memburu manusia harimau

251
Seri Manusia Harimau Karya : S.B CHANDRA EBook: Dewi KZ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ http://kang-zusianfo/ http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/ http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/ Sumber djvu : Syaugy_ar Hanaoki website

Upload: oskandaria

Post on 16-Jan-2016

1.110 views

Category:

Documents


319 download

DESCRIPTION

Novel, SB Chandra, Fiction, manusia harimau, tigerman, erwin, dja lubuk, tapanuli selatan

TRANSCRIPT

Seri Manusia Harimau Karya : S.B CHANDRA

EBook: Dewi KZ Tiraikasih website

http://kangzusi.com/ http://kang-zusianfo/ http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/

http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/

Sumber djvu : Syaugy_ar Hanaoki website

Dilahirkan di Mandailing, Tapanuli Selatan dan keluarga perantau

dan petualang. S.B.CHANDRA pernah berpetualang ke pedalaman Malaysia, Aceh, Tapanuli, Sumatra Timur. Jambi dan mengikuti ilmu mistik pada guru-guru amat terkenal seperti Inyiek Angku, Inyiek Gadang, Baginda Samadun dan lain-lain. Telah pernah bekerja pada beberapa harian dan menulis sejumlah buku, antara lain yang akan terbit adalah:

* MANUSIA HARIMAU.

* MANUSIA HARIMAU MERANTAU LAGI

* MANUSIA HARIMAU MARAH.

* PETUALANGAN SI MANUSIA HARIMAU BAGIAN I & II.

* KUCING SURUHAN BAGIAN I & II.

* MANUSIA HARIMAU JATUH CINTA BAGIAN I & II.

* MEMBURU SI MANUSIA HARIMAU.

SATU

KISAH YANG LALU:

Untuk membantu pembaca yang belum mengikuti kisah-kisah Manusia Harimau yang telah dimuat berturut-turut dalam majalah "Senang", kami muat keringkasan dari cerita "AKHIRNYA SI MANUSIA HARIMAU JATUH CINTA" yang berakhir didalam "Senang" no. 646 penerbitan 9 September yang lalu.

MANUSIA HARIMAU yang diceritakan sebagai pemegang peran utama, berdasarkan kenyataan yang masih ada di Mandailing Tapanuli Selatan adalah seorang anak muda usia sekitar tigapuluhan yang bernama Erwin. Ayahnya, Dja Lubuk dan kakek (ompung kata orang Tapanuli) telah lama meninggal. Namun begitu dalam keadaan Erwin sangat memerlukan, salah seorang daripadanya, kadang-kadang berdua bangkit dari kuburan mereka dan datang memberi pertolongan. Hanya sesekali Dja Lubuk atau Raja Tigor (ompung Erwin) tidak' mau datang, walaupun Erwin sangat membutuhkan. Itu pernah terjadi ketika Erwin jatuh cinta pada Safinah, adik Teuku Samalanga asal dari Aceh, seorang dukun kenamaan di kota Palembang yang pernah dibantu oleh Erwin dalam menyembuhkan seorang pasiennya, perawan Tionghoa bernama Mei Lan. Erwin juga pernah menyelamatkannya ketika ia jatuh cinta pada seorang perempuan sangat cantik yang punya kewajiban untuk menyerahkan tiap suaminya kepada seekor ular raksasa, setelah dua-puluh satu hari dinikmatinya, karena ular itulah yang

memberi rupa cantik kepadanya. Teuku Samalanga sangat sayang kepada Erwin, yang diketahuinya mempunyai ilmu jauh di atas dirinya, tetapi adiknya Safinah sama sekali tidak mencintai diri Erwin yang diam-diam sudah sangat tergila gila kepadanya.

Manusia harimau itu kadang-kadang bertanya pada dirinya apakah ini suatu hukum karma atas dirinya yang selalu menolak cinta wanita yang sepenuh hati ingin jadi istrinya, walaupun sudah mengetahui dan melihat bahwa ia pada waktu-waktu tertentu berubah jadi harimau. Namun dalam perubahannya itu, hatinya tetap lembut seperti biasa. Lain halnya kalau ia disakiti, maka dalam wujudnya yang berubah, perangai dan hatinya pun berubah pula.

Oleh patah hati dan ingin menambah ilmu, karena merasa masih ada kekurangan pada dirinya, Erwin mengembara ke Mandailing lagi. Tak jauh dari Muara Sipongi ia menemukan guru, Tuan Syekh Ibrahim Bantani yang memiliki seekor harimau loreng dan seekor harimau kumbang yang dapat bekerja seperti manusia, memelihara sebuah taman yang letaknya tak sangat jauh dari jalan raya, tetapi hanya bisa dilihat oleh mereka yang direstui Tuan Syekh untuk melihatnya. Di sana Erwin diuji lagi, sehingga ia mendapat ilmu-ilmu baru.

Mei Lan dan Hasanah yang ditinggalkannya diam-diam di Lahat dan Palembang, bersama ayah masing-masing mencari dia sampai ke Mandailing, akhirnya sampai ke Medan. Kedua wanita itu dibohongi oleh si manusia harimau dalam usahanya melepaskan diri dari mereka. Di Medan si manusia harimau masih menyelamatkan nyawa seorang bangsawan kaya, Teuku Halimah dari kematian oleh perbuatan zalim seorang dukun yang akhirnya terpaksa dibunuh mati oleh Erwin.

Ketika Erwin sampai di Palembang dan berkunjung ke rumah Teuku Samalanga, yang dilihatnya dalam keadaan sedang berpesta, ia menduga, bahwa sahabatnya itu akan menikah. Mereka berpelukan mesra karena sama-sama gembira. Pada waktu itulah Erwin mengetahui, bahwa yang akan kawin bukan sahabatnya, tetapi Safinah yang dicintainya dalam berdiam diri. Ketika Teuku

masuk untuk memanggil adiknya, si Erwin Manusia Harimau pergi, manibawa nasibnya, sampai ia tak kuat lagi berjalan dan masuk ke dalam semak-semak di pinggir jalan.

0odwo0

TAK tahu berapa lama ia di sana dalam keadaan setengah sadar, tanpa punya kekuatan untuk berdiri, walaupun dia makhluk bernama manusia harimau yang dalam keadaan waiar sangat perkasa.

Dalam hati ia masih memanggil-manggil ayahnya Dja Lubuk, ompungnya Raja Tigor dan sahabat ayahnya Datuk nan Kuniang di kuburan Kebayoran Lama. Dia hanya sanggup menyebut nama-nama mereka di dalam hati, karena ia sudah tak kuasa bicara. Tetapi ia sadar, apa yang membuat dia sampai membawa diri dengan berjalan kaki ke daerah Jambi. Tanpa mengetahui apa yang akan dilakukannya di sana.

Kemudian ia tertidur di bawah guyuran hujan lebat yang membuat ia basah kuyup. Untunglah hujan itu hanya sebentar, la tertidur terus sampai parak siang dan subuh yang kemudian disusul oleh warna agak merah diufuk timur, tanda sang surya akan menerangi alam di belahan bumi yang telah meninggalkan malam.

Ketika ia bangun dengan perut lapar dan coba mengingat-ingat apa yang telah terjadi ia merasakan ada dengusan napas tak jauh dan kepalanya. Diangkatnya mata ke atas, dua harimau telah duduk di sana. Entah sudah berapa lama. la segera menandai bahwa kedua macan ini adalah piaraan Teuku Samalanga yang pernah berhadapan dengannya di hutan tak jauh dari Muara Bungo, ketika ia bersama orang Aceh itu hendak melihat jenazah Menora, adik kandung Teuku dan Safinah yang bunuh diri setelah digagahi oleh Mohamad Husni, orang kaya yang menantu dukun Abduh di Lahat. Husni telah ditewaskan oleh kedua harimau, milik Teuku Sa-malanga.

Harimau itu memandang ramah pada Erwin. Dan Erwin yang pada saat itu tidak punya daya apa pun hanya berserah. Kalau

kedua harimau itu berniat jahat atas dirinya mereka dengan mudah dapat melakukannya, karena Erwin tidak memiliki ilmu dan kekuatan seperti kalau dirinya normal. Tetapi kedua harimau itu menjilati muka dan tangannya dengan lidah mereka yang panas. Kemudian pakaiannya. la rasa dirinya dibalikkan, karena mereka tak bisa bicara untuk menyuruh dia membalik. Seluruh pakaiannya yang basah pun dijilati. Entah dari mana datangnya tetapi setelah ia sadar, dilihatnya Ada buah pisang yang banyaknya tidak kepalang tanggung. Satu tandan. Juga ada buah rambutan yang diketahuinya memang sedang musim. Kedua harimau itukah membawanya? Mungkin, tetapi mungkin juga Tuan Syekh Ibrahim Bantani yang kemudian berdiri di sisi Erwin. Dengan janggutnya yang putih dan pandangan penuh wibawa. Tuan Syekh kah yang membawa buah-buahan itu? Perutnya yang lapar membuat dia tidak lagi bertanya, tetapi langsung memakan apa yang ada. Pisang raja masak di pohon itu menghilangkan rasa lapar. Dia tahu, pisang raja enak untuk sarapan. Haus dilepaskannya dengan rambutan berkualitas yang mudah, ditanggalkan dari bijinya dan punya banyak air.

Sesudah itu baru Erwin menyusun jari dan berkata: "Guru. Akan tamatkah riwayatku?"

Guru yang berasal dari Banten dan meninggal di Muara Sipongi, Mandailing, meletakkan ujung tongkatnya di atas rusuk Erwin yang masih belum bangkit. Kini manusia harimau itu duduk, mencium lutut Tuan Syekh Ibrahim.

"Enak saja kau! Terlalu mudah hidup ini bagiku, kalau sampai di sini riwayatmu tamat. Kau telah mengalami banyak musibah, mengalami banyak bencana fisik dan batin, tetapi apa yang kau rasakan hari ini barulah awal pula dari rentetan nasib yang telah menantikan dirimu. Kau kehilangan orang yang kau cintai, wajar. Karena ia tidak mencintai dirimu. Dan kau terlalu mementingkan harga diri, suatu tanda bahwa kau memang berhak untuk hidup lebih lama di dunia ini. Kau masih menghendaki dirinya. Sebelum dia kawin telah kutawarkan kepadamu kekuatan untuk membuat dia cinta padamu. Tetapi kau menolak, karena kau tak mau cinta hasil

tenngn lain. Kau ingat?" tanya Tuan Syekh. Erwin mengangguk.

"Kau masih cinta padanya?"

Dan si manusia harimau mengangguk lagi.

"Mencintai wanita yang sudah selama tiga malam jadi istri syah suaminya?"

Erwin menganguk lagi.

"Kalau begitu kau mulai kehilangan harga diri. Kau mau merebutnya dari tangen suaminya? Kalau mau, kuberi kau kekuatan, tetapi antara kau dan aku tidak ada hubungan lagi. Terserah padamu!"

Erwin diam. Dia disuruh memilih. Dia merasa masih mencintai Safinah yang sudah jadi Nyonya Daud Ali, juga asal dari Aceh. la dan Safinah sudah berkenalan sejak masih duduk di sekolah menengah dulu.

"Aku masih mencintainya guru, tetapi aku akan berusaha melupakannya, karena ia sudah jadi istri orang lain!"

"Bagus. Kau harus berhasil. Kalau gagal, ada bencana menantikan dirimu. Berat kau menghadapinya. Aku doakan supaya kau berhasil. Dalam hal itu aku hanya bisa mendoakan karena kau yang punya diri, kau yang punya hati dan kau pula yang punya masalah."

"Aku akan berhasil Guru!"

"Semoga. Aku pun tidak tahu. Kalau godaan atau dendam lebih kuat dari imanmu, kau akan gagal. Nah, sudah. Aku akan kembali."

"Tuan Syekh, boleh aku menitip salam untuk kedua pengurus istana Guru?"

"Mereka turut kemari, ingin bertemu denganmu yang mereka nilai sangat baik budi," kata Tuan Guru yang sebenarnya telah dikebumikan itu. Dan seekor harimau loreng besar serta harimau hitam pekat m segera pula berada di dekat Erwin. Empat harimaui

dengan seorang guru merupakan suatu kumpulan yang cukup meriah. Erwin memperoleh semangat hidupnya kembali.

"Bangkitlah Erwin, kau akan sampai di Jambi dalam tempo menghabiskan sepiring nasi. Hematkan uangmu. Beli di sana sepesalinan. Kau memerlukannya," kata Tuan Guru. Tak lama kemudian dia raib bersama dua harimau setianya. Yang piaraan Teuku Samalanga masih menunggui Erwin sebentar, sampai ia berdiri. Dielusnya kepala kedua harimau yang sudah jadi sahabatnya itu. Dan kedua binatang liar yang sudah jinak pada manusia harimau itu menjilati tangannya, mengakui kebesarannya di atas diri mereka. Setelah itu Erwin mulai berjalan, tetapi suatu kantuk tiba-tiba menyerang, tak terlawan. Ketika ia terbangun, dan waktu tertidur dan terbangun itu lamanya memang hanya sepanjang waktu menghabiskan sepiring nasi, ia telah berada di pinggiran kota Jambi.

Seorang gadis kecil tak dikenal, menegurnya:

"Bang Erwin, ayahku menyuruh aku membawa abang ke rumah!" Manusia harimau itu heran mendengar, karena sepanjang tahunya ia tidak punya siapa-siapa di Jambi.

"Tetapi siapa kau gadis kecil? Siapa namamu?" tanya Erwin yang terbengong-bengong mengetahui tadi dirinya sudah di pinggiran Jambi dan kini ada pula seorang anak tak dikenal mengajaknya ke rumah. Kota apakah ini?

"Abang lupa padaku?" tanya bocah yang mengaku bernama Yatun.

Walaupun merasa ragu-ragu, tetapi si manusia harimau menurut, la sadarkan diri sejak ia terbebas dari kantuk tadi. Bahwa ia Erwin, anak Dja Lubuk, yang baru melarikan diri dari Palembang karena gadis yang dicintainya kawin dengan laki-laki lain.

Gadis kecil itu selama perjalanan memegangi tangan Erwin, seakan-akan takut orang muda itu melarikan diri, sehingga masuk sebuah pekarangan yang ditanami banyak pohon buah-buahan, di antaranya pisang dan rambutan yang sedang berbuah. Persis

seperti yang dimakannya pagi itu. Di tengah-tengah kebun ada sebuah rumah, model lama, seperti yang masih banyak terdapat di daerah Jambi.

"Naiklah," kata Yatun kepada tamunya. Dan Erwin menurut. Hanya didalam hati ia bertanya siapa gerangan yang meminta dia datang. Orang itu mestinya mengenal dia. Tetapi bagaimana pula orang ini tahu bahwa dia akan masuk ke kota itu, walaupun sekiranya mengenal dia.

Setelah duduk di ruang tengah, seorang wanita setengah baya menyugukan secangkir kopi kepadanya. Juga secangkir gula pasir dengan kata-kata:

"Belum diberi gula, karena saya tak tahu takarannya." la masuk lagi dan tak lama kemudian ke luar dengan sepiring ketan dan sepinggan kecil kelapa yang telah diparut.

Aneh di rumah orang yang kelihatan kampungan ini, pikir Erwin. Memberi kopi tanpa dibubuhi nula dulu. Seperti yang pernah dialaminya ketika ia menginap di hotel mewah di Medan.

Karena Erwin tidak juga memulai minum atau mencoba ketan yang dihidangkan, maka perempuan tadi yang rupanya mengetahui ke luar lagi dan mempersilakan ia minum. Katanya: "Bukan kah sejak kemarin nak Erwin tak makan dan pagi tadi hanya makan pisang dan rambutan. Belum minum Apakah nak Erwin lebih suka teh panas?"

Erwin kian heran, tetapi tanpa tanya mulai minum kopi yang belum diberi gula. "Tak suka gula " tanya perempuan itu. Barulah Erwin sadar, bahwa perempuan itu mengetahui semua, sampai sampai bahwa ia sejak tadi belum menaruh gula di dalam kopi.

"Suka," jawab Erwin sambil menyendok gula dan memasukkannya ke dalam kopi.

"Ketannya," wanita itu menawarkan. Dan Erwin mengambil dua sendok, diletakkan di piring kecil kosong yang tersedia.

"Suka dengan srikaya?" tanya wanita yang lalu masuk lagi ke

dalam dan kemudian meletakkan se piring srikaya, yang biasa dipakai kedai-kedai kopi kota itu pada roti panggang.

Agak lama kemudian baru datang seorang laki-laki, sudah agak tua. Bercelana komprang hitam dengan kaos oblong putih. Serba bersih, rupanya dia bersalin pakaian dulu.

"Apa kabar nak Erwin? Boleh kupanggil anak?" tanya laki-laki itu, yang tidak memperkenalkan diri lebih dulu.

"Silakan Pak," dan setelah diam sejurus barulah Erwin bertanya, siapakah bapak yang berilmu sangat tinggi itu.

"Aku tidak punya ilmu tinggi. Nak."

"Mustahil. Bapak mengetahui namaku dan tahu aku akan datang. Malah menyuruh Yatun menjemput aku. Aku berbahagia sekali berkenalan dengan Bapak. Aku yakin akan dapat menambah ilmu yang sekedar sekuku ini dari Bapak. Aku baru ditimpa musibah," kata Erwin tanpa ditanya.

"Itu bukan musibah. Itu suatu cobaan. Kau tidak mendapatkan Safinah! karena kalian berdua bukan jodoh. Dan kau sudah diuji lagi dengan cobaan lain!" kata laki-laki yang mengatakan dirinya bernama Teuku Abidin, paman Teuku Samalanga.

Mendengar siapa orang itu, tidak heranlah Erwin mengapa ia dapat melakukan apa yang semula terasa sangat aneh baginya.

Erwin bertanya apakah cobaan lain yang sedang diujikan atas dirinya itu.

"Sudah berlalu dan sudah selesai. Lebih baik kalau tidak diceritakan," kata Teuku Abidin. Tetapi Erwin menunjukkan rasa tidak puas, karena Teuku juga tadi yang menyebut-nyebut ujian baru yang sedang menimpa dirinya.

Maka diceritakanlah oleh Teuku Abidin, bahwa pagi itu suami Safinah telah tiada lagi. Erwin mendengar dan memandang heran. Tak mengerti.

"la telah dibunuh kemenakanku, Teuku Samalanga yang sangat

sayang padamu, la telah melakukannya karena tak mampu mengendalikan diri," kata Teuku Abidin.

0odwo0

DUA

ERWIN tidak percaya pada telinganya. Mustahil. Cukup lama dia diam terperangah oleh keterangan Teuku Abidin. Sahabatnya, Teuku Sama-langa jadi pembunuh? Dan yang dibunuh adik iparnya sendiri yang baru tiga hari nikah dengan adik kandungnya, satu-satunya saudara yang tinggal setelah Menora mati bunuh diri!

"Sukar diterima akal, orang muda?" tanya Teuku Abidin.

"Bukan sukar, tak masuk akal, Pak!"

"Di dunia ini selalu terjadi hal yang tidak masuk akal. Bagi orang sepintar anak, bukanlah sesuatu yang mengherankan mestinya. Atas dirimu sendiri terjadi berbagai hal yang mestinya tidak terjadi karena tidak masuk akal."

Erwin mengingat masa lampaunya." Memang banyak terjadi kenyataan yang sebenarnya tidak masuk akal.

"Tetapi apa sebabnya. Pak?"

"Karena bagi kami, hutang nyawa bayar nyawa. Dan hutang itu harus dibayarnya kepada yang berhak menerimanya!"

Erwin semakin tidak mengerti. Teuku Abidin paham, bahwa dia harus memberi penjelasan.

"Kau benar-benar mau tahu?" tanya orang tua itu.

"Tentu, karena Teuku sahabatku. Lebih dari itu, ia saudaraku!"

"Dan kau cinta pada adiknya. Safinah!" Erwin tunduk. Bukan malu, sedih, karena wanita itu tidak menghendaki dirinya.

“Kau benar-benar sanggup mendengarnya?"

Erwin hanya memandang. Tak mengerti, mengapa pula Teuku

Abidin mengajukan pertanyaan begitu

"Daud Ali telah membunuh istrinya. Dia harus membayar untuk itu!"

"Siapa Daud Ali?"

"Suami Safinah!"

"Tidak," jerit Erwin tak kuat menguasai diri. Dan ia menangis seperti anak kecil. Tidak berusaha menekan tangis itu.

Kisah ini lebih buruk dari mimpi terburuk. Menyebabkan seorang manusia harimau pun seperti tak punya daya dan kekuatan. Seperti tidak punya iman sama sekali, padahal sudah dipesankan oleh Tuan Syekh Ibrahim Bantani, bahwa masih banyak lagi kenyataan-kenyataan menyedihkan menghadang dirinya. Inilah salah satu daripadanya. Tetapi mengapa sampai terjadi bunuh membunuh. Baginya, lebih baik Safinah hidup bersama laki-laki lain dan dia berputih mata, daripada wanita tercintanya itu harus berputih tulang.

“Daud Ali itu memang sangat pantas dibunuh. Kalau dia punya dua nyawa, kedua dua nyawanya harus dicabut," kata Teuku Abidin yang rupanya sangat setuju dengan pembunuhan atas diri laki-laki yang tadinya jalan menantu bagi dirinya, karena Teuku Samalanga kemenakannya.

Setelah agak reda, Erwin bertanya mengapa sampai terjadi pembunuhan ganda itu. Dan Teuku Abidin menceritakan, bahwa kisah itu didengarnya dari Yatun, anak kecil yang menegur dan membawa Erwin ke rumah itu. la semakin heran. Yatun, anak kecil itu yang membawa berita. Menurut Teuku Abidin pembunuhan itu terjadi menjelang subuh. Bagaimana pula Yatun datang dari Palembang membawa berita ke Jambi.

"Yatun penghubungku dengan kemenakanku!" mengertilah Erwin, bahwa gadis kecil itu sebenarnya makhluk halus suruhan.

Dengan setenang mungkin Teuku Abadi n menceritakan, bahwa drama itu dimulai hanya sehari sejak Safinah dan Daud Ali

melangsungkan pernikahan. Dari orang-orang bermulut usil Daud mendengar, bahwa Safinah sebenarnya diwaktu yang akhir telah menjalin hubungan dengan seorang muda amat pintar bernama Erwin. la tak punya apa-apa, tetapi memiliki kepandaian dukun lalu ditampung oleh Teuku Samalanga karena kasihan kepadanya. Ada kabar, bahwa kemudian Erwin mempunyai banyak uang dari hasil mengobati seorang perawan keturunan Tionghoa bernama Mei Lan. Bukan hanya itu. Ketika Erwin pergi dari rumah Teuku Samalanga setelah bercintaan dengan Safinah, anak perempuan yang telah diobatinya itu tergila gila kepadanya dan mencari dia sampai ke Tapanuli dan Medan, kemudian dibawanya kembali ku Palembang.

Cerita ini membakar hati Daud Ali ia bertanya kepada Teuku Samalanga yang menegaskan kepadanya bahwa kalau ada cerita begitu pasti datangnya dari orang yang iri hati kepadanya. Diceritakannya bahwa Erwin seorang laki-laki yang sangat sopan dan tinggi ilmunya. Rendah hati dan tak pernah menyusahkan siapa pun. Buat sementara ia menerima apa yang dikatakan oleh Teuku Samalanga.

Tetapi dia tidak hanya percaya kepada keterangan Iparnya Tiupan dari orang-orang luar juga diterimanya. Apalagi setelah diketahuinya memang suatu kenyataan Mei Lan jatuh cinta kepada Erwin sampai mencari-cari dia ke Penyabungan dan Medan. Erwin mempunyai guna-guna yang amat kuat untuk memikat dan menundukkan wanita.

Pada malam kedua Daud Ali bertanya kepada Safinah, siapakah yang bernama Erwin? Oleh istrinya diceritakan apa adanya. Persis seperti yang diceritakan oleh abangnya.

"Kau suka padanya ya?" tanya Daud.

"Suka, dia baik dan banyak menolong abangku!" jawab Safinah.

Jawaban ini membuat darahnya mendidih. Suka padanya diartikannya seperti menyenangi atau mencintai.

"Kau telah pernah berbuat dengan dia, ya?"

Safinah tersentak, karena tidak menyangka akan keluar pertanyaan seperti itu. Dia tahu maksud suaminya. Dia dituduh telah berbuat serong dengan Erwin miskin yang tidak punya dosa itu. Namun begitu, ia kendalikan dirinya sambil bertanya apakah maksud Daud dengan "telah berbuat" itu.

"Jangan berpura-pura, kau tahu maksudku, la dukun dan dia telah membuat kau jatuh cinta kepadanya!"

"Abang menuduh aku! Jahat, kejam, busuk! Dia orang baik, sangat baik. Aku memandangnya sebagai saudara sendiri dan begitu pula dia terhadap diriku! Jangan abang punya pikiran kotor," dan karena sakit hati dia meneruskan: "Mungkin dia jauh lebih baik dan mulia dari abang. Walaupun dia hanya seorang miskin yang tidak punya apa-apa!" Setelah itu Safinah keluar kamar, mengunci diri di dalam kamar lain. Daud membiarkan. Dia menyangka, bahwa itu hanya suatu cara untuk menutupi dosa. Banyak orang pandai berbuat begitu. Dia juga pandai.

Keesokan harinya Safinah tidak bicara apa pun. Tidak dengan Daud, juga tidak dengan abangnya. Hatinya sakit. Dia tahu, bahwa suami kurang ajarnya itu tetap mencurigai dia. Kalau dia merasa menyesal akan kata-katanya, tentu ia minta maaf.

"Mukamu kusut tampaknya Saf." kata Teuku Samalanga. "Ada apa?"

Safinah tak kuat menahan airmata. Lalu diceritakannya tuduhan Daud Ali. Sakit hati Teuku Samalanga mendengar penghinaan kotor itu, tetapi suatu kekuatan membuat dia sanggup bersabar dan membujuk adiknya. "Sudahlah, dia emosi oleh hasutan orang-orang yang membenci diriku. Kau yang dijadikan korban. Nanti dia akan sadar, bahwa dia sangat keliru dan meminta maaf padamu!" kata nya.

Malam itu, atas anjuran dan bujukan abangnya. Safinah kembali tidur bersama Daud Ali. Tetapi orang ini rupanya tetap terbakar di dalam hati. la masih saja percaya akan hasutan yang sampai ke telinganya, la tidak dapat tidur, begitu pula Safinah.

Juga Teuku Samalanga tidak dapat memeramkan mata di kamarnya. Hatinya merasa tidak enak saja.

Menjelang subuh terdengar suatu jeritan dari kamar Safinah Teuku terkejut, bangkit. Jerit itu hanya sekali lalu senyap. Jantung Teuku berdebar keras ia mendatangi kamar adiknya, memanggil-manggil nama Safinah. Tiada jawaban. Dipanggilnya Daud, tiada sahutan. Kecurigaan Teuku semakin besar, ditendangnya pintu sehingga terbuka.

Teuku terpekik, melihat tubuh adiknya bersimbah darah di tempat tidur.

Daud bersiap dengan pisau yang digunakannya untuk membunuh istrinya itu, sementara Teuku yang mendobrak kamar dalam keadaan siap atas segala kemungkinan pun tak ayal lagi mencabut rencong yang sudah terselip di pinggangnya.

"Dia perempuan jahanam. Menipu aku. Kau juga tahu dia menipu aku," kata Daud. Kedua laki-laki yang sama-sama dari Aceh itu berhadapan. Sudah tahu apa yang akan dilakukan. Karena kedua-duanya merasa kehormatan dirinya ditabrak. Satu di antara mereka harus mati dan sama-sama menebus dengan nyawa.

Ternyata Teuku bukan lawan bagi Daud, yang memang keturunan Aceh, tetapi tanpa isi khusus didalam dadanya. Lain halnya dengan Teuku yang sangat marah sehingga menjadi ganas dengan ilmu segunung di dalam dirinya.

Beberapa tikaman Daud mudah dielakkannya. Kemudian ujung rencongnya menembus dada Daud di sebelah kiri, tepat merobek jantungnya, la jatuh terjangkang. Teuku masih menikamnya beberapa kali lagi, walaupun tusukan pertama tadi sudah mengantarkan Daud ke alam lain. Dari mana ia tidak pernah akan bisa kembali lagi.

Setelah itu ia memeluk adiknya yang telah tak bernyawa. Meskipun biasanya punya iman teguh, menghadapi saudara tunggal yang direnggut paksa nyawanya itu Teuku Samalanga menangis, hampir meraung-raung. Sama halnya dengan Erwin di Jambi ketika

mendengar bahwa Safinah sudah tidak ada lagi.

"Mestinya kau membunuh binatang itu Dik, karena dialah yang mestinya mati. Kini aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kau tinggalkan aku jadi sebatang kara," kata Teuku Samalanga dalam tangisnya, la bagaikan anak kecil. Apa yang terasa, dikeluarkannya. Tak disadarinya dua orang pembantu telah berdiri di belakangnya, ikut menangis seperti kehilangan saudara sendiri. Karena mereka sangat sayang kepada Safinah, yang tak pernah memperlakukan mereka sebagai orang yang digaji. Mereka tidak tahu, mengapa sampai ada dua mayat terbujur di sana. Siapa membunuh Safinah dan siapa yang membunuh Daud Ali. Mereka sangat terkejut dan sedih, karena keluarga Teuku terkenal sebagai tetangga yang baik dan ramah. Mereka juga tahu bahwa dia seorang berpengetahuan, tetapi tidak pernah mau menyalahgunakan ilmunya, la malah dipandang sebagai orang alim yang tidak pernah meninggalkan perintah agamanya.

Menjelang pagi orang tambah banyak. Polisi pun sudah datang. Mereka sangat terperanjat dan tak mengerti bagaimana duduk persoalan. Mereka ajukan pertanyaan kepada Teuku yang sudah reda, tetapi ia tidak memberi jawaban. Tak kuasa atau tak mau. Masih terlintas di dalam benak Polisi apakah suami istri itu bersepakat untuk mati bersama. Kalau tidak begitu halnya, pasti ada orang lain yang membunuh mereka. Orang lain itu mungkin pencuri, mungkin orang yang berdendam. Belum terpikir bahwa Teuku Samalanga tersangkut dalam drama itu.

Ketika akhirnya Polisi bertanya kepada Teuku apakah ia mau turut ke kantor untuk membantu Polisi dalam melacak pembunuh yang merenggut dua nyawa itu, ia hanya mengangguk. Tetapi baru beberapa langkah berjalan ia telah kembali ke jenazah adiknya, memeluk dan menciuminya, la menangis lagi tersedu-sedu, tanpa mengeluarkan kata.

Komandan Polisi yang bijaksana tidak langsung mengajukan pertanyaan kepada Teuku. la tahu bahwa orang yang baru kehilangan adik itu tentu sangat sedih dan panik. Perlu waktu untuk

tenang kembali.

Kepada Teuku disuguhkan minum. Komandan, seorang Kapten Polisi yang memeluk agama Hindu, I Made Dirganta, memberinya petuah. Bahwa tunangan hidup adalah kematian dan tidak seorang pun dapat mengelakkan diri daripadanya. Bahwa yang mati sebenarnya hanya jasad, sedangkan roh akan menempati dunianya yang baru. Bagi yang baik telah tersedia nirwana. Pada suatu hari semua roh akan bertemu kembali. Perceraian oleh kemati an hanya perpisahan sementara antara orang yang ingin duluan pergi dan orang tersayang yang ditinggalkan.

Tak kurang dari enam jam kemudian baru Teuku Samalanga diminta keterangan, la berterus terang, bahwa ialah yang membunuh iparnya Daud Ali, karena ia membunuh adiknya Safinah, la tidak mau menerangkan apa yang menjadi sebab. Bukan saja karena ia yakin bahwa tuduhan Daud tidak benar, tetapi mulutnya malu menceritakan fitnah yang amat rendah itu.

Atas pertanyaan Polisi, mengapa Teuku tidak melaporkan saja kejahatan yang dilakukan oleh Daud, karena ia pasti akan ditangkap dan diadili lalu dihukum sesuai dengan kesalahannya, dengan datar Teuku menyahut: Mungkin saya salah. Tetapi saya menganut paham kuno, bahwa hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Dia berhutang nyawa kepada saya, karena saya yang kehilangan adik, maka dia harus membayar kepada saya. Hanya itu, lain tidak!" Dia sama sekali tidak memperlihatkan rasa menyesal.

Atas budi baik Polisi, Teuku yang tampak tak berdaya diberi ijin untuk mengurus penguburan jenazah adiknya. Kemudian dimasukkan ke dalam sel tahanan, la tenang-tenang saja, seperti bukan dia yang baru melakukan pembunuhan. Imannya sudah kembali. Semua sudah berlalu menurut takdir. Semua harus diterima begitu pula segala resikonya.

0odwo0

CERITA itu membangkitkan amarah harimau di dalam tubuh

Erwin. Meskipun Daud Ali sudah dibunuh, tetapi ia tidak merasa puas. Jahanam itu harus lebih daripada dibunuh. Karena dia. Safinah meninggal. Dan mulut kotornya pula yang membuat Teuku Samalanga sampai masuk tahanan. Entah nasib apa yang akan menimpa dirinya. Bukan tak mungkin keluarga Daud Ali akan mencari jalan supaya orang tahanan itu mendapat siksaan, sebagaimana konon dapat dilakukan melalui orang-orang yang tidak mengindahkan citra Polisi. Bukan tidak ada oknum Polisi yang mau berbuat yang jahat demi uang. Uang, duit! Selalu bisa membuat manusia menjadi iblis. Uang bisa membuat orang girang, juga bisa bikin orang celaka, bahkan tewas!

"Saya mau ke Palembang," kata Erwin kepada Teuku Abidin.

"Untuk apa?"

"Untuk melihat sahabatku." la memberi salam kepada Teuku Abidin, mohon doanya agar ia selamat.

"Kau akan kembali lagi ke mari anak muda?"

"Mungkin. Adakah perlunya? Bapak orang hebat. Kalau tak Bapak bimbing aku ke mari aku tentu tak tahu, bahwa sahabatku dan adiknya ditimpa musibah!"

Lalu berangkatlah Erwin ke Palembang pada petang hari itu juga.

Dengan bantuan Tuan Syekh Ibrahim Bantani, hanya setengah jam kemudian dia sudah berada di Palembang. Dan dia berada di depan Kantor Polisi tempat Teuku Samalanga ditahan.

Tanpa pikir ia langsung saja masuk setelah lebih dulu membaca mantra yang diajarkan ayahnya Dja Lubuk. Dia lewat saja di hadapan para petugas Polisi, tak seorangpun menanyai atau menahannya. Seolah-olah ia tidak kelihatan.

Tak lama kemudian dia sudah sampai di muka sel tahanan Teuku Samalanga. la menangis melihat sahabatnya. Dia menangis karena teringat kepada Safinah.

"Mari kita pergi," kata Erwin.

"Tak mungkin, sahabatku. Aku kini orang tahanan. Aku telah jadi pembunuh!"

"Tidak, Teuku mesti ikut bersamaku. Nanti malam kuambil!" kata Erwin lalu ia pergi. Menuju pekuburan tempat Safinah dan Daud Ali dimakamkan. Ada yang harus dikerjakannya di sana.

0odwo0

TIGA

DENGAN sekecak bunga mawar dan dahlia segar Erwin memasuki kuburan. Walaupun hari mendung berat, pertanda langit akan runtuh menyiram bumi, Erwin mudah saja menemukan jalan. Semua tampak jelas olehnya, karena mata harimaunya sedang berfungsi. Bagi harimau tiada malam yang gelap.

Penduduk Palembang heran melihat cuaca yang mendadak berubah. Siangnya panas terik, lalu selepas senja bintang-bintang bertaburan. Karena memang musim kemarau. Menebalnya awan yang membuat bintang gemintang tak tampak lagi, diiringi oleh angin agak kencang dan hujan gerimis membuat banyak orang memberi komentar menurut pengetahuan dan kepercayaan masing-masing.

Apakah karena malam pertama bagi dua manusia yang mati dibunuh, tidur di dalam bumi? Apakah perubahan itu suatu tanda bahwa alam pun turut berduka cita?

Tiba di makam Safinah, Erwin berlutut, berdoa sambil membiarkan airmata mengalir deras bagaikan air dari hulu yang tak terbendung. Hatinya sangat sedih. Kehilangan wanita kedua yang benar-benar dicintainya. Kepada siapa ia tidak pernah berani menyampaikan perasaan yang terpendam, tetapi ia dibunuh mati karena dituduh berbuat tidak senonoh oleh orang yang tiga malam menjadi suaminya, la, yang biasanya mempunyai firasat tajam, mengapa tidak pernah menduga bahwa Safinah akan mati tidak wajar di tangan orang yang dirasuki pikiran buruk sehingga berbuat

seperti iblis?

"Ampuni aku. Safinah, orang dungu dan makhluk hina yang diam-diam mencintaimu. Seharusnya aku tidak pernah sampai ke rumahmu, tidak pernah mengenalmu, sehingga kau tidak sampai menemukan nasib yang tidak seharusnya menjadi nasibmu. Aku diburu perasaan salah, seolah-olah aku menjadi penyebab kematianmu. Kau yang begitu bersih dan cantik, yang seharusnya dengan kebahagiaan menikmati hidup karena ia menjadi hakmu," ucap Erwin dengan perasaan bersalah, walaupun ia tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar hukum dan adat terhadap perempuan yang amat malang itu.

Tanpa diduganya terdengar suara mengatakan pelan dengan nada membujuk: "Tenanglah Bang Erwin. Ini semua penentuan nasib. Kalau namanya penentuan Bang, kita tidak dapat mengelakkannya. Abang tidak punya salah apa pun. Akulah yang bersalah karena tidak tahu, bahwa Abang mengasihi diriku. Maafkan aku Bang? Abang mau kan?" Suara itu suara Safinah. Entah arwah Safinah yang berkata, entah hanya khayalan telinga Erwin.

Diciumnya papan nisan yang ditanam di bagian kepala Safinah dengan perasaan tidak menentu, la merasa kehilangan, sangat kehilangan.

Kemudian ia mohon kekuatan kepada Tuhan, lalu berdiri. Di saat itu terdengar suara berbisik di telinganya: "Lakukan, lakukan. Kau harus memperlihatkannya. Hatimu akan tenang setelah kau melakukannya!" Dan diluar dugaan, tetapi sesuai dengan harapannya setelah mendengar bisikan itu, ia berubah wujud, la telah jadi Erwin bertubuh harimau. Lalu ia berjalan menurut kata hati dan langkah kaki. Berhenti di sebuah kuburan yang juga baru. Kuburan Daud Ali.

la berdiri di sisi kuburan yang penuh diselimuti karangan bunga dari banyak sahabat dan beberapa keluarga, menyatakan duka cita yang dalam atau sekedar turut berduka cita atas kepergiannya.

Melihat itu kebencian dan amarah Erwin menggantikan rasa sedih

yang mendera hatinya oleh ke-matian Safinah. Di atas pusara wanita yang disayanginya itu hanya ada taburan bunga dan dua karangan, satu di kepala dan satu di kakinya. Otak manusia waras di dalam tubuh harimau berkata, bahwa banyaknya karangan bunga di pusara seseorang baru meninggal, tidak mesti berarti bahwa orang itu manusia baik yang patut dihormati. Erwin malah berpikir bahwa Erwin tidak layak mendapat unjuk simpati demikian besar, karena ia hanya seorang pembunuh yang melakukannya semata-mata oleh prasangka dan tuduhan kotor yang tidak benar sama sekali.

"Kau tidak berhak mendapat penghormatan ini orang buas," desis Erwin lalu menyingkirkan semua itu dengan kasar, la marah dan dendam pada laki-laki yang tidak dikenal bahkan belum pernah dilihatnya itu. Dendam, walaupun dia sudah menebus kejahatannya. Tidak banyak kebencian dan dendam seperti ini.

"Untunglah bunga-bunga ini tidak dapat menolongmu di akhirat," kata Erwin dengan suara cukup keras. Akan kedengaran, kalau ada orang di dekat-dekat sana. Tetapi kata-kata itu saja tidak cukup untuk melampiaskan amarah dan membalaskan sakit hati.

"Baru abang Safinah yang menghukum kau Daud. Aku belum," kata Erwin lagi, diselang-seling dengan dengusan. Lalu ia mulai menggali dengan dua tangannya yang kini mempunyai kekuatan ganda. Ditambah dengan kebencian dan amarah, pekerjaan itu jadi ringan saja. Setelah kain kafan mayat Daud tampak, ia langsung mengangkat dan melemparkannya ke luar lobang. Erwin keluar dari tempat Daud dibaringkan, dilepaskannya kain kafan penutup tubuh yang sudah sangat dingin dan kaku. Sehingga telanjang dengan hanya kapas di sana sini.

Manusia harimau merobek dada mayat, mengeluarkan isinya. Seperti pernah dilakukannya di Ujungpandang atas seorang laki-laki yang sangat dibencinya. Karena orang itu telah menyebabkan ke-matian adik sahabatnya Nazaruddin. Sahabat yang akhirnya tewas pula di Jakarta, dibunuh oleh Sabri-na yang cindaku, perempuan cantik asal daerah Kerinci yang bagi sementara masyarakat cukup terkenal oleh harimau-harimau liarnya. Lebih terkenal lagi oleh

harimau jadi-jadian. Sabrina yang ayu tetapi bernasib malang, kadang-kadang dihantui da-haga darah. Sama halnya dengan korban kecanduan obat bius, ia tak mampu menguasai diri, kalau sifat harimau sedang merasuk otak dan seleranya, la mampu mengisap habis darah bayi, hanya dengan memandangi anak kecil tak berdosa itu. Telah beberapa anak jadi korbannya. Ibu dan ayah si anak tidak menyangka atau mencurigai dirinya, karena ia begitu ramah, kelihatan penuh rasa sayang terhadap anak-anak yang tergolong masih bayi.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, setengah sadar Erwin berkata: "Kini aku telah membunuh mayatmu. Kau pantas menerima hukuman yang lebih dari ini karena Safinahku tidak pernah bisa kembali lagi." Dari sana Erwin pergi sekali lagi ke pusara Safinah. "Aku telah membunuhnya lagi untukmu, karena dia yang menyebabkan kau mati dan dia juga yang menyebabkan abangmu jadi orang tawanan. Aku tak mampu menghidupkan kau kembali Safinah sayang, tetapi aku akan membebaskan saudaramu yang juga amat kusayang." la berjalan sampai ke pintu kuburan, berharap dirinya jadi manusia utuh kembali. Tetapi keinginannya tidak terkabul. Lebih setengah jam ia duduk atau mondar mandir gelisah. Bertanya dalam hati, apakah ia telah berbuat terlalu kejam terhadap Daud yang sudah jadi mayat? Apakah ini pembalasan pula atas dirinya? Tetapi dihiburnya diri: "Mustahil. Dia pantas mendapat ganjaran itu!" Kemudian ia berpikir: "Apakah seharusnya dia melakukan lebih daripada itu? Mungkin. Barangkali Safinah ingin agar muka Daud juga dihancurkan saja?" Erwin berbalik hendak merusak muka mayat yang sudah tidak punya isi perut itu. Tetapi satu perintah membuat dia terhenti.

"Jangan Erwin. Kau telah lebih dari membalas dendam," kata suara Raja Tigor, kakek yang amat mencintainya. "Pergilah. Bukankah kau ada janji pada Teuku Samalanga!" la tahu, suara itu harus dipatuhi, kalau ia tidak mau celaka. Suara itu juga membuat dia langsung keluar dari kuburan dalam keadaan bertubuh harimau, la jalan di pinggir, tetapi sorot lampu mobil yang datang arah berlawan-an menimpa dirinya. Tak lama kemudian, mobil itu

berhenti. Sipengemudi melihat harimau loreng bertubuh besar itu. la injak rem, supaya kendaraan itu berhenti. Entah karena gugup, entah memang begitu yang baik menurut jalan pikirannya. Tandanya ia menghormati nenek belang. Tetapi ia tidak ingat mematikan lampu sementara si manusia harimau juga tidak menghindar dari sorotan lampu yang amat kuat dan terang itu. Ada tiga menit, sipengemudi yang baru pulang bersama istrinya dari sebuah pesta memandangi harimau itu dengan jan-tung berdebar keras, yang bisa copot atau mendadak tidak berfungsi lagi. Untunglah jantung dua insan itu tidak berhenti bekerja, sehingga jelas melihat apa yang sebenarnya mereka tidak akan percayai kalau tidak karena melihatnya sendiri. Harimau itu berubah jadi manusia, terus berjalan, melewati mobil yang belum juga digerakkan lagi. Pengemudi yang seorang pedagang cukup besar di kota Palembang mengerling, ketika manusia yang menjelma jadi harimau lewat di samping kanannya. Makhluk itu tidak menoleh, tidak menghiraukan kehadiran mobil itu.

Setelah harimau atau manusia itu berjarak dua puluh meter, barulah ia mampu menjalankan mobilnya. "Kau melihatnya tadi Ma?"

"Sudahlah jangan mengomongi dia. Dia mungkin mendengar dan mengejar kita," sahut istrinya yang ketakutan. Tentu saja dia juga melihatnya.

Hujan yang tadi sudah berhenti kini turun lagi dalam bentuk gerimis.

Setibanya di depan Kantor Polisi tempat Teuku Samalanga ditahan, ia berhenti dan seperti tadi pula dia langsung saja masuk. Kini pun tak ada yang menegurnya. Karena mereka tidak melihatnya. Mereka telah ditaklukkan ilmu perabun. Si manusia harimau tidak ingin dirinya dilihat oleh orang-orang yang tidak perlu melihat. Kalau mereka tidak dirabunkan dan melihat Erwin pasti akan timbul bencana. Akan berjatuhan korban. Karena Polisi tidak akan membiarkan dia masuk dan Erwin tidak akan mau dicegah masuk. Untuk apa mencederai diri para penjaga keamanan ini,

selama mereka tidak bertindak di luar hukum. Mereka tidak menyiksa Teuku Samalanga. Mungkin orang Aceh itu punya suatu kekuatan yang membuat para petugas yang selalu galak dan tidak berani atau tidak bergerak untuk menyakiti dia. Erwin ingat masa lalunya di Jakarta, la pernah ditangkap, lalu disiksa sampai babak belur. Tetapi diselamatkan oleh ayahnya Dja Lubuk yang membunuh dua penyiksa lalu membawa Erwin keluar tanpa kelihatan.

Waktu itu pukul 22.20.

"Teuku," panggil Erwin pelan karena Teuku Samalanga sedang duduk di pembaringannya bersandar ke tembok dengan memeramkan mata.

"Aku tak mau lari, Er. Akan jadi orang buruan. Tidak akan pernah tenang," ujar Teuku yang sudah berdiri di belakang terali besinya. Tetapi Erwin tidak menanggapi. Sebaliknya ia bercerita: "Aku telah melakukannya Teuku!"

"Melakukan apa?"

"Membunuhnya!" jawab Erwin menyeringai. Tanda suatu kepuasan.

"Membunuh siapa?" tanya Teuku yang tidak mengerti.

"Siapa yang harus dibunuh. Jahanam Daud Ali!"

"Bukankah dia sudah mati."

"Ya, Teuku yang membunuh. Aku baru tadi dapat melakukannya!"

Teuku yang jadi kian tak mengerti, bertanya apakah sebenarnya maksud Erwin. Dan manusia harimau itu mengatakan, bahwa ia telah ziarah ke pusara Safinah. Juga mendatangi kuburan Daud Ali. Tidak diceritakannya apa yang telah dilakukannya. Teuku juga tidak bertanya. Pun tidak memikirkan apa yang mungkin dilakukan Erwin. Dianggapnya cerita Erwin itu sebagai suatu luapan amarah dan Erwin sendiri tak mengerti apa yang dikatakannya. Seperti berkhayal.

Erwin menegaskan kembali, bahwa kedatangannya adalah untuk mengambil Teuku. Dia layak ditahan, karena perbuatannya itu hanya bela diri. Bukankah Daud juga mempergunakan senjata.

"Tetapi aku belum diadili. Kalau Hakim memutuskan aku bebas, barulah benar aku boleh keluar dari sini!" kata Teuku.

Erwin tertawa. Agak sinis tanpa mengatakan apa-apa.

Agak lama kemudian baru Erwin berkata, bahwa di Pengadilan bukan tidak mungkin terjadi salah vonis. Bisa karena khilaf, bisa juga karena ia harus berbuat begitu untuk orang lain. Kata Erwin dia pernah mengetahui orang dihukum sebagai pembunuh, tetapi kemudian ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak berdosa, karena pembunuh sebenarnya memberi pengakuan.

"Aku sudah mengatakan kepada adik Safinah, bahwa aku akan membebaskan Teuku dan ia sangat setuju. Aku bicara dengannya tadi!"

Erwin membuka pintu sel seolah-olah tidak dikunci, menarik lengan Teuku yang kini menurut tanpa protes, la ingin mengatakan tak mau, tetapi ia tidak mampu mengatakannya. Yang jadi kenyataan, ia berserah kepada Erwin.

Teuku pun tidak berkata apa-apa setelah ber-a di alam bebas. Dia merasa kagum lagi. Banyak sekali kepandaian Erwin. Sedikit sekali orang sangat pandai yang memiliki ilmu perabun. Si pemegang ilmu harus yakin sepenuhnya, bahwa semua yang bernyawa menjadi buta terhadap dirinya atau mereka. Tanpa kemampuan pemusatan pikiran bulat, ilmu itu tidak akan punya cukup kekuatan.

"Akan kemana kita Erwin?" tanya Teuku Samalanga.

"Istirahat dulu. Teuku perlu istirahat dan menenangkan pikiran. Besok hari Kamis. Lepas sembahyang lohor kita berangkat!"

"Istirahat di mana dan berangkat ke mana?"

"Istirahat di rumah Teuku. Bawa apa yang perlu saja besok!"

"Terlalu berbahaya bagiku Er. Nanti mereka akan tahu, bahwa aku sudah lari!"

"Teuku tidak lari, aku yang melarikan. Jadi aku yang salah, kalau mau dipersalahkan," jawab Erwin tenang-tenang.

"Kau hebat, bisa setenang ini!"

"Apakah akan membantu kalau kita gugup dan panik?"

Teuku tidak menjawab. Dia ingin sehebat Erwin.

"Teuku tak kurang hebatnya. Tiap manusia punya kekurangan dan kelebihannya," kata Erwin. Dan Teuku mulai tenang. "Kita tak usah terlalu gembira kalau sedang menang dan tak usah terlalu sedih kalau sedang kalah!" Tetapi di dalam hati Erwin merasa, bahwa ia hanya dapat berkata tidak selalu mampu bersikap begitu. Beberapa jam yang lalu ia menangis seperti anak kecil di pusara Safinah.

Sampai pagi tidak ada gangguan. Erwin dan Teuku sempat juga tidur.

Tetapi keesokan paginya mereka sudah mendengar apa yang menjadi buah pembicaraan hampir semua orang Palembang. Kuburan Daud Ali dibongkar harimau. Perutnya dirobek dan seluruh isinya dikeluarkan. Cerita lain bersumber dari pengusaha dan istrinya yang melihat harimau besar berjalan dengan tenang walaupun ditimpa sinar lampu mobil. Hewan itu kemudian berubah jadi manusia yang berjalan tenang melalui mobilnya. Orang mengaitkan dua kejadian ini. Kuburan dibongkar dan harimau berubah bentuk jadi manusia. Tetapi banyak pula orang yang tidak mau mempercakapkan-nya, takut terjadi sesuatu yang tidak mereka ingini.

Bukan hanya itu. Seperti api menjilat lalang kering tersiar berita bahwa Teuku Samalanga yang membunuh Daud Ali telah lenyap dari tahanan. Tidak ada petugas yang melihat. Kunci sel tetap utuh. Orang pandai itu bisa menghilang. Lalu dikaitkan lagi dengan kuburan yang dibongkar harimau dan harimau yang jadi manusia.

Kesimpulan sebagian masyarakat Palembang tidak menyimpang dari hukum akal. Teuku Samalanga menghilang dari tahanan, ke kuburan Daud, berubah jadi harimau, membongkar kuburan, merobek-robek dada dan perut mayat. Dia meninggalkan kuburan, lalu berubah jadi manusia lagi. Tidak ada yang menyebut-nyebut Erwin. Tidak ada.

0odwo0

EMPAT

KANTOR Kepolisian tempat Teuku Samalanga tadinya ditahan yang paling sibuk. Dari yang berpangkat tertinggi sampai terendah membicarakan kelenyapan pembunuh yang telah diketahui punya profesi sebagai dukun. Dan bukan sembarang dukun. Telah banyak orang ditolongnya. Banyak orang yang menyesali mengapa ia sampai ditahan karena pembunuhan. Tetapi mereka juga yang berpihak kepadanya, karena ia membunuh bukan karena kesadisan, la membalas dendam karena adik kandungnya dibunuh oleh suaminya. Banyak pemuda, duda, bahkan sejumlah suami menyayangkan kematian Safinah. Mereka bukan hanya mengingini dirinya tanpa pernah berhasil, tetapi karena ia seorang asal Aceh. Dan gadis asli Aceh tidak banyak di kota mpek-mpek itu. Mereka tidak pernah tahu, apa sebab pengantin baru itu dibunuh suaminya. Tetapi mereka semua yakin, bahwa Safinah wanita bersih yang tidak dapat dibawa arus kegilalaan yang melanda sementara gadis, janda bahkan istri di jaman kian banyak manusia dikalahkan oleh syaitan.

Beberapa anggota Polisi yang biasanya ganas terhadap tersangka yang belum tentu bersalah, merasa mujur sekali belum sampai menyakiti Teuku. Kalau saja ia sampai disiksa, boleh dikatakan pasti ia akan membalas. Boleh jadi isi perut mereka juga ikan dikeluarkan. Mungkin sebelum dikubur, boleh jadi juga dikeluarkan dari kuburannya untuk diperlakukan seperti Daud Ali yang bernasib sial itu.

Tidak ada seorangpun petugas yang melihat Teuku meninggalkan

kantor itu. Tandanya ia punya ilmu perabun. Begitu keyakinan mereka. Adanya orang kedua tidak pernah mereka bicarakan, karena tidak pernah mereka lihat.

Jejak-jejak harimau di pekuburan baru kali itu didengar dan dilihat penegak hukum dan masyarakat di Palembang. Berbondong-bondong mereka ke sana untuk melihat bekas telapak yang cukup jelas eh adanya hujan, walaupun hanya gerimis. Tanah diseputar kuburan masih berlumpur oleh galian, penimbunan dan penggalian kembali.

Baru setelah kejadian itu masyarakat mengetahui —dengan sangat keliru— bahwa Teuku Samalanga seorang dukun hebat yang juga harimau jadi-jadian. Mereka tidak tahu tentang dua harimau piaraannya. Juga tidak tahu, bahwa sebenarnyalah dia manusia biasa dengan banyak ilmu, tetapi tidak pernah berubah jadi harimau.

Cerita itu pun sampai semuanya ke telinga Teuku dan Erwin.

"Maaf Teuku, karena ulahku Teuku jadi dituduh harimau jadi-jadian dan Teuku juga yang membongkar kuburan Daud Ali."

"Jadi kau yang membongkar dan itu yang kau namakan membunuh dia sekali lagi? Mengeluarkan isi perutnya?" tanya Teuku.

"Ya, karena dia membunuh adik Teuku yang tidak punya dosa itu."

"Erwin, kau mencintai Safinah?"

"Jangan tanya Teuku. Aku mohon jangan ditanyai," kata Erwin dan sekali lagi ia tidak kuat menahan airmata. la, yang begitu perkasa dan punya hati cukup tegar untuk mengoyak dada dan perut mayat, ternyata punya kelemahan manusia biasa. ^Karena dia pun sebenarnya manusia biasa, yang kadang-kadang jadi harimau. Diterimanya sebagai warisan dari ayahnya Dja Lubuk, karena ia cinta pada ayahnya itu. Tak mau menyedihkan hatinya.

Erwin membawa Teuku yang dalam kesedihan dan kecemasan itu

ke rumah Mei Lan, karena ia berjanji akan kembali. Meskipun amat girang atas kedatangan Erwin, namun anak dan ayah itu tak terlepas dari keheranan, mengapa dan bagaimana Teuku Samalanga yang dihebohkan itu ada bersama Erwin. Mereka dapat melihat Teuku, karena Erwin membebaskan mereka dari kerabunan. Ada gunanya mereka melihat Teuku. Guna jadi alasan mengapa Erwin harus pergi lagi. Untuk mengurus sahabat terbaiknya.

Meskipun tahu Teuku telah ditahan karena membunuh iparnya, dan tahu pula dari cerita yang sambung menyambung bahwa ia telah melarikan diri, bahkan jadi harimau, namun Mei Lan tidak menyinggung keanehan itu. Erwin senang atas kebijaksanaan Mei Lan. Mengetahui, bahwa pembunuh yang jadi buronan itu tentu dalam kekuatiran, Mei Lan dengan lapang hati mengijinkan Erwin menguruskannya, walaupun ia tidak tahu bagaimana cara mengurus harimau jadi-jadian yang mempunyai banyak kesalahan. Pengertian itu membuat Erwin terharu. Gadis ini bukan hanya sangat sayang, tetapi juga punya pikiran dewasa. Sekilas ia bertanya di dalam hati, apakah Mei Lan yang lain keturunan ini sebaiknya jadi istri? Barangkali dia inilah yang akan dapat menggantikan Indahayati yang tetap mencintainya dengan sepenuh kasih, walaupun sudah mengetahuinya, bahwa ia makhluk aneh yang kadang-kadang jadi harimau. Indah yang bersama anak mereka tewas oleh kejahatan Ki Ampuh, bukan takut kalau Erwin sedang mengharimau. la sedih, merasa kasihan. Tetapi dia tidak pernah berubah sampai kejahatan orang pintar dari Jawa itu merenggut nyawanya.

"Abang akan kembali, kan?" tanya Mei Lan.

"Tentu," jawab Erwin, malah menambahkan: "Mau kemana, kalau tidak kembali ke sini Lanny?" Dan gadis itu senang mendengar karena ia percaya.

"Kita akan kemana?" tanya Teuku Samalanga setelah Erwin bersalaman dengan Mei Lan dan ayahnya.

"Kita lewat dari depan rumah Teuku. Untuk melihat. Aku punya firasat bahwa di sana orang sedang ramai, karena satu regu Polisi sedang memeriksa di bawah pengepungan yang ketat. Dan apa

yang dikatakan Erwin, memang benar terjadi. Di depan rumah, di jalan raya dan di pekarangan tam pak kesibukan. Banyak orang, tua muda, laki-laki dan wanita. Juga banyak Polisi berpakaian dinas. Entah berapa banyak pula reserse yang berpakaian preman.

"Kita lalu di sana E r?" tanya Teuku. "Ya, untuk mendengar apa yang mereka katakan!"

"Tetapi, terlalu besar resikonya bagiku. Kau sendiri tidak apa-apa, karena kau tidak punya kesalahan."

"Sebetulnya akulah yang salah. Aku yang membongkar kuburan, aku yang mengulangi pembunuhan atas orang yang sudah mati itu, aku yang mengeluarkan isi perutnya. Aku yang dari harimau berubah kembali jadi manusia. Teuku hanya korban dari kejahatanku!"

"Jangan berkata begitu. Ilmumu yang sangat tinggi dan caramu yang selalu bijaksana membuat mereka salah duga. Pikiran mereka tidak bisa menjangkau kepintaran yang kau miliki Erwin. Mengkhayalkan pun tidak. Kalau bisa seperti kau, aku juga ingin jadi manusia harimau," kata Teuku Samalanga. Erwin senang mendengar, karena kata-katanya membuktikan, bahwa ia sudah mulai tenang dan dapat berkelakar walaupun dicampur keseriusan.

Erwin dan Teuku bergabung dengan segerombolan masyarakat dan anggota Polisi berseragam di depan, di pekarangan, bahkan di dalam rumah. Yang melayani petugas-petugas keamanan hanya pembantu Teuku yang tinggal di sana bersama istrinya.

Memed menceritakan, bahwa majikannya pada malam itu masih di sana, makan dan tidur di sana bersama sahabatnya Erwin. Tetapi pagi jam 10.00 itu Memed sudah tidak lagi melihat Teuku dan Erwin yang padahal juga ada di sana. Kekuatan ilmu era bu n yang dimiliki Erwin memang boleh dika-ta sempurna.

Polisi hampir tidak percaya, tetapi Memed bersumpah-sumpah bahwa dia berkata sebenarnya. Juga bahwa majikannya itu baru pagi hari itu berangkat dari sana. Ditanya apakah ia mengetahui —sebagai orang dalam— bahwa majikannya itu kadang-kadang jadi

harimau, ia mati-matian mengatakan, bahwa kalau benar ia bisa begitu, maka ia belum pernah menyaksikannya dengan mata sendiri. Baru pagi itu ia mendengar cerita orang-orang. Baginya Teuku hanya manusia biasa. Memang dukun, tetapi dukun yang benar-benar dukun, bukan palsu atau gadungan yang menipu pasien-pasien yang justru sakit dan membutuhkan pertolongannya.

Ketakjuban dan rasa hormat Teuku Samalanga terhadap si manusia harimau mencapai puncaknya, ketika dilihatnya Erwin terlibat percakapan dengan seorang perwira polisi yang sudah berpangkat Mayor.

Kata Erwin: "Pak Mayor, saya kenal Teuku Samalanga. la tidak membantah bahwa dia membunuh Daud Ali. Sepanjang penilaian saya, dia melakukannya karena terpaksa, la turut mati bersama adiknya, sehingga mereka hapus dari dunia ini, atau dia membunuh laki-laki ganas itu. Dalam membela diri dan mempertahankan nyawanya tentu. Pak Mayor sudah melihat sendiri kemampuannya dan ketegaran hati di dalam dadanya, la mampu menggali kuburan dari orang yang sudah dibinasakannya karena menurut hematnya sekedar nyawa bayar nyawa tidak cukup. Daud perlu diganjar lebih berat, la telah melakukan itu. Kalau ia dikejar-kejar apalagi disiksa, saya kuatir akan terjadi hal-hal yang lebih mengerikan lagi/'

"Anda siapa dan mengapa berkata begitu kepada saya?" tanya Mayor Karnadi. Erwin menerangkan, bahwa dia sahabat dekat Teuku Samalanga dan tahu bahwa Mayor Polisi Karnadi seorang perwira yang tegas tetapi baik hati. la tidak mau sampai terjadi hal-hal yang tidak diingini atas seorang penegak hukum sebaik Karnadi yang tidak terlalu mudah dijumpai pada masa ini. Keterangan Erwin termakan oleh akal perwira itu. la memang seorang penegak hukum yang baik dan berani. Tidak pernah mundur dalam melacak penjahat yang bagaimanapun. Dan ia belum pernah gagal.

Dengan amat mengejutkan sang Mayor Polisi, Erwin: "Memang Pak Mayor belum pernah gagal. Saya tahu Pak Mayor orang berani yang tidak mau mengelak dalam mengemban kewajiban. Tetapi dalam kasus ini Pak Mayor bukan berhadapan dengan penjahat atau

manusia biasa. Saya sangat simpati pada Pak Mayor, maka saya beranikan diri berkata begitu. Bukan maksud saya mencampuri tugas dan panggilan hati Bapak. Maafkan, kalau kata-kata saya itu salah," kata Erwin dan ia pun hilang dari pandangan Mayor Polisi Karnadi. Tentu saja dia jadi sangat heran. Apakah orang ini juga semacam Teuku Samalanga yang bisa hilang dan bisa pula jadi harimau?

Sambil memutar otaknya perwira Polisi itu meneruskan pemeriksaan di rumah Teuku Samalanga. Dia mulai berpikir, jangan-jangan Teuku itu pun ada di antara mereka. Bukankah dia dapat menghilang dari tempat ia dikurung tanpa tampak oleh seorang Polisi pun yang cukup banyak jumlahnya menjaga di sana. Ataukah Teuku bisa pula meru bah mukanya atau sekurang-kurangnya membuat orang melihatnya sebagai orang lain?

Walaupun ia dukun terkenal, tidak ada barang-barang mencurigakan di rumahnya. Setengah jam kemudian Mayor itu memerintahkan anak buahnya pulang. Hanya menempatkan beberapa petugas berjaga-jaga di sana. "Kalau-kalau ia datang lagi," katanya.

Tiga petugas Polisi yang berjaga-jaga di rumah Teuku merasa tidak enak hati, kuatir kalau orang Aceh yang bisa jadi harimau itu datang lalu membunuh mereka satu demi satu. Kemudian mengeluarkan isi perut mereka sebagaimana ia telah mengeluarkan isi dada dan perut mayat yang sudah dikubur.

0odwo0

Dengan kekuatan ilmu Tuan Syekh Ibrahim Bantani, dalam waktu singkat Erwin dan Teuku Samalanga sudah berada di rumah Teuku Abidin di Jambi. Paman dan kemenakan berangkulan. Teuku Samalanga menceritakan, bahwa apa yang terjadi adalah berkat kekuatan gaib yang ada di dalam diri Erwin. Dia sendiri sudah pasrah untuk diadili. Karena dia memang telah membunuh.

"Pak" kata Erwin kepada Tuan rumah:

"Teuku Samalanga bukan membunuh atas kehendak hatinya.

Dipaksa membunuh orang telah membunuh adiknya dan akan membunuhnya pula. Tiada ayat yang menitahkan agar kita menyerahkan nyawa kita secara sukarela kepada orang yang hendak membunuh kita. Saya rasa itu bukan hanya suatu kebodohan, tetapi juga suatu dosa jika nyawa yang hanya satu diberikan kepada orang sejahat dan sejahil Daud Ali."

"Yatun menceritakan, bahwa ia melihat nak Erwin membongkar kuburan Daud lalu melakukan pembunuhan untuk kepuasan diri nak Erwin sendiri. Betulkah itu?" tanya Teuku Mahidin.

"Kalau sudah Yatun berkata begitu, tentu betullah begitu/' jawab Erwin dan Tuan rumah tidak meneruskan pertanyaan mengenai peristiwa itu. Dia semakin tahu, bahwa Erwin benar-benar sangat tinggi dalam ilmu gaib yang tak dapat diuraikan dengan hukum akal, walaupun segala kekuatan di dunia ini sebenarnya dapat diusut asal mulanya dan mengapa mampu mencapai kedahsyatan yang begitu menakut dan mengherankan.

"Sekarang apa rencana nak Erwin?" tanya Teuku Mahidin. "Kalau sudi tinggallah di sini selama belum bosan."

Erwin menerima ajakan Tuan rumah, la ingin membantu Teuku seberapa bisa, tetapi ia belum punya ijazah untuk menurunkan ilmu, sekedar menambah yang amat diperlukan Teuku Samalanga.

"Bolehkah aku mengikutmu saja Erwin. Mengembara seperti kau. Aku sudah tidak punya siapa-siapa selain pamanku ini. Kedua adikku sudah tiada," tanya Teuku. la ingat dan sangat sedih, tetapi tanpa airmata. Pada Menora yang bunuh diri karena diperkosa Husni dan pada Safinah yang dibunuh oleh suaminya yang menuduh dia melakukan perbuatan terlarang yang sama sekali tidak pernah terjadi.

"Jangan," kata Erwin. "Teuku manusia biasa yang penuh ilmu. Akan kucoba memanggil ayahku. Aku hanya makhluk tidak normal seperti yang telah Teuku ketahui."

0odwo0

LIMA

SUARA orang memberi salam membuat Teuku Mahidin pergi ke pintu depan. Dia mempersilakan tamunya masuk. Setelah orang itu di dalam, Erwin langsung menubruk dan mencium tangan.

