mencari akar masalah krisis finansial global_ zarah_univ jember

11
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/259309697 Mencari Akar Masalah Krisis Financial Global Article · April 2013 READS 1,177 1 author: Zarah Puspitaningtyas Universitas Jember 21 PUBLICATIONS 6 CITATIONS SEE PROFILE All in-text references underlined in blue are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately. Available from: Zarah Puspitaningtyas Retrieved on: 14 June 2016

Upload: roza-asmilda

Post on 07-Jul-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tgs

TRANSCRIPT

Page 1: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/259309697

MencariAkarMasalahKrisisFinancialGlobal

Article·April2013

READS

1,177

1author:

ZarahPuspitaningtyas

UniversitasJember

21PUBLICATIONS6CITATIONS

SEEPROFILE

Allin-textreferencesunderlinedinbluearelinkedtopublicationsonResearchGate,

lettingyouaccessandreadthemimmediately.

Availablefrom:ZarahPuspitaningtyas

Retrievedon:14June2016

Page 2: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

MENCARI AKAR MASALAH KRISIS FINANSIAL GLOBAL

Zarah Puspitaningtyas, Universitas Jember, [email protected]

Abstract

The financial crisis that occurred in the U.S., preceded the discovery of the full

mortgage scandal of collusion and manipulation, has dragged the world economy

into a deep slump abyss. Therefore, the observer called this crisis as the global

financial crisis. The financial crisis can be said to be the biggest crisis after the

Great Depression in the 1930's. In analyzing the main cause of the global

financial crisis, many economists berkonklusi that the fragility of the economic

fundamentals at the root of the problem the emergence of the economic crisis.

Moreover, the root problem is the onset of the global financial crisis of human

greed. As in the case of subprime mortgage-induced credit dependent lifestyle that

exceeds the ability to pay interest on the loan as well as the implementation of

policies that are not realistic conflict with human values and justice; transactions

based on speculation without any underlying assets artificially boost economic

growth. This is evidenced by the more inflated the non real hundred-fold

compared with the growth of the real sector.

Keywords: global crisis, fundamentals, bubble economy

Pendahuluan

Krisis finansial yang melanda Amerika Serikat (AS) telah menimbulkan

keterpurukan ekonomi yang sangat dalam tak hanya bagi perekonomian AS tetapi

juga bagi perekonomian dunia. Krisis finansial ini bisa dikatakan sebagai krisis

terbesar setelah great depression pada era 1930-an. Krisis keuangan yang berawal

dari kasus subprime mortgage yang terjadi sejak 2007, telah merontokkan

sejumlah lembaga keuangan AS. Beberapa pelaku bisnis raksasa pun tumbang.

Seperti, Lehman Brothers, Washington Mutual Bank, perusahaan asuransi

terbesar di dunia American International Group (AIG), juga beberapa perusahaan

sekuritas raksasa, yaitu: Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan Goldman Sachs.

Pemerintah AS terpaksa memutuskan campur tangan dengan

menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan

perusahaan-perusahaan raksasa dari ambang kebangkrutan. Mereka tak lagi

percaya si „invisible hand‟ bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang tengah

Page 3: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

melanda berdasar hukum „supply and demand‟. Akibatnya, para investor mulai

kehilangan kepercayaan, sehingga harga saham di bursa-bursa utama dunia pun

merosot tajam, termasuk di Indonesia.

Ada banyak analisis terkait kehancuran pasar finansial global, mulai dari

kebijakan defisit anggaran keuangan AS –akibat dari inflasi, perang Irak,

kebebasan regulasi market yang liar-, kasus subprime mortgage atau kredit macet

sektor perumahan, gaya hidup bergantung kredit yang melebihi batas

kesanggupan membayar –bahkan, tidak sedikit peminjam yang sebenarnya

memiliki credit rating yang jauh di bawah standar, namun tetap diberikan

pinjaman demi kelancaran utang dan perekonomian (sehingga menimbulkan

bubble economy) (KSEP ITB, 2008).

Paparan dalam tulisan ini mencoba untuk berbagi ide mengenai konsep

akar masalah timbulnya krisis finansial global. Apa yang menyebabkan krisis ini

demikian meluas hingga ke seluruh dunia? Mungkinkah analisis solvensi

terabaikan dari credit analysis, kebijakan bunga pinjaman yang terlalu tinggi,

ataukah terciptanya bubble economy hingga krisis finansial global harus terjadi?

Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis finansial global

tersebut, banyak pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental

ekonomi (fundamental economic fragility) menjadi akar masalah munculnya krisis

ekonomi. Fenomena ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkendali,

defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang

berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga

yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak, pengurangan

pajak bagi korporasi multinasional (kelompok kaya), menurunnya produktivitas

ekonomi AS, dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah

menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya membawa ekonomi negara ke

dalam krisis ekonomi (Agustianto, 2008; Dahuri, 2008).

Kajian Pustaka dan Pembahasan

Kasus subprime mortgage

Awal mula terjadinya krisis ekonomi AS adalah adanya investasi yang

dilakukan institusi-institusi keuangan AS dalam subprime mortgage. Apa itu

Page 4: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

subprime mortgage? Subprime, lawan kata dari prime (prima), yang secara

ekonomi artinya adalah golongan tidak mampu (tidak prima). Mortgage, adalah

fasilitas kredit perumahan melalui hipotik. Di Indonesia lebih familiar dengan

istilah Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jadi, subprime mortgage adalah fasilitas

KPR untuk golongan tidak mampu (Wardhana, 2008).

Kasus Subprime mortgage ini berawal dari kredit perumahan yang skema

pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh

orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Singkatnya, masalah

solvensi sengaja diabaikan. Analisis solvensi bermaksud membantu menilai

kemampuan debitur untuk membayar hutang jangka panjang (Konig and Brohm,

2008; Bomhard, 2010; Coppola et al., 2011; Rossi, 2011). Dalam kasus ini, akad

kredit disetujui tanpa melalui analisa kredit yang mendalam. Kredit begitu

mudahnya dikucurkan hanya berdasarkan score credit yang dimiliki calon debitur.

Oleh karenanya, pasar mengkarakteristikkan subprime mortgage ini sebagai high

risk-high return.

Selanjutnya, bank „menjual piutang-piutang nasabah‟ kepada institusi

keuangan –sebagai pihak ketiga- dalam bentuk surat hutang yang bisa

diperjualbelikan. Surat hutang inilah yang disebut sebagai subprime mortgage,

dimana keuntungan dan pengembalian pokok investasinya sangat ditentukan dari

kelancaran kredit perumahan dari nasabah-nasabah bank tersebut. Jadi, subprime

mortgage mendapatkan sumber dana dari pihak ketiga dengan jangka waktu

pengembalian pendek, yaitu kurang dari lima tahun. Sementara, subprime

mortgage sendiri merupakan KPR jangka panjang, yakni hingga 20 tahun. Jelas,

dari awal bisnis ini sudah terjadi financing missmatch. Bisnis yang penuh dengan

kolusi dan manipulasi! Namun demikian, tingkat bunga the Fed, sepanjang tahun

2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis subprime mortgage

dan perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman subprime mortgage (pada

saat bunga deposito rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana,

dana pensiun, asuransi) membeli surat hutang yang diterbitkan perusahaan

subprime mortgage (KSEP ITB, 2008; Wardhana, 2008).

Seiring berjalannya roda perekonomian, harga komoditas dan suku bunga

di AS naik secara bertahap. Ketika the Fed, mulai Juni 2004, secara bertahap

Page 5: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

menaikkan bunga hingga mencapai 5,25 persen pada Agustus 2007, kredit

perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah yang gagal bayar. Saat

itulah efek subprime mortgage mulai terbongkar. Kredit macet sektor perumahan

terus meningkat. Bahkan penyitaan aset properti mencapai 21 persen nilai kredit.

Saat kredit perumahan menjadi macet sampai pada taraf yang mengkhawatirkan,

otomatis institusi-institusi keuangan yang berinvestasi pada subprime mortgage

mengalami kerugian besar. Kerugian yang besar berpotensi menggerus modal

yang mengakibatkan timbulnya masalah solvensi (insolvensi). Inilah awal

kejatuhan ekonomi AS, karena pada dasarnya risiko investasi perbankan ataupun

institusi keuangan bersifat sistemik, dalam arti kerugian institusi keuangan akan

berdampak pada terpukulnya perekonomian negara.

