mempelajari mutu silase dan kitosan

60
MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG Oleh : Irma Kusuma Wardhani C 34101017 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Upload: sri-rahayu-de-angelslove

Post on 03-Jan-2016

123 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG

Oleh :

Irma Kusuma Wardhani C 34101017

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2007

Page 2: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

RINGKASAN

IRMA KUSUMA WARDHANI. Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan dari Ampas Silase Limbah Udang. Dibimbing oleh WINARTI ZAHIRUDDIN dan PIPIH SUPTIJAH.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan silase limbah udang dengan penambahan molase sebagai sumber karbohidrat dan mengetahui mutu cairan silase yang dihasilkan, serta menggunakan ampas silase sebagai bahan baku dalam pembuatan kitosan dan mengetahui kualitasnya.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian tahap I dan tahap II. Pada penelitian tahap I dilakukan pembuatan silase dengan penambahan molase sebesar 5 %, 15 % dan 25 %. Selanjutnya pada penelitian tahap II dilakukan pembuatan kitosan dari ampas silase yang dihasilkan pada penelitian tahap I. Pengujian mutu terhadap cairan silase meliputi kadar protein, abu, lemak dan air. Proses pembuatan kitosan pada penelitian tahap II meliputi proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Parameter yang diamati untuk mengetahui mutu kitosan adalah kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi.

Proses pembuatan silase menghasilkan cairan silase dan ampas silase. Nilai kadar protein cairan silase berkisar antara 7,37 – 8,41 %, kadar abunya antara 1,43 – 4,97 %, kadar lemak antara 0,18 – 1,63 % dan kadar air antara 75,21 – 88,99 % Sedangkan nilai kadar protein dari ampas silase berkisar antara 22,18 – 28,63 %, dan kadar abunya antara 19,85 – 38,18 %. Ampas silase kemudian digunakan sebagai bahan baku pembuatan kitosan.

Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai kadar abu berkisar antara 0,018 – 0,123 % dan nilai kadar air 5,2 – 6,76 %. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan dari ampas silase mempunyai kadar abu dan kadar air yang telah memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu kadar abu ≤ 2 % dan kadar air ≤ 10 %. Nilai kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ini berkisar antara 5,81 – 5,90 %, dan nilai derajat deasetilasinya 49,24 – 57,88 % Kadar nitrogen dan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini belum memenuhi standar mutu kitosan dari Protan Laboratories, yaitu kadar nitrogen ≤ 5 % dan derajat deasetilasi ≥ 70 %.

Rendahnya derajat deasetilasi kitosan kemungkinan karena rendahnya suhu yang digunakan pada proses deasetilasi, yaitu 100 oC. Suhu proses deasetilasi yang rendah menyebabkan pelepasan gugus asetil kurang sempurna. Kadar nitrogen pada kitin yang masih tinggi menyebabkan sedikitnya jumlah gugus asetil yang terlepas. Kurang sempurnanya proses pengadukan dan pencucian juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan kadar nitrogen dan derajat deasetilasi kitosan tidak memenuhi standar. Pengadukan berfungsi meratakan panas yang dapat merenggangkan struktur senyawa mineral, nitrogen dan gugus asetil yang menempel pada kulit udang, sehingga dapat terlepas dan larut ke dalam reagen. Larutan senyawa-senyawa ini kemudian dibuang melalui pencucian. Proses pencucian yang kurang baik dapat menyebabkan senyawa-senyawa ini menempel kembali pada kulit udang dan mempengaruhi mutunya.

Page 3: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Irma Kusuma Wardhani C 34101017

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2007

Page 4: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Judul : MEMPELAJARI MUTU SILASE DAN KITOSAN DARI AMPAS SILASE LIMBAH UDANG Nama : Irma Kusuma Wardhani NRP : C 34101017

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II Ir. Winarti Zahiruddin, MS Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 130 422 706 NIP. 131 476 638

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewandi NIP. 130 805 031

Tanggal Lulus : 13 Juli 2007

Page 5: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul Mempelajari Mutu Silase dan Kitosan dari Ampas Silase Limbah Udang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai

dosen pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan membimbing

penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS

sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya

dalam perbaikan skripsi.

3. Bapak Ir. Joko Poernomo, B. Sc yang telah membimbing penulis dan

memberikan masukan dalam penyusunan skripsi.

4. Papa dan Mama tercinta, yang selalu sabar memberikan semangat, doa

dan kasih sayangnya, dan adik-adikku Isnu dan Isal yang selalu

memberikan semangat dan keceriaannya.

5. Para dosen, staf dan laboran Departemen THP atas kebersamaan dan

kerjasamanya.

6. Nurul, Heni, Mira, Apit, Titis, Dewi, Awan, Suminto dan Fauzan yang

telah membantu penulis dalam penelitian, Rani, Nispi, Maratun, Kiki, Ina

dan Wini yang telah membantu penulis pada persiapan seminar dan

sidang, serta teman-teman THP 38, 39 dan 40 yang lain atas semangat dan

kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini. Oleh karena itu kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan

skripsi ini sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi yang

memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007

Irma Kusuma Wardhani

Page 6: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal

20 Oktober 1983. Penulis merupakan anak pertama dari

tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak Muhammad

Ikhwan dan Ibu Rahma Winanti. Penulis memulai

jenjang pendidikan formal di Sekolah Dasar Patra

Dharma, Pulau Bunyu, Kalimantan Timur dan lulus pada

tahun 1995.

Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Patra Dharma, Pulau

Bunyu, Kalimantan Timur sampai tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis

bersekolah di SLTP Negeri 2 Bogor dan lulus tahun 1998. Lalu penulis

melanjutkan ke SMU Negeri 3 Bogor dan lulus tahun 2001.

Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen

Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur

USMI ( Undangan Seleksi Masuk IPB ). Pada tahun 2004 penulis pernah menjadi

peserta dalam Pelatihan Program Manajemen Mutu Terpadu ( PMMT )

berdasarkan Konsepsi HACCP yang diselenggarakan oleh IPB dan Direktorat

Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Mempelajari mutu silase

dan kitosan dari ampas silase limbah udang” sebagai tugas akhir.

Page 7: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix

1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Tujuan .............................................................................................. 3

2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4

2.1 Limbah Udang ................................................................................. 4

2.2 Silase ................................................................................................ 5 2.2.1 Proses silase secara kimiawi ................................................... 6 2.2.2 Proses silase secara biologis ................................................... 7

2.3 Bakteri Asam Laktat ........................................................................ 7

2.4 Molase ............................................................................................. 8

2.5 Kitin dan Kitosan ............................................................................. 11 2.5.1 Sifat kimia kitin dan kitosan .................................................. 11 2.5.2 Ekstraksi kitosan .................................................................... 12 2.5.3 Pemanfaatan kitin dan kitosan ............................................... 14

3. METODOLOGI ...................................................................................... 16

3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................... 16

3.2 Bahan dan Alat ................................................................................ 16

3.3 Metode Penelitian ............................................................................ 16 3.3.1 Penelitian tahap I ................................................................... 17 3.3.2 Penelitian tahap II .................................................................. 20

3.4 Analisis Kimia ................................................................................. 22 3.4.1 Kadar abu ............................................................................... 22 3.4.2 Kadar protein ......................................................................... 22 3.4.3 Kadar air ................................................................................ 23 3.4.4 Kadar lemak ........................................................................... 24 3.4.5 Derajat deasetilasi .................................................................. 24

3.5 Rancangan Percobaan ..................................................................... 25

Page 8: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 27

4.1 Penelitian Tahap I ............................................................................ 27

4.2 Penelitian Tahap II .......................................................................... 29 4.2.1 Rendemen .............................................................................. 29 4.2.2 Kadar abu ............................................................................... 30 4.2.3 Kadar nitrogen ....................................................................... 32 4.2.4 Kadar air ................................................................................ 34 4.2.5 Derajat deasetilasi ................................................................. 35

5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 38

5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 38

5.2 Saran ................................................................................................ 39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 40

LAMPIRAN ................................................................................................. 44

Page 9: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia kepala dan kulit udang .................................................. 4

2 Komposisi molase .................................................................................... 9

3 Standar mutu kitosan ( Protan Laboratories ) ........................................... 15

4 Nilai rata-rata hasil analisis cairan dan ampas silase ................................ 27

Page 10: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema proses pembuatan gula tebu ........................................................ 10

2 Reaksi proses demineralisasi ................................................................... 13

3 Struktur kitin dan kitosan ....................................................................... 14

4 Skema proses pembuatan starter bakteri asam laktat ............................. 18

5 Skema pembuatan silase limbah udang .................................................. 19

6 Skema pembuatan kitosan dari ampas silase limbah udang ................... 21

7 Histogram nilai rata-rata rendemen kitosan dari ampas silase ............... 30

8 Histogram nilai rata-rata kadar abu kitosan dari ampas silase ................ 31

9 Histogram nilai rata-rata kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ......... 33

10 Histogram nilai rata-rata kadar air kitosan dari ampas silase .................. 34

11 Histogram nilai derajat deasetilasi kitosan dari ampas silase .................. 36

Page 11: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1a Hasil analisa kadar abu cairan silase ...................................................... 45

1b Nilai analisis ragam kadar abu cairan silase ........................................... 45

2a Hasil analisa kadar protein cairan silase ................................................. 45

2b Nilai analisis ragam kadar protein cairan silase .................................... 45

3a Hasil analisa kadar lemak cairan silase .................................................. 46

3b Nilai analisis ragam kadar lemak cairan silase ...................................... 46

4 Hasil analisa kadar air cairan silase ........................................................ 46

5 Hasil analisa kadar abu ampas silase ...................................................... 46

6 Hasil analisa kadar protein ampas silase ................................................ 46

7 Hasil analisa kadar abu kitosan dari ampas silase .................................. 47

8 Hasil analisa kadar nitrogen kitosan dari ampas silase .......................... 47

9 Hasil analisa kadar air kitosan dari ampas silase .................................... 47

10 Hasil analisa derajat deasetilasi kitosan dari ampas silase ..................... 47

11 Rendemen kitosan dari ampas silase ...................................................... 47

12 Gambar cairan silase .............................................................................. 48

13 Gambar molase ( tetes tebu ) ................................................................. 48

14 Gambar ampas silase limbah udang ...................................................... 49

15 Gambar kitosan dari ampas silase limbah udang .................................. 49

Page 12: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan aneka ragam sumberdaya

hayati maupun hewani. Dengan perairan yang sangat luas ini Indonesia memiliki

sumberdaya perikanan yang cukup besar. Adanya permintaan pasar terhadap hasil

perikanan yang terus meningkat telah memicu peningkatan produksi nasional,

baik hasil tangkap maupun budidaya.

