mempelajari diri menuju gereja yang …gki-denpasar.org/pdf/sejarah-gki-dps.pdf · gki di bali...
TRANSCRIPT
MEMPELAJARI DIRI MENUJU GEREJA YANG KONTEKSTUAL
WUJUD KEDEWASAAN
GEREJA KRISTEN INDONESIA RAYA PUPUTAN 108 LT.2, RENON
DENPASAR –BALI
Martin Krisanto Nugroho
PPST – UKDW FEBRUARI 2005
Dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan terlebih dahulu pembuatan “questioner”yang ditujukan
kepada majelis dan aktifis GKI Denpasar dan diutamakan pada tokoh-tokoh sejarahnya.
Penulis bergabung dalam komunitas GKI di Bali sejak akhir 1999, dimana
Pdt. Em H. Abdi W. sebagai nara sumber (terlampir) telah lebih dahulu berada di Bali. Penulisan dilakukan ketika menempuh kuliah
lanjutannya di program pasca sarjana teologi Universitas Kristen Duta Wacana pada bidang studi
“Master of Divinity” sebagai angkatan pertama.
1
I. PENDAHULUAN
Sebagai hasil pekabaran Injil yang dilakukan baik dari luar
negeri dan dalam negeri, Gereja Kristen Indonesia (selanjutnya
disebut GKI) berdiri dengan caranya yang unik di pulau Jawa1. GKI
merupakan gereja protestan yang dimasukkan dalam kategori ‘arus
utama’ dan merupakan gereja beraliran Calvinis
(Reformed/Presbyterian)2 yang nantinya bersama 26 organisasi
gereja di Indonesia (anggota PGI) lainnya menjadi anggota World
Alliance of Reformed Churches (WARC). Calvinisme di Indonesia
mulai (1596) pada saat orang-orang Belanda menetap di Indonesia,
enam tahun kemudian usaha-usaha perdagangan mereka
dipersatukan dengan didirikan Verenigde Oostindische Compagnie
(VOC, 1602)3 yang berlatar belakang pada pemahaman Calvinisme
dalam kewajibannya melindungi gereja dan memajukan agama yang
benar. Tafsiran kewajiban ini drastis dilakukan dengan mengusir
misionaris yang dianggap sebagai mata-mata Portugis dan Spanyol.
Orang-orang pribumi yang sudah masuk Kristen dipaksa menjadi
anggota gereja Gereformeerd4.
1 Berdirilah gereja-gereja baik di Jawa Timur (1934), Jawa Barat (1940) dan Jawa Tengah (1945) yang dalam perkembangannya disebut: Gereja Kristen Indonesia. Sejak tanggal 27 Maret 1962 berupaya menggalang kebersamaan dalam Sinode Am GKI yang menjadi satu gereja: GKI pada 24 Agustus 1988. Lihat Dalam Penjelasan Atas Mukadimah Tata Gereja GKI, Lampiran IX, Akta Persidangan Majelis Sinode Am GKI X di GKI Pajajaran Magelang. 1997 2 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995, hlm. 52. 3 Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995, hlm. 30. 4 Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme?,hlm. 31.
2
II. HISTORIS
2.1. Gereja Protestan di Indonesia sampai pada Kekristenan di
Jawa Timur.
Menjelang akhir abad 19 mulai ada gereja-gereja yang berbahasa
Melayu seperti di Jakarta (1619), Semarang (1753) dan di Surabaya
(1785). Namun keberadaan gereja-gereja ini dapat dikatakan
merupakan Gereja Boneka VOC5” hingga tahun 1815 pada
kekuasaan pemerintah Inggris usaha penginjilan dengan bentuk baru
setelah 10 tahunan baru tampak lebih nyata. Hasil penginjilan dari
perhimpunan-perhimpunan Pekabaran Injil di Inggris antara lain
adalah terbentuknya kelompok orang Tiong Hoa Kristen di
Surabaya. Ketika kekuasaan kembali pada pemerintah Hindia
Belanda (1833) keanehan yang nyata terjadi ketika pemerintahan
mengawasi dengan keras setiap usaha penginjilan di Jawa dengan
alasan keamanan, hal ini berlangsung sampai tahun 1850.
Pekabaran Injil melalui Gereja Protestan di Indonesia sejak
1814 sebagai kelanjutan dari jemaat-jemaat sejak VOC (yang
dibubarkan 1799), mengalami banyak hambatan akibat sikap netral
negara di bidang agama selama orang-orang Inggris berkuasa tahun
1811-1816. Hambatan-hambatan itu adalah karena pemerintah tidak
bisa melepaskan sejumlah jemaat bekas asuhan VOC6 dan kebijakan
5 Pranata Gunawan, Benih Yang Tumbuh XIV: Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur, Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur dan Badan Penelitian dan Pengembangan PGI, Surabaya 1989, hlm. 2. 6 Th. van den End, Ragi Carita 1 – Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001, hlm.144-145
3
terhadap rakyat yang beragama islam yang kadang bertentangan;
akibat demi keuntungan yang ingin diraih agar tidak dihambat oleh
kemungkinan kerusuhan maka memberi perhatian pada kepekaan
islam dengan menentang usaha pekabaran Injil (selanjutnya p.I),
sehubungan dengan hal tadi maka pemerintah menentang Zending
ditengah suku-suku bangsa Islam dan mendukung Zending didaerah
suku-suku bangsa non-Islam. Jadi didaerah agama suku inilah GPI
berkembang sebagai usaha juga agar Islam tidak berkembang.
Selain itu ditambah lagi hambatan dari golongan pemimpin
masyarakat dan negara (pamong praja/borjuasi) banyak yang liberal
menentang usaha-usaha p.I7
Pada tahun 1870-1910 garis-garis yang ditetapkan para
zendeling dapat berlangsung dan berkembang, yaitu: Membuka
tanah dan mendirikan desa-desa Kristen baru (Swaru – Malang) dan
penyelenggaraan karya p.I. sebagai suatu karya pendidikan sebagai
benang merah sejarah zending di Jawa Timur yang lama-kelamaan
meningkatkan mutu jemaat8 yang berdikari. Sebagai suatu kawasan
Kristen yang paling menonjol dalam hal ini adalah desa
Mojowarno sejak tahun 1851, dibawah pendampingan zending Ds.
Jellesma yang meninjau “Desa Kristen” tersebut bersama inspektur
Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). Dan pada masa
keluarga Kruyt (1864-1910) memperluas ke Malang Selatan dan
7 Th. van den End & Chr. de Jonge, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Jakarta 1997, hlm. 135-136. 8 Th. van den End & J. Weitjens, Ragi Carita 2 – Sejarah Gereja di Indonesia 1860-sekarang, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1993, hlm.236.
4
nantinya sampai pada jaman zendeling Poensen, J.Kreemer, S.S.
de Vries9.
2.2. Tentang Ketionghoaan
Berikut ini beberapa catatan-catatan sejarah dan pendapat yang
berkaitan dimana kita bisa mempertimbangkannya menjadi rambu-
rambu dalam melangkah ke arah kedewasaan yang ber-kontekstual.
Gereja Kristen Indonesia (GKI) didalam sejarah penyemaian Injil di
pulau Jawa mempunyai corak yang unik dikarenakan pengaruh
ketionghoaan, pengaruh budaya barat dari para zendeling dan tentu
tidak kalah pengaruhnya adalah budaya asli kesukuan di Indonesia
khususnya pulau Jawa.
Charles A. Coppel10 mengatakan; Orang Tionghoa di Indonesia
merupakan kelompok etnis “asing” yang terbesar dan tidak
mempunyai daerah pijakan asal. Dari beberapa sumber literatur
bahkan mengungkapkan bagaimana dilema minoritas, rintangan
menjadi Kristen karena latar belakang tradisi Tionghoa bahkan
alasan orang-orang Tionghoa lebih memilih pada kekristenan
dibanding ke Islam11. Dan tak kalah pentingnya adalah karakter dan
sifat negatif mereka yaitu sifat mereka yang suka mengelompok di
9 Handoyomarno Sir, Benih Yang Tumbuh VII – Suatu Survey Mengenai Gereja Kristen Jawi Wetan, GKJW dan Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, Malang 1976, hlm.43-44. 10 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1994, hlm. 23. 11 Chris Hartono, Orang Tionghoa dan Pekabaran Injil, Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta 1996, Hlm. 56-58
5
kawasan tersendiri, budaya negeri leluhur, memihak kepada
Indonesia demi alasan-alasan oportunistis (mementingkan uang,
dagang dan bisnis), ahli dalam penyogokan juga penyelundupan,
bahkan ikut menindas setelah diberi posisi yang menguntungkan
oleh Belanda melalui dominasi ekonomi.
Sekitar tahun 1920 orang Tionghoa di Indonesia berjumlah
810.000, dengan 60%-nya adalah Tionghoa totok dan orang
Tionghoa peranakan di pulau Jawa saja 70%. Ironisnya perbedaan
latarbelakang antara totok dan peranakan membawa kedalam
pertikaian, peristiwa tersebut juga mewarnai kehidupan jemaat
Tionghoa. Disamping itu juga terdapat latar belakang teologis yang
berbeda dalam jemaat-jemaat Tionghoa. Sehingga secara kasar
dapat dikelompokkan Di Jawa Barat ada dua kelompok yaitu asuhan
NZV yang zendelingnya berasal dari NHK (Nederlandsche
Hervormde Kerk) dan asuhan BFM dari Methodist Episcopal
Church (MEC). Di Jawa Tengah terdapat tiga kelompok yaitu
asuhan ZGKN dengan latar belakang teologis seperti
Gereformeerde Kerken in Nederland, asuhan zending Salatiga
(umumnya pietis yang zendelingnya menganut asas “Faith
Mission”) dan asuhan DZV dari Doopsgezind (Mennonite).
Sedangkan di Jawa Timur terdapat dua kelompok yaitu
dilingkungan Zending der Gereformeerde Kerken in Hersteld
Verband (ZGKHV) dan asuhan BFM dari Methodist12.
12 Naskah Chris Hartono, Dari Cipaku Sampai Jakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 8-9
6
Terbentuknya GKI merupakan perjalanan panjang melalui
berbagai konferensi dan gerakan-gerakan kesatuan yang memegang
teguh semangat kemandirian. Kesatuan dan kemandirian yang
dicita-citakan atas dasar keprihatinan akan perpecahan, teladan
kesatuan dari dalam dan luar negeri. Kemandirian timbul antara lain
karena sikap anti-zending (pengaruh nasionalisme Tiongkok)13 dan
disisi lain beberapa zendeling juga memotivasi kearah pendewasaan
jemaat-jemaat Tionghoa dalam konferensi-konferensi.
2.3. Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur.
Tuhan memulai karya-Nya melalui carikan kertas “Pembungkus
Petasan” yang berisikan petikan dari Injil Yohanes 10, antara lain
memuat ucapan Yesus: “Akulah Gembala yang baik”.
Menggerakkan pemuda bernama Oei Soei Tiong yang berusia
sekitar 18 tahun dan bekerja di pabrik petasan Sidoarjo (1894)
untuk terus mencari apa arti petikan ayat yang sangat menarik
perhatiannya. Usahanya diawali dengan belajar pada seorang
pendeta di Mojowarno sehingga mengenal Injil Yesus Kristus dan
dibaptis dengan nama permandian “Petrus” oleh Zendeling J.
Kreemer pada tanggal 19 Februari 1898 di desa Kendalpayak 9 km
selatan kota Malang14, agar dipahami keterkaitan secara historis
seperti yang telah diceritakan sebelumnya.
13 Chris Hartono, Orang Tionghoa dan Pekabaran Injil, hlm. 60-65. 14 Pranata Gunawan, op cit. Hal.4.
7
Semangat “Ngelmu15” makin melekat pada sosok pemuda
Tionghoa ini dimana karya Tuhan nyata hingga ayahnya yang pada
mulanya sangat menentangnya berbalik memberi dirinya dibaptis,
bahkan tahun 1906 segenap keluarga Petrus Oei Soei Tiong menjadi
Kristen. Pranata Gunawan memakai istilah “penyemaian” untuk
menggambarkan studinya dalam mempetakan cikal bakal komunitas
Kristen di Jawa Timur. Pemuda ini mempelopori dengan kunjungan
pada jemaat Jawa di Mlaten, mengadakan kebaktian di Sidoarjo
yang terdiri dari orang Tionghoa dan Jawa juga menjadi Guru Injil
pada masa pelayanannya di Bangil.