Akibat dari jatuhnya institusi keuangan tersebut berdampak pada kinerja

saham mereka di bursa saham. Nilai saham terjun bebas, sehingga dampaknya

juga ke indeks bursa saham AS, karena institusi keuangan memiliki kapitalisasi

pasar yang cukup signifikan. Akhirnya, para investor mulai menarik dananya dari

bursa, sehingga kejatuhan indeks bursa semakin parah. Karena banyaknya pihak

yang mau menjual saham itulah yang mengakibatkan “anjloknya” harga saham di

bursa. Mereka berani menjual murah, menjual rugi, asal bisa segera mendapat

uang cash. Penarikan dana juga dilakukan di bursa-bursa global, karena umumnya

pihak asing juga memiliki banyak dana di bursa asing (termasuk di Indonesia).

Inilah mengapa dampak kejatuhan bursa di AS juga mengimbas bursa-bursa di

seluruh dunia, hingga menjadi krisis global (Anonymous, 2008).

Sampai di sini, jelas bahwa akar masalah dari timbulnya kasus subprime

mortgage –salah satu penyebab krisis global- adalah diabaikannya analisis

solvensi dalam proses investasi (pemberian kredit). Terbukti bahwa sistem kredit

atau sistem hutang sudah menjadi perangkap kerusakan ekonomi dunia. Apalagi

mekanisme bunga (interest rate) juga menggurita bersama sistem hutang ini.

Kerusakan ekonomi dunia –termasuk Indonesia- juga akibat ulah tangan manusia

yang menerapkan kebijakan bunga pinjaman yang bertentangan dengan nilai-nilai

kemanusiaan dan keadilan. Pemberian kredit perumahan bagi orang miskin,

seharusnya untuk membantu, bukan justru mencekik mereka. Bunga pinjaman

(bunga bank) bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi

Page 6: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka

dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Apakah tingginya bunga

pinjaman menjadi gambaran keserakahan manusia?

Bubble economy

Tak dipungkiri bahwa krisis finansial global juga dipicu oleh kegiatan

bisnis yang sangat sarat dengan motif spekulasi –baik spekulasi mata uang

maupun spekulasi saham di pasar modal-, serta menggunakan bunga sebagai

instrumen. Sistem ekonomi yang sedang berlangsung secara global adalah sistem

yang penuh janji, harapan, dan eforia yang tidak riil. Hampir semua negara di

dunia ini terjangkit bisnis spekulatif seperti perdagangan surat berharga (surat

utang) di bursa saham (stock exchange) berupa saham, obligasi (bonds),

commercial paper, promissory notes, dan sebagainya; perdagangan uang di pasar

uang (money market); serta perdagangan derivatif di bursa berjangka.

Pertumbuhan keuangan ala kapitalisme –yang bertumpu pada transaksi

spekulatif di sektor non riil- memang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor

non riil dengan sangat pesat. Didukung juga oleh sistem pengajaran ekonomi

kapitalisme yang memisahkan sektor non riil (moneter atau keuangan) dan sektor

riil. Akibat dari terpisahnya sektor moneter dan sektor riil secara diametrial, maka

arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di

sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat

tidak seimbang.

Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan

sistem ekonomi kapitalisme ini. Dasar-dasar sistem keuangan dan

perdagangannya lebih banyak dipenuhi oleh angan-angan dan khayalan. Suatu

bentuk pertumbuhan ekonomi semu. Ini terbukti dengan makin

menggelembungnya sektor non riil ratusan kali lipat dibandingkan dengan

pertumbuhan sektor riil. Jaringan keuangan dan perdagangan mereka bagaikan

jaring laba-laba, sangat rapuh dan kehancurannya adalah sesuatu yang niscaya

tinggal menunggu waktu (Firmansyah, 2008).

Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala

ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/ jasa sebagai adanya

Page 7: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

decoupling, yakni fenomena ketidakseimbangan antara maraknya arus uang

(moneter) dan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh

maraknya bisnis spekulasi baik di pasar modal (stock market) maupun di pasar

uang (money market), sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit berbahaya

yang bernama „gelembung ekonomi‟ (bubble economy). Disebut gelembung

ekonomi, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa

kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata kosong. Jadi, bublle economy adalah

sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak

diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan

perkembangannya (Prasetyantoko, 2005; Agustianto, 2008; Firmansyah, 2008;

Scott, 2009).