Limbah hasil perikanan mudah mengalami pembusukan, sehingga dapat

menjadi sumber pencemaran terhadap lingkungan dan apabila tidak segera

ditangani dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi penduduk di sekitarnya.

Pencemaran ini masih dapat dikurangi, apabila limbah yang ada dapat

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Setiap limbah mempunyai bentuk, sifat dan

karakteristik yang berbeda ditinjau dari segi kandungan atau komposisi senyawa

yang terdapat di dalamnya. Limbah hasil perikanan umumnya belum

dimanfaatkan dengan baik. Dengan semakin meningkatnya industri perikanan

maka semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan, sehingga

diperlukan pula usaha pemanfaatannya.

Data dari Eurostat tahun 1996-2000 mencatat kenaikan nilai impor udang

beku UE ( Uni Eropa ) yang berasal dari Indonesia dengan laju pertumbuhan rata-

rata 44,62 % per tahun. Selama periode tersebut volumenya meningkat rata-rata

42,33 % per tahun, dari 2879 metrik ton tahun 1996 menjadi 11734 metrik ton

tahun 2000. Pada tahun 2001 ( Januari-Juni ) nilai impor udang beku UE dari

Indonesia meningkat 43,70 % sementara volumenya meningkat 38,32 %. Selama

periode tersebut telah tercatat pula kenaikan pangsa pasar komoditi yang berasal

dari Indonesia dari 1,66 % tahun 1996 menduduki tempat ke-19 sebagai pemasok

menjadi 4,88 % pada periode Januari-Juni 2001 atau menduduki peringkat ke-5

sebagai pemasok ( termasuk impor intra UE ) ( www.indonesiamission-eu.org )

Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 170 perusahaan pengolahan udang

dengan kapasitas produksi sekitar 500.000 ton per tahun. Dari proses pengolahan

udang dalam bentuk udang beku headless atau peeled untuk ekspor, 60 – 70 %

dari berat udang menjadi limbah ( bagian kulit dan kepala ). Diperkirakan, dari

Page 13: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

proses pengolahan oleh seluruh unit pengolahan yang ada, akan dihasilkan

limbah sebesar 325.000 ton per tahun ( Prasetiyo 2006 ).

Udang termasuk bahan yang cepat busuk, apalagi bila tidak ditangani

secara cepat dan tepat. Walaupun udang dapat diolah menjadi berbagai produk

olahan, tetapi limbah yang dihasilkannya tetap memerlukan perhatian serius.

Limbah udang dapat merupakan udang reject serta kepala dan kulit udang. Salah

satu alternatif yang dapat digunakan adalah mengolahnya menjadi silase yang

dapat digunakan dalam formulasi pakan ( Suryani et al. 2005 ).

Pada umumnya silase terbuat dari ikan atau limbah ikan. Silase ikan

adalah suatu produk cair yang dibuat dari sisa-sisa olahan hasil perikanan yang

tidak dimanfaatkan oleh manusia tanpa perlakuan lain kecuali dengan asam atau

dengan inokulasi bakteri. Cairan silase terbentuk sebagai akibat dari aktifitas

enzim proteolitik seperti cathepsin yang terdapat pada ikan tersebut ( Kompiang

dan Ilyas 1983, diacu dalam Purba 2001 ).

Silase ikan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi ( 18-20 % )

sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein dalam formulasi pakan

( Suryani et al. 2005 ). Hasil penelitian tersebut menunjukkan silase ikan dapat

menggantikan tepung ikan secara penuh dengan tidak menghambat proses

pertumbuhan ikan, dan dapat disimpan selama 12 bulan.

Selama ini limbah udang belum dimanfaatkan secara maksimal.

Pengolahan yang telah dilakukan oleh nelayan hanya bersifat sampingan yakni

dibuat menjadi terasi, kerupuk atau petis. Pembuatan silase udang mempunyai

keuntungan, yaitu mudah dibuat, alat yang diperlukan sederhana, tidak

tergantung pada jumlah bahan mentahnya dan keadaan cuaca. Selain itu modal

yang diperlukan relatif kecil walaupun untuk produksi skala besar, tidak

menimbulkan sisa dan tidak menimbulkan pencemaran ( Arifudin dan Murtini

2002 ).

Proses pembuatan silase limbah udang akan menghasilkan cairan silase

dan ampas. Cairan silase dapat digunakan sebagai campuran pada pakan ternak

karena mengandung protein. Sedangkan ampas silase yang berupa kulit udang

yang tidak terurai pada proses pembuatan silase dapat dimanfaatkan sebagai

bahan baku pembuatan kitosan.

Page 14: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Pada pembuatan silase secara biologis diperlukan sumber bakteri asam

laktat dan sumber karbohidrat. Pada umumnya karbohidrat yang langsung

digunakan oleh bakteri asam laktat sebagai sumber energinya adalah karbohidrat

sederhana dari golongan monosakarida seperti glukosa dan fruktosa serta

golongan disakarida. Salah satunya adalah molase yang berasal dari limbah

pengolahan tebu. Selama ini molase banyak dimanfaatkan sebagai pupuk, pakan

ternak dan bahan pembentuk formulasi agen biokontrol ( Holilah 2005 ).

Kandungan gula dan mineral pada molase cukup tinggi. Oleh karenanya molase

dapat dijadikan sebagai sumber energi bagi kehidupan bakteri asam laktat dalam

pengolahan silase.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a) Mempelajari proses pembuatan silase limbah udang dengan penambahan

molase sebagai sumber karbohidrat dan mengetahui mutu silase yang

dihasilkan.

b) Memanfaatkan ampas silase sebagai bahan baku dalam pembuatan

kitosan dan mengetahui kualitasnya.

Page 15: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Udang

Tubuh udang terdiri dari bagian kepala ( chepalothorax, yaitu gabungan

kepala-dada-perut ) dan bagian ekor. Bagian kepala merupakan 36 – 49 % dari

seluruh berat badan. Bagian daging berkisar 24 – 41 % dari berat badan,

sedangkan sisanya ( 23 – 27 % ) berupa kulit ekor ( Zaitsev et al. 1969, diacu

dalam Kupepawati 1992 ).

Secara umum limbah udang merupakan bagian-bagian dari tubuh udang

yang tidak dimanfaatkan dalam suatu pengolahan. Untuk keperluan ekspor,

bagian udang yang dibekukan adalah mulai dari bagian badan hingga bagian

ekor, sedangkan bagian kepala dan dada ( chepalothorax ) yang dibungkus kulit

keras ( karapas ) merupakan bagian yang dibuang ( Arlius 1991 ).

Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 170 perusahaan pengolahan udang

dengan kapasitas produksi sekitar 500.000 ton per tahun. Dari proses pembekuan

udang dalam bentuk udang beku headless atau peeled untuk ekspor, 60 – 70 %

dari berat udang menjadi limbah ( bagian kulit dan kepala ) ( Prasetiyo 2006 ).

Kepala dan kulit udang tersebut mengandung protein sebesar 16,6 % dan air

sebesar 81,6 % ( Suparno dan Nurcahyo 1984, diacu dalam Sari 2003 ).

Komposisi kimia kepala dan kulit udang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia kepala dan kulit udang

Komposisi Jumlah ( % )

Air 81,60

Protein 16,60

Lemak 0,20

Abu 0,50

Karbohidrat 0,10 Sumber : Suparno dan Nurcahyo ( 1984 ), diacu dalam Sari ( 2003 )

Page 16: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Suptijah et al. ( 1992 ) menyatakan bahwa limbah udang dapat

dikategorikan menjadi 3 jenis berdasarkan jenis pengolahannya, yaitu :

1) Kepala udang yang biasanya merupakan hasil samping industri

pembekuan udang tanpa kepala.

2) Kulit udang yang biasanya merupakan hasil samping industri pembekuan

udang kelas mutu 2 atau industri pengalengan udang.

3) Campuran keduanya yang biasanya berasal dari industri pengalengan

udang.

2.2 Silase

Di banyak negara di benua Eropa, sejak lama dikenal cara ensiling untuk

membuat silaj ( silage ) atau silase. Mula-mula cara ini dilakukan terhadap

hijauan untuk makanan ternak ( rumput ) dengan penambahan asam kuat, tetapi

kemudian asamnya diganti dengan asam laktat yang dihasilkan dari proses

fermentasi asam laktat ( Suriawiria 1995 ). Kelebihan hijauan ( rumput ) di

musim hujan dicampur dengan beberapa bahan ( dedak, molase ) dan disimpan

dalam wadah tertutup ( anaerob ). Kondisi yang asam menyebabkan hijauan

menjadi lebih awet ( Suryani et al. 2005 ).

Silase adalah cairan kental yang dihasilkan dari pemecahan senyawa

kompleks menjadi senyawa sederhana yang dilakukan oleh enzim pada

lingkungan yang terkontrol, baik secara kimia atau biologis ( fermentasi ). Silase

dibuat dengan tujuan memperpanjang umur simpan dengan cara mengkondisikan

bahan dalam keadaan asam sehingga aktivitas mikroorganisme pembusuk dapat

dicegah ( Suryani et al. 2005 ).

Silase dapat dimanfaatkan sebagai salah satu unsur yang dicampurkan ke

dalam pakan ikan atau pakan ternak lainnya. Penggunaan silase umumnya

dimaksudkan untuk menggantikan seluruh atau sebagian tepung ikan dalam

pakan. Penggunaan silase sebagai pengganti tepung ikan dianggap sangat

menguntungkan, sebab selain harganya lebih murah, kualitasnya pun tidak jauh

berbeda ( Afrianto dan Liviawaty 1989 ).

Menurut Arifudin dan Murtini ( 2002 ), dibandingkan dengan tepung

ikan, silase mempunyai kelebihan dan kelemahan yaitu :

Page 17: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

1) Cara pembuatan silase relatif mudah dan sederhana.

2) Pembuatan silase tidak tergantung jumlah bahan mentah dan keadaan

cuaca.

3) Modal yang diperlukan relatif kecil walaupun induk produksi berskala

besar.

4) Tidak ada bahan yang terbuang dan tidak mencemari lingkungan.

5) Kesulitan dalam penyimpanan dan transportasi karena produk berbentuk

cair.

2.2.1 Proses silase secara kimiawi

Proses pembuatan silase secara kimia pada umumnya menggunakan jenis

asam mineral, asam organik atau campuran dari kedua jenis asam tersebut. Faktor

lain yang dapat mempengaruhi penggunaan jenis asam tersebut adalah harga dan

kemudahannya diperoleh di pasaran serta kondisi lingkungan setempat ( Afrianto

dan Liviawaty 1989 ). Senyawa asam tersebut berfungsi untuk melunakkan

jaringan dan menurunkan derajat keasaman ( pH ) dari bahan. Akibatnya, enzim

proteolitik yang terdapat dalam bahan ( ikan ) akan aktif memecah protein

( senyawa kompleks ) menjadi senyawa asam amino ( senyawa sederhana ) yang

bersifat larut dalam air ( Junianto 2004 ).