Penyemaian terjadi diberbagai tempat yaitu Sidoarjo, Surabaya,
Bangil, Mojokerto, Mojosari, Malang, Bondowoso dan tentu hal ini
terwujud berkat peran penting Guru-guru Injil, Zendeling, Badan PI
luar negeri, pendeta utusan Oost Java Zending dari Gereformed
Kerken in Hersteld Verband di Nederland Ds. H.A.C Hildering,
Gereja Jawa (GKJW) dan tentunya aktifis kristen Tionghoa atau
keturunan lainnya yang mengikuti jejak semangat p.I. Berikut ini
laporan yang dibuat Ds. H.A.C Hildering pada September 1932
terdapat 4 kelompok Kristen Tionghoa di Bangil, Mojokerto,
Mojosari dan Malang yang merupakan suatu “ikatan” Kristen
Tionghoa dengan nama Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee
(THKTKH) yang artinya sama dengan “The Church of Christ” di
Tiongkok. Demi penghayatan makna Gerejawi, konferensi Kristen
15 Inisiatif perseorangan untuk mencari ilmu atau memperdalam soal keagamaan dengan belajar dari seseorang yang dipandang berilmu, tembang, wayang dalam adat Jawa
8
Tionghoa memutuskan untuk meningkatkan status ikatan tadi dari
“perkumpulan” menjadi “Gereja”. Pada tanggal 31 Juli 1932 di
Gereja Jawa jl. Talun Malang di resmikan Gereja, suatu kemajelisan
dan peneguhan Guru Injil Oei Soei Tiong. Tekad menuju
kemandirian dan membangun gereja bagi orang Tionghoa
peranakan di “Jawi Wetan” membuahkan keputusan peresmian
THKTKH Klasis Jawa Timur dengan Majelis Besar (Tay Hwee)
dari ketujuh Gereja Setempat (Bangil, Probolinggo, Mojokerto,
Mojosari, Malang, Bondowoso, Jatiroto) pada tanggal 22 Pebruari
1934.
Sejak peristiwa kejemaahan yang luar biasa itu mendorong
Jemaah Tionghoa (totok/singkeh) di Surabaya dan Malang
bergabung dan terus meluas ke kawasan lain di Jawa Timur,
penambahan jumlah jemaat sangat pesat disebabkan baptisan (1935-
1939). Bahkan suatu kebangunan Rohani yang dipimpin oleh Dr.
John Sung (Gereja Methodis di Tiongkok) ikut mengkontribusi
karya Kristus ini dengan sementara mempergunakan Tata Gereja
dari Gereja Kristen Tionghoa Jawa Barat yang disesuaikan.
Hubungan keluar sejak 1924 telah terbina baik melalui
“Perserikatan Kristen Tionghoa di Indonesia” sampai pada
pendirian “Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa di Indonesia”
(DGKTI) yang keanggotaannya meliputi beberapa kawasan Tanah
Air Indonesia (1925), dengan anggota sekitar 69 jemaat DGKTI
diharap mampu mengkoordinasi usaha-usaha p.I di Indonesia dan
menjalin hubungan dengan Gereja-gereja di luar negeri. Namun
9
karena bangkitnya rasa nasionalisme akibat situasi kenegaraan di
Indonesia, terbentuknya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (1950)
dan hubungan dengan The Church of Christ in China karena situasi
di Tiongkok sendiri maka DGKTI praktis mulai tidak berfungsi
walau ketiga sinode THKTKH Jawa Barat, Tengah dan Timur
dapat tergabung dalam Badan Permusyawaratan Persatuan Gereja
(BPPG, 1955). Melalui berbagai pertemuan /konferensi
menghasilkan antara lain keseragaman Liturgi Kebaktian,
penggunaan buku Nyanyian gerejani “Mazmur-Rohani” dan
kesempatan penggantian nama gereja THKTKH menjadi GKI.
Kenyataan adanya dua gereja yang masing-masing telah berdiri
sendiri (1956) lalu keterpisahan itu dikukuhkan, badan hukum
dimiliki THKTKH Koe Hwee Jatim Sinode yang berbahasa
Tionghoa walaupun dapat dipergunakan oleh Koe Hwee/Sinode
yang berbahasa Indonesia bila diperlukan. Peristiwa ini mengantar
jemaat THKTKH Koe Hwee Jatim yang berbahasa Indonesia
yang tersebar di berbagai kota, pada tahun 1958 mengganti nama
gerejanya menjadi “Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur16”.
2.4. Gereja Kristen Indonesia Denpasar.
Pada persidangan sinode GKI Wilayah
Jawa Timur disekitar tahun 1980-an, pernah
dibahas permintaan beberapa orang
keturunan Tionghoa di Denpasar yang 16 Pranata Gunawan, op cit, hal. 44.
10
berharap ada pelayanan dari GKI sebab kebanyakan orang Tionghoa
peranakan tidak terlalu cocok bergabung dengan gereja berlatar
belakang Tionghoa maupun lainnya. Namun setelah majelis sinode
mengirim dua utusan ke Denpasar, menganggap bahwa tidak perlu
ada pelayanan tersebut, sebab sudah ada Gereja Kristen Protestan
Bali (GKPB), yang sebenarnya sudah menampung orang-orang
Kristen dari pelbagai daerah Indonesia untuk berjemaat di Bali.
Namun setelah itu masih banyak orang-orang yang dahulunya
adalah jemaat GKI dari beberapa daerah di Jawa, yang tidak
bergabung di GKPB, bahkan banyak yang menjadi “turis” gereja,
yaitu senantiasa berpindah dari gereja yang satu ke gereja yang lain.
Dan sejak terjadinya peristiwa Mei 1998, di mana banyak orang
Tionghoa pindah dari Jakarta dan Solo ke luar negeri tetapi juga
atau ke Batam dan ke Bali yang mereka anggap daerah aman, maka
banyaklah eks jemaat GKI yang tidak bergereja di Bali, meskipun
mereka berada di Bali. Namun semua ini tidak menjadi sebab
berdirinya GKI Bali.
Gagasan dari seorang yang bernama Hosea Abdi Widhyadi
mengenai kerinduannya mewujudkan sebuah retreat center yang
berseberangan dengan Taize yang lebih berjiwa barat, dengan nama
“Pantai Damai”. Pada awalnya ide ini kurang direstui oleh Sinode
GKI namun ide yang cemerlang pada akhirnya ditanggapi positif
oleh sinode GKI dan gereja-gereja di Bali seperti Gereja Kristen
Protestan Bali (GKPB), GPIB, departemen agama, dan para
pemimpin gereja di Bali. BIMAS Kristen dan MPAG sebetulnya
11
cukup hati-hati untuk menerima berdirinya “gereja baru” karena
menurut mereka setiap berdirinya gereja baru di Bali, justru
menimbulkan masalah baru17. Dan istimewanya di kota yang tidak
terlalu besar seperti Denpasar itu sudah berdiri sekitar 50 jemaat
dari beberapa aliran18. Lalu dengan alasan menampung saudara-
saudara sendiri, siap menjadi mediasi ketidak akuran antar
denominasi dan diharapkan kelak kontribusinya pada pergumulan
masyarakat maka diberi kesempatan pada GKI untuk melaksanakan
tujuannya.
Tanggapan positif membawa pada ide pendirian terlebih dahulu
GKI Denpasar sebagai salah satu alternatif jembatan menuju “Pantai
Damai”. Dalam perjalanannya menuju kemandiriannya pada
tanggal 20 Maret 2003, jemaat GKI disibukkan oleh berbagai
macam kegiatan ke dalam gereja dan ke luar gereja. Kenyataan
memang menunjukkan bahwa H. Abdi W. adalah seorang yang aktif
berhubungan dengan MPAG, dengan para pemerhati masalah sosial
seperti Alex Pangkahila dan Wimpi Pangkahila, juga para seniman
Bali seperti Darsana, Lasia dan sebagainya sehingga kerjasama-
kerjasama yang dibangun melalui berbagai acara-acara kebersamaan
dapat menunjang visi dan misi yang tengah ditempuh ini.
Peran yang dituju oleh GKI sebagai mediasi pernah dibicarakan
diantara gereja-gereja di Bali, namun tidak ada gereja yang
17 Wawancara via surat-menyurat pada Bapak Yopie Moningka dan Ibu Naniek Moningka yang berperan aktif dalam sejarah berdirinya GKI Denpasar. 18 Wawancara via e-mail dengan Hosea Abdi Widhyadi, 1 Oktober 2004. Terlampir.
12
menyanggupinya. Titik temu antara gagasan yang bertumbuh
diantara gereja-gereja di Bali bertemu dengan gagasan dari seorang
tokoh GKI diatas membawa keseriusan para panitia dan pengurus
jemaat GKI di Denpasar untuk segera menjadi gereja yang mandiri
dengan kata lain yaitu gereja yang tidak dibawah bayang-bayang
gereja pengasuhnya (GKI Residen Sudirman).
Langkah menuju ke pendewasaan berikut dengan visi dan
misinya juga sempat ditulis dalam buku “Pelembagaan GKI
Denpasar”19 yang isinya mengatakan perpindahan sejumlah
keluarga anggota jemaat GKI dalam lingkup sinode di Jawa ke
Denpasar –Bali pasca kerusuhan 1997-1998 yang merindukan
bersekutu dan beribadah dalam nuansa dan naungan ajaran GKI
ditambah konsep “Pantai Damai” idealisme Pdt. Em. H. Abdi W.
Mengenai konsep “Pantai Damai” sebagai wadah kontemplasi dan
bermeditasi bagi siapa saja dengan tempat didekat pantai, dilembah
perbukitan, dekat persawahan dan jika perlu dekat pegunungan
dimana manusia berjumpa dengan alam dan perjumpaan seluruh
ciptaan Allah. Gagasan berkembang dalam tujuan PPGG mencapai
sebuah “GKI-Fellowship and Community Care Centre” (GKI
FCCC) yaitu sarana Pusat Persekutuan dan Kepedulian kepada
Masyarakat yang dikelola oleh GKI sebagai langkah menuju “Pantai
Damai” dengan catatan dari Majelis Jemaat GKI Residen Sudirman
yang mengusulkan agar proyek tersebut akan menjadi milik
bersama seluruh jemaat GKI disemua wilayah.
19 Panitia Pelembagaan GKI Denpasar – Bali, Pelembagaan
13
Pada 12 Maret 199920 dimulailah ibadah di rumah-rumah jemaat
atau aktivis GKI dari Jawa yang telah berdomisili di Bali. Berawal
sekitar delapan orang tiap minggunya lalu berpindah tempat di
rumah toko “Citra Mandiri21” dijalan Hayam wuruk dengan jemaat
sekitar 25 orang, dimana diteguhkan dua orang penatua pertama
untuk melayani GKI Residen Sudirman Pos PKP Denpasar- Bali
yaitu Pnt. Leo Emmas dan Pnt. Mery. Berkat upaya perkunjungan
H. Abdi W. bersama istri dan aktifis maka persekutuan ini
berkembang mencapai sekitar 70 orang tiap hari minggunya dan
sekitar 25 orang anggota sidi (2000). Pengurus gereja ini berupa
Panitia Pos dengan penasehat Bp. Yopie Moningka dan Ketua
Badan Pengurus Pos PKP ini adalah Bp. Budi Hariyanto. Bersama
dengan pertumbuhan jemaat ini maka tahun (2001) diteguhkanlah
tiga penatua lagi yaitu Pnt. Djinaldi Gosana, Pnt. Gunawan Santoso
dan Pnt. Naniek Moningka bersamaan dengan diteguhkannya
Panitia Pembangunan Gedung Gereja yang beranggotakan orang-
orang GKI yang berasal baik dari Surabaya maupun Denpasar.
Kebaktian tiap hari Minggunya dilaksanakan dengan menyewa
salah satu ruangan di lantai III gedung Telkomsel – Renon.
Namun kebaktian di gedung ini hanya berlangsung beberapa
bulan saja karena dianggap kurang efisien. Selanjutnya majelis
memutuskan untuk mengkontrak suatu ruangan lantai II Gedung
bertingkat di jalan Raya Puputan no.108, Renon dengan masa
20 Wawancara via surat dengan Pnt. Naniek Moningka dan Bp. Yopie Moningka, 25 Oktober 2004 21 Artikel dengan judul “Berita Seputar Paguyuban”, Buletin GKI, edisi II, Hlm. 2.
14
kontrak lima tahun yaitu sampai 2006. Dengan anggota sidi 50
orang, majelis dan badan pengurus bertekad untuk melanjutkan ke
arah kelembagaan yang lebih mandiri dan pada tahun 2002 jemaat
ini dikembangkan menjadi GKI Residen Sudirman Bakal Jemaat
Denpasar. Cita-cita pelembagaan GKI Denpasar terwujud pada
tanggal 20 Maret 2003 bersama dengan diteguhkan delapan orang
majelis jemaat22, kebaktian dipimpin oleh Pdt. Sri Agus
Padnaningsih dari GKI Residen Sudirman Surabaya. Dengan
penetapan Pdt. Yohanes Bambang Mulyono dari GKI Blimbing –
Malang sebagai pendeta konsulen sampai pada bulan juli 2004.
Dari belakang kiri: Aart, Ariel, Johny, Leo, Daniel, Djinaldi, Wibisono. Depan kiri: Martin,
Ny. Leo, Yanti, Naniek, Sufia, Pdt. Sutedjo, Martha, Fanny, Irma, Yanto.