Fenomena bubble yang terjadi di pasar modal ditandai dengan harga-harga

saham meningkat jauh di atas nilai-nilai rasionalnya, serta melebihi kapasitas dan

kemampuannya berproduksi. Hal ini merupakan suatu kasus ekstrim dari

volatilitas pasar yang berlebihan (Scott, 2009). Pada saat yang sama, para analis

saham pun terus memberikan rekomendasi beli sehingga saham diburu dan harga

terus menggelembung. Pada suatu saat, penggelembungan itu akan mencapai titik

jenuh. Ibarat balon yang terus ditiup sampai besar, ia akhirnya meletus

(Firmansyah, 2008).

Shiller dalam Scott (2009) meneliti perilaku bubble ini dengan mengacu

secara khusus pada melambungnya harga-harga saham perusahaan teknologi di

AS pada tahun-tahun sebelum tahun 2000. Bubble tersebut, menurut Shiller,

disebabkan oleh gabungan dari bias atribut diri dan momentum yang

dihasilkannya, perdagangan umpan balik yang positif, sampai perilaku

„kelompok‟ yang diperkuat oleh prediksi-prediksi media yang optimis yang

dikemukakan oleh para „ahli‟ pasar. Shiller berpendapat bahwa perilaku bubble

dapat berlanjut untuk beberapa waktu, dan sulit diprediksi kapan akan berakhir.

Namun demikian, pada akhirnya bubble tersebut akan meletus karena semakin

besarnya resesi yang menghambat atau inflasi yang semakin meningkat.

Fenomena decoupling juga dapat diilustrasikan sebagai akibat dari

maraknya bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif

(derivative market) atau transaksi produk turunan. Transaksi derivatif diwarnai

Page 8: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

dengan perilaku investor di pasar modal yang ingin meraup keuntungan tanpa

adanya underlying asset, atau tanpa ada sektor riil yang melandasinya. Tujuan

investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata

untuk meraih keuntungan (gain) melalui praktek margin trading. Ironisnya,

transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya bisa

mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di

sektor riil berupa perdagangan barang dan jasa hanya sekitar lima persen saja.

Bahwa dalam satu hari, dana yang “gentayangan” dalam transaksi maya di pasar

modal dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam

satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang secara

international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus

uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Agustianto, 2008).

Selain itu, fenomena decoupling disebabkan fungsi uang bukan lagi

sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, akan tetapi telah menjadi

komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang

memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar

AS. Akibat fenomena tersebut ekonomi dunia rawan krisis. Pelaku ekonomi tidak

lagi menggunakan uang (modal) untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk

kepentingan spekulasi mata uang. Sebab, dalam transaksi derivatif, tidak ada

sektor riil (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya

memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi.

Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, apalagi

negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang

yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil.

Spekulasi mata uang

Ulah para spekulan dalam bisnis spekulasi mata uang juga menjadi

pengacau ekonomi dunia. Transaksi bisnis ini umumnya dilakukan di pasar-pasar

uang. Agustianto (2008) menyebutkan bahwa ada enam pusat keuangan dunia

yang menjadi penguasa pasar uang di dunia ini saat ini, yaitu: London, New York,

Chicago, Tokyo, Hongkong, dan Singapura. Akibat penguasaan keenam negara

tersebut, nilai mata uang negara lain bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya.

Page 9: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

Seperti nasib rupiah yang semakin hari semakin merosot dengan nilai yang tidak

menentu.

Peran spekulan di pasar uang cukup signifikan untuk menggoncang

ekonomi suatu negara. Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata

juga sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang. Tak heran jika

Indonesia “babak belur” dibuatnya! Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai

mata uang menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang

selalu berfluktuasi. Bahkan, mereka bisa saja melakukan rekayasa untuk

menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, misalnya gejolak sosial

ekonomi yang menimbulkan ketidakpastian.

Ulah para spekulan mata uang dapat diilustrasikan sebagai berikut, untuk

tujuan suatu momentum tertentu, secara perlahan-lahan para spekulan membeli

rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Aksi beli ini akan

mendorong nilai rupiah secara semu. Bila momentumnya muncul dan

ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam

jumlah besar. Sehingga pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah

akan anjlok. Para spekulan pun akan meraup keuntungan dari selisih harga beli

dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk

bermain. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar.

Bisa dibayangkan bagaimana goncangnya ekonomi suatu negara (bahkan dunia)

akibat ulah para spekulan!