Asam organik yang digunakan umumnya berupa asam formiat dan asam

propionat, hanya saja harganya relatif mahal bila dibandingkan dengan asam

mineral. Penggunaan asam ini dapat menghasilkan silase yang tidak terlalu asam

sehingga dapat langsung digunakan sebagai campuran makanan ikan maupun

ternak lain tanpa harus dinetralkan terlebih dahulu. Sedangkan asam mineral,

meskipun relatif murah, sering menghasilkan silase yang sangat asam sehingga

perlu dinetralkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai campuran dalam

makanan ikan atau ternak. Untuk mengurangi tingkat keasaman, silase yang

dibuat dengan penambahan asam mineral perlu dicampur dengan sejumlah batu

kapur sehingga pH-nya menjadi netral. Selain menghasilkan silase yang sangat

asam, asam mineral juga mempunyai sifat korosif terhadap logam. Sehingga

peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan silase harus lebih tahan

Page 18: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

terhadap pengaruh asam yang kuat, misalnya dari bahan plastik ( Afrianto dan

Liviawaty 1989 ).

2.2.2 Proses silase secara biologis

Proses silase secara biologis murni terjadi apabila tidak digunakan bahan

kimia dan cara ini biasa disebut sebagai cara fermentasi. Pada proses ini biasanya

ditambahkan mikroorganisme tertentu dengan jumlah yang cukup kemudian

diinkubasi pada suhu optimum bakteri tersebut ( berkisar 30 oC ) dan dalam

kondisi anaerob. Waktu fermentasi biasanya akan berlangsung relatif lama lebih

dari 10 hari, ditandai dengan hancurnya daging dan rapuhnya tulang, sehingga

bentuk akhir menjadi seperti bubur ( Jatmiko 2002 ).

Pada pembuatan silase secara biologis diperlukan sumber bakteri asam

laktat dan sumber karbohidrat. Proses ini hanya cocok untuk ikan-ikan kecil

seperti ikan teri atau sisa-sisa olahan yang mempunyai kandungan lemak yang

rendah ( kurang dari 1 % ). ( Suryani et al. 2005 ). Bahan yang mengandung

karbohidrat yang tinggi berfungsi sebagai perangsang berlangsungnya fermentasi.

Pada kondisi yang baik, antara lain ketersediaan bahan yang mengandung

karbohidrat tinggi, bakteri asam laktat dapat berkembang biak dengan cepat

( Fadjriasari 2003 ).

2.3 Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat ( Lactobacillus ) merupakan kelompok

mikroorganisme dengan habitat dan lingkungan hidup sangat luas, baik di

perairan ( air tawar atau laut ), tanah, lumpur, maupun batuan. Bakteri ini juga

menempel pada jasad hidup lain seperti tanaman, hewan, serta manusia. Pada

manusia, sejumlah bakteri asam laktat ditemukan di usus, aliran darah, paru-paru,

serta mulut ( Suriawiria, 2003 ).

Bakteri asam laktat tergolong famili Lactobacillaceae. Bakteri dalam

kelompok ini termasuk bakteri gram positif, tidak berspora, berbentuk batang

panjang, anaerobik fakultatif dan katalase negatif. Sifat yang terpenting dari

bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk memfermentasi gula menjadi

asam laktat. Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk-produk fermentasi

seperti fermentasi sayur-sayuran ( sauerkraut, pikel dan lain-lain ), fermentasi

Page 19: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

susu ( keju, yoghurt dan lain-lain ) dan fermentasi ikan. Karena produksi asam

oleh bakteri asam laktat berjalan secara cepat, maka pertumbuhan mikroba lain

yang tidak diinginkan dapat terhambat ( Fardiaz 1992 ).

Bakteri asam laktat termasuk golongan mikroorganisme yang aman

ditambahkan dalam makanan karena sifatnya yang tidak toksik dan dikenal

dengan sebutan food grade microorganism, atau disebut juga mikroorganisme

yang tidak beresiko terhadap kesehatan, bahkan ada beberapa jenis bakteri

tersebut sangat baik bagi kesehatan ( Salminen et al. 1993 ).

Pada dasarnya ada dua kelompok kecil mikroorganisme dari kelompok

bakteri asam laktat yaitu organisme yang bersifat homofermentatif dan

heterofermentatif. Jenis-jenis bakteri asam laktat homofermentatif sebagian besar

menghasilkan asam laktat dari metabolisme gula yang dihasilkannya. Sedangkan

jenis heterofermentatif dapat menghasilkan karbondioksida dan sedikit asam-

asam volatil lainnya, alkohol dan ester selain asam laktat ( Buckle et al. 1987,

diacu dalam Setiadi 2001 ).

Mikroorganisme yang berperan pada pembuatan silase yang diproduksi

secara biologis adalah Leuconostoc mesenteroides, Streptococcus faecalis, dan

Lactobacillus plantarum. Mikroorganisme tersebut berperan dalam fermentasi

secara bergantian. Dimana pada hari pertama dan kedua setelah fermentasi

mikroorganisme yang berperan adalah L. mesenteroides, sedangkan pada hari

kedua sampai hari keempat mikrooorganisme yang berperan adalah L. plantarum

( Rahayu et al. 1992 ).

2.4 Molase

Molase didefinisikan sebagai cairan kental, berwarna coklat kehitaman

yang merupakan buangan akhir proses pengolahan gula setelah mengalami

kristalisasi berulang. Cairan ini masih mengandung sukrosa tetapi tidak dapat

dikristalisasi lagi ( Paturau 1982 ). Molase kaya akan kandungan berbagai asam

amino seperti aspartat, glutamat, lisin dan alanin. Kandungan protein kasar yang

dimiliki molase dapat mencapai 2,5 % - 4,5 % dan hampir separuhnya merupakan

protein yang dapat dicerna ( Somatmadja 1981, diacu dalam Saputra 2003 ).

Komposisi molase tertera pada Tabel 2.

Page 20: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Tabel 2 Komposisi molase

Komponen Jumlah ( % )

Total gula

♦ Sukrosa

55,37

30,62

Protein 3,89

Air 20,33

Abu 13,09 Sumber : Subari ( 1988 ), diacu dalam Saputra ( 2003 )

Molase merupakan gula tetes yang kental yang dimanfaatkan sebagai

sumber karbon dan nitrogen substrat sehingga dapat digunakan sebagai media

untuk pertumbuhan bakteri. Di dalam molase terkandung senyawa-senyawa

seperti polisakarida, asam amino, dan abu sulfat. Abu sulfat ini berasal dari

pupuk tanaman tebu yang terserap pada batangnya yaitu ZA, yang komponen

utamanya mengandung belerang atau sulfur. Komponen mineral dalam molase

antara lain kalium, nitrogen, kalsium, alumunium, magnesium ( bentuk anion ),

sulfat, sulfit, fosfat, klorida dan silikat ( bentuk kation ) ( Tohorisman dan

Hutasoit 1993, diacu dalam Holilah 2005 ).

Molase merupakan sumber energi yang murah karena mengandung

gula ± 50 %, baik dalam bentuk sukrosa 20 – 30 % atau dalam bentuk gula

pereduksi 10 – 30 %. Gula pereduksi tersebut sangat mudah dicerna dan dapat

langsung diserap oleh darah, digunakan untuk keperluan energi ( Winarno 1981 ).

Tingginya kandungan gula dan mineral pada molase merupakan suatu potensi

untuk dimanfaatkan sebagai substrat fermentasi oleh mikroorganisme

( Wirioatmodjo 1984 ). Selain itu molase juga banyak dimanfaatkan sebagai

pupuk dan pakan ternak. Biasanya molase dicampurkan dalam pembuatan pupuk

kandang atau kompos yang diproses secara fermentasi. Sedangkan untuk pakan

ternak, biasanya molase dicampurkan pada rumput atau dedak untuk menambah

energi pada ternak ( Holilah 2005 ). Proses pembuatan gula tebu dan produk

sampingannya ( molase ) dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 21: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Tebu

Ekstraksi

Serat tebu Cairan tebu

Liming ( Pengendapan kotoran dengan kapur )

Evaporasi ( penguapan )

Kristalisasi ( pendidihan )

Gula kasar Cairan sisa ( molase )

Afinasi ( pelunakan )

Karbonatasi ( pembersihan )

Penghilangan warna

Pendidihan dan pengkristalan

Gula putih Cairan sisa ( molase )

Gambar 1 Skema proses pembuatan gula tebu ( www.food-info.net )

Page 22: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

2.5 Kitin dan Kitosan

Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama

kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang

dinamakan fungiue. Kitin merupakan unsur organik yang sangat penting pada

hewan golongan Arthopoda, Annelida, Mollusca dan Nematoda. Kitin biasanya

berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat kulit dan kerangkanya

saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, kulit usus dan bagian dalam kulit

cumi-cumi ( Neely dan William 1969, diacu dalam Marganof 2003 ).

2.5.1 Sifat kimia kitin dan kitosan

Kitin merupakan biopolimer terbanyak kedua setelah selulosa yang

berlimpah dan tersebar di alam. Kitin termasuk komponen organik penting

penyusun kerangka lobster ( 12 % ), kepiting ( 13 % ), udang ( 8 % ), antartic

krill ( 2,3 – 6,1 % ), dinding sel kapang ( 44 % ) dan dinding sel jamur ( 40 % )

( Knorr 1982 ). Kandungan kitin pada kulit udang lebih sedikit daripada kulit

kepiting, akan tetapi kulit udang lebih mudah diperoleh karena ketersediaannya

sebagai limbah industri pengolahan udang beku.

Secara kimia kitin merupakan polimer ( 1-4 )-2-asetamido-2-deoksi-B-D-

glukosamin yang dapat dicerna mamalia, sedangkan kitosan merupakan kitin

yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat sehingga

bahan ini merupakan polimer dari D-glukosamin ( Krissetiana 2004 ). Kitosan

yang disebut juga dengan B-1,4-2-amino-dioksi-D-glukosa merupakan turunan

dari kitin melalui proses deasetilasi. Kitosan juga merupakan polimer multifungsi

karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil

primer dan sekunder ( Tokura dan Nishi 1995 ).

Kitin merupakan zat padat yang tidak berbentuk ( amorphous ), tidak larut

dalam air, asam organik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan pelarut organik

lainnya, tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kitin kurang larut

dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi

sedikit, sedangkan kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin

( Tokura dan Nishi 1995 ).

Page 23: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat,

sedikit larut dalam HCl, HNO3 dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan

tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik

( Hirano 1986 ). Disamping itu kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan

zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu kitosan relatif lebih

banyak digunakan pada berbagai industri terapan dan industri kesehatan

( Muzzarelli 1986 ).