"Amang," katanya. Dan orang itu mengelus-elus rambutnya, membuat Teuku Mahidin dan kemenakannya keheranan. Yang datang itu tak lain daripada Dja Lubuk dalam keadaan seperti manusia utuh. Jelas tua dengan misainya yang putih bersih, mata tajam menghias wajahnya yang tampan penuh wibawa.

"Inilah ayahku," kata Erwin. "Telah sejak lama kudengar kebesaran Tuan," kata Teuku Mahidin. "Pertemuan yang tidak kuduga ini sangat membahagiakan."

"Tak Tuan duga, karena aku dipanggil secara mendadak oleh anakku Erwin. Biasanya Tuan tahu apa yang akan terjadi. Walaupun Tuan tidak biasa mereklamekan diri, tetapi banyak di antara orang-orang yang mengenal nama dan ingin berkenalan dengan Tuan. Oleh karenanya aku merasa beruntung dapat berhadapan langsung dengan Tuan. Aku juga merasa berhutang budi kepada Teuku-Teuku berdua, yang telah menyukai dan menyayangi anakku. Karena kita sudah seperti satu keluarga, tak ada buruknya kalau kita bicara terbuka. Kepada Teuku Samalanga yang abang langsung almarhumah Safinah, aku menyatakan sangat bersedih atas musibah yang menimpa dirinya. Sekaligus juga menimpa diri Erwin. Sudah pernah diceritakannya tentang cintanya kepada adik Teuku, tetapi dia tidak berani berterus terang, karena kuatir akan beban hati yang akan dipikulnya. Tindakannya atas kuburan Daud Ali adalah suatu pelampiasan sakit hati yang seharusnya dapat dibendung. Tetapi tiap manusia punya kelemahannya, apalagi yang sekedar makhluk tak menentu seperti kami," kata Dja Lubuk merendahkan diri. Dan berterus terang. "Tidak kuceritakan pun Teuku Mahidin akan atau sudah tahu bahwa aku dan anakku dan ayahku semuanya hanya setengah manusia!" Mendengar ini Erwin yang akhir-akhir ini selalu mencurahkan air-mata, kembali tak dapat

membendung duka citanya, la menangis, tanpa mengeluarkan suara.

"Kuharap jangan berkata begitu. Tuan Dja Lubuk. Segala kekurangan yang pasti ada pada tiap insan yang hamba Allah pasti ada gunanya atau ada penyebabnya. Tiada lain karena Tuhan itu Maha Adjl dan Maha Penyayang. Tiada kebencian pada Tuhan, tiada sifat membalas pada Nya. Orang tidak boleh melihat suatu kenyataan hanya secara lahiriah sehingga ada manusia yang di dalam hatinya lalu menyesali Tuhan. Lalu ber emosi dengan keluh an "mana Keadilan Tuhan? Mana kasih sayang-Nya. Padahal didalam hal atau kenyataan yang menyedihkan itulah letak keadilan dan kemahapenya-yangan Allah. Orang mudah menyebut Allah, padahal sebenarnya tidak atau sangat kurang mengenal Nya. Orang mengadu dan memohon kepada N ya Kepada yang kurang atau tidak dikenal. Orang berdoa tanpa mengetahui dan memenuhi syarat-syarat dalam berdoa. Syarat-syarat itu sebenarnya mudah, tetapi orang tidak mau sungguh-sungguh mempelajarinya!" kata Teuku Mahidin yang rupanya punya ilmu mendalam tentang agama dan berusaha mendekatkan diri pada Tuhan yang pasti ada dan dapat dibuktikan tentang ada-IMya.

"Tuan, ahli agama, layak disebut guru besar," kata Dja' Lubuk. Tetapi orang Aceh itu menjawab, bahwa apa yang telah diketahui dan dikuasainya baru ibarat setitik air di telaga. Biasa, orang yang benar-benar berilmu selalu merendahkan diri. Orang yang berpengetahuan hanya secuil jugalah yang selalu ingin dipandang sebagai orang sangat pandai.

Dja Lubuk menerangkan, bahwa ia datang atas panggilan Erwin yang ingin menyelamatkan Teuku Samalanga dari penangkapan pihak yang berwajib. Erwin belum mempunyai hak untuk menurunkan apa yang dimilikinya. Dja Lubuk meminta Erwin mengantarkan sahabatnya itu ke Muara Sipongi untuk menimba sedikit ilmu dari Tuan Syekh Ibrahim Bantani.

"Tuan baik sekali," kata Teuku Mahidin sambil menyatakan, bahwa ia ingin berbuat apa saja yang mungkin dilakukannya untuk

membalas budi ayah dan anak itu.

"Bapak Dja Lubuk," kata Teuku Samalanga, 'bolehkah orang luar Mandailing menuntut ilmu untuk sewaktu-waktu diperlukan bisa berubah jadi harimau?"

Dja Lubuk tertawa. Diterangkannya, bahwa kalau sekiranya ada ilmu untuk itu, maka ia sudah pasti tidak memilikinya, la, ayahnya dan anaknya menjadi makhluk yang secara mudah dikatakan orang "manusia harimau" bukan dari mempelajarinya, tetapi menerimanya sebagai warisan turun temu run.

Teuku Mahidin memandang Erwin, lalu menge-uarkan apa yang terlintas menjadi pertanyaan di dalam hatinya. "Bagaimana dengan Erwin kelak Tuan Dja Lubuk?"

Kini manusia harimau yang bangkit dari kuburannya di Mandailing itu memandang anaknya. "Sebenarnya terserah kepada yang harus menerima warisan!"

"Ijinkan aku bertanya," kata Teuku Mahidin lagi. "Apakah itu berarti, bahwa yang jadi pewaris dapat menolak?"

Diterangkan oleh Dja Lubuk, bahwa penolakan boleh saja. Boleh jadi karena malu untuk jadi penerus, mungkin juga karena takut. Malu, karena kelainan dari manusia normal itu sama sekali bukan suatu kehormatan. Takut, karena manakala di tengah orang ramai berubah ujud, mungkin akan dikeroyok dan dibunuh oleh orang banyak. Penolakan bukan tidak ada resikonya. Bahkan sudah pasti akan ada buntutnya. Diceritakan oleh orang berilmu gaib sampai setelah kematiannya itu, bahwa sampai sekarang di perbatasan Mandailing dengan Pasaman masih ada seorang laki-laki yang mukanya persis harimau. Menakutkan. Tetap begitu, siang dan malam. Dia tidak pernah berubah rupa, tetapi menyandang muka harimau. Selebihnya manusia biasa. Dia sekolah, sampai tamat sekolah menengah tingkat pertama, la dijauhi oleh kebanyakan kawan-kawannya, karena jijik. Ada yang karena takut. Tetapi ada anak-anak bengal yang berani menyoraki dan menghinanya, karena tahu bahwa dia tidak akan melakukan perlawanan, la tahu akan

kelainan dirinya dan tahu diri pula. la menerima segala nista dan cerca. Sambutannya hanya kata-kata lembut, bahwa rupanya itu bukan buatannya. Su dah nasib maka ia jadi begitu, tetapi dia tidak akan menyusahkan siapa pun. Dan sampai ia dewasa memang Darwis tidak pernah mengganggu sesama manusia. Dan oleh kemahaadilan dan kemahasayangan Tuhan kepada hamba-Nya, Darwis pun dapat jodoh. Beristri dan sudah punya anak empat orang, ketika penulis mengunjungi dan mendengar ceritanya. Yang ada dihati penulis hanya rasa kasihan. Entah mengapa ia menolak. Andaikata dia menerima, maka ia akan jadi seperti Erwin. Belum tentu akan seperti Dja Lubuk dan Raja Tigor yang punya segudang ilmu sehingga mampu bangkit lagi setelah dikuburkan. Bukan untuk menyusahkan manusia, tetapi juga berkali-kali terpaksa mengamuk dan membunuh, karena Erwin yang anak dan cucu mereka diperlakukan tidak adil. Manakala ia dianiaya dan hendak dibunuh.

"Siapakah Tuan Syekh Ibrahim Bantani itu?" tanya Teuku Hamidin.

"Orang pintar dari Banten yang terkenal mempunyai banyak cendekiawan dibidang ilmu gaib. Meskipun ia sangat pandai, ia masih ingin mengenal dan belajar lebih banyak. Itulah yang membawanya ke Mandailing, la melihat banyak persamaan, tetapi juga banyak yang berbeda. Di sana dia belajar dan mengajar, menerima dan memberi. Ditakdirkan Tuhan dia tutup usia di sana, di sebuah kampung tak lauh dari Muara Sipongi dan dikebumikan di sana." Teuku Mahidin mengajukan rupa-rupa pertanyaan dan akhirnya meminta supaya dia juga boleh ikut ajar kepada orang hebat dari Jawa itu. "Kurasa tidak usah," kata Dja Lubuk. "Teuku sudah mempunyai sangat banyak. Bahkan mempunyai pesuruh yang anak kecil Yatun itu." Mendengar ini Teuku Mahidin merasa kagum atas kepintaran Dja Lubuk, la begitu banyak tahu. Mengetahui yang rasanya tak masuk akal akan sampai diketahuinya.

Tiba-tiba saja anak perempuan kecil yang membawa Erwin dari pinggir kota ke rumah Teuku Mahidin telah hadir di sana, mencium tangan Dja Lubuk lalu duduk bersimpuh, la tahu bahwa ia

berhadapan dengan orang-orang sangat pandai, sementara dirinya sendiri hanya seorang pesuruh yang melakukan segala apa yang diperintahkan Teuku Mahidin kepadanya. Tingkah lakunya seperti kanak-kanak biasa, sehingga bagi orang yang tidak mengenal apa dia sebetulnya pastilah akan menyangka bahwa ia tak lebih daripada seorang anak seperti anak-anak lainnya.

"Setelah Teuku bertemu dengan Tuan Syekh, insya Allah Teuku tidak akan dikenal lagi oleh hamba hukum yang ditugaskan menangkap Teuku.. Satu saja pantangnya, yang Teuku tentu selalu mengamalkannya. Jangan Takabur dan sombong. Sebab yang Maha Kuasa hanya Tuhan jua!" kata Dja Lubuk. Kepada anaknya dia berpesan untuk menyampaikan salam hormatnya kepada Tuan Syekh.

"Aku mohon diri sekarang," katanya kepada Tuan rumah lalu bangkit memberi salam, la menuju pintu, dipandangi oleh semua yang tinggal, sebab ia minta supaya jangan diantarkan. Dari jarak beberapa meter, ketika Dja Lubuk sudah tiba di ambang pintu Teuku Mahidin mohon agar manusia harimau itu sudi sesekali mampir berbincang-bincang. Dja Lubuk me-lnsya Allah kan tanpa menoleh, sebab sebaiknya ia tidak menoleh lagi. Ketika menuruni tangga ia pun raib.

Yang tinggal saling pandang. Teuku Mahidin juga yang memecah kesepian: "Ayahmu hebat sekali Erwin. Aku beruntung bisa berhadapan dengan beliau. Dan aku akan tambah beruntung lagi manakala boleh bertemu dengan kakekmu Raja Tigor!"

Di ruangan itu seperti bertiup angin, disusul oleh suara: "Sejak tadi aku hadir di sini. Mengikuti pertemuan kalian yang sangat berkesan. Pada suatu hari nanti kita bertemu Teuku Mahidin. Kini aku mau pergi menyusul anakku sebab dia pasti menunggu kedatanganku. Kami mau sama-sama kembali ke Mandailing." Terdengar langkah-langkah menuju pintu. Mereka semua tahu, bahwa itulah Raja Tigor yang oleh berbagai sebab yang hanya dia mengetahui, belum mau memperlihatkan diri. Sesuai dengan pesan ayahnya, Erwin dan leuku Samalanga berangkat sehabis magrib. Dja

Lubuk juga menyuruh mereka berjalan kaki. Tidak menumpang kendaraan, juga tidak secara gaib.

Ketika Erwin menoleh, Erwin jadi agak terkejut oleh kehadiran dua harimau mengikuti mereka. Seekor loreng dan yang lainnya hitam pekat, milik Tuan Syekh. Seolah-olah ditugaskan untuk mengawal Erwin dan sahabatnya.

Setelah menyerahkan Teuku kepada Tuan Syekh, manusia harimau itu mohon diri. Berpesan guru besar dari Jawa itu: "Ingat, masih banyak bahaya menghadangmu. Tabahkan hati, kuatkan iman. Turutkan kehendak kakimu!" Setelah mencium tangan Tuan Syekh, anak Dja Lubuk keluar dari taman impian yang hanya tampak oleh mereka yang boleh melihatnya.

Dengan sebuah bis Erwin kembali ke arah Selatan, menuju kota Bukittinggi dimana ia menginap tiga malam untuk tidur di ngarai tanpa tikar dan selimut. Sudah sejak lama ia mendengar tentang kehadiran seekor ular di sana, panjangnya melebihi li mabelas meter, sudah bertahun-tahun tidak kelihatan, tetapi menurut orang-orang yang percaya dan mungkin mengetahui masih ada di sana. Beberapa penduduk kampung Sianok dan Koto Gadang pernah didatangi dalam mimpi sekedar memberitahu bahwa ia masih bermukim di sana dan berpesan agar jangan sampai melakukan pembakaran guna menghindari akibat yang tidak akan menyenangkan. Di jaman pendudukan Jepang, jelas ada tiga orang serdadu Jepang yang turun ke ngarai itu tidak pernah kembali. Bukan karena menuruni ngarai, tetapi karena mereka turun untuk mencari si ular raksasa yang tidak mereka percayai ada di sa-na Konon terdengar beberapa banyak letusan, karena ketiga serdadu itu membawa senjata, termasuk sebuah senapan mesin ringan dan cukup banyak granat. Letupan-letupan granat juga terdengar oleh ] masyarakat di atas lembah bersungai itu. Pada ke- 1 esokan paginya ada beberapa penduduk Sianok yang masih melihat ular amat besar itu bergerak pelan ke suatu tempat di dinding ngarai, berhutan agak lebat. Kata orang hutan itu berfungsi sebagai penutup lobang yang menghubungkan ngarai dengan danau Singkarak yang terletak

indah di pinggir jalan raya antara Padangpanjang dengan Solok.

Erwin mau menghabiskan waktunya tiga ma- I lam kedinginan, karena ingin memiliki geliga yang dapat diberikan ular itu melalui ludahnya, la tahu bahwa kalau bertemu dengan ular itu mungkin ia akan tewas disamping kemungkinan binatang itu dapat dijadikan teman, karena Erwin tiada maksud buruk. Sebenarnya ia sudah tidak membutuhkan geliga yang katanya akan membuat semua musuh gentar dan tak kan berani menyusahkan dirinya. ! Dengan ilmu yang sudah dimilikinya, lebih-lebih setelah diisi lagi oleh Tuan Syekh Ibrahim Ban tani ia akan berani menghadapi siapa atau apa pun yang akan menjahilinya. Tetapi mengingat peringatan ayah, ompung dan Tuan Syekh sendiri bahwa masih sangat banyak bahaya menghadang dirinya, maka ia ingin memperkuat benteng dengan geliga yang banyak jadi sebutan itu. Dua malam menahan di ngin tanpa hasil membuat Erwin mulai hilang harapan. Tidak ada suatu tanda pun tentang kehadiran seekor ular besar di sana. Tetapi ia mau mencukupkan sampai tiga malam. Setelah itu ia akan menganggap bahwa kisah itu hanya isapan jempol. Hanya mau dijadikan dongeng kanak-kanak yang mengasyikkan.

Tetapi ketika ia pada petang hari turun ke tempatnya menanti untuk tidur malam terakhir, ia terkejut melihat tanah yang akan tenggelam seperti parit besar yang tidak seberapa dalamnya. Ranting-ranting pun banyak berpatahan. Dan parit itu panjang sekali. Dia menye lu surinya, sehingga sampai ke dinding tebing yang berhutan agak lebat itu. la mau meneruskan, karena penasaran tetapi satu suara yang amat dikenalnya, suara Syekh Bantani melarang. "Jangan kau langgar kawasannya Erwin. Yang satu ini tak terlawan olehmu dan oleh kita beramai-ramai sekali pun." Erwin mundur sementara hari sudah gelap.

Ketika ia mau merebahkan diri dengan harapan alau kalau ular itu keluar dari daerah miliknya, ia jadi terkejut sekali, karena di hadapannya jelas ada tiga orang serdadu berpakaian seperti tentara Jepang yang dilihatnya di gambar-gambar perang Asia Timur Raya. Tiba-tiba ketiga serdadu itu menjerit-jerit, lalu hilang.

Erwin hanya bisa menduga, bahwa ketiga serdadu itulah roh Jepang yang hilang tahun 1943 di sana. Badan mereka sudah berpindah ke perut ular yang menguasai kawasan itu. Barangkali ia sekedar mau memperlihatkan kebesarannya. Bagaimanapun hebatnya Jepang di waktu itu, dapat menaklukkan

Malaya, Filipina, Singapura dan Indonesia dalam waktu sangat cepat, mereka jangan coba-coba menentang dirinya.

Kekuasaannya itu memang dibuktikannya pada awal tahun 1944 ketika penguasa Jepang di sana mengirim selusin tentaranya untuk mencari ketiga serdadu yang hilang itu. Ini pun semuanya tidak kembali. Penasaran, seorang Mayor Jepang mengepalai satu pasukan lagi dengan membawa senjata berat. Yang mereka temukan duabelas mayat yang sudah hampir lumat. Tewas karena diremukkan oleh ular yang merajai ngarai itu.

0odwo0

ENAM

ERWIN merasa bahwa ia tidak akan mungkin bertemu dengan ular raksasa yang telah datang lalu pergi lagi dengan hanya meninggalkan bekas tempat ia berlalu, la sudah mendengar dan akan mematuhi seruan Tuan Syekh Ibrahim Bantani, bersiap untuk meninggalkan ngarai yang tidak mau menerima kedatangannya. Tetapi begitu ia melangkah terdengar olehnya suatu resekan dari semak-belukar yang diperkirakan menutupi lubang pertapaan sang raja ular. la memandang ke sana, rasa takut dan ingin tahu bercampur menjadi satu. Kemudian tampak olehnya dua lampu besar berwarna hijau memancarkan cahaya berkilauan. Walaupun ia tidak biasa mengenal kalah tanpa bertarung, sekali ini kakinya tidak dapat digerakkan, la terus mamandangi cahaya itu. Mata sang ular sakti, la mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, sehingga jelas tampak oleh Erwin. Seperti memperlihatkan diri. Semacam suatu show untuk Erwin bahwa cerita tentang dirinya bukan dongeng, la tidak suka kenyataan diceritakan sebagai dongeng kelak. Biar Erwin

menyampaikan kepada masyarakat sekitar, bahwa ia benar-benar ada. Dan ia memperlihatkan diri kepada sang manusia harimau, supaya makhluk itu tahu bahwa ada yang tak kalah hebatnya dari dia.

"Berilah aku sesuatu Maharaja," pinta Erwin. Untuk jadi kenangan, bahwa aku telah benar-benar bertemu dengan Tuan. Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih atas kebaikan budi Tuan ini. Maharaja." Sorot mata ular itu berubah jadi redup, tetapi tetap memancarkan sinar terang. Erwin berharap sang Maharaja mengatakan sesuatu, tetapi ular itu hanya menggelengkan kepala, mungkin sebagai isyarat mengatakan bahwa ia tidak dapat berkata-kata, karena ia bukan manusia ular. Berlainan dengan Erwin yang manusia harimau.

Pelan-pelan ia merendahkan kepalanya kembali, lalu sorotan itu pun hilang. Meskipun ular itu telah raib, Erwin tetap saja berdiri di sana, seolah-olah belum puas dengan apa yang telah nyata-nyata disaksikannya dengan mata sendiri.

Dengan langkah gontai tetapi hati puas ia berjalan, melalui batang air yang hanya sedalam mata kaki hingga lutut, la mendaki jalan, maksud hati dari atas ngarai akan ke Aur Tajungkang. Hawa dan angin yang menusuk tulang sudah tak terasa olehnya. Apakah ia satu-satunya makhluk yang pernah melihat Maharaja ular itu? Tentu tidak. Tetapi mungkin yang melihat, mati kejang karena terkejut dan takut. Serdadu-serdadu Jepang yang hilang dan bergelimpangan mayatnya di sana tentu pernah melihatnya, tetapi tak sempat membawa cerita karena tidak diberi kesempatan untuk itu.

Ketika ia melalui panorama, darimana orang pada siang hari atau terang bulan dapat menikmati ih mandangan yang indah, terdengar olehnya langkah-langkah di sampingnya. Ketika ia menoleh batulah diketahuinya bahwa ayahnya Dja Lubuk teluh berada di sampingnya.

"Kau beruntung telah melihatnya. Aku pun telah turut beruntung. Sekali ini aku menumpang mujur, karena dia sebenarnya hanya

memperlihatkan diri kepadamu. Itulah satu pertanda dan bukti igi tentang kebesaran Tuhan. Suatu bukti bahwa Tuhan mempunyai kesanggupan yang tidak terbalas. Dan hanya Dialah yang memiliki ketidakterba-tasan itu. Malaikat tidak, nabi pun tidak. Apalagi kita yang hanya makhluk-makhluk hampir tidak bermakna," kata Dja Lubuk. Selalu arif, selalu bijaksana memilih kata-kata yang paling tepat. Yang tak tersangkal kebenarannya.

"Ayah, bagaimana caranya mencari dan mendapatkan ketenangan di dalam hidup? Kadang-kadang sangat meletihkan. Rasanya tidak kuat lagi," tanya Erwin.

"Tiada ketenangan bagi siapa pun yang masih menghadapi dan turut dipengaruhi atau mempengaruhi berbagai arus di permukaan bumi ini. Sebab tiap orang terlibat di dalamnya. Maksud amang, ketenangan tanpa gangguan. Bagaimanapun kecukupan, bahkan kaya rayanya seseorang dengan keluarga yang semuanya sangat bahagia dan mencintainya pada waktu-waktu tertentu ketenangannya pasti terganggu. Entah oleh anak yang mendadak berubah tingkah. Katakanlah oleh pengaruh lingkungan. Bisa juga seorang istri setia atau suami jujur tergoda oleh orang lain, diluar perkiraannya semula. Ada suatu kekuatan yang merobohkan kesetiaan. Di antaranya termasuk iblis atau setan yang selalu pegang peranan. Sudah selalu kuceritakan kepadamu, bahwa iblis memang punya tugas untuk menggoda manusia, menguji keimanannya. Yang terkalahkan oleh iblis pasti orang yang belum kuat imannya. Itulah gunanya orang mengamalkan ajaran agamanya, di antaranya i m a n di dalam dirinya."

Erwin bertanya apakah semasa hidupnya sang ayah juga banyak mengalami ketegangan, gangguan dan penderitaan.

"Bukan hanya semasa hidup, setelah mati pun aku masih seperti ini. Orang wajar tidak seperti aku dan ompungmu. Yang tidak pernah mati hanya roh manusia. Yang namanya tubuh atau kerangka, tempat kedudukan hayat selagi masih hidup, akan habis dimakan bumi. Dia menjadi tanah, karena asalnya pun dari tanah jua. Hanya tulang-belulang yang tinggal, bisa berumur sampai

ratusan bahkan jutaan tahun. Sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisa tengkorak manusia purba dari jutaan tahun yang silam Tetapi aku tidak hanya tinggal roh. Kau lihat amangmu ini. Bisa kau raba, bisa memeluk dan dipeluk, mencium dan dicium. Bisa bicara, seolah-olah ia tidak mati, padahal ia sudah pernah mati. Apakah aku hidup kembali? Tidak, tetapi sewaktu-waktu aku bangkit dari kematian itu," kata Dja Lubuk. Tenang, jelas bagaikan uraian guru kepada murid. Dan Erwin mendengarkan dengan airmata membasahi pipi. la begitu sedih dan terharu.

"Kuteruskan tentang ketenangan yang tidak pernah abadi bagi manusia yang masih hidup. Suaml istri yang kaya raya, tidak kekurangan suatu apa pun. Dengan anak-anak yang manis. Baik rupa maupun perangai. Yang kesemuanya sangat men-i intai orang tua dan mendapatkan limpahan kasih yang tiada taranya. Pada suatu saat Tuhan memanggil salah seorang anak atau si ayah atau ibu untuk pulang, karena masanya hidup di dunia sudah berakhir. Kau dapat membayangkan, bagaimana pedih perasaan dan sedih hati orang yang diting-lialkan, yang sebenarnya tidak mau berpisah dengan yang pergi, padahal mereka semua tahu, bahwa perpisahan itu pada suatu ketika pasti datang. Itu sudah suatu kemestian karena begitulah janji Tuhan pada saat seorang insan yang hanya hamba Allah diberi kesempatan hidup di dunia. Tuhan memberinya akal, kekuatan dan kelengkapan lainnya. Tuhan menyediakan agama untuk dihayati «lan diamalkannya. Memberi janji bagi tiap hamba-Nya yang baik, bahwa ia akan mendapat imbalan indah yang abadi untuk dunia lain yang abadi."

Apa yang dijelaskan Dja Lubuk sangat meresap ke dalam hati, walaupun sebagian daripadanya bukan hal-hal yang belum diketahuinya. Terpikir olehnya, kalau yang tinggal dari orang mati hanya roh, sementara ayah dan kakeknya dapat mengun lunginya dalam wujud bernyawa dan bertubuh bia a, untuk apa kedua orang yang dicintainya itu melakukannya? Apakah karena permintaannya yang dikabulkan ataukah oleh suatu penentuan nasib yang tidak dapat diingkari. Apa yang dipikirkan Erwin diketahui oleh Dja Lubuk, sebagaimana ia dalam banyak hal dapat membaca pikiran orang,

yang juga menurun kepada anaknya itu.

"Aku bisa bangkit lagi dari kematian bukan karena aku menghendakinya. Tetapi karena penentuan. Oleh penentuan ini aku dapat menemuimu kalau perlu. Andaikata aku tidak ditakdirkan bisa bangkit lagi dalam wujud seperti sekarang tentu aku tak mungkin lagi bersua dan berkata-kata dengan kau Erwin."

"Dan menyelamatkanku dari segala bencana/' kata Erwin menambahkan, karena ayahnya sengaja tidak mau menyebutkan kenyataan itu.

Erwin diajak ayahnya kembali ke panorama yang terletak di bibir ngarai mengambil tempat duduk di sebuah bangku yang sengaja disediakan di sana bagi para pengunjung untuk menikmati keindahan alam. Dan bagi mereka yang hendak menikmati duduk berdampingan dengan kekasih di tengah suasana teramat menyenangkan yang hanya Tuhan mampu menciptakannya.

"Pada waktu menjelang fajar atau senja cantik sekali di sini, Er," kata Dja Lubuk. Seperti manusia biasa. Kalau orang melihatnya pada waktu itu, takkan ada yang mungkirynenyangka, bahwa ia manusia harimau. Lebih-lebih, tidak akan ada yang menduga bahwa ia manusia telah meninggal yang bangkit dari kuburnya. Kalaupun dikatakan demikian masih sulit mencari manusia yang mau percaya. Padahal suatu kenyataan.

"Ayah, mengapa orang-orang lain tidak bangkit lagi setelah meninggal?"

"Karena mereka tidak menyimpang dari yang wajar. Tetapi pasti ada orang-orang lain yang seperti aku dan kakekmu. Dan Datuk nan Kuniang. Begitu pula Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Sudah tentu ada lagi yang lain, yang tidak kita kenal. Mayat-mayat yang ditakdirkan bisa hidup kembali lalu bangkit dari kuburnya, mendatangi tempat atau orang-orang tertentu bukan hanya terjadi di negeri kita, tetapi juga di barat. Aku dulu mendengar cerita, bahwa kuburan Belanda tidak pernah ada hantunya. Yang berhantu hanya kuburan orang Islam. Aku heran, tetapi semula aku percaya. Ternyata itu tidak

benar, kuburan Belanda juga ada hantunya. Dalam perantauan aku pernah sampai ke kota Pangkalan Brandan. Ketika melalui kuburan Belanda, aku ingat betul malamnya malam Minggu. Kulihat ada asap mengepul dari daerah pekuburan itu. Jelas kelihatan karena hari sedang terang bulan. Juga ada suara anjing melolong panjang dari sana. Karena aku tidak lekas takut dan ingin tahu, maka aku mendekati kuburan yang sekelilingnya ditanami bambu. Memang benar dari sebuah kuburan ada keluar asap berwarna kuning yang menjulang cukup tinggi. Tidak ada api. Kucoba mencari anjing yang melolong. Tidak ada. Agak lama aku mengintai. Sampai asap itu menipis dan merendah, lalu hilang. Kupikir habis sampai sekian. Kiranya belum. Dari kuburan itu, keluar manusia. Seorang wanita bergaun putih. Mukanya pun putih seluruhnya, seputih gaun yang dikenakannya!

Erwin mendengarkan dengan penuh perhatian, walaupun ia sudah menemukan berbagai macam pengalaman yang sangat muskil di masa lalunya yang belum mencapai tiga puluh tahun.

"Amang, bahaya apa lagi yang akan menghadang diriku? Aku bukan takut, tetapi kalau boleh lebih suka hidup tanpa terlalu banyak ketegangan. Apakah tidak mungkin begitu Amang?"

"Sudah kukatakan tadi mengenai ketenangan hidup!" kata Dja Lubuk. Setelah diam sejenak ia berkata pelan, "Aku mencium peristiwa yang tidak kita harapkan Erwin."

"Oh, kau hebat orang tua," kata satu suara yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka, la bersama seorang kawannya.

"Koto, kau mencium bau aneh?" tanya yang seorang.

"Ya, aku tak tahu apakah penciuman kita sama. Tetapi aku mencium bau harimau. Apakah berani harimau datang ke sekitar sini?" Suara orang itu menyindir. Dja Lubuk dan Erwin tahu, bahwa merekalah yang disindir. Mereka yang dimaksudkan. Kata-kata itu menjelaskan, bahwa yang datang berdua itu bukan manusia seperti manusia lainnya. Paling sedikit manusia berkepandaian tinggi.

Erwin dan ayahnya diam tidak menyahuti. Mereka harap kedua

orang berilmu tinggi itu berlalu saja, karena yang sedang duduk-duduk di sana bukan orang-orang iseng yang mencari lawan.

Tiadanya sambutan membuat kedua pendatang yang berpakaian serba hitam itu malah penasaran.

"Aku rupanya salah sangka Koto," kata yang seorang, "bukan bau harimau cuma bau cirik (kotoran) kucing." Mendengar itu telinga Erwin yang duluan merasa merah. Itu suatu penghinaan. Sudah pasti. Kedua orang padat berisi ini tentu orang-orang kenamaan di lingkungan Bukittinggi, bahkan mungkin di seluruh Minangkabau. Tetapi sikap mencari musuh yang mereka perlihatkan telah merupakan pertanda, bahwa orang-orang ini juga tergolong orang yang sombong dan barangkali juga takabur.

Berkata Dja Lubuk dengan tenang, "Kami hanya menumpang duduk di tanah Tuan-tuan yang amat subur dan indah ini. Kami menyampaikan hormat kami, kami memanglah hanya sehina yang Tuan-tuan katakan. Tidaklah pantas kami kecil dan hina ini menjadi lawan Tuan-tuan!"

Yang dipanggil dengan Koto menyambut Tuek, orang-orang ini menyindir kita. Pura-pura merendahkan diri, tetapi sebenarnya menantang dengan cara mereka. Mereka masuk tanah kita tanpa ijin, kurang ajar pula, apakah kita biarkan mereka pergi tanpa suatu cenderamata?" Tanpa menunggu jawaban si Datuek (datuk). Koto melompat dengan kaki melayang di udara menuju muka Dja Lubuk. Suara celananya yang berselengkang lebar khas jago-jago pencak dan silat Minang memecah kesepian. Kasihan, maksudnya tidak kesampaian. Tanpa menggeser duduk. Lubuk mengangkat tangan kanannya menolak tendangan maut yang ditujukan pada dirinya. Karena sambutan ini tidak disangka sama sekali oleh Koto, maka terkejut dan terjengkang ke belakang. Tetapi tidak terhempas, la putar badan ke arah kiri, tangan kanan menyentuh tanah dengan sangat ringannya dan tubuhnya sudah berdiri tegak lagi, siap untuk serangan kedua.

"Inyo barani malawan Tuek. Rupo-ruponyo ngarai mananti bangkai!" kata Koto dengan sombong, tetapi sudah menilai agak lain

terhadap orang yang dikatakannya akan jadi bangkai guna makanan ngarai.

0odwo0

TUJUH

KOTO bersiap dengan kedua kaki d ipentangkan lebar tetapi sebagai terpaku di bumi dan berkata lantang, "Apa lagi, berdirilah. Lebih terhormat tewas dalam bertarung daripada mati konyol indak malawan," Koto mencampur aduk bahasa Indonesia dengan dialek daerahnya.

"Jangan, Tuan," kata Dja Lubuk lembut. "Kami kemari untuk menikmati alam Tuan yang milik Allah, bukan hendak mengadu nyawa. Tuan lihat, aku sudah terlalu tua sementara anakku ini masih terlalu hijau bagi Tuan-tuan!"

Tetapi kata-kata halus ajakan damai tidak menggugah hati Koto dan Datuk untuk mengurungkan maksud. Malah Koto berkata keras, "Kucing busuk. Kok indak ka malawan kan tidak menepis tendanganku!"

"Tapi Tuan sendiri mengatakan, bahwa yang begitu namanya mati konyol yang sangat hina!" sahut Dja Lubuk. Tidak kasar, tetapi dengan suara datar. Tidak lagi selembut tadi.

"Kok baitu, malawan namonyo. Indak salah den lai," hardik Koto yang menuduh Dja Lubuk melawan dan tidak salahnya lagi bertindak.

Tetapi apa yang tidak diduga Koto, Datuk, dan bahkan Dja Lubuk telah terjadi dalam waktu kurang dari sepersepuluh detik. Erwin melompat tanpa mengambil ancang-ancang dan tendangannya telak mengenai muka Koto yang sedang bersiap untuk menyerang Dja Lubuk. Tidak ada waktu untuk mengelak, bahkan tidak mendapat waktu untuk melakukan gerakan refleks bagi seorang sangat ka wakan semacam dia. la terjungkal dan kali ini jatuh erdebab dengan punggung terhempas. Bukan hanya dia, Datuk pun terkejut. Anak

yang dikatakan ayahnya masih hijau itu ternyata tidak sehijau yang diakui. Tetapi bagaimanapun kagetnya tentu saja orang sehebat Datuk tidak akan jadi surut langkah olehnya, la langsung menyerang Erwin. Dan pukulan pertamanya tepat mengenai dada kanan manusia harimau muda itu.

"Biar pun waang harimau sati, aden indak gan-ta," katanya setelah melihat Erwin termundur beberapa langkah, la langsung memukul bertubi-tubi, ada yang kena, ada pula yang ditepiskan oleh anak Dja Lubuk. Bahkan ada pukulan Erwin yang masuk ke rusuk dan muka Datuk garang itu.

Koto yang belum bebas dari kagetnya bersiap memperhatikan Dja Lubuk yang juga hanya sebagai penonton saja duduk di bangku. Dia tidak berkata, tidak tegang, hanya matanya memandangi Koto dengan dingin, sedingin hawa menjelang subuh itulah.

Pertarungan antara Erwin dengan Datuk bertambah sengit, sebab Datuk pun ternyata bukan hanya besar omong melainkan juga besar tenaga. Kecepatan tangan dan kakinya tak kan mungkin terkalahkan oleh pesilat Cina mana pun juga, walaupun film-film unjuk hebat Cina bisa membuat orang biasa merasa minder dalam adu tenaga. Erwin kewalahan. Lebih berat menghadapi Datuk daripada bertempur dengan Ki Ampuh di masa-masa lalu.

"Datuk hebat sekali' kata Lubuk memuji dengan hati tulus. Tetapi dia juga senang melihat anaknya dapat lawan tangguh. Dari orang semacam Datuklah didapat pengalaman dan kemudian mengukur diri. Sudah dapat menyamai, masih di bawah atau sudah mampu mengatasi. Itulah yang ingin diketahui oleh Dja Lubuk. Makhluk yang hidup dua kali itu melihat jelas, bahwa kedua petarung itu mempunyai tekad yang sama. Keluar sebagai pemenang. Yang satu menyadari, bahwa ia dan ayahnya akan dilempar, ke ngarai kalau sampai kalah. Yang lainnya akan merasa sangat malu dan hina kalau ditumbangkan di negeri sendiri, apalagi tadi sudah mengeluarkan/kata-kata yang begitu sombong dan angkuh.

Berkata Dja Lubuk kepada Koto yang belum bergerak memulai serangan baru, apakah dia mau mencoba permainan beberapa jurus

dengan dia yang sudah tua renta. Jagoan dari dataran Minang itu merasa ditantang, suatu kepantangan bagi tiap pasilek kawakan untuk menolak.

"Sebenarnya aku kasihan kepadamu harimau bersemangat kucing, tetapi ibarat orang mengaji yang harus sampai tamat, maka aku juga akan menyudahi apa yang tadi sudah kumulai. Tetapi sebelum kau dan anakmu menemui ajal di bumi kami, aku ingin tahu, apakah yang membawa kalian sampai kemari?"

"Menemui Maharaja Ular Sakti di ngarai kalian ini," jawab Dja Lubuk.

Koto merasa aneh mendengar, la hanya mengetahui, bahwa ular raksasa itu hanya semacam dongeng, tak ada orang yang pernah bertemu berhadap-hadapan.

Kata Dja Lubuk "Tuan tentu ingin tahu, apakah kami bertemu. Malu bertanya gelap di berita. Tuan garang. Biarlah kukatakan. Kami telah bertemu. Itulah yang dinamakan rejeki. Tuah dan untung elok berada di pihak kami! Mata beliau seperti lampu mobil menyala terang, tetapi berwarna hijau berkilauan. Kalau kalian pergi ke bawah, barangkali masih akan melihat bekas tempat beliau lalu!"

Hati Koto goncang. Belum ada pendekar Minang yang berhasil bertemu, walaupun telah beberapa banyak mencobanya. Itulah makanya memandang kisah itu hanya sebagai dongeng. Kini orang luar datang dan langsung berjumpa. Kalau si tua yang harimau ini tidak berdusta, pastilah dia orang luar biasa. Di dalam hati Koto mengakui, patutlah serangan pertamanya tadi sama sekali tidak mengejutkannya dan bahkan menepiskannya dengan satu tolakan ringan saja.

Dja Lubuk berdiri, tidak mengambil gaya seperti akan bertempur. Dia hanya berdiri tenang, menanti apa yang akan datang.

"Bersiaplah hai harimau berupa manusia," kata Koto.

"Kau hebat. Tuan Koto. Sejak mula tiba tadi kalian telah menyindir kami sebagai harimau. Itu tandanya kalian orang-orang

luar biasa. Apa yang Tuan-tuan katakan memang benar. Tanda pintar tetapi juga tanda kejam. Bukan kehendak kami menjadi begini, tetapi nasib jualah yang menentukannya. Adakah manusia dapat mengelak dari nasib yang sudah ditentukan baginya? Melebihi nabi, melebihi malaikat, melebihi wali Allah?"

Mendengar Dja Lubuk menyebut nama Allah, Koto jadi bingung, la tidak menyangka, bahwa makhluk-makhluk yang manusia harimau ini dapat begitu pandai bicara mengenai insan dan Tuhan.

"Serangan Tuan Koto, aku sudah siap!" pinta Dja Lubuk.

"Sudah siap?" tanya Koto heran.

"Sudah sejak tadi. Atau salahkah caraku ini?" tanya Dja Lubuk yang sangat terasa merupakan ejekan bagi Koto.

Koto melompat tinggi, hampir tiga meter di udara, tetapi ia berbalik lagi tanpa menyerang. Dia heran melihat Dja Lubuk tidak mengubah posisi, seperti tahu, bahwa lompatannya itu hanya sebagai suatu manuvre belaka. Tadinya dia mengharapkan Dja Lubuk akan mengambil sikap menyambut atau menyerang. Kiranya ia bertenang-tenang saja tiada beranjak dari tempatnya berdiri. Rupanya orang ini tidak memerlukan persiapan.

Koto bergerak dengan langkah mundur sampai sejauh enam meter dari Dja Lubuk. Kali ini ia berkata, "Aku akan benar-benar menyerang, bersiaplah harimau." Tetapi Dja Lubuk tetap saja tidak mengadakan persiapan. Seperti meremehkan peringatan dari orang gagah itu. Tubuh Koto melayang di udara, gayanya seperti s/ow motion. Dja Lubuk menekuk lututnya sedikit, kemudian mengangkat tubuh, bagaikan terbang vertikal tak kurang dari enam meter di atas bumi. Di ketinggian itu ia membalik lalu menerkam Koto yang sudah siap menantikannya di bawah. Koto tidak percaya pada matanya, tetapi mata itu juga belum pernah menipu dirinya. Yang turun menuju dirinya bukan lagi si orang tua tetapi sudah harimau besar dengan kepala orang tua itu. Ini tidak masuk akal. Yang diketahuinya, manusia itu bisa berubah jadi harimau. Semacam jadi-jadian atau cindaku. Bukan manusia dengan tubuh harimau.

Oleh kejut dan heran, Koto tidak ingat untuk menghindar.

"Matilah aku sekali ini," pikir Koto yang sudah pasrah kepada nasib. Tetapi Dja Lubuk tidak menerkam dengan kedua kaki depannya yang pasti akan mampu mengoyak-ngoyak dan menamatkan riwayat Koto. la hanya berdiri di hadapan pendekar itu dengan membentangkan kedua tangannya.

"Keadaanku ini bukan kemauanku. Tuan," kata Dja Lubuk kembali dengan kata-kata lembut, yang kian membingungkan tetapi juga serta merta membuat pendekar itu bersedih. Makhluk ini dapat membunuhnya, tidak membunuh. Dapat berkata kasar, tetapi justru bicara dengan lembut.

Seperti ada kekuatan yang memerintah, Koto menjatuhkan diri menyusun kesepuluh jari tanda mengaku salah dan mohon ampun.

Erwin dengan Datuk masih bertarung.

"Tampar kepalanya dengan tangan kirimu, Erwin," kata Dja Lubuk. Melaksanakan tidak semudah memberi perintah. Setelah bertarung beberapa lama lagi, barulah Erwin mampu memukul kepala Datuk dengan tamparan tangan kiri. Dan pesilek kawakan itu serta merta jatuh. Pemandangan gelap dan kepala pusing. Rupanya letak kelemahan sang pendekar di pipi kanan dan harus dipukul dengan tangan kiri.

Datuk terkejut melihat Koto telah menyusun sembah. Hatinya panas. Mengapa pula si pengecut ini mengaku kalah. "Bangkit Koto, bunuh dia!"

"Ampun Datuk," kata Koto. "Beliau bukan mencari lawan." Kini Datuk memandang ke Dja Lubuk. Baru sekarang pula ia melihat yang tidak pernah diduganya. Sama sebagaimana Koto juga tidak menduga. Harimau besar itu mempunyai kepala manusia. Bukan sekedar harimau, seperti yang banyak terdapat di beberapa tempat. Terutama sekali di daerah Kerinci.

Erwin mendekati ayahnya. Mereka memandang Koto dan Datuk. Bukan dengan muka garang. Sekarang Datuk juga merasa, bahwa

benar-benarlah kedua pendatang yang sangat aneh itu bukan mencari lawan. Dan sama sekali tidak punya maksud buruk. Tidak pula pendendam. Kalau mau, mereka dapat membinasakan diri Koto dan Datuk tanpa mengeluarkan banyak tenaga lagi. Hanya tinggal pukulan-pukulan terakhir. Akan jadi mayatlah mereka di sana.

Akal sehat mendapat kemenangan dalam diri Datuk, la pun menyusun jari lalu memberi hormat Kini Dja Lubuk dan Erwin juga memberi hormat dengan cara yang sama. Kedua orang kawakan Minang itu kian kagum. Sudah banyak pengalaman mereka di dalam pertempuran. Di berbagai medan laga. Yang sengaja diatur sebagai tempat mengukur kekuatan antar pendekar-pendekar daerah atau di tempat-tempat yang oleh keadaan terpaksa dijadikan medan laga. Yang begitu hanya terjadi kalau dua orang atau kelompok yang bermusuhan tiba-tiba bertemu dan sama-sama hendak memperlihatkan keunggulan masing-masing. Datuk dan Koto sudah banyak sekali berhadapan dengan lawan. Secara persahabatan guna menambah pengalaman masing-masing, sekaligus menilai siapa yang lebih unggul. Berkali-kali pula sudah bertarung dengan kelompok yang memang bermusuhan dengan mereka. Tidak selalu mereka menang. Dan kalau kalah, mereka mendapat perlakuan yang amat menjatuhkan martabat mereka. Senjata mesti diserahkan, begitu pula destar yang merupakan mahkota di kepala tiap pesilat.

"Kami mohon maaf, telah bersikap tidak sopan terhadap Tuan-tuan yang seharusnya kami perlakukan sebagai tamu," kata Datuk. Kesadaran dan sportivitasnya masih boleh dipuji.

"Kesalahpahaman biasa terjadi di antara orang-orang yang belum saling kenal," kata Dja Lubuk yang berubah kembali jadi manusia. "Lagi pula Tuan-tuan hanya menjaga agar negeri Tuan-tuan jangan sampai dinodai oleh pendatang-pendatang yang hendak merusak!" Kata-kata Dja Lubuk kian menambah rasa malu pada Koto dan Datuk. Belum pernah mereka bertemu dengan makhluk-makhluk yang mempunyai hati serendah ini.

"Sudikah Tuan-tuan menerima kami sebagai murid? Kami ini

orang-orang kasar yang masih harus banyak belajar. Belajar adat dan belajar ilmu!" kata Datuk. Tetapi sebagai biasa, Dja Lubuk menolak dengan mengatakan, bahwa ia bukan guru. la dan anaknya hanya petualang-petualang yang bernasib malang.

"Apakah yang Tuan-tuan tuntut dari kami? Kami wajib membayar hutang." Datuk dan Koto menyangka, bahwa sekurang-kurangnya Dja Lubuk akan meminta destar dan pisau yang selalu terselip di pinggang. Yang sudah biasa dibasahi oleh darah lawan-lawan mereka yang ditundukkan. Mungkin meminta supaya mereka menanggalkan seluruh pakaian. Hanya boleh bercelana dalam saja. Supaya semua orang tahu, apa yang telah terjadi atas diri mereka.

"Tak ada yang kami pinta. Kami bersyukur, di antara kita tidak sampai terjadi pertikaian yang berkepanjangan. Betapa sayang, kalau sampai ada di antara kita yang harus berpisah dengan nyawa. Kami hanya mohon ijin untuk diperkenankan meneruskan perjalanan kami!" kata Dja Lubuk.

Mendengar ini kedua pendekar yang malu, bingung dan amat terharu itu secara bersamaan menyalam Dja Lubuk dan anaknya.

"Tuan, limpahkanlah sedikit sifat mulia yang ada pada diri Tuan-tuan, supaya kami mulai kini dijauhkan dari kesombongan dan keangkuhan!" kata Datuk dan Koto.

Dja Lubuk memegang tangan anaknya. Datuk dan Koto terkejut heran, karena keduanya mendadak hilang dari pandangan. Sesungguhnya mereka hanya pergi meneruskan perjalanan.

"Kau harus menemui Mei Lan, anakku. Kau telah berjanji kepadanya," kata Dja Lubuk. "Dia tidak akan tentram sebelum melihat kau kembali."

0odwo0

DELAPAN

LENYAPNYA Dja Lubuk dan anaknya, bukan hanya

mengherankan, tetapi sangat mengecewakan Datuk dan Koto. Sikap para tamu yang begitu lembut dan pemaaf terhadap mereka yang mulanya sangat sombong, kasar dan angkuh telah membuat kedua pendekar itu merasa sangat berhutang budi. Bukan hanya nyawa mereka dibiarkan utuh menunggui diri, tetapi secara langsung mereka mendapat pelajaran bagaimana sebaiknya sifat dan kelakuan insan-insan yang kesemuanya sama-sama hamba Allah di permukaan bumi ini.

"Kita harus menemukan beliau-beliau Koto," kata Datuk, "walaupun kita terpaksa keluar dari daerah ini. Tidak selesai kalau kita tidak mendapat tanggapan. Kita tadi mohon limpahan sifat-sifat yang baik. Beliau pasti akan memenuhinya, tetapi tentu tidak dengan cara semudah itu!"

Tiap manusia, siapa pun dia ada kelebihan dan ada pula kekurangannya. Begitulah Koto dan Datuk yang seperguruan pada seorang guru yang dikenal sakti di daerah Bukit Apit punya pula beberapa ilmu yang tidak semua orang pandai memiliki.

Sambil menengadahkan kedua belah tangannya dan menyebut nama gurunya "Inyiek Jambang," Koto membaca mantera sambil mengikutkan gerak kaki sesuai kehendak kaki itu sendiri.

"Beliau-beliau tidak kelihatan, tetapi masih ada di sekitar sini. Setidak-tidaknya belum jauh. Kau cium?" tanya Datuk yang juga membaca mantera seperti rekannya. Memang benar, sebagaimana ketika baru tiba tadi mereka mencium bau harimau, kini pun mereka mencium bau itu kembali. Dan kehebatan mereka mencium diimbangi oleh hadirnya kembali Dja Lubuk dan Erwin sambil bertanya:

“Kupuji ketajaman hidung Tuan-tuan. Tetapi mengapa Tuan-tuan begitu ingin bertemu kembali dengan kami?"

Sesuai adat, kedua pendekar terkenal kawakan itu mengatur sembah sambil berkata: "Kami tadi telah berlaku kurang ajar. Tetapi Inyiek sangat ber-murah hati, begitu juga anak Inyiek. Bolehkah kami mengetahui nama Inyiek yang mulia?"

Dja Lubuk juga mengatur jari tanda membalas hormat. Jawabnya: "Jangan sebut aku dengan yang mulia. Sebab aku dan keturunanku semua bukan orang mulia. Kami hanya dusun tak bermakna dengan nasib serupa ini pula!"

"Maafkan kami Inyiek. Bagi kami kemuliaan seseorang tidaklah selalu terletak pada keturunan, melainkan dan terutama pada sifatnya. Sifat-sifat itu ada pada Inyiek dan sukar didapat pada kebanyakan orang yang dianggap mulia karena darah dan keturunan!" kata Datuk.

Dja Lubuk tertawa. dia bisa menerima tafsir kata mulia para pendekar Minang itu. Dalam hati ia bersyukur, bahwa orang-orang ini tidak terlalu buruk. Yang mau melihat dan mengakui kesalahan atau kesilapan masih termasuk orang baik dan mungkin akan menjadi orang yang sangat baik di kelak kemudian hari.

"Apa yang dapat kulakukan untuk Tuan-tuan?" tanya Dja Lubuk.

"Berilah kami ijin mengikuti perjalanan Inyiek selama tujuh hari. Limpahkan apa yang boleh disedekahkan kepada kami yang masih amat bodoh ini!" kata Datuk merendah.

"Mengikuti aku, walaupun hanya sehari berarti berjalan dengan makhluk yang sudah mati!" sahut Dja Lubuk. Kedua pasilek itu tampak tak percaya.

"Cuma ditakdirkan aku sewaktu-waktu bangkit kembali. Bukan untuk menyusahkan orang," dan tanpa ditanya Dja Lubuk menerangkan lagi: "Untuk anakku ini. Yang dalam hidupnya selalu dilanda badai, walaupun ia selalu berusaha mengelakkannya. Itulah yang dinamakan nasib. Tapi jangan kalian pikir anakku ini pun sudah pernah mati pula, la hampir sama dengan Tuan-tuan!"

"Maksud Inyiek, kalau kami boleh batanyo?" kata Koto.

"Dia tidak sesempurna kalian!" "Kami jadi semakin tidak paham. Sudilah Inyiek menjelaskan," pinta Datuk.

"Tak penting. Kalian manusia sempurna. Anakku tidak. Kalian telah melihat aku tadi," kata Dja Lubuk. Tanpa dia memandang ke

bumi. Terharu. Kedua pendekar itu kira-kira mengerti, walaupun belum yakin betul, apakah tafsiran mereka benar.

Dan mereka tidak berani bertanya lagi mengenai Errwin. Akan tidak sopan. Bisa melukai hati orang-orang budiman itu.

Tetapi Koto beralih ke hal lain. "Kami yang masih bodoh akan bahagia sekali kalau boleh mengetahui nama Inyiek. Untuk kami sebut manakala kami terjepit!" Dia berterus terang, walaupun Dja Lubuk sama sekali tidak pernah menggambarkan bahwa ia akan sudi membantu kalau dibutuhkan.

"Tuan bijak bersari. Seperti semua cendekiawan Minang. Bijak-bijak dalam berkata, bijaksana dalam berbuat!" kata Dja Lubuk, sementara Erwin sejak tadi hanya mendengarkan. Diam-diam dia belajar mengenai sifat pendekar daerah ini. Yang bisa beringas, tetapi juga bisa memulihkan keadaan kembali.

"Kami tidak bijak Inyiek. Kalau kami bijaksana tidak akan terjadi sengketa yang seharusnya tidak pernah ada. Itulah bukti bahwa kami masih bodoh. Ceroboh dalam kata, ceroboh pula dalam perbuatan!"

Dja Lubuk menyebutkan namanya. Juga nama anaknya yang amat sederhana itu. Pendekar-pendekar Minang itu pun menyebutkan nama. Datuk nan Budiman dan Bahar Sutan Mangkuto.

Ketika Koto dan Datuk mengatakan siapa guru mereka. Dja Lubuk mengangguk-anggukkan kepala sambil menerangkan, bahwa dia selalu mendengar nama besar yang terkenal sampai ke Mandailing itu. "Beliau orang saleh," kata Dja Lubuk. "Tak pernah mencederai sesamanya. Nyamuk yang menggigit dihalaunya dengan hembusan. Tidak sampai hati beliau membunuh!"

Apa yang dikatakan Dja Lubuk memang benar. Begitulah sifat-sifat Inyiek Jambang yang sudah tiada, «tetapi selalu jadi sebutan. Secara gaib dan tidak sesuai dengan hukum logika biasa, mendadak berdirilah di sana seorang berpostur tinggi, janggut putih panjang dengan misai lebat melengkung ke bawah, sama dengan misai Dja

Lubuk. Pipinya agak cekung matanya tidak garang tetapi memancarkan sinar yang membuat manusia biasa tak mampu menentangnya, la berbaju teluk belanga putih dengan celana model pesilat berwarna hitam, kain sarung Bugis tersilang dari bahu kanan ke pinggul kiri. Di kepalanya yang kenal dengan pisau cukur kalau agak panjang sebuah songkok model Aceh yang hanya tampak ujungnya karena dibalut pula dengan sebuah handuk besar yang selalu putih bersih dan tanpa setitik noda pun.

Dja Lubuk dan Erwin sendiri yang punya begitu banyak ilmu pun tak bebas dari rasa terkejut. Dja Lubuk dan Inyiek Jambang berpandangan, sama-sama tersenyum dan bersalaman. Dua insan yang telah meninggal berjumpa seperti dua orang biasa yang masih hidup normal. Tetapi di antara keduanya toh ada perbedaan yang tidak sedikit, namun tak terlihat oleh mata kasar. Kalau Inyiek Jambang merasakan tangan yang tak ubahnya tangan manusia hidup, dapat dipegang, dapat diraba maka yang demikian tidak dirasa oleh Dja Lubuk, la melihat dan menjabat tangan guru sakti Bukit Apit itu, tetapi tidak merasa apa-apa.

"Memang kita tak sama Dja Lubuk. Tetapi hati kita tak berbeda. Dja Lubuk bangkit dalam ujud seperti dulu karena ananda yang amat dicintai. Aku tidak dapat seperti itu. Tetapi ada satu hal yang tak berbeda. Aku pun mencintai tiap hamba Allah. Ingin kedamaian dan ketentraman di antara semua manusia. Tetapi keinginan kita tidak akan tercapai ama manusia masih mempunyai hati sirik, serakah dan tidak sudi menerima kebenaran!" kata Inyiek Jambang.

Lama mereka berbeka-beka, tentang dunia yang fana dan dunia lain yang baqa. Inyiek Jambang juga berkata, bahwa Erwin banyak menderita rli dalam hidupnya, masih banyak lagi tantangan yang menghadangnya. Tetapi Erwin telah dan masih akan banyak menyelamatkan manusia, la meletakkan tangannya di atas kepala Erwin. Terasa dingin. Memang lain dengan elusan tangan ayahnya.

Lalu kepada Dja Lubuk ia meminta agar suka memberi sesuatu, apa saja, untuk kedua muridnya Datuk dan Koto. Pelajaran yang diberikan Dja Lubuk dengan kata-kata dan cara menghadapi mereka

telah merubah mereka jadi orang-orang yang tidak lagi akan seburuk tadinya. Merasa setaraf dengan guru besar sakti itu Dja Lubuk menerima.

Erwin mencium tangan Inyiek Jambang, walaupun ia tidak merasa menyentuh sesuatu dan memohon sesuatu yang dapat dikaruniakan kepadanya.

"Kau sudah mempunyai banyak Nak," kata Inyiek. "Sebenarnya tak ada yang luar biasa padaku untuk diturunkan kepadamu, walaupun aku suka sekali untuk memenuhi keinginanmu. Tetapi aku mempunyai ini sekedar untuk kenang-kenangan bahwa kau kupandang sebagai cucuku. Cucu orang tua yang pernah ada di tanah Minang ini," lalu Inyiek Jambang memberi Erwin sebuah tasbih.

la mengucapkan selamat jalan kepada Dja Lubuk dan Erwin dengan permohonan untuk bersedia disertai oleh kedua muridnya.

Lalu berjalanlah kedua manusia harimau dan kedua pendekar itu.

"Kami akan ke Palembang," kata Dja Lubuk yang menambahkan bahwa ia tidak akan turut sampai ke kota itu. Mengantar Erwin ke perbatasan.

"Ijinkanlah kami turut Tuan," pinta Datuk dan Mangkuto.

Dja Lubuk mengangguk dengan menerangkan, bahwa mereka hanya akan berjalan kaki dan itu cukup jauh. Tetapi kedua pendekar itu, walaupun heran mendengar, tetap mau ikut. Sekaligus apakah mereka dapat menyamai Dja Lubuk dan anaknya ataukah nanti manusia harimau Mandailing itu akan memperlihatkan hal-hal baru yang belum dapat mereka ramalkan.

Mereka mengambil jalan pintas sehingga dalam tempo tidak lama tiba di Solok lalu menuju Sawah Lunto. Dalam perjalanan di daerah yang cukup banyak binatang buasnya inilah, Koto dan Datuk mempersaksikan apa yang belum mereka lihat. Beberapa kali mereka bertemu dengan harimau dewasa yang besar yang mengejutkan dan mengecilkan semangat Koto dan Datuk, karena

mereka tidak dipersiapkan guru untuk menghadapi harimau, walaupun mereka punya kepandaian pencak dan silat yang sangat tinggi. Anehnya tidak ada satu pun dari harimau itu yang menunjukkan amarah apalagi tanda-tanda mau menerkam. Mereka menyingkir, memberi jalan kepada Dja Lubuk yang jalan di depan. Ada di antaranya yang sujud memberi hormat.

Dalam hati Koto dan Datuk timbul keinginan amat besar untuk nanti mohon diberi ilmu penunduk harimau kepada Dja Lubuk atau anaknya Erwin. Tetapi tatkala pikiran itu timbul, mendadak mereka semua mendengar geram seekor harimau. Hanya geramnya, sang raja rimba tidak menampakkan diri.

Mereka semua yakin, bahwa tidak akan terjadi suatu apa pun, karena dua orang yang ditakuti harimau telah memperlihatkan kelebihan mereka. Dja Lubuk dan Erwin sendiri pun tidak kuatir. Juga tidak ada firasat.

Tetapi tiba-tiba harimau itu menggeram lebih keras, entah apa maksudnya. Melawan kekuatan Dja Lubuk yang gaib atau meminta supaya mereka jangan melewati kawasannya. Tetapi mereka hanya mau lalu, tidak punya niat lain.

Tiba-tiba harimau yang hampir sebesar lembu dewasa itu memperlihatkan diri. Belum pernah Dja Lubuk dan Erwin apalagi kedua kawan mereka melihat raja hutan sebesar itu.

la tidak tunduk oleh tatapan Dja Lubuk. Di situ manusia harimau itu mengetahui, bahwa harimau ini bukan harimau biasa. Bahkan barangkali bukan piaraan seseorang. Untuk pertama kali selama riwayat hidup dan setelah matinya Dja Lubuk merasa apa pun yang dihadapinya ini, punya sesuatu di dalam dirinya yang membuat dia merasa kuat kuasa dan tidak mau tunduk kepada siapa pun yang punya kekuatan melemahkan semangat perlawanannya.

"Kami hanya menumpang lewat, mengambil jalan pintas," kata Dja Lubuk, seperti biasanya lembut karena tidak ingin mencari lawan. Harimau itu mendengus keras. Matanya tetap memandang lurus ke mata Dja Lubuk, sehingga orang asal Tapanuli itu kian

menyadari bahwa ia berhadapan dengan harimau yang ingin bertarung. Mau menguji kekuatan sampai dimana benarkah kehebatan orang Mandailing yang berani masuk kawasannya itu. Yang sudah menundukkan dua pendekar dan bersahabat dengan Inyiek Jambang. Dia belum dikalahkan dan dia tidak sebersahabat Inyiek Jambang.

Mendadak harimau sangat besar itu bergerak ke arah kanan, melewati Dja Lubuk yang berdiri tenang di tempatnya. Kini raja rimba itu menghadapi dua pendekar bersama Erwin. Mungkin ia mau memilih lawan yang tidak sekeras Dja Lubuk dulu. la menatap Erwin yang juga menujukan matanya ke si harimau. Tetapi ia segera merasa, bahwa sinar si punya kawasan lebih kuat. Harimau itu bersiap-siap untuk menerkam. Koto dan Datuk tidak dapat melawan rasa cemas. Jelas yang seekor atau yang satu ini lain. Menantang. Harimau melompat seakan-akan hendak menerkam Erwin, tetapi di udara ia merubah sasaran, menuju Datuk, yang mungkin diketahuinya tidak punya kekuatan khusus terhadap dirinya. Tetapi mata Erwin secepat kilat menangkap rubah gerakan, la menghadang, melindungi Datuk, sehingga harimau yang lihay itu terbentur pada pukulan Erwin. Raja rimba itu tidak terpental. Erwin lah yang terjangkang ke belakang. Hanya bisa cepat mengelakkan kuku-kuku sang raja dengan menggerakkan tubuhnya ke arah kiri. Terkaman yang meleset ini membuat si raja hutan kian marah, la menyerang lagi, kali ini Koto yang dijadikan sasaran. Pendekar itu terpekik, tetapi ia masih luput dari maut. Juga karena Erwin cepat mengambil tindakan, la menangkap kaki harimau yang sedang menerkam ke arah Koto. Kaki itu dipelintir dan ditarik Erwin sekuat tenaga, membuat binatang ganas dan sangat kuat itu menggeram karena menjadi kian marah. Dja Lubuk hanya memperhatikan. Mau melihat sampai dimana kemampuan anaknya. Kekuatan makhluk-makhluk perkasa selalu dicoba oleh yang merasa lebih kuat.

0odwo0

SEMBILAN

DJA LUBUK berpikir, siapakah kiranya yang punya harimau ini. Ataukah dia seseorang yang oleh suatu sumpah atau kutukan menjadi harimau penuh di luar kemauannya. Apakah dia ini pun nanti akan berbalik punya sikap bersahabat seperti Datuk dan Koto yang pada mulanya menyerang dia dan anaknya, karena dianggap punya keberanian masuk ke kawasan mereka tanpa minta ijin mereka terlebih dahulu? Tetapi Datuk dan Koto akhirnya jadi sahabat karena mereka tak kuasa melawan Dja Lubuk dan Erwin. Apakah ia dan anaknya dapat mengalahkan penguasa daerah ini? Belum tentu. Bukan saja belum tentu dapat dikalahkan. Kemungkinan mereka tidak akan keluar dari tempat ini juga ada. Tak ada yang punya kekuatan tak terbatas di dunia ini, siapa atau apa pun. Sebab, yang mempunyai tenaga tanpa ada batasnya hanya

DIA Yang Satu.

Harimau itu marah sekali. Dia pasti telah selalu bertarung dengan sesamanya untuk menentukan siapa yang raja. Boleh jadi pula dengan orang-orang gagah yang berani melanggar kekuasaannya. Ataukah dia kadang-kadang masuk kampung untuk mengadu tenaga dengan yang dinamakan jago harimau-harimau pilihan punya kebiasaan mengintip orang berlatih atau berguru silat. Melihat cara dan gaya mereka menyerang serta mengelakkannya. Harimau yang pintar sangat mengetahui, bahwa kalau ia sampai berhadapan dengan pandai silat kawakan, maka ia benar-benar harus punya ilmu pula. Mereka tahu, bahwa pandai silek yang punya semangat tinggi, tidak mudah dikalahkan. Mereka bisa meletihkan harimau dengan kepintarannya mengelakkan serangan. Kalau harimau letih kian marah, maka serangannya sudah tidak teratur lagi. Jika sudah sampai begitu, maka terbukalah kesempatan bagi si pendekar untuk membunuhnya dengan pisau yang tak pernah tertinggal di rumah atau di gelanggang. Jantungnya akan tembus atau sepanjang perutnya akan robek. Kalau sampai begitu, maka betapa besar pun kekuatannya, ia akan tewas. Kematian harimau besar oleh keunggulan seorang anak manusia akan menjatuhkan citra raja rimba. Akan berkurang rasa segan manusia kepada mereka.

Selama dia berhadapan dengan lawan, belum pernah mengalami kakinya ditarik dari bawah ketika dia sedang melayang di udara. Karena tarikan ini jadi bertentangan dengan arah lompatnya maka terasa sakit. Apalagi dipelintir pula. Tahulah ia bahwa lawannya ini, meskipun kelihatan masih sangat muda mempunyai sesuatu yang jarang dimiliki oleh pendekar lain. Dan ini harus benar-benar diperhitungkan oleh sang harimau yang mau menjaga martabat bangsa dan kawasannya.

Dia yang rupanya bisa menahan diri, dia tidak langsung menerjang lagi. la pergi beberapa meter jauhnya dari manusia-manusia itu. Dia berdiri di sana menghadapi Erwin, karena hanya dia yang menahan dan menyerang. Yang lainnya tidak dimasukkannya dalam perhitungan. Diam-diam dia juga kagum pada sikap mereka. Ada empat orang, tetapi hanya satu yang bertarung. Yang lain tidak mengeroyok. Padahal mata tajamnya melihat jelas bahwa yang tua itu punya Umu dan yang dua orang lainnya pasti pendekar Minang. Itu mudah dikenalnya, karena sedaerah atau katakanlah senegeri.

Dja Lubuk dan Erwin juga tahu, bahwa harimau itu sedang berpikir dan berhitung, cara apa yang terbaik dilakukannya. Mundur berarti pengecut. Meneruskan perkelahian tidak boleh semba-rangan. Yang dihadapi jelas bukan lawan yang mudah mengalah bahkan mungkin tidak mudah atau tidak dapat dikalahkan. Karena badannya luar biasa besar, sehingga menjadi yang amat dihormati bangsanya di kerajaannya itu, ia merasa wajib mempertahankan martabatnya, la harus mampu mengalahkan para pendatang itu. Dia tahu resiko-nya. Mungkin harimau itu pun berharap supaya orang-orang mengambil langkah mundur lalu meneruskan perjalanan. Dalam hal demikian barangkali ia akan membiarkan. Dia tidak kalah, malah sudah memaksa mereka pergi.