22 Nama-nama penatua: Djinaldi Gosana (Ketua), Gunawan Santoso (Wakil ketua), Johny Sitorus (Sek I), Martin K. Nugroho (Sek II), Naniek Moningka (Bend I), Yanto Setiawan (Bend II), Leo Emmas, Sri Sufia Martini.
15
III. KEHIDUPAN JEMAAT
3.1. Sekilas Tentang Bali.
Bali adalah wajah pesona pariwisata Indonesia di Internasional
yang begitu kental dengan upacara adat, kekayaan budaya dan
kesenian juga dilengkapi dengan penataan kawasan pariwisata yang
asri dan akrab dengan alam. Pesona ini tidak lepas dari struktur
sosial budaya dan agama Hindu yang “khas” berbeda dengan agama
Hindu di daerah lain. Seperti upacara agama “Melasti” yang
memungkinkan untuk dilakukan karena pantai yang mengelilingi
pulau Bali relatif mudah dijangkau. Berbeda dengan di luar Bali
dimana hari raya agama Hindu yang terhitung libur nasional
hanyalah pada hari Raya Nyepi, di pulau ini terkenal dengan
sebutan “Ba-Li” atau “Banyak Libur” yaitu Hari Raya Galungan
yang dapat dirayakan dua kali dalam setahun yang mengambil
waktu liburan minimum tiga hari, ditambah satu hari untuk
perayaan Kuningan dan beberapa hari raya lainnya juga hari libur
Nasional.
Yang menarik adalah ketika menjelang hari raya Nyepi ada
suatu adat “Pengerupukan” atau lebih dikenal dengan “Ogoh-ogoh”
dimana monster-monster buatan pemuda banjar-banjar diarak
keliling kota dan pada akhirnya dibakar disuatu tempat mendekati
tengah malam menjelang “Nyepi”. Dan ketika saat “Nyepi” dimulai
maka dapat dikatakan bahwa tidak ada kendaraan bermotor, orang-
16
orang yang berkeliaran di jalanan selain pecalang23. Pada malam
hari pecalang juga bertugas mengawasi dan memperingatkan
apabila ada lampu-lampu di seluruh tempat yang terlihat menyala,
bahkan Pemerintah daerah juga memadamkan seluruh lampu
penerangan jalan dan menghentikan kegiatan di Bandara udara
Ngurah Rai dan pelabuhan (Gilimanuk dan Padang Bai)
Dalam jalur penerbangan Internasional, Bali menjadi salah satu
tempat transit yang mengundang daya tarik. Bandara udara
Internasional yang ada membuka peluang bagi seluruh jalur turis
mancanegara untuk dapat berlibur atau berdagang. Tidak dapat
disangkali lagi bahwa sumber perekonomian masyarakat Bali
bersumber pada sektor pariwisata ini. Selain itu Bali yang dipadati
oleh sekitar 250 macam hotel dengan berbagai kelas sering kali
dipakai sebagai tempat pertemuan-pertemuan berbagai organisasi
dan perusahaan baik Internasional juga Lokal. Turis domestik juga
memberikan kontribusinya terutama pada masa liburan sekolah atau
hari libur nasional.
Namun nuansa pesona pulau “Dewata” amatlah tercoreng ketika
pada hari Sabtu Malam tanggal 12 Oktober 2002 terjadi peristiwa
“Bom Bali”. Korban terbesarnya adalah ratusan turis mancanegara
dalam hal ini mayoritas orang Australia, disamping itu juga
penduduk sekitar Sari Club dan Paddy’s Club. Goncangan yang
23 “Pecalang” adalah semacam polisi adat yang dipercayai oleh masyarakat adat Bali untuk menjaga ketertiban, mengatur lalu lintas bila diperlukan disekitar lokasi diselenggarakannya upacara-upacara adat Bali. Terkadang mereka juga membantu pentertiban berbagai kegiatan selain adat.
17
amatlah besar menghantam segenap struktur masyarakat Bali. Tidak
berlebihan bila dikatakan bahwa semua kegiatan pada semua sektor
baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan industri pariwisata efektif
selama seminggu terhenti. Dampak dari tragedi ini masih terasa
sampai tahun 2004, karena setelah peristiwa tersebut arus pariwisata
mancanegara (terutama Eropa, Australia dan Amerika Serikat) yang
memberikan kontribusi cukup besar menjadi merosot drastis
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
3.2. Anggota Jemaat
Secara umum dapat dikatakan bahwa jemaat GKI terdiri dari
berbagai suku/etnis, antara lain; Tionghoa peranakkan, Jawa, Batak,
Manado, Kupang, Ambon, dan sebagainya. Mengapa demikian,
karena mereka berasal dari jemaat GKI di Jawa juga jemaat gereja
lain di dalam dan luar Bali yang pindah. Mereka ada di Bali antara
lain dikarenakan untuk bekerja, bersekolah atau alasan lain
diantaranya menikmati “masa tua” oleh sebab itu profesi mereka
juga berbagai ragam. Namun demikian anggota jemaat yang berasal
dari Bali sendiri sangat sedikit, karena sebelum GKI Denpasar
didirikan mereka tergabung dalam Gereja Kristen Protestan Bali
atau disebut juga “Gereja Bali” dan di gereja lain (GKA Zion,
GKY, GPIB, Bethany Lembah Pujian, GKKA, dsb)24.
Pertumbuhan jemaat sejak tahun 2000 – 2002 cukup pesat.
Sejak pelembagaan, jam kebaktian juga ditambah, dengan jumlah 24 GKY = Gereja Kristus Yesus (dulu Gereja Kristen Jemaat Mangga Besar).
18
kehadiran; kebaktian pagi hari dihadiri sekitar 130 orang dan sore
hari dihadiri sekitar 50 orang. Anggota tercatat baik dari sidi dan
atestasi (keterangan pindah) masuk seluruhnya adalah 120 orang.
3.3. Gambaran Geografis
Lokasi Gereja terletak di tengah kota Denpasar. Posisi gedung di
jalan raya Puputan nomor 108 di lantai dua ini berseberangan
dengan Kantor Pos Pusat Denpasar. Sehingga dengan demikian
memudahkan untuk dicapai oleh jemaat di sekitar Denpasar maupun
jemaat GKI dari Jawa yang berlibur atau keperluan lain sedang
berada di Bali. Gereja ini dapat dicapai sejauh 30 menit dari
Bandara Udara Internasional Ngurah Rai dan 20 menit dari terminal
bis Ubung. Waktu tempuh melalui darat bila berangkat dari
Pelabuhan Gilimanuk yaitu sekitar tiga sampai empat jam sudah
bisa sampai di Denpasar (Ubung).
Lingkungan gereja berada di dekat gereja besar Katolik di jalan
Tukad Musi. Lokasi ini berada didaerah yang disebut “Renon” yang
merupakan daerah pusat perkantoran pemerintah daerah (didepan
gereja). Letak gereja ditepi jalan besar ini rupanya sangat
menguntungkan, tempat parkir di halaman dan di sepanjang jalan
satu arah sejauh ini tidak mengganggu penduduk karena lokasi
permukiman berada dibelakang gedung.
Seperti GKI Lainnya, bisa dikatakan bahwa kebanyakan jemaat
GKI Denpasar tidak bermukim dekat disekitar gedung.Jemaat GKI
tersebar keberbagai arah baik di daerah Barat (Dalung, Gatot
19
Subroto Barat, Monang-maning), di Utara (Green kori, Gatot
Subroto tengah) yang terjauh adalah Ubud (berjarak sejauh 40
menit), Timur (Sanur, Ketewel, Biaung) dan di Selatan (Kuta,
jimbaran) yang terjauh adalah Nusa Dua (sekitar 40 menit).
3.4. Gambaran Budaya
Pertemuan dengan budaya Bali membuat jemaat yang plural ini
berinteraksi dan saling memperkaya. Hal tersebut dilihat pada corak
keragaman dalam acara-acara gereja yang diselenggarakan. Bahkan
beberapa kegiatan gerejawi dirumah-rumah anggota jemaat diterima
dengan baik oleh masyarakat sekitarnya. Hal ini tentunya berpulang
pada interaksi positif yang dibangun oleh perilaku para anggota
jemaat GKI dilingkungannya masing-masing.
Jemaat GKI Denpasar yang dari awal sudah terbentuk dalam
kepelbagaian selalu memelihara keakrabannya. Dalam kegiatan-
kegiatan bersama di dalam persekutuan gereja dapat dicatat
beberapa corak budaya yang menarik untuk dibicarakan;
1. Tata letak bangku atau tata ruang yang dibuat dengan
bentuk setengah lingkaran atau berbentuk “U” dengan
mimbar berada ditengah-tengah. Bentuk bertujuan agar
pembicara /pengkotbah berada ditengah-tengah jemaat
sebagai pendengarnya, sehingga lebih memudahkan untuk
terjadinya ibadah yang dialogis.
2. Sejak awal pendirian sampai sekarang, setiap usai kebaktian
disediakan makanan ringan. Kebiasaan ini dipertahankan agar
20
seusai ibadah jemaat dapat berkumpul dan lebih
memungkinkan terjadinya perbincangan dalam rangka
membangun keakraban dalam jemaat. Jumlah jemaat di gereja
ini tidaklah besar hingga suasana kebersamaan cukup kental
dirasakan.
3. Salah satu budaya yang harus dipertahankan adalah:
keramahan dan tegur sapa yang tulus dari pengurus dan aktifis
kepada jemaat baru atau tamu juga pada jemaat lama.
Sambutan dan senyuman yang hangat memberi warna pada
tali persekutuan di gereja ini.
3.5. Gambaran Ekonomi
Secara umum dapat dikatakan bahwa jemaat GKI Denpasar
dalam hal perekonomian tergolong menengah keatas. Ada sebagian
jemaat yang berkekurangan, akan tetapi karena rasa kebersamaan
yang masih kental maka usaha-usaha untuk saling menopang dapat
menjadi kesaksian yang indah didalamnya. Namun sejak peristiwa-
peristiwa tragedi yang tak kunjung berhenti sejak WTC 11/9 lalu
“Bom Bali” di Legian Kuta dan seterusnya, maka banyak jemaat
yang kehilangan pekerjaan karena diberhentikan oleh perusahaan
juga banyak usaha-usaha wiraswasta yang macet dan harus bertahan
karena hasil yang sangat tidak memadai.
21
3.6. Struktur Organisasi GKI Denpasar
GKI Denpasar menjalankan sistem organisasi gereja presbiterial-
sinodal. Persidangan majelis jemaat setempat merupakan penentu
dalam mengambil keputusan. Namun segala hal yang berhubungan
dengan bidang-bidang pelayanan yang ada seperti: Dewasa,
pemuda, remaja, anak, musik gerejawi dan oikumene
kemasyarakatan, merupakan pembahasan yang didasarkan pada
masukan-masukan dari pengurus badan pelayanan yang terkait.
Kebijakan tingkat sinodal menjadi masukan penting bagi
setempat agar dalam mengambil langkah tetap seiring dengan jiwa
yang tengah dibangun secara menyeluruh dalam GKI. Namun
dalam hal tertentu GKI Denpasar tetap berupaya untuk
mengkontekstualisasikan beberapa hal yang dipahami sebagai
pendekatan yang khas yang tentunya berbeda dengan GKI lainnya.
Dalam usaha untuk melibatkan kaum awam sekaligus menggali
potensi sumber daya manusia, GKI Denpasar tidak pernah lupa
untuk selalu berusaha mempercayakan kepanitian kepada jemaat
secara bergantian dan diutamakan kepada orang yang belum banyak
terlibat didalam kegiatan GKI Denpasar secara khusus didalam
kepengurusan.
3.7 Visi dan Misi
Visi GKI adalah: “Kita sebagai GKI dipanggil Allah untuk
menjadi gereja di Indonesia secara terus-menerus menjadi mitra
Allah dalam mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah”. Dan
22
misinya adalah untuk; mengembangkan spiritualitas, perwujudan
persekutuan tanpa memandang perbedaan, hidup dalam kasih
persaudaraan, melaksanakan kesaksian dan pelayanan,
memperjuangkan perwujudan keesaan gereja, meningkatkan
pertumbuhan anggota dan rasa cinta anggotanya terhadap GKI
sebagai tubuh Kristus25.
Atas dasar visi dan misi umum tersebut, GKI Denpasar tema
kerjanya yaitu: “Bertumbuh Dewasa dalam Ibadah, Iman, Kesaksian
dan Pelayanan” yang dicanangkan pelaksanaannya dalam tiga tahun
program kerja dengan penekanan pada Ibadah pada tahun pertama
(2003), Iman (2004) dan KesPel (2005).
Namun warga jemaat dalam hal ini majelis dan pengurus badan
pelayanan, pada umumnya lebih menyukai hal-hal yang praktis dan
bisa segera dilaksanakan. Mereka lebih cepat menanggapi
penyusunan program dalam hal bagaimana?, kapan?, dimana?,
siapakah pembicaranya?, siapa saja yang dilibatkan? dan berapa
besar anggarannya? dari pada mengapa kegiatan itu harus
diselenggarakan?, apa yang ingin ditekankan?, apa sasarannya?
