebut
dituding sebagai biang dari terjadinya kasus subprime mortgage.
Daftar Pustaka
Agustianto, 2008. Telaah Terhadap Akar Krisis Keuangan Global – Bubble
Economy dan Fenomena Ribawi. http://www.pkesinteraktif.com/
Anonymous, 2007. Krisis Ekonomi Akar Masalah dan Solusinya. http://hizbut-
tahrir.or.id/2007/11/02/krisis-ekonomi-akar-masalah-dan-solusinya/
Anonymous, 2008. Kita Masih Bisa Tanam Jagung !. Worldservice, Indonesian
Radio.
http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=5
878/
Bomhard, N.V., The Advantages of a Global Solvency Standard. The Geneva
Paper, 35 (79-91).
Coppola M., Lorenzo E.D., Orlando A., Sibillo M., 2011. Solvency Analysis and
Demographic Risk Measures. The Journal of Risk Finance, vol. 12, no. 4,
pp. 252-269.
Dahuri, R., 2008. Ekonomi Alternatif untuk Mengatasi Krisis Ekonomi Global.
Media Indonesia.com – News and Views.
Firmansyah, 2008. Krisis Keuangan Global, Indikator Sudah Berakhirnya
Kejayaan Kapitalisme – Bagian 2. http://www.syabab.com./
Konig A., Brohm A., 2008. The Relevance of Portfolio Management Achieve for
Solvency Measurement. The Geneva Papers, 33 (440-463).
KSEP ITB, 2008. Krisis Global dan Dampak ke Indonesia. Analysis Team of
KSEP ITB 2008/ 2009.
Prasetyantoko, 2005. Ekonomi Balon. Kompas, 12 September 2005.
Rossi F.M., 2008. Analysis of Solvency in Italian Local Governments: The
Impact of Basel II. The IUP Journal of Financial Risk Management, vol.
8, no. 3, pp. 17-42.
Scott, W.R., 2009. Financial Accounting Theory. Pearson Education Canada Inc.,
Toronto, Ontario.
Wardhana, R., 2008. Krisis Ekonomi Global & M-Stars. http://www.mobile-
elab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=114:krisis-
ekonomi-global-a-m-stars&catid=7