Celakanya, Erwin tidak mau berspekulasi. Khawatir harimau itu malah jadi menyangka mereka takut. Harimau senang menerkam orang takut. Dari cara harimau itu menyerang, dapat diketahui bahwa dia sangat mengenal orang yang paling lemah

mempertahankannya. Makanya dia memilih Datuk dan Koto. Memang dia bukan harimau biasa. Dia pasti punya kelebihan dari harimau lain. Apakah dia berasal dari manusia atau memang harimau liar, yang pasti dia banyak isi.

Erwin meminta Datuk dan Koto menyingkir ke belakang ayahnya. Dan kedua orang itu menurut, karena itulah yang terbaik.

"Kami hanya mau menumpang lalu Rajo Ba-lang, tetapi kalau Rajo tidak mengijinkan, silakanlah membinasakan kami," kata Erwin. Mungkin harimau itu mengerti apa yang dimaksud Erwin yang sambil berkata mengambil sikap untuk menyambut serangan.

Si harimau masih berdiri saja, seperti ragu-ragu, atau menimbulkan kesan pada lawannya bahwa dia ragu-ragu. Supaya lawannya agak lengah. Menerkam musuh yang lengah jauh lebih mudah dari yang sedang bersiap siaga.

"Aku menunggu, kalau itu yang Rajo ingini," kata Erwin. Kini menantang.

Harimau itu mengeram, rupanya dia menahan emosi. Supaya jangan menerkam dulu. Menanti kesempatan yang agak baik. Dan untuk itu dia berpikir.

Pelan-pelan harimau itu membalik, seperti hendak pergi. Dan Erwin juga menyangka bahwa dia lebih suka memilih jalan damai. Seperti Datuk dan Koto di Panorama tadi.

Tetapi pada detik-detik berikut, raja rimba itu mendadak berputar, merendahkan badan lalu melompat ke arah Erwin. Yang memang tidak menyangka harimau punya akal selicik itu. Dia belum pernah menemukan lawan seperti ini. Dja Lubuk dan kedua pendekar Minang juga kaget, karena mereka pun menyangka, bahwa harimau itu tidak ingin meneruskan pertarungan.

Erwin melempar diri ke kiri, tak urung kaki depan kanan hewan itu sempat juga menampar ke arah dirinya. Erwin yang tadi sudah mengenal cara menyerang si perkasa hutan sempat pula menangkap kaki kanan itu di atas kuku, pasti pergelangan kakinya

itu. Sekali dia pelintir, sehingga binatang itu hilang keseimbangan. Dengan tenaga dalam Erwin menolakkan binatang itu sehingga terhempas berdebab ke bumi. Dja Lubuk menarik napas lega dan bangga. "Hebat kau anakku," gumamnya. "Sudah melebihi aku."

Sang raja hutan bangkit dengan hati penuh amarah dan dendam, tetapi sekaligus tambah menyadari bahwa dia berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh. Yang benar-benar di luar perhitungannya. Sekali lagi, tanpa diduga oleh Erwin dan Dja Lubuk, harimau itu melangkah ke arah lain lalu melompat ke tubuh Koto yang berdiri di belakang Dja Lubuk. Tetapi sekali lagi ia kecewa, karena Dja Lubuk segera menarik Koto sehingga si raja rimba menerkam tempat kosong. Koto gemetar, begitu pula Datuk. Kedua orang ini lebih takjub, karena si harimau dengan sengaja mencari mangsa yang diyakininya dapat dibinasakan. Kedua pesilek itu kini menganggap bahwa harimau yang seekor ini pun bukan harimau biasa. Jangan-jangan seperti Dja Lubuk yang sudah mereka saksikan sendiri bagaimana dia dari manusia biasa berubah jadi harimau berwajah manusia. Tetapi di samping rasa takut, mereka juga masih punya harga diri. Bagaimanapun mereka pendekar yang punya nama cukup tenar. Akan sangat memalukan, kalau hanya berlindung pada Dja Lubuk dan Erwin. Mereka harus melawan, walaupun harus ditebus dengan nyawa. Rasa malu dan harga diri inilah yang membuat kedua murid Inyiek Jambang sekarang mengambil sikap untuk membela diri. Si raja hutan melihat. Kedua pendekar senegerinya itu telah bersiap dengan jarak satu meter di antara masing-masing. Kedua-duanya pula memegang pisau, tandanya punya hasrat untuk merobek dada atau perut si harimau kalau terbuka kesempatan untuk itu.

Lain yang terpikir oleh Dja Lubuk dan Erwin. Karena kedua orang itu dipercayakan Inyiek Jambang kepada mereka untuk turut sama berjalan, mereka tidak mau sampai terjadi sesuatu atas diri Datuk dan Koto.

Bagi si harimau, membinasakan seorang raja pun rupanya sudah akan lumayan daripada ia mungkin tewas tanpa menimbulkan

cedera.

"Bunuh Koto, bunuh," teriak Datuk ketika harimau itu mengambil ancang-ancang lalu melompat menuju Datuk, yang cepat merendahkan diri sementara Koto menusuk dan menarik pisaunya ke samping tubuh si harimau. Harimau itu menggeram keras, tetapi luka itu tidak cukup dalam untuk mengurangi tenaganya. Itu sudah suatu prestasi bagus dan menambah semangat Koto. Datuk juga besar hati karena ia dapat mengelakkan serangan si harimau. Kalau kaki binatang dengan kukunya yang sangat tajam dan kuat sampai dapat merobek muka atau bahunya maka dia akan binasa, setidak-tidaknya cacat untuk seumur hidup.

Datuk dan Koto cepat mengambil posisi menghadapi sang harimau kembali, sebab tahu bahwa mereka kini yang jadi sasaran amarah. Raja rimba itu pasti bertekad untuk membunuh mereka, la tidak segera menyerang, khawatir akan terjadi seperti tadi lagi. Meleset, malah ia yang terluka. la mengendurkan otot-ototnya berjalan setengah lingkaran. Datuk dan Koto menyesuaikan gerak langkah mereka dengan si raja rimba. Dja Lubuk dan Erwin mundur untuk memberi ruang gerak kepada kedua pendekar yang telah melonjak semangatnya itu. Demi kehormatan dan terutama demi keselamatan.

Pada waktu itu pula terjadi keanehan, sekurang-kurangnya bagi Koto dan Datuk. Di sana sini telah berdiri harimau-harimau yang tentu baru datang. Dan mereka hanya memandangi, mungkin dengan perasaan tegang. Entah mengharapkan kemenangan si raja entah mendoakan kematiannya, kalau ia raja yang tidak disukai. Di dunia manusia dan hewan sama saja. Yang jahat dan serakah di-benci, diharapkan lekas mampus. Yang disayangi dan dihormati hanya yang adil dan punya timbang rasa terhadap yang tidak sekuat dia.

Setelah mendapat posisi yang baik harimau itu berdiri tenang dulu, memandang sabar ke depan dan juga ke sekitarnya sehingga jelas baginya, bahwa anggota masyarakat daerahnya sedang menonton. Dia yang tahu dirinya disukai atau tidak, juga menyadari

apa yang diharapkan oleh harimau-harimau lain itu. Mereka semua akan tambah takut dan tunduk kepadanya kalau dia keluar sebagai pemenang, tetapi ia akan dipencilkan dan diejek kalau kalah dalam pertarungan.

Ketika dia bersiap untuk menerkam, Erwin pun sudah mengubah tempatnya berdiri, bersiap siaga. Ketika raja rimba yang amat marah itu melompat ke arah Koto, ia pun turut melompat. Kecepatannya melebihi si harimau, la memagutkan tangannya erat-erat ke leher raja hutan itu, ketika ia masih di udara, sehingga Koto sempat mengelak dan bahkan merunduk menikamkan pisaunya ke perut si harimau. Untung tikaman itu tidak mengenai kaki Erwin yang kedua-duanya menjepit perut si harimau dengan kuat, supaya ia jangan sampai dilemparkan oleh binatang yang tidak menyangka akan dapat serangan secara itu. Kedua tangan Erwin dicekikkan dengan seluruh tenaga ditambah tenaga dalam.

Ketika tiba di tanah harimau itu mengerahkan segenap tenaga untuk membebaskan diri, tetapi tidak berhasil. Cekikkan Erwin membuat harimau itu mulai sulit bernapas, tambah sesak karena cekikan itu mengencang terus.

Datuk dan Koto mau datang membantu, tetapi Dja Lubuk melarang.

"Tidak adil kalau dia dikeroyok. Biar mereka selesaikan berdua!" kata si manusia harimau tenang. Harimau-harimau yang jadi penonton kelihatan tegang melihat adegan yang belum pernah mereka saksikan. Mereka pasti selalu melihat pertarungan antar sesama harimau yang saling bermusuhan atau berebut betina, pun mungkin pernah melihat bangsanya bertempur dengan manusia. Yang dibekali ilmu atau yang tidak berdaya sama sekali. Tetapi belum pernah melihat seorang manusia melompati harimau yang sedang menerkam lalu mencekik lehernya sehingga raja yang terkenal sangat kuat itu melemah.

Inilah pertama kali Erwin mengeluarkan seluruh kekuatan tersembunyi yang ada, yang hanya pada saat seperti itu pula baru dapat dikerahkan. Harimau itu masih berdaya upaya membebaskan

diri. Dengusnya pun sudah melemah, kemudian dia tak melawan. Di waktu itu Erwin bukan mengetatkan cekikan, tetapi malah melonggarkannya. Datuk dan Koto datang dengan pisau terhunus, tetapi Dja Lubuk melarang. Jangan membunuh penguasa yang sudah tidak berdaya itu. Si harimau pun tahu rupanya bahwa lawannya itu tidak menghendaki nyawanya. Dengan begitu dia pun sadar, bahwa ia masih hidup karena diperkenankan hidup. Mungkin di dalam hati ia malah minta ditewaskan saja karena malu pada masyarakat sebangsanya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya.

Yang amat mencengangkan Datuk dan Koto adalah tindakan Erwin selanjutnya, la memberi minum binatang itu dari botol berisi air putih yang dibawanya untuk persediaan di jalan. Dja Lubuk senang memandangi sikap anaknya yang sama dengan dia, penuh kasih sayang kepada tiap makhluk yang dikarunia nyawa oleh Tuhan. Yang memberi hak hidup bagi tiap insan dan makhluk. Setelah Erwin dan Dja Lubuk mengelus-elus kepala si raja rimba yang dikalahkan. Datuk dan Koto turut berbuat sama, walaupun belum mengerti benar, mengapa binatang yang begitu ganas dan terang-terangan hendak membunuh mereka masih diberi kesempatan untuk hidup. Dan dengan begitu punya kesempatan lagi untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tiada berdosa.

Di Sawahlunto mereka mendapat cerita dari seorang yang sudah sangat lanjut usia, bahwa memang di sana ada seekor harimau luar biasa besar, yang selalu murka, la sangat membenci manusia, karena dia pun asalnya manusia yang jadi harimau karena perbuatan manusia juga. Namanya dulu si Kalek.

0odwo0

SEPULUH

SEMASA hidupnya si Kalek ini seorang pesilat dan pendekar terkenal juga di daerah Sawahlunto sampai ke Solok dan Sijunjung. Tetapi dia hanya seorang miskin. Sudah sejak kecilnya begitu.

Bahkan turun-temurun. Yang diketahui orang, sejak kakeknya memang mereka keturunan orang miskin. Dari dulu anak beranak hanya berkuli di ladang, sawah atau kebun orang. Mereka rajin, tetapi penghasilan mereka hanya cukup untuk makan dan barangkali setahun sekali ganti pakaian baru. Kakeknya juga pesilat, juga terkenal ke daerah sekitar, la bahkan guru, tetapi tidak menentukan bayaran bagi yang belajar padanya. Yang belajar pun hanya anak-anak tidak mampu. Sesekali memberinya beras atau sedikit uang. Dan kakek si Kalek sudah puas dengan keadaan begitu. Ada orang yang menasihatkan dia untuk ke luar daerah, menjadi guru, tetapi ia tidak mau meninggalkan kampung halamannya? “Saya lahir di sini, akan berkubur di sini juga," jawabnya dan ia memenuhi janji, la meninggal di kampung tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, dikuburkan di sana. Menjadi buah bibir masyarakat beberapa waktu lamanya, bahwa Pak Ipin tutup mata dengan tenang sambil tersenyum. Sampai sudah dimandikan dan akan dikafani ia tetap tersenyum. Seolah-olah ia puas hidup dan puas meninggalkan dunia ini. Barangkali pun bukan sekedar seolah-olah, tetapi sebenar-benarnya puas. la terima dunia sebagaimana adanya, dan orang yang dapat berhati lapang begitu pastilah merasakan kepuasan. Dan orang semacam itu pastilah pula merasa bahagia.

Pak Ipin meninggalkan tiga orang anak, ketiga-tiganya laki-laki. Yang tertua dan kedua jadi orang surau, yang ketiga, Binur mengikuti jejak ayahnya, jadi pesilat. Seperti ayahnya, ia dan istrinya juga hidup dari berkuli dan pemberian beberapa murid yang sangat tidak seberapa jumlahnya, la pun rajin bekerja, merasa hidup hanya pas-pasan. Orang pun menasihatinya untuk meninggalkan kampung, merantau. Mengadu untung di negeri orang. Dengan bekal kepintaran lumayan dalam ilmu persilatan ia bisa mencari pekerjaan sebagai centeng atau sebagai guru silat. Di luar kampungnya sendiri, mungkin ia akan diambil sebagai guru oleh keluarga mampu yang tidak mengetahui bahwa ia turun-temurun miskin. Masih banyak orang yang menilai kepintaran si miskin seimbang dengan kemiskinannya, sehingga sulit mendapat

kemajuan dan perbaikan nasib.

Tetapi sama halnya dengan Pak Ipin orang muda yang berpikiran sangat sederhana dan bahkan kolot ini pun tidak mau beranjak dari kampung.halamannya. Diapun mungkin sangat keliru mempunyai prinsip "di sini dilahirkan, maka di sini juga aku akan dikuburkan." Dari hanya berdua dengan istrinya, Binur pun setelah beberapa tahun dikaru nia anak. Seperti semufakat, dengan ayahnya ia juga mendapat tiga orang anak, hanya saja tidak ketiga-tiganya laki-laki. Yang tertua perempuan yang dua lainnya laki-laki. Yang bungsu diberi nama si Kalek dan dialah yang belajar silat pada ayahnya. Ternyata ia mempunyai bakat yang baik sekali. Lompatnya bisa sejauh lompat harimau, berbaliknya secepat itu pula. Namanya segera terkenal, lebih terkenal daripada ayah dan kakeknya. Daerah yang dijangkau namanya lebih luas daripada yang pernah dicapai kakeknya, I pin, dan ayahnya, Binur. la selalu diundang untuk memperlihatkan ketangkasannya di tempat-tempat orang mengadakan pesta perkawinan, khitanan atau upacara adat. Beberapa perkumpulan silat di luar kampungnya mengundang dia untuk adu kemahiran. Beberapa kali ia memperoleh kemenangan.

Kalau orang-orang yang berjiwa sportif kagum dan senang atas kemenangan Kalek, karena mengangkat nama kampungnya, maka tidaklah demikian halnya dengan anak-anak orang kaya atau kalangan atas yang mempunyai hati khisit dan dengki. Mereka menganggap tidak layak orang semiskin si Kalek mendapat kemenangan. Tidak sesuai dengan derajatnya. Si miskin harus kalah. Itulah yang layak bagi mereka. Dan yang kaya atau anak orang bernama harus senang. Seolah-olah itulah hukum yang adil dan harus berlaku.

Diam-diam beberapa orang, termasuk orang tua yang anaknya kalah, merasa tidak senang dengan si Kalek. Dalam usianya yang baru dua puluh empat tahun ia sudah pernah diundang ke Mamnjau, sudah mengembara sampai ke Lubuk Sikaping. Sudah ke Bonjol dan Rao. Malahan sudah pernah dua kali ke Tapanuli. Yang sekali ke Gunungtua dan yang lainnya ke Kota Nopan. Di sana pun

ia memperoleh kemenangan, sehingga namanya kian tenar. Mungkin dia belum berhadapan dengan yang dinamakan si Dja Bopong yang terkenal sampai ke Aceh karena silat harimaunya. Barangkali dia belum berkenalan dengan Ayam Kinantan Padangbo-lak yang dengan tangan kosong dapat menebas putus leher seorang perampok yang mengganas ke kampungnya. Tetapi bagaimanapun ia tentu diuji orang dengan bukan yang sembarangan. Dan ia berhasil keluar sebagai pemenang, la membawa banyak hadiah sehingga Kalek dan saudara-saudaranya dapat membeli pakaian yang baik dan mampu memperbaiki gubuk mereka yang sudah hampir roboh.

Beberapa penduduk yang semula meremehkan si Kalek, kini mengubah sikap. Sudah jelas ia mengangkat nama kampung, maka selayaknyalah ia dihargai. Mereka adalah orang-orang yang mau mengakui kenyataan dan mengubah cara yang tidak benar selama ini. Tetapi tidak semua orang mau mengakui kenyataan. Orang-orang sirik tetap saja sirik, bahkan bertambah benci kepada Kalek. Mereka memikirkan cara bagaimana menyingkirkan orang yang menusuk mata mereka itu. Betapa gila dan jahat! Orang yang hanya se si Kalek, yang menang bertanding silat tanpa merugikan siapa pun hendak dibinasakan. Mereka tidak tahan melihat orang yang biasa miskin ini tidak bergubuk miring lagi. Mereka sakit hati melihat kedua orang kakaknya bisa berganti baju dan kain yang lumayan.

Kalek tahu, bahwa ia di benci dan bahwa ada orang-orang yang hendak meniadakannya dari kampung itu. Jalan yang paling aman baginya ia pindah dari sana, kalau ia tidak mau dipindahkan orang-orang berhati jahat itu ke dunia lain, dari mana ia tidak akan pernah kembali.

Semula orang-orang busuk ini menyewa pesilat kampung lain untuk menyergap si Kalek, tetapi sudah tiga kali gagal. Ketika ketahuan, bahwa ada orang luar masuk kampung dan mencoba membunuh si Kalek, maka si penyergap berkata, bahwa ia hanya hendak mencoba sampai di mana kekuatan orang hebat itu. Ternyata benar ia handalan. Dengan begitu saja, perkara jadi

selesai.

Suatu kali tiga orang kuat kampung, bersekongkol mengeroyok si Kalek. Tiga lawan satu mustahil mereka akan kalah. Tetapi kemustahilan itu yang justru terjadi. Kalek dengan matanya yang tajam, walaupun dalam gelap, sempat mengenali mereka. Yang seorang bernama si Buyung Bagak, anak seorang Datuk yang terkenal kaya sejak nenek moyangnya. Dia memang punya kepandaian lumayan ditambah dengan mulut besar dan sikap sombong. Ini juga bisa jadi modal dalam menghadapi orang tak punya. Walaupun kebolehannya melebihi diri si orang kaya. Kedua orang kawan Buyung Bagak juga pesilat-pesilat pemberani. Kalek tahu bahwa mereka ini bukan sekedar mau mengganggu. Mereka mau membunuhnya. Supaya Kalek yang menyakitkan mata mereka itu, tinggal nama. Besok orang akan menanam tubuhnya yang sudah binasa dan sukar dikenali.

"Kalek, akhirnya basuo juo. Kini baru ang ba-suo lawan nan sabananyo!" bentak si Buyung Ba-gak. Harapannya bahwa si Kalek akan gemetaran, tidak berhasil. Si Kalek sudah lama tahu bahwa pada suatu saat orang ini akan menyergapnya. Dia sendiri berpikir bahwa yang begitu tidak perlu terjadi. Dia terlalu tidak ada arti untuk disingkirkan dengan cara yang begitu keji. Dia tahu diri, sadar bahwa dia miskin dan tak pernah berani mengada-ada.

"Jangan Tuk," kata Kalek dalam bahasa Minang, walaupun orang itu bukan Datuk, hanya anak seorang Datuk. "Saya terlalu kecil untuk jadi lawan Datuk nan Bagak," katanya merendahkan diri guna menghindari perkelahian.

"Jangan menyindir, monyet. Kau hendak mengatakan, bahwa aku terlalu kecil untuk jadi lawanmu. Begitu maksudmu. Jangan berpura-pura!"

Bersamaan dengan itu Buyung Bagak melompat dengan satu terjangan yang dengan mudah dielakkan oleh Kalek, sehingga si garang hanya menendang tempat kosong. Kedua kawannya menanti aba-aba untuk turut ambil bagian.

"lyo hebat ang, Lek," kata Buyung, sudah berhadapan lagi dengan Kalek.

"Saya mohon, saya tidak mau berkelahi dengan Datuk!" pinta Kalek. Dalam hati si Buyung merasa senang dipanggil Datuk, namun dia tetap mau membinasakan orang kecil yang dianggapnya orang berlebih di kampungnya itu. Orang seperti si Kalek tidak boleh tinggal di sana. Lain halnya kalau dia hanya kuli atau penarik pedati. Tetapi si Kalek ini, menurut Buyung memang macam-macam. Mau bersilat segala! Itu kan bukan untuk orang semacam dia.

Sekali lagi Kalek mengatakan, bahwa ia tidak mau berhadapan dengan Buyung Bagak, tetapi anak orang kaya yang sangat sombong itu berkata, "Kau takut? Aku ingin melihat darahmu menyiram bumi ini Kalek. Dia pasti akan jadi lebih subur. Dan aku tak rela kau turut menguras beras kampung ini."

Buyung Bagak memberi aba-aba, tetapi Kalek yang tajam mata dan telinga, sejak tadi sudah tahu bahwa ada dua orang lagi yang hendak membunuhnya. Tiga lawan satu, bukan suatu perkelahian yang seimbang. Tetapi kalau sudah tidak dapat dielakkan, orang mesti mempertaruhkan nyawanya kalau tidak mau mati dengan embel-embel konyol.

Udin dan Itam serentak menyerang, tetapi Kalek mengelak dengan gaya yang begitu rapinya sehingga kedua penyerang itu nyaris bertubrukan. Buyung Bagak mencabut pisau belatinya, la ingin pertarungan ini segera selesai. Dan cara yang paling singkat tentulah dengan menusuk jantung Kalek dengan pisau yang sudah pernah ditanam selama tujuh Jumat. Menurut orang pandai yang menjam-pi dan menanamnya, tergores saja sudah akan menimbulkan luka yang tidak akan bisa disembuhkan. Akan membusuk dan akhirnya berulat.

Pertempuran sudah agak kacau. Sesekali tendangan Itam makan rusuk si Udin. Pada satu kali tusukan Itam dengan dua jari sekeras besi malah masuk tepat di bawah bahu Buyung Bagak. ia berteriak kesakitan. Kalau jari itu berisi pasti akan menembus dan meninggalkan dua lubang seperti dilanggar peluru. "Calieklah

kawan," hardik si Buyung. Maksudnya supaya si Itam melihat kawan, jangan sembarang tusuk.

"Indak sangajo Tuan," sahut Itam, takut oleh salah tusuk itu.

Melawan tiga orang tidak mudah, tetapi tiga orang menyerang satu orang juga tidak mudah. Apalagi pandai silat yang telah mempunyai banyak pengalaman. Walaupun serangan dengan niat bulat untuk membunuh baru sekali ini dialaminya.

Kalek menganggap, bahwa yang harus lebih dahulu dirubuhkan adalah kedua orang bayaran Buyung Bagak, yang bagaimanapun lebih suka selamat daripada jadi korban. Mereka tidak punya kebenci-m sebesar yang dipunyai Buyung terhadap diri Kalek. Mereka pun mau membantu Buyung karena diyakinkan, bahwa mereka bertiga pasti dengan mudah dapat membinasakan orang kecil ini. Dan tidak ikan ada perkara. "Itu dijamin," kata Buyung yang merasa dapat turut menghitam-putihkan kampung itu seperti ayahnya.

Dengan tenang sehingga terarah Kalek menyerang ke dua kawan Buyung yang lebih banyak bermodal keberanian daripada kepintaran. Beberapa tendangan dan pukulan Kalek tepat mengenai sasaran. Perut, dada, leher dan kepala. Juga rusuk tidak luput dari tendangan keras. Buyung juga mengetahui, bahwa Kalek mengutamakan serangan kepada kedua orang bayarannya dan mengapa dia bermuslihat begitu. Dan dugaannya memang tepat.

Karena tak lama kemudian yang seorang telah berteriak terus terang bahwa dia tidak mau kehilangan nyawanya. Yang lainnya juga tidak mampu bertahan lama. Padahal kedua-duanya, sama dengan Buyung Bagak, juga sudah mempergunakan pisau hendak membunuh lawan yang masih saja bertangan kosong itu. Tidak satu pun sambaran atau tusukan pisau mereka yang memakan Kalek. Pada suatu kesempatan hampir senjata makan tuan. Kalek berteriak supaya orang-orang bayarannya jangan lari, tetapi tidak dihiraukan.

Kini tinggal Buyung Bagak sendiri. Mau lari juga karena keyakinan tidak tersua dalam kenyataan, masih punya rasa malu.

Dalam bertarung dengan hati bimbang itulah Kalek menangkap pergelangan-nya yang sedang menghunus pisau. Dengan teknik tinggi ia membuat ujung pisau itu berbalik kepada pemegang dan pada saat berikutnya mata pisau menggores lengannya, langsung mengucurkan darah. Buyung pucat dan takut. Bukan oleh rasa sakit tetapi oleh ingatan bahwa luka yang disebabkan pisau itu tidak dapat disembuhkan. Akan membusuk dan berulat.

"Lain kali kita jumpa lagi," kata Buyung Bagak lalu lari. Kalek tidak mengejar. Apa yang terjadi seharusnya cukup untuk jadi pelajaran bagi ketiga orang penyerangnya itu. Meskipun tidak sampai cedera, Kalek merasa sangat tidak tentram. Kehadirannya di kampung itu pasti tidak akan tenang lagi. Buyung Bagak akan penasaran sebelum membinasakan dia. Walau begitu ia bertahan.

Dengan dalih luka dalam suatu pertandingan persahabatan. Datuk nan Diateh mengobati luka maknya Buyung Bagak. Dia pun tahu, bahwa luka itu oleh percobaannya membunuh Kalek. Orang yang terus ketakutan itu merasa heran, dalam tempo tiga hari lukanya sudah kering. Bukan karena pengobatan yang hebat, tetapi karena pisau itu sama sekali tidak punya kekuatan untuk menimbulkan luka seperti yang dikatakan si penjampi dan penanamnya selama tujuh Jumat.

Kali ini Buyung tidak mau gagal, la menemui pesihir yang akan dapat membinasakan Kalek untuk selama-lamanya. Mau bagaimanapun boleh. Kata orang, pesihir itu sangat luar biasa. Sudah banyak buktinya. Buyung Bagak bersiul-siul karena orang kecil yang menjadi duri di mata dan pikirannya itu akan binasa.

0odwo0

SEBELAS

ORANG setengah baya bertubuh kerempeng itu jangan diremehkan. Sebab dialah Sutan Imbalo, orang terkenal dan ditakuti yang konon bertempat tinggal di Kamang Bukittinggi, Kabupaten Agam. Meskipun beralamat di kampung yang pernah sa-ngat

terkenal dengan durian tebal berwarna ke-emasan yang tak mudah dilupakan oleh penggemarnya, namun tidak mudah orang menemukannya di sana. Ketidakpastian di mana dia sebenarnya selalu makan dan tidur membuat dia lebih terkenal lagi sebagai manusia misterius dengan kepintaran amat tinggi dalam ilmu sihir yang konon dipelajarinya di Tibet, la memang pernah tinggal di kawasan itu, kemudian hijrah ke Nepal dengan serdadu Gurkha-nya yang amat mahir mempergunakan kukri, pisau tebal membungkuk yang dapat mengenai sasaran dari jarak berpuluh meter. Tepat di jantung. Si pandai sihir ini juga jadi ahli batu-batuan dengan segala macam cerita mengenai khasiat atau sialnya. Kalau ia duduk di antara para pedagang batu-batuan Nepai yang berjejer di kaki lima Penang, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok dan juga di kota-kota besar Indonesia, maka sungguh susah membedakannya dari mereka yang rata-rata punya wajah khas intara Cina dan Birma.

Buyung Bagak menyampaikan maksudnya tanpa banyak variasi, la ingin agar orang, yang katanya tak tahu diri di kampungnya itu, bernama si Kalek, dihukum supaya ia tahu adat.

"Jangan dimatikan," pinta Buyung seolah-olah orang yang selalu punya rasa kasihan terhadap sesamanya.

"Hah, tidak dilenyapkan? Orang yang banyak lagak dan tidak disukai lebih baik dibuang saja dari dunia ini," kata Sutan Imbalo.

"Jangan Sutan, kasihan. Dia pun memperoleh nyawanya dari Tuhan, sama dengan kita. Tak baik membunuh sesama manusia!"

"Tuan terlalu pemurah. Pernahkah dia dulu berjasa pada Tuan makanya tidak sampai hati melenyapkan dia?"

"Tidak, kepantangan saya menerima jasa dari orang semacam dia."

Setelah berpikir sebentar. Sutan Imbalo bertanya, hendak diapakan si Kalek yang tidak tahu adat ini.

"Diubah saja menjadi binatang! Saya dengar Tuan sanggup melakukannya. Saya rasa itu pantas bagi dia. Tidak cukup penting

untuk dibunuh!"

"Hmm, mau dihukum berkepanjangan? Itu perkara kecil! Kata Tuan hendak diubah jadi binatang. Boleh. Bukan kerja berat. Bahkan lebih mudah daripada membunuh. Dijadikan cacing? Atau ular? Atau kita jadikan babi?"

Si Buyung Bagak berpikir. Betapa hebatnya orang ini. Bisa mengubah manusia jadi binatang apa saja.

"Atau kita jadikan anjing supaya dia melolong sepanjang malam. Lebih-lebih di waktu bulan penuh," tanya Sutan Imbalo.

"Kalau dijadikan anjing, penduduk akan dihantui bunyi lolongannya. Selalu takut dan susah tidur. Paling kasihan anak-anak. Tak akan berani keluar rumah. Saya ingin dia dijadikan harimau!" kata Buyung Bagak.

Sutan Imbalo merasa aneh. Dijadikan harimau? Bukankah itu lebih berbahaya, katanya kepada anak Datuk nan Diateh.

"Mungkin tetapi saya senang kalau sampai dapat melihat dia jadi harimau. Apalagi kalau dia dapat bicara seperti manusia," kata Buyung Bagak. Dia membayangkan, bagaimana akan senangnya berhadapan dengan si Kalek yang mungkin akan minta-minta ampun supaya dijadikan manusia kembali. Dan dia akan mengatakan, bahwa si Kalek harus bersyukur, masih diberi kesempatan untuk hidup. Dan tak usahlah macam-macam lagi, mau jadi manusia segala. Dia lebih pantas jadi harimau daripada manusia. Untuk diburu dan ditembak, lalu kulitnya yang diisi akan dipajang di ruang tamu rumahnya di kota. Oh, betapa akan senangnya dia.

"Kalau memang itu yang akan membuat Tuan merasa senang, saya akan melakukannya. Tetapi sebagai harimau tentulah dia akan merupakan binatang buas yang berbahaya. Dia akan ingin makan daging segar!"

"Itu kan soal mudah. Dia bisa menangkap babi hutan atau rusa kalau cukup cepat larinya!" kata Buyung Bagak.

"Tetapi bisa juga manusia!" kata Sutan Imbalo.

"Itu terserah dia. Tetapi dia tidak akan mendapat aku. Setelah ia jadi harimau, aku akan selalu membawa bedil untuk membunuhnya tanpa perkara. Itu akan merupakan suatu kesenangan tersendiri yang barangkali tidak pernah dirasakan orang lain. Membunuh harimau yang manusia!"

Meskipun Sutan Imbalo selalu menerima macam-macam order dari orang yang hendak merubuhkan lawannya, namun keinginan manusia yang seorang ini terasa aneh, menyimpang! Ini orang sinting yang sadis, pikirnya. Tetapi dia menyanggupi dan ia akan melaksanakannya. Apa pun kelak yang akan terjadi, bukan lagi menjadi tanggung jawabnya.

Segala persyaratan dipenuhi oleh Buyung Bagak. Termasuk bayi yang tak boleh berumur lebih daripada tiga puluh tiga hari. Walaupun diterangkan oleh tukang sihir bahwa bayi itu, sesuai ketentuan, harus dibinasakan, la upah orang menculik seorang bayi. Bagi si Buyung Bagak tidak ada syarat yang terlalu berat untuk dipenuhi, asal saja si Kalek bisa menjadi harimau.

"Bila ia akan jadi si Balang?" tanya Buyung ketika semua persyaratan sudah diadakannya.

"Dalam tempo tujuh hari, dihitung dari malam nanti," jawab Imbalo.

0odwo0

Sejak malam itu memang benarlah si Kalek yang pendekar miskin itu selalu merasa gelisah. Selalu kepanasan dan sulit tidur, padahal kampungnya itu punya hawa dingin, terutama pada malam hari. Terasa olehnya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Teringat oleh si Kalek, bahwa apa yang dirasakannya itu mungkin buatan orang jahil. Tetapi ia tidak punya cukup biaya untuk minta bantuan dukun yang dalam hal-hal berat selalu meminta imbalan yang besar. Meskipun belum tentu berhasil.

Tingkah lakunya sedikit demi sedikit pun berubah. Pada malam ke empat terkena perbuatan sihir Sutan Imbalo ia mulai menggeram geram. Terasa olehnya ketidakwajaran ini, tetapi ia tak kuasa mencegahnya, la bahkan teringat kepada Buyung Bagak yang disangkanya mungkin mempergunakan pandai sihir atau sekurang-kurangnya dukun besar berilmu hitam. Karena pengeroyokannya tidak berhasil.

Sementara si Kalek tak tentram dan kian khawatir merasakan perubahan pada dirinya. Buyung Bagak yang mengetahui seluruh perkembangan dari mata-matanya, menantikan hari ketujuh dengan rasa tak sabar. Akhirnya ia akan menang dengan cara yang sangat gemilang. Baginya hari terasa berlalu begitu lambat.

Pada malam ketujuh penyihiran, si Kalek bukan lagi hanya menggeram-geram, tetapi sudah mulai mencakar-cakar, la terus mundar-mandir bagaikan harimau di dalam kandang.

Menjelang subuh ia tak kuasa menahan dorongan hatinya, la melompat dari jendela, berlari menuju hutan. Sampai di pinggir hutan dirinya gemetar dan ia melihat perubahan yang amat menyedihkan dan menakutkan, la menjadi harimau. Pikirannya masih bekerja seperti manusia, la menangis sambil berguling-guling. Tetapi hanya itulah yang dapat dilakukannya, la tak mampu mengubah kenyataan, bahwa dia sudah bukan lagi si Kalek yang pendekar miskin. Kini ia sudah jadi si Kalek yang harimau.

Tempatnya bernaung sudah bukan lagi gubuknya yang sudah tidak miring untuk melindungi dirinya dari panas dan hujan, la sudah jadi penghuni hutan, sama halnya dengan babi, ular, rusa, gajah dan satwa lainnya. Tempatnya bergolek sudah berubah dari Tikar pandan butut menjadi tanah dingin yang keras gersang atau lembab dingin.

Beberapa hari dan malam ia menangisi nasib. Mengapa atas dirinya yang hanya orang miskin dan tak pernah menyusahkan orang lain harus ditim pahkan kejahatan yang menyebabkan derita semacam ini?

Bersamaan dengan derita yang tak terhalau itu proses atas tiap makhluk bernyawa berjalan terus atas dirinya. Perut yang sudah sekian hari tak mendapat isi merasa lapar. Datanglah kebutuhan mendesak untuk makan. Dan kini ia ingin makan daging segar, walaupun ia masih dapat mengingat bahwa biasanya ia makan nasi, kadang-kadang hanya dengan sepotong cabe dan sejemput garam ber kuahkan air panas.

Mulailah si Kalek harimau bergerak mencari makan. Dan yang berhasil diterkamnya adalah seekor anak babi hutan yang sedang sakit. Masih disadarinya, bahwa ia tidak boleh makan babi. Haram hukumnya. Tetapi kemudian pikirannya ber balik

Itu dulu. Tatkala dia masih manusia! Bukankah dia kini sudah bukan manusia lagi. Dia hanya seekor harimau. Tidak punya pantangan. Masih terlintas pula rasa kasihan. Tetapi rasa yang biasa dimiliki oleh manusia normal ini pun lenyap, dikalahkan oleh keinginan untuk hidup. Sepotong demi sepotong mangsanya itu berpindah tempat ke perutnya.

Memang dia ingin hidup. Harus hidup, kalau ia tidak mau menerima hasil oleh kejahatan manusia dengan pasrah seterusnya. Meskipun sudah berubah wujud dan golongan dari manusia ke hewan buas, ia masih mampu dan berkepanjangan mempunyai dendam yang kian hari kian membara. Si Kalek miskin sudah bukan lagi makhluk berhati lembut, la telah menjadi pembenci yang ingin mencari kedamaian lagi melalui suatu pembalasan yang setimpal. Itulah makanya ia selalu mengintai kesempatan bila kiranya si Buyung Bagak lalu di daerah kawasannya untuk memburu babi, sebab ia termasuk orang yang suka melakukan perburuan. Entah guna olahraga, entah karena adanya nafsu membunuh yang bergolak di dalam dadanya, la akan menerkamnya, walaupun mereka sedang beramai-ramai dan besar kemungkinan ia akan tewas oleh peluru dan tombak mereka. Untuk itu kadang-kadang —pada malam hari— ia sampai masuk kampung sehingga dihebohkan masyarakat bahwa kini sudah ada Inyiek Balang yang berani memasuki kawasan penduduk. Agar tiap orang berhati-hati. Dan

membunuhnya pada kesempatan pertama. Suatu ketidakadilan bagi penghuni rimba. Bagi mereka ada batas pemukiman. Tetapi bagi manusia tidak. Mereka boleh masuk ke hutan semau dan seberani hati.

Kadang-kadang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Mengambil kayu, bahkan menebas hutan semau-maunya. Mencari binatang buruan. Babi hutan ka-ena mereka merusak ladang dan tanaman penduduk. Mencari rusa untuk dijadikan santapan. Untuk itu manusia masuk ke kampung-kampung para a. Dalam istilah negara bertetangga dinamakan melanggar perbatasan. Yang bisa menimbulkan tembak-menembak, bahkan perang antar bangsa.

Sebenarnya yang dicari si Kalek hanya satu sa-ia. Buyung Bagak. Lain tiada. Tetapi masyarakat tentu tidak tahu tujuan harimau besar ini. Kalaupun tahu, paling-paling mereka saling tanya mengapa ia mencari Buyung Bagak. Apa sebab dan asal mulanya. Namun, si harimau akan tetap dibunuh, n orang kampung akan sengaja menantikan dia untuk lebih cepat dibinasakan.

Karena kunjungan hewan itu kian sering kelihatan dan penduduk semakin khawatir, maka dipasang perangkap di pinggir hutan. Dengan umpan tentunya. Kambing. Kasihan hewan piaraan lemah ini. Ditakdirkan untuk dipelihara, dibesarkan, disembelih atau diumpankan kepada harimau.

Tetapi perangkap tidak pernah mengena. Harimau cerdik rupanya si pelanggar batas itu.

Pernah Buyung Bagak beberapa kali berburu. Dan tampak oleh si Kalek, tetapi tidak terbuka ke patan baik untuk menerkam dan membunuhnya, la bukan takut kehilangan nyawa. Itu resiko. Tetapi ia tidak mau kehilangan nyawa tanpa membunuh Buyung Bagak. Kematiannya akan menutup ua kesempatan membalas sakit hati. Itulah yang sangat tidak dikehendakinya.

Pernah pula ia ditembak oleh rombongan Buyung, tetapi tidak kena. la yakin, bahwa yang menembak itu orang yang membuatnya jadi binatang. Bagaimana pun marah dan sakitnya hati, si Kalek

masih harus menahan emosi yang meluap.

Buyung Bagak memang ingin membunuh harimau yang diyakininya si Kalek. Dalam mimpi ia pernah menembak harimau itu sampai tewas. Lalu dikuliti dan kemudian diopzet (diawetkan dengan mengganti isi perut), diletakkan di gedung mereka di kota Padang. Dia akan memberi nama harimau hasil tembakannya itu si Kalek. Didukung oleh mimpi itu Buyung Bagak yakin, bahwa pada suatu saat ia pasti akan merubuhkan binatang itu dengan peluru yang dimuntahkan senapannya.

Tetapi bukan hanya Buyung yang punya keyakinan. Si Kalek pun punya niat yang sama. Kalau Buyung sudah dirubuhkannya, ia rela mati. Tak sabar lagi menanti D-day, hari si Kalek menerkam dan mencabut nyawa Buyung Bagak, maka pada suatu malam hujan gerimis ia kembali mendekati kampung, la sangat berhati-hati. Bukan tak mungkin penembak sedang bersembunyi menantikan kedatangannya. Kalau ia kelihatan dan tewas ditembak, maka buyarlah semua maksud dan selama-lamanya dia tidak akan dapat memaafkan dirinya.

Dia mengendap-endap. Pasang mata dan telinga. Telapaknya yang besar tak terdengar menginjak bumi. Khas kemampuan harimau, yang tidak dipunyai oleh manusia. Akhirnya ia sampai ke dekat rumah Buyung Bagak. Bersembunyi di balik serumpun tebu. Hari baru jam 9. Mungkin Buyung belum pulang atau akan pergi ke rumah pacarnya.

0odwo0

DUABELAS

LAMA si Kalek bersembunyi di sana. Setelah ia hendak kembali ke hutan untuk menanti lagi pada malam besoknya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar langkah-langkah yang kian lama kian mendekat. Tidak sia-sia, pikirnya, la bersiap. Tetapi setelah kian dekat, ia melihat bahwa yang datang itu bukan si Buyung Bagak, melainkan ayah dan ibunya. Baru pulang dari pesta perkawinan.

Bukan mereka sasarannya, walaupun punya hubungan darah langsung dengan Buyung. Kedua suami istri itu naik tangga dan masuk rumah tanpa diganggu. Dan si Kalek menunggu lagi, karena menurut perhitungannya orang yang dinantikan tentu akan datang. Anak muda biasanya tidak buru-buru meninggalkan pesta, dimana banyak gadis-gadis berkumpul. Sekurang-kurangnya untuk cuci mata.

Akhirnya, menjelang pukul 12, yang dinantikan datang juga.

Si Kalek harimau bersiap. Kira-kira duapuluh meter dari rumahnya mendadak Buyung Bagak berhenti, la memandang ke sekeliling. Tidak biasanya dia begitu. Rupanya ada semacam perasaan tidak enak. la ragu-ragu. Si Kalek menjadi tegang. Apakah Buyung akan memanggil-manggil orang tua atau tetangga karena merasa cemas tanpa sebab yang nyata? Mungkin ada dorongan untuk itu, tetapi ia merasa malu. Pada mereka dan pada diri sendiri. Bukankah ia terkenal bagak dan ditakuti orang sekampung?

Buyung melangkah lagi. Kini lebih cepat, ingin lekas sampai di rumah. Si Kalek mengangkat tubuh bergerak cepat tanpa suara, la menerkam Buyung tepat di kuduk, taring-taringnya yang tajam langsung ditanamkan ke leher mangsanya. Oleh berat badan si harimau. Buyung tersungkur dan karena kagetnya tak mampu berteriak. Si Kalek memperkuat gigitannya dengan sepenuh tenaga rahangnya dan ia tidak melepaskan Buyung sampai ia yakin, bahwa musuhnya itu sudah mati, atau sekurang-kurangnya sekarat. Kemudian ia membalik tubuh yang sudah kehilangan segala tenaga, dipandanginya. Mungkin berhasrat untuk mengoyak dadanya lalu mengeluarkan isinya. Setelah itu merusak mukanya.

Tetapi Kalek tidak melakukannya. Mungkin sisa-sisa kehalusan sifat yang ada pada dirinya tidak mengijinkan. Bukankah ia menghendaki kematian Buyung yang dengan kekuatan uangnya telah membuatnya jadi harimau? Kini si Bagak sudah mati, bukankah sudah cukup? Tetapi ada suatu maksud yang telah direncanakannya yang dianggapnya perlu dilaksanakan, la menggigit bahu kanan anak Datuk itu lalu menyeretnya sampai ke

tangga rumahnya. Setiba di tangga, Kalek tidak lantas kembali ke hutan yang menjadi tempat tinggalnya, la menyandarkan tubuh mayat itu, membetulkan letak kedua kakinya. Puas hatinya. Uang memang selalu berkuasa, tetapi tidak untuk selamanya. Karena uang hanya benda mati. Tidak mempunyai sifat abadi. Si Kalek belum selesai dengan pekerjaannya, la menggeram-geram memberitahu kehadirannya. Setelah yakin, bahwa orang tua Buyung tentu mendengar, begitu pula tetangga dekat si Kalek menjauh. Bersembunyi lagi. Rupanya ia mau melihat lanjutan hasil pembalasannya. Dan dia melihat jendela rumah Datuk terkuak sedikit. Tandanya orang sudah bangun. Begitu juga jendela rumah Sutan Malano.

Datuk nan Diateh dengan istrinya merasa cemas. Tidak pelak lagi, pasti ada harimau masuk kampung dan berada dekat sekali dengan rumah mereka. Bukan kedatangan harimau yang mereka cemaskan, tetapi si Buyung, anak mereka yang belum pulang dari menghadiri pesta perkawinan. Dan dia tentu akan pulang. Kecemasan meningkat jadi rasa takut. Datuk tidak mau mempertaruhkan nasib Buyung Bagak. Sehebat-hebatnya dia bersilat, kalau diterkam harimau pasti ia akan binasa. Bukan hanya itu, mungkin akan diseret si raja hutan ke rimba untuk disantap bersenang-senang.

Datuk membuka jendela dan berteriak memanggil tetangga terdekat. Dilihatnya jendela rumah Sutan Malano terbuka dan melemparkan caha ya terang menembus kegelapan malam yang mence kam.

"Sutan," teriak Datuk. Yang dipanggil menya hut. Karena tahu apa maksud panggilan itu, sebelum ditanya ia lebih dulu menjawab: "Kami pun mendengar. Rasanya dekat benar!"

"Si Buyung belum pulang," kata Datuk. Sutan alano turut cemas, karena di antara mereka masih ada hubungan keluarga. Datuk mengajak Sutan bersama-sama ke tempat orang yang mengadakan keramaian memeriahkan perkawinan. Dalam dialog melalui jendela, mereka semufakat untuk sama-sama turun rumah dengan

membawa obor. Harimau takut pada api.

"Hati-hatilah Da," pesan istri Datuk yang semakin bingung. "Harimau lapar selalu ganas. Belum tentu takut pada obor!"

Datuk menenangkan hati istrinya dengan mengatakan, bahwa ia tidak pergi seorang diri. Ada Sutan Malano yang tentu akan ditemani oleh anaknya Sayuti, sahabat dekat dan sebaya dengan Buyung Bagak.

Pintu dibuka, tetapi begitu sampai di anak tangga bawah, Datuk menjerit-jerit diiringi ledakan tangis dengan menyebut-nyebut nama anaknya. Istrinya terkejut dan sebelum sampai melihat dia sudah tahu apa yang terjadi. Pasti anak mereka. Begitu melihat Buyung tersandar di anak tangga bawah perempuan malang itu menjerit histeris lalu tidak sadarkan diri. Sutan Malano pun sudah tiba, disusul oleh tetangga-tetangga lain.

Kampung itu jadi gempar. Dan kejadian mengerikan yang sangat aneh itu jadi pembicaraan. Ada yang berbisik-bisik, tetapi ada pula yang berterus-terang.

Ada yang menduga, bahwa Buyung diserang di tempat lain, tetapi masih mampu membawa tubuhnya sampai ke rumahnya. Malah ada yang menyangka, bahwa si harimau tak kuat menghadapi kehebatan silat Buyung Bagak, sehingga ia melarikan diri tanpa mencapai maksud yang sebenarnya, yaitu menyeret mangsanya untuk dimakan di hutan. Mayat diangkat ke rumah.

Beberapa orang dengan bersenjatakan parang, tombak dan obor mengikuti jejak harimau yang dimulai dari tangga rumah. Ketika panik tadi mereka tidak sampai melihat jejak-jejak itu yang sebenarnya kelihatan jelas, karena pada siang harinya turun hujan dan tanah becek. Karena selain jejak, juga kelihatan jelas dua bekas lain di antara jejak-jejak itu, mereka dapat menarik kesimpulan bahwa penerkaman terjadi di tempat lain tetapi si raja hutan menyeret tubuh Buyung di antara kaki kiri dan kanannya sampai ke tangga rumah. Kini bulu kuduk mereka berdiri, tetapi bersamaan dengan itu juga mendapat keyakinan, bahwa harimau itu hanya

menghendaki orang tertentu dan bukan pula harimau biasa. Harimau biasa tidak akan membawa mayat korbannya sampai ke tangga tempat kediamannya. Tetapi mereka tidak menyebut-nyebut si Kalek, karena kejahatan itu sangat dirahasiakan oleh Buyung dan ayahnya. Penduduk menyangka, bahwa Kalek diam-diam meninggalkan kampung mencari selamat. Datuk pun tidak berani menyebut-nyebut kemungkinan bahwa yang menyerang itu barangkali si Kalek yang sudah disihir jadi harimau, karena segenap penduduk akan membenci dan menjauhi dirinya. Perbuatan itu sangat keji, terkutuk dan sangat ganas. Hanya beberapa orang

menduga, bahwa harimau yang datang dan membunuh Buyung Bagak tentulah harimau yang pernah dilukai Buyung tatkala berburu dan binatang itu datang membalas sakit hatinya. Itulah makanya dipesankan kepada pemburu untuk tidak menembak harimau yang tidak mengancam keselamatannya, karena lazimnya binatang buas itu tidak akan menyerang manusia yang tidak mengusik diri serta keluarganya. Dan kalau pemburu menembak harimau harus sampai mati. Namun begitu masih ada satu bahaya. Kalau yang mati ditembak seekor jantan dan yang betina tahu siapa yang menembak, maka betina ini akan melakukan pembalasan kalau terbuka kesempatan untuk itu. Begitu juga sebaliknya.

Datuk nan Diateh yakin bahwa yang membunuh anaknya si Kalek. la menyesal telah berbuat sejahat itu terhadap orang yang diketahuinya tidak punya kesalahan apa pun, bahkan mengangkat nama kampungnya oleh kemahirannya bersilat. Tetapi kematian anak tunggalnya itu juga membangkitkan dendam terhadap harimau buatan penyihir yang disewanya, la meminta orang sekampung dan penduduk dari kampung-kampung yang berdekatan untuk memburu pembunuh anaknya. Oleh rasa segan kepada Datuk, banyak juga yang mematuhinya sebagian dengan hati berat dan takut. Kuatir harimau itu marah pula kepada mereka, karena mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Ada yang sengaja pergi dengan berbagai alasan, supaya jangan terlibat. Si Kalek yang punya insting bahwa ia pasti akan diburu untuk dibunuh, sengaja pula pindah dulu ke hutan lain sampai keadaan reda kembali.

Setelah beberapa kali berbu-ru tanpa hasil, orang kampung tak bersedia lagi. Mereka memberi alasan, bahwa mungkin yang menyerang itu harimau jadi-jadian, jadi tidak di hutan tempatnya. Datuk yang yakin, bahwa harimau itu tak lain daripada si Kalek, pergi ke Padang menghubungi pemburu profesional. Yang biasa memburu harimau untuk mendapat kulitnya guna diperdagangkan. Tak kurang dari lima pemburu menyediakan diri. Apalagi dengan bayaran cukup tinggi yang dijanjikan Datuk. Tiap pemburu diberi upah dan kepada yang menewaskan si pembunuh manusia akan diberi pula hadiah tambahan yang melebihi harga seekor harimau. Beberapa pawang juga ambil bagian, walaupun mereka tahu bahwa harimau itu tidak akan dapat ditangkap melalui jerat atau perangkap kalau ia memang bukan harimau biasa. Dan sebenarnya mereka tahu, bahwa yang dikehendaki ini bukan harimau biasa. Turut serta mereka hanya nasib-nasiban, kalau-kalau ilmu mereka melebihi kepandaian dan akal si harimau.

Di tempat yang baru pun si Kalek tidak merasa aman lagi. Dan karena tahu nyawanya sangat terancam oleh orang-orang yang mengejar uang, maka ia tidak punya pilihan lain daripada membunuh mereka. Seorang pawang dan dua pemburu diterkam dan dikoyak-koyaknya. Setelah itu pemburu bayaran pun tidak bersedia lagi. Tetapi si Kalek tetap curiga pada manusia yang masuk ke kawasannya. Itulah sebabnya keempat orang yang datang dari Bukittinggi itu dihadang dan diserang oleh si Kalek. Pakaian Datuk dan Sutan Mangkuto yang serba hitam dan sangat dikenal oleh si Kalek sebagai pakaian pendekar telah sangat menimbulkan kecurigaan di hati harimau. Dia menilai bahwa yang terjahat di permukaan bumi ini manusia. Walaupun manusia Iuga yang terpintar dan terbaik.

Orang tua yang menceritakan riwayat harimau asal manusia kepada Dja Lubuk, Erwin dan kedua pesilat dari Minang itu mengungkapkan, bahwa si Kalek tidak bekerja setengah-setengah. Masih ada satu lagi yang harus dibinasakannya, yaitu pesihir yang menerima tugas dan upah dari Buyung Bagak. Tanpa adanya pesihir itu, biar pun si Bagak mempunyai segunung uang, si Kalek tidak

akan berubah Iddi harimau. Dalam hal ini uang dan kekuatan tidak dapat dipisahkan.

Orang tidak tahu bagaimana kejadiannya. Tetapi pada suatu pagi masyarakat kampung Sianok, Bukittinggi telah menemukan mayat yang pasti diterkam lalu dicabik-cabik harimau di jalanan kampung itu, padahal tempat itu tidak pernah dimasuki harimau. Penduduk merasa lebih aneh lagi karena ternyata si harimau mengeluarkan jantung dan otak mangsanya lalu meletakkannya kira-kira lima meter dari mayat. Orang tahu, bahwa yang mati itu pesihir dari desa Kamang.

0odwo0

Mendengar kisah harimau yang baru mereka lumpuhkan itu, Dja Lubuk dan Erwin termenung, sementara bagi Datuk dan Koto cerita itu hanya merupakan cerita aneh penuh kehebatan yang amat menarik. Mungkin keharuan Dja Lubuk dan anaknya disebabkan keadaan diri mereka yang tidak normal. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pengungkap kisah, mereka mohon diri.

Belum jauh melangkah, Dja Lubuk berkata kepada anaknya, bahwa ia bermaksud kembali ke hutan mencari harimau yang mereka kalahkan tadi. la menganjurkan anaknya untuk meneruskan perjalanan ke Palembang, tetapi Erwin pun rupanya ingin kembali, la mengusulkan kepada ayahnya agar ia saja yang kembali mencari si Kalek, sementara ayahnya lebih baik kembali ke Tapanuli. Ternyata ayah dan anak punya maksud sama, kedua-duanya hendak mencari Kalek. Kedua pendekar Minang yang dianjurkan untuk kembali saja ke Bukittinggi, karena mereka masih mau masuk hutan lagi, juga menyatakan ingin ikut. Rupanya mereka menyesuaikan diri dengan Dja Lubuk dan Erwin yang diharap akan menurunkan beberapa kepandaian kepada mereka.

"Kami yang melukainya, kami mau mohon maaf," kata Datuk yang dapat menebak apa sebab Dja Lubuk dan anaknya mau kembali mencari harimau yang berasal dari manusia itu.

Tidak terlalu mudah mencari si Kalek yang luka, la tentu bersembunyi. Tetapi akhirnya ketemu juga. Harimau itu tidak menyangka, bahwa keempat orang itu akan kembali. Apakah mau menyelesaikan dirinya yang baru luka? Sampai ia mati, karena harimau luka sangat berbahaya? Tetapi ia heran ketika melihat Dja Lubuk dan ketiga orang lainnya memberi hormat dengan menyusun jari. Wajah mereka kelihatan terharu. Kalaulah si Kalek bisa bicara, tentu ia akan bertanya.

Dja Lubuk yang mulai berkata lembut: "Kami kembali untuk mohon maaf. Kami telah mendengar semua dari Angku Sati. Sebenarnya engkau lengan aku dan Erwin, punya nasib buruk yang sama," kata Dja Lubuk dengan suara lembut sambil mendekati si Kalek yang terbaring karena sakit, la memegang kaki kemudian mengelus kepala si Kalek dongan airmata membasahi pipi. Si Kalek yang mengerti seluruh kata-kata Dja Lubuk pun tak kuasa liigi menahan airmata yang sudah sejak tadi hendak terlepas dari bendungannya. Erwin menyertai belaian Ayahnya terhadap si Kalek.

0odwo0

TIGABELAS

PERLAHAN-LAHAN tampang harimau yang tadinya ganas itu berubah. Memperlihatkan kesedihan. Jelas sekali, walaupun ia harimau, la memandangi mereka seakan-akan mengucapkan teri-makasih, karena ada manusia-manusia yang mengerti dan bersimpati kepada nasibnya. Kemudian tampak tenaganya kian berkurang, tubuhnya melemas dan muka sedih itu mengesankan kepasrahan. Seperti orang yang akan menyudahi hidupnya. Dan memang benarlah si Kalek akan mati, sebagaimana tiap makhluk bernyawa pada saatnya akan mati. Mungkin di dalam hati ia amat sedih dan menyesal, karena ia tak mampu menyatakan terima kasih dengan kata-kata yang dimengerti oleh orang-orang itu. Mungkin juga ia ingin mohon maaf, karena ia telah salah sangka menganggap mereka sebagai musuh. Walaupun kesalahdugaan itu semata-mata akibat nasib buruk dan pengalaman pahit yang

menimpanya bertubi-tubi.

"Kau hendak pergi, Kalek?" tanya Dja Lubuk

y(ing sangat paham akan gelagat itu. "Pergilah dengan tenang. Semua kita akan pergi."

Mengerti akan perasaan Dja Lubuk dan tahu ipa yang akan terjadi, air mata Kalek semakin deras mengalir, seperti hendak dihabiskan semua, sebab setelah ini dia tidak akan menangis lagi.

Erwin membaca surat Yasin, napas si Kalek mengendur, ia mengatupkan mata. Bukan hanya Erwin, kedua pendekar Minang itu pun tak kuasa menahan air mata, dapat merasakan kesedihan harimau yang manusia itu. Bersamaan dengan kepergi-an nyawanya, tubuh harimau itu secara perlahan berubah menjadi manusia kembali. Ketika tubuh telah berubah sempurna, nyawa pun telah tiada. Si Kalek tak sempat berkata-kata.

Mereka semua takjub, terlebih lebih Datuk dan Koto. Selama ini mereka hanya pernah mendengar cerita. Kini mereka saksikan dengan mata sendiri. Suatu kenyataan yang tidak dapat dimengerti, tetapi juga tidak dapat dibantah.

Keempat orang itu berunding. Ada satu kesamaan, yaitu mayat itu harus dikuburkan.

"Bagaimana yang baik?" tanya Dja Lubuk. "Kita kuburkan di sini?"

Datuk dan Koto tidak menjawab, tetapi Erwin berpendapat bahwa sebaiknya mayat itu diantarkan ke keluarganya. Agar mereka tahu kematian si Kalek dan mereka yang menguburkan mayatnya. Walaupun akan timbul tanda tanya yang tak terjawab, tetapi mereka pasti akan mendapat semacam kelegaan, bahwa Kalek telah meninggal. Dan bukan mati tanpa tentu rimbanya.

Mereka tunggu hari malam diselingi dengan bacaan doa, agar dosa-dosa si Kalek diampuni dan rohnya diterima di yaumil mahsyar.

Pada malam hari mereka usung mayat si Kalek, diletakkan dengan khidmat di surau kampung kediamannya. Pada waktu sholat

subuh orang sudah akan mengetahuinya.

Setelah itu, kedua manusia harimau dan kedua pendekar meneruskan perjalanan. Kini tidak lagi berjalan kaki. Mereka naik bis yang hampir penuh oleh penumpang. Setelah jalan beberapa kilo, seorang penumpang berkata, "Ada yang lain di dalam bis ini." Semua penumpang memandang dan menunggu kelanjutan kata-katanya. Rupanya dia orang berisi. Dja Lubuk dan anaknya saling pandang, seolah-olah mengatakan, bahwa mereka harus bersiap.

Seorang penumpang lain, yang tertarik tetapi tak mengerti apa maksud orang tadi dengan kalimatnya bertanya apakah yang lain itu. Penumpang lain yang umumnya orang Minang tak bertanya. Mereka hanya tahu, bahwa yang berkata itu tentunya seorang pintar sehingga mengetahui ada yang "lain". Yang "lain" itu bica macam-macam. Bisa palasiek (semacam kuntilanak pengisap darah terutama darah bayi dan kanak-kanak), bisa cindaku, yaitu harimau jadi-jadian seperti ayah Sabrina yang dikeroyok orang di kampungnya, bisa juga seorang pencopet yang tercium oleh orang pandai itu.

Pertanyaan tidak dijawab. Datuk dan Koto tahu, bahwa yang dimaksud orang sekampungnya atau sedaerahnya itu tentulah mereka, terutama sekali Dja Lubuk dan anaknya. Merasa tersinggung oleh un\uk pandai orang orang tadi maka Datuk berkata, "Kalau ada yang tidak berkenan di hati Angku, turun sajalah di sini!"

Bagi yang mula-mula buka suara dan kemudian ternyata bergelar Angku Pasaman, tanggapan Datuk jelas merupakan tantangan. Dan ia lalu menyangka, bahwa orang inilah yang rupanya "lain" itu. Dia salah seorang di antara empat penumpang yang baru naik. Penumpang-penumpang lain mulai gelisah. Si orang pandai ditantang oleh orang yang merasa tersinggung. Mereka pun lalu menyangka bahwa Datuklah orang yang "lain" itu. Kalau bukan dia, mengapa pula dia harus merasa tersinggung dan menanggapi, pikir mereka. Dja Lubuk dan Erwin diam saja. Dalam hati mereka merasa'senang kepada kawan yang menganggap penghinaan

kepada teman juga penghinaan kepada dirinya. Itu salah satu dari pertanda kawan sejati.

Angku Pasaman pun bukan orang yang membiarkan tantangan berlalu tanpa reaksi, la penganut setia pepatah orang Sumatera Barat "Kato baja-wab, gayung basambuik" maka ia menantang balik 'Saya orang biasa, yang lain itulah yang seharusnya turun, sebab bukan di dalam bis ini tempatnya," lalu katanya kepada pengemudi "Pir, berhenti sebentar. Ada yang mau turun hendak masuk ke rimba!" Jelas Angku Pasaman sudah tahu, bahwa yang dimaksudkannya dengan "lain" itu adalah harimau l»di jadian. Itu yang dikenal di sana. Manusia harimau boleh dikata jarang sekali disebut, karena memang hanya ada beberapa di daerah Minang.

Datuk yang tadi sudah menanggapi jadi tambah panas. Terang yang dimaksud orang usil itu Dja Lubuk atau anaknya, yang tidak menanggapi, karena mampu menahan diri. Sesudah Angku Pasaman menyebut rimba pun mereka diam saja.

Supir menghentikan bis, suasana kian mencekam. Para penumpang biasa tidak berani buka mulut. Mereka semua ketakutan, entah apa yang akan terjadi. Dua orang sudah saling menantang didengar orang banyak. Apa hanya sampai di kata-kata saja? Bagi yang punya harga diri akan sangat memalukan.

Datuk berdiri, bukan untuk langsung turun, te-tapi menarik tangan Angku Pasaman sambil berka-ta, "Tuan tentunya orang bagak, mari kita coba!"

Orang yang ditarik, bertahan tidak mau turun. Dja Lubuk menyuruh Datuk duduk, yang dipatuhi tanpa tanya. Semua orang, termasuk Angku Pasaman menyangka, bahwa orang tua berambut dan berjanggut serta bermisai putih itu tentulah ayah orang yang menantang. Dja Lubuk memalingkan pandang kepada Angku Pasaman, sehingga mata mereka bertemu. Hati orang itu bergoncang, matanya tak kuat bertatapan dengan Dja Lubuk, la tunduk, menimbulkan rasa heran sekaligus mengetahui bahwa orang tua itu bukan orang sembarangan.

Berkata Dja Lubuk kepada supir bis "Bung supir, suruh kenekmu menurunkan kopor hitam Angku ini. Beliau ingin turun di sini saja."

Membangkitkan kagum semua penumpang, Angku Pasaman tanpa menjawab barang sepatah kata pun, bangkit lalu turun. Kenek menurunkan kopornya. Betul kopor itu berwarna hitam, membuat semua orang tambah heran. Sudah pasti orang itu bukan mau turun di sini, di tengah rimba yang terkenal menyimpan banyak harimau dan gajah.

Tetapi ia turun tanpa protes.

Setiba di bawah, Angku Pasaman berdiri terbo-doh-bodoh, mulai diselapi perasaan takut, karena ia bukan pawang harimau walaupun banyak kepandaian. Dan dia sadar, bahwa orang tua yang mengatakan dia mau turun di situ jauh lebih hebat dari dirinya.

"Jalan, bung supir," pinta Dja Lubuk. Bis itu bergerak.

Tetapi setelah lebih kurang dua puluh meter, Dja Lubuk meminta supir supaya berhenti lagi. Semua orang heran, apa pula lagi yang akan dilakukan orang yang pasti punya kekuatan luar biasa ini.

Dja Lubuk turun, tak ada seorangpun yang berani bertanya. Juga Erwin tidak. Setiba di bawah, Dja Lubuk memandang ke arah Angku Pasaman yang berdiri kebingungan, tak tahu akan berbuat apa. Dja Lubuk memanggil dengan tangannya. Orang yang turun bukan atas kemauan sendiri tadi, datang. Berdiri di hadapan Dja Lubuk seperti orang bisu.

"Naiklah," kata Dja Lubuk. Dan orang itu naik tanpa kata.

la duduk kembali di tempatnya tadi, dipandangi semua penumpang, tetapi tak seorangpun mengajukan pertanyaan. Mereka sudah paham. Bahwa ilmunya ditundukkan oleh orang tua yang impaknya hanya manusia sederhana saja.

Atas permintaan Dja Lubuk, bis berjalan lagi. Supir dan kenek pun tahu, bahwa bersama mereka rida seorang manusia yang pandai luar biasa. Dia pasti punya ilmu penunduk (pitunduek).

Sampai di Sungai Dareh, keempat penumpang dari Sawahlunto itu turun, walaupun sebenarnya bukan itu tempat yang dituju.

"Mengapa kita turun di sini Amang?" tanya Erwin.

"Kasihan penumpang-penumpang bis itu. Selagi kita masih ada di sana mereka tercekam dan tak dapat berkata-kata. Dengan cara ini kita membebaskan mereka," kata Dja Lubuk.

Datuk dan Koto seperti bermimpi. Rasa heran dan kagum sejak di Panorama Bukittinggi sampai pertarungan dengan harimau yang ternyata berasal dari manusia, kembalinya mereka mendapatkan si Kalek sampai mengantarkan mayatnya, kini bertambah lagi dengan rasa hormat, karena orang ajaib yang luar biasa tangguh itu ternyata punya hati yang penuh kemanusiaan. Dibenarkannya Angku Pasaman naik kembali ke bis setelah disuruhnya turun hanya melalui kekuatan pandangan matanya, membuat Datuk dan Koto menduga, bahwa inilah yang boleh dinamakan mahaguru. Ketegasannya disertai oleh kemanusiaan yang amat tinggi terhadap siapa saja. Termasuk terhadap orang yang menghina atau hendak membinasakannya. Sangat jarang manusia punya kebolehan dan budi seperti Dja Lubuk. Kedua pendekar itu kini merasa bahwa diri mereka belum apa-apa, baik dalam hal tenaga dan ketangkasan maupun dalam budi pekerti.