Bagaimana tindak lanjutnya (Follow up)? Kebiasaan tadi sangat
dirasakan ketika majelis dan badan pelayanan menyusun program
kerja; acara/bentuk kegiatan, waktu dan tempat pelaksanaan serta
hal teknis lainnya lebih dulu dibuat. Setelah itu baru latar belakang,
25 Tim Visi dan Misi GKI, Visi dan Misi Gereja Kristen Indonesia 2002-2010, Persidangan XIII Majelis Sinode GKI, Hlm. 1
23
tujuan dan sasaran juga tindak lanjut dibicarakan selanjutnya,
bahkan terkadang dilewatkan.
3.8. Kegiatan Pelayanan
Konsentrasi kegiatan pelayanan di GKI Denpasar berorientasi
pada kemantapan wadah-wadah pelayanan dalam Badan Pelayanan
(BP) yang dulu dikenal dengan sebutan “komisi”. Jumlah SDM
yang belum mencukupi membawa pengurus dalam situasi dimana
beberapa personil dapat terlibat lebih dari satu bidang pelayanan.
Dapat dikatakan diluar ke-majelisan, 50% pengurus BP terlibat
beberapa bidang pelayanan.
Beberapa BP mengalami krisis SDM dan motivasi bahkan BP.
OikMas dapat dikatakan non-aktif. Bidang II yaitu KesPel juga
kurang dapat berimprovisasi karena selain koperasi tidak dibentuk
khusus BP-nya, bidang sarana dan prasarana juga mengalami
indikasi yang serupa, sehingga urusan inventarisasi kurang
terjangkau sementara peralatan yang dimiliki bertambah karena
pemberian dari jemaat.
Mengenai koperasi simpan pinjam sudah cukup berhasil
mencapai tujuannya yaitu membantu pedagang kecil dengan
pinjaman ringan. Anggota dari koperasi ini terdiri dari jemaat GKI
Denpasar dan juga masyarakat sekitar Denpasar tanpa dibatasi
dalam bentuk apapun. Namun yang disayangkan bahwa bila ada
rapat anggota, maka tidak ada pertemuan antara seluruh anggotanya.
24
Kecenderungan anggota lebih kearah pasrah pada keputusan rapat
pengurus bahkan BPH-nya saja.
Bentuk-bentuk pelayanan sosial karikatif lebih bersifat politis
atau rekreatif dibandingkan usaha untuk benar-benar terjun untuk
bergumul didalam usaha sosial tertentu. Bahkan perkunjungan
diantara jemaat seakan-akan menjadi tugas dari beberapa orang
yang berminat dan bertugas untuk berkunjung.
Usaha-usaha dalam membuka lapangan pekerjaan bagi
beberapa jemaat yang membutuhkan pekerjaan juga mengalami
kegagalan. Kursus-kursus yang diadakan tidak dapat langgeng,
pameran lukisan sebagai usaha kerjasama antara seniman-seniman
Kristen juga tidak berlangsung lancar. Ketika BCAA selaku
penanggungjawab penyelenggaraan pameran lukisan melaksanakan
even di gereja, justru majelis dan anggota jemaat GKI Denpasar
yang terlibat hanya sekitar 5% dari total yang hadir.
Pembentukan Panitia Pembangunan Gedung Gereja yang
senantiasa bergumul dengan masalah perijinan yang tidak kunjung
tuntas sekalipun sudah berpindah kelokasi baru dan sudah merubah
strategi dalam mengurus ijin. Pada akhirnya harus berhadapan
dengan keputusan Gubernur Bali mengenai jumlah umat sekurang-
kurangnnya 100 KK berdomisili di tempat itu (Desa/Lurah).
25
IV. MASALAH EKLESIOLOGIS
4.1. Wajah Kemandirian Bagi Jemaat GKI di Denpasar
Sesuai dengan tata gereja yang berlaku di GKI maka ada
beberapa persyaratan pokok yang harus dipenuhi agar suatu jemaat
dapat dilembagakan menjadi gereja dewasa melalui tahapan
paguyuban, menjadi bakal jemaat lalu menjadi jemaat penuh
(Dewasa) adalah jumlah anggota sidi minimum 100 orang dan telah
melalui persidangan Klasis dan Sinode serta visitasi khusus yang
berkaitan dengan hal-hal administratif agar memenuhi penilaian
diambang pernyataan dapat di lembagakan atau sehat (dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri). Dalam prosesnya majelis jemaat
membentuk Panitia Pembangunan Gedung Gereja yang senantiasa
bergumul dengan permasalahan ijin yang terutama disandung
Keputusan Gubernur Bali nomor 33 tahun 200326.
Tujuan paguyuban pada awalnya bukanlah sekedar membangun
tembok baru dengan menambah gedung gereja yang didalamnya
semarak dengan acara ritual dan bersifat rutin belaka27, melainkan
terpanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah, menciptakan dunia
26 Tentang prosedur dan ketentuan-ketentuan pembangunan tempat-tempat ibadah di wilayah propinsi Bali pada pasal 2 nomor 3.d & f mengenai daftar jumlah umat yang berdomisili di tempat itu (Desa/Lurah) yaitu sekurang-kurangnya 100 (seratus) KK; Fotocopy KTP dan KK dari para Kepala Keluarga serta memiliki tempat tinggal tetap. 27 Ditekankan kembali dalam buku Pelembagaan GKI Denpasar dalam topik GKI-FCCC, hlm. 27. “VISI keberadaan dan pelayanan GKI di Denpasar tidak hanya terbatas pada melahirkan sebuah jemaat baru GKI, tetapi seyogyanya dikembangkan sebagai wadah bagi perwujudan kepedulian warga GKI kepada masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia, terutama di sekitar Denpasar, Bali”
26
baru dimana penuh saling pengertian dan saling berdialog didalam
pluralitasnya serta membangun lingkungan dengan filosofi kultur
damai (The Culture of Peace) “Kamu adalah unik, aku juga unik,
dan itulah sebabnya kamu adalah aku….. TAT WAM ASI”28
Sejak GKI Denpasar berdiri maka didalam persidangan majelis
jemaat diutamakan pembicaraan dan konsentrasi pada upaya
mencari pendeta jemaat, pembelian aset berupa tanah dan bangunan
untuk tempat ibadah dan program-program rutin intern. Mengenai
Badan Pelayanan Oikumene Kemasyarakatan (BP. OikMas)
mengalami stagnasi sementara upaya diakonia melalui koperasi juga
mengalami kemunduran karena miskinnya perhatian dari anggota.
Semangat tidak dilengkapi ketahanan untuk konsisten pada
relasinya dengan badan-badan persatuan gereja atau gereja-gereja
lainnya di Bali seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya (H.
Abdi W.).
Dari kedua alinea diatas digambarkan bahwa ada pertanyaan
mengenai apa tujuan kemandirian, perbandingan yang menarik dari
sejarahnya yaitu jemaat GKI Denpasar ingin menunjukkan dirinya
yang “anti-ketergantungan” (serupa dengan anti-zending) antara lain
nampak pada terjadinya kesalahpahaman antara anggota PPGG di
Surabaya dan anggota PPGG setempat di Bali, berkaitan dengan
upaya menyusun kembali keanggotaan PPGG baru yang
diutamakan pada anggota yang berdomisili di Bali.
28 Buletin Paguyuban Warga GKI di Bali edisi I, Maksud/Tujuan serta langkah-langkah yang sudah dikerjakan:, hlm. 2.
27
Sepanjang perencanaan PPGG baik dalam usaha kepemilikan
sebidang tanah (th. 2002) sampai pada kepemilikan tanah dan
bangunan di jalan Raya Puputan29 menggambarkan campur tangan
Tuhan dalam tersedianya dana secara luar biasa. Dari kondisi yang
akan berhutang malahan berubah menjadi memiliki sebidang tanah
dan simpanan dana pembangunan, seakan-akan membuat jemaat
“terlena” dengan ketegangan sekaligus kekaguman akan penyertaan
Tuhan dan membawa jemaat untuk sejenak memberi ruang pada
tahap stagnasi berikutnya, jika tanah dan bangunan berikutnya
berhasil dimiliki lalu cukupkah waktu bagi perbincangan serius
guna menjawab; Apakah harus mandiri dan memiliki tempat ibadah
permanen untuk mencapai misi GKI-FCCC & visi “Pantai Damai”?
4.2. Sejauh Mana Kematangan Konsep Pantai Damai?
Sesungguhnya visi menuju “Pantai Damai” yang merupakan ide
perseorangan belum menjadi konsep yang matang dan didukung
penuh secara Sinodal maupun jemaat setempat (Bali). Beberapa
gagasan yang tidak berkesinambungan namun memiliki nuansa
yang dapat dihubungkan, konsep “Pantai Damai” yang bersifat
kontemplatif tidak dirumuskan kedalam suatu pemahaman teologis,
sementara ide GKI-FCCC belum dibicarakan dan disusun
perencanaannya ke dalam rapat-rapat PPGG yang baru. Upaya
pengarahan dari Sinode, Klasis dan GKI Residen Sudirman ke arah 29 Surat dari Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Propinsi Bali, No: 630.61-808 perihal Mohon Ijin Tertulis kepada Pimpinan PT. BankBuana Indonesia Tbk. Cabang Denpasar.
28
konsep “Pantai Damai” maupun GKI-FCCC bisa dikatakan hampir
tidak ada, yang ada adalah anjuran agar GKI Denpasar berbaur
dalam masyarakat Bali. Dan yang tak kalah pentingnya masukan
dari BIMAS Kristen dan MPAG mengenai peranan GKI sebagai
“mediasi” dalam permasalahan antar gereja di Bali.
Kegairahan kehidupan jemaat lebih condong pada terbentuknya
gereja yang eksklusif, hal ini nampak jelas didalam program-
program dan penyusunan tema-temanya. Perbaikan ke dalam
mendapat porsi lebih banyak dibanding membangun hubungan
dengan sekitarnya.
Kalaupun ada bentuk usaha diakonia dan oikumene lebih
kepada usaha politis baik dengan tujuan menjaga hubungan dengan
BIMAS Kristen, Gereja lain, masyarakat sekitar (Banjar dan
Lingkungan) demi alasan keharmonisan dan keamanan. Gereja
kehilangan kelincahannya untuk secara luwes melaksanakan karya
sosial dengan tujuan yang sesungguhnya, akibatnya beberapa
anggota jemaat secara pribadi melakukan karya sosialnya seperti;
melaksanakan kursus pelajaran sekolah tingkat dasar di pedesaan,
menjadi sukarelawan pada saat peristiwa “Bom Bali”30, ikut terlibat
dalam organisasi sosial diluar gereja.
Visi ke arah retreat center tidak berhasil menyentuh jemaat
untuk tergugah dan mulai berkonsentrasi ke arah membangun
30 Pada peristiwa “Bom Bali” 12 Oktober 2003, GKI Denpasar tidak melakukan kegiatan atau aksi aktual tertentu untuk menanggapi tragedi tersebut, hal serupa terjadi pada peristiwa tragedi pembakaran gereja & perburuan orang-orang Kristen di Lombok pada tahun 2000.
29
kerjasama yang berorientasi lebih banyak memberi (keluar). Bisa
jadi dikarenakan kurangnya sosialisasi dan juga ditambah
konsentrasi mereka lebih diserap oleh kesibukan dalam upaya
PPGG dan kegiatan-kegiatan didalam GKI sendiri. Ditambah
dengan konsentrasi pada pencarian dan penentuan pendeta jemaat
yang sampai saat ini masih dalam proses.
Siapakah GKI Denpasar sehingga ada celah terjadinya cikal
bakal dikotomi pemahaman terhadap kemandirian dan visinya?
Tentu saja jemaat yang terdiri dari para pendatang dari luar Bali dan
mempunyai berbagai latar belakang etnis dan gereja (GKI yang
berbeda) tentu tidak mudah meninggalkan kebiasaan, latar belakang
teologis dan konsep-konsep bergereja yang berbeda telah terbentuk
di gerejanya masing-masing sebelumnya31. Keadaan mereka sebagai
sesama pendatang di satu sisi mempererat jalinan kesatuan, disisi
lain memaklumkan penundaan kematangan konsep. Keeratan
hubungan mereka juga dapat membawa kepada sikap suka
mengelompok yang berkecenderungan kuat membangun
eksklusifitas.
Dari perumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam permasalahan kemandirian, visi dan misi GKI Denpasar, ada
masalah teologis sebagai berikut:
1. Dapatkah visi dan gagasan seorang tokoh dapat dihayati
oleh jemaat GKI Denpasar.
31 Masukan dari Pdt. Sri Agus Padnaningsih dalam diskusi pada mata kuliah: Gereja dalam Konteks dengan topik: “GKI Denpasar; Mempelajari Diri Menuju Gereja Yang Kontekstual”.