2.5.2 Ekstraksi kitosan

Untuk mendapatkan kitin murni, dilakukan proses isolasi kitin yang

terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral ( demineralisasi ) dan

pemisahan protein ( deproteinasi ) ( Suptijah et al.1992 ).

Deproteinasi dapat dilakukan sesudah atau sebelum demineralisasi.

Deproteinasi dilakukan lebih dulu apabila protein yang terlarut akan

dimanfaatkan lebih lanjut ( Knoor 1982 ). Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih

dulu karena dipandang lebih menguntungkan, yaitu membentuk efek penstabilan

pada limbah udang, memaksimalkan produk dan kualitas protein yang terlarut.

Namun apabila demineralisasi dilakukan lebih dulu dapat terjadi kontaminasi

cairan ekstrak mineral ( Angka dan Suhartono 2000 ).

Demineralisasi bertujuan menghilangkan mineral-mineral yang terdapat

pada limbah udang. Limbah udang secara umum mengandung 30 – 50 % mineral

tergantung dari spesiesnya. Dari kandungan mineralnya tersebut 8 – 10 %

merupakan kalsium karbonat ( CaCO3 ) dan kalsium fosfat ( Ca3(PO4)2 ) ( Angka

dan Suhartono 2000 ). Semakin banyak mineral yang dihilangkan maka kitin

yang dihasilkan akan semakin baik. Proses demineralisasi dapat dilakukan

dengan penambahan HCl 1 N dengan perbandingan bobot bahan dan volume

pengekstrak sebanyak 1 : 7 dengan pemanasan selama 1 jam pada suhu 90 oC

( Suptijah et al. 1992 ). Pada proses ini terjadi reaksi kimia antara asam klorida

( HCl ) dengan kalsium ( CaCO3 dan Ca3(PO4)2 ) dan akan menghasilkan kalsium

klorida yang akan mengendap dan mudah dipisahkan ( Angka dan Suhartono

2000 ).

Page 24: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

CaCO3 + 2 HCl CaCl2 + H2CO3

H2CO3 H2O + CO2

CaCO3 + 2 HCl CaCl2 + H2O + CO2 Ca3(PO4)2 + 6 HCl 3 CaCl2 + 2 H3PO4 Gambar 2 Reaksi proses demineralisasi ( Bastaman 1989, diacu dalam

Prantommy 2005 )

Deproteinasi bertujuan menghilangkan protein dari limbah tersebut.

Keefektifan proses deproteinasi tergantung kekuatan larutan basa dan tingginya

suhu yang digunakan. Penggunaan larutan NaOH 3,5 % dengan pemanasan

bersuhu 90 oC selama 1 jam dilakukan dengan perbandingan bahan dan larutan

basa sebesar 1 : 10 ( Suptijah et al. 1992 ). Selama proses deproteinasi, larutan

alkali akan masuk ke celah-celah limbah udang untuk memutuskan ikatan antara

kitin dan protein ( Purwatiningsih 1992, diacu dalam Nugroho 2005 ). Protein

yang terdapat dalam limbah udang akan terekstrak dalam bentuk Na-proteinat.

Ion Na+ akan mengikat ujung rantai protein yang bermuatan (-) dan larut dalam

larutan pengekstrak ( Prantommy 2005 ). Dari proses demineralisasi dan

deproteinasi dihasilkan kitin.

Pembuatan kitosan dilakukan dengan menghilangkan gugus asetil

( -COCH3 ) ( deasetilasi ) dari kitin menggunakan larutan NaOH pekat ( 50 % )

dengan perbandingan bahan dan larutan NaOH 1 : 20 dengan pemanasan

selama 1 jam pada suhu 120 – 140 oC ( Suptijah et al. 1992 ). Semakin banyak

gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka semakin kuat interaksi antar ion

dan ikatan hidrogen dari kitosan ( Ornum 1992, diacu dalam Nugroho 2005 ).

Pada proses deasetilasi terjadi reaksi antara NaOH dan gugus N asetil pada kitin

( rantai C-2 ) yang akan menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus

amina ( -NH2 ).

Page 25: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Gambar 3 Struktur kitin ( atas ) dan kitosan ( bawah ) ( www.ag168.com )

2.5.3 Pemanfaatan kitin dan kitosan

Kitin dan kitosan merupakan biopolimer yang secara komersial

mempunyai potensi dalam berbagai bidang dan industri. Kitin merupakan bahan

dasar dalam bidang biokimia, enzimologi, obat-obatan, pertanian, pangan gizi,

mikrobiologi, industri membran ( film ), tekstil, kosmetik dan lain-lain

( Krissetiana 2004 ). Kitosan digunakan dalam berbagai industri, antara lain

sebagai perekat kualitas tinggi, pemurnian air minum , sebagai senyawa

pengkelat, meningkatkan zat warna dalam industri kertas, tekstil dan pulp.

Kitosan juga dapat digunakan sebagai pengangkut ( carrier ) obat dan komponen

alat-alat operasi seperti sarung tangan, benang operasi dan membran pada operasi

plastik ( Angka dan Suhartono 2000 ).

Dalam bidang pertanian, kompleks kitin dengan protein dapat

dicampurkan ke dalam tanah untuk mengurangi resiko serangan cacing parasit

terhadap tanaman dan dapat meningkatkan sekresi enzim kitinase pada tanaman.

Dalam industri kosmetik, kitin dapat digunakan sebagai pengemulsi, bahan

pelembab dan emollients ( Ditjen Perikanan 1989 ). Persyaratan mutu kitosan

tertera pada Tabel 3.

Page 26: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Tabel 3 Standar mutu kitosan menurut Protan Laboratories

Parameter Standar

Ukuran partikel Butiran / bubuk

Kadar air ( % berat kering ) ≤ 10 %

Kadar abu ( % berat kering ) ≤ 2 %

Derajat deasetilasi ≥ 70 %

Warna larutan Jernih

Viskositas

♦ rendah

♦ medium

♦ tinggi

♦ ekstrak tinggi

< 200 cps

200 – 799 cps

800 – 2000 cps

> 2000

Kandungan nitrogen ≤ 5 % Sumber : Protan Laboratories, diacu dalam Suptijah et al. ( 1992 )

Page 27: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai November 2006,

bertempat di Laboratorium Penanganan dan Pengolahan Hasil Perikanan serta

Laboratorium Biokomia Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil

Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Biokimia

Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Juga

digunakan Laboratorium Rekayasa Reaksi Kimia dan Konservasi Gas Alam

( RRK-KGA ), Departemen Teknik Gas dan Petrokimia, Fakultas Teknik,

Universitas Indonesia, untuk melakukan analisis derajat deasetilasi kitosan.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan silase adalah limbah

udang yang diperoleh dari unit industri pembekuan udang di Muara Baru Jakarta,

molase, garam dan kubis untuk pembuatan starter bakteri asam laktat.

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan kitosan adalah

HCl 1 N serta NaOH 3,5 % dan 50 %.. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan

untuk analisa kimia adalah H2SO4, H3BO3, HCl, pelarut heksan dan lain-lain.

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan silase dan kitosan serta

analisis kimia adalah timbangan, pengaduk, baskom, selang plastik, kain saring,

plastik, gelas ukur, timbangan analitik, oven, tanur, nampan, cawan porselen, alat

destilasi, kjeltec system, soxhlet, gelas piala, desikator, kertas saring, labu lemak,

erlenmeyer, kompor listrik, kertas pH, spektrofotometer infra merah dan lain-lain.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian tahap I dan

penelitian tahap II.

a) Penelitian tahap I bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan molase

terhadap kualitas cairan silase dan ampas silase. Perlakuan yang diberikan

adalah penambahan molase sebesar 5 %, 15 % dan 25 %. Pengujian mutu

yang dilakukan pada silase adalah kadar protein, abu, lemak dan air.

Sedangkan parameter yang diujikan pada ampas silase adalah kadar protein

Page 28: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

dan abu. Ampas silase yang berupa kulit udang yang tidak terurai selama

proses pembuatan silase selanjutnya akan digunakan dalam penelitian

tahap II.

b) Pada penelitian tahap II dilakukan pembuatan kitosan dari ampas silase yang

diperoleh dari penelitian tahap I. Pembuatan kitosan terdiri dari proses

demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Pengujian mutu kitosan yang

dilakukan yaitu kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi.

3.3.1 Penelitian tahap I

a) Penelitian tahap I dilakukan dengan mempersiapkan kubis terlebih dahulu

sebagai bahan baku untuk pembuatan starter bakteri asam laktat. Kubis

dirajang sehingga menjadi potongan-potongan yang kecil, kemudian

dimasukkan ke dalam wadah. Potongan kubis tersebut ditambahkan larutan

garam 2,5 % hingga terendam dan diinkubasi selama 4 hari dalam wadah

tertutup pada suhu kamar sampai tercium bau asam ( Gambar 4 ).

b) Pembuatan silase dimulai dengan pencucian limbah udang ( 12 kg ) dan

dipotong kecil atau dihancurkan supaya dihasilkan campuran yang homogen.

Cacahan limbah udang lalu dibagi menjadi 6 bagian, untuk 3 perlakuan dan 2

kali ulangan. Kemudian cacahan limbah udang tersebut dicampur dengan

starter bakteri asam laktat sebanyak 75 ml/0,6 kg limbah udang. Lalu

campuran tersebut ditambahkan dengan molase ( 5 %, 15 %, 25 % ) dan

diaduk supaya campuran menjadi homogen. Campuran ditempatkan ke dalam

wadah yang tertutup dan difermentasi selama 10 hari pada suhu kamar.

Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan penyaringan dengan

menggunakan kain saring sehingga diperoleh cairan dan ampas silase. Cairan

silase ditempatkan dalam botol tertutup dan ampas silase yang diperoleh

dicuci bersih dan dikeringkan. Ampas silase yang telah kering dapat

digunakan untuk bahan baku pembuatan kitosan ( Gambar 5 ).