Di sungai Dareh Dja Lubuk mengatakan, bahwa ia hendak kembali ke Tapanuli karena merasa terpanggil. Mungkin kehadirannya di negeri yang masih belum dijamah pembangunan itu amat diperlukan. Datuk dan Koto menangis sampai terisak-isak. Selama hidup mereka belum pernah mengenal orang sehebat dan selembut Dja Lubuk, walaupun selain dia, tentu masih ada manusia-manusia yang tak kalah pintar dan baik hati. Tetapi mereka bukan manusia harimau yang sewaktu-waktu bangkit dari kuburannya.

0odwo0

Erwin menasehati kedua pesilat Minang itu untuk kembali saja ke Bukittinggi, sampai nanti keadaan membuat mereka bertemu lagi.

Tetapi Datuk dan Koto sangat memohon supaya boleh turut ke tempat tujuan Erwin. Guna lebih banyak melihat dan dengan begitu lebih banyak belajar, kata mereka.

"Dalam perjalanan dari Bukittinggi kemari saja kami sudah menyaksikan sendiri, bahkan turut mendapat pengalaman yang amat berharga. Ayah abang dan abang jelas merupakan guru yang dapat memberi banyak pelajaran."

Erwin menyerah, lalu ketiga orang itu berangkat menuju Palembang. Erwin akan langsung ke rumah Mei Lan, mohon maaf kepadanya dan menjelaskan seluruh peristiwa yang telah terjadi, la sangat berharap gadis itu dalam keadaan sehat-sehat, karena di dalam segala ketegangan yang secara beruntung dilaluinya ia tidak lupa kepada gadis Tionghoa itu. Dan selama hari-hari terakhir pikirannya diganggu kecemasan yang tidak jelas sebab musababnya. Apakah Mei Lan ditimpa penyakitnya kembali? ^

Dalam perjalanan menuju Lubuklinggau, Erwin .«'lalu termenung. Jelas bagi Datuk dan Koto bahwa sahabat mereka itu memikirkan sesuatu yang cukup berat. Rupanya orang sehebat dia pun bisa tak berdaya terhadap godaan kenangan atau kecemasan.

"Apa yang Abang pikirkan?" tanya Datuk yang duduk di sampingnya. Meskipun ia lebih tua beberapa tahun, tetapi untuk menghormati Erwin, ia memanggilnya dengan abang. Sebutan Tuan atau engku akan kaku dan pasti merupakan hambatan dalam hubungan yang diharap akan lebih akrab. Panggilan "guru" tentu tidak disukai oleh orang hebat yang amat bersahaja itu.

"Datuk memperhatikan? Memang banyak yang kupikirkan dan kadang-kadang aku cemas tanpa mengetahui apa sebabnya. Biasanya pertanda akan adanya sahabat atau keluarga yang ditimpa musibah. Aku masih berpendapat, bahwa sebaiknya kalian tidak usah turut ke Palembang. Di Lubukling-gau kita berpisah, bagaimana pikiran Datuk?" tanya Erwin.

"Walaupun baru beberapa hari, tetapi telah banyak yang kami alami. Kami akan mengantar Abang sampai ke Palembang. Kalau

ada yang menghadang, ijinkan kami turut menghadapi! Kalau kami harus mati, kami ikhlas dengan sepenuh hati!" kata Datuk dan ia berkata yang sebenarnya.

"Baiklah, kalau sudah begitu keinginan hati Datuk dan Koto."

Hujan lebat menyambut ketibaan mereka di Lubuklinggau. Mereka menyewa satu kamar untuk bertiga di penginapan sangat sederhana. Erwin masih punya sedikit uang. Bayar di muka, karena mereka bertiga hanya punya buntelan kecil. Bagi penanggung jawab penginapan dinilai sebagai tamu yang tidak bonafide. Ini bangsanya yang lari malam tanpa membayar.

Apa mau dikata, pada malam itu penginapan jadi heboh oleh ributnya orang tamu yang pedagang. Dia kecurian uang dan perhiasan. Dan apa boleh buat lagi, Erwin dan kawan-kawannya dicurigai sebagai pelaku.

0odwo0

EMPATBELAS

KETIGA sahabat itu merasa dihina. Mereka memang tidak punya apa-apa. Berjalan jauh tanpa perbekalan. Tetapi seumur hidup mereka belum pernah mengambil hak orang lain. Apalagi dengan memasuki kamar dan mencuri.

Seorang berbadan tegap yang bertugas sebagai penjaga keamanan penginapan sangat sederhana itu mendatangi Erwin dan kedua kawannya dan mengajaknya masuk kamar.

Dia menerangkan, bahwa persoalan itu tidak perlu diperbesar apalagi dihebohkan. Hanya membuat malu, katanya. Dia mengatakan, agar barang-barang yang dicuri itu dikembalikan saja dan tidak akan dibuat perkara apa pun.

Erwin tidak bereaksi. Dengan begitu ia berusaha sekuat-kuatnya menenangkan diri. la melihat bahwa Koto dan Datuk bukan hanya merasa amat malu karena dihina, tetapi sudah sukar menahan

amarah mereka. Mereka masih berhasil mengekang diri, karena diberi isyarat oleh Erwin agar bersabar.

"Kami mau bersumpah dengan cara apa pun, bahwa kami tidak tahu menahu dengan pencurian itu," kata Erwin.

"Di jaman ini sumpah tidak lagi menjamin suatu kebenaran," kata Dirham yang bertanggung jawab atas keamanan tamu di penginapan itu. Kata-kata itu memang benar, tetapi di masyarakat yang penuh dengan berbagai jenis penjahat ini, masih cukup banyak manusia yang takut akan kutukan sumpah. Kalau mereka ini sampai berani bersumpah tandanya mereka telah berkata benar.

"Kalian tidak keberatan kami geledah kamar ni dan diri kalian?" tanya Dirham. Berharap bahwa penggeledahan itu akan menghapuskan tuduhan terhadap diri mereka, maka Erwin setuju, walaupun panas hatinya kian meningkat.

Dirham memanggil dua orang kawan untuk memeriksa kamar yang ditempati oleh ketiga tamu yang tidak punya kopor dan amat sedikit uang. Semuanya dibulak-balik, sehingga isi kamar yang tidak seberapa itu jadi porak-poranda. Tidak ketemu a apa. Meskipun malu, ketiga sahabat itu merasa agak lega. Kini lepaslah mereka dari tuduhan. Tetapi kelegaan itu hanya beberapa saat. Yang kehilangan segera berkata, bahwa ketiga orang itu tentu telah menyembunyikannya di lain tempat. Mereka tentu tidak terlalu bodoh untuk menyimpan batang berharga dan uang curian itu di dalam kamar. Sebab mereka pun tahu bahwa kamar mereka akan digeledah.

Mendengar tuduhan itu Erwin tidak merasa perlu lagi menahan diri yang sudah amat sulit dikendalikan, la melompat ke arah penuduh itu, be gitu cepat dan di luar dugaan, sehingga Tamsir, si pedagang yang kecurian dan punya mulut ceroboh itu, tidak sempat mengelak agak selangkah pun. Satu tamparan keras menghantam pipinya, membuat ia terjajar, tetapi tidak sampai jatuh. Dirham bertindak karena merasa kewajibannya melindungi Tamsir. Sudah kecurian, dipukul pula. Dirham melayangkan tinjunya dengan sepenuh tenaga ke muka Erwin. Malang baginya, tidak mengena,

karena ditepiskan oleh si manusia harimau dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya bersarang ke rusuk di petugas keamanan. Kalau tinju Dirham yang besar mengenai sasaran, pasti muka Erwin akan pecah, tetapi kini dialah yang terbungkuk sambil memegang rusuknya yang terkena sodokan tangan Erwin. Padahal pukulan Erwin hanya mempergunakan tiga puluh persen dari tenaga biasa.

"Bunuh!" teriak Tamsir yang merasa sangat dihina oleh orang miskin itu, dengan keyakinan bahwa beberapa belas orang yang berkerumun di situ tentu akan membantai Erwin dengan kedua kawannya, yang kelihatan bersiap-siap untuk menyambut segala kemungkinan. Tetapi tak ada seorangpun yang memberi respons. Pukulan Erwin terhadap Tamsir dan Dirham membuat mereka berpikir untuk melibatkan diri.

"Apalagi kalian semua, pengecut!" hardik Dirham yang kini dendam kepada Erwin. Si bangsat gelandangan itu berani meletakkan tangan atas dirinya. Betul-betul cari mati. Sambil berkata begitu Dirham melompat lagi dengan tindakan diarahkan ke dada Erwin. Tidak lagi sekuat tadi, karena rusuknya masih terasa sakit. Sekali lagi Erwin menepiskan pukulan itu dan sekali lagi pula tangannya masuk ke rusuk Dirham. Kalau tadi menerpa rusuk kanan, kini yang sebelah kiri.

Sementara itu beberapa orang Polisi di bawah pimpinan Kapten Kahar Nasution yang rupanya di-beritahu melalui telepon tentang adanya pencurian dan keonaran di penginapan itu telah tiba di sana.

"Itu dia pencurinya. Pak Kapten," kata Dirham yang mengenal perwira Polisi itu. "Orangnya sedang kalap!"

Kapten Kahar memperhatikan Erwin, memandang dari atas ke bawah. Dia juga melihat ke araA Koto dan Datuk.

Tamsir menceritakan apa yang terjadi. Dirham menyatakan keyakinannya bahwa yang pantas dicurigai hanya Erwin dengan kedua kawannya.

"Bagaimana itu Saudara Erwin?" tanya Nasution yang tenang-

tenang saja karena tidak terpengaruh oleh tuduhan.

"Kalau orang yang tidak punya apa-apa pantas dituduh jadi pencuri karena ada orang yang kehi angan, pantaslah kami dituduh. Karena kami memang tidak punya apa-apa. Perjalanan kami dari Bukittinggi sebagian dilakukan dengan jalan kaki," jawab Erwin tenang.

"Saya datang kemari hanya menjalankan tugas. Boleh saya bertanya tanpa menyinggung perasaan Saudara?" tanya Kapten Kahar, la lalu bertanya, pakah tuduhan Tamsir dan Dirham benar. Erwin menyangkal. Seumur hidupnya tidak pernah mencuri dan dia tidak akan pernah jadi pencuri.

"Pasti dia dan kedua kawannya itu yang mencuri Pak Kapten," kata Dirham. "Kalau kena cara nya mereka pasti mengaku," tambahnya.

"Tidak ada cara yang akan membuat saya mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan," kata Erwin.

Kahar yang tetap tenang tetapi mengikuti semua kata-kata yang menuduh dan dituduh berkata: "Baiklah, yang kehilangan dan Saudara Dirham begitu pula para tersangka ikut dengan saya ke Kantor Polisi untuk memberi keterangan." Kahar yang tidak suka dengan suasana tegang bertanya dari mana asal Erwin dan kedu«'kawannya.

"Saya dari Mandailing dan kedua sahabat saya ini kenalan baru di Bukittinggi, ingin turut ke Palembang. Mungkin oleh perasaan asal daerah yang sama, Kahar bertanya, siapa orang tua Erwin.

"Ayah saya sudah tidak ada. IMama beliau Dja Lubuk f" jawab Erwin.

Jawaban benar dan sederhana itu rupanya membuat Kapten Kahar Nasution agak terkejut. Dia pernah mendengar cerita yang seperti dongeng tentang Dja Lubuk dengan anaknya Erwin. Dia dengar juga tentang seorang laki-laki bernama Erwin di dalam kematian hartawan Husni yang dibinasa-kan oleh harimau di luar

kota Muara Bungo. Apakah benar ini orangnya? Bukan tak mungkin dia ! hanya mengaku-ngaku anak Dja Lubuk dengan ha- i rapan orang takut kepadanya karena nama Dja Lubuk cukup disegani oleh mereka yang mengenal kisahnya. Ketika Kapten Polisi Kahar berpikir bahwa mungkin orang ini hanya omong kosong, mendadak terdengar suara harimau di penginapan itu. Semua orang terkejut, juga Kapten Kahar. Tetapi ia segera paham, bahwa orang yang disangka mencuri itu berkata benar. Yang mengaum itu Dja Lubuk, ayah Erwin yang selalu hadir dimana anaknya terjepit. Kapten Kahar tidak akan mundur dalam menjalankan tugas, tetapi dia akan berhati-hati. Dia tahu tentang beberapa anggota Polisi yang tewas di Jakarta.

"Kapten," kata Erwin. "Sebelum Kapten membawa kami ke Kantor Polisi, saya punya usul. Yang jadi masalah pencurian dan siapa yang mencuri. Bagaimana kalau Kapten perintahkan agar semua orang yang menginap di hotel ini dan semua petugasnya berkumpul. Siapa tahu. Kapten akan mendapat pencurinya di sini. Barangkali kawan-kawan saya, barangkali saya. Tetapi barangkali juga orang lain yang ada di antara kita!"

"Saya rasa tidak perlu Pak Kapten," kata Dirham. "Sudah pasti mereka. Usulnya itu hanya suatu muslihat licik untuk mengibuli Pak Kapten dan kita semua!"

"Saya tidak percaya kepada mereka, tetapi usulnya itu bukan usul yang pasti tak berguna. Kalau dia licik, akan kita ketahui juga kelicikannya!" kata Kapten Nasution dan ia memerintahkan bawahannya untuk mengumpulkan semua tamu dan petugas penginapan. Setelah semua berkumpul, pihak penegak hukum secara singkat menceritakan apa yang mereka sudah ketahui. Seorang tamu kemalingan dan tiga tamu lainnya disangka menjadi pencurinya, karena mereka tidak memiliki apa-apa. Menyangka saja bukan merupakan kekuatan untuk menahan seseorang, apalagi membawanya ke pengadilan.

"Bapak kan tahu caranya, bagaimana membuat maling mengakui perbuatannya," kata Dirham. Tamsir menguatkan. Kedua orang ini

ingin Erwin dihajar sampai rusak, karena kedua-duanya sudah mendapat pelajaran dari si manusia harimau itu. Se kali lagi terdengar auman harimau di dalam penginapan itu. Dekat dan jelas sekali. Orang tambah takut dan gelisah.

"Apa itu Pak Kapten. Seperti suara nenek be-lang," kata Tamsir. Mereka semua berkata serupa, Kapten Kahar pun mengatakan, bahwa ia juga mendengar.

Kemudian perwira Polisi itu berkata lagi "Barangkali harimau keramat. Saya pernah mendengar bahwa di sekitar sini memang ada harimau aneh. la datang kalau ada kejadian yang tidak baik. Tetapi dia tidak mengganggu manusia yang tidak berdosa. Saya ingin bertanya kepada kalian "Saya mau mencari jalan tengah. Kalau benar tak mungkin orang lain yang mencuri, saya akan bawa ketiga orang ini. Tetapi kalau misalnya bukan mereka yang mencuri, saya harap pencuri yang sebenarnya berbaik hati untuk mengaku. Saya rasa yang kehilangan akan puas kalau barang dan uangnya dikembalikan. Bagaimana Saudara Tamsir!" Kapten Polisi Kahar berkata begitu, karena ia tidak ingin jatuh korban karena amarah Dja Lubuk, la yakin, bahwa Erwin ini benar anak Dja Lubuk. Perasaannya itu pasti tidak keliru, begitu pikirnya walaupun ia tidak memperlihatkannya.

Ketika tidak ada seorang pun yang mengaku, Erwin mohon ijin untuk bicara.

"Saya punya pisau yang dapat menunjukkan siapa yang mencuri, kalau dia ada di antara kita," kata Erwin. "Sudah tentu, kalau Kapten percaya, bahwa di belahan bumi ini masih ada kekuatan gaib tersimpan di dalam berbagai tempat. Termasuk di dalam diri manusia, hewan dan benda mati." Kapten Kahar semakin percaya, bahwa inilah dia orangnya yang bernama Erwin, yang manusia harimau seperti ayahnya. Yang mengaum tadi tentu ayahnya, la pernah mendengar cerita yang seperti dongeng, bahwa Dja Lubuk akan bangkit dari makamnya kalau anaknya dalam bahaya.

"Bagaimana Tuan-tuan, tak ada ruginya kita lihat pisau orang yang Tuan-tuan tuduh ini. Apakah benar punya kemampuan

menunjukkan siapa yang sebenarnya melakukan pencurian!" kata Kapten Kahar Nasution.

"Ah, itu hanya sulap atau sihir yang akan menipu pandangan mata kita!" kata Dirham yang belum puas menghina Erwin.

"Kalau begitu kita tonton sulapnya itu," kata Kahar sambil bertanya kepada Erwin. "Apakah kami harus membayar?"

"Kami bukan tukang bikin pertunjukan Kapten!" jawab Erwin singkat.

Kapten Kahar memerintahkan anak buahnya supaya membuat semua orang duduk membentuk lingkaran. Walaupun Dirham dan Tamsir serta seinlah orang keberatan, mereka terpaksa menurut perintah para penegak hukum itu. Kalau engkar bisa dianggap takut. Dan takut, tanda bersalah.

Erwin duduk di tengah-tengah, sementara kedua sahabatnya turut membuat lingkaran bersama hadirin yang lainnya. Datuk dan Koto semakin hormat kepada Erwin yang rupanya masih menyimpan banyak kepandaian. Betapa enaknya, kalau mereka mempunyai kepintaran semacam anak muda itu.

Tak kurang dari Kapten Kahar sendiri yang membuat pedupaan. Orang-orang heran, tetapi ia membuang rasa heran itu dengan berkata, "Jangan heran, saya juga manusia semacam kalian semua. Dan saya selalu tertarik dengan kekuatan-kekuatan gaib!"

Erwin memulai setelah beberapa saat menenangkan diri dan mengkhusukkan segenap perhatian. Setelah pikirannya menjadi satu ia membaca mantra seperti yang telah beberapa kali dilakukannya kalau ingin mengetahui sesuatu yang masih gelap.

Pisau yang diletakkan di atas piring ceper mulai bergerak. Ke kiri dan ke kanan. Yang menyaksikan, termasuk Kapten Kahar dan kedua orang yang melemparkan tuduhan berat atas dirinya menumpahkan seluruh perhatian. Kapten Kahar karena tertarik, Dirham dan Tamsir karena mulai takut. Yang mereka tuduh dan hina itu rupanya seorang dukun yang barangkali termasuk kaliber

lumayan.

"Saudaraku Siti Alus," kata Erwin. "Semua manusia yang ada ini percaya, bahwa kau tidak akan mau berdusta. Kau akan menikam siapa saja yang coba menumbangkan kejujuranmu dengan kekuatan hitam yang ada padanya."

Suasana sangat hening, tetapi terasa mencekam. "Siti Alus, tolong jawab pertanyaanku ini. Apakah si pencuri uang dan barang saudagar Tamsir ada di antara kami yang hadir, termasuk diriku? Kalau ada, berdiri dan menjulanglah pelan-pelan." Suasana tambah tegang dan beberapa wajah memperlihatkan rasa takut. Pucat.

Pisau yang diberi nama Siti Alus itu bergerak, pelan-pelan berdiri sampai lurus di atas piring. Kemudian ia bergerak, naik. Semua mata seperti tidak percaya akan apa yang mereka lihat! la seperti mengatakan, bahwa si pencuri ada di antara mereka yang hadir.

0odwo0

LIMABELAS

PISAU itu kian tinggi dari piring sampai sebatas kepala Erwin dan para hadirin yang duduk di sekelilingnya. Kemudian berhenti, tanpa ada penahan dari atas, tanpa penunjang dari bawah.

"Yang mencuri uang dan perhiasan berharga milik Tamsir ada di antara kita. Barangkali saya. Barangkali kepala keamanan yang sangat keras menuduh saya!" kata Erwin dengan suara lantang tetapi tenang.

"Bohong," teriak Dirham.

"Dia tidak menuduh, hanya mengatakan mungkin dia sendiri, mungkin juga Saudara. Mengapa mesti marah!" kata Kapten Kahar.

Kata Erwin melanjutkan," Pisau ini boleh kita minta sekedar menunjukkan pencurinya atau langsung menembus jantungnya!"

Tiba-tiba dua orang muda berpakaian parlente berteriak, "Kami

yang mengambil. Kami mengaku, jangan ditikam!" Semua orang tercengang, kemudian terdengar bisik-bisik. Tamsir dan Dirham malu bukan kepalang.

"Bagaimana Saudara Tamsir dan kepala keamanan?" tanya Kapten Kahar. "Orang miskin tidak mesti dituduh mencuri. Percayakah kalian pada pengakuan kedua orang ini? Ataukah kalian pikir mereka mustahil mencuri. Di antara semua yang hadir tampaknya merekalah yang paling mampu!"

Dirham dan Tamsir diam. Mereka tidak merasa perlu minta maaf, hanya kepada seorang dukun yang tidak memiliki apa-apa selain sedikit kepintaran.

Dirham malah berkata, "Rupanya dia dukun. Kukira pantaslah kalau Tuan Tamsir memberi sekedar upah!"

Erwin membaca mantra lagi dan pisaunya turun perlahan-lahan sampai rebah kembali di atas piring tanpa memberi suara.

"Berapa upahnya dukun?" tanya Tamsir yang ternyata punya sifat sombong. Dia tidak takut, karena bukankah di sana ada Polisi? Dukun itu tak kan berani macam-macam. Tetapi dengan amat mengejutkan orang banyak, tiba-tiba Tamsir terjungkal ke depan, seperti ada yang memukul tengkuknya. Padahal tidak ada orang yang memukul, la duduk kembali dengan perasaan takut dan malu. Terasa benar olehnya ada yang memukul, sementara semua orang tidak melihat ada pendatang baru.

Untuk menutupi rasa malu Tamsir berkata "Saya agak pening!"

"Saya harus membayar dukun berapa?" tanya Tamsir.

"Kukira seribu rupiah sudah cukup," kata Dirham.

Kini giliran Dirham tersungkur sambil menjerit. "Anda juga pening?" tanya Kapten Kahar. "Tidak, seperti ada setan memukul saya dari belakang. Barangkali setan itu marah mendengar upah seribu. Berilah dua ribu Tuan Tamsir!"

"Manusia sombong," bentak Erwin. Kini dengan suara

menggeledek yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. "Aku memang miskin. Hampir tidak pernah memegang uang ribuan. Tetapi aku beritahu kepadamu, bahwa aku meminta bantuan Siti Alus hanya untuk mengetahui siapa pencuri yang sebenarnya. Bukan untuk mencari upah. Kau dengar kataku? Aku tidak suka berkelahi, tetapi karena merasa kau sangat menghina diriku, aku tantang kau untuk beradu tenaga. Dengan senjata boleh, dengan tangan kosong pun jadi. Ataukah kau dengan senjata pilihanmu dan aku dengan tangan kosong! Anggaplah sebagai permainan antara andalan Lubuklinggau yang tegap besar, sarat gizi, dengan seorang perantau miskin yang tak pernah makan sempurna. Tadi kau bernafsu sekali meninjuku. Kalau kena mukaku, pasti akan remuk sampai tak bisa dikenal lagi."

Semua orang memandang Dirham yang berbadan besar dan kekar. Tetapi di luar dugaan, Datuk bangkit dari tempatnya duduk, melangkah ke Dirham dan menendang mukanya secara ahli, sehingga petugas keamanan itu terjungkal lagi. Kini ke belakang dengan hidung mengeluarkan darah.

"Bangkitlah!" bentak Datuk. Ketika orang itu hendak bangkit berdiri, satu tendangan keras menerpa dadanya. Kapten Polisi Kahar melompat dan menahan Datuk untuk melerai.

"Maaf Pak Kapten' kata Datuk sopan dalam amarah. "Perbuatan saya ini tidak pantas, apalagi di hadapan Bapak. Tetapi kesombongan orang ini sejak tadi terlalu menyakitkan hati."

Kata-kata yang mengandung kesadaran itu membuat perwira yang lapang hati itu dapat mengerti.

"Siapakah saudara, mengapa sampai berjalan kaki sejauh itu?" tanya Kapten itu ramah. Semua hadirin pasang telinga, ingin tahu kisah ketiga orang yang rupanya bukan petualang biasa.

"Di negeri saya, bagaimanapun miskinnya, saya ini bergelar "datuk" dan orang yang disegani. Bersama sahabat saya Koto kami bertemu dengan Pak Erwin. Melihat sifat dan kemampuannya kami memutuskan untuk belajar dari dia. Walaupun baru beberapa hari

kenal, tetapi selama itu kami sudah tahu betul siapa dan bagaimana dia sebenarnya. Kami pun sudah mengenal ayah beliau yang diterangkan beliau tadi!" kata Datuk.

"Tuan Dja Lubuk?" tanya sang Kapten.

"Ya, kami sudah bertemu, pernah seperjalanan, sudah menyalamnya! Pak Kapten juga sudah?" Kedua orang itu bercerita seperti dua orang sahabat. Kapten Kahar cukup tahu, bagaimana pandangan masyarakat daerah di Minangkabau terhadap Datuk mereka.

"Saya belum pernah bertemu, tetapi ada juga mendengar ceritanya," kata Kapten Kahar. "Ingin saya bertemu dengan orang hebat itu!"

"Lebih dari hebat Pak," kata Datuk. "Tetapi punya hati sehalus sutera. Itulah yang membuat kami sangat heran. Kekerasan, kejujuran dan kelembuta n bergabung di dalam satu diri!"

Orang ramai jadi tidak lagi memikirkan si Tamsir yang kecurian, tetapi seluruh perhatian mereka beralih kepada cerita Datuk tentang Dja Lubuk. Kebetulan tidak ada seorang pun di antara mereka —selain Kapten Kahar— yang pernah mendengar kisah tentang diri manusia harimau itu.

Sebuah auman lagi. Singkat tetapi keras, la menunjukkan kehadirannya.

"Tuan," teriak Datuk tanpa sengaja. "Tampillah Tuan Guru supaya dilihat oleh orang-orang ini!" Dan Datuk dengan sepenuh hati ingin agar Dja Lubuk memperlihatkan diri supaya mereka tahu, siapakah Erwin dan mereka berdua yang tadi dituduh mencuri, la akan bangga, kalau Dja Lubuk tampil di sana.

Tanpa memberi isyarat, tiba-tiba saja sudah berdiri di tengah lingkaran orang-orang yang masih duduk itu, suatu makhluk yang hanya pernah dilihat oleh Datuk, Koto dan tentunya Erwin yang anak kandungnya. Seluruh tubuhnya harimau. Hanya kepala merupakan seorang laki-laki tua tetap ganteng dan berwibawa

dengan mata yang tak ter tentang oleh siapa pun: Dja Lubuk!

Semua orang berubah jadi pucat. Beberapa wanita yang juga tamu hotel, menyertai suami atau orang tua gemetar lalu pingsan. Kapten Kahar Na-sution tidak luput dari terkejut dan seperti sukar percaya akan apa yang dilihatnya. Padahal ia sudah mendengar kisah tentang Dja Lubuk si manusia harimau yang meninggal dan dikuburkan di Mandailing tetapi kadang-kadang bangkit lagi untuk tampil di tempat yang perlu. Sampai-sampai di Pulau Jawa.

"Kau petugas yang baik Kahar. Mengabdilah dengan sebersih hati untuk bangsa dan negara. Jangan lupa kampung halaman. Lihat-lihat juga ke sana bagaimana keadaannya!"

"Terima kasih Ompung Guru," sahut Kahar dengan suara jelas tetapi bergetar, la memang sudah lama tidak pulang ke kampungnya. Tetapi dia mendengar, bahwa Mandailing masih sangat ketinggalan. Banyak penduduknya yang miskin dan melarat. Pada waktu itu juga datang niat di dalam hatinya untuk pulang sebentar ke Mandailing pada kesempatan pertama.

"Bagus," kata Dja Lubuk, "niatmu itu saja pun sudah sangat bagus. Menandakan kau belum lupa pada asalmu!"

Kahar Nasution heran dan kagum. Dja Lubuk benar-benar keramat, pikirnya.

"Bolehkah saya maju menyalam Ompung Guru?" tanya Kapten Kahar.

Manusia bertubuh harimau atau harimau berkepala manusia itu tertawa lalu berkata. "Kalau kau tidak jijik menjamah tanganku yang berbulu dan berkuku tajam-tajam ini, maka akulah yang mestinya berterima kasih. Mendapat kehormatan disa lam oleh seorang Nasution asal Mandailing yang sudah Kapten Polisi. Kudoakan, pada akhir tahun ini kau sudah akan naik pangkat jadi Mayor, Kahar!

Kapten Kahar bergerak dengan mengingsut ke ah Dja Lubuk. Sebelum ia sampai, makhluk itu telah berubah menjadi seorang tua biasa. Kepala yang sama dengan tubuh manusia sepenuhnya.

Hampir semua hadirin yang masih mampu menguasai diri menyebut Allahuakbar karena apa yang mereka saksikan itu hanya bisa terjadi oleh Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan yang tidak ada batasnya. Beberapa orang sujud, ketika Kapten Polisi Kahar Nasution menjabat dan menyalam tangan Dja Lubuk.

"Selama kau menjalankan tugas dengan hati bersih, tidak menyalahgunakan wewenangmu, Insya Allah kau akan dilindungi Tuhan." Perwira Polisi itu mundur kembali ke tempat ia duduk tadi.

Setelah Kahar duduk kembali, Dja Lubuk memandang ke sekelilingnya, meletakkan tangan kanannya di atas kepala Erwin. Kemudian hilang dari pandangan.

Serentak Dirham dan Tamsir mendatangi Erwin dan kedua sahabatnya, menyalam mohon maaf. Sebenarnya mereka sangat malu berbuat begitu karena tadinya mereka telah bersikap terlalu kasar dan sombong. Tetapi kehilangan muka bagi mereka masih lebih baik daripada kehilangan nyawa yang bisa saja terjadi kalau Erwin yang punya berbagai ilmu itu hendak membalas dendam. Pisau yang dapat disuruhnya itu tentu dengan mudah dapat pula diperintah untuk mendatangi mereka di mana saja, lalu menusuk jantung mereka tanpa ada tangan yang menikamnya.

Dirham yang amat ketakutan menawarkan kepada Erwin untuk menginap dan makan minum apa saja yang dikehendakinya tanpa membayar. Dengan halus ia menolak. Tawaran Kapten Kahar Nasution untuk menjadi tamunya pun ditolaknya dengan ucapan terima kasih.

Kedua orang yang mencuri barang dan uang

Tamsir dibawa ke Kantor Polisi untuk diproses. Ternyata mereka memang pencuri profesional yang selalu beroperasi di hotel-hotel. Di kopor mereka terdapat banyak sekali kunci untuk membuka pintu kamar yang jadi sasaran. Juga senjata api. Selain itu cukup pakaian bermutu untuk menampilkan diri sebagai orang-orang baik dan mampu. Mereka jarang menginap di penginapan amat sederhana, seperti yang mereka lakukan sekali ini di Lubukling-gau. Tetapi

mereka sudah tahu, bahwa Tamsir, seorang pedagang kaya yang tidak suka menginap di tempat mewah untuk menghindari biaya besar dan menarik perhatian maling dan penodong.

Bawahan Kapten Kahar Nasution yang turut menyaksikan seluruh kejadian di penginapan merasa hebat karena dapat menceritakan suatu kejadian nyata yang layaknya hanya terdapat di dalam dongeng. Rekan-rekan mereka semula tidak percaya, tetapi karena dipersilakan bertanya sendiri kepada sang Kapten atau orang-orang yang di penginapan, mereka jadi menyesal mengapa tadi tidak dibawa serta.

"Kalian melihat sendiri? Bukan sulap?" tanya beberapa Polisi.

"Pak Kapten bicara dan bersalaman dengannya!"

"Dengan harimau yang berkepala manusia?"

"Ya. Sudah tua, rambut dan misainya putih. Tetapi sangat ganteng dan penuh wibawa. Pandang-?in matanya akan membuat jantung berdebar dan kalau kurang kuat iman, bisa rontok!"

Kapten Kahar Nasution juga rindu kepada kampungnya di Mandailing yang sampai sekarang masih kurang dijamah kemajuan, kurang pula diingat oleh mereka yang sudah senang dirantau, kalau daerah luar Mandailing harus dikatakan daerah perantauan bagi mereka yang meninggalkan kampung halamannya. Banyak rumah yang dibangun lebih empat puluh tahun yang lalu sudah miring atau bahkan hampir roboh tanpa ada tangan-tangan yang memperbaikinya karena tiada biaya untuk itu. Di sela-sela kemiskinan yang memilukan itulah terselip kisah dan kejadian yang penuh misteri. Di negeri asalnya itu banyak harimau hidup berdampingan secara damai dengan manusia. Karena meskipun miskin orang-orang asli daerah itu tidak akan menggusur pemukiman si raja bolang. Namun begitu bukan tak ada manusia peladang atau penyadap karet yang diterkam dan dimakan harimau. Karena mereka membuat kesalahan yang jadi pantangan si raja rimba atau—kata orang— karena orang malang itu sudah ditakdirkan untuk jadi korban harimau. Tetapi yang begitu sangat

jarang terjadi. Penulis cerita ini biasa bertemu dengan Ompung Bolang. Saling pandang atau ia memintas tanpa menghiraukan kehadiran makhluk sedaerahnya selama mereka tidak disakiti dan dirugikan. Biasanya, kalau berpapasan dan saling pandang si gagah perkasa lalu menghindar. Anda tentu tak percaya, atau sukar percaya, tetapi begitulah kejadian yang tidak aneh bagi banyak penduduk di sana.

Ketika menghitung dana sisa uang tahulah ketiga sahabat itu bahwa mereka sudah hampir kehabisan sama sekali. Tetapi mereka melangkah juga. Belum beberapa jauh mereka berjalan, ketika tiba-tiba sebuah jip yang datang dari belakang berhenti di depan mereka. Seorang berpakaian seragam Polisi turun. Kapten Kahar Nasution. "Kuminta Saudara Erwin menolongku! Begitu juga Datuk dan Saudara Koto!" kata Kapten Kahar memohon.

0odwo0

ENAMBELAS

TENTU saja Erwin merasa aneh dengan pencegatan Kapten Kahar. Apalagi dia pula yang duluan memberi salam kepada Erwin yang menurut pandangan umum tidak selayaknya mendapat kehormatan begitu dari seorang perwira yang sudah berpangkat Kapten. Karena Datuk dan Koto juga disebut, maka kedua pendekar ini bertanya-tanya pertolongan apa pulalah yang dapat diharapkan dari mereka. Selama berhadapan, lalu bersahabat dan sejalan dengan Erwin dan Dja Lubuk, mereka menyadari, bahwa mereka berdua masih belum apa-apa. Hanya terbawa nasib mujur, turut jadi orang disegani di negeri "orang".

Erwin hanya memandang sang perwira tanpa tanya. Hanya di dalam hati ia sempat berpikir, apakah nasib yang serupa selalu datang berulang? Apakah terjadi suatu peristiwa seperti di Medan, ketika ia juga tidak punya uang? Ketika itu ia telah menawarkan diri untuk mencoba melihat pemilik penginapan yang sudah lama dilanda penyakit tak kun-

ng sembuh, walaupun sudah banyak dokter dan belasan dukun mencoba. Termasuk di antaranya dukun yang disebut-sebut sebagai dukun kawakan. Usaha Erwin ternyata berhasil gemilang dan itu untuk pertama kali ia mengambil agak banyak dari hadiah yang diberikan kepadanya. Guna ongkos di jalan.

"Saya sama sekali tidak ingin menunda kebe-rangkatan kalian, tetapi kalau kalian mau mengundurkannya, mungkin kalian akan menghasilkan banyak kebaikan," kata Kapten Kahar.

"Kebaikan apa," kata Erwin bukan bertanya tetapi lebih cenderung tidak masuk akal. Sebagai biasa, walaupun punya ilmu tinggi, ia selalu merasa tidak punya apa-apa. Di situlah letaknya kelebihan orang yang benar-benar berilmu.

"Agak panjang untuk diceritakan di sini. Tidak menyangkut diriku pribadi."

"Saya tak mengerti, urusan apakah ini? Saya tidak punya banyak simpanan. Kapten. Kemampuanku hanya sekedar yang Kapten saksikan itulah!" kata Erwin.

"Ini bukan soal pencurian. Soal kemanusiaan. Perasaanku mengatakan, bahwa Saudara Erwin dapat berbuat sesuatu. Dan kalau itu diperkenankan Tuhan saya akan turut bangga, ka.ena kita dari daerah yang sama. Kalau diusut-usut teliti dan mendalam, barangkali kita pun berkeluarga."

Erwin tahu, bahwa Kahar begitu bukan untuk menyenangkannya, la hargai kerendahan hati perwira Polisi itu. Tidak banyak yang begitu.

"Bagaimana Datuk dan Saudara Koto?" tanya l rwin untuk memberi tahu kedua sahabatnya, bahwa mereka bukan hanya peserta tanpa suara.

Koto memandang Datuk, yang menyatakan bahwa kalau betul ada yang dapat dilakukan untuk Kapten, apa salahnya menunda keberangkatan beberapa jam. Dan sesuai dengan harapan Erwin, Datuk memang merasa senang dengan pertanyaan Erwin yang

meminta pendapatnya.

Ketiga orang yang tadi berjalan kaki, kini masuk ke dalam jip Kapten Kahar. Tidak bertanya akan ke mana. Cara Erwin ini pun menimbulkan rasa senang kepada Kahar. Erwin tidak ragu-ragu.

Rumah yang disinggahi atau dimasuki tak lain dari rumah Kahar sendiri. Bukan rumah mewah dengan pekarangan besar. Rumah sederhana, tetapi terasa sejuk ketika Erwin dan kedua kawan seperjalanannya masuk.

Yang keluar dari dalam setelah mereka dipersilakan duduk, seorang perempuan berusia sekitar lima puluh dan seorang gadis dua puluhan dengan paras elok. Sebenarnya kedua wanita itu heran siapa pula yang dibawa Kahar dan dipersilakan duduk di ruang tamu yang biasanya hanya dijadikan tempat menerima kawan-kawan sejawat atau pejabat-pejabat. Atau keluarga mereka. Tak biasa mereka melihat tamu-tamu kumuh begitu diterima di ruangan itu. Erwin, bahkan Datuk dan Koto merasa bahwa kedatangan mereka mengherankan kedua wanita itu. Tetapi sebodo amat, bukan mereka yang ingin datang dan bukan mereka pula yang merasa punya keperluan!

"Ini Ibu dan ini Dinar, adikku," kata Kahar.

Tak ada yang mengulurkan tangan untuk berkenalan Erwin dan kawan-kawannya khawatir kedua wanita itu menganggap mereka tak tahu diri. Ibu Kahar dan Dinar memang tidak merasa layak memberi salam.

"Ini Saudara Erwin, Mak. Orang Mandailing!" kata Kahar. Tetapi perkataan Mandailing, daerah asal yang sama, tidak menggerakkan perubahan pada Ibu Kahar yang janda dan Dinar yang perawan banyak penggemar.

Melihat suasana kikuk itu Kahar merasa malu kepada Erwin, tetapi ia juga tidak punya cukup keberanian untuk menyuruh Ibu dan adiknya menyalam tamu-tamu, yang disadari oleh Kahar, tidak punya lahiriah yang layak untuk dihormati. Tetapi Kahar meminta Ibu dan adiknya itu duduk, yang tidak dapat ditolak, walaupun tidak

mengerti mengapa pula harus turut duduk. Kalau tidak duduk berarti menyinggung perasaan Kahar. Dan ini mereka tidak mau.

"Ketiga kawan-kawanku ini sebenarnya sudah mau berangkat ke Palembang, tetapi kutahani agar mau menunda," kata Kahar yang justru menimbulkan tanda tanya sanggup bertanya kepada hati Ibunya, apa perlunya ditunda.

"Aku mau minta tolong kepada Saudara Erwin, Mak!" kata Kahar. Ibunya tidak menanggapi karena tak masuk di akalnya bahwa orang semacam tamu-tamu anaknya bisa memberi pertolongan.

"Barangkali saja Saudara Erwin dapat mengobati Pak Hasbi," kata Kahar pelan. Ini pun menambah keheranan Ibu Kahar. Erwin juga ikut heran. Lagi-lagi pengobatan. Seperti di Palembang. Seperti di Jakarta. Di Medan juga. Di Surabaya dan* Ujungpandang pun pengobatan juga. Mengapa selalu begitu? Apakah perjalanan hidupnya hanya akan terdiri dari kengerian, bilamana tanpa diingini ia berubah jadi harimau? Akan dimasukkan rumah tahanan karena dituduh melakukan kejahatan. Dirinya disiksa yang akan berakibat bermatiannya para penyiksa karena ia atau ayahnya akan membalas. Bertarung mempertahankan kebenaran atau nyawanya? Menggali kuburan mayat-mayat yang semasa hidup sangat menyakitkan hatinya. Digilai wanita-wanita cantik yang tidak berkenan di hatinya, sehingga menyebabkan banyak perawan jadi merana. Dan jatuh hati kepada wanita yang justru tidak mencintainya. Menyebabkan dia mengelana membawa diri seperti tidak akan ada ujungnya.

Yang bernama Hasbi adalah pensiunan Bupati yang diserang penyakit gila. Bukan hanya itu. la tak lain dari abang tertua Husni yang melarikan dan memperkosa adik Teuku Samalanga, sahabat baik Erwin yang akhirnya jadi pelarian atas bantuan Erwin karena ia membunuh iparnya. Telah diceritakan bahwa Husni tewas dibunuh harimau piaraan Teuku Samalanga tak jauh dari Muara Bungo.

"Mak," kata Kapten Kahar. "Saudara Erwin telah menolongku menangkap dua penjahat besar. Hanya dengan pisaunya."

"Dibunuhnya penjahat itu?" tanya Ibu Kahar tanpa pikir panjang. Menurut penilaiannya orang semacam Erwin itu punya kemampuan apalah selain daripada yang kasar-kasar.

"Kalau membunuh, tentu dia tidak di sini. Sudah dalam sel tahanan!" kata Kahar. Ibunya kecewa tetapi selain itu, juga tertarik.

"Pisaunya itu disuruhnya menunjukkan yang mana di antara berpuluh-puluh orang tamu penginapan yang mencuri! Kedua-duanya pencuri itu langsung mengaku, karena takut ditikam pisau yang dapat bekerja sendiri. Tanpa bantuan Saudara I rwin, mungkin kedua bandit itu akan lolos." Kini Ibu Kahar memandang Erwin. Timbul sedikit*perubahan. Rupanya si miskin ini punya kepandaian ju-ja. «

"Tapi Pak Hasbi kan tidak kemalingan Har!" kata perempuan yang mulai tertarik itu.

"Memang benar. Tetapi perasaanku mengatakan, bahwa Saudara Erwin akan sanggup mengobatinya, kalau dia mau! Aku yakin, dia punya ilmu pengobatan," kata Kahar lagi sambil menambahkan. "Betul kan, Saudara Erwin?"

Erwin tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab, bahwa ia bukan dukun, tetapi kalau sekedar ba coba dan dipinta oleh keluarga si sakit ia ber edia, karena Kapten Kahar orang yang sangat baik.

Oleh Kapten Kahar diterangkan, bahwa istri Hasbi masih adik sepupu ibunya. Penyakit gilanya itu sudah berjalan sebulan. Datangnya mendadak. Dari orang yang sehat segar bugar, pada suatu pagi ia tiba-tiba tidak bisa bicara, kemudian setelah tiga hari berdiam diri, tetapi makan melebihi banyaknya makan seekor kerbau, Hasbi mulai mengamuk-imuk, memukuli keluarganya. Juga tamu-tamu yang datang. Pada suatu kali ia mengambil sebilah parang panjang dan mengacung-acungkannya di jalan raya. Orang ramai berlarian. Masih untung tidak ida orang yang sampai jadi korban. Untuk mencegah kejadian yang menyangkut orang lain, ia dikunci di dalam kamar. Tetapi ia merusak segala perkakas yang ada, menendang-nendang pintu dan sekali waktu keluar dari

jendela, la tertawa-tawa dengan suara keras sambil mengatakan, bahwa setan pun tidak akan dapat merintanginya.

Itulah Hasbi yang pernah menjadi kepala pemerintahan sebuah kabupaten.

Di masa jayanya ia banyak tertawa oleh upeti-upeti dari bawahan yang mendapatkannya dengan melakukan berbagai macam penipuan dan pemerasan terhadap rakyat, termasuk rakyat teramat kecil yang hanya mempunyai lebih sedikit dari sejengkal tanah untuk telapak gubuk atau tempatnya bermandi keringat bersawah ladang sekedar sesuap nasi atau singkong guna bisa bernapas menjelang akhir penderitaan. Karena ia tidak berhasil turut mencicipi buah kemerdekaan yang pernah direbut pertahanannya. Tidak seperti sekelompok kecil orang-orang "pintar" yang dengan segala cara telah memilyarkan diri. Ex Bupati Hasbi merupakan contoh yang teramat gamblang bahwa sesungguhnyalah tiada yang abadi di dunia ini. Mengherankan memang, mengapa kian banyak saja orang yang haus harta dan kemewahan di atas penderitaan orang lain.

Diceritakan oleh Kapten Kahar bahwa banyak dukun dari berbagai daerah yang mengobatinya. Beberapa orang di antara mereka malah tewas di hadapan si sakit atau mati sepulangnya dari rumah Hasbi. Dan kematian dukun-dukun itu tidak pula semua mati biasa. Ada yang gantung diri, ada yang mengunci kamar untuk meminum racun serangga. Ada yang tak pandai berenang, tetapi dengan sengaja menceburkan diri ke dalam kali.

"Mengerikan sekali/' kata Erwin menanggapi. Mungkin dukun-dukun yang membayar dengan nyawa karena mengobati Hasbi, tidak mampu berhadapan dengan orang pandai yang menimbulkan sakit gila atas bekas Bupati.

Mendengar cerita itu Erwin tahu, bahwa yang melakukan pembalasan melalui ilmu hitam tentu salah seorang korban di masa sang Bupati punya wewenang dan kekuasaan. Dikerjakannya sendiri au dilakukan oleh orang pandai yang diupah. Datuk dan Koto memandang Erwin. Ingin agar dia menolak karena terlalu besar risikonya. Kalau sampai Erwin mati gantung diri atau meminum

racun maka raiblah kesempatan mereka untuk menuntut ilmu daripadanya.

Sekarang pun Erwin bertanya "Bagaimana Datuk dan Saudara Koto. Sudah kita dengar ceritanya dari Kapten Kahar. Masih mau dicoba?" Harapan Ibu Kahar agak membesar, karena rupanya bukan Erwin yang kelihatan konyol itu sendiri yang akan mencoba. Tetapi juga kedua sahabatnya. Melihat pakaian mereka yang serba hitam dan wajah yang sedikit angker, perempuan itu lebih yakin kepada Datuk dan Koto.

Sebelum Erwin menjawab. Kapten Kahar dulu-an berkata "Saya tahu, bahwa apa yang telah terjadi itu sangat mengkhawatirkan. Saya sengaja men ritakan seluruh kenyataan, supaya Saudara-saudara tahu bahwa risikonya sangat besar. Tetapi kalau berhasil, satu insan akan tertolong, keluarganya akan merasa bahagia. Termasuk Ibu saya ini, karena istri Pak Hasbi itu saudara misan Ibu saya." Erwin langsung minta dibawa ke tempat orang sakit gila itu. Tanpa diduga. Ibu Kahar yang semula jijik melihat ketiga tamu anaknya dan sampai detik itu tidak menyuruh keluarkan air dingin sekali pun, berkata, "Nanti dulu. Tak baik kalau tidak minum, walaupun seteguk saja." Kapten Kahar merasa malu dengan sifat ibunya, sementara Erwin dan kedua sahabatnya mengejek di dalam hati. Manusia bisa mendadak berubah, kalau merasa ada harapan. Yang angkuh sombong bisa jadi ramah manis bagaikan madu Arab yang baru diperas dari sarangnya. Kasihan orang-orang semacam itu, menelanjangi diri untuk kita nilai sambil mencibir.

Meskipun sebenarnya Erwin dan kedua sahabatnya merasa haus, tetapi si manusia harimau menolak dengan bijaksana "Pantang minum kalau hendak melihat orang sakit!" Lebih baik haus daripada merasa kehilangan harga diri oleh secangkir teh yang diletakkan bukan karena keikhlasan. Kapten Kahar semakin malu, karena ia merasa bahwa penolakan Erwin itu tak lain daripada suatu pembalasan atas ibunya yang semula begitu meremehkannya.

Sama halnya dengan penyambutan di rumah Kahar tadi, orang-orang di rumah Hasbi juga meremehkan Erwin sambil bertanya di

dalam hati, mengapa pula seorang perwira Polisi sampai percaya kepada orang-orang semacam itu yang tentunya mengaku dukun kawakan. Memasuki rumah bekas pejabat yang mewah itu Erwin merasa kepanasan. Yang mengejutkan adalah Koto yang mendadak terhuyung-huyung, lalu jatuh tak berdaya dengan mata terbelalak.

0odwo0

TUJUHBELAS

KAPTEN Kahar terkejut dan tiba-tiba datang penyesalan dalam dirinya, mengapa ia menahani maksud keberangkatan Erwin ke Palembang. Tidak cukup sampai di situ, Datuk pula mengatakan pusing. Erwin memintanya agar duduk saja.

"Rumah ini penuh dengan iblis/' bisik Erwin ke telinga Datuk. "Tetapi tenang-tenanglah. Insya Allah kita tidak akan mati di sini." Orang-orang di rumah itu jadi panik, walaupun mereka sudah beberapa kali melihat dukun mati terkapar di sana.

Oleh kejatuhan dua sahabatnya, maka Erwin lebih dulu membantu mereka dengan membaca mantra sambil menyapu muka mereka masing-masing tujuh kali. Ibu Kapten Kahar yang juga telah hadir di sana sini kini menyaksikan sendiri, bahwa Erwin tidak serapuh yang diduganya. Walaupun ia belum yakin, bahwa orang dusun ini akan mampu bertahan.

Dengan tenang sambil menyebut nama Tuan Syekh Ibrahim Bantani dan Datuk nan Kuniang ia mengikuti Kapten Kahar ke kamar Hasbi yang terbaring meronta-ronta dengan kedua tangan dan kakinya terikat. Bekas Bupati itu terpaksa diperlakukan begitu untuk mencegah jatuhnya korban oleh sifat-sifatnya yang semakin beringas.

Ketika Erwin sudah berdiri setengah meter dari Hasbi, mendadak ia terjungkal karena ada yang menerjang, walaupun tidak kelihatan siapa yang melakukannya. Erwin kaget, tetapi segera bangkit lagi, membuat semua mata yang memandang tidak berkedip dengan hati

sangat takut, karena semua mengetahui, bahwa mungkin dukun ini pun akan mati di sana. Namun begitu mereka juga kagum, bahwa Erwin begitu cepat bangkit kembali. Beberapa dukun terdahulu yang tewas di sana juga terjungkal atau terpental, tetapi tak sempat mampu untuk bangun lagi.

Hasbi berteriak "Mau apa harimau ini datang ke sini. Bosan hidup?"

"Aku datang untuk mati atau mematikan, setan!" hardik Erwin yang di luar dugaan hadirin terdengar seperti guruh dan menyebabkan rumah itu seakan-akan bergetar.

"Kau akan mati di sini harimau siluman!" kata Hasbi yang menyuarakan kekuatan dukun yang menguasai dirinya.

"Katakanlah apa yang kausuka. Kematian memang tunangan orang hidup. Tidak akan mengherankan kalau aku tewas di sini. Tetapi aku tahu, bahwa kaulah yang akan binasa sekali ini."

"Berani kau kurang ajar, hah!" bentak Hasbi.

"Jadi kau kira aku takut? Kasihan, kau keliru. Pergilah kalau masih mau hidup. Kembali ke Tuanmu!" suara Erwin tambah menggelegar. Di tengah ketegangan itu tercium bau asap kemenyan, walaupun tidak ada yang membakar. Diiringi oleh auman harimau. Bagi Erwin suatu tanda bahwa ayah atau ompungnya sudah ada di sana. Dan kalau mereka atau salah seorang datang, tidak diragukan lagi, bahwa lawan yang dihadapi berkaliber berat. Sekurang-kurangnya mereka berjaga-jaga, kalau-kalau Erwin sendiri tidak mampu menghadapi. Dja Lubuk dan Raja Tigor terlalu sayang kepada anak dan cucu mereka, itulah sebabnya.

Iblis yang duduk di dalam tubuh Hasbi berkata tenang yang dipaksakan. "Untuk apa mempertaruhkan nyawamu bagi hewan yang semasa berkuasanya sangat menyiksa banyak manusia yang tak berani menentang dia dan kawan-kawannya. Biarlah dirasakannya pembalasan ini. Biar keluarganya tahu bahwa dia ini pernah jadi bajingan yang merusak nasib orang banyak!" Mendengar ucapan ini keluarga Hasbi tunduk karena merasa malu.

Erwin pun terdiam sejenak. Apa yang dikatakan iblis itu mungkin benar, tetapi perbuatan dukun itu tetap merupakan kejahatan di negara hukum ini. Meskipun banyak orang tidak menghiraukannya.

"Tetapi tetap bukan hakmu untuk menganiaya sesama manusia," kata Erwin. Membesarkan hati keluarga Hasbi dan memberi harapan kepada Kapten Kahar.

Hasbi tertawa terbahak-bahak lalu berkata "Bodoh, kau orang baik mau membela kejahatan. Berarti kau berpihak kepada kejahatan."

Erwin menguatkan hati supaya jangan terpengaruh oleh hasutan iblis yang sebagian berdasar kebenaran itu.

"Aku tidak pernah dan tidak akan pernah berpihak kepada kajahatan. Aku hanya akan coba membebaskan orang ini dari penyakitnya yang tidak wajar. Kalau hukum yang berlaku di negeri ini kelak akan menindak dia, aku akan turut gembira," kata Erwin polos. Orang-orang yang mendengar ucapan Erwin, termasuk Kapten Kahar kini mengetahui, bahwa orang muda potongan dusun pedalaman itu, tidak setolol yang mereka sangka mengenai kejadian-kejadian di negara ini.

Terdengar suara hingar-bingar, yang bukan suara manusia tanpa kelihatan apa-apa. Suara iblis dan n dan setan yang dikirim oleh dukun kawakan.

"Siapa namamu orang sangat pandai tetapi juga sangat jahat?" tanya Erwin. Hasbi menjawab, "Cari sendiri, kalau kau pintar. Aku sudah mengetahui namamu. Si Erwin, anak Dja Lubuk, cucu Raja Ti-gor. Musuh besarmu Ki Ampuh yang terkutuk menjadi babi. Kau pernah jatuh cinta setengah mati, tetapi tiada berbalas. Kini perempuan itu sudah mati dibunuh suaminya. Adakah penjelasanku yang salah?" Suara itu sangat lantang, satu persatu kata dapat ditangkap. Lalu kata Hasbi yang mewakili iblis kepada hadirin, "Sudah kalian dengar. Begitulah kisah tentang orang dungu yang mau melawanku ini!"

Erwin malu sekali, la paham bahwa uraian dukun kawakan itu

dimaksudkan untuk meruntuhkan morilnya. Sesaat memang Erwin merasa goyah. Tetapi ia normal kembali setelah ada bisikan di telinganya agar ia meningkatkan perlawanan. Suara itu jelas suara ompungnya.

Erwin berpikir, bahwa salah satu cara untuk melemahkan lawannya itu, adalah dengan jalan mencekik iblis yang duduk di dalam tubuh Hasbi. Tetapi di bagian mana? Di kaki, di tangan, di kepala ataukah di bagian lain?

"Kau tak tahu di mana aku! Ha haa, si harimau siluman kebingungan!" kata Hasbi. Lagi-lagi mengejek Erwin. Tetapi bukan hanya itu cara memukul musuhnya.

Satu bisikan di telinga Erwin mengatakan, agar ia mempergunakan limau nipis dengan garam. Yang tidak lazim dipakai dalam perdukunan. Biasanya orang mempergunakan limau purut dan bunga.

Terdengar lagi bisikan oleh Erwin. la lalu minta ijin kepada pemilik rumah untuk boleh ke dapur mengambil sesuatu. Kapten Kahar segera mengijin-kan tanpa menunggu jawaban istri Hasbi yang dalam keadaan sedih dan panik.

"Harus saya ambil sendiri," kata Erwin. la mendapat dua buah limau nipis, yang kebetulan tersedia dan garam. Ketika ia sudah dekat dengan si sakit terasa ada yang memukul tangannya, sehingga garam di piring berhamburan. Tentu oleh pesuruh dukun berilmu tinggi itu. Untung limau nipis dimasukkan ke dalam saku. Terasa juga ada yang meraba sakunya, tetapi kemudian rabaan itu seperti tersentak. Erwin dibantu oleh kakeknya yang tidak memperlihatkan diri. Dialah yang membebaskan Erwin dan gangguan si iblis. Tetapi karena garam telah tumpah, maka Erwin kembali lagi ke dapur untuk mengambil penggantinya.

Ketika Erwin dan Kapten Kahar masuk ruangan dapur yang luas dan bersih terdengar suara pukul-memukul dan tendang-menendang. Tanpa kelihatan siapa atau apa yang sedang bertarung. Raja Tigor menghadapi iblis yang hendak menghalangi

Erwin mengambil garam. Kapten Kahar heran, tetapi tidak mengajukan pertanyaan.

Dengan perlindungan yang tak tampak oleh pandangan mata kasar itu, garam dan jeruk nipis sampai juga di hadapan Hasbi. la memberontak, berusaha membebaskan diri dari ikatan, sehingga ranjang tempat ia berbaring bergoncang goncang seperti diombang-ambing gempa. Yang hadir semua menjadi lebih takut lagi. Beberapa wanita yang berkeluarga dekat, keluar menjauhkan diri, khawatir akan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi kalau ia sampai sanggup memutuskan tali-tali pengikat dirinya. Orang yang sedang kemasukkan iblis bisa mempunyai tenaga yang tidak mungkin dipunyai manusia biasa.

"Bangsat kau harimau sial, pergi, pergi! Ini gara-gara si Kahar kambing itu. Siapa minta kau membawa harimau kemari. Ini rumah manusia, rumahku yang kubeli dengan uangku sendiri. Bukan kandang harimau. Bawa dia pergi. Kahar kambing. Dan jangan kauinjak rumahku ini lagi!" Hasbi mengangkat-angkat badannya, membanting ke kiri dan ke kanan.

Ketika Erwin mengeluarkan limau nipis dari kantongnya, Hasbi semakin menggila. Erwin minta diambilkan air putih segelas. Ketika ia memotong jeruk, Hasbi menjerit-jerit, bagaikan dirinya yang diiris.

Erwin memantrai air, lalu menyiramkan isinya ke muka Hasbi, sesudah garam dan jeruk dimasukkan ke dalam. Hasbi melolong panjang, kemudian terdiam lemas, bagaikan orang kehilangan seluruh tenaga.

Erwin memutuskan semua tali pengikat diri Hasbi. Kemudian meminta air putih segelas lagi, diberi garam dan limau yang sebuah lagi. Air itu di-cipratkannya di seluruh kamar, la keluar dan mencipratkan sisa isinya ke segenap pintu.

Hawa panas yang membuat pengap kamar tempat Hasbi menderita berangsur hilang, digantikan oleh suasana yang wajar bagi ruangan ber-ase.

Di luar jangkauan berpikir keluarga Hasbi, bekas Bupati itu kini

terbaring di sana dengan badan lemas, tetapi matanya terbuka memandang ke sekitar, la bertanya "Mengapa kalian di kamarku ini?"

Istrinya bertanya "Sudah agak enak Abang rasa?"

Mata Hasbi menunjukkan keheranan "Apa yang agak enak? Aku tak pernah merasa tidak enak. Kau ngawur Diah," kata Hasbi kepada istrinya yang bernama Sadiah. Semua orang heran mendengar jawaban Hasbi yang tidak pernah merasa sakit. Rupanya semua yang dilakukannya di luar kesadaran. Oleh sangat kuatnya ilmu dukun yang mengirim sejumlah iblis ke rumah itu.

Kini Erwin jadi pembicaraan berbisik-bisik. Yang paling malu adalah Ibu Kapten Kahar dan adiknya Dinar. Yang paling gembira istri Hasbi dan Kapten Kahar.

Erwin mendapatkan kedua sahabatnya yang sudah turut sadar dan mengingat segala apa yang telah terjadi. Erwin memang bukan main, pikir mereka di dalam hati.

"Kau siapa, anak muda?" tanya Hasbi kepada Erwin yang duduk di kursi menghadapi dia. "Kalau keluarga, baru sekali ini kulihat. Siapa nama ayahmu. Mengapa kau bawa serta?" Sadiah heran mendengar pertanyaan suaminya. Begitu ramah terhadap orang setengah kumal yang tidak dikenalnya. Tidak biasanya dia begitu.

Erwin tidak menjawab. Tak tahu mau memberi jawaban bagaimana.

Bagi seluruh keluarga Hasbi merupakan suatu kenyataan yang amat ajaib, bagaimana laki-laki itu sampai tidak tahu, bahwa ia telah sebulan sakit gila dan berbuat persis orang gila dalam tingkat yang sudah amat gawat.

Mereka juga tidak habis pikir, bagaimana seorang pemuda kelihatan kampungan dan tidak punya apa-apa, ternyata mampu mengalahkan kekuatan gaib seorang dukun yang telah menyebabkan Hasbi jadi gila dan beberapa dukun bunuh diri sebagai akibat dari usaha mereka menyembuhkan si sakit.

Hasbi yang rupanya belum puas karena pertanyaannya belum dijawab, bertanya lagi "Anak muda, pertanyaanku belum terjawab!"

Melihat bahwa dukun yang amat tinggi ilmu itu dalam hal ini tidak mampu mencari jawaban. Kapten Kahar berkata "Masih saudara saya Oom. Baru beberapa hari ini datang dari kampung!"

"Mmm," gumam Hasbi. Tanpa susah-payah ia duduk dan mengulurkan tangan kepada Erwin. Sekali lagi menimbulkan rasa kagum kepada keluarga Hasbi. Apakah ilmu dan pegangan orang muda ini, sehingga seorang manusia yang tadinya sudah di-anggap tak tertolong lagi dan biasanya punya sifat yang angkuh, bisa mendadak berubah jadi laki-laki ramah dan rendah hati.

"Dia tentu membutuhkan pekerjaan. Kahar. Berilah dia tempat di kepolisian. Kalau aku masih berkuasa akan kutempatkan dia di kantorku!" kata Hasbi.

Kapten Kahar tidak menjawab. Tetapi senano melihat Hasbi bukan saja bebas dari penyakitnya, melainkan juga dari sifatnya yang buruk. Tidak di ragukan lagi, bahwa Erwin punya kekuatan gaib, yang tidak terpancar pada wajahnya dan lebih-lebih tidak bisa kelihatan dari keadaan lahiriahnya.

"Apa kerjamu sekarang?" tanya Hasbi lagi kepada Erwin. Seperti orang yang menaruh perhatian sangat besar atas nasib orang "kampungan" itu. "Mengembara saja Tuan," jawab Erwin. "Tuan? Mengapa kau menyebut aku dengan Tuan? Bukankah kau saudara Kahar dan dengan I begitu juga jadi saudara kami," kata Hasbi yang d' jawab dengan "terima kasih" oleh Erwin.

Kapten Kahar permisi kepada Hasbi untuk mengajak Erwin dengan kedua sahabatnya istirahat di J ruangan lain. Istri Hasbi ikut, karena ia tahu, bah-wa kini tentu urusan upah atau hadiah untuk Erwin.

"Anak telah berjasa sekali kepada kami sekeluarga. Katakanlah berapa kami harus membayar dan apa yang dapat kami lakukan sebagai tanda terima kasih," kata Nyonya Sadiah. Bagi Erwin, di luar dugaan Kahar dan perempuan itu, lagu sema i am itu adalah lagu

lama yang memuakkan. Pertolongan yang tidak akan berhasil tanpa ijin Tuhan selalu disudahi dengan "upah dan bayaran".

"Janganlah bicara upah. Aku bukan kuli harian," kata Erwin dengan sengaja agak kasar. "Iblis iblis itu pun baru keluar dari rumah ini. Masih menunggu kesempatan untuk kembali!" Erwin berkata benar. Dia tahu, bahwa lawannya itu akan berdaya upaya membunuh Hasbi dan dia. Dan kalau tidak ada jalan damai dia akan memperlihatkan, bahwa manusia harimau akan mempertaruhkan nyawa tunggalnya.

0odwo0

DELAPANBELAS

MESKIPUN Kapten Kahar Nasution tidak mengerti mengapa laki-laki yang pasti memerlukan uang itu menolak apa yang dinamakannya upah, namun ia mohon maaf, kalau istri Hasbi telah menyinggung perasaan Erwin.

"Kapten heran mengapa aku menolak uang. padahal aku amat membutuhkannya. Aku sendiri juga heran. Kapten Kahar," ujar Erwin membuat perwira Polisi itu kian tak habis pikir. Disangkanya manusia semacam Erwin hanya ada di dalam cerita, khayalan pengarang untuk mengasyikkan pembaca. Kiranya benar-benar ada dalam kenyataan. Filsafat hidup apakah yang dianut laki-laki ini?

"Tak adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?" tanya Kahar.

"Ada, aku tak tahu apakah Kapten akan berhasil!"

"Katakanlah," sela Nyonya Hasbi. Kami akan melakukannya sampai berhasil."

"Tidak marah?" tanya Erwin.

Perempuan dan perwira Polisi itu menidakkan sambil bertanya di dalam hati apa gerangan yang akan dipinta dukun ini untuk dilakukan.

Maka berceritalah Erwin, bahwa di masa pegang kedudukan dengan wewenang besar Hasbi telah menimbulkan banyak rasa sakit hati kepada rakyat biasa melalui aparat-aparat bawahannya. Dengan wewenang yang disalahgunakan itu ia telah sangat memperkaya diri. Sebagian terbesar kekayaannya tergolong haram, kata Erwin. Bilamana ia sembuh ia harus mengembalikan milik-milik rakyat yang dirampasnya dengan cara yang halus berselimutkan apa yang dinamakan berdasar peraturan. Tetapi ada juga yang dengan cara kasar bertulang punggung kekuasaan dan kekuatan, terhadap mana orang kecil tidak berani membangkang. Meskipun tidak secara terus-terang mengaku-, tetapi Sadiah tahu, bahwa apa yang dikatakan Erwin memang benar. Kalau tidak dengan jalan itu, bagaimana pula mereka bisa menjadi sangat kaya raya, mempunyai puluhan hektar tanah, deposit di beberapa bank. Dari mana datangnya semua itu? Jangankan Bupati Gubernur dan Dirjen atau Menteri pun tak kan bisa mencapai itu kalau benar hanya dari penghasilan halal kedudukannya. Entahlah kalau itu harta warisan.

"Kembalikan itu kepada orang yang menderita karenanya," kata Erwin. "Jikalau tidak begitu, maka setelah sembuh ia akan sakit lagi, karena ada saja orang lain yang akan melakukan pembalasan. Dengan cara kasar atau halus."

Istri Hasbi dan Kapten Kahar berjanji.

Atas desakan petugas keamanan akhirnya Erwin dan kedua kawannya menerima tawaran Kahar untuk menginap di rumahnya. Erwin harus dua tiga hari di Lubuklinggau menantikan selesainya pengobatan atas diri pasiennya.

Pada malam itu juga ibu Kapten Kahar dan adiknya Dinar memperlihatkan sikap yang amat ramah. Kedua wanita itu turut makan bersama Erwin, Datuk dan Koto. Sikap yang lain sekali daripada ketika mereka baru melihat Erwin. Tak suka, bahkan jijik. Biasa, lumayan banyak manusia yang begitu.