30
2. Intropeksi diri apa saja yang dapat didahulukan
sehingga perencanaan misi secara tepat dapat
dilaksanakan.
V. UPAYA MEMBANGUN GEREJA KONTEKSTUAL
5.1. Membangun Keutuhan Visi
Konteks Bali yang sudah menjadi ajang ketidak adilan struktural
harus mendapat tempat dalam pergumulan jemaat di Denpasar.
Perlu disadari bahwa 80% keuntungan pariwisata dari pulau
“Dewata” dimanfaatkan oleh orang di luar Bali, pembangunan
pariwisata yang pesat seiring pengerusakan ekologi yang antara lain
ditandai dengan makin punahnya penyu akibat eksploitasi pantai
yang merusak susunan ekosistem di dalamnya. Struktur moral yang
makin digerogoti baik dari dalam dengan budaya “judi” dan
tingginya tingkat aborsi, maraknya pekerja seks komersial (PSK)
impor dari pulau Jawa, peredaran obat-obatan terlarang dan
rentannya penularan virus HIV merupakan masalah sehari-hari yang
sudah menjadi kebiasaan. Bakat materialis dan hedonisme orang-
orang di Bali membuka lebar peluang pendatang baik dari luar Bali
maupun luar negeri untuk dapat mengambil alih kepemilikan tanah
di Bali, lama kelamaan membuat orang-orang Bali akan menjadi
penumpang di tanahnya sendiri.
Menjawab kompleksitas permasalahan diatas, gereja
diperhadapkan pada beberapa alternatif pemantapan visinya tentang
31
“Pantai Damai”. Kedamaian yang dipanggul diatas pundak gereja
harus mendapat definisi yang spesifik, antara lain:
1. Kedamaian yang dibangun dari keadilan ekologi; agar
dalam upaya kepemilikan sebidang tanah nantinya tidak
memposisikan diri pada situasi bahwa tanah yang tadinya
memberi makanan pada pemiliknya terhenti bahkan merubah
status pemilik menjadi pekerja ditanahnya sendiri32.
2. Kedamaian adalah buah dari praksis yang terjadi seperti
di Taize (Eropa) bagaimana Liturgi diartikan kedalam liturgi
ritual dan liturgi kehidupan33. Kedamaian yang dipancarkan dari
kesatuan oikumenikal dimana GKI Denpasar telah diberi
peluang yang lebar oleh gereja-gereja di Bali.
3. Kedamaian yang dibawakan dalam suatu konsep tidak
mungkin dalam bentuk gedung, kelembagaan, dan dibatasi
dengan berlama-lama dalam verbal (melalui mimbar) tanpa
suatu aksi, sehingga membudayakan sikap inklusif yang pada
gilirannya membawa jemaat GKI ke dalam hubungan dialogis
baik bagi lingkungan gereja-gereja di Bali, pemerintahan daerah
dan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat seperti yang
diungkapkan diatas.
32 Suatu analogi terhadap banyaknya contoh-contoh terjadinya kemerosotan status bagi orang-orang Bali yang tadinya adalah pemilik menjadi pekerja akibat pendirian hotel-hotel yang memakan tempat begitu luas. Dan timbullah masalah ketika hotel tersebut tidak bisa memberi nafkah lagi bagi pekerjanya akibat situasi krisis yang dialami secara nasional. 33 A. Pieris, Berteologi Dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm.
32
4. Kedamaian merupakan jawaban dari pertanyaan apakah
gereja, siapakah gereja? Karena gereja dapat berdiri, hidup dan
berkarya tanpa memerlukan bangunan gedung. Apa artinya
sebuah gedung berdiri ditengah-tengah lingkungan penduduk
yang tidak membutuhkannya untuk beribadah? Bukankah
kehadiran gedung gereja merupakan suatu gangguan dan
mengusik ketenteraman masyarakat sekitar. Agar bijak kita
bersikap tentang kontroversi seputar ijin pembangunan gereja
seharusnyalah kita berpikir bagaimana seandainya suatu
lingkungan Kristen (mayoritas) yang padat dan ditengah-
tengahnya akan bangun sebuah rumah ibadat agama lain,
apakah orang-orang Kristen memberikan ijin dengan begitu
mudahnya? Gereja dituntut untuk ikut meletakkan dasar-dasar
pembangunan struktur sosial dimana gereja itu berada tanpa
mengganggu dan mengusik struktur sosial yang sudah ada
sebelumnya.
Gereja yang dibangun harus mendapat arti yang khusus bagi
masyarakatnya. Gereja yang dibangun tidak dapat dijadikan ajang
uji pengalaman dari gereja-gereja dimana jemaat-jemaat berada
sebelumnya. Jemaat yang terkumpul ditempat yang baru dapat
mengupayakan kemandiriannya dengan menemukan sendiri dari
perjumpaannya dengan permasalahan ditempat baru tersebut. Dalam
hal ini jemaat GKI Denpasar dapat mendefinisikan gerejanya bukan
hanya berdasarkan jumlah anggota jemaatnya, kemampuan finansial
dan aset yang dimiliki seperti gedung, pastori, perlengkapan ibadah
33
dan fasilitas lainnya. Definisi dasar-dasar kekristenan yang hidup
dalam jemaat yang menjadi inti gereja; yaitu benih-benih berupa
keluarga yang: menyatakan kekristenan, nampak kepeduliannya
pada mereka yang tidak mengenal Kristus, berorientasi pada
pengajaran dan tuntunan gereja sebagaimana gereja yang establis
juga yakin untuk mengambil bagian dalam upaya penetapan sebuah
gereja34.
5.2. Menyusun Rencana Misi
Langkah-langkah yang sistematis dan mudah untuk dilaksanakan
merupakan salah satu faktor utama dalam merealisasikan suatu visi.
Beberapa langkah evaluasi menjadi pilihan penting agar mengetahui
sejauh mana suatu visi sudah ditanamkan dan menemukan
kelebihan-kelebihan yang dapat menjadi kekuatan dalam
pencapaian visi sementara kekurangan-kekurangan dapat dipelajari
dengan lebih teliti agar tidak terulang.
Kemandirian yang dituju telah diperkaya oleh pemahaman baru
dalam menjawab pertanyaan pada bagian II.1 bahwa visi “Pantai
Damai” lebih dipahami sebagai upaya membangun suatu filosofi
tentang bagaimana kedamaian dapat dinyatakan oleh sebuah gereja
dimana gereja tersebut dibangun oleh semangat, jiwa dan
pemahaman jemaatnya tentang Kristus yang sangat peduli pada
berbagai ketidakadilan sehingga dalam penyusunan misi GKI-
34 Donald J. MacNair, The Birth, Care, and Feeding of a Local Church, Baker Book House, Michigan, 1979, hlm. 37.
34
FCCC dapat dimuati langkah-langkah aktual yang erat
hubungannya dengan upaya-upaya:
1. Menciptakan keharmonisan antar gereja-gereja di Bali
bahkan antar agama-agama di Bali agar kelak dapat
menjadi teladan bagi cita-cita bersama untuk menjadikan
GKI sebagai salah satu mediator dalam menanamkan
semangat oikumenikal di Indonesia.
2. Menyusun program-program kerja yang diawali dengan
analisa-analisa yang berkaitan erat dengan beberapa
permasalahan struktural yang terjadi dalam masyarakat
Bali untuk dijadikan landasan rencana aksi.
3. Membuka kesempatan seluas mungkin bagi jemaat
yang mempunyai ketertarikan khusus untuk dapat
berperan dalam pelaksanaan program dengan terlebih
dahulu mengupayakan penanaman visi sehingga mereka
dapat tetap teguh melampaui generasi demi generasi.
5.3. Kajian Alkitab
Bagian ini akan mengkaji Alkitab sebagai sumber nilai dan moral
kristiani sebagai pijakan suatu kemandirian dan pendirian sebuah
misi kemanusiaan.
a. Membangun Rumah Rohani (1 Petrus 2:5)
Membangun rumah yang bagaimanakah sehingga secara rohani
dapat dipahami sebagai tempat dimana semua orang percaya
dapat hidup bukan bagi dirinya melainkan bagi sekitarnya.
35
Suatu peletakan batu dasar terbangunnya gereja yang
seharusnya disusun dalam sebuah jemaat dimana Kristus kali ini
ditampilkan sebagai “batu yang hidup” oleh Petrus. Bagian ini
menghubungkan pada pros hon proserchomenoi35 yaitu kepada
siapa kita memandang seperti yang digambarkan Mazmur 34:5.
Perhatian ditujukan pada upaya membangun sebuah jemaat
secara spiritual bersumber pada kematian dan kebangkitan
dalam karya penebusan Kristus, sehingga persembahan rohani
dari siapa yang benar-benar percaya pada-Nya akan dibawa
pada kehidupan yang mampu menampilkan terang Kristus.
Tidak dipungkiri bahwa perikop ini kental mengupas
ketidaktaatan, yang dimaksud tentu terkait dengan keraguan
akan campur tangan Kristus dalam perjalanan pelayanan GKI
Denpasar atau juga gambaran yang salah tentang bangunan
rohani yang lebih ditampilkan dalam bentuk fisik materi yang
secara lebih mudah dapat diukur dan dinilai. “Hidup”
seharusnya mendapat makna yang kuat akan kedinamisan dan
berani menampilkan diri dalam kesederhanaan sehingga gereja
dalam masyarakatnya akan mendapat tempat sebagai bagian
dari lingkungannya. Berbaurnya gereja dalam masyarakatnya
tanpa mengurangi dan melunturkan pemahaman akan pokok-
pokok ajaran akan memperkokoh ikatan emosional dalam suatu
masyarakat, dampak yang positif pada waktunya akan
35 Frank E. Gaebelein, The Expositor’s Bible Commentary, Zondervan Publishing House, Michigan, 1982, hlm. 229.
36
mengambil bagian ketika gereja yang menyatu itu tidak bisa
tercabut dari lingkungannya karena Kristus semata-mata yang
menganugerahi mereka.
b. Melawat dan merawat sebagai amanat Agung (Yakobus
1:26-27).
Sebagai bagian Alkitab yang menekankan bahwa amat
memungkinkan bagi gereja untuk meindikasikan kemuliaan
dengan kerumitan kulit luar dari penampilan mereka juga
dengan musik yang begitu megah merupakan kebiasaan yang
ditentang dengan memuliakan Kristus melalui evpiske,ptomai
(Episkeptomai) bersifat aktif keluar untuk datang menolong
mereka yang membutuhkan sebagai wujud dari Thrēskeia yaitu
ibadah yang dilakukan oleh Thrēskos yang berarti suatu religi
yang sudah di bawa pada aktualisasi. Dengan kata lain sebuah
tata ibadah yang rapih dan indah dilengkapi dengan gedung
yang megah merupakan cikal bakal pemalsuan terhadap upaya
menyembah dan memuliakan Kristus jika tanpa upaya melawat,
merawat dan menolong mereka yang menjadi korban berbagai
macam ketidakadilan.
c. Motivasi menjadi Mediasi Upaya Oikumenikal
(Yohanes 17:21)
Ketika Kristus sendiri memohon pada Bapa agar “mereka yang
telah diberikan pada Kristus” untuk menjadi satu supaya umat
percaya sebagai buah pekerjaan itu dipersatukan dan dipelihara
keesaannya. Keberbedaan yang berpotensi untuk memecah
37
belah di antara sesama umat percaya menjadi salah satu fakta
yang sangat menuntut perhatian dan keseriusan untuk
dipersatukan menjadi tugas bagi setiap gereja.
5.4. Upaya Merumuskan Teologi Kontekstual.
Berdasarkan kajian diatas maka tidak dapat disangkali bahwa
nilai-nilai teologis biblis sangat menopang bagaimana bersikap dan
bertindak dalam merealisasikan sebuah visi dan misi gereja dalam
konteks di Denpasar yang mana sudah terdiri dari berbagai
denominasi gereja berikut dengan berbagai permasalahan struktur
yang khas di daerah tersebut. Semangat oikumene senantiasa harus
dijaga kelanggengannya karena sejalan dengan kemapanan yang
kita pelajari dari gereja-gereja GKI lainnya justru telah membawa
gereja pada posisi yang lebih sulit dibanding keadaan GKI Denpasar
sekarang ini. Pemaknaan baru bagi GKI Denpasar yang bisa
dikatakan sangat berbeda dengan GKI pada umumnya adalah GKI
Denpasar bukanlah suatu bertuk gereja yang mapan melainkan
sebagai suatu komunitas yang dapat menghadirkan suasana
kebersamaan dan suasana yang dihiasi semangat menjunjung tinggi
keadilan. Tidaklah terlambat bagi GKI Denpasar untuk menyadari
bahwa jemaat yang sudah ada sekarang ini merupakan suatu karunia
yang sudah sangat cukup untuk dengan jiwa besar lebih
memprioritaskan pematangan rencana misi GKI-FCCC sebagai
”jembatan emas” untuk menghantar pada “Pantai Damai” yang
bukan lagi menjadi impian belaka.