Page 29: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Kubis

Pencucian

Perajangan

Larutan garam 2,5 % Pencampuran

Fermentasi ( dalam wadah tertutup, dalam suhu ruang selama 4 hari )

Penyaringan

Filtrat Ampas

Starter

Gambar 4 Skema proses pembuatan starter bakteri asam laktat ( Suriawiria 1980 )

Page 30: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Limbah udang

Pencucian dan pemotongan

Starter Pencampuran Molase ( 75 ml/ 0,6 kg )(*) ( 5 %, 15 %, 25 % )

Fermentasi ( dalam wadah tertutup, selama 10 hari dalam suhu ruang )

Silase

Penyaringan

Filtrat Ampas silase

Cairan silase Pencucian

Pengeringan

Bahan baku pembuatan kitosan

Gambar 5 Skema pembuatan silase limbah udang dan ampas silase kering ( Modifikasi Kupepawati 1992(*) dan Suryani et al. 2005 )

Page 31: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

3.3.2 Penelitian tahap II

Penelitian tahap II merupakan lanjutan dari penelitian tahap I yaitu

pembuatan kitosan dari ampas silase udang yang dihasilkan dari penelitian

tahap I. Pembuatan kitosan terdiri dari beberapa tahap yaitu demineralisasi,

deproteinasi dan deasetilasi ( Gambar 6 ).

a) Demineralisasi

Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terdapat

pada ampas silase dengan menggunakan pelarut asam. Proses ini dilakukan

dengan penambahan HCl 1 N dengan perbandingan bobot bahan dan volume

pengekstrak 1 : 7 ( b/v ), lalu dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam disertai

dengan pengadukan. Kemudian dilakukan penyaringan dan padatan yang

diperoleh dicuci dengan air beberapa kali sampai pH netral.

b) Deproteinasi

Proses ini dilakukan untuk menghilangkan protein dari ampas silase yang

telah dipisahkan mineralnya. Deproteinasi dilakukan dengan menambahkan

NaOH 3,5 % pada perbandingan 1 : 10 ( b/v ), lalu dipanaskan pada suhu 90 oC

selama 1 jam dan disertai pengadukan. Kemudian dilakukan penyaringan dan

padatan yang diperoleh dicuci dengan air beberapa kali sampai pH netral. Dari

proses ini dihasilkan kitin.

c) Deasetilasi

Deasetilasi merupakan proses pengubahan kitin menjadi kitosan dengan

cara menghilangkan gugus asetil. Kitin yang diperoleh setelah deproteinasi

dicampur dengan NaOH 50 % dengan perbandingan 1 : 20 ( b/v ). Campuran

dipanaskan dengan suhu 100 oC disertai pengadukan selama 1 jam. Selanjutnya

dilakukan penyaringan dan padatan dicuci dengan air beberapa kali sampai pH

netral. Kitosan yang diperoleh dijemur pada sinar matahari selama 1 – 2 hari

sampai kering dan dianalisis mutunya yang meliputi kadar abu, nitrogen, air dan

derajat deasetilasi.

Page 32: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Ampas silase limbah udang ( kering )

HCl 1 N, 1:7 (b/v) Demineralisasi suhu 90 oC, 1 jam

Penyaringan dan pencucian

NaOH 3,5 %, 1:10 (b/v) Deproteinasi suhu 90 oC, 1 jam

Penyaringan dan pencucian

Kitin

NaOH 50 %, 1:20 (b/v) Deasetilasi suhu 100 oC, 1 jam

Penyaringan dan pencucian

Pengeringan

Kitosan

Gambar 6 Skema pembuatan kitosan dari ampas silase limbah udang ( Suptijah et al. 1992 )

Page 33: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

3.4 Analisis Kimia

Analisis dilakukan terhadap silase, ampas silase dan kitosan yang

dihasilkan dari ampas silase. Analisis silase meliputi kadar protein, abu, lemak

dan air. Analisis ampas silase meliputi kadar protein dan abu. Analisis terhadap

kitosan meliputi kadar abu, nitrogen, air dan derajat deasetilasi.

3.4.1 Kadar abu ( AOAC, 1995 )

Cawan porselen yang akan dipakai dikeringkan dalam oven selama 1 jam

pada suhu 100 oC, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit

dan ditimbang beratnya. Sebanyak 3 – 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan

porselen dan ditimbang, lalu dibakar sampai tidak berasap. Kemudian diabukan

dalam tanur dengan suhu 600 oC. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan

ditimbang sampai diperoleh berat konstan.

Perhitungan :

Keterangan :

A = Berat cawan dan sampel awal ( sebelum sampel diabukan )

B = Berat cawan kosong

C = Berat cawan dan sampel akhir ( setelah sampel diabukan )

3.4.2 Kadar protein ( AOAC, 1995 )

Sampel ditimbang sebanyak 1 – 2 g lalu dimasukkan ke dalam labu

kjeldahl. Setelah itu ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2.0 ± 0,1 ml

H2SO4 lalu dididihkan sampai diperoleh cairan berwarna jernih. Cairan

didinginkan, kemudian ditambahkan 5 ml akuades dan dipindahkan ke tabung

destilasi dan dibilas dengan akuades 5 – 10 ml. Selanjutnya ke dalam tabung

destilasi ditambahkan sebanyak 10 – 12 ml larutan NaOH-NaS2O3.

Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan

H3BO3 dan 2 – 4 tetes indikator ( campuran 2 bagian merah metal 0,2 %

dan 1 bagian biru metal 0,2 % dalam alkohol ). Ujung tabung kondensor harus

terendam dalam larutan H3BO3. Setelah itu larutan dalam erlenmeyer diencerkan

% Kadar abu = BABC

−− x 100 %

Page 34: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

sampai 50 ml dan dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna

menjadi merah muda. Analisa blanko dilakukan dengan prosedur yang sama

tanpa menggunakan sampel.

Perhitungan :

Keterangan :

A = ml HCl sampel

B = ml HCl blanko

C = Berat sampel ( mg )

3.4.3 Kadar air ( AOAC, 1995 )

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam oven pada

suhu 100 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30

menit dan ditimbang. Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan diletakkan dalam

cawan, lalu dipanaskan dalam oven selama 3 – 4 jam pada suhu 105 – 110 oC.

Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali sampai

mencapai berat konstan.

Perhitungan :

Keterangan :

A = Berat ( sampel + cawan ) sebelum dipanaskan

B = Berat ( sampel + cawan ) setelah dipanaskan

C = Berat sampel

% N = ( )C

xNHClxBA 007,14− x 100 %

% Kadar protein = % N x 6,25

% Kadar air = C

BA − x 100 %

Page 35: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

3.4.4 Kadar lemak ( AOAC, 1995 )

Metode yang digunakan dalam analisa lemak adalah metode ekstraksi

soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan di dalan oven, lalu

didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel sebanyak 5 g

dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet.

Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya.

Pelarut heksan dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya

dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke

dalam labu lemak terlihat jernih.

Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung

kembali. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi kemudian dipanaskan di dalam

oven pada suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu

beserta lemak didalamnya ditimbang.

Perhitungan :

Keterangan :

A = Berat labu dan lemak awal ( sebelum ekstraksi )

B = Berat labu lemak kosong

C = Berat labu dan lemak akhir ( setelah ekstraksi )

3.4.5 Derajat deasetilasi ( Robert 1997 )

Derajat deasetilasi kitosan dapat dideteksi dengan menggunakan

spektrofotometer infra merah pada frekuensi berkisar antara 4000 cm-1 sampai

400 cm-1. Sampel kitosan sebanyak 2 mg dan 200 mg KBr dicampurkan dan

dihancurkan dengan mortar. Campuran yang telah homogen tersebut ditempatkan

dalam alat pengepresan dan dicetak menjadi pelet dengan tekanan 8 ton. Setelah

persiapan selesai, selanjutnya derajat deasetilasi khitosan diukur dengan

menggunakan spektrofotometer infra merah.

% Kadar lemak = BABC

−− x 100 %

Page 36: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Pengukuran derajat deasetilasi diperoleh dari gambar kurva yang

dihasilkan spektrofotometer. Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar

yang dipilih.

Perhitungan :

po = Jarak antar garis dasar dengan garis singgung antar dua puncak tertinggi

dengan panjang gelombang 1655 cm-1 dan atau 3450 cm-1

p = Jarak antar garis dasar dengan lembah terendah pada panjang gelombang

1655 cm-1 dan atau 3450 cm-1

Perbandingan absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 1655 cm-1

dengan panjang gelombang 3450 cm-1. Derajat deasetilasi dihitung dengan

menggunakan rumus :

A1655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1

A3450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1

1.33 = Konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna

3.5 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL ) dengan

satu faktor yaitu perlakuan konsentrasi molase dengan dua kali ulangan. Model

rancangan tersebut adalah sebagai berikut :

Yi = μ + αi + εik

Keterangan :

Yi = nilai pengamatan

μ = nilai tengah umum / rataan

Nilai absorbansi = log ppo

Derajat deasetilasi ( % ) = ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

33.111

3450

1655 xAA

x 100 %

Page 37: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

αi = pengaruh perlakuan ke-i

εik = galat percobaan pada perlakuan ke-i pada ulangan ke-k

Page 38: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I merupakan tahapan pembuatan silase limbah udang

dengan penambahan molase sebagai sumber karbohidrat sebesar 5 %, 15 % dan

25 %. Molase digunakan sebagai sumber energi bagi kehidupan bakteri asam

laktat selama proses pembuatan silase berlangsung. Dari proses ini akan

diperoleh cairan silase dan ampas silase, yaitu kulit udang yang tidak terurai

selama proses pembuatan silase. Ampas silase selanjutnya akan dimanfaatkan

sebagai bahan baku dalam pembuatan kitosan pada penelitian tahap II. Nilai rata-

rata hasil analisis proksimat dari cairan dan ampas silase tertera pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai rata-rata hasil analisis cairan dan ampas silase

Analisis Proksimat Penambahan Molase 5 % 15 % 25 %

Cairan Silase ♦ Kadar protein ( % ) 7,37 8,41 7,91 ♦ Kadar abu ( % ) 1,43 2,65 4,97 ♦ Kadar lemak ( % ) 1,63 0,99 0,18 ♦ Kadar air ( % ) 88,99 86,51 75,21 ♦ Volume ( ml ) 1370 1400 1350 Ampas Silase ♦ Kadar protein ( % ) 22,18 25,17 28,63 ♦ Kadar abu ( % ) 38,18 32,48 19,85 ♦ Berat ampas ( g ) 227,38 210,95 214,67

Dari hasil penelitian tahap I ini, nilai rata-rata kadar protein cairan silase

berkisar antara 7,37 – 8,41 %, dan nilai rata-rata kadar abunya berkisar antara

1,43 – 4,97 %. Sedangkan nilai rata-rata kadar protein dari ampas silase berkisar

antara 22,18 – 28,63 %, dan nilai rata-rata kadar abunya berkisar

antara 19,85 – 38,18 %. Hasil penelitian tahap I ini menunjukkan kadar protein

dan abu yang terkandung dalam ampas silase lebih tinggi dibandingkan dengan

kadar protein dan abu dari cairan silase. Hasil analisis ragam yang dilakukan

menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi molase memberikan pengaruh yang

berbeda nyata terhadap kadar protein, abu dan lemak dari cairan silase.

Page 39: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Kadar protein cairan silase tertinggi diperoleh pada perlakuan

penambahan molase 15 % dan menurun saat penambahan molase 25 %. Pada

proses fermentasi, bakteri akan merombak protein menjadi asam-asam amino.