Fluktuasi mata uang didukung pula oleh sistem pertukaran nilai mata uang

yang juga sangat rentan terhadap krisis. Pasalnya, nilai mata uang di suatu negara

terkait dengan nilai mata uang negara lain. Bahkan nilai mata uang suatu negara

sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi negara lain. Akibatnya, jika

mata uang negara lain terkena krisis, krisis itu akan menjalar dengan sangat cepat

ke negara lain (Anonymous, 2007). Sebagai contoh, ketika krisis moneter

menyerang Thailand, maka dengan segera krisis ini menjalar hampir di seluruh

negara Asia menjadi krisis multidimensional. Semua ini menunjukkan bahwa

krisis moneter yang memukul dunia, lebih disebabkan oleh sistem moneternya

yang sangat lemah.

Page 10: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

Penutup

Krisis finansial global memang sudah seharusnya terjadi, mengingat

buruknya fundamental ekonomi global. Para analis menuding, bahwa akar

masalah krisis finansial global yang terjadi saat ini disebabkan kerapuhan

fundamental ekonomi. Fenomena ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak

terkendali, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang

berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga

yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak, dan pengaliran

modal yang berlaku berulang kali, semua itu mencerminkan kerapuhan

fundamental ekonomi.

Fenomena spekulasi –baik di pasar uang maupun pasar modal- semakin

memperburuk kondisi ekonomi, ditambah lagi dengan maraknya transaksi

derivatif tanpa adanya underlying asset atau tanpa ada sektor riil yang

melandasinya. Ini mencerminkan sistem moneter dunia yang sangat lemah. Sistem

ekonomi kapitalisme yang memisahkan sektor moneter dan sektor riil, dimana

perkembangan sektor finansial berjalan sendiri tanpa terkait sektor riil, berakibat

pada penciptaan bubble economy yang sangat rawan menimbulkan krisis. Lebih

dari semua penyebab di atas, akar masalah timbulnya krisis finansial global adalah

keserakahan manusia, seperti gaya hidup bergantung kredit yang melebihi batas

kesanggupan membayar serta penerapan kebijakan bunga pinjaman yang

bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Kedua hal tersebut

dituding sebagai biang dari terjadinya kasus subprime mortgage.

Daftar Pustaka

Agustianto, 2008. Telaah Terhadap Akar Krisis Keuangan Global – Bubble

Economy dan Fenomena Ribawi. http://www.pkesinteraktif.com/

Anonymous, 2007. Krisis Ekonomi Akar Masalah dan Solusinya. http://hizbut-

tahrir.or.id/2007/11/02/krisis-ekonomi-akar-masalah-dan-solusinya/

Anonymous, 2008. Kita Masih Bisa Tanam Jagung !. Worldservice, Indonesian

Radio.

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=5

878/

Bomhard, N.V., The Advantages of a Global Solvency Standard. The Geneva

Paper, 35 (79-91).

Page 11: Mencari Akar Masalah Krisis Finansial Global_ Zarah_Univ Jember

Coppola M., Lorenzo E.D., Orlando A., Sibillo M., 2011. Solvency Analysis and

Demographic Risk Measures. The Journal of Risk Finance, vol. 12, no. 4,

pp. 252-269.

Dahuri, R., 2008. Ekonomi Alternatif untuk Mengatasi Krisis Ekonomi Global.

Media Indonesia.com – News and Views.

Firmansyah, 2008. Krisis Keuangan Global, Indikator Sudah Berakhirnya

Kejayaan Kapitalisme – Bagian 2. http://www.syabab.com./

Konig A., Brohm A., 2008. The Relevance of Portfolio Management Achieve for

Solvency Measurement. The Geneva Papers, 33 (440-463).

KSEP ITB, 2008. Krisis Global dan Dampak ke Indonesia. Analysis Team of

KSEP ITB 2008/ 2009.

Prasetyantoko, 2005. Ekonomi Balon. Kompas, 12 September 2005.

Rossi F.M., 2008. Analysis of Solvency in Italian Local Governments: The

Impact of Basel II. The IUP Journal of Financial Risk Management, vol.

8, no. 3, pp. 17-42.

Scott, W.R., 2009. Financial Accounting Theory. Pearson Education Canada Inc.,

Toronto, Ontario.

Wardhana, R., 2008. Krisis Ekonomi Global & M-Stars. http://www.mobile-

elab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=114:krisis-

ekonomi-global-a-m-stars&catid=7