38
VI. USULAN AKSI
Beberapa aksi yang bisa dipertimbangkan untuk diupayakan
adalah;
1. Menyusun filosofi pelayanan yang akan dipakai pada
GKI-FCCC berdasarkan pemahaman teologis yang dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Mempersiapkan tenaga kategorial dan/atau kepanitiaan
yang telah dibekali pemahaman cukup untuk menerima
mandat penyusunan rencana kerja.
3. Mengembangkan hubungan keluar dan mengumpulkan
dukungan baik dari dalam maupun luar melalui Badan
Pelayanan Oikumene dan Masyarakat secara intensif dan
mencetak kader-kader yang mau mengembangkan diri
dalam hubungan kemasyarakatan (HUMAS).
4. Banyak melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan antar
gereja, antar agama juga kegiatan kemasyarakatan lainnya
untuk mengembangkan hubungan semaksimal mungkin.
39
LAMPIRAN I36
Wawancara dengan Pdt. Em. Hosea Abdi Widhyadi
HISTORIS PENDIRIAN GKI DENPASAR
MENGAPA DI BALI DIDIRIKAN GKI?
Pada suatu sidang sinode GKI Sinode Wilayah Jawa Timur pada
sekitar tahun sembilan belas delapan puluhan, ada permintaan dari
dua orang keturunan Tionghoa dari Denpasar Bali yang
mengharapkan adanya pelayanan GKI di Denpasar, karena yang ada
adalah gereja berlatar belakang bahasa Tionghoa, dan kebanyakan
orang Tionghoa peranakan tidak terlalu cocok untuk menggabung,
demikian juga untuk menggabung dengan gereja yang lainpun
mereka tidak bisa. Tetapi setelah majelis sinode mengirim dua
utusan ke Denpasar, menganggap bahwa tidak perlu ada pelayanan
36 Jawaban Pdt. Em. H. Abdi W. terhadap pertanyaan-pertanyaan penulisan sehubungan dengan penyusunan karya tulis ini.
40
tersebut, sebab sudah ada Gereja Kristen Protestan Bali, yang
sebenarnya sudah menampung orang-orang Kristen dari pelbagai
daerah Indonesia untuk berjemaat di Bali. Namun setelah itu masih
banyak orang-orang yang bekas jemaat GKI dari beberapa daerah di
Jawa, yang tidak bergabung di GKPB, bahkan banyak yang menjadi
turis gereja, yaitu senantiasa berpindah dari gereja yang satu ke
gereja yang lain. Selain itu sejak terjadinya peristiwa Mei 1998, di
mana banyak orang Tionghoa berimigrasi dari Jakarta dan Solo ke
luar negeri tetapi juga atau ke Batam dan ke Bali yang mereka
anggap daerah aman, maka banyaklah eks jemaat GKI yang tidak
bergereja di Bali, meskipun mereka beada di Bali. Namun semua ini
tidak menjadi sebab berdirinya GKI Bali.
Yang menjadi sebab adalah seorang pendeta emeritus yang bernama
Hosea Abdi Widhyadi, setelah menyelesaikan tugas pendirian GKI
di Batam, maka dengan enaknya tanpa berpikir panjang dia
mengungkapkan kepada beberapa majelis GKI Residen Sudirman
yang adalah temannya, bahwa dia ingin mendirikan GKI di
Denpasar Bali, tetapi dengan pemikiran bahwa bukan jemaat yang
seperti jemaat-jemaat lain, namun sebuah retreat center yang
diharapkan dapat berseberangan dengan Taese yang lebih berjiwa
barat, dan retreat center yang di Bali ini lebih berjiwa timur dan
khususnya Bali/Jawa. Mengapa Bali yang dipilih tempatnya. Karena
Bali adalah pulau international meskipun berada di wilayah
Indonesia. Selain itu Bali memang sangat cocok untuk keperluan
41
tersebut, sebab budaya dan kesenian sangat kental sekali di Pulau
Dewata ini. Sehingga retreat center itu menjadikan budaya dan seni
sebagai landasan pogram. Pdt Emeritus Hosea Abdi Widhyadi
menamakan program itu dengan nama: “Pantai Damai”.
Namun setelah disidangkan di majelis GKI Residen Sudirman,
maka mengharapkan bahwa yang harus membangun adalah jemaat
Bali sendiri, sebab itu jika itu akan menjadi program GKI, biarlah di
Bali dan khususnya Denpasar didirikan GKI dahulu.
USAHA APA YANG MEMPERTEGUH TUJUAN TERSEBUT?
Maka setelah itu Pdt Emeritus Hosea Abdi Widhyadi bersama
dengan seorang majelis GKI Residen Sudirman pergi ke Bali
khususnya Denpasar untuk mengunjungi seorang eks majelis GKI
Residen Sudirman yang sudah lama bermukim di Denpasar. Dan
saat itu pula Pak Leo Emmas yaitu eks majelis GKI Residen
Sudirman tersebut mengundang seorang yang bernama Bapak Jopie
Moningka seorang yang cukup berpengaruh di Denpasar sebab dia
adalah eks komandan Kodim Denpasar yang sudah pensiun. Setelah
Pdt Emeritus Hosea Abdi Widhyadi memberitahukan ide
pengembangan retreat center yang menjadi program GKI, maka
mereka sangat antusias untuk ikut menunjang program pendirian
GKI di Denpasar. Maka pada kemudian harinya Bapak Leo Emmas
menjadi ketua panitia pos GKI Denpasar dan Bapak Jopie
42
Moningka dan Istrinya menjadi anggota bersama dengan beberapa
orang lain yang kebetulan eks jemaat GKI Surabaya.
.
PERISTIWA HISTORIKAL APA YANG MENUNJANG USAHA
TERSEBUT?
Setelah itu Pdt Emeritus Hosea Abdi Widhyadi ditempatkan oleh
majelis GKI Residen Sudirman di Denpasar untuk melaksanakan
tugas pendirian GKI di sana. Sebagai rumah tinggal dipinjamkan
sebuah rumah di Denpasar yang dimiliki saudara Bapak Yopie
Moningka yang tinggal di Kupang.
Dalam melaksanakan program tersebut maka yang dilakukan oleh
Pdt Emeritus Hosea Abdi Widhyadi menghubungi para tokoh gereja
yang ada di Denpasar terutama Bishop dari Gereja Kristen Protestan
Bali, serta departemen agama propinsi Bali bagian Protestan. Dan
tampaknya para pimpinan gereja-gereja di Denpasar sangat antusias
juga untuk menunjang ide tersebut. Dan istimewanya di kota yang
tidak terlalu besar seperti Denpasar itu sudah berdiri sekitar 50
jemaat dari beberapa aliran.
Maka sejak keberadaan Pdt Emeritus Hosea Abdi Widhyadi di
Denpasar diadakanlah kebaktian-kebaktian baik rumahan maupun
setiap hari minggu. Dimulai dengan jemaat yang sangat sedikit
sekali. Dari jumlah sekitar delapan orang yang berkembang setiap
minggunya, sehingga saat Pdt Emeritus Hosea Abdi Widhyadi ini
43
meninggalkan Bali pada tiga tahun kemudiannya menjadi sekitar
150 orang jemaat.
HUBUNGAN BUDAYA GKI DAN BUDAYA BALI
BUDAYA APA YANG ADA DI JEMAAT GKI DENPASAR?
Jemaat GKI Denpasar adalah kumpulan orang menengah ke bawah.
Artinya sedikit sekali pengusahanya, sebagian besar dari kelompok
menengahnya adalah pekerja pada perusahaan orang lain, dengan
pangkat sejajar pimpinan. Lebih banyak orang mudanya yang
memang adalah pendatang dari Jawa yang mencari kerja di Bali.
Anehnya keturunan Tionghoanya tidak terlalu banyak sekitar 30%
dari seluruh jemaat, selain itu ada dari suku Ambon, suku Batak,
suku Menado dan suku Jawa. Hanya ada satu keluarga dari suku
Bali. Sehingga di jemaat sendiri terasa budaya multi kultural sudah
terjadi. Namun sebagaimana GKI di mana saja meskipun jemaatnya
adalah dari pelbagai suku Indonesia, terasa sekali budaya GKI
menjadi budaya yang cukup dominan. Bagaimana budaya tersebut?
Cara berpikir, berorganisasi, terutama dalam pengolahan ekonomi
gereja sangat GKI sekali, ketat dalam pengeluaran, hanya sesuai
dengan program yang sudah disidangkan. Dan celakanya justru dari
kalangan orang Tionghoalah yang menjadi pimpinan, meskipun ini
kurang disadari dalam melakukan pemilihan majelis, tetapi hasilnya
senantiasa demikian. Sebab itu saat Pdt Emeritus Hosea Abdi
Widhyadi masih di tengah jemaat GKI Denpasar, hal itu coba
44
dengan sengaja dihindarkan. Sehingga pada suatu saat pimpinan pos
GKI Denpasar adalah seorang dari suku Jawa.
Meskipun demikian terasa dalam kehidupan bersama kepelbagaian
tersebut tidak dirasakan menyolok. Hidup kebersamaan menjadi
adalah modal perjuangan yang mampu menjadikan jemaat yang
tadinya jemaat yang sangat kecil menjadi jemaat yang cukup
lumayan banyaknya.
BAGAIMANA PERTEMUAN JEMAAT DENGAN BUDAYA BALI?
Bali adalah sebuah pulau yang indah. Yang mempersona banyak
orang dari banyak negara di dunia ini. Sebuah pulau yang sarat
dengan kesenian. Sebab itu di jemaat ada beberapa seniman yang
menjadi jemaat kita meskipun mereka bukan orang Bali asli, tetapi
mereka adalah aktifis seni di Bali, dan juga karena kepemimpinan
Pdt emeritus Hosea Abdi Widhyadi sangat memperhatikan seni dan
budaya, maka banyak seniman yang simpati terhadap program GKI
Denpasar. Sehingga sering dalam ibadah-ibadah khusus, dipakailah
budaya Bali dalam liturgi; seperti pakaian adat Bali untuk pelayan
liturgy khususnya saat perjamuan kudus, demikian juga selama
kebaktian diiringi oleh seruling dan gamelan Bali. Selain itu
dilakukan pelayanan kepada para seniman Kristen di Denpasar dan
Ubud. Separoh dari gedung yang disewa GKI untuk ibadah dipakai
untuk galeri lukisan persembahan para seniman Kristen Bali
maupun yang bukan dari Bali. Untuk anggur perjamuan kudus
45
dipakailah anggur buatan Bali sendiri. Sehingga perjamuan kudus
itu benar-benar hasil dari anak-anak Bali. Saat setelah Bom WTC
maka jemaat GKI Denpasar ikut menjadi penyelenggara dan
melaksanakan Festival Perdamaian di Denpasar yang isinya sarat
dengan tarian dan musik Bali yang dikolaborasi dengan gamelan
Bali.
Memang sulitnya adalah adanya beberapa jemaat yang sangat
fundamentalis, sehingga mereka agak tidak mau bersentuhan
dengan adat dan budaya dengan alasan agama Hindu Bali yang
menyembah alam. Padalah mereka makan dari hasil
perdagangannya dengan orang Bali. Kelompok orang yang
demikian ini yang membuat hubungan budaya GKI dan Bali kurang
mampu berdialog dengan baik, meskipun Pdt emeritus Hosea Abdi
Widhyadi mencoba dengan sekeras tenaga untuk mendekatkannya,
dengan pedoman buat apa kehadiran GKI di Bali kalau GKI di
Denpasar tidak bisa berdialog dengan sekitarnya dengan baik.
Bukan berarti mencoba mengkawinkan dua budaya yang berbeda
ini, tetapi kemampuan berdialog bersama sudah cukup simpati
dalam kehidupan bersama.
MAMPUKAH BUDAYA BALI MENUNJANG BUDAYA JEMAAT?
Seharusnya budaya Bali menunjang bukan saja GKI Denpasar tetapi
semua gereja yang ada di Bali. Memang sulitnya ada beberapa
46
masalah yang membuat menjadi jauh budaya Bali dengan gereja-
gereja di Bali. Hal ini dapat diterangkan dari beberapa unsur:
Sejarah Kehadiran Gereja di Bali. Terjadinya orang Bali berkenalan
dengan Kristus adalah karena beberapa misi, yaitu dari beberapa
orang Tionghoa Kristen yang mengabarkan injil ke Bali, tetapi yang
terutama adalah karena kerja dari Gereja Kristen Jawi Wetan yang
mampu memperkenalkan banyak orang Bali dengan Kristus. Tetapi
pemerintah Belanda yang harus mengambil hati masyarakat Bali
saat itu, mengumpulkan sekian banyak orang Bali Kristen Protestan
maupun Katolik yang dibuang ke Bali Barat yaitu yang sekarang
dikenal dengan desa Kristen Blimbingsari yang menghasilkan
banyak pendeta Bali. Orang Bali yang beragama Hindu Bali merasa
dikhianati orang Bali yang menjadi Kristen, sehingga mereka tidak
bisa berhubungan dengan baik. Lalu akibatnya, jemaat Kristen Bali
sendiri kurang bisa memakai budaya sendiri dengan mantap, ibadah
mereka masih benar-benar berbau Eropa. Bahkan gereja-gereja
Jerman dan Belanda seakan-akan saudara kandung dari gereja
Kristen Bali.