Kemudian asam-asam amino ini akan berubah menjadi CO2, H2O, asam laktat,

asam asetat, etanol dan senyawa yang mengandung nitrogen, yaitu NH3

( Wooldford 1984 ). Senyawa NH3 ( amoniak ) ini bersifat basa, sehingga

kehadiran NH3 dapat menaikkan sedikit pH dalam proses fermentasi. Semakin

banyak molase yang ditambahkan maka semakin banyak pula bakteri yang

tumbuh. Sehingga senyawa NH3 yang dihasilkan juga semakin banyak dan

kemungkinan dapat mematikan beberapa bakteri asam laktat itu sendiri. Maka

kemampuan untuk menguraikan protein juga akan menurun.

Hasil pengujian kadar abu cairan silase yang diperoleh pada Tabel 4

menunjukkan bahwa semakin banyak molase yang ditambahkan maka kadar abu

cairan silase makin meningkat. Setyadi ( 2006 ) menyatakan bahwa kalsium

karbonat yang terkandung dalam kulit udang akan bereaksi dengan asam laktat

dan akan dihasilkan kalsium laktat. Kalsium laktat akan bercampur dengan cairan

dan dipisahkan melalui penyaringan. Selain itu kandungan abu dalam molase

juga dapat meningkatkan kadar abu dalam cairan silase.

Hasil pengujian kadar air dan lemak cairan silase menunjukkan bahwa

semakin banyak molase yang ditambahkan maka kadar air dan lemak cairan

silase semakin menurun. Selama fermentasi berlangsung, kadar lemak pada

bahan akan mengalami penurunan akibat terjadinya degradasi lemak menjadi

asam-asam lemak ( monogliserida dan diglisedrida ) ( Aryanta et al. 1994, diacu

dalam Setiadi 2001 ). Asam-asam lemak ini kemudian akan dimanfaatkan lagi

oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Selain sumber karbohidrat mikroorganisme

juga membutuhkan air. Air yang terkandung dalam limbah udang akan

dimanfaatkan oleh mikroorganisme yang ada untuk tumbuh selama proses

fermentasi berlangsung.

Ampas silase yang mempunyai kadar protein dan abu yang lebih tinggi

daripada cairan silase kemungkinan disebabkan oleh proses fermentasi yang

belum sempurna. Misalnya waktu fermentasi yang kurang lama, karena proses

silase dilakukan selama 10 hari. Kemungkinan lainnya adalah tidak sempurnanya

Page 40: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

proses pemisahan cairan silase dan ampas silase. Pemisahan dilakukan dengan

menggunakan kain blacu atau kain saring. Molase yang bersifat kental dan

lengket menyebabkan masih banyak mineral dan protein yang masih menempel

pada ampas silase. Masih tingginya kadar protein dan abu pada ampas silase juga

akibat dari kurang sempurnanya pencucian yang dilakukan.

4.2 Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II merupakan lanjutan dari penelitian tahap I yaitu

pembuatan kitosan dari ampas silase. Penelitian tahap II ini menggunakan ampas

silase yang merupakan residu dari pembuatan silase pada penelitian tahap I.

Ampas silase yang digunakan berasal dari silase dengan konsentrasi molase 5 %,

15 % dan 25 %. Pembuatan kitosan ini melalui proses demineralisasi,

deproteinasi dan deasetilasi. Metode pembuatan kitosan pada penelitian ini

mengikuti metode dari Suptijah et al. ( 1992 ).

Kitosan yang diperoleh dijemur pada sinar matahari selama 1 – 2 hari

sampai kering dan dianalisis mutunya, meliputi kadar abu, nitrogen, air dan

derajat deasetilasi. Pada proses deasetilasi digunakan suhu 100 oC. Sedangkan

menurut metode dari Suptijah et al. ( 1992 ) suhu deasetilasi berkisar

antara 120 – 140 oC. Penggunaan suhu 100 oC mengacu pada penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Astuti ( 2006 ), bahwa pada suhu ini kitosan

yang dihasilkan sudah dapat memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan

oleh Protan Laboratories.

4.2.1 Rendemen

Rendemen kitosan pada penelitian ini berkisar antara 26,40 – 32,28 %.

Nilai rendemen terendah yaitu pada kitosan yang dibuat dari ampas silase dengan

penambahan molase 15 %. Sedangkan nilai rendemen tertinggi dimiliki kitosan

yang dibuat dari ampas silase dengan konsentrasi molase 25 % ( Gambar 7 ).

Suptijah et al. ( 1992 ) dalam percobaannya menunjukkan bahwa rendemen

kitosan yang dihasilkan berkisar antara 20 – 30 %.

Page 41: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

29.2526.4

32.28

0

5

10

15

20

25

30

35

5% 15% 25%

Konsentrasi Molase (%)

Ren

dem

en (%

)

Gambar 7 Histogram nilai rata-rata rendemen kitosan dari ampas silase

Rendemen kitosan yang diperoleh merupakan hasil dari proses

demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Hal ini berhubungan dengan

terbuangnya komponen-komponen mineral, protein dan gugus asetil yang

terkandung pada kitin. Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya

rendemen kitosan, misalnya pada penggunaan konsentrasi reagen dan suhu

proses. Semakin tinggi konsentrasi reagen dan suhu yang digunakan, maka energi

yang dihasilkan juga semakin besar, sehingga pemutusan ikatan dengan mineral,

protein dan N-asetil dari kitin menjadi lebih mudah.

Proses pencucian yang kurang baik juga akan mempengaruhi rendemen

bahkan mutu kitosan. Komponen-komponen mineral, protein dan gugus asetil

yang tidak terbuang secara sempurna saat pencucian akan berikatan kembali

dengan kitosan yang menyebabkan kenaikan berat molekul kitosan. Keadaan ini

akan mempengaruhi nilai rendemen kitosan walaupun nilainya kecil.

4.2.2 Kadar abu

Kadar abu kitosan menunjukkan banyaknya kandungan mineral yang

terdapat pada kitosan, yaitu sisa-sisa mineral yang tertinggal setelah proses

demineralisasi. Oleh karena itu kadar abu merupakan salah satu parameter yang

penting untuk menunjukkan keefektifan proses demineralisasi dilihat dari

penurunan kadar abunya.

Page 42: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Nilai rata-rata kadar abu kitosan yang diperoleh pada penelitian ini

berkisar antara 0,018 – 0,123 %. Nilai ini sudah memenuhi standar mutu kitosan

menurut Protan Laboratories, yaitu ≤ 2 %. Kadar abu terendah dimiliki oleh

kitosan yang berasal dari ampas silase dengan penambahan molase 25 %,

sedangkan kadar abu tertinggi adalah kitosan yang berasal dari ampas silase

dengan penambahan molase 5 % ( Gambar 8 ).

0.1230.115

0.018

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

5 15 25

Konsentrasi Molase (%)

Nila

i Rat

a-ra

ta- K

adar

Abu

(%)

Gambar 8 Histogram nilai rata-rata kadar abu kitosan dari ampas silase

Dari Gambar 8 dapat terlihat bahwa kitosan dari ampas silase yang

diperoleh dari proses silase dengan penambahan molase sebesar 25 %

mempunyai kadar abu paling rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

penambahan konsentrasi molase pada penelitian tahap I memberikan perbedaan

yang nyata terhadap kadar abu kitosan. Hal ini juga terlihat dari kadar abu dari

ampas silase yang semakin rendah seiring dengan meningkatnya konsentrasi

molase.

Semakin meningkatnya konsentrasi molase yang ditambahkan pada silase

menyebabkan makin bertambahnya jumlah bakteri, dan jumlah bakteri yang

bertambah dapat mengefektifkan aktivitas bakteri itu sendiri. Kemungkinan

selama proses pembuatan silase tersebut bakteri dapat mengubah struktur kimia

yang terdapat dalam kulit ( ampas ) udang menjadi suatu ikatan kimia yang labil.

Sehingga pada saat proses demineralisasi yang menambahkan asam kuat dan

disertai dengan pemanasan menyebabkan ikatan kimia semakin lemah dan

Page 43: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

mineral-mineral yang terkandung di dalamnya dapat dengan mudah terpisah dan

terbuang secara sempurna saat pencucian.

Nilai rata-rata kadar abu kitosan yang rendah menunjukkan bahwa proses

demineralisasi telah berjalan dengan baik. Proses demineralisasi akan

berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang

digunakan serendah mungkin dan disertai dengan pengadukan yang konstan.

Pengadukan ini diharapkan dapat menciptakan panas yang homogen dan asam

yang digunakan dapat bereaksi sempurna dengan bahan ( Karmas 1982, diacu

dalam Luhur, 2006 ).

Pada proses demineralisasi, senyawa kalsium dalam kulit udang akan

bereaksi dengan HCl dan menghasilkan kalsium klorida, asam karbonat dan asam

fosfat yang larut dalam air. Pada saat pemisahan ketiga senyawa ini akan terpisah

sebagai filtrat melalui air ( Bastaman 1989, diacu dalam Alamsyah 2000 ).

4.2.3 Kadar nitrogen

Kadar nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen yang tersisa pada

kitosan, baik itu nitrogen protein maupun nitrogen gugus lain. Selain itu kadar

nitrogen dapat dijadikan sebagai parameter yang menunjukkan keefektifan proses

deproteinasi. Efektivitas proses deproteinasi tergantung pada kekuatan larutan

basa dan kenaikan suhu proses. Penghilangan protein berfungsi untuk menekan

proses degradasi protein pada kulit udang ( ampas silase ) sehingga diperoleh

kitosan yang bermutu baik. Kitosan diharapkan mempunyai kadar nitrogen yang

sekecil mungkin ( Luhur 2006 ).

Nilai rata-rata kadar nitrogen kitosan yang diperoleh berkisar antara

5,81 – 5,90 %. Nilai ini belum memenuhi standar mutu kitosan menurut Protan

Laboratories, yaitu ≤ 5 %. Kadar nitrogen terendah terdapat pada kitosan yang

dibuat dari ampas silase dengan konsentrasi molase 15 %. Sedangkan kadar

nitrogen tertinggi terdapat pada kitosan yang dibuat dari ampas silase dengan

konsentrasi molase 25 % ( Gambar 9 ).

Page 44: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

5.87

5.81

5.9

5.7

5.8

5.9

6

5 15 25

Konsentrasi Molase (%)

Nila

i Rat

a-ra

ta K

adar

Nitr

ogen

(%)

Gambar 9 Histogram nilai rata-rata kadar nitrogen kitosan dari ampas

silase

Kadar total nitrogen yang tersisa dapat dijadikan indikator proses

deproteinasi. Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang dapat berinteraksi

dengan gugus lainnya. Keberadaan nitrogen dalam kitosan yang berupa gugus

amina ( -NH2 ) menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia yang cukup

tinggi ( Hong et al. 1989, diacu dalam Prantommy 2005 ).

Kadar nitrogen dari kitosan ternyata masih tinggi dan belum memenuhi

standar mutu kitosan. Dari Gambar 9 dapat terlihat bahwa kitosan dari ampas

silase yang diperoleh dari silase dengan konsentrasi molase 15 % mempunyai

kadar nitrogen paling rendah. Hasil analisis ragam yang dilakukan

memperlihatkan bahwa perlakuan konsentrasi molase ( 15 %, 15 %, 25 % ) pada

penelitian tahap I tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar nitrogen

kitosan yang dihasilkan dari ampas silase.

Masih tingginya kadar nitrogen ini kemungkinan disebabkan karena

kurang baiknya proses pencucian yang dilakukan sehingga nitrogen tidak terpisah

secara sempurna. Selain itu pada saat proses deproteinasi pengadukan yang

dilakukan kurang konstan dan tidak merata, sehingga interaksi antara larutan basa

dan bahan kurang sempurna. Saleh et al. ( 1994 ) menyatakan bahwa kadar

nitrogen dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH dan waktu proses deproteinasi.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin lama waktu deproteinasi yang

Page 45: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

dilakukan maka akan semakin sempurna reaksi antara protein dan larutan untuk

membentuk ester, sehingga jumlah protein yang dihilangkan semakin banyak.

4.2.4 Kadar air

Kadar air merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan

mutu kitosan. Kadar air yang rendah dapat menekan atau mengurangi kerusakan

pada kitosan, misalnya terhindar dari adanya aktivitas mikroorganisme akibat

kelembaban. Nilai rata-rata kadar air kitosan yang diperoleh pada penelitian ini

berkisar antara 5,2 – 6,76 %. Nilai kadar air ini sudah dapat memenuhi standar

mutu khitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu ≤ 10 %. Kadar air

terendah dimiliki oleh kitosan dari ampas silase dengan konsentrasi molase

sebesar 25 %, sedangkan kadar air tertinggi dimiliki oleh kitosan dari ampas

silase dengan konsentrasi molase 5 % ( Gambar 10 ).

6.76

5.675.2

0

1

2

3

4

5

6

7

8

5 15 25

Konsentrasi Molase (%)

Nila

i Rat

a-ra

ta K

adar

Air

(%)

Gambar 10 Histogram nilai rata-rata kadar air kitosan dari ampas silase

Dalam pembuatan kitosan kadar air banyak dipengaruhi oleh proses

pengeringan serta kemampuan kitosan itu sendiri dalam menyerap uap air dari

lingkungannya. Kadar air kitosan tidak dipengaruhi oleh jumlah bahan, nisbah

dan waktu proses, tetapi oleh waktu pengeringan terhadap kitosan yang

dihasilkan ( Sophanodora dan Benjakula 1993, diacu dalam Fauzan 2001 ). Agar

kadar air pada kitosan tetap rendah maka yang perlu diperhatikan adalah cara

pengemasan, dan kondisi penyimpanannya. Lingkungan penyimpanan kitosan

Page 46: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

diusahakan tetap kering, karena kondisi yang lembab dapat memudahkan kitosan

untuk menyerap uap air dari udara di sekitarnya.

Proses pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan

panas dari sinar matahari. Intensitas panas matahari sangat penting dalam proses

pengeringan. Akan tetapi pengeringan dengan sinar matahari tergantung pada

kondisi alam. Panas yang stabil akan membantu mempercepat proses

pengeringan. Selain dengan sinar matahari, pengeringan juga dapat dilakukan

dengan menggunakan oven pada derajat panas tertentu. Akan tetapi pengeringan

dengan oven dikhawatirkan dapat menyebabkan warna kecoklatan pada kitosan

sehingga mutu kitosan menjadi kurang baik.

4.2.5 Derajat deasetilasi

Derajat deasetilasi adalah parameter mutu kitosan yang menunjukkan

persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan pada kitin. Semakin tinggi derajat

deasetilasi maka gugus asetil yang yang hilang dari kitosan tersebut semakin

banyak, sehingga jumlah amin yang reaktif juga semakin banyak ( -NH2 ). Bila

derajat deasetilasi kitosan rendah akan mengakibatkan efektifitas kitosan menjadi

rendah, karena semakin banyak gugus asetil dalam kitosan maka interaksi antar

ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin lemah ( Knorr 1982 ).

Nilai derajat deasetilasi dari kitosan yang diperoleh pada penelitian ini

berkisar antara 49,24 – 57,88 %. Nilai ini belum dapat memenuhi standar mutu

kitosan yang ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu ≥ 70 %. Nilai derajat

deasetilasi terendah dimiliki oleh kitosan dari ampas silase dengan konsentrasi

molase sebesar 25 %, sedangkan nilai tertinggi dimiliki oleh kitosan dari ampas

silase dengan konsentrasi molase 15 % ( Gambar 11 ).

Page 47: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

52.34

57.88

49.24

44

46

48

50

52

54

56

58

60

5% 15% 25%

Konsentrasi Molase (%)

Der

ajat

Dea

setil

asi (

%)

Gambar 11 Histogram nilai derajat deasetilasi kitosan dari ampas silase

Nilai derajat deasetilasi yang masih sangat rendah ini menunjukkan

bahwa kitosan yang dihasilkan belum baik, atau dapat dikatakan produk yang

diperoleh belum menjadi kitosan dan masih berbentuk kitin. Hal ini kemungkinan

karena pengadukan yang kurang konstan selama proses deasetilasi sehingga suhu

tidak merata. Hal lainnya adalah rendahnya suhu deasetilasi yang digunakan yaitu

100 oC. Sulitnya menghasilkan kitosan dengan nilai derajat deasetilasi yang

tinggi diduga karena sifat alami kitin yang berbentuk kristalin mengandung

rantai-rantai polimer yang mempunyai ikatan hidrogen yang sangat kuat

mengikat satu sama lain, sehingga kitin mempunyai kerapatan yang tinggi.

Sehingga perlakuan panas, waktu proses dan konsentrasi larutan basa akan

mempengaruhi dalam proses pemutusan gugus asetil dari kitin ( Bartnicki-Garcia

1989, diacu dalam Emmawati 2005 ). Hasil percobaan Emmawati ( 2005 )

menunjukkan pada suhu deasetilasi 100 oC nilai derajat deasetilasi yang diperoleh

sebesar 56,96 %.

Dalam proses deasetilasi terjadi reaksi antara NaOH dengan ikatan

N-asetil pada kitin ( rantai C-2 ) dan akhirnya menghasilkan kitosan. Pengadukan

yang konstan pada saat pembuatan kitosan bertujuan untuk mempercepat proses

pemutusan ikatan N-asetil pada kitin. Selain pengadukan, proses pencucian juga

dapat mempengaruhi derajat deasetilasi kitosan. Proses pencucian yang tidak baik

dan tidak mencapai pH netral akan menyebabkan gugus asetil yang tidak

Page 48: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

terbuang pada saat pencucian akan menempel dan berikatan kembali dengan

gugus amin ( -NH2 ) pada kitosan ( Fauzan 2001 ).

Page 49: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Limbah udang yang digunakan dalam penelitian ini dapat menghasilkan

dua produk sekaligus, yaitu silase dan kitosan. Dalam pembuatan silase

ditambahkan molase sebagai sumber energi bagi pertumbuhan bakteri dengan

konsentrasi 5 %, 15 % dan 25 %. Pada pembuatan silase akan diperoleh cairan

silase dan ampas silase. Nilai kadar protein cairan silase berkisar antara

7,37 – 8,41 %, nilai kadar abu antara 1,43 – 4,97 %, kadar lemak antara

0,18 – 1,63 % dan kadar air cairan silase antara 75,21 – 88,99 %. Sedangkan nilai

kadar protein dari ampas silase berkisar antara 22,18 – 28,63 %, dan nilai kadar

abunya antara 19,85 – 38,18 %.

Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai nilai kadar abu

antara 0,018 – 0,123 % dan nilai kadar air 5,2 – 6,76 %. Nilai kadar abu dan

kadar air dari kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu kitosan yang

ditetapkan oleh Protan Laboratories, yaitu kadar abu ≤ 2 % dan kadar air ≤ 10 %.

Rendahnya kadar abu kitosan mengindikasikan bahwa proses demineralisasi

sudah berjalan dengan cukup baik.

Nilai kadar nitrogen kitosan dari ampas silase ini berkisar antara

5,81 – 5,90 %, dan nilai derajat deasetilasinya antara 49,24 – 57,88 %. Kadar

nitrogen dan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini belum

memenuhi standar mutu kitosan dari Protan Laboratories, yaitu kadar nitrogen

≤ 5 % dan derajat deasetilasi ≥ 70 %.. Rendahnya derajat deasetilasi kitosan

kemungkinan karena rendahnya suhu yang digunakan pada proses deasetilasi,

yaitu 100 oC. Kurang sempurnanya proses pengadukan dan pencucian yang

dilakukan juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan kadar nitrogen dan

derajat deasetilasi kitosan tidak memenuhi standar.

Page 50: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ini maka perlu dikaji lebih

lanjut mengenai :

1) Penggunaan sumber karbohidrat lain seperti tepung tapioka, tepung

jagung atau onggok dan sumber bakteri asam laktat lain seperti sawi,

ketimun atau kultur murni dalam pembuatan silase.

2) Modifikasi pembuatan silase supaya diperoleh mutu yang lebih baik,

misalnya penggunaan konsentrasi karbohidrat yang berbeda dan

perlakuan waktu fermentasi

3) Modifikasi pembuatan kitosan dari ampas silase limbah udang yang lebih

efisien dan bermutu baik.

4) Pengujian mutu silase dan kitosan dengan menggunakan parameter uji

lainnya, seperti analisis bakteri asam laktat, analisis asam butirat dan

asam laktat pada cairan silase dan uji viskositas pada kitosan.

Page 51: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto E, Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Alamsyah A. 2000. Modifikasi pembuatan khitosan larut air [skripsi]. Bogor :

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Angka SL, Suhartono MT. 2000. Pemanfaatan Limbah Hasil Laut. Bioteknologi

Hasil Laut. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Anonim. 2007. Kajian Pasar Produk Udang Beku di Eropa.

www.indonesianmission-eu.org. [ 15 April 2007 ]. Anonim. 2007. Pembuatan Gula Tebu. www.food-info.net. [ 20 Mei 2007 ]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of

Analysis. Virginia : Arlington. Arifudin R, Murtini JT. 2002. Silase Ikan. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian

Pasca Panen Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta : Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Arlius. 1991. Mempelajari ekstraksi khitosan dari kulit udang dan

pemanfaatannya sebagai bahan koagulasi protein pengolahan pindang tongkol ( Euthynnus affinis ) [tesis]. Bogor : Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Astuti YI. 2007. Mempelajari pembuatan kitosan dari ampas silase limbah udang

[skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

[Ditjen Perikanan]. 1989. Pemanfaatan kepala dan kulit udang sebagai sumber

khitin. Buletin Warta Mina. Agustus. Jakarta : Ditjen Perikanan. Emmawati A. 2005. Produksi kitosan dengan kombinasi metode kimia dan

enzimatis menggunakan NaOH dan kitin deasetilase [tesis]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Fadjriasari. 2003. Kualitas dan nilai nutrisi silase ransum komplit berbahan dasar

limbah agro industri [skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 52: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Fauzan A. 2001. Pengaruh konsentrasi NaOH dan suhu proses terhadap derajat deasetilasi khitosan [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Hirano S. 1986. Chitin and Chitosan. Ulmann’s Encyclopedia of Industrial

Chemistry. 5th ed. Republica of Germany. A 6: 231 – 232. Holilah. 2005. Pengaruh penambahan molase terhadap keefektifan ekstrak

kompos untuk pengendalian Colletotrichum capsici ( Syd. ) Butter dan Bisby penyebab penyakit antraknosa pada cabai [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Jatmiko B. 2002. Teknologi dan Aplikasi Tepung Silase Ikan ( TSI ).

http://rudict.tripod.com/sem1_023/budhi_jatmiko.htm. [15 Desember 2005].

Junianto. 2004. Pemanfaatan Limbah Ikan. www.pikiran-rakyat.com.

[9 Desember 2005]. Knorr D. 1982. Function Properties of Chitin and Chitosan. Food Science 47 (2):

593 – 595p. Krissetiana H. 2004. Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang.

www.suaramerdeka.com. [6 Januari 2006]. Kupepawati J. 1992. Penentuan konsentrasi dari jenis filler tepung jagung dan

dedak pada proses pembuatan tepung silase dari kepala udang [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Luhur DA. 2006. Pemanfaatan khitosan sebagai absorben dalam pembuatan

alginat ( Sargassum sp. ) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Marganof. 2003. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat

( Timbal, Kadmium dan Tembaga ) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/marganof.htm. [23 November 2006].

Moelyanto R. 1979. Udang Sebagai Bahan Makanan. Jakarta : LPTP.

Departemen Pertanian. Moore GK, Roberts GAF. 1980. Determination of The Degree of N-Acetylation

of Chitosan. Int. J. Biol macromol, 2 : 115 – 116p. Mudjiman A. 1982. Budidaya Udang Windu. Jakarta : Penebar Swadaya. Muzzarelli RAA. 1986. Chitin. Faculty of Medicine University of Ancona.

Rome: Pergamon Press.

Page 53: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Nugroho TA. 2005. Pelapisan khitosan sebagai penghambat kemunduran mutu ikan ikan cucut ( Carcharhinus sp. ) asin [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Paturau JM. 1982. By Product of The Cane Sugar Industry. An Introduction to

Their Industrial Utilization. Sugar Series Vol. 3. Amsterdam : Elsevier Scientific Publishing Company.

Prantommy. 2005. Pemanfaatan kitosan dari kulit udang windu ( Penaeus

monodon ) untuk pengolahan limbah cair perikanan [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Prasetiyo KW. 2006. Pengolahan Limbah Cangkang Udang. www.kompas.com.

[15 Mei 2006]. Purba RM. 2001. Pemanfaatan silase limbah jeroan ikan nila sebagai bahan

substitusi tepung ikan dalam pakan ikan nila gift ( Oreochromis sp. ) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi

Produk Perikanan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB. Robert GAF. 1997. Determination of The Degree of N-acetylation of Chitin and

Chitosan. Di dalam Muzzarelli RAA and Peter MG ( ed ). Chitin. Grottamare : European Chitin Soc.

Saleh MR, Abdillah, Suherman E, Basmal J, Indriati J. 1994. Pengaruh suhu,

waktu dan konsentrasi pelarut pada ekstraksi khitosan dari limbah pengolahan udang beku terhadap beberapa parameter mutu khitosan. Jurnal Pasca Panen Perikanan. 81: hlm. 30 – 43.

Salminen S, Deighton M, Gorbach S. 1993. Lactic Acid Bacteria in Health and

Desease. Di dalam Salminen S and Von Wright ( ed ). Lactic Acid Bacteria. New York : Marcel Dekker Inc.

Saputra R. 2003. Uji fisik, kimia serta kandungan nutrisi silase rumput laut

Eucheuma cotonii yang diberi aditif molase [skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Sari WK. 2003. Mempelajari pembuatan bubuk flavor dari limbah kepala udang

windu ( Penaeus monodon ) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Setiadi ANS. 2001. Mempelajari penggunaan cairan pikel ketimun sebagai

sumber bakteri asam laktat pada pembuatan bekasam ikan tawes ( Puntius javanicus ) [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Page 54: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Setijani A. 1994. Pemanfaatan limbah ikan kakap merah ( Lutjanus sp. ) menjadi konsentrat protein ikan dan aplikasinya [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Setyadi S. 2006. Pengembangan Produk Kitin Secara Mikrobiologi. Prosiding

Seminar Nasional Kitin Kitosan 2006. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Santoso J, Purwaningsih S. 1992.

Pengaruh Berbagai Metode Isolasi Khitin Kulit Udang terhadap Kadar dan Mutunya. Laporan Akhir Penelitian. Bogor : Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Suriawiria U. 1980. Pengawetan Sisa dan Buangan Ikan Secara Biologis dengan Sistem Fermentasi Non Alkoholik “Ensiling”. Laporan Penelitian. Bandung : Departemen Biologi. Institut Teknologi Bandung.

. 1995. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung : Penerbit

Angkasa. . 2003. Bakteri Laktat Pengawet Sayuran Penghambat Kolesterol.

www.kompas.com. [20 Februari 2005]. Suryani A, Hambali E, Hidayat E. 2005. Aneka Produk Olahan Limbah Ikan dan

Udang. Jakarta : Penebar Swadaya. Tokura S, Nishi N. 1995. Specification and Characterization of Chitin and

Chitosan. Collection of Working Papers. Malaysia : Universiti Kebangsaan Malaysia.

Winarno FG. 1981. Teknologi dan Pemanfaatan Limbah Pengolahan Gula Tebu.

Bogor : Pusbangtepa / FTDC. Institut Pertanian Bogor. . 1985. Limbah Hasil Pertanian. Jakarta : Kantor Menteri Muda

Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Wirioatmodjo BK, Adi S, Soerjapoetra R. 1984. Pergulaan di Indonesia dan

Prospeknya di Masa Mendatang. Prosiding Simposium Pergulaan. Pasuruan : Balai Penelitian Gula.

Wooldford MK. 1984. The Silage Fermentation. New York : Marcel Dekker Inc.

Page 55: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan
Page 56: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Lampiran 1a Hasil analisa kadar abu cairan silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 1.42 1.44 1.43 15% 2.61 2.68 2.65 25% 4.89 5.04 4.97

Lampiran 1b Nilai analisis ragam kadar abu cairan silase

SUMMARY Groups Count Sum Average Variance

5 % 2 2.86 1.43 0.0002 15 % 2 5.29 2.645 0.00245 25 % 2 9.93 4.965 0.01125 ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 12.90323 2 6.451617 1392.435* 3.53E-05 9.552094Within Groups 0.0139 3 0.004633 Total 12.91713 5

Keterangan : ( * ) = berbeda nyata

Lampiran 2a Hasil analisa kadar protein cairan silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 7.17 7.57 7.37 15% 8.4 8.42 8.41 25% 7.95 7.86 7.91

Lampiran 2b Nilai analisis ragam kadar protein cairan silase

SUMMARY Groups Count Sum Average Variance

5 % 2 14.74 7.37 0.08 15 % 2 16.82 8.41 0.0002 25 % 2 15.81 7.905 0.00405 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 1.0819 2 0.5409519.26231

*0.01941

9 9.55209

4

Within Groups 0.0842

5 3 0.028083 Total 1.1661 5

Page 57: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

5Keterangan : ( * ) = berbeda nyata

Lampiran 3a Hasil analisa kadar lemak cairan silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 1.65 1.6 1.63 15% 0.9 1.07 0.99 25% 0.16 0.2 0.18

Lampiran 3b Nilai analisis ragam kadar lemak cairan silase

SUMMARY Groups Count Sum Average Variance

0.05 2 3.25 1.625 0.00125 0.15 2 1.97 0.985 0.01445 0.25 2 0.36 0.18 0.0008

ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 2.0971 2 1.04855 190.6455* 0.00069 9.552094Within Groups 0.0165 3 0.0055 Total 2.1136 5

Keterangan : ( * ) = berbeda nyata

Lampiran 4 Hasil analisa kadar air cairan silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 89.16 88.81 88.99 15% 86.06 86.96 86.51 25% 75.81 74.61 75.21

Lampiran 5 Hasil analisa kadar abu ampas silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 38.37 37.99 38.18 15% 32.31 32.64 32.48 25% 19.91 19.78 19.85

Lampiran 6 Hasil analisa kadar protein ampas silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 22.31 22.04 22.18

Page 58: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

15% 24.98 25.36 25.17 25% 28.16 29.1 28.63

Lampiran 7 Hasil analisa kadar abu kitosan dari ampas silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 0.1243 0.122 0.123 15% 0.1163 0.1144 0.115 25% 0.0186 0.0178 0.018

Lampiran 8 Hasil analisa kadar nitrogen kitosan dari ampas silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 5.95 5.78 5.87 15% 5.84 5.78 5.81 25% 5.89 5.9 5.9

Lampiran 9 Hasil analisa kadar air kitosan dari ampas silase

Karbohidrat Ulangan (%) Rata-rata (%) 1 2

5% 5.25 8.27 6.76 15% 5.6 5.73 5.67 25% 5.4 5 5.2

Lampiran 10 Hasil analisa derajat deasetilasi kitosan dari ampas silase

Karbohidrat Nilai (%) 5% 52.34

15% 57.88 25% 49.24

Lampiran 11 Rendemen kitosan dari ampas silase

Karbohidrat Ulangan Rata-rata (%) 1 2

5% 28.57 29.93 29.25 15% 25.14 27.66 26.4 25% 31.84 32.71 32.28

Page 59: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Lampiran 12 Gambar cairan silase Lampiran 13 Gambar molase ( tetes tebu )

Page 60: Mempelajari Mutu Silase Dan Kitosan

Lampiran 14 Gambar ampas silase limbah udang Lampiran 15 Gambar kitosan dari ampas silase limbah udang