Kapten Kahar selalu membuang pandang kepada Erwin. Betapa besar kekuatan yang dimiliki oleh manusia ini. Betapa pula rendahnya sifat manusia terpelajar yang punya kedudukan

terhormat untuk membimbing dan menaungi rakyat dengan kedudukan seperti Hasbi. Jelaslah manusia tidak mudah dinilai secara lahiriah. Tidak perdu I i dia apa atau siapa.

Tidak seperti Koto dan Datuk, si manusia harimau tidak mudah memejamkan mata dan tidur. Dia tidak merasa tenang, walaupun telah dapat mengalahkan dukun jahat yang membuat Hasbi gila. Dia merasakan, bahwa orang yang pasti hebat itu tidak akan berhenti sampai di situ.

Dan apa yang diyakini Erwin itu sesungguhnya terjadi, la merasa hawa di dalam kamar yang luas itu pelan-pelan menjadi panas dan kian panas. Dia juga merasakan ada yang lain di kamar itu. Bukan hanya karena mereka bertiga. Tetapi apa yang lain itu tidak tampak oleh Erwin. Kehadirannya pasti, entah apa.

Tiba-tiba Koto terpekik. Datuk terbangun. Erwin bertanya kepada Koto ada apa, tetapi kawannya itu tidak menjawab, la tidak berkata, tidak mengaduh bahkan bernapas pun tidak. Koto telah tiada. Erwin lantas tahu, bahwa yang mencabut nyawa Koto pastilah "orang" lain yang ada di kamar itu. Datuk ketakutan, sementara Erwin meminta supaya Datuk jangan panik. Jangan sampai menyebabkan Tuan rumah turut terkejut pula.

Karena lampu listrik yang menerangi kamar itu tidak dipadamkan, maka mereka dapat melihat wajah Koto dengan jelas, la yang berkulit cerah seperti sawo matang telah berubah warna menjadi hitam legam seperti arang. Tandanya ia bukan mati secara wajar.

"Ada iblis di kamar ini," kata Erwin. Kalau dia manusia tentu kelihatan. Aku merasakan bahwa dia masih ada." Datuk tambah takut. Dia tidak punya ilmu tinggi terhadap setan dan iblis. Kekuatannya terletak pada berpencak silat. Sama seperti Koto. Apakah dia akan menerima gilirannya?

"Kalau kau jantan, perlihatkan dirimu, pengecut," kata Erwin. la sangat penasaran. Iblis ini pasti kiriman dukun yang membuat Hasbi gila. Dia ingin membinasakan Erwin yang telah berani menentang dia. Karena mengetahui, bahwa Erwin bukan manusia yang mudah

dikalahkan dan sama sekali tak kan mau mengalah, maka ia telah meminta bantuan gurunya. Yang hendak dibunuh sebenarnya Erwin, tetapi bentengnya tak tertembus oleh iblis yang dikirim Maribun ke kamar pemuda kampung itu. Dan sudah terbiasa di dalam menembakkan ilmu gaib, orang yang tidak dimaksud menjadi korban, karena ilmu atau pesuruh yang ditugaskan tidak mampu membayar sasarannya.

Ketika Erwin dan Datuk menghadapi Koto de ngan perasaan sangat terpukul, terasa ada hembusan angin. Tak lama kemudian disusul oleh suatu jeritan melengking. Dja Lubuk, ayah Erwin telah berdiri di sana dalam bentuknya sebagai manusia. Orang tua itu bergerak cepat kian kemari, seperti orang gila gayanya, karena lawannya tidak tampak.

"Obati dia," bentak Dja Lubuk. Tetapi dia hanya disambut dengan gelak cemooh oleh lawannya. Kelihatan Dja Lubuk berkeringat dan napasnya turun naik buru-memburu. Nasib baik bagi si manusia harimau, tanpa sengaja terpukul olehnya kelemahan dukun yang tidak kelihatan itu. Dugaan Erwin bahwa yang masuk kamar itu iblis kiriman, mungkin benar. Tapi Dja Lubuk bertarung dengan si dukun sendiri, la atau suruhannya tak mampu melawan pertahanan Erwin, maka Koto yang dibunuh kawannya pun jadilah, pikir Maribun. Erwin pasti akan sangat sedih dan panik. Bagi Maribun lebih mudah mengalahkan orang panik dan gugup da ripada musuh yang dengan tenang mengatur lang kah dan sepak terjangnya.

Tiba-tiba Dja Lubuk berhenti bersilat dengan napas yang terengah-engah. Selama pertarungan] yang bagaikan tanpa lawan itu ia beberapa kali jatuh berdebap. Tidak diragukan lagi bahwa musuh ini mempunyai kekuatan luar biasa. Rupanya hd ruk-pikuk di kamar Erwin itu terdengar juga oleh Kapten Kahar yang lalu bergegas ke sana. Datuk membuka pintu dan perwira itu segera mengetahui bahwa Koto telah meninggal dunia. Sebabnya b<-

Iiim diketahui secara pasti, tetapi bukan oleh serangan jantung mendadak. Dja Lubuk sudah pergi dengan berpesan kepada anaknya agar sangat waspada.

"Amang pun kepayahan, sayang. Ini kesempatan besar tetapi juga penuh risiko bagimu menguji diri," pesan Dja Lubuk.

Berkata Erwin kepada Kapten Kahar, "Sebenarnya saya yang dituju, tetapi ia salah ambil. Mestinya kami tidak tidur di sini. Kapten terlalu baik, sekarang jadi merepotkan!"

"Jangan berkata begitu," ujar Kapten Kahar. "Tiada pekerjaan yang terlalu berat bagi seseorang, siapa pun dia, yang telah tiada Erwin. Apa yang kita lakukan adalah perbuatan terakhir yang dapat kita lakukan bagi hamba Allah yang sudah dipanggil Yang Empunya." Lega sedikit hati Erwin dan Datuk.

"Apakah jenazah kawan kita ini perlu divi-sum?" tanya Kahar.

"Saya rasa tidak," jawab Erwin. "Kita periksa saja badannya, kalau-kalau ada meninggalkan bekas." Bekas itu memang ada. Bukan berupa tanda berwarna biru atau merah, yang kata setengah orang bekas kecupan setan. Yang tampak pada leher Koto empat bekas gigitan kecil, dua sebaris. Gi-jitan ular. Rupanya ada ular dikirim masuk kamar itu. Diperintahkan menggigit Erwin, tetapi ia tak mampu melaksanakannya. Yang digigit leher Koto. Itulah yang membuat dia menjerit tadi, tetapi sekaligus juga mencabut nyawanya dari tubuh yang tidak berpagar itu.

"Siapakah yang telah begitu kejam melakukan pembunuhan ini. Bukankah kawan kita ini tidak punya kesalahan kepada si pembunuh?" kata Kap ten Kahar. Erwin menjawab, bahwa yang ditujui ular suruhan itu bukan Koto, sebagaimana telah dikatakannya juga tadi.

"Tetapi orang ini telah jadi pembunuh. Harus ditangkap," kata Kapten Kahar yang agak emotil karena terjadi di rumahnya dan sebagai hamba hukum merasa berkewajiban menangkapnya. Tetapi! siapakah orang itu, tak jelas bagi Kahar.

"Berkata Erwin, "Andaikata pun kita ketahui orangnya, hanya andaikata, bagaimanakah menimpakan kesalahan atas dirinya. Adakah bukti untuk itu?" Kapten Kahar terdiam. Memang tidak ada bukti. Yang membunuh Koto seekor ular. Bagaimana membuktikan

bahwa ular itu punya kaitan apalagi suruhan seseorang?

"Ya, memang berat. Kejahatan, termasuk pembunuhan yang dilakukan melalui ilmu hitam, di antaranya dengan menyuruh piaraan, sangat sukar diJ buktikan untuk dapat dijadikan alasan menangkapi si pelaku," kata Kapten Kahar mengakui. "Terserah Saudara," katanya lagi setelah mengetahui, bahwa Erwin punya kekuatan gaib untuk menghadapi semacam itu.

"Apa ular itu sudah pergi?" tanya Datuk yang kini baru teringat kepada ular yang menewaskan sa habatnya. Bersamaan dengan itu dia jadi takuti kembali. Bukan mustahil ular itu mendadak meng gigit dia pula dan ia menemukan nasib sama dengan Koto. Rupanya Kahar dan Erwin pun baru ingat lagi kepada si pembunuh, setelah Datuk menyebutnya. Erwin lalu mencari-cari dan akhirnya ketemu.

Tempatnya bukan tanggung-tanggung. Di dalam saku kemeja Erwin yang digantungkan pada sangkutan baju di tembok.Sudah mati.

"Ini dia," kata Erwin mengeluarkan seekor ular kecil dari saku tempatnya menyudahi hidup.

Kapten Kahar dan Datuk memandang, tanpa tanya, tetapi ingin penjelasan. Kata Erwin, ular itu tak berhasil menggigitnya. Untuk itu ia harus mati, hukuman si pemilik atas pesuruhnya yang tidak berhasil melaksanakan tugas.

"Apakah itu ular biasa?" tanya Kapten Kahar. Erwin menerangkan, memang ular biasa yang sangat berbisa. Kalau ia ular siluman, ia sudah tidak ada di sana. Kapten itu lalu bertanya, kalau begitu, bagaimanakah dia masuk. Diterangkan oleh Erwin, bahwa untuk masuk ia dapat bantuan dari yang menyuruh, la sama sekali tidak kelihatan, sehingga tanpa kesulitan apa pun dapat masuk melalui pintu. Tetapi karena tidak dapat melaksanakan tugas, maka untuk pulang ia tidak dibantu lagi. Dan ia tahu, bahwa ia harus mati, sesuai dengan janji antara majikan dan pesuruh, la masuk ke dalam saku Erwin dengan harapan semoga orang itu bisa mati karena terkejut. Sehingga masih dapat memberi bakti terakhir kepada sang

majikan, walaupun ia telah mati. Tetapi harapannya itu pun tidak jadi kenyataan, karena Erwin hanya terkejut sedikit saja.

Cerita Erwin mengenai ular dan majikannya itu membuat Pak Kapten hanya bisa mengangguk-angguk. Segala hukum yang diketahuinya tidak punya arti apa-apa di dalam kasus ajaib semacam ini.

"Apa yang dapat kita lakukan?" tanya Kahar dalam keadaannya sebagai Tuan rumah. Erwin mengusulkan untuk mengurus jenazah dahulu sampai selesai pemakamannya. Setelah itu nanti baru dipi kirkan.

Koto yang asal Minang telah dikebumikan dengan sempurna, dihadiri banyak pelayat dan pengantar, karena Kapten Kahar Nasution menerang kan bahwa Koto masih saudaranya.

Datuk yang merasa bertanggung jawab kepada keluarga Koto karena ia orang yang dituakan di kampung sangat dendam kepada dukun yang mengirim ular itu, tetapi tak dapat berbuat apa-apa, karena tidak mengetahui siapa dan di mana orangnya.

"Aku tahu perasaan Datuk," kata Erwin, "ber-tenang dan berdoalah, akan kita selesaikan sampai tercapai keadilan."

"Beri aku kesempatan untuk membunuhnya," kata Datuk.

"Kita harus mengetahui kekuatannya secara sempurna, kalau kita tidak mau gagal. Salah-salah, kita pun akan dimakannya," kata Erwin.

Ketika mengantar ke pemakaman, Erwin merasa bahwa yang menyebabkan kematian Koto berada di sekitarnya. Di antara orang yang turut ke pe kuburan. Apa maunya? Erwin membisikkan kepada Datuk dan berpesan supaya dia waspada.

Ketika jenazah akan diturunkan ke bumi, memang terjadi hal yang amat mengejutkan. Menimbulkan rasa takut di antara sementara hadirin dan menjadi bisik-bisik di antara mereka. Banyak yang memandang ke arah Kapten Kahar. Dari lubang kubur ke luar seekor ular besar sambil mendesis desis.

0odwo0

SEMBILANBELAS

DUA orang penyambut jenazah di liang lahat yang paling terkejut, tetapi ular itu tidak mengganggu. Orang-orang di atas pun tidak ada yang dikejar, la berlalu dari lubang itu dengan tenang, diikuti oleh puluhan pasang mata. Mereka jadi herani lagi, ketika mendadak ular itu hilang begitu saja. Badannya sebesar lingkaran betis orang gemuk, sementara panjangnya diperkirakan tak kurang dari empat meter. Bukan ular sendok. Warnanya hijau dan kuning mengkilap.

Seorang pengantar jenazah berbisik kepada Erwin, "Pertanda apakah itu, dukun kawakan?" Erwin tidak mengenalnya, dan ia bertanya dengan bibirnya mencibir sinis. Anak Dja Lubuk tidak menjawab. Tetapi ia tahu, bahwa orang itu bukan sekedar bertanya. Melihat Erwin diam saja, rupanya ia tidak puas lalu menambahkan, "Kalian turun-temurun manusia harimau, hah! Ayahmu si Dja Lubuk itu, hebat juga." Kini tanpa menunggu jawaban ia berlalu. Tidak ada orang memperhatikannya, juga Erwin tidak. Tetapi sesaat kemudian diketahuinya bahwa orang misterius itu sudah tak ada lagi di antara mereka.

Setelah ular menghilang, jenazah Koto diturunkan. Kelihatan sebagian besar dari mereka ingin bergegas, terutama yang berada di liang kubur. Penimbunan pun dipercepat. Yang tak kurang berpikirnya daripada Erwin adalah Kapten Polisi Kahar. Apakah artinya ini semua dan apakah lagi yang bakal terjadi? Kemarin malam ada ular kecil tetapi dengan bisa mematikan masuk kamar lalu membunuh Koto. Kini keluar seekor ular besar dari liang kubur, tetapi tidak mengganggu. Meskipun tak masuk akal sementara orang yang tidak pernah melihat keajaiban semacam itu, tetapi bagi Kapten Kahar sudah semakin jelas bahwa cerita-cerita seperti itu bukan khayalan.

Ketika orang tak dikenal berbisik pada telinga Erwin tadi, hanya

Datuk yang memperhatikan, tetapi kemudian tidak lagi, karena ia turun menurunkan jenazah sahabatnya. Hatinya amat pilu. la berangkat berdua dari kampung, tetapi kelak akan pulang sendiri, kalau ia masih akan kembali ke kampungnya. Kalau ia tidak menemui nasib seperti Koto. Kemungkinan itu besar sekali. Jangan-jangan ular besar dari liang lahat itu nanti yang akan mendatangi dia dan membunuhnya dengan cara lain. Rasa sedih berbaur dengan rasa takut. Ketika telah selesai pembacaan talkin bagi yang pergi untuk selamanya, mereka semua pulang. Erwin jalan seiring dengan Kapten Kahar, yang dipenuhi berbagai malam pertanyaan, tetapi belum dapat disampaikan kepada Erwin. Datuk tidak pernah jauh dari Erwin, seolah-olah manusia yang sama-sama hamba Allah seperti dirinya sendiri dapat memberinya perlin-dungan terhadap bencana yang tak terlawan oleh manusia biasa bahkan tak dapat ditakuti dengan senjata.

Tenangkanlah hati Datuk' bisik Erwin kepada orang Minang yang telah kehilangan teman akrabnya itu.

"Hatiku sangsi, seperti masih ada saja bahaya mengancam!" kata Datuk.

"Memang begitu, tetapi kalau kita gugup ia semakin mudah menyerang. Dari dalam atau dari luar. Maka pertenanglah diri dan jangan berhenti menyebut nama Allah. Dialah yang melihat semua dan Dia pula yang Maha Pelindung."

"Apa akan kukatakan di kampung nanti?" Datuk malu dan bingung, walaupun belum tentu apakah dia masih dapat kesempatan menginjakkan kaki di kampungnya.

Tiba di rumah, suatu musibah lain sudah menantikan Kapten Kahar dan kedua tamunya, Erwin dan Datuk. Seorang keluarga yang tidak kuat menahan emosi, menceritakan, bahwa adiknya Dinar Nasution kemasukan setan. Sejak tadi menangis | dan menjerit-jerit. Ketika itu pula Dinar mengeluarkan jerit melengking yang tidak seperti biasa. Menegakkan bulu roma. Kapten Kahar bergegas ke kamar adiknya untuk melihat pandangan yang sangat mengejutkan dan menakutkan. Dinar telentang ke jang di ranjang, muka pucat

bagaikan mayat. Mulutnya ternganga lebar, mengeluarkan jerit panjang, panjang sekali. Tak mungkin dilakukan oleh manusia tanpa kekuatan iblis yang memasuki dirinya

Erwin baru masuk setelah dipanggil sendiri oleh Kapten Kahar yang kebingungan. Inikah arti ular yang keluar dari liang lahat tadi? Mengapa harus begini. Apa kesalahannya? Lebih-lebih apa kesalahan adiknya Dinar? Buatan orang jahil, pasti orang lahil. Tetapi apa yang dapat dilakukan atas pembuatnya. Dan siapakah yang melakukannya. Bagaimana membuktikannya?

"Hanya kau yang dapat menolong, Erwin," kata Kapten Polisi yang merasa dirinya punya kedudukan tak berdaya.

"Tidak," jawab Erwin. "Saya hanya Ikhtiar, tak lebih daripada itu. Berhasil atau tidak, sepenuhnya di tangan Tuhan!"

"Tolonglah, adikku hanya dia seorang," pinta Kapten Kahar. "Kalau bisa dipindahkan, biarlah aku menggantikannya." Dia memang sangat sayang kepada adiknya yang hanya sebiji itu.

Tak masuk akal, tetapi ada selama lima menit Dinar melengking panjang. Ketika ia mengatupkan mulut dan jerit terhenti, maka warna wajahnya berubah warna jadi hitam-legam. Padahal ia biasanya berwarna putih-kuning dan tadi putih-pucat.

Ibu Dinar tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis terisak-isak. Hanya itu. Hatinya kecut. Bingung bercampur takut. Baru malam kemarinnya Koto mati digigit ular. Kini anaknya dimasuki iblis atau jin. Pada waktu itu hatinya mengutuk kehadiran Erwin, Koto, dan Datuk di rumah itu. Pada waktu itu dia lupa, bahwa dia juga orangnya yang kemarin dari benci sangat hormat kepada Erwin. Karena Erwin yang menyembuhkan Hasbi dari kegilaannya.

Perempuan itu memandang Erwin yang sedang menghadapi anaknya. Erwin juga melempar pandang kepada ibu Dinar, sehingga keduanya bertemu pandang. Buru-buru perempuan itu menundukkan muka, merasa bahwa Erwin yang pandai itu, membaca apa yang tersirat di dalam hatinya. Pada waktu itu perempuan setengah baya itu berdiri dan menghambur ke luar

kamar, mengejut-herankan Kapten Kahar dan beberapa keluarga yang ada di sana. Kapten Kahar mengejar dan mengikuti ibunya ke kamar lain, tempat ia menangis tersedu-sedu. Kahar bertanya mengapa ibunya mendadak bersikap begitu aneh.

Jawab ibu Dinar, "Entahlah. Aku berburuk sangka kepada orang-orang yang kau bawa tidur di sini. Sekarang aku merasa bersalah."

"Sudahlah, Ibu sedang gugup. Mereka orang baik. Seorang kawan mereka sudah jadi korban kejahatan dukun jahil, la marah karena Erwin mengobati Pak Hasbi. Hendak membalas Erwin tetapi tidak termakan olehnya. Lalu dia menyerang kawannya yang malang itu. Tenanglah, mudah-mudahan Erwin dapat menolong kita. Aku, jangan Ibu harapkan dalam hal ini. Aku tidak punya kekuatan apa pun." Atas bujukan Kahar, perempuan itu kembali ke kamar Dinar.

Dia masih dalam keadaan kejang, tetapi mukanya tidak hitam-legam lagi. Ibu dan kakak Dinar merasa agak lega. Perempuan itu semakin menyesal mengapa ia harus mencurigai Erwin.

Mengapa gadis tidak bersalah itu harus dikirimi jin? Kahar tidak lekas mengerti, tetapi Erwin segera dapat memastikan, bahwa pembalasan dilakukan atas diri Kapten Kahar melalui penderitaan adiknya karena dialah yang membawa Erwin ke rumah Hasbi untuk mengobatinya. Kalau tidak karena itu, maka dukun itu tidak punya sebab untuk sakit hati kepada Kapten Kahar.

Dalam hati perwira Polisi itu mengambil keputusan untuk mencari dan membinasakan sang dukun jahil, kalau adiknya sampai mati oleh perbuatannya yang terkutuk itu.

"Bisakah adikku ini ditolong Erwin?" tanya Kapten Kahar.

Erwin menjawab lagi, bahwa ia hanya berikhtiar dan tidak menentukan apa-apa.

"Tetapi kau bisa tahu siapa yang melakukan, bukan?"

"Kalau sekedar itu, kurasa bisa. Dia tadi bersama kita ke pemakaman. Kapten pun agaknya melihat dia tadi!" Tetapi Kahar tidak bisa ingat yang mana orangnya.

"Bukankah seorang kawan kita sudah tewas, mengapa dia masih mengganggu?" tanya Kapten Kahar. Dijawab oleh Erwin bahwa seorang dukun yang penasaran tidak mudah menghentikan pembalasannya. Kalau dia tergolong yang sadis, dia akan serang siapa saja yang dianggapnya bersekongkol menentang dia. "Bukan tidak boleh jadi, dia nanti mengarahkan pukulannya terhadap Kapten. Boleh jadi juga terhadap Ibu Kapten. Tetapi kita akan coba membendungnya!"

Dinar kelihatan tenang, tetapi tanpa diduga, mendadak ia menjerit panjang lagi, lalu membanting-banting badannya. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Penyakit yang tadinya diderita Hasbi kini telah berpindah kepada diri Dinar. Tidak cukup sekian, tiba-tiba gadis itu bangkit dengan tampang ganas mata terbelalak lebar, la menuju abangnya yang terpaksa menjauhkan diri karena melihat bahwa adiknya sangat marah kepadanya. Bagi pandangan sang perwira, mata adiknya itu memancarkan api. Kedua tangannya dalam posisi siap untuk mencekik.

"Mengapa kau Dinar!" teriak Ibunya. "Mau membunuh laki-laki ini. Dia yang membawakan lawan untukku. Dia pikir dia cerdik minta bantuan kepada si manusia harimau jahanam itu. Dia keliru. Mestinya Kahar tidak campur tangan. Dan semua ini tidak akan terjadi. Tetapi kini sudah terlambat. Dia harus dihukum, sebagai tumbal bagi nyawa si manusia harimau yang sangat disayanginya itu." Jelas. Kata-kata Dinar yang mewakili jin yang dikirim oleh dukun Maribun bisa dimengerti oleh siapa pun yang mendengar. Erwin tahu, bahwa nyawa Kahar terancam. Kalau iblis yang bersarang di tubuh Dinar sampai mencekik lehernya, maka ia tidak akan tertolong. Satu kota, bahkan satu propinsi akan gempar. Seorang gadis mencekik mati kakak kandungnya yang Kapten Polisi.

Erwin menghadang Dinar sambil membaca-baca dan meniup muka gadis kemasukan itu. Tetapi Dinar melawan. Dengan kedua belah tangannya ia mendorong Erwin yang membuatnya pun heran sambil sangat terkejut dan terlempar beberapa meter. Kapten Kahar jadi tambah takut. Kali ini perwira yang tidak pernah gentar

menghadapi penen-tang penentang hukum bagaimanapun hebatnya, merasa ketakutan, la begitu cinta kepada adiknya ilan kini adik tersayang itu hendak membunuhnya. Rasa sayang itu saja membuat ia tidak mungkin melawan. Lalu, akan menyerah kepada nasib sajakah? Membiarkan diri dibunuh oleh adik kandung yang sedang mewakili dukun yang mengirim iblis ke dalam diri Dinar? Dan kalau gadis itu sudah sembuh kembali, akan bunuh diri atau hidup menderita sepanjang umur, karena ia telah menewaskan ibang terkasihnya?

Erwin yang jatuh segera bangkit, kini bukan lagi manusia Erwin tetapi telah menjadi harimau berkepala manusia. Semua terjadi begitu cepat. Semua hadirin geger dan menghindar, tetapi sebagian besar di antara mereka mengetahui, bahwa apa yang sedang terjadi adalah suatu keajaiban yang lebih baik tak usah dipertanyakan mengapa bisa terjadi begitu, karena tidak dapat dipecahkan oleh hukum akal semata-mata.

"Jangan kalian takut," kata Erwin yang sudah bertubuh harimau itu. "Aku tidak akan mengusik kalian." Dinar tertawa-tawa besar melihat lawan yang menghadang dirinya.

"Kau tak mampu menyembunyikan rahasiamu lagi, hah!" kata Dinar. "Kasihan. Kau merasa malu, tetapi tidak dapat menutupi aibmu. Sekarang semua orang tahu, bahwa kaulah yang iblis. Bukan aku. Aku ini manusia baik-baik yang berilmu dan menjalankan tugas kemanusiaan. Aku wajib membunuh makhluk yang seperti kau ini. Manusia bukan, hewan bukan pula." Kata-kata yang dilontarkan Dinar memang menimbulkan rasa malu pada diri Erwin yang masih berpikir wajar sebagai manusia.

"Keluar dan hadapilah aku sebagai jantan," kata Erwin dengan tujuan supaya Dinar terbebas dari jin yang dikirim Maribun.

"Mengapa aku mesti keluar," jawab si jin "nyaman tinggal di dalam diri wanita secantik ini. Bunuhlah aku! Tapi kau tidak berani. Membunuh aku berarti kau membunuh Dinar yang adik sahabatmu si Kahar jahanam itu."

Apa yang dikatakan jin itu memang benar. Kalau Erwin membunuhnya, Dinarlah yang akan mati sementara dia akan menyelinap ke luar tatkala tubuh tempatnya bersarang itu sedang sekarat. Erwin segera paham, bahwa lawannya ini bukan saja sangat tangguh, tetapi juga luar biasa cerdik.

Si manusia harimau kehilangan akal. la haru» mengeluarkan jin itu dari tubuh Dinar. Ini hama Tiap iblis, setan atau jin punya kelemahan yang berbeda satu dengan lainnya. Kalau tepat caranya jin akan dapat dihalau dengan hanya sebutir lada putih. Bisa juga dengan sesiung bawang putih!

Erwin mendengar suatu bisikan di telinganya Itu suara Datuk nan Kuniang yang sudah lama tidak mendatanginya. Datuk yang dimakamkan di sebuah pekuburan daerah Kebayoran Lama ini beberapa kali menolong Erwin, karena Dja Lubuk dan Raja Tigor sahabat-sahabatnya yang sangat akrab. Bisikan itu begitu pelan, sehingga Erwin pun tidak segera dapat menangkapnya.

"Aku punya nama, walaupun aku bukan manusia dan bukan hewan seperti katamu. Tetapi kau tl dak punya nama. Karena kau hanya jin atau iblu yang hina," kata Erwin memanasi. Dinar tertawa "Kau kata aku tidak punya nama? Kau mau tahu? Semua orang kenal. Akulah Maribun, yang tidak terlawan oleh kekuatan apa pun di bumi ini!" Tampang Dinar memperlihatkan kesombongan, membangkitkan kejijikan. Dinar gadis yang sebenarnya mempunyai paras menawan itu.

Bisikan halus itu terdengar lagi ke telinga Erwin. Sekarang ia memasukkan tangan kanannya ke ketiak kiri Dinar, memijitnya sekuat tenaga. Ketika terasa sebuah biji kecil keras, ia menekannya semakin kuat. Dinar menjerit-jerit, meronta-ronta lalu terkulai pingsan. Jin itu telah keluar. Buat sementara Dinar bebas, tetapi Erwin merasakan, bahwa pertarungannya masih jauh daripada selesai.

0odwo0

DUAPULUH

MEMANG bagi yang melihat, menjadi lemasnya Dinar merupakan tanda kemenangan Erwin dalam bentuk dirinya yang sangat mengerikan itu. Tetapi mereka sudah tidak takut, karena ialah menjadi harapan dan pejuang mereka dalam menghalau jin yang bersarang di dalam tubuh gadis itu. Dalam hati Erwin berharap agar ia segera menjadi manusia biasa kembali, karena sesungguhnyalah ia sangat malu dengan keadaannya yang seperti itu. Tetapi harapannya tidak terkabul dan ia tidak dapat semaunya mengubah diri jadi harimau atau jadi manusia kembali.

Erwin memandang sedih ke sekelilingnya seperti mau melihat dan membaca muka dan hati mereka masing-masing. Dia kasihan kepada dirinya sendiri, tetapi ia tidak mengharapkan belas kasihan dari mereka. Bahkan dialah yang kasihan kepada mereka, karena telah membuat mereka terkejut dan semula tentu ketakutan. Siapalah orangnya yang tidak akan ketakutan melihat seorang manusia mendadak berubah jadi harimau berkepala manusia. Melihat Erwin memandang, semua yang hadir menundukkan kepala. Rasa kasihan, rasa hormat dan mungkin juga masih bercampur lagi dengan sedikit rasa takut yang mereka ketahui tidak pada tempatnya, tetapi tidak dapat dibuang begitu saja dari perasaan.

Mungkin di luar sadar, Erwin berkata, "Aku menyesal, kalau keadaanku ini membuat kalian semua merasa takut. Kalian tahu, aku tidak punya maksud untuk menakuti kalian. Tetapi aku juga tidak mampu melawan nasib yang telah ditentukan bagi diriku!" Yang mendengarkan semua terharu. Ibu Kahar bergerak maju, memegang dan mencium tangan Erwin dalam bentuk kaki depan harimau.

Kahar membiarkan, agak lega atas sikap Ibunya yang menunjukkan kekhilafan penilaian terhadap diri Erwin. Si manusia harimau juga terharu.

Dalam keadaan mengharimau itulah Erwin memakai sebagian dari kemampuannya untuk mengembalikan Dinar kepada gadis normal. Pelan-pelan ia membuka mata dan beruntung sekali, ia

tidak menjerit atau takut melihat makhluk itu duduk di hadapannya, la memandang lama, kemudian tersenyum. Erwin juga senang dengan ketenangan Dinar, tetapi kemudian senyum gadis itu membangkitkan suatu rasa takut pada dirinya sendiri, sebagaimana telah beberapa kali dialaminya. Padahal mereka melihat kenyataan bahwa dia hanya pemuda miskin dan beberapa di antara mereka bahkan melihat bahwa dia manusia dengan tubuh harimau, ada waktu melihat Dinar tersenyum, maka Erwin lah yang berdoa, agar jangan sampai terjadi pula lagi alangan beberapa bencana cinta-tak-normal atas dirinya.

Yang sangat menakjubkan, Dinar yang baru ditinggalkan jin, bukan hanya tersenyum ramah, tetapi beberapa saat kemudian malah berkata pelan, namun cukup jelas untuk didengar semua yang ha dir, "Abang Erwin hebat sekali. Bagaimana Abang membuat diri Abang jadi harimau begini? Abang mau mengajarkan ilmunya kepadaku nanti?"

"Istirahatlah. Kau perlu istirahat," kata Erwin' sebagai jawaban.

"Aku akan istirahat, kalau Abang berjanji mengajarkan ilmunya!"

"Baiklah," jawab Erwin untuk menghentikan cerita yang tidak lucu itu.

Tetapi jawaban itu membuat Dinar meneruskan, "Jadi aku nanti juga bisa jadi harimau seperti Abang. Mama dengar itu?" tanya gadis itu kepada Ibunya. Yang ditanya diam. Sedih, mengapa anak nya jadi punya kemauan begitu. Dan mulai pula datang kembali dugaan yang tidak sehat di dalam hatinya. Mestinya Dinar takut, tetapi dia tersenyum. Dia pun ingin pula jadi wanita mengerikan. Bayang kan, kalau Dinar punya tubuh harimau, menjadi wanita harimau. Apakah Erwin mempunyai dan mempergunakan ilmunya membuat Dinar menyenangi dirinya, walaupun ia jelas-jelas bukan manusia normal?

"Jangan berpikir begitu Nyonya," kata Erwin. Di luar dugaan Ibu Dinar dan tidak dimengerti oleh Kahar yang juga mendengar ucapan Erwin.

Perempuan yang tidak berpikiran stabil itu terkejut dan kini takut melihat Erwin yang mungkin marah dan melakukan pembalasan, la tidak lagi lari seperti pernah dilakukannya tadi, juga tidak minta maaf karena pikiran buruknya dibaca oleh Erwin. Tetapi ia menangis tersedu-sedu, menimbulkan tanda tanya lagi pada keluarganya yang ada di sana. Apakah yang dipikirkannya sehingga manusia harimau itu sampai berkata agar dia jangan berpikir begitu?

"Mengapa Abang berkata begitu kepada Mama?" tanya Dinar.

Erwin tidak menjawab, tetapi meneruskan usahanya dalam memulihkan jalan pikiran dan keadaan tubuh Dinar.

Erwin kian gelisah, walaupun keadaan Dinar terus membaik secara perlahan, karena dirinya belum juga kembali jadi manusia.

Rupanya hal ini dilihat dari jauh oleh dukun berilmu sangat tinggi Maribun yang mengirim ular dan jin ke rumah Kapten Kahar dan pekuburan tempat tubuh Koto disimpan untuk selamanya. Karena dia bukan hanya hebat dalam ilmu gaib tetapi juga cerdik berpikir, maka ia buru-buru menelepon ke Kantor Polisi bahwa di rumah Kapten Kahar sedang bersembunyi seekor harimau yang lebih ganas dari harimau biasa. Kalau tidak segera dibinasakan, maka ia akan mengambil banyak korban di Lubuk-linggau. Dia juga menceritakan, bahwa harimau yang lain daripada siluman itu tela h melakukan teror di Jakarta, Surabaya, Ujungpandang, Medan, dan Palembang.

Komandan jaga tidak percaya, karena rumah yang disebutkan pelapor adalah tenpat tinggal seorang perwira Polisi. Tanpa ragu-ragu Maribun menjelaskan, bahwa dalam soal ini tidak ada kaitan dengan jabatan Kapten Kahar, tetapi makhluk yang sangat berbahaya itu sedang bersembunyi di sana. Mungkin juga dilindungi oleh Kapten itu. Polisi sebagai pelindung masyarakat harus mengambil tindakan.

"Kalau tidak percaya, datanglah kemari. Yang melapor ini Maribun! Kalian tidak kenal? Apakah orang semacam aku membuat laporan palsu?" kata Maribun dengan nada mulai marah.

Maribun memang cukup dikenal. Bukan hanya sebagai dukun,

tetapi lebih-lebih lagi sebagai orang dermawan.

Maribun ingin membinasakan musuhnya melalui tangan resmi, pihak yang berwajib memelihara keamanan dan ketertiban. Pengaduannya agak meragukan, tetapi sekaligus juga menimbulkan rasa takut. Kalaulah benar ada harimau yang melebihi harimau siluman bersembunyi di rumah Kapten Kahar, maka hewan itu harus dibinasakan, sebelum ia mengambil korban di kota itu.

Kapten Kahar terkejut, ketika mendapat laporan dari pemelihara pekarangan bahwa satu regu Polisi telah datang dan komandannya angin bertemu dengan Kapten Kahar.

Siapakah yang telah memberi laporan kepada Polisi, tanya Kapten Kahar pada diri sendiri tanpa mampu memberi jawaban, la amat marah dan sakit hati. la buru-buru ke pintu pagar pekarangan, mendapat hormat dari seorang Letnan Polisi yang memimpin pasukan, la tidak berani langsung masuk pekarangan, karena hal ini menyangkut atasannya yang bertempat tinggal di sana.

"Ada apa Let?" tanya Kapten Kahar menahan emosi yang bangkit di dalam dirinya. Sang Letnan yang bernama Jaya menyampaikan laporan yang diterima Polisi dan menyebutkan nama pelapor.

"Itu bohong. Apa maunya orang ini memberi laporan yang tidak benar dan bisa menimbulkan ketegangan. Bangsat betul. Masukkah di akalmu di sini ada harimau? Dari mana datangnya. Gila, orang itu gila dan kalian mau pula percaya kepada provokasi orang gila!" kata Kapten Kahar. Dia marah sekali. Melihat ini si Letnan jadi ragu-ragu. Mustahil Kapten Kahar berdusta, kalau benar ada harimau yang tentu membahayakan keselamatan mereka sekeluarga.

Sejumlah Polisi telah mengatur posisi masing-masing dalam pengepungan. Hanya menunggu perintah dari komandan penyerbuan.

"Pak Kapten yakin tidak ada bahaya? Tidak ada harimau? Katanya harimau yang lain lagi dari siluman," lanjut Letnan Jaya.

"Betul-betul gila. Akan kupanggil pelapor edan itu nanti. Aku

cuma tahu harimau di hutan. Tidak percaya siluman segala. Kau percaya?"

"Tidak Pak, cuma dengar dari cerita-cerita."

"Dalam dongeng memang ada. Hanya khayalan penulis," Kapten Kahar tertawa. Walaupun hanya tawa yang dibuat. Si Letnan memberi hormat lagi dan memerintahkan anak buahnya untuk kembali.

Kapten Kahar merasa lega dengan kepergian si Letnan, tetapi juga merasa bersalah karena ia berdusta. Tiada pilihan lain baginya daripada berdusta.

la kembali ke kamar adiknya, tempat Erwin masih saja dalam keadaannya seperti tadi. Meskipun tidak melihat sendiri, ia tahu, apa yang baru saja dihadapi oleh Tuan rumah yang baik hati dan telah jadi korban dukun Maribun. Dia ingat baik-baik nama itu.

Karena Dinar sudah tertidur tenang, Erwin minta diri untuk kembali ke kamarnya bersama Datuk, yang dirasuki berbagai macam perasaan. Untuk kedua kalinya dia melihat manusia jadi harimau. Tempo hari di Panorama Bukittinggi disaksikannya Dja Lubuk yang mengharimau ketika bertempur dengannya. Kini ia menjadi saksi lagi dari kejadian serupa atas diri Erwin. Tetapi rasa takut sudah tidak ada. la tahu bahwa masih banyak petualangan di hadapannya, barangkali juga kemati-annya, tetapi ia bangga telah bersahabat dengan Erwin, walaupun seorang sahabat telah pergi. Akhirnya kematian seseorang bisa terjadi di mana saja. Kematian Koto meninggalkan kesan menyedihkan, tetapi tidak boleh disesalkan. Tak ada manusia yang tahu, kapan saatnya janji bersedia kembali kepada Yang Empunya harus dipenuhi. Tiada kekuatan apa pun dapat membatalkan janji itu. Kalau ada seseorang diyakini akan mati, tetapi tidak mati, maka hal itu bisa terjadi karena saat memenuhi janji belum tiba. Tiada lain daripada itu.

Datuk memandangi Erwin. Tiada bertanya. Tetapi Erwin bertanya kepada Datuk apakah ia ingin berpisah saja, karena kalau masih bersama-sama mungkin ia akan turut terlibat dalam peristiwa-

peristiwa yang sudah tentu belum habis sampai di situ. Datuk menangis terharu, la tidak mau berpisah. Waktu dia mengatakan ingin tetap bersama itu, Erwin berubah jadi manusia kembali. Dia merasa lega. Untuk kesekian kalinya dia mengalami, bahwa perubahan atas dirinya tidak selalu terjadi atas keinginan hati dan kebutuhannya. Ketika ia ingin jadi harimau, ia justru selalu tidak bisa berubah dari wujud manusia.

Setelah menanti beberapa saat ia kembali ke kamar Dinar, la dapat merasa ketenangan yang kembali ke diri keluarga Kahar, terutama Kapten itu sendiri.

"Menyesal atas kesulitan yang kutimbulkan. Kapten," kata Erwin.

"Jangan berkata begitu saudaraku Erwin," kata Kahar spontan, la kian melihat suatu kebersihan dan ketulusan pada diri si manusia harimau.

"Aku salah satu dari yang disebut manusia harimau. Ingatlah itu baik-baik. Aku bukan manusia beruntung yang normal seperti kalian."

Hati Kapten Kahar amat tersentuh mendengar ucapan Erwin. Itulah jerit halus dari seorang anak manusia yang harus menerima nasib menyimpang dari manusia lainnya.

"Sebaiknya kami pergi dari rumah Kapten. Nanti timbul kesulitan baru. Kami senang tinggal di sini, tetapi tidak suka kalau karena kami nanti nama baik Kapten terbawa-bawa. Bahkan bisa rusak dan menimbulkan kecurigaan di antara Korps Kepolisian. Waktu mereka mengepung dan mau menyerbu tadi. Kapten terpaksa berbohong, bukan? Padahal Kapten tidak biasanya suka berdusta."

"Hanya untuk kebaikan. Tidak merugikan siapa pun. Ini semua yang dapat dinamakan takdir. Tidak kita kehendaki apalagi kita atur! Tetapi kita juga tidak dapat mengelakkannya. Salahkah manusia yang tak mampu mengelakkan takdir, karena memang sesungguhnya tidak ada satu makhluk pun yang mampu membebaskan dirinya dari takdir yang sudah ditentukan!"

"Falsafah hidupmu tinggi sekali. Saudara Er win. Di mana kau belajar? Adakah buku pelajaran untuk itu?"

"Aku tidak pernah belajar filsafat, Kapten. Per jalanan hidup yang memberi ajaran kepadaku. Kap ten setuju kan, kami pergi dari rumah Kapten ini. Bukan kami tidak suka di sini. Urusan atau peristi wa ini belum selesai."

"Akan ke mana Saudara Erwin. Adikku pun belum sembuh! Kau tak akan meneruskan pengobatannya?"

"Aku berada di sekitar sini. Tentu saja aku akan coba dengan segala daya yang ada."

"Kedatangan Polisi tadi oleh pengkhianatan seorang pelapor," kata Kahar.

"Dia berkata yang sebenarnya. Mau menyelamatkan keluarga Kapten."

"Tetapi aku akan bikin perhitungan dengannya. Sudah pasti dia mau merusak!"

"Aku mohon dengan segenap kebersihan hati, jangan! Demi kebaikan banyak pihak. Jangan rusak masa depan Kapten. Aku yakin. Kapten akan jadi seorang besar yang amat penting bagi bangsa dan negara ini. Jangan Kapten!"

Datuk memandang Erwin. Ingin penjelasan mengapa tidak dibalas.

"Ini urusanku, maka akulah yang akan menyelesaikan, Datuk. Layak begitu, bukan? Ataukal Datuk punya pendapat lain?"

"Tidak, pendapat dan cara Saudara tentu yang terbaik. Tetapi aku tidak rela kalau dia tidak dibalas. Dia terlalu jahat dan sombong!" kata Datuk.

Maribun yang ditanyai Polisi menyatakan penyesalan, karena mereka telah dibohongi Kapten mereka sendiri. Maribun bersumpah bahwa ia tidak mengada-ada.

"Aku memikirkan keselamatan Pak Kahar dan masyarakat kota ini," katanya.

0odwo0

DUAPULUH SATU

SESUNGGUHNYA Maribun sangat berharap dan sudah yakin, bahwa untuk sekali itu ia menyingkirkan lawannya melalui kekuatan yang dipelihara dan dibiayai negara. Dia akan tertawa lebar melihat si harimau mati dikepung lalu binasa ditembak, dengan lebih dulu tentu mematikan beberapa pengepungnya. Maribun juga tahu, bahwa Erwin yang manusia harimau dari warisan, mempunyai ilmu yang sangat tangguh. Sudah dirasakannya bagaimana kekuatan orang muda itu ketika mengobatinya Hasbi. Tetapi peduli apa Maribun akan kematian beberapa anggota masyarakat, siapa pun dia. Yang terang bukan sanak-pihaknya. Dia akan mendapat nama baik pula dari Polisi karena telah melaporkan keadaan yang sangat membahayakan masyarakat kota itu. Maribun juga akan tertawa puas bila Kapten Kahar terbukti menyembunyikan harimau yang jelas-jelas mengancam keamanan. Sekurang-kurangnya ketenangan, la pasti akan dipecat. Ataukah akan ikut mati dalam membela si manusia harimau yang menjadi harapannya untuk menyembuhkan adiknya Dinar?

Atas hasutan Maribun juga seorang Mayor Polisi yang kenal baik dengannya pura-pura bertandang ke rumah Kapten Kahar. Seolah-olah mau menjenguk adiknya yang sakit. Begitu nasihat Maribun untuk menutupi maksud yang sebenarnya. Dapat mempercayai keterangan Maribun yang dilengkapi dengan alasan dan keterangan. Mayor Polisi Ahmad Buang ingin membuat suatu kejutan bagi masyarakat kota Lubuklinggau. Atas kelihayan Mayor Ahmad Buang, akhirnya terbukti, bahwa memang benar Kapten Kahar melindungi seekor harimau yang ganasnya melebihi harimau lapar dan luka. Uh, kalau tersiar begitu, betapa hebat namanya. Di mana-mana orang akan menyebut Mayor Buang. Barangkali juga orang akan katakan, bahwa ia bukan hanya Perwira Polisi yang cerdik dan berani, tetapi

juga seorang pejabat yang punya ilmu gaib. Kebohongan Kapten Kahar seperti yang dikatakan Maribun tidak akan dapat mengelabui dirinya.

Kapten Kahar mempersilakan tamunya masuk. Kedatangan itu saja sudah agak aneh, karena tidak biasanya Mayor itu berkunjung ke rumah Kahar. Lebih heran lagi, ketika Ahmad Buang berkata, 'Saya dengar adik Kapten sakit. Tidak diopnamekan saja?"

Dari mana atau siapa pula Ahmad Buang mengetahui tentang sakitnya adik sang Kapten. Ah, ini semakin macam-macam.

Kahar menerima atasannya di ruang tamu, mengatakan, bahwa memang adiknya sakit, tetapi hanya ringan. Tidak perlu opname. Bahkan ke dokter pun tidak perlu, katanya. Dengan cara itu sebenarnya ia menyampaikan kejengkelan, karena dia sudah merasakan, bahwa si Mayor mau menyelidiki, bukan mau tahu tentang penyakit dirinya. Sekali ini, tanpa dipinta Tuan rumah, Erwin yang sedang bersiap dan menunggu langkah baik untuk pergi, datang ke ruang tamu. Dan di luar dugaan Kahar, juga sangat mengejutkan Mayor Ahmad Buang ia bertanya, "Bapak mau menyelidiki kebenaran cerita Maribun, ya?"

Buang berkata, gugup, walaupun hanya seorang Erwin kampungan yang bertanya, "Apa maksudmu?" la merasa manusia yang seperti itu cukup diper-kamu.

"Bapak mau mencari kepastian apakah di sini ada harimau yang sangat ganas, berterusteranglah Pak. Bukankah Bapak berhadapan dengan seorang yang pangkatnya di bawah Pak Mayor?"

"Siapa kamu?" tanya Buang.

"Pekerjaan saya supir. Bapak perlu supir? Saya sudah lama tidak punya pekerjaan. Saya dengar Bapak senang sekali membantu orang susah," kata Erwin mencerocos. Pak Mayor yang merasa keco-longan rahasia dan diteror dengan pertanyaan-pertanyaan oleh orang yang semula dipandangnya tidak punya arti sama sekali, bangkit dari duduknya dan secara sangat tidak wajar, tanpa pamit meninggalkan rumah, tetapi baru beberapa langkah, Erwin berkata,

bahwa harimau yang dicarinya itu memang ada. Perwira itu merasa dipermainkan tetapi ia berhenti dan menoleh.

"Kamu juga melihatnya?" tanya Mayor Ahmad Buang.

"Ya, tadi memang lalu dari pekarangan ini. Melompat ke pekarangan orang sebelah. Itu harimau piaraan namanya Pak," kata Erwin berlagak tahu.

"Mengapa kau tahu dia harimau piaraan?" tanya Buang.

"Karena tak kan ada harimau rimba sampai menyasar kemari. Jadf, kesimpulan saya yang bodoh, harimau piaraan. Mungkin di sekitar sini ada dukun memelihara atau ada orang yang mewarisi harimau!" kata Erwin.

Mayor itu kembali dan bertanya kepada Kapten Kahar apakah dia boleh duduk sebentar lagi.

"Silakan Pak Mayor," kata Kahar.

"Kamu seperti orang banyak tahu, siapa namamu?"

"Bujang," jawab Erwin. Kahar dan Datuk yang sudah ikut serta pula di sana hanya mendengarkan. Walaupun hanya sedikit, tetapi mereka merasa geli juga.

"Namamu hampir sama dengan namaku. Ahmad Buang, Mayor Polisi." la minta "Bujang" meneruskan ceritanya. Maka dijelaskanlah oleh Erwin, bahwa dia berasal dari Kerinci dan di sana masih lumayan banyak harimau jadi-jadian. Ada juga orang yang memelihara atau mewarisi harimau. Harimau yang dipelihara dapat disuruh oleh pemiliknya, kata Erwin. Dan Mayor itu tidak ragu-ragu, karena cerita begitu sudah biasa juga didengarnya. Lalu dia mengambil kesimpulan, bahwa cerita Maribun memang bukan omong kosong belaka.

"Apa yang dikatakan Tuan Maribun itu memang benar, Pak Mayor," kata Erwin membuat orang dari Kepolisian itu semakin heran akan kepandaian lelaki kampungan itu, "tetapi harimau itu tidak bersembunyi di sini. Dugaan Pak Mayor bahwa Kapten Kahar

menyembunyikan harimau sangat ganas itu sangat keliru. Tidak masuk akal, bukan. Ataukah Pak Mayor bisa percaya?" tanya Erwin.

"Tentu saja tidak," jawab Mayor Ahmad Buang tanpa banyak pikir lagi. Padahal tadi dia begitu yakin akan cerita Maribun.

"Saya kuatir harimau itu nanti mencari Pak Maribun, kalau ia benar harimau piaraan atau suruhan," kata Erwin lagi. "Sebab harimau yang begitu bisa mengetahui dan membaca pikiran orang!"

"Mengerikan juga," kata Mayor Buang mengikutkan perasaannya, la juga tidak suka pikirannya dibaca oleh harimau, yang bisa melakukan pembalasan.

"Kapten, maaf aku telah mengganggu," kata Mayor Buang. "Aku permisi."

"Tidak ingin melihat adikku yang sakit itu? Bukankah itu maksud kedatangan Pak Mayor kemari?" tanya Kahar. Atasannya yang jadi malu itu merasa serba tak enak. Dia disindir. Tetapi memang pantas ia disindir.

"Kudoakan supaya dia lekas sembuh," kata Buang lalu pergi, la mengutuk Maribun yang telah mempengaruhi dia supaya pergi ke rumah Kahar melakukan penyelidikan dan melihat kenyataan. Ketika ia akan naik Toyoto Hardtop-nya, Erwin datang menghampiri dan bertanya bagaimana tentang pekerjaan supir itu. Pak Mayor tidak mengerti apa sebenarnya yang dimaksud orang mengaku bernama Bujang itu, tetapi ia berkata, bahwa dia akan menyediakan pekerjaan kapan saja pelamar itu mau mulai.

"Terima kasih Pak," kata Erwin, "jangan lagi Bapak mau dikibuli dukun Maribun. Bapak jangan marah, dialah sebenarnya yang sangat jahil."

Erwin mengangkat tangan memberi hormat dan perwira menengah Polisi itu pergi. Berbagai macam pertanyaan timbul di dalam benaknya. Yang satu dengan lain bertentangan.

Atas mufakat, Kapten Kahar menyetujui Erwin dan Datuk pergi. Bekal beberapa puluh ribu rupiah diterima Erwin. la memang

membutuhkannya. Dia mengatakan masih akan mengunjungi Hasbi yang sebenarnya masih diancam bahaya karena ia mempunyai banyak musuh, la juga akan datang pada petang hari itu untuk melihat Dinar.

Apa yang dikhawatirkan Erwin tampaknya bisa terjadi kalau tidak segera dicegah perkembangannya. Sebelum petang hari itu, ia bertanya kepada ibunya kenapa Erwin tidak datang melihatnya, la termenung ketika dikatakan, bahwa Erwin sudah pindah atas permintaannya sendiri. Kahar menerangkan, bahwa Erwin tinggal tak jauh dari sana dan akan datang mengobati Dinar.

"Minta dia tinggal di sini saja Bang," kata Dinar. "Bukankah dia orang baik yang menolong Pak Hasbi. Dia berjanji akan mengajarkan aku ilmu menjadi harimau. Tentu aku akan jadi hebat sekali ya Bang."

Kebetulan pada waktu itu Erwin tiba dalam keadaannya yang normal. Berpakaian bersih, la minta disediakan segenggam lada putih untuk melanjutkan pengamanan rumah dari gangguan orang jahil mana pun. Ditanamnya di tiap pintu masuk d.ut di keempat sudut rumah. Cara kuno yang masih I pakai banyak dukun sampai sekarang.

Dinar bertanya mengapa Erwin pindah.

"Rumah begini terlalu bagus untukku Nona Dinar. Ayahku berpesan supaya aku selalu hidup dalam kesederhanaan," kata Erwin. Kahar mend-ngarkan dengan rasa haru.

"Aku ingin sepertimu. Bang Erwin. Aku ikut Abang saja, boleh?"

"Tak sesuai untukmu. Hidup Abang hidup petualang. Suatu kesenangan mengembara dari satu ke lain tempat!"

"Aku juga mau bertualang. Mau mengembara Cari pengalaman."

"Ya, semua orang mau cari pengalaman. Tetapi jangan pengalaman seperti Abang. Nona harus lekat sembuh, mudah-mudahan satu dua hari lagi. Nanu kita buang semua gangguan itu."

0odwo0

Erwin berniat untuk menyelesaikan urusannya malam itu juga. Supaya ia bisa meninggalkan Lubuklinggau atau berkubur di buminya, la tahu bahwa Maribun tentu bersiap menantikan kedatangannya. Dukun itu memandang Erwin hanya menyempitkan dan mengotori daerah yang selama ini dikuasainya.

Sampai menjelang tengah malam Erwin men doa dan membaca berbagai mantra. Yang begitu di lakukan juga oleh Maribun dengan caranya. Tidak sama dengan Erwin karena ia mempergunakan ilmu hitam yang amat tangguh, mengandalkan berbagai urunan yang terdiri atas jin, setan, iblis, dan ular.

Sampai tengah malam Maribun sia-sia menantikan kedatangan Erwin. la tak dapat lagi melihat apa yang sedang dikerjakan Erwin. Rupanya lawannya itu mematahkan kemampuannya untuk melihat dan membaca dari jauh.

Maribun merasa dirinya dalam bahaya. Jangan-jangan musuh sudah berada di pekarangan ataukah sudah di dalam rumah? Apakah Erwin mempunyai ilmu perabun yang dapat mengalahkan keampuhannya terhadap kekuatan gaib semacam itu? Kegelisahan Maribun meningkat ketika ia mulai merasa kantuk menyerang dirinya. Dia membaca-baca, lalu minta dibuatkan kopi kental. Tentu musuh sedang mengerjai dia dengan sepenuh kemampuan yang ida padanya. Dan dugaan Maribun tidak keliru. Erwin mengerahkan semua kekuatan batinnya untuk menaklukkan lawan, la ingin pembalasan dapat dilakukan tanpa menimbulkan kehebohan atau kegaduhan.

Pukul 01.30 tengah malam Erwin berkata kepada Datuk, bahwa ia akan pergi sebentar, la akan kembali menjelang subuh, katanya.

"Aku ikut," kata Datuk.

"Jangan, biar aku saja yang menyelesaikan."

"Perkenankan sekali ini, Erwin. Aku tak mau membiarkan kau

pergi seorang diri sementara aku tinggal sendirian pula di sini. Aku tak mau lagi berpisah denganmu, kecuali dipisahkan oleh maut."

"Baiklah kalau Datuk tak mau dilarang! Aku mau memohon dulu," lalu ia duduk bersila dengan kedua belah tangan di atas kedua lututnya, la memohon restu dan bantuan dari jauh kepada Raja Tigor, Dja Lubuk, Tuan Syekh Ibrahim Bantani, Datuk nan Kuniang dan semua gurunya dalam ilmu pengobatan dan menangkis serangan dari orang orang jahil. Hanya dari orang jahil, la sendiri tidak akan pernah melakukan kejahatan, hanya melawan kejahatan guna menegakkan pihak yang benar

0odwo0

Permohonan Erwin terkabul, la telah mempunyai tubuh dan kekuatan harimau. Ditambah lagi dengan ilmu-ilmu gaib di dalam dirinya sebagai manusia. Dengan kekuatan gabungan itu mereka berangkat. Begitu mereka telah mencapai setengah perjalanan turunlah hujan yang amat lebat, tetapi tidak dihiraukan oleh kedua sahabat yang akan melaksanakan missi penuh bahaya. Dan hujan ini menyebabkan tanah jadi becek dan meninggalkan jejak-jejak kaki Erwin yang sudah jadi harimau itu. Disebelahnya kaki Datuk.

"Kita akan meninggalkan jejak," kata Datuk, yang dijawab oleh Erwin, bahwa hal itu seperti di atur agar besok orang tahu, bahwa seorang manusiai perkasa telah berjalan berdampingan di dalam kota dengan harimau piaraannya. "Akan menghebohkan! kota besok Datuk," kata Erwin. Datuk terhibur oleh kelakar itu.

Kedua sahabat itu memasuki pekarangan Maribun dalam curahan hujan yang kian lebat, menidurkan hampir seluruh penduduk kota, termasuk dukun kawakan yang diserang kantuk tak terlawan itu.

"Datuk menunggu di luar. Bersembunyi jugalah. Mana tahu ada patroli lewat," kata Erwin, "Aku akan naik mengambilnya?"

"Dia tentu akan melawan, biarlah aku ikut, walaupun kehadiranku tidak berarti," kata Datuk merendahkan diri. Tetapi Erwin

memberinya alasan-lasan, mengapa harus dia sendiri yang naik.

Erwin heran tetapi juga merasa senang, karena pintu yang harus dibukanya ternyata tidak dikunci. Rupanya disengaja atau terlupa oleh Maribun yang tahu bahwa lawannya itu akan datang. Sesudah di dalam, terasa oleh Erwin kakinya sangat berat untuk melangkah. Tentu karena telah di "pasang" oleh Maribun. Tetapi ia juga tahu, bahwa dukun kawakan itu telah terbius oleh kekuatan gaibnya.

0odwo0

DUAPULUH DUA

TIDAK mampunya ia melangkah untuk mengambil Maribun, membuat Erwin menyadari, bahwa walaupun Maribun terbius, ia tidak dapat melakukan rencana yang sudah dipikirkan dan diyakini nya akan dapat berjalan dengan lancar. Ataukah penglihatannya dari jauh bahwa dukun besar itu telah terlena, pun suatu kekeliruan oleh tabir gaib yang dipasang oleh lawannya itu? Jika begitu, Maribun tidak berhasil dibiusnya dan besar kemungkinan ia tertawa melihat hambatan yang dihadapi Erwin. Sudah sampai di dalam rumah, tetapi tidak dapat melangkah maju. Barangkali lebih pula dari itu. Akan dapatkah ia melangkah ke luar dari rumah itu, kalau ia gagal membawa Maribun? Jikalau begitu halnya, apakah ia akan tertangkap di sana. Apakah untuk kedua kalinya ia akan dikepung oleh alat-alat bersenjata? Usaha Maribun yang pertama menghasilkan kedatangan satu pasukan Polisi ke rumah Kapten Kahar untuk mengepung dan menangkap atau membinasakannya, tetapi gagal. Karena ia dilindungi oleh Tuan rumah. Di sini tidak akan ada yang melindunginya. Apakah dalam keadaan manusia biasa, atau lebih-lebih lagi dalam wujudnya yang seperti sekarang, ia tidak punya alasan untuk menolak kesalahan dan maksud jahat yang ditimpakan atas dirinya.

Erwin mengerahkan tenaga dalam dengan mantra pemecah benteng, tetapi sia-sia. Kakinya tak dapat maju, kemudian diangkat saja pun tak bisa lagi.

Keringat mulai membasahi muka. Apakah Maribun tidak ada di rumah karena mengintai dari pekarangan, kemudian melapor kepada Polisi setelah ia masuk ke dalam rumah? Kalau itu yang telah dilakukannya, memang ia akan berhasil.

Setelah hampir putus asa, manusia harimau yang sedang terjebak itu memanggil-manggil Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Dan orang berilmu tinggi yang bermakam di dekat Muara Sipongi itu memperlihatkan diri. Walaupun ia sudah mempunyai banyak pengalaman tetapi dalam situasi seperti ini ia benar-benar sangat takut. Pertama-tama karena malu kalau sampai tertangkap dalam keadaan begitu, kedua ia masih ingin hidup menyelesaikan beberapa urusan yang belum beres. Termasuk janjinya untuk bertemu dengan Mei Lan.

Tanpa bicara agak sepatah kata pun. Tuan Syekh kembali dan bersamaan dengan itu Erwin dapat mengangkat kaki. Kemudian ia melangkah, udah tiada rintangan. Erwin tahu bahwa terhindarnya tabir gaib yang tak tertembus berbagai mantranya, hanya berkat pertolongan Tuan Syekh Ibrahim Bantani.

Erwin berjalan pelan, supaya jangan terdengar oleh orang-orang yang barangkali tak turut terbius oleh jampi-jampinya. Tetapi kaki-kakinya yami memikul badan harimau yang berat itu meninggalkan bekas berlumpur dalam bentuk telapak hari mau.

la sampai pada suatu ruangan yang lumayan luas dengan satu stel kursi dan perlengkapan lain yang membuat suasana di sana dalam keadaan normal, tentu cukup menyenangkan. Alat pendingin tetap bekerja, tidak dimatikan, walaupun di luar hujan turun dengan amat lebat. Manusia harimau itu tak membutuhkan waktu lama untuk melihat seseorang sedang duduk bersandar di sebuah kursi goyang. Santai, seperti orang yang sedang melenakan lelah atau mengenang masa lalu yang indali. Ataukah yang amat pahit?

Kedatangan Erwin dalam bentuknya yang ngeri menjijikkannya itu seperti tidak dihiraukan nya. Persetan amat sama makhluk yang cuma begitu. Berbadan harimau menandakan ketidak-sempunaannya. Derajat monster yang begitu, berada janji di bawah

manusia yang utuh. Ataukah dia tidak melihatnya? Tertidur? Pintu yang terbuka samp«l jauh malam itu, apakah maknanya. Bukankah bita ditafsirkan sebagai suatu undangan bagi siapa tam yang mau datang. Setidak-tidaknya maling yang tidak akan membuang kesempatan sebaik itu. Maribun terkenal orang berada. Umumnya masyarakat sekitar tahu, bahwa dia punya usaha dagang dan punya beberapa bidang kebun. Juga kedermawanannya diketahui orang. Beberapa bulan yang lalu ia mewakafkan sebuah mesjid kecil tetapi lengkap dengan semua fasilitas. Bukan terbatas pada lantai yang dikarpet seluruhnya, tetapi juga dengan AC. la ingin jemaah melaksanakan ibadahnya dalam lingkungan yang nyaman. Supaya bisa khusuk, barangkali itulah yang menjadi tujuannya.

0odwo0

Beberapa menit Erwin berdiri memandangi orang yang seperti tidur atau benar-benar tidur itu. Tak salah lagi, inilah orang yang pernah datang di dalam mimpinya. Tetapi menurut ingatannya, ini bukan orang yang berbisik kepadanya saat mengebumikan Koto. Apakah ada dua orang? Orang di makam itu yang suruhan ataukah yang bersandar santai ini yang sedang melaksanakan tugas yang dibebankan sang majikan atas dirinya.

Erwin ragu-ragu. Orang keliru, kalau menyangka, bahwa makhluk sehebat ini tak mungkin ragu-ragu dalam menentukan langkah yang akan diambil. Barangkali orang ini menunggu dia datang mendekat, kemudian dengan suatu gerak kilat menyerang dirinya. Entah dengan senjata atau kekuatan apa. Bukan mustahil orang ini akan merobohkannya di sana, lalu datanglah para suruhannya untuk melumpuhkan dirinya. Kalau tak dibunuh, maka ia akan diserahkan kepada Polisi. Besar kemungkinan, ia akan melakukan yang tersebut belakangan. Jika itu yang terjadi, maka pasti penduduk kota yang cukup ramai itu akan gempar dan nama Maribun akan semakin mengudara. Pak Maribun menyergap makhluk berbadan harimau, tetapi berkepala manusia. Orang akan melihat dengan cara lain lagi kepadanya. Lahiriah dan batiniah. Rasa segan dan hormat di luar

lalu rasa kagum di dalam hati. Barangkali juga diam-diam takut kepadanya. Kalau Maribun mampu menangkap seekor atau seorang makhluk yang mestinya punya kekuatan luar biasa tentu ia jauh lebih hebat dari yang dikalahkannya. Dia punya ilmu gaib yang amat tinggi, di samping kekayaan yang amat banyak.

Tidak ada jalan lain bagi Erwin. la harus melangkah, mendekat. Ataukah melemparnya dengan benda kecil untuk membangunkannya, kalau benar ia tertidur. Supaya dia tahu, bahwa ada tamu datang melalui pintu yang sengaja disediakannya. Ataukah lebih tepat dikatakan, bahwa tamu yang dinantikannya sudah tiba. Tetapi melemparnya de ngan benda kecil, sangat tidak sopan. Lebih tidak sopan dari masuk tanpa memberi salam, walaupun pintu terbuka.

Dengan menetapkan hati, karena yang dihadapi bukan orang sembarangan, Erwin melangkah ke arah laki-laki itu duduk atau tidur santai.

Dia coba saja memanggilnya dengan Maribun, nama yang didengarnya di rumah Kapten Polisi Kahar Nasution.

Karena lampu menyala setengah terang Erwin tidak keliru dengan pandangan matanya. Tuan atau penunggu rumah sedang meram. Dan meram belum berarti tidur. Sebagaimana ada sejumlah orang ber ilmu yang tidur dengan mata terbuka lebar, untuk menyesatkan lawan yang mungkin punya maksud buruk terhadap dirinya.

Aneh, Erwin pun tidak segera mengatur rencana, bagaimana membawa orang itu. Bukankah itu tujuannya ke rumah ini? la sudah berdiri di hadapan si laki-laki. Mudah mencekik atau menyerangnya, walaupun orang itu sebenarnya tidak tidur. Manusia harimau itu tidak melakukan apa yang sewajarnya dilakukan dalam keadaan seperti itu.

Dengan suara pelan, seolah-olah takut mengejutkan sahabat yang sedang tertidur, Erwin berkata pelan, "Tuan, aku sudah datang."

Waktu mengatakan itu Erwin bersiap untuk menangkis serangan yang mungkin datang mendadak. Ternyata ia tidak diserang.

Tetapi apa yang kemudian terjadi lebih mengejutkan Erwin dari serangan yang bagaimanapun kerasnya. Sebab serangan memang sudah diperhitungkan sebagai sesuatu yang mungkin terjadi.

Dengan tenang, tanpa membukakan matanya Maribun, —memang dialah Tuan rumah yang bernama Maribun— menyahut, "Duduklah, dari tadi kulihat Tuan berdiri saja!" Ya Tuhan, rupanya sejak tadi orang yang tidur atau disangka tidur itu melihat dia dan memperhatikan segala gerak-geriknya.

Sambutan yang sama sekali di luar dugaan itu membuat Erwin malu. Suatu cara yang dapat mematahkan lawan, lebih daripada kalau memukulnya dengan kekerasan. Maribun menyerang perasaan yang bisa mengendurkan moril Erwin. Bukan memukulnya dengan tenaga fisik.

"Jadi Tuan telah melihatku sejak tadi?" tanya Erwin.

"Ya, dan aku memang mengharapkan kunjunganmu, anak muda," kata Maribun tanpa nada sindiran.

Erwin jadi semakin tidak mengerti, apa maunya orang hebat ini. Menyebutnya dengan "anak muda" padahal dia sudah berdaya upaya untuk menjerumuskan dirinya ke tangan Polisi.

"Apakah Tuan tadi tidak tidur?" tanya Erwin.

"Tidur! Menantikan kedatangan tamu sambil tidur lebih enak, jadi tak terasa. Pekerjaan menung gu termasuk pekerjaan yang sangat meletihkan, bukankah begitu, Tuan Erwin," katanya tenang.

"Jadi Tuan melihat dengan mata tertutup?" tanya Erwin menyesuaikan diri dengan sikap dan ke santaian Tuan rumah.

"Tidak, saya melihat dengan hati!"

"Tuan hebat sekali," kata Erwin memuji. Yang seorang ini lain, benar-benar lain.

"Silakan duduk. Kalau kita menyebut hebat, sudah tentu Tuanlah yang hebat. Aku tak bisa seperti Tuan!"

Cepat Erwin yang beranjak beberapa langkah menyahut, "Aku tidak dapat melihat dengan mata yang meram. Aku hanya bisa memandang dengan mata terbuka. Dan aku tak dapat duduk seperti Tuan."

"Mau minum kopi panas?" tanya Tuan rumah setelah memperkenalkan diri dengan nama aslinya, Maribun.

"Terima kasih, tak usah!"

"Tidak kedinginan ditimpa hujan lebat?" tanya Maribun ramah. Membuat Erwin semakin bingung dengan sikap dan gaya dukun besar yang kaya-raya itu.

"Tidak, sudah biasa dikuyupkan hujan, dikeringkan panas."

Setelah itu keadaan jadi hening sepi, keduanya sama-sama diam, seolah-olah mencari kata-kata apa lagi yang pantas untuk meneruskan bicara. Hati Erwin berperang. Akan meneruskan rencananya, mengambil orang ini? Yang sama sekali tidak menunjukkan sikap bermusuhan walaupun kedua-duanya tahu benar, bahwa mereka hendak saling mematikan. Hanya satu saja yang boleh hidup, kalau Lu buklinggau tidak mau dijadikan terlalu sempit bagi mereka.

"Anak muda sedang ragu-ragu," kata Maribun.

"Tuan tidak?" tanya Erwin berterus terang.

"Ya, sedikit," jawab Maribun yang sama sekali tidak kaget menghadapi makhluk aneh dari Mandailing itu. Erwin menilai orang itu cukup terbuka. Mengatakan terus terang apa yang tersimpan di dalam hatinya.

"Aku juga kagum kepada Tuan, tidak langsung menerkamku tadi. Padahal rencana Tuan sudah masak untuk membawaku!"

Mendengar ini, hati Erwin jadi mulai mantap kembali, la bermaksud mengambil orang kuat ini. Ucapan Maribun yang

mengingatkan Erwin kepada rencananya ternyata menjadi suatu bumerang.

"Tidak jantan menyerang lawan yang sedang tidur. Apalagi dia sengaja membiarkan pintu terbuka untuk menerima tamunya," kata Erwin, sudah bertekad kembali untuk melaksanakan apa yang menjadi tujuan, la juga teringat kepada Datuk yang menunggu di luar. Kawannya itu tentu gelisah tetapi tak berani masuk karena tidak ada mufakat begitu. Lebih-lebih memikirkan Kapten Polisi Kahar, yang sudah berhadapan langsung dengan Maribun, kalau Erwin tidak menahaninya. Kejahatannya mengirim jin ke dalam tubuh Dinar sehingga ia mau mencekik abang kandungnya sendiri, tidak dapat dimaafkan. Apalagi dia telah mengambil nyawa Koto yang menjadi tamu Kahar melalui seekor ular yang sebenarnya ditujukan untuk Erwin.

Maribun melihat perubahan pada wajah Erwin. la dengan mudah membacanya. Tamunya ini sudah kembali pada niatnya semula. Dia pun sadar bahwa kata-katanya jugalah yang telah menyebabkan manusia harimau itu kembali kepada niatnya semula.

Maribun diam memikirkan kekhilafan kata-katanya. Bukan menyesal, sebab dia menganut filsafat sederhana, bahwa sesal kemudian tiada berguna. Kalau sudah terlanjur khilaf, orang harus menyesuaikan diri dengan situasi.

"Bagaimana sekarang?" tanya Maribun, ingin tahu dengan cara apa mereka membereskan sengketa yang menyala hebat di dalam dada masing-masing. Ilmu yang sangat tinggi jualah yang menyebabkan mereka mampu berdialog seperti dua orang sahabat yang mencari kata sepakat melakukan sesuatu.

"Aku harus membawa Tuan dari sini guna mencegah kejadian-kejadian buruk yang tidak kuingini."

"Soal penyakit mereka? Itu profesi menyenangkan, di samping pekerjaan sehari-hari!"

"Menyenangkan, kata Tuan?"

"Ya, itulah yang kurasakan. Aku menikmati tiap hasil karyaku, juga menikmati mereka yang coba memperlihatkan keunggulannya di atas kemampuanku."

Orang ini benar-benar sadis, tetapi juga berani berterus terang. Menyakiti orang lain, harta pun bukan musuhnya merupakan suatu kenikmatan baginya.

"Kumohon agar kita tidak bikin onar di rumahku ini. Keluargaku tidak perlu terbangun dan ketakutan melihat kita berdua harus meniadakan valah satu nyawa. Aku punya usul, kalau anak muda setuju."

"Kupikir aku akan sangat setuju dan merupakan suatu kesenangan memenuhi keinginan dari lawan yang bersikap sebagai sahabat terkarib," kata Trwin. Dia memang menaruh respek terhadap dukun ini, walaupun sadis. "Sebutkan usul Tuan."

0odwo0

DUAPULUH TIGA

MARIBUN memandang ramah kepada Erwin. Si manusia harimau juga membalas dengan pandangan persahabatan, sehingga bagi orang yang tidak mengetahui persoalan akan menyangka, bahwa mereka itu tentu dua sahabat yang sedang merundingkan sesuatu.

"Bagaimana kalau kita keluar dari rumahku ini lalu memilih tempat yang layak untuk menentukan nasib. Anak muda tahu kan, bahwa kita mempunyai tekad yang sama?" tanya Maribun.

"Tahu, salah seorang dari kita harus berhenti dari profesinya. Tuan atau aku," jawab Erwin.

"Tepat sekali. Disayangkan, kalau dapat bekerja sama, kita akan merupakan suatu tim yang kuat sekali."

"Aku pun berpendapat begitu. Tuan. Tetapi kita mempunyai prinsip yang berlainan, sangat berlainan dan tak mungkin dipertemukan," kata Erwin.

"Apakah anak muda punya ancer-ancer di mana tempat itu?"

"Aku orang asing di sini, Tuan. Oleh karenanya aku akan menurut pilihan Tuan," jawab Erwin hormat.

"Tetapi aku punya sebuah permintaan," kata Maribun.

"Katakanlah, kurasa aku akan memenuhinya kalau dapat."

"Karena aku telah menyediakan pintu untuk anak muda agar dapat langsung masuk, maka kini aku ingin agar anak muda yang kuat dan gagah membawa diriku ke tempat yang akan kita tentukan nanti."

"Bagaimana mungkin, bukankah Tuan yang akan menunjukkan tempat penentuan itu?"

"Anak muda tak paham maksudku. Aku ingin agar anak muda menggendong aku dan aku yang axan menunjukkan jalan!"

Erwin merasa heran, karena permintaan Maribun sangat aneh. Apakah ia punya muslihat di belakang permintaannya itu? Tetapi ia yang dikatakan kuat dan gagah, malu pula menolak permintaan Tuan rumah, la seakan-akan minta balas budi afas kebaikan dan keramahtamahannya. Maka Erwin pun menyatakan persetujuannya.

"Ingin tahu rasanya digendong harimau," kata Maribun seperti seorang kawan yang sedang bermanja-manja.

"Baiklah, kalau itu akan menyenangkan hati "Tuan," kata Erwin.

la bergerak lebih dekat dengan berdiri atas kedua kaki belakangnya. Tetapi kemudian ditanyanya sekali lagi, apakah benar-benar Maribun menghendaki itu. Setelah mendengar penegasan Maribun ia membungkuk untuk menggendong orang yar/g akan menjadi tandingannya dalam berebut dan mempertahankan nyawa.

Erwin yang sudah membungkuk untuk mengangkat Maribun ternyata tak mampu melakukannya. Tubuh Maribun yang hanya berukuran sedang itu terasa amat berat. Kalau semula ia menyangka, bahwa untuk itu ia tidak perlu sampai mempergj nakan tenaga, kini mulai mengerahkan tenaga. Tetapi ternyata sia-sia,

Maribun tetap tak dapat diangkat dari tempatnya duduk. Mengertilah dia, bahwa dukun berilmu sihir itu mau memperlihatkan satu lagi kemampuannya dan mau menguji apakah Erwin sanggup mengalahkan kehebatannya yang la n ini.

"Tuan benar-benar terlalu hebat bagiku," kata Erwin.

"Jangan berpura-pura, anak muda. Anda tak sudi menggendong saya."

"Bukan, Tuanlah yang sebenarnya tak mau saya gendong, karena saya hanya harimau, seperti kata Tuan tadi."

"Coba sekali lagi, kalau benar anak muda ini memanjakan aku yang tua dan barangkali malam ini juga akan berpisah dengan dunia yang sebenarnya menyediakan semua-muanya untuk dinikmati."

Erwin mencoba sekali lagi, tetapi tubuh Maribun tetap tak bergerak dari tempatnya.

"Kalau anak muda tak mau menggendongku sesuai dengan janji, pulang sajalah, sebab aku tak-mau pergi kalau harus berjalan. Pergilah, kita tidaj usah bermusuhan walaupun tak dapat bersahabat Karena perbedaan pandangan hidup dan kayakinan."

Erwin merasa bahwa perkataan orang kawakan itu benar juga. Lebih baik pergi, karena ia tak sanggup menggendong, padahal itulah persyaratan yang diajukan Maribun.

"Baiklah Tuan, aku pergi dulu. Mencari tambahan ilmu, kalau sudah tiba waktunya aku akan kembali!"

"Itulah yang terbaik," kata Maribun.

Erwin bergerak menuju pintu yang tadi begitu mudah dimasukinya.

Tetapi setelah tiba di dekat pintu, kembali ia tak dapat bergerak sebagaimana ia juga tak mampu melangkahkan kaki, ketika ia tadi hendak mendekati Maribun yang tampak seperti tertidur pulas. Apakah ia akan mendapat bantuan, sebagaimana ia tadi juga mendapat bantuan dari Tuan Syekh Ibrahim Bantani? Tadi ia

menyebut nama orang sakti itu, tetapi kini ia malu berbuat begitu. Tampak benar kelemahannya, la memandang ke arah Maribun.

"Mengapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Maribun, jelas mengejek. Sambil berkata Maribun berdiri, tenang-tenang melangkah ke arah tamunya yang mau pulang itu.

Erwin merasa terpojok. Malu bukan buatan. Tetapi tiada daya.

"Pulanglah, aku mau mengunci pintu. Mau tidur. Bukankah kita sepakat untuk tidak bermusuhan?

Erwin memandang orang itu. Kini tidak lagi dengan mata memancarkan rasa persahabatan. Sebab yang begitu akan ditafsirkan sebagai minta dikasihani. Dan itu menjadi kepantangan besar baginya

"Tak anak muda dengar? Aku mau tidur. Perulah pulang!"

Erwin memandang dengan penuh dendam, tapi juga merasa bahwa orang itu mempunyai terlalu banyak ilmu.

"Kalau anak muda tak mau pulang, aku terpaksa menelepon Polisi. Perbuatan Anda ini sudah sa ngat mengganggu!"

Erwin segera membayangkan, bahwa untuk kedua kalinya ia akan dikepung Polisi dan sekali ini tidak akan lolos lagi. Memang itulah rupanya maksud Maribun. la mau mempergunakan alat-alat penegak hukum untuk menyingkirkan musuh yang telah menyusahkan dirinya itu.

Dalam keadaannya seperti itu, kalau sampai dikepung oleh orang-orang bersenjata, dia pasti akan ditembak. Mungkin diberondong dengan senapan mesin. Betapa aibnya. Apakah ia jauh-jauh merantau, sudah menjelajahi sekian banyak kota besar, akhirnya akan mati terkapar di Lubuklinggau? Itu lah tujuan Maribun dan itulah yang sangat ditakuti nya. la harus dapat menghindar.

"Anak muda lihat itu," kata Maribun sambil , menunjuk ke sebuah meja di mana ada sebuah telepon. "Aku akan menelepon Polisi sekarang."

Betapapun malunya Erwin tidak dapat berbuat lain daripada memanggil-manggil nama Tuan Syekh Ibrahim Bantani.

"Hindari aku dari dikepung dan diburu mereka, Tuan Syekh," pintanya hampir menangis karena putus asa. Betapa akan sedih hati Ayah, dan kakeknya kalau ia sampai ditewaskan Polisi di sana.

Tiba-tiba ia dapat mengangkat kakinya kembali. "Segala puji dan syukur bagimu Tuhan," kata Erwin di dalam hati.

la melangkah ke arah Maribun yang sudah mengangkat gagang telepon.

"Letakkan itu kembali Tuan Maribun," katanya masih hormat. Maribun yang kaget oleh kehancuran ilmu pemberat kaki dan tubuh, tidak segera meletakkan telepon, tetapi juga tidak bicara. Bagaimana mau bicara, nomor pun belum diputarnya.

"Anak muda mempermainkan diriku yang tua," kata Maribun.

"Aku tak tahu bahwa sejak tadi anak muda berpura-pura. Memang hebat, pada detik terakhir baru anak muda memperlihatkan kartu yang ada di tangan anak muda."

"Aku tadi tidak berpura-pura Tuan, aku memang tak mampu bergerak sebagaimana aku tadi tak mampu mengangkat tubuh Tuan. Aku merasa hormat. Ilmu-ilmu Tuan itu tidak ada padaku!"

"Anak muda masih merendahkan diri. Memang begitulah sifat orang yang benar-benar hebat. Anak muda pun rupanya memakai ilmu padi!"

Maribun meletakkan telepon.

Dalam hati Erwin memohon kepada Tuan Syekh agar ia diberi kekuatan untuk menggendong Maribun. Yakin, bahwa pintanya didengar, ia ambil badan Maribun dalam posisi menggendong. Dan kini memang tiada rintangan. Giliran Maribun yang merasa takut. Tadi ia sengaja mempermainkan Erwin, apakah ia pun kini akan dipermainkan?

"Aku tidak akan mempermainkan Tuan, karena aku tidak punya

cara-cara yang Tuan jalankan sebelum Tuan menamatkan riwayat orang yang jadi sasaran Tuan. Kesadisan dengan gaya lain. Tuan tadi hendak menelepon Mayor Buang, bukan?"

Maribun tidak menjawab.

"Biar aku yang bicara. Akan kukatakan apa yang hendak Tuan katakan. Tetapi aku tidak mempermainkan Tuan. Sebab tadi Tuan benar-benar seorang Tuan rumah yang amat baik," kata Erwin sambil meletakkan Maribun kembali dan meminta dengan hormat, agar ia memutarkan nomor telepon Mayor Polisi Buang. Karena manusia harimau itu memintanya dengan baik, maka ahli sihir itu menuruti, sebagaimana Erwin tadi juga patuh ketika disuruhnya pulang dan kemudian dibuatnya tak berdaya untuk melangkah sampai ke pintu.

Setelah mendapat sambungan, Maribun menyerahkan telepon kepada makhluk yang harimau berkepala manusia itu. Dikatakannya kepada Mayor Polisi Buang, bahwa si harimau piaraan yang mengancam keselamatan penduduk sedang berusaha masuk ke rumah Maribun. Kalau segera membawa pasukan tentu akan dapat mengepung dan menangkap atau membinasakannya. Selesai mengatakan itu, Erwin menutup telepon.

Mayor Polisi yang ingin naik pangkat dan menjadi buah bibir masyarakat Lubuklinggau itu segera bertindak, walaupun hari telah sangat larut malam, sudah mendekati jam 03.00. Menjelang subuh, tatkala semua makhluk yang bernama manusia sedang enak-enaknya tidur.

"Mari kita berangkat," kata Erwin sambil menggendong Maribun, sesuai dengan yang disanggupinya ketika tadi Maribun mengajukannya sebagai persyaratan. Maribun membiarkan, karena tidak melihat peluang baik untuk melawan.

"Aku dapat berjalan ke tempat yang akan kita pilih jadi medan penentuan. Tak usah gendong aku," kata Maribun kemudian. Katanya ia mengajukan permintaan itu tadi hanya sebagai iseng-iseng tanda persahabatan. Alasan itu dijegal Erwin dengan berkata,

"Karena merasa bersahabat, atau sekurang-kurangnya tidak bermusuhan, maka Tuan buat aku tadi sampai tak kuat mengangkat tubuh Tuan dan kemudian tak mampu keluar dari rumah Tuan ini. Dan karena kebaikan hati Tuan pula maka Tuan tadi hendak menelepon Polisi agar mengepung dan menangkap atau menewaskan diriku!"

Maribun tidak sanggup membantah kata-kata Erwin yang secara langsung menyindir dirinya.

Erwin keluar dari rumah yang hampir menjerat dirinya, membuat Datuk heran melihat sahabatnya menggendong si dukun sihir, la berjalan di samping Erwin tanpa mengajukan pertanyaan. Untunglah Maribun berkata, bahwa ia merasa sangat aneh digendong, yang oleh Erwin dijawab, "Aneh ataupun tidak, bukankah Tuan yang meminta untuk digendong." Jawaban ini membuat Datuk tambah tak mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi.

Hujan sudah reda, tetapi jalan yang berlumpur menyebabkan dua kaki belakang Erwin dan kaki Datuk meninggalkan jejak yang sangat nyata. Setelah merasa cukup jauh dari rumah Maribun dan keadaan sekitar juga sepi, Erwin berhenti tanpa menurunkan Maribun. la hanya bertanya, apakah tempat itu cukup baik untuk menanggalkan satu di an tara dua nyawa mereka. Si dukun sihir setuju. Erwin menurunkannya dan mempersilakan untuk bersiap. Di situlah baru Maribun, yang selama perjalanan telah memikirkan bagaimana ia akan meng hadapi si manusia harimau, jadi sangat terkejut, karena merasa dirinya tidak berdaya. Dia tak mengerti mengapa bisa jadi begitu. Apakah dia yang akan tersingkir dari dunia yang katanya memberi ba nyak kenikmatan ini. la baca berbagai ilmu dalam bahasa Tamil, tetapi tak satu pun dari binatang suruhannya yang datang. Dibacanya dalam bahasa Sakai, juga tidak menolong. Dia lalu berkata, bahwa dia tidak siap untuk bertarung dan minta supaya diurungkan untuk lain waktu

"Menyesal sekali Tuan, aku harus meneruskan perjalanan besok, kalau aku tak tewas sekarang," jawab Erwin tenang, tetapi tegas. Karena Maribun sudah beberapa kali menunjukkan kepalsuan dan

kelicikan, si manusia harimau kurang yakin akan pengakuannya. Dicobanya membaca pikiran penyihir itu. Menurut penglihatannya memang sedang tak berdaya. Tetapi apakah benar begitu? Mungkin Maribun punya ilmu lain untuk membuat Erwin salah baca. la segera mengujinya. Dipukulnya badan Maribun, terjatuh ke lumpur. Tidak memberi perlawanan. Walaupun begitu Erwin belum yakin. Orang ini mempunyai akal dan ilmu terlalu banyak. Barangkali dia berbuat begitu untuk mengulur waktu sehingga Mayor Polisi Buang sampai di rumah Maribun, kemudian mengikuti jejak si harimau. Tentu akan bertemu, kalau Erwin membuang waktu.

Dan memanglah begitu yang terjadi. Mayor polisi Buang yang mempergunakan dua kendaraan telah tiba di rumah Maribun dengan sepuluh anak buah bersenjata lengkap untuk suatu pengepungan dan mungkin pertarungan dengan seekor harimau yang dikatakan hewan piaraan. Mengetahui Maribun tidak ada dan kemudian melihat pula jejak harimau dan satu manusia. Polisi jadi sangat heran. Hanya ada jejak dua kaki belakang dan bekas telapak kaki manusia tanpa sepatu. Mayor Polisi Buang dan anak buahnya tidak mengerti. Penghuni rumah pun tidak dapat memberi keterangan.

0odwo0

DUAPULUH EMPAT

JEJAK manusia tanpa sepatu menimbulkan tanda tanya, siapakah yang punya kaki. Maribun? la tidak biasa bepergian tanpa sepatu, la seorang penyihir modern dan pedagang yang lumayan bonafide. Lalu, siapakah orang itu. Dan si harimau, mengapa jalan atas kaki belakang saja? Beginikah semua harimau piaraan?

Mayor Polisi Buang yang tadinya begitu ingin jadi terkenal dan naik pangkat jadi berpikir lagi sebelum mengikuti jejak harimau yang sangat aneh itu. Sama sekali tidak terlintas dalam khayalannya bahwa Maribun telah digendong oleh si harimau aneh dan hewan itu juga merasa senang, karena dengan menggendong dukun itu ia

menyesatkan jalan pikiran siapa pun yang akan memburunya.

Ternyata Maribun memang kehilangan daya untuk melakukan perlawanan. Segala kekuatan gaib yang selalu ada pada dirinya bagaikan sirna secara mendadak dan bagaikan tanpa sebab. Tidak disadarinya bahwa seluruh kekuatannya telah direnggut dari dirinya oleh Tuan Syekh Ibrahim yang tidak menyukai ilmu digunakan untuk kejahatan. Erwin sendiri pun tidak mengerti, mengapa mendadak dukun kenamaan dan tadi masih memperlihatkan kesadisannya mendadak tidak melawan.

"Lawanlah aku," kata Erwin.

"Aku tidak siap untuk hari ini. Kalau Anda harimau yang jujur dan satria tentu Anda menunda sampai hari yang akan kita tentukan kemudian. Anak muda semacam Anda tentu punya kemanusiaan tinggi," ujar Maribun. Apakah kesalahannya maka ia kehilangan seluruh tenaga?

"Aku sudah tidak dapat menunda. Tuan. Dan aku tidak punya apa yang Tuan sebutkan itu, karena aku bukan manusia. Begitu kata Tuan. Karena aku hanya harimau maka keharimauanlah yang ada pada diriku. Terserah kepada Tuan kalau menganggap aku sangat hina."

"Itu tidak adil" seru Maribun.

"Bagaimana pendapat Datuk? Tuan ini mengajak aku menyelesaikan urusan. Salah satu di antara kami harus mati. Itulah makanya kita sampai di sini. Aku menggendong beliau pun karena begitu ke-mauannya. Apakah aku jahat kalau tidak mau mengundurkan waktu lagi?" tanya Erwin. Untuk pertama kali Datuk dibawa serta. Legalah hatinya. Tadi dirinya dianggap sebagai tidak ada saja. Disapa pun tidak.

"Saya rasa tidak perlu ditunda!" jawab Datuk. Penyihir itu masih coba mengemukakan berbagai alasan agar pertarungan ditunda, sekaligus ia berharap Mayor Polisi Buang akan sampai di sana. Penegak hukum itu pasti akan menangkap Erwin atau membunuhnya di tempat.

"Aku tidak dapat mengulur waktu Tuan’ kata Erwin. "Sambutlah seranganku ini!" Maribun tidak bersiap untuk menangkis atau melawan, sehingga Erwin pun belum jadi melancarkan pukulan.

Tetapi Erwin juga tahu, bahwa jika tidak sekarang dilakukannya, maka besar kemungkinan, dia-lah yang akan jadi konyol.

"Maafkan aku," kata Erwin dan bersamaan dengan itu ia mencekik leher Maribun sambil menanamkan kukunya dalam-dalam. Menyedihkan juga, karena Maribun sama sekali tidak melawan. Seperti berserah saja kepada ketentuan yang sudah diperuntukkan bagi dirinya.

Melihat kenyataan itu, hati Erwin berperang, antara meneruskan pembunuhan atau membiarkannya hidup. Sungguh tak layak mematikan manusia yang tidak memberi perlawanan, la bukan bertarung mempertaruhkan nyawa, tetapi tak lebih daripada melakukan pembunuhan dengan darah dingin. Bukan suatu perbuatan terpuji. Dia masih berharap agar Maribun mendadak berontak dan memberi perlawanan sengit. Ataukah dia tidak merasakan sakit oleh tikaman kuku yang tajam dan cekikan yang kian mengetat?

"Apa lagi yang Tuan tunggu!" kata Erwin, melihat darah mengalir dari luka-lukanya, la mengendurkan tekanan untuk memberi kesempatan bicara kepada Maribun, tetapi penyihir itu tetap bungkam. Tiada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Datuk buka suara. "Aku tidak ingin mencampuri, sahabat. Aku dapat turut merasakan kebimbangan hati sahabat. Bertentangan dengan hati sahabat menewaskan orang yang tiada melawan."

"Memang itulah yang kurasakan Datuk! Aku bukan bertarung, tetapi hanya membunuh. Betapa hinanya!"

"Memang benar begitu. Tetapi mungkin dia sendiri sudah rela dilenyapkan dari dunia ini, karena hidupnya dengan ilmu-ilmu besarnya banyak menebarkan penyakit dan maut. Kematian bagi yang jadi sasaran dan penderitaan hati yang tak akan pernah berkesudahan bagi keluarga yang ditinggal. Sahabat bukan sedang

membunuh, tetapi hanya meniadakan ancaman yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Bagaimanapun pasti ada sesuatu yang menyebabkan ia tidak melawan. Mungkin tekadnya sendiri, mungkin Ayah sahabat atau orang-orang yang amat mencintai diri sahabat. Ingatlah beliau-beliau yang tidak ingin ilmu digunakan bagi melakukan kejahatan.

Apa yang dikatakan Datuk mungkin benar. Maribun sendiri minta ditiadakan atau orang-orang yang amat sayang kepadanya minta agar turun tangan membinasakan penyihir itu. Boleh jadi Ayah, mungkin Kakek dan barangkali Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Yang dalam jarak waktu yang amat singkat telah dua kali melepaskan dia dari rencana jahat Maribun untuk mempergunakan alat-alat negara mengepung dan menangkap lalu membinasakan dirinya.

Erwin menguatkan hati. Bukankah sudah diputuskan tadi, bahwa salah seorang dari mereka berdua harus bercerai dengan nyawanya. Keputusan itu harus dilaksanakan. Tidak diatur bagaimana caranya dan apa-apa yang jadi larangan. Kemudian terpikir oleh Erwin, bahwa kalau Maribun masih di biarkan hidup, ia akan mempergunakan segala cara untuk membinasakan dirinya. Kalau dia meniada kan Maribun sekarang, maka tak lain maksudnya agar ia tidak dibunuh. Selain itu juga untuk kepentingan masyarakat.

Nasihat Datuk dan jalan pikirannya membuat Erwin mengambil keputusan untuk menamatkan kehidupan Maribun.

Erwin dengan mudah mengetatkan cekikan, sehingga Maribun meninggal tanpa perlawanan sedikit pun, seolah-olah semua kekuatan dan kepandaian yang dimilikinya sudah lenyap sama sekali.

"Dia sudah tiada, Datuk. Aku menyesal harus melakukannya. Tetapi aku juga tidak melihat jalan lain!" kata Erwin.

"Memang tiada jalan lain sahabat. Tentu ada sebab-sebab yang mengharuskan dia tewas tanpa melawan," sambut Datuk meringankan perasaan Erwin.

"Boleh aku minta bantuan Datuk?" tanya Erwin setelah berpikir

sejenak.

"Tentu, sejak tadi aku ingin supaya diajak serta walaupun hanya peranan yang tidak ada artinya," kata Datuk. Dia benar-benar girang. Sejak berang kat dari rumah, dia seakan-akan penonton saja. Tidak berguna sama sekali.

"Tolonglah gendong mayat ini. Akan kita antarkan ke satu tempat," kata Erwin.

Pendekar Minang tidak bertanya ke tempat mana. la sangat membatasi diri dalam bertanya, takut kalau-kalau tidak berkenan di hati si manusia harimau.

Merekaperjalanan tanpa bicara lagi, sehingga di suatu tempat Erwin merasa bahwa ia akan berubah lagi jadi manusia biasa. Perubahan itu berjalan secara bertahap, disaksikan oleh Datuk yang sangat bangga karena mempunyai sahabat lain daripada yang biasa dipunyainya. Sejak Datuk menggendong mayat Maribun tadi, Erwin berjalan atas empat kaki, sehingga jejak-jejaknya sama dengan harimau biasa.

Kini mereka meneruskan perjalanan menuju jalan raya yang tak jauh dari sana. Sebelum memulai jalan di atas aspal, Erwin mencuci kaki di selokan, begitu pula Datuk.

Yang dituju sudah tak jauh dari sana. Rumah kediaman Mayor Polisi Buang yang pada waktu itu masih menyelusuri jejak-jejak yang ditinggalkan seekor harimau berkaki dua dan seorang laki-laki yang diperkirakan pasti bukan Maribun.

Mayor dengan pasukannya sangat berhati-hati, kuatir harimau aneh itu bersembunyi dan mendadak melancarkan serangan yang mematikan. Kalau Maribun yang terkenal punya ilmu tinggi bisa hilang dari rumahnya sendiri dan sejak pekarangan hanya meninggalkan bekas dua kaki belakang harimau serta seorang manusia tanpa alas kaki, yang belum dapat diketahui mengapa bisa terjadi begitu, maka makhluk itu pasti dapat melakukan sesuatu yang di luar dugaan.

Sampai di tempat Erwin menghabisi nyawa Maribun dan mayatnya kemudian dibawa oleh Datuk, sementara sang manusia harimau berjalan atas keempat kakinya. Mayor Polisi Buang semakin takjub dan tak bisa mengerti atau bahkan menebak, bagaimana tiba-tiba ada jejak empat kaki harimau sedang jejak si manusia tetap seperti tadi.

"Apakah artinya ini Pardede?" tanya si Perwii kepada Walter Pardede yang baru berpangkat Sersan Polisi.

Dengan suara perlahan, seolah-olah takut didengar orang ia menjawab, bahwa ia banyak mende ngar cerita-cerita aneh tentang harimau, terutama ketika ia bertugas di Penyabungan, Tapanuli Selatan sebelum dipindahkan ke Lubuklinggau, tetapi berubahnya dua kaki harimau menjadi empat tidak pernah didengarnya. Sekarang yang tidak pernah didengar dan di luar kemampuan otaknya untuk memikir dan memecahkan misteri semacam itu, telah disaksikannya dengan mata sendiri. Dia tidak mungkin ditipu oleh pandangan yang keliru, karena Komandannya dan anggota Polisi yang lain juga melihat.

"Adakah di antara kalian yang mengerti?" tanya si Perwira.

Semua berdiam diri atau menggelengkan kepala.

Sebenarnya Ujang sudah enggan meneruskan, tetapi untuk menjaga wibawa diri, mereka melanjutkan penyelidikan. Belum berapa jauh berjalan, mereka terkejut heran lagi, karena bekas kaki harimau tidak ada lagi, hilang. Bagaimanapun mampunya Mayor Polisi Buang mempertahankan wibawa dan harga diri, tetapi melihat kenyataan itu ia tidak dapat melawan getaran yang menjelajahi seluruh tubuhnya. Agak lama ia tidak berkata-kata, memandangi jejak-jejak harimau yang hanya sampai di tempat itu. Tidak ada lanjutannya. Kalau ada pasti kelihatan karena tanah di sekitar situ semua sama.

Becek oleh hujan yang turun cukup lama dan deras pula. Jejak-jejak itu seperti ditelan bumi. Ataukah terbang ke angkasa?

Tetapi jejak sang manusia yang berjalan bersama harimau itu

masih ada dan tidak hanya sampai di situ. Yang juga sangat mempengaruhi diri Mayor Polisi Buang adalah jejak manusia lain lagi. Orang baru tentu. Berjalan bersama jejak kaki manusia yang sudah ada sejak dari rumah Maribun. Dari manakah datangnya orang baru ini? Dia seakan-akan menggantikan atau meneruskan perjalanan si harimau, yang semula hanya berkaki dua, tetapi kemudian menjadi empat.

Anak buah Perwira itu saling pandang dan memandang Komandannya.

Dengan suara pelan dan kedengaran lesu Mayor Polisi itu kini mengikuti jejak dua manusia. Apakah salah seorang dari kedua orang itu dukun Maribun yang pedagang merangkap ahli sihir? Mayor Buang dengan anak buahnya tadi ke rumah Maribun untuk mengepung dan menangkap harimau yang konon dinamakan harimau piaraan. Yang mereka ikuti kini jejak dua manusia. Yang hendak dikepung dan ditangkap atau dibunuh kalau terpaksa adalah harimau. Tidak perduli apakah itu harimau piaraan atau jadi-jadian.

Tak lama kemudian mereka pun tiba di jalan raya yang beraspal. Tidak ada bekas jejak berlumpur di aspal. Sehingga tidak meninggalkan petunjuk ke arah mana mereka pergi. Mayor Polisi itu benar-benar bingung, tidak mampu menduga atau mengkhayalkan saja pun, apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Sudah sekian lama dia di Kepolisian, baru kali ini menghadapi keanehan yang di dalam buku pun belum pernah dibacanya. Lebih mudah meng hadapi residivis yang sudah dikenal sangat sadis <m ripada kenyataan semacam ini. Bisa membangkit kan syarat atau perasaan gila. Mungkin lebih dar pada itu. Membuat orang jadi gila.

Mereka tidak segera meneruskan langkah. Kar na tidak tahu arah mana yang akan diambil. Akhir nya Mayor Polisi itu memutuskan untuk kembali ke kendaraan yang mengangkut mereka tadi. Yang parkir tak jauh dari rumah Maribun.

0odwo0

Erwin dengan Datuk yang menyangga mayat Maribun dengan kedua belah tangannya berjalan tenang-tenang. Ada dua tiga kali berpapasan dengan kendaraan bermotor dan pengendara sepeda, tetapi tidak ada satu pun yang menghiraukan mereka. Erwin telah berdoa agar mata mereka dirabunkan, tidak melihat dia dan sahabatnya yang membawa mayat Maribun.

Akhirnya mereka berhenti di seberang sebuah rumah.

"Kita telah sampai di tempat tujuan, Datuk. Letih juga membawa mayat sejauh itu, ya!" kata Erwin. Datuk mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak merasa capek, seperti membawa manusia dari kapan saja, katanya. Erwin memandang Datuk dengan rasa terima kasih. Yang dipandang tunduk Dia merasa bahagia dapat berbuat sesuatu. Tubuh Maribun memang hanya seperti kapas. Oleh bantu} an orang-orang berilmu sangat tinggi yang menyayangi Erwin.

"Kita akan letakkan mayat Maribun di pintu masuk pekarangan. Mayor Buang akan senang melihatnya," kata Erwin.

Semula Erwin hendak mengeluarkan semua isi perutnya sebagaimana telah beberapa kali dilakukannya terhadap orang-orang tak manusiawi, tetapi kemudian mengurungkan maksudnya itu. Luka-luka bekas kuku harimau di lehernya itu sudah memadai.

0odwo0

DUAPULUH LIMA

MAYAT Maribun diletakkan membelintang di pintu masuk pekarangan rumah Mayor Polisi Buang yang sebelum meninggalkan penyihir itu meminta keterangan lagi dari istri dan keluarga lainnya. Mereka semua tidak ada yang mendengar Maribun pergi. Biasanya dia berpesan kepada istri atau yang lain di rumah itu, manakala ia hendak pergi. Dan biasanya dia pergi dengan mengendarai mobil. Kecuali kalau ia dijemput atau sekedar bertandang ke rumah tetangga yang rata-rata menghormati dia.

Menjelang waktu tidur Maribun hanya berkata kepada istrinya

bahwa dia akan kedatangan tamu untuk tukar-menukar ilmu. Dianjurkannya supaya semua keluarga dan pembantu tidur, karena dia mau berduaan saja dengan tamunya.

Tak ada yang mendengar kedatangan si tamu yang dinantikan dan tidak pula terdengar suara Maribun pergi. Tetapi di lantai ruangan tempat Maribun duduk di kursi goyang tampak lumpur. Bentuknya seperti tapak kaki harimau dewasa. Setelah diperiksa dengan teliti, kelihatan juga bekas jejak manusia menghadap ke rumah, jadi jelas orang itu salah satu dari tamu yang ditunggu. Tamu lainnya adalah si harimau. Baru itu yang mereka duga. Hanya dugaan. Anehnya, kalau Maribun turut bersama orang dan harimau yang datang itu, mestinya ada dua pasang jejak manusia dan dua kaki harimau. Harimau ini datang dengan dua kaki belakang dan perginya pun dengan dua kaki belakang juga. Sehingga sampai di tempat tewasnya Maribun, yang tidak diduga oleh Polisi.

Istri Maribun dan penghuni rumah lainnya tidak tahu siapa nama tamu yang akan tukar-menukar ilmu itu.

Menemui jalan buntu begitu. Mayor Polisi itu berpendapat lebih baik pulang dulu, memikirkan tenang-tenang, bagaimanakah kira-kira duduk peristiwa yang sebenarnya. Kemanakah Maribun? Apakah dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan harimau berkaki dua itu, ketika harimau masuk rumah. Jika begitu, Maribun telah pergi bersama orang tinggi ilmu yang dinantikannya. Tetapi ke mana perginya. Mengapa tidak berkendaraan? Apakah tamu itu membawa kendaraan? Begitulah yang terlintas di dalam otak Mayor Polisi Buang dalam perjalanan ke rumahnya.

Dia mau membuang dulu masalah Maribun dan jejak-jejak yang aneh itu, ketika Polisi yang mengemudikan mobil mendadak berkata gugup, bahwa di depan pintu pagar ada orang tidur. Ataukah mayat menggeletak? Sang Perwira tentu saja sangat terkejut. Dia menyuruh besarkan lampu mobil lalu turun bersama tiga Polisi yang sekendaraan dengan nya sementara anggota pasukan yang lainnya sudan langsung ke Markas Polri. Jantung Pak Mayor Polisi berdebar. Apa pula ini? Dia belum dapat memecah kan masalah gila yang

dihadapinya, sekarang sudah ada pula orang kurang ajar yang tidur atau tewas di depan pintu pagarnya. Apakah orang punya maksud tertentu terhadap dirinya?

Segala pikiran itu menjadi lebih menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya, karena yang tergeletak itu bukan lain dari Pak Maribun yang pergi tanpa pamit dan sangat misterius dari rumahnya

Mampunya mata Polisi yang sangat terlatih, Mayor Polisi Buang juga segera melihat luka-luka di lehernya, la memperhatikan lebih dekat dengan mempergunakan lampu senter, karena luka itu pasti bukan bekas disembelih. Itu jelas bekas tusukan. Tusukan lazimnya dilakukan di dada atau di rusuk. Kalau perut biasanya di dodet. Ditusuk sebelah kanan lalu ditarik ke kiri. Karena bagian tubuh tidak mengeluarkan darah, berarti tiada tusukan, maka Mayor Buang memeriksa "tusukan-tusukan" di leher itu lebih teliti. Bukan tusukan pisau. Di pipi juga ada luka-luka berupa garis berdarah yang juga bukan bekas tarikan dengan pisau. Jalurnya lebih lebar dan bukan hanya satu, tetapi ada dua paralel. Bahkan ada yang ketiga, tetapi sudah mengenai kuping.

"Apakah mungkin?" terlempar pertanyaan di dalam hatinya.

"Apakah kalian pikir mungkin?" tanyanya pula kepada Pardede yang ikut di dalam mobilnya.

"Apanya yang mungkin. Pak?" tanya Pardede.

"Dicekik harimau!"

"Harimau tidak biasa mencekik," sahut Pardede.

"Coba periksa ini baik-baik. Saya juga tadinya berpikir, harimau tidak dapat mencekik!"

"Memang tidak Pak. Harimau hanya menerkam. Biasanya menerkam kuduk. Yang dimakan duluan adalah isi perutnya! Orang ini tidak dilukai atau digigit. Perut atau dadanya tidak dikoyak-koyak. Tapi benar, luka di leher dan goresan di pipi ini bukan bekas pisau. Ini bekas kuku. Dan pasti kuku harimau Pak! Apakah harimau yang kita ikuti jejaknya tadi?" tanya Pardede.

"Mungkin," dan Mayor Polisi itu teringat akan kata-kata orang yang menamakan dirinya Bujang di rumah Kapten Kahar Nasution pada kemarinnya. Maribun yang memanggil Polisi untuk mengepung dan menangkap atau membunuh si harimau yang katanya ada di rumah Kapten Kahar. Orang yang bernama Bujang itu mendapatkan dia dan mengatakan, bahwa harimau piaraan itu tidak ada di sana, tetapi dia tentu marah kepada Pak Maribun dan bukan tidak boleh jadi akan melakukan pembalasan. Siapakah orang itu sebenarnya? Bagaimanapun ia tentu punya suatu ilmu. Barangkali peramal berpengalaman. Atau dia orangnya yang biasa dikatakan punya "ludah masin". Apa yang dikatakannya, menjadi kenyataan. Siapa pun dia, Mayor Buang ingin bertemu lagi dengannya.

"Barangkali dia dibunuh harimau piaraan Pak," kata Perwira Polisi itu. "Yang kemarin bersembunyi di rumah Kapten Kahar."

"Mana ada harimau piaraan di sini, Pak. Kalau pun ada, saya rasa tidak mungkin bersembunyi di rumah Pak Kapten Kahar. Siapa yang mengatakan begitu?"

"Pak Maribun ini."

Walter Pardede tidak memberi tanggapan lagi. Dia pun mulai berpikir bahwa harimau piaraan itu memang ada dan dialah juga yang membunuh Maribun karena sakit hati. Tetapi harimau piaraan pun sepanjang tahunya mempunyai kaki empat.

Pada waktu subuh itu juga ambulans diminta datang untuk membawa mayat Maribun ke rumah sakit guna pemeriksaan dan penentuan sebab musabab kematian. Memang benar, tusukan-tusukan di leher Maribun disebabkan oleh kuku-kuku harimau. Adanya bulu-bulu si belang di sekitar daerah yang luka menyebabkan tidak ada lagi keraguan.

Sekarang merupakan tugas bagi Mayor Polisi Buang untuk menyelidiki dan mengetahui, siapakah yang mengajak Maribun ke luar rumah dan di mana dia dibunuh harimau. Menurut Walter Pardede yang pernah bertugas di Tapanuli Selatan, harimau tidak biasa mencekik, la menggigit di tengkuk mangsanya, baik ternak

maupun manusia. Melalui gigitan di tengkuk, ia melukai atau memutuskan urat besar yang berarti fatal bagi yang diterkam. Mengapa harimau yang seekor ini mencekik dan sama sekali tidak menggigit, padahal gigi giginyalah yang menjadi andalan utama, sementara kuku hanya berfungsi untuk mencengkam dan merobek?

Dari menjelang subuh sampai pagi Mayor Polisi itu sudah tidak dapat tidur, walaupun ia berusaha melupakan peristiwa aneh dan menakutkan itu agar tenaganya pulih semula untuk digunakan pada keesokan harinya.

Keesokan paginya Perwira Polisi itu minum kopi tubruk dan sebutir Captagon agar jangan sampai mengantuk, la ingin memecahkan pembunuhan yang tidak sesuai dengan kebiasaan itu. Ditugas-kannya seorang Letnan Polisi mengundang dua orang pemburu dan seorang pawang harimau untuk diminta bantuan.

Ketiga-tiganya menerangkan, bahwa mereka belum pernah mendengar harimau mencekik mangsanya. Dan mereka sama-sama menerangkan, bahwa walau harimau piaraan dan jadi-jadian pun tidak lazim mencekik korbannya. Harimau piaraan adalah harimau biasa yang tunduk kepada yang menguasai dirinya. Harimau jadi-jadian berjalan atas empat kaki kalau ia sedang menjadi harimau. Kalau dia tidak sedang mengharimau, maka ia tak banyak beda dengan manusia biasa dan berjalan atas dua kaki, karena ia pun hanya memiliki dua kaki.

"Jadi harimau apakah ini?" tanya Mayor Polisi Buang.

Mereka tidak sanggup memberi jawaban yang pasti. Hanya si pawang yang mengatakan, bahwa ia pernah mendengar tentang manusia harimau yang belum lama yang lalu pernah singgah di Palembang.

"Mengapa Bapak katakan singgah?" tanya si Perwira kepada Pak Dahlan pawang yang cukup terkenal.

"Sebab dia tidak betah tinggal lama di sebuah tempat. Kesenangannya mengembara. Dan menu rut kata orang yang pernah melihat manusia harimau, makhluk itu tidak pernah berbuat

jahat terhadap manusia, kalau ia tidak disakiti atau keluarganya dijahili, la malah suka membantu manusia yang dianiaya!" jawab pawang Dahlan.

"Pawang sudah pernah bertemu dengan manusia harimau?"

"Belum dan lebih baik juga jangan. Mungkin saya akan takut. Ilmu yang ada pada saya hanyalah untuk menundukkan harimau liar. Itu pun terbatas kepada yang berdosa saja."

"Tetapi barangkali Pak Dahlan tahu ciri-ciri manusia harimau, saya amat membutuhkannya."

"Saya rasa dalam keadaan biasa, dia sama saja dengan manusia lainnya. Kata yang pernah melihat, ia juga punya istri dan dapat melakukan persetu-buhan yang melahirkan anak. Seperti anak-anak manusia biasa," kata pawang Dahlan.

"Apakah di sekitar atau di kota ini ada pemelihara harimau?"

"Saya tak tahu Pak, tetapi andaikata saya tahu, saya juga tidak akan mengatakannya. Saya bukan takut, tetapi tidak ingin mencari perselisihan yang bisa sampai pada bunuh-membunuh di antara kami yang lebih kurang mempunyai pekerjaan yang hampir sama," kata pawang Dahlan.

"Kalau untuk kepentingan keamanan dan ketenangan masyarakat?"

"Juga tidak. Saya perlu menjaga keamanan dan ketenangan keluarga saya sendiri. Lagi pula, sampai saat ini saya tidak mendengar adanya keresahan atau ketakutan di antara masyarakat!"

"Kata orang di Lubuklinggau ini ada harimau piaraan. Dan barangkali dia yang membunuh Pak Maribun?"

Pawang Dahlan terkejut, baru saat itu didengarnya pedagang dan penyihir Maribun mati dibunuh harimau. Diam-diam di lubuk hatinya Pak Dahlan menganggap pembunuhan itu bukan hal yang luar biasa, kalau betul ia dibunuh harimau piaraan, seperti kata Mayor

Polisi Buang. Dia lebih berhati-hati, tidak akan menimbulkan sengketa dengan orang yang memiliki harimau piaraan. Dan sebenarnya dia tahu bahwa di Lubuklinggau ada dua orang yang mempunyai harimau. Bukan dikandangkan atau ditambat di rumahnya. Piaraan itu berkeliaran di hutan, seperti harimau-harimau lainnya. Tetapi tiap waktu ia memerlukan, sang harimau dapat dipanggil dan diberi tugas. Pemelihara itu, —kalau punya ilmu perabun— bisa melepas harimaunya tanpa dilihat oleh orang lain yang berpapasan dengannya. Dia tidak akan mengatakan itu kepada Mayor Polisi Buang.

Mayor Polisi Buang bertanya bagaimana pendapat Dahlan tentang pembunuhan atas diri Maribun oleh seekor harimau. Atas pertanyaan Dahlan di mana pembunuhan itu terjadi, Pak Mayor tidak dapat memberi jawaban. Memang dia tidak tahu di mana sang harimau mencekik mangsanya.

"Boleh saya berterus terang, Pak?" tanya Dahlan, sementara kedua pemburu harimau yang ada di sana mendengarkan dengan penuh perhatian "Menurut pendapat saya Pak Maribun punya banyak kawan, tetapi juga punya banyak musuh. Yang musuh ini mungkin pula selalu bersikap seperti sahabat. Barangkali Bapak juga mendengar, bahwa kata orang Pak Maribun itu pandai sihir. Barangkali suatu kesenangan baginya. Kalau untuk cari uang kurang masuk akal, karena ia punya penghasilan cukup dari usaha dagangnya yang berhasil."

Pawang harimau itu lalu menerangkan, bahwa mungkin salah satu dari musuhnya punya harimau piaraan. Disuruhnya membunuh Pak Maribun. Tetapi seorang penyihir punya ilmu untuk menjaga diri terhadap serangan bagaimanapun. Atas pertanyaan Mayor Polisi Buang, bagaimana ia sebagai penyihir dapat dibinasakan harimau, pawang Dahlan terus terang mengatakan, bahwa di antara pemilik ilmu tinggi di dunia ini ada yang mempunyai kekuatan di atas pandai sihir. Mungkin orang yang memiliki harimau itu termasuk salah seorang dari mereka.

Mayor Polisi itu menyatakan keheranannya, kalau ada manusia

yang punya kemampuan lebih daripada penyihir, kematian Maribun dapat diterima kalau yang melakukannya seorang manusia yang punya kepintaran lebih dari dia. Tetapi dalam kasus ini Maribun dibinasakan dengan cekikan oleh seekor harimau.

Pawang Dahlan merasa terpojok oleh kata-kata Pak Mayor yang memang masuk akal. Yang punya ilmu kuat dari pesihir adalah manusia, sedang yang membunuh Maribun jelas bukan manusia.

Setelah agak lama diam tak kuasa memberi jawaban, barulah pawang Dahlan mengatakan, bahwa mungkin manusialah yang mencekik dan menewaskan Maribun. Dikatakannya, bahwa dalam hal begitu, si manusia itu dapat mengubah dirinya jadi harimau tetapi tetap mempunyai sifat-sifat manusia. Dan kebiasaan manusia. Itulah makanya ia berjalan atas dua kaki, sama dengan manusia dan itulah makanya ia membunuh dengan mencekik leher musuhnya, yaitu sama juga dengan manusia.

Mayor Buang pun dapat menerima jalan uraian pawang Dahlan. Oleh karena itu dia berkata, "Kalau manusia yang mengubah dirinya jadi harimau dengan sifat dan kebiasaan manusia, siapakah orang di Lubuklmggau yang punya kemampuan seperti itu?"

0odwo0

DUAPULUH ENAM

PAWANG DAHLAN hanya dapat menggelengkan kepala. Dan dia memang sesungguhnya tidak tahu, kalau ada orang yang punya kemampuan seperti itu. Melihat Mayor Polisi Buang sangat kecewa dan tidak melihat jalan untuk mencari jawaban, pawang harimau itu berkata, "Andaikata ada orang pintar yang punya kepandaian setingkat itu, rasanya saya mengetahui, setidak-tidaknya mendengar. Jadi saya rasa orang semacam itu tidak ada di Lu-buklinggau. Entahlah kalau pendatang dari luar kota!"

Mendengar ini pikiran Mayor Buang agak terbuka. Pendatang dari kota! Tiap hari banyak pendatang, ada yang segera meneruskan

perjalanan dan ada pula yang menginap. Semalam atau lebih. Bisa dipenginapan, mungkin pula di rumah kaum kerabat atau kenalan. Tidak mudah mengecek siapa-siapa saja pendatang dari luar kota. Yang dipenginapan mungkin masih dapat dilihat dari buku pendaftaran tamu. Tetapi yang bermalam di sahabat atau keluarga sangat ulit karena pada umumnya yang datang dan yang mtnarima mereka tidak mematuhi ketentuan. Tidak melaporkannya kepada ketua lingkungan setempat

Setelah agak lama, Mayor Buang teringat juga kepada Bujang yang menemui dia dengan cara aneh di rumah Kapten Polisi Kahar Nasution. Diakah? Tidak mungkin. Tetapi mengapa pula tidak mungkin? Dia yang mengatakan tidak mungkin harimau piaraan bersembunyi di rumah Kapten Kahar. Dia juga yang mengatakan, bahwa pelapor bernama Maribun itu mungkin mendapat pembalasan dari si harimau. Dia menganalisa lebih jauh harimau yang menewaskan Maribun bukan harimau biasa. Dia tidak mempergunakan taring-taringnya. Tetapi apakah betul ada harimau yang punya silat sifat manusia? Tidakkah pembunuhan itu dilakukan oleh seorang yang sangat lihay, yang mempergunakan sarung tangan berkuku harimau di ujung jari Alat pembunuh yang begitu dapat dibuat. Kalau itu yang sebenarnya terjadi, maka pembunuh itu bukan sembarangan. la pasti punya pengalaman dan punya perhitungan bagaimana melakukan pembunuhan dengan risiko sekecil mungkin. Dengan alat itu ia sudah pasti dapat menyesatkan pikiran si pelacak dan penyelidik. Pada saat itu Buang berpikir, tak kan ada harimau yang punya sifat manusia. Harimau piaraan adalah harimau biasa yang diperintah oleh Tuannya dan membunuh sasaran yang dimaksud sang majikan, la akan membunuh dongan terkaman, gigitan sekuat tenaga di kuduk sehingga tulang leher patah dan kemudian mengoyak ngoyak tubuhnya dengan kuku-kukunya.

"Pawang tak dapat memanggil harimau yang membunuh Pak Maribun?" tanya Mayor Polisi itu. Sang pawang menyatakan tidak sanggup, karena ilmunya seperti sudah dikatakannya hanya untuk memanggil harimau biasa yang berdosa. Telah mencuri ternak besar

atau membunuh manusia. Tidak untuk memanggil harimau aneh yang meletakkan mangsanya di depan pagar pekarangan seorang Mayor Polisi. Ini pasti bukan harimau biasa. Sang Perwira masih bertanya apakah pawang Dahlan tak mau mencoba. Dia menolak, tidak mau ambil risiko, la meninggalkan Mayor, Dahlan dengan dibekali ongkos selayaknya.

Kedua pemburu yang diundang masih tinggal. Kepada mereka Perwira Polisi itu meminta bantuan untuk berjaga-jaga dan menembak mati si harimau pada peluang pertama. Mungkin binatang ini memang benar punya kekuatan melebihi harimau biasa, tetapi dengan tembakan beruntun diperkirakan ia akan roboh juga. Meskipun harimau termasuk binatang yang dilindungi karena dikhawatirkan akan punah, namun karena ia masuk kota dan bisa membahayakan masyarakat, layak ditembak mati. Pembunuhan satwa liar dan ganas untuk kepentingan masyarakat tentu saja dibenarkan.

Kedua pemburu itu saling pandang tanpa memberi jawaban. Melihat kedua orang itu diam saja, Perwira itu bertanya apakah mereka khawatir. Mereka berterus terang tentang kekhawatiran mereka. Setelah mendengar kisah tentang pembunuh Pak Maribun, mereka yakin, bahwa yang membunuh itu bukan harimau biasa. Dan harimau liar tidak kan berani sejauh itu meninggalkan tempat kediama n mereka.

"Anda berdua mau menolong kami, bukan?" tanya Mayor Polisi itu.

Kedua pemburu tidak sogera menjawab. Setelah pertanyaan diulangi barulah mereka menjawab, bahwa mereka akan waspada dan memberi bantuan sejuah mungkin.

Pawang harimau dan kedua pemburu tidak tahu, bahwa kunjungan mereka ke Perwira Menengah Polisi itu diperhatikan oleh tak lain daripada Erwin sendiri yang dengan bantuan Datuk kemudian mengetahui di mana alamat mereka.

Mula pertama Erwin mendatangi sang pawang dan mengatakan

kepadanya bahwa sebaiknya ia tidak usah berbuat apa-apa dalam masalah pembunuhan Maribun. la dibunuh karena itulah yang terbaik bagi masyarakat Lubuklinggau. Dan harimau yang membunuhnya sebenarnya sahabat bagi masyarakat setempat. Bukan musuh seperti yang mungkin dikatakan oleh Pak Mayor. Pawang yang sebenarnya cukup terkenal itu tak sempat bertanya banyak kepada Erwin karena ia segera mohon diri dan meminta kepada si pawang supaya kedatangannya yang maksudnya menyelamatkan Pak Dahlan jangan sampai diketahui orang lain. Yang perlu mengetahui, hanyalah Dahlan sendiri karena jiwanya lah yang terancam kalau dia sampai berbuat keliru di dalam hal ini. Pemberitahuan ini membuat Dahlan semakin tidak berani mencampuri urusan kema-tian Maribun.

Begitu pula halnya dengan kedua pemburu yang didatangi Datuk ketika mereka masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Oleh Datuk yang kelihatan rada seram dengan pakaian seragamnya berwarna hitam diperingatkan untuk jangan sekali-kali mencoba petualangan terhadap siapa atau apa pun yang menyudahi hidup Maribun.

"Makhluk itu hanya membunuh orang yang jahil dan berbahaya bagi masyarakat. Maribun bukan orang baik walaupun sehari-harinya ia berdagang," kata Datuk. Setelah menceritakan kejahatan apa yang telah dilakukan oleh penyihir itu ia berkata, "Jangan Tuan-tuan halangi dia dalam menjalankan tugas kemanusiaannya." Kedua pemburu itu heran bagaimana Datuk tahu bahwa mereka pemburu dan Mayor Polisi Buang minta bantuan. Dari itu saja cukup untuk membuat mereka bergidik. Kalau mereka macam-macam bukan tidak mungkin akan mengalami nasib seperti Maribun. Dicekik oleh makhluk yang diperkirakan harimau dengan mayat dibujurkan di depan pagar pekarangan Pak Mayor.

Meskipun sang Perwira Polisi berpesan kepada anak buahnya untuk merahasiakan peristiwa yang belum dapat dipecahkan itu dan permintaan yang sama juga disampaikan kepada para petugas rumah sakit, namun berita itu segera meluas. Baik petugas keamanan maupun rumah sakit tidak bisa tutup mulut. Semula

hanya dibisikkan kepada kawan dekat sebagai suatu berita yang menakutkan supaya berhati-hati, tetapi dalam tempo singkat sudah jadi pembicaraan hampir se Lubuklinggau.

Di antara yang sangat terkejut mendengar berita itu adalah Kapten Polisi Kahar, yang mengetahuinya langsung dari Mayor Polisi Buang.

"Mayatnya dibawa lalu diletakkan di depan pintu pagar saya, Kapten. Itu keterlaluan. Ya, boleh jadi juga ia dibunuh di situ. Tetapi tidak ada tanda terjadinya pergulatan Saya rasa dibawa ke sana. Tentu ada maksudnya," kata Perwira Menengah itu. Tidak mendapat tanggapan dari yang di beri tahu, ia berkata, "Mengapa Anda diam saja?"

Barulah Kahar menjawab. "Saya terlalu terkejut. Hampir tidak masuk akal!"

"Bagaimana tidak masuk akal Itu sudah jadi suatu kenyataan. Dan di lehernya terdapat bekas kuku-kuku harimau. Tidak ada gigitan sebagaimana lazimnya terkaman harimau. Apa makssudnya itu. Kap?" tanya Pak Mayor seolah-olah orang yang setingkat di bawah pangkatnya layak mengetahui nya.

"Wah, itu harus diselidiki. Pada saat ini mana saya tahu. Ataukah Pak Mayor sudah punya dugaan. Bukankah Pak Mayor yang menemukan mayatnya dan diletakkan atau dibunuh di depan pagar Pak Mayor pula. Barangkali Pak Mayorlah yang dapat mengira-ngira mengapa sampai terjadi pembunuhan yang begitu aneh. Saya rasa Pak Mayor lebih banyak tahu?"

"Mengapa harus saya yang lebih banyak tahu?"

“Ee barangkali saja. Bukankah Pak Mayor yang kenal dekat dengan Pak Maribun yang bernasib malang itu!" kata Kahar, la menjawab begitu, karena kata-kata sang Mayor kurang enak bagi telinganya. Jika tidak karena itu, ia juga tidak akan berkata demikian kepada atasan yang diyakininya tentu dalam kebingungan.

"Memang saya kenal baik dengan dia. Kapten. Tetapi

kematiannya itu sangat aneh. Saya teringat tentang ceritanya kemarin, bahwa ia mengetahui adanya harimau piaraan di sekitar tempat kediaman Kapten. Barangkali Kapten dapat membantu. Saya ingin supaya harimau aneh atau makhluk berbahaya itu dapat segera dibekuk!" kata sang Perwira Menengah. Kini dengan nada menurun.

"Itu sudah kewajiban kita. Saya segera melakukan penyelidikan kemudian saya menemui Bapak, oke?"

"Ya, tolonglah. Kita malu kalau tidak dapat memecahkan ini."

"Tentu Mayor, tentu. Kita harus dapat memecahkannya," kata Kapten Kahar, la teringat kepada Erwin. Apakah dia yang melakukan? Ketika ia baru saja meletakkan telepon, pesawat itu berdering lagi dan yang memulai bicara bukan lain dari Mayor Polisi Buang juga. la bertanya, apakah ia dapat bertemu dengan laki-laki yang bernama Bujang yang menegurnya pada hari kemarinnya.

Kahar agak terkejut, tetapi dia sudah menduga juga bahwa sang Mayor tentu ingin menanyakan dirinya. Sebenarnya ia heran, mengapa tadi atasannya itu tidak menyinggung-nyinggung Erwin yang dikenal Perwira Menengah itu sebagai Bujang. Karena sudah siap untuk mendengar permintaan atau pertanyaan demikian, maka Kahar langsung saja menjawab, bahwa Bujang sedang ada di rumahnya dan mempersilakan sang Mayor untuk datang. Buang mengatakan, bahwa dia akan datang sekitar setengah jam lagi.

Berita itu disampaikan Kahar kepada Erwin yang sedang mengobati adiknya. Dinar sudah hampir pulih sepenuhnya, rupanya karena dukun yang menjahilmya sudah tiada.

Pada pagi itu Dinar menyatakan keinginannya untuk turut bertualang dengan Erwin, yang dijawab dengan tawa oleh manusia harimau itu

Erwin menduga, bahwa Kahar akan bertanya kan kisah kematian Maribun kepadanya, tetapi ternyata tidak. Malah dialah yang bertanya kepada Kahar ketika kepadanya disampaikan tentang maksud kedatangan Mayor Polisi Buang, "Mau menanyakan

kematian Pak Maribun?"

"Entah, aku tidak tahu. Dia tidak mengatakan begitu. Hanya ingin bertemu dan bercakap-cakap barangkali," kata Kahar.

"Dia tidak menyebut-nyebut tentang Pak Maribun?"

"Dia menceritakannya. Dia tidak dapat mengerti dan mengatakan tidak sanggup memecahkannya," kata Kahar.

"Dan dia meminta Kapten untuk membantu dia?"

"Ya, aku bawahannya?"

"Dan Kapten tidak ingin bertanya apa-apa kepadaku?"

"Tidak," jawab Kahar.

"Dia memanggil seorang pawang harimau dan dua pemburu ke rumahnya tadi. Minta bantuan mereka agaknya!" Kapten Kahar agak terkejut dan memandang Erwin. Yang mungkin akan diselidiki sudah lebih banyak tahu dari yang akan melakukan penyelidikan.

"Saudara Erwin mau mengatakan sesuatu kepadaku?"

"Tidak. Tak ada yang mau saya katakan," jawab Erwin.

Kedua orang dari satu daerah itu bagaikan tahu bahwa lebih baik tidak usah saling tanya atau saling cerita. Suatu sopan santun yang amat halus dari dua manusia yang saling tahu dan saling menghargai. Erwin amat senang dengan sikap Perwira Polisi itu.

Kahar menyambut kedatangan Buang dengan ramah dan merasa kasihan melihat atasannya yang berwajah muram itu.

"Pernahkah Anda mendengar harimau berjalan dengan hanya dua kakinya, Kapten? Barangkali Anda tidak percaya," kata Buang.

"Kalau bukan Pak Mayor yang mengatakan, pasti saya tidak percaya. Tetapi apakah Pak Mayor tidak keliru lihat. Bukan . . ." Kahar tidak meneruskan.

"Maksud Kapten? Hanya khayalan oleh dorongan rasa takut?"

"Tidak, barangkali hanya pembunuh yang cerdik dan

mempergunakan sarung kaki atau katakanlah sepatu harimau dan sarung tangan harimau pula."

"Ah, penjahat kita belum sampai menjalankan muslihat seperti itu. Semula aku ada juga memikirkan kemungkinan itu, terlalu sulit mau bikin sarung tangan dan sepatu yang mengesankan jejak harimau asli. Lagi pula, bekas kuku dan kaki buatan tidak akan mungkin seperti itu! Tubuh manusia tidak seberat badan harimau," kata Pak Mayor, la lalu minta dipertemukan dengan Bujang. Orang itu tak lama kemudian datang sambil mengucapkan "selamat pagi" dengan sopan Mayor Polisi itu memandangi mukanya seperti ingin membaca sesuatu, kalau ada yang dapat dibaca. Ternyata tidak ada "tulisan" apa-apa pada wajahnya, la biasa-biasa saja, bersikap wajar kemudian bertanya, apakah pembunuh itu sudah ditangkap.

"Pembunuh siapa?" tanya Buang mau coba memancing.

"Wah, se-Lubuklinggau telah mengetahuinya. Pembunuhan atas diri Pak Maribun yang mayatnya dijumpai di muka pintu pagar Pak Mayor."

Sang Perwira merasa sedikit malu, pancingannya ternyata tidak mengena sama sekali.

"Kemarin Anda mengatakan tentang kemungkinan pembalasan si harimau piaraan atas diri Pak Maribun yang melapor kepada saya!"

"Benar. Dugaan saya tepat kan. Pak Maribun mati dibunuh harimau. Barangkali harimau piaraan yang diceritakan almarhum," kata Erwin tenang-tenang.

0odwo0

DUAPULUH TUJUH

MAYOR Polisi Buang tak menyangka, bahwa Erwin yang dikenalnya sebagai Bujang, berani memberi jawaban secara itu. Orang yang kelihatan kampungan ini tidak penyegan atau penakut

seperti halnya masih banyak orang kampung terhadap orang yang berseragam Polisi, apalagi seragam Perwira pula. Sebetulnya orang kampung juga tahu, bahwa Polisi itu tempat berlindung, bernaung dan mengadu, tetapi mereka juga banyak menemukan fakta yang bertentangan dengan apa yang mereka ketahui semula. Sehingga rasa hormat berubah jadi rasa takut atau rasa benci. Mereka —kebanyakan— jadi lebih suka untuk tidak berurusan dengan Polisi. Padahal yang berbuat lain dari mestinya hanya seorang dua saja. Yang lainnya pasti dapat dikatakan baik. Atau lumayan lah!

Tapi yang sebiji ini memang benar-benar lain. Dia berterus terang saja. Mengatakan apa yang dia pikir atau dia sangka.

"Saudara percaya ada orang memelihara harimau di daerah ini?" tanya sang Mayor kini menggunakan perkataan "Saudara".

"Saya percaya, bahwa di sini pun mungkin saja ada orang yang punya harimau piaraan. Tetapi saya tidak mengatakan, bahwa di sekitar sini ada yang punya!" jawab Erwin.

Mayor Buang tambah tahu, bahwa orang ini bukan hanya suka berterus terang tetapi juga menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Tidak banyak orang mampu merangkai kalimat seperti itu. Yang hampir sama bunyinya, tetapi sangat berlainan maknanya.

"Bahasa Indonesia Saudara bagus sekali," kata Mayor Buang dengan nada yang kini agak bersahabat.

"Bahasa saya itu belum bahasa yang benar-benar baik. Saya baru melatih diri untuk tidak turut turutan bahasa persatuan dan nasional kita."

Perasaan segan mulai bangkit di dalam hati Buang. Si Bujang ini orang baik dan pintar, pikirnya. Rupanya saja yang kampungan. Mungkin karena keadaan. Tidak seharusnya ia menaruh buruk sangka atas orang yang belum dikenalnya dari dekat. Salah satu sifat buruk pada banyak Polisi kita ialah menilai orang secara lahiriah. Orang yang berpakaian mentereng, apalagi bermobil bagus selalu disegani dan dilayani lain daripada menghadapi orang yang hanya biasa-biasa saja, Padahal bukan mustahil, bahwa orang yang

kelihatan hebat dan kaya itu sebenarnya seorang pembunuh atau penipu atau pencuri. Jangan-jangan perampok uang negara dan rakyat melalui kedudukan yang diberikan kepadanya.

"Di negeri Saudara Bujang banyak harimau piaraan?" tanya Pak Mayor menaruh minat.

"Ada, tidak sangat banyak!"

"Dapat disuruh apa saja?"

"Tidak semua. Ada yang tugasnya hanya menjaga kebun dari gangguan babi hutan. Ada juga yang dapat melaksanakan semua tugas dari sang majikan."

"Apakah harimau piaraan itu sama dengan harimau liar?"

"Hampir semuanya sama."

"Mengapa hampir? Jadi tidak semua sama?"

"Memang tidak semuanya sama. Ada yang dapat menghilang karena yang memeliharanya itu orang pandai. Pemelihara dirinya itulah yang membuat dia tidak tampak oleh manusia biasa!"

"Manusia biasa? Jadi ada juga manusia yang dapat melihatnya?"

"Ada. Yaitu manusia yang punya ilmu melawan perabun!"

Mayor Polisi Buang kian tertarik. Banyak pengetahuan manusia Bujang ini mengenai harimau. Orang begini agaknya tak baik untuk dibuat jadi lawan.

"Memang tak baik mencari lawan. Saya pun takut sekali kalau sampai orang membenci saya. Karena saya hanya perantau yang tidak punya apa-apa," katanya merendahkan diri, membuat Pak Mayor jadi kian menghargai dirinya. Dia menyesal telah mencurigai orang itu.

“Sebagai penegak hukum memang layak Tuan mencurigai orang yang belum dikenal. Misalnya saya dan kawan saya yang berbaju hitam itu." Mayor Polisi itu jadi tambah malu. Apa yang dipikirnya dapat dibaca oleh laki-laki muda yang amat sederhana itu.

"Saudara Bujang mengenal almarhum Maribun?"

"Tidak dari dekat. Tetapi ada mendengar namanya yang besar dan terkenal. Konon, almarhum pandai sihir!"

"Saudara baru beberapa hari di sini tetapi sudah mengetahui begitu banyak. Apakah Saudara dukun? Maaf, saya hanya bertanya. Saudara tidak kecil hati atau tersinggung?"

"Tidak, sebab Tuan Mayor juga tidak mencurigai saya lagi."

Dengan muka memerah padam Mayor Polisi menyatakan kekagumannya atas diri Bujang.

"Yang sebenarnya nama saya bukan Bujang."

"Bolehkah saya bertanya mengapa Saudara kemarin mengaku bernama Bujang dan siapakah nama Saudara yang sebenarnya?"

"Saya mengaku bernama Bujang, karena Tuan mencurigai saya dan Tuan bernama Buang. Jadi saya tambah saja dengan satu huruf, jadi Bujang. Tuan Buang mencurigai dan si Bujang juga mencurigai Tuan Buang!" kata Erwin tanpa merubah nada suara. "Nama saya yang sebenarnya hanya Erwin. Hanya itu!"

"Saudara Erwin hebat sekali. Saya terus terang jadi malu. Apa yang Saudara katakan itu memang benar. Saya kemarin sangat mencurigai Saudara. Rupanya Saudara juga jadi sangat mencurigai saya!"

"Ya, begitulah rupanya. Mungkin ada harimau piaraan nenek keluarga Pak Kapten Kahar yang melindungi keluarga Nasution ini, adik Pak Kapten sakit karena buatan iblis yang dikirim almarhum Maribun. Mungkin harimau piaraan itulah yang melakukan pembalasan atas diri orang yang menjahili Nona Dinar Nasution. Ini hanya suatu kemungkinan, saya tidak tahu. Saya cuma berusaha mengobati adik Pak Kapten ini. Tetapi saya bukan dukun. Cuma ada sedikit bekal dari kampung untuk pelenyap pening-kepala."

"Kata Saudara tadi, adiknya Kapten Kahar sakit karena dijahili oleh almarhum Maribun. Siapa yang mengatakan begitu?" tanya

Mayor Buang.

Oleh Erwin dijawab, bahwa yang menceritakan adalah iblis yang disuruhnya itu sendiri. Kalau iblis sudah mau disuruh mengatakan yang benar, maka ia tidak akan berdusta.

Mendengar jawaban ini. Mayor Polisi Buang tidak lagi meneruskan pertanyaan. Sudah jelas baginya, bahwa yang mengobati Dinar tentulah bukan sekedar bawa bekal untuk pengobat pening kepala. Sudah jelas Erwin yang dapat menyuruh iblis bicara, seorang dukun yang punya ilmu tinggi. Hanya saja ia punya sifat untuk selalu merendahkan diri. Inilah manusia yang punya isi lain dari yang dikesankan oleh pembawaan dan penampilannya. Tidak banyak seperti Erwin. Dan tidak banyak manusia harimau. Apalagi yang sampai mengembara ke kota. Biasanya lebih suka tinggal di kampung.

Setelah cukup lama bercerita. Pak Mayor bertanya kepada Erwin apakah ia dapat menolong untuk melihat siapakah gerangan yang punya harimau piaraan. Benarkah kakek atau salah seorang keluar ga Dinar dan harimau piaraan itu yang membunuh Maribun ataukah orang lain yang memusuhi Maribun dan membunuhnya melalui harimau.

Erwin menolak dengan halus, bahwa ia tidak berani mencampuri urusan itu, karena ia tidak punya ilmu sampai setinggi itu.

"Mungkinkah harimau itu mengambil korban lain?" tanya Mayor Buang.

Erwin tidak mampu memberi jawaban, karena ia tidak tahu apakah ada lagi orang lain yang diincar oleh harimau piaraan itu. Dan yang diterkam oleh harimau piaraan hanyalah orang yang memusuhi pemiliknya tanpa alasan.

Merasa kehabisan bahan untuk ditanyakan kepada Erwin, barulah Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah adiknya sudah sembuh. Bawahannya itu mengatakan bahwa ia semula sudah kehilangan harapan, la bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada Erwin, karena Dinar sudah boleh dikatakan

bebas dari cengkeraman iblis yang tadi memasuki dan menguasai dirinya untuk dibinasakan.

Karena masih menyangkut dipikirannya tentang harimau yang berjalan hanya dengan dua kaki belakang dan menyangka, bahwa Erwin mungkin dapat memberi penjelasan, maka ia menanyakan keanehan yang dialaminya pada malam kemarinnya. Diceritakannya, bagaimana ia melakukan pelacakan sejak dari rumah almarhum Maribun sampai ke suatu tempat di mana terlihat telapak kaki dua manusia dan seekor harimau berkaki empat. Kemudian yang ada hanya dua kaki manusia dan empat kaki harimau atau seekor harimau.

"Saya masih tetap heran, apakah ada harimau yang berjalan hanya atas dua kakinya," kata Mayor Buang kepada Erwin.

"Saya sendiri tak pernah melihat sirkus, tetapi saya dengar di sirkus ada gajah dan harimau yang dapat berjalan atas dua kaki. Berkat latihan. Kalau gajah yang bertubuh begitu besar dapat berjalan atas dua kaki, ditonton pula oleh ratusan atau ribuan orang, saya rasa harimau yang dilatih juga dapat berbuat begitu. Karena harimau piaraan yang terlatih bisa jalan atas dua kaki, mungkin harimau yang Tuan Mayor ikuti jejaknya kemarin sedang iseng berjalan hanya dua kaki. Saya rasa ada juga harimau yang suka iseng seperti manusia."

Kapten Kahar Nasution merasa senang dan geli, tak menyangka, bahwa Erwin dapat bersandiwara sebagai pemain watak, la begitu mahir menimbulkan kesan seolah-olah ia tidak tahu menahu tentang pembunuhan Maribun, tetapi punya pengetahuan sekedarnya tentang jenis dan sifat-sifat harimau.

"Apakah kira-kira kegiatan harimau piaraan itu sampai di situ saja?" tanya Mayor Buang.

"Mungkin, kalau sudah tak ada musuhnya. Tetapi barangkali ia masih marah kepada orang yang mengatur pengepungannya kemarin. Ini hanya pikiran saya. Barangkali juga dia sudah kembali ke hutan!"

"Apakah kalau yang punya orang di sekitar sini misalnya, ia tidak tinggal di sini?"

"Saya rasa tidak. Tempat harimau bermukim di hutan, maka di hutanlah dia tinggal. Kalau yang punya memerlukan dirinya, ia dipanggil."

Pada waktu itu Dinar yang sudah sembuh juga turut keluar bersama Ibunya. Ikut duduk setelah memberi hormat kepada Pak Mayor.

"Sudah sembuh?" tanya Pak Mayor.

"Ya, hampir. Berkat bantuan Bang Erwin," jawab gadis cakep itu.

Muka Erwin memerah padam, la senang atas kata-kata Dinar yang tiada berlebih-lebihan.

"Berkat ijin Tuhan Yang Maha Pengasih, saya sekedar berusaha. Ketentuan hanya pada Allah!" kata Erwin melengkapi.

"Saudara taat beragama, ya?" puji Mayor Buang.

"Itu pun hanya sejauh kemampuan yang ada pada diri saya. Dan tentu tak luput dari berbagai macam kesalahan dan kekurangan!"

Undangan untuk makan bersama di rumah Pak Mayor ditolak Erwin dengan halus. Kelihatan perwira Polisi itu kecewa, karena mungkin ada tujuannya dengan undangan makan itu. Barangkali hendak coba-coba menuntut ilmu dari Erwin atau tujuan lain yang tidak dapat diduga. Umpamanya mengundang juga seorang dukun yang dikenalnya sangat kawakan untuk bertemu dengan Erwin. Barangkali, ia sebagai orang yang ingin banyak tahu, mau melihat bagaimana kalau dua dukun dipertentangkan.

Walaupun ia tidak mencurigai Erwin lagi, ia punya persangkaan, bahwa Erwin dapat bercerita lebih banyak mengenai jejak-jejak kaki manusia dan harimau aneh yang dilihatnya malam kemarin dan bersamaan dengan itu pula Maribun hilang, lalu tewas. Semua itu tetap merupakan misteri yang tidak selesai dengan pendapat serta dugaan Erwin saja. Sebagai perwira penegak keamanan dan

keadilan, seyogianya ia dapat memberi keterangan yang masuk akal kepada wartawan yang pasti akan berdatangan dari Palembang menanyakan duduk kasus yang sangat menarik itu. Oleh kelemahannya dalam menghadapi perkara ini dan karena penolakan Erwin atas undangannya, sang Mayor jadi penasaran kembali, la permisi pulang dengan mengucapkan terima kasih kepada Erwin dan Tuan rumah.

Dalam perjalanan ke kantornya, Mayor Polisi Buang memikirkan keterangan dan jawaban Erwin yang kemudian ditafsirkannya sebagian sebagai mempermainkan dirinya, la memperbandingkan harimau yang berjalan dengan dua kaki dari rumah Maribun dengan gajah yang juga pandai berjalan atas dua kaki di sirkus. Semuanya berkat latihan, kata Erwin. Tak masuk akal, bahwa pemilik harimau itu melatih harimau piaraannya untuk jalan atas dua kaki, karena hewan itu tidak akan dipekerjakan di sirkus. Oleh pikiran itu. Mayor Polisi Buang tak jadi langsung ke kantornya, tetapi kembali ke rumah Maribun dan bertanya kepada keluarganya siapakah guru almarhum. Setelah mendapat keterangan ia langsung pergi ke alamat yang disebutkan dan di sana bertemu dengan orang yang sudah umur tujuh puluh tahun dan oleh penduduk. Memang dikenal sebagai orang yang aneh serta mempunyai banyak ilmu.

Dukun besar itu diundang Mayor Buang ke rumahnya dan orang pandai yang bernama Raden Sulaiman itu menyanggupi untuk datang pada malam hari.

Ketika Mayor Polisi Buang menceritakan maksudnya, Raden Sulaiman menanggapi, bahwa pembunuhan atas diri muridnya itu memang bukan pembunuhan biasa dan menurut pandangannya juga bukan oleh makhluk biasa. Pada saat ia mengatakan, bahwa ia akan melakukan pembalasan, mendadak rumah sang Perwira yang terbuat dari batu dan bahan-bahan kelas satu bergoncang-goncang.

0odwo0

DUAPULUH DELAPAN

BIARPUN Perwira Polisi dan tidak gentar menghadapi gerombolan bandit, tetapi merasakan rumah tergoyang-goyang. Mayor Buang sangat terkejut dan tak dapat mencegah pucat, karena muka pucat bukan buatan melainkan reaksi.

"Lawan ini hebat juga Pak Mayor," kata Raden Sulaiman. "Tapi saya akan patahkan dia!"

Raden Sulaiman mengeluarkan sebuah batu kecil berwarna merah lalu meremas remasnya. Rumah Pak Mayor tidak bergoyang-goyang lagi.

Raden Sulaiman tersenyum menang. Jelas kekuatan batu merah itu melebihi ilmu lawannya. Dan dia ketahui, bahwa lawannya akan mengeluarkan kepandaian yang lebih tinggi, kalau dia memilikinya. Kalau tidak, orang itu akan menggelupur di rumahnya.

Erwin yang tahu bahwa dirinya akan mendapat lawan lain, telah bersiap tetapi segera pula mengetahui, bahwa yang hendak menjatuhkannya ini lebih kuat lagi dari seorang Maribun. Sebab yang ini adalah guru dari penyihir itu. Ia mengerahkan tenaga yang lebih tinggi ketika merasa bahwa lawannya telah mematahkan ilmunya yang pertama. Digunakannya mangkuk putih berisi air untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh lawannya, sehingga tampak jelas bahwa Raden Sulaiman juga sedang minta diambilkan mangkuk berisi air.

Ketika Raden Sulaiman memasukkan batu merahnya ke dalam air, seluruh isi mangkuk menjadi hitam pekat, la terkejut, sebab baru sekali selama prakteknya air jadi hitam. Mestinya ia melihat apa yang sedang dikerjakan lawannya di air yang putih bersih. Dan memanglah Erwin yang membuat air di mangkuk itu tidak dapat menjalankan tugas seperti biasa. Ilmu ini didapat Erwin ketika ia ke Penyabungan beberapa waktu yang lalu.

Mayor Buang yang sengaja dibolehkan melihat apa yang terjadi, memandang kepada Raden Sulaiman yang bermerah padam karena malu.

"Ada apa?" tanya Pak Mayor.

"Bangsat ini memakai ilmu jahanam," jawab Raden Sulaiman sekedar menutupi malunya. Tetapi begitu dia selesai dengan kalimatnya yang memaki Erwin, ia terbatuk-batuk sampai mengeluarkan air mata.

Erwin memandangi kejadian di rumah Mayor Buang melalui air di mangkuknya. Datuk dan Kahar Nasution yang diperkenankan turut melihat merasa sangat takjub. Sudah seringkali mereka mendengar bahwa melalui air dukun yang pandai mampu melihat kejadian di tempat lain, tetapi baru kali itulah mereka melihat secara langsung dan begitu jelas. Tetapi apa yang mereka perkatakan, harus dibaca melalui gerak mulut di air itu saja, sebab tak dapat didengar. Dapat dikatakan, bahwa air itu berfungsi sebagai layar televisi tanpa suara. Dalam hati Datuk sangat berharap agar Erwin mau mengajarkan kepandaian itu kepadanya kelak. Dia berjanji kepada diri untuk berbuat sebaik-baiknya, supaya dinilai layak menerima ilmu itu.

Raden Sulaiman bangkit sambil membawa mangkuk berisi air berwarna hitam itu untuk dibuang dan digantinya sendiri dengan yang baru. la jadi tambah kaget karena ketika dicurahkan, air hitam itu berwarna biasa, la berhenti sebelum seluruh isinya dibuang. Sisa yang ada di dalam mangkuk tetap berwarna hitam, la belum pernah menemukan lawan yang punya kemampuan tersendiri ini, tetapi ia pun masih punya banyak simpanan untuk dilaga dengan apa yang dimiliki lawannya. Karena ia tak dapat melihat apa yang hendak dilihatnya, maka ia pun tidak dapat mengetahui, bagaimanakah rupa lawannya itu. Tetapi ia menduga, bahwa orangnya tentu paling sedikit setengah baya atau pun sudah tua dengan segudang garam yang sudah pernah dihabiskannya selama ia hidup.

Mayor Polisi Buang yang punya cukup banyak pengalaman selama melaksanakan tugas kepolisian jadi kian tertarik. Kekuatan yang di masa lalu hanya dibaca dalam buku atau didengar dari cerita, sekarang diketahuinya benar-benar ada. Inilah dia barangkali yang menyebabkan ada pelarian yang tak jatuh walaupun dilanggar peluru berkali-kali. Inilah juga yang membuat ada tahanan yang bisa meloloskan diri dengan cara yang tidak masuk akal, karena

kepergiannya dari sel tahanan tidak kelihatan dan sama sekali tidak meninggalkan bekas.

Penasaran atas kegagalan melihat lawannya melalui air, karena menghitam pekat, Raden Sulaiman sekali lagi mengambil air putih dengan membaca jampi-jampi agar itu tidak dapat dirusak oleh siapa pun. Air yang pertama tadi bukan dia sendiri yang mengambil.

"Mari," kata Raden Sulaiman kepada Mayor Polisi Buang, "mudah-mudahan permainan orang itu tidak akan terulang lagi. Bagaimanapun ia pasti mempunyai kepandaian yang lumayan. Apakah Pak Mayor Buang mempunyai sangkaan terhadap seseorang yang diperkirakan melawan kita. Kalau kita ketahui, siapa yang melawan kita sekarang, maka kita pun akan tahu siapa atau harimau siapa yang membunuh almarhum Maribun,"

Pak Mayor tidak langsung menjawab. Khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka seperti bergoyangnya rumahnya tadi. Yang itu dapat dijinakkan oleh Raden Sulaiman, tetapi air yang menghitam itu, bagaimana itu bisa terjadi?

Raden Sulaiman mulai membaca-baca lagi. Air itu tetap putih tidak berubah warna, la mengeluarkan sebilah pisau lipat kecil, mencelupkan matanya ke dalam air. Warnanya tidak berubah. Setelah itu ia memasukkan batunya yang berwarna merah tadi. Air tidak juga berubah, la mulai yakin, bahwa lawannya tidak kuat melawan tenaga yang dimasukkan melalui pisau lipatnya tadi ke dalam air.

Raden Sulaiman membaca-baca lagi.

la berbisik dengan penekanan di sana sini "Kata jin yang kukatakan. Siapa atau apa pun engkau, engkau tak akan punya daya merendahkan martabatku. Engkau hanya hambaku. Akulah yang kau pertuan." la tunduk mengkhusukkan diri, memusatkan segala kekuatan batin menentang lawannya. Setelah merasa cukup ia mengangkatkan kepala untuk melihat keadaan lawannya. Di luar dugaan air putih itu berubah warna lagi. Sekarang merah seperti darah.

Rupanya selain daripada terkejut heran, warna merah itu juga merupakan pertanda bahwa akan ada darah yang tumpah. Darah siapa?

Pak Mayor juga terkejut, karena merasa turut punya gawe. Ilmu milik Raden Sulaiman, tetapi yang menyuruh adalah dirinya. Dan ia pun sebenarnya tidak punya niat jahat, hanya penasaran, ingin tahu, siapakah yang telah membunuh Pak Maribun. Akan menimbulkan semacam kegelisahan, kalau hanya dikatakan, bahwa korban benar dibunuh oleh seekor harimau.

"Bagaimana Pak Sulaiman?" tanya Mayor Buang.

"Biasa saja, usaha perlawanan dari pihak yang mau ditaklukkan. Lebih enak menghadapi lawan yang melawan daripada yang menyerah kalah tanpa bertanding," kata Raden Sulaiman menjaga gengsi. Warna merah itu bukan hanya menandakan akan ada darah mengalir, tetapi juga membuat dia lagi-lagi tak dapat melihat siapakah sebenarnya yang jadi lawannya.

"Siapakah kira-kira lawan Pak Sulaiman, orang sini ataukah pendatang?" tanya Pak Mayor lagi.

"Kedua-duanya mungkin. Saya belum tahu." Sekali lagi ia bertanya, apakah ada yang patut dicurigai. Tetapi Pak Mayor tetap tidak mau menyebut nama. Belum tentu Datuk yang berpakaian serba hitam itu dan belum tentu pula Erwin yang punya banyak pengetahuan tentang harimau. Hebatnya kenyataan yang telah dilihatnya dengan mata sendiri membuat Mayor Buang sangat berhati-hati. Sungguh, lebih baik menghadapi sepuluh bandit atau garong yang mempergunakan senjata api atau tajam daripada lawan yang tidak diketahui siapa orangnya, tetapi mempergunakan senjata gaib yang tidak dapat dikalahkan dengan senjata api yang menjadi andalan penegak hukum. Sekurang-kurangnya belum tentu dapat dihadapi dengan senjata biasa.

Raden Sulaiman mohon diri dengan alasan, bahwa alat-alat lengkap guna melawan musuh tidak semuanya dibawa. Dan dia berkata benar. Memang ada yang tak dapat dibawa-bawa.

Dalam perjalanan ke kantor, Mayor Buang masih dibayangi oleh apa yang dilihatnya. Air yang menghitam dan kemudian memerah, semacam asap tebal dan darah kental yang membuat Raden Sulaiman dan dia tidak dapat melihat siapakah sebenarnya yang membunuh Maribun atau jadi dalang kematiannya.

la juga bertanya pada diri sendiri, apakah Erwin tahu bahwa ia mempergunakan dukun untuk mengetahui siapa sebenarnya yang pegang peranan dan pembunuhan amat misterius itu. Erwin itu banyak tahu, barangkali dia juga mengetahui segala apa yang dilakukannya. Hanya sampai situ yang dipikir dan ditanyanya kepada diri sendiri. Tak berani lebih dari itu, tiada tuduhan terhadap siapa pun. Dia akan jadi bahan pembicaraan atau bahkan tertawaan, kalau sampai diketahui masyarakat bahwa seorang Mayor Polisi coba-coba mempergunakan kekuatan gaib seorang dukun dalam usaha melaksanakan tugas.

Kematian Maribun kian menyebar luas dalam cerita dan duga-duga, sehingga merupakan tantangan yang kian berat bagi penegak hukum untuk menyiasati dan memecahkannya. Ada juga di antara penduduk yang berkata, bahwa akhirnya si hebat ketemu imbang. Yang amat menarik bagi mereka adalah cerita tentang harimau yang berjalan atas dua kaki saja. Ada juga di antara mereka yang sampai bertanya apakah ini yang namanya manusia mati lalu hidup kembali sebagai harimau, jalan sebagai manusia biasa tetapi rupanya sudah seperti harimau.

0odwo0

Erwin sudah merasa bahwa lawannya ini mempunyai kepandaian lebih daripada Maribun. Mungkin inilah gurunya. Untunglah Erwin telah mendapat tambahan bekal sejak ia kembali ke kampungnya. Kalau tidak begitu, tentulah ia telah binasa oleh Maribun yang sangat kawakan itu.

Kepada Kahar Nasution diterangkannya, bahwa mestinya ia sudah meninggalkan Lubuklinggau, tetapi hadangan baru ini

membuat ia harus bertahan. Mungkin juga untuk berkubur di kota itu. Kematian adalah sesuatu yang pasti bagi tiap makhluk, hanya tak dapat menentukan di mana ia akan menyelesaikan perjalanannya di dunia.

Berkata ia kepada Kahar dan Datuk, semisal ia mati di kota ini, ia mohon mayatnya dikuburkan di pinggir kota, umpamanya di hutan tak jauh dari pinggir jalan raya. la khawatir kalau-kalau ada lanjutan kisah setelah ia mati, yang akan menyebabkan dirinya jadi pembicaraan dan ditakuti, la ingin sekali, kalau ia mati, tamatlah riwayatnya, jangan sampai membawa lanjutan yang tidak disukai masyarakat.

Mendengar itu Datuk menangis, karena ia tidak mau kehilangan Erwin. Dia memang sudah sangat sayang kepada sahabatnya itu. Punya kelainan yang menakutkan, tetapi juga punya hati lebih mulia dari sebagian besar manusia.

"Daripada Saudara, lebih baik aku yang pergi duluan," kata Datuk. "Saudara lebih berguna bagi dunia ini daripada aku."

Mendengar itu Erwin juga jadi tambah sayang kepada sahabat seperjalanan yang tinggal seorang itu dan akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghadapi guru Maribun. la menyadari, bahwa pertarungan dengan lawan yang sekuat itu mungkin makan tempo berhari-hari. Sukar akan menumbangkan salah satu daripada dua orang tinggi ilmu, karena kedua-duanya punya daya bela diri dan pertahanan yang sangat ampuh.

Pada malam itu Erwin mengurung diri dan mohon kepada semua orang dan harimau yang pernah jadi gurunya, begitu pula kepada leluhurnya supaya ia diberi kekuatan yang cukup tinggi untuk dapat merobohkan lawan yang sama sekali tidak dicarinya itu. la tadinya mengharapkan pertarungan di Lubuklinggau cukup sampai dengan kematian Maribun saja. Setelah menyembuhkan Dinar ia akan berangkat ke Palembang guna memenuhi janjinya kepada Nona Mei Lan yang pernah mencarinya sampai ke Mandailing dan Medan. Erwin sangat merasa bahwa di luar keinginannya ia telah menyebar banyak penderitaan dan yang demikian lazimnya akan diimbangi

oleh balasan yang setimpal atas dirinya. Walaupun jatuh cintanya mereka atas dirinya bukan oleh suatu sebab yang tidak wajar. Bahkan Erwin selalu mengelakkan. Dirinyalah, walaupun jelas manusia harimau, yang selalu diburu oleh wanita-wanita yang ditolongnya.

Dalam ia berkhusuk mengumpulkan seluruh kekuatan agar pertarungan kekuatan mahagaib itu segera selesai, ia mendengar suara yang sudah sangat lama tidak didengarnya. Yaitu suara dengkur Ki Ampuh, yang telah menjadi babi karena dimakan oleh sumpahnya sendiri. Erwin terkejut heran tetapi juga girang, karena si terkutuk itu pada waktu yang belakangan telah ingin menebus dosa-dosanya bahkan pernah mendampingi dia dalam pertempuran berat.

Bukan hanya itu, Erwin juga mendengar suara Sabrina, wanita cantik yang kadang-kadang mengharimau atau dalam penampilannya yang amat meyakinkan, mengisap darah bayi guna melepaskan dahaganya.

Kedatangan dua orang yang pernah jadi sahabat terdekat tetapi juga musuh amat berbahaya ini di luar dugaan, menimbulkan tanda tanya, tetapi bagaimanapun melegakan hati Erwin.

0odwo0

DUAPULUH SEMBILAN

BERKATA seperti bertanya pada diri sendiri dengan suara pelan Erwin menoleh ke samping dengan ucapan, apakah ia bermimpi.

"Benarkah engkau Ki Ampuh?" tanya Erwin. Terpancar sinar gembira dari matanya dalam suasana yang remang-remang itu.

"Rasanya aku seperti mimpi," katanya melanjutkan karena tiada jawaban dari makhluk yang jelas duduk di sampingnya.

"Kau senang dengan kedatanganku ini, sahabat?" tanya babi hutan besar yang memang tak lain dari Ki Ampuh.

"Apa yang membawa kau kemari?" Erwin baru setengah percaya. Oleh lamanya tak berjumpa dan tak mendengar berita tentang diri Ki Ampuh, ia selalu menyangka, bahwa mereka tak kan pernah bertemu lagi, karena masing-masing membawa nasibnya. Teringat Erwin akan permohonan Ki Ampuh, dengan air mata dan penyesalan yang seperti keluar dari lubuk hatinya, agar ia dijadikan manusia kembali. la bertaubat, bersumpah, tak akan pernah melakukan kejahatan lagi. Apalagi pengkhianatan yang telah disadarinya sebagai kejahatan diatas dari segala macam kejahatan. Tetapi Erwin memang tidak punya kemampuan untuk mengembalikan seekor babi kembali kepada asalnya, la tidak pernah belajar ilmu merubah hewan menjadi manusia, walaupun tadinya hewan itu memang manusia juga. Dan dia selalu berpendapat, bahwa tak kan ada ilmu untuk itu. Entahlah kalau Tuhan menghendakinya, karena hanya DIA yang punya kekuasaan dan kemampuan yang tiada batas. Kalau IA menghendaki gunung dapat berubah menjadi lautan dan lautan dengan mudah menjadi padang pasir. Semut menjadi seekor gajah dan gajah menjadi seekor ular cobra.

Pernah juga Erwin mendengar, bahwa seorang penyihir yang benar-benar sudah kawakan, memang dapat merubah ujud satu makhluk menjadi makhluk lain. Tetapi ia belum pernah melihat hal itu dengan matanya sendiri. Baru dalam cerita orang-orang tua atau diceritakan dalam buku dongeng. Ilmu hitam yang mereka anut setelah tuntutan dengan segala syarat dan pengorbanan selama bertahun-tahun, membuat mereka punya kemampuan yang tak masuk akal, tetapi konon memang benar-benar telah terbukti menjadi kenyataan. Sama halnya dengan universitas yang terdiri atas berbagai macam fakultas, maka ilmu hitam pun mempunyai banyak cabang. Mungkin almarhum Maribun yang juga penyihir mengambil fakultas pengiriman jin syaitan ke sasarannya, membuat orang jadi gila dan sebagainya, tetapi tidak mengambil pe lajaran merubah manusia jadi hewan. Kalau ia memiliki ilmu itu, agaknya Nona Dinar yang cantik telah dirubahnya menjadi seekor ular. Ilmu ini dimiliki oleh Mbah Panasaran di Banten, yang pernah mengadakan hubungan dengan Ki Ampuh dan Erwin, sebagaimana

telah diuraikan secara terperinci pada bagian awal dari kisah Manusia Harimau. Wanita penyihir yang sudah lanjut usia itu selalu kelihatan muda dan cantik, seperti mojang geulis belasan tahun. Untuk mempertahankan kemudaannya Mbah Panasaran selalu memakan anak-anak muda. Diisapnya daya seks pemuda-pemuda tanpa pengalaman itu sehingga kering dalam waktu hanya dua tiga bulan yang kemudian dibunuh karena sudah tiada guna. Paling beruntung dijadikan hamba yang harus menurut perintahnya tanpa reserve. Diperintahkannya untuk membawa kawan-kawan mereka agar menemui nasib seperti mereka.

Ki Ampuh seperti membiarkan Erwin teringat masa lalu. Agak lama kemudian baru dijawabnya pertanyaan sahabat yang kemudian jadi musuh besar tetapi pada waktu belakangan telah jadi sahabat kembali. Katanya, "Aku rindu padamu. Itulah yang membawa aku kemari!"

"Bersama Sabrina?" tanya Erwin.

"Ya, aku rindu padanya?"

"Aku tadi mendengar suaranya."

"Hanya pendengaran. Dia juga ingin bertemu denganmu. Tetapi katanya dia ada urusan lain dulu."

Erwin tidak segera menanggapi. Dia pernah suka, kemudian bermusuh dengan wanita cantik berhati kejam itu. Tetapi kemudian ia selalu teringat kepadanya, karena bagaimanapun dia tahu bahwa Sabrina pernah sangat mencintai dirinya, dialah yang mengelak.

"Ada urusan di Lubuklinggau? Apa dia punya keluarga di sini?" tanya Erwin.

"Entah. Dia mau bertemu dengan Mayor Polisi Buang dulu," kata Ki Ampuh. Erwin seperti tersentak. Menemui Pak Mayor, ada urusan apa? Tetapi tak ditanyakannya kepada Ki Ampuh.

"Aku ingin kembali ke Jakarta, Ki Ampuh."

"Untuk apa di sana? Sudah terlalu banyak manusia. Kata orang

udara dan air pun sudah tercemar. Kota itu bukan tempat untuk kita. Juga tidak untuk banyak manusia yang semula menyangka akan menemukan syorga di sana. Bagi kita kota-kota kecil yang tentram lebih baik," ujar Ki Ampuh.

"Mungkin betul begitu," kata Erwin menghentikan usaha pengkhusukan diri dalam menghadapi lawannya. "Dari mana kau tahu aku ada di sini?"

Harian di Padang memberitakan tentang makhluk ajaib dengan perangai aneh. Mengembara dari Jawa ke Tapanuli, lalu ke Medan dan Minangkabau. Punya sifat seperti harimau, tetapi sangat baik budi. Berita lain menceritakan hilangnya dua penduduk sebuah kampung di sekitar Bukittinggi seorang di antaranya Datuk yang dituakan di kampungnya. Rentetan berita itu meyakinkan kami, Sabrina dan aku, bahwa orang yang bisa berbudi baik seperti itu hanya kau."

Erwin tidak memberi reaksi. Selama perjalanan ia tidak membaca koran, tidak tahu, bahwa kegiatannya sudah membuat wartawan bisa menarik hasil.

Ki Ampuh menceritakan lagi, bahwa setelah mendengar kejadian-kejadian di Lubuklinggau, ia dan Sabrina yakin, bahwa Erwin dan kedua pesilat dari Minang itu tentu masih ada di kota itu.

Mereka juga sudah mendengar tentang penyihir yang tewas dibinasakan harimau secara aneh. Sabrina lantas berkata, bahwa harimau aneh yang membinasakan lawannya dengan cara yang tidak pernah mereka dengar itu tentulah Erwin.

Bagi Sabrina yang betul-betul termasuk wanita memenuhi segala persyaratan untuk dikatakan cantik, pintu selalu terbuka. Itulah salah satu keuntungan orang cakep yang tidak dimiliki oleh wanita yang sedang-sedang saja. Walaupun sebagai imbangannya, wanita cantik lebih disukai maut daripada wanita yang biasa-biasa saja.

Tidak sukar bagi Sabrina untuk bertemu dengan Mayor Polisi Buang di kantornya. Bukan terutama karena kecantikan wajahnya, melainkan budi bahasa yang baik dan keagungan yang dipancarkan

wajah dan pembawaannya jualah yang membuat Perwira itu menaruh simpati dan kepercayaan atas dirinya. Kepercayaan pada seseorang yang baru saja dikenal perlu digarisbawahi, karena di masa ini wajar kalau kita tidak buru-buru percaya kepada seseorang, bahkan ada baiknya kalau diam-diam kita menaruh curiga guna membangkitkan kewaspadaan terhadap semua orang baru. Tidak jarang kita baca di koran-koran mengenai masyarakat yang tertipu oleh seorang yang mengaku Perwira Angkatan Bersenjata yang datang lengkap dengan seragam dengan tanda pangkatnya tetapi kemudian sesudah terlambat, ternyata ia hanya seorang penipu yang licik saja. Yang menampilkan diri sebagai saudagar besar, tetapi kemudian ternyata juga seorang penipu belaka, setelah ia hilang dengan menggaet kadang-kadang ratusan juta.

Sabrina mengaku datang dari Surabaya karena mendengar dari seorang sahabatnya, bahwa di Lubuklinggau ada seorang yang amat pintar dengan ilmu sihir yang amat tinggi. Telah banyak bantuan dipinta dari berbagai dukun, tetapi tak ada seorang pun yang berhasil.

Pak Mayor yang baik hati menyatakan suka menolong kalau ia dapat. Lalu diceritakannya tentang Raden Sulaiman yang telah banyak membantu orang-orang yang dalam kesulitan atau sakit keras oleh perbuatan orang-orang yang jahil, la menerangkan kemampuan Raden Sulaiman setelah Sabrina menceritakan, bahwa ayahnya tewas oleh terkaman seekor harimau piaraan. Dalang dari kejahatan itu tak lain daripada seorang sahabatnya sendiri yang merasa sangat terpukul dalam bersaing dagang.

Setelah bercerita panjang dan Pak Mayor percaya, bahwa Sabrina menceritakan yang sebenarnya, maka dibawanyalah wanita itu ke rumah Raden Sulaiman.

Kepada Raden Sulaiman, dihadiri oleh Mayor Buang, diceritakan oleh Sabrina bahwa dukun yang dipakai oleh saingan dagang almarhum ayahnya masih muda, bernama Erwin. Orang itulah yang mempunyai harimau, bukan hanya satu tetapi menurut

pendengarannya sampai tiga ekor dan semua menurut segala perintahnya. Pak Mayor lantas yakin bahwa yang membunuh Maribun tentulah harimau piaraan Erwin. Patutlah dia bisa bicara begitu banyak tentang harimau. Betapa liciknya orang itu dengan permainan sandiwaranya. Tentulah dia yang membuat air di dalam mangkuk putih Raden Sulaiman jadi hitam dan yang kedua kalinya jadi merah darah.

Raden Sulaiman yang juga serta merta percaya kepada Sabrina karena Pak Mayor juga tidak ragu-ragu kepadanya, langsung saja menceritakan apa yang telah dialaminya, la berharap, Sabrina akan bercerita lebih banyak tentang Erwin. Siapa tahu dia akan mengetahui di mana letak kelemahan orang muda itu, supaya mudah ia merobohkannya.

Dan Sabrina dengan meyakinkan menceritakan bahwa Erwin memang punya segudang ilmu, tetapi takkan mampu melawan Raden Sulaiman yang ketenaran namanya sudah sampai ke Jakarta, bahkan hingga ke Surabaya yang letaknya di Jawa Timur sana. Kalau tidak betul-betul hebat, tak kan dukun besar di Lubuklinggau saja sampai dikenal di Jawa. Kebanyakan orang di Jawa apa lagi di pulau lain, di luar Sumatera, bahkan tidak tahu di mana letaknya tempat yang menyandang nama Lubuklinggau itu. Pak Raden jadi semakin bangga pada dirinya dan kalau diperhatikan baik-baik akan kelihatan bahwa lubang hidungnya agak mengembang. Rupanya Sabrina bukan hanya wanita keturunan harimau jadi-jadian yang senang darah bayi, tetapi juga seorang yang amat licik dalam bertanya dan berbicara.

Baik Mayor Polisi Buang maupun penyihir Raden Sulaiman merasa, seolah-olah kedatangan Sabrina ke Lubuklinggau atas suruhan kekuatan gaib pula untuk membantu pihak penegak hukum dan penyihir dalam menegakkan keadilan. Yang seorang sesuai dengan tugasnya, yang lain untuk membalas dendam atas kematian muridnya.

Semua keterangan yang didapat Raden Sulaiman dari Sabrina membuat dia mengurungkan pukulan atas diri musuh yang sudah

jelas baginya sampai pada keesokan malamnya supaya ia dapat mengadakan persiapan yang lebih baik.

Pada keesokan harinya Erwin sudah mengetahui dari Ki Ampuh bahwa penentuan nasib akan jatuh pada malam itu.

"Tetapi aku punya satu permintaan Erwin dan kuharap kau mengabulkannya. Dari jauh aku datang untuk menyampaikan permintaan ini," kata Ki Ampuh. Erwin terharu sekali mendengar apa yang dipinta Ki Ampuh, dan ia menyetujui setelah mengatakan bahwa rencananya itu dihadang risiko yang cukup besar dan berbahaya.

Sama halnya dengan apa yang pernah diucapkan oleh Datuk, maka Ki Ampuh pun berkata, bahwa kalau ada yang harus tewas, baiklah dia yang tewas, karena dia hanya seorang manusia kutukan, sementara kelanjutan hidup Erwin masih akan banyak gunanya bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.

Pada petang hari Sabrina sendiri datang ke tempat Erwin yang oleh Kapten Kahar dan Ibunya telah diminta untuk tinggal kembali bersama mereka menjelang keberangkatan. Dalam kunjungan itu Sabrina mengenakan pakaian nasional, sehelai baju Kebaya yang harmonis dengan kain panjangnya ha sil batik tulis dari Jogya dengan sanggul yang terletak santai di atas kuduk.

Pada saat bertemu kembali itu, kenangan indah yang pernah ada membuat Erwin serta merta terpesona, la tak kuasa menahan pujian, "Kau cantik sekali Sab. Lebih cantik dari biasa!" Wanita itu tersenyum, senang, walaupun ia pernah sangat membenci.

Erwin merasa malu, ketika Sabrina menjawab, "Bagaimanapun aku tetap si Sabrina yang malang. Bang Erwin. Yang benar-benar beruntung adalah Abang. Kudengar digilai oleh beberapa wanita di daerah Palembang ini, termasuk seorang yang keturunan Tionghoa."

"Entahlah Sab, aku tak tahu apakah itu suatu keberuntungan. Yang jelas aku seperti orang buruan!"

"Risiko lelaki yang digilai banyak wanita," kata Sabrina.

Mereka menceritakan pengalaman masing-masing. Diatur rencana untuk malam itu tetapi memerlukan bantuan Kapten Polisi Kahar Nasution.

Sesuai mufakat. Pak Mayor diundang makan malam di rumah Kahar.

Semacam syukuran atas kesembuhan Dinar.

Tatkala Erwin memperkenalkan Sabrina kepada Kahar dan adiknya, mereka pun sangat memuji kecakepan Sabrina, walaupun tidak diucapkan dengan kata-kata. Dinar yang menaruh hati pada Erwin langsung saja menganggap pendatang ini tentu saingannya. Jauh-jauh dari Jawa ke Lubuklinggau sekedar mencari seorang Erwin.

0odwo0

Sebelum memenuhi undangan makan. Mayor Polisi Buang terlebih dulu mengatur rencana kerja dengan Raden Sulaiman, la juga mengatur siasat dengan mempergunakan sejumlah anggota Polisi. Mengepung rumah Kahar kembali guna bertindak kalau perlu. Si harimau akan datang ke situ dan bila tampak harus segera ditangkap hidup. Hanya ditembak kalau ia memberi perlawanan, itu pun jangan tembak mati. Tidak diceritakannya tentang Raden Sulaiman yang akan bekerja dari rumahnya pada saat yang sama.

0odwo0

TIGAPULUH

MAYOR Polisi Buang memasuki rumah Kapten Kahar Nasution dengan wajah ceria, seolah-olah bukan dia yang belum lama berselang menaruh kecurigaan besar atas rekan yang setingkat di bawah pangkatnya itu. Sang Kapten juga menyambutnya dengan gembira, walaupun ia bertanya pada dirinya apakah yang menyebabkan Pak Mayor ini jadi begitu senang.

Sebagai basa basi Kahar langsung saja berkata, "Saya senang melihat Pak Mayor sangat girang. Tentu ada sebabnya. Tetapi aku tidak bertanya, kalau hal itu merupakan rahasia!"

"Tidak ada rahasia apa-apa. Hidup kan memang diselang-seling oleh tawa dan air mata," sahut Pak Mayor.

"Filsafat hidup yang baik sekali, kalau air mata bisa merubah keadaan yang menyebabkan deraian-nya.

Mayor Polisi Buang tidak menanggapi, walaupun di dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata Kahar.

"Aku berharap malam ini kita akan bebas dari misteri yang belum berjawab itu."

"Apakah itu suatu misteri Pak Mayor?" tanya Kahar.

"Bagiku, ya. Tetapi malam ini akan kita pecahkan. Sang pembunuh akan kita tangkap atau binasakan!"

"Harimau yang berjalan atas dua kaki itu?"

"Atas dua dan empat kaki," kata Mayor Buang menyempurnakan.

"Sudah dapat cara menangkap atau membunuhnya?"

"Tentu saja. Di dunia ini tidak ada manusia yang begitu pandainya, sehingga tidak ada lagi orang lain yang mengatasinya. Dan orang yang mengalahkannya itu pasti masih dapat pula dikalahkan oleh orang lain. Jadi, di dunia tidak ada yang tak terkalahkan!"

"Lagi sebuah pandangan dan pegangan yang amat tinggi nilainya."

Pak Mayor senang mendengar sanjungan Kapten Polisi Kahar. Dia pun merasa dirinya pandai dan hebat.

"Rupanya pembunuh Pak Maribun itu pengembara yang sudah berkelana sampai ke Jawa."

"Dari mana Pak Mayor ketahui?"

"Itu masih rahasia. Orang benar selalu akan menang."

"Kadang-kadang," kata Kapten Kahar melemahkan pendapat atasannya.

"Mengapa kadang-kadang?"

"Ada orang yang merasa dirinya benar, tetapi sebenarnya tidak benar. Ada orang yang memang benar, tetapi dia kalah juga. Banyak pepatah indah sudah tidak berlaku lagi sekarang!"

"Mengapa begitu?" tanya Mayor Polisi Buang yang yakin bahwa pada malam itu ia pasti akan menang.

"Karena pepatah-pepatah itu buatan orang zaman dulu, yang dalam banyak hal lain dari kita yang hidup di zaman ini. Kita umpamanya, kita penegak kebenaran. Coba kita bicara jujur. Apakah selalu yang benar keluar sebagai yang menang? Apakah bukan yang kuat yang selalu keluar sebagai pemenang? Coba jawab dengan jujur, berdasar kenyataan di sekitar kita. Tanpa mendustai diri sendiri karena seperti sudah membudaya, bahwa dalam banyak hal, dusta, tipu, curi dan rampok bukan apa-apa!"

Mayor Polisi Buang memandangi bawahannya yang diakui telah berkata benar. Banyak sekali peristiwa yang bukan hanya menyentuh, tetapi bahkan menerjang perasaan keadilan dan kebenaran.

Meskipun percakapan mengenai kebenaran dan keadilan yang belum kunjung tegak itu sangat menarik, tetapi Pak Mayor tidak lupa, bahwa dia ada pekerjaan yang jauh lebih bermakna daripada sekedar ngomong-ngomong mengenai hal yang masih merupakan mimpi belaka, la ingin sekali mengetahui, dengan cara yang manakah harimau itu akan tertangkap atau terbunuh. Melalui Raden Sulaiman atau oleh anak buahnya yang melakukan pengepungan dengan senjata api.

Ketika tak kurang dari Dinar sendiri yang kemudian keluar mengatakan bahwa santap sederhana telah tersedia, mereka mulai makan. Jangan dikira bahwa hanya Mayor Polisi Buang yang makan

dengan pikiran bercabang! Kapten Kahar sendiri pun tertanya-tanya apakah gerangan yang sedang terjadi dengan Erwin. Lalu dengan Sabrina yang cantik itu. Kapten yang cukup ganteng dan belum punya istri itu tertarik oleh pertemuan pertama. Dan wanita cakep dari Sungai Penuh itu bukan pula hanya dikhayalkan oleh seorang Kapten Polisi, tetapi juga oleh Pak Mayor yang ditinggal mati istrinya beberapa tahun yang lalu tanpa anak. la tadi melihat sesuatu yang lain pada wajah wanita, suatu kelainan menyenangkan yang jarang tersua pada wajah wanita lain. Atau barangkali sama sekali tidak ada pada wanita lain mana pun. Kalau dia berjasa menangkap Erwin yang menurut Sabrina telah membinasakan ayahnya, dia akan punya peluang yang besar sekali untuk disenangi oleh Sabrina. Wanita itu tentu sakit hati pada Erwin yang diketahuinya telah menjahili ayahnya tetapi tidak dapat dilaporkan kepada Polisi karena caranya membunuh tidak meninggalkan bukti. Tetapi kalau harimau piaraan Erwin dapat ditangkap lalu kekuatan sihir Raden Sulaiman dapat memaksa dia untuk berkata benar, maka dukun muda yang pandai bersandiwara itu tentu terpaksa mengakui bahwa harimau itu memang miliknya dan bahwa harimau piaraannya pulalah yang telah membunuh Maribun.

Semua akan berjalan lancar kalau di dunia ini ada satu kekuatan hendak menangkap atau membinasakan pihak lain, lalu pihak yang akan dilumpuhkan itu pun pasrah saja pada nasib. Tetapi yang jadi kenyataan sama sekali tidak begitu. Pihak yang akan ditangkap atau ditewaskan juga mempersiapkan diri untuk mengelak atau bahkan melawan.

Mendadak terdengar suara harimau mengaum. Mayor Polisi Buang tersentak seperti disengat kalajengking. Suara itu sangat dekat. Kapten Polisi Kahar tak meneruskan suap yang sedang menuju mulut, la memandang sang Mayor yang juga sedang melihat ke arah dirinya. Mayor mengangguk ditiru oleh Kapten. Kedua-duanya menggerakkan bibir dengan gaya yang sama. Tandanya berpikir sama dan dibahasakan melalui pandang dan gerak bibir. Tanpa kata. Dinar dan Ibunya memandang kedua laki-laki itu tanpa memberi komentar.

Kemudian mereka meneruskan makan. Tidak selezat semula. Terutama bagi Mayor Polisi Buang. Harimau itu begitu dekat. Tak kan salah lagi, tentu inilah binatangnya yang menyerang dan membunuh Maribun. Yang meletakkan mayatnya di hadapan pagar pekarangan Buang, agaknya si Erwin yang sangat pandai bersandiwara itu. Tetapi siapa pun yang punya harimau dan siapa-siapa pula yang ikut bersekongkol, semuanya pasti akan digulung oleh Raden Sulaiman. Tak kan ada yang melebihi Raden Sulaiman di kota Lubuklinggau, begitu pikirnya.

Mayor Polisi Buang telah berpesan kepada anak buahnya yang melakukan pengepungan agar benar-benar pasang mata. Jangan sampai kedatangan atau keberadaan harimau piaraan itu tidak kelihatan. Dia pun menjanjikan hadiah lumayan kepada mereka kalau harimau itu sampai tertangkap. Penduduk pasti senang dan memuji polisinya yang memang punya tugas untuk keamanan dan ketertiban. Kini keberhasilan itu jadi kian mutlak, sebab ada faktor lain yang harus dipenuhi. Tuntutan Sabrina dan tertariknya Pak Mayor Polisi Buang kepadanya.

Sekali lagi harimau itu mengaum. Lebih kuat dari tadi dan terdengar lebih dekat. Kini jantung Buang agak berdebar. Ada sesuatu yang mengganggu keyakinan dan kegirangannya, la melihat ke sekeliling dengan gaya seperti tidak sengaja dan tidak ada kaitan dengan auman harimau itu. la memuji keindahan gambar-gambar penghias dinding. Kalau harimau itu benar-benar sangat dekat dan punya ilmu perabun seperti diceritakan Erwin, maka itu tentu tidak kelihatan. Perasaannya kian tidak enak oleh khayalannya sendiri. Kalau sang harimau sebenarnya sudah duduk di belakangnya, kemudian mencekik dia sebagaimana ia mencekik Maribun, maka ia akan tewas di meja makan itu. Hii, betapa buruk dan ngerinya. Disiksa oleh pikirannya sendiri, Mayor Polisi Buang tidak menambah nasi, walaupun semula semua lauk sangat enak, sesuai benar dengan tuntutan lidahnya. Kini semua jadi tidak sedap lagi. Dari teramat enak ke sama sekali tidak enak, hanya dipisahkan oleh khayalan seseorang. Dalam hal begitu, betapa jahatnya berkhayal. Celakanya, kalau hati sudah takut, maka khayalan yang menakutkan

pun tak dapat ditolak.

"Sedikit sekali makannya Pak," kata Kapten Polisi Kahar. "Kurang enak masakannya?"

"Oh tidak, tidak," buru-buru Buang menjawab, "semuanya sangat enak. Habis dari sini nanti, masih ada satu undangan yang perlu dipenuhi. Supaya jangan mereka sampai berpikir bahwa saya sombong. Untuk itu saya mesti menyediakan tempat sedikjt," kata Buang dengan tawa yang kentara sangat dipaksakan. Tetapi lumayanlah. Masih dapat dia berdalih. Kalau lidah seakan beku sehingga tak dapat berkata lagi, itu baru betul-betul parah.

Raden Sulaiman yang hendak memperlihatkan, bahwa tiada manusia melebihi ilmu sihirnya di Lubuklinggau dan merasa wajib membalaskan kemati-an muridnya Maribun, mengerahkan seluruh kepandaiannya. Patung-patung dari kayu dan batu yang mewakili dewa-dewa yang turut jadi sumber kekuatannya dimandikan dengan air tujuh macam bunga dan tujuh warna benang. Asap kemenyan putih yang pernah ditanam tujuh kali tujuh malam di bumi pekuburan non Islam menggantung di dalam ruangan kerjanya yang tidak terlalu besar. Dengan penuh hormat dan khidmat ia menyembah patung-patung yang dipertuannya itu, mohon kekuatan yang dapat mengalahkan segala kekuatan yang mungkin dimiliki oleh seorang anak manusia.

Selesai melakukan upacara sembah. Raden Sulaiman menghadapi sebuah boneka dari kain-kain perca buatan sendiri, sangat sederhana. Baginya boneka ini tak lain dari orang yang akan jadi sasarannya. Erwin, si pendatang yang tak tahu diri dengan membawa harimaunya, la tak dapat dikenakan hukuman karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melanggar hukum.

Selesai menghadapi boneka kain yang dipegangnya dengan kedua belah tangan di hadapan mukanya, ia meludahi sang boneka lalu melemparkannya ke atas untuk kemudian jatuh kembali di atas tikar tempatnya bekerja.

Kalau kita melihat Erwin di kamarnya, akan tampak bahwa ia

mengaduh lalu mengerang-ngerang di lantai. Badannya sama sekali tidak terangkat, tetapi ia merasa seperti dibanting dengan seluruh kekuatan. Kira-kira seperti dibanting gajah yang murka atas penduduk, karena hutannya dibabati sehingga ia tak punya makanan lagi.

Datuk yang duduk di luar kamar karena tidak dibenarkan masuk, kalau Erwin sedang bekerja, tidak mengetahui apa yang sedang terjadi atas diri sahabatnya yang manusia harimau itu, tetapi seakan-akan tanpa sebab, pikirannya jadi kacau. Seolah-olah terjadi sesuatu atas diri sahabatnya.

Erwin yang sudah tahu dengan siapa ia berhadapan, mengeluarkan segenap kepandaiannya, tetapi tak urung ia merasa seperti sedang dicambuk dengan cemeti, la merasa sangat sakit, padahal ia punya ilmu untuk tidak merasakan sakit walaupun dipukul beramai-ramai. Erwin tahu bahwa lawannya sedang mencambuk dirinya dan ia tak kuat melawan akibat dari cambukan itu. Dan sebenarnyalah Erwin tidak keliru. Tatkala ia merasa dirinya di-cemeti. Raden Sulaiman memang sedang melecut boneka kainnya dengan tujuh batang lidi daun aren (enau) yang diikat menjadi satu. la sudah siap untuk menenggelamkan boneka itu ke dalam ember berisi air cabai, ketika ia mendadak terkejut karena mendengar dengkur keras yang dikenalnya sebagai dengkur babi. Ketika Raden Sulaiman menoleh, memanglah ia melihat seekor babi hutan dengan taring-taring panjang, menandakan ia sudah sangat dewasa. Karena kedatangan seekor babi ke dalam kamarnya yang tertutup sama sekali diluar dugaan atau khayalan ia mengetahui, bahwa lawannya yang barangkali sedang sekarat telah mengirim babi hutan piaraannya. Bangsat busuk itu rupanya bukan hanya memelihara harimau tetapi juga celeng hutan yang terkenal ganas. Para peladang yang terbiasa pulang lewat senja, lebih mungkin akan diserang oleh babi hutan daripada diterkam oleh harimau. Walaupun di mana ada babi hutan boleh dipastikan ada harimau, karena babi sangat disenangi oleh nenek belang untuk jadi santapannya.

"Pergi kau jahanam," bentak Raden Sulaiman sambil membaca-

baca doanya yang biasanya sangat ampuh.

"Anda bukan Tuan-rumah yang baik. Aku baru tiba sudah diusir. Tak menghargai tamu!" kata Ki Ampuh dengan nada kelakar.

Mendengar babi bicara. Raden Sulaiman segera mengerti, bahwa yang punya sangat tinggi dalam ilmu atau babi ini binatang siluman yang setelah selesai dengan maksudnya akan menjadi manusia kembali. Dan Raden Sulaiman bertekad untuk merubah babi ini jadi tikus yang tak punya daya apa pun.

"Jangan, sia-sia maksud Anda mau menikuskan aku!" ujar Ki Ampuh.

"Siapa majikanmu?" tanya Raden Sulaiman. "Si bangsat Erwin itu?"

"Anda terlalu sombong penyihir. Mula-mula mengusir aku, kemudian hendak membuat aku jadi tikus dan barusan kau menganggap aku sebagai budak seseorang!"

Melihat kepandaian si pendatang aneh yang tak diundang dan sangat tidak disukainya itu, Raden Sulaiman berusaha menahan diri. Yang begini lebih baik dilemahlembuti daripada dihina dengan kata-kata kasar.

"Bagaimana kalau kita bersahabat, sebab tak ada sebab bagi kita untuk bermusuhan. Bertemu pun kita baru sekali ini. Anda dari mana? Tinggal di sekitar sini juga?" tanya Raden Sulaiman.

Ki Ampuh mengecilkan matanya yang memang sudah kecil itu untuk mengejek Raden Sulaiman yang diketahuinya sedang menjalankan muslihat.

"Siapa bilang tidak ada urusan di antara kita. Memusuhi Erwin sama artinya menantang aku. Karena dia saudaraku," kata Ki Ampuh, la bangga mengucapkan kata-kata itu, karena Erwin punya nama dan wibawa.

"Aku mengusulkan persahabatan. Tetapi walaupun begitu tentu terserah kepadamu."

"Aku senang dengan kalimat Anda itu. Kita sudah tak mungkin bersahabat. Aku datang untuk bertarung denganmu Raden. Kuharap dapat mene-waskanmu yang tak berguna bagi masyarakat."

0odwo0

TIGAPULUH SATU

BERBEDA dengan Maribun yang muridnya. Raden Sulaiman mempunyai ilmu untuk menghadapi harimau, yang belum diturunkannya kepada Maribun. Oleh tenaganya inilah maka Erwin merasa dirinya seperti dibanting-banting, ketika penyihir kawakan itu membanting boneka kain yang telah diludahinya. Dengan peludahan ia menanggalkan ilmu Erwin. Pembantingan dihentikan karena kedatangan babi hutan yang diluar dugaannya. Jiwa Raden Sulaiman tergetar, karena baru kali ini ia menghadapi babi yang tampaknya bertekad untuk bertanding dengan dirinya. "Engkau Raden Sulaiman," katanya kepada dirinya, "takkan engkau akan sudi digertak atau ditundukkan oleh seekor siluman hina yang babi ini. Kalau hanya babi biasa, dengan memandanginya saja ia akan memperoleh kemenangan. Si babi takkan mampu menghadapinya. Tetapi yang ini pasti bukan babi biasa, la tahu semua maksud dan apa yang sedang dikerjakan oleh sang penyihir yang tak mau diajak berkompromi itu. Belum pernah menghadapi babi siluman tidak berarti ia pasti kalah, tetapi bagaimanapun ia tidak dapat meramalkan kesudahan dari suatu pertempuran.

"Mana rantai keramatmu?" tanya Raden Sulaiman, karena ia tahu bahwa kekuatan babi siluman biasanya terletak pada rantai yang selalu dibawanya ke mana-mana. Tanpa rantai, seekor babi hutan yang bukan babi biasa tidak akan mempunyai tenaga gaib.

"Tertinggal di rumah," sahut Ki Ampuh. "Tetapi baiklah kukatakan terus terang, bahwa aku tidak memerlukannya. Aku tidak mengandalkan rantai yang hanya benda mati, kawan. Aku mau mem-binasakanmu dalam suatu perkelahian yang spor-tip. Sama-sama bertangan kosong. Aku sekarang mengharapkan hujan dan

kita bertarung di pekarangan rumahmu, supaya meninggalkan bekas yang akan jadi pembicaraan masyarakat selama berhari-hari. Kau usahakanlah membunuh aku, supaya bangkaiku tergeletak di lumpur, difoto oleh para reporter yang ada di sini. Aku tahu kau kebal senjata tajam dan peluru Raden. Aku tak tahu apakah kau juga kebal terhadap taring-taringku!"

Raden Sulaiman geram mendengar kesombongan sang babi, tetapi disamping itu ia juga agak lega. Kesombongan bicara biasanya hanya dilontarkan mereka yang tak seberapa ilmunya. Kira-kira si penantang ini pun semacam itulah. Hanya besar mulut! Pemilik ilmu tinggi biasanya merendahkan diri.

"Siapa namamu binatang haram!" tanya Raden Sulaiman.

"Ki Ampuh, Raden. Bisa berjalan di atas air," katanya menyombongkan diri. Padahal ia berjalan di atas air karena kebolehan Datuk nan Kuniang ketika ia bersama Dja Lubuk dan Erwin dulu dibawa merantau ke Sumatera. Bagi pembaca yang telah mengikuti kisah Ki Ampuh dengan berbagai petualangannya, keangkuhan makhluk berilmu ini bukan hal yang baru. Kesombongan itu telah berkali-kali harus ditebusnya dengan kekalahan, tetapi dasar dia memang tebal muka, sifat buruknya tidak pernah hilang dari dirinya, walaupun dia telah berubah jadi binatang berderajat sangat hina setelah dimakan oleh sumpahnya sendiri.

"Dari siapa Anda mengetahui namaku?" tanya Raden Sulaiman.

"Nama penyihir terkenal sampai ke Jawa. Lagi pula aku tidak akan mendatangi seseorang sebelum aku melakukan penyelidikan tentang dirinya. Dan aku tidak akan melangkahkan kaki ke mari, kalau Anda tidak berniat mau menjahili sahabat yang sudah menjadi saudaraku itu!"

Hati Raden Sulaiman yang semula senang sekali karena dikatakan terkenal sampai ke Jawa, kemudian jengkel lagi mendengar keangkuhan Ki Ampuh yang senang menunjukkan kehebatannya.

Tanpa disangka oleh Raden Sulaiman, cuaca yang tadi begitu bagus telah berubah dengan runtuhnya hujan yang berangsur-angsur jadi lebat. Apakah karena Ki Ampuh mengharapkannya, pikir Raden Sulaiman. Timbul kekaguman di dalam hatinya. Barangkali babi ini memang punya kekuatan luar biasa gaib yang dapat membuat hujan, la tahu akan adanya orang-orang pandai yang mampu mendatangkan dan menghentikan hujan.

"Anda hebat, pandai memanggil hujan," kata Raden Sulaiman.

"Ya begitulah. Hanya ilmu kecil," kata Ki Ampuh, tanpa malu-malu, walaupun dia tahu bahwa hujan itu bukan turun karena ilmunya. Raden Sulaiman heran juga mendengar Ki Ampuh pandai juga merendahkan diri dengan mengatakan, bahwa ilmunya itu hanya kepandaian kecil saya. Dia lebih heran ketika babi itu berkata, "Aku tahu Raden pu nya kepandaian yang jauh di atasku. Hujan itu turun karena Anda tidak membendung ilmuku. Kalau Anda pasang penangkal ilmuku yang hanya secuil itu pasti hujan itu tak kan turun. Babi ini menyindir, atau betul-betul menyangka bahwa Ki Ampuh sanggup menggagalkan ilmunya kalau ia mau. Bagaimanapun ada juga perasaan enak sedikit.

"Bagaimana, kita turun sekarang. Supaya Anda lekas membinasakan aku, atau aku yang menewaskan Raden. Sama-sama keluar hidup dalam keadaan luka-luka takkan mungkin. Apalagi di Lubuk-linggau yang amat kecil ini. Sudah tentu tidak cukup ruangan untuk kita berdua," ajak Ki Ampuh.

"Sayang, salah satu di antara kita harus tewas. Padahal kita mempunyai kelebihan dari makhluk lain," kata Raden Sulaiman.

"Hendaknya Andalah yang menang, sebab Anda manusia yang dapat bergaul dengan sesama manusia. Dapat menikmati hidup. Sedangkan aku, hanya babi yang tak kan bisa bermasyarakat dengan manusia. Sayang, kalau Anda tak dapat membunuhku, karena aku akan terpaksa menamatkan riwayat Anda, demi sahabatku si manusia harimau. Anda harus melihatnya waktu dia mengharimau.

Raden Sulaiman bertanya, apakah dia berjalan atas dua kaki tatkala menjadi harimau? "Berapa banyak harimau yang dikuasainya?" tanyanya.

"Dia sendiri sudah manusia harimau. Semua harimau di rimba takluk di bawah kekuasaannya. Dia dapat memanggil mereka dan memerintahkan apa saja. Dia lah manusia yang harimau, yang raja dari seluruh harimau." Ki Ampuh senang menghebat kan diri sahabatnya itu.

"Aku ingin bertemu dengannya ketika ia meng harimau!"

"Aku kuatir, sudah tidak ada tempo Anda untuk itu," kata Ki Ampuh sambil tertawa mengejek. Babi siluman ini mempunyai multi-sifat, pikir Raden Sulaiman. Angkuh, sinis, tahu diri, takbur tetapi juga punya kesetiaan besar terhadap kawan.

0odwo0

Ketika hujan turun. Mayor Polisi Buang menjadi gugup, la teringat kepada Maribun yang pergi dari rumahnya dalam keadaan hujan bersama seorang manusia dan satu makhluk berkaki dua, kaki harimau. Erwin tidak turut hadir makan bersama mereka. Pada hari syukuran begitu sepantasnya Erwin turut hadir. Bukankah dia yang telah mengobati dan menyembuhkan Dinar. Oleh hal itu Mayor Buang yang menaruh curiga kian besar terhadap diri Erwin bertanya pada dirinya, apakah di waktu hujan ini ia ke rumah Raden Sulaiman dan melakukan apa yang mungkin dilakukannya pada malam hujan serupa ini terhadap diri Maribun.

Tak kuat menahan keinginan tahu. Mayor itu bertanya, ke mana Erwin, mengapa tidak diajak serta. Oleh Kahar diterangkan, bahwa ia memang sengaja tidak mengajaknya dalam pemanjatan doa syukur itu, karena hendak membuka kesempatan kepada atasannya itu dalam menjalankan usahanya menangkap pembunuh Maribun.

"Apakah aku boleh bertemu dengannya, kalau ia ada di rumah sekarang?" tanya Mayor Buang. Kapten Polisi Kahar terkejut tak menyangka akan dapat permintaan seperti itu. Tetapi dia menyatakan bahwa Erwin tentu akan senang sekali bila merasa

diperhatikan oleh seorang berpangkat seperti Pak Mayor.

Kahar segera pergi ke kamar Erwin yang terletak di luar bangunan utama. Yang demikian atas permintaannya sendiri. Menolak tinggal di sebuah kamar yang letaknya di sebelah kamar tidur Erwin yang tersedia untuk tamu-tamu yang masih keluarga atau tamu yang dihormati.

Melihat Datuk duduk di sebuah kursi di luar kamar. Kahar menduga dengan benar, bahwa orang kelihatan kampungan tetapi berilmu tinggi itu sedang mengerjakan sesuatu.

Datuk menceritakan, bahwa tadi ia mendengar suatu suara agak kuat, tidak tahu suara apa, tetapi kemudian keadaan terus senyap, la meminta agar Kahar mengetuk pintu, karena ia curiga. Erwin tentu sedang bertarung dengan lawannya. Bagaimanapun kuatnya seseorang kita tidak dapat memastikan bahwa ia menang, karena selalu saja ada seseorang yang kemudian ternyata mempunyai kelebihan. Kalau tidak dalam semua, maka di dalam satu atau dua hal. Dan kelebihan yang sedikit itu justru yang kadang-kadang tidak bisa dihadapi oleh seseorang yang punya banyak ilmu. Dalam dunia ilmu gaib dan mistik tidak ada juara. Mungkin ada dukun atau penyihir yang terkenal sebagai yang paling hebat di kampungnya atau di daerah yang terbatas. Tetapi pasti tidak dapat dikatakan begitu, kalau sudah meliputi sebuah kawasan luas. Kabupaten, Propinsi apalagi sebuah pulau besar atau negara.

Kapten Kahar mengetuk pintu pelan-pelan, karena dia punya kekhawatiran seperti yang dirasakan Datuk. Tidak ada sahutan Kapten Kahar mengetuk lagi pelan-pelan yang disambut oleh suara lemah dari dalam. Setelah menyebutkan nama, Erwin memintanya supaya masuk. Lampu yang terpasang terang, membuat Kahar segera melihat Erwin sedang terbujur di lantai. Datuk ikut masuk.

"Mengapa?" tanya Kahar.

"Aku dibantingnya," kata Erwin meringis. "Hebat guru Pak Maribun itu. Tetapi tidak apa. Malah baik bagiku." Erwin tersenyum, mengaku kalah tetapi tidak ada rasa takut pada wajahnya.

"Siapa yang membanting?" tanya Datuk. Erwin menjawab, lawannya.

"Apa yang dapat kulakukan?" tanya Datuk yang ingin berbuat sesuatu bagi sahabatnya.

"Tenang-tenang dan kita lihat perkembangan. Ada Pak Mayor ya Pak Kapten?" tanya Erwin. Perwira itu menyampaikan keinginan sang Mayor Polisi, tetapi juga mengatakan bahwa bagaimana mungkin, karena Erwin pun kelihatannya agak sakit. Tetapi Kahar juga yang kemudian mengatakan, bahwa ia akan mengajak Pak Mayor ke kamar Erwin, kalau disetujui. Erwin mengatakan, bahwa itulah yang terbaik. Kapten Kahar dan Datuk tidak mengerti mengapa Erwin mengatakan, bahwa itulah yang terbaik.

Pak Mayor senang mendengar Erwin sakit. Suatu kemenangan, pikirnya. Memang tepat, la juga senang, karena akan bisa melihat keadaan lingkungan Erwin. Apakah di sana ada pemandangan dan keadaan yang lain, yang aneh, yang menyeramkan.

Kamar Erwin biasa saja. la sengaja tidak naik ke ranjang, walaupun ia sudah mampu. Rasa sakitnya sudah hilang, sebab Raden Sulaiman tidak meneruskan tembakannya setelah Ki Ampuh berada di sampingnya.

"O, Pak Mayor. Terima kasih atas kedatangan Bapak!" kata Erwin ramah, tetapi tidak menyembunyikan sisa sakit yang masih dirasakannya.

"Sakit apa?" tanya Pak Mayor, la ingin dengar jawaban dukun yang banyak tahu tentang harimau itu.

"Kena banting!" jawab Erwin. Senang tetapi juga perasaan aneh menyergap sang Mayor.

"Banting bagaimana, siapa yang banting. Ada penjahat masuk?"

"Tidak Pak Mayor. Dibanting orang pandai itu. Guru Pak Maribun, yang mungkin punya sangkaan atas diri saya." Mendengar jawaban polos tetapi juga memperlihatkan bahwa Erwin mengetahui banyak tentang apa yang tidak diduga Mayor Buang, Perwira yang sedang

mengatur pengepungan di seputar rumah Erwin, terdiam. Dia terperanjat dan merasa mukanya pucat, ketika Erwin bertanya, apakah Mayor Buang sedang melakukan pengepungan atas rumah Kapten Kahar untuk menangkap si harimau, la sengaja menyebutkan "rumah Kapten Kahar" untuk menimbulkan reaksi yang lebih baik atas diri orang itu.

"Saudara Erwin mau menolong?" tanya Mayor Polisi Buang.

"Menolong bagaimana, badan saya masih sakit-sakit oleh bantingan Raden Sulaiman." Kapten Kahar sesekali mengerling ke arah Buang untuk melihat bagaimana sikapnya. Sesekali mata mereka bertemu, sehingga Mayor Polisi Buang merasa kurang enak. Tetapi ia coba menyembunyikan dengan pernyataan ingin kenal lebih dekat dan kalau boleh belajar dari Erwin. Dikatakannya, bahwa ilmu itu pada waktu-waktu tertentu mungkin perlu bagi seorang Perwira Polisi. Sekurang-kurangnya tidak ada ruginya, kata Mayor Polisi Buang.

Dengan ngomong-ngomong itu. Mayor Polisi Buang dan Kapten Kahar jadi lumayan lama di kamar Erwin. Pikiran sang Mayor tidak seluruhnya tertumpah pada masalah Erwin yang sudah dipukul hingga terkapar oleh Raden Sulaiman, la ingin tahu apakah harimau piaraan Erwin masih juga mampu mendatangi atau bertarung dengan Raden Sulaiman setelah majikannya tidak berdaya. Kalau Erwin yang jadi harimau, maka sudah pasti tidak bisa keluar. Dia ada di depan Buang.

Oleh perkiraan inilah, maka Mayor Polisi Buang terkejut tidak kepalang tanggung, ketika ia mendengar beberapa letusan yang keluar dari senapan anak buahnya. Jika begitu harimau itu toh ada. Matikah dia?

"Apa itu?" tanya Pak Mayor yang agak bingung.

"Anak buah Bapak barangkali. Bukankah mereka diperintahkan mengintai dan menangkap sang harimau?" kata Erwin lemah. Sesakit itu dia, masih juga mampu menyindir seorang Perwira Menengah Polisi.

Mulai bertanya Mayor Polisi itu kepada dirinya, apakah mungkin Erwin sama sekali tidak terlibat. Dan bahwa dia sebenarnya tidak punya pertahanan hebat, sehingga dapat dibanting dari jauh oleh Raden Sulaiman. Lalu yang menghitam dan kemudian memerahdarahkan air dalam mangkuk Raden Sulaiman siapa?

Mayor Polisi itu bangkit, karena tahu bahwa anak buahnya tentu akan melapor, la sangat ingin tahu, tewaskah harimau itu?

0odwo0

TIGAPULUH DUA

SEORANG Pembantu Letnan yang mengepalai regu itu sudah berada di luar pintu rumah Kapten Kahar. Melihat Komandannya datang, ia yang bernama Mat Amin memberi hormat, siap melapor. Tetapi baru saja ia memulai. Pak Mayor sudah lebih dulu bertanya, apakah harimau itu tertangkap mati hanya luka-luka ataukah sempat melarikan diri.

Dia juga berkata, "Kalau ia lari, katakan saja lebih dulu, jangan belakangan baru dikatakan, bahwa harimau itu melarikan diri."

"Bagaimana!" kata Mayor Polisi itu setengah bertanya setengah menghardik.

"Tidak ada harimau yang lari. Pak!" kata Mat Amin.

"Bagus. Jadi tertangkap. Hidup atau mati!"

"Rupanya Pembantu Letnan itu jadi gugup, terdengar dari kalimatnya yang terbata-bata, "Tidak ada harimau. Pak!"

Tampak jelas muka Pak Mayor memerah dan hampir gemetar dia berkata, "Tidak ada harimau?

Jadi apa yang kalian tembak? Hanya maling?"

"Bukan Pak. Babi!" kata Mat Amin.

Pak Mayor tak percaya pada pendengarannya dan dengan suara

berang ia berkata, "Babi! Babi?"

"Iya, Pak," sahut Mat Amin menegaskan.

"Kapten dengar itu," katanya kepada Kapten Kahar seperti orang cari teman untuk memihak pendapat dan pendiriannya. "Mereka menembak babi." Dan kepada Mat Amin dia berkata, "Mata kalian sudah buta. Mana ada babi di dalam kota ini. Babi mak mu!" Dia naik pitam merasa seperti anak buahnya tidak becus. Ataukah mereka sepakat mempermainkan dia. Mungkin! Hari hujan lebat, dia senang-senang makan di dalam rumah, anak buah berhujan-hujan menantikan harimau yang mendebarkan jantung, tetapi tidak pernah muncul.

Setelah agak hening dan Mayor itu belum juga menyuruh Mat Amin berkata "Maaf, Pak. Yang kami lihat dan tembak itu benar-benar babi. Kelihatan badannya besar dan taringnya panjang. Babi hutan, jelas babi hutan. Barangkali juga babi berantai!"

"Kapten percaya itu?" tanyanya kepada sang Kapten.

"Kalau kemarin ada harimau membunuh Pak Maribun, menurut hemat saya babi juga mungkin masuk kemari. Jangan-jangan harimau kemarin mengejar babi besar itu, tetapi karena tak bersua maka dia mengambil Pak Maribun sebagai gantinya!" kata-kata Kahar tak enak didengar. Jangan-jangan dia ini pun mengejek dirinya.

Mayor Polisi itu coba menurunkan kadar panasnya. Katanya, "Babi itu pasti mati, kalau betul kalian menembak babi?"

"Menembak babi itu jelas. Pak, tetapi ia lari!"

"Babi saja pun tidak dapat kalian robohkan!" Mat Amin diam.

"Barangkali babi siluman," kata Mat Amin.

Dalam pada itu Erwin sudah datang menyertai mereka, ingin tahu apa atau siapa yang ditembak dan bagaimana nasib korban. Setelah diketahui bahwa yang ditembak para polisi itu babi hutan besar tetapi tidak sampai tewas, jelaslah bahwa yang pegang peran utama

itu tak lain daripada Ki Ampuh yang menggalangkan nyawanya untuk keselamatan Erwin.

"Barangkah orang pandai itu melepas babi hutannya. Untuk memberi tahu kepada yang berkepentingan bahwa dia bukan hanya memiliki harimau. Barangkali dia juga mempunyai gajah suruhan yang dapat diperintahnya untuk merobohkan beberapa rumah untuk menimbulkan kepanikan lebih besar di kota ini." Cerita tentang gajah itu jadi menarik hati Mayor Polisi Buang, karena beberapa hari yang lalu memang kelihatan serombongan gajah termasuk tiga ekor anak, menyeberang jalan. Daerah luar Lubuklinggau terus ke Jambi dan Bengkulu memang terkenal sebagai tempat pemukiman gajah dan harimau. Sebelum ada penebangan kayu secara serampangan, mereka tentram di sana. Gangguan terhadap penduduk jarang terdengar. Sekarang sudah lain. Dibanyak tempat dalam kawasan Sumatera Selatan sampai ke Lampung gajah dan harimau banyak yang marah karena tempat mereka telah digusur oleh manusia-manusia yang mereka ketahui punya otak, tetapi sekarang tidak lagi selalu baik mempergunakannya karena sudah terlalu dirajai oleh nafsu loba dan tamak yang pada beberapa banyak orang sudah tidak lagi mengenal batas. Walaupun mereka sangat tahu, bahwa yang mereka bawa pada waktu mati hanya lima meter kain putih dan beberapa keping papan untuk dibenamkan ke dalam lubang yang bagi si kaya dan miskin sama saja, sekitar satu kali dua meter. Perbedaan hanya terletak pada cara penguburan, ramainya yang mengantarkan untuk kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tidak dapat mengawani atau membantu si mati yang akan menerima siksa kubur. Orang ber-Tuhan tahu ini, tetapi kita pun sudah tidak berani menaksir berapa persen lagi orang yang benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa. Dalam praktek, dalam amalan! Kalau sekedar ngomong sih gampang, semua juga ngaku berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.

Setelah memerintahkan para pengepung untuk kembali ke Markas, Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah ia tidak ingin berkenalan dengan orang yang kata Erwin tadi telah membantingnya. Kapten itu sangat menerima baik ajakan itu,

karena dia juga ingin mendengar suara dan kata-kata orang sangat hebat itu. Kalau seorang pandai dapat membanting musuhnya dari jauh yang hasilnya sama saja kalau dia membanting secara yang biasa, tentunya orang itu hebat sekali.

Hujan hanya tinggal gerimis. Kedua Perwira itu berangkat menuju rumah Raden Sulaiman dengan menumpang jeep yang digunakan Pak Mayor.

"Hebat sekali kawan Pak Mayor itu," kata Kapten Kahar. "Mengapa Erwin tadi tidak diajak, supaya minta damai dengan orang yang sudah terang punya kepandaian jauh di atas dirinya?"

"Betul juga, aku tadi tidak ingat."

Setelah dekat dengan rumah Raden Sulaiman, terdengar suara tangis seperti meratap. Tangis khas terhadap orang kesayangan yang mendahului, meninggal. Di depan rumah ada beberapa orang memandangi sesuatu yang belum jelas.

Jantung Mayor Buang berdebar. Siapa yang dapat kecelakaan? Tak mungkin Raden Sulaiman. Mungkin anaknya atau salah seorang anggota keluarga yang lain.

Tetapi setelah turun dari jeep dan mendekati orang-orang itu jelaslah, bahwa yang mati bukan lain daripada Raden Sulaiman. Mayatnya belum diangkat atas nasihat beberapa orang agar diperiksa oleh Polisi lebih dulu. Kejadian ini mirip dengan apa yang telah menimpa diri Maribun. Bedanya hanya yang memangsa. Kalau Maribun dibunuh harimau dengan cekikan, maka yang gurunya ini ditewaskan dengan serudukan taring. Jelas benar kelihatan. Ada beberapa luka yang sampai mengoyak dagingnya. Di paha, di perut, di rusuk. Juga di dada. Rupanya mereka bergelut. Yang paling aneh adalah tusukan taring pada lehernya. Kuku harimau yang menyebabkan kematian Maribun. Sekarang tampaknya taring yang membawa maut bagi Raden Sulaiman. Melihat jejak-jejak yang kelihatan jelas di tanah yang becek itu, lawan Raden Sulaiman adalah seekor babi hutan. Kalau bertaring sekuat dan sepanjang itu pastilah babi hutan yang sangat besar. Semua ini sedikit pun tidak

diduga oleh Mayor Polisi Buang. Dia hanya memperhitungkan harimau, entah harimau apa. Bisa harimau liar, bisa harimau piaraan, bisa juga harimau manusia atau manusia harimau. Mengapa jadi babi yang menewaskan Raden Sulaiman.

la juga malu kepada dirinya sendiri, karena ia tadi tidak percaya kepada laporan Pembantu Letnan Polisi Mat Amin. Dia malah menghardiknya sebagai orang yang tidak punya mata.

Karena Polisi memang sudah dipanggil, maka tak lama kemudian mereka datang. Melihat Mayor Polisi Buang sudah ada di sana. Begitu pula Kapten Kahar, la sendirilah yang yakin, bahwa Erwin tidak terlepas dari kejadian ini. Tetapi dari manakah datangnya babi itu? Apakah piaraan Erwin pula? Yang turun langsung ke lapangan untuk menyelamatkan majikannya yang dibanting dari jauh oleh orang pintar itu?

"Sangat ajaib. Kapten. Selama saya jadi Polisi belum pernah mengalami yang begini. Membaca cerita begini pun saya tidak pernah. Andaikata ada buku yang berkisah begini saya tidak akan percaya. Sekarang saya sendiri mengalami. Rupanya segala macam mungkin saja terjadi diatas dunia ini.

"Memang begitu. Mayor," kata Kapten Kahar. "Bukankah IA Maha Kuasa dapat menciptakan atau melakukan apa saja dengan kekuatan yang tiada terbatas. Sebetulnya saya sangat ingin tahu, dari manakah atau milik siapakah babi ini. Mengapa bukan harimau ajaib itu yang menghadapinya.

"Mungkinkah sahabat Kapten itu? Di belakang rupanya yang tidak meyakinkan apa-apa, tersembunyi berbagai ilmu yang kita tidak mengerti. Dalam tiga hari ini kita sudah melihat dua kejadian yang amat mengherankan. Apakah antara kedua kejadian ini ada kaitan?"

"Saya tidak membela. Tetapi saya rasa Erwin tidak mungkin. Bukankah kita lihat dia di rumah dan dia sendiri mengakui, bahwa dia telah dibanting oleh Raden Sulaiman?" kata Kahar.

"Aku tidak menuduh dia, tetapi apakah tidak mungkin semua ceritanya tentang dibanting itu hanya suatu muslihat tinggi dari

orang sangat lihay!" kata Mayor Polisi Buang.

"Yah, bisa jadi. Apa pendapat Pak Mayor tentang jejak-jejak babi dan babi hutan besar yang dilaporkan oleh para pengepung yang dipimpin Mat Amin?" Buang diam. Kemudian mengatakan juga, tidak punya pendapat apa-apa tentang itu.

Setelah diperiksa di tempat kejadian, mayat .Raden Sulaiman dikirim ke rumah sakit. Guna diperiksa secara ilmiah, benarkah dia diseruduk babi hutan.

Pada keesokan paginya ada orang melihat kuburuan yang dibongkar. Kebetulan kuburan Maribun yang baru beberapa malam di dalam perut bumi dari mana dia semula berasal. Masyarakat pun gemparlah. Termasuk Erwin dan Ki Ampuh, karena mereka memang benar-benar tidak tersangkut di dalam perbuatan ini. Untunglah bekas kaki di sekitar tempat itu semua telapak kaki manusia. Ada dua orang penggali. Mayat dikeluarkan. Ditinggalkan berbaring di sana dalam keadaan bugil. Kain pembungkus diambil. Rambutnya juga diambil, sehingga mayat itu gundul. Hampir semua mulut mengatakan, bahwa yang bongkar pasti orang-orang yang sedang menuntut ilmu dan kata putus harus dengan syarat rambut dan kain kafan mayat orang berilmu yang masih baru.

Mungkin pembongkaran itu terjadi pada waktu Raden Sulaiman bertarung dengan Ki Ampuh, yang ternyata tak dapat ditewaskannya. Sesuai dengan janji, maka Raden Sulaimanlah yang binasa. Keluarga Raden Sulaiman geger dan bingung setelah mengetahui makam Maribun dibongkar dan mayatnya digunduli. Mereka sangat khawatir. Raden Sulaiman akan menerima nasib yang sama, sebab yang dibongkar para penuntut ilmu hitam itu hanyalah kuburan orang-orang berkepandaian tinggi. Mayat biasa ada juga yang dibongkar. Hanya untuk ilmu pekasih. Tanpa menyiksa mayat yang sudah dikubur pun orang dapat menuntut ilmu pekasih untuk dikasihi oleh hampir semua orang. Hanya orang yang mempunyai ilmu yang sama tak dapat ditundukkannya.

Pada pagi itu juga Ki Ampuh mendatangi Erwin di kamarnya tanpa dilihat oleh siapa pun. Untuk itu ia tidak usah khawatir ia tidak

akan tampak oleh mereka yang ingin dihindarinya.

"Kau hebat Ki Ampuh. Tanpa kau aku tentu sudah tiada, la punya kepintaran tinggi." Erwin lalu menceritakan apa yang dialaminya pada malam yang lalu. Pada ujungnya ia bertanya di mana Sabrina. Ki Ampuh menggoda. Katanya Erwin masih cinta kepada Sabrina. Dan Erwin tidak mengelak walaupun tidak mengiyakan. Ki Ampuh menceritakan, bahwa menurut Sabrina, Mayor Polisi Buang juga seperti ada perhatian lain terhadap dirinya.

"Apa kata Ina?" tanya Erwin.

Jawab Ki Ampuh," Katanya Mayor itu ganteng juga. Semenjak ditinggalkan istri ia menduda." "Untuk nanti dibunuhnya, kalau ia bosan atau benci!" kata Erwin.

"Lebih baik kau ambil dia. Kalian berdua pasti cocok," kata Ki Ampuh yang mengetahui cinta kasih yang pernah ada di antara dua makhluk yang sama-sama punya harimau di dalam diri mereka.

Erwin lalu bercerita tentang Mei Lan. Dia berjanji untuk kembali dan mengambilnya.

"Tetapi Sabrina kemari karena kau Erwin. la ingin kau selamat dan sudah mengatakan bersedia tinggal di kampung kecil saja meneruskan dan menamatkan hidup yang tidak seberapa panjang ini."

Erwin tidak memberi reaksi. Meskipun pada hari-hari pembuatan riwayat hidupnya di Lubuklinggau terjadi bencana-bencana yang menyangkut dirinya, pikirannya selalu dimasuki Mei Lan. Kalau semula ia hanya kasihan kepadanya, kini sudah tidak hanya itu saja lagi. la merasa adanya alasan yang layak untuk membahagiakan gadis itu dengan mengawininya. Memang rasa sayang itu tidak mulus begitu saja. la masih dihantui pula oleh tanda tanya, apakah benar ia dapat membahagiakan anak bercampur darah asing itu. Apakah benar? Ataukah hanya kebahagiaan sementara untuk kemudian di rusak oleh bencana yang tidak terbayangkan sekarang, tetapi selalu menyelingi hidupnya?

Lubuklinggau membawa lebih banyak bencana daripada kota-kota besar yang sudah pernah dikunjungi. Dijahili, dikepung dengan satu tujuan. Menangkap hidup atau menembak mati dirinya. Dia mengobat hati dengan adanya beberapa orang yang dengan izin Tuhan dapat disembuhkannya.

la meninggalkan kota Lubuk petaka itu ke Palembang. Tidak seperjalanan dengan Sabrina dan Ki Ampuh, tetapi setujuan dan sesuai mufakat. Yang ditinggal antara lain dua keluarga penyihir yang berurai air mata dengan hati dendam, mayat sahabat seperjalanan Sutan Mangkuto dan Dinar yang menanggung cinta tak bersambut.

la bertanya-tanya pada dirinya apa lagi yang menanti dirinya. Apakah ia akan mati oleh kepungan?

0odwo0

TIGAPULUH TIGA

SEBAGIAN perjalanan ke Palembang ditempuh Erwin dan Datuk dengan jalan kaki. Bukan karena tiada biaya, tetapi untuk selalu mendekatkan diri dengan alam. Selama perjalanan mereka makan di warung-warung kecil. Beberapa kali bertemu dengan binatang rimba, tetapi tak ada yang mengganggu. Ada induk harimau yang menyeberang jalan dengan dua anaknya. Yang amat mengesankan dan menyenangkan adalah melihat persahabatan antar hewan. Dua ekor harimau dewasa jalan seiring dengan seekor gajah besar yang taringnya sedikitnya sudah satu meter panjangnya. Ada gambar-gambar di dalam buku memperlihatkan pertarungan antara gajah dengan harimau. Mati-matian. Masing-masing punya senjata ampuh untuk menyerang dengan tujuan menewaskan mangsanya. Tetapi sepasang harimau dan gajah besar —mungkin gajah tunggal— ini jelas sangat bersahabat dan akrab. Mereka bukan sekedar berlainan suku. Mereka berlainan jenis, tetapi bermukim di dalam satu wawasan.

Persamaan tempat bisa juga membuat mereka bersahabat.

Tetapi persamaan tempat juga bisa membuat hewan saling bermusuhan. Yang kuat selalu mengintai yang lemah, kalau si lemah merupakan makanan bagi penyambung hidup si kuat. Misalnya antara kijang, rusa atau babi dengan harimau. Tidak akan pernah bersahabat karena semua hewan makanan manusia itu juga makanan harimau. Walaupun begitu jangan dikira bahwa persahabatan antar mereka tak mungkin sama sekali. Ada anak harimau masih bayi yang kehilangan induk, dipelihara oleh rusa atau babi. Sampai dewasa si harimau bukan hanya tidak akan menerkam ibu angkatnya, tetapi akan selalu melindunginya. Dalam hal yang demikian harimau yang anak angkat rusa akan bertarung mati-matian dengan harimau lain yang hendak memangsa ibu atau adik-adik angkatnya. Mungkin tak masuk di akal Anda, tetapi begitulah kehidupan yang sebenarnya di dalam rimba.

Kalau Datuk bukan berjalan bersama Erwin yang tampaknya disegani oleh hewan-hewan buas, ia pasti akan menggigil atau bahkan mati ketakutan. Yang paling mendebarkan hatinya ialah ketika berpapasan dengan harimau jantan besar yang sedang keluar dari belukar hendak menyeberang. Harimau besar tegap semacam inilah yang dengan mudah memangsa lembu. Kalau ia menerkam kerbau, ia masih akan mendapat perlawanan. Ada kemungkinan si kerbau akan tewas, karena urat besarnya diputuskan sang harimau tatkala dia menerkam dan menggigit tengkuknya. Harimau tahu betul di mana letak tempat yang paling vital pada tiap mangsa yang diserangnya. Dan dia selalu memutuskan urat itu sehingga darah mengalir deras dan putuslah hubungan antara otak dengan seluruh tubuhnya.

Harimau jantan itu berhenti, memandangi Erwin dan Datuk yang terus berjalan. Datuk sudah dengan kaki gemetaran. Tidak ada pandangan bersahabat. Tetapi Erwin berkata, "Aku anak Dja Lubuk, cucu Raja Tigor!"

Mendengar itu raja rimba itu berubah. Dari matanya terpancar sinar persahabatan. Tetapi ia tetap berdiri di sana, seolah-olah mempersilakan kedua manusia itu lewat dulu. Ini bukan penyedap

cerita, walaupun barangkali sukar masuk akal Anda. Tetapi kalau Anda ingat dan coba hayati, bahwa di dalam diri Erwin ada unsur-unsur harimau dengan daya pikir manusia, kiranya dapat Anda maklumi, bahwa di antara mereka ada semacam hubungan batin, ada rasa kekeluargaan. Penampilan mereka jauh berlainan, tetapi hal itu tidak dapat menghilangkan adanya unsur yang sama.

"Mendekatkan diri dengan alam banyak sekali faedahnya, Datuk. Kita akan berpikir, berbuat dan berkeinginan sangat sederhana. Sama halnya dengan harimau, gajah atau hewan lainnya di rimba ini. Orang yang jadi manusia alam tidak akan pernah punya nafsu berlebihan. Tetapi akalnya menuntut keadilan dan tidak menyukai adanya perkosaan atas hak-hak orang lain," kata Erwin bertenang-tenang. Datuk mendengarkan dengan perasaan bahagia dan berjanji pada dirinya akan mempraktekkan falsafah hidup seperti itu.

"Tentu saja sebagai manusia kita harus hidup bermasyarakat dan memberikan segala yang mungkin untuk kemajuan kehidupan dunia. Kalau ummat manusia tidak punya nafsu buruk dan jauh dari sifat serakah, maka ia akan menjauhkan diri dari menyakiti sesamanya, tidak pandang suku, bahkan tidak pandang bangsa."

Indah untuk telinga. Tentu indah kalau dapat dilaksanakan.

"Tetapi yang begitu lebih baik dinamakan khayalan, sebab kalau dikatakan cita-cita, maka ia merupakan cita-cita yang tidak akan pernah terwujud," sambung Erwin.

Ketika ia berkata demikian, dengan amat mengejutkan Datuk, di samping mereka telah turut serta seekor babi yang amat besar. Babi hutan liar yang bertaring panjang, la tak melihat dari mana datangnya hewan yang menakutkan ini.

Erwin pun heran, mengapa mendadak Ki Ampuh bergabung. Semula berjanji akan bertemu di Palembang dan setelah Erwin selesai dengan niatnya melamar Mei Lan, mereka akan membuat rencana selanjutnya.

"Maafkan aku Er, aku gelisah. Ingin bersama kalian," kata Ki Ampuh yang lalu diperkenalkan Erwin kepada Datuk.

Erwin tahu apa yang merisaukan hati Ki Ampuh. Orang yang telah berubah jadi babi itu ingin ia memberi bantuan. Yang sudah berkali-kali dipinta-nya tatkala di Jawa, tetapi tak dapat dipenuhinya, karena ia tidak punya kekuatan atau ilmu untuk itu.

"Aku berhutang nyawa kepadamu Ki Ampuh," kata Erwin mengulangi rasa terima kasihnya. Kepada Datuk diceritakannya, bahwa kalau tidak oleh bantuan Ki Ampuh, ia tentu sudah binasa dimakan Raden Sulaiman.

Ki Ampuh juga menceritakan —karena kemarin belum diceritakannya— bahwa Raden Sulaiman sebenarnya punya kekuatan luar biasa oleh ilmunya yang sangat tinggi. Sebenarnya Raden itu sudah menjadi satu dengan ilmunya. Hanyalah suatu kebetulan saja, ia tidak mempunyai kekebalan terhadap taring babi. Begitulah sifat manusia yang bersandar kepada ilmu hitam semata-mata. Bagaimanapun hebatnya, pasti punya satu atau dua kelemahan. Raden Sulaiman kebal hampir sempurna.

Jelaslah bahwa Raden Sulaiman dapat membinasakan Erwin andaikata manusia harimau itu menghadapinya sebagaimana ia mendatangi Maribun beberapa waktu yang lalu. Penyihir itu punya ilmu yang jarang dimiliki orang pintar lain, melihat dalam keadaan tidur. Ada kepandaiannya yang tidak dimiliki Erwin. Dia sendiri pun tidak seperti Erwin, sebab dia manusia biasa, sementara Erwin bukan.

Untuk mempersingkat jalan dan menyatukan diri dengan rimba, Erwin mengajak Ki Ampuh menempuh rimba raya. Datuk turut karena tiada pilihan lain. Dihiburnya diri, bahwa melalui rimba mungkin ia akan melihat lebih banyak dan ia akan jadi manusia yang lebih tahan uji, kalau mereka keluar dengan selamat. Bagaimanapun hebatnya Erwin dan Ki Ampuh, sudah jelas tidak dapat dipastikan, bahwa tidak akan mungkin ada bahaya menghadang.

Sehari perjalanan tidak terjadi sesuatu yang luar biasa. Bertemu dengan beruang, orang utan, harimau dan gajah bukan lagi hal yang aneh, karena sebelum masuk hutan saja pun suaan seiring

dengan hewan-hewan rimba itu. Tetapi pada hari kedua menjelang senja, Erwin dan Datuk menyaksikan apa yang belum pernah mereka saksikan.

Semula mereka melihat seekor harimau besar mundar mandir di suatu tempat yang terbuka, semacam lapangan kecil. Bukan buatan manusia. Mungkin buatan alam ataukah buatan binatang rimba untuk keperluan mereka? Tidak biasanya harimau mundar mandir Apalagi di suatu tempat yang seperti disediakan. Binatang buas hanya mun-dar-mandir dalam kerangkeng, kesal karena tahu bahwa dirinya sudah terperangkap, sudah dikuasai manusia. Anda dapat melihatnya di kebun binatang atau di kandang-kandang harimau, singa, monyet-monyet ganas dan semacamnya yang dibawa oleh sirkus.

Erwin menahan Datuk dan Ki Ampuh untuk melihat keanehan itu dari kejauhan saja dulu. Rupanya si harimau besar tidak menyadari kehadiran mereka. Ataukah dia mengetahui tetapi tidak perduli, karena tidak merasa punya urusan dengan mereka.

Mundar-mandir itu diselingi dengan duduk, kemudian bangkit lagi dan mundar-mandir lagi. Seperti ada yang dipikirkan atau dinantikan. Yang dipikir tak terpecahkan atau yang ditunggu tak juga tiba. Menunggu pacarnya? Mungkin, sangat mungkin. Soal berpacaran bukan monopoli manusia. Ada hewan yang berpacaran dengan amat mengasyikan. Pandai bercumbu dalam menyatakan kasih sayang yang tidak akan pernah berakhir selama nyawa masih ada di dalam tubuh.

Pada suatu saat si raja rimba seperti memasang kuping. Mendengar sesuatu. Yang dinantikannya mungkin. Dari pinggir lapangan kecil itu keluar kepala harimau. Berdiri seperti mengawasi atau melihat medan. Waspada. Yang ini juga harimau jantan, seperti yang sudah lebih dulu menanti di lapangan itu. Kini kedua raja itu saling pandang. Yang baru datang melangkah, pelan, seperti diatur. Setelah seluruh tubuhnya keluar dari belukar, ia berhenti, kemudian duduk.

Erwin dan Datuk, begitu pula Ki Ampuh semakin tegang. Apa

yang akan terjadi? Apa maksud kedua harimau itu? Segala sesuatu berlangsung seperti mengikuti ketentuan. Barangkali memang ada peraturan dan ketentuan di antara mereka.

Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bergerak. Pun tidak ada yang mengaum. Apakah mereka masih menantikan kedatangan yang lain? Apakah ini akan merupakan pertemuan keluarga ataukah pertemuan kelompok yang —kalau diibaratkan manusia— berlainan suku? Erwin semakin tertarik. Setelah menanti agak lama, belukar terkuak lagi dan seekor harimau lain langsung masuk lapangan. Betina. Tidak ragu-ragu seperti harimau jantan yang kedua tadi.

Dari urutan kejadian, sebodoh-bodoh orang pun akan menarik kesimpulan, bahwa kedatangan ketiga harimau ini di sana bukan secara kebetulan. Cara dan gaya mereka itu tentu menurut peraturan yang mereka mufakatkan dan setujui bersama.

Harimau betina kembali ke pinggir lapangan, duduk. Dua ekor yang jantan berdiri pada jarak kira-kira sepuluh meter. Mereka saling pandang, kemudian terjadilah peristiwa itu. Keduanya bergerak saling menerkam, kemudian seperti menjadi satu, gigit-menggigit dan cakar mencakar. Tambah lama pertarungan itu kian keras. Terdengar dengus dan geram mereka, sungguh sangat mencekam. Tidak perlu disangsikan, bahwa mereka sedang duel, sama halnya dengan dua manusia berkelahi mati-matian. Pertarungan itu mengerikan sekali.

Apa fungsi harimau betina itu di sana? Tidak mudah memastikannya, tetapi jikalau hanya diduga maka orang akan menduga, bahwa mereka bertarung memperebutkan si harimau betina. Kedua-duanya ingin memiliki. Tidak bisa kompromi untuk jadi kawan bersama. Di antara hewan pun berlaku cinta yang tidak dapat dibagi-bagi, kalau cinta itu mencapai taraf "dia hanya untukku". Nyawa tantangannya kalau ada yang berani coba-coba.

Barangkali begitulah yang telah terjadi di antara ketiga harimau itu. Boleh jadi yang betina tidak dapat menentukan pilihan. Dia sayang kepada kedua-duanya, sementara dia tidak boleh untuk kedua-duanya. Maka diambillah jalan yang adil. Bertempur. Sang

putri untuk yang menang. Seperti yang banyak kita baca di dalam kisah-kisah kerajaan masa lalu. Untuk mendapatkan seorang wanita, seringkali anak bangsawan yang penguasa, para peminat harus membuktikan dirinya yang terkuat, tersakti.

Kedua raja telah sama-sama luka dan darah yang mengalir membuat mereka tambah beringas. Kalau salah satu merasa kalah dan mau melarikan diri, mungkin ia tidak akan dikejar oleh yang menang. Ataukah akan terus diuber dan ditewaskan, supaya ia jangan merupakan ancaman bagi kehidupannya pada masa-masa seterusnya. Suatu jalan pikiran yang benar. Yang kalah pada hari itu mungkin akan menyiapkan diri untuk revanch. Kalau sudah ditewaskan, selesai.

Tetapi pergumulan yang sangat menegangkan itu perlahan-lahan mengendur juga, sebab kedua-duanya kehilangan dan kehabisan tenaga.

Si macan betina menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Mungkin baginya tidak ada pilihan lain daripada menanti siapa yang menang, kalau memang dirinya jadi rebutan. Sebab, pertarungan itu bisa juga oleh sebab lain. Soal wilayah kekuasaan atau barangkali antar suku.

Pada suatu saat pertarungan maut itu berhenti. Walaupun tidak ada yang menghentikan, tidak seperti dua petinju atau pegulat di atas ring. Kedua harimau itu berhenti karena sudah tidak punya tenaga lagi. Hanya napas mereka yang kelihatan turun naik, yang kemudian juga terhenti. Tiada lagi napas, karena nyawa telah keluar dari tubuh mereka yang tadinya tegap kuat. Tiada yang menang. Kedua-duanya kalah. Tewas.

Harimau betina itu bergerak perlahan-lahan, menciumi kedua raja yang telah mati. Kemudian ia berlalu dengan langkah gontai. Walaupun begitu tidak dapat dipastikan apakah kedua raja rimba itu tewas memperebutkan dia atau ada sebab-sebab lain yang harus diselesaikan dengan duel gaya manusia itu.

Erwin, Datuk dan Ki Ampuh meneruskan perjalanan.

Beberapa hari kemudian baru tiba di kota Palembang. Ki Ampuh jalan bersama tanpa terlihat oleh siapa pun karena ia memakai ilmu perabun, yang juga dimiliki oleh sang manusia harimau.

Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian rapi, Erwin bersama Datuk mengunjungi rumah Mei Lan untuk menemui gadis itu, menyatakan penyesalan dan melangsungkan lamaran resmi. Tetapi rupanya ia terlambat. Mei Lan telah tiada. Meninggalkan dunia bersama cintanya.

0odwo0

TIGAPULUH EMPAT

ERWIN kesal dan menyesal. Mengapa dia terlambat. Tidak sejak kembali dari Mandailing dan Medan melangsungkannya. Waktu itu Mei Lan yang cantik dan baik masih segar bugar.

Yang pertama-tama dikerjakan setelah mengetahui kematian Mei Lan adalah ziarah ke makamnya. Di sana manusia harimau itu menangis. Menyalahkan dirinya yang selalu menjauh dari wanita yang cinta kepadanya. Mei Lan merupakan salah seorang di antaranya. Betapa kejam dia, pikirnya pada saat itu. la menangis setelah terlambat. Air mata itu tidak akan mengembalikan Mei Lan, tetapi agak meringankan rasa dosa yang menimpa seluruh isi dadanya. Dia bukan makhluk cengeng tetapi pada saat itu ia tidak kuasa menahan dan tidak berusaha menahan. Biarlah Mei Lan melihat bahwa ia yang selalu dipanggil dengan "Bang Erwin" merasa sangat sedih dan menyesal.

"Maafkan Abang, Mei," katanya sambil memegang-megang makam gadis itu. Belum lama. Baru lima hari yang lalu.

Pada saat itu Sabrina telah berdiri di sampingnya. Rupanya ia mengikuti kegiatan si manusia harimau. Dipegangnya bahu Erwin.

"Relakanlah Er. la sudah mendapat ketenangan. Kalau kau benar-benar sayang kepadanya tentu kau mengharapkan yang baik baginya. Yang baik itu sudah didapatnya. Yang belum tentu

diperolehnya, kalau ia masih hidup di dunia yang penuh kejahatan dan kezaliman ini."

"Aku salah satu yang zalim itu," kata Erwin dan ia terisak-isak.

"Tidak, kau pun tahu bahwa kau baik hati. Kau takut tidak dapat memberi kebahagiaan kepadanya. Itulah sebabnya kau selalu menjauh dari mereka yang sebenarnya kau sayangi!" ujar Sabrina. Kata-kata itu agak meredakan Erwin.

"Aku telah menyelidiki Er! Mei Lan bukan mati wajar."

Sabrina mengatakan yang benar. Kalau dulu ia pernah sakit hati karena buatan orang kaya yang ditampik cintanya, disembuhkan oleh Erwin, maka sekarang ia diterjang kejahilan semacam itu lagi. Juga oleh orang kaya yang hendak memetik, tetapi gagal. Sampai-sampai ia berkata kepada ayah gadis itu, "Apa maumu dan anakmu. Aku dapat memberi semua. Semua, tanpa kecuali," katanya mengulangi.

Karena pernah mengalami buatan orang, orang tua itu jadi takut, la berjanji akan membujuk anaknya. Dengan begitu setidak-tidaknya dia dapat mengulur waktu sampai Erwin datang. Kalau orang yang diingini Mei Lan sudah kembali, maka ia tidak akan khawatir lagi. Sudah ada tempat mengadu dan berlindung. Tetapi apa yang dikhawatirkannya terjadi juga. Mei Lan hanya sakit tiga hari, tewas. Mengeluarkan jarum dan beling dalam darah segar yang dimuntahkannya.

"Aku akan membalas untukmu Mei," kata Erwin. "Walaupun aku harus berkubur di sini," tambahnya.

Dengan bantuan Sabrina tidak sulit mencari tahu siapakah yang telah membinasakan gadis tak bersalah itu. Ternyata seorang dukun wanita. Orang dari pesisir barat. Belum tua benar. Baru tigapuluhan. Ibu dan neneknya pun dukun. Yang ibu masih ada. Masih praktek di kota itu juga.

Namanya bagus. Aini. Maknanya mata.

"Beri aku kesempatan," pinta Sabrina.

Ki Ampuh yang hadir, menganjurkan kepada Erwin untuk mengabulkan permintaan wanita yang keturunan harimau jadi-jadian dari Sungai Penuh itu.

"Aku tak mau kau sampai mempertaruhkan nyawa, Sab," kata Erwin. la akan menyesali dirinya lagi, kalau Sabrina menyusul Mei Lan dengan cara yang lain. Kalau Mei Lan jadi mangsa buatan ilmu jahat, maka Sabrina bisa jadi korban pertarungan dengan wanita iblis yang amat pintar itu.

Dilihat sepintas, tidaklah masuk akal, bahwa Aini punya kekuatan yang luar biasa melalui ilmu pengobatan dan ilmu hitam, la yang sudah janda dengan seorang anak perempuan umur lima tahun diketahui punya hubungan erat sekali dengan seorang pejabat yang punya wewenang lumayan besar. Seorang duda dengan tiga anak. Yang terkenal sebagai pejabat baik dan disegani oleh masyarakat.

la orang yang masih benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa, bukan ber-Tuhan kepada uang yang dianggap Maha Kuasa. Kata orang, sudah cukup banyak orang kaya yang ber-Tuhankan harta yang dipupuknya terus dengan berbagai cara tanpa memikirkan segala macam akibat dari perbuatannya. Terhadap lingkungan, terhadap bangsa dan negara. Terparah, kalau ia pejabat yang rakus, merusak wibawa Pemerintah yang sebenarnya sangat mutlak dipelihara guna ketertiban dan kelancaran yang serba baik bagi bangsa pada umumnya. Bukan bangsa dalam arti kelompok yang amat kerdil.

Aini yang rupawan juga main gila dengan beberapa pemuda. Sama pegangannya dengan Mbah Penasaran, wanita tak pernah tua di Banten itu, yang harus selalu bersenggama dengan orang muda, guna memperpanjang keadaan lahiriahnya. Selalu muda dan cantik. Yang amat diperlukan Aini hanya anak-anak muda. Tidak penting apakah mereka sudah dapat memberi kesenangan dalam perbuatan itu.

Setelah mendapat kata sepakat, Sabrina yang lebih muda dari Aini berkunjung ke rumah dukun itu. la menceritakan tentang seorang saudaranya yang sakit keras di Padang dan sudah tidak

terobati oleh dukun dan dokter mana pun. Setelah mendengar nama besar Aini maka ia ke Palembang. Perempuan muda yang ternyata sangat ramah itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan wajahnya menunjukkan rasa simpati.

Aini menawarkan minuman dan makanan kecil kepada Sabrina dan keduanya kelihatan menjadi akrab. Tetapi setelah Sabrina selesai dengan cerita dan menjawab semua pertanyaan Aini, wanita itu dengan lembut berkata, "Mestinya kita dapat jadi sahabat. Aku senang dengan Anda."

"Itulah harapan saya," kata Sabrina.

Dengan senyum Aini berkata, "Sayang maksud kedatangan Anda tidak sebersih itu. Tidak ada keluarga Anda yang sakit keras. Anda sedang mempelajari diriku untuk kepentingan sahabat Anda yang pernah Anda cintai. Tak tahu apakah terhadap dirinya harus dikatakan seorang atau seekor manusia harimau. Bukan hanya dia sendiri. Kalian bertiga, kalau yang seorang dari Minang itu tidak masuk hitungan. Nasihati si manusia harimau supaya meninggalkan kota ini. Yang dicarinya sudah tidak ada dan tidak akan ada. Aku tidak menyukai permusuhan, kecuali kalau eksistensiku diancam," katanya. Ternyata ia seorang cukup terpelajar. Pandai mempergunakan perkataan eksistensi. Kenyataan bahwa dia itu ada.

Sabrina terdiam. Dia bukan tidak memperhitungkan kepandaian semacam itu. Tetapi mengapa tidak sejak semula ia memperlihatkan, bahwa ia tahu apa maksud kedatangan Sabrina. la begitu ramah. Tidak kelihatan dibuat-buat. Aktingnya sempurna. Hanya pemain watak dapat melakukan sebaik itu.

Sabrina tidak bereaksi. Dia malu. Bagi sementara orang, malu lebih dari segala-galanya. Orang ekstrim akan berkata, lebih baik mati daripada malu.

"Saya tahu Anda malu, Sabrina. Tetapi dengan tulus kuminta supaya Anda buang malu itu. Aku bisa mengerti, kesetiaan seseorang terhadap kawannya. Aku pun akan berbuat sama untuk

orang yang kucinta. Aku mencintai banyak orang Sabrina, yang satu cinta benar, yang lainnya suatu keharusan guna memelihara diri. Anda mengerti? Aku minta bantuanmu, mengatakan kepadanya supaya membuang jauh dendamnya itu. Waktu itu aku hanya menjalankan tugas sebagai dukun. Tidak menyelidiki siapa yang akan dipasang. Anda masih suka mengisap darah bayi Sabrina?" tanya Aini dengan suara bersahabat. Tiada nada menyindir atau mengejek.

"Anda tahu itu?"

"Itu makanya kutanyakan. Itu bukan keinginan hatimu Sabrina. Jadi tak perlu merasa malu atau rendah diri. Itu dorongan nafsu yang menyimpang. Mungkin juga dorongan iblis yang kadangkala masuk ke dalam tubuh manusia. Kekuatan iblis itu hebat. Bilamana dia telah mendorong, seringkah manusia terjerumus. Memukul, mencuri, menipu, membunuh. Anda dengar? Membunuh. Semua manusia normal tak kan mau membunuh. Sebab berat risikonya. Yang membunuh itu bukan manusia Sabrina. Itu iblis, syaitan. Tangan manusia yang digunakannya untuk melaksanakan. Dan si manusia yang bersalah itulah yang dihukum. Bukan si iblis. Dia sudah keluar lagi setelah maksudnya tercapai. Jahat dan licik, bukan?" kata Aini memberi kuliah.

Sabrina tak dapat lain daripada kagum atas kepintaran dan kecerdasan wanita itu. Dan dia yang selalu dapat menghadapi segala macam lawan, merasa ditundukkan. Dia ingin mengatakan, bahwa perempuan itulah yang selalu dirasuk iblis, tetapi mulutnya tak kuasa bicara. Bagaikan dikunci.

"Pulanglah, katakan kepada si manusia harimau. Yang sudah terjadi, biarlah berlalu. Apa yang kukatakan itu semua benar, sama benarnya dengan apa yang Anda pikirkan sekarang. Bahwa diriku selalu dikuasai iblis. Aku tidak membantahnya."

Sabrina tidak kuasa membantah. Perempuan itu hanya mengatakan yang benar. Kemudian ia merasa haus. Bukan haus biasa, la ingin darah. Sudah lama dia tidak mendapat.

Bila kedatangan tuntutan nafsu semacam itu,, wajah Sabrina selalu berubah, tetapi tidak terlihat, kalau tidak benar-benar diperhatikan. Lain halnya dengan Aini, ia tidak memperhatikan, tetapi langsung tahu, bahwa Sabrina sedang mengalami proses haus yang tidak normal. Dan ia mengatakan hal itu. Berterung terang.

"Anda sedang kehausan. Di rumah ini ada seorang bayi, anak adikku. Jadi kemenakanku. Anda tentu tidak mengharapkan darahnya dan juga tidak akan sampai hati mencoba-coba, karena kita bersahabat. Bukankah begitu?" kata Aini.

Sabrina bertambah malu, walaupun telah dikatakan oleh Aini, bahwa ia tidak perlu merasa malu atau rendah diri. la tetap tidak berkata apa-apa, tetapi dia terkejut ketika Aini menyatakan akan menolongnya dari tuntutan yang pasti akan kian memuncak itu.

"Akan kutolong buat sekali ini," kata Aini. la permisi ke dalam sebentar dan tak lama antaranya keluar dengan membawa pertolongannya. Dua butir lada putih, sebutir lada hitam dan jeruk nipis se-sayat.

"Telanlah lada ini," kata Aini memberikan lada yang tiga butir. Tanpa ragu-ragu, Sabrina menurut.

Lalu Aini memberikan jeruk nipis yang dimantrai nya sejenak. "Untuk diisap-isap ' ujarnya.

Sabrina heran. Serta merta rasa harus darah itu lenyap. Haus biasa saja pun tidak lagi.

"Anda hebat sekali. Terima kasih," ucap Sabrina. la mohon diri, benar-benar merasa lega karena terbebas dari tuntutan yang pasti akan meminta korban. Belum pernah Sabrina tidak mendapatkan darah, manakala nafsu jahat itu telah datang menerjang nerjang dirinya.

"Aku senang dapat bertemu dengan Anda. Baru sekali ini aku berkenalan sampai bersahabat dengan penyimpang nafsu secantik Anda. Selamat jalan. Pesankan kepadanya, supaya meninggalkan

Palembang. Itulah yang terbaik bagi kita semua!"

Sabrina tidak berjanji apa-apa. la telah menemui kekalahan terbesar selama hidupnya. Tak menyangka ada wanita muda dan cantik dengan ilmu yang begitu luar biasa.

0odwo0

Mendengar kisah Sabrina, si manusia harimau yang tidak turut menyaksikan pun sangat heran, tetapi kenyataan itu tidak membuatnya mengurungkan maksud untuk membalaskan dendam atas ke-matian Mei Lan.

Karena sudah melihat sendiri kehebatan wanita yang dukun itu, dan tidak ingin terjadi cidera atas diri Erwin, maka Sabrina mengusulkan untuk menyambut sikap Aini yang bersahabat itu.

Tetapi Erwin tidak terbujuk. Dia ingat janjinya di makam Mei Lan, bahwa ia akan membalas, wa laupun karena itu ia harus mati di Palembang. Dan Ki Ampuh menyokong pendirian Erwin. Harus dibalas. Karena Erwin sudah berjanji kepada Mei Lan yang tentu mendengar, karena yang mati hanyalah jasadnya.

Peristiwa yang sangat menggemparkan itu tidak akan terjadi jikalau Erwin menuruti nasihat Sabrina sesuai dengan permintaan Aini. la memutuskan untuk mendatangi Aini dan mencabut nyawa dukun besar yang petualang seks itu di rumahnya sendiri. Benar di rumah sendiri, sebagaimana ia telah mendatangi Maribun di rumahnya dan kemudian menewaskannya, la akan melakukan yang serupa, karena orang sejahil Aini, walau bagaimanapun cantiknya, tidak punya hak untuk dibiarkan hidup lebih lama. Kelanjutan hidupnya hanya akan menambah jumlah manusia yang akan jadi mangsanya.

Erwin memperkirakan juga, bahwa mungkin Aini mengetahui segala maksudnya sebagaimana ia tahu apa maksudnya kedatangan Sabrina sebenarnya. Pengetahuan inilah yang lebih menguatkan Erwin dengan dorongan Ki Ampuh untuk adu kesaktian, ketinggian ilmu dan wibawa.

Erwin bukan hanya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, tetapi yakin bahwa wanita itu akan kaget oleh kedatangannya. Yang disangkanya akan meninggalkan Palembang guna mencegah bencana seperti yang dipesankannya melalui Sabrina.

Erwin dan Ki Ampuh bergerak pada petang hari. Datuk diminta untuk tidak turut, tetapi ia tidak dapat ditahan. Dia juga rela mati di Palembang, katanya.

Dan benar, Aini melihat kedatangan mereka, la minta kepada calon suaminya, orang jujur yang bernama Cek Kassim, agar mengatur penduduk sekitar untuk mengepung dan menangkap atau membinasakan para penjahat itu.

0odwo0

TIGAPULUH LIMA

KETIKA bergerak dari tempat mereka memondok, Erwin sudah merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang akan menimpa. Sekali lagi Sabrina menasihati supaya membatalkan maksud itu. "Aku tidak akan pernah tentram kalau tidak membalas, Sab. Gangguan itu akan sangat menyiksa. Paling buruk pun, ya mati!" kata Erwin yang mempunyai tekad bulat. Sabrina setuju, bahwa orang harus tidak takut mati, tetapi sangat perlu dipikirkan, apakah kematian akan lebih baik daripada hidup? Bagi orang yang masih dapat berbuat kebaikan kalau ia masih hidup. Apalagi kalau ia masih sangat diperlukan oleh sesama manusia hidup. Erwin menerima pendapat Sabrina, tetapi tetap tidak mengurungkan maksudnya.

la berjalan berdua dengan Datuk. Sebagai orang biasa. Ki Ampuh turut bersama mereka, tetapi tidak memperlihatkan diri. Sabrina menanti di tempat mereka menyewa untuk beberapa malam. Bila pembalasan telah selesai mereka akan meninggalkan Palembang dan Erwin tidak punya niat untuk kembali ke sana. Teuku Samalanga pun sudah tidak ada. Entah kapan ia akan bertemu lagi dengan orang pandai dari Aceh yang akhirnya dituduh sebagai pembunuh, tetapi telah diselamatkan Erwin ke Jambi.

Erwin merasa seperti diperhatikan banyak mata yang bersembunyi tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya. Apakah yang tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya. Apakah yang hendak mereka lakukan? Tetapi baru saja ia selesai dengan pertanyaan itu kepada dirinya, datanglah perasaan yang senyampang disukai, tetapi kadang-kadang juga sangat ditakuti. Tetapi ia berjalan terus ke arah rumah Aini yang sudah kelihatan, la akan membuat terkejut Aini, karena bagaimanapun ia pasti belum pernah melihat manusia harimau dalam wujudnya yang nyata. Itulah pula yang diharapkan Aini untuk jadi alasan pengepungan dan penangkapan.

Dalam tempo sebentar saja, orang-orang yang tadinya tidak kelihatan itu, bermunculan. Sebenarnya mereka takut, tetapi karena banyak dan saling memberi semangat, mereka hadapi juga makhluk yang belum pernah mereka saksikan sepanjang umur. Anehnya harimau berkepala manusia itu timbul mendadak saja. Bukan kelihatan datang ke arah mereka. Ada yang sempat melihat, bahwa tadinya harimau ini manusia biasa yang berjalan dengan kawannya. Tiba-tiba dia menjadi harimau.

Polisi yang diberitahu juga segera datang. Lebih dulu Hansip yang memelopori pengepungan.

"Pergilah Datuk, sebelum terlambat!" kata Erwin.

"Tidak, aku mau turut menghadapi manusia-manusia jahat ini."

"Mereka bukan jahat. Mereka takut dan ingin menyelamatkan diri."

"Dengan jalan ini?" tanya Datuk. Ki Ampuh yang tidak kelihatan oleh para pengepung mengatakan, bahwa apa pun yang akan terjadi harus dihadapi dengan sega\a konsekuensinya. Masih ditambahkannya, walaupun keadaan begitu gawat, mereka hendaknya bisa ke luar hidup sebab dia masih ingin merasakan hidup sebagai manusia kembali.

Pada saat itu juga Erwin berkata, bahwa ia akan membawa Ki Ampuh sekali lagi ke negerinya, kalau masih ada nyawa tersisa

untuk itu.

"Jadi ada kemungkinan, Er?" tanya Ki Ampuh.

"Kalau ke luar hidup, kita coba menghadap. Yang satu ini barangkali sanggup!" kata Erwin.

"Kalau begitu, kita harus mengalahkan mereka," kata Ki Ampuh bersemangat. Sementara itu kepungan tampak semakin rapat, meskipun masih tidak mungkin melakukan pertempuran bersosoh dalam jarak sangat dekat. Melihat para pengepung itu rata-rata bersenjata parang, lembing dan pentungan, sekali lagi Erwin meminta Datuk untuk menghindar. Dia tidak akan diserang, karena hanya dialah yang tampak sebagai manusia. Mereka akan menganggap dia sebagai tameng si manusia harimau agar tidak diserang. Setelah berdebat singkat dan Erwin mengatakan, bahwa ia membutuhkan Datuk untuk masa mendatang, maka diaturlah siasat bagaimana Datuk menghindar tanpa dapat serangan. Dan siasat itu berhasil. Ketika si manusia harimau lengah. Datuk secara takut-takut melarikan diri. Nasib sangat baik baginya, di antara para penge-pung ada yang meneriakkan "lekas, lekas" dan mereka memberi selamat kepadanya, karena ia bisa meloloskan diri.

Ketika pasukan Polisi datang, kelihatan mereka membawa senjata cukup lengkap kalau sekedar menangkap atau membunuh satu manusia harimau. Mereka itu tentu tidak segan-segan menembak, pikir Erwin dan Ki Ampuh. Bukan jarang terdengar berita tentang anggota Polisi atau orang bersenjata lainnya yang gatal tangan serta punya selera membunuh, mempergunakan senjatanya sampai menewaskan orang lain, yang seharusnya tidak sampai perlu. Ada kalanya yang roboh itu malah tidak punya dosa sama sekali. Tidak punya hubungan dengan penyebab pencabutan senjata api.

Setelah melihat Datuk selamat, Erwin merasa lebih leluasa. Satu kekhawatiran telah tiada. Para pengepung kian dekat. Aini yang jadi penyebab terjadinya bencana ini turut melihat, bahkan mengatur dari jarak yang agak jauh bersama kekasihnya Cek Kassim. Tetapi bukan hanya dia wanita yang berperan. Dari suatu rumah turut

menyaksikan dengan jantung berdebar Sabrina yang sangat mengharapkan Erwin keluar dengan selamat. Betapa ia sangat mengharapkan Erwin sebagai teman hidup menjelang mati, karena itulah yang mestinya serasi dengan dia, karena kedua-duanya mereka mempunyai unsur harimau yang kuat. la menyuruh otaknya bekerja, bagaimana mengendurkan dan kalau bisa menghentikan pengepungan itu. la teringat pada bayi yang kemenakan Aini, yang disebut-sebut dukun kawakan itu jangan diganggu, karena Sabrina juga tentu tidak sampai hati melakukannya terhadap orang yang sudah jadi sahabat, la ingat kata-kata Aini, tetapi dia juga melihat kenyataan yang dihadapi Erwin. Hatinya berperang.

Tiba-tiba terdengar suatu suara keras memberi komando. Untuk menyerbu. Tetapi tidak ada yang mematuhi. Hanya sejumlah pengepung kian mendekat dengan hati-hati. Meskipun mereka banyak sedang yang dihadapi hanya satu. Mereka tidak mampu menduga bagaimana kekuatan dan perlawanan yang akan dilancarkan si terkepung. Mereka hanya tahu satu kepastian, bahwa dalam keadaan terjepit manusia yang harimau atau harimau yang manusia itu akan melawan. Tidak akan ada menyerah kalah saja. Jadi, korban pasti jatuh atau berjatuhan, walaupun pada akhirnya makhluk itu mungkin akan binasa di sana.

Dan siapakah yang akan mati? Mereka bertanya pada diri. Akukah barangkali? Ini tak dapat dijawab. Sudah bergantung pada nasib. Dan ini juga yang membuat kebanyakan dari mereka bergerak ragu-ragu. Lebih suka di belakang. Tidak terlalu dekat. Tetapi di samping mereka yang berhati-hati ini, tidak berani gegabah mengadu nyawa yang benar-benar cuma satu, ada juga yang nekad. Jumlah kecil ini menyerbu dan merekalah yang pertama-tama bertarung dengan Erwin. Sudah tentu bagi Erwin tidak ada pilihan lain daripada merobohkan mereka. Hukum mematikan atau dimatikan tidak dapat dielakkan. Dan perlawanan yang mereka terima, di luar dugaan. Manusia harimau itu memukul penyerangnya dengan kedua kaki depannya sambil menancapkan kuku ke dalam muka atau leher lawannya. Parang dan lembing yang dihantamkan ke tubuh makhluk itu ternyata tidak membuat dia luka.

Hanya menggeram dengan keras. Dan selalu saja orang yang mematang atau melembing dia yang dihajar tanpa ampun. Dia tidak menggigit, jadi berlainan dengan harimau biasa, yang punya taring-taring kuat dan tajam Erwin tidak mempunyai itu. Oleh serunya pertarungan, beberapa banyak pengepung malah jadi penonton dari jarak yang lumayan jauh. Itu lebih aman. Tidak ada para penyerbu yang menghampiri Erwin bebas dari tamparan. Setelah para penyerbu yang tidak terlalu banyak itu roboh, ia punya waktu untuk merobek-robek dada dan perut mereka, membuat pengepung lainnya tidak punya selera lagi untuk mendekat. Mereka tidak mau jantung dan hati serta ususnya diburaikan.

Tetapi seorang anggota Polisi yang cukup berani atau mungkin juga nekad mengajak pengepung menyerbu lagi. "Hayooo," teriaknya, "dia harus mati!" Dia pun lalu menyerbu diikuti oleh beberapa orang yang jadi berani atau malu oleh contoh yang diberikan sang Polisi.

Mungkin Polisi itu punya "simpanan serta pakaian" khusus, la menerjang Erwin yang sedang berhadapn dengan seorang pemarang. Dia melompat ke udara menendang kepala Erwin sehingga manusia harimau itu terjengkang. Dari jarak dua meter dilepaskannya beberapa peluru dari pistolnya. Semua mengenai tubuh si manusia harimau, tetapi tidak membuat dia menjerit. Hanya geramnya menunjukkan ia sangat marah, la bangkit lagi dan kini memusatkan penyerangan terhadap si Polisi yang hebat dan garang itu. Dua Polisi lain beserta dua anggota Hansip jadi turut menyerbu. Mungkin karena malu hati. Tetapi Hansip yang dua orang segera dibabat oleh Erwin. Senjata senapan panjang yang dipakai oleh seorang Polisi terlepas karena tangannya dipukul dengan keras oleh si manusia harimau. Polisi ini tidak sehebat Polisi pertama. Rupanya Polisi pertama tadi memang benar punya ilmu silat tangguh, silat harimau. Belakangan ternyata dia pernah belajar silat harimau itu di Gunungtua, Padang Lawas, Tapanuli. Namanya Radian, marga Rangkuti.

"Menyerahlah," kata Radian. Dia punya pengetahuan lumayan

tentang harimau, baik yang liar, piaraan, jadi-jadian maupun yang manusia harimau, yang jumlahnya sangat langka.

"Tak mungkin, dongan. Menyerah untuk mati tidak mungkin!" jawab Erwin sambil menampar keras seorang penyerbu lain.

"Orang-orang yang bermatian ini tidak punya dosa," kata Radian.

"Sama dengan aku. Aku juga tidak punya dosa. Tidak punya urusan dengan orang-orang ini kalau mereka tidak mau menangkap dan membunuhku. Apalagi Anda, yang kuyakin berasal dari Tapanuli. Silatmu itu menunjukkan. Anda orang berani."

Atas anjuran Cek Kassim yang menuruti keinginan Aini, beberapa orang lagi menyerbu. Erwin, bagaimana hebat dan berani pun mempertahankan nyawa, mulai kewalahan. Kini peranan Ki Ampuh baru tampak oleh para pengepung dan penonton. Sebenarnya sejak tadi sudah beberapa orang jatuh dan berteriak tanpa mendapat serangan si manusia harimau. Mereka diseruduk oleh Ki Ampuh. Dua orang di antara mereka tewas setelah jatuh dan terus saja ditusuk dengan taring-taringnya yang tajam dan berbisa.

Kini para pengepung terbelalak dan tahu, bahwa ada kawan si manusia harimau yang tidak kelihatan.

Sudah delapan orang roboh, lima di antaranya tewas. Radian yang masih utuh dan punya tenaga tidak meneruskan penyerangan, mengherankan Polisi lainnya. Lebih mengherankan, si manusia harimau juga tidak lagi menaruh perhatian kepadanya. Pasti ada di antara para pengepung itu yang berpikir macam-macam. Berkeluargakah mereka maka nya damai berdua?

Melihat Erwin sudah letih beberapa orang lagi maju. Ingin merobohkan si manusia harimau. Tetapi pada waktu itu pulalah Aini mendengar jerit dari rumahnya, la berlari ke rumah, ada apa? Ternyata bayi mungil yang anak adiknya telah tiada. Dan di atas bantalnya ada secarik kertas. Hanya mengatakan, bahwa bayi dikembalikan kalau penyerangan dihentikan segera. Kalau si manusia harimau tewas, maka bayi itu tidak akan kembali, tetapi akan selamat.

Kejam si Sabrina pengisap darah itu. Tetapi tidak terlalu kejam, karena tidak akan membunuh sang bayi yang tidak berdosa. Karena ia sudah menikmati kebaikan Aini yang menghilangkan nafsu jahatnya. Walaupun hanya untuk sekali itu saja.

Aini berlari kembali ke tempat Cek Kassim dan meminta kepadanya supaya penyerangan dihentikan. Dan perintah segera dilaksanakan, walaupun sudah tentu menimbulkan tanda tanya bagi para pengepung.

Cek Kassim pandai memberi dalih. Si manusia harimau bukan hanya sendiri. Punya kawan tidak kelihatan yang tak kurang ganasnya dari dia. Mungkin jin, begitu pikir mereka.

Hari sudah senja. Para penyerang berhenti dan Erwin dengan kawannya yang tidak kelihatan juga berhenti, mengambil sikap menunggu.

"Pergilah," kata Cek Kassim dengan suara keras supaya terdengar oleh Erwin.

"Rabunkanlah mata mereka terhadap dirimu," kata Ki Ampuh dan Erwin segera memenuhi nasihat ini. la mendadak hilang dari pandangan para pengepung itu, meneruskan perjalanan melalui orang banyak tanpa dilihat oleh siapa pun. Tiba di rumah. Datuk dan Sabrina sedang menanti. Erwin terkejut melihat ada bayi digendong Sabrina. la bertanya, anak siapa. Kemudian ia merebahkan diri. Dia tidak luka, tetapi letih. Letih sekali. Pengeroyokan itu hampir menewaskan dirinya.

"Segala puji bagi Allah, kau selamat Erwin," kata Datuk.

"Berkat bantuan Ki Ampuh. Sebenarnya dialah yang menaklukkan mereka!" kata Erwin. Kini baru diulanginya bertanya anak siapa yang digendong Sabrina.

Sabrina hanya menjawab, "Anak sahabatku!"

"Mengapa dititipkan padamu?"

"Aku senang anak," sahut perempuan itu.

"Jangan yang bukan-bukan, Sab," kata Erwin yang mengetahui., sifat dan nafsu Sabrina. "Katakanlah yang sebenarnya'

Setelah itu Sabrina mengatakan, bahwa anak itu hanya untuk sebentar padanya, nanti diantarkan kembali. Dan ia terpaksa menceritakan secara singkat apa yang telah dilakukannya, tetapi sama sekali tidak punya niat yang buruk, la khawatir sekali, Erwin ialah sangka. Tetapi Erwin mempercayai ceritanya

"Lekaslah antarkan," pinta Erwin dan Ki Ampuh. Begitu pula Datuk.

"Aku cari dulu wanita yang mau membantu. Aku sendiri tidak mungkin ke rumahnya. Malu, aku malu!" kata Sabrina.

Wanita yang diperlukan segera didapat dan dengan upah selayaknya pergi mengantarkan sang bayi. Ibunya menerima dengan linangan air mata gembira, karena tadinya mereka sekeluarga tidak yakin bahwa wanita jadi-jadian itu akan memenuhi janji. Aini sendiri merasa senang, karena kebaikannya telah dibalas oleh Sabrina. la menyesali dirinya yang telah menyebabkan Erwin dikepung dan diserang, yang akhirnya membuat lima orang tewas dan tiga orang luka berat. Tetapi kemudian ia memaafkan dirinya sendiri, karena ia merasa tidak diberi pilihan lain. la sudah memberi ingat melalui Sabrina, supaya tidak terjadi permusuhan.

Erwin khawatir akan terjadi lagi sergapan atas mereka. Maka diambil keputusan untuk berangkat malam itu juga. Menyelamatkan diri kalau tidak dikejar. Kematian sekian banyak orang bisa membangkitkan amarah yang tak mereka buru-buru berangkat.

TAMAT