Masyarakat Bali sendiri adalah masyarakat yang penuh dengan
toleransi terhadap kehadiran orang asing dan agama lain di tenganh
kehidupan mereka. Sebenarnya terhadap bertumbuhnya gereja-
geerja di Bali tidak terlalu menjadi masalah di antara orang Bali,
namun setelah ada suara kesombongan dari gereja-gereja
47
kharismatik yang bersemboyan: “Mari kita rebut Bali untuk
Kristus!”, membuat banyak orang Bali menjadi marah. Sehingga
sejak saat itu orang Bali menjadi tidak terlalu suka dengan adanya
gereja-gereja yang bertumbuh subur di Bali. Hal ini ditunjang
dengan adanya kebangkitan semangat kesukuan dari orang muda
Bali.
Kalau dahulu gedung gereja harus berarsitektur Bali, dan
diharapkan bisa memakai nama-nama Bali, pada pertengahan tahun
2001, ada gerakan anti terhadap agama yang bukan Hindu Bali
untuk pemakaian nama dalam bahasa Bali maupun arsitektur Bali.
Benar-benar sayang.
GKI pun terkena imbasnya. Padahal apa artinya kehidupan di
tengah masyarakat tertentu kalau tidak bisa bersentuhan secara
kontekstual dengan sekitar?
PENGARUH POLITIK YANG ADA DI MASYARAKAT
TERHADAP JEMAAT
BAGAIMANA MENYELESAIKAN GESEKAN DARI LUAR YANG
MENGHAMBAT PERJUANGAN GKI?
Di Indonesia adalah omong kosong kalau hubungan antar agama
cukup baik, sebab sebaik-baiknya di sana sini masih ada kecurigaan
terutama dari kelompok mayoritas. Tetapi yang lebih celaka adalah
dari kaum fundamentalis yang sering kurang mampu menerima
48
yang lain. Ini yang menyebabkan hubungan antar agama lebih buruk
lagi. Salah satu yang menjadi kendala adalah pembangunan rumah
ibadah. Kalau terjadi yang sangat simpati adalah hanya terjadi di
Ambon sebelum Ambon diobrak-abrik oleh mereka yang tidak suka
hidup kebersamaan yang baik.
Maka demikian juga GKI Denpasar untuk mengatasi hal tersebut,
yang utama adalah melakukan pendekatan, khususnya dengan
pimpinan grass-root seperti dengan kepala desa atau kepala adat di
mana jemaat GKI Denpasar melakukan ibadahnya. Jangan harap
untuk mendapatkan IMB untuk pembangunan gedung gereja. Di
Denpasar yang punya gereja dari macam-macam aliran sebanyak
kurang lebih sekitar 50 gereja, maka yang punya gedung gereja
yang sah, hanya sebanyak 4 gedung gereja, selebihnya hanya berdiri
begitu saja, tetapi masyarakatnya tidak melakukan apa-apa, sebab
mereka seakan-akan sudah membaptis keberadaan gedung gereja
tersebut. Padahal peraturan pemerintah daerah adalah sebuah rumah
ibadah apakah itu pure atau gereja atau mesjid atau apapun saja,
hanya boleh sah berdiri kalau dikitari 40 KK jemaatnya.
BAGAIMANA MENYELESAIKAN HAL DARI LUAR ITU YANG
MEMPENGARUHI KEHIDUPAN JEMAAT?
Kehidupan pribadi jemaat sendiri tidak terpengaruh oleh masalah
gesekan tersebut, apalagi mereka dating ke Bali untuk mencari
makan, karena itu mereka mampu berhubungan dengan baik dengan
49
sekitarnya, setidak-tidaknya dalam hubungan ekonomi. Apalagi
kalau seorang jemaat memang sangat diperlukan oleh masyarakat,
seperti seorang dokter yang kerjanya di desa tertentu. Dia adalah
orang yang sangat dihormati di desa tersebut. Namun anehnya
begitu dia masuk ke dalam lingkungan gereja, langsung berobah
hidup menjadi orang Kristen asli se-asli dari kota besar di Jawa
mana dia asalnya.
Ternyata gereja harus berbentuk seperti gereja-gereja di Jawa saat
belum kenal akan historical critics dahulu saja, padahal sekarang
gereja seharusnya lebih dari itu. Nyanyian harus agak Barat,
sehingga menamakan kelompok paduan suara saja harus pakai nama
barat. Ini adalah kerja berat untuk mempertemukan jemaat atau
gereja dengan budaya luar yang benar-benar bisa meledak menjadi
musuh pada suatu kali.
PELAJARAN APA YANG DAPAT DIAMBIL DARI PERGUMULAN
TERSEBUT?
Memang sangat sayang kalau hubungan menjadi sangat buruk,
kehidupan akan lebih buruk lagi, terutama bagi masyarakat yang
memerlukan hidup layak di Indonesia ini, dan mereka ini adalah
masyarakat yang paling bawah. Gereja harus menjadi pejuang
perdamaian, kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan ini. GKI
Denpasar dihadirkan oleh Tuhan di Bali bukan untuk kenikmatan
50
kehidupan jemaat GKI, tetapi untuk mampu memberikan sejahtera
kepada sekitarnya.
GEOGRAFIS DAN EKONOMI
APA ISTIMEWANYA GEOGRAFIS DENPASAR YANG JAUH
DARI GKI YANG LAIN?
Saya kira dalam abad teknologi yang begitu maju, jarak geografis
tidak telalu menjadi masalah. Yang jauh menjadi dekat. Kalau ada
masalah hubungan antar gereja sekarang dengan mudah kita bisa
berSMS atau berEMAIL atau ber apa saja. Kalau mau cepat sampai
tujuan ada pesawat udara yang sekarang sedang murah. Tetapi satu
hal yang penting adalah: Dengan hadirnya GKI di Denpasar Bali,
maka jemaat dari seluruh dunia di mana ada GKI, kalau sedang
liburan di Bali, pada hari minggunya, mereka beribadah di GKI
Denpasar Bali.
APAKAH HANCURNYA WTC, KERUSUHAN LOMBOK DAN
BOM BALI MEMPENGARUHI EKONOMI JEMAAT?
Saat hancurnya WTC, maka Bali menjadi sepi sekali, sebab semua
negara Barat mencekal warga negaranya untuk ke Indonesia. Tetapi
tidak terlalu lama Bali menjadi ramai lagi, tetapi belum pulih betul
maka meledaklah Bom Legian, yang benar-benar mematikan Bali
sama sekali, beberapa bulan ini mulai ramai lagi, tetapi terjadi
ledakan Kuningan Jakarta. Apa maunya para pengebom ini?
Apakah mau membunuh seluruh bangsa ini? Segala kerusuhan di
51
bagian Indonesia mana saja sekarang, akan membunuh Bali. Dan
yang terkena imbasnya pasti semua orang yang tinggal di Bali,
termasuk jemaat GKI Denpasar. Saya kok berpikir, lebih baik para
pengebom itu dikumpulkan jadi satu diikat jadi satu, lalu diledakkan
dengan bom yang paling dahsyat di tengah lautan. Pikiran ini tidak
Kristen sama sekali.
STRUKTUR ORGANISASI GKI TERHADAP KEHIDUPAN
JEMAAT
APAKAH STRUKTUR GKI SANGAT MEMPENGARUHI
KEHIDUPAN BERJEMAAT DI GKI DENPASAR?
Struktur organisasi GKI sebenarnya sangat membantu kehidupan
berjemaat di GKI Denpasar, terutama untuk mencegah mereka yang
terlalu fundamentalis, dan mengarahkan jemaat pindahan dari
jemaat lain untuk mengenal GKI. Apalagi GKI menerima Lima
Dokumen Keesaan untuk persatuan gereja-gereja Indonesia dan
persatuan Indonesia yang penuh kepelbagaian.
MISI DAN VISI
APAKAH MISI DAN VISI GKI MAMPU BERKOMUNIKASI
DENGAN VISI DAN MISI LOKAL?
Sesuai dari sejak permulaan paper ini, kehadiran GKI di Bali harus
mampu berkomunikasi dengan budaya sekitar, maka visi dan misi
GKI harus mampu membaca dan mengerti visi dan misi sekitarnya,
52
sehingga visi dan misi GKI senantiasa bisa diaktuilkan dalam
kehidupan nyata.
KONSEP EKLESIOLOGI APA YANG DITERAPKAN DALAM
PEMBANGUNAN JEMAAT DI BALI?
Kalau anda membaca dengan teliti seluruh tulisan ini, maka Anda
dapat menyimpulkan konsep eklesiologi GKI Denpasar dalam
pembangunan Jemaat di Bali. Konsep menghadirkan diri secara
utuh di tengah lingkungan kepelbagaian, dan menjadi peserta
perjuangan untuk meningkatkan kehidupan siapa saja dalam
kehidupan ini.
53
LAMPIRAN II
Wawancara dengan Keluarga Moningka
Pergumulan I. Aspek Historis 1. Mengapa keluarga berada di Bali?
Ketika kami masih berada di Kupang, menjelang akhir tugas tahun
1989, kami suami istri mulai memikirkan / merencanakan tempat
dimana kami menikmati “masa tua kami”. Dengan berbagai
pertimbangan antara lain kemudahan untuk menjangkau berbagai
kota di tanah air dan ketenaran Bali ke pelbagai pelosok dunia maka
akhirnya kami memilih Bali sebagai tempat tinggal. Untuk
mewujudkan rencana tersebut, tahun 1987 kami menempati rumah
di Denpasar. Tepatnya di jalan Gunung Lempuyang 42.
54
Tadinya kami adalah jemaat GPIB Denpasar yang seing berbakti di
GKPB Gereja Kristus Kasih di jalan Debes Denpasar. Disana kami
bertemu Bp. Leo Emmas yang juga ketika itu masih berstatus
jemaat GKI Surabaya. Tanggal 27 Februari 1999, ketika utusan GKI
Ressud dari Surabaya (Pdt. Abdi W cs) berkunjung ke Denpasar ke
kediaman Bp. Leo Emmas, kami diundang hadir. Disana
dibicarakan tentang kemungkinan di bentuknya Paguyuban GKI tgl
12 Maret 1999 dilakukan kebaktian RT Perdana di rumah Bp. Leo
Emmas sebagai tanda terbentuknya Paguyuban Warga GKI di Bali
(selanjutnya baca perkembangan dalam hal 24 pada buku
pelembagaan bakal jemaat Dps dan bulletin edisi 1 mei 1999)
dengan pertimbangan bahwa suami saya ketika itu sebagai ketua
Forum Komunikasi Kristiani di Bali, beliau diminta sebagai
penasehat paguyuban.
2. Menurut Anda apakah tujuan yang melandasi dan memacu
proses pendirian?
Untuk mendirikan sebuah gereja harus melewati suatu prosedur baik
yang dibuat oleh pemerintah maupun konsensus bersama yang
disetujui oleh MPAG (Musyawarah Persekutuan Antar Gereja di
Bali) tugas penasehat ketika itu melakukan lobi baik kepada
pemerintah , BIMAS Kristen maupun kepada MPAG. Kedua
lembaga ini membentuk persyaratan khusus terhadap pendirian GKI
di Denpasar ini yaitu
55
GKI diharapkan menjadi contoh sekaligus mediator
bagi gereja-gereja di Bali
Mampu memberika kesaksian yang baik bagi
masyarakat di sekitarnya (Masyarakat Bali)
Diharapkan tidak melakukan ekspansi (Merebut
anggota gereja lain)
Memadukan tugas khusus diatas dengan misi dari Pdt. Abdi Cs,
khususnya “Pantai Damai” sekaligus memperhatikan perkembangan
situasi secara global terwujudlah visi dan misi GKI Bali sesuai
tulisan yang ada pada bulletin edisi 1 paguyuban GKI Bali (Hal 1-
2).
Langkah awal untuk menjawab visi dan misi diatas adalah
pendekatan terhadap gereja-gereja yang ada di Bali. Pdt Abdi
bersama penasehat melakukan kunjungan baik secara resmi maupun
tidak resmi kepada pengurus MPAG dengan BIMAS Kristen
termasuk mengikuti kegiatan bulanan di Forum Bali Partnership
(Persekutuan Hamba-hamba Tuhan se-Bali) serta kegiatan yang
diadakan oleh Full Gospel Men’s Fellowship International.
Disamping itu melibatkan diri dalam berbagai kegiatan oikumene.
Dalam rangka mewujudkan kesaksian keluar GKI coba melakukan
beberapa kegiatan bersama masyarakat sekitarnya;
Ikut serta bahkan sekaligus mensukseskan acara festival
Budaya yang dilakukan bersama dengan berbagai
komunitas agama-agama di Bali. Tampilnya GKI dalam
56
acara tersebut mulai persiapan (Latihan bersama di
Gedung GKI) sampai pelaksanaannya yang dilakukan
di Art Center Denpasar memberikan dampak positif
yang besar baik terhadap berbagai gereja di Bali
maupun terhadap masyarakat Bali khususnya
pemerintah di wilayah Bali. Keterlibatan beberapa
anggota jemaat pada berbagai kegiatan – kegiatan sosial
kemasyarakatan yang berskala nasional samapi
Internasional memberikan warna tersendiri bagi GKI
Denpasar. Dapat disebut disini antara lain Forum
Pengkaji dan Pemberdayaan Bangsa yang mulai
merambah kepelbagai kota-kota besar di Indonesia.
Festifal Bali Matembang II (I tahun 2003) yang
dirancang berskala nasional dan internasional juga
merupakan “konsep bahkan perjuangan” kawan-kawan
beberapa anggota jemaat GKI. Hal-hal tersebut diatas
juga merupakan peristiwa histories yang menunjang
terbangunnya jemaat dihadapkan pada misi dan visi
utama gereja menjadi garam dan terang bagi dunia
sekelilingnya.
Membentuk atau mendirikan koperasi yang melibatkan
masyarakat sekitarnya. Kegiatan-kegiatan koperasi
antara lain memberikan ketrampilan kepada para
anggota (Baik anggota jemaat maupun bukan
jemaat/non-kristen) membantu pedagang-pedagang
57
kecil dengan memberikan kredit usaha sangat dirasakan
oleh para anggota koperasi yang memiliki usaha
tersebut. Karena kekurangan SDM pada pengurus
koperasi maka kegiatan-kegiatannya masih tersendat-
sendat.
Pergumulan II. Aspek Kultural GKI Denpasar terdiri berbagai suku (etnis) antara lain:
Jawa, Tionghoa peranakan, Batak, Ambon, Kupang,
Manado sekalipun masing-masing memiliki keunikan
tersendiri, tetapi interaksi antara mereka sangat positif.
Interaksi positif ini nampak pada pelbagai kegiatan
kepanitiaan dan acara-acara yang diselenggarakan oleh
gereja. Dengan perkataan lain keunikan-keunikan masing-
masing justru memperkaya kehidupan jemaat GKI. Hal
yang perlu “dicermati” adalah adanya “like and dislike”
(kelompok/etnis) terhadap pemilihan atau pencarian
seorang pendeta.
Pertemuan jemaat dengan budaya Bali, menurut
pengamatan kami belum membawa masalah yang negatif,
justru anggota jemaat yang mampu memainkan perannya
dengan melibatkan diri ditengah kehidupan masyarakat Bali
membawa efek/pengaruh positif bagi kehidupan gereja.
Suami saya, kebetulan terlibat bahkan menjadi penasehat
pada paguyuban yang anggota masyarakatnya kebanyakan
58
berasal dari Bali. Akibatnya kegiatan yang bersifat gerejawi
di rumah-rumah anggota jemaat sangat diterima oleh
masyarakat sekitarnya.
Menurut hemat kami, interaksi yang positif yang pada
gilirannya membawa keuntungan dalam membangun
budaya masing-masing itu sangat terbantu dari perilaku
para anggota jemaat GKI yang berada di tengah-tengah
masyarakat Bali.
Pergumulan III. Aspek Politis Beberapa unsur yang menghambat ijin tanah dijalan tukad
musi oleh pemerintah propinsi permohonan pembangunan
gereja sudah “dipersulit” antara lain dengan berbagai
persyaratan antara lain:
o Jumlah jemaat harus diatas 100 KK
o Memiliki ijin masyarakat sekitar
o Dll.
Untuk memenuhi jumlah 100 KK dapat “disiasati” tetapi untuk
memiliki ijin masyarakat sekitarnya sangat sulit untuk
mendapatkannya
Unsur lain adalah kekawatiran “mereka” yaitu: kehadiran
sebuah gereja yang berada ditengah masyarakat sering
menimbulkan masalah, antara lain kebisingan kemacetan
(Tidak ada parkir yang memadai) dan yang paling mereka
59
takuti adalah perpindahan agama (Orang Hindu Bali masuk
Kristen).
Salah satu alternatif yang dilakukan oleh Majelis GKI
adalah pendekatan terhadap pejabat desa, kecamatan dan
masyarakat disekitar bangunan baru.
Pergumulan IV. Aspek Geografis dan Ekonomis GKI Berada di pusat kota (Lokasinya diseberang kantor pos
pusat Denpasar) mudah dikenal oleh siapapun juga, baik
oleh jemaat (gereja) di Denpasar maupun jemaat diluar
Bali. Oleh sebab itu banyak jemaat baik disekitar Denpasar
maupun diluar Bali dengan mudah beribadah di GKI
Denpasar.
Hancurnya WTC, Bom Bali, dsb menyebabkan terpuruknya
perekonomian di Indonesia, secara khusus di Bali.
Pariwisata Bali sangat terpukul oleh peristiwa tersebut.
Banyak perusahaan perusahaan terpaksa melakukan PHK
dengan ini berakibat secara tidak langsung terhadap jemaat
GKI. Banyak anggota gereja yang kehilangan pekerjaan.
Bagi jemaat pendatangpun sulit mendapatkan pekerjaan.
Pergumulan V. Aspek Tokoh-tokoh pendiri GKI
Kehadiran GKI di Denpasar cukup unik. Awal berdirinya GKI
nampaknya kurang direstui sinode karena berbagai “pertimbangan”
tertentu. BIMAS Kristen dan MPAG sebetulnya cukup hati-hati
60
untuk menerima berdirinya “gereja baru” karena menurut mereka
setiap berdirinya gereja baru di Bali, justru menimbulkan masalah
baru.
Lewat pendekatan yang baik dengan alasan bahwa berdirinya GKI
Denpasar semata-mata menampung saudara-saudara (Anggota GKI
yang “hijrah” karena usaha diberbagai kota (Jakarta, Solo,
Surabaya, dll). Akhirnya kedua lembaga ini dapat menerima
kehadiran GKI, tetapi dengan harapan:
1. GKI mampu menjadi “Mediasi” diantara berbagai
denominasi gereja-gereja yang dirasakan kurang “akur”
2. Mampu memberikan kontribusi pada pergumulan
masyarakat di pemerintahan setempat.
Pergumulan VI. Aspek Struktur/Organisasi Pembentukan komisi OikMas sekaligus pemberdayaannya dapat
menghilangkan penilaian negatif baik BIMAS Kristen/MPAG dan
gereja lain. Saat ini berbagai upaya dilakukan untuk mengaktifkan
komisi ini. Panitia tetap Natal dan Paskah Oikumene yang dalam
proses pembentukannya akan diisi oleh paling sedikitnya 5 orang
anggota GKI Denpasar. Demikian juga dengan kegiatan yang
berhubungan dengan masyarakat sekitar; sepuluh orang anggota
GKI dipersiapkan untuk menjadi penyuluh pada penanggulangan
Narkoba, dll
61
Pergumulan VII. Aspek Misi dan Visi Menurut hemat kami visi dan misi GKI Denpasar ada hubungannya
dengan misi umum GKI. Yang menjadi masalah saat ini adalah
bagaimana melaksanakan misi dan visi ini secara konkrit. Karena
yang menangkap misi dan visi tersebut baru beberapa jemaat. Dan
ini berdampak negatif pada penilaian baik dari MPAG maupun
BIMAS Kristen.
Untuk diketahui, BIMAS Kristen pernah menilai GKI adalah gereja
yang paling eksklusif, yang tidak mau tahu tentang situasi baik
gereja maupun masyarakat sekitarnya. Setelah adanya teguran keras
dari BIMAS Kristen saat ini GKI mulai menyadari sikapnya denga
tindakan dan berbagai tindakan a.l:
Memfasilitasi pembinaan para guru-guru yang
penyelenggaraannya dilakukan di gedung GKI.
Mensponsori persiapan penyelenggaraan Natal Oikumene,
dll
EVALUASI Menurut hemat kami pemahaman yang perlu disempurnakan adalah
misi dan visi gereja yang cenderung bersifat simbolik ritual,
tekstual. Pemahaman tentang gereja sebagai garam masih perlu
ditingkatkan. Menurut hemat kami. Fungsi garam adalah
kontekstual, mampu memecahkan problem-problem diluar gereja.
Misi dan Visi gereja menyangkut peran sebagai utusan, terjun pada
62
permasalahan masyarakat di sekitarnya, memberi “Perlindungan”
bukan mencari “Perlindungan”
Potensi dan keunggulan yang perlu dipertahankan adalah:
1. Nama “Paguyuban” (Paguwon GKI) yang mewarnai kiprah
dan peran dibalik nama tersebut agar dipertahankan.
2. Keanekaragaman anggota jemaat (berbagi etnis)
3. Ibadah musik yang khas (Yang belum dimiliki oleh gereja-
gereja mainstream)37
4. Suasana kekeluargaan yang ditandai dengan berbagai
kegiatan lewat program – program bersifat kekeluargaan,
baik remaja, pemuda maupun dewasa.
37 Ibadah musik ini tidak sekedar meniru pesta-pesta yang terkesan hingar bingar
63
DAFTAR PUSTAKA
Akta Persidangan Majelis Sinode Am GKI X di GKI Pajajaran
Magelang. Penjelasan Atas Mukadimah Tata Gereja GKI,
Lampiran IX. 1997
Aritonang J. S., Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995
Artikel dengan judul “Berita Seputar Paguyuban”, Buletin GKI,
edisi II, Denpasar, 2000
Coppel C. A., Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 1994
De Jonge C., Apa Itu Calvinisme?, BPK Gunung Mulia, Jakarta
1995
Gaebelein F. E., The Expositor’s Bible Commentary, Zondervan
Publishing House, Michigan, 1982
Gunawan P., Benih Yang Tumbuh XIV: Gereja Kristen Indonesia
Jawa Timur, Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur dan
Badan Penelitian dan Pengembangan PGI, Surabaya 1989
Handoyomarno Sir, Benih Yang Tumbuh VII – Suatu Survey
Mengenai Gereja Kristen Jawi Wetan, GKJW dan Lembaga
Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, Malang
1976
Hartono C., Orang Tionghoa dan Pekabaran Injil, Taman Pustaka
Kristen, Yogyakarta 1996
64
Hartono C., naskah: Dari Cipaku Sampai Jakarta, Yogyakarta,
2003
MacNair D. J., The Birth, Care, and Feeding of a Local Church,
Baker Book House, Michigan, 1979
Panitia Pelembagaan GKI Denpasar – Bali, Pelembagaan,
Surabaya, 2003
Pieris A., Berteologi Dalam Konteks Asia, Kanisius, Yogyakarta,
1996
Tim Visi dan Misi GKI, Visi dan Misi Gereja Kristen Indonesia
2002-2010, Persidangan XIII Majelis Sinode GKI
Van den End, Ragi Carita 1 – Sejarah Gereja di Indonesia 1500-
1860, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001
Van den End & Chr. de Jonge, Sejarah Perjumpaan Gereja dan
Islam, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Jakarta 1997
Van den End & J. Weitjens, Ragi Carita 2 – Sejarah Gereja di
Indonesia 1860-sekarang, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1993
Wawancara via surat dengan Pnt. Naniek Moningka dan Bp. Yopie
Moningka, 25 Oktober 2004
65
Drama Natal 2003; Diana, Indara, Peter, Asmari, Hofrin, Dika
Out Bound di Pantai Padang-padang. Dari kiri; Irma, Ruth, Eka,
Stephen, Diana, Betty, …, Ardika, Simon, Duddy, Anna.
66
67
Galeri GKI Denpasar; Yudoatmojo & istri (Hilda)
Karya “Kain Perca”; Ruth, Anna, Eka, Iwan, Johny, Hilda
68
69
Baptis Anak; Mariana, Peter & Sonya, Pdt. Timotius, Pnt. Martin
Kunjungan Panti Asuhan di Bangli; Grace
70
71
Saresehan Musik Gerejawi; Dpo: (kiri) Andreas Sugeng &
(kanan) Nyandra
Tim Sepak Bola Pemuda Kolaborasi GKI Denpasar
72
73
Rapat Kerja BP. Pemuda di Bedugul; Johny, Roy, Melly, Betty,
Rudy L., Lina, Diana, Juliana, Danidito, Ruth, Binsar
Kebaktian Rumah Tangga; Rudy L, Leo Emmas, Budi Nugroho
74
75
Mimbar Ruang Kebaktian GKI Denpasar pada Pelembagaan
Jordan River Choir GKI Denpasar – Ibadah Musik
76
77
Foto bersama di jalan Gatot Subroto dengan Vina, Duddy dan
Pnt. Gunawan Santoso sebelum berangkat menuju Yogyakarta.
Agustus 2004
Kebaktian Perpisahan dengan Pdt. Bambang Mulyono
di GKI Blimbing